14
BAB II
PEMBAHASAN
A. Tinjauan Pustaka
1. Regulasi Wakaf Dalam Sistem Hukum Indonesia
Dalam sejarah, wakaf telah berperan dalam pengembangan sosial,
ekonomi, dan budaya masyarakat.11
Sebagai salah satu tuntunan ajaran
agama Islam, wakaf menyangkut persoalan kehidupan bermasyarakat
dalam rangka ibadah sosial.
Pentingnya melaksanakan ibadah adalah sebagai bentuk dan wujud
penghambaan manusia kepada Tuhan. Oleh karena itu, persoalan ibadah
menjadi refleksi dari nilai-nilai keimanan12
dan tujuannya murni dilandasi
oleh rasa iman serta ikhlas semata-mata pengabdian kepada Tuhan Yang
Maha Esa.
Wakaf berasal dari kata kerja bahasa Arab yaitu waqafa (fi’il
madhy), yaqifu (fi’il mudhari), dan waqfan isim mashdar yang secara
etimologi berarti berhenti, berdiri, berdiam di tempat, atau menahan.13
Dalam Islam, dikemukakan definisi wakaf menurut beberapa
mazhab, diantaranya adalah Mazhab Hanafi, Mazhab Maliki, Mazhab
Syafi‟i, dan Mazhab Hambali.
11
Suhrawardi K. Lubis, dkk, “Wakaf dan Pemberdayaan Umat”, Sinar Grafika, Jakarta, 2010,
hlm. 21. 12
Oyo Sunaryo Mukhlas, “Pranata Sosial Hukum Islam”, Refika Aditama, Bandung, 2015,
hlm. 8. 13
Departemen Agama Republik Indonesia, “Wakaf Tunai Dalam Prespektif Islam”, Direktorat
Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji Direktorat Pengembangan Zakat
dan Wakaf, Jakarta, 2005, hlm. 13.
15
Mazhab Hanafi menyatakan bahwa wakaf adalah menahan benda
Wakif (orang yang berwakaf) dan menyedekahkan manfaatnya untuk
kebaikan, namun bukan berarti meninggalkan hak milik secara mutlak.
Dengan demikian, Wakif boleh saja menarik wakafnya kembali kapan saja
dikehendakinya dan boleh diperjualbelikan. Selain itu kepemilikan harta
yang diwakafkan berpindah menjadi hak ahli waris apabila Wakif
meninggal dunia.14
Menurut Mazhab Maliki, definisi wakaf adalah menjadikan
manfaat harta Wakif, baik berupa sewa atau hasilnya untuk diberikan
kepada yang berhak secara berjangka waktu sesuai kehendak Wakif.
Disebutkan juga bahwa kepemilikan harta tetap pada Wakif dan masa
berlakunya wakaf tidak untuk selama-lamanya kecuali untuk waktu
tertentu menurut keinginan Wakif yang telah ditentukannya sendiri.15
Mazhab Syafi‟i menyatakan bahwa wakaf yaitu menahan harta
yang dapat diambil manfaatnya dengan tetap utuhnya barang dan barang
tersebut hilang kepemilikannya dari Wakif, serta dimanfaatkan pada
sesuatu yang dibolehkan.16
Definisi Mazhab Syafi‟i menampakkan
ketegasan terhadap status kepemilikan harta wakaf dengan pemahaman
bahwa harta yang diwakafkan menjadi milik umat, bukan lagi milik orang
yang mewakafkan. Dengan demikian, putuslah hubungan orang yang
mewakafkan hartanya dengan hartanya itu.
Terakhir adalah definisi wakaf yang dikemukakan Mazhab
Hambali yaitu menahan secara mutlak kebebasan pemilik harta dalam
14
Suhrawardi K. Lubis, dkk, op.cit., hlm. 4. 15
Ibid., hlm. 5. 16
Departemen Agama Republik Indonesia, op.cit., hlm. 18.
16
menjalankan hartanya yang bermanfaat dengan tetap utuhnya harta dan
memutuskan seluruh hak penguasaan terhadap harta, sedangkan manfaat
harta adalah untuk kebaikan dalam mendekatkan diri kepada Allah.17
Keempat mazhab tersebut secara jelas menyatakan bahwa wakaf
berarti menahan harta yang dimiliki untuk diambil manfaatnya bagi
kemaslahatan umat dan agama. Akan tetapi, keempat mazhab tersebut
berbeda pandangan tentang apakah kepemilikan terhadap harta yang
diwakafkan itu terputus dengan sahnya wakaf atau kepemilikan itu dapat
ditarik kembali oleh Wakif.18
Selanjutnya, ada juga beberapa definisi wakaf menurut para ahli,
antara lain adalah pendapat Imam Nawawi, S. Umairah dan Ibnu Hajar Al
Haitami, Al-Mughni, dan Ibnu Arafah.
Al-Imam al-Allamah Abu Zakaria Muhyuddin atau yang lebih
dikenal dengan sebutan Imam Nawawi adalah salah seorang ulama besar
mazhab Syafi'i, beliau menyatakan bahwa wakaf adalah menahan harta
yang dapat diambil manfaatnya tetapi bukan untuk dirinya melainkan
untuk umat, sementara benda itu tetap ada padanya dan digunakan
manfaaatnya untuk kebaikan dan mendekatkan diri kepada Allah.
Menurut S. Umairah dan Al-Imam al-Faqih al-Mujtahid
Syihabuddin atau yang lebih dikenal dengan sebutan Ahmad Ibnu Hajar Al
Haitami, wakaf adalah menahan harta yang bisa dimanfaatkan dengan
menjaga keutuhan harta tersebut, dengan memutuskan kepemilikan barang
tersebut dari pemiliknya untuk hal yang diperbolehkan.
17
Ibid., hlm. 19. 18
Suhrawardi K. Lubis, dkk, op.cit., hlm. 6.
17
Sedangkan menurut Imam Syarkhasi, wakaf adalah menahan harta
dari jangkauan kepemilikan orang lain.
Tokoh selanjutnya adalah Al-Mughni yang berpendapat bahwa
wakaf adalah menahan harta di bawah tangan pemiliknya, disertai
pemberian manfaat sebagai sedekah.19
Pendapat berikutnya dikemukakan oleh Ibnu Arafah yang
menyatakan bahwa wakaf ialah memberikan manfaat sesuatu, pada batas
waktu keberadaannya, bersamaan tetapnya wakaf dalam kepemilikan si
pemiliknya meski hanya perkiraan.
Mewakafkan harta untuk tujuan kebaikan merupakan satu amalan
pemindahan harta dan manfaatnya dari seseorang kepada pihak lain. Ini
menggambarkan satu sistem yang secara keseluruhannya memberi
tumpuan kepada kebahagiaan umat manusia.20
Di dalam tata peraturan Indonesia, wakaf mulai diatur dalam Pasal
14 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (selanjutnya disebut UUPA) yang
menyatakan bahwa,
“Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam Pasal 2 ayat (2) dan (3),
Pasal 9 ayat (2) serta Pasal 10 ayat (1) dan (2) Pemeritah dalam rangka
sosialisme Indonesia, membuat suatu rencana umum mengenai persediaan,
peruntukkan dan penggunaan bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya untuk keperluan peribadatan dan
keperluan-keperluan suci lainnya, sesuai dengan dasar Ketuhanan Yang
Maha Esa.”
Selanjutnya dalam Pasal 49 ayat (3) UUPA juga menyatakan
bahwa, “Perwakafan tanah milik dilindungi dan diatur dengan Peraturan
19
Yulia Mirwati, “Wakaf Tanah Ulayat Dalam Dinamika Hukum Indonesia”, Rajawali Pers,
Jakarta, 2016, hlm. 1. 20
Suhrawardi K. Lubis, dkk, op.cit., hlm. 55.
18
Pemerintah.” Dalam Penjelasan Pasal 49 ayat (3) UUPA menyatakan
bahwa, “Untuk menghilangkan keragu-raguan dan kesangsian, maka pasal
ini memberi ketegasan, bahwa soal-soal yang bersangkutan dengan
peribadatan dan keperluankeperluan suci lainnya, dalam hukum agraria
yang baru akan mendapat perhatian sebagaimana mestinya.”
Definisi wakaf menurut Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah
Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik adalah “Perbuatan
hukum seseorang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari harta
kekayaannya yang berupa tanah milik dan melembagakanya untuk selama-
lamanya untuk kepentingan peribadatan atau keperluan umum lainnya
sesuai dengan ajaran agama Islam.” Peraturan Pemerintah ini berisi
ketentuan umum, fungsi wakaf, unsur wakaf, syarat wakaf, kewajiban dan
hak para pihak, tata cara perwakafan dan pendaftaran wakaf tanah milik,
perubahan, penyelesaian perselisihan dan pengawasan perwakafan tanah
milik, ketentuan pidana dan ketentuan peralihan.
Selanjutnya, Peraturan Pemerintah ini juga dilengkapi dengan
adanya Peraturan Menteri Agama Nomor 1 Tahun 1978 tentang Peraturan
Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 Tahun
1977 tentang Perwakafan Tanah Milik dan juga Peraturan Menteri Dalam
Negeri Nomor 6 Tahun 1977 tentang Tata Pendaftaran Tanah Mengenai
Perwakafan Tanah Milik.
Wakaf juga diatur dalam Instruksi Presiden Republik Indonesia
Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam
(selanjutnya disebut KHI). Pasal 215 angka 1 Buku III KHI tentang
19
Hukum Perwakafan yang menyatakan bahwa, “Wakaf sebagai suatu
perbuatan hukum seseorang, sekelompok orang atau badan hukum yang
memisahkan sebagian dari benda miliknya dan melembagakannya untuk
selama-lamanya guna kepentingan ibadah atau keperluan umum lainnya
sesuai ajaran Islam.”
Tahun 2004 dikeluarkan peraturan baru mengenai perwakafan,
yaitu Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf. Ada
beberapa perbedaan mencolok antara Undang-Undang Nomor 41 Tahun
2004 dengan peraturan-peraturan sebelumnya yaitu mengenai substansi
perwakafan itu sendiri.
Jika pada peraturan-peraturan yang sebelumnya membatasi wakaf
hanya dalam bentuk tanah dengan status hak milik, dalam undang-undang
ini objek wakaf diperluas lagi sehingga tidak hanya terbatas pada tanah
atau benda tidak bergerak saja, akan tetapi juga benda bergerak. Pada
peraturan yang berlaku saat ini, Wakif dapat mewakafkan hak atas tanah,
bangunan, tanaman dan benda lain yang berkaitan dengan tanah, hak milik
atas satuan rumah susun, uang, logam mulia, surat berharga, kendaraan,
hak atas kekayaan intelektual, hak sewa dan lain-lain yang sesuai dengan
ketentuan syariah dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.21
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf diperjelas
dan dipertegas dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 42
Tahun 2006 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004
Tentang Wakaf. Selain itu, peraturan ini dibuat dengan maksud tidak untuk
21
Pasal 16 ayat (2) Undang-Undang Nomor 41 tahun 2004 tentang Wakaf.
20
mencabut peraturan perundang-undangan yang berlaku sebelumnya selama
tidak bertentangan dengan Peraturan Pemerintah ini. Dengan demikian,
untuk wakaf tanah hak milik masih diberlakukan Peraturan Pemerintah
Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik dan Peraturan
Menteri Dalam Negeri Nomor 6 Tahun 1977 tentang Tata Pendaftaran
Tanah Mengenai Perwakafan Tanah Milik.
2. Pengertian Tanah
Pasal 4 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria menyatakan bahwa,
“(1) Atas dasar hak menguasai dari Negara sebagai yang dimaksud dalam
pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang
disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang,
baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang-orang lain serta badan-
badan hukum.
(2) Hak-hak atas tanah yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini memberi
wewenang untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan, demikian pula
tubuh bumi dan air serta ruang yang ada diatasnya, sekedar diperlukan
untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah
itu dalam batas-batas menurut Undang-undang ini dan peraturan-peraturan
hukum lain yang lebih tinggi.”
Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, tanah adalah
permukaan bumi atau lapisan bumi yang di atas sekali. Tanah merupakan
sesuatu yang penting bagi manusia, oleh karena itu hubungan manusia
dengan tanah merupakan hubungan yang bersifat abadi, baik manusia
sebagai makhluk individu maupun makhluk sosial.22
3. Wakaf Tanah
Perwakafan tanah adalah serangkaian kegiatan dalam proses
peralihan tanah oleh Wakif selaku pemilik tanah kepada Nazhir selaku
22
Mudjiono, “Politik dan Hukum Agraria”, Liberty, Yogyakarta, 1977, hlm. 15.
21
penerima harta benda wakaf untuk dimanfaatkan sesuai fungsi dan
tujuannya bagi kepentingan umum namun harus tetap berdasar pada
syariah Islam.
Di Indonesia, wakaf sangat erat hubungannya dengan hukum
tentang tanah karena dalam pelaksanaannya, wakaf tidak lepas kaitannya
dengan tanah itu sendiri. Tanah adalah salah satu substansi pembahasan
dalam hukum agraria sekaligus juga sebagai salah satu objek dalam hukum
perwakafan.
Dalam rangka hubungan antara hukum Islam dengan hukum
Nasional, wakaf merupakan hal yang penting karena wakaf adalah suatu
amalan melalui kegiatan keagamaan baik di bidang keagrariaan maupun di
bidang sarana fisik yang dapat digunakan sebagai pengembangan
kehidupan keagamaan khususnya umat Islam dalam rangka mencapai
kesejahteraan masyarakat baik spiritual maupun materiil menuju
masyarakat yang adil dan makmur.23
Hal serupa juga sudah pernah
disampaikan oleh Sumitro dan Hasan dalam bukunya yang berjudul Dasar-
Dasar Memahami Hukum Islam di Indonesia (1994).
Adanya kecocokan antara hukum Islam dengan hukum Nasional
terkait dengan perwakafan akan membawa kemudahan dalam perwujudan
perwakafan sebagai salah satu strategi pemberdayaan ekonomi.
Dalam rangka mencapai tujuan dan fungsi wakaf, harta benda
wakaf hanya dapat diperuntukan bagi sarana dan kegiatan ibadah, sarana
dan kegiatan pendidikan serta kesehatan, bantuan kepada fakir miskin,
23
Siska Lis, “Pembaruan Hukum Wakaf di Indonesia”, Refika Aditama, Bandung, 2017, hlm.
2.
22
anak terlantar, yatim piatu, beasiswa, kemajuan dan peningkatan ekonomi
umat, dan/atau kemajuan kesejahteraan umum lainnya yang tidak
bertentangan dengan syariah dan peraturan perundang-undangan.
4. Subjek Hukum Wakaf Tanah
a. Wakif
Dalam suatu praktik perwakafan, akan ada pihak yang
menyerahkan harta benda miliknya untuk dipergunakan sesuai dengan
tujuan dan manfaatnya demi kepentingan. Secara hukum pihak ini
disebut dengan Wakif. Menurut Pasal 1 angka 2 Undang-Undang
Nomor 41 tahun 2004 tentang Wakaf menyatakan bahwa, “Wakif
adalah pihak yang mewakafkan harta benda miliknya.” Lebih lanjut,
Pasal 7 Undang-Undang Nomor 41 tahun 2004 tentang Wakaf
menyatakan bahwa, “Wakif meliputi perseorangan, organisasi, atau
badan hukum.”
Seseorang yang akan menjadi seorang Wakif harus memenuhi
syarat dewasa, berakal sehat, tidak terhalang melakukan perbuatan
hukum, dan merupakan pemilik sah harta benda wakaf. Syarat ini
bersifat kumulatif, yaitu harus dipenuhi semua. Sehingga apabila ada
salah satu diantara keempat syarat tersebut yang tidak dipenuhi maka
pihak tersebut tidak dapat menjadi Wakif. Syarat-syarat tersebut harus
dipenuhi baik oleh Wakif perseorangan, Wakif organisasi, maupun
Wakif badan hukum.
Untuk menjadi Wakif organisasi atau Wakif badan hukum ada
syarat tambahan lain yaitu harus memenuhi ketentuan organisasi atau
23
badan hukum untuk mewakafkan harta benda wakaf milik organisasi
atau badan hukum sesuai dengan anggaran dasar organisasi/ badan
hukum yang bersangkutan.24
Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi
sengketa di kemudian hari mengenai harta benda wakaf tersebut.
Dalam kaitan ini tidak ada ketentuan yang mengharuskan
seorang Wakif haruslah seorang muslim. Oleh sebab itu, orang
nonmuslim pun dapat melakukan wakaf, sepanjang ia melakukannya
sesuai dengan ketentuan ajaran Islam, dan perundang-undangan yang
berlaku.25
Seorang Wakif dalam melaksanakan wakaf tidak boleh
mendapat paksaan maupun intimidasi dari pihak lain, semua harus
murni karena keinginan dan kemampuan sendiri. Selain itu, harta
benda wakaf khususnya tanah juga harus merupakan milik calon Wakif
secara sah dan tidak sedang dalam sengketa/ perkara, tidak terbebani
segala jenis sitaan, atau tidak dijaminkan.
Dalam melaksanakan wakaf harus ada ikrar wakaf,26
yaitu
pernyataan kehendak Wakif dituangkan dalam bentuk AIW sesuai
dengan jenis harta benda yang diwakafkan, diselenggarakan dalam
Majelis Ikrar Wakaf yang dihadiri oleh Nazhir, Mauquf alaih27
dan
sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi.
Dalam hal Mauquf alaih adalah masyarakat luas (publik), maka
kehadiran Mauquf alaih dalam Majelis lkrar Wakaf tidak disyaratkan.
24
Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 41 tahun 2004 tentang Wakaf. 25
Ahmad Rofiq, “Hukum Islam di Indonesia”, Rajawali Press, Jakarta, 1995, hlm. 494. 26
Pasal 6 huruf d Undang-Undang Nomor 41 tahun 2004 tentang Wakaf. 27
*Mauquf alaih adalah pihak yang ditunjuk untuk memperoleh manfaat dari peruntukan
harta benda wakaf sesuai pernyataan kehendak Wakif yang dituangkan dalam Akta Ikrar Wakaf.
24
Bentuk dan isi ikrar wakaf tersebut telah ditentukan dalam Peraturan
Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam.
Wakif atau ahli warisnya (apabila Wakif telah meninggal)
berhak mendapatkan pemberitahuan apabila diantara Nazhir
perseorangan ada yang berhenti dari kedudukannya oleh sebab
meninggal dunia, berhalangan tetap, mengundurkan diri atau
diberhentikan oleh BWI.
Selain itu, Wakif atau ahli warisnya juga berhak mengusulkan
kepada BWI untuk melakukan pemberhentian dan penggantian Nazhir
apabila Nazhir dalam jangka waktu 1 (satu) tahun tidak melaksanakan
tugas-tugasnya terkait pemberdayaan dan pengelolaan harta benda
wakaf.
b. Nazhir
Sedangkan Nazhir adalah kelompok orang atau badan hukum
yang menerima harta benda wakaf dari Wakif untuk dikelola dan
dikembangkan sesuai dengan peruntukannya.28
Harta benda wakaf
harus didaftarkan atas nama Nazhir untuk kepentingan pihak yang
dimaksud dalam AIW sesuai dengan peruntukannya.
Sama seperti Wakif, Nazhir juga meliputi Nazhir perseorangan,
Nazhir organisasi, atau Nazhir badan hukum29
yang wajib didaftarkan
pada Menteri dan BWI melalui Kantor Urusan Agama setempat.30
Dalam hal tidak terdapat Kantor Urusan Agama setempat, pendaftaran
28
Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 41 tahun 2004 tentang Wakaf. 29
Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor 41 tahun 2004 tentang Wakaf. 30
Pasal 4 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 Tentang Pelaksanaan Undang-
Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf.
25
Nazhir dilakukan melalui Kantor Urusan Agama terdekat, Kantor
Departemen Agama, atau perwakilan Badan Wakaf Indonesia di
provinsi/kabupaten/ kota.31
Untuk kemudian BWI menerbitkan tanda
bukti pendaftaran Nazhir.
Sebagai Nazhir perseorangan, syarat yang harus dipenuhi yaitu
berstatus sebagai warga negara Indonesia, beragama Islam, dewasa,
amanah, mampu secara jasmani dan rohani, serta tidak terhalang
melakukan perbuatan hukum.32
Nazhir perseorangan harus merupakan
suatu kelompok yang terdiri dari paling sedikit 3 (tiga) orang dengan
salah seorang diangkat menjadi ketua.
Untuk Nazhir organisasi, atau Nazhir badan hukum, pengurus
yang bersangkutan harus memenuhi persyaratan Nazhir perseorangan
terlebih dahulu. Kemudian, organisasi atau badan hukum yang
bersangkutan harus bergerak di bidang sosial, pendidikan,
kemasyarakatan, dan/atau keagamaan Islam.
Selanjutnya, salah seorang pengurus organisasi atau badan
hukum harus berdomisili di kabupaten/kota letak benda wakaf berada,
memiliki salinan akta notaris tentang pendirian dan anggaran dasar
organisasi atau badan hukum yang telah disahkan oleh instansi
berwenang, daftar susunan pengurus, anggaran rumah tangga, program
kerja dalam pengembangan wakaf, daftar kekayaan yang berasal dari
harta wakaf yang terpisah dari kekayaan lain atau yang merupakan
31
Pasal 4 Undang-Undang Nomor 41 tahun 2004 tentang Wakaf. 32
Pasal 10 Undang-Undang Nomor 41 tahun 2004 tentang Wakaf.
26
kekayaan organisasi, dan surat pernyataan bersedia untuk diaudit juga
wajib untuk dimiliki oleh organisasi atau badan hukum tersebut.
Masa bakti Nazhir adalah 5 (lima) tahun dan dapat diangkat
kembali. Pengangkatan kembali Nazhir dilakukan oleh BWI, apabila
yang bersangkutan telah melaksanakan tugasnya dengan baik dalam
periode sebelumnya sesuai ketentuan prinsip syariah dan Peraturan
Perundang-undangan.
Nazhir disini mempunyai tugas melakukan pengadministrasian
harta benda wakaf, mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf
sesuai dengan tujuan dan peruntukannya, mengawasi dan melindungi
harta benda wakaf, dan melaporkan pelaksanaan tugas kepada BWI.33
Oleh karena itu Nazhir secara langsung bertanggung jawab penuh atas
pengelolaan wakaf.
Dalam melaksanakan tugasnya, Nazhir memperoleh pembinaan
dari Menteri dan BWI34
, Nazhir juga dapat menerima imbalan dari
hasil bersih atas pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf
yang besarnya tidak melebihi 10% (sepuluh persen). Kewajiban Nazhir
selanjutnya adalah pembuatan laporan secara berkala kepada Menteri
dan BWI mengenai kegiatan perwakafan.
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf telah
berusaha memaksimalkan fungsi Nazhir agar dapat melaksanakan
tugas dan tanggung jawabnya yaitu melalui cara pengadaan pembinaan
dari Menteri dan Badan Wakaf Indonesia kepada Nazhir.
33
Pasal 11 Undang-Undang Nomor 41 tahun 2004 tentang Wakaf. 34
Pasal 13 Undang-Undang Nomor 41 tahun 2004 tentang Wakaf.
27
Dalam mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf,
Nazhir dapat diberhentikan dan diganti dengan Nazhir lain apabila
Nazhir perseorangan yang bersangkutan meninggal dunia; atas
permintaan sendiri; tidak melaksanakan tugasnya sebagai Nazhir;
dan/atau melanggar ketentuan larangan dalam pengelolaan dan
pengembangan harta benda wakaf sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, dan dijatuhi hukuman pidana oleh
pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
Sedangkan Nazhir organisasi bubar atau dibubarkan sesuai
dengan ketentuan Anggaran Dasar organisasi yang bersangkutan dan
apabila salah seorang Nazhir yang diangkat oleh Nazhir organisasi
meninggal, mengundurkan diri, berhalangan tetap dan/atau dibatalkan
kedudukannya sebagai Nazhir, maka Nazhir yang bersangkutan harus
diganti. Begitu juga ketentuan mengenai Nazhir badan hukum.
c. Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW).
Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 41 tahun 2004 tentang
Wakaf menyatakan bahwa, “Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf atau
biasa disebut PPAIW adalah pejabat berwenang yang ditetapkan oleh
Menteri untuk membuat akta ikrar wakaf.” PPAIW harta benda wakaf
tidak bergerak berupa tanah adalah Kepala KUA dan/atau pejabat yang
menyelenggarakan urusan wakaf. 35
Kepala Kantor Urusan Agama yang selanjutnya disingkat
dengan Kepala KUA adalah pejabat Departemen Agama yang
35
Pasal 37 Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 Tentang Pelaksanaan Undang-
Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf.
28
membidangi urusan agama Islam di tingkat kecamatan.36
PPAIW
memiliki tugas untuk menerima surat dan/atau bukti kepemilikan atas
harta benda wakaf dan meneliti kelengkapan persyaratan administrasi
perwakafan dan keadaan fisik benda wakaf sebagai syarat awal
perwakafan dapat dilaksanakan.
Setelah semua syarat terpenuhi maka ikrar wakaf dapat
dilaksanakan dan PPAIW menjadi penanggung jawab atas
berlangsungnya ikrar wakaf baik secara lisan dan/atau tulisan yang
dilakukan oleh Wakif dihadapannya dan disaksikan oleh 2 orang saksi.
PPAIW kemudian menuangkan ikrar wakaf tersebut ke dalam AIW.
Tugas PPAIW tidak hanya sampai disitu, setelah ikrar wakaf
terlaksana dan telah terbit AIW, PPAIW atas nama Nazhir
mendaftarkan harta benda wakaf kepada Instansi yang berwenang
paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak AIW ditandatangani. Instansi
yang berwenang dalam hal perwakafan tanah adalah Badan Pertanahan
Nasional. Pada saat pendaftaran harta benda wakaf tersebut, PPAIW
menyerahkan salinan AIW dan surat-surat dan/atau bukti-bukti
kepemilikan dan dokumen terkait lainnya. Selanjutnya bukti
pendaftaran harta benda wakaf disampaikan oleh PPAIW kepada
Nazhir.
d. Saksi-Saksi.
Dalam perwakafan tanah, saksi bertugas untuk menyaksikan
pelaksanakan ikrar wakaf dan dalam suatu ikrar wakaf dibutuhkan 2
36
Pasal 1 angka 12 Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 Tentang Pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf.
29
(dua) orang saksi yang nama dan identitasnya akan dimuat didalam
AIW. Saksi disini harus memenuhi persyaratan yaitu dewasa,
beragama Islam, berakal sehat, dan tidak terhalang melakukan
perbuatan hukum,37
saksi juga berhak menandatangani AIW tersebut.
Keharusan adanya saksi dalam ikrar wakaf dimaksudkan sebagai
jaminan dan perlindungan hukum terhadap perwakafan tanah.
e. Badan Wakaf Indonesia (BWI)
Sebagai lembaga independen, Badan Wakaf Indonesia
memiliki tanggung jawab untuk mengembangkan perwakafan di
Indonesia. Pasal 49 Undang-Undang Nomor 41 tahun 2004 tentang
Wakaf menyatakan bahwa,
“BWI mempunyai tugas dan wewenang untuk melakukan pembinaan
terhadap Nazhir dalam mengelola dan mengembangkan harta benda
wakaf, melakukan pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf
berskala nasional dan internasional, memberikan persetujuan dan/atau
izin atas perubahan peruntukan dan status harta benda wakaf,
memberhentikan dan mengganti Nazhir, memberikan persetujuan atas
penukaran harta benda wakaf, serta memberikan saran dan
pertimbangan kepada Pemerintah dalam penyusunan kebijakan di
bidang perwakafan.”
Terkait dengan persetujuan atas penukaran harta benda wakaf,
BWI harus menyampaikan kepada Menteri untuk memberikan izin
tertulis atas penukaran harta benda wakaf tersebut dan dalam hal ini
BWI dapat bekerja sama dengan instansi Pemerintah baik pusat
maupun daerah, organisasi masyarakat, para ahli, badan internasional
dan pihak lain yang dipandang perlu.38
37
Pasal 20 Undang-Undang Nomor 41 tahun 2004 tentang Wakaf. 38
Pasal 2 ayat (2) Peraturan Badan Wakaf Indonesia Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur
Penyusunan Rekomendasi Terhadap Permohonan Penukaran/Perubahan Status Harta Benda
Wakaf.
30
Perubahan peruntukan harta benda wakaf dilakukan apabila
ternyata diketahui bahwa harta benda wakaf tersebut tidak dapat
dipergunakan sesuai dengan peruntukan yang dinyatakan dalam ikrar
wakaf.
Jumlah anggota BWI terdiri dari paling sedikit 20 (dua puluh)
orang dan paling banyak 30 (tiga puluh) orang yang berasal dari unsur
masyarakat.
Untuk dapat diangkat menjadi anggota Badan Wakaf
Indonesia, setiap calon anggota harus memenuhi persyaratan sebagai
warga negara Indonesia, beragama Islam, dewasa, amanah, mampu
secara jasmani dan rohani, tidak terhalang melakukan perbuatan
hukum, memiliki pengetahuan, kemampuan, dan/atau pengalaman di
bidang perwakafan dan/atau ekonomi, khususnya di bidang ekonomi
syariah, dan mempunyai komitmen yang tinggi untuk mengembangkan
perwakafan nasional.39
5. Tata Cara Perwakafan Tanah
Tata cara perwakafan tanah harus dilakukan dengan hati-hati dan
urut sesuai dengan tahapan yang ada karena hal-hal yang menyangkut
dengan tanah secara khusus memang perlu diberi perhatian lebih. Tata cara
perwakafan tanah jika dibuat alur bagan adalah sebagai berikut:
39
Pasal 54 Undang-Undang Nomor 41 tahun 2004 tentang Wakaf.
31
Bagan 1.2 Tahap Terwakafan Tanah Berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan
1. Pihak yang hendak mewakafkan harus memenuhi syarat sebagai wakif, yaitu dewasa,
berakal sehat, tidak terhalang melakukan perbuatan hukum, dan merupakan pemilik sah harta
benda wakaf. (Pasal 8 jo. Pasal 15 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang
Wakaf).
5. Wakif menyerahkan bukti kepemilikan atas harta benda yang diwakafkan kepada PPAIW
(Pasal 19 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf) berupa:
- sertifikat hak milik atau tanda bukti pemilikan tanah.
- surat keterangan dari Kepala Desa yang diperkuat oleh Kepala Kecamatan yang menerangkan
kebenaran pemilikan tanah dan tidak tersangkut sengketa.
- surat keterangan pendaftaran tanah.
- izin dari Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah cq. Kepala Sub Direktorat Agraria setempat.
(Pasal 9 Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik).
6. BPN/Kantor Pertanahan sebagai instansi yang berwenang melakukan pengecekan dan
mengeluarkan surat keterangan yang menyatakan harta benda wakaf tersebut tidak dalam
sengketa/ perkara, tidak terbebani segala jenis sitaan, atau tidak dijaminkan. (Pasal 5
Peraturan Menteri Agama Nomor 73 Tahun 2013 tentang Tata Cara Perwakafan Benda
Tidak Bergerak dan Benda Bergerak Selain Uang).
2. Wakif menunjuk Nazhir yang akan diserahi tugas pemeliharaan dan pengelolaan/pengurusan
sesuai dengan memenuhi persyaratan yaitu, berstatus sebagai warga negara Indonesia,
beragama Islam, dewasa, amanah, mampu secara jasmani dan rohani, serta tidak terhalang
melakukan perbuatan hukum. (Pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006
Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf jo. Pasal
10 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf).
3. Nazhir tersebut disahkan oleh KUA ditandai adanya Surat Pengesahan Nazhir. (Pasal 2 ayat
(4) Peraturan Badan Wakaf Indonesia Nomor 3 Tahun 2008 tentang Tata Cara
Pendaftaran dan Penggantian Nazhir Harta Benda Wakaf Tidak Bergerak Berupa
Tanah).
4. Nazhir harus terdaftar pada Menteri serta BWI melalui KUA ditandai dengan adanya Surat
Tanda Bukti Pendaftaran Nazhir. (Pasal 4 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun
2006 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf jo.
Pasal 2 angka 1 Peraturan Badan Wakaf Indonesia Nomor 3 Tahun 2008 tentang Tata
Cara Pendaftaran dan Penggantian Nazhir Harta Benda Wakaf Tidak Bergerak Berupa
Tanah).
32
Tata cara wakaf tanah ini saling berkaitan dan berkelanjutan, dalam
arti tahap yang satu akan menghasilkan satu kewajiban selanjutnya,
7. Nazhir yang sudah terdafttar pada Menteri dan BWI mendapatkan pembinaan. (Pasal 13 jo.
Pasal 14 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf). Pembinaan tersebut
berupa:
a. penyiapan sarana dan prasarana penunjang oprasional Nazhir wakaf baik perseorangan,
organisasi dan badan hukum;
b. penyusunan regulasi, pemberian motivasi, pemberian fasilitas, pengkoordinasian,
pemberdayaan dan pengembangan terhadap harta benda wakaf;
c. penyediaan fasilitas proses sertifikasi Wakaf;
d. penyiapan dan pengadaan blanko-blanko akta ikrar wakaf, baik wakaf benda tidak
bergerak dan/atau benda bergerak;
e. penyiapan tenaga-tenaga penyuluh penerangan di daerah-daerah untuk melakukan
pembinaan dan pengembangan wakaf kepada para Nazhir sesuai dengan lingkupnya; dan
f. pemberian fasilitas masuknya dana-dana wakaf dari dalam dan luar negeri dalam
pengembangan dan pemberdayaan wakaf. (Pasal 53 Peraturan Pemerintah Nomor 42
Tahun 2006 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang
Wakaf).
8. Wakif menyampaikan ikrar wakaf (bisa secara lisan ataupun tertulis) kepada Nazhir di
hadapan PPAIW dan 2 (dua) saksi. (Pasal 17 ayat (1) Undang-Undang Nomor 41 Tahun
2004 tentang Wakaf).
9. Ikrar wakaf dituangkan ke dalam Akta Ikrar Wakaf (AIW) oleh PPAIW. (Pasal 17 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf).
10. PPAIW mendaftarkan harta benda wakaf atas nama Nazhir ke BPN/ Kantor Pertanahan
maksimal 7 (tujuh) hari sejak AIW ditandatangani. (Pasal 32 Undang-Undang Nomor 41
Tahun 2004 tentang Wakaf).
11. BPN/ Kantor Pertanahan kemudian menerbitkan tanda bukti pendaftaran harta benda
wakaf yang kemudian disampaikan PPAIW kepada Nazhir. (Pasal 34 jo. Pasal 35 Undang-
Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf).
12. Nazhir melakukan pelaporan pelaksanaan wakaf kepada Menteri dan BWI. (Pasal 11
huruf d Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf jo. Pasal 13 ayat (2)
Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang
Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf).
33
sehingga jika ada salah satu tahap yang terlewati maka akan
mengakibatkan tidak terlaksananya kewajiban yang lainnya.
6. Potensi Wakaf Tanah Di Indonesia
Berdasarkan data yang dilansir oleh The Pew Forum on Religion &
Public Life, Indonesia adalah salah satu negara dengan jumlah penduduk
muslim terbesar dunia. Hal ini memberi pengaruh besar terhadap eksistensi
wakaf di Indonesia dan menjadi dasar alasan mengapa jumlah tanah wakaf
di Indonesia dapat terus meningkat setiap tahunnya. Perkembangan aturan
perundang-undangan wakaf juga sejalan dengan dinamika perkembangan
dan pengelolaan wakaf di lapangan.40
Dengan adanya kesinambungan
tersebut, potensi dari tanah wakaf yang sudah tersedia harus
dikembangkan lagi dengan harapan agar manfaatnya dapat dirasakan
secara maksimal.
Tingginya jumlah tanah wakaf di Indonesia membuahkan potensi
untuk membantu peningkatan perekonomian umat jika dikelola dengan
benar. Itu karena wakaf tersebut dapat di upayakan menjadi wakaf
produktif.
Wakaf produktif itu sendiri adalah suatu konsep pemanfaatan harta
benda wakaf untuk kegiatan produksi agar dapat digunakan sebagai
sumber dana berkelanjutan yang hasilnya tetap akan digunakan untuk
memenuhi tujuan yang tercantum dalam ikrar wakaf, hal ini sesuai dengan
Penjelasan Pasal 43 ayat (2) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004
tentang Wakaf menyatakan bahwa,
40
Yulia Mirwati, op.cit., hlm. 19.
34
“Pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf dilakukan secara
produktif antara lain dengan cara pengumpulan, investasi, penanaman
modal, produksi, kemitraan, perdagangan, agrobisnis, pertambangan,
perindustrian, pengembangan teknologi, pembangunan gedung, apartemen,
rumah susun, pasar swalayan, pertokoan, perkantoran, sarana pendidikan
ataupun sarana kesehatan, dan usaha-usaha yang tidak bertentangan
dengan syariah. Yang dimaksud dengan lembaga penjamin syariah adalah
badan hukum yang menyelenggarakan kegiatan penjaminan atas suatu
kegiatan usaha yang dapat dilakukan antara lain melalui skim asuransi
syariah atau skim lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.”
Akan tetapi pada pelaksanaanya tidak semudah itu, peningkatan
jumlah tanah wakaf tiap tahunnya tidak sebanding dengan meningkatnya
pemanfaaatan tanah wakaf tersebut secara produktif. Sehingga banyak
tanah wakaf di Indonesia yang sebenarnya berpotensi untuk
mengembangkan perekonomian menjadi kurang produktif atau bahkan
tidak produktif karena tidak dimanfaatkan secara maksimal.
Pemanfaatan potensi wakaf dan kesuksesan pelaksanaan wakaf
secara berkelanjutan berkaitan erat dengan pihak yang perperan dalam
pengelolaannya dan juga cara pengelolaannya itu sendiri. Oleh karena itu
wakaf tanah yang telah dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-
undangan tidak menjamin bahwa tujuan dari wakaf tersebut akan
terlaksana sesuai kehendak Wakif.
Agar tujuan wakaf dapat terlaksana sesuai kehendak Wakif,
diperlukan upaya untuk memproduktifkan harta benda wakaf dan kehati-
hatian dalam pelaksanaannya supaya harta benda wakaf tersebut tetap
terpelihara. Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah adalah dengan
mengadakan pembinaan.
35
Pembinaan dari BWI dan Menteri akan mencetak Nazhir yang
bersertifikasi, namun belum tentu menghasilkan Nazhir profesional yang
sesuai dengan klasifikasi dan juga kompeten. Hal ini terjadi karena
meskipun pemerintah telah mengadakan pembinaan, dalam praktiknya
masih banyak Nazhir yang tidak mendapat pembinaan dan hanya
mendapatkan surat pengesahan dari KUA saja.
Selain masalah pembinaan dari pemerintah yang tidak terlaksana
dengan baik, adanya pembinaan saja juga tidak dapat dijadikan tolok ukur
tingkat profesionalitas dan jaminan kualitas seorang Nazhir, mengingat
tanggung jawabnya yang begitu besar, yaitu terkait dengat pengelolaan
suatu harta benda wakaf yang harusnya dapat meningkatkan kesejahteraan
umat. Untuk memastikan Nazhir dapat melaksanakan tanggung jawabnya
dengan baik, seharusnya pembinaan dilakukan secara rutin dan disertai
dengan adanya uji kompetensi agar kualitas Nazhir senantiasa terjaga.
Nazhir profesional yang diharapkan disini adalah Nazhir yang
dapat memanfaatkan harta benda wakaf secara produktif sehingga
kehendak Wakif dapat tercapai agar potensi akan suatu tanah wakaf dapat
dimaksimalkan. Banyaknya jumlah tanah wakaf yang ada harus diimbangi
dengan kemampuan pengelolaan Nazhir agar harta benda tersebut tidak
menjadi sia-sia.
Dengan diawali dengan Nazhir yang profesional, pengembangan
potensi wakaf tanah di Indonesia akan menjadi lebih mudah dilaksanakan
dan akan berdampak pada minimnya sengketa tanah wakaf yang bisa saja
timbul di kemudian hari.
36
B. Hasil Penelitian
1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian
a. Lokasi Penelitian
Kelurahan Wonokarto, Wonoboyo, dan Giritirto ini terletak di
Kecamatan Wonogiri. Sebagai Ibukota Kabupaten Wonogiri,
Kecamatan Wonogiri memiliki luas wilayah seluas 8.292,36Ha.
Kecamatan Wonogiri menjadi pusat perekonomian masyarakat,
hal ini didukung dengan semakin banyak berdirinya pusat-pusat
perbelanjaan, kantor-kantor perbankan, toko-toko besar, pasar,
penginapan, perguruan tinggi, tempat wisata dan pabrik41
dengan
jumlah populasi penduduk mencapai 86.802 jiwa yang terbagi dalam 6
kelurahan dan 9 desa. Pada ketiga lokasi tersebut akan dijelaskan lagi
sebagai berikut:
1) Kelurahan Wonokarto
Kelurahan Wonokarto merupakan salah satu wilayah di
Kecamatan Wonogiri yang memiliki luas 116,5Ha, terdiri dari 4
(empat) lingkungan yaitu Lingkungan Wonokarto Selatan,
Wonokarto Tengah, Wonokarto Barat, dan Wonokarto Utara
dengan rekapitulasi jumlah penduduk berdasarkan agama sebagai
berikut:
Agama Islam: 5.772 jiwa;
Agama Katholik: 373 jiwa;
41
Kang Ulis, “Profil Kecamatan Wonogiri Kabupaten Wonogiri”, Buku Pintar Kabupaten
Wonogiri, 2013, diakses melalui
https://bukupintarkabupatenwonogiri.blogspot.com/2013/02/profil-kecamatan-wonogiri-
kabupaten.html
37
Agama Kristen: 585 jiwa;
Agama Budha 3 jiwa; dan
Agama Hindu 6 jiwa.42
2) Kelurahan Wonoboyo
Kelurahan Wonoboyo merupakan salah satu wilayah di
Kecamatan Wonogiri yang memiliki luas 269.75Ha, terdiri dari 3
(tiga) lingkungan yaitu Lingkungan Pokoh, Jatirejo, dan Banaran
dengan rekapitulasi jumlah penduduk berdasarkan agama sebagai
berikut:
Agama Islam: 6.251 jiwa;
Agama Katholik: 425 jiwa;
Agama Kristen: 401 jiwa;
Agama Budha 38 jiwa; dan
Agama Hindu 5 jiwa.43
3) Kelurahan Giritirto
Kelurahan Giritirto merupakan salah satu wilayah di
Kecamatan Wonogiri yang memiliki luas 65Ha, terdiri dari 4
(empat) lingkungan yaitu Lingkungan Lingkungan Bauresan,
Cubluk, Kaloran, dan Sukorejo dengan rekapitulasi jumlah
penduduk berdasarkan agama sebagai berikut:
Agama Islam: 9.389 jiwa;
42
Heri Nugroho (Wonogiri), “Rekapitulasi Jumlah Penduduk Menurut Agama, Status,
Kesehatan, Keluarga Berencana Dan Penderita Cacat Kecamatan Wonogiri”, Badan Perencanaan
Pembangunan Daerah dan Penelitian dan Pengembangan Kabupaten Wonogiri, 2017, diakses
melalui http://sidita.bappedawng.info/public/download/detail/116 43
Ibid.
38
Agama Katholik: 460 jiwa;
Agama Kristen: 669 jiwa;
Agama Budha 34 jiwa; dan
Agama Hindu 4 jiwa.44
b. Jumlah Tanah Wakaf
Dengan jumlah penduduk yang mayoritas beragama Islam serta
luas wilayahnya yang mencapai 8.292,36Ha tersebut, 5,1Ha diantaranya
adalah tanah wakaf. Tanah tersebut terbagi di 157 lokasi, dengan detail
jumlah tanah wakaf di Kecamatan Wonogiri sebagai berikut:
Tabel 2.1 Jumlah Tanah Wakaf Kecamatan Wonogiri
No. Nama Kelurahan atau Desa Jumlah lokasi Luas (m2)
1. Kelurahan Giripurwo 20 8.048
2. Kelurahan Giritirto 8 1.018
3. Kelurahan Giriwono 13 5.183
4. Kelurahan Wonoboyo 15 7.956
5. Kelurahan Wonokarto 7 2.212
6. Kelurahan Wuryorejo 7 1.288
7. Desa Bulusulur 12 4.196
8. Desa Manjung 14 3.151
9. Desa Pokoh Kidul 8 1.385
10. Desa Purworejo 9 1.212
11. Desa Purwosari 8 1.385
12. Desa Sendang 4 584
13. Desa Sonoharjo 11 2.682
14. Desa Wonoharjo 14 6.610
15. Desa Wonokerto 7 3.346
Jumlah 157 lokasi 51.069m2
Sumber : Kantor Urusan Agama Kecamatan Wonogiri per tanggal 29 Maret 2018.
Dari ketiga kelurahan yang dipilih untuk menjadi lokasi
penelitian, berikut ini adalah banyaknya jumlah lokasi tanah wakaf di
ketiga kelurahan tersebut, yakni di Kelurahan Wonokarto yang terbagi
dalam 7 (tujuh) lokasi tanah wakaf dengan total luas keseluruhan
44
Ibid.
39
mencapai 2.212m2, selanjutnya pada Kelurahan Wonoboyo ada 15
(lima belas) lokasi tanah wakaf yang luasnya mencapai 7.956m2, dan
yang terakhir adalah Kelurahan Giritirto dengan total keseluruhan luas
mencapai 1.018m2
yang terbagi dalam 8 (delapan) lokasi.
Mengingat luasnya wilayah di Kecamatan Wonogiri dan juga
banyaknya praktik perwakafan tanah yang terjadi, maka Penulis dalam
hal ini hanya mengambil 3 (tiga) lokasi penelitian yang merupakan
bagian dari praktik perwakafan tanah di Kecamatan Wonogiri.
2. Perwakafan Tanah Di Kecamatan Wonogiri
a. Kelurahan Wonokarto
Perwakafan tanah ini dilakukan oleh Ibu Siti Nurhayati yang
merupakan seorang bidan di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD)
Wonogiri. Beliau juga memiliki klinik yang cukup besar di Wonogiri,
suaminya adalah seorang Pensiunan Pemerintahan Daerah Wonogiri,
yaitu Bapak Sriyono.
Ibu Siti Nurhayati memiliki 3 (tiga) orang anak. Putranya yang
pertama adalah mantan Pegawai Negeri Sipil, namun setelah 5 (lima)
tahun bekerja menjadi Pegawai Negeri Sipil beliau mengundurkan diri
dan sekarang bekerja di Perusahaan Swasta. Putrinya yang kedua
bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil di Rumah Sakit Umum Daerah
(RSUD) Wonogiri dan putrinya yang terakhir merupakan seorang
Dosen Arsitek di Universitas Islam Indonesia Yogyakarta. 45
45
Wawancara dengan Bapak Sriyono selaku Suami dari Ibu Siti Nurhayati (Wakif pada
praktik perwakafan tanah di Kelurahan Wonokarto) pada 25 Maret 2019 di Wonogiri.
40
Ibu Siti Nurhayati sebagai pemilik tanah yang terletak di Jalan
Nakula I, RT:01, RW:02, Kelurahan Wonokarto ini mewakafkan tanah
tersebut dengan AIW Kecamatan Wonogiri Nomor: W.2/ 24/03/2016
tanggal 16 Februari 2016.
Tanah yang berlokasi di dekat jalan raya Wonogiri - Solo ini
merupakan tanah dengan status hak milik. Melihat letak tanah yang
cukup strategis ini, Ibu Siti Nurhayati selaku pemilik tanah tergerak
hatinya dan memutuskan untuk mewakafkan tanahnya menjadi sebuah
tempat ibadah yaitu Musholla.
Dalam perwakafan tanah ini, Ibu Siti Nurhayati tidak
mewakafkan keseluruhan tanahnya, melainkan hanya sebagian saja,
yaitu yang seluas 49m2. Terhadap tanah hak milik yang di wakafkan
hanya sebagian dari luas keseluruhan, untuk pendaftarannya harus
dilakukan pemecahan sertifikat hak milik terlebih dahulu baru
kemudian didaftarkan menjadi tanah wakaf atas nama Nazhir.
Cara yang ditempuh Ibu Siti Nurhayati dalam mewakafkan
tanahnya diawali dengan melakukan musyawarah keluarga dan
meminta ijin terutama kepada suaminya yaitu Bapak Sriyono. Setelah
musyarawah keluarga selesai, Ibu Siti Nurhayati bersama suaminya
menunjuk beberapa orang yang diberi amanah dalam mengurus
perwakafan ini. 46
Pihak yang ditunjuk ini otomatis bertanggung jawab sebagai
Nazhir, yaitu Alm. Bapak Poerwanto sebagai ketua, Bapak Tris
46
Wawancara dengan Ibu Siti Nurhayati selaku Wakif pada praktik perwakafan tanah di
Kelurahan Wonokarto, dilakukan pada 5 April 2018 di Wonogiri.
41
Arianto sebagai sekretaris, Bapak Sutarwo sebagai bendahara, serta
Bapak Suharno dan Bapak Kiswanto sebagai anggota.
Setelah melakukan penunjukan, Ibu Siti Nurhayati melakukan
penyerahan identitas serta menyerahkan surat dan/atau bukti
kepemilikan atas tanah tersebut kepada Pejabat Pembuat Akta Ikrar
Wakaf (PPAIW) untuk membuktikan bahwa tanah tersebut memang
tanah yang “bersih”, BPN sebagai instansi yang berwenang akan
mengeluarkan Surat Keterangan sebagai tanda buktinya.
Selanjutnya, Ibu Siti Nurhayati juga harus meminta surat
keterangan mengenai tanah miliknya tersebut kepada Kepala Desa
yang diperkuat oleh Kepala Kecamatan untuk kemudian menyerahkan
surat dan/atau bukti kepemilikan atas tanah tersebut kepada Pejabat
Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW).
Ibu Siti Nurhayati wajib memenuhi syarat-syarat sebagai wakif
yaitu dewasa, berakal sehat, tidak terhalang melakukan perbuatan
hukum, dan merupakan pemilik sah harta benda wakaf. Pencantuman
secara terperinci syarat-syarat ini dimaksudkan untuk menghindari
tidak sahnya perbuatan mewakafkan, baik karena adanya faktor intern
(cacat atau kurang sempurna cara berfikir) maupun faktor ekstern
karena merasa dipaksa orang lain.
Perlu diketahui bahwa Nazhir yang ditunjuk Ibu Siti Nurhayati
tersebut merupakan beberapa orang yang bertempat tinggal di RT 01
Kelurahan Wonokarto (tempat harta benda wakaf berada) dan
merupakan Nazhir perseorangan.
42
Nazhir perseorangan tersebut kemudian menyiapkan identitas
diri berupa foto copy KTP yang telah dilegalisir oleh kepala kelurahan
setempat untuk diserahkan kepada KUA yang kemudian disahkan dan
ditandai dengan diterbitkannya Surat Pengesahan Nazhir.
Setelah Surat Pengesahan Nazhir terbit, tahap selanjutnya
adalah pendaftaran Nazhir ke Menteri dan Badan Wakaf Indonesia
yang dilakukan oleh KUA setempat.47
Namun berdasarkan hasil
wawancara dengan Ibu Dian selaku pegawai KUA Kecamatan
Wonogiri bagian Perwakafan, beliau menyatakan bahwa pihak KUA
hanya menerima data-data terkait identitas diri Nazhir untuk kemudian
disahkan dan dimasukkan di dalam AIW, sehingga tidak ada
pendaftaran lebih lanjut kepada Menteri ataupun BWI. 48
Meskipun Nazhir hanya mengantongi Surat Pengesahan Nazhir
dari KUA dan tidak memiliki Surat Tanda Bukti Pendaftaran Nazhir
dari Menteri dan BWI, praktik perwakafan ini tetap dilaksanakan.
Tahap selanjutnya adalah pelaksanaan ikrar wakaf oleh Ibu Siti
Nurhayati. Beliau menyampaikan ikrar wakaf kepada Nazhir secara
lisan yang dilakukan di hadapan PPAIW yaitu Bapak Andi Firmansyah
dengan disaksikan oleh 2 (dua) orang saksi. Ikrar wakaf tersebut
kemudian dituangkan secara tertulis dalam AIW oleh PPAIW
Ikrar wakaf tersebut kemudian dituangkan secara tertulis ke
dalam AIW oleh PPAIW untuk kemudian ditandatangani oleh Wakif,
47
Pasal 4 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 Tentang Pelaksanaan Undang-
Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf. 48
Wawancara dengan Ibu Dian selaku Pegawai Kantor Urusan Agama Kecamatan Wonogiri
bagian Perwakafan, dilakukan pada 5 April 2018 di Kantor Urusan Agama Kecamatan Wonogiri.
43
Nazhir, 2 (dua) orang saksi, dan/atau Mauquf „alaih (jika ada),
kemudian disahkan oleh PPAIW.49
Nazhir di sini mempunyai tugas untuk melakukan
pengadministrasian harta benda wakaf, mengelola dan
mengembangkan harta benda wakaf sesuai dengan tujuan dan
peruntukannya, mengawasi dan melindungi harta benda wakaf, dan
melaporkan pelaksanaan tugas kepada BWI.50
Dalam melaksanakan tugasnya, Nazhir memperoleh pembinaan
dari Menteri dan BWI.51
Akan tetapi, berdasarkan hasil wawancara
dengan bendahara Nazhir perseorangan dalam perwakafan ini yaitu
Bapak Sutarwo, beliau mengemukakan bahwa para Nazhir tidak
pernah mendapat pembinaan, baik dari Menteri, BWI maupun KUA.52
Di waktu dan tempat wawancara yang berbeda, Ibu Dian juga
menambahkan bahwa dari pihak KUA memang tidak melakukan
pembinaan dalam bentuk apapun kepada Nazhir.53
Hal ini semakin memperkuat bukti bahwa memang dari KUA
tidak melakukan pendaftaran lebih lanjut pada Menteri maupun BWI,
oleh karena itu tidak ada pembinaan bagi para Nazhir. Ibu Dian juga
menjelaskan bahwa memang tidak pernah ada pendaftaran lanjutan
49
Pasal 20 angka 1 Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 73 Tahun 2013
tentang Tata Cara Perwakafan Benda Tidak Bergerak dan Benda Bergerak selain Uang. 50
Pasal 11 Undang-Undang Nomor 41 tahun 2004 tentang Wakaf. 51
Pasal 13 Undang-Undang Nomor 41 tahun 2004 tentang Wakaf. 52
Wawancara dengan Bapak Sutarwo selaku Nazhir pada praktik perwakafan tanah di
Kelurahan Wonogiri, dilakukan pada 10 April 2018 di Wonogiri. 53
Wawancara dengan Ibu Dian selaku Pegawai Kantor Urusan Agama Kecamatan Wonogiri
bagian Perwakafan, dilakukan pada 5 April 2018 di Wonogiri.
44
dari KUA ke Menteri maupun BWI.54
Padahal jika telah terdaftar di
Menteri dan BWI maka Nazhir akan mendapat Surat Tanda Bukti
Pendaftaran Nazhir yang digunakan sebagai syarat untuk mendapatkan
pembinaan dari Menteri dan BWI.
Bapak Sutarwo menyatakan bahwa dalam perwakafan ini baik
beliau maupun Nazhir yang lain tidak pernah melakukan pelaporan
tugas kepada BWI atau bahkan ke KUA.55
Hal ini sangat mungkin
terjadi mengingat tidak adanya pembinaan dari Menteri maupun BWI
kepada Nazhir ini dan juga minimnya pengetahuan mendalam
mengenai perwakafan tanah.
Dalam praktik perwakafan ini, ketua Nazhir yaitu Bapak
Poerwanto meninggal dunia beberapa waktu setelah perwakafan
dilakukan. Namun dalam perwakafan ini tidak ada satupun dari
keempat Nazhir yang tersisa yang melakukan pelaporan ke KUA
mengenai meninggalnya ketua Nazhir ini sehingga tidak ada Nazhir
pengganti. Bapak Kiswanto selaku anggota Nazhir perorangan
mengakui bahwa beliau tidak mengetahui apabila ada kewajiban untuk
melakukan pelaporan ke KUA ketika ada Nazhir yang meninggal,
sehingga memang dibiarkan berlalu begitu saja.56
Selanjutnya, dalam perwakafan ini terdapat tambahan tanah
seluas 14m2
yang juga dibangun menjadi bagian dari Musholla, akan
54
Wawancara dengan Ibu Dian selaku Pegawai Kantor Urusan Agama Kecamatan Wonogiri
bagian Perwakafan, dilakukan pada 5 April 2018 di Wonogiri. 55
Wawancara dengan Bapak Sutarwo selaku Nazhir pada praktik perwakafan tanah di
Kelurahan Wonogiri, dilakukan pada 10 April 2018 di Wonogiri. 56
Wawancara dengan Bapak Kiswanto selaku Nazhir pada praktik perwakafan tanah di
Kelurahan Wonogiri, dilakukan pada 14 April 2018 di Wonogiri.
45
tetapi pada tambahan tanah ini tidak dilakukan proses perwakafan
sebagaimana yang tercantum dalam undang-undang. Ibu Sri Suyanti
selaku pemilik tanah menyerahkan tanahnya untuk diwakafkan hanya
dengan bukti surat yang dikeluarkan dan dibuat oleh Nazhir yang
isinya menyatakan bahwa tanah seluas 14m2
tersebut telah
diwakafkan.57
b. Kelurahan Wonoboyo
Selanjutnya adalah praktik perwakafan tanah yang terletak di
Kelurahan Wonoboyo, yang tepatnya berlokasi di Banaran RT;02,
RW:11 dengan tujuan pemanfaatan tanah wakaf menjadi Masjid dan
Pendidikan Islam (Madrasah).
Ibu Sujatmi adalah pemilik tanah pekarangan seluas 467m2
ini.
Ketika diwawancarai, Ibu Sujatmi ini terkesan sangat tertutup dan
sedikit bicara, sehingga identitas pribadinya tidak dapat diketahui
secara jelas.
Beliau memutuskan untuk mewakafkan tanah tersebut karena
ingin mendatangkan manfaat bagi masyarakat sekitar.58
Meskipun
tanah ini terletak di Kelurahan Wonoboyo, Kecamatan Wonogiri, Ibu
Sujatmi ini tidak berdomisili di kelurahan setempat, akan tetapi di
Jalan Tirto Sari No. 32 RT:01 RW:06, Sriwedari, Laweyan, Surakarta.
Cara yang ditempuh Ibu Sujatmi dalam mewakafkan tanahnya
adalah dengan memenuhi syarat sebagai Wakif, setelah itu beliau
57
Wawancara dengan Bapak Sutarwo selaku Nazhir pada praktik perwakafan tanah di
Kelurahan Wonogiri, dilakukan pada 10 April 2018 di Wonogiri. 58
Wawancara dengan Ibu Sujatmi selaku Wakif pada praktik perwakafan tanah di Kelurahan
Wonoboyo, dilakukan pada 7 April 2018 di Surakarta.
46
menyerahkan surat dan/atau bukti kepemilikan atas harta benda wakaf
yang berupa sertifikat Hak Milik dengan Nomor: 03663 tersebut
kepada PPAIW59
untuk kemudian menunggu BPN melakukan proses
pengecekan tanah dan memastikan bahwa tanah tersebut tidak dalam
sengketa/ perkara, tidak terbebani segala jenis sitaan, atau tidak
dijaminkan60
yang ditandai dengan diterbitkannya Surat Keterangan
oleh BPN.
Meskipun Ibu Sujatmi telah melaksanakan kewajibannya
dengan menyerahkan bukti kepemilikan tanahnya kepada PPAIW
untuk dilakukan pengecekan, namun perwakafan tanah ini
dilaksanakan tanpa adanya surat keterangan dari BPN. Penulis tidak
menemukan adanya Surat Keterangan tersebut ketika melakukan
penelitian di KUA, melainkan Penulis malah menemukan adanya surat
permohonan dispensasi yang dikeluarkan KUA dengan tembusan
kepada Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Wonogiri.
Selanjutnya, Ibu Sujatmi menunjuk Nazhir badan hukum yaitu
Yayasan Ishlah Al-Hukumah Wonogiri dengan Akta Pendirian
Yayasan Nomor: AHU-2258.AH.01.04 Tahun 2009 tanggal 22 Juli
2009 yang diketuai oleh Bapak Joko Widodo. Sebelumnya, Bapak
Joko Widodo sebagai pengurus dari Yayasan Ishlah Al-Hukumah
Wonogiri harus memenuhi persyaratan sebagai Nazhir perseorangan
terlebih dahulu, yaitu yaitu berstatus sebagai warga negara Indonesia,
59
Wawancara dengan Ibu Sujatmi selaku Wakif pada praktik perwakafan tanah di Kelurahan
Wonoboyo, dilakukan pada 7 April 2018 di Surakarta. 60
Pasal 5 ayat (1) Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 73 Tahun 2013
tentang Tata Cara Perwakafan Benda Tidak Bergerak dan Benda Bergerak selain Uang.
47
beragama Islam, dewasa, amanah, mampu secara jasmani dan rohani,
serta tidak terhalang melakukan perbuatan hukum61
dan badan hukum
yang bersangkutan harus bergerak di bidang sosial, pendidikan,
kemasyarakatan, dan/atau keagamaan Islam.
Nazhir ini disahkan oleh KUA yang ditandai dengan
dikeluarkannya Surat Pengesahan Nazhir. Namun dalam perwakafan
tanah ini Penulis juga menemukan bahwa pihak KUA tidak
mendaftarkan Nazhir badan hukum tersebut kepada Menteri dan BWI
karena memang tidak ditemukannya Tanda Bukti Pendaftaran Nazhir.
Hal ini diperkuat dengan pernyataan dari Ibu Dian selaku pegawai
KUA Kecamatan Wonogiri bagian Perwakafan yang menyatakan
bahwa pihak KUA tidak melakukan pendaftaran lebih lanjut kepada
Menteri ataupun BWI. 62
Karena tidak ada pendaftaran lebih lanjut kepada Menteri serta
BWI maka secara otomatis Nazhir ini juga tidak mendapatkan
pembinaan. Karena tidak mendapat pembinaan, Nazhir badan hukum
ini juga tidak melakukan pelaporan pelaksanaan wakaf kepada
Menteri dan BWI mengenai kegiatan perwakafan yang telah
terlaksana. Hal ini diperkuat dengan pernyataan Ibu Dian yang
menyatakan bahwa setelah perwakafan selesai tidak ada lagi hal yang
perlu dilakukan oleh Wakif dan Nazhir. 63
61
Pasal 10 Undang-Undang Nomor 41 tahun 2004 tentang Wakaf. 62
Wawancara dengan Ibu Dian selaku Pegawai Kantor Urusan Agama Kecamatan Wonogiri
bagian Perwakafan, dilakukan pada 5 April 2018 di Wonogiri. 63
Wawancara dengan Ibu Dian selaku Pegawai Kantor Urusan Agama Kecamatan Wonogiri
bagian Perwakafan, dilakukan pada 5 April 2018 di Wonogiri.
48
Dalam perwakafan ini ikrar wakaf tetap dilaksanakan meskipun
tanpa Surat Keterangan dari BPN dan tanpa Surat Tanda Bukti
Pendaftaran Nazhir dari Menteri dan BWI. Ibu Sujatmi menyampaikan
ikrar wakaf kepada perwakilan Nazhir badan hukum yaitu Bapak Joko
Widodo yang dilakukan di hadapan PPAIW secara lisan. 64
Di hari
yang sama, ikrar wakaf tersebut kemudian dituangkan AIW oleh
PPAIW.
Belum diterbitkannya surat keterangan dari BPN yang ditandai
dengan adanya surat dispensasi tersebut dapat menjadi permasalahan
di kemudian hari karena apabila penomoran dan penanggalan AIW
dilakukan lebih dahulu daripada pelaksanaan pengecekan sertifikat
tanah, para pihak tidak dapat mengetahui secara pasti apakah tanah
tersebut secara sah memenuhi syarat menjadi objek perwakafan atau
tidak.
Seharusnya pihak dari KUA tidak mengirim surat permohonan
tersebut mengingat adanya resiko yang mungkin timbul dan akan
dihadapi di kemudian hari. Terlebih pihak KUA sebagai pihak yang
dianggap paling mengerti dan paham mengenai perwakafan tidak
seharusnya bertindak terburu-buru dengan mendahulukan pelaksanaan
wakaf tanpa mengetahui dan memperoleh kepastian mengenai status
tanah tersebut.
64
Wawancara dengan Ibu Sujatmi selaku Wakif pada praktik perwakafan tanah di Kelurahan
Wonoboyo, dilakukan pada 7 April 2018 di Surakarta.
49
c. Kelurahan Giritirto
Hal serupa juga terjadi pada lokasi tanah ketiga, yaitu tanah
dengan status hak milik seluas 93m2. Pada tanah tersebut sebelumnya
berdiri sebuah bangunan kosong yang akhirnya diratakan dengan
tanah.
Pemilik tanah ini adalah Bapak Gatot Hariadi yang merupakan
Pensiunan Dinas Pekerjaan Umum Wonogiri dan istrinya adalah Ibu
Sri Mardini yang merupakan Pensiunan Dinas Kesehatan Kota
Wonogiri. Bapak Gatot Hariadi ini memiliki 3 (tiga) orang anak yang
berlatar pendidikan tinggi. Putranya yang pertama merupakan hakim
yang saat ini sedang bertugas di Pengadilan Negeri Sampit, putrinya
yang kedua bekerja di Akademi Kebidanan Wonogiri dan putrinya
yang ketiga bekerja sebagai bidan di Wonogiri. 65
Cara yang ditempuh oleh Bapak Gatot Hariadi selaku pemilik
tanah dalam melakukan perwakafan adalah datang ke Kementerian
Agama Kabupaten Wonogiri dan ke Kantor Urusan Agama. Beliau
kemudian langsung menanyakan syarat apa saja yang dibutuhkan dan
harus disiapkan jika ingin mewakafkan tanah.66
Setelah mendapatkan
informasi yang diperlukan, beliau segera menyiapkan berkas-berkas
tersebut.
65
Wawancara dengan Bapak Gatot Hariadi selaku Wakif pada praktik perwakafan tanah di
Kelurahan Giritirto, dilakukan pada 20 Maret 2019 di Wonogiri. 66
Wawancara dengan Bapak Gatot Hariadi selaku Wakif pada praktik perwakafan tanah di
Kelurahan Giritirto, dilakukan pada 20 Maret 2019 di Wonogiri.
50
Setelah yakin bahwa Bapak Gatot Hariadi memenuhi syarat
untuk menjadi Wakif, selanjutnya beliau menunjuk beberapa orang
untuk menjadi Nazhir.
Nazhir disini harus berstatus sebagai warga negara Indonesia,
beragama Islam, dewasa, amanah, mampu secara jasmani dan rohani,
serta tidak terhalang melakukan perbuatan hukum.67
Nazhir perseorangan dalam praktik perwakafan ini adalah
Bapak Sukanto Tri Pawenang sebagai ketua, Bapak Bambang Mudjana
sebagai sekretaris, Bapak Ahmad Lukman sebagai Bendahara, serta
Bapak Sukiyanto dan Bapak Soelih sebagai anggota.
Para Nazhir harus disahkan oleh KUA untuk kemudian bisa
mendapatkan Surat Pengesahan Nazhir. Seperti pada lokasi
sebelumnya, Nazhir ini juga tidak didaftarkan lebih lanjut kepada
Menteri serta BWI.
Hal ini secara otomatis akan mengakibatkan tidak adanya
pembinaan bagi para Nazhir karena tidak adanya Surat Tanda Bukti
Pendaftaran Nazhir. Disini Penulis juga menemukan bahwa para
Nazhir tidak melakukan pelaporan kegiatan mengenai pelaksanaan
wakaf.
Hal lain yang juga ditemukan Penulis adalah adanya surat
permohonan dispensasi yang dikeluarkan KUA dengan tembusan
kepada Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Wonogiri. Isi dari surat
permohonan dispensasi tersebut adalah permohonan agar pelaksanaan
67
Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf.
51
Penomoran dan Penanggalan AIW dilakukan lebih dahulu daripada
pelaksanaan pengecekan sertifikat tanah.
Sama seperti permasalahan sebelumnya, perwakafan ini
dilaksanakan tanpa adanya Surat Keterangan dari BPN dan juga tanpa
Surat Tanda Bukti Pendaftaran Nazhir.
Pelaksanaan ikrar wakaf dilakukan secara lisan oleh Bapak
Gatot Hariadi di KUA dan dilaksanakan dihadapan Nazhir, PPAIW,
serta 2 (dua) orang saksi. Ikrar wakaf tersebut lalu dituangkan ke
dalam AIW untuk selanjutnya disahkan oleh PPAIW.68
Bapak Gatot Hariadi selaku Wakif juga menambahkan bahwa
proses perwakafan ini bebas biaya dalam arti tidak ada biaya yang
dibebankan baik kepada Wakif ataupun Nazhir dalam setiap prosesnya.
Beliau mengemukakan bahwa biaya yang dikeluarkannya hanya
sebatas untuk foto copy saja. 69
68
Pasal 20 angka 1 Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 73 Tahun 2013
tentang Tata Cara Perwakafan Benda Tidak Bergerak dan Benda Bergerak selain Uang. 69
Wawancara dengan Bapak Gatot Hariadi selaku Wakif pada praktik perwakafan tanah di
Kelurahan Giritirto, dilakukan pada 20 Maret 2019 di Wonogiri.
52
C. Analisis
Analisis ini bertujuan untuk mengetahui praktik perwakafan yang terjadi di
Kecamatan Wonogiri, khususnya pada Kelurahan Wonokarto, Wonoboyo, dan
Giritirto serta untuk mengetahui dampak yuridis dari praktik perwakafan tanah
sebagaimana objek penelitian ini. Pada bab ini Penulis akan memberikan analisis
yang mengacu pada rumusan masalah dan tujuan pada penelitian ini.
1. Praktik Perwakafan Tanah di Kecamatan Wonogiri
Tabel 2.2 Pelanggaran Praktik Perwakafan Tanah
No. Kelurahan Wonokarto Kelurahan Wonoboyo Kelurahan Giritirto
1. Melanggar Pasal 4 ayat (2)
PP Nomor 42 Tahun 2006
Tentang Pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 41
Tahun 2004 Tentang
Wakaf jo. Pasal 2 angka 1
Peraturan BWI Nomor 3
Tahun 2008 tentang Tata
Cara Pendaftaran dan
Penggantian Nazhir Harta
Benda Wakaf Tidak
Bergerak Berupa Tanah.
Melanggar Pasal 4 ayat (2)
PP Nomor 42 Tahun 2006
Tentang Pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 41
Tahun 2004 Tentang Wakaf
jo. Pasal 2 angka 1
Peraturan BWI Nomor 3
Tahun 2008 tentang Tata
Cara Pendaftaran dan
Penggantian Nazhir Harta
Benda Wakaf Tidak
Bergerak Berupa Tanah.
Melanggar Pasal 4 ayat (2)
PP Nomor 42 Tahun 2006
Tentang Pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 41
Tahun 2004 Tentang
Wakaf jo. Pasal 2 angka 1
Peraturan BWI Nomor 3
Tahun 2008 tentang Tata
Cara Pendaftaran dan
Penggantian Nazhir Harta
Benda Wakaf Tidak
Bergerak Berupa Tanah.
2. Melanggar Pasal 13 jo.
Pasal 14 ayat (1) UU
Nomor 41 Tahun 2004
tentang Wakaf.
Melanggar Pasal 13 jo.
Pasal 14 ayat (1) UU Nomor
41 Tahun 2004 tentang
Wakaf.
Melanggar Pasal 13 jo.
Pasal 14 ayat (1) UU
Nomor 41 Tahun 2004
tentang Wakaf.
3. Melanggar Pasal 11 huruf
d UU Nomor 41 Tahun
2004 tentang Wakaf jo.
Pasal 13 ayat (2) PP
Nomor 42 Tahun 2006
Tentang Pelaksanaan UU
Nomor 41 Tahun 2004
Tentang Wakaf.
Melanggar Pasal 11 huruf d
UU Nomor 41 Tahun 2004
tentang Wakaf jo. Pasal 13
ayat (2) PP Nomor 42
Tahun 2006 Tentang
Pelaksanaan UU Nomor 41
Tahun 2004 Tentang Wakaf.
Melanggar Pasal 11 huruf
d UU Nomor 41 Tahun
2004 tentang Wakaf jo.
Pasal 13 ayat (2) PP
Nomor 42 Tahun 2006
Tentang Pelaksanaan UU
Nomor 41 Tahun 2004
Tentang Wakaf.
4. Melanggar Pasal 6 PP
Nomor 42 Tahun 2006
Tentang Pelaksanaan UU
Nomor 41 Tahun 2004
Tentang Wakaf.
Melanggar Pasal 5
Peraturan Menteri Agama
Nomor 73 Tahun 2013
tentang Tata Cara
Perwakafan Benda Tidak
Bergerak dan Benda
Bergerak Selain Uang.
Melanggar Pasal 5
Peraturan Menteri Agama
Nomor 73 Tahun 2013
tentang Tata Cara
Perwakafan Benda Tidak
Bergerak dan Benda
Bergerak Selain Uang.
5. Melanggar UU Nomor 41
Tahun 2004 Tentang
Wakaf secara keseluruhan.
--
--
53
Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh di 3 (tiga) lokasi yang
menjadi fokus penlitian ini, yaitu Kelurahan Wonokarto, Wonoboyo, dan
Giritirto, terlihat bahwa ada beberapa pelanggaran yang terjadi dalam pelaksanaan
perwakafan tanah sebagaimana objek penelitian ini. Tabel ini akan dijelaskan
secara lengkap dengan uraian di bawah ini:
a. Kelurahan Wonokarto
Secara yuridis praktik perwakafan di Jalan Nakula I, RT:01,
RW:02, Kelurahan Wonokarto ini dinilai telah melanggar beberapa
pasal dalam peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar
hukumnya, diantaranya adalah sebagai berikut:
Pasal 4 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 Tentang
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf
jo. Pasal 2 angka 1 Peraturan Badan Wakaf Indonesia Nomor 3 Tahun
2008 tentang Tata Cara Pendaftaran dan Penggantian Nazhir Harta
Benda Wakaf Tidak Bergerak Berupa Tanah
Dalam perwakafan tanah ini, para Nazhir hanya mendapatkan
Surat Pengesahan Nazhir dari KUA dan tidak ada pendaftaran lebih
lanjut kepada Menteri dan BWI yang seharusnya dilakukan oleh KUA
agar mendapat Surat Tanda Bukti Pendaftaran Nazhir.
Hal ini melanggar Pasal 4 ayat (2) Peraturan Pemerintah
Nomor 42 Tahun 2006 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor
41 Tahun 2004 Tentang Wakaf yang menyatakan bahwa, “Nazhir
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib didaftarkan pada Menteri
54
dan BWI melalui Kantor Urusan Agama setempat.” jo. Pasal 2 angka 1
Peraturan Badan Wakaf Indonesia Nomor 3 Tahun 2008 tentang Tata
Cara Pendaftaran dan Penggantian Nazhir Harta Benda Wakaf Tidak
Bergerak Berupa Tanah yang menyatakan bahwa, “Nazhir harta beda
tidak bergerak berupa tanah wajib didaftarkan pada Menteri dan BWI
melalui KUA setempat.”
Dampak dari tidak dilakukannya pendaftaran Nazhir lebih
lanjut oleh KUA kepada Menteri serta BWI adalah tidak terbitnya
Surat Tanda Bukti Pendaftaran Nazhir. Hal ini berimplikasi pada tidak
adanya pendataan Nazhir sehingga tidak adanya pengawasan dari
Menteri serta BWI terhadap pelaksanaan perwakafan tanah tersebut.
Pendaftaran ini dimaksudkan untuk menghindari perbuatan
perwakafan yang menyimpang dari ketentuan yang ditetapkan dan juga
untuk memudahkan pengawasan.
Pasal 13 jo. Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004
tentang Wakaf
Dalam perwakafan ini terjadi pelanggaran yang secara langsung
akan menimbulkan masalah baru. Salah satunya adalah pelanggaran
yang berkaitan dengan tidak didaftarkannya Nazhir kepada Menteri
serta BWI sehingga Surat Tanda Bukti Pendaftaran Nazhir tidak terbit
dan pembinaan Nazhir tidak dapat dilaksanakan.
Hal ini melanggar Pasal 13 Undang-Undang Nomor 41 Tahun
2004 tentang Wakaf yang menyatakan bahwa, “Dalam melaksanakan
tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, Nazhir memperoleh
55
pembinaan dari Menteri dan Badan Wakaf Indonesia.” Kemudian
dipertegas lagi dalam Pasal 14 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004
tentang Wakaf yang menyatakan bahwa, “Dalam rangka pembinaan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, Nazhir harus terdaftar pada
Menteri dan Badan Wakaf Indonesia.”
Dampak dari adanya pelanggaran ini adalah tidak
tersampaikannya hak yang seharusnya diperoleh oleh Nazhir, yaitu hak
untuk mendapat pembinaan. Tidak diperolehnya pembinaan ini akan
berimplikasi pada rawan hilang atau terbengkalainya harta benda
wakaf yang mana dalam hal ini adalah tanah karena kurangnya
pengetahuan Nazhir dalam melaksanakan pengelolaan dan
pemanfaatan harta benda wakaf.
Pasal 11 huruf d Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang
Wakaf jo. Pasal 13 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun
2006 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004
Tentang Wakaf.
Nazhir mempunyai tugas untuk melakukan pengadministrasian
harta benda wakaf, mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf
sesuai dengan tujuan, fungsi, dan peruntukkannya, mengawasi dan
melindungi harta benda wakaf, serta melaporkan peaksanaan tugas
kepada BWI. Pelanggaran ini berkaitan dengan tidak dilaksanakannya
salah satu kewajiban Nazhir dalam melaksanakan tugasnya yaitu
melakukan pelaporan tugas secara berkala kepada Menteri dan BWI.
56
Hal ini melanggar Pasal 11 huruf d Undang-Undang Nomor 41
Tahun 2004 tentang Wakaf yang berbunyi, “Nazhir mempunyai tugas
melaporkan pelaksanaan tugas kepada Badan Wakaf Indonesia.” jo.
Pasal 13 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 Tentang
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf
yangmenyatakan bahwa, “Nazhir wajib membuat laporan secara
berkala kepada Menteri dan BWI mengenai kegiatan perwakafan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).”
Dampak dari pelanggaran ini adalah tidak diketahuinya
bagaimana kondisi terkini dari tanah wakaf tersebut serta tidak
diketahuinya bagaimana pelaksanaan, pengelolaan, dan pemanfaatan
dari tanah wakaf tersebut sebagai harta benda wakaf. Hal tersebut akan
menimbulkan kekhawatiran tentang hilangnya tanah sebagai aset
wakaf.
Pasal 6 Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 Tentang
Pelaksanaan UU Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf
Meninggalnya Alm. Bapak Poerwanto selaku ketua Nazhir
pada perwakafan tanah ini harusnya disertai dengan pelaporan ke KUA
dan kemudian diteruskan ke BWI.yang kemudian ada Nazhir
Pengganti yang ditetapkan oleh BWI. Hal ini tercantum dalam Pasal 6
Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 Tentang Pelaksanaan UU
Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf yang menyatakan bahwa,
“(1) Apabila diantara Nazhir perseorangan berhenti dari kedudukannya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, maka Nazhir yang ada harus
melaporkan ke Kantor Urusan Agama untuk selanjutnya diteruskan
kepada BWI paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal
57
berhentinya Nazhir perseorangan, yang kemudian pengganti Nazhir
tersebut akan ditetapkan oleh BWI.
(2) Dalam hal diantara Nazhir perseorangan berhenti dari
kedudukannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal S untuk wakaf
dalam jangka waktu terbatas dan wakaf dalam jangka waktu tidak
terbatas, maka Nazhir yang ada memberitahukan kepada Wakif atau
ahli waris Wakif apabila Wakif sudah meninggal dunia.
(3) Dalam hal tidak terdapat Kantor Urusan Agama setempat, laporan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan Nazhir melalui Kantor
Urusan Agama terdekat, Kantor Departemen Agama, atau penvakilan
BWI di provinsi / kabupaten / kota.
(4) Apabila Nazhir dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak MW
dibuat tidak melaksanakan tugasnya, maka Kepala KUA baik atas
inisiatif sendiri maupun atas usul Wakif atau ahli warisnya berhak
mengusulkan kepada DWI untuk pemberhentian dan penggantian
Nazhir.”
Tidak adanya pelaporan terkait meninggalnya ketua Nazhir ini
akan berdampak pada tidak terupdate-nya data mengenai Nazhir dan
juga tidak adanya Nazhir pengganti untuk perwakafan tanah di
Kelurahan Wonokarto. Hal ini dapat menyebabkan tidak maksimalnya
pelaksanaan pengelolaan dan pemanfaatan tanah wakaf karena dalam
suatu praktik perwakafan diperlukan Nazhir yang memiliki kewajiban
bersama untuk melakukan pengadministrasian harta benda wakaf,
mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf sesuai dengan
tujuan dan peruntukannya, mengawasi dan melindungi harta benda
wakaf, dan melaporkan pelaksanaan tugas kepada BWI.
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf
Dalam perwakafan ini terdapat tambahan tanah seluas 14m2
yang juga dibangun menjadi bagian dari Musholla, akan tetapi pada
tambahan tanah ini tidak dilakukan proses perwakafan sebagaimana
yang tercantum dalam undang-undang.
58
Ibu Sri Suyanti selaku pemilik tanah menyerahkan tanahnya
untuk diwakafkan hanya dengan bukti surat yang dikeluarkan dan
dibuat oleh Nazhir yang isinya menyatakan bahwa tanah seluas 14m2
tersebut telah diwakafkan.
Oleh karena tidak dilaksanakannya perwakafan sesuai dengan
apa yang tercantum dalam peraturan perundang-undangan, maka
dampak yuridis dari pelanggaran ini adalah tidak sahnya tanah seluas
14m2 ini sebagai tanah wakaf.
Tidak adanya dokumen yang sah di mata hukum mengenai
tanah yang telah diwakafkan ini akan mengakibatkan tidak adanya
kepastian mengenai tanah ini di mata hukum. Keharusan adanya
dokumen berupa AIW dan sertifikat wakaf menjadi salah satu syarat
sahnya wakaf yang akan memberikan kepastian hukum mengenai hak
atas tanah dan juga berfungsi sebagai bukti pengakuan dan penegasan
bahwasanya tanah tersebut adalah tanah wakaf.
b. Kelurahan Wonoboyo
Lokasi kedua ini juga tidak luput dari adanya pelanggaran
hukum dalam pelaksanaannya. Berdasarkan penelitian Penulis, secara
yuridis praktik perwakafan pada Banaran RT;02, RW:11, Kelurahan
Wonoboyo tersebut dinilai telah melanggar beberapa pasal dalam
peraturan perundang-undangan, diantaranya adalah sebagai berikut:
Pasal 4 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 Tentang
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf
jo. Pasal 2 angka 1 Peraturan Badan Wakaf Indonesia Nomor 3 Tahun
59
2008 tentang Tata Cara Pendaftaran dan Penggantian Nazhir Harta
Benda Wakaf Tidak Bergerak Berupa Tanah
Sama seperti permasalahan di Kelurahan Wonokarto, dalam
perwakafan tanah ini, para Nazhir hanya mendapatkan Surat
Pengesahan Nazhir dari KUA dan tidak ada pendaftaran lebih lanjut
kepada Menteri dan BWI yang seharusnya dilakukan oleh KUA agar
mendapat Surat Tanda Bukti Pendaftaran Nazhir.
Hal ini melanggar Pasal 4 ayat (2) Peraturan Pemerintah
Nomor 42 Tahun 2006 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor
41 Tahun 2004 Tentang Wakaf yang menyatakan bahwa, “Nazhir
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib didaftarkan pada Menteri
dan BWI melalui Kantor Urusan Agama setempat.” jo. Pasal 2 angka 1
Peraturan Badan Wakaf Indonesia Nomor 3 Tahun 2008 tentang Tata
Cara Pendaftaran dan Penggantian Nazhir Harta Benda Wakaf Tidak
Bergerak Berupa Tanah yang menyatakan bahwa, “Nazhir harta beda
tidak bergerak berupa tanah wajib didaftarkan pada Menteri dan BWI
melalui KUA setempat.”
Dampak dari tidak dilakukannya pendaftaran Nazhir lebih
lanjut oleh KUA kepada Menteri serta BWI adalah tidak terbitnya
Surat Tanda Bukti Pendaftaran Nazhir. Hal ini berimplikasi pada tidak
adanya pendataan Nazhir sehingga tidak adanya pengawasan dari
Menteri serta BWI terhadap pelaksanaan perwakafan tanah tersebut.
Pendaftaran ini dimaksudkan untuk menghindari perbuatan
60
perwakafan yang menyimpang dari ketentuan yang ditetapkan dan juga
untuk memudahkan pengawasan.
Pasal 13 jo. Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004
tentang Wakaf
Dalam perwakafan ini terjadi pelanggaran yang secara langsung
akan menimbulkan masalah baru. Salah satunya adalah pelanggaran
yang berkaitan dengan tidak didaftarkannya Nazhir kepada Menteri
serta BWI sehingga Surat Tanda Bukti Pendaftaran Nazhir tidak terbit
dan pembinaan Nazhir tidak dapat dilaksanakan.
Hal ini melanggar Pasal 13 Undang-Undang Nomor 41 Tahun
2004 tentang Wakaf yang menyatakan bahwa, “Dalam melaksanakan
tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, Nazhir memperoleh
pembinaan dari Menteri dan Badan Wakaf Indonesia.” Kemudian
dipertegas lagi dalam Pasal 14 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004
tentang Wakaf yang menyatakan bahwa, “Dalam rangka pembinaan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, Nazhir harus terdaftar pada
Menteri dan Badan Wakaf Indonesia.”
Dampak dari adanya pelanggaran ini adalah tidak
tersampaikannya hak yang seharusnya diperoleh oleh Nazhir, yaitu hak
untuk mendapat pembinaan. Tidak diperolehnya pembinaan ini akan
berimplikasi pada rawan hilang atau terbengkalainya harta benda
wakaf yang mana dalam hal ini adalah tanah karena kurangnya
pengetahuan Nazhir dalam melaksanakan pengelolaan dan
pemanfaatan harta benda wakaf.
61
Pasal 11 huruf d Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang
Wakaf jo. Pasal 13 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun
2006 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004
Tentang Wakaf.
Sama seperti praktik perwakafan yang terjadi di Kelurahan
Wonokarto, hal serupa terkait pelaporan tugas Nazhir juga terjadi di
Kelurahan Wonoboyo ini. Disini Nazhir juga tidak melakukan
pelaporan tugas terkait pelaksanaan perwakafan kepada Menteri dan
BWI.
Hal ini melanggar Pasal 11 huruf d Undang-Undang Nomor 41
Tahun 2004 tentang Wakaf yang berbunyi, “Nazhir mempunyai tugas
melaporkan pelaksanaan tugas kepada Badan Wakaf Indonesia.” jo.
Pasal 13 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 Tentang
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf
yangmenyatakan bahwa, “Nazhir wajib membuat laporan secara
berkala kepada Menteri dan BWI mengenai kegiatan perwakafan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).”
Dampak dari pelanggaran ini adalah tidak diketahuinya
bagaimana kondisi terkini dari tanah wakaf tersebut serta tidak
diketahuinya bagaimana pelaksanaan, pengelolaan, dan pemanfaatan
dari tanah wakaf tersebut sebagai harta benda wakaf. Hal tersebut akan
menimbulkan kekhawatiran tentang hilangnya tanah sebagai aset
wakaf.
62
Pasal 5 Peraturan Menteri Agama Nomor 72 Tahun 2013 tentang Tata
Cara Perwakafan Benda Tidak Bergerak dan Benda Bergerak Selain
Uang
Dalam perwakafan di Kelurahan Wonoboyo ini ditemukan
surat permohonan dispensasi yang dikeluarkan KUA dengan
tembusan kepada Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Wonogiri. Isi
dari surat permohonan dispensasi tersebut adalah permohonan agar
pelaksanaan penomoran dan penanggalan AIW dilakukan lebih
dahulu daripada pelaksanaan pengecekan sertifikat tanah.
Secara umum, pengecekan dilakukan untuk meminimalisir hal-
hal yang tidak diinginkan di kemudian hari. Pengecekan sertifikat
tanah yang dilakukan setelah penomoran dan penanggalan AIW
seharusnya tidak boleh terjadi karena melanggar Pasal 5 Peraturan
Menteri Agama Nomor 72 Tahun 2013 tentang Tata Cara Perwakafan
Benda Tidak Bergerak dan Benda Bergerak Selain Uang yang
menyatakan bahwa,
“(1) Tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, harus tidak dalam
sengketa/perkara, tidak terbebani segala jenis sitaan, atau tidak
dijaminkan.
(2) Keterangan tidak dalam sengketa/perkara, tidak terbebani segala
jenis sitaan, atau tidak dijaminkan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), dibuktikan dengan surat keterangan dari instansi yang berwenang
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”
Dengan ditemukannya surat permohonan dispensasi yang
dikeluarkan KUA dengan tembusan kepada Kepala Kantor Pertanahan
Kabupaten Wonogiri ini akan berdampak pada tidak jelasnya
bagaimana status tanah tersebut karena tidak dilakukan pengecekan
63
terlebih dahulu oleh Kantor Pertanahan Kabupaten Wonogiri sebelum
ikrar wakaf dilaksanakan.
c. Kelurahan Giritirto
Pada Kelurahan Giritirto ini, Penulis juga menemukan bahwa
secara yuridis praktik perwakafan ini melanggar beberapa pasal dalam
peraturan perundang-undangan, diantaranya adalah sebagai berikut:
Pasal 4 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 Tentang
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf
jo. Pasal 2 angka 1 Peraturan Badan Wakaf Indonesia Nomor 3 Tahun
2008 tentang Tata Cara Pendaftaran dan Penggantian Nazhir Harta
Benda Wakaf Tidak Bergerak Berupa Tanah.
Sama seperti pada 2 (dua) lokasi sebelumnya, di lokasi terakhir
ini Penulis menemukan bahwa Nazhir juga tidak didaftarkan kepada
Menteri dan BWI.
Hal ini melanggar Pasal 4 ayat (2) Peraturan Pemerintah
Nomor 42 Tahun 2006 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor
41 Tahun 2004 Tentang Wakaf yang menyatakan bahwa, “Nazhir
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib didaftarkan pada Menteri
dan BWI melalui Kantor Urusan Agama setempat.” jo. Pasal 2 angka 1
Peraturan Badan Wakaf Indonesia Nomor 3 Tahun 2008 tentang Tata
Cara Pendaftaran dan Penggantian Nazhir Harta Benda Wakaf Tidak
Bergerak Berupa Tanah yang menyatakan bahwa, “Nazhir harta beda
tidak bergerak berupa tanah wajib didaftarkan pada Menteri dan BWI
melalui KUA setempat.”
64
Dampak dari tidak dilakukannya pendaftaran Nazhir lebih
lanjut oleh KUA kepada Menteri serta BWI adalah tidak terbitnya
Surat Tanda Bukti Pendaftaran Nazhir. Hal ini berimplikasi pada tidak
adanya pendataan Nazhir sehingga tidak adanya pengawasan dari
Menteri serta BWI terhadap pelaksanaan perwakafan tanah tersebut.
Pendaftaran ini dimaksudkan untuk menghindari perbuatan
perwakafan yang menyimpang dari ketentuan yang ditetapkan dan juga
untuk memudahkan pengawasan.
Pasal 13 jo. Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004
tentang Wakaf
Dalam perwakafan ini terjadi pelanggaran yang secara langsung
akan menimbulkan masalah baru. Salah satunya adalah pelanggaran
yang berkaitan dengan tidak didaftarkannya Nazhir kepada Menteri
serta BWI sehingga Surat Tanda Bukti Pendaftaran Nazhir tidak terbit
dan pembinaan Nazhir tidak dapat dilaksanakan.
Hal ini melanggar Pasal 13 Undang-Undang Nomor 41 Tahun
2004 tentang Wakaf yang menyatakan bahwa, “Dalam melaksanakan
tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, Nazhir memperoleh
pembinaan dari Menteri dan Badan Wakaf Indonesia.” Kemudian
dipertegas lagi dalam Pasal 14 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004
tentang Wakaf yang menyatakan bahwa, “Dalam rangka pembinaan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, Nazhir harus terdaftar pada
Menteri dan Badan Wakaf Indonesia.”
65
Dampak dari adanya pelanggaran ini adalah tidak
tersampaikannya hak yang seharusnya diperoleh oleh Nazhir, yaitu hak
untuk mendapat pembinaan. Tidak diperolehnya pembinaan ini akan
berimplikasi pada rawan hilang atau terbengkalainya harta benda
wakaf yang mana dalam hal ini adalah tanah karena kurangnya
pengetahuan Nazhir dalam melaksanakan pengelolaan dan
pemanfaatan harta benda wakaf.
Pasal 11 huruf d Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang
Wakaf jo. Pasal 13 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun
2006 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004
Tentang Wakaf.
Akibat dari tidak didaftarkannya Nazhir kepada Menteri dan
BWI adalah tidak adanya kesempatan untuk dapat mendapatkan
pembinaan.
Hal ini melanggar Pasal 11 huruf Undang-Undang Nomor 41
Tahun 2004 tentang Wakaf yang berbunyi, “Nazhir mempunyai tugas
melaporkan pelaksanaan tugas kepada Badan Wakaf Indonesia.” jo.
Pasal 13 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006
Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004
Tentang Wakaf yang menyatakan bahwa, “Nazhir wajib membuat
laporan secara berkala kepada Menteri dan BWI mengenai kegiatan
perwakafan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)”.
Dampak dari pelanggaran ini adalah tidak diketahuinya
bagaimana kondisi terkini dari tanah wakaf tersebut serta tidak
66
diketahuinya bagaimana pelaksanaan, pengelolaan, dan pemanfaatan
dari tanah wakaf tersebut sebagai harta benda wakaf. Hal tersebut akan
menimbulkan kekhawatiran tentang hilangnya tanah sebagai aset
wakaf.
Pasal 5 Peraturan Menteri Agama Nomor 72 Tahun 2013 tentang Tata
Cara Perwakafan Benda Tidak Bergerak dan Benda Bergerak Selain
Uang
Dalam perwakafan di Kelurahan Giritirto ini ditemukan surat
permohonan dispensasi yang dikeluarkan KUA dengan tembusan
kepada Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Wonogiri.
Isi dari surat permohonan dispensasi tersebut adalah
permohonan agar pelaksanaan penomoran dan penanggalan AIW
dilakukan lebih dahulu daripada pelaksanaan pengecekan sertifikat
tanah. Secara umum, pengecekan dilakukan untuk meminimalisir hal-
hal yang tidak diinginkan di kemudian hari.
Pengecekan sertifikat tanah yang dilakukan setelah penomoran
dan penanggalan AIW seharusnya tidak boleh terjadi karena
melanggar Pasal 5 Peraturan Menteri Agama Nomor 72 Tahun 2013
tentang Tata Cara Perwakafan Benda Tidak Bergerak dan Benda
Bergerak Selain Uang yang menyatakan bahwa,
“(1) Tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, harus tidak dalam
sengketa/perkara, tidak terbebani segala jenis sitaan, atau tidak
dijaminkan.
(2) Keterangan tidak dalam sengketa/perkara, tidak terbebani segala
jenis sitaan, atau tidak dijaminkan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), dibuktikan dengan surat keterangan dari instansi yang berwenang
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”
67
Dengan ditemukannya surat permohonan dispensasi yang
dikeluarkan KUA dengan tembusan kepada Kepala Kantor Pertanahan
Kabupaten Wonogiri ini akan berdampak pada tidak jelasnya
bagaimana status tanah tersebut karena tidak dilakukan pengecekan
terlebih dahulu oleh Kantor Pertanahan Kabupaten Wonogiri sebelum
ikrar wakaf dilaksanakan.
d. Kantor Urusan Agama Kecamatan Wonogiri
Pada praktik perwakafan di Kecamatan Wonogiri, sebagian
besar pelaksanaan ikrar wakaf dilakukan di Kantor Urusan Agama
Kecamatan Wonogiri. Kantor Urusan Agama Kecamatan adalah unit
pelaksana teknis pada Kementrian Agama, berada di bawah dan
bertanggung jawab kepada Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat
Islam dan secara operasional dibina oleh Kepala Kantor Kementrian
Agama Kabupaten/Kota.70
KUA Kecamatan mempunyai tugas melaksanakan layanan dan
bimbingan masyarakat Islam di wilayah kerjanya. Pasal 3 ayat (1)
Peraturan Menteri Agama Nomor 34 Tahun 2016 tentang Organisasi
dan Tata Kerja Kantor Urusan Agama Kecamatan menyatakan bahwa
dalam rangka melaksanakan tugasnya tersebut, KUA
menyelenggarakan fungsi sebagai berikut:
“a. pelaksanaan pelayanan, pengawasan, pencatatan, dan pelaporan
nikah dan rujuk;
b. penyusunan statistik layanan dan bimbingan masyarakat Islam;
c. pengelolaan dokumentasi dan sistem informasi manajemen KUA
Kecamatan;
d. pelayanan bimbingan keluarga sakinah;
70
Pasal 1 ayat (1) Peraturan Menteri Agama Nomor 34 Tahun 2016 tentang Organisasi dan
Tata Kerja Kantor Urusan Agama Kecamatan.
68
e. pelayanan bimbingan kemasjidan;
f. pelayanan bimbingan hisab rukyat dan pembinaan syariah;
g. pelayanan bimbingan dan penerangan agama Islam;
h. pelayanan bimbingan zakat dan wakaf; dan
i. pelaksanaan ketatausahaan dan kerumahtanggaan KUA
Kecamatan.”
Jika melihat dasar hukum mengenai perwakafan yaitu Undang-
Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf dan Peraturan
Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 Tentang Pelaksanaan Undang-
Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf, dalam peraturan
perundang undangan tersebut secara jelas telah memuat apa saja hal-
hal yang harus dilakukan agar proses perwakafan dapat terlaksana
secara “sempurna”, termasuk juga memuat kewajiban-kewajiban dari
para pihak yang terlibat dalam suatu proses perwakafan.
Pasal 3 Ayat (1) huruf h Peraturan Menteri Agama Nomor 34
Tahun 2016 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Urusan Agama
Kecamatan diatas menyatakan bahwa tugas KUA adalah
menyelenggarakan fungsi pelayanan bimbingan zakat dan wakaf. Hal
ini berkaitan dengan pokok bahasan penelitian ini, yaitu wakaf.
Dalam penelitian ini terlihat bahwa KUA tidak melaksanakan
kewajibannya secara teliti karena ada tahap-tahap yang harusnya
dilakukan akan tetapi malah dilewatkan dan bahkan ditiadakan.
KUA dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya terkait
pelaksanaan wakaf seharusnya pro aktif dan berpedoman kepada dasar
hukum yang berlaku, yaitu Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang
Wakaf dan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 Tentang
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf.
69
Sehingga KUA mengerti dan paham betul mengenai apa yang harus
dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan.
Berdasarkan Pasal 15 Peraturan Menteri Agama Nomor 34
Tahun 2016 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Urusan Agama
Kecamatan menyatakan bahwa, “Setiap unsur pada KUA Kecamatan
dalam melaksanakan tugas dan fungsi harus menerapkan prinsip
koordinasi, integrasi, dan sinkronisasi baik dalam lingkungan KUA
Kecamatan sendiri, maupun dalam hubungan dengan lembaga lain
yang terkait.”
Secara hukum, Pasal 4 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor
42 Tahun 2006 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41
Tahun 2004 Tentang Wakaf yang menyatakan bahwa, “Nazhir
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib didaftarkan pada Menteri
dan BWI melalui Kantor Urusan Agama setempat.” Pendaftaran
Nazhir ke Menteri dan BWI ini merupakan kewajiban KUA, dalam
melaksanakan pendaftaran ini KUA harusnya berkoordinasi dengan
Menteri dan BWI, akan tetapi pada praktiknya KUA tidak
melaksanakan pendaftaran ini tanpa disertai alasan yang dapat
dipertanggung jawabkan.
Pendaftaran ini dimaksudkan untuk menghindari perbuatan
perwakafan yang menyimpang dari ketentuan yang ditetapkan dan juga
untuk memudahkan pengawasan.
Selain itu juga terkait pembinaan kepada Nazhir, hal ini juga
seharusnya dilakukan oleh Menteri atau BWI akan tetapi karena oleh
70
KUA setempat para Nazhir ini tidak didaftarkan lebih lanjut maka hak
yang seharusnya diperoleh oleh Nazhir yaitu hak untuk mendapat
pembinaan menjadi tidak tersampaikan. Hal ini tentu melanggar Pasal
13 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf yang
menyatakan bahwa, “Dalam melaksanakan tugas sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 11, Nazhir memperoleh pembinaan dari Menteri
dan Badan Wakaf Indonesia.” Kemudian dipertegas lagi dalam Pasal
14 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf yang
menyatakan bahwa, “Dalam rangka pembinaan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 13, Nazhir harus terdaftar pada Menteri dan Badan Wakaf
Indonesia.”
Kesalahan lain yang dilakukan KUA Kecamatan Wonogiri
adalah mengeluarkan surat dispensasi yang berisi permohonan agar
pelaksanaan penomoran dan penanggalan AIW dilakukan lebih dahulu
daripada pelaksanaan pengecekan sertifikat tanah, hal ini jelas tidak
sesuai dengan peraturan yang ada karena jika pengecekan tanah wakaf
dilakukan setelah semua proses termasuk ikrar wakaf telah
dilaksanakan maka akan menjadi rawan jika ternyata pada tanah
tersebut tidak bebas dari segala sengketa/perkara, terbebani segala
jenis sitaan, atau dijaminkan. Dengan ditemukannya surat permohonan
dispensasi yang dikeluarkan KUA dengan tembusan kepada Kepala
Kantor Pertanahan Kabupaten Wonogiri ini akan berdampak pada
tidak jelasnya bagaimana status tanah tersebut karena tidak dilakukan
71
pengecekan terlebih dahulu oleh Kantor Pertanahan Kabupaten
Wonogiri sebelum ikrar wakaf dilaksanakan.
Berdasarkan hal-hal tersebut diatas, terlihat bahwa KUA hanya
berfokus pada pelaksanaan ikrar wakaf saja (yang mana sebagian besar
selalu dilaksanakan di kantor) tanpa memperhatikan hal lainnya.
Ketika Penulis melakukan penelitian di KUA Kecamatan Wonogiri ini,
pihak KUA menyatakan bahwa mereka tidak mempunyai daftar
mengenai perwakafan tanah terkait alamat tanah wakaf secara rinci,
nazhirnya siapa saja, diwakafkan pada tahun berapa dan bahkan pihak
KUA tidak memiliki bukti fisik terkait berkas-berkas perwakafan tanah
yang telah dilakukan. Bahkan data-data tersebut juga tidak ditemukan
pada buku register wakaf di Kecamatan Wonogiri ataupun di sistem.
Ketika dikonfirmasi, pihak KUA menyatakan bahwa berkas-
berkas tersebut ada di kantor yang lama dan tidak ikut serta dibawa
karena pada saat dicari di kantor yang saat ini ditempati yaitu di Jalan
Perwakilan Nomor 2, Giripurwo, Kecamatan Wonogiri, Kabupaten
Wonogiri tidak ditemukan berkas-berkas lengkap terkait praktik
perwakafan tanah yang ada di Kecamatan Wonogiri. Pihak KUA
hanya dapat menemukan beberapa berkas yang menurutnya lengkap.
Berkas lengkap yang dimaksud disini berisi data-data mengenai
identitas lengkap Wakif, identitas lengkap Nazhir, Surat Pengesahan
Nazhir, detail lokasi tanah wakaf, surat keterangan mengenai tanah
tersebut dari Kepala Desa dan Kepala Kecamatan, surat keterangan
72
bahwa tanah tersebut bebas dari sengketa yang diterbitkan BPN,
salinan AIW, dan salinan sertifikat tanah wakaf.
Melalui hal ini dapat dipahami bahwa eksistensi wakaf
sebenarnya sudah diakui akan tetapi pelaksanaannya belum maksimal
utamanya karena ditemukan problematika pada pihak-pihak
pendukung khususnya KUA yang kurang memperhatikan
kewajibannya. Tidak dapat dipungkiri hal ini terjadi karena minimnya
pengertian dan pengetahuan mengenai pelaksanaan wakaf tanah yang
tanpa disadari akan menimbulkan masalah atau kendala-kendala
lainnya di kemudian hari.
2. Dampak Yuridis Praktik Perwakafan Tanah di Kecamatan Wonogiri
Berdasarkan aturan normatif yang tercantum di dalam Undang-
Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf, tahapan perwakafan secara
singkatnya adalah seperti ini:
Wakif
memenuhi
syarat.
Wakif menyerahkan
bukti kepemilikan
tanah kepada PPAIW.
BPN
memastikan
status tanah.
Wakif menunjuk
Nazhir yang
memenuhi syarat.
Nazhir disahkan
KUA (ada Surat
Pengesahan Nazhir).
Nazhir harus terdaftar ke Menteri
dan BWI melalui KUA(ada Surat
Tanda Bukti Pendaftaran Nazhir).
Nazhir mendapat
pembinaan dari
Menteri BWI.
Wakif menyampaikan ikrar
wakaf kepada Nazhir di
hadapan PPAIW dan saksi.
Ikrar wakaf
dituangkan
dalam AIW.
PPAIW mendaftarkan
harta benda wakaf atas
nama Nazhir ke BPN.
BPN menerbitkan tanda
bukti pendaftaran harta
benda wakaf.
Nazhir melakukan
pelaporan pelaksanaan
kepada Menteri dan BWI.
73
Sementara pada kenyataannya, setelah Penulis melakukan penelitian
mendalam yang juga disertai adanya wawancara dengan berbagai
narasumber yang secara langsung berperan dalam proses perwakafan tanah
ini, diantaranya adalah pihak dari KUA, pihak dari Kantor Kementerian
Agama, wakif, dan juga beberapa Nazhir, Penulis menemukan bahwa apa
yang terjadi dalam prakteknya tidak sesuai dengan apa yang tercantum di
dalam peraturan perundang-undangan.
Penulis melihat bahwa terdapat perbedaan antara dasar hukum
(teori) dengan praktik yang ada di lapangan. Perbedaan tersebut mengacu
pada pelanggaran-pelanggaran yang dianggap “sepele” akan tetapi dapat
berdampak besar pada pelaksanaan wakaf tanah di kemudian hari.
Berdasarkan pemaparan yang ada Pada Bab Pembahasan diatas,
perbedaan antara dasar hukum (teori) dengan praktik yang ada di lapangan
tersebut cenderung dilakukan oleh pihak yang dianggap paling paham
mengenai praktik perwakafan yakni KUA. Sedangkan dalam suatu proses
perwakafan khususnya perwakafan tanah, diperlukan peran pro-aktif KUA
agar semua dapat terlaksana dengan baik. Akan tetapi disini terlihat bahwa
KUA Kecamatan Wonogiri sangat pasif dalam melaksanakan kewajibannya
dan hanya berfokus pada pelaksanaan ikrar wakafnya saja.
Secara hukum, dampak yuridis dari praktik perwakafan tanah
sebagaimana objek penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Terhadap Tanah Wakaf
Pada Kelurahan Wonoboyo dan Kelurahan Giritirto, Penulis
menemukan adanya surat permohonan dispensasi yang dikeluarkan
74
KUA dengan tembusan kepada Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten
Wonogiri yang akan berdampak pada tidak jelasnya bagaimana status
tanah tersebut karena tidak dilakukan pengecekan terlebih dahulu oleh
Kantor Pertanahan Kabupaten Wonogiri sebelum ikrar wakaf
dilaksanakan.
Hal ini berkaitan dengan Pasal 5 Peraturan Menteri Agama
Nomor 72 Tahun 2013 tentang Tata Cara Perwakafan Benda Tidak
Bergerak dan Benda Bergerak Selain Uang yang menyatakan bahwa,
“(1) Tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, harus tidak dalam
sengketa/perkara, tidak terbebani segala jenis sitaan, atau tidak
dijaminkan.
(2) Keterangan tidak dalam sengketa/perkara, tidak terbebani segala
jenis sitaan, atau tidak dijaminkan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), dibuktikan dengan surat keterangan dari instansi yang berwenang
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”
Akan tetapi, perwakafan tanah tersebut tetap ada dan juga tetap
sah secara hukum. Hal itu karena dalam suatu praktik perwakafan,
sahnya wakaf terjadi ketika ada dokumen yang dapat dipertanggung
jawabkan yaitu AIW. Hal ini tercantum dalam Penjelasan Pasal 9
Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan
Tanah Milik yang mengharuskan adanya perwakafan dilakukan secara
tertulis, tidak cukup hanya dengan ikrar lisan saja.
Tujuannya adalah untuk memperoleh bukti yang otentik yang
dapat dipergunakan untuk berbagai persoalan seperti untuk bahan
pendaftaran pada Kantor Sub Direktorat Agraria
Kabupaten/Kotamadya dan untuk keperluan penyelesaian sengketa
yang mungkin timbul di kemudian hari tentang tanah yang
75
diwakafkan. Untuk keperluan itu seseorang yang hendak mewakafkan
tanah harus membawa serta tanda-tanda bukti pemilikan
(sertifikat/kekitir tanah) dan surat-surat lain yang menjelaskan tidak
adanya halangan untuk melakukan perwakafan atas tanah milik
tersebut.
Namun karena pelanggaran yang telah dipaparkan dalam Sub
Bab diatas terjadi dalam suatu keseluruhan sistem yang bekerja untuk
menciptakan tatanan dan stabilitas sosial, maka perlu adanya upaya
untuk melengkapi dan melaksanakan kewajiban yang belum terlaksana
tersebut.
Hal tersebut perlu dilakukan supaya pelanggaran yang telah
dianggap umum dan biasa, tidak menjadi pelanggaran yang
berkelanjutan, apa yang sudah umum belum tentu benar, oleh karena
itu yang benar tersebutlah yang harus diumumkan sehingga tidak ada
kesalahan-kesalahan lagi didalamnya.
Meskipun dalam peraturan perundang-undangan tidak
menentukan saksi pidana maupun saksi administratif karena tidak
dilaksanakannya hal-hal tersebut diatas dalam suatu proses perwakafan
tidak lantas menjadikannya kebiasaan untuk tetap tidak dilaksanakan.
b. Terhadap Nazhir
Dampak yuridis dari praktik perwakafan tanah sebagaimana
objek penelitian ini terhadap Nazhir adalah tidak terdaftarnya Nazhir
pada Menteri dan BWI karena tidak dilakukannya pendaftaran lebih
lanjut oleh KUA. Pendaftaran ini dimaksudkan untuk menghindari
76
perbuatan perwakafan yang menyimpang dari ketentuan yang
ditetapkan dan juga untuk memudahkan pengawasan.
Hal tersebut mengakibatkan tidak tersampaikannya hak yang
seharusnya diperoleh oleh Nazhir yaitu hak untuk mendapat Surat
Tanda Bukti Pendaftaran Nazhir dan juga hak untuk mendapatkan
pembinaan. Pembinaan yang dimaksud disini adalah pembinaan yang
dilakukan oleh Menteri atau BWI, hal ini tertuang dalam Pasal 13
Undang-Undang Nomor 41 tahun 2004 tentang Wakaf yang
menyatakan bahwa, “Dalam melaksanakan tugas sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 11, Nazhir memperoleh pembinaan dari Menteri
dan Badan Wakaf Indonesia.” Kemudian dipertegas lagi dalam pasal
berikutnya yaitu Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Nomor 41 tahun
2004 tentang Wakaf yang menyatakan bahwa, “Dalam rangka
pembinaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, Nazhir harus
terdaftar pada Menteri dan Badan Wakaf Indonesia.”
Tidak diperolehnya pembinaan ini akan berimplikasi pada
rawan hilang atau terbengkalainya harta benda wakaf yang mana
dalam hal ini adalah tanah karena kurangnya pengetahuan Nazhir
dalam melaksanakan pengelolaan dan pemanfaatan harta benda wakaf.
Lebih lanjut, Pasal 49 Undang-Undang Nomor 41 tahun 2004
tentang Wakaf menyatakan bahwa,
“BWI mempunyai tugas dan wewenang untuk melakukan pembinaan
terhadap Nazhir dalam mengelola dan mengembangkan harta benda
wakaf, melakukan pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf
berskala nasional dan internasional, memberikan persetujuan dan/atau
izin atas perubahan peruntukan dan status harta benda wakaf,
memberhentikan dan mengganti Nazhir, memberikan persetujuan atas
77
penukaran harta benda wakaf, serta memberikan saran dan
pertimbangan kepada Pemerintah dalam penyusunan kebijakan di
bidang perwakafan.”
Pembinaan tersebut berupa penyiapan sarana dan prasarana
penunjang oprasional Nazhir wakaf baik perseorangan, organisasi dan
badan hukum; penyusunan regulasi, pemberian motivasi, pemberian
fasilitas, pengkoordinasian, pemberdayaan dan pengembangan
terhadap harta benda wakaf; penyediaan fasilitas proses sertifikasi
Wakaf; penyiapan dan pengadaan blanko-blanko akta ikrar wakaf, baik
wakaf benda tidak bergerak dan/atau benda bergerak; penyiapan
tenaga-tenaga penyuluh penerangan di daerah-daerah untuk melakukan
pembinaan dan pengembangan wakaf kepada para Nazhir sesuai
dengan lingkupnya; dan pemberian fasilitas masuknya dana-dana
wakaf dari dalam dan luar negeri dalam pengembangan dan
pemberdayaan wakaf.”