doa emak untuk asa
DESCRIPTION
DOA EMAK UNTUK ASA. Sesungguhnya hidup itu memang indah... setidaknya itulah yang aku rasakan dalam dekapan Emak yang selalu hangat. Asa kecil tak pernah jauh dari Emak yang mengasuhnya dengan penuh kasih sayang dan cinta seorang diri. Namun, saat beranjak dewasa, karena tuntutan keadaan yang mengharuskan Asa untuk berjuang pergi meninggalkan Emak dan hidup berdikari di negeri orang. “Ketika doa Emak, perjuangan yang meneteskan air mata demi Asa, Ketika cinta Emak, menguatkan alang rintang pada Asa”.TRANSCRIPT
2
Doa Emak
untuk Asa
Hidup itu indah... ketika aku bersamamu, Emak
Penerbit
Nulisbuku.com
3
Doa Emak untuk Asa
Oleh: Musa Rustam
Copyright © 2014 by Musa Rustam
Penerbit
Nulisbuku.com
Desain Sampul:
Musa Rustam
Diterbitkan melalui:
Nulisbuku.com
4
Buku ini kupersembahkan untuk :
Emakku adalah Ibu terbaik sedunia,
terima kasih ‘tuk cinta, kasih sayang dan ridhonya.
5
Ucapan Terima Kasih...
Ucapan terima kasih kusampaikan
kepadaNYA, Segala puji saya panjatkan ke
hadirat Allah SWT, berkat pertolongan dan
hidayahnya. Kepada wanita pendampingku
sosok sangat bermakna yang selalu
memberikan dukungan dengan
inspirasinya yang luar biasa. Kepada
putraku, Muhammad Hafiz Danish Veysa,
yang senantiasa menjadi penerang dan
pelipur lara dalam hidupku. Kepada
orangtuaku, Mak Rinah, Bapak Rustam
(Alm), Mama Mahirmani, Papa Adi Sucipto,
yang telah memberikan cinta kasih dan
dukungan yang sangat luar biasa
kepadaku. Kepada Kalak, Para Kabid,
Sekretaris, Para Kasie dan rekan-rekan
BPBD Provinsi DKI Jakarta, Rekan-rekan
Satpol PP Provinsi DKI Jakarta, dosenku di
STIA LAN Jakarta dan teman-teman baikku
yang telah mendukungku selama ini serta
Nulisbuku.com.
6
”Tidak ada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula)
pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh
Mahfudzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang
demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Kami jelaskan yang demikian
itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput darimu,
dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang
diberikanNya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai orang-orang yang
sombong lagi membanggakan diri.”
(QS. Al-Hadiid : 22-23)
7
Chapter One
Ia sangat tinggi menjulang, tepat di jantung ibukota
negara. Di tengah-tengah Jakarta. Di tengah-tengah
peradaban Indonesia. Di tengah-tengah kekaguman
kami dari berbagai pelosok nusantara. Seperti
permainan kemudi putar yang berputar di pasar
malam, membuat tertawa riang anak-anak yang
menaikinya, segala yang berada di atasnya pun ikut
berputar. Kami pun ikut berkemudi putar.
Kami tiba di kota ini layaknya lebah yang
mendatangi bunga-bunga yang memiliki madu.
Terpesona akan cantik dan manisnya yang belum
pernah kami lihat sebelumnya. Tubuh dan jiwa kami
bergerak bersama alunan kereta api listrik yang
membawa kami keluar dari kampung terbiasa dengan
banjir pada musim penghujan. Kami semua di tarik
ke dalam sebuah bejana yang tak berujung,
membawa takdir masing-masing yang tak pernah
kami pahami dan mengerti.
8
Pada bulan Maret 1993, Emak berkata. Tepat
34 tahun keberadaannya.
“Melihatnya seperti itu, tampaknya ia seperti
kesepian dan sendiri. Berdiri tegak menghiasi kota
pada siang dan mencoba menyinari pada malam, ia
begitu tampak murung”
Tapi menurutku, justru karena itulah ia begitu
di kagumi semua orang. Di ibukota yang terasa
hampa ini, saat orang-orang memandang ke atas dan
melihat ada bongkahan yang berkilau seperti emas
dengan melihatnya berdiri tegak bersinar dengan
penuh kehormatan, mereka akan merasakan adanya
kekuatan luar biasa, penuh perjuangan sejarah bangsa
dan memiliki daya tarik keindahan bagi siapa saja
yang melihatnya.
Wahai anakku, Emak sudah mengalami manis
dan getirnya kehidupan-perebutan paksa,
pengkhianatan yang tak berujung, kekerasan dari
kekejaman-merasakan kekaguman pada keindahan
dalam kesendirian dan keterpurukan itu. Kami tidak
dapat menahan air mata yang jatuh dari pelipis mata,
9
kesedihan yang mendalam namun kita harus tetap
berputar mengikuti waktu dalam jam, sesuai dengan
putaran porosnya, berputar membuat kita harus kuat
dan menjalaninya dengan penuh kesabaran.
Semua orang berdatangan ke tempat ini.
Mereka meninggalkan kampung halaman demi
sebuah mimpi dan harapan agar dapat berdiri dan
tegak, untuk membangun mimpi mereka, yang penuh
pengharapan nan suci di Jakarta ini.
Inilah kisah masa kecilku, bertiga dengan
Bapak dan Emak di Jakarta, berjuang bersama
mereka yang memiliki persamaan dengan jutaan
orang-orang pemimpi yang datang dari kampung
halaman. Bapak yang terlupakan dari hingar-bingar
dan terhempas dari putaran kemudi putar, aku datang
dengan bertahan memiliki tujuan yang sama, namun
bingung aku tak bisa berjuang melihat segala keadaan
yang terjadi, tapi aku tak dapat pergi kemana-mana.
Sedangkan Emak dengan super-kesabarannya,
mencoba bertahan yang akhirnya harus berjuang
hingga tertidur letih di bantaran kali Ciliwung.
10
= #=#=#=
Pagi itu, di dalam sebuah kamar yang mungil dengan
pemandangan langsung ke bantaran kali Ciliwung,
kami bertiga tidur berdampingan dengan lelap.
Banyak orang berkata bahwa mereka tidak terlalu
mengingat hal-hal yang terjadi ketika mereka masih
kanak-kanak. Namun, berbeda dengan aku, aku
masih sangat ingat dan jelas. Aku seakan masih dapat
mencium aroma udara yang menghinggapi sekeliling,
serta membayangkan hal-hal yang terjadi pada saat
itu. Mungkin karena aku hanya memiliki sedikit saja
memori yang harus aku ingat dan alami apabila di
bandingkan dengan orang lain.
Ingatan hingga usiaku menginjak umur tiga
tahun, tentang Aku, Emak dan Bapak serta seorang
adik perempuanku. Ingatan ketika kami harus
kehilangan seorang Engkong yang kami cintai telah
meninggal dunia tanpa harus aku mengerti, mengapa
beliau pergi meninggalkan kami, sehingga dalam
ingatanku hanya tersisa sekeping episode tersebut,
11
saat kami masih memiliki senyum kebahagiaan dan
keindahan dalam hidup yang utuh.
= #=#=#=
Gubrakkk!! Jeger!! bunyi pintu di dobrak
membangunkan tidurku yang lelap. Emak yang tidur
di sampingku di atas ranjang besi berwarna biru juga
langsung terbangun dan terduduk, termenung kaget.
Sudah tengah malam, tak hanya anak-anak, orang
dewasa pun tengah terbuai dalam mimpinya yang
indah. Bapak pun masih terjaga dengan
ketermenungannya yang tak berujung.
Dari arah pintu terdengar teriakkan seorang
laki-laki memanggil nama Emak. Emak langsung
berlari menuju depan pintu yang terdapat seorang
laki-laki, tetapi dia segera kembali masuk ke kamar
dengan wajah ketakutan dan pucat.
Emak langsung mendekapku sangat erat,
seperti induk kucing betina yang memeluk anaknya
karena terancam gangguan dari pengganggu. Dia
membawaku setengah berlari ke balik almari.
12
Encang, kakak dari Bapakku, tanpa
mengucapkan salam ataupun dengan mengetuk pintu,
Encang malah menendangnya. Pintu yang terbuat
dari kayu dari beberapa lembar potongan tripleks dan
kayu kaso di rekatkan dengan paku ukuran 20
milimeter. Rusak dan ambruk daun engsel yang
menyatukannya. Tanpa melepas sandal, Encang
bergegas mengejar Bapak yang berlari menghindar,
di selingi teriakan Enyak. Seperti pasukan khusus
anti teror yang ingin menyergap teroris. Dan hal
seperti ini sering terjadi. Entah mengapa, aku tak
mengerti mengapa Bapak menjadi sasaran Encang.
Aku tak pernah habis berfikir.
Encang menarik paksa Bapak dari
lamunannya yang penuh dengan kekosongan, Aku
hanya bisa ketakutan di balik almari dalam dekapan
Emak. Bapak sudah terpojok di sudut ruangan,
kemudian menarik bungkusan dari plastik yang
berwarna hitam, isinya ternyata seekor pecel lele
goreng yang baru saja di goreng. Encang kemudian
menjejalkan begitu saja ke mulut bapak.
13
Rupanya Encang ingin memberi oleh-oleh
seekor pecel lele untuk adiknya yaitu Bapakku.
Seumur hidupku itulah yang pertama, aku melihat
Bapak di perlakukan seperti itu, di suapi dengan
paksa oleh Encang untuk makan. Encang pemabuk
berat. Di bawah pengaruh alkohol dia selalu
mengamuk tak beraturan, tak peduli dengan keadaan
sekitarnya, siapapun bisa terkena bolgem mentah
darinya.
Pintu rumah kami yang rusak di perbaiki oleh
Emak beberapa hari kemudian. Dari pintu yang utuh
dan rapih kini di bagian kanan tertutup bahan tripleks
yang berbeda dari yang aslinya, seperti membentuk
tambalan pintu layaknya ban bocor yang di tambal,
sehingga pintu rumah kami tampak aneh.
Aku sering sekali menangis. Dan ketika aku
menangis lama sekali. Bapak hanya bisa melihat dan
tersenyum ketika aku menangis dengan terkadang
ikut meneteskan air mata juga. Emak selalu
mendekapku dengan penuh kehangatan, Emak
melarangku menangis, Emak tak ingin aku menjadi
14
anak yang cengeng, walaupun aku masih berumur
tiga tahun.
Pada suatu pagi, saat Aku bermain di depan
televisi, memainkan puzzle bongkar pasang yang
terbuat dari kertas karton bergambar ondel-ondel,
Bapak duduk di kursi tak jauh dariku dengan masih
dalam lamunannya yang kosong, tak memiliki makna
apa-apa akan tetapi menyiratkan beban pikirannya
yang sangat dalam, dia terkadang meledek aku yang
kebingungan tak dapat menyusun puzzle itu. Sesaat
aku menangis kaget, karena aku menjatuhkan
secangkir teh manis yang ada di meja, praang!! Suara
cangkir yang jatuh ke lantai. Tiba-tiba Encang dari
kamar sebelah membentak-bentak dan mengangkat-
angkat tubuhku yang mungil, lalu melemparku ke
ruang yang berlantai dengan tikar hambal.
Aku di buatnya melayang, tubuhku yang
mungil terlempar masuk lorong rumah dengan tikar
hambal. Enyak yang menyaksikan kejadian itu
berusaha menangkap tubuhku seperti bocah-bocah
menangkap bola pada permainan kasti di lapangan.
15
Emak menceritakan kejadian ini kepadaku di
kemudian hari. Mungkin saat itu aku mengalami
seperti apa yang di rasakan oleh penerjun parasut
yang melompat dari pesawat. Mereka tak akan
pernah ingat apapun, apabila suatu ketika parasut
yang di terbangkan tidak berfungsi dengan baik,
mereka akan terhempas jatuh ke bawah, sehingga
menghancurkan mereka tak berkeping. Seandainya
saja Enyak gagal menangkapku, mungkin aku akan
jatuh dengan terlebih dahulu kepala yang membentur
lantai, dan aku akan mengalami depresi yang
mendalam.
Aku juga mempunyai masalah dalam
tubuhku. Saat aku mengalami gangguan dalam usus
di pencernaanku, Emak membawaku ke Dokter
Puskesmas dekat rumah. Di Puskesmas tersebut ada
seorang dokter perempuan berkerudung, dan Emak
berkali-kali mengatakan bahwa “Dokter itu udah
cantik, betul-betul dokter yang bagus, Emak tak tahu
kalau dia tak ada, kamu pasti sudah mati”. Setiap
kali aku ke sana, dokter itu pasti menyuntik pantatku
16
dengan sabar. Walaupun begitu, kalaupun selalu di
hibur agar aku tidak menangis. Demi menyenangkan
mereka, aku menahan dalam hati, tidak menangis dan
berpura-pura tidak apa-apa.
Suatu hari, ketika aku mengalami sakit perut
yang sangat meradang dan di bawa ke puskesmas,
ternyata saat itu adalah hari libur. Akhirnya Emak
membawaku ke klinik swasta yang ada di Jatinegara.
Sudah menganggap penyakitku sudah biasa, aku pun
menjalani beberapa pemeriksaan, dari mulai suhu
tubuh dengan termometer, mataku di senter dengan
alat penerang dan perutku di ketuk-ketuk sambil di
dengarkan dengan stetoskop, namun aku kemudian
menangis dengan sangat kencang dan meraung-raung
kesakitan karena dokter itu menyuntikku pada lengan
bagian kiri.
Sakit perutku tak juga kunjung sembuh
sehingga keesokan harinya. Emak membawaku
kembali ke dokter perempuan berkerudung, yang
sudah biasa memeriksaku karena Emak tak tahan
melihat penderitaanku yang menyiksa. Bu dokter
17
malah menegur Emak, “Kenapa Ibu tidak segera
membawa kemari anaknya?” dokter berkerudung itu
akhirnya duduk di meja kerjanya setelah
memeriksaku, setelah itu dia segera menulis surat
rujukan ke Rumah Sakit Umum Daerah di
Rawamangun dan mengirimkanku ke sana.
Ternyata aku menderita usus buntu dan
kondisiku sepertinya cukup parah, beberapa dokter
ahli penyakit dalam berkumpul dan memasuki ruang
operasi. Menggunakan seragam serba hijau, dengan
tutup kepala berwawna hijau tak luput juga sarung
tangan dan masker berwarna hijau. Meskipun aku
tidak mengetahui prosedurnya secara mendetail,
pertama-tama di lakukan operasi injection cairan
semacam enema listrik yang di masukkan melalui
anus oleh dokter yang berkacamata. Bahkan bagi
orang dewasa pun, langkah ini cukup berat untuk di
jalani seorang pasien dewasa.
Dengan menggunakan radar yang termonitor
dalam layar screen berwarna hitam dengan
menunjukkan keberadaan enema listrik dalam perut
18
agar dapat di ketahui. Jika sudah sampai di usus dan
enema listrik tersebut terhenti, maka harus di lakukan
operasi pembedahan di bagian perut untuk
mengeluarkan bagian yang bermasalah di dalam usus.
Sebelum operasi, Emak mendapat penjelasan
dari dokter bahwa jika ususku dipotong, tak tertutup
kemungkinan aku akan mengalami beberapa
kesulitan dalam kehidupan sehari-hari.
Dari balik kaca jendela di depan pintu
operasi, Emak berdoa agar cairan enema listrik itu tak
terhenti.
“Ya Allah pemilik segala zat, hanya
ENGKAU yang maha mengetahui, anakku sedang
berjuang untuk melawan penyakitnya, tak ada yang
mengizinkan sehelai rambut pun tumbuh hitam indah
di kepalanya, termasuk penyakit yang tumbuh pada
anakku, kalau boleh meminta pindahkan saja
penyakitnya ke tubuhku, aku ikhlas dan ridho. Tukar
saja usus anak hamba dengan usus hamba Ya Rab”.
Sedangkan Bapak, sama halnya ketika saat
aku di lahirkan, diam dan termenung di dekat jendela
19
rumah, tak ada banyak hal yang dapat dia perbuat
karena pengaruh tekanan mental yang dia hadapi,
Aku lahir di sebuah kamar dengan ukuran 2 X 3 m2
dengan bantuan dukun beranak yang bernama Mak
Okih. Sebuah proses sangat luar biasa kala itu, proses
persalinan dengan perjuangan seorang ibu antara
hidup dan mati dalam melahirkan anak manusia.
Tidak ada teknologi yang luar biasa ketika itu, tanpa
jarum suntik, tanpa peralatan medik yang canggih,
maupun tenaga bidan ataupun dokter, hanya beberapa
peralatan sederhana seadanya dengan semangat dan
keyakinan yang kuat dari seorang dukun beranak
yang sudah lama di geluti secara turun temurun dari
orangtuanya terdahulu, begitulah sebuah proses
persalinanku. Ibuku di dalam hatinya selalu berzikir
sambil memanjatkan doa-doa di dalam
perjuangannya ;
"Ya Allah, peliharalah anakku selama di
dalam kandunganku dan sembuhkanlah ia.
Sesunggguhnya Engkau Maha Penyembuh, tiada
sembuhan melainkan penawarMu, sembuh yang
20
tiada meninggalkan kesan yang buruk. Ya Allah,
lahirkanlah ia dari kandungan ku dengan kelahiran
yang mudah dan sejahtera (selamat). Ya Allah,
jadikanlah ia sehat sempurna, cedik, berakal dan
berilmu serta beramal saleh. Ya Allah, elokkanlah
akhlak (perangai)nya, fasihkanlah lidahnya dan
perelokkanlah suaranya untuk membaca Al-quran
dan Hadis dengan berkat Nabi Muhammad SAW"
Tepat pukul 00.45 WIB Kamis dini hari, lahir
dengan sehat ke dunia, anak yang sangat lucu dan
manis, dengan suaranya sangat kencang menangis
menandakan kehadirannya. Di dekati seorang laki-
laki yang sudah mulai putih rambutnya oleh Mak
Okih, lalu di dekatkan telinga sang bayi itu untuk di
adzankan,
“Allahu Akbar....”
“Allahu Akbar....”
“Allahu Akbar....”
Suara adzan itu terdengar berkumandang
sangat indah, perasaan haru dan bercampur bahagia
tercermin di mata Yusuf sambil menggendong bayi
21
mungil itu, bapak dari Rustam, karena kala itu
Rustam masih kebingungan dan panik melihat Rinah
yang sedang lemas dan letih selesai pasca persalinan.
Proses persalinan yang panjang di tandai dengan
banyaknya berbagai kejadian-kejadian yang sangat
memprihatinkan, di karenakan minimnya
pengetahuan hingga memperlambat proses
persalinan. Bayi dengan berat kira-kira 2.9 kg dengan
panjang 48 cm, lahir dengan selamat dan di beri
nama Asa tanpa nama panjang ataupun embel-embel
yang lain. Nama pemberian dari Sang Engkong.
Untungnya, radar di dalam perutku berjalan
lancar. Cairan enema listrik berhasil membuka bagian
yang tersumbat sehingga perutku tak perlu di lakukan
pembedahan. Emak menangis syukur dan haru
dengan perkembangan tubuhku yang membaik,
dengan mengucapkan hamdallah kepada Allah dan
sujud syukur.
Aku masih ingat sekali aroma khas bubur
dengan kuah soto ceker ayam yang di buatkan Emak
ketika aku sakit merintih menahan sakit. Aku juga
22
masih mengingat ekspresi wajah Emak yang khawatir
dengan penyakitku. Namun, keberadaan Bapak tidak
begitu membekas dalam memoryku
Satu hal lagi yang masih aku ingat dengan
jelas, yaitu sosok wajah Bapak saat termenung diam,
dan sesaat dia menghampiriku memberikan kepingan
puzzle yang membuatku bingung mana yang harus
aku isi terlebih dulu, di karenakan gambarnya masih
penuh teka-teki untukku. Kemudian memberikan
sambil menunjuk dengan tangan kirinya letak
kepingan puzzle itu. Sosok Bapak yang tampak itu,
begitu baik hati di mataku.
Inilah hal-hal yang masih tersimpan dengan
baik dalam memoryku. Mungkin ada hal-hal yang
terhapus. Namun ingatan ini saat Aku, Emak dan
Bapak masih ada sebagai keluarga yang utuh. Hanya
ini yang terkenang, tidak ada yang lain.
= #=#=#=
Aku lahir di Jatinegara di kota Jakarta, di
sebuah kampung yang berada dekat dengan tepian
23
kali Ciliwung. Kampung kami memiliki dua RW
yang lumayan padat penduduknya, di kampung kami
sudah menjadi langganan setiap tahunnya karena
kampung kami terletak di dataran sangat rendah,
yang bentuk kampungnya bila di lihat dari atas,
serupa tapal kuda di kelilingi oleh sungai Ciliwung
sepanjang kampung. Banjir menjadi sudah biasa,
kampung yang berdampingan dengan banjir yang
sudah di anggap menjadi konsekwensi dari musim
hujan yang melanda, ketika di daerah puncak hujan
lebat, sekitar delapan sampai dengan sembilan jam
kemudian banjir akan menggenangi kampung kami,
hingga mencapai kedalaman dua meter. Kami
mencoba bertahan dengan banjir menjadi potret tiap
tahun musim penghujan di Kampung kami.
Emak bercerita saat dia masih kecil, Kali
Ciliwung bersih dan jernih, airnya pun bisa di
minum, selain itu ikannya beragam dan juga banyak
bebatuan sehingga kita bocah-bocah kali Ciliwung
senang sekali mandi dan bermain di sana bersama
teman-teman.
24
Di seberang kampung kami ada sebuah Dipo
Bukitduri yang berdiri sejak zaman Belanda, pada
waktu itu sebelum ada lokomotif diesel tempat ini
untuk merawat lokomotif uap. Di perkirakan tahun
1955 baru merawat diesel listrik type BB 302 hingga
tahun 1975. Kehidupan masyarakat di masa itu mulai
di liputi kegairahan aktivitas masyarakat yang
menjalankan roda perekonomiannya. Aktivitas jual
beli di Pasar Lama Jatinegara atau lebih di kenal
dengan Pasar Mester, merupakan pusat ekonomi bagi
warga Jatinegara. Pasar Lama Jatinegara mempunyai
banyak deretan bangunan di mana dulunya di kenal
dengan bangunan Belanda. Di sekitar pasar tersebut
juga terdapat pedagang-pedagang kaki lima yang
menjajakan dagangannya, mulai dari pukul tujuh pagi
hingga pukul enam sore. Pasar ini sangat ramai pada
tanggal-tanggal muda, di mana orang-orang baru saja
mendapatkan penghasilannya.
Ketika aku mulai masuk sekolah dan sudah
terbiasa dengan buku pelajaran, Emak sering
bercerita tentang perjuangan bangsa kita melawan
25
penjajah. “Kekejaman tentara Jepang yang menjajah
Indonesia, kekejamannya seakan melebihi Belanda.
Bukan hanya kerugian di bidang materi, namun juga
dari sisi mentalitas dan kehormatan. Sebuah catatan
gelap suatu bangsa yang melakukan penjajahan
dengan sempurna”
Setiap aku mendengar cerita itu, meskipun
aku masih kecil, tak tahu kenapa kepalan tanganku
mengeras, seakan ingin marah dengan negara
Belanda dan Jepang, mengapa mereka begitu tega
menjajah kami hingga kami pun tersiksa.
= #=#=#=
Rumahku berada di dekat dengan Pasar
Mester, dan di sekitarnya ada taman bermain. Rumah
tersebut adalah bangunan dua lantai terbuat dari
bangunan semi permanen yang di bangun oleh
Engkong, saat aku belum lahir. Baik Engkong dari
pihak Bapak maupun Emak sudah meninggal
sehingga aku tidak memiliki bayangan mengenai
sosok mereka. Bapak hanya memiliki selembar foto
26
Engkong ketika Bapak bersama dengan monyet
piaraan Engkong di belakang rumah berfoto bersama
untuk 17 Agustus-an.
Di rumah tersebut tinggalah Emak, Bapak,
Aku, Enyak, dan Encang Uding, Kakak dari Bapak
beserta dua anaknya yaitu ; Mila dan Yadin. Setelah
Engkong meninggal sehingga beberapa ruangan
rumah di sekat dan di beri kamar mandi untuk di
kontrakkan sebagai rumah kontrakan pada beberapa
pasangan muda yang baru menikah ataupun
mahasiswa yang mengadakan penelitian tentang
kampung kami. Para mahasiswa itu baik sekali
kepadaku. Mereka sering membelikan kembang gula
berwarna pink dan kerak telor kesenanganku.
Emak mengandung aku setahun setelah dia
datang ke rumah ini. Tahun 1984, Emak berumur 19
tahun sedangkan Bapak berumur 2 tahun lebih tua,
yang baru ingin menginjak 21 tahun. Bapak yang
kelahiran asli Jatinegara bersekolah di STM Listrik
Boedi Oetomo, tapi sudah di duga Bapak memang
pintar, saat kelas dua STM, Bapak adalah anak
27
termuda dari empat bersaudara yang memiliki
pendidikan paling tinggi di bandingkan dengan
kakak-kakaknya. Engkong mengira dengan
memasukkan Bapak ke STM akan membentuk Bapak
menjadi karakter yang mandiri dan siap bekerja
kelak. Tetapi, Engkong mungkin tak sadar bahwa itu
bisa berubah dan menjadi fatal “Karena salah
bergaul”.
Setelah masuk STM, Bapak karena kurang
pengawasan melakukan berbagai perbuatan buruk
dan kekeliruan dalam belajar. Karena sering
membolos, tawuran antar pelajar dan berbagai
aktivitas negatif yang mungkin terpengaruh temannya
di sekolah.
Bapak sesungguhnya anak yang cerdas dan
berbakat dengan kepandaian dalam mereparasi
barang-barang elektronik di rumah seperti televisi,
kipas angin, mesin pompa air, dan setrika yang rusak,
sehingga dapat menambah uang jajannya dari
mereparasi barang-barang elektronik milik tetangga.
28
Semuanya ini bermula dari akibat Bapak
belajar ilmu gaib yang di ajak oleh temannya Junaedi
yang mempelajari dunia mistik, mereka tidak
memahami bahaya yang mengancam, ketika siapa
saja yang mencoba menyelami dunia mistik. Bahaya
yang paling besar adalah “kegilaan”. Seseorang yang
mulanya mencoba belajar ilmu-ilmu gaib, lalu tiba-
tiba menjadi tidak waras alias gila. Hal itu karena
kini dia tidak dapat membedakan antara dunia gaib
dengan dunia nyata, bahkan antara khayalan dan
kenyataan menjadi satu baginya.
Bapak menjadi anak pendiam, sering
menyendiri dan termenung dalam dunianya sendiri.
Tak lebih dari tiga kata yang keluar dari mulutnya,
yaitu “jangan dekati aku”. Berjuta pertanyaan di
lontarkan Engkong kepadanya, apa yang sebenarnya
terjadi.
= #=#=#=
Bapak menikah dengan Emak ketika baru
lulus, dia belum bekerja hanya berjualan meneruskan
29
usaha Engkong. Bapak menikah dengan Emak
berawal dari perjodohan kedua orangtua mereka,
akhirnya di jalani juga dengan rasa penuh cinta dan
kasih sayang.
Emak lahir di Cipayung, sebuah kampung
pinggiran Jakarta. Emak adalah bontot dari sembilan
bersaudara, dari keluarga pembuat pengrajin tahu.
Emak tidak memiliki pendidikan yang tinggi, dia
bersekolah hanya sampai kelas 2 SD, tak banyak aku
mengetahui masa lalu sebelum Bapak dan Emak
menikah. Yang aku tahu setelah menikah, Bapak dan
Emak tinggal bersama dengan Engkong dan yang lain
di Jatinegara.
Emak tipe orang yang periang, suka tertawa
walaupun tersipu malu serta menyenangkan. Dia
selalu memperhatikan orang-orang di sekitarnya dan
menyukai pekerjaan rumah tangga. Itu terlihat rumah
yang rapih dan bersahaja.
Seratus delapan puluh derajat berbeda dengan
Bapak. Cenderung pendiam, tidak pernah memulai
pembicaraan apabila bukan lawan bicaranya yang
30
memulai. Bapak bukan tipe senang bercanda,
sehingga terlalu kaku apabila tertawa. Dia suka
melakukan hal-hal di luar orang awam, senang
menyendiri dan hanyut dalam dunianya sendiri.
Pertemuan dua orang tersebut terjadi pada
pesta penikahan. Tidak berapa lama sejak perjodohan
kedua orangtua. Hidup bersama mertua, kakak ipar
yang arogan dengan istrinya, dan seorang suami yang
tak bisa di tebak jalan pikirannya, tidaklah mudah
bagi Emak. Baik secara fisik maupun psikis. Banyak
tekanan yang terjadi secara bertubi-tubi.
Emak melahirkan adik perempuan saat usiaku
empat tahun. Beban Emak makin besar. Kami tinggal
dalam satu kamar, rumah yang kami tempati memang
tidak besar, kami berada di lantai dua dengan ruangan
hanya 3 X 4 meter. Ruangan itu cukup bersih
walaupun kecil, Bapak hanya diam mengawasi
aktivitas kami bertiga. Sesekali adik perempuanku
menangis karena buang air kecil ataupun karena haus
minta di susui oleh Emak.
31
Ketika adik perempuanku tertidur lelap, Emak
selalu menceritakan setiap malam sosok pemimpin
Islam yang menjadi Khalifah kedua, dialah Umar bin
Khattab r.a. Umar bin Khattab ini masuk dalam Islam
berkat hidayah dari Allah yang pertama, yang kedua
berkat doa Rasulullah SAW dan yang ketiga berkat
adiknya Fatimah yang terlebih dahulu menjadi
pengikut Nabi Muhammad SAW berkat lantunan
ayat suci Al-Qur'an yang di bacanya.
Emak berkata ketika waktu Rasulullah berdoa
kala itu, Emak sambil mengatur nada tinggi
rendahnya sesuai dengan konteks cerita, doanya
adalah :
"Semoga Allah memberi kejayaan pada Islam
dengan masuknya Umar ke dalam Islam." Dan Allah
SWT pun mengabulkan doa tersebut.
Umar adalah sosok pemimpin teladan yang
sangat mengerti kepentingan rakyatnya begitulah kata
Emak. Padahal ia sendiri hidup dalam kondisi sangat
sederhana. Pada suatu malam, sudah menjadi
kebiasaan bahwa Khalifah Umar bin Khattab sering
32
berkeliling mengunjungi dan menginvestigasi kondisi
rakyatnya dari dekat.
Nah, pada suatu malam itu, ia menjumpai
sebuah gubuk kecil yang dari dalam terdengar suara
tangis anak-anak. Ia pun mendekat dan mencoba
untuk memperhatikan dengan seksama keadaan
gubuk itu. Dalam dialog Umar bin Khattab dengan
seorang Ibu. Ternyata dalam gubuk itu terlihat
seorang ibu yang sedang memasak, dan di kelilingi
oleh anak-anaknya yang masih kecil.
Si ibu berkata kepada anak-
anaknya,"Tunggulah...! Sebentar lagi makanannya
matang yah „nak!!"
Sang Khalifah memperhatikan dari luar, si ibu
terus menerus menenangkan anak-anaknya dan
mengulangi perkataannya bahwa makanan yang di
masaknya akan segera matang.
“Terus gimana lagi Emak!!!” Aku memotong
pembicaraan sambil berkerut penuh perhatian dan
penasaran dengan cerita yang di bacakan oleh Emak.
33
Dengan nada sedikit tinggi, menyesuaikan
ceritanya, Emak mencoba membuka imajinasiku
dalam merasuk settingan plot cerita yang di narasikan
Emak.
“Sang Khalifah menjadi sangat penasaran,
karena yang di masak oleh ibu itu tidak kunjung
matang, padahal sudah lama dia memasaknya”
Akhirnya Khalifah Umar memutuskan untuk
menemui ibu itu.
"Mengapa anak-anakmu tidak juga berhenti
menangis, Bu..?" tanya Sang Khalifah.
"Mereka sangat lapar" jawab si ibu.
"Kenapa tidak cepat engkau berikan makanan
yang dimasak dari tadi itu?" tanya Khalifah.
"Kami tidak ada makanan. Periuk yang dari
tadi aku masak hanya berisi batu untuk mendiamkan
mereka. Biarlah mereka berfikir bahwa periuk itu
berisi makanan, dengan begitu mereka akan berhenti
menangis karena kelelahan dan tertidur." jawab si
ibu.
34
Setelah mendengar jawab si ibu, hati sang
Khalifah Umar bin Khattab serasa teriris. Kemudian
Khalifah bertanya lagi, "Apakah ibu sering berbuat
demikian setiap hari?"
"Iya, saya sudah tidak memiliki keluarga atau
pun suami tempat saya bergantung, saya sebatang
kara...," jawab si ibu.
Hati dari sang Khalifah laksana mau copot
dari tubuh mendengar penuturan itu, hati terasa
teriris-iris oleh sebilah pisau yang tajam.
"Mengapa ibu tidak meminta pertolongan
kepada Khalifah supaya ia dapat menolong dengan
bantuan uang dari Baitul Mal?" tanya sang khalifah
lagi.
"Ia telah zalim kepada saya...," jawab si ibu.
"Zalim....," kata sang khalifah dengan
sedihnya.
"Iya, saya sangat menyesalkan
pemerintahannya. Seharusnya ia melihat kondisi
rakyatnya. Siapa tahu ada banyak orang yang
senasib dengan saya!" kata si ibu.
35
Khalifah Umar bin Khattab kemudian berdiri
dan berkata :
"Tunggulah sebentar Bu ya. Saya akan segera
kembali."
Bantuan dari Khalifah. Di malam yang
semakin larut dan hembusan angin terasa kencang
menusuk, Sang Khalifah segera bergegas menuju
Baitul Mal di Madinah. Ia segera mengangkat
sekarung gandum yang besar di pundaknya, di temani
oleh sahabatnya Ibnu Abbas. Sahabatnya membawa
minyak samin untuk memasak. Jarak antara Madinah
dengan rumah ibu itu terbilang jauh, hingga membuat
keringat bercucuran dengan derasnya dari tubuh
Umar. Melihat hal ini, Abbas berniat untuk
menggantikan Umar untuk mengangkat karung yang
di bawanya itu, tapi Umar menolak sambil berkata,
"Tidak akan aku biarkan engkau membawa
dosa-dosaku di akhirat kelak. Biarkan aku bawa
karung besar ini karena aku merasa sudah begitu
bersalah atas apa yang terjadi pada ibu dan anak-
anaknya itu."
36
Beberapa lama kemudian sampailah Khalifah
dan Abbas di gubuk ibu itu.
Begitu sekarung gandum dan minyak samin itu di
serahkan, bukan main gembiranya mereka. Setelah
itu, Umar berpesan agar ibu itu datang menemui
Khalifah keesokan harinya untuk mendaftarkan
dirinya dan anak-anaknya di Baitul Mal.
Setelah keesokan harinya, ibu dan anak-
anaknya pergi untuk menemui Khalifah. Dan betapa
sangat terkejutnya si ibu begitu menyaksikan bahwa
lelaki yang telah menolongnya tadi malam adalah
Khalifahnya sendiri, Khalifah Umar bin Khattab.
Segera saja si ibu minta maaf atas
kekeliruannya yang telah menilai bahwa khalifahnya
zalim terhadapnya. Namun Sang Khalifah tetap
mengaku bahwa dirinyalah yang telah bersalah.
“Nah, itulah kisah pemimpin teladan kita,
sahabat Rasulullah SAW, Khalifah Umat Islam yang
kedua, Umar bin Khattab. Pelajaran berharga ini
harus kamu perhatikan yah „nak, ketika kamu dewasa
dan menjadi seorang pemimpin, jangan pernah lupa
37
dengan kondisi orang-orang sekitarmu, kita masih
bersyukur walaupun makan tiga kali sehari dengan
menu tempe dan tahu saja, kelak kamu akan menjadi
orang besar”
“Sudah malam, Asa tidur yah!” sambil
mencium kening dan mengusap-usap kepalaku.
= #=#=#=
Senin pagi itu, aku pertama kali berangkat ke sekolah
di antarkan Emak. Kumpulan batang pohon Bambu
yang kira-kira berjumlah lima belas batang pohon
Bambu di ikat menjadi satu, tersusun rapi seperti
permadani membentang menjadi sebuah getek yang
membawaku. Emak di sebelahku, memegang erat
pergelangan tanganku dengan tangan kanannya yang
lembut. Emak seorang perempuan berbadan kurus
dan mungil. Wajahnya sekurus badannya, dengan
sepasang mata yang bersih di naungi alis tipis.
Mukanya selalu mengibarkan senyum ke siapa saja.
Kalau keluar rumah selalu menggunakan baju
kebaya yang di padu dengan kain atau rok
38
panjang. Tidak pernah celana panjang. Kepalanya
selalu di tutup turban dan di lehernya tergantung
selendang.
Emak tidak pernah menamatkan Sekolah
Dasarnya, ia bersekolah hanya sampai kelas dua
saja, di karenakan keluarganya masih memiliki pola
pikir lama ,bahwa sekolah tidak perlu tinggi–tinggi
untuk anak perempuan, karena ujung-ujungnya pasti
di dapur juga. Begitulah pemikiran yang masih
terbenam sama di beberapa pemikiran orang-orang
tua terdahulu, mereka belum mendapatkan virus
semangat yang di bawa oleh Ibu Kartini, pentingnya
emansipasi wanita bahwa pendidikan itu sangat
penting untuk laki-laki maupun perempuan.
Di antara lima gundukan batang yang
tersusun di atas susunan lima belas batang pohon
bambu, di sela-sela tengah pada bagian depan di ikat
erat menjadi penguat untuk di kendalikan, di ujung
tali terikat di atas pohon waru dan di seberang
satunya pun demikian terikat dengan pohon yang
rindang, di ujung depan berdiri di atas getek yang
39
diawaki seorang laki-laki yang berkopiah putih,
sekuat tenaga menarik getek untuk membawa kami
ke seberang. Laki-laki itu adalah seorang bapak tua
berwajah penuh kesabaran, Pak Marzuki, sang
penarik getek.
Namun, senyum Pak Zuki adalah senyum
yang getir penuh makna, karena terlihat sangat jelas
kecemasan wajahnya penuh ketegangan dan keletihan
sambil terengah-engah menarik nafas berulang kali.
Sesekali menghitung jumlah penumpang yang naik di
getek-nya. Ia begitu khawatir sehingga terkadang tak
peduli pada peluh yang mengalir deras di lehernya.
Bulir-bulir keringat yang bermunculan di seputar
keningnya sebagai tanda perjuangan yang harus di
kenakannya, membuat wajahnya terlihat semakin
letih berbentuk raut kelelahan.
“Sepuluh orang...sudah sepuluh orang
pak...bu...dek...,sudah lewat kapasitas nanti
terbalik...” katanya penuh kegusaran pada para
penumpang getek-nya. Emak dengan penuh kehati-
40
hatian menjagaku dari licinnya kumpulan bambu
yang aku injak.
Aku juga merasakan kecemasan. Aku cemas
karena melihat aliran air kali Ciliwung sangat deras
dan karena beban yang di rasakan Pak Zuki terlihat
jelas, beberapa otot-otot yang mulai jelas menonjol
di depan mataku. Meskipun beliau begitu tenang pagi
ini tapi genggaman tangannya yang melingkari tali
tambang kemudi getek, tetap saja tidak dapat aku
pungkiri degup jantungku terasa cepat, pertama
kalinya aku menyeberang kali, aku tahu beliau
sedang tidak gugup ataupun grogi karena hal ini
sudah menjadi rutinitas beliau setiap hari, pria
berusia lima puluh tahunan itu, seorang buruh
serabutan yang beranak banyak dengan penghasilan
seadanya. Siang hari bekerja mencari nafkah untuk
keluarga dengan menarik getek, mengumpulkan sisa-
sisa sampah plastik yang di kumpulkan dari arus
membawa sampah di Kali Ciliwung untuk di jual
kembali kepada pengepul barang rongsokan dan
41
ketika malam pun tiba beliau mengajarkan kami
mengaji kepada anak-anak seumuranku.
Getek pun sampai ke seberang, Emak dan aku
bergegas perlahan untuk turun melalui jembatan yang
terbuat dari bambu di susun empat buah dan di ikat
kuat menjuntai hingga menempel ke dasar kali serta
mengarah ke dasar pelataran tanah yang agak tinggi
dan becek. Kucoba melangkah dengan penuh
perhatian dan perlahan, dengan tangan kiri
memegang pagar jembatan dari bambu itu sambil di
pegangi tangan kananku dengan Emak. Tak tahu
kenapa, aku seperti merasa bisa sendiri, tak ingin di
pegangi dan di bantu Emak.
“Emak, Asa bisa kok....gak perlu di pegangin
„mak”
Emak tak sampai hati untuk melepaskan
tangannya yang memegangi pergelangan tangan
kananku. Tapi Emak pun akhirnya mengabulkan
keinginanku, dengan mengalah karena percaya aku
merasa bisa untuk menyeberangi jembatan bambu itu
tanpa harus di peganginya. Ternyata dewi fortuna
42
tidak besertaku. Selang hanya beberapa detik saja,
waktunya sangat cepat terjadi, tangan kananku di
lepas Emak, hanya satu langkah saja dari pegangan
Emak, aku terpeleset jatuh masuk ke air kali
berwarna kecoklatan penuh dengan sampah yang
aliran airnya deras.
“Astagfirlohalazim, Ya Allah Ya Rabb....anak
saya ke cemplung”
“Tolong...tolong...anak saya kecebur...Pak
Zuki tolong.....”
Teriak Emak yang panik, melihatku yang
terpeleset jatuh masuk ke dalam air, sontak semua
orang langsung tertuju ke sumber teriakan. Aku panik
dengan gerakan yang tidak beraturan vertikal terbawa
air memutar-mutar seperti pusaran air, pandangan
tidak jelas mana yang harus aku tuju.
Ekspresi wajah Emak yang panik memerah,
seperti ada penyeselan karena telah melepas
pergelangan tanganku. Aku belum bisa berenang,
hanya berteriak sekencang-kencangnya meminta
pertolongan dengan keadaan kadang mengambang
43
timbul tenggelam, dengan secara refleks aku
berusaha agar kepalaku selalu ada di permukaan air
untuk memberitahukan keberadaanku sehingga ada
yang segera menolongku, arus air yang deras terus
membawaku semakin jauh dari Emak.
Pak Zuki dengan cekatan langsung nyebur ke
arahku, dengan gaya front crawl perlahan tapi pasti
mengejarku, kedua belah lengan secara bergantian di
gerakkan jauh ke depan dengan gerakan mengayuh,
sementara kedua belah kaki secara bergantian di
cambukkan naik turun ke atas dan ke bawah. Posisi
wajah Pak Zuki menghadap ke permukaan air,
dengan pernapasannya di lakukan saat lengan di
gerakkan ke luar dari air saat tubuhnya menjadi
miring dan kepala berpaling ke samping. Sewaktu
mengambil napasnya, ia bisa memilih untuk menoleh
ke kiri atau ke kanan. Gaya berenangnya bisa
membuat tubuhnya melaju lebih cepat di air untuk
menjangkauku.
Pak Zuki segera menghampiriku, dengan
terengah-engah meraihku, aku yang sambil menangis
44
dan pucat ketakutan, Pak Zuki seperti seorang water
rescuer dengan teknik pertolongan korban/evakuasi
yang dilakukan di air, kemampuannya menolong
untuk memilih dan menentukan kemampuan yang di
miliki seorang rescuer, dengan metode yang harus
dilakukan untuk menolong harus bisa memilih
metode pertolongan yang paling cepat dengan resiko
yang kecil. Pengetahuan mengenai bahaya-bahaya
ketika berada di air, contohnya : panik, letih, maupun
kram karena arus air.
Akhirnya, aku tersadar dan terbangun.
Penglihatan mata dari mulai remang-remang menjadi
terang, perlahan aku coba menggerakkan tanganku
yang di genggam sama Emak. Air matanya di usap
yang ada di pipi kanan dan kiri karena telah melihat
aku tersadar dari pingsan.
“Emak, Asa kenapa?” tanyaku lirih karena
masih mencoba mengingat-ngingat apa yang terjadi
denganku.
“ Iya, anakku kamu tadi terjatuh di kali
..sayang “
45
“Tapi Alhamdulillah kamu enggak apa-apa
„kan?” sambil memegang badanku dan memeriksa
dari mulai tangan, bahu dan kepala apakah aku
memiliki luka, dengan wajah peluh kepanikan.
“Tapi Alhamdulillah kamu enggak apa-apa
„kan?“ lirih di lemparkan pertanyaan lagi untuk
meyakinkan kalau aku tidak apa-apa.
“Alham...dulillah Emak..........alhamdulillah
Emak... Asa enggak apa-apa, Asa hanya kaget dan
panik, maafkan Asa yah „Mak karena nakal tak mau
dipegangi”
Pak Zuki telah menyelamatkan nyawaku. Di
hari pertama dalam sejarah hidup di hari pertamaku
berangkat ke sekolah.
= #=#=#=
Tak sukar menggambarkan kampungku,
karena kampungku adalah kampung yang terkenal
dengan banjir di setiap musim penghujan tiba.
Dengan kondisi curah hujan yang tinggi dan terus
menerus apabila intensitas mencapai 150 mm/hari
46
baik di hulu bogor maupun di hilir Jakarta,
kampungku di pastikan terkena banjir. Aku berasal
dari pemukiman kumuh bantaran kali, merupakan
permasalahan klasik yang terjadi sejak lama, yang
berkembang di kota-kota besar. Permasalahan
pemukiman kumuh tetap menjadi masalah dan
hambatan utama bagi pengembangan kota.
Laju perkembangan kota Jakarta yang
semakin pesat membuat pemanfaatan lahan yang
semakin kompetitif, sedangkan di sisi lain,
perkembangan kota menjadi daya tarik urbanisasi
yang pada akhirnya menyebabkan tingginya tingkat
permintaan akan tempat tinggal di dalam kota. Selain
itu, pesatnya perkembangan penduduk perkotaan
tersebut yang umumnya berasal dari urbanisasi tidak
selalu dapat diimbangi oleh kemampuan pelayanan
kota sehingga telah berakibat pada semakin
meluasnya lingkungan permukiman kumuh.
Kampung yang tak pernah luput dari tempat
persinggahan arus urbanisasi.
47
Aku kelas enam SD tepat tahun 1996,
kampungku di landa kebanjiran yang sangat besar.
Bahkan Pasar Proyek Jatinegara tempat aku bermain
bola ketika malam hari, ikut terkena banjir walau
hanya semata kaki. Bapak, Emak dan ketiga adikku
sibuk menyelamatkan harta benda kami. Semua
tetangga pun sibuk dengan menaikkan barang-barang
berharga ke lantai dua rumah mereka. Semua di
pusingkan bagaimana agar harta tidak terbawa banjir
dan mengharuskan kami untuk mengungsi.
Mereka mencoba bertahan dengan segala
kemampuan mereka. Air tergenang di mana-mana
membuat kampung kami menjadi sebuah kolam
renang raksasa dengan air kecoklatan, seperti macam
tempat permainan orang-orang dewasa yang lalu
lalang dengan berenang.
Aku mencoba menyikapi segala sesuatunya
dengan positif, keadaan serba sulit ini membuat aku
kecil mencoba bangkit dari keterpurukan, menjalani
kehidupan sebagai pengungsi banjir di jalani dengan
senyum dan sabar, dalam wajah kesedihan yang
48
tercermin mengandung sebuah harapan dan impian,
ketika melihat para Fasilitator dari mbak-mbak
trauma healling dalam menghibur kami anak-anak
korban banjir, mereka menyatakan bahwa semua
bencana dan duka itu pasti ada hikmahnya, jadi adik-
adik tidak perlu takut, di balik setiap ujian dan
bencana, semua itu pasti ada sesuatu yang indah
kelak.
Kucoba merenung dan selalu menanamkan
mimpi dan khayalanku, nanti kelak aku dewasa akan
menjadi seseorang yang bermanfaat untuk orang lain,
mimpi dan hati kecil yang mulia itu lahir dari sebuah
keprihatinan akan pengalaman diri sendiri, dengan
segala keterbatasan dan kekurangan, aku harus terus
berjuang mencoba untuk mencapai mimpi dan
harapan dengan selalu belajar dan bekerja keras serta
berjualan, suatu saat nanti aku akan menjadi orang
yang berguna.
Aku menjalankan kehidupan yang sangat
pahit di karenakan aku adalah anak pertama dengan
dua bersaudara yang menjadi tanggungjawabku
49
kelak, perjuangan itu di mulai dari Aku duduk
dibangku kelas 3 SD, aku harus berjualan
mengelilingi Kampung Pulo hingga menyeberang
kampung dengan bantuan getek. Aku mencoba
menjajakan daganganku sambil meneriakkan :
“Sate ayam ......“
”Ucus goreng........”
“Kepala ayam.......”
Begitulah teriakanku dengan suaranya yang
lantang.
Aku mencoba menapakkan semangat dan
senyumku berusaha membantu Emak. Di karenakan
Bapak tidak bisa bekerja memberi nafkah untuk
keluarga di karenakan sakit yang tak kunjung sembuh
dari kesadarannya, aku pun tak pernah mengerti
kenapa Bapak hanya diam dan membisu, pernah aku
menanyakan apa yang terjadi sama Bapak dengan
Emak. Emak pun hanya terdiam dan menangis.
Hari demi hari, Aku menapaki setiap jalan
becek, dari satu gang ke gang yang lain, masuk
kampung keluar kampung berkeliling menjajaki
50
daganganku, mencoba mencari penghasilan untuk
kebutuhan adik-adikku yang masih kecil. Aku
mencoba berjuang dengan penuh keyakinan suatu
saat nanti aku bisa sukses menjadi seorang prajurit
ABRI. Iya, cita-cita yang hampir umum untuk anak
laki-laki kala itu, menjadi seorang prajurit gagah dan
berani membela negara dan bangsa.
Sepulang sekolah dengan getek bersama-sama
teman menyeberangi kali Ciliwung yang membatasi
antara Kampung Pulo dengan Bukitduri. Aku
mencoba mandiri tanpa di suruh Emak, aku
berinisiatif jualan setiap hari pulang sekolah, dengan
berbeda-beda barang yang aku pernah jual, mulai dari
makanan berupa sate ayam goreng, putu mayang,
tempe goreng dan risol goreng pernah aku jajakan,
Aku kecil sangat bahagia, apabila musim banjir pun
melanda, di karenakan sekolah menjadi libur.
Keuntungannya di bilang lumayan hampir dua kali
lipat karena hampir semua orang membeli makanan
yang di jajakan, di karenakan semua berasa lapar
ketika banjir, karena hampir semua keluarga tidak
51
bisa memasak karena banjir, sehingga penghasilanku
di bilang lumayan karena itu.
= #=#=#=
Semua itu berawal dari pernyataan Engkong sebelum
meninggal yang di pesankan ke Bapak, kata-kata itu
terus terngiang ;
“Asa...harta Engkong tujuh turunan tidak
akan pernah habis-habis di makan semua keluarga
hingga tujuh turunan”
Ingatan masa kecil yang terus di tanamkan
sama Engkong melalui Bapak, menjadi cambuk luar
biasa, karena hal itu aku sering diejek-ejek sama
teman sepermainanku, karena di anggap menjadi
anak sial, karena aku adalah anak keturunan delapan.
“Anak keturunan delapan”
“Asa anak keturunan delapan, wkwkwk
sambil tertawa dan terbahak-bahak semua
menertawakan diriku” mereka mengejek berramai-
ramai.
52
“Dasar anak keturunan delapan sih,,,sialkan
jadinya keluarga kamu tuh, ayo jangan ditemenin
anak sial itu ; si anak keturunan delapan”.
Sungguh sangat menyedihkan sekali, aku
dianggap menjadi anak sial, karena aku keturunan
delapan, yang menyebabkan kesulitan ekonomi
keluargaku, di karenakan kehadiranku yang membuat
semuanya menjadi hancur, tanah yang begitu luas,
rumah yang begitu banyak, sampai dengan warung
habis tak bersisa, yang ada hanya cerita dan
kenangan, semua itu habis dan tanpa bekas. Aku pun
tidak mengerti mengapa semua itu terjadi, apakah
benar itu memang semua karena penyebabnya karena
aku, sungguh luar biasa mata air ku tak terbendung,
meratapi begitu malangnya aku, tidak banyak yang
mau berteman dengan ku kala itu, karena dianggap
menjadi sebuah musibah karena kelahiranku.
Emaklah yang menjadi penyemangatku dalam
membangkitkan semuanya dari keterpurukan mental
dan percaya diri yang begitu hancur.
53
“Asa, yang sabar yah, Emak tahu Asa sedih
dengan kelakuan teman-teman Asa, janganlah kamu
bersedih, anakku semuanya itu sudah diatur sama
Allah SWT, jadi Asa jangan bersedih, suatu saat
nanti Asa akan menjadi orang hebat karena
kesabaran dan kerja keras Asa dalam menghadapi
cobaan hidup ini”
“Emak hanya bisa mendoakan kelak engkau
menjadi orang yang berguna dan orang-orang akan
melihat karyamu,dan akan berguna untuk orang lain,
ketika kamu tetap sabar dan menjalankan cobaan
dari Allah, dan kamu tetap tidak sombong ketika
kamu sukses yah „nak”.
“Percayalah „nak sebuah kesuksesan itu
kelak akan kamu raih dengan kerja keras serta doa,
dan ketika kamu tersenyum, senyummu akan
bermanfaat untuk mereka, jadikanlah masa-masa
sulit ini menjadi pembelajaran yang terus kamu
ingat, di saat kamu pun ketika di atas, kamu tidak
akan pernah sombong, karena kesombongan kamu
itu justru akan menghancurkan diri kamu sendiri”
54
“Emak sangat sayang sekali dengan Asa,
terima kasih banyak yah „nak, waktu bermainmu,
kamu menjadi berjualan setiap hari demi kebutuhan
hidup kita sehari-hari”
Air mataku tak tahu kenapa menetes deras
membasahi tangan Emak, Emak pun sama
meneteskan air mata, kami larut dengan air mata
sebuah harapan, suatu saat nanti aku yakin menjadi
orang yang sukses. Itulah emosi yang menemaniku,
sehingga menguatkanku menapaki hidup dengan
harapan serta doa dari Emak.
= #=#=#=
Aku kembali mengalami sakit perut yang sangat luar
biasa seperti dulu, tapi kali ini disertai buang air
besar secara terus-menerus. Setelah di bawa ke
dokter, dan menjalani pemeriksaan, aku diberitahu
tentang sesuatu yang membuat Emak hampir jatuh
pingsan.
“Anak Ibu terkena penyakit disentri”
55
Penyakit menular. Bahkan dokter dan perawat
pun mengatakannya dengan tubuh menegang.
Disentri merupakan salah satu jenis diare akut atau
timbul mendadak, umumnya banyak di alami anak
pada usia balita. Penyakit disentri yakni infeksi
kuman Shigella (disentri basiler) dan parasit
emtamoeba histolitiyca (disentri amuba). Gejala
disentri pada anak biasanya di dahului demam (pada
disentri basiler), ada gejala sakit perut ketika BAB
dan setelahnya rasa sakit tersebut hilang serta feses
berlendir dan berdarah.
Aku belum paham kenapa penyakit itu dapat
merasuki tubuhku yang kecil dan mungil ini. Dari
mana mulanya jalur penyebaran penyakit disentri itu.
Mereka mengira aku mungkin telah menyantap
makanan yang berasal dari jajanan sembarangan yang
ada di depan sekolah.
Penyakit disentri membuatku kembali masuk
rumah sakit. Kali ini bukan hanya di rawat dalam
ruang perawatan yang ada di kamar kelas 3 nomor
367, akan tetapi aku juga masuk ruang isolasi. Di
56
bagian isolasi Rumah Sakit Umum Daerah
Persahabatan tersebut yang berada di lantai 1, di
bagian pojok dari gedung rumah sakit. Emak yang
mengkhawatirkanku pun ikut terus menemani. Setiap
melihatku gugup dan cemas, dia selalu memberikan
suntikan spirit, keberanian, cinta dan kasih
sayangnya. Seandainya saat itu tidak di temani, aku
mungkin akan menjadi sosok yang pemurung dan
hanya pasrah dengan keadaan yang menimpa.
Seluruh jendelanya berwarna abu-abu dengan
dinding tembok warna putih di pasangi palang besi
kecil dan saat malam tiba semua pintu dikunci dan di
jaga oleh suster perawat jaga. Lantai di bagian isolasi
ini berwarna merah. Di bagian lain rumah sakit
tersebut, lantainya berwarna hijau. Suster perawat
memperingatkan aku agar tidak keluar dari bagian
merah. Meskipun pada hari kedua setelah aku dalam
perawatan, sakit perut dan diareku yang mulai
membaik, dan aku boleh berlarian di lantai berwarna
merah, tetap saja aku tak di perbolehkan keluar dari
bagian itu.
57
Tak ada yang menengokku, kecuali Bapak
yang di antarkan Enyak membawa pakaian gantiku.
Suster perawat datang mengantarnya setelah
memberikan beberapa penjelasan tentang peraturan
yang ada di rumah sakit, seperti ; jam besuk, larangan
yang tidak dan boleh makanan yang aku makan.
Di atas lorong rumah sakit yang memiliki
batasan warna yang berbeda, daerah mana yang boleh
di kunjungi oleh keluarga pasien dan yang tidak bisa
di akses oleh siapa pun kecuali petugas rumah sakit.
Bapak seperti biasanya hanya duduk terdiam
di bangku yang berada di samping bangsal
perawatan, tak banyak kata-kata yang keluar dari
mulutnya. Dengan sesekali melihat dan
memperhatikan aku yang berbaring di ranjang rumah
sakit, dia seakan tak peduli dengan kondisi pada
diriku. Dengan satu lilitan selang yang membentang
panjang berdiri tegak 120 sentimeter yang menjuntai
tabung infus berisi cairan elektrolit sedangkan di
ujung satunya tertusuk jarum yang tajam ke lengan
kiri berada di telapak tanganku yang mungil.
58
Saat aku mengira Emak sedang berbicara
dengan bapak, ternyata bapak berteriak sangat
kencang, penuh histeris dan teka-teki.
“Jangan dekati aku”
“Arghhhhhhhhhhhhhhhh”
“Jangan dekati aku”
Bapak seperti marah dan berubah menjadi
yang kalem terdiam, penuh tenaga meronta-ronta
sambil melempar-lempar benda yang ada di
sekitarnya, bapak melempar beberapa benda medis ke
arah samping persis di sebelahku. Tapi aku tak
paham, apa yang Bapak lihat, aku hanya melihat ada
bingkai keterangan tentang peraturan yang ada di
rumah sakit. Emak mencoba menenangkan Bapak,
tapi tenaga Bapak sangat kuat sehingga mendorong
Emak jatuh tersungkur di pojok kamar perawatan.
Aku kaget dan merasa sangat ketakutan. Aku
mengira Bapak sedang di rasuki roh jahat atau
makhluk halus yang selama ini menghantuinya.
Begitulah yang kulihat dari mulai perubahan
matanya, teriakan dan tingkahnya yang sangat aneh.
59
Beberapa perawat dan petugas keamanan rumah sakit
segera datang setelah mendengar bunyi kegaduhan
yang terjadi di kamar perawatanku. Dan akhirnya
Bapak pun terdiam lemas setelah di suntikkan
beberapa miligram obat penenang oleh seorang suster
perawat, lalu di baringkan di ranjang yang kosong di
sebelahku. Emak mencoba menenangkan aku yang
menangis ketakutan, sambil mendekapku dengan
mencoba memberikan kenyamanan agar aku tenang.
Enyak pun turut menenangkan aku.
Setelah kejadian itu berlalu. Aku mencoba
menjalani kehidupan di bagian isolasi dengan
perasaan senang. Karena dua minggu kemudian aku
di izinkan pulang ke rumah. Namun suster perawat
yang berseragam orange dengan tak lupa acesoris
topinya pun sama berwarna orange, suster itu berkata
;
“Apakah kamu benar-benar terkena
disentri?”
“Kami sudah memeriksanya di hasil
pemeriksan laboratorium, tetapi...?”
60
Walaupun aku belum begitu paham
pembicaraan antara Emak dan suster perawat, aku
tetap merasa senang karena aku akhirnya dapat
pulang ke rumah.
Hal lain yang aku ingat adalah seorang kakak
perempuan yang kira-kira berusia 12 tahun, di mana
kita sering berbincang ketika kita dalam satu ruang
isolasi. Dia sering mengajakku bermain dengan
permainan yang sangat menarik hatiku, walaupun
perempuan dia pandai sekali merangkai puzzle yang
terbuat dari kertas membentuk sebuah gedung kecil
yaitu Tokyo Tower, aku sangat berkesan sekali
melihat ketelitiannya dalam merangkai potongan
puzzle sehigga membentuk satu bangunan Tokyo
Tower yang megah. Dia senang sekali dengan
bangunan itu. Dia memiliki cita-cita untuk pergi
kesana dan kuliah di sana apabila dia sudah besar.
Kakak itu setiap hari mengajakku bermain dengan
puzzle yang beraneka macam bentuknya, puzzle itu
di bawakan oleh Ayahnya. Dia sering sekali
bertanya-tanya, penyakit apakah yang di derita
61
olehku? Akupun tak mengerti apa yang terjadi pada
tubuhku, terkadang aku merasa sangat lemah dan tak
bergairah akan hidup, akupun tak ingin tahu jawaban
yang sebenarnya yang membelenggu tubuhku yang
mungil.
"Doa memang tidak mampu mengembalikan
mereka yang kita cinta, tapi mampu memberi
kebahagiaan kepada mereka. Doa tidak mampu
mengulang waktu, tetapi mampu membuat
kesempatan datang kembali. Doa tidak selalu
memperbaiki hati yang hancur, tetapi doa mampu
mengubahnya menjadi sumber kekuatan dan
penenang kalbu"
Akhirnya aku kembali ke sekolah, aku
berubah menjadi periang. Karena aku tak ingin
teman-teman mengetahui kalau aku memiliki
penyakit. Teman-temanku satu kelas mendapat
imunisasi agar mencegah penularan yang di
suntikkan di lengan kiri setiap anak, walaupun kami
tak mengerti kenapa kami harus di suntik? kami pun
tidak begitu peduli dengan hal itu walaupun demikian
62
imunisasi tetap kami jalani, satu persatu di panggil
oleh ibu guru, namanya yang di panggil langsung
menuju bangku yang sudah menanti seorang dokter
di dampingi perawat, satu-persatu dari kami pun
terlihat seperti ketakutan walaupun kami menangis
tetap saja imunisasi tetap berjalan, menangis, lalu
selesai.
Emak berjualan di pasar bukitduri, pasar itu
berada di seberang kampung kami. Emak berjualan di
pasar itu hanya pagi hari. Emak berjualan makanan
ringan untuk sarapan pagi, seperti pisang goreng,
tempe goreng dan bakwan goreng. Apabila Emak
berjualan, aku dan adik perempuanku di asuh oleh
Enyak, sebagian besar waktuku di habiskan bersama
Enyak. Bukan dengan Bapak, karena dia hanya selalu
terdiam di sudut pojok rumah dekat jendela. Bapak
saat itu sudah tidak memiliki aktivitas apa-apa
kecuali dalam lamunannya yang panjang.
Manusia aneh seperti Bapak mungkin
mengira anak kecil seperti aku hanya layaknya
boneka. Sehingga aku hanya di ajak berbicara dan
63
tertawa sendiri, apapun yang di lakukan tidak akan
memberikan respon rangsangan motorik ataupun
hanya mematung diam tak berbicara. Mungkin Bapak
tak pernah berfikir aku pun dapat berkembang dan
tumbuh besar, hati dan pikiranku pun mempengaruhi
pola pikir dan pengalaman orangtua yang sangat
berpengaruh besar dalam pertumbuhanku. Hubungan
Bapak-Asa yang seperti itu membuat Enyak di rumah
mencoba memanjakan aku. Enyak sering sekali
berkata, “kasihan sekali nasibmu, Asa.”. Enyak
sering sekali memancing pembicaraan yang
membuatku menjadi sering berfikir. Enyak berkali-
kali mengajukan pertanyaan yang sama padaku.
“Siapa orang yang paling di sayang Asa?”
“Emak”
“Lalu siapa lagi?”
“Tentu saja Enyak”
“Ehm, iyah betul, betul.” Kata Enyak sambil
memelukku dengan hangat.
Aku pun tak sadar kalau nama Bapak tak
masuk dalam daftar orang yang aku sayangi. Itu
64
bukan karena aku tidak menyukainya. Bukan karena
itu, entah mengapa, aku merasa akan jauh lebih baik
kalau nama Bapak tidak kusebutkan. Paling tidak
itulah kenyataan yang terlihat di depan mata dalam
keseharianku. Mungkin hampir semua anak-anak
kecil sedunia memasukkan daftar sorang Ayah
sebagai urutan nama kedua setelah ibu. Aku pun tak
mengerti apakah itu salah ataupun benar.
= #=#=#=
65
Chapter Two
Hubungan antara “Emak dengan Asa” adalah sesuatu
yang sangat sederhana. Seandainyapun apabila
mereka hidup secara terpisah, dan hampir tak
bertemu, hubungan itu takkan pernah berubah.
Emak bukan saja sosok yang sangat berarti
untukku. Akan tetapi Emak adalah sebuah jarum
kompas yang mengarahkan aku dalam menjalani
kehidupan ini. Walaupun hidup Emak penuh
kecemasan, akan tetapi Emak tidak pernah
memperlihatkan kecemasannya, seakan merasa
berada di tempat yang tidak membuatnya cemas,
sesungguhnya rasa cemas itu bertumpuk di dalam
hati. Seperti dalam retakan di dinding rumah yang di
biarkan dan akhirnya menjadi terbiasa, namun lambat
laun akan menggerogoti bangunan rumah tersebut.
Retakan seperti itu semestinya membuat malu dan
secepatnya harus di tutup. Emak memiliki pandangan
lain, menurut Emak apapun cobaannya, ketika
pondasi rumah tetap akan membuat berdiri bangunan
66
rumah sekalipun sudah terendam berminggu-minggu
oleh banjir setiap tahun, di basahi hujan yang sangat
deras dan terik panas yang membentang menyengat
ke seluruh bangunan. Begitupun diri kita.
“Jati diri yang di bangun oleh seorang anak
manusia yang tidak memiliki kesadaran diri, jika di
terpa badai akan terempas ke tepi pantai dan
menjadi rongsokan sampah yang membentang
mengotori keindahan pantai”
Aku seperti cangkang kerang yang teronggok
di pasir, aku lahir dalam kondisi keluarga seperti ini,
tidak ada yang bisa memilih ketika keluarga mana
kita harus berasal dan ketika aku lahir dalam kondisi
yang serba sulit seperti itu, layaknya melihat badai
gelombang yang ada di pantai. Aku pun tidak harus
merasa sedih atau merasa terpuruk, namun hanya
melihat dengan mata yang bersinar penuh titik beku
karena dinginnya hidup ini. Mungkin memang aku
tidak dapat mengungkapkannya melalui kata-kata,
namun aku bersyukur mendapatkan kemampuan
untuk membaca skenario sang pencipta tentang
67
putaran roda kehidupan yang terjadi. Sehingga aku
dapat memiliki kemampuan untuk memilih apa yang
harus aku lakukan dalam kehidupanku selanjutnya.
Hal tersebut merupakan sebuah insting yang di
berikan sang pencipta kepada seluruh makhluk di
muka bumi ini yang paling lemah sekali pun untuk
mempertahankan hidupnya sehingga dapat
beradaptasi dengan baik.
= #=#=#=
Aku tak pernah merasa memiliki seorang Bapak.
Sejak kecil, walaupun kami tinggal bersama, namun
aku tak pernah menolak statusnya sebagai seorang
Bapak, meskipun itu hal yang wajar.
Bapak layaknya seperti sebuah balon tiup
yang terbuat dari sabun yang terbentuk dari tiupan
seorang anak kecil yang bermain di lapangan, balon
itu memang indah ketika terbang di angkasa, akan
tetapi hanya bertahan dalam hitungan detik saja,
begitu juga Bapak memang jasad dan badannya
selalu hadir bersama kami, akan tetapi dalam
hitungan waktu sesaat saja aku belum pernah
68
merasakan sebuah kasih sayang dari seorang Bapak.
Namun walaupun demikian, meskipun Bapak tidak
pasti antara ada dan tiada keberadaan jiwanya
dimana. Pada saat-saat tertentu dia akan muncul, lalu
aku tersadar keberadaannya sangat berarti dan
membuat hatiku sangat tenang.
Emaklah yang mengisi relung-relung hatiku
yang hampa, berterbangan yang membawaku sebagai
petualang dan penjelajah dalam menciptakan rute
penerbangan arah mana yang harus aku singgahi.
Keberadaannya begitu dekat dengannya. Sedikit saja
dia menghilang, maka aku akan mencarinya kesana
kemari. Dan dia pun akan muncul dengan segera
sebelum tangisanku mengering di pipi. Kebersamaan
kami membentuk suatu penyatuan seperti jarum jam
yang bunyi berdetak beriringan dan seirama.
Sehingga keberadaan Emak di sisiku membuatku
menjadi manusia yang tenang.
Suatu ketika ada perayaan maulid Nabi
Muhammad SAW yang di isi oleh berbagai ceramah
kondang di musholla Al-Awwabiin. Dan tak lupa
69
juga para panitia mengundang ke semua anak yang
tak memiliki ayah dan ibu ataupun lebih dikenal
sebagai anak yatim atau anak piatu yang ada di
kampungku. Yang di undang melalui Ketua RT dan
di umumkan melalui pengeras suara yang ada di
Musholla.
Sesampainya di rumah, aku menanyakan
pengumuman itu kepada Emak. Emak bertanya,
“Kamu mau ikut, Asa?”
“Aku enggak mau ikut. Aku enggak mau
ikut,” kataku dengan sedih. Mendengar hal itu, Emak
mencoba membujukku.
“Asa tidak perlu malu, datanglah seperti
jamaah yang lain, walaupun Asa bukan undangan
seperti teman-teman Asa yang lain”
Aku datang karena seperti biasa, aku shalat di
musholla. Aku pun tak mengerti apakah aku
termasuk yang ada dalam undangan tersebut atau
tidak. Aku seperti biasanya seperti jamaah yang lain.
Duduk bersila di barisan kaum bapak-bapak dan
dengan anak-anak yang lain. Acaranya sangat meriah
70
di hadiri begitu banyaknya jamaah sampai
membludak di sepanjang jalan yang ada di kampung.
Karena kapasitas musholla tidak dapat menampung
begitu banyak jamaah. Selesai penceramah
bertausiyah, selanjutnya acara yang di tunggu oleh
para anak-anak yatim dan piatu. Mereka di panggil
satu persatu sesuai nama dan RT mana dia berasal. Di
panggil ke depan dekat mimbar diberikan sebuah
bingkisan berwarna coklat yang terbuat dari kertas
sampul buku yang berisi perlengkapan dan alat tulis
sekolah, dengan selembar amplop putih berisi uang
sebesar dua puluh ribu rupiah. Sesungguhnya aku
pun mengharapkan di panggil, seperti teman-teman
yang lain. Selesai Syaipudin adalah nama terakhir di
panggil oleh panitia, Pudin panggilannya, anak yatim
yang di panggil karena meninggal Bapaknya yang
tertabrak kereta ketika mengantar Pudin ke sekolah.
Aku pun pulang dengan perasaan sedikit
kecewa dan sedih. Walaupun aku tak berbicara
dengan Emak tentang kesedihanku, tapi Emak telah
mengerti apa yang terjadi denganku.
71
“Sabar yah „nak, insyallah rezeki nanti ada
yang lebih dari Allah, memang mungkin itu bukan
hak-mu”
“Iyah, Emak...Asa mengerti kok” sambil
senyum mengedipkan mata, memperkuat hati.
= #=#=#=
Meskipun bertahun-tahun tinggal di rumah
Enyak di Kampung Pulo. Namun aku tetap tak
menganggap rumah itu sebagai rumahku sendiri.
Bahkan walaupun aku hanya memiliki beberapa
ruang untuk menyimpan buku-buku pelajaranku,
sekalipun menurut Enyak rumah ini warisan
Engkong untuk Bapak, Aku merasa bahwa semua
rumah itu hanyalah tempat menumpang. Aku hanya
merasa memiliki Emak yang begitu menyayangiku,
begitulah hidupnya Asa, sederhananya cara pandang
anak kecil yang sangat sederhana.
“Aku hanya ingin di tempat Emak tinggal”
adalah pemikiran yang paling menguatkan hatiku.
Aku sering sekali menulis di buku catatan kecil
72
tentang sesuatu hal sederhana, dari mulai tentang
silsilah keluarga, catatan kegiatan sehari-hari, dan
perjuangan Emak yang setiap hari membuatku
semakin kuat. Emak adalah sosok yang sangat
menginspirasiku dalam menjalani hidup ini. Karena
saat di minta menulis karangan bertema “Emak”,
dengan mudahnya jari-jari kecilku menulis dari mulai
sosok Emak yang membuatku paling nyaman saat
menulis kehidupan Emak seperti ketika aku menulis,
setiap tulisan yang aku tulis seakan mendapatkan
kehangatan kasih sayang kembali perasaaan dan
mereview keadaan itu.
Aku tak pernah menyesal dan menganggap
salah nasib yang di ciptakan Allah kepadaku. Dengan
berbagai persoalan keluarga dan kekurangan kasih
sayang seorang Bapak sebagai sesuatu inspirasi di
balik kekurangan. Hal itu, kini bagiku tak perlu
mengiri dengan keluarga lain. Aku hanya ingin
dengan segala cobaan dan rintangan di permasalahan
itu tidak di biarkan begitu saja. Bahkan diantara
kerabatku, aku lebih memilih hal itu menjadi topik
73
perbincangan biasa, tak perlu menjadi kata-kata yang
penuh keprihatinan dan rasa kasihan.
= #=#=#=
Banjir kali ini lumayan sangat besar. Aku dengan
suka cita bersama teman-temanku, sibuk berenang di
air yang kotor memakai ban bekas. Kami tidak
pernah peduli kuman penyakit akan menempel di
kulit, berenang dan bermain air sampai kulit kami
mengkerut.
Walaupun kami harus membersihkan sampah
yang berserakan di dalam rumah atau lumpur akibat
kemasukan luapan air tak di undang. Bahkan ketika
kami harus mengungsi. Kami bersama-sama
warga sekampung tidur dalam tenda berramai-ramai,
makan bersama dari dapur umum seperti acara
perkemahan Pramuka Perjusami (Perkemahan Jumat
Sabtu dan Minggu) yang di lakukan di Bumi
Perkemahan Cibubur. Wajah orangtua kami mendung
seperti langit di bulan Januari atau gerutuan tentang
bantuan yang sedikit dari Pemerintah.
74
Di pengungsian aku bertemu dengan adik
Sarah yang berumur delapan tahun, adik Sarah kaki
kanannya mendadak lumpuh dan layu. Tidak bisa
menyangga tubuhnya lagi. Bahkan untuk dia berjalan
pun harus di seret kakinya. Menurut Dokter
Puskesmas yang ada di pengungsian, dia terserang
penyakit polio. Sejak itu Ia sangat membenci bulan
penghujan tiba. Ia tidak bisa berenang di kolam
raksasa saat air menggenangi kampung. Dia merasa
menjadi beban untuk bapak dan kedua kakak laki-
lakinya saat harus mengungsi. Mereka terpaksa harus
menggendong atau memapah dalam mengevakuasi
dari rumah yang hampir tenggelam.
Polio juga yang membuatnya berhenti
bersekolah. Dia tidak tahan dengan ejekan dari
teman-teman yang menghina kakinya. Setiap pulang
sekolah Dia selalu menangis sedih. Bukan
kehendaknya, kakinya menjadi lumpuh layu. Apabila
boleh meminta, dia pun ingin kakinya normal seperti
anak-anak yang lain. Namun takdir berkehendak lain.
Dia harus hidup dengan kaki yang harus di seret
75
jalannya. Kecacatannya menjadi bahan olok-olok
yang lucu bagi teman sekolahnya. Walau guru sudah
memarahi teman-teman yang doyan menghinanya,
mereka tidak jera juga. Saat guru lengah, mereka
terus mengejek yang menghancurkan harga diri.
Satu-satunya jalan untuk menghentikan penghinaan
adalah dengan berhenti sekolah.
Untuk mengisi waktu, Dia belajar menjahit
pada ibunya yang memang seorang tukang jahit. Aku
sangat iba sekali dengan kondisi adik Sarah, Aku
mencoba menghiburnya, memberikan semangat agar
dia bisa bangkit dari mental yang terpuruk akibat
musibah penyakitnya itu. Adik Sarah tak perlu malu
apabila harus bertemu dengan orang asing. Walaupun
tatapan mereka kasihan ataupun menghina, adik
Sarah pun harus terima dengan sabar dan ikhlas.
Polio membuatnya menjadi beban Bapak dan
kedua kakak laki-lakinya saat banjir datang. Mereka
harus menggendong atau mendukung untuk
mengevakuasi dari rumah yang hampir tenggelam.
Udara dingin dan lembab membuat kaki kanannya
76
semakin ngilu untuk di gerakkan. Januari, puncaknya
musim penghujan sungguh menyiksanya.
Aku juga dan teman-teman tak nyaman
berada di pengungsian. Bercampur-baur dengan
banyak manusia yang beragam watak dan sifatnya
membuat kita harus mengontrol emosi dengan
seksama. Amarah gampang sekali tersulut. Mungkin
karena rasa lelah, capek dan putus asa bercampur-
aduk membuat kesabaran makin menipis. Belum lagi
makanan di pengungsian yang selalu kurang ataupun
telat datang, tidur yang tak bisa nyenyak karena bayi
dan anak kecil yang sibuk menangis di malam hari
karena kedinginan dan kelaparan, saling berebut
menerima bantuan menjadi cerita suram di
pengungsian.
Bertahan di rumah yang kebanjiran juga
bukan pilihan. Saat malam harus bergelap-gelapan
karena tidak ada aliran listrik. Karena Kantor PLN
Jatinegara sengaja memutus aliran listrik ke daerah
yang tergenang banjir agar tidak terjadi korsleting.
Tidak ada akses informasi. Tidak bisa kemana-mana
77
kecuali memakai perahu. Ditambah lagi susahnya
mendapatkan bahan makanan untuk mengganjal
perut. Betul-betul seperti buah simalakama.
Pernah ada kerabat yang datang dari kampung
bertanya kepada Emak mengapa kami tidak pindah
saja dari kampung ini.
"Sudah tahu tiap tahun kebanjiran kenapa
tidak pindah ke kampung lain saja yang bebas
banjir?"
Emak menghela nafas panjang,
"Ini Jakarta. Harga tanah di sini lebih tinggi
dari harga emas. Harga tanah di daerah yang
langganan banjir saja sudah mencekik leher, apalagi
di kawasan yang katanya bebas banjir. Kami tetap
bertahan disini karena tidak ada pilihan lain!" ujar
Emak dengan nada prihatin.
Rumah bertingkat dua di kampungku bukan
barang mewah tapi lebih sebuah kebutuhan. Untuk
menyelamatkan perabotan dan nyawa. Ketika hujan
turun dengan deras, Emak dan ketiga adikku sibuk
mengangkuti perabotan ke lantai dua. Bersiap-siap
78
menghadapi banjir yang sewaktu-waktu bisa datang
kapan saja.
Saat banjir besar Tahun 1996, Aku ingat
dengan detail peristiwa yang menjadi latar
belakangnya. Banjir hampir menenggelamkan
rumahku, air yang masuk tingginya lebih dari dua
meter, aku dan Emak beserta adik-adik serta Bapak
memilih bertahan di lantai dua...Emak tahu bahwa
aku dan adik-adik tidak nyaman berada di
pengungsian.
Aku dan Emak harus berpuasa. Tidak ada lagi
yang bisa di makan dan di minum di rumah ini. Doa-
doa terus di panjatkan agar ada cepat datang
pertolongan. Sepertinya doaku tertahan di langit,
belum juga menampakkan ada hasilnya. Airmata
sudah tumpah di pipi. Panik, sedih, kedinginan serta
lapar yang mendera membaur jadi satu memunculkan
putus asa. Di saat aku hampir kehilangan harapan,
Allah mengirimkan pertolongannya. Petugas dari
SAR yang menyisir perkampungan menemukan kami
79
yang lagi meringkuk kedinginan. Suara memanggil
dari Toa berwarna krem.
“Kepada semua warga agar segera
mengungsi karena debit air akan semakin tinggi,
demi keselamatan saudara-saudara semua harus
kami ungsikan ketempat yang lebih aman”
Aku segera mengiyakan ucapan seorang
anggota SAR yang tertulis di dadanya yang berwarna
orange.
“Kami mau mengungsi pak, tolong kami”
teriakku bersama-sama keluargaku.
Bertahan di rumah yang di kepung banjir
bukan karena takut meninggalkan harta benda. Tidak
ada barang berharga di rumah ini. Lilin menjadi
penerang saat malam tiba. Dingin, lembap dan sepi
yang mencekam membuatku terus memeluk erat
Emak bersama adik-adikku. Untuk mengisi perut,
kami mengandalkan mie instan. Namun ketika
minyak tanah dan persediaan air bersih menipis, aku
dan Emak menjadi panik. Sementara Bapak hanya
terdiam tak pernah mengerti dengan keadaan
80
sekitarnya, beliau hanya diam dan sesekali tersenyum
sendiri, yang tak pernah kita mengerti apa yang
terjadi padanya.
"Cepat pakai jaket ini dek‟ biar hangat"
Ujar seorang petugas yang memakai topi pet
berwarna hitam. Dia melepaskan jaket yang di
pakainya dan menyerahkannya kepadaku.
Di bantu Emak, aku dan adik-adikku serta
Bapak langsung mengenakan jaket yang di
berikannya. Petugas SAR itu kemudian memapah
Emak untuk menaiki perahu karet. Setelah petugas
membopongku dan adik-adik ke perahu.
"Kenapa kalian tidak mengungsi?" tanyanya.
Aku bingung untuk mencari jawaban. Untung Emak
cepat mengambil alih menjawab pertanyaannya.
"Maunya mengungsi tapi kami pikir banjir
tidak akan sebesar ini”. ujar Emak.
"Syukurlah kalian di temukan, yang penting
sekarang kalian selamat" Petugas dengan penuh rasa
syukur. Aku dan Emak serta adik-adik langsung
berpelukan dan dihujani ciuman oleh Emak.
81
= #=#=#=
Sifat, watak, karakter dan kepribadian seseorang
bukan hanya di bentuk dari keluarga, namun juga
oleh faktor lingkungan. Kondisi lingkungan
merupakan salah satu pembentuk asal muasal
bantaran kali Ciliwung beserta ekosistemnya
merupakan pembentukan dari penciptaan yang
membentuk seseorang sesuai dengan kondisi
tempatnya berasal.
Aku yang berasal dari kampung Pulo pun
demikian halnya. Di dalam keluarga berawal aku
yang condong pendiam, malu-malu ketika di tanya
sosok orang yang baru di kenal dan tidak mandiri
selalu bergantung sama keberadaan Emak.
Namun karena kondisi orangtua, Bapak yang
kurang berkomunikasi denganku karena penyakitnya,
sehingga aku harus lebih banyak mengenal dan
melompat jauh adalah faktor lingkungan yang
mengharuskan aku untuk membaur dan bersosialisasi
dengan lingkungan tempat tinggalku. Hal itu,
82
akhirnya yang memberikan begitu banyak perubahan
yang terjadi dalam diriku.
Di dalam lingkungan pendidikanku di
Sekolah Dasar, membuat aku menjadi anak yang
aktif dan periang. Di mana aku harus berangkat
sekolah sendiri menyeberang kali dengan getek serta
menjelajahi jalan raya yang ramai dengan lalu lalang
kendaraan, selain itu juga aku harus menaiki kereta
listrik untuk mengikuti kegiatan Atletik di lapangan
Banteng. Di sekolah, aku terkenal di panggil teman-
temen Asa si “Anak kali”. Saat perlombaan pramuka
penggalang aku menjadi ketua regu Sinna (Singa
Naga). Dengan suaranya yang lantang dan berwibawa
aku acap kali memegang barisan dalam regu untuk
membangkitkan teman-teman dalam beryel-yel.
Demi mengembalikan semangat mereka dan
kecerian tim kembali, aku sering sekali melucu
ataupun membuat lelucon agar mereka tertawa
terbahak-bahak. Tertawa dan tersenyum dengan
mereka itu merupakan masa-masa yang terindah
83
untuk memberikan semangat kebangkitan menjalani
hidup ini.
Emak tak pernah memarahiku, ia selalu
membebaskan aku untuk melakukan apa saja. Setiap
pulang sekolah, aku langsung keluar lagi untuk
bermain bersama Ajat dan Fadil di pinggiran kali.
Bermain bola kasti, main perahu-perahuan yang
terbuat dari daun bambu ataupun memancing di
pinggiran kali untuk kami makan seperti lindung
/belut, ikan sapu-sapu ataupun udang.
Suatu saat, ketika pertama kali aku bisa
berenang di kali Ciliwung, di atas getek seberang di
saat aku sedang melompat-lompat kegirangan karena
sudah bisa berenang. Ada yang sengaja mengadukan
aku kepada Emak, bahwa aku sedang bermain-main
di kali bersama teman-teman yang lain.
Sesampainya di rumah Emak menanyakan hal
itu.
“Apakah benar, Asa bermain-main dan
berenang di kali?” Emak menanyakan hal itu dengan
penuh kecemasan.
84
“Benar Emak. Alhamdulillah Emak. Asa
sudah bisa berenang sekarang, malahan sampai bisa
bulak-balik dari getek kampung kita sampai ke getek
seberang”
“Alhamdulillah, syukurlah Asa, Emak tenang
dan lega, Emak sangat trauma dengan kejadian Asa
tercebur waktu awal Asa pertama kali sekolah, tapi
sekarang Emak sudah lega apabila Asa sekarang
sudah bisa berenang, jadi apabila banjir melanda
kampung kita lagi, Asa sudah bisa berenang, dan
suatu saat nanti ketika Asa besar kelak dapat
membantu orang-orang yang kebanjiran”
“Iyah, Emak terima kasih, Asa sayang sama
Emak” aku berlari menuju dekapan pelukan Emak.
“Asa pikir Emak akan memarahi Asa karena
sudah lancang berani bermain-main di kali”
“Iyah, Asa. Ketika seorang ibu marah kepada
anaknya, bukan hanya sekedar marah, akan tetapi
ada alasannya mengapa ada seorang ibu memarahi
anaknya, tapi untuk yang satu ini Emak tidak akan
marah, malahan Emak bersyukur kepada Allah telah
85
memberikan kemampuan Asa bisa berenang, Emak
pikir Asa akan trauma dengan kali di karenakan Asa
pernah tercebur hanyut dalam kali”
= #=#=#=
Rumah Engkong terletak di tengah-tengah
kampung Pulo dekat lapangan RW.03. Persis di
belakang rumah ada sebuah pohon Belimbing yang
memiliki buah yang sangat ranum berwarna kuning
dan manis sekali walaupun kadang agak masam tapi
sangat segar. Aku bersama sepupuku Nana dan
Fachrul sering sekali naik di atasnya ketika sore,
mengambil buahnya sambil duduk-duduk mengobrol
bertiga di atas pohon, bermain ayunan ataupun
terkadang bergelantungan layaknya menirukan
seorang Tarzan. Aku memetik buah Belimbing itu
untuk aku bawa pulang yang kuberikan buat Nurma,
Rysa dan Emak. Dan tak lupa juga Bapakku sangat
suka, dia lahap sekali menyantap buah Belimbingnya.
Permainan kami saat itu sangat bermacam-
macam. Di bawah rindangnya pohon Belimbing
86
berbagai macam permainan yang kita mainkan.
Bermain gundu atau lebih di kenal kelereng itu
permainan yang sering kami mainkan, berlomba-
lomba meraih siapa yang paling banyak, dialah yang
keluar sebagai pemenang. Ataupun bermain bola
kasti yang melatih kecepatan mata dengan tangan
untuk melatih kekuatan dan berlatih kemampuan fisik
kita. Kami sangat menikmati permainan demi
permainan yang kita mainkan. Kemenangan dari hasil
kerja keras dan kebahagian yang dapat di petik nilai-
nilai moral sebuah kejujuran dan kebersamaan selalu
tercermin dalam permainan sederhana ini. Walaupun
terkadang ada beberapa anak yang mencoba untuk
tidak berbuat jujur ataupun curang yang mengundang
kemarahan. Tetapi akan kita akhiri dengan elegan
ketika semua bersikap jujur dan tidak berbuat curang,
karena apabila itu di lakukan di jamin pasti tidak
akan ada lagi menemaninya untuk bermain bersama.
Di malam hari, Emak membuat persiapan
adonan yang terbuat dari tepung terigu dan beberapa
bahan yang lain untuk di buat menjadi makanan
87
gorengan untuk di jual keesokan harinya. Aku
terkadang membantu Emak sebisa yang aku mampu.
Aroma berbagai macam bahan makanan memenuhi
rumah kami. Terlihat di balik selimut, aku melihat
adik-adikku yang terlelap menutupi sebagian badan
yang menghangatkan tubuhnya. Aku mengamati
Emak yang sedang mengaduk-aduk adonan,
mencampurkan beberapa bahan kedalam satu wadah
baskom. Aku menyukai bunyi ketika Emak sedang
mengaduk adonan menggunakan alat yang dari
alumunium berbentuk seperti lengkungan batang
membentuk lengkungan es krim agak kenyal tapi
kuat karena di satukan dengan gagangnya berwarna
agak kecoklatan. Perasaan senang sekali apabila
melihat perjuangan Emak dalam kesibukkannya yang
berarti roda perekonomian keluarga kita akan terus
berputar. Walaupun Bapak hanya terdiam sambil
mengawasi aktivitas seluruh anggota keluarga, hal ini
sesungguhnya sudah membuat kami tenang di
bandingkan ketika dia sedang kumat.
88
Mungkin karena besok pagi aku harus ke
sekolah, Emak selalu menyuruhku untuk tidur lebih
awal agar besok pagi tidak kesulitan ketika di
bangunkan. Emak masih melanjutkan aktivitas
pembuatan barang dagangan untuk esok pagi.
Suatu hari menjelang sore, Enyak bersama
Emak dan adik-adik perempuanku sedang duduk di
teras depan rumah yang biasa mereka tempati. Saat
itu waktunya untuk shalat Maghrib memang masih
agak lama, jadi mereka berkumpul seperti biasa
untuk bercengkerama dan mengobrol. Emak
mengeluarkan makanan berupa dari adonan tepung
terigu yang berbentuk agak bulat dan yang sering
sekali aku lihat ketika menonton film Doraemon
setiap Minggu pagi di televisi tetangga, iyah memang
benar kue dorayaki, makanan kesenangannya si
Doraemon. Aku senang sekali, makanan yang ingin
sekali aku mencobanya. Aku sering sekali bilang
sama Emak.
“Emak, Asa ingin sekali makanan kue
Dorayaki, seperti yang di makan Doraemon”
89
“Sabar yah Asa, Insyallah ketika kamu pun
bersabar, berusaha dan berdoa kepada Allah, semua
keinginan Asa, pasti dikabulkannya?”
“Iyah, Emak, tapi Asa maunya makan kue
Dorayaki di Tokyo, aku ingin sekali berkunjung
kesana untuk belajar dan mengejar impian serta cita-
cita Asa”
“Enak banget yah „Mak jadi Doraemon bisa
kemana-mana dengan pintu ajaibnya, Asa ingin juga
seperti Doraemon dapat pergi keliling dunia dengan
pintu ajaibnya”
Emak tidak pernah mematahkan impianku,
dia selalu berkata. Kamu harus terus pelihara
mimpimu. Karena sesungguhnya, mimpi itu yang
akan memberikan kamu semangat untuk
mencapainya. Jangan pernah kamu redupkan api
mimpi itu, sesungguhnya mimpi itu yang akan selalu
menghangatkan perjuangan di dalam perjalanan
hidupmu.
90
“Ayo semua cobain, makanan kue
dorayakinya, masih hangat karena baru di angkat
dari oven”
Emak sedang menyajikan kue dorayaki.
Dalam hitungan menit saja dorayaki langsung habis.
Bapak hanya diam menghadap jendela melihat kami
yang sedang bercengkerama, bercanda dan
mengobrol satu sama lainnya. Bapak hanya
membuang makanan dorayaki yang di berikan Emak
kepadanya ke arah kucing yang sedang berdiam diri
di pojok teras.
Entah apa yang di pikirkan Bapak saat itu,
padahal sering sekali emak mengajarkan aku jangan
pernah membuang-buang makanan percuma di
karenakan mubajir, Allah tidak senang dengan
makhluknya yang menyia-nyiakan makanan. Aku
sempat pernah berfikir, apakah Bapak tidak pernah di
ingatkan orangtuanya agar tidak menyia-nyiakan
makanannya, begitulah pemikiranku tentang masa
kecilku melihat Bapak.
91
Kampung ini bukanlah kampung kaya
penduduknya. Meski demikian, orang-orangnya tidak
pelit kepada sesama. Sifat inilah yang menjadi ciri
khas yang lahir dan di besarkan dalam kampung ini,
termasuk Emak dan saudara-saudaraku.
Emak selalu mengajarkanku selalu berbuat
baik kepada siapa saja, jangankan kepada manusia
sama binatangpun Emak sangat baik, Emak
mencontohkan itu dengan memungut anak kucing
yang tak berdaya karena tercebur di kali. Di bawa
pulang sama Emak untuk dirawat dan di besarkan
karena kucingnya sangat lucu. Sampai kadang-
kadang Emak merelakan ikan kembung goreng
jatahnya di berikan kepada si “cungkring” kucing
hitam berbulu yang memiliki matanya yang biru.
Sesungguhnya Emak tak pernah memarahiku.
Dan hal ini pertama kalinya aku di marahi Emak.
Ketika itu umurku sekitaran sebelas tahun. Seorang
teman mengejek-ngejek aku dengan pistol airnya dan
selain itu juga dia membasahi seluruh bajuku dengan
pistol airnya. Aku jengkel dan mengadu ke Emak.
92
Kemudian aku mengambil pistol air mainannya yang
berwarna hijau muda terbuat dari plastik lalu aku
sembunyikan di dalam kolong gerobak bubur ayam
Bang Somat.
“Ooh, jadi ini kejujuran yang Emak ajarkan
ke kamu dengan mengambil barang yang bukan hak
kamu” dengan membentak dan nada suaranya yang
tinggi. Tak ada pembelaan dan penyangkalan dariku,
walaupun ada alasannya mengapa aku harus
mengambil pistol mainan milik si Jamal itu.
= #=#=#=
Ketika aku masuk SMP, Emak
menghadiahiku sebuah jam tangan yang sudah di
janjikan, karena Emak menjanjikan apabila aku
masuk SMP Negeri, dia akan membelikan aku jam
tangan. Aku bersama Emak berjalan kaki kira-kira 1
kilometer dari rumah ke sekolah. Tak banyak anak-
anak angkatanku yang bisa masuk negeri. Aku
bersyukur dapat meraihnya.
93
Kini setelah aku beranjak dewasa sering
sekali mengenang berbagai kejadian masa lalu. Aku
merasa bahwa Emak adalah orang paling hebat
sedunia. Dengan segala pengorbanan dan
kesabarannya, selalu memberikan yang terbaik
kepadaku. Memang aku yakin semua Ibu di dunia ini
akan melakukan hal yang sama terhadap anaknya.
Sejak saat itu aku sangat menghargai waktu.
Aku merasa memiliki ketenangan tersendiri ketika
melihat jam tangan. Karena setiap aku melihat jarum
jam detik yang berputar mengitari porosnya, hal itu
menunjukan keyakinanku terhadap Emak yang selalu
memberikan kasih dan sayangnya, yang tak pernah
sedetikpun kasih sayang dan perhatiannya selaluku
rasakan begitu indah.
Beda halnya dengan jam dinding yang di
banting oleh Bapak. Ketika jam dinding yang berada
di rumah berdentang sangat kencang. Jam dinding
berwarna hitam yang memiliki bandul pendulum
yang berbentuk lingkaran peninggalan Engkong.
Hancur tak berkeping.
94
“Jgrrrrrrrr” berantakan jatuh di lantai yang
hanya berlantai ubin berwarna kuning pucat. Kami
pun tak mengerti mengapa begitu marah sekali Bapak
ketika jam dinding itu berbunyi, seakan dia marah
dengan sesuatu. Dan akhirnya tidak akan ada lagi
detak jantung jam dinding itu berbunyi dikarenakan
sudah rusak dibanting oleh Bapak.
= #=#=#=
Satu-satunya pasar kebanggaan orang Jatinegara telah
terbakar. Dan hal ini mengakibatkan perubahan
kehidupan dan kondisi orang-orang dewasa di sini
yang membawa pengaruh kepada anak-anak di
kampung kami. Demikian juga kepada teman-
temanku, di mana anak-anak harus merasakan juga
kehilangan pekerjaan orangtuanya di karenakan
tempat berjualan orangtuanya habis terbakar. Di
sekolah kami, ada bantuan dari pemerintah yaitu
program Gerakan Nasional Orangtua Asuh
(GNOTA), di mana anak-anak yang berasal dari
keluarga kurang mampu mendapatkan tunjangan
95
sosial bersifat santunan untuk membantu
meringankan orangtua dengan memberikan berbagai
keperluan perlengkapan sekolah. Pak Hutabarat guru
walikelas membariskan anak-anak tersebut dan
membagikan sumbangan berupa tas yang berisi ;
buku, pensil, pulpen, penghapus, dan seragam merah
putih dua stel. Alhamdulillah, aku mengucapkan
syukur atas rezeki yang di berikannya. Aku pulang
dengan perasaan bahagia, kemudian aku
memberitahunya kepada Emak sepulang dari sekolah.
Emak juga mengucapkan rasa syukur itu.
“Alhamdulillah Ya Rabb, terima kasih
segalanya, semoga rezeki yang di dapatkan Asa hari
ini menjadi bekal dan memberikan semangat dalam
belajarnya”
Emak menyatakan kepadaku, Asa harus
memanfaatkan kepercayaan dari Allah yang di
perantarakannya melalui Pemerintah dengan Program
GNOTA di gunakan sebaik-baiknya, karena masih
banyak anak-anak di luar sana yang belum
mendapatkan kesempatan paket ini dan masih banyak
96
anak-anak yang belum memiliki kesempatan
bersekolah, banyak dari mereka harus mengasong
berjualan koran di perempatan jalan, mengelap kaca
ataupun mengamen untuk mencari makan sehingga
mereka tak dapat memiliki kesempatan untuk
bersekolah seperti Asa.
Suatu ketika, aku bermain bola di lapangan
Jenderal Urip Sumoharjo. Aku bersama teman-teman
yang sedang asyik bermain bola, di kejutkan karena
adanya teriakan dan berhamburan berlarian para
pedagang kali lima yang berada di sepanjang jalan
depan lapangan Jenderal Urip itu. Aku belum
mengerti apa yang membuat para pedagang itu
berlarian, kemudian Ajat memberitahukan kepada
kita mengapa para pedagang itu berlarian, mereka di
kejar para anggota aparat pemerintah daerah yang
melarang mereka berjualan karena melanggar Perda
Nomor 11 Tahun 1988.
Pada hari berikutnya, aku menanyakan hal itu
kepada emak. Mengapa ada pedagang yang lari
terbirit-birit karena di kejar petugas? Menurutnya
97
berjualan di trotoar itu di larang petugas. Aku
sebenarnya berharap emak mengatakan itu salahnya
petugas kenapa ada orang yang berjualan kok di
larang?
= #=#=#=
Pada sore menjelang malam, Adzan Magrib dari
Musholla Al Awwabin terdengar sangat
menenteramkan hati, saling bersahutan juga
terdengar dari kampung sebelah, sehingga satu sama
lain yang memberikan ketenangan kampung, anak-
anak remaja tanggung bergegas berbondong-bondong
mengambil sarung dan kopiah. Ibu-ibu membimbing
anaknya untuk ikut serta bersama bapak mereka
untuk shalat berjamaah. Termasuk ustad Zuki yang
sudah menutup geteknya lebih awal di karenakan
untuk memimpin shalat jamaah di Musollah.
Ajat sudah mengenakan baju koko bersarung
dan kopiahnya, muka dan ujung rambutnya juga
sudah basah dengan air wudhu yang baru keluar dari
98
tempat berwudhu. Pribadi unggul tidak akan pernah
di telan dan menjadi pengikut zaman, tapi jadi tren
setter penentu kecendurangan zaman yang
berkarakter kuat. Bapak Marzuki atau kami
memanggilnya Ustad Zuki, tidak memiliki selembar
ijazah pun, namun beliau bertekad untuk
mencerdaskan anak-anak kampung, Ustad Zuki
merupakan pelopor tempat pengajian non formal
yang di kelola beliau bersama anak-anaknya, mereka
sekeluarga bertekad mengobarkan pendidikan Islam
yaitu membaca dan menulis Al-Quran dari sejak dini,
tanpa imbalan dan bayaran, hanya uang urunan ala
kadarnya dari para orangtua.
Ustad Zuki mengaji terlebih dahulu, lalu di
ikuti anak-anak yang lain termasuk aku.
“Ar rahman allamal bill hussbannn”
“Ar rahman allamal bill husabbannn!”
Suara orangtua bertubuh kurus itu dengan
lantang. Kayu terbuat dari rotan lurus teracung tinggi
ke udara, suaranya menggelegar, sorot matanya
berkilat-kilat menikam kami satu persatu. Wajah
99
serius, alisnya hampir bertemu dan otot gerahamnya
bertonjolan, seakan mengerahkan segenap tenaga
dalamnya untuk menaklukkan jiwa kami. Sungguh
mengingatkan aku kepada karakter tokoh kera sakti
mandraguna di film layar TV setiap malam aku
tonton.
Ar Rahman : sepotong ayat yang asing ini
kini mulai terdengar. Dalam hitungan beberapa detik
saja, kami bagai bayi yang tertidur dalam pangkuan
ibu yang menentramkan jiwa. Kami, belasan anak
kecil, mengikuti, tidak mau kalah kencang dengan
beliau dengan penuh semangat
“Ar rahman allamal bill hussbannn!”
Sepenuh jiwa, penuh perhatian, sampai bergemuruh
kesebelah rumah tetangga yang mendengar. Bahkan,
cicak yang di para-para rumah seakan tertegun diam
mendengar lantunan suara anak-anak yang mengaji.
Tapi kami tahu, mata laki-laki kurus yang
sedikit mulai berkerut diwajahnya ini tidak dimuati
aura jahat. Walaupun dengan kayu mistar panjang
terbuat dari jati. Dia dengan royal membagi energi
100
positif yang sangat besar dan meletup-letup. Kami
tersengat menikmatinya. Seperti sumbu kecil
terpercik api, mulai terbakar, membesar, dan
menerangi bagaikan jiwa-jiwa kami yang makin
menyala.
Dengan wajah kaku dan terkadang senyum
sepuluh senti menyilang terpancar, laki-laki ini hilir
mudik di antara barisan meja leckar kami yang duduk
bersila beraturan, mengulang-ulang bacaan agar
masuk ke jiwa dan dibenamkan dihati. Setiap dia
membaca, kami balik membaca dengan kata yang
sama, sesuai dengan bacaanya.
Ayat yang memiliki banyak filosofi dan makna penuh
dengan rahasia :“Asmaul husna!”
Laki-laki ramping ini adalah guru mengajiku
yang sangat baik. Wajahnya lonjong kurus, sebagian
besar dikuasai keningnya yang lebar dengan mulai
adanya beberapa kerutan. Bola matanya yang mulai
tertanda keletihan tapi tetap memancarkan sinar
pengharapan kecerdasan. Pas sekali dengan gerak
kaki dan tangannya yang gesit ke setiap sudut tempat
101
kami duduk bersila. Sebuah kopiah berwarna putih
seperti peci haji menutupi rapi di kepalanya yang
penuh menutupi rambutnya. Lipatan celana hitamnya
berujung tajam seperti baru saja disetrika. Dengan
baju koko berwarna putih. Tanpa alas kaki dengan
berjalan setiap dia berjalan di atas hamparan tikar
yang terbuat dari lipatan daun.
= #=#=#=
Di kota ini, keluarga yang mendapatkan tunjangan
sosial dari masyarakat sekitar bersifat sukarela atau
yang tidak, mereka yang berbeda kondisi
ekonominya, hal ini sangat terlihat berbeda dari
kehidupan sehari-hari. Antara kondisi kaum yang
berekonomi menengah atas dengan kaum yang
ekonomi kebawah.
Seperti halnya para kaum elite borjuis
ataupun istilah kami menyebutnya ”orang
gedongan” memiliki rumah yang besar, halamannya
yang sangat luas, dengan berbagai macam perabotan
yang mewah beserta di lingkungan kompleks yang
102
sangat teratur di jaga oleh para petugas keamanan
lingkungan secara mandiri.
Berbeda yang ada di lingkungan kami, dengan
memiliki kamar mandi di dalam rumah beserta WC-
nya hal ini sudah di anggap mewah. Selain itu juga
apabila diantara sudah memiliki televisi dianggap
orang mampu yang ada di kampung kami.
Televisi merupakan barang mewah di
kampung kami. Hanya beberapa rumah saja yang
memiliki televisi. Seperti halnya aku yang hanya bisa
nonton televisi di rumah tetangga. Aku ingat betul
ketika berumur 6 tahun, aku di sunat dengan ikut
serta “sunatan massal” yang ada di Kwitang deket
pasar Senen. Sungguh bahagia rahasianya karena aku
tidak bisa tidur karena masih berasa sakit di sekitar
luka yang di sunat. Aku di izinkan oleh Ayahnya
Tomy yang memiliki rumah gedong itu karena
halamanya luas ada pohon jambunya, aku bisa
nonton film sambil memegang sarung agar tidak
terkena luka dibagian yang telah di sunat.
103
Bagi orang mampu ataupun ekonomi lemah.
Yang namanya sunatan itu wajib untuk anak laki-laki
karena sudah menjadi perintah agama termasuk aku
harus menjalaninya dengan sabar dan ikhlas. Jika
orang yang berkecukupan untuk anak-anaknya pasti
ada syukuran dalam merayakan sunatan anaknya.
Dengan mengundang banyak tamu dari tetangga
maupun kerabat keluarga yang datang untuk
memberikan selamat dan doa. Selain itu juga ketika
sebelum di sunat. Calon “pengantin sunat” panggilan
yang lazim di bawa keliling kampung dengan iring-
iringan musik gambang kromong yang di arak
berkeliling. Tak lupa juga bunyi petasan menggelegar
ke seantero kampung.
“Asa jadi anak yang pintar dan soleh yah!”
“Emak berharap Asa menjadi penerang
keluarga ini, selalu bersabar dalam menjalani segala
cobaan dan selalu bersyukur ketika apapun rezeki
kesehatan dan kebersamaan kita sekeluarga selalu”
104
Ketika luka sunatku belum sembuh benar.
Aku di kagetkan dengan suara pecahan piring dan
kaca lemari yang pecah. Lemari kaca berwarna
kecoklatan yang terbuat dari kayu jati, kaca bagian
kiri pecah berserakan ke lantai karena di lempar
piring oleh Encang. Sungguh tragis dan lukaku makin
terasa perih menusuk kulitku yang tegang
dikarenakan detak jantung yang ketakutan melihat
berbagai kejadian menegangkan. Aku tak tahu
kenapa Encang begitu marah dengan istrinya ; aku
biasa memanggilnya dengan sebutan „Mak Kani.
Mukanya merah lebam dan hampir membiru di
sekujur wajahnya yang mulai membengkak dibagian
pipi kiri. Di bibir bagian kiri keluar darah segar yang
menetes perlahan. Kami hanya terdiam ketakutan,
tidak satupun yang berani melawan kezaliman ini.
Kami manusia-manusia lemah yang hanya bisa
terdiam dan menerima segala kondisi ini dengan tak
berani berbuat ataupun berontak dengan kondisi ini.
Emak mendekapku dengan keras. Sambil
menjaga luka sunat yang belum sembuh. Adikku
105
Nurma dan Rysa pun ketakutan sangat sambil
menutup mulut dan kupingnya agar tidak terdengar
dengan kegaduhan yang terjadi.
Ingin sekali rasa di hati ini untuk pergi jauh
dari rumah ini. Di mana memiliki tempat yang
nyaman, dimana tidak ada pihak yang
mengeksploitasi dan dianiaya, karena tidak akan ada
kondisi yang menang ataupun kalah, siapupun di
antara kami yang melawan akan menghancurkan
keluarga ini semakin hancur dan berantakan. Encang
merupakan sosok laki-laki yang sangat arogan, semua
keputusan dan omongannya adalah sesuatu yang
wajib diikuti dan dijalankan bagi siapa saja diantara
anggota keluarga yang melawan ataupun membantah,
dia tidak segan-segan untuk menghujamkan kepalan
dan tonjokan yang sangat merusak badan kita hingga
membiru. „Mak Kani, anak-anaknya ; Yadin dan
Mila, Bapak, Emak dan Akupun tak luput dari
terjangan kekerasannya.
Emak tak kuasa untuk membawa kami pergi,
di karenakan kondisi Bapak yang membuatnya
106
bingung. Ketika Emak mengajak pergi bersama-sama
aku, Nurma dan Rysa ingin meninggalkan rumah.
Emak tidak tega untuk pergi di karenakan kondisi
Bapak yang memposisikan serba salah dengan
kondisinya. Karena Bapak merupakan belahan
jiwanya, sekaligus Bapak dari anak-anak yang sudah
menjadi tanggungjawabnya sebagai istri untuk selalu
menemani segala apapun kondisi yang dialami sang
suami.
= #=#=#=
Sifat dan karakter kepribadian orang bukan hanya
dibentuk oleh keluarga, namun juga oleh faktor
lingkungan. Aku yang berada di kampung Pulo.
Dengan Jumlah orang betawi di kampung kami
hampir delapan puluh persen dari total populasinya.
Yang turun temurun beranak-pinak akan tetapi
berbagai macam membaur membentuk komunitas
kampung dari berasal berbagai daerah seperti ; sunda,
madura, padang, ambon dan jawa membaur menjadi
satu. Bisa saja kami yang lebih dulu menempati
107
kampung pulo ini dari siapapun. Engkong Haji,
Engkong Yusuf dan Engkong Ishak serta engkong-
engkong yang lainnya, seluruhnya itu adalah
penduduk asli yang menempati sepertiga kampung.
Bukti bahwa nenek moyang mereka telah lama sekali
berada di kampung pulo. Komunitas ini selalu rendah
hati dan pekerja keras. Meskipun mereka orang asli.
Mereka senantiasa memelihara adat istiadatnya.
Jakarta merupakan ibukota dari Indonesia
bukan hanya terkenal dengan Monas dan kerak
telornya, akan tetapi juga dengan banjir yang sering
kali mampir di setiap musim penghujan tiba. Menurut
catatan sejarah Jakarta, pernah banjir besar melanda,
itu terjadi pada tahun 1621, 1654, 1725 dan yang
paling besar terjadi pada tahun 1918. Padahal kala itu
ruang hijau di Jakarta lebih luas dari saat ini. Salah
satu penyebab banjir di Jakarta pada tahun 1918
adalah pembabatan hutan di Puncak yang dijadikan
perkebunan teh oleh VOC. Alhasil Jakarta
mengalami banjir yang sangat besar dan bahkan
menelan banyak korban jiwa.
108
= #=#=#=
Dari kampung Pulo kurang lebih satu kilometer aliran
kali Ciliwung yang melintas akan bermuara di Pintu
Air Manggarai. Arsitek The Flood Gates of
Manggarai – yakni Pintu Air Manggarai, menurut
sejarah perjuangan Jakarta telah mencatatnya untuk
mengatasi banjir, yang kiprah dan peranannya saat
dia ditugaskan oleh Departement Waterstaat untuk
memimpin "Tim Penyusun Rencana Pencegahan
Banjir" secara terpadu yang meliputi seluruh kota
wilayah Batavia yang saat itu baru seluas 2.500
Hektar. Penugasan itu diterimanya di mulai ketika
Kota Batavia di tahun 1918 terendam banjir
mengakibatkan yang merenggut banyak korban jiwa.
Setelah mempelajari dengan seksama dari
berbagai aspek penyebab banjir, H. Van Breen dan
Tim penyusun strategi pencegahan banjir yang dinilai
cukup spektakuler saat itu. Tak dapat disangkal,
prinsip-prinsip pencegahan banjir itu lalu dijadikan
acuan pemerintah dalam mengatasi banjir di Jakarta.
109
Konsep Van Breen dan kawan-kawan
sebenarnya sangat sederhana, namun mereka perlu
perhitungan cermat dan pelaksanaannya butuh biaya
tinggi. Substansinya adalah dengan mengendalikan
aliran air dari hulu sungai dan membatasi volume air
masuk ke kota. Karena itu, perlu dibangun saluran
kolektor di pinggir selatan kota untuk menampung
limpahan air, dan selanjutnya dialirkan ke laut
melalui tepian barat kota. Saluran kolektor yang
dibangun itu kini dikenal sebagai "Banjir Kanal"
yang memotong Kota Jakarta dari Pintu Air
Manggarai bermuara di kawasan Muara Angke.
Dengan penetapan Manggarai sebagai titik
awal, karena saat itu wilayah ini merupakan batas
selatan kota yang relatif aman dari gangguan banjir,
sehingga memudahkan sistem pengendalian aliran air
di saat musim hujan. Banjir Kanal itu mulai dibangun
sejak tahun 1922. Dikerjakan bertahap yakni dari
Pintu Air Manggarai menuju Barat, memotong
Sungai Cideng, Sungai Krukut, Sungai Grogol, terus
ke Muara Angke. Untuk mengatur debit aliran air ke
110
dalam kota, banjir kanal dilengkapi beberapa "Pintu
Air", antara lain, Pintu Air Manggarai (untuk
mengatur debit Kali Ciliwung Lama) dan Pintu Air
Karet (untuk membersihkan Kali Krukut Lama dan
Kali Cideng Bawah dan terus ke Muara Baru).
Dengan adanya Banjir Kanal, beban sungai di utara
saluran kolektor relatif terkendali. Karena itu, alur-
alur tersebut, serta beberapa kanal yang dibangun
kemudian, dimanfaatkan sebagai sistem makro
drainase kota guna mengatasi genangan air di dalam
kota.
Dalam menyusun konsep H. Van Breen dan
kawan-kawan, mereka menyadari bahwa banjir yang
selalu mengancam Jakarta tak akan teratasi jika
hanya memperbaiki sistem tata air di dalam kota.
Karena itu pencegahan di daerah hulu pun harus
dikelola secara terpadu. Oleh karena itu, untuk
mengendalikan aliran di daerah hulu perlu dibangun
beberapa bendungan untuk penampungan sementara,
sebelum itu air dialirkan ke hilir. Sebagai
implementasi dari rencana pencegahan di daerah
111
hulu, dibangunlah dua bendungan yakni: Bendungan
Katulampa di Ciawi, dan Bendungan Empang di hulu
Sungai Cisadane.
= #=#=#=
112
Chapter Three
Manusia mempunyai potensi tak berbatas yang belum
di kembangkan. Bahkan setiap orang belum
menampakkan kemampuan tersebut sehingga belum
di pergunakan seperempat maupun separuh
kemampuannya. Setiap pribadi akan mencoba keluar
dari lingkungan rumahnya, lalu mengembara untuk
berpetualang dalam menguji kemampuan dan
potensinya, serta juga semangat dan bakatnya.
Seperti halnya Emak selalu berpesan di setiap
kesempatan agar aku selalu kuat, inilah pesan yang
selalu menemaniku.
Pesan Emak untuk Asa ;
Biarkanlah waktu terus berjalan
Tetaplah jadi anak manusia yang mulia, apapun dan
kapanpun yang menghadang
Janganlah engkau galau dengan alang rintang yang
menghadang
Karena sesungguhnya itu semua hanyalah cobaan
silih berganti
Jadilah manusia pemberani melawan rasa takut yang
menghampiri
113
Karena niat suci dan murni adalah bekalmu yang
sejati
Janganlah pandang benci musuhmu yang
menghadang
Karena sejatinya apabila kamu mengetahui,
sesungguhnya keberadaan musuhmu
Merupakan ujian yang membentuk karakter dan
kepribadianmu
Takkan ada yang abadi segala suka dan duka
Takkan kekal segala kebahagiaan dan kesulitan
Berjuanglah, berkarya dan ciptakan sekreatif
mungkin mimpimu
Gapailah setinggi-tinggi impianmu dan wujudkan
menjadi nyata bagimu
Maka ada lima keutamaan untukmu ;
Motivasi yang tak akan pernah padam, selalu
memperkaya imajinasi khasanah kehidupan,
menggerakkan kekuatan yang maha dahsyat, bekerja
dengan penuh tujuan serta selalu meluaskan ilmu.
Manusia mulai mempertanyakan apakah ada
kebahagiaan di ujung jalan yang mulai ditempuhnya.
Kemampuan manusia mungkin bisa membuatnya
sukses, namun belum tentu, hal itu membuat mereka
bahagia.
114
Begitu manusia mulai merubah cara berfikir
mereka. Ketika memiliki potensi yang belum
dipergunakan secara maksimal, mereka
mengembangkan dengan berbagai cara dan
inovasinya, sehingga dengan cara kreatif dan inovatif
dapat bertahan serta bersaing dengan positif.
Mencoba merubah cara pandang dan cara hidup yang
lebih efektif serta elegan dibandingkan cara hidup
zaman dahulu kala. Dimana peradaban dan teknologi
kian membuat hidup makin lebih hidup.
= #=#=#=
Seperti mencari seuntai cincin yang tercebur
di dalam kali karena kecebur milik Bu Ana yang
tidak sengaja terjatuh waktu menaiki getek Pak Zuki,
sesuatu yang bernama impian dan kebahagian
sebenarnya sangat dekat dengan kita, akan tetapi
karena tertutup alang rintang dan cobaan menjadikan
hal itu tak semudah yang di bayangkan.
Apakah setiap orang akan berusaha
menjalaninya dengan sabar dan melewati segalanya
115
dengan bijak? Semua bergantung sikap dan
keyakinan kita yang menentukan berhasil atau
tidaknya kita menjalaninya.
Mimpi dan kebahagian berada didalam
keluarga yang harmonis sesuai dengan fungsinya,
tapi bukan kebahagiaan yang semu belaka. Keluarga
bukan hanya sesuatu yang kasat mata, hal itu
merupakan suatu struktur organisasi terkecil dalam
kehidupan ini, ketika salah satu peranan saja tidak
menjalankan fungsinya dengan baik, hal ini akan
mempengaruhi putaran roda kehidupan dalam
keluarga tersebut.
Seperti di dalam hubungan sepasang keluarga
Merpati yang berada didalam sangkarnya di atas
pohon, ketika burung Merpati di dalam
rumahtangganya saling bekerjasama antara merpati
jantan dan betina untuk menjaga, merawat dan
memberikan makan anak-anaknya sebelum dewasa
dan dapat hidup mandiri.
116
Begitu halnya dengan manusia, ketika terjadi
didalam keluargaku. Aku mencoba memahami,
walaupun kadangkala aku sukar untuk mengerti.
= #=#=#=
Seperti berbagai hal yang dapat berubah,
sekian menit segala sesuatu dapat merubah
segalanya. Aku pun mulai banyak belajar dan
memahami banyak hal yang menimpaku. Belajar dan
bermain Basketball. Walaupun aku tidak menjadi
paling nomor satu dalam menshooting ke dalam
keranjang di lapangan Basketball. Akan tetapi
disekolahku, aku menjadi bintang juara dikelas,
peringkat satu dari kelas satu sampai dengan kelas
tiga.
Tak ada yang istimewa didalam lingkungan
sekolahku di SMPN 33 Jakarta, kecuali bangunan
tinggi yang menjulang di depan sekolahku diseberang
kali, walaupun bangunan tua itu terlihat agak suram
dan menyeramkan akan tetapi bangunan itu pastinya
117
memiliki nilai sejarah yang sangat tinggi. Seperti
layaknya diriku kenapa,
Jakarta terletak pada posisi 6012 Lintang
Selatan dan 106048 Bujur Timur dan berbatasan
dengan 2 provinsi lain yaitu Provinsi Jawa Barat di
sebelah Selatan dan Timur serta Provinsi Banten di
sebelah Barat. Sementara di sebelah Utara Jakarta
merupakan bentangan pantai sepanjang ± 35 KM dari
Barat hingga Timur yang berbatasan dengan Laut
Jawa dan menjadi tempat bermuaranya sungai dan
kanal yang mengalir melintasi Jakarta. Secara
keseluruhan luas wilayah Jakarta terdiri atas wilayah
daratan seluas 662,33 km2 dan wilayah lautan seluas
6.977,5 km2 dengan 110 pulau di Kepulauan Seribu
Satu-satunya kota di Indonesia yang dihuni
para pendatang dari berbagai suku bangsa, termasuk
keturunan etnis asing, adalah Jakarta. Mereka datang
dari berbagai daerah di Nusantara dan mancanegara
sejak abad ke-16, ketika kongsi dagang Belanda
VOC berkuasa di Batavia.
118
Ketika itu daya tarik Jakarta adalah pelabuhan
Sunda Kelapa yang merupakan bandar niaga kerajaan
Padjajaran. Sunda Kelapa berada di mulut sungai
Ciliwung. Pelabuhan tersebut menjadi persinggahan
untuk mengambil air minum kapal-kapal niaga asing.
Waktu itu air Ciliwung sangat bersih.
Pada masa itu Jakarta menjadi wilayah
bawahan kesultanan Banten. Jakarta direbut dari
kerajaan Pajajaran pada 1527 dipimpin oleh Pangeran
Jayakarta. Pada awalnya kawasan ini tidak
berpenghuni. Rawa, hutan, dan hewan liar masih
banyak terdapat di kawasan ini. Sekarang masih
teridentifikasi lewat nama-nama jalan yang
menggunakan Rawa (misalnya Rawaterate dan
Rawakebo), Hutan (misalnya Utan Kayu dan Utan
Panjang), dan Kebun (misalnya Kebon Jati dan
Kebon Pala).
Keadaan berubah ketika VOC menguasai
daerah ini dan diberi nama Batavia. Pembangunan
mulai dilakukan oleh Gubernur Jenderal JP Coen.
Sejak itu Batavia dibangun menjadi kota administrasi
119
pemerintahan VOC. Pembangunan Batavia oleh
Coen didukung dana dari kalangan pengusaha Cina.
Dana pembangunan kota dikoordinasi oleh Souw
Beng Kong (So Bing Kong). Dia dikenal sebagai
pedagang kaya dan akrab dengan para pembesar
kesultanan di Banten dan Jawa sebelum kedatangan
VOC. Kelak Kong menjadi Kapiten Cina di Batavia.
Jauh sebelum kedatangan Belanda masyarakat
keturunan Cina sudah menetap di Batavia dan
berperan sebagai penghubung dengan dunia luar
untuk perdagangan.
Untuk membangun kota, Coen mendatangkan
1.000 tenaga asal Makao pada 1619. Pada 1621
didatangkan 800 orang Banda. Mereka dimukimkan
dekat pelabuhan Sunda Kelapa. Tempat
bermukimnya orang Banda dikenal sebagai Kampung
Bandan dan merupakan kampung etnis pertama di
Batavia. Setelah itu VOC mendatangkan orang-orang
Bali, Manggarai, Bugis, Makassar, Tambora, dan
Melayu. Kesemuanya mendapat pemukiman dan
diberi nama sesuai tempat asal.
120
Pembangunan Batavia berkembang pesat
mirip kota-kota di Eropa. Maka kemudian Batavia
mendapat julukan “Ratu Asia” atau “Kota Eropa di
Asia”. Batavia menjadi ramai sebagai kota niaga
terbesar di Asia Tenggara sejak abad ke-17. Hal ini
tentu saja menjadi daya tarik para pendatang dari
Timur Tengah, India, dan Asia Timur. Batavia mulai
mengalami proses pembauran masyarakat majemuk
yang terintegrasi dari perpaduan berbagai latar
belakang budaya dan keyakinan. Para pendatang
tetap memelihara budayanya untuk mempertahankan
jati diri mereka. Proses akulturasi di Batavia semarak
dengan dialek bahasa Melayu pasar sebagai
komunikasi pergaulan.
Setiap kali banjir melanda Jakarta, orang
selalu menghubungkannya dengan Sungai Ciliwung
dan anak-anak sungainya. Sungai-sungai di Jakarta
memang sudah dianggap merupakan tempat
pembuangan sampah yang paling murah. Tanpa
peduli dampaknya, pembuangan sampah terus saja
121
terjadi, meskipun pada 1996 lalu ketika aku kelas 6
SD, Jakarta pernah mengalami pula banjir hebat.
Namun berbeda dengan keadaan pada masa
kini, pada masa lampau Ciliwung merupakan sumber
kehidupan utama masyarakat karena berbagai
aktivitas dilakukan di sini. Mulai dari keperluan
rumah tangga sehari-hari hingga jalur perdagangan
internasional. Ciliwung mulai berperan sejak zaman
purba, ketika manusia prasejarah menghuni Jakarta.
Puncaknya, pada abad ke-15 dan ke-16 pelabuhan
Sunda Kelapa di muara Ciliwung, telah dikenal luas
oleh pedagang-pedagang seantero Nusantara dan
internasional. Orang-orang Belanda yang datang
paling awal antara lain menulis, “Kota ini dibangun
seperti kebanyakan kota-kota di Pulau Jawa. Sebuah
sungai indah, berair jernih dan bersih, mengalir di
tengah kota” (Hikayat Jakarta, 1988). Itulah Ciliwung
pada awalnya.
Pelabuhan Sunda Kelapa dikatakan ramai
didatangi pedagang, meskipun terbujur sepanjang
satu atau dua kilometer di atas potongan-potongan
122
tanah sempit. Namun setelah dibersihkan, Ciliwung
menjadi lebar. Hal ini memungkinkan sepuluh buah
kapal dagang dengan kapasitas sampai 100 ton, dapat
masuk dan berlabuh dengan aman di Sunda Kelapa.
Air Ciliwung waktu itu mengalir bebas, tidak
berlumpur, dan tenang. Meskipun gempa-gempa
besar sempat mengacaukan aliran pembuangan air,
Ciliwung tidak seberapa tercemar. Karena itu banyak
kapten kapal masih singgah untuk mengambil air
segar yang cukup baik, untuk diisikan ke dalam
botol-botol dan guci-guci mereka.
Sejak kedatangan bangsa Belanda, maka
Batavia (nama pengganti Sunda Kelapa) dibangun
seperti tata letak kota-kota di Belanda, yakni berupa
tembok kota, parit, dan berderet-deret rumah. Dengan
demikian, menurut Jean-Baptiste Tavernier
sebagaimana dikutip van Gorkom, Ciliwung
memiliki air yang paling bersih dan paling baik di
dunia (Persekutuan Aneh, 1988). Tidak berlebihan
kalau ketika itu Batavia mendapat julukan “Ratu dari
Timur”. Banyak orang asing yang datang, tak segan-
123
segan memberikan sanjungan yang tinggi kepada
Batavia. Bahkan menyamakannya dengan negara-
negara di Eropa.
Pada saat dibangun Belanda, kota Batavia
berbentuk bujur sangkar dengan panjang kira-kira
2.250 meter dan lebar 1.500 meter. Kota ini terbelah
oleh Ciliwung menjadi dua bagian yang hampir sama
besar. Masing-masing bagian dipotong lagi oleh
parit-parit yang saling sejajar dan saling simpang.
Sejumlah jalan juga dibangun sehingga penampang
kota berpola kisi-kisi. Pola seperti inilah yang
dipandang mampu melawan amukan air di kala laut
pasang dan banjir di dalam kota karena air akan
saling berpencar ke segala penjuru. Saat ini kota
tersebut berada di wilayah Kota Tua Jakarta.
Tidak disangka-sangka, pada 1699 Gunung
Salak di Jawa Barat meletus. Erupsinya sungguh
berdampak sangat besar. Karena itu iklim Batavia
menjadi buruk, kabut menggelantung rendah dan
beracun, parit-parit tercemar, dan penyakit-penyakit
aneh bermunculan. Batavia pun berganti julukan
124
menjadi “Kuburan dari Timur”, bukan lagi “Ratu dari
Timur”. Sejak itu, Ciliwung mulai kotor.
Seperti halnya pemerintahan zaman sekarang,
dulu pun banyak pihak saling tuding terhadap
bencana ekologi tersebut. Mereka bukannya
memasalahkan kebijakan Kompeni atau VOC sendiri,
tetapi justru cenderung menuding pendahulu-
pendahulunya. Mereka dinilai salah karena telah
membangun kota dengan menyontoh kota gaya
Belanda. “Batavia adalah kota bercorak tropis.
Berbeda jauh dengan Belanda yang memiliki empat
musim,” begitu kira-kira kata para penentang.
Sebagian lagi menduga, bencana ekologi itu
disebabkan oleh kepadatan penduduk. Batavia
memang semula dirancang sebagai kota dagang.
Karenanya, banyak pendatang kemudian menetap
secara permanen di sini. Sebagai kota dagang, tentu
Batavia mempunyai magnet kuat.
Segera, lingkungan alam Batavia mengalami
perubahan fundamental setelah berbagai daerah di
sekitarnya dibersihkan dari hutan-hutannya untuk
125
membudidayakan tanaman tebu. Ternyata, budidaya
itu juga mencemari air dan menanduskan tanah.
Apalagi berbagai pabrik gula sangat membutuhkan
kayu bakar yang demikian banyak jumlahnya. Karena
terletak di dekat sungai, maka pabrik-pabrik gula itu
ikut menyokong pencemaran air bersih di Batavia,
sekaligus mengurangi daerah resapan air.
Pada tahun 1701 terungkap bahwa daerah
hulu Ciliwung sampai hilir di tanah perkebunan gula
telah bersih ditebangi. Sebagai daerah yang terletak
di tepi laut, tentu saja Batavia sering kali kena
getahnya. Kalau sekarang Jakarta hampir selalu
mendapat “banjir kiriman” dari Bogor, dulu “lumpur
kiriman” dari Cirebon bertimbun di parit-parit kota
Batavia setiap tahunnya.
Pada awal abad ke-19 Batavia tidak lagi
merupakan benteng kuat dan kota berdinding tembok.
Karenanya, pada awal abad ke-20 Batavia sudah
menjadi kota yang berkembang dengan penduduk
berjumlah 100.000 orang. Bahkan dalam beberapa
tahun saja penduduk kota sudah meningkat menjadi
126
500.000 orang. Adanya nama-nama tempat yang
berawalan hutan, kebon, dan rawa setidaknya
menunjukkan dulu Jakarta merupakan kawasan
terbuka. Sayang, kini sudah berubah menjadi
kawasan tertutup (tempat hunian).
Begitu pula adanya wilayah yang berawalan
kampung. Dulu istilah kampung mengacu pada
sederetan daerah permukiman orang-orang pribumi
yang terletak jauh di luar jalan-jalan aspal.
Dibandingkan kota, memang fasilitas di kampung
tidak lengkap. Sanitasi di kampung tidak bagus
karena banyak warga membuang hajat dan sampah
sembarangan di parit atau got. Dalam musim hujan
banyak kampung kebanjiran, meskipun air banjir itu
tidak dalam dan kotor. Baru kemudian ketika jumlah
penduduk semakin meningkat, air kali sekaligus air
banjir menjadi sangat kotor. Siklus banjir tahunan
selalu berulang pada musim penghujan tiba.
Memang, kota-kota di negara maju saja sering kali
tidak berdaya menghadapi bencana alam. Mudah-
mudahan kita mengambil hikmahnya bahwa semakin
127
tertutupnya daerah resapan air, maka banjir semakin
besar. Begitu pula semakin buruknya sanitasi.
Sanitasi terburuk umumnya terjadi pada daerah
bantaran sungai. Semakin banyaknya pendatang tentu
semakin banyaknya permukiman warga sekaligus
sampah yang dibuang ke kali. Sudah jelas, perilaku
warga yang demikian perlu diubah sehingga banjir
yang mungkin terjadi lagi bisa diminimalisasi.
128
Chapter Four
Di alam semesta begitu banyak kisah cinta dan kasih
sayang, namun tak ada yang dapat mengalahkan
keindahan kisah cinta dan kasih sayang seorang
Emak kepada anaknya.
Ketika ada perpisahan antara orangtua dan
anak adalah sesungguhnya hanya badan saja yang
terpisah, akan tetapi perasaan dan ikatan bathinnya
selalu terikat kuat tak dapat dipisahkan hanya dengan
jarak.
Ada begitu banyaknya perasaan di dunia,
namun tidak ada yang menyerupai perasaan emak
pada anaknya. Saat kita masih kanak-kanak, kita
belum mengerti hal itu.
Ketika doa Emak, perjuangan yang
meneteskan air mata demi Asa,
Ketika cinta Emak, menguatkan alang
rintang pada Asa
129
Memang betul, ada jarak antara impian dan
kenyataan, maka kamu bisa perkecil jarak antara
keduanya setiap hari dengan langkah pasti. Kita
tidak akan dapat menambah usia kehidupan kita, tapi
kita bisa tambahkan kehidupan dalam umur kita,
dengan memberikan manfaat sebanyak mungkin
orang di sekeliling kita. Tiada doa yang paling indah
selain ungkapan syukur kepada Allah. Tiada tangisan
yang paling indah selain cucuran airmata taubat
kepada Allah. Terima kasih Ya Allah, engkau beri
anak yang soleh dan solehah sehingga telah
mempertemukan kami kembali dengan penuh
keberkahan.
Terima kasih Ya Allah, atas segala nikmat
dan karuniaMU, Terima kasih Ya Allah, atas segala
kesempatan, kesehatan dan usia yang Engkau berikan
sampai hari ini.
130
Chapter Five
Memasuki bulan juni, dimana para pemuda tanggung
yang baru lulus dari sekolah menengah atas ataupun
siapapun mereka yang ingin berjuang dari berbagai
penjuru di Indonesia berlomba-lomba memenuhi
Jakarta seperti air hujan yang menghujani kota pada
bulan Januari. Seolah membanjiri seluruh kampung
kota Jakarta dikarenakan curah hujan yang sangat
tinggi mencari sebuah pengharapan berpindah
menuju pulau pemimpi yang indah dan penuh masa
depan yang cerah. Para pemuda dengan segala
harapan dan ketidakpastiannya, yang merasa akan
merubah menjadi sosok baru ketika ke Jakarta.
Ternyata, mereka hanya sampai seperti di
sebuah kubangan lumpur penuh dengan berbagai
kotoran dan sangat berbau.
Jakarta adalah kubangan itu. Semua
berkumpul menjadi satu, ber
Jakarta merupakan dataran rendah dengan
ketinggian rata-rata berkisar 7 meter di atas
131
permukaan laut. Namun, sekitar 40% dari wilayah
Provinsi DKI Jakarta berupa dataran yang permukaan
tanahnya berada 1-1,5 meter di bawah muka laut
pasang.
Secara hidrologis khususnya mengenai air
permukaan, terdapat 13 sungai yang mengalir
membelah Jakarta. Kondisi sungai ini sangat
memprihatinkan dengan tingkat sedimentasi dan
pengangkutan sampah yang tinggi. Akibatnya, jika
hujan tinggi terjadi di hulu, permukaan air sungai
dengan cepat meluap, yang pada gilirannya akan
mengancam daerah rendah di Jakarta terutama daerah
Jakarta Utara. Perawatan sungai terutama pengerukan
mulut sungai dan pengurangan pembuangan sampah
ke sungai akan membantu menjaga kapasitas debit
sungai. Selain itu, Jakarta juga memiliki 2 kanal
besar, yaitu Kanal Banjir Barat dan Kanal Banjir
Timur. Sungai-sungai dan kanal tersebut
dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan. Antara
lain digunakan untuk usaha perkotaan, air baku untuk
air minum, perikanan dan lain-lain. Fungsi utama dari
132
jaringan sungai dan kanal tersebut adalah sebagai
sarana drainase.
Secara geologis, seluruh dataran terdiri dari
endapan pleistocene yang terdapat pada ± 50 m di
bawah permukaan tanah. Bagian selatan terdiri atas
lapisan alluvial, sedang dataran rendah pantai
merentang ke bagian pedalaman sekitar 10 km. Di
bawahnya terdapat lapisan endapan yang lebih tua
yang tidak tampak pada permukaan tanah karena
tertimbun seluruhnya oleh endapan alluvium.
Di wilayah pesisir Jakarta juga terdapat pantai
yang melintang dari timur ke barat dengan
ketinggian pantai berkisar antara 0 - 5 m dari muka
air laut dengan lebar 7 km di sekitar Jakarta dan 17 -
40 km pada dataran delta. Bagian Barat Teluk Jakarta
sebagian besar merupakan pantai berlumpur,
sedangkan ke arah Timur merupakan pantai berpasir.
Namun kecenderungan yang terjadi selama beberapa
dekade adalah garis pantai itu juga mengalami
perubahan yang diakibatkan oleh aktifitas manusia,
antara lain pembangunan di depan garis pantai atau
133
penambangan pasir. Perubahan garis pantai oleh
faktor alam terutama berupa penambahan pantai oleh
sedimentasi. Abrasi terjadi di beberapa lokasi di
Pantai Utara Jakarta bagian Timur.
= #=#=#=
Dengan segala kesederhanaan, maka tragedi banjir
besar yang melanda kampung merupakan sebuah
drama cobaan yang bukan karena alasan sang Khalik
dalam memberikan banjir. Kampung itu demikian
porak ponda berantakan dengan berbagai lumpur, bau
merusak tatanan sosial yang ada dengan menambah
luka didada.
Namun kali ini berbeda, mendung bergelayut
murung dilangit Jakarta, siap menumpahkan murka di
kampung itu karena dua warganya semakin lama
kehilangan kewarasannya sehingga kelangsungan
hidupnya terancam.
Sore itu gumpalan–gumpalan awan hitam
bergulung-gulung bergerak di atas kepala kami yang
134
tinggal di sepanyang bantaran Sungai Ciliwung yang
membelah kota Jakarta. Kami berdiri mendongak-
dongak keatas melihat gumpalan-gumpalan awan
hitam yang terus bergerak dan membuat langit
Jakarta lebih cepat gelap dari hari-hari biasanya.
Awan itu terus bergerak bagaikan ribuan pasukan
berjubah hitam yang hendakberangkat ke medan
perang dari arah hulu sungai menuju ke arah Teluk
Jakarta. Kami berdiri tegak berderet–deret di tepi
sungai, seperti sedang menyaksikan sebuah arak-
arakan di langit.
BERSAMBUNG
(DAPATKAN SEGERA NOVELNYA
“DOA EMAK UNTUK ASA”)
135
136
Puisi Asa untuk Emak
Emak…
Malam tadi telah kupanjangkan doaku…
Telah kukhusukkan untukmu Emak…
Mungkin Allah memberi mahabah-Nya..
Sehingga hatiku terasa akrab dengan-Nya…
Emak…
Saat semua tak ada dan tak bisa…
Tak harus kucari pelukanmu…
Tak harus ku tunggu doa-doamu…
Bahkan bentangan bumi serasa tak berarti…
Emak…
Kehangatan kasih sayangmu itu selalu nyata
terasa…
Mengalir dan terasa deras…
Emak…
Detik-detik waktu membuatku rindu akan rahimmu…
Tak perlu nada yang berlebihan
Irama jantung itu begitu indah dan dirindui
Dipelukmu ku bisa kembali merasakannya…
Emak...
Bulan dan langit yang ku tatap tadi malam…
Adalah bulan yang sama dengan yang diatas rumah
kita…
Emak...
Aku telah biaskan kasih dan rindu ini pada langit
137
Emak...
Telah ku titipkan salamku untukmu pada bulan dan
bintang…
Dan kubisikkan pada hembusan angin…
Terimakasih Emak…
Untuk pahit getir yang kau tempuh untukku
Begitu tegas waktu menyita masa…
Mengambil cerita-cerita…
Mengemasnya menjadi kenangan-kenangan…
Jari-jari lentik ku sekarang hanya sempat bermain
dengan leher pena saja…
Mengukir ilmu, formula alam ataupun cerita hati…
Emak...
Karena Emak…
Aku ada…
Emak…
Semua tak akan lahir tanpamu…
Emak…
Rindu dan doa terbaik selalu untukmu…
138
Musa Rustam Biodata Penulis
Musa Rustam, lahir di Jakarta. Yang di
panggil oleh teman-temannya sebagai “anak kali”. Lahir dari keluarga yang
kurang mampu tidak mengecilkan
hatinya untuk selalu berjuang dan bermimpi, ia amat menggemari ilmu
komputer yang dipelajari secara
otodidak, menjadi seorang PNS adalah cita-cita Emaknya, mencoba
menyebarkan virus pegawaipreneur
lewat tulisannya.
Penulis multitalenta ini, pendiri DEEP OF TEEN Corporate, sebuah
perusahaan pembuatan Merchandise & Souvenir Unik. Pegawai Negeri Sipil
yang sehari-hari bertugas di Kantor
Badan Penanggulangan Bencana Daerah Provinsi DKI Jakarta.
Menjadi anggota komunitas bisnis
Pandu Wirausaha dan Komunitas Tangan Diatas/TDA Jakarta Selatan
serta beberapa Komunitas Fotografer.
Mulai membuka bisnis DEEP OF TEEN pada 5 November 2010, menjadi
Supplier Trans Studio Februari 2011.
139
Mulai mendapatkan beberapa penghargaan dalam
bisnis yaitu ; Sebagai Finalis Wirausaha Muda Mandiri Regional
Jabodetabek kategori Industri Kreatif dari Bank Mandiri tahun 2011.
Sebagai Finalis Indigo Fellowship kategori Web Application dari PT. Telkom Indonesia tahun 2011.
Sebagai Pemenang Kategori Kewirausahaan dalam
International Youth Muslim Creation dari International Muslim Summit Student di ITB pada
Juli 2012. Juara 3 Lomba Inovasi Bisnis tingkat Nasional dari
Kementerian Pemuda dan Olahraga Republik Indonesia pada November 2012.
Juara 2 Apresiasi Astra Socio Enterpreneur tahun
2012 dari PT. Astra International. 4 besar Esai Terbaik Kompetisi Esai Nasional Gebyar
Pemuda Indonesia tahun 2013 di Universitas Gajah Mada Yogyakarta.
Beberapa buku yang sudah di terbitkan secara self
publishing melalui nulisbuku.com antara lain; Meraup
Ratusan Juta Rupiah dari Bisnis Narsis, Traveller Photography Anti Teler, dan Menjadi Pegawaipreneur
Sukses.
Menjadi pembicara dan motivator menjadi kekuatan yang diyakini memperkaya kehidupan manusia dalam
beraktivitas dan ini menjadi hobi yang akan selalu
menginspirasinya !!
Penulis dapat dikontak di Twitter @musajkcc
140
Doa Emak untuk Asa
Sesungguhnya hidup itu memang indah dan sederhana....
setidaknya itulah yang kurasakan dalam dekapan Emak
yang selalu hangat.
Kisah perjuangan seorang Emak dalam mewujudkan impian Asa
Dengan berbagai cobaan dan
rintangan hidup yang membelenggu siksa
Mulai dari pahit getir, kekejaman dan kekerasan kehidupan ibukota
Kini telah di ijabah dengan titik sinar kehidupan yang menderu
Karena kesabaran dan keikhlasan yang tak pernah Asa
Allah memberikan karunia di balik cobaan dan rintangan
Asa kecil tak pernah jauh dari Emak yang mengasuhnya
dengan penuh kasih sayang dan cinta seorang diri. Namun,
saat beranjak dewasa, karena tuntutan keadaan yang
mengharuskan Asa untuk berjuang pergi meninggalkan
Emak dan hidup berdikari di negeri orang.
Kehidupan yang keras kota Jakarta, lahir serba minim tak
pernah mengecilkan asanya untuk menggapai asa karena
kekuatan Doa Emak yang menghilangkan siksa.
Sampai ketika musibah itu hadir menjemputnya.....
“Ketika doa Emak, perjuangan yang meneteskan air mata demi Asa,
Ketika cinta Emak, menguatkan alang rintang pada Asa”.