dinamika tradisi buwuh di desa kaliaman
DESCRIPTION
hhjubbbTRANSCRIPT
Dinamika Tradisi Buwuh di Desa Kaliaman
1. Makna Buwuh
Buwuh secara harafiah memiliki arti imbuh- imbh anggenipun badhe
ewuh yang artinya tambahan bagi orang yang memiliki hajat. Orang yang
akan menyelenggarakan hajat tentu saja harus mengelurkan banyak dana
untuk keperluan hajatan tersebut. tradisi buwuh muncul sebagai upaya untuk
membantu meringankan beban antar sesame anggota masyarakat. Membantu
meringankan beban merupakan makna buwuh pada dasarnya. Terdapat nilai
luhur dan tulus di dalam tradisi buwuh yang dijadikan suatu kegiatan
membantu antar sesame yang sedang kesusahan. Untuk menggelar hajatan
membutuhkan baiaya yang tidak sedikit, padahal hajatan menjadi sesuatu
yang biasa dilakukan oleh warga untuk memberikan kesan terhadap suatu
momen yang dipandang penting. Maka tradisi buwuh ini muncul sebagai
gejolak perasaan iningin membantu meringankan beban tetangga atau
kerabatnya yang sedang menggelar hajatan.
Seiring perkembangan waktu dan tanpa disadari tradisi buwuh ini
menjadi sesuatu yang rutin dilakukan oleh warga desa kaliaman. Mereka
secara bergantian membalas bantuan yang pernah diterima dimasa
sebelumnya. Dan dalam perkembangannya muncullah suatu harapan atas
pemberian yang diberikan kepada seseorang akan dibalas di suatu waktu
mendatang. Hal ini menjadi kebiasaan pula suatu keadaan saling membalas
pemberian di dalam tradisi buwuh ini. Untuk memudahkan seseorang dalam
mengembalikan buwuhan yang pernah ia terima kepada pihak yang member
dalam tradisi buwuh ini terdapat buku catatan hasil buwuh dalam pelaksanaan
hajatan. Selain untuk memudahkan pengembalian jumlah, buku catatan hsil
buwuh ini juga untuk meminimalisir ketidakseimbangan dalam pertukaran
yang terjadi.
Pencatatan hasil buwuh dalam penyelenggaraan hajatan ini
memunculkan istilah potangan dalam tradisi buwuh. Potangan berarti perkara
utang piutang dalam tradisi buwuh. Seseorang harus mengembalikan buwuh
yang pernah ia terima kepada orang yang pernah memberinya dimasa
terdahulu. Melalui buku catatan hsil buwuh saat ia menyelenggarakan hajatan
tersebut, seseorang dapat melihat apakah ia memiliki potangan atau tidak
terhadap orang yang hendak menyelenggarakan hajatan. Ketika ia memiliki
potangan, maka buwuh yang dilakukannya bersifat mengembalikan potangan
pemberian kepada orang yang menyelenggarakan hajatan.
Istilah ndeleh juga muncul yang diartikan sebagai menabung dan
berinvestasi kepada seseorang. Ketika ia menyelenggarakan hajatan saat inilah
ia menarik tabungn yang pernah ia berikan kepada orang lain. Sifat buwuhn
orang lain kepada orang yang ndeleh ini adalah potangan atau mengembalikan
hutang pemberian buwuh kepadanya. Sampai pada tahap ini makna tradisi
buwuh telah bergeser kepada suatu jaminan sosial ketika seseorang
menyelenggarakan hajatan. Seseorang akan mengharapkan pemberiannya
kembali saat ia menyelenggarakan hajatan. Buwuh yang pernah ia berikan
tersebut dianggap sebagai invests di masa mendatang.
Dalam perkembangannya buwuh memang telah bergeser dari tujuan
awalnya. Buwuh tidak hanya dianggap sebagai tindakan membantu, namun
diblaik tindakan membantu tersebut terdapat harapan bahwa ia akan dibantu
dikemudian hari. Pertukaran dalam bidang ekonomi terjadi yang mana
perhitungan untung rugi mulai digunakan dalam tradisi buwuh ini. Seseorang
tentunya akan mempertimbangkan kepada siapa ia akan memberikan buwuh.
Dengan segala pertimbangan dan skala priorits yang ia gunakan seseorang
memilih kepada siapa ia hendak memberikan buwuhannya.
2. Bentuk sumbangan
Tradisi buwuh merupakan tradisi yang menyumbang dalam bentuk
barang yang dibunakan saat acara hajatan tersebut dilakukan. Sumbangan
yang biasa diberikan kepada pemilik hajat biasanya adalah bahan- bahan
pokok seperti beras, gula, teh, dan lainnya. bentuk sumbangan barang yang
demikian dimaksudkan untuk membantu penyelenggara hajatan dalam
menjamu para tamunya. Biasanya tuan rumah menjamu tamunya dengan
memberikan makanan atau minuman yang di makan ditempat dan beberapa
makanan diberikan untuk dibawa pulang. Begitu banyaknya tamu yang hadir
membuat hidangan yang disiapkan pun begitu banyak. Bahan- bahan yang
disiapkan pun tidaklah sedikit seperti beras, gula, dan bahan lainnya.
Di desa kaliaman sumbangan buwuh yang diberikan yaitu dalam
bentuk beras, gula, dan rokok. Biasany para ibu- ibu membawa beras atau
gula dan para bapak membawa rokok. Barang- barang tersebut pada awalnya
memang diperuntukkan sebagai bahan tuan rumah membuat hidayangan dan
menjamu para tamunya. Beras untuk membuat nasi yang dihidangkan, gula
untuk membuat minuman dan aneka makanan yang memerlukan bahan gula,
sedangkan rokok digunakan untuk menjamu para bapak- bapak yang hadir
saat penyelenggaraan hajatan. Namun dalam perkembangn tradisi buwuh ini,
barang- barang yang dibawa tidaklah digunakan kesemuanya untuk digunakan
dalam penyelenggaraan hajatan. Saat ini barang- barang tersebut hanya
digunakan sebagian kecil saja saat penyelenggaraan hajatan. Biasanya mereka
berhutang kepada seseorang untuk membeli bahan- bahan yang digunakan
dalam hajatan. Setelah hajatan selesai hasil penjualan barang- barang
buwuhan inilah yang digunakan untuk menutupi kekurangan biaya yang
digunakan dalam penyelenggaraan hajatan.
Fungsi barang yang disumbangkan sebagai buwuh tersebut pun
mengalami pergeseran dalam segi kegunaan, yaitu bukan lagi sebagai bahan
utama dalam memberikan hidangan dn mempersiapkan acara hajatan, namun
barang tersebut dijual kepada bakul dan hsil penjualan tersebut yang
digunakan untuk menutup kekurangan biaya penyelenggaraan hajatan. Secara
makna pun barang tersebut sudah tidak lagi bermakna barang yang memiliki
arti member bantuan karena kekurangan barang dalam penyelenggaraan
hajatan, namun arti tersebut digantikan dengan uang yang merupakan hasil
penjualan barang tersebut. uang memang menjadi alat tukar yang obyektif dan
praktis digunakan yang dirasa lebih mudah digunakan karena sifatnya sebagai
alat tukar yang efisien.
Dalam hal bentuk barang yang disumbangkan pun mengalami
perubahan dalam perkembangan tradisi ini. Sekarang ini rokok yang diberikan
sebagai bentuk buwuh bukan rokok yang harganya murah seperti dulu. Dulu
rokok yang digunakan dalam buwuh terserah dari si pemberi itu, namun
sekarang secara perlahan tanpa disadari terdapat merk- merk rokok yang
digunakan sebagai standar buwuh. Rokok yang biasa dan umum digunakan
adalah rokok merek sukun putih, djarum atau LA. Para tamu yang hadir pada
acara tersebut memberi pemilik hajat satu slop. Rokok yang paling umum
digunkan sebagai pemberian buwuh adalah rokok sukun putih, merk lain
seperti djarum, LA, sampoerna Mild, atau bahkan Marlboro diberikan karena
alasan tertentu. Biasanya orang yang memberikan rokok merk ini karena yang
menyelenggarakan hajatan adalah teman dekat. alasan lainnya yaitu karena
mereka memang potangan rokok merek ini jadi mereka juga mengembalikan
jenis rokok yang sama kepada orang yang pernah memberinya dimasa
terdahulu.
Jenis rokok yang digunakan secara nilai memang cukup tinggi untuk
saat ini. Rokok sukun putih saja yang dijadikan sebagai standar buwuh
sekarang harganya mencapai Rp. 75.000. rokok merek lain seperti djarum,
LA, Marlboro tentunya lebih mahal lagi dan mencapai harga diatas
Rp.100.000. meningkatnya standar nilai jenis barang yang harus
disumbangkan ini juga mempengaruhi intensits seseorang dalam memberikan
buwuh. Seseorang akan lebih mempertimbangkan secara detail kepada siapa
ia akan memberikan buwuh. Tingginya harga rokok ini juga membuat mereka
lebih memprioritskan buwuh yang sifatnya potangan. Mereka lebih fokus
untuk mengembalikan barang yang pernah ia terima dimasa terdahulu. Namun
jika yang menggelar hajatan adalah keluarga, tetangga, atau teman dekat, tetap
saja ia akan menyumbang buwuh menggunkan rokok karena memang
begitulah baiknya dan yang biasa dilakukan. Secara umum cakupan wilayah
seseorang dalam menyumbang semakin sempit. Semakin lama mereka
semakin memilih- memilih kepada siapa ia akan buwuh. Terkadang pula
seseorang yang telah mengembalikan bwuh rokok sebagai tanggungan
potangannya, ia akan menyumbang dengan uang. menyumbang dengan uang
dirasa lebih ringan karena nilai nominalnya berkisar antar Rp 10.000 hingga
Rp50.000 . walaupun harganya yang tinggi namun hingga saat ini buwuh
dengan rokok masih tetap digunakan karena faktor potangan tersebut. mereka
harus mengembalikan dan juga terkadang memang sengaja menyumbang
rokok karena itulah standar yang digunakan, terlebih lagi yang
menyelenggarakan hajatan adalah keluarga, tetangga, atau teman baik yang
tentunya akan lebih pantas jika menyumbang dengan rokok. Tingginya harga
rokok ini hanya berdampak pada semakin sempitnya cakupan wilayah
seseorang dalam menyumbang buwuh menggunakan rokok. Namun rokok
masih menjadi jenis barang yang paling umum dilakukan oleh kaum laki- laki
dalam menjalankan tradisi buwuh ini. Sekarang ini di desa kaliaman, rata- rata
cakupan mereka melakukan tradisi ini adalah wilayah RW atau orang- orang
tertentu, seperti kerabat, keluarga atau teman dekat mereka saja. orang yang
menyelenggarakan hajatan di RW lain dan bukan termasuk keluarga, kerabat,
kenalan, atau orang yang pernah menyumbang, seseorang lebih memilih tidak
menyumbang buwuh dengan rokok. Mereka biasanya memberikan buwuh
amplop yang berisi uang atau bahkan memilij tidak memberikan buwuh
karena alasan tidak terlalu mengenal dan memang jarang berinteraksi sehari-
hari.
Tingginya harga rokok yang digunakan sebagai barang buwuh
membuat munculnya fenomena rokok palsu dalam tradisi buwuh. Rokok
palsu tersebut bisa berupa rokok yang isinya tidak sesuai dengan merknya,
misalnya rokok sukun putih diisi dengan rokok lain yang harganya jauh lebih
murah. Bahkan fenonena rokok palsu ini juga lebih ekstrim lagi dengan
memasukkan kayu kedalam bungkus rokok yang akan digunakan untuk
buwuh. Munculnya fenomena ini dalam tradisi buwuh, beberapa orang dalam
menyelenggaraan hajatan member nama pada bungkus rokok sebelum di catat
dan dikumpulkan. Hal ini dimaksudkan agar dapat kelihatan siapa yang
memberikan rokok palsu dalam hajatan. Fenomena rokok palsu ini hanya
sesaat saja terjadi dalam tradisi buwuh di desa kaliaman ini, hal ini
kecurangan ini telah dapat diantisipasi dengan member nama pada setiap
rokok yang diterima oleh pemilik hajatan.
Tidak hanya rokok saja yang mengalami beberapa perubahan dalam
perkembangan tradisi buwuh ini. Gula yang dibunakan sebagai pemberian
buwuh juga mengalami beberapa perubahan dalam perkembangannya. Dari
segi ukuran gula tersebut telah mengalami perubahan. Dahulu gula yang
digunakan adalah ukurannya adalah kilogram. Namun sekarang ini ukurannya
adalah bungkus. Hal ini karena satu bungkus gula yang digunakan sebagai
buwuh tidak utuh satu kilo gram yaitu biasanya 0,8 kilogram. Istilah yang
digunakan adalah gula balen, yaitu gula yang di dapat penjual dari hasil
pembelian hasil buwuh setelah orang menyelenggarakan hajatan. Gula hasil
buwuhan para tamu dibeli oleh bakul (pemilik took) yang biasa menjual gula
buwuh di tokonya. Ukurang gula tersebut tentu saja lebih kecil dari ukurang
yang biasa digunakan. Hal ini sudah umum diperjual belikan di desa ini dalam
kurun waktu 10 tahun terakhir ini.
Gula biasanya digunakan oleh kaum perempuan dalam memberikan buwuh
kepada tuan rumah atau pemilik hajatan. Dua kategori barang yang digunakan
oleh ibu- ibu di desa kaliaman ini, yaitu beras dan gula. Dulunya proporsi
diantara beras dan gula hampir seimbang, namun saat ini gula lebih banyak
digunakan karena secara hitung- hitungan gula lebih praktis dan lebih
memiliki nilai jual yang tinggi. Harga gula saat ini mencapai harga 10.000/
bungkus dan beras 8000/ kilo. Alasan praktis memang lebih tepat digukan
sebagai alasan lebih banyaknya seseorang menggunakan gula sebagai barang
bwuhan. Selain memudahkan dalam proses pencatatan hasil buwuh, gula juga
lebih praktis dalam segi penyimpanan dan pengumpulannya. Beras dari satu
orang dengan orang yang lain kadang berbeda kualitas yang jika dicampur
akan menghasilkan beras oplosan yang memiliki nilai jual yang tinggi.
Semakin sedikitnya penggunaan berassebagai bahan buwuh ini juga
memberikan suatu perubahan dalam hal penjamuan di acara hajatan. Sekarang
ini nasi yang diberikan tidak seperti dulu yang setara satu porsi orang makan,
namun dalam hajatan di desa kaliaman ini nasi yang diberikan hanya sedikit
dalam ukuran porsi penyajiannya.
3. Kapitalisme (motiv- Motiv yang melatarbelakangi seseorang dalam
buwuh).
Hajatan dan tradisi buwuh memang dua hal yang saling terkait karena
hubungan timbal balik dari kedua kegiatan ini. Hajatan merupakan kegiatan
yang bisa mendayangkan suatu kegatan buwuh. Dan buwuh timbul sebagai
upaya seseorang dalam membantu meringankan beban seseorang dalam
menyelenggarakan hajatan. Dalam membahas tradisi buwuh, hajatan memang
sesuatu yang tidak boleh dilewatkan untuk dikaji. Hajatan menjadi suatu
kebiasaan yang biasa dilakukan untuk memberikan kesan dan sebagai bentuk
perayaan atas peristiwa penting dalam kehidupan seseorang. Perayaan hajatan
yang paling umum mendatangkan kegiatan buwuh di desa kaliaman yaitu
perayaan khitatan dan pernikahan. Dalam hal ini yang menyelenggarakan
hajatan adalah seseorang yang merayakan acara khitanan atau pernikahan
anaknya. Tradisi uwuh memang umum dilakukan oleh orang yang telah
berkeluarga dan memiliki anak. Umumnya orang yang telah berkeluargalah
pelaku tradisi buwuh di desa kaliaman.
Dalam hal penyelenggaraan hajatan, jumlah anak yang dimiliki
menjadi acuan intensits seseorang dalam menyelenggarakan hajatan.
Seseorang yang memiliki banyak anak secara umum akan lebih banyak
menyelenggarakan hajatan. Nilai nominal barang buwuh yang tidak sedikit
yang mencapai ratusan rupiah untuk sekali menghadiri hajatan berpengaruh
terhadap perubahan motivsi seseorang dalam menyelenggarakan hajatan.
Hajatan dianggap sebagai kegiatan yang digunakan oleh seseorang untuk
menarik pemberian yang pernah ia berikan kepada seseorang dimasa
terdahulu dan untuk mendapat sumbangan dari tetangga dan masyarakat
sekitar. Perhitungan untung rugi juga mulai digunakan oleh seseorang dalam
menyelenggarakan hajatan.
Masuknya perhitungan untung dan rugi dalam menggelar hajatan
mengindikasikan mulai masuknya paham kapitalis dalam tradisi buwuh ini.
Seseorang akan mendapat hasil keuntungan yang lebih banyak ketika ia
memiliki jumlah kesempatan menyelenggarakan hajatan yang banyak.
Seseorang akan menguruangi dana yang digunakan dalam menyelenggarakan
hajatan, seperti meniadakan hiburan atau mengurangi budget untuk menjamu
para tamu undangan yang hadir. Hal ini dapat dilihat dari orang yang mampu
membeli sepeda motor setelah menyelengarakan hajatan karena keuntungan
yang ia peroleh dari jumlah buwuhan yang lebih besar dari biaya yang
dikeluarkan dalam menyelenggarakan hajatan.
Berbagai macam kasus ditemui bagaimana seseorang berusaha
mengahdirkan kesempatan dalam menyelenggarakan hajatan. Seseorang yang
merayakan seluruh momen penting anaknya misalnya, dia terkadang
merayakan khitanan atau menikahkan cucunya untuk menarik buwuhan dari
para tetangga dan kerabat dekat. kasus lain yang misalnya merayakan
pernikahan anaknya untuk yang kedua kalinya karena p[ernikahan ertama
gagal dan bercerah, ia juga akan merayakannya karena alasan tertentu yang
bisa dikatakan untuk memperoleh keuntungan dari buwuhan para tetangganya.
Dan kasus yang pernah di singgung di bab sebelumnya. Seseorang yang
sehari- harinya bekerja merantau keluar pulau atau kota da ketika
mengkhitankan atau menikahkan anaknya ia memilih pulang dan
menyelenggarakan hajatan di desa kaliaman. Hal ini dilakukan karena tradisi
buwuh masih kuat dan menjadi suatu hal untuk memperoleh keuntungan dari
hasil buwuhan dari para tetangga dan kerabatnya.
Nilai kapitalisme yang msuk kedalam tradisi bwuh ini membuat
munculnya istilah atas kegiatan yang dijalan oleh warga di desa kaliaman ini
yaitu bertradisi dalam kapitalisme. Beberapa orang telah mengesampingkan
tujuan utama buwuh karena alasan perhitungan untung dan rugi dalam
menjalankan tradisi yang memiliki tujuan mulia ini. Seseorang akan
memperkirakan dan memperhitungkan dengan seksama ketika ia akan
memberikan buwuh kepada orang lain. Sesuatu hal yang ironis yaitu ketika
hajatan di definisikan sebagai acara perayaan suatu momen penting yang
berisikan suasana suka ria berubah menjadi hal yang sebaliknya bagi para
tamu yang hadir. Mereka akan semakin berat ketika semakin banyak
seseorang yang sering menyelenggrakan hajatan. Hal ini disebabkan karena
perhitungan secara nominal yang mana dalam sekali buwuh saja akan
menghabiskan uang hingga ratusan ribu untuk membeli barang yang akan
digunakan seabagi bantuan buwuh kepada pemilik hajatan. Munculnya istilah
potangan, catatan hasil buwuh, dan perhitungan untung rugi dalam
menyelenggarakan hajatan adalah beberapa hal yang menggambarkan
bagaimana tradisi ini telah kehilangan tujuan utamanya yaitu membantu
meringankan beban orang lain. Bagaimana istilah membantu masih bisa
digunakan ketika seseorang justru terbebani untuk memberikan bantuan
kepada seseorang, ironis memang, namun itulah kenyataan yang terjadi
sekarang.