dasar yuridis pemberian-kuasa dalam . lay anan …

7
- 577 DASAR YURIDIS PEMBERIAN-KUASA DALAM . LAYANAN BANTUAN HUKUM*) ________ Oleh: Furqon W. Authon, S.H.-------- Pendahuluan Dalam kehidupan masyarakat, tidak jarang terjadi sengketa-sengketa di an- tara warganya dalam rangka memper- tahankan kepentingan mereka masing- masing (conflict of human interest). Persoalannya sekarang adalah bagaima- nakah sengketa-sengketa tersebut ha- rus diselesl!ikan, sehingga tidak meng- ketentraman hidup masyara- kat. . Sehubungan dengan hal ini, dalam praktek dijumpai berbagai maeam ben- tuk mekanisme prosedural untuk me- nyelesaikannya. Ada yang langsung di- selesaikan sendiri oleh pihak-pihak yang bersangkutan, tetapi ada juga yang meminta bantuan/jasa pihak lain untuk menyelesaikannya. Terlebih lagi apabila hal itu merupakan sengketa hukum yang harus diselesaikan melalui pengadilan, baik dalam perkara-perka- ra perdata maupun pidana. Mengingat tidak semua orang mengerti dan me- nguasai hukum, maka pemberian kuasa untuk pelayanan bantuan hukum, baik di luar pengadilan maupun khususnya dalam berbicara di pengadilan, meru- *) Makalah ini disusun untuk disampaikan pada Diskusi kecil LBH Jakarta - Agus- tus 1987 tentang SKB Menteri Keha- kirnan dan Mahkarnah Agung tahun 1987 mengenai Pengawasan Advokat. pakan suatu kebutuhan yang tidak ter- elakkan lagi. . Secara umum, UU No. 14/1970 yang merupakan payung (umbrella act) bagi setiap peraturan dalam bi- , dang peradilan, telah mengintrodusir realitas sosial tersebut di atas, seperti yang tereantum dalam Bab VIT, Pasal 35, 36, 37 dan 38 ten tang Bantuan Hukum. Pasal 33 UU No. 14/1970 me- nentukan bahwa setiap orang yang ter- sangkut perkara berhak memperoleh bantuan hukum. Penjelasan d'ari Pasal 35 ini memberikan isyarat juga; karena pentingnya maka supaya diadakan un- dang-undang tersendiri tentang ban- tuan hukum. Begitu pula Pasal 38 mengatur supaya ketentuan-ketentuan dalam Pasal 35, 36 dan 37 diatur lebih ·lanjut dengan undang-undang. Tetapi sayang, meskipun sudahham- pir 17 tahun UU No. 14/1970 berja- lan, ' undang-undang yang dimaksud tersebut belum juga muneul. Sehingga pelaksanaan pemberian kuasa dalam rangka pelayanan bantuan hukum se- ring mengalami hambatan, baik yang menyangkut masalah hak, kewajiban, kedudukan pihak-pihak yang bersang- kutan maupun izin prak tek untuk ber- aeara. di muka pengadilan. Ham- batan-hambatan itu banyak terjadi, ka- rena masih digunakannya aturan-atur- an yang merupakan warisan kolonial Belandadan terasa sudah tidak mema- Desember 1987

Upload: others

Post on 30-Nov-2021

8 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: DASAR YURIDIS PEMBERIAN-KUASA DALAM . LAY ANAN …

-

577

• • • •

DASAR YURIDIS PEMBERIAN-KUASA DALAM . LAY ANAN BANTUAN HUKUM*)

________ Oleh: Furqon W. Authon, S.H.--------

Pendahuluan

Dalam kehidupan masyarakat, tidak jarang terjadi sengketa-sengketa di an­tara warganya dalam rangka memper­tahankan kepentingan mereka masing­masing (conflict of human interest). Persoalannya sekarang adalah bagaima­nakah sengketa-sengketa tersebut ha­rus diselesl!ikan, sehingga tidak meng­

ketentraman hidup masyara-kat. .

Sehubungan dengan hal ini, dalam praktek dijumpai berbagai maeam ben-

.~

tuk mekanisme prosedural untuk me-nyelesaikannya. Ada yang langsung di­selesaikan sendiri oleh pihak-pihak yang bersangkutan, tetapi ada juga yang meminta bantuan/jasa pihak lain untuk menyelesaikannya. Terlebih lagi apabila hal itu merupakan sengketa hukum yang harus diselesaikan melalui pengadilan, baik dalam perkara-perka­ra perdata maupun pidana. Mengingat tidak semua orang mengerti dan me­nguasai hukum, maka pemberian kuasa untuk pelayanan bantuan hukum, baik di luar pengadilan maupun khususnya dalam berbicara di pengadilan, meru-

*) Makalah ini disusun untuk disampaikan pada Diskusi kecil LBH Jakarta - Agus­tus 1987 tentang SKB Menteri Keha­kirnan dan Mahkarnah Agung tahun 1987 mengenai Pengawasan Advokat.

pakan suatu kebutuhan yang tidak ter-e lakkan lagi. .

Secara umum, UU No. 14/1970 yang merupakan payung (umbrella act) bagi setiap peraturan dalam bi-

,

dang peradilan, telah mengintrodusir realitas sosial tersebut di atas, seperti yang tereantum dalam Bab VIT, Pasal 35, 36, 37 dan 38 ten tang Bantuan Hukum. Pasal 33 UU No. 14/1970 me­nentukan bahwa setiap orang yang ter­sangkut perkara berhak memperoleh bantuan hukum. Penjelasan d'ari Pasal 35 ini memberikan isyarat juga; karena pentingnya maka supaya diadakan un­dang-undang tersendiri tentang ban­tuan hukum. Begitu pula Pasal 38 mengatur supaya ketentuan-ketentuan dalam Pasal 35, 36 dan 37 diatur lebih ·lanjut dengan undang-undang. Tetapi

sayang, meskipun sudahham­pir 17 tahun UU No. 14/1970 berja­lan, ' undang-undang yang dimaksud tersebut belum juga muneul. Sehingga pelaksanaan pemberian kuasa dalam rangka pelayanan bantuan hukum se­ring mengalami hambatan, baik yang menyangkut masalah hak, kewajiban, kedudukan pihak-pihak yang bersang­kutan maupun izin prak tek untuk ber­aeara. di muka pengadilan. Ham­batan-hambatan itu banyak terjadi, ka­rena masih digunakannya aturan-atur­an yang merupakan warisan kolonial Belandadan terasa sudah tidak mema-

Desember 1987

Page 2: DASAR YURIDIS PEMBERIAN-KUASA DALAM . LAY ANAN …

578

dai lagi untuk memenuhi kebutuhan diZarnan Kemerdekaan ini.

Dalam kaitan ini, ada baiknya kalau telaah terhadappemberian kuasa itu kita lihat juga pada Pasal 1792 sampai dengan 1819 KUHPerdata tentang Pemberian Kuasa. Pasal1792 KUHPer­data mengkualifisir pemberian kuasa sebagai SUll.tU perjanjian, yaitu suatu persetujuan dengan mana seseorang memberikan kekuasaan kepada se­orang lain, yang menerimanya atas narnanya menyelenggarakan suatu urus­an. Selanjutnya Pasal 1793 KUHPerda­ta memberikan kemungkinan tentang cara-cara pemberian kuasa, yang dapat dibedakan menjadi: 1. Secara t e rtulis:

- dalarn suatu akta umum - dalarn suatu tulisan di bawah ta-

o ngan ,

- dalam sepucuk surat. o

2. Secara lisan:

Di samping itu masih dapat juga di­bedakan menjadi: a. Pemberian kuasa secara tegas b. Pemberian kuasa secara diam-diam.

Perkembangan dalarn praktek me­nunjukkan bahwa pemberian kuasa sudah dapat dikatakan sebagai perjan­jian standar, karena terdapat banyak hal yang sudah seragam, meskipun ada perbedaan, narnun hal itu hanya ber­sifat redaksional saja, dan tidak me­ngenai masalah-masalah yang prinsip. Lazimnya, terdapat berbagai macam bentuk formulir surat kuasa (khusus) yang harnpir sarna isinya. Tetapi su­rat kuasa tersebut hanya menggambar­kan tentang pihak-pihak yang membe­ri dan yang menerima kuasa, serta luas ruanglingkup hal yang dikuasakan, dan tidak dapat menggambarkan seca-

Hulrum dan Pemban,unan

ra utuh mengenai hak dan kewajiban masing-masing sebagai sebuah perjanji­an. Oleh karena itu perlu dipikirkan adanya suatu perjanjian pemberian kuasa itu sendiri secara tertulis (surat) yang menggambarkan secara utuh me­ngenai hubungan pemberian kuasa itu, khususnya mengenai hak dan kewajib­an masing-masing, yang mungkin dapat memuat hal-hal seperti yang diatur oleh Pasal 1800 sampai dengan 1806 KUHPerdata tentang kewajiban si pe­nerima kuasa, juga hal-hal seperti yang diatur oleh Pasal 1807 sarnpai dengan 1812 KUHPerdata tentahg kewajiban­kewajiban si pemberi kuasa, atau juga hal-hal seperti yang ditentukan oleh Pasa11813 sarnpai,dengan 1819 KUH­Perdata tentang macam-macam cara berakhirnya pemberian kuasa dengan segala konsekuensinya.

Pada asasnya Pasal 1794 KUHper­data menganggap , bahwa pemberian kuasa itu bersifat cuma-cuma, kecuali apabila perjanjian sebaliknya. Sehingga fee/honor/upah bagi si penerima kuasa hams diperjanjikan secara tegas, dan apabila upahnya tidak ditentukan seca­ra tegas, si penerima kuasa tidak boleh meminta upah yang lebih daripada yang ditentukan dalam Pasal 411 un­tuk wali.

Pasal 1795 dan 1796 KUHPerdata o

memberikan gambaran mengenai luas dan ruang lingkup masalah yang di­kuasakan. Dalam hal ini disebutkan 2 cara yang mungkin dapat digunakan, yaitu: 1. Pemberian kuasa secara khusus.

- Hanya mengenai satu kepenting-an atau lebih 0

2. Pemberian kuasa secara umum. - Meliputi segala kepentingan si

pemberi kuasa .

Page 3: DASAR YURIDIS PEMBERIAN-KUASA DALAM . LAY ANAN …

IJG/UJ,. YurldiB Ban tU(Jn Hukum ,

Selanjutnya ditentukan bahwa pem­berian kuasa yang dirumuskan dalam kata-kata umum, hanya meliputi per­buatan-perbuatan pengurusan. Akan tetapi tidak dijelaskan sampai sejauh mana luas ruang lingkup perbuatan pengurusan. Agar si kuasa dapat ber­tindak sebagai pemilik suatu benda, maka hal itu harus disebut secara tegas dalam perjanjian.

Pasal 1797 memberikan batas kewe­nangan kepada si penerima kuasa, yai­tu: 1. Penerima kuasa tidak boleh bertin­

dak melebihi kuasa yang diterima­·nya.

2. Kuasa untuk menyelesaikan suatu urusan melalui perdamaia'n, tidak memberikan arti bahwa perkaranya dapat diserahkan kepada putusan wasit.

Pasal 1799 memberikan hak kepa­da pemberi kuasa untuk menggugat penerima kuasa agar memenuhi perse­tujuannya untuk melaksanakan kuasa yang telah diberikan kepadanya.

Demikianlah sekedar uraian singkat mengenai prinsip-prinsip umum dalam perjanjian pemberian kuasa seperti yang telah diintrodusir oleh KUHPer­data. Untuk lebih jelasnya, selanjutnya dapat dipelajari fasal-pasal 1800 sam­pai dengan 1819 KUHPerdata, agar memperoleh gambaran yang lengkap mengenai hubungan pemberian kuasa tersebut. Urusan yang dikuasakan itu bisa berada di luar pengadilan atau­pun berada di muka pengadilan, juga dapat menyangkut perkara-perkara per­data maupun perkara pidana. Dan apabila perkara yang dikuasakan itu sampai di muka pengadilan, apakah setiap orang dapat menerima kuasa untuk mewakilinya di muka pengadil-

579

an? Itulah masalah-masalah yangakan dibahas di bawah ini, sekedar sebagai bahan masukan, dan kiranya dapat dikembangkan lebih lanjut melalui studi yang lebih insentif lagi.

Dalam Perkara Perdata

Setiap orang yang mempunyai seng­keta dalam perkara perdata dapat memberikan kuasa kepada pihak lain untuk mewakilinya guna menyelesai­kan sengketa tersebut. Hal ini secara umum sudah diatur oleh Pasal 1792 KUHPerdata tentang Perjanjian Pem­berian Kuasa. Penerima kuasa, dalam me urusan-urusan yang telah dikuasakan kepadanya dapat me­nempuh upaya-upaya di luar pengadil­an (mediation, negotiation, consulta­tion, arbitrage) maupun secara litigatif (beracara di muka pengadilan). Kese­muanya ini dilakukan oleh penerima kuasa sebagai wakil/kuasa dari pihak yang memberi kuasa.

Secara teoretis kuasa untuk mewa­kili beracara di muka persidangan pengadilan dapat terjadi karena 2 hal: 1. Kuasa/Perwakilan berdasarkan UU.

Misalnya berperkaranya pihak waH untuk kepentingan anak di bawah umur, pengampu untuk kepenting­a,n orang yang di bawah pengampu­annya.

2. Kuasa/Perwakilan berdasarkan Per-.

janjian. Yaitu seorang menunjuk orang lain dengan memberikan kua­sa untuk mewakilinya dalam mem­pertahankan kepentingan. Kepen­tingan di muka persidangan peng­adilan.

. Sandaran hukum bagi perwakilan di muka pengadilan ialah Pasal 123 RIB yang memberikan kemungkinan kepa­

. da pihak yang berperkara untuk diwa-

-Desember 1987

Page 4: DASAR YURIDIS PEMBERIAN-KUASA DALAM . LAY ANAN …

580

kili oleh orang lain yang diberi surat kuasa khusus. Apabila pemberi kuasa hadir di muka Hakim, maka ia dapat menguasakan .secara lisan. Apa yang dimaksud dengan surat kuasakhusus tersebut dapat dibaca dalam SEMA No. 2/1959 19 Januari 1959, yaitu harus dicanturnkan nama para pihak dan apa yang menjadi perseli­sihan atau persengketaan antara dua belah pihak yang 6erperkara dan jika diinginkan dengan tambahan untuk mengajukan permohonan banding dan kasasi. Surat kuasa itu harus berma­terai Rp 1.000,- dan materainya ha­rus diberi tanggal, dan apabila tidak diberi tanggal akan dianggap tidak ber­materai (Pasal 97 ayat 5 jo ayat 9

UU No. 13/1985 tentang Bea Mate­rai).

Syarat-syarat untuk bertindak seba­gai wakil pihak yang berperkara tidak ditentukan dalam RIB. Sehubungan dengan hal ini timbul persoalan, apa­kah setiap orang dapat bertindak se­bagai kuasa/wakil dari pihak-pihak yang berperkara di muka pengadilan? Secara yuridis formal, sampai saat ini belum diketemukan adanya keten­tuan UU yang mengatur masalah ter­sebut , Ikarena seperti telah dijelaskan di muka , UU yang mengatur tentang kedudukan , hak dan kewajiban Penasi­hat Hukum seperti yang dimaksudkan oleh Pasal 35, 36, 37 dan 38 UU No. 14/1970 belum ada.

Dalam praktek, lazimnya kuasa me­wakili itu dilaksanakan oleh Advokat . dan pengacara praktek. Ketentuan-ke­tentuan mengenai advokat (advocaten . en procureurs) diatur dalam Pasal 185 sampai dengan 192 RO (Reglement op . de Rechterlijke organisatie en . het beleid der Justitie in Indonesia).

• Hukum dan Pembanllunan

Sedangkan ketentuan mengenai peng­acara praktek (Zaakwaarnemers) di­atur dalam Regeling van de bijstaan en vertegenwoordiging van partijen in burgerlijke zaken voor de landraden, Stb. 1927 No. 496. Sedangkan Pasal 36 dan 37 UU No. 14/1970 mengguna­kan istilah penasihat hukum di mana ia berkewajiban memberi nasihat dan membantu memperlancar penyelesaian perkara dengan menjunjung tinggi Pan­casila,·hukum dan keadilan.

Memang berdasarkan ketentuan Pa­sal 186 RO. Advokat yang merangkap procureur diangkat dan diberhentij(an oleh Menteri Kehakiman (Gob. Jend.). Sedangkan mengenai tugas dan peker­jaannya 'menurut Pasal' 185 RO, di­atur dalam ketentuan UU baik menge· nai acaraperdata maupun acara pida­na. Tetapi UU yang dimaksud oleh Pasal 185 RI itu belum ada , dan RIB sendiri tidak secara tegas mengatakan bahwa hanya advokat dan pengacara praktek saja yang dapat mewakili pihak lain dalam berperkara di muka pengadilan.

Nampaknya terlalu prematur untuk berkesimpulan bahwa hanya mereka yang mempunyai SK pengangkatan advokat dari Menteri Kehakiman dan yang mempunyai izin praktek dari

Ketua Pengadilan Tinggi/Pengadilan Negeri saja yang dapat mewakili pihak lain dalam berperkara di muka peng­adilan. Karena memang dalam kenya­taannya tidak ada keseragaman.di ka­langan Pengadilandi seluruh Indone-

• Sla • .

Dalam Perkara Pidaoa

Landasan hukum bagi setiap orang yang tersangkut dalam perkara pidana, guna kepentingan pembelaan. berhak

• •

Page 5: DASAR YURIDIS PEMBERIAN-KUASA DALAM . LAY ANAN …

Dal4r Yurldis Bantuan Hullum

mendapat bantuan hukum dari penasi­hat hukum adalah Pasal 54, 55, 56 dan 57 KUHAP, serta Bab VII yang meliputi Pasal 69 sampai dengan 74 KUHAP, tentang Bantuan Hukum.

Secara prinsipiil, setiap tersangka atau terdakwa dapat memilih penasi­hat hukumnya sendiri (Pasal 55 KU­HAP).

Persoalannya sekarang adalah: apa­kah setiap oran~ dapat ditunjuk men­jadi Penasihat Hukum oleh tersangka/ terdakwa guna memberikan bantuan hukum? Dari seluruh pasal-pasal KU­HAP yang mengatur tentang Penasi­hat Hukum dan Bantuan Hukum ter­sebut, tidak diketemukan adanya sua­tu ketentuan yang tegas mengenai sia­pa-siapa yang dapat ditunjuk sebagai Penasihat Hukum oleh tersangka/ter-dakwa. .

Begitu pula UU No. 14/1970 yang telah mengentrodusir istilah Penasihat Hukum, juga tidak memberikan uraian yang tegas mengenai hak, kewajiban, kedudukan dan syarat-syarat untuk bi­sa bertindak sebagai Penasihat Hukum sebagaimana telah dijelaskan di .muka.

Untuk itu, maka dengan terpaksa harus berpedoman pada Pasal 185 sId 192 RO yang mengatur tentang Advokat dan Procureur. Hanya saja ada satu perbedaan yang cukup pen­ting dalam hal sifat tugas dan peker­jaan advokat/procureur antara dalam acara pidana dengan cara perdata, yaitu dalam acara pidana sifat tugas dan pekerjaan tersebut telah diurai­kan secara jelas oleh KUHAP, sedang­kan dalam acara perdata tidak demi­kian halnya.

Menurut Pasal 69 KUHAP, maka sejak saat ditangkap atau ditahan pa­da semua tingkat pemeriksaan, ter-

581

sangka boleh meilghubungi penasihat hukum, dan setiap waktu untuk ke­pentingan pembelaan perkaranya. Se­dangkan menu rut Pasal 70 yo 71 KUHAP, maka Penasihat Hukum ber­hak menghubungi dan berbicara de­ngan tersangka pada tingkat pemerik­saan penyidikan, penuntutan, dalam tahanan Rutan, tanpa didengar isi pembicaraan antara penasihat hukum dengan tersangka. Pada tingkat peme­riksaan sidang, maka sebelum atau pada tingkat pemeriksaan sidang ber­langsung serta sesudah persidangan di­tutup untuk kelanjutan sidang berikut­nya, tersangka berhak untuk menghu­bungi dan melakukan konsultasi de­ngan penasihat hukumnyll..

Pengurangan kebebasan hubungan antara penasihat hukum dan tersangka dalam Pasal 70 ayat 2, 3, 4 dan Pasal 71 dilarang, setelah perkara dilirnpah­kan oleh penuntut umum ke Peng­adilan Negeri untuk disidangkan. Un­tuk selanjutnya sifat tugas dan peker­jaan penasihat hukum dalam acara pidana terdapat dalam berbagai pasal yang tercerai-berai pada Bab-bab yang terpisah dalam KUHAP.

Penasihat Hukum, Advokat dan Peng­acara Praktek

Terdapat pelbagai istilah bagi mere­ka yang pekerjaannya/profesinya mem­berikan jasa hukum, pelayanan dan bantu an hukum serta nasihat hukum kepada para pencari keadilan baik yang meialui pengadilan maupun di Iuar pengadilan. Secara umum mereka itu terbagi dalam 2 golongan: 1. Mereka yang bergelar sarjana hu­

kum 2. Mereka yang tidak bergelar sarjana

Desember 1987

Page 6: DASAR YURIDIS PEMBERIAN-KUASA DALAM . LAY ANAN …

582

hukum, tapi mempunyai keahlian hukum.

a. Advokat

Di zaman Hindia Belanda Kolonial, golongan pertama disebut Advokaten en procureurs yang diatur dalam ke­tentuan Pasal 185 sampai dengan 192 RO (Stb. 1847 No. 23 jo Stb. 1848 No. 57). Menurut Pasal 186 RO, me­reka yang bergelar sarjana hukum da­pat diangkat oleh Gob. Jend. (Menteri Kehakiman) sebagai Advokat atau pro­cureur. Jadi profesi advokat itu di­peroleh melalui sistem pengangkatan oleh pemerintah. Berlainan dengan sis­tern yang berlaku di di mana organisasi advokat tersusun di dalam 4 juns of court, yaitu organisasi yang mengatur diri sendiri (self organizing dan self perpetuating). Seorang yang sudah lulus pendidikan yang diberikan di dalam juns of court, kemudian ia lulus dalam ujian Bar (Bar Examina­tion), maka ia dinobatkan menjadi anggota Bar, dengan upacara disebut Call to the Bar, dan sejak itu ia dapat menjalankan profesi sebagai advokat.

Di Indonesia, tidak ada pendidik­an khusus bagi advokat agar dapat menjalankan pekerjaan advokat seeara profesional sehingga diakui masyara­kat. Dalam praktek, latihan untuk dapat berprofesi sebag~j advokat itu ditempuh dengan cara "magang" di kantor advokat yang sudah senior. Dan apabila dirasa sudah cukup, ma­ka ia dapat mendirikan kantor sendiri.

b. Pengacara Praktek

Zaakwaameminij sama usianya de­ngan peradilan Landraad itu sendiri. Kehadiran mereka sebagai pembantu

Hukum dan Pembanj(unan

hukum (rechts-helpers) semula diha­rapkan dapat menggantikan peranan advocaat dan procureur dimuka ha­kim Indonesia. Sayang sekali, bahwa lembaran-Iembaran sejarah mereka ba­nyak dihiasi oleh lembaran-Iembaran hitam, akibat praktek-praktek yang ti­dak bertanggung jawab dari beberapa individu dalam korps itu sendiri se­

memperoleh penilaian yang sa­ngat· negatif dari masyarakat. Untuk menanggulangi praktek-praktek pokrol bambu yang merugikan I1\asyarakat itu, maka dikeluarkanlah Stb . 1927 No. 496.

. Nama Zaakwaarneminij yang dalam masyarakat disebut pokrol, pengacara, pembela, lambat-Iaun diperhalus de­ngan nama pengacara praktek, adalah mereka yang untuk pekerjaan ini tidak disyaratkan adanya pengangkatan dari siapa pun, melainkan harus memper­oleh semaeam izin praktek. Izin prak­tek diperoleh setelah yang bersangkut­an lulus dalam ujian yang diselenggara­kan oleh Pengadilan Negeri setempat, yang meliputi domisili pengaeara prak­tek tersebu 1. Kesemuanya ini diatur berdasarkan Keputusan Menteri Keha­kiman tanggal 7 Oktober 1965 No. JP. 1-4/2/11 jo SK Menteri Kehakiman No.5 tahun 1965.

c. Penasihat Hukum

Dalam UU No. 14/1970 khususnya Pasal 36, 37, terdapat istilah penasihat hukum yang pekerjaannya memberi nasihat hukum dan membantu mem­perlanear penyelesaian perkara dengan menjunjung tinggi Pane asila , hukum dan keadilan. Begitu juga dalam Pasal 69 sampai 74 KUHAP, terdapat pula istilah penasihat hukum.

Sementara itu, Departemen Keha-

Page 7: DASAR YURIDIS PEMBERIAN-KUASA DALAM . LAY ANAN …

Da.or Yuridl8 Bontuon Hukum

kiman mempergunakan dua istilah, yakni pada periode sebelum tahun 1970 dengan nama "advokat" dan se­telah periode tahun 1970 dengan nama "pengacara". Kedua nama itu dipakai dalam surat pengangkatan bagi mereka yang bergelar sarjana hukum dan mem­punyai pekerjaan tetap di bidang ad­vocatuur.

Seperti telah diuraikan di muka, ke­tentuan mengenai hak, kewajiban, ke­dudukan dan syarat-syarat sebagai pe­nasihat hukum belum ditemukan, ka­rena belum ada UU yang mengaturnya.

Sehubungan dengan hal ini timbul persoalan apakah penasihat hukum itu sarna dengan advocaten en procureurs seperti yang dimaksud oleh RO dan Zaakwaarneners (Stb. 1927 No. 496)?

583

Untuk menjawab persoalan ini me­mang tidak mudah. Tapi ada satu ke­tentuan yang terdapat dalam Pasal 38 UU No. 14/1970 yang menentukan su­paya Pasal 35,36 dan 37 UU No. 14/ 1970 yang mengatur penasihat hukum secara summier itu diatur lebih lanjut dengan UU tersendiri. Namun· demi­kian UU yang dimaksud itu sampai se­karang belum juga ada.

Untuk menghilangkan ketidakpasti­an dalam menjalankan pekerjaan guna memberi bantuan hukum, baik di Iuar maupun di muka pengadilan, maka sudah tidak dapat ditawar-tawar lagi untuk segera mengeluarkan undang­undang tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pemberian Bantuan Hukum dan Penasihat Hukum .

• •

Detember 1987