catatan pinggir perpu no 1 tahun 2014

7
1 CATATAN PINGGIR Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 1 Oleh : Ahmad Solihin 2 NIM : 137005032 Pendahuluan. Pemilihan kepala Daerah atau yang lebih dikenal dengan pilkada merupakan amanat UUD 1945 perubahan keempat pada tanggal 18 Agustus 2000, khususnya pasal 18 Ayat (4) yang redaksinya berbunyi “ Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah propinsi, kabupaten dan kota dipilih secara demokratis. Ketentuan ini kemudian di implementasikan kedalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 ini kemudian di rubah dan dipecah menjadi tiga buah Undang-Undang yaitu Undang Undang Nomor 6 tahun 2014 tentang Pemerintahan Desa, Undang-undang Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota serta Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan daerah. Undang-undang No 22 tahun 2014 tentang pemilihan Gubernur , Bupati dan Walikota yang disahkan pada tanggal 30 September 2014 oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan diundangkan pada tanggal 2 Oktober 2014 Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 243. Tidak bernasib sama dengan dua saudaranya yang lain, dengan adanya aksi demontrasi di luar parlemen dan walkout fraksi partai democrat di parlemen dalam pengesahaannya. Hanya dalam hitungan jam Undang-undang Nomor 22 tahun 2014 dinyatakan dicabut dan diganti dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 tahun 2014 yang ditetapkan oleh Presiden Susilo bambang Yudhoyono pada tanggal 2 Oktober 2014, diundangkan juga pada tanggal yang sama 2 Oktober 2014 dan lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 245. Perpu merupakan peraturan yang dikeluarkan oleh presiden berdasarkan keadaan hal ikwal kegentingan yang memaksa dan terdapat dalam UUD 1945 pasal 22 ayat (1). Makna Pasal 22 UUD 1945 ini menyediakan pranata khusus dengan memberi wewenang kepada Presiden untuk membuat Peraturan Pemerintah (sebagai) Pengganti Undang- Undang. Pembuatan Undang-Undang untuk mengisi kekosongan hukum dengan cara membentuk Undang-Undang seperti proses biasa atau normal dengan dimulai tahap pengajuan Rancangan Undang-Undang oleh DPR atau oleh Presiden akan memerlukan waktu yang cukup lama sehingga kebutuhan hukum yang mendesak tersebut tidak dapat diatasi. Dari rumusan kalimat tersebut jelas bahwa peraturan pemerintah yang dimaksud pada pasal ini adalah sebagai pengganti Undang-Undang, yang artinya seharusnya materi tersebut diatur dalam wadah Undang-Undang tetapi karena kegentingan yang memaksa, UUD 1945 memberikan hak kepada Presiden untuk menetapkan Perpu dan tidak memberikan hak kepada DPR untuk membuat peraturan sebagai pengganti Undang- Undang. Apabila pembuatan peraturan diserahkan kepada DPR maka proses di DPR 1 . Tugas Mata Kuliah Hukum Pemerintahan Daerah. 2 . Mahasiswa Pasca Sarjana Ilmu Hukum USU, Jurusan Hukum Tata Negara.

Upload: ahmad-solihin

Post on 18-Jul-2015

603 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: Catatan pinggir perpu no 1 tahun 2014

1

CATATAN PINGGIR

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 20141

Oleh : Ahmad Solihin2 NIM : 137005032

Pendahuluan. Pemilihan kepala Daerah atau yang lebih dikenal dengan pilkada merupakan

amanat UUD 1945 perubahan keempat pada tanggal 18 Agustus 2000, khususnya pasal 18 Ayat (4) yang redaksinya berbunyi “ Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah propinsi, kabupaten dan kota dipilih secara

demokratis. Ketentuan ini kemudian di implementasikan kedalam Undang-Undang Nomor 32

Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 ini kemudian di rubah dan dipecah menjadi tiga buah Undang-Undang yaitu Undang –Undang Nomor 6 tahun 2014 tentang Pemerintahan Desa, Undang-undang Nomor 22

Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota serta Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan daerah.

Undang-undang No 22 tahun 2014 tentang pemilihan Gubernur , Bupati dan Walikota yang disahkan pada tanggal 30 September 2014 oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan diundangkan pada tanggal 2 Oktober 2014 Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 2014 Nomor 243. Tidak bernasib sama dengan dua saudaranya yang lain, dengan adanya aksi demontrasi di luar parlemen dan walkout fraksi partai democrat

di parlemen dalam pengesahaannya. Hanya dalam hitungan jam Undang-undang Nomor 22 tahun 2014 dinyatakan

dicabut dan diganti dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1

tahun 2014 yang ditetapkan oleh Presiden Susilo bambang Yudhoyono pada tanggal 2 Oktober 2014, diundangkan juga pada tanggal yang sama 2 Oktober 2014 dan lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 245. Perpu merupakan peraturan yang dikeluarkan oleh presiden berdasarkan keadaan

hal ikwal kegentingan yang memaksa dan terdapat dalam UUD 1945 pasal 22 ayat (1).

Makna Pasal 22 UUD 1945 ini menyediakan pranata khusus dengan memberi wewenang kepada Presiden untuk membuat Peraturan Pemerintah (sebagai) Pengganti Undang-

Undang. Pembuatan Undang-Undang untuk mengisi kekosongan hukum dengan cara membentuk Undang-Undang seperti proses biasa atau normal dengan dimulai tahap pengajuan Rancangan Undang-Undang oleh DPR atau oleh Presiden akan memerlukan

waktu yang cukup lama sehingga kebutuhan hukum yang mendesak tersebut tidak dapat diatasi.

Dari rumusan kalimat tersebut jelas bahwa peraturan pemerintah yang dimaksud pada pasal ini adalah sebagai pengganti Undang-Undang, yang artinya seharusnya materi tersebut diatur dalam wadah Undang-Undang tetapi karena kegentingan yang memaksa,

UUD 1945 memberikan hak kepada Presiden untuk menetapkan Perpu dan tidak memberikan hak kepada DPR untuk membuat peraturan sebagai pengganti Undang-

Undang. Apabila pembuatan peraturan diserahkan kepada DPR maka proses di DPR

1 . Tugas Mata Kuliah Hukum Pemerintahan Daerah. 2 . Mahasiswa Pasca Sarjana Ilmu Hukum USU, Jurusan Hukum Tata Negara.

Page 2: Catatan pinggir perpu no 1 tahun 2014

2

memerlukan waktu yang cukup lama karena DPR sebagai lembaga perwakilan, pengambilan putusannya ada di tangan anggota, yang artinya untuk memutuskan sesuatu

hal harus melalui rapat-rapat DPR sehingga kalau harus menunggu keputusan DPR kebutuhan hukum secara cepat mungkin tidak dapat terpenuhi.

Unsur “kegentingan yang memaksa” harus menunjukkan dua ciri umum, yaitu: (1) Ada krisis (crisis), dan (2) Kemendesakan (emergency). Suatu keadaan krisis apabila terdapat gangguan yang menimbulkan kegentingan dan bersifat mendadak (a grave and

sudden disturbunse). Kemendesakan (emergency), apabila terjadi berbagai keadaan yang tidak diperhitungkan sebelumnya dan menuntut suatu tindakan segera tanpa menunggu

permusyawaratan terlebih dahulu. Atau telah ada tanda-tanda permulaan yang nyata dan menurut nalar yang wajar (reasonableness) apabila tidak diatur segera akan menimbulkan gangguan baik bagi masyarakat maupun terhadap jalannya pemerintahan.3

Menurut Jimly Asshiddiqie, syarat materiil untuk penetapan Perppu itu ada tiga, yaitu: a. Ada kebutuhan yang mendesak untuk bertindak atau reasonable necessity; b.

Waktu yang tersedia terbatas (limited time) atau terdapat kegentingan waktu; dan c. Tidak tersedia alternatif lain atau menurut penalaran yang wajar (beyond reasonable doubt) alternatif lain diperkirakan tidak akan dapat mengatasi keadaan, sehingga penetapan

Perppu merupakan satu-satunya cara untuk mengatasi keadaan tersebut.4 Apabila ketiga syarat tersebut telah terpenuhi, dengan sendirinya Presiden selaku

dengan kewenangan konstitusional yang dimilikinya untuk mengatur hal-hal yang diperlukan dalam rangka menjalankan fungsi-fungsi penyelenggaraan negara dan roda pemerintahan yang dipimpinnya. Materi apa saja yang dapat dan perlu dimuat dalam

Perppu tentunya tergantung kebutuhan yang dihadapi dalam praktik (the actual legal necessity). Bahkan, ketentuan tertentu yang menyangkut perlindungan hak asasi manusia

yang dijamin dalam undang-undang dasar dapat saja ditentukan lain dalam Perppu tersebut sepanjang hal itu dimaksudkan untuk mengatasi keadaan darurat guna melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia.5

Hal ini dikemudian diperkuat dengan keputusan Mahkamah Konstitusi No 138/PUU-VII/2009 yang menetapkan tiga syarat Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-Undang diperlukan apabila: 1. Adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum

secara cepat berdasarkan Undang-Undang;

2. Undang-Undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada Undang-Undang tetapi tidak memadai;

3. Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat Undang-Undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.6

Disamping itu, dengan disebutnya ”Presiden berhak” terkesan bahwa pembuatan Perpu menjadi sangat subjektif karena menjadi hak dan tergantung sepenuhnya kepada

Presiden. Pembuatan Perpu memang di tangan Presiden yang artinya tergantung kepada penilaian subjektif Presiden, namun demikian tidak berarti bahwa secara absolut tergantung kepada penilaian subjektif Presiden karena sebagaimana telah diuraikan di

3. Bagir Manan, Lembaga Kepresidenan, Pusat studi Hukum FH UII kerjasama dengan Gama Media, Yogyakarta,

1999, hal : 158-159 4. Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara Darurat, Rajawali Pers, Jakarta, 2007, hal : 282 5 .Ibid. 6 . Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009.

Page 3: Catatan pinggir perpu no 1 tahun 2014

3

atas penilaian subjektif Presiden tersebut harus didasarkan kepada keadaan yang objektif yaitu adanya tiga syarat sebagai parameter adanya kegentingan yang memaksa.

Dalam kasus tertentu dimana kebutuhan akan Undang- Undang sangatlah mendesak untuk menyelesaikan persoalan kenegaraan yang sangat penting yang

dirasakan oleh seluruh bangsa, hak Presiden untuk menetapkan Perpu bahkan dapat menjadi amanat kepada Presiden untuk menetapkan Perpu sebagai upaya untuk menyelesaikan persoalan bangsa dan negara.

Perpu melahirkan norma hukum dan sebagai norma hukum baru akan dapat menimbulkan: (a) status hukum baru, (b) hubungan hukum baru, dan (c) akibat hukum

baru. Norma hukum tersebut lahir sejak Perpu disahkan dan nasib dari norma hukum tersebut tergantung kepada persetujuan DPR untuk menerima atau menolak norma hukum Perpu, namun demikian sebelum adanya pendapat DPR untuk menolak atau

menyetujui Perpu, norma hukum tersebut adalah sah dan berlaku seperti Undang-Undang. Oleh karena dapat menimbulkan norma hukum yang kekuatan mengikatnya

sama dengan Undang-Undang maka terhadap norma yang terdapat dalam Perpu tersebut. Menurut penulis putusan Mahkamah Konstitusi ini tidak menjelaskan secara rinci

apakah ketiga persyaratan itu berlaku secara kumulatif, sehingga Peraturan Pemerintah

Pengganti Undang-undang dapat dikeluarkan oleh presiden, atau hanya satu atau dua syarat yang dapat dipenuhi baru dapat dikeluarkan peraturan pemerintah pengganti

undang-undang.

Pemilihan Kepala Daerah Bukan merupakan rejim Pemilihan Umum. Pemilihan kepala daerah baik langsung maupun dipilih oleh DPRD telah

menimbulkan pro dan kontra, silang pendapat antara partai politik maupun pendapat dari kalangan akademisi dalam mengajukan argumentasinya, tentunya ini sangat baik dalam

memperkaya dan menguatkan khasanah ilmu pengetahuan. Argumentasi itu didasarkan kepada pasal 18 (4) UUD 1945 dan pasal 22E UUD 1945.

UUD 1945 merupakan konstitusi Negara Indonesia yang sudah diamandemen

sebanyak empat kali. Konstitusi menurut Joseph Raz mengartikan konstitusi dalam arti “tipis” dan “tebal” dalam arti “tipis” konstitusi adalah aturan hukum yang membentuk

dan mengatur organ-organ utama pemerintahan beserta kewenangan yang dimilikinya, serta prinsip-prinsip dasar negara.7

Jadi menurut penulis kalau diilustrasikan organ-organ itu diberikan nomor dalam

hal ini adalah pasal-pasal tentunya pemilihan kepala daerah bukanlah pemilihan umum. Atau konstitusi itu diibaratkan sebuah bangunan bertingkat, maka lantainya adalah bab

dari UUD sedangkan pasal adalah kamar-kamar yang berada dilantai tersebut. Misalnya Bab 1 adalah Bentuk dan kedaulatan, maknanya adalah lantai 1 namanya bentuk dan kedaulatan dan pasal 1 ini mempunyai (3) ayat, maka pasal 1 adalah kamar yang ber

nomor satu dan dalam kamar itu terdapat tiga ruangan, begitu seterusnya. Yang membawa konsekwensinya Pemilihan Kepala daerah tidak termasuk kategori Pemilihan

Umum.8 Pemilihan kepala daerah diatur dalam pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Dasar

1945, menyebutkan “ Gubernur, Bupati dan Walikota dipilih secara demokratis” “ yang

7 . Joseph Raz. On the Authority and Interpretation of Constitutions, Some Preliminaries dalam Larry

Alexander (ed), Constitusionalism: Philosopichal Foundations, Cambridge University Press, Cambridge, 1998, hal 153. 8 . Lihat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 072-073/PUU-II/2004 tertanggal 21 Maret 2005.

Page 4: Catatan pinggir perpu no 1 tahun 2014

4

berbeda dengan ketentuan Pemilihan Umum diatur dalam BAB VIIB Pasal 22E yang terdiri dari :

1) Pemilihan Umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali.

2) Pemilihan Umum diselengarakan untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden dan Wakil presiden dan DPD.

3) Peserta Pemilihan Umum untuk memilih anggota DPR dan DPRD adalah partai

politik. 4) Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota DPD adalah perseorangan.

5) Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap dan mandiri.

6) Ketentuan lebih lanjut tentang pemilihan umum diatur dengan undang-undang.

Seiring berjalannya waktu, terjadi pergeseran konsep dalam memandang Pemilukada. Pergeseran Pemilukada menjadi bagian dari rezim hukum Pemilu ini tidak terlepas dari

pengaruh Putusan Mahkamah Konstitusi No. 72–73/PUU/2004 tentang Pengujian UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Meskipun dalam pertimbangan putusan tersebut dinyatakan bahwa Pemilihan umum kada langsung tidak termasuk dalam

kategori pemilihan umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22E UUD 1945 dan penyelenggaraannya dapat berbeda dengan Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal

22E UUD 19454, namun tiga hakim konstitusi yaitu H.M. Laica Marzuki, A. Mukthie Fadjar dan Maruarar Siahaan memberikan dissenting opinion (pendapat berbeda) yang mengkategorikan Pemilukada sebagai bagian dari rezim hukum Pemilu. Pendapat

berbeda (dissenting opinion) itulah yang kemudian diakomodir oleh pembentuk Undang-Undang ke dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara

Pemilihan Umum dan Pasal 236C UU No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Kedua undang-undang tersebut mengaktegorikan Pemilukada sebagai bagian dari rezim hukum Pemilu,

dan mengamanatkan kepada Mahkamah Konstitusi (MK) untuk mengadili sengketa hasil Pemilukada. Pengalihan kewenangan mengadili sengketa hasil Pemilukada dari

Mahkamah Agung ke Mahkamah Konstitusi telah berlaku efektif sejak tanggal 1 November 2008 berdasarkan berita acara pengalihan wewenang mengadili dari Mahkamah Agung ke Mahkamah Konstitusi pada 29 Oktober 2008.

Terhitung sejak pada Oktober 2008 sampai Maret 2013, tercatat sebanyak 554 perkara diregistrasi di MK. Dari jumlah tersebut, MK memutuskan sebanyak 56 perkara

dikabulkan, 332 ditolak, 114 tidak dapat diterima, 15 perkara ditarik kembali, dan 1 gugur.9

Putusan inilah kemudian diakomodir dalam Undang-Undang No 22/2007 tentang

Penyelenggara Pemilihan Umum yang sepertinya memberi angin segar memasukkan pemilihan kepala daerah ke dalam rezim pemilihan umum. Hal ini dapat disimak dari

definisi ketentuan pasal 1 angka 4 undang-undang tersebut, yakni bahwa Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah adalah Pemilu untuk memilih kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia

9 . Mahkamah Konstitusi, “Rekapitulasi Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah” http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=web.RekapPHPUD, di unduh tanggal 10 Desember

2014.

Page 5: Catatan pinggir perpu no 1 tahun 2014

5

berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Undang-undang No 22 /2007 tentang penyelenggara pemilihan umum ini kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 15 tahun 2011 tentang Penyelenggara

Pemilu, yang menyebutkan bahwa “pemilihan gubernur, Bupati dan walikota adalah pemilihan untuk memilih Gubernur, Bupati dan Walikota secara demokratis dalam negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar

Republik Indonesia Tahun 1945” (vide pasal 1 angka 4). Kesepakatan rumusan “secara demokratis” untuk pilkada dicapai dengan maksud

agar bersifat fleksibel, baik dilakukan secara langsung oleh rakyat maupun secara tidak langsung oleh DPRD. Keduanya, asalkan dilakukan secara jujur dan adil serta sesuai dengan prinsip-prinsip pemilihan secara demokratis.10

Sama halnya dengan pendapat Kant yang dikutip oleh Sartono “Pilkada yang demokratis sebagai salah satu bentuk konsep yang harus didukung dengan tertib hukum

dan partisipasi manusia secara keseluruhan yang menjadi keselarasan yang ditentukan sebelumnya (harmonia praestabilitia) sebagai etika yang asasi yang berasal dari perasaan dan kepercayaan. Sedangkan, teori demokrasi menjadi bingkai pendukung terhadap

pengembangan konsep politik yang mengarahkan pilkada yang jujur dan adil sebagai budaya demokratis suatu negara.”11

Pemilihan kepala daerah Menurut Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 tahun 2014.

Sebagai suatu kajian terhadap ketatanegaraan baiknya kita melihat beberapa persoalan substansi yang esensial, yang pertama adalah bagaimana Perpu Nomor 1 tahun 2014 mengatur tentang pemilihan kepala daerah, pada pasal 1 angka 1 “Pemilihan

Gubernur, Bupati, dan Walikota yang selanjutnya disebut Pemilihan adalah pelaksanaan kedaulatan rakyat di Provinsi dan Kabupaten/Kota untuk memilih Gubernur, Bupati, dan

Walikota secara langsung dan demokratis. Dalam pandangan Axel Hadenius suatu pemilu dapat dikatakan berlangsung secara

demokratis apabila memenuhi tiga kriteria : yaitu 1, Keterbukaan, 2, ketepatan dan 3

efektifitas.12 Sedangkan Undang-undang Nomor 22 tahun 2014 diatur dalam pasal 1 angka 5

“Pemilihan gubernur, bupati, dan walikota yang selanjutnya disebut Pemilihan adalah pelaksanaan kedaulatan rakyat di provinsi dan kabupaten/kota untuk memilih gubernur, bupati, dan walikota secara demokratis melalui lembaga perwakilan rakyat”

Dari kedua ketentuan perundang-undangan ini penulis simpulkan bahwa pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota bukan merupakan rejim dari pemilihan umum,merupakan

pemilihan kepala daerah yang dilaksanakan secara demokratis, dengan mekanisme yang berbeda yaitu dengan langsung oleh rakyat dan melalui perwakilan rakyat. Baik pemilihan langsung maupun tidak langsung semangat dari kedua peraturan ini adalah

dilaksanakan secara demokratis. Asas penyelenggara pemilihan kepala daerah adalah Pemilihan dilaksanakan

secara demokratis berdasarkan asas, langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan

10 . Janedri M. Gaffar, Politik Hukum Pemilu, Jakarta: Konstitusi Press, 2012, hal : 95. 11 . Sartono Sahlan dan Awaludin Marwan, Nasib Demokrasi Lokal di Negeri Barbar, Yogyakarta: Thafa Media, 2012, hal : 60. 12 . Lihat Axel Hadenius, Democracy and Development, Cambridge university Press, 1992.

Page 6: Catatan pinggir perpu no 1 tahun 2014

6

adil.(Vide Pasal 2 Perpu Nomor 1 tahun 2014), sedangkan Undang-undang Nomor 22 tahun 2014 menganut asas Pemilihan dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas

bebas, terbuka, jujur, dan adil.(vide pasal 2). Dari kedua asas pelaksanaan pemilihan kepala daerah ini tentunya mempunyai

asas yang berbeda sangat mendasar yakni langsung, umum, bebas , rahasia, jujur dan adil yang notabene adalah prinsip dasar dari pemilihan umum. Sedangkan Undang-Undang Nomor 22 tahun 2014 hanya berasaskan kepada bebas, rahasia serta jujur dan adil, yang

menurut penulis inilah yang membedakan atau karakteristik dari pemilihan kepala daerah sebagai pelaksanaan asas desentralisasi, dekonsentrasi dan medebewind dari penerapan

otonomi daerah dalam kerangka negara kesatuan Republik Indonesia. Setidaknya itulah persamaan paradigma yang penulis tangkap antara Dewan

Perwakilan Rakyat dengan Pemerintah, Presiden selaku pemegang mandat Perpu

berangkat dari paradigma bahwa Pilkada langsung adalah bagian dari urusan penyelenggaraan pemerintahan daerah, sehingga termasuk rezim hukum pemerintah

daerah dan tak ada kaitannya dengan pemilihan umum (pemilu), tetapi sama secara implementasi.

Kedua adalah tentang uji publik, ketentuan diatur dalam Bab VI pasal 38 yaitu :

(1) Warga negara Indonesia yang mendaftar sebagai bakal calon Gubernur, bakal Calon

Bupati, dan bakal CalonWalikota yang diusulkan oleh Partai Politik, gabungan Partai Politik, atau perseorangan wajib mengikuti Uji Publik.

(2) Partai Politik atau gabungan Partai Politik dapat mengusulkan dari 1 (satu) bakal

Calon Gubernur, bakal Calon Bupati, dan bakal Calon Walikota untuk dilakukan Uji Publik.

(3) Uji Publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan oleh panitia Uji Publik.

(4) Panitia Uji Publik sebagaimana dimaksud pada ayat (3) beranggotakan 5 (lima) orang

yang terdiri atas 2 (dua) orang berasal dari unsur akademisi, 2 (dua) orang berasal dari tokoh masyarakat, dan 1 (satu) orang anggota KPU Provinsi atau KPU

Kabupaten/Kota. (5) Uji Publik dilaksanakan secara terbuka paling lambat 3 (tiga) bulan sebelum

pendaftaran Calon Gubernur, Calon Bupati, dan Calon Walikota.

(6) Bakal Calon Gubernur, bakal Calon Bupati, dan bakal Calon Walikota yang mengikuti Uji Publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memperoleh surat

keterangan telah mengikuti Uji Publik dari panitia Uji Publik. Menurut penulis ketentuan uji publik ini dalam pemilihan kepala daerah merupakan

hal yang baru baik dalam hal substansinya maupun pelaksanaannya. Uji public

merupakan salah satu persyaratan menjadi calon gubernur, bupati maupun walikota yang diusulkan oleh partai politik maupun gabungan partaai politik serta calon perseorangan,

perpu ini memberikan peluang kepada partai politik dan gabungan partai politik mengusulkan banyak bakal calon. Sementara itu persyaratan bakal calon perseorangan yang akan mengikuti uji publik tidak ada batasan yang jelas, sehingga diprediksi akan

banyak bakal calon perseorangan yang mengikuti uji publik. Perpu ini belum mencermin rasa keadilan bagi calon gubernur, bupati dan walikota

yang diusulkan oleh partai politik, dimana penetapan sebagai calon dan calon terpilih dapat dibatalkan apabila partai politik maupun gabungan partai politik menerima imbalan dalam bentuk apapun pada proses pencalonan kepala daerah, calon terpilih, dan apabila

Page 7: Catatan pinggir perpu no 1 tahun 2014

7

terbukti partai politik atau gabungan partai politik di skorsing atau mendapatkan kartu merah dengan sanksi tidak boleh mengajukan calon pada periode berikutnya di daerah

yang sama sementara calon kepala daerah dari perseorangan pada tahapan penetapan sebagai calon dan calon terpilih apabila terbukti mempergunakan money politik tidak

dibatalkan. Dan tidak ada pencabutan hak untuk dipilih sebagai kepala daerah pada periode berikutnya apabila terbukti melakukan money politik pada daerah yang sama. Sebagaimana yang diberikan terhadap partai politik maupun gabungan partai politik.

Perpu Nomor 1 tahun 2014 sebagai pengganti dari Undang-undang Nomor 22 tahun 2014, adanya norma hukum baru dalam hal membuka kotak suara apabila ada

perbedaan jumlah suara dari sertifikat hasil penghitungan suara di TPS hanya dapat dilakukan pada PPS atau satu tingkat diatas TPS.13

Dari sisi persyaratan calon gubernur, bupati dan walikota pada pasal 7 uruf q

berbunyi “tidak mempunyai kepentingan dengan petahana” ketentuan ini dalam penjelasannya cukup jelas tentunya bisa menibulkan penafsiran yang bermacam-macam,

seharusnya dijelaskan kepentingan yang dimaksud. Selain surat suara yang dicetak oleh Komisi Pemilihan Umum Provinsi maupun

kabupaten / kota berjumlah sesuai dengan jumlah Daftar Pemilih Tetap (DPT) ditambah

dengan 2,5 % (dua koma lima persen) surat suara cadangan dari jumlah daftar pemilih tetap, peraturan pemerintah ini juga mengatur tentang surat suara yang bertanda khusus

harus sudah disiapkan dengan jumlah sebanyak 2000 (dua ribu) surat suara, yang diperuntukan guna mengantisipasi pemungutan suara ulang. Ketentuan ini merupakan suatu langkah maju adanya persiapan pemungutan suara ulang, akan tetapi menurut

hemat penulis langkah ini merupakan langkah pemborosan dengan mencetak terlebih dahulu, tentunya komisi pemilihan umum sebagai penyelenggara tidak menginginkan

adanya pemungutan suara ulang, kalaupun ada pemungutan suara ulang, ternyata pemungutan suara ulang itu adalah lebih dari 5 TPS dengan asumsi jumlah pemilih per TPS maksimal 800 (delapan ratus ) pemilih.

Saat ini Perpu ini sedang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat apakah diterima menjadi sebuah Undang-Undang ataukah ditolak, penulis mengharapkan kalau diterima,

sudah dilakukan pembahasan pasal demi pasal sehingga perpu dapat dinyatakan layak untuk menjadi suatu Undang-undang benar dikaji secara mendalam. Persoalan menolak atau menerima oleh Dewan Perwakilan Rakyat seyogyanya dibahas secara konfrehensif

dengan mempertimbangankan aspek sosiologis, aspek yuridis, dan aspek aspek lainya di infut dengan menakar manfaat dan mudharatnya pemilihan itu langsung maupun

pemilihan tidak langsung. Seorang penganjur hak asasi manusia Amerika Serikat James Freeman Clarke

mengatakan “A politician thinks of the next election. A statesman, of the next generation

“SEORANG POLITISI MEMIKIRKAN PEMILU BERIKUTNYA, SEORANG

NEGARAWAN MEMIKIRKAN GENERASI BERIKUTNYA”.

13 . Lihat Juga Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 dan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006.