bahasa figuratif dan citraan dalam kumpulan puisi …lib.unnes.ac.id/35198/1/upload_octari.pdf ·...
TRANSCRIPT
BAHASA FIGURATIF DAN CITRAAN
DALAM KUMPULAN PUISI MELIHAT API BEKERJA
KARYA M. AAN MANSYUR:KAJIAN STILISTIKA
TESIS
diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh
gelar Magister Pendidikan
Oleh
Octari Adelina Kusumawardhani
0202516006
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA
PASCASARJANA
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2020
iv
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
Motto :
Berpuisi tidak ubahnya seperti mengukir diri pada lajur kehidupan melalui
tulisan. Sementara, memaknai puisi adalah usaha menguraikan ukiran demi ukiran
yang sudah dituliskan.
Persembahan:
Tesis ini penulis persembahkan kepada
Almamater Universitas Negeri Semarang
v
ABSTRAK
Kusumawardhani, Octari Adelina. 2019. “Bahasa Figuratif dan Citraan dalam
Kumpulan Puisi Melihat Api Bekerja Karya M.Aan Mansyur: Kajian
Stilistika”. Tesis. Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia. Pascasarjana
Universitas Negeri Semarang. Pembimbing I Prof. Dr. Agus Nuryatin, M.
Hum., Pembimbing II Dr. Mukh Doyin, M. Si.
Kata Kunci: Stilistika, Bahasa Figuratif dan Citraan.
Karya sastra merupakan karya seni yang memanfaatkan bahasa sebagai
medium utama. Bahasa dan sastra memiliki hubungan yang tidak dapat dipisahkan.
Salah satu jenis karya sastra yang banyak dinikmati oleh masyarakat yaitu puisi.
Puisi sebagai media penyair untuk mengemukakan atau mengekspresikan gagasan
dan tujuan yang ingin disampaikan kepada pembaca. Masalah dalam penelitian ini
yaitu (1) bagaimanakah bentuk, makna dan fungsi bahasa figuratif dalam kumpulan
puisi Melihat Api Bekerja karya M. Aan Mansyur, (2) bagaimanakah bentuk, makna
dan fungsi citraan dalam kumpulan puisi Melihat Api Bekerja karya M. Aan
Mansyur, (3) bagaimanakah hubungan antara bahasa figuratif dan citraan dalam
kumpulan puisi Melihat Api Bekerja karya M. Aan Mansyur.
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan stilistika.
Desain penelitian yang digunakan yaitu desain penelitian deskriptif kualitatif.
Fokus penelitian yakni pada bentuk, makna dan fungsi bahasa figuratif dan citraan
dalam kumpulan puisi Melihat Api Bekerja karya M. Aan Mansyur. Data dalam
penelitian ini berupa kata, frasa dan kalimat yang mengandung bahasa figuratif dan
citraan dalam kumpulan puisi Melihat Api Bekerja karya M. Aan Mansyur dan
sumber data penelitian ini adalah kumpulan puisi Melihat Api Bekerja karya M.
Aan Mansyur yang terdiri dari 54 puisi. Pengumpulan data dalam penelitian ini
dengan menggunakan teknik studi pustaka dan teknik pembacaan heuristik. Teknik
keabsahan data dalam penelitian ini menggunakan teknik ketekunan pengamatan
dan teknik heuristik. Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini
menggunakan analisis semiotik dengan menggunakan metode pembacaan heuristik
dan pembacaan hermeneutik.
Hasil penelitian ini adalah (1) Bentuk bahasa figuratif dalam majas simile
terdapat 27 data, majas metafora 17 data, majas personifikasi 18 data, majas
metonimia 3 data, majas sinekdoke 3 data dan idiom 8 data. Makna bahasa figuratif
mengandung sebagian besar tentang kenangan dan kehidupan serta fungsi bahasa
figuratif untuk memberikan gambaran angan yang konkret serta menghidupkan
gambaran angan pembaca. Bahasa figuratif yang mendominasi adalah majas simile.
(2) bentuk citraan ditemukan dalam citraan penglihatan sebanyak 41 data, citraan
pendengaran 8 data, citraan penciuman 2 data, citraan rasaan 1 data, citraan rabaan
19 data dan citraan gerak 6 data. Makna citraan untuk memperkuat gambaran
pikiran dan perasaan pembaca. Fungsi citraan untuk membangkitkan gambaran
konkret imajinasi pembaca serta memberikan gambaran angan-angan yang jelas.
Citraan yang mendominasi adalah citraan penglihatan. (3) hubungan bahasa
figuratif dan citraan dalam kumpulan puisi Melihat Api Bekerja karya M.Aan
Mansyur sangat erat kaitannya dengan karya sastra. Hubungan bahasa figuratif dan
vi
citraan yaitu untuk saling memperkuat dan melengkapi sehingga puisi menjadi
lebih hidup dan jelas. Bentuk hubungan bahasa figuratif dan citraan terdapat 6 data.
Berdasarkan hasil analisis data penelitian tersebut saran yang dapat
dikemukakan adalah kepada pembaca untuk penelitian ini diharapkan mampu
menjadikan sumber informasi atau pembelajaran tentang bahasa figuratif dan
citraan yang dapat digunakan dalam sebuah karya sastra khususnya puisi, terutama
dalam aspek bentuk, makna dan fungsinya. Bagi peneliti lain yang nantinya akan
melakukan penelitian serupa, disarankan untuk pemahaman lebih lanjut mengenai
bahasa figuratif dan citraan pada karya sastra, perlu diadakan penelitian bahasa
figuratif dan citraan pada karya sastra, baik puisi 86 maupun prosa lebih lanjut.
Masih banyak lagi yang dapat diungkapkan dari ragam bahasa figuratif dan citraan
pada karya sastra baik prosa maupun fiksi ini sesuai dengan kajian stilistika.
vii
ABSTRACT
Kusumawardhani, Octari Adelina. 2019. “Figurative and Imaginative Language in
Poetry Set Melihat Api Bekerja by M. Aan Mansyur: Stylistic Study” Thesis
Indonesian Education Language Program Postgraduate School of Universitas
Negeri Semarang Advisor I Prof. Dr. Agus Nuryatin, M. Hum., Advisor II
Dr. Mukh Doyin, M. Si.
Keywords: Stylistics, Figurative and Imaginative Language
Literature work is an art work using language as the primary medium.
Language and literature are interconnected and inseparable. One of most preferred
literature works is poetry. Poetry is as a poet’s medium to express and state his
notions and intention to be delivered to his readers. The research problems are: (1)
how the realization, meaning, and function of figurative language in poetry set
Melihat Api Bekerja by M. Aan Mansyur, (2) how the realization, meaning, and
function of imaginative language in the poetry set Melihat Api Bekerja by M. Aan
Mansyur, (3) how the connections between figurative and imaginative language of
the poetry set Melihat Api Bekerja by M. Aan Mansyur.
The research approach is stylistics approach. The design of the research is
qualitative descriptive. The focuses were on the realization, meaning, and functions
of figurative and imaginative language in poetry set Melihat Api Bekerja by M. Aan
Mansyur. In this research, the data consisted of words, phrases, and sentences
containing figurative and imaginative language in the poetry set by M. Aan
Mansyur. The data source was taken from the poetry set Melihat Api Bekerja by M.
Aan Mansyur, consisted of 54 poetries. The data collection was done by literature
study and heuristics reading technique. The data validity techniques used
observation and heuristics techniques. The data analysis methods was semiotic
analysis by reading heuristically and hermeneutically.
The findings showed that (1) the realization of figurative language, in the
forms of similes, consisted of 27 data; the metaphors consisted of 17 data,
personification consisted of 18 data; metonymy consisted of 3 data; synecdote
consisted of 3 data; and idioms consisted of 8 data. The meaning of figurative
language mostly consisted of tranquility and life. Figurative language also provided
concrete expectation description and lit the images on the readers. The dominant
figurative language was simile. (2) the imaginative realization was found in visual
images with 41 data; auditory images - 8 data, smelling - 2 data, feeling - 1 data,
palpation - 19 data, and movement - 6 data. The meaning of the images strengthened
thought images and feelings of the readers. The functions of images were to evoke
concrete imagination and provide clear imagination on the readers. The dominant
image was visual image. (3) the connection of figurative and Imaginative Language
in the poetry set by M. Aan Mansyur was closely connected to literature works. The
figurative and imaginative language strengthened each other so the poetry become
more alive and much clearer. The realization of the connection consisted of 6 data.
Based on the data analysis, it is suggested for the readers to use this research
as information source or learning about figurative and imaginative language which
could be used in a literature work, especially realization, meaning, and function
viii
aspects. For other researchers whom would conduct similar research, it is suggested
to have advance comprehension about figurative and imaginative language on
literature works. There is a need to conduct researches on figurative and imaginative
languages on literature works, both 86 poetry or further proses. There are many
things to disclose from figurative and imaginative language on literature works both
proses and fiction based on stylistic study.
ix
PRAKATA
Segala puji dan syukur kehadirat Allah Swt karena telah melimpahkan
rahmat-Nya. Berkat karunia-Nya, peneliti dapat menyelesaikan tesis yang berjudul
“Bahasa Figuratif dan Citraan dalam Kumpulan Puisi Melihat Api Bekerja Karya
M.Aan Mansyur: Kajian Stilistika”. Tesis ini disusun sebagai salah satu persyaratan
meraih gelar Magister Pendidikan pada Program Studi Pendidikan Bahasa
Indonesia Program Pascasarjana Universitas Negeri Semarang.
Penelitian ini dapat terselesaikan berkat bantuan dari berbagai pihak. Oleh
karena itu, peneliti menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan setinggi-
tingginya kepada pihak-pihak yang telah membantu penyelesaian penelitian ini.
Ucapan terima kasih peneliti sampaikan pertama kali kepada para pembimbing:
Prof. Dr. Agus Nuryatin, M. Hum. (Pembimbing I) dan Dr. Mukh Doyin, M. Si.
(Pembimbing II).
Ucapan terima kasih peneliti sampaikan juga kepada semua pihak yang
telah membantu selama proses penyelesaian studi, di antaranya:
1. Rektor Universitas Negeri Semarang yang telah memberikan kesempatan
pada penulis untuk menimba ilmu di Universitas Negeri Semarang.
2. Direksi Program Pascasarjana UNNES yang telah memberikan kesempatan
serta arahan selama pendidikan, penelitian dan penulisan tesis ini.
3. Ketua Program Studi dan Sekretaris Program Studi Pendidikan Bahasa
Indonesia Program Pascasarjana UNNES yang telah memberikan kesempatan
dan arahan dalam penulisan tesis ini.
x
4. Bapak dan Ibu dosen Program Pascasarjana UNNES yang telah banyak
memberikan bimbingan dan ilmu kepada peneliti selama menempuh
pendidikan.
5. Kedua orang tua yang senantiasa memberikan dukungan baik berupa doa
maupun materi.
6. Yorris Adiguna Martin dan Deska Bara Fitrisyah adik peneliti yang
memberikan semangat hingga selesainya penulisan tesis ini.
7. Teman-teman angkatan 2016 khususnya rombel A Program Studi Bahasa
Indonesia yang telah memberikan dukungan dan semangat hingga peneliti
dapat menyelesaikan tesis ini.
Peneliti sadar bahwa dalam tesis ini mungkin masih terdapat kekurangan,
baik isi maupun tulisan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun
dari semua pihak sangat peneliti harapkan. Semoga hasil penelitian ini bermanfaat
dan merupakan kontribusi bagi pengembangan ilmu pengetahuan.
Semarang, Desember 2019
Octari Adelina Kusumawardhani
NIM 0202516006
xi
DAFTAR ISI
PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................................ i
PENGESAHAN UJIAN TESIS .................................................................... ii
PERNYATAAN KEASLIAN ........................................................................ iii
MOTTO DAN PERSEMBAHAN ................................................................. iv
ABSTRAK ...................................................................................................... v
ABSTRACT…………………………………………………………………. vii
PRAKATA ...................................................................................................... ix
DAFTAR ISI ................................................................................................... xi
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. xv
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah ........................................................................... 1
1.2 Identifikasi Masalah. ................................................................................. 13
1.3 Cakupan Masalah ..................................................................................... 14
1.4 Rumusan Masalah ..................................................................................... 15
1.5 Tujuan Masalah ......................................................................................... 15
1.6 Manfaat Penelitian .................................................................................... 15
BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA TEORETIS, DAN
KERANGKA BERPIKIR
2.1 Kajian Pustaka .......................................................................................... 17
2.2 Kerangka Teoretis ..................................................................................... 43
2.2.1 Hakikat Stilistika ..................................................................................... 43
2.2.2 Fungsi Stilistika dalam Karya Sastra ...................................................... 47
xii
2.2.3 Tujuan Stilistika dalam Karya Sastra ..................................................... 48
2.2.4 Bidang Kajian Stilistika .......................................................................... 50
2.2.5 Bahasa Figuratif dalam Karya Sastra ...................................................... 51
2.2.5.1 Bahasa Figuratif ................................................................................... 52
2.2.5.2 Fungsi Bahasa Figuratif ....................................................................... 63
2.2.6 Citraan .................................................................................................... 65
2.2.6.1 Pengertian Citraan ................................................................................ 65
2.2.6.2 Jenis-jenis Citraan................................................................................. 68
2.2.6.3 Fungsi Citraan....................................................................................... 73
2.2.7 Hakikat Puisi ............................................................................................ 74
2.2.8 Unsur-unsur Pembangun Puisi ................................................................. 77
2.2.9 Biografi M.Aan Mansyur ......................................................................... 88
2.3 Kerangka Berpikir ...................................................................................... 90
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Pendekatan Penelitian ................................................................................ 92
3.2 Desain Penelitian ........................................................................................ 92
3.3 Fokus Penelitian ......................................................................................... 93
3.4 Data dan Sumber Data ............................................................................... 93
3.5 Teknik Pengumpulan Data ......................................................................... 94
3.6 Teknik Keabsahan Data ............................................................................. 95
3.7 Teknik Analisis Data…............................................................................... 96
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Penelitian .......................................................................................... 98
xiii
4.1.1 Bahasa Figuratif dalam kumpulan puisi Melihat Api Bekerja karya
M.Aan Mansyur ...................................................................................... 98
4.1.1.1 Majas dalam Kumpulan Puisi Melihat Api Bekerja Karya
M.Aan Mansyur ................................................................................... 99
4.1.1.1.1 Majas Simile .................................................................................... 99
4.1.1.1.2 Majas Metafora ............................................................................... 126
4.1.1.1.3 Majas Personifikasi ......................................................................... 138
4.1.1.1.4 Majas Metonimia ............................................................................ 151
4.1.1.1.5 Majas Sinekdoke ............................................................................. 153
4.1.1.2 Idiom dalam Kumpulan Puisi Melihat Api Bekerja Karya
M. Aan Mansyur .................................................................................. 156
4.1.2 Citraan dalam Kumpulan Puisi Melihat Api Bekerja Karya
M.Aan Mansyur ...................................................................................... 161
4.1.2.1 Citraan penglihatan .............................................................................. 162
4.1.2.2 Citraan pendengaran ............................................................................. 192
4.1.2.3 Citraan penciuman ................................................................................ 199
4.1.2.4 Citraan rasaan ....................................................................................... 200
4.1.2.5 Citraan rabaan ...................................................................................... 201
4.1.2.6 Citraan gerak ....................................................................................... 215
4.1.3 Hubungan antara Bahasa Figuratif dan Citraan dalam Kumpulan
Puisi Melihat Api Bekerja Karya M.Aan Mansyur ................................ 220
BAB V PENUTUP
5.1 Simpulan .................................................................................................... 225
xiv
5.2 Saran ........................................................................................................... 226
DAFTAR PUSTAKA
xv
DAFTAR LAMPIRAN
Puisi M.Aan Mansyur
Lampiran 1 : Belajar Berenang....................................................................... 241
Lampiran 2 : Telanjang di Depan Cermin...................................................... 242
Lampiran 3 : Laut Berparuh Merah................................................................ 243
Lampiran 4 : Menjatuhkan Bintang-Bintang.................................................. 244
Lampiran 5 : Perihal Tokoh Utama Komik................................................... 245
Lampiran 6 : Menonton Flim......................................................................... 246
Lampiran 7 : Mendengar Radiohead............................................................. 247
Lampiran 8 : Menyeberang Jembatan............................................................ 248
Lampiran 9 : Melihat Peta.............................................................................. 249
Lampiran 10 : Menunggu Perayaan................................................................. 250
Lampiran 11 : Memimpikan Hari Libur........................................................... 251
Lampiran 12 : Seekor Kucing dan Sepasang Burung....................................... 251
Lampiran 13 : Menenangkan Rindu................................................................ 252
Lampiran 14 : Sejam Sebelum Matahari Tidak Jadi Tenggelam.................... 253
Lampiran 15 : Catatan Seorang Pedagang di Pasar Terong Makasar............. 255
Lampiran 16 : Menelepon Kau......................................................................... 255
Lampiran 17 : Menjadi Hantu.......................................................................... 256
Lampiran 18 : Menjadi Lumba-lumba............................................................ 256
Lampiran 19 : Menjadi Tamu......................................................................... 257
xvi
Lampiran 20 : Pameran Foto Keluarga Paling Bahagia.................................. 258
Lampiran 21 : Jendela perpustakaan.............................................................. 259
Lampiran 22 : Hantu Bernyanyi.................................................................... 260
Lampiran 23 : Mengunjungi Ambon............................................................. 262
Lampiran 24 : Langit dan Laut di Timur....................................................... 264
Lampiran 25 : Memastikan Kematian........................................................... 265
Lampiran 26 : Aku Menunggu di Kantukmu................................................ 266
Lampiran 27 : Mengingat Pesan Ibu............................................................. 266
Lampiran 28 : Jalan yang Berkali-kali Kau Tempuh.................................... 267
Lampiran 29 : Mengunjungi Museum........................................................... 268
Lampiran 30 : Menyaksikan Pagi dari Beranda............................................. 270
Lampiran 31 : Menjadi Kemacetan............................................................... 271
Lampiran 32 : Siput atau Bayi atau Aku yang Tidur.................................... 272
Lampiran 33 : Ada Anak Kecil Kesepian di Tubuh Ayahmu....................... 273
Lampiran 34 : Mengurus Surat Keterangan Hilang...................................... 273
Lampiran 35 : Bermain Petak Umpet............................................................ 274
Lampiran 36 : Tentang Sepasang Kekasih yang Melintas Begandengan
Tangan.................................................................................... 275
Lampiran 37 : Pulang ke Dapur Ibu.............................................................. 276
Lampiran 38 : Seorang Lelaki dan Binatang-binatang yang Hidup dalam
Jasnya.................................................................................... 277
xvii
Lampiran 39 : Menyunting Sajak Untukmu................................................. 280
Lampiran 40 : Ketidakmampuan.................................................................. 280
Lampiran 41 : Kepada Kesedihan................................................................ 281
Lampiran 42 : Mengamati Lampu Jalan...................................................... 282
Lampiran 43 : Mengisahkan Kebohongan................................................... 283
Lampiran 44 : Menikmati Akhir Pekan........................................................ 283
Lampiran 45 : Menyimak Musik di Kafe..................................................... 284
Lampiran 46 : Melihat Api Bekerja.............................................................. 285
Lampiran 47 : Masa Kecil Langit................................................................ 286
Lampiran 48 : Sajak buat Seseorang yang tak Punya Waktu Membaca
Sajak..................................................................................... 286
Lampiran 49 : Jika Aku Sakit...................................................................... 287
Lampiran 50 : Surat Pendek buat Ibu di Kampung..................................... 287
Lampiran 51 : Barangkali............................................................................ 288
Lampiran 52 : Ketika................................................................................... 289
Lampiran 53 : Kau Membakarku Berkali-kali............................................ 290
Lampiran 54 : Hal-hal yang Dibayangkan Sajak Terakhir ini sebagai
Dirinya................................................................................. 291
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Karya sastra merupakan karya seni yang memanfaatkan bahasa sebagai
medium utama. Karya sastra terwujud karena hasil perenungan seorang pengarang
terhadap berbagai peristiwa dalam kehidupannya sehingga hasil karyanya
mencerminkan kreativitas seorang pengarang dalam menggunakan bahasanya
untuk menyampaikan buah pikirannya. Langkah pertama dalam memahami karya
sastra adalah memahami bahasa. Salah satu jenis karya sastra yang banyak
dinikmati oleh masyarakat yaitu puisi. Puisi merupakan bentuk karya sastra yang
menggunakan kata-kata indah dan kaya makna (Kosasih, 2012:97). Genre sastra
atau jenis sastra dapat dikelompokkan menjadi 2 kelompok yaitu sastra imajinatif
dan nonimajinatif (Umami, 2009). Pengertian tersebut mewakili penjelasan
sebelumnya bahwa bahasa merupakan media penyampaian gagasan atau makna
dalam sebuah karya sastra. Unsur bentuk paling utama dalam puisi adalah bahasa
karena bahasa adalah hal yang menentukan nilai keindahan. Penggunaan bahasa
yang khas sastra mampu memberikan efek khusus menarik perhatian.
Karya sastra lahir bukan sekadar peristiwa bahasa lebih jauh dari itu,
kelahirannya merupakan peristiwa kehidupan dalam masyarakat. Persoalan-
persoalan yang ada dalam masyarakat, dikemas sedemikian rupa oleh pengarang
disertai tawaran solusi yang diciptakannya sendiri yang tentunya disesuaikan
dengan kondisi ideologi dan sosial budaya yang melatarbelakanginya (Muawanah
2
dan Supriyanto, 2016). Jika dikaji dengan seksama, karya sastra sejatinya
merupakan sebuah tindakan budaya yang berisikan teladan kehidupan. Banyak
perilaku dan sikap yang menjunjung tinggi nilai moral digambarkan dalam karya
sastra melalui tingkah laku karakter di dalam karya tersebut (Soelistyarini, 2012).
Sebuah karya sastra mengungkap mengenai kehidupan manusia, masalah-masalah
manusia baik itu penderitaan maupun kasih sayang dan politik dalam kehidupan
bermasyarakat. Dengan menggunakan bahasa maka karya sastra akan terwujud.
Shofi dan Supriyanto (2018) menyatakan bahwa karya sastra menjadi salah satu
media bagi penyair untuk menyampaikan aspirasi, gagasan, bahkan juga ideologi
yang kemudian dituangkan ke dalam bentuk tulisan maupun lisan.
Nuroh (2011) menyatakan bahwa kehadiran sastra ditengah-tengah
peradaban manusia tidak dapat ditolak. Bahkan, kehadiran karya sastra tersebut
diterima sebagai suatu realitas sosial budaya. Hingga saat ini, sastra tidak saja
dinilai sebagai karya seni yang memiliki imajinasi, budi dan emosi, tetapi telah
dianggap sebagai suatu karya kreatif yang dimanfaatkan untuk konsumsi
intelektual. Ariyanto dan Nuryatin (2017) menyatakan bahwa karya sastra besar
dapat menolong pembacanya menjadi manusia yang berbudaya (cultured man).
Manusia demikian itu selalu mencari nilai-nilai kebenaran, keindahan, dan
kebaikan. Salah satu cara memperoleh nilai-nilai itu lewat pergaulan dengan karya-
karya seni, termasuk karya-karya sastra besar.
Farhah (2013) menyatakan bahwa karya sastra tidaklah lahir dari
kekosongan sosial (social vacum), tetap memang lahir dan dipengaruhi oleh tata
masyarakat atau berdasarkan realiata sosial yang ada di dalam masyarakat. Artinya,
3
masyarakat merupakan faktor yang menentukan dan sebagai sumber (bahan) bagi
penulisan atau kelahiran karya sastra yang dihasilkan oleh pengarang.
Saptawuryandari (2015) menyatakan bahwa karya sastra menampilkan gambaran
kehidupan, dan kehidupan itu sendiri adalah suatu kenyatan sosial. Dalam
pengertian ini, kehidupan mencakup hubungan antar masyarakat, antara masyarakat
dengan orang seorang, antar manusia, dan antar peristiwa yang terjadi dalam batin
seseorang. Karya sastra ditulis atau diciptakan oleh sastrawan bukan untuk dibaca
sendiri, melainkan ada ide, gagasan, pengalaman, dan amanat yang ingin
disampaikan kepada pembaca ( Setyamoko dan Supriyanto, 2017).
Karya sastra memuat suatu ajaran berupa nilai-nilai hidup dan pesan-pesan
luhur yang mampu menambah wawasan manusia dalam memahami kehidupan
(Suryadi dan Nuryatin, 2017). Karya-karya yang dihasilkan oleh penyair
merupakan ekspresi kegelisahan dari seorang penyair, bukan secara individu
melainkan sebagai bagian anggota masyarakat. Mujahidin (2012) menyatakan
bahwa keterlibatan manusia dalam karya sastra dapat menolong dirinya untuk
menjadi manusia berbudaya, yaitu manusia yang responsif terhadap hal-hal yang
luhur.
Bahasa sebagai alat komunikasi antara anggota masyarakat berupa simbol
bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia (Keraf, 2015:1). Bahasa sebagai
fungsi ekspresif adalah bahasa yang didayagunakan untuk meluapkan atau
menyampaikan ekspresi si penutur kepada diri sendiri atau khalayak ramai dengan
maksud dan tujuan tertentu. Bahasa menjadi suatu komponen penting dalam
interaksi pembelajaran (Widianto dan Zulaeha, 2016). Bahasa merupakan sarana
4
yang digunakan pengarang untuk menyampaikan buah pikiran dan imajinasinya
dalam proses penciptaan karya sastra. Hal ini menyiratkan bahwa karya sastra pada
dasarnya adalah peristiwa bahasa. Dengan demikian, unsur bahasa merupakan
sarana yang penting dan diperhitungkan dalam penyelidikan suatu karya sastra
(Supriyanto, 2009:1).
Bahasa dan sastra memiliki hubungan yang tidak dapat dipisahkan, karena
keduanya berjalan seiring sehingga dapat membentuk ciri khas itu sendiri.
Pengarang memiliki potensi bahasa yang besar dalam mengungkapkan ide-ide
dengan tujuan tertentu. Menurut Tjakrawiriadi (2018) bahasa sastra memiliki pesan
keindahan dan sekaligus membawa makna. Tanpa keindahan bahasa karya sastra
akan menjadi hambar. Keindahan karya sastra hampir sebagian besar dipengaruhi
oleh kemampuan pengarang dalam memainkan bahasa.
Melalui bahasa, seorang pengarang akan mampu merangkai kata yang
mengandung gagasan-gagasan untuk disampaikan kepada pembaca. Adapun
bahasa dalam sastra memiliki keunikan tersendiri yang berbeda dengan bahasa
sehari-hari sehingga mampu menarik minat dan ketertarikan orang lain untuk
menikmati sastra. Karya sastra merupakan karya imajinatif bermediumkan bahasa,
dalam hal ini bahasa tersebut dinamakan bahasa sastra. Al-ma’ruf (2009:3)
mengemukakan bahasa sastra sebagai media ekspresi sastrawan dipergunakan
untuk memperoleh nilai karya sastra, dalam hal ini berhubungan dengan gaya
bahasa sebagai sarana sastra.
Secara umum sastra dibagi menjadi tiga yaitu prosa, puisi dan drama.
Membatasi pengertian yang meluas, pada penelitian ini objek kajian karya sastra
5
yang akan di teliti adalah puisi. Puisi adalah bagian dari karya sastra,
membicarakan puisi berarti membicarakan bahasa dalam puisi. Puisi
mengungkapkan pengalaman imajinatif, emosional, dan intelektual penyair yang
ditimba dari kehidupan individual dan sosialnya (Sayuti dalam Inayati dan
Nuryatin, 2016).
Bahasa dalam puisi merupakan perwakilan perasaan, mempunyai arti yang
disimpan dan ingin di ungkapkan oleh penyairnya. Menulis puisi merupakan
proses menciptakan, mengekspresikan seluruh ide atau gagasan dan pikiran.
Melalui proses tersebut penyair mempertimbangkan pilihan kata (diksi) yang tepat,
sehingga puisi tersebut menjadi lebih bernilai mempunyai nilai estetika saat dibaca
dan dimaknai. Mulyono (2018) menyatakan bahwa dalam aspek kata, bentuk
estetika dimanifestasikan melalui diksi, yaitu dalam bentuk kosakata Jawa, Arab
dan sinonim.
Puisi sebagai media penyair untuk mengemukakan atau mengekspresikan
gagasan dan tujuan yang ingin disampaikan kepada pembaca. Menurut Fransori
(2017) menyatakan bahwa puisi memiliki ciri khas yaitu kepadatan pemakaian
bahasa, sehingga paling besar kemungkinannya untuk menampilkan ciri-ciri
stilistika. Puisi dapat dikaji melalui kajian stilistika, khususnya dengan menggali
menggunakan bahasa figuratif dan citraan. Kajian stilistika menyangkut style
“gaya” pengarang, style “gaya” adalah cara mengungkapkan gagasan dan perasaan
dengan bahasa khas sesuai dengan kreativitas, kepribadian, dan karakter pengarang
untuk mencapai efek tertentu, yakni efek estetik atau efek kepuitisan dan efek
penciptaan makna. Lewat kajian stilistika dapat dibedakan tanda-tanda linguistik,
6
ciri khas, atau tanda khusus dalam bahasa sastra dan non sastra. Salah satu jalan
untuk menikmati karya sastra adalah melalui pengkajian stilistika.
Stilistika sebagai salah satu sub ilmu dalam kesusastraan. Banyak berperan
dalam pengkajian sastra karena stilistika mengkaji cara sastrawan memanfaatkan
unsur dan kaidah-kaidah kebahasaan dengan mencari efek-efek yang ditimbulkan
oleh penggunaan bahasa, meneliti ciri khas penggunaan bahasa dalam sastra.
Menurut Ratna (2007:233) bahwa stilistika adalah ilmu atau teori yang berkaitan
dengan pembicaraan mengenai gaya bahasa. Gaya bahasa yang muncul dalam
sebuah karya sastra itu sendiri akan membuat sebuah karya sastra menjadi lebih
indah dan menggugah gairah para pembacanya. Pradopo (2014:7),
mengungkapkan bahwa puisi mengekspresikan pemikiran yang membangkitkan
perasaan, yang merangsang imajinasi pancaindra dalam susunan yang berirama.
Demikian halnya bahwa selain puisi mengandung unsur-unsur keindahan di dalam
bahasanya, puisi juga mampu menuangkan nilai-nilai yang bermanfaat dalam
kehidupan sehari-hari. Dengan nilai-nilai itulah, puisi dapat membentuk karakter
yang baik dalam diri manusia.
Puisi merupakan sebuah struktur yang kompleks, maka untuk
memahaminya perlu dianalisis sehingga dapat diketahui bagian-bagian serta
jalinannya secara nyata. Meskipun demikian, orang tidak akan dapat memahami
puisi secara sepenuhnya tanpa mengetahui dan menyadari bahwa puisi itu karya
estetis yang bermakna, yang mempunyai arti, bukan hanya sesuatu yang kosong
tanpa makna. Oleh karena itu, sebelum pengkajian aspek-aspek yang lain, perlu
lebih dahulu puisi dikaji sebagai sebuah struktur yang bermakna dan bernilai
7
estetis. Puisi memiliki ciri khas yaitu kepadatan pemakaian bahasa, sehingga
paling besar kemungkinannya untuk menampilkan ciri-ciri stilistika. Stilistika
merupakan kajian yang tepat untuk meneliti kekhasan bahasa pada puisi, baik itu
dari segi gaya bahasa figuratif dan citraan.
Setiap pengarang mempunyai gaya tersendiri atau dengan sadar memilih
gaya tertentu dalam menyampaikan buah pikirannya. Dalam dunia sastra masalah
gaya penyampaian atau gaya bahasa ini merupakan sesuatu yang amat menentukan
tujuan pengarangannya seseorang, sekaligus menentukan perbedaan suatu karya
dengan karya dengan karya yang lain. Sebagaimana dinyatakan oleh Stanton
(2012:61) gaya adalah cara pengarang dalam menggunakan bahasa. Meski dua
orang memakai alur, karakter, dan latar yang sama, hasil dan tulisan kedua
pengarang sangat berbeda.
Penelitian ini memfokuskan pada penggunaan bahasa figuratif dan citraan,
karena bahasa figuratif dan citraan lebih sering terlihat penggunaannya dalam
puisi. Bahasa figuratif dan citraan menghiasi puisi-puisi karya M.Aan Mansyur
dikemas dalam kumpulan puisi yang berjudul Melihat Api Bekerja. Bahasa
figuratif atau bahasa kias sering digunakan penyair untuk membangun struktur
puisi. M.Aan Mansyur lebih sering menggunakan bahasa figuratif untuk
menyampaikan segala gagasannya. Bahasa figuratif menghiasi kumpulan puisi
karya M.Aan Mansyur yang terdiri dari 54 judul puisi. Bahasa figuratif lebih sering
digunakan M.Aan Mansyur untuk menyampaikan makna secara tidak langsung
seperti bahasa baku yang mengandung makna sebenarnya. Selain itu, bahasa yang
digunakan oleh M.Aan Mansyur untuk memperoleh nilai estetis.
8
Nilai estetis suatu puisi terlihat dari pemakaian gaya bahasa yang bermakna
konotasi. Tuturan figuratif (figurative language) menyebabkan karya sastra
menarik perhatian, menimbulkan kesegaran, hidup dan menimbulkan kejelasan
angan. Pemakaian bahasa kias menggambarkan sesuatu sama dengan yang lainya.
Kehadiran bahasa figuratif akan lebih menimbulkan nilai estetis bila pengarang
memasukan citraan ke dalam setiap karya sastra puisi. Kehadiran citraan dalam
puisi berfungsi memberi gambaran yang jelas dan penginderaan untuk menarik
perhatian pembaca puisi. Citraan adalah gambaran yang digambarkan oleh penyair
dalam puisinya. Penyair memberikan citraan dalam puisinya bertujuan agar
pembaca seolah-olah merasakan apa yang di rasakan dan dialami penyair dalam
puisi yang dibacanya.
Supriyanto (2011) menyatakan bahwa bahasa figuratif dan citraan
merupakan aspek atau piranti stilistika yang penuh dengan intensitas. Artinya,
kedua aspek tersebut harus mampu membangkitkan daya imajinatif saat membaca
sebuah puisi. Penyair dituntut cermat dalam memilih kata dan mempertimbangkan
maknanya terlebih dahulu agar muncul efek estetik dalam larik puisi yang
diproduksi. Berdasarkan hal tersebut, penelitian mengenai stilistika khususnya
aspek bahasa figuratif dan citraan ini menjadi perlu dilakukan untuk mengungkap
keestetikan dan simbolisasi dalam sebuah puisi.
Dipilihnya kumpulan puisi Melihat Api Bekerja karya M.Aan Mansyur
sebagai objek penelitian karena isi dalam puisi ini memaparkan fenomena-
fenomena yang terjadi, seperti menceritakan tentang kehidupan, cinta, kerinduan,
kenangan dan segala sesuatu yang melekat didalamnya. Kemurnian didalam puisi-
9
puisinya yang menjadi bagian tak terpisahkan dari dunia. Penyampaian setiap
puisinya dalam kumpulan puisi Melihat Api Bekerja juga menggunakan bahasa
yang khas dan sederhana serta sangat bervariasi ditambah dengan ilustrasi yang
luar biasa antara kolaborasi yang disajikan M.Aan Mansyur dan Muhammad
Taufiq (Emte). Puisi-puisi yang terkumpul dalam satu kumpulan puisi Melihat Api
Bekerja yang terdiri dari 54 puisi diantaranya adalah Belajar Berenang, Telanjang
di Depan Cermin, Laut Berparuh Merah, Menjatuhkan Bintang-Bintang, Perihal
Tokoh Utama Komik, Menonton Flim, Mendengar Radiohead, Menyeberang
Jembatan, Melihat Peta, Menunggu Perayaan, Memimpikan Hari Libur, Seekor
Kucing dan Sepasang Burung, Menenangkan Rindu, Sejam Sebelum Matahari
Tidak Jadi Tenggelam, Catatan Seorang Pedagang di Pasar Terong Makasar,
Menelepon Kau, Menjadi Hantu, Menjadi Lumba-Lumba, Menjadi Tamu,
Pameran Foto Keluarga Paling Bahagia, Jendela Perpustakaan, Hantu Penyanyi,
Mengunjungi Ambon, Langit dan Laut di Timur, Memastikan Kematian, Aku
Menunggu di Kantukmu, Mengingat Pesan Ibu, Jalan yang Berkali-Kali Kau
Tempuh, Mengunjungi Musem, Menyaksikan Pagi dari Beranda, Menjadi
Kemacetan, Siput Atau Bayi Atau Aku Yang Tidur, Ada Anak Kecil Kesepian di
Tubuh Ayahmu, Mengurus Surat Keterangan Hilang, Bermain Petak Umpet,
Tentang Sepasang Kekasih yang Melintas Bergandengan Tangan, Pulang ke
Dapur Ibu, Seorang Lelaki dan Binatang-binatang yang Hidup dalam Jasnya,
Menyunting Sajak Untukmu, Ketidakmampuan, Kepada Kesedihan, Mengamati
Lampu Jalan, Mengisahkan Kebohongan, Menikmati Akhir Pekan, Menyimak
Musik di Kafe, Melihat Api Bekerja, Masa Kecil Langit, Sajak Buat Seorang yang
10
Tak Punya Waktu Membaca Sajak, Jika Aku Sakit, Surat Pendek Buat Ibu Di
Kampung, Barangkali, Ketika, Kau Membakarku Berkali-kali dan Hal-hal yang
Dibayangkan Sajak Terakhir Ini Sebagai Dirinya.
Melalui kumpulan puisi tersebut, M.Aan Mansyur mengajak pembaca agar
memahami tentang permasalahan sebuah kehidupan, cinta, kerinduan dan
kenangan yang pernah muncul di sekitar kita dan mengambil makna hidup di
dalamnya. Dilihat dari adanya bahasa figuratif dan citraan yang dituangkan oleh
M.Aan Mansyur dalam kumpulan puisi Melihat Api Bekerja yang mampu menarik
perhatian pembaca. Bahasa figuratif dan citraan tersebut dimanfaatkan untuk
menghidupkan suasana cerita sehingga mampu mengoyak batin pembaca.
M.Aan Mansyur melalui kumpulan puisi Melihat Api Bekerja ini memiliki
kemampuan mendeskripsikan kata-kata yang indah. Penggalan kutipan dalam
puisi yang berjudul Laut Berparuh Merah menyentuh dan membawa pembaca
larut ke dalam setiap bahasa yang digunakannya tersebut. M.Aan Mansyur
memiliki dan keunikan tersendiri dalam pemilihan kata-kata dan penyampaiannya
kepada pembaca dengan menggunakan bahasa figuratif, Misalnya:
Laut adalah langit, namun sedikit
lebih basah Keduanya cemburu
kepada matamu.
(Melihat Api Bekerja, M.Aan Mansyur)
Berdasarkan penggalan puisi di atas dapat diketahui bahwa M.Aan Manyur
menggunakan bahasa figuratif yang menimbulkan efek estetika. Penggalan dari
puisi di atas tergolong ke personifikasi. Menurut Keraf (2015:140) Personifikasi
adalah majas yang menggambarkan benda-benda mati atau barang-barang yang
tidak bernyawa seolah-olah memiliki sifat-sifat manusia.
11
Penggalan puisi diatas dikatakan sebagai personifikasi karena laut dan
langit diibaratkan sebagai benda hidup yang memiliki sifat cemburu. Laut dan
langit adalah dua hal yang tidak akan bisa merasakan cemburu karena cemburu itu
adalah sifat manusia. Tetapi dalam lirik tersebut langit dan laut cemburu kepada
mata seseorang.
Bahasa figuratif dan citraan ini sangat dominan untuk menggambarkan isi
puisi tersebut serta keadaannya yang sekitarnya. Menurut Al-Ma’ruf (2009:79),
citraan berfungsi sebagai gambaran dalam penginderaan dan pikiran, menarik
perhatian, membangkit intelekstualitas dan emosi pembaca dengan cepat sehingga
pembaca seakan berada langsung dalam cerita tersebut. Penggunaan citraan dalam
puisi yang berjudul Belajar Berenang dapat dilihat pada penggalan kutipan berikut
ini.
Kau sungai yang memanjang lalu
melapang sebagai laut karena
khawatir aku jatuh sekali lagi.
(Melihat Api Bekerja, M.Aan Mansyur)
Penggalan puisi di atas menimbulkan citraan tentang penglihatan karena
adanya kata kau sungai yang memanjang. Pembaca seakan-akan melihat sungai
yang panjang hanya dengan membaca kutipan ini. Dengan demikian, citraan
penglihatan digunakan dalam penggalan puisi ini.
M.Aan Mansyur merupakan salah satu pengarang yang karyanya cukup
diperhitungkan dalam perkembangan dunia sastra. Aan mempunyai ciri sendiri
dalam mengungkapkan setiap kata-kata yang ditulisnya dalam sebuah karya sastra.
Kisah hidup ibunya juga ikut mempengaruhi gaya menulis Aan. Relasi emosional
antara dia dan ibunya ia tuangkan dalam sebuah karya sastra. Aan lahir di Bone,
12
Sulawesi Selatan. Kecintaan Aan terhadap dunia tulis-menulis tumbuh saat ia
membaca koleksi buku kakeknya di rumah. Sejak SD, Aan menulis cerita-cerita
pendek. Kemampuan ini terus diasah saat SMP dan SMA. Beberapa majalah atau
tabloid anak dan remaja cukup sering menerbitkan tulisan Aan yang dikirimkan
dengan berbagai nama samara.
Pada tahun 1997, Aan merantau ke Makassar. Dia menghabiskan setahun
pertama untuk mengunjungi beberapa perpustakaan di kota itu. Setahun kemudian,
Aan kuliah di jurusan Sastra Inggris Universitas Hasanuddin. Sejak 2001, ia
bertekad untuk hidup dari menulis. Meski tidak mudah, Aan berjanji tidak mau
keluar kampus sebelum menerbitkan sebuah buku. Menjelang lulus, Aan
menerbitkan buku kumpulan puisinya Hujan Rintih-rintih (2005). Dua tahun
berikutnya, ia menerbitkan novel Perempuan, Rumah Kenangan (2007). Menyusul
kemudian Aku Hendak Pindah Rumah (2008), Cinta yang Marah (2009), Tokoh-
tokoh yang Melawan Kita dalam Satu Cerita (2012), Sudahkah Kau Memeluk
Dirimu Hari Ini? (2012), Kukila (2012), Kepalaku: Kantor Paling Sibuk di Dunia
(2014), dan Melihat Api Bekerja (2015). Karya terbaru Aan adalah sebuah buku
kumpulan puisi berjudul Tidak Ada New York Hari Ini. Aan menulis 31 puisi yang
mewakili cerita Rangga selama terpisah dari Cinta dari film Ada Apa Dengan Cinta
2.
Selain penggunaan bahasa figuratif dan citraan yang jarang digunakan oleh
penyair lainnya dan lebih sering digunakan M.Aan Manyur. Alasan lain yang
membuat peneliti berkeingginan mengkaji kumpulan puisi ini karena kumpulan
puisi yang berjudul Melihat Api Bekerja merupakan kumpulan puisi M.Aan
13
Mansyur yang belum pernah dikaji dengan kajian stilistika. Untuk itu penting
kiranya pengkajian puisi dilakukan terhadap kumpulan puisi Melihat Api Bekerja
karya M.Aan Manyur ini dengan kajian stilistika.
1.2 Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan diatas, dalam mengkaji
sebuah karya sastra tidak dapat dilepaskan dari cara pandang yang bersifat parsial,
maka ketika mengkaji karya sastra, seringkali seseorang akan memfokuskan
perhatiannya hanya kepada aspek-aspek tertentu dari karya sastra. Melalui karya
sastra, pengarang dapat mengungkapkan ide, gagasaan, hingga emosinya
mengenai sebuah permasalahan disekitarnya.
Selain itu juga, karya sastra dapat menjadi sarana untuk mempengaruhi
pemikiran maupun kepribadian pembacanya. Karya sastra seperti puisi dapat
mengekspresikan pemikiran yang membangkitkan perasaan, yang merangsang
imajinasi pancaindra dalam susunan yang berirama. Unsur-unsur pokok yang
harus ada dalam puisi berupa emosi, imajinasi, pemikiran, ide, nada, irama, kesan
panca indera, susunan kata, kata-kata kiasan, kepadatan, dan perasaan yang
bercampur-baur.
Kumpulan puisi Melihat Api Bekerja karya M.Aan Mansyur memaparkan
tentang fenomena-fenomena yang terjadi. Seperti menceritakan tentang
kehidupan, cinta, kerinduan, kenangan dan segala sesuatu yang melekat didalam
dirinya. Kemurnian didalam puisi-puisinya yang menjadi bagian tak terpisahkan
dari dunia. Penyampaian setiap puisinya dalam kumpulan puisi Melihat Api
14
Bekerja juga menggunakan bahasa yang khas dan sederhana serta sangat
bervariasi.
Aspek-aspek tertentu yang berkenaan dengan karya sastra misalnya berkenaan
dengan kajian stilistika yaitu tentang gaya bunyi, gaya kata (diksi), gaya kalimat,
gaya wacana, bahasa figuratif, dan citraan. Latar belakang yang diuraikan di
bagian atas masih tergolong luas dalam jangkauan dan kedalaman penelitian yang
akan dilakukan. Di antara beberapa aspek yang berkenaan tersebut penelitian ini
menggunakan bahasa figuratif dan citraan dengan kajian stilistika. Kajian stilistika
dipilih karena jenis karya sastra yang diteliti oleh penulis adalah kumpulan puisi.
Selain puisi, cerpen juga banyak diteliti dengan kajian stilistika. Dibandingkan
dengan jenis karya sastra yang lain, bahasa yang digunakan dalam puisi lebih
banyak menggunakan bahasa figuratif dan citraan.
1.3 Cakupan Masalah
Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah di atas maka
permasalahan dalam penelitian ini perlu dibatasi. Pembahasan stilistika mencakup
aspek fonem, gaya kata, gaya kalimat, gaya wacana, bahasa figuratif dan citraan.
Pembahasan aspek tersebut masih terlalu luas jika diterapkan di dalam penelitian
ini. Oleh karena itu, cakupan penelitian stilistika tersebut perlu dibatasi hanya pada
tataran aspek bahasa figuratif dan citraan yang ada di dalam kumpulan puisi
Melihat Api Bekerja karya M.Aan Mansyur. Aspek bahasa figuratif meliputi
majas, idiom dan peribahasa. Sementara itu, pengkajian terhadap majas difokuskan
pada majas perbandingan saja.
15
1.4 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, rumusan masalah penelitian ini
adalah sebagai berikut.
1. Bagaimanakah bentuk, makna dan fungsi bahasa figuratif dalam kumpulan
puisi Melihat Api Bekerja karya M. Aan Mansyur?
2. Bagaimanakah bentuk, makna dan fungsi citraan dalam kumpulan puisi
Melihat Api Bekerja karya M. Aan Mansyur?
3. Bagaimanakah hubungan antara bahasa figuratif dan citraan dalam kumpulan
puisi Melihat Api Bekerja karya M. Aan Mansyur?
1.5 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1. Menganalisis bentuk, makna dan fungsi bahasa figuratif dalam kumpulan puisi
Melihat Api Bekerja karya M. Aan Mansyur.
2. Menganalisis bentuk, makna dan fungsi citraan dalam kumpulan puisi Melihat
Api Bekerja karya M. Aan Mansyur.
3. Menganalisis hubungan antara bahasa figuratif dan citraan dalam kumpulan
puisi Melihat Api Bekerja karya M. Aan Mansyur.
1.6 Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian terhadap karya sastra diharapkan mampu menjembatani
pemahaman antara karya sastra dan pembacanya. Ada dua manfaat yang
diharapkan dari hasil penelitian ini, yaitu manfaat teoritis dan manfaat praktis.
16
1) Manfaat Teoretis
a. Kajian Stilistika ini memberikan kontribusi bagi pengembangan ilmu
linguistik terapan dan kajian studi kesusastraan sekaligus dalam analisis
karya sastra sebagai penerapan pengkajian fiksi, dan mampu meletakkan
dasar-dasar bagi penelitian stilistika dalam objek karya sastra yang lain.
b. Bermanfaat bagi kepustakaan studi sastra Indonesia, agar dapat dibaca
serta digunakan untuk kajian sastra lebih lanjut, khususnya puisi.
2) Manfaat Praktis
Manfaat praktis berkaitan dengan apa yang ingin dilakukan peneliti
agar bahasa figuratif dan citraan pada puisi mudah dipahami pembaca.
a. Bermanfaat bagi mahasiswa (baik dari sastra maupun dari linguistik)
sebagai bahan bacaan untuk menambah wawasan tentang kajian
stilistika terhadap puisi.
b. Menambah pengetahuan guru untuk bahan pembelajaran sastra
mengenai bahasa figuratif dan citraan dalam puisi.
c. Membantu pembaca atau peminat puisi untuk lebih memahami bahasa
figuratif dan citraan pada puisi.
17
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA TEORETIS, DAN
KERANGKA BERPIKIR
2.1 Kajian Pustaka
Kajian pustaka ini akan menguraikan beberapa penelitian dan hasil-hasil
yang berkaitan dengan kajian stilistika. Uraian tersebut dimaksudkan untuk
memberikan gambaran singkat mengenai beberapa penelitian terdahulu dan
memberikan gambaran mengenai persamaan dan perbedaan penelitian terdahulu
dengan penelitian ini.
Beberapa penelitian tentang kajian stilistika telah banyak dilakukan dalam
suatu karya sastra seperti puisi, cerpen, novel dan karya sastra lainnya. Dalam hal
ini peneliti menggunakan beberapa penelitian yang relevan yang telah dilakukan
sebelumnya untuk dijadikan kajian pustaka, diantaranya penelitian yang dilakukan
oleh Subadiyono (2008), Akun dan Winnie (2008), Herianah (2009), Nugroho
(2009), Zhang (2010), Widiastuti (2011), Mussayyedah (2012), Yeibo (2012),
Yuliawati, Waluyo dan Mujiyanto (2012), Sulistiowati (2013), Munir, Haryati dan
Mulyono (2013), Wati (2013), Niazy (2013), Mukminin (2014), Widayati (2014),
Aslam (2014), Napireli (2014), Khan (2015), Hanif, Ahmed dan Aftab (2015),
Manurung (2015), Wibowo (2015), Khan, Shaukat (2016), Aisyah dan Noor
(2016), Tiyas (2016), Gizuatullina dan Gulshat (2017), Islam dan Baiq (2017),
Yono (2017) dan Hidayati (2017).
18
Subadiyono (2008) telah melakukan penelitian dengan judul “Telaah
Stilistika terhadap Puisi”. Penelitian ini dimuat dalam Jurnal Lingua (Jurnal Bahasa
dan Sastra) Volume 9, Nomor 2, Juni 2008 tersebut bertujuan untuk menelaah puisi
Hari yang Bergemuruh karya Juniarso Ridwan dan Riau karya Sukirnanto. Hasil
penelitian ini adalah puisi Hari yang Bergemuruh menggunakan kalimat panjang
dengan menonjolkan imaji gerak. Penggunaan kalimat panjang diselaraskan dengan
pengaturan enjabemen, variasi bunyi, pemanfaatan majas personifikasi, simile, dan
metafora yang diatur secara kompak berdasarkan prinsip ekuivalensi membuat puisi
itu menarik dibaca dan mudah dipahami. Sementara puisi Riau cenderung
menggunakan kalimat pendek dan perulangan, pilihan nomina, imaji visual, majas
simile, enjabemen, pronomina orang kedua dan memberi kesan puisi itu padat,
tegas dan bergairah.
Penelitian Subadiyono (2008) dengan penelitian yang dilakukan memiliki
persamaan, yaitu menggunakan kajian stilistika dan objek kajiannya menelaah
puisi. Namun perbedaannya penelitian di atas hanya menelaah dua puisi yaitu Hari
yang Bergemuruh karya Juniarso Ridwan dan Riau karya Sukirnanto sedangkan
yang akan dilakukan menelaah kumpulan puisi Melihat Api Bekerja karya M. Aan
Mansyur.
Penelitian yang dilakukan Winnie dan Akun (2008) dengan judul “The
Study Of Figurative Languages Using Stylistics Theory In What My Mother
Doesn’t Know By Sonya Sones”. Penelitian ini dimuat dalam Jurnal LINGUA
CULTURA Vol.2 No.2 November 2008: 156-165. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui apakah gaya penulisan puitik mampu menyampaikan pesan kepada
19
pembaca. Penelitian ini memfokuskan bahasan pada tema, metafora,
personifikasi, paradok, dan hiperbola yang dibahas menggunakan metode
kualitatif dengan mencari berapa banyak puisi yang mengandung kalimat
figuratif yang sesuai tema. Hasilnya, 91.36% membuktikan bahwa gaya
penulisan ini mampu menyampaikan pesan kepada pembaca.
Penelitian yang dilakukan Winnie dan Akun (2008) secara jelas
memanfaatkan teori gaya bahasa aspek bahasa figuratif. Berbeda dengan
penelitian tersebut, penelitian yang akan dilakukan tidak hanya fokus pada kajian
aspek bahasa figuratif saja tetapi juga mengkaji aspek citraan.
Herianah (2009) dengan judul “Gaya Bahasa dalam Elong Ugi Pammulang
Elong” merupakan penelitian stilistika. Penelitian yang dimuat dalam jurnal
SAWEGARING Volume 15, No 3, Desember 2009. Elong Ugi merupakan suatu
karya sastra orang Bugis yang sudah memasyarakat ditengah-tengah masyarakat
Bugis sejak zaman dahulu. Pada umumnya, elong Ugi terdiri atas baris-baris yang
disebut larik. Larik berkorespondensi dengan larik-larik berikutnya dan
membentuk suatu kesatuan yang disebut bait. Kata-kata yang digunakan dalam
elong adalah kata-kata yang bersifat figuratif atau kiasan. Cara menyampaikan
pikiran atau perasaan ataupun maksud-maksud lain menimbulkan gaya bahasa.
Oleh karena itu tulisan ini membahas tentang penggunaan gaya bahasa dalam
Elong Ugi Pammulang Elong. Dalam elong ini ditemukan beberapa gaya bahasa
yaitu metafora, antitesis, hiperbola, litotes, metonimia, dan repetisi.
Penelitian Herianah (2009) berbeda dengan penelitian yang dilakukan meski
mengkaji stilistika dalam syair atau puisi. Perbedaan tersebut tampak pada objek
20
kajiannya. Penelitian Herianah mengkaji gaya bahasa secara keseluruhan.
Penelitian yang akan dilakukan hanya mengkaji aspek bahasa figuratif dan citraan.
Nugroho (2009) melalukan penelitian dengan judul “The Famous Poet in
Harpur’s Poem”. Penelitian ini terdapat dalam Jurnal Atavisme Vol 12, No 1
(2009). Penelitian ini bertujuan mengkaji karya sastra melalui analisis stilistika
berdasarkan ilmu bahasa fungsional sistemik dan sistem semiotik karya sastra.
Metode penelitian menggunakan studi pustaka, metode deskriptif, dan pendekatan
intrinsik objektif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa analisis semantik
menghasilkan makna bahasa latar belakang (the automatized linguistic
meaning)dan makna bahasa latar depan (the foregrounded linguistic meaning).
Makna pertama menghasilkan masalah utama (subject matter) dan makna kedua
menghasilkan makna sastra (literary meaning). Makna sastra menghasilkan tema.
Masalah utama berkisah tentang harmoni, makna sastra tentang ketenaran Shelley,
dan tema tentang seorang penyair terkenal. Persamaan penelitian ini yaitu
menggunakan kajian stilistika dan puisi sebagai objek kajiannya.
Penelitian tentang stilistika dilakukan oleh Zhang (2010) dengan judul “The
Interpretation of a Novel by Hemingway in Terms of Literary Stylistics”. Penelitian
ini dimuat dalam The International Journal of Language Society and Culture. Issue
30, 2010 membahas interpretasi novel karya Hemingway dengan gaya literal. Hasil
penelitian ini menyatakan bahwa gaya bahasa dan sastra merupakan jembatan yang
menghubungkan antara linguistik dan kritik sastra. Penelitian ini menyebutkan
bahwa tema, nada, sikap, dan nilai estetik yang dihasilkan oleh bentuk-bentuk
linguistik pengarang dapat meningkatkan kekuatan afektif atau emotif dari pesan,
21
sehingga berkontribusi untuk karakterisasi dan membuat fungsi realitas fiksi dan
menjadi efektif.
Penelitian Zhang (2010) memiliki persamaan dengan penelitian yang di
lakukan yaitu menggunakan kajian stilistika. Namun perbedaannya penelitian di
atas mengkaji tentang novel yang fokus penelitiannya pada penyimpangan kata
benda dan kata kerja, serta struktur repitisi yang digunakan untuk menunjukkan
tema pokok dalam novel. Adapun penelitian ini objek kajiannya yaitu kumpulan
puisi dan fokus pada bahasa figuratif dan citraan.
Penelitian yang dilakukan Widiastuti (2011) dengan judul “Gaya Bahasa
dalam Lirik Lagu Hidup Iv - Ebiet G ade: Kajian Stilistika. Penelitian ini dimuat
dalam jurnal SAWEGARING Volume 17, No 3, Desember 2011. Dalam penelitian
ini mengkaji tentang penggunaan gaya bahasa dalam lirik lagu Hidup IV karya
Ebiet G Ade melalui kajian stilistika. Bahasa lirik lagu merupakan bentuk ekspresi
emotif yang diwujudkan dalam bentuk bunyi dan kata. Metode yang digunakan
adalah metode deskriptif kualitatif sedangkan tujuan penelitian ini adalah untuk
mendeskrisikan penggunaan gaya bahasa dalam lirik lagu Hidup IV. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa penggunaan gaya bahasa dalam lagu tersebut
didominasi oleh penggunaan gaya bahasa personifikasi. Selain itu, terdapat pula
penggunaan gaya bahasa sinekdoke dan eufemisme.
Penelitian Widiastuti (2011) berbeda dengan penelitian yang dilakukan
meski mengkaji stilistika. Perbedaan tersebut tampak pada objek kajiannya.
Penelitian Widiastuti mengkaji gaya bahasa secara keseluruhan di dalam lirik lagu
Hidup Iv - Ebiet G ade sedangkan penelitian yang akan dilakukan mengkaji aspek
22
bahasa figuratif dan citraan dalam kumpulan puisi Melihat Api Bekerja Karya
M.Aan Mansyur.
Kajian stilistika mengenai puisi dilakukan oleh Musayyedah (2012), dengan
judul penelitian “Gaya Bahasa Metafora dalam Puisi Bulan Luka Parah karya
Husni Djamaluddin”. Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan gaya bahasa
metafora yang digunakan Husni Djamaluddin dalam kumpulan puisinya Bulan
Luka Para. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan
variabel penelitian gaya bahasa metafora yang terdapat dalam kumpulan puisi
tersebut. Pengumpulan data menggunakan teknik-teknik intervaritasi, simak dan
pencatatan. Prosedur penganalisisan data adalah mengidentifikasi, menyajikan,
menyimpulkan data. Hasil penelitian menunjukan bahwa dalam kumpulan puisi
Bulan Luka Parah ditemukan jenis gaya bahasa metafora yang paling sering
digunakan oleh Husni Djamaluddin, yaitu gaya bahasa metafora, yang terdiri dari
(a)klausa metafora, dan (b) frasa metafora. Penelitian ini masih sama dengan
penelitian yang dilakukan yaitu menggunakan kajian stilistika. Sedangkan
perbedaannya terdapat pada fokus penelitian. Penelitian ini terfokuskan pada gaya
bahasa metafora dan penelitian yang dilakukan terfokuskan pada bahasa figuratif
dan citraan pada kumpulan puisi Melihat Api Bekerja karya M.Aan Mansyur.
Penelitian yang dilakukan Yeibo (2012) dengan judul “Figurative Language
and Stylistic Function in J. P. Clark-Bekederemo's Poetry”. Penelitian ini dimuat di
Journal of Language Teaching and Research, Vol. 3, No. 1, Januari 2012. Dalam
penelitian ini ditemukan bahwa bahasa figuratif yang digunakan berfungsi untuk
meningkatkan nilai estetik, terkait dengan situasi dan fungsi tekstual. Hasil
23
penelitian mengungkapkan bahwa fitur puisi yang signifikan, penulis telah sengaja
menggunakan bahasa figuratif ini untuk secara efektif menyebutkan makna dari
teks yang sedang dipelajari juga mencapai nilai estetika dalam kaitannya dengan
konteks situasi dan fungsi tekstual.
Persamaan penelitian Yeibo (2012) dengan penelitian ini yaitu mengkaji
stilistika dalam sebuah karya sastra. Namun perbedaannya penelitian diatas hanya
terfokus pada bahasa figuratif, sedangkan dalam penelitian ini turut dikaji pula
tentang citraan. Dengan demikian, penelitian ini saling melengkapi.
Penelitian kajian stilistika juga dilakukan oleh Yuliawati, Waluyo dan
Mujiyanto (2012) dengan judul “Analisis Stilistika dan Nilai Pendidikan Novel
Bumi Cinta Karya Habiburrahman El Shizary”. Penelitian ini dimuat dalam jurnal
BASASTRA (Jurnal Penelitian Bahasa, Sastra Indonesia, dan Pengajarannya)
Volume 1, Nomor 1, Desember 2012. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif
kualitatif. Metode yang digunakan adalah metode analisis isi.
Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis mengalir, yang
meliputi: pengumpulan data, reduksi data, display data, dan penarikan kesimpulan.
Temuan penelitian adalah sebagai berikut: (1) bentuk-bentuk retorika dalam novel
Bumi Cinta melibatkan menggunakan bahasa kiasan dan pencitraan. Beberapa
bahasa yang digunakan dalam novel Bumi Cinta adalah bahasa kiasan simbolik.
Bahasa kiasan meliputi simile, personifikasi, metafora, apostrof, hiperbola, ironi,
sinisme, sarkasme, paradox, polisindeton, pars pro toto, dan metanimia. Sementara
itu pencitraan dalam novel Bumi Cinta meliputi visual, auditorial, kinestetik,
penciuman, taktil dan perasaan. (2) keunikan diksi dapat dilihat dari penggunaan
24
bahasa Rusia, Inggris, Arab, Jawa dan pemilihan idiom ;(3) nilai-nilai pendidikan
yang ada dalam novel Bumi Cinta meliputi: agama, nilai-nilai moral, dan social.
Nilai-nilai agama dalam novel tersebut termasuk iman, takwa, rasa syukur,
ketulusan, dan kejujuran. Nilai-nilai moralnya adalah memiliki semangat yang
tinggi, pengorbanan, berpikir positif, meliputi janji, rendah hati, tekat yang kuat dan
kerja sama. Sementara itu nilai-nilai sosial yang terkandung di dalamnya termasuk
menghormati satu sama lain, saling membantu, diskusi, tanggung jawab, dapat
dipercaya dan perhatian.
Penelitian Yuliawati, Waluyo dan Mujiyanto (2012) dengan penelitian ini
memiliki persamaan yaitu menggunakan kajian stilistika pada karya sastra dan
diantaranya menelaah bahasa figuratif dan citraan. Sementara itu perbedaannya,
penelitian di atas menganalisis novel sedangkan penelitian ini menganalisis
kumpulan puisi. Dengan demikian, penelitian ini akan saling meengkapi hasil
penelitian sebelumnya mengenai kajian stilistika dalam karya sastra.
Penelitian serupa juga dilakukan oleh Sulistiowati (2013) dengan judul
“Novel Gadis Pantai Karya Pramoedya Ananta Toer: Kajian Stilistika”. Penelitian
ini dimuat dalam jurnal PUBLIKA BUDAYA Vol 1(1) Juli 2013. Penelitian ini
mengidentifikasikan dan mendeskripsikan keterkaitan unsur-unsur struktural dan
kajian stilistika yang terdapat dalam novel “Gadis Pantai” karya Pramoedya
Ananta Toer. Tujuan penelitian ini adalah mengembangkan ilmu pengetahuan yang
mengkaji ilmu-ilmu sastra khususnya kajian stilistika. Hasil dari analisis novel
“Gadis Pantai” Karya Pramoedya Ananta Toer: Kajian Stilistika ini menunjukkan
efek estetika yang digunakan dalam pemakaian diksi, gaya bahasa,dan tuturan
25
idiomatik. Novel ini menggambarkan kesenjangan sosial antara kaum borjuis dan
kaum proletar. Pengarang mencoba mengulas kembali pengalamannya melalui
novel ini yang diwakili oleh tokoh Gadis Pantai dan Bendoro. Gadis Pantai berasal
dari kalangan kelas bawah, ia tinggal di daerah pesisir pantai kampung nelayan,
sedangkan Bendoro berasal dari kalangan kelas atas (golongan priyayi).
Persamaan penelitian Sulistiowati (2013) dengan penelitian dengan yang
dilakukan yaitu menggunakan kajian stilistika diantaranya bahasa figuratif dalam
karya sastra. Namun perbedaan penelitian diatas menganalisis novel sedangkan
penelitian ini menganalisis kumpulan puisi serta penelitian yang akan dilakukan
menelaah tentang citraan. Dengan demikian, penelitian ini akan saling meengkapi
hasil penelitian sebelumnya mengenai penelitian stilistika dalam karya sastra.
Munir, Haryati dan Mulyono (2013) melakukan penelitian dengan judul
“Diksi dan Majas dalam Kumpulan Puisi Nyanyian dalam Kelam Karya Sutikno
W.S: Kajian Stilistika”. Penelitian ini dimuat dalam jurnal Sastra Indonesia,
Volume 2, Nomor 1, 2013. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui penggunaan
diksi dan majas serta fungsinya. Pendekatannya menggunakan pendekatan
stilistika. Data penelitiannya yaitu data deskriptif yang berupa frasa, kata dan
kalimat dalam kumpulan puisi Nyanyian dalam Kelam karya Sutikno W.S. Hasil
penelitian ini membuktikan adanya wujud penggunaan diksi dan majas serta
fungsinya. Diksi yang dimaksud seperti kata serapan dari bahasa Jawa, bahasa
Asing dan pemanfaatan sinonim. Majas yang dimaksud adalah perbandingan,
metafora, perumpamaan, epos, personifikasi, metonimia, sinekdoke, dan alegori.
26
Persamaan penelitian Munir, Haryati dan Mulyono (2013) dengan
penelitian yang dilakukan yaitu menggunakan kajian stilisitika dan objek
penelitiannya yaitu sama-sama pada kumpulan puisi. Namun, perbedaannya
penelitian ini menganalisis tentang diksi yang dominan dalam puisi Nyanyian
dalam Kelam karya Sutikno W. S. Adapun penelitian ini menelaah tentang bahasa
figuratif dan citraan dalam kumpulan puisi Melihat Api Bekerja karya M. Aan
Mansyur. Dengan demikian, penelitian ini akan saling melengkapi hasil penelitian
sebelumnya mengenai penelitian stilistika dalam karya sastra.
Wati (2013) melakukan penelitian dengan judul “Tinjauan Stilistika dalam
Novel Sumpahmu Sumpahku Karya Naniek P.M”. Penelitian ini dimuat dalam
Jurnal Pendidikan Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa, Volume 3, Nomor 2,
November 2013 tersebut bertujuan untuk mendeskripsikan diksi, struktur kalimat,
gaya bahasa, dan pencitraan dalam novel Sumpahmu Sumpahku karya Naniek P. M.
Jenis penelitian adalah deskriptif kualitatif dengan subjek penelitian berupa novel
Sumpahmu Sumpahku karya Naniek P.M dan objek berupa tinjauan stilistika
mencakup diksi, struktur kalimat, gaya bahasa, dan pencitraan. Teknik
pengumpulan data menggunakan teknik observasi dan teknik dokumentasi.
Instrumen penelitian yaitu peneliti sendiri dibantu kartu pencatat data. Teknik
analisis data menggunakan teknik analisis isi. Dari hasil penelitian, disimpulkan
bahwa (1) diksi dalam novel Sumpahmu Sumpahku karya Naniek P. M. meliputi
jargon dan peribahasa. (2) struktur kalimat dalam novel Sumpahmu Sumpahku
karya Naniek P. M. meliputi klimaks, paralelisme, antitesis, dan repetisi. (3) gaya
bahasa dalam novel Sumpahmu Sumpahku karya Naniek P. M. meliputi simile atau
27
persamaan, metafora, personifikasi, sinekdoke, metonimia, eufimisme, litotes,
pleonasme, tautologi, dan hiperbola. (4) pencitraan dalam novel Sumpahmu
Sumpahku karya Naniek P. M. meliputi penglihatan, pendengaran, gerakan,
penciuman, dan peraba.
Berdasarkan hasil penelitian, disimpulkan bahwa tinjauan stilistika yang
mencakup diksi dalam novel Sumpahmu Sumpahku karya Naniek P.M. meliputi
jargon dan peribahasa. Struktur kalimat dalam novel Sumpahmu Sumpahku karya
Naniek P.M. meliputi gaya bahasa klimaks, paralelisme, antitesis, dan repitisi. Gaya
bahasa dalam novel Sumpahmu Sumpahku karya Naniek P.M meliputi gaya bahasa
persamaan atau simile, metafora, personifikasi, sinekdoke, metonimia, eufimisme,
litotes, pleonasme, tautologi, dan hiperbola. Pencitraan dalam novel Sumpahmu
Sumpahku karya Naniek P.M meliputi pencitraan penglihatan, pendengaran,
gerakan, penciuman dan peraba.
Persamaan penelitian Wati (2013) dengan penelitian yang dilakukan yaitu
menggunakan kajian stilistika diantaranya citraan. Namun, perbedaannya
penelitian di atas objek kajiannya novel Sumpahmu Sumpahku karya Naniek P.M
sedangkan yang akan dilakukan yaitu kumpulan puisi Melihat Api Bekerja karya
M. Aan Mansyur.
Penelitian selanjutnya dilakukan oleh Niazy (2013) mengenai “A Stylistic
Analysis of D.H. Lawrence’s ‘Sons and Lovers”. Penelitian ini dimuat dalam
International Journal of Applied Linguistics & English Literature ISSN 2200-3592
Vol. 2 No. 4 July 2013. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis teks dari D.H.
Lawrence berjudul ‘Sons dan Lovers’ yang menggunakan pendekatan gaya bahasa.
28
Gaya bahasa adalah studi tentang penggabungan bentuk dengan konten. Unsur-
unsur mendefinisikan bahasa modern dalam teks itu sendiri, bukan ditentukan dari
luar. Dalam analisis terhadap teks ‘Sons and Lovers’ yang bersumber dari bahasa:
leksikal, sintaksis, fonologi, bahasa kiasan, kohesi dan koherensi, dibahas dalam
kaitannya dengan gaya wacana untuk mengeksplorasi makna tersembunyi dalam
teks. Sumber daya bahasa yang terbukti menjadi bagian penting dari makna novel.
Penelitian Niazy meski sama-sama mengkaji stilistika dalam karya sastra, namun
memiliki perbedaan dengan penelitian ini. Perbedaannya terletak pada fokus kajian
yang akan diteliti. Penelitian Niazy mengkaji seluruh aspek yang terdapat dalam
kajian stilistika, sedangkan penelitian ini hanya mengkaji aspek bahasa figuratif dan
citraan.
”Stilistika Novel Para Priyayi Karya Umar Kayam” merupakan penelitian
Mukminin (2014). Penelitian ini dimuat dalam jurnal EDU-KATA, Vol. 1, No. 1,
Februari 2014: 91-100. Tujuan Penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan diksi
dalam novel, mendeskripsikan gaya kalimat dalam novel, mendeskripsikan gaya
bahasa kiasan dalam novel, seperti (a) gaya bahasa Personifikasi, (b) gaya bahasa
Simile (Asosiasi), (c) gaya bahasa Metafora, selanjutnya aspek citraan dalam novel
dan yang terakhir mendeskripsikan sarana retoris dalam novel Para Priyayi karya
Umar Kayam. Metode penelitian menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan
strukturalisme–semoitik dan teknik hermeneutik. Hasil penelitian Pertama kajian
fungsi gaya bahasa pada tataran pilihan kata (unsur-unsur diksi) mempunyai relasi
dengan tokoh dan latar. Sebagaimana prinsip strukturalisme, yaitu adanya
relasional antaraunsur, relasional antar unsur gaya bahasa (dalam hal ini diksi),
29
relasional antar tokoh, dan relasional antarlatar. Kedua, kajian gaya kalimat yaitu
kalimat panjang digunakan pengarang terutama untuk menggambarkan suasana,
melukiskan keadaan alam, atau mendeskripsikan tokoh dan pilihan penggunaan
kalimat pendek mempunyai efek kesederhanaan. Ketiga, kajian gaya bahasa kiasan
(Figuratif) yang sengaja diciptakan untuk memperoleh efek estetis untuk
menggambarkan latar cerita. Keempat, Kajian citraan bahwa aspek citraan atau
image dalam dalam novel Para Priyayi terdapat citraan penglihatan dan citraan
warna setempat (local color) digunakan untuk menekankan latar cerita dan apek
estetis sehingga pembaca seolah-olah melihatnya sendiri. Kelima, Dalam novel
Para Priyayi sarana retoris penggunaan sarana retoris pada teks novel Para Priyayi
menimbulkan keindahan atau efek estetis dan mempunyai relasi (relasional) dengan
alur cerita.
Penelitian Mukminin (2014) dengan penelitian yang dilakukan memiliki
persamaan yaitu mengkaji stilistika dalam sebuah karya sastra. Perbedaannya,
penelitian diatas terfokus pada bahasa figuratif sedangkan dalam penelitian ini
turut dikaji pula mengenai citraan dan penelitian di atas menganalisis novel
sedangkan penelitian yang akan dilakukan yaitu menganalisis kumpulan puisi.
Widayati (2014) melakukan penelitian dengan judul “Language of Poetries
Balada Orang-Orang Tercinta, Empat Kumpulan Sajak, Blues Untuk Bonnie, and
Sajak-Sajak Sepatu Tua Written By W.S. Rendra”. Penelitian ini dimuat dalam
International Journal of Linguistics Vol. 6, No. 3, 2014, ISSN 1948-5425.
Penelitian tersebut menggunakan metode deskriptif kualitatif dan teknik analisis
data menggunakan metode struktural semiotik dengan hermeneutika. Berdasarkan
30
hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan. (1) puisi W.S Rendra menunjukan
pengunaan khusus bahasa dalam aspek fonem, diksi, dan kosa kata, bahasa kiasan,
citraan, dan perangkat retoris, (2) kekhasan dalam penggunaan aspek tersebut
bertujuan untuk menghasilkan efek estetika sehingga bahasa puisi yang lebih indah,
menarik, dan segar tapi tidak membosankan, (3) efek dari penggunaan aspek
tersebut juga menghasilkan deskripsi konkret gagasan yang disampaikan oleh
penulis puisi sehingga maknanya menjadi lebih jelas.
Persamaan penelitian Widayati (2014) dengan penelitian yang dilakukan
yaitu menelaah citraan dan fungsi citraan. Namun, perbedaannya penelitian diatas
juga menelaah penggunaan khusus bahasa dalam aspek fonem, diksi, kosa kata,
bahasa kiasan, citraan, dan perangkat retoris dalam puisi Balada Orang-Orang
Tercinta, Empat Kumpulan Sajak, Blues Untuk Bonnie, and Sajak-Sajak Sepatu Tua
Written karya W.S. Rendra. Adapun penelitian yang akan dilakukan ini menelaah
bahasa figuratif dan citraan serta fungsi-fungsinya dalam kumpulan puisi Melihat
Api Bekerja karya M.Aan Mansyur.
Sementara itu, Aslam, Bushra Aslam, Paras Mukhtar dan Arooj Sarfaraz
(2014) menganalisis stilistika dengan judul “Stylistics Analysis of The Poem Bereft
by Robert Frost”. Penelitian ini dimuat dalam European Journal of Research and
Reflection in Arts and Humanities Vol. 2 No. 1, 2014. Penelitian tersebut
mengemukakan bahwa puisi “Bereft” yang diteliti menceritakan tentang perasaan
kesendirian seseorang. Orang tersebut merasa sendiri tidak hanya di rumahnya,
namun juga di dunia ini. Semuanya bahkan tampak memusuhinya, tapi dia
mempunyai iman yang kuat pada Tuhan. Penyair menggunakan metafora dan
31
personifikasi untuk menunjukkan kekejaman alam. Ada juga sinar harapan dalam
puisi ini. Puisi tersebut menyiratkan bahwa meskipun dibayang-bayangi dengan
rasa takut dan kesepian, jika seseorang masih beriman maka ia tidak akan pernah
merasakan ketakutan tersebut. Persamaan penelitian tersebut dengan penelitian
yang akan dilakukan adalah sama-sama mengkaji stilistika dalam sebuah karya
sastra. Perbedaannya, penelitian tersebut terfokus pada gaya bahasa yang
digunakan, sedangkan dalam penelitian ini turut dikaji pula mengenai citraan yang
terdapat dalam kumpulan puisi Melihat Api Bekerja karya M.Aan Mansyur. Oleh
karena itu, penelitian ini akan sangat melengkapi penelitian sebelumnya bidang
stilistika dalam karya sastra.
Napireli (2014) meneliti stilistika berjudul “Stylistic Categories, Based on
the Poem Die schlesischen Weber by Heinrich Heine”. Penelitian ini dimuat dalam
European Researcher Vol.70 (3). Hasil penelitiannya adalah puisi tersebut terbukti
menarik dari sudut pandang gaya dan merupakan contoh sempurna dari kategori
gaya. Puisi tersebut ternyata sangat kaya dalam majas dan perangkat sintaksis.
Penelitian yang dilakukan Napireli tertuju pada metafora (metafora memperkuat
makna bahasa, menghiasi dan pada saat bersamaan ungkapkan pandangan narator
tentang objek dan fenomena). Berdasarkan hal tersebut, penelitian Napireli meski
sama-sama mengkaji stilistika memiliki perbedaan dengan penelitian yang
dilakukan. Perbedaan tersebut yaitu pada aspek kajiannya. Penelitian Napiteli
hanya difokuskan pada kajian metafora dan gaya kalimat, penelitian ini mengkaji
bahasa figuratif dan citraan.
32
Khan, Abdul Bari., Madiha Ahmad., Sofia Ahmad dan Nida Ijaz (2015)
melakukan penelitian berjudul “Stylistic Analysis of the Short Story ‘The Last
Word’ by Dr. A. R. Tabassum”. Penelitian ini dimuat dalam Jurnal Advances in
Language and Literary Studies Vol. 6 (3) hal. 11-23. Dalam artikel penelitian ini
dikaji gaya bahasa cerita pendek ‘The Last Word’ karya Dr. A. R. Tabassum.
Formatif unsur cerita, seperti sudut pandang, karakter dan elemen alegoris, dibahas
secara rinci sehingga dapat memberikan wawasan yang lebih baik dari cerita. Gaya
cerita dianalisis dalam hal kiasan makna gramatikal, leksikal dan skema fonologi,
kemudian dianggap mengikuti daftar kategori linguistik dan gaya. Fitur
pengulangan , paralelisme, aliterasi, harmoni, asonansi dan sajak difokuskan. Fokus
utama penelitian Khan adalah gaya bahasa secara luas. Tetapi, hanya gaya bahasa
yang dilakukan Khan, penelitian ini tidak mengkaji permajasan saja tetapi aspek
bahasa figuratif dan citraan juga turut dikaji.
Hanif, Sidra., Mumtaz Ahmed dan Maria Aftab (2015) juga melakukan
penelitian dengan judul “A Stylistic Analysis of William Henry Davies’ Leisure”.
Penelitian ini dimuat dalam Journal of Literature, Languages and Linguistics, An
International Peer-reviewed Journal Vol.7, 2015, ISSN 2422-8435. Penelitian
tersebut membantu dalam memahami konsep dasar puisi. Analisis gaya dari puisi
“Leisure” dari W.H. Davies. Pola sintaksis, fonologi, morfologi, dan graphological.
Kesimpulan dalam penelitian ini bahwa “Leisure” adalah salah satu karya yang
indah sepanjang masa. Tema puisi adalah untuk menikmati alam setelah
meninggalkan mekanik hidup. Puisi menunjukkan kasih penyair terhadap alam.
W.H. Davies menggunakan perangkat gaya dan sastra yang indah. Analisis stilistik
33
Leisure telah menunjukkan bahwa kita mendefinisikan sastra ada perbedaan mutlak
antara bahasa puitis dan bukan bahasa puitis. Analisis ini membantu pembaca untuk
memahami pesan. Penyair menggunakan pola sajak indah dalam puisinya untuk
menyampaikan pikirannya. Analisis yang dibuat di bawah pola graphologi,
sintaksis, semantik dan fonologi.
Persamaan penelitian Hanif, Sidra., Mumtaz Ahmed dan Maria Aftab
(2015) dengan penelitian yang dilakukan yaitu menggunakan kajian stillistika untuk
menganalisis karya sastra. Namun, perbedaannya penelitian di atas menggunakan
kajian stilistika dari sudut pandang linguistik, objek kajiannya berupa puisi, dan
membahas bagaimana hasil analisis graphologi, sintaksis, semantik dan fonologi
dapat mengetahui makna puisi dan mengetahui apa yang ingin disampaikan
penyair. Adapun penelitian yang akan dilakukan menggunakan kajian stilistika dari
sudut pandang sastra, objek kajiannya berupa puisi dan membahas bahasa figuratif
dan citraan dalam kumpulan puisi Melihat Api Bekerja karya M.Aan Mansyur.
Manurung (2015) melakukan penelitian dengan novel sebagai kajian.
Penelitian ini berjudul “Gaya Bahasa Enkyokuhou Dalam Novel Nihon Kogyou
Ginkou Karya Ryo Takasug “ . Penelitian bertujuan untuk memaparkan percakapan
yang menggunakan gaya bahasa enkyokuhou oleh bawahan (buka) kepada atasan
(joshi). Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan wawancara dan novel
Nihon Kogyou Ginkou karya Ryo Takasugi untuk memahami konsep jougekankei
gaya bahasa enkyokuhou. Analisis penelitian menggunakan metode interpretatif
dan metode deskriptif. Berdasarkan analisis data, disimpulkan bahwa enkyokuhou
terbagi dalam lima fungsi, yaitu untuk menekankan klaim atau tuntutan,
34
menekankan permintaan, menyatakan pikiran secara tidak langsung atau
permintaan pasif, menyatakan secara tidak langsung suatu sindiran, dan mengganti
perkataan atau pernyataan dengan kata yang lain (benda maupun peristiwa).
Perbedaan penelitian Manurung dengan penelitian yang dilakukan yaitu terletak
pada objek kajiannya.
Wibowo (2015) melakukan penelitian dengan judul “A Stylistic Study on
the Literary of Ki Padmasusastra Holistic Critique Perspective”. Penelitian ini
terdapat dalam International Journal of Language and Linguistics Vol. 2, No.5:
November 2015. Studi gaya ini mengeksplorasi keunikan dan khusus dari
penggunaan bahasa yang diberikan oleh Ki Padmasusastra dalam karya sastra. Ki
Padmasusastra adalah seorang penulis terkenal. Kontribusinya untuk kemajuan
bahasa Jawa, karya sastra dan budaya sangat besar. Karakteristik yang kuat dalam
bukunya kepenulisan berhasil menyebabkan ketenarannya sebagai seorang penulis.
Berdasarkan hasil penelitian, pola suara bahasa yang dominan muncul adalah
purwakanthi guru swara atau aspek assonance, purwakanthi guru sastra atau
aliterasi aspek dan lumaksita purwakanthi. Dalam hal ini struktur morfologi,
pembentukan kata penggunaan kata cenderung berusaha bentuk-bentuk kata yang
memiliki nilai kuno. Pilihan kata atau diksi bervariasi seperti penggunaan kata-kata
Kawi. Keunikan dalam hal diksi yang melibatkan sentukan pribadi penulis adalah
pada penamaan penulis dengan penulis. Keunikan sintaks, keunikan penggunaan
metafora dan simile selain menyadari aspek estetika, mereka juga dapat membuat
beton ide seorang penulis berarti menyampaikan kepada pembaca serta
mempercantik itu pada waktu yang sama. Gambaran dari stroty melalui aspek ini
35
membuat kisah nyata dan hidup. Penelitian ini masih dalam kajian yang sama
dengan penelitian yang dilakukan yaitu kajian stilistika. Perbedaannya yaitu
penelitian ini terfokuskan kepada diksi sedangkan penelitian yang dilakukan
terfokuskan pada bahasa figuratif dan citraan dalam puisi.
Khan, Shaukat., Sumaira Jehandeb., Irfan Ullah dan Muhammad Irfan
(2016) mengkaji stilistika dengan judul “A Stylistic Analysis Of “The Rime Of The
Ancient Mariner”. Penelitian ini dimuat dalam English Review: Journal of English
Education, 5(1), 31-48. Tujuan penelitian ini adalah untuk menunjukan akses
mudah ke dunia sajak yang tidak umum atau kontemporer melalui jalur linguistik
yang diletakkan dengan batu-batu kuno tata bahasa dan kosakata yang akrab.
Dengan demikian bearti dalam penelitian ini puisi akan dikaji secara tepat oleh
seorang ilmuwan sosial dan ahli bahasa. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa
Balada Samuel Taylor Coleridge yang terkenal, “The Rime Of The Ancient
Mariner”, menjadi puisi yang banyak dibaca dan menampilkan berbagai fitur gaya.
Pesan estetika sang penyair dieksplorasi dengan menganalisis rincian terbaik dari
ekspresi linguistiknya. Penelitian Khan, Shaukat, dkk, meski secara sekilas
menunjukan kajian yang komprehensif, namun tetap terdapat kelemahan. Kajian
yang dilakukan meskipun fokus pada analisis stilistika tetapi tidak menunjukan
hasil yang jelas. Hal itu tampak pada fitur-fitur gaya yang ditemukan. Fitur tersebut
tidak diklasifikasikan secara lebih jelas sesuai dengan fitur temuannya.
Selanjutnya penelitian yang dilakukan oleh Aisyah dan Noor (2016) dengan
judul “Ketidaklangsungan Ekspresi Dalam Kumpulan Puisi Manusia Istana Karya
Radhar Panca Dahana: Kajian Stilistika”. Penelitian ini dimuat dalam Jurnal
36
Bahasa, Sastra, dan Pengajarannya, ISSN 2527-4104 Vol. 1 No.2, 1 Oktober 2016.
Penelitian ini bertujuan untuk (a) mendeskripsikan metafora dan metonimi pada
kumpulan puisi Manusia Istana karya Radhar Panca Dahana, yang merupakan
ketidaklangsungan ekspresi puisi yang disebabkan oleh penggantian arti; (b)
mendeskripsikan keambiguitasan, kontradiksi, dan nonsense pada kumpulan puisi
Manusia Istana karya Radhar Panca Dahana, yang merupakan ketidaklangsungan
ekspresi puisi yang disebabkan oleh penyimpangan arti, dan (c) mendeskripsikan
persajakan (rima), enjambemen dan tipografi pada kumpulan puisi Manusia Istana
karya Radhar Panca Dahana, yang merupakan ketidaklangsungan ekspresi puisi
yang disebabkan oleh penciptaan arti.
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
stilistika dengan menggunakan metode kualitatif. Sumber data yang digunakan
dalam penelitian ini adalah puisi Manusia Istana karya Radhar Panca Dahana yang
diterbitkan oleh PT Bentang Pustaka Yogyakarta tahun 2015 dengan tebal 166
halaman dengan 32 judul puisi. Adapun judul puisi yang dianalisis sebanyak 5 buah
judul puisi. Teknik yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik dokumentasi.
Hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa analisis ketidaklangsungan
ekspresi terhadap lima judul puisi karya Raddhar Panca Dahana terdiri atas: (a)
Penggantian arti yang terdiri dari: tujuh buah metafora dan sembilan buah
metonimi; (b) Penyimpangan arti yang terdiri dari: sepuluh buah keambiguitasan,
lima buah kontardiksi, dan enam buah nonsense, dan (c) Penciptaan arti yang terdiri
dari: rima dengan konsonan h, k, m dan vocal a, i, u yang mendominasi, empat buah
enjambemen, dan tipografinya menggunakan huruf besar-kecil, menggunakan
37
banyak tanda baca, sebagian lariknya menjorok ke dalam, sebagian puisi
menggunakan angka-angka.
Persamaan penelitian yang dilakukan oleh Aisyah dan Noor (2016) dengan
penelitian yang dilakukan yaitu menggunakan kajian stilistika. Namun,
perbedaannya penelitian di atas objek kajiannya yaitu kumpulan puisi Manusia
Istana karya Radhar Panca Dahana yang terdiri dari 32 judul puisi tetapi yang di
analisis hanya 5 judul puisi saja sedangkan yang akan dilakukan yaitu kumpulan
puisi Melihat Api Bekerja karya M. Aan Mansyur yang terdiri dari 54 judul puisi
dan semuanya di analisis.
Tiyas (2016) dengan judul “Analisis Stilistika dan Nilai Pendidikan
Karakter dalam Puisi Sepilihan Sajak Hujan Bulan Juni Karya Sapardi Djoko
Damono Serta Relevansinya dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia di SMA”.
Penelitian ini bertujuan untuk (1) Mendeskripsikan dan menjelaskan pemilihan kata
(diksi) dalam Sepilihan Sajak Hujan Bulan Juni Puisi karya Sapardi Djoko Damono
(2) mendeskripsikan dan menjelaskan gaya bahasa figuratif Sepilihan Sajak Hujan
Bulan Juni karya Sapardi Djoko Damono, (3) mendeskripsikan dan menjelaskan
citraan Sepilihan Sajak Hujan Bulan Juni karya Sapardi Djoko Damono, (4)
mendeskripsikan dan nilai pendidikan karakter dalam Sepilihan Sajak Hujan Bulan
Juni karya Sapardi Djoko Damono, dan (5) Mendeskripsikan dan menjelaskan
relevansi pengkajian stilistika dalam Sepilihan Sajak Hujan Bulan Juni Puisi karya
Sapardi Djoko Damono sebagai materi pembelajaran bahasa Indonesia di SMA.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif deskriptif dengan
metode content analysis (analisis isi). Kegiatan yang dilakukan adalah membaca,
38
mencermati, menafsirkan, dan menganalisis Sepilihan Sajak Hujan Bulan Juni
karya Sapardi Djoko Damono. Sumber data dalam penelitian ini adalah: (1)
Dokumen: Sumber data dari penelitian ini adalah buku Sepilihan Sajak Hujan Bulan
Juni terbit pada bulan Desember tahun 2014 sebagai cetakan ketiga dengan 120
halaman, (2) Informan: Hasil wawancara berisi pendapat para pembaca dan
pengarang mengenai Sepilihan Sajak Hujan Bulan Juni Karya Sapardi Djoko
Damono. Informan adalah pembaca ahli untuk menanggapi Sekumpulan Sajak
Hujan Bulan Juni dan (3) buku-buku literatur yang relevan. Teknik pengumpulan
data dengan analisis dokumen dan wawancara secara mendalam. Triangulasi
dilakukan dengan triangulasi sumber dan teori.
Hasil penelitan dapat disimpulkan bahwa (1) aspek diksi secara keseluruhan
dalam sepilihan sajak Hujan Bulan Juni puisi karya Sapardi Djoko Damono
berjumlah 123 data, di antaranya ialah a) Kata Abstrak, b) Kata Konkret, c) Makna
Konotasi, dan Makna Denotasi, diksi yang paling dominan adalah Kata Abstrak;
(2) aspek gaya bahasa figuratif keseluruhan berjumlah 50 data di antaranya ialah a)
Majas Personifiksi, b) Majas Simile, c) Majas Sarkasme, d) Majas Hiperbola, dan
e) Majas Paradoks, gaya bahasa figuratif yang paling dominan adalah personifikasi;
(3) aspek citraan secara keseluruhan berjumlah 74 data di antaranya ialah a) Citraan
Penglihatan, b) Citraan Gerak, c) Citraan Perabaan, d) Citraan Pendengaran, e)
Citraan Penciuman, citraan yang paling dominan adalah citraan gerak; (4) nilai
pendidikan karakter yang terungkap yaitu 11 nilai, nilai peduli lingkungan yang
paling dominan; dan (4) memiliki relevansi terhadap pembelajaran sastra di SMA,
hal ini dibuktikan dari adanya silabus di kelas X semester 2. Ciri khas kepenyairan
39
Sapardi Djoko Damono pada diksi lebih menekankan pada kata konkret dengan
pemanfaatan majas personifikasi di dalam gaya bahasa figuratif, serta lebih banyak
pemanfaatan citraan gerak.
Persamaan penelitian Tiyas (2016) dengan penelitian yang dilakukan yaitu
menggunakan kajian stilistika diantaranya bahasa figuratif dan citraan. Namun,
perbedaannya penelitian di atas objek kajiannya Puisi Sepilihan Sajak Hujan Bulan
Juni Karya Sapardi Djoko Damono sedangkan yang akan dilakukan yaitu kumpulan
puisi Melihat Api Bekerja karya M. Aan Mansyur.
Gizatulilla dan Gulshat (2017) melakukan penelitian stilistika berjudul
“Figurative Potential of Russian Hydronymes in the Poetry of 19th – 20th
Centuries”. Penelitian ini terdapat dalam Journal of History Culture and Art
Research (ISSN: 2147-0626). Penelitian ini mengkaji keanehan puisi Dnieper, Don,
Volga dan Neva yang digunakan secara estetika sebagai elemen artistik yang khas.
Fokus penelitian ini pada perkembangan masalah estetika bahasa dan pidato yang
merupakan salah satu tren studi linguistik yang menjanjikan. Namun, sumber
estetika unit paling onomastis, termasuk toponim, masih kurang dipelajari. Selama
pengkajian yang dilakukan lima paradigma figuratif yang paling tebal terungkap,
dimana posisi anggota kanan digantikan oleh satuan leksikal yang terkait dengan
konsep “makhluk”, “air”, “substansi”, “jaringan” dan “ruang terestrial”. Kriteria
penyesuaian yang disengaja dari hidronim dengan leksem subjek lainnya ditentukan
untuk mengembangkan citra teks puitis. Temuan ini dapat digunakan untuk
mempelajari ruang onomastik bahasa Rusia, serta untuk pengembangan lebih lanjut
teori pidato artistik. Meski Gizatullina mengkaji stilistika puisi, namum terdapat
40
perbedaan dengan penelitian yang akan dilakukan perbedaannya tampak pada fokus
kajian. Apabila Gizatullina mengkaji keseluruhan aspek stilistika, penelitian yang
akan dilakukan hanya mengkaji aspek bahasa figuratif dan citraan.
Islam dan Baiq (2017) telah melakukan penelitian dengan judul “Citraan
Puisi “Sang Penyemangat” Pada Koleksi Puisi Motivasi: Kajian Stilistika”.
Penelitian ini dimuat dalam jurnal Mabasindo Volume 1 Nomor 2 Edisi November
2017. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan bentuk citraan pada puisi
“Sang Penyemangat”. Penelitian ini termasuk dalam penelitian kualitatif dengan
metode deskriptif analisis. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
pendekatan objektif. Berdasarkan hasil analisis terhadap puisi “Sang Penyemangat“
pada koleksi puisi motivasi terdapat enam jenis citraan diantaranya: (1) citraan
visual yakni; pandangan, menatap, pesona. (2) citraan auditif yakni; kudengar,
katanya, ritmik, telingaku. (3) citraan perabaan yakni; hangat. (4) Citraan
Penciuman yakni; harum, wangi. (5) citraan gerak yakni; hentak, getar, tenggelam,
ketuk, langkah, langkah. (6) citraan perasaan yakni: menggebu, merona, menggebu,
legang, cinta, optimis dan indah.
Persamaan penelitian Islam dan Baiq (2017) dengan penelitian yang
dilakukan yaitu menggunakan kajian stilistika dan objek kajiannya menelaah puisi.
Namun perbedaannya penelitian di atas hanya menelaah tentang citraan yang ada
dalam puisi saja sedangkan yang akan dilakukan menelaah tentang bahasa figuratif
dan citraan dalam kumpulan puisi.
Yono (2017) telah melakukan penelitian dengan judul “Majas dan Citraan
dalam Novel Kerling Si Janda Karya Taufiqurrahman Al-Azizy”. Penelitian ini
41
dimuat dalam jurnal Seloka 6 (2) (2017): 200-207. Penelitian ini bertujuan untuk
mendeskripsikan majas yang dominan, citraan yang dominan, dan fungsi majas dan
citraan yang dominan dalam novel Kerling si Janda Karya Taufiqurrahman Al-
Azizy. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu pendekatan stilistika.
Metode yang digunakan yaitu metode deskriptif analisis dengan semiotik. Hasil
penelitian ini yaitu pertama, majas yang dominan dalam novel Kerling si Janda
yaitu majas simile dengan persentase 34,11%, majas sarkasme dengan persentase
20%, majas personifikasi dengan persentase 18,82%, majas hiperbola dengan
persentase 17,64%, dan majas metafora dengan persentase 9,41%. Kedua, citraan
yang dominan dalam novel Kerling si Janda yaitu citraan penglihatan dengan
persentase 44,66%, citraan warna lokal dengan persentase 25,24%, citraan
pendengaran dengan persentase 17,47%, dan citraan gerak dengan persentase
12,62%. Ketiga, fungsi majas dan citraan yang dominan dalam novel KSJ yaitu
untuk mengkritik pengarang novel islami yang menciptakan tokoh yang selalu
ma’shum atau sempurna dalam karya-karyanya.
Persamaan penelitian Yono (2017) dengan penelitian yang dilakukan yaitu
menggunakan kajian stilistika diantaranya majas dan citraan. Namun,
perbedaannya penelitian di atas objek kajiannya novel Kerling si Janda Karya
Taufiqurrahman Al-Azizy sedangkan yang akan dilakukan yaitu kumpulan puisi
Melihat Api Bekerja karya M. Aan Mansyur.
Hidayati (2017) telah melakukan penelitian dengan judul “Citraan Pada
Novel Fantasi Nataga The Little dragon Karya Ugi Agustono”. Penelitian ini
dimuat dalam jurnal BASINDO (Jurnal Kajian Bahasa, Sastra Indonesia, dan
42
Pembelajarannya) Volume 1, Nomor 1, April 2017. Penelitian ini bertujuan untuk
mendeskripsikan jenis citraan dan fungsi citraan pada novel fantasi Nataga the
Little Dragon karya Ugi Agustono. Penelitian ini menggunakan metode penelitian
kajian teks dengan pendekatan hermeneutika. Hasil penelitian ini menunjukkan
adanya tujuh jenis citraan dan empat fungsi citraan. Jenis citraan tersebut meliputi
citraan penglihatan, citraan pendengaran, citraan penciuman, citraan pencecapan,
citraan gerak, citraan perabaan dan citraan intelektual. Fungsi citraan meliputi
memperjelas gambaran, membuat hidup gambaran dalam pikiran dan
penginderaan, membangkitkan suasana khusus, dan membangkitkan intelektualitas
pembaca. Persamaan penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan yaitu
menganalisis tentang citraan, sedangkan perbedaannya penelitian ini menganalisis
novel sedangkan penelitian yang akan dilakukan yaitu menganalisis kumpulan
puisi. Dengan demikian, penelitian ini akan saling meengkapi hasil penelitian
sebelumnya mengenai penelitian stilistika dalam karya sastra.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa telah ada penelitian
sebelumnya mengenai stilistika. Penelitian tersebut terdapat dalam berbagai jurnal
nasional maupun internasional. Penelitian stilistika yang dilakukan meliputi kajian
mengenai teks sastra yang berupa cerpen, novel, maupun puisi, serta teks nonsastra
yang berupa penggunaan bahasa dalam pesan singkat. Hasil penelitian
menunjukkan adanya penggunaan gaya bahasa tertentu pada masing-masing teks.
Dengan demikian, penelitian ini memiliki persamaan dengan penelitian
sebelumnya yakni melakukan kajian stilistika dalam teks sastra. Penelitian ini
dilakukan sebagai tindak lanjut untuk melengkapi dan menambah kepustakaan
43
penelitian dengan kajian stilistika, khususnya dalam kumpulan puisi. Dari berbagai
penelitian yang telah dilakukan, dapat diketahui bahwa belum ada penelitian yang
secara khusus mengkaji tentang bahasa figuratif dan citraan dalam kumpulan puisi
Melihat Api Bekerja Karya M.Aan Mansyur.
2.2 Kerangka Teoretis
Kerangka teoretis memuat teori-teori yang digunakan dalam penelitian.
Teori-teori itu antara lain meliputi hakikat stilistika, fungsi stilistika, tujuan
stilistika, bidang kajian stilistika, bahasa figuratif, fungsi bahasa figuratif, citraan,
jenis-jenis citraan, fungsi citraan, hakikat puisi, unsur-unsur pembangun puisi dan
biografi M.Aan Mansyur.
2.2.1 Hakikat Stilistika
Secara harfiah, kata stilistika berasal dari bahasa Inggris stylistics yang
artinya studi mengenai style ‘gaya bahasa’ atau ‘bahasa bergaya’. Nurgiyantoro
(2005: 277), Stile pada hakikatnya merupakan teknik, teknik pemilihan ungkapan
kebahasaan yang dirasa dapat mewakili sesuatu yang akan diungkapkan. Dalam hal
gaya, seorang pengarang mempunyai ciri khas sendiri atau ciri pribadi. Setiap
pengarang berbeda dalam gaya mengarangnya. Hal ini disesuaikan karakter atau
watak seorang pengarang dengan berbagai pertimbangan pikiran dan perasaannya.
Gaya mengarang sebagian besar tergantung dari watak pengarang yang
bersangkutan sendiri (Lubis dalam Nuryatin 2010:18). Hal ini sesuai dengan yang
dikemukakan oleh Buffon (dalam Ratna 2007:238) bahwa le style est de homme
44
meme atau dalam bahasa inggris style is the man himself yang berarti bahwa style
adalah manusia (pengarang/penulis) itu sendiri. Berdasarkan konsep tersebut.
Penikmat karya sastra dapat mengenali sebuah karya sastra yang dibacanya melalui
gaya tulisan seorang pengarang walaupun nama pengarang tidak tertera dalam
karangannya. Fatoni (2017) menyatakan Style atau gaya bahasa dapat dibatasi
sebagai cara mengemukakan pikiran melalui bahasa secara khas yang
memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis (pemakai bahasa).
Definisi stilistika secara harfiah belum mampu mengungkap hakikat
stilistika secara komprehensif. Oleh karena itu, dibutuhkan pemaparan definisi
stilistika secara istilah. Abams (1979:165) memaparkan bahwa stilistika secara
istilah adalah ilmu yang meneliti penggunaan bahasa dan gaya bahasa di dalam
karya sastra. Junus (1989) mendefinisikan istilah stilistika sebagai studi mengenai
pemakaian bahasa dalam karya sastra. Dalam hal ini, stilistika digunakan sebagai
ilmu gabung antara linguistik dan ilmu sastra. Lazimnya, studi stilistika dilakukan
oleh seorang linguis, tetapi menaruh perhatian terhadap sastra, baik pula sebaliknya.
Dalam hal praktiknya, linguis bekerja dengan menggunakan data pemakaian bahasa
dalam karya sastra, dengan melihat keistimewaan bahasa sastra. Dari hal tersebut
stilistika dapat dipahami sebagai aplikasi teori linguistik pada pemakaian bahasa
dalam sastra. Stilistika akan muncul dengan kekhasan bahasa yang digunakan dan
akan sangat berbeda dengan penggunaan bahasa sehari-hari ( Muntazir, 2017).
Selanjutnya Satoto (1995:35) menyatakan bahwa stilistika merupakan
proses menganalisis karya sastra dengan mengkaji unsur-unsur bahasa sebagai
medium karya sastra yang digunakan sastrawan sehingga terlihat bagaimana
45
perlakuan sastrawan terhadap bahasa dalam rangka menuangkan gagasannya.
Riyono (2016) menyatakan bahwa stilistika merupakan pemanfaatan bahasa untuk
mencapai efek estetis dalam berkomunikasi biasanya stilistika digunakan oleh
kreator untuk memenuhi hak istimewa dalam menggunakan bahasa yang disebut
kebebasan penyair (licentia poetica).
Turner (dalam Jabrohim 2012:222) stilistika merupakan bagian dari
linguistik yang memusatkan perhatiannya pada variasi penggunaan bahasa, yang
walaupun tidak secara eksklusif, terutama pemakaian bahasa dalam sastra. Hakikat
stilistika sebagai ilmu yang menyelidiki bahasa yang dipergunakan dalam karya
sastra; ilmu intersipliner antara linguistik dan kesusastraan; penerapan linguistik
pada penelitian gaya bahasa (Kridalaksana, 1988:157). Sependapat dengan
Kridalaksana, Depdiknas (2008:134) menyatakan “Stilistika adalah ilmu tentang
penggunaan bahasa dan gaya bahasa di dalam karya sastra”. Jadi, stilistika itu tidak
hanya merupakan studi gaya bahasa dalam kesustraan, melainkan juga studi gaya
bahasa dalam bahasa pada umumnya meskipun ada perhatian khusus pada bahasa
kesustraan yang paling sadar dan paling kompleks.
Supriyanto (2009:7) menyatakan bahwa stilistika berasal dari bahasa latin
yaitu stilus yang berarti sebuah alat yang digunakan untuk menulis. Stilistika
merupakan ilmu tentang gaya bahasa. Adapun stilistika menurut Al-Ma’ruf
(2009:12) yaitu ilmu yang mengkaji wujud pemakaian bahasa dalam karya sastra
yang meliputi seluruh pemberdayaan potensi bahasa, keunikan, dan kekhasan
bahasa serta gaya bunyi, pilihan kata, kalimat, wacana, citraan dan bahasa figuratif.
46
Selanjutnya Djajasudarma (2013:23) menyatakan istilah stylistics biasanya
digunakan dalam pengertian yang luas, yang menginklusifkan ciri-ciri bahasa
secara situasional bahwa ke dalamnya termasuk variasi dialek regional, sosial,
sejarah. Kurniasih (2013) mengemukakan bahwa stilistika berkaitan dengan
pengertian ilmu tentang gaya secara umum, meliputi seluruh aspek kehidupan
manusia. Selanjutnya Nurmayani dan Roqyal (2019) menyatakan bahwa stilistika
adalah proses menganalisis karya sastra dengan mengkaji unsur-unsur bahasa
sebagai medium karya sastra yang digunakan sastrawan, sehingga terlihat
bagaimana perlakuan satrawan terhadap bahasa dalam rangka menuangkan
gagasannya (subject matter).
Stilistika dalam karya sastra merupakan bagian stilistika budaya itu sendiri.
Meskipun demikian, dengan adanya intensitas penggunaan bahasa, maka dalam
karya sastralah pemahaman stilistika paling banyak dilakukan. Stilistika (stylistic)
adalah ilmu tentang gaya, sedangkan stil (style) secara umum sebagaimana akan
dibicarakan secara lebih luas pada bagian berikut adalah cara-cara yang khas,
bagaimana segala sesuatu diungkapkan dengan cara tertentu, sehingga tujuan yang
dimaksudkan dapat dicapai secara maksimal (Ratna, 2017:3).
Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa stilistika atau ilmu
gaya bahasa pada umumnya membicarakan pemakaian bahasa yang khas atau
istimewa, yang merupakan ciri khas seorang penulis, aliran sastra, atau pula
penyimpangan dari bahasa sehari-hari atau dari bahasa yang normal atau baku, dan
sebagainya. Dengan demikian, secara sederhana dapat disimpulkan bahwa stilistika
47
(stylistics) adalah ilmu yang secara spesifik mengungkap penggunaan gaya bahasa
yang khas dalam karya sastra.
2.2.2 Fungsi Stilistika dalam Karya Sastra
Kehadiran stilistika dimaknai sebagai fenomena yang sangat penting dalam
karya sastra. Al-Ma’ruf (2012) stilistika merupakan sarana sastra yang berfungsi
penting dalam mengekspresikan gagasan secara tidak langsung melalui ketiga cara
tersebut yakni: penggantian arti (displacing of meaning), penyimpangan arti
(distorting of meaning), dan penciptaan arti (creating of meaning).
Stilistika menurut Al-Ma’ruf (2009:15) berfungsi sebagai alat untuk
menyakinkan atau mempengaruhi pembaca atau pendengar. Stilistika juga
berkaitan dengan situasi dan suasana karangan. Artinya, stilistika dapat
menciptakan suasana hati tertentu, misalnya kesan baik dan buruk, senang, tidak
senang, yang diterima karena pelukisan tempat, peristiwa, dan keadaan tertentu.
Widdowson (dalam Widyaningrum, 2016) stilistika berada di tengah-tengah antara
bahasa dan kritik sastra. Fungsi stilistika adalah sebagai jembatan antara keduanya.
Berbeda dengan pendapat tersebut, Ratna (2017:67) mengungkapkan bahwa fungsi
utama stilistika dalam karya sastra yaitu untuk menghadirkan aspek keindahan.
Kemudian pendapat tersebut diuraikan lagi dengan lebih detail oleh Al-
Ma’ruf (2009:15-16) yang mengklasifikasi fungsi stilistika seperti berikut.
a. Meninggikan selera, yakni dapat meningkatkan minat pembaca atau pendengar
untuk mengikuti apa yang disampaikan pengarang atau pembicara;
48
b. Mempengaruhi atau meyakinkan pembaca atau pendengar, artinya dapat
membuat pembaca semakin yakin dan mantap terhadap apa yang disampaikan
pengarang atau pembicara;
c. Menciptakan keadaan perasaan hati tertentu, yakni dapat membawa pembaca
hanyut dalam suasana hati, seperti kesan baik dan buruk, perasaan senang atau
tidak senang, benci dan sebagainya setelah menangkap apa yang dikemukakan
pengarang.
d. Memperkuat efek terhadap gagasan, dengan istilah lain dapat membuat
pembaca terkesan oleh gagasan yang disampaikan pengarang dalam karyanya.
Berdasarkan pendapat-pendapat para pakar di atas bahwa stilistika secara
umum memang memiliki fungsi untuk memberikan efek tertentu pada sebuah
karya. Efek tersebut diantaranya adalah keindahan, daya bayang, dan persuasif.
Begitu pula pada karya sastra berupa puisi, ketiga efek tersebut merupakan fungsi
stilistika yang paling sering dijadikan alasan oleh para penyair untuk menciptakan
suatu karya. Efek keindahan stilistika pada puisi akan terwujud melalui diksi dan
bahasa figuratif yang digunakan pada setiap larik atau baris puisi. Efek daya bayang
direalisasikan dengan memanfaatkan kata yang mengandung citraan. Adapun efek
persuasif tercermin pada sebuah karya (puisi) yang sudah diciptakan mampu
mempengaruhi dan memberikan timbal balik kepada pembaca.
2.2.3 Tujuan Stilistika dalam Karya Sastra
Fungsi stilistika dalam karya sastra dibedakan dari tujuan stilistika agar
lebih muda memahami arah pengkajiannya. Tujuan stilistika kaitannya dengan
49
pendekatan penelitian karya sastra yang berorientasi pada linguistik adalah sebagai
berikut.
a. Untuk menuntun pemahaman yang lebih baik terhadap makna yang
dikemukakan pengarang dalam karyanya dan memberikan apresiasi yang lebih
terhadap kemampuan bersastra pengarangnya (Brooke, 1970: 131).
b. Untuk menelaah bagaimana unsur-unsur bahasa ditempatkan dalam
menghasilkan pesan-pesan aktual lewat pola-pola yang digunakan dalam
sebuah karya sastra (Widdowson, 1979: 202).
c. Untuk menghubungkan perhatian kritikus sastra dalam apresiasi estetik
dengan perhatian linguis dalam deskripsi linguistik, seperti yang dikemukakan
oleh Leech & Short (1984: 13).
d. Untuk menghubungkan intuisi-intuisi tentang makna-makna dengan pola-pola
bahasa dalam teks (sastra) yang dianalisis.
e. Untuk menemukan prinsip-prinsip artistik yang mendasari pemilihan bahasa
seorang pengarang, sebab setiap penulis memiliki kualitas individual masing-
masing (Leech dan Short, 1984: 74).
f. Kajian stilistika akan menemukan kiat pengarang dalam memanfaatkan
kemungkinan yang tersedia dalam bahasa sebagai sarana pengungkapan
makna dan efek estetik bahasa (Sudjiman, 1995: 56).
g. Untuk menentukan seberapa jauh dan dalam hal apa serta bagaimana
pengarang mempergunakan tanda-tanda linguistik untuk memperoleh efek
khusus (Nurgiyantoro, 2014)
50
Sampai bahasan ini, fungsi dan tujuan stilistika dapat diketahui
perbedaannya. Fungsi stilistika mengarah pada sasaran karya yang diciptakan yaitu
pembaca. Adapun tujuan stilistika, tidak hanya memfasilitasi pihak pembaca saja
melainkan juga menjadi alat bagi pengarang untuk menciptakan karya.
Berdasarkan hal tersebut, tujuan stilistika dibedakan menjadi dua hal,
pertama dari segi pembaca. Tujuan pertama ini dikaitkan dengan kegiatan apresiasi
yang dilakukan pembaca terhadap karya sastra, baik apresiasi estetik maupun
apresiasi komprehensif. Kedua, dari segi penulis. Penulis, dalam hal ini penyair
memanfaatkan stilistika untuk memasukkan unsur-unsur artistik dan estetik ke
dalam karya yang diciptakannya. Selain itu, stilistika juga merupakan medium
pengungkapan makna yang paling cocok bagi penyair.
2.2.4 Bidang Kajian Stilistika
Beberapa pakar telah menyatakan bidang atau aspek kajian stilistika. Keraf
(2015:112) bahwa gaya bahasa meliputi semua hirarki kebahasaan: pilihan kata
secara individual, frasa, klausa dan kalimat bahkan mencakup pula sebuah wacana
secara keseluruhan. Pradopo (2004:9-14) juga menyatakan hal yang hampir sama
dengan Keraf bahwa unsur-unsur gaya bahasa meliputi intonasi, bunyi, kata,
kalimat dan wacana. Adapun menurut Leech dan Short (1984) berpendapat bahwa
unsur stilistika meliputi unsur leksikal, gramatikal, fiture of speech, serta konteks
dan kohesi.
Junus (1989:8) mengatakan bahwa bidang kajian stilistika meliputi bunyi
bahasa, kata, dan struktur kalimat. Sementara Aminuddin (1995:44) menyatakan
51
bahwa bidang kajian stilistika dapat meliputi kata-kata, tanda baca, gambar serta
bentuk tanda lain yang dapat dianaogikan sebagai kata-kata. Selanjutnya Sudjiman
(1995:12) memaknai stilistika sebagai gaya bahasa yang mencakup diksi, struktur
kalimat, majas, citraan, pola rima serta matra yang digunakan seorang pengarang
yang terdapat dalam sebuah karya sastra.
Warnaningrum (2015) menyatakan bahwa kajian stilistika dimaksudkan
untuk menjelaskan fungsi keindahan penggunaan bentuk kebahasaan tertentu mulai
dari aspek bunyi, leksikal, struktur, bahasa figuratif, sarana retorika sampai
grafologi. Sedangkan menurut Khalwani (2017) kajian stilistika biasanya
dimaksudkan untuk menerangkan sesuatu, yang pada umumnya dalam dunia
kesastraan dan pada khususnya dalam kajian pengungkapan gaya bahasa pada suatu
kalimat yang digunakan untuk menerangkan hubungan antara bahasa dengan fungsi
artistik dan maknanya.
Merujuk dari beberapa pendapat para ahli diatas kajian stilistika karya sastra
dilakukan dengan mengkaji bentuk dan tanda-tanda linguistik yang digunakan
dalam struktur lahir karya sastra sebagai media ekspresi pengarang dalam
mengemukakan gagasannya. Unsur-unsur stilistika sebagai tanda-tanda lingustik
secara sederhana dapat berupa gaya kata, gaya kalimat, bahasa figuratif dan citraan
(Supriyanto, 2011:31).
52
2.2.5 Bahasa Figuratif dalam Karya Sastra
Bahasa figuratif dalam karya sastra banyak kita temukan. Tanpa adanya
bahasa figuratif dalam karya sastra akan mengurangi keindahan karya tersebut.
Dibawah ini akan dijelaskan tentang bahasa figuratif dan fungsi bahasa figuratif.
2.2.5.1 Bahasa Figuratif
Bahasa figuratif dapat dikatakan sebagai bahasa berfigura atau bahasa yang
berbingkai. Bahasa figuratif adalah pemanfaatan bahasa yang digunakan oleh
pengarang untuk memperoleh efek keindahan pada sebuah karya sastra.
Penggunaan bahasa tersebut untuk menyatakan sesuatu yang biasanya dengan cara
yang tidak langsung atau bahasa kias.
Bahasa figuratif adalah bahasa yang digunakan penyair untuk mengatakan
sesuatu dengan cara yang tidak biasa, yakni secara tidak langsung mengungkapkan
makna (Mabruri dan Sri Dwi, 2015). Bahasa figuratif adalah suatu bentuk
penggunaan bahasa yang maknanya menyimpang dari pemakaian yang biasa, baku,
atau urutan kata dengan tujuan untuk mencapai efek tertentu, yaitu, efek keindahan.
Bahasa figuratif yang tepat digunakan dapat menolong pembaca merasakan dan
melihat seperti apa yang dilihat atau apa yang dirasakan penulisnya (Nurhayati,
2019).
Bahasa figuratif menyebabkan puisi menjadi dramatis artinya
memancarkan makna atau kaya makna. Waluyo (1987:83) menjelaskan bahwa
bahasa figuratif adalah bahasa yang digunakan penyair untuk mengatakan sesuatu
dengan cara yang tidak biasa yakni secara tidak langsung mengungkapkan makna.
53
Bahasa kias pada dasarnya digunakan oleh sastrawan untuk memperoleh dan
menciptakan citraan. Hidayat dan Supriyanto (2017) menyatakan bahasa kias atau
pemajasan dapat pula difungsikan untuk melukiskan perasaan tokoh. Bahasa
kiasan adalah cara yang digunakan pengarang untuk mengekspresikan pengalaman
batin dan memproyeksikan kepribadian, sehingga karya sastra memiliki ciri-ciri
yang personal sehingga menimbulkan efek estetis dalam karyanya (Yunata, 2013).
Keraf (2015:136) menyatakan bahwa bahasa figuratif sering disebut bahasa
kias. Bahasa kias pertama-tama dibentuk berdasarkan perbandingan atau
persamaan. Membandingkan sesuatu dengan sesuatu hal yang lain, berarti mencoba
menemukan ciri-ciri yang menunjukkan kesamaan antara kedua hal tersebut.
Perbandingan sebenarnya mengandung dua pengertian yaitu perbandingan yang
termasuk dalam gaya bahasa yang polos atau langsung, dan perbandingan yang
termasuk dalam gaya bahasa kiasan. Bahasa figuratif merupakan cara penyair
mengungkapkan pikiran, perasaan, dan keinginannya melalui kata-kata yang
dipilihnya (Wirawan, 2016).
Bahasa figuratif dipandang lebih efektif untuk menyatakan apa yang
dimaksud oleh penyair, karena : (1) mampu menghasilkan kesenangan imajinatif,
(2) merupakan cara untuk menghasilkan imaji tambahan dalam puisi, (3)
merupakan cara menambah intensitas perasaan penyair untuk menghasilkan imaji
tambahan dalam puisinya dan menyampaikan sikap penyair, (4) merupakan cara
untuk mengkonsentrasikan makna yang hendak disampaikan dan cara
menyampaikan sesuatu yang banyak dan luas dengan bahasa yang singkat (Perrine
dalam Waluyo, 1987:83).
54
Jadi dapat disimpulkan dari beberapa pendapat di atas bahwa bahasa
figuratif adalah bahasa yang digunakan penyair untuk mengatakan sesuatu dengan
cara yang tidak biasa yakni secara tidak langsung untuk mengungkapkan
maknanya.
Bahasa figuratif merupakan sarana retorika sastra yang sangat dominan.
Menurut Al-Ma’ruf (2009:60-61) bahasa figuratif merupakan cara pengarang
dalam memanfaatkan bahasa untuk memperoleh efek estetik dengan pengungkapan
gagasan secara kias yang menyaran pada makna literal (literal meaning). Bahasa
figuratif dalam penelitian stilistika karya sastra dapat mencakup (1) majas, (2)
idiom, dan (3) peribahasa. Pemilihan tiga bentuk bahasa figuratif tersebut
didasarkan pada alasan bahwa ketiganya merupakan sarana sastra yang dipandang
representatif dalam mendukung gagasan pengarang. Pendapat Al-Ma’ruf tersebut
ditegaskan lagi oleh Supriyanto (2011:67-68) bahwa bahasa figuratif mencakup
pembahasan berikut.
1. Majas
Majas sering dianggap sebagai sinonim dari gaya bahasa, akan tetapi
sebenarnya majas termasuk dalam klasfikasi gaya bahasa itu sendiri (Manurung
2015). Majas terbagi menjadi dua jenis, yaitu (1) figura of thought: bahasa kias
yang berkaitan dengan pengolahan dan pembayangan gagasan, dan (2) rethorical
figure: bahasa kias yang terkait dengan penataan dan pengurutan kata-kata dalam
kalimat (Aminuddin, 1995:249). Sedangkan menurut Sebayang (2018) majas
adalah bahasa kiasan yang digunakan pengarang di dalam karya sastra dengankesan
tertentu untuk mewakili gagasan yang ingin disampaikan. Majas dapat membuat
55
karya sastra lebih hidup dan bervariasi serta dapat menghindari hal-hal yang bersifat
monoton yang dapat membuat pembaca bosan.
Nurgiyantoro (2014:215) menyatakan pemajasan (figuratif language,
figures of thought) merupakan teknik pengungkapan bahasa, penggaya bahasan,
yang maknanya tidak menunjuk pada makna harfiah kata-kata yang
mendukungnya, melainkan pada makna yang ditambahkan atau makna yang
tersirat. Jadi, pemajasan merupakan stile yang bermain dengan makna, yaitu dengan
menunjuk makna yang dimaksud secara tidak langsung.
Pemajasan menurut Abrams (2009:63-65) mencakup simile (perbandingan,
metafora, metonimi, sinekdoki, dan personifikasi. Sementara menurut Pradopo
(2014:62) membagi majas menjadi tujuh, yaitu perbandingan (simile), metafora,
perumpamaan epos, allegori, personifikasi, metonimia dan sinekdoki. Berikut
adalah penjabaran pemajasan dengan merujuk pendapat Pradopo tersebut.
a) Perbandingan (simile)
Majas simile adalah majas yang menyamakan satu hal dengan hal yang lain
dengan mempergunakan kata-kata pembanding seperti bagai, bak, seperti, semisal,
seumpama, laksana, sepantun, penaka, se, dan kata-kata pembanding lainnya
(Pradopo, 2014:63). Majas simile adalah majas yang paling sederhana dan paling
banyak digunakan dalam karya sastra. Baldic (dalam Nurgiyantoro 2014:219)
menyatakan simile adalah suatu bentuk pembandingan secara eksplisit di antara dua
hal yang berbeda yang dapat berupa benda, fisik, aksi, perbuatan atau perasaan yang
lazimnya memakai kata-kata pembanding eksplisit tertentu. Sedangkan menurut
56
Supriyanto (2011:72) majas simile digunakan untuk memperoleh efek estetis dan
sebagai sarana untuk menciptakan suasana cerita menjadi lebih hidup.
Aminuddin (1995:308) menyatakan simile sebagai bentuk bahasa kias yang
menggunakan perbandingan secara langsung. Misalnya, bentuk seperti, bagaikan,
dan lain-lain. Pendapat tersebut menyatakan simile membandingkan sebuah hal
secara langsung. Sependapat dengan Ratna (2017:446) simile menggunakan kata-
kata pembanding: seperti, laksana, umpama. Pernyataan ini menjelaskan bahwa
majas ini merupakan majas perbandingan. Majas simile adalah majas yang paling
sederhana dan paling banyak digunakan dalam karya sastra. Berikut adalah contoh
dari majas simile.
“Suaramu bagai alunan syahdu yang mencairkan kekakuan.
Senyummu laksana pucuk bulan yang merekah diperaduan.”
b) Metafora
Majas metafora adalah semacam analogi yang membandingkan dua hal
secara langsung, tetapi dalam bentuk yang singkat: bunga bangsa, buaya darat,
buah hati, cindera mata, dan sebagainya (Keraf, 2015:139). Menurut Kosasih
(2008:42) menyatakan metafora adalah majas perbandingan yang diungkapkan
secara singkat dan padat. Majas ini secara eksplisit menjelaskan terkait analogi
makna secara singkat dan jelas.
Ratna (2017:445) menyatakan metafora adalah membandingkan suatu
benda dengan benda lainnya. Menurut Nurgiyantoro (2014:224) metafora adalah
bentuk pembandingan antara dua hal yang dapat berwujud benda, fisik, ide, sifat,
atau perbuatan dengan benda lain yang bersifat implisit. Sesuatu yang dibandingkan
57
dapat berupa ciri-ciri fisik, sifat, keadaan, aktivitas, atau sesuatu yang lain yang
kesemuanya harus ditemukan untuk dapat memahami makna yang ditunjuk.
Majas metafora adalah majas seperti simile, hanya tidak mempergunakan
kata-kata pembanding seperti bagai, laksana dan sebagainya. Metafora ini
menyatakan sesuatu sebagai hal yang sama atau seharga dengan yang lain yang
sesungguhnya tidak sama. Becker (dalam Pradopo, 2014:67) bahwa metafora itu
melihat sesuatu dengan perantaraan benda yang lain. Dalam metafora sendiri juga
memiliki istilah atau biasa dikenal dengan sebutan term. Metafora teridir dari dua
term atau dua bagian, yaitu term pokok (principal term) dan term kedua (secondary
term). Term pokok disebut juga tenor, term kedua disebut juga vehicle. Term
pokok atau tenor menyebutkan hal yang dibandingkan, sedangkan, sedang term
kedua vehicle adalah hal yang untuk membandingkan. Berikut adalah contoh dari
majas metafora.
Bumi ini perempuan jalang
(Subagio, “Dewa Telah Mati”, 1975:9)
c) Perumpamaan
Majas perumpamaan disebut juga dengan perbandingan atau perumpamaan
epos. Perumpamaan secara definitif merupakan perbandingan yang dilanjutkan,
atau diperpanjang, yakni dibentuk dengan melanjutkan sifat-sifat
pembandingannya lebih lanjut dalam kalimat-kalimat atau frase-frase yang
berturut-turut (Pradopo, 2014:70). Fungsi perbandingan epos ini seperti pada
umumnya, yaitu untuk menghadirkan gambaran yang jelas dalam suatu karya
sastra. Berikut adalah contoh dari majas perumpamaan.
58
Di tengah Sunyi
Ditengah sunyi menderu rinduku.
Seperti topan. Meranggutkan dahan,
Mencabutkan akar, meranggutkan kembang kalbuku.
(Jassin, 1959:51).
d) Alegori
Majas alegori merupakan cerita kiasan ataupun lukisan kiasan. Cerita
kiasan atau lukisan kiasan ini mengkiaskan hal lain atau kejadian lain (Pradopo,
2014:72). Ada kesamaan karakteristik antara metafora dan alegori, yaitu adanya
unsur yang dibandingkan dengan unsur pembandingnya. Sependapat dengan Keraf
(2015:140) menyatakan bahwa alegori yaitu suatu cerita singkat yang mengandung
kiasan. Makna kiasan ini harus ditarik dari bawah permukaan ceritanya. Dalam
alegori, nama-nama pelakunya adalah sifat-sifat yang abstrak, serta tujuannya
selalu jelas tersurat.
Prinsipnya majas alegori masih termasuk ke dalam majas perbandingan.
Nurgiyantoro (2014:239) menyatakan bahwa Alegori adalah sebuah cerita kiasan
yang maknanya tersembunyi pada makna literal. Jadi, ada dua makna yang
dikandung dalam sebuah teks alegoris, yaitu makna literal makna yang secara
langsung ditunjuk pada teks, dan makna yang sebenarnya dimaksudkan, makna
yang tersembunyi yang perlu ditafsirkan. Prinsip alegori dapat dilakukan lewat
majas personafikasi, yaitu dengan mengorangkan sesuatu yang nonhuman dengan
memiliki sifat-sifat manusiawi, dan makna yang sesungguhnya dimaksud dapat
ditujukan kepada figur atau tokoh manusia nyata. Cerita alegoris juga dapat
diungkapkan lewat metafora yang membandingkan sesuatu, dapat berupa karakter,
59
semangat, aktivitas, bahkan juga seorang tokoh, dengan cerita lain yang
dikembangkan sebagai pembanding. Contoh majas alegori adalah sebagai berikut.
Di Kebon Binatang
Seorang wanita muda berdiri terpikat memandang ular
yang melilit sebatang pohon sambil menjulur-julurkan
lidahnya; katanya kepada suaminya, “Alangkah indahnya
kulit ular itu untuk tas dan sepatu!”
Lelaki muda itu seperti teringat sesuatu, cepat-cepat
menarik lengan istrinya meninggalkan tempat terkutuk itu.
(Damono 1974:17)
e) Personifikasi
Majas personifikasi adalah gaya bahasa kiasan yang menggambarkan
benda-benda mati seolah-olah memiliki sifat kemanusiaaan. Benda-benda mati
dibuat dapat berbuat, berfikir dan sebagainya, seperti hanya halnya manusia dan
banyak dipergunakan penyair dulu sampai sekarang, personifikasi membuat hidup
dengan lukisan disamping itu memberi kejelasan kebenaran, memberikan
bayangan angan yang konkret. Lukisan berupa kiasan menjadi hidup dan benar-
benar memberikan gambaran atau bayangan angan yang konkret (Pradopo,
2014:76).
Nurgiyantoro (2014:235) menyatakan bahwa personafikasi dipandang
sebagai majas yang mendasarkan diri pada adanya sifat perbandingan dan
persamaan. Sedangkan menurut pendapat Ratna (2014:446) personifikasi adalah
gaya bahasa yang benda mati dianggap benda hidup. Pernyataan tersebut
menjelaskan bahwa sifat benda mati akan diubah menjadi sifat benda hidup.
Kosasih (2008:61) menyatakan personifikasi merupakan majas yang
membandingkan benda-benda tidak bernyawa seolah-olah memiliki sifat seperti
manusia. Secara khusus gaya bahasa ini adalah menjadikan sifat-sifat benda yang
60
mati menjadi hidup. Personfikasi atau prosopopenia adalah semacam gaya bahasa
kiasan yang menggambarkan benda-benda mati atau barang-barang yang tidak
bernyawa seolah-seolah memiliki kemanusiaan (Keraf, 2015:140). Berikut ini
adalah contoh dari majas personifikasi.
Alur Perjalanan Imaji
“Belaian angin malam ini seakan menusuk tulang-tulangku. Tolonglah
Sejenak menjadi patung, aku hendak berlayar ke pulau imaji.”
f) Metonimia
Majas atau bahasa kiasan yang lebih jarang dijumpai pemakaiannya.
Metonimia ini dalam bahasa indonesia sering disebut kiasan pengganti nama.
Bahasa ini berupa penggunaan sebuah atribut sebuah objek atau penggunaan
sesuatu yang sangat dekat hubungannya dengan mengganti objek tersebut.
Menurut Nurgiyantoro (2017:243) metonimia merupakan sebuah ungkapan yang
menunjukan adanya pertautan atau pertalian yang dekat antara kata-kata yang
disebut dan makna yang sesungguhnya. Pengungkapan yang dimaksud dapat
berupa penggunaan nama benda yang lain seperti merek, atribut, atau ciri khas.
Sedangkan menurut Keraf (2015:142) metonimia adalah suatu gaya bahasa yang
mempergunakan sebuah kata untuk menyatakan suatu hal lain, karena pertalian
yang sangat dekat. Contoh dari majas metonimia adalah sebagai berikut.
Ibu Kota Senja
Klakson dan lonceng bunyi bergiliran
...........
Dan perempuan mendaki tepi sungai kesayangan
Di bawah bayangan samar istana kejang
O, kota kekasih setelah senja
61
g) Sinekdoki
Bahasa kiasan yang menyebutkan sesuatu bagian yang penting suatu benda
(hal) untuk benda atau hal itu sendiri. Bahasa kiasan dalam benda atau mengganti
nama menjadi benda, kerap kali pengarang menggunakan sinekdoki dalam
membangun karya sastra. Keraf (2015:142) menyatakan bahwa sinekdoke adalah
semacam bahasa figuratif yang mempergunakan sebagian dari sesuatu hal untuk
menyatakan keseluruuhan atau mempergunakan keseluruhan untuk menyatakan
sebagian.
Nurgiyantoro (2017:244) menyampaikan bahwa majas sinekdoki adalah
sebuah ungkapan dengan cara menyebut bagian tertentu yang penting dari sesuatu
untuk sesuatu itu sendiri. Di dalam majas sinekdoki ini sendiri terdapat dua
kategori penyebutan yang berkebalikan. Pertama, pernyataan yang hanya
menyebut sebagian atau bagian tertentu dari sesuatu, tetapi itu dimaksudkan untuk
menyatakan keseluruhan sesuatu tersebut, dan majas itu disebut pars pro toto.
Kedua, penyebutan kebalikannya yaitu pernyataan yang menyebut sesuatu secara
keseluruhan, namun sebenarnya itu untuk sebagian dari sesuatu tersebut dan
dinamakan totum pro parte. Contoh majas sinekdoki adalah sebagai berikut.
Kujelajah Bumi dan alis kekasih
Bumi itu totum pro parte dan alis kekasih pars pro toto.
2. Idiom
Konstruksi unsur-unsur yang saling memilih, masing-masing anggota
mempunyai makna yang ada hanya karena bersama yang lain disebut idiom. Yusuf
(1995: 118), mengartikan idiom sebagai kelompok kata yang mempunyai makna
62
khas dan tidak sama dengan makna kata per kata. Menurut Sudjiman (dalam Al-
Ma’ruf 2012:48) idiom adalah pengungkapan bahasa yang bercorak khas baik
karena tata bahasanya mempunyai makna yang tidak dapat dijabarkan dari makna
unsur- unsurnya. Idiom adalah makna kumpulan kata yang membentuknya.
Kumpulan kata sekurang-kurangnya akan membentuk frasa, lalu klausa dan
kalimat, sehingga idiom dapat berbentuk frasa, klausa dan kalimat (Sukiman,
2015).
Palmer (1981:36) mendefiisikan idiom adalah “sequence of words whose
meaning cannot be predicted from the meaning of the worrds themselves”.
Pengertian tersebut dapat diartikan bahwa idiom adalah serangkaian kata-kata yang
artinya tidak dapat diprediksi dari kata-kata itu bila berdiri sendiri. Menurut
Kridalaksana (1988:80) bahwa kontruksi yang maknanya tidak sama dengan
gabungan makna anggota-anggotanya dinamakan idiom.
Selanjutnya sejalan dengan pendapat Kridalaksana, Keraf (2015:109)
menyatakan bahwa idiom sebagai pola-pola srtuktural yang menyimpang dari
kaidah-kaidah bahasa yang umum, biasanya berbentuk frasa. Sedangkan artinya
tidak bisa diterangkan secara logis atau secara gramatikal. Dari beberapa pendapat
tersebut dapat disimpulkan bahwa idiom adalah ungkapan khusus dalam suatu
masyarakat tertentu.
Contoh :
Karena skandal yang dilakukannya, dia pun akhirnya harus rela menjadi buah bibir
di masyarakat. (buah bibir : bahan perbincangan).
63
3. Peribahasa
Peribahasa merupakan kalimat atau penggalan kalimat yang telah membeku
bentuk, makna, dan fungsinya dalam masyarakat, bersifat turun temurun,
dipergunakan untuk menghias karangan atau percakapan, penguat maksud
karangan, pemberi nasihat, pengajaran atau pedoman hidup. Peribahasa dalam
bahasa Indonesia kedudukan dan peran yang penting karena memiliki makna yang
dalam. Bentuk peribahasa itu merupakan penuturan yang sering diucapkan sehari-
hari, tetapi memiliki nilai estetik yang tinggi. Peribahasa menurut Kridalaksana
(1988:131), mencakup pepatah, ibarat (simile), bidal, perumpamaan dan pemeo.
Al-Ma’ruf (2012:49) tujuan orang menggunakan peribahasa adalah untuk
menyingkat pembicaraan, sehingga maksud dan tujuan pembicaraan yang panjang
lebar itu dapat disingkat dan langsung pada intinya. Peribahasa dapat juga diartikan
sebagai ungkapan yang tidak langsung, namun tersirat menyampaikan suatu hal
yang dapat dipahami pembaca atau pendengar.
Contoh :
Tong kosong nyaring bunyinya.
(orang yang bodoh biasanya banyaknya cakapnya atau pembicaraannya).
2.2.5.2 Fungsi Bahasa Figuratif
Bahasa figuratif dalam karya sastra memiliki peran yang sangat penting
dalam penciptaan pada karya sastra tersebut, karena keindahan karya sastra dapat
didukung dengan adanya bahasa figuratif yang digunakannya. Bahasa figuratif
dalam karya sastra dapat memunculkan dan mengembangkan apresiasi dari
64
pembaca. Pembaca dapat masuk dalam suatu karya sastra dengan adanya bahasa
figuratif yang digunakan.
Nurgiyantoro (2009: 297) menyatakan bahwa penggunaan bahasa kias atau
pemajasan dapat membangkitkan kesan dan suasana tertentu, tanggapan indera
tertentu serta memperindah penuturan yang berarti menunjang tujuan-tujuan estetik
karya sastra. Sama halnya penggunaan bahasa kias berperan dalam penyampaian
maksud seseorang. Kadangkala penafsiran seseorang dapat berbeda dengan maksud
yang diungkapkan orang lain melalui gaya bahasa. Sayuti (1985:124)
mengemukakan bahasa kias merupakan sarana atau alat untuk memperjelas
gambaran ide, mengkonkretkan gambaran dan menumbuhkan perpektif baru
melalui komparasi.
Pradopo (1993: 62) mengemukakan bahwa keberadaan majas dapat
membuat karya sastra menjadi menarik perhatian, hidup, dan menimbulkan
kejelasan gambaran angan. Fungsi bahasa kias adalah menggambarkan sesuatu
dalam karya sastra agar menjadi jelas, hidup, intensif, dan menarik. Penggunaan
majas dapat ditujukan untuk membangkitkan kesan dan suasana tertentu, tanggapan
indera tertentu, serta memperindah penuturan, yang berarti menunjang tujuan-
tujuan karya sastra. Dengan demikian fungsi-fungsi yang muncul dari pemanfaatan
pemajasan ada bermacam-macam tetapi semua fungsi itu tetap bertujuan untuk
membangun nilai estetis dalam karya sastra.
Jadi dapat disimpulkan bahwa fungsi bahasa figuratif adalah untuk
memperindah bunyi dan penutur, konkritisasi, menjelaskan gambaran, memberi
penekanan penuturan atau emosi, menghidupkan gambaran, membangkitkan kesan
65
dan suasana tertentu, untuk mempersingkat penulisan dan penuturan dan
melukiskan perasaan tokoh.
2.2.6 Citraan
Citraan dalam karya sastra banyak kita temukan. Tanpa adanya citraan
dalam karya sastra akan mengurangi keindahan karya tersebut. Dibawah ini akan
dijelaskan tentang pengertian citraan dan jenis-jenis citraan.
2.2.6.1 Pengertian Citraan
Citraan atau imagery berasal dari bahasa Latin imago (image). Citraan
merupakan gambaran angan-angan dalam karya sastra. Persoalan citraan (gambaran
angan-angan) berhubungan dengan pemakaian bahasa dan sering dikaitkan dalam
kajian puisi (Supriyanto, 2011:92). Gambaran angan-angan tersebut untuk
menimbulkan suasana yang lebih khusus dan memperhidup gambaran dalam
sebuah pikiran serta penginderaan juga untuk menarik perhatian. Altenbernd
(dalam Pradopo, 2014:80) memandang bahwa citraan adalah gambar-gambar dalam
pikiran dan bahasa yang menggambarkannya. Dalam puisi, untuk memberi
gambaran yang jelas, untuk menimbulkan suasana khusus, untuk membuat lebih
hidup gambaran pikiran dan penginderaan dan juga untuk menarik perhatian,
penyair juga menggunakan gambaran-gambaran angan (pikiran), disamping alat
kepuitisan yang lain. Citraan menggambarkan kesan atau bayangan visual yang
timbul dari sebuah kata, kelompok kata, atau kalimat yang merupakan unsur dasar
yang khas dalam puisi (Patmawati, Sumiarti dan Sujono, 2018).
66
Sayuti (2010:170) mengemukakan bahwa citraan merupakan kesan yang
terbentuk dalam menjaga imajinasi melalui sebuah kata atau rangkai kata,
seringkali merupakan gambaran dalam angan-angan. Citraan merupakan gambaran
pengalaman indera, dalam puisi yang tidak hanya terdiri dari gambran mental saja,
tetapi sesuatu yang mampu pula menyentuh atau mengunggah indera-indera yang
lain. Sedangkan Citraan merupakan suatu bentuk penggunaan bahasa yang mampu
membangkitkan kesan yang konkret terhadap suatu objek, pemandangan, aksi,
tindakan, atau pernyataan yang dapat membedakanya dengan pernyataan yang
abstrak (Baldic dalam Nurgiyantoro 2014:276).
Maulina (2016) menyatakan bahwa citraan merupakan satu dari sekian
banyak teknik ekspresi puitik yang digunakan penyair untuk mengoptimalkan efek
pengukuhan pengalaman indra dalam diri penyair dan membangkitkannya dalam
diri pembaca atau pendengar melalui bahasa tulis. Penyair juga menciptakan
pengimajian (pencitraan) dalam puisinya. Pengimajian adalah kata atau susunan
kata-kata yang dapat memperjelas atau memperkonkret apa yang dinyatakan oleh
penyair (Waluyo, 2002:10).
Selanjutnya Abrams (dalam Al-Ma`ruf, 2009:75) menyatakan bahwa
citraan dalam karya sastra berperan untuk menimbulkan pembayangan imajinatif,
membentuk gambaran mental dan dapat membangkitkan pengalaman tertentu pada
pembaca. Citraan bearti kumpulan citra (the colletion of images), yang digunakan
untuk melukiskan objek dan kualitas tanggapan idera yang digunakan dalam karya
sastra, baik dengan deskripsi secara harafiah maupun secara kias. Sedangkan
menurut Hasanuddin (2002: 110) mengemukakan bahwa pada hakikatnya,
67
permasalahan citraan atau pengimajian ini masih berkaitan dengan permasalahan
diksi. Artinya pemilihan terhadap kata tertentu akan menyebabkan timbulnya daya
saran yang menyebabkan daya bayang pembaca terhadap sesuatu hal. Daya bayang
(imajinasi) pembaca tersentuh, karena beberapa dari indera dipancing untuk segera
membayangkan sesuatu lewat daya bayang yang dimiliki pembaca. Daya bayang
ini tentu saja tergantung kepada kemampuan masing-masing pembaca. Jadi,
pemilihan kata yang tepat dapat menggambarkan suatu daya saran. Daya saran itu
yang akan membangkitkan daya bayang pembaca. Secara imajinatif pembaca akan
menghubungkan pikiran dan perasaanya pada suatu pengalaman yang telah
membuatnya terkesan. Dengan demikian, citraan biasanya lebih mengingatkan
kembali daripada membuat suatu kesan pikiran
Sebagai salah satu alat keindahan atau kepuitisan, citraan berfungsi untuk
memperjelas dan menimbulkan suasana khusus. Dengan demikian, pembaca dapat
merasakan apa yang terdapat dalam karya sastra seakan-akan hidup atau terdapat
dihadapannya. Selain itu juga memberikan suasana yang khusus, jelas dan
memberikan warna setempat maka penulis menggunakan citraan pada karya
sastranya.
Dari beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa citraan
merupakan suatu gambaran anganangan yang terdapat dalam sebuah puisi. Angan-
angan tersebut dapat dilihat, dicium, diraba, dikecap, dan didengar dengan kata lain
disebut oleh panca indra. Gambaran angan-angan yang terdapat dalam sebuah puisi
sangat menyerupai aslinya tetapi tidak benar-benar ada hanya dapat dirasakan
dalam angan-angan pembaca atau pendengar saja. Pemilihan kata yang tepat dapat
68
menggambarkan suatu daya saran. Daya saran itu yang akan membangkitkan daya
bayang pembaca. Secara imajinatif pembaca akan menghubungkan pikiran dan
perasaanya pada suatu pengalaman yang telah membuatnya terkesan. Dengan
demikian, citraan biasanya lebih mengingatkan kembali daripada membuat suatu
kesan pikiran. Sehingga pembaca dapat merasakan isi dan mengerti arti sebuah
makna dalam puisi tersebut.
2.2.6.2 Jenis-Jenis Citraan
Pradopo (2014:82) membagi beberapa jenis citraan, seperti citraan
penglihatan, citraan pendengaran, citraan perabaan, citraan pencecapan, dan citraan
penciuman. Jenis-jenis citraan dibedakan menjadi tujuh, antara lain yaitu citraan
penglihatan, citraan pendengaran, citraan gerakan, citraan perabaan, citraan
penciuman, citraan pencecapan, dan citraan intelektual (Nurgiyantoro, 2014:304).
Jenis-jenis citraan yang diduga produktif dimanfaatkan oleh sastrawan
dalam karya sastranya seperti citraan penglihatan (visual imagery), citraan
pendengaran (auditory imagery), citraan gerakan (movement imagery/
kinaesthetic), citraan perabaan (tactile/ thermal imagery), citraan penciuman (smell
imagery), citraan pencecapan (taste imagery) dan citraan intelektual (intellectual
imagery) (Al-Ma`ruf 2012:195). Sependapat dengan Al-Ma’ruf, Hassanuddin
(2002:117) menyatakan jenis-jenis citraan dibagi menjadi enam yaitu citraan
penglihatan, citraan pendengaran, citraan penciuman, citraan rasaan, citraan rabaan,
dan citraan gerak. Jenis-jenis citraan akan dijelaskan seperti dibawah ini.
69
1) Citraan Penglihatan (Visual Imagery)
Citraan penglihatan adalah citraan yang timbul karena daya saran
penglihatan. Banyak penyair memanfaatkan citraan penglihatan. Pelukisan karakter
tokoh, misalnya keramahan, kemarahan, kegembiraan dan fisik (kecantikan,
keseksian, keluwesan, ketrampilan, kejantanan, kekuatan, ketegapan), sering
dikemukakan penyair melalui citraan penglihatan ini. Banyak penyair
memanfaatkan citraan penglihatan. Citraan ini memang banyak digemari oleh
penyair. Dalam karya sastra, selain pelukisan karakter tokoh cerita, citraan
penglihatan ini juga sangat produktif dipakai penyair untuk melukiskan keadaan,
tempat, pemandangan, atau bangunan. Berikut ini adalah contoh dari citraan
penglihatan.
STANZA
Ada burung dua, jantan dan betina
hinggap di dahan.
Ada daun dua, tidak jantan tidak betina gugur dari dahan.
Ada angin dan kapuk gugur, dua-dua sudah tua
pergi ke selatan.
Ada burung, daun, kapuk, angin, dan mungkin juga debu.
mengendap dalam nyanyiku.
(Rendra, Empat Kumpulan Sajak: 62)
2) Citraan Pendengaran (Auditory Imagery)
Citraan pendengaran adalah citraan yang ditimbulkan oleh pendengaran. Di
samping citraan penglihatan, citraan pendengaran juga produktif dipakai di dalam
karya sastra. Berbagai peristiwa dan pengalaman hidup yang berkaitan dengan
pendengaran yang tersimpan dalam memori pembaca akan mudah bangkit dengan
adanya citraan audio. Lewat citraan pendengaran, sesuatu yang abstrak
digambarkan sebagai sesuatu yang terdengar dan merangsang indera pendengaran.
70
Dengan begitu, seolah-olah ide itu terasa hadir dalam diri pembaca. Berikut ini
adalah contoh dari citraan pendengaran.
CERMIN, 1
cermin tak pernah berteriak; ia pun tak pernah
meraung, tersedan, atau terhisak,
meski apapun terjadi terbalik didalamnya;
barangkali ia hanya bertanya:
mengapa kau seperti kehabisan suara ?
(Sapardi Djoko Damono, Perahu Kertas: 36)
3) Citraan Penciuman (Smell Imagery)
Ide-ide abstrak coba dikonkretkan oleh penyair dengan cara melukiskan
atau menggambarkannya lewat suatu rangsangan yang seolah-olah dapat ditangkap
oleh indera penciuman. Citraan ini mungkin saja digunakan dipergunakan secara
bersama-sama dengan citraan-citraan yang lain. Jenis citraan penciuman jarang
digunakan dibanding citraan gerak, penglihatan, atau pendengaran. Pelukisan
imajinasi yang diperoleh melalui pengalaman idera penciuman di pakai pengarang
untuk membangkitkan imaji pembaca dalam hal memperoleh pengalaman yang
utuh atas teks sastra yang dibacanya melalui idera penciuman. Berikut ini adalah
contoh citraan penciuman.
BUNGA, 3
seuntai kuntum melati yang di ranjang itu sudah berwarna coklat
ketika tercium udara subuh dan terdengar ketukan di pintu tak
ada sahutan
seuntai kuntum melalui itu sudah kering: wanginya mengeras
di empat penjuru dan menjelma kristal-kristal di udara ketika
terdegar ada yang memaksa membuka pintu
lalu terdengar seperti gema, “hei, siapa gerangan yang telah
membawa pergi jasadku ?”
(Sapardi Djoko Damono, Perahu Kertas: 12)
71
4) Citraan Rasaan (Taste Imagery)
Lewat citraan ini, digambarkanlah sesuatu oleh penyair dengan
mengetengahkan atau memilih kata-kata untuk membangkitkan emosi dan guna
menggiring daya bayang pembaca lewat sesuatu seolah-olah dapat dirasakan oleh
indera pencecapan pembaca. Citraan ini adalah pelukisan imajinasi yang
ditimbulkan oleh pengalaman idera pencecapan dalam hal ini lidah. Dengan citraan
ini pembaca akan lebih mudah membayangkan bagaimana sesuatu, makanan, atau
minuman misalnya yang diperoleh dari lidah. Berikut ini adalah contoh dari citraan
rasaan.
SAJAK BERKACA
Kuterima telanjang dari kaca
Berdua terasa tolol dan sia-sia
Kugapai bayangan yang lain
Untuk minum bersama
Gelas masih penuh
Dan bila kau datang
Kan kuajak kau minum bersama
Sajakku minum ramuan racun
Setelah menyaksikan
Bayangan kita kehilangan kau dan aku
Seperti beribu gelombang kehilangan laut
1979
(Leon Agusta, Hukla: 16)
5) Citraan Rabaan (Tactile Imagery)
Citraan rabaan adalah citraan yang berupa lukisan yang mampu
menciptakan suatu daya saran bahwa seolah-olah pembaca dapat tersentuh;
bersentuhan; atau apapun yang melibatkan efektivitas indera kulitnya. Sesuatu yang
diungkapkan seolah-olah dapat dirasakan, seperti lengannya tersayat pisau atau
ungkapan lama tetapi masih sering dipergunakan juga oleh banyak orang perihnya
72
hati bagai tertusuk sembilu. Dalam fiksi, citraan rabaan terkadang dipakai untuk
melukiskan keadaan emosional tokoh. Biasanya citraan perabaan digunakan untuk
lebih menghidupkan imaji pembaca dalam memahami teks karya sastra sehingga
timbul efek estetis. Berikut ini adalah contoh dari citraan rabaan.
TAJAM HUJANMU
tajam hujanmu
ini sudah terlanjur mencintaimu: payung terbuka dan
bergoyang-goyang di tangan kananku, air yang menetes
dari pinggir-pinggir payung itu, aspal yang gemeletuk
di bawah sepatu, arloji yang buram berair kacanya, dua
tiga patah kata yang mengganjal di tenggorokan
deras dinginmu
sembilu hujanmu
(Sapardi Djoko Damono, Perahu Kertas: 30)
6) Citraan Gerak (Kinaesthetic Imagery)
Citraan gerak ini dimanfaatkan dengan tujuan lebih menghidupkan
gambaran dengan melukiskan sesuatu yang diam itu seolah-olah bergerak.Citraan
gerakan melukiskan sesuatu yang sesungguhnya tidak bergerak ataupun gambaran
gerak pada umumnya. Citraan gerak dapat membuat sesuatu menjadi terasa hidup
dan terasa menjadi dinamis. Berikut ini adalah contoh dari citraan gerak.
GONGGONGAN ANJING
untuk Rizki
gonggongan anjing itu mula-mula lengket di lumpur lalu
merayapi pohon cemara dan tergelincir di atas rumah
menyusup lewat celah-celah genting bergema dalam kamar
demi kamar tersuling lewat mimpi seorang lelaki
“siapa yang bernyanyi bagai bidadari ?” tanya sunyi.
(Sapardi Djoko Damono, Perahu Kertas: 31)
73
2.2.6.3 Fungsi Citraan
Citraan berperan penting untuk menimbulkan pembayangan imajinatif,
membentuk gambaran mental, dan dapat membangkitkan pengalaman tertentu pada
pembaca. Citraan dalam hal ini merupakan kata-kata yang mampu menarik
gambaran dalam imajinasi, membuat kesan pembaca, dan melukiskan sesuatu
mengenai ide atau gagasan yang hendak disampaikan. Fungsi citraan adalah
merangsang imajinasi, menggugah perasaan dan pikiran-pikiran dibalik sentuhan
indera.
Nurgiyantoro (2014:278) mengungkapkan citraan berfungsi untuk
memberikan kemudahan bagi pembaca untuk membayangkan, merasakan, dan
menangkap pesan yang ingin disampaikan pengarang. Menurut Pradopo (2012)
citraan berfungsi untuk memberikan gambaran yang jelas, untuk menimbulkan
suasana yang khusus, untuk membuat (lebih) hidup gambaran dalam pikiran
penginderaan dan juga untuk menarik perhatian, penyair juga menggunakan
gambaran-gambaran angan (pikiran), di samping alat kepuitisan yang lain.
Selain untuk mengongkretkan citraan juga berfungsi untuk menghidupkan
penuturan. Nurgiyantoro (2014:277) mengemukakan bahwa pengimajian adalah
penataan kata yang menyebabkan makna-makna abstrak menjadi konkret dan
cermat. Kekonkretan dan kecermatan makna-makna itu menggugah kekonkretan
dan kecermatan penglihatan atau pendengaran imajian pembaca. Lewat
penggunaan yang seperti itu mampu menghidupkan penuturan.
Dari pendapat di atas dapat dikatakan bahwa citraan memiliki fungsi untuk
mengongkretkan sehingga memberikan kemudahan tersendiri untuk pembaca.
74
Dalam hal ini mengongkretkan bukan berarti benar-benar nyata dilihat, didengar
oleh mata dan telinga tetapi benar-benar nyata di sini maksudnya lewat rongga
imajinasi jadi seolah-olah mengongkretkan. Usaha pengkonkretan sesuatu yang
abstrak menjadi (seolah-olah) konkret lewat bentuk-bentuk citraan, adalah sebuah
upaya untuk lebih mengefektifkan penuturan itu. Lewat penggunaan bentuk-bentuk
citraan, sesuatu yang dituturkan menjadi lebih konkret, mudah dibayangkan, mudah
diimajinasikan dan karenanya juga menjadi lebih mudah dipahami. Maka
penggunaan bentuk-bentuk citraan itu pada hakikatnya merupakan upaya
pengarang untuk memfasilitasi pembaca agar lebih mudah menangkap muatan
makna dari sesuatu yang disampaikan.
2.2.7 Hakikat Puisi
Istilah puisi berasal dari bahasa Yunani yaitu Poeima yang berarti
‘membuat’ atau Poeisis yang berarti ‘pembuatan’. Dalam bahasa Inggis disebut
Poem atau Poetry. Pada hakikatnya, puisi adalah karya seni. Cahyadi (2014)
menyatakan puisi sebagai salah satu karya seni sastra dapat dikaji dari bermacam-
macam aspeknya. Puisi dapat dikaji struktur dan unsur-unsur, mengingat bahwa
puisi adalah struktur yang tersusun dari bermacam-macam unsur dan sarana
kepuitisan. Dapat pula dikaji jenis-jenis atau ragamnya. Begitu juga puisi dapat
dikaji dari sudut pandang kesejarahannya, dari waktu ke waktu puisi selalu
diciptakan dan dibaca orang sepanjang zaman, puisi selalu mengalami perubahan
dan perkembangan.
75
Puisi merupakan salah satu bentuk karya sastra (Pradopo, 2014:329). Puisi
adalah bentuk karya sastra yang mengekspresikan secara padat pemikiran dan
perasaan penyairnya, diubah dalam wujud dan bahasa yang paling berkesan. Puisi
banyak memanfaatkan kekuatan citraan untuk melukiskan sesuatu agar mudah
diimajinasikan, dengan adanya citraan pembaca seolah-olah dapat tergugah
tanggapan inderanya (Aris, 2019).
Waluyo (1987:22) menyatakan bahwa puisi adalah karya sastra yang
dipadatkan, dipersingkat, dan diberi irama dengan bunyi yang padu dan pemilihan
kata-kata kias (imajinatif). Kata-kata dipilih agar memiliki kekuatan pengucapan.
Walaupun dipersingkat atau padat, namun memiliki kekuatan, sedangkan untuk
kata yang digunakan memiliki rima dan memiliki makna konotatif atau bergaya
figuratif. Penekanan pada segi estetik pada suatu bahasa serta penggunaan sengaja
pengulangan, meter dan rima merupakan hal yang membedakan pada puisi dari
prosa. Puisi adalah ungkapan secara implisit dan samar, dengan makna yang
tersirat, di mana katakatanya condong pada makna konotatif. Menurut Perrine
(dalam Siswantoro 2014:23) puisi dapat didefinisikan sebagai jenis bahasa yang
mengatakan lebih banyak dan lebih intensif daripada apa yang dikatakan oleh
bahasa harian.
Lamusu (2010) menyatakan bahwa sejak awal puisi telah dihubungkan
dengan kehidupan manusia yang diungkapkan melalui imajinasi yang hidup,
susunan ritmik (irama), dan bunyi yang menyenangkan. Menurut Rozak (2018)
puisi merupakan salah satu hasil sastra buah ekspresi, pemikiran dan perasaan dari
76
penyair. Penyair secara imajinatif menyusun kata dan bahasa secara selektif
sehingga memiliki kekuatan bahasa dan imajinatif.
Hakikat puisi menurut Pratiwi (2016:14) yaitu 1) puisi mengungkapkan
spiritualitas penyair dalam merespon kehidupan, 2) puisi ditulis dengan bahasa
yang kreatif dan multiinterpretatif sehingga menciptakan ruang imajinasi estetis
bagi penyair maupun pembaca, dan 3) puisi ditulis dengan mempertimbangkan
penataan baris dan bait sehingga tipografinya khas. Prismarini (2011) puisi adalah
satu media penyampaian pesan dengan banyak perlambangan, yang di dalamnya
dapat ditemukan suatu potret situasi. Astuti (2013) menyatakan bahwa puisi bentuk
karya paling tua. Puisi memang dikonsep oleh penyair atau penulisnya sebagai puisi
bukan prosa yang dipuisikan.
Irfan (2013) menyatakan bahwa puisi diciptakan penyair untuk seluruh
lapisan masyarakat, dan di dalamnya terkandung peristiwa-peristiwa yang terjadi
dalam kehidupan masyarakat. Peristiwa tersebut bersifat universal dan kompleks
yang mencerminkan segala hal tentanag kehidupan manusia, termasuk di dalamnya
menyangkut kehidupan rakyat dan penguasa. Selanjutnya menurut Sayuti
(2010:41) pada hakikatnya puisi merupakan sebuah kesatuan, yakni kesatuan
semantis dan bentuk formalnya, pilihan dan pengendapan salah satu dasar ekspresi
penciptaan akan berpengaruh pada bahasa berikut semua aspek yang melekat
padanya, yang menjadi media ekspresinya. Puisi merupakan salah satu genre karya
sastra yang paling awal muncul. Kemunculan salah satu genre karya sastra ini
mengalami perkembangan sesuai dengan masanya (Muklis, Supriyanto dan
Mulyani, 2018).
77
Doyin (2008:1) menyatakan bahwa puisi adalah ungkapan perasaan atau
pikiran penulisnya, atau sesuatu yang dituangkan dalam puisi apa yang dipikirkan
atau apa yang dirasakan oleh penyair sebagai respon terhadap apa yang ada di
sekelilingnya. Ada juga yang mengatakan puisi merupakan hasil kreasi manusia
yang mampu menggambarkan dan memaparkan realitas kehidupan sosial
(Aminudin dalam Imron 2009: 142). Namun, berbeda lagi dengan pendapat para
ahli sastra aliran romantik yang memberikan definisi mengenai puisi. Puisi
merupakan jenis sastra yang merupakan ekspresi jiwa manusia yang dituliskan
dalam bentuk teks yang penulisannya memperhatikan bunyi dan rima, nada atau
ritme serta pilihan kata atau diksi (Nufus 2016: 101).
Dari beberapa pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa puisi adalah adalah
karya sastra yang memiliki unsur-unsur pembentuk yang sistematis dan kompleks,
banyak mengandung makna konotatif, dan memiliki unsur keindahan atau estetis
dan dapat juga disebutkan kata-kata yang mengungkapkan pikiran dan perasaan
penyair yang disusun sebaik-baiknya sehingga pembaca mampu memahami dan
menikmati apa yang diungkapkan penyair dalam puisi tersebut.
2.2.8 Unsur-unsur Pembangun Puisi
Puisi adalah bentuk ungkapan ekspresi dari penyairnya, unsur-unsur puisi
tidaklah berdiri sendiri-sendiri tetapi merupakan sebuah struktur. Seluruh unsur
merupakan kesatuan dan unsur yang satu dengan unsur lainnya menunjukkan diri
secara fungsional, artinya unsur-unsur itu berfungsi bersama unsur lain dan di
dalam kesatuan dengan totalitasnya. Puisi merupakan suatu kesatuan yang akan
78
membentuk makna yang indah. Unsur-unsur puisi meliputi bunyi, diksi, bahasa
kiasan, citraan, sarana retorika, bentuk visual, dan makna (Jabrohim, 2012:33).
Menurut Wiyatmi, (2006:57) unsur puisi menjadi dua, yakni: (1) unsur bentuk yang
dapat disebut sebagai struktur fisik, unsur tersebut antara lain: diksi, pengimajian,
kata konkret, kiasan, rima dan ritme, serta tipografi. (2) Unsur isi dapat pula
disebut sebagai struktur batin yang terdiri atas tema, nada, perasaan, dan amanat.
Hasanah (2013) menyatakan bahwa dalam kajian struktural, analisis tidak
berhenti pada identifikasi unsur-unsur yang terlepas. Lebih dari itu, analisis
struktural harus menjelaskan pula hubungan setiap unsur dalam membentuk
keseluruhan makna. Waluyo (1987:27), struktur fisik puisi terdiri atas baris-baris
puisi yang bersama-sama membangun bait-bait puisi. Selanjutnya, bait-bait itu
membangun kesatuan makna di dalam keseluruhan puisi sebagai sebuah wacana.
Adapun unsur-unsur yang termasuk dalam struktur fisik puisi menurut Waluyo
adalah (1) diksi, (2) pengimajian, (3) kata konkret, (4) majas (meliputi lambang dan
kiasan), (5) versifikasi (meliputi rima, ritma, dan metrum), (6) tipografi, dan (7)
sarana retorika. Adapun struktur batin puisi menurut waluyo terdiri atas tema, nada
perasaan, dan amanat.
Berdasarkan pendapat-pendapat yang diuraikan di atas, pada dasarnya unsur
puisi terbagi menjadi dua yaitu struktur fisik dan struktur batin. Merangkum
pendapat beberapa ahli di atas, struktur fisik puisi terdiri dari diksi, bahasa kias,
citraan (pengimajian), kata konkret, rima dan ritma, sarana retorika, dan tipografi,
sedangkan struktur batin puisi meliputi tema, nada, perasaan, dan amanat.
79
Untuk memberikan pengertian yang lebih memadai berikut ini
dikemukakan uraian mengenai unsur-unsur pembangun puisi.
a. Struktur Fisik
Struktur fisik puisi terdiri atas baris-baris puisi yang bersama-sama
membangun bait-bait puisi. Bait-bait tersebut membangun kesatuan makna di
dalam keseluruhan puisi. Unsur-unsur struktur fisik antara lain terdiri dari diksi,
bahasa figuratif, citraan, kata konkret, versifikasi dan tipografi.
1) Diksi (Pilihan Kata)
Diksi atau pilihan kata mempunyai peranan penting dan utama untuk
mencapai keefektifan dalam penulisan suatu karya sastra. Untuk mencapai diksi
yang baik seorang penulis harus memahami secara lebih baik masalah kata dan
maknanya, harus tahu memperluas dan mengaktifkan kosa kata, harus mampu
memilih kata yang tepat, kata yang sesuai dengan situasi yang dihadapi. Menurut
Sayuti (2010:144), diksi merupakan faktor penentu seberapa jauh seorang penyair
mempunyai daya cipta yang asli. Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan
bahwa diksi adalah pilihan kata yang tepat dan sesuai untuk mengekspresikan
maksud dan gagasan penyair. Diksi adalah pemilihan kata untuk mengungkapkan
suatu gagasan, mengungkapkan suasana tertentu dan digunakan untuk mencapai
efek tertentu (Simarmata, 2014).
Semi (1993:122) mengungkapkan bahwa diksi merupakan pemilihan kata.
Pemilihan kata yang tepat akan menentukan keberhasilan dalam berkomunikasi.
Dalam karya sastra, pemilihan kata yang tepat akan menimbulkan gagasan yang
sama antara penulis dengan apa yang dipikirkan oleh pembaca. Sebaliknya, jika
80
pemilihan kata tidak tepat maka dapat menimbulkan kebingungan bagi pembaca.
Kemampuan memilih kata yang tepat didukung dengan penugasan kosakata.
Dengan banyaknya kosakata yang telah dipelajari maka sudah seharusnya
pembelajar dapat memakai kosakata secara tepat (Indrasari, 2018).
Pilihan kata juga berhubungan dengan masalah sintagmatik dan
paradigmatik. Hubungan sintagmatik berkaitan dengan hubungan antar kata secara
liniar untuk membentuk sebuah kalimat. Sesungguhnya kata tidak bisa dilepaskan
dari hubungannya dengan kata lain dalam kalimatnya karena tanpa adanya
hubungan dengan unsur kalimat yang lain maka makna tidak bisa terungkap
(Wulandari, 2009).
Pendapat tersebut senada dengan Waluyo (2003:72) mengemukakan bahwa
penyair sangat cermat dalam memilih kata-kata karena kata-kata yang ditulis harus
dipertimbangkan maknanya, komposisi bunyi dalam rima dan irama, kedudukan
kata itu di tengah konteks kata lainnya dan kedudukan kata dalam keseluruhan puisi
itu. Contoh dalam puisi ada kalimat: “Sekejap mata kumengenalimu”, “Ada lukisan
angin di balik awan”. Kalimat dalam puisi tersebut dapat diperoleh hasil analisis
diksi seperti berikut. Kata “sekejap” lebih indah dipakai dan lebih mendukung
suasana puisi dibandingkan jika pilihan kata yang digunakan kata “sebentar” maka
keindahan puisi tidak dapat dinikmati.
Asrofah, Rustono, Supriyanto, dan Mulyani (2017) menyatakan bahwa kata
berisi dua aspek dan konten. Hal pertama terkait dengan bentuk perwujudan yang
muncul sebagai ekspresi, sedangkan yang terakhir terkait dengan makna yang dapat
menghasilkan reasi dalam pikiran seseorang. Hal tersebut yang menjadikan pilihan
81
kata seorang pengarang mempunyai gaya kata sendiri, kata yang kaitannya erat
dengan hakikat karya sastra yang penuh dengan intensitas.
Aminuddin (1995: 201) bahwa pemilihan kata dalam karya sastra
merupakan alat untuk menyampaikan gagasan dan nilai estetis tertentu. Nurain
(2014) karya sastra tidak pernah hadir secara netral atau bebas nilai; semata-mata
membawa nilai estetis. Karya sastra selalu membawa nilai kehidupan, baik yang
disematkan langsung oleh penulisnya ataupun oleh audiensnya.
Dapat disimpulkan bahwa diksi merupakan kata-kata yang digunakan
penyair untuk memperoleh daya matis dan menghasilkan aspek estetis pada puisi,
kata-kata yang dipilih menjadi media penyair dalam menyampaikan gagasan.
2) Bahasa Figuratif (Pemajasan)
Bahasa figuratif dapat dikatakan sebagai bahasa berfigura atau bahasa yang
berbingkai. Bahasa figuratif menyebabkan puisi menjadi dramatis artinya
memancarkan makna atau kaya makna. Waluyo (1987:83) menegaskan bahwa
bahasa figuratif terdiri atas pengiasan yang menimbulkan makna kias dan
perlambangan yang menimbulkan makna lambang. Makna kias disebut juga simile
atau persamaan, karena membandingkan atau menyamakan sesuatu hal dengan hal
lain. Maka dalam makna lambang mempunyai arti sesuatu hal yang diganti atau
dilambangkan dengan hal lain.
Selanjutnya Keraf (2015:136) menyatakan bahwa bahasa figuratif sering
disebut bahasa kias. Bahasa kias pertama-tama dibentuk berdasarkan perbandingan
atau persamaan. Membandingkan sesuatu dengan sesuatu hal yang lain, berarti
mencoba menemukan ciri-ciri yang menunjukkan kesamaan antara kedua hal
82
tersebut. Perbandingan sebenarnya mengandung dua pengertian yaitu perbandingan
yang termasuk dalam gaya bahasa yang polos atau langsung dan perbandingan yang
termasuk dalam gaya bahasa kiasan. Peran majas dalam puisi merupakan unsur
terpenting dalam sebuah puisi. Jika diperumpamakan, puisi adalah rumah, maka
majas sebagai lenteranya. Tanpa majas, mungkin puisi akan tetap berdiri, namun
tidak bermakna.
Sependapat dengan Keraf, Supriyanto (2011: 68) menyatakan bahwa bahasa
figuratif merupakan gaya bahasa kiasan. Bahasa kias merupakan bahasa
perbandingan. Bahasa figuratif ialah bahasa yang digunakan penyair untuk
menyampaikan sesuatu dengan cara yang tidak biasa, yakni secara tidak langsung
mengungkapkan makna. Dapat disimpulkan bahwa bahwa figuratif terdiri dari
makna kias dan makna lambang. Makna kias yaitu membandingkan atau
menyamakan sesuatu hal dengan benda lain, sedangkan makna lambang adalah
menggantikan suatu hal dengan benda lain.
3) Citraan (Pengimajian)
Citraan atau imaji (image) adalah gambaran-gambaran angan, gambaran
pikiran, kesan mental atau bayangan visual dan bahasa yang menggambarkannya.
Waluyo (2003:78) menyatakan bahwa pengimajian adalah kata atau susunan kata-
kata yang dapat mengungkapkan pengalaman sensoris, seperti penglihatan,
pendengaran, dan perasaan. Melalui pengimajian, apa yang digambarkan seolah-
olah dapat dilihat (imaji visual), didengar (imaji auditif), dan dirasa (imaji taktil).
Secara umum pengimajian dikenal dengan pencitraan. Citraan berfungsi untuk
83
menggambarkan yang jelas, menimbulkan suasana yang khusus, membuat suasana
lebih hidup dan menarik perhatian.
Supriyanto (2011:92) menyatakan bahwa citraan adalah gambaran angan-
angan dalam karya sastra. Persoalan citraan (gambaran angan-angan) berhubungan
dengan pemakaian bahasa dan sering dikaitkan dalam kajian puisi. Sayuti
(2010:170) mengemukakan bahwa citraan merupakan kesan yang terbentuk dalam
menjaga imajinasi melalui sebuah kata atau rangkai kata, seringkali merupakan
gambaran dalam angan-angan.
Maulidya (2018) menyatakan bahwa imaji membuat pembaca atau
pendengar seolah-olah melihat dan dapat merasakan secara indrawi. Siswantoro
(2014: 119) berpendapat bahwa imaji bisa berupa visual (terkait dengan aspek
penglihatan), auditif (terkait dengan aspek pendengaran), tectile ( terkait dengan
aspek sentuhan atau rabaan), olfaktory (terkait dengan aspek penciuman), dan
sensasi internal (terkait dengan aspek seperti pikiran, rasa mual, rasa mabuk, emosi
dan lain-lain).
Berdasarkan pendapat para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa citraan
(pengimajian) merupakan gambaran pengalaman indera, dalam puisi yang tidak
hanya terdiri dari gambaran mental saja, tetapi sesuatu yang mampu pula
menyentuh atau mengunggah indera-indera yang lain.
4) Kata Konkret
Kata konkret ialah kata-kata yang dapat dilukiskan dengan tepat,
membayangkan dengan jitu akan apa yang hendak di kemukakan oleh penyair.
Waluyo (2003:79) mengungkapkan bahwa setiap penyair berusaha mengonkretkan
84
hal yang ingin dikemukakan. Hal tersebut bertujuan agar pembaca membayangkan
dengan lebih hidup apa yang dimaksudkan. Berkaitan dengan pendapat tersebut,
kata konkret juga disebut dengan kata yang dapat ditangkap dengan indera yang
memungkinkan munculnya imaji. Dengan kata yang diperkonkretkan, pembaca
dapat membayangkan secara jelas peristiwa atau kejadian yang dilukiskan oleh
penyair.
Nuriadin (2017) kata konkret adalah kata nyata. Maksudnya bahwa kata
konkret digunakan untuk membangkitkan imaji (daya bayang) pembaca, maka kata
harus diperkonkret. Pengkonkretan di sini bertujuan untuk mengajak pembaca
seolah-olah ada dalam puisi yang sedang dibacanya, atau dengan kata lain pembaca
dapat merasakan apa yang ada di dalam puisi tersebut. Selanjutnya menurut
Azharina (2017) menyatakan bahwa kata konkret adalah kata-kata yang ditangkap
dengan pancaindra. Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa kata
konkret adalah kata-kata yang digunakan penyair untuk membangkitkan data
bayang pembaca, sehingga pembaca seolah-olah melihat, mendengar atau merasa
apa yang dilukiskan penyair.
5) Versifikasi (Rima, Ritma, Metrum)
Versifikasi terdiri atas tiga hal yaitu rima, ritma, dan metrum. Marjorie
Boulton (dalam Waluyo, 2003:90), menyebutkan rima sebagai phonetic form.
(1) Rima adalah pengulangan bunyi pada puisi, baik di awal, tengah, dan akhir
baris puisi, rima menyangkut perpaduan bunyi konsonan dan vokal untuk
membangun orkestrasi atau musikalitas (Waluyo, 2003: 12).
85
(2) Ritma berupa pengulangan bunyi, kata, frase, dan kalimat yang teratur suatu
baris puisi menimbulkangelombang yang teratur dan menciptakan keindahan.
Ritma berasal dari bahasa Yunani rheo yang berarti gerakan- gerakan air yang
teratur, terus-menerus, dan tidak putus-putus (Waluyo 2003:94).
(3) Metrum adalah sebagai satuan irama yang ditentukan oleh jumlah dan tekanan
suku kata dalam setiap baris puisi. Hindun (2012) menyatakan bahwa metrum
terdiri atas konsonan dan vocal.
6) Tipografi
Tipografi merupakan pembeda yang paling awal dapat dilihat dalam
membedakan puisi dengan prosa fiksi dan drama. Karena itu, ia merupakan
pembeda yang sangat penting (Jabrohim, 2012:54). Menurut Semi (1993:135)
mengemukakan bahwa tipografi disebut juga ukiran bentuk. Peranan tipografi
dalam puisi, untuk menampilkan aspek artistik visual, dan menciptakan nuansa
makna dan suasana tertentu (Aminuddin, 2011:146).
Tipografi adalah bentuk visual puisi yang berupa tata hubungan dan tata
baris (Sayuti, 2010:329). Lebih lanjut, merumuskan tipografi sebagai ukiran bentuk
atau susunan baris-baris dan bait-bait suatu puisi. Termasuk ke dalam tipografi ialah
penggunaan huruf-huruf untuk menuliskan kata-kata suatu puisi. Lubis (2019)
menyatakan bahwa tipografi adalah tatanan larik, bait, dan kalimat untuk
menghasilkan suatu bentuk fisik yang mampu mendukung isi, rasa, dan suasana.
Dalam puisi-puisi kontemporer, tipografi itu dipandang begitu penting sehingga
menggeser kedudukan makna kata-kata.
86
Doyin (2015) menyatakan bahwa tifografi melibatkan penulisan judul,
penulisan nama, garis, bait, huruf besar, panjang puisi. Puisi berbentuk bait, larik-
larik puisi tidak membangun periodisitet yang disebut paragraf, baris puisi tidak
harus bermula dari tepi kiri dan berakhir ke tepi kanan baris. Tepi kiri atau tepi
kanan dari halaman yang memuat puisi belum tentu terpenuhi tulisan dan hal ini
tidak berlaku bagi tulisan yang berbentuk prosa.
b. Struktur Batin
Struktur batin puisi mengungkapkan apa yang hendak dikemukakan oleh
penyair dengan perasaan dan suasana jiwanya. Di ungkapakan oleh Richards
(dalam Waluyo, 1987: 106) menyatakan bahwa makna atau struktur batin itu
dengan istilah hakikat puisi. Ada empat unsur hakikat puisi yaitu tema (sense),
perasaan penyair (feeling), nada atau sikap penyair terhadap pembaca (tone) dan
amanat (intention).
1) Tema
Tema adalah pokok permasalahan yang menjadi dasar pencitraan.Untuk
menentukan tema, harus dipahami dulu totalitas makna. Totalitas makna adalah
seluruh makna puisi dari hasil apresaiasi unsur-unsur puisi. Tema bisa ditentukan
dengan cara menyimpulkan totalitas makna. Waluyo (2003:106) menyatakan
bahwa tema adalah gagasan pokok (subject-matter) yang dikemukakan penyair
melalui puisinya. Tema merupakan gagasan pokok tersirat dalam keseluruhan isi
puisi. Perasaan-perasaan yang diungkapkan merupakan penggambaran suasana
batin. Tema mengacu pada penyair. Pembaca sedikit banyak harus mengetahui latar
belakang penyair. Pembaca sedikit banyak harus mengetahui latar belakang penyair
87
agar tidak salah menafsirkan tema puisi tersebut. Karena itu, tema bersifat khusus
(diacu dari penyair), objektif (semua pembaca harus menafsirkan sama), dan lugas
(bukan makna kias yang diambil dari konotasinya).
2) Rasa
Rasa yaitu sikap penyair mengenai pokok permasalahan yang terdapat
dalam puisinya. Pengungkapan tema dan rasa erat kaitannya akan latar belakang
sosial dan psikologi penyair, seperti latar belakang pendidikan, agama, jenis
kelamin, kelas sosial, kedudukan dalam masyarakat, usia, pengalaman sosiologis
dan psikologis, dan pengetahuan. Kedalaman pengungkapan tema dan ketetapan
dalam menyikapi suatu masalah tidak tergantung dari kemampuan penyair memili
kata-kata, rima, gaya bahasa, dan bentuk puisi saja, namun juga dari wawasan,
pengetahuan, pengalaman, dan keperibadian yang terbentuk oleh latar belakang
sosiologis dan psikologisnya. Perasaan ini berhubungan dengan suasana hati yang
dirasakan oleh penyair saat menulis puisi. Kondisi perasaan penyair akan
mempengaruhi karya puisi yang diciptakannya. Dalam menciptakan puisi, suasana
perasaan penyair ikut diekspresikan (Waluyo, 1987:121).
3) Nada
Nada adalah sikap penyair terdapat pembacanya. Nada berhubungan dengan
tema dan rasa. Penyair dapat menyampaikan tema baik dengan nada yang
menggurui, mendikte, bekerja sama dengan pembaca dalam pemecahan masalah,
menyerahkan masalah kepada pembaca, dengan nada sombong, menganggap
bodoh dan rendah pembaca dan lain-lain (Waluyo, 1987:125). Nada dalam puisi
dapat mengungkapkan sikap penyair terhadap pembaca, nada yang dikaitkan
88
dengan suasana. Jadi dapat disimpulkan nada berarti sikap penyair terhadap
pokok persoalan dan sikap penyair terhadap pembaca, maka suasana berarti
keadaan perasaan yang ditimbulkan oleh pengungkapan nada dan lingkungan
yang dapat ditangkap oleh panca indera.
4) Amanat
Amanat adalah pesan yang akan disampaikan penyair kepada pembaca yang
terdapat dalam puisi tersebut. Waluyo (1987:130) menyatakan bahwa tujuan atau
amanat merupakan hal yang mendorong penyair untuk menciptakan puisinya.
Amanat tersirat di balik kata-kata yang disusun dan juga berada di balik tema yang
di ungkapkan. Amanat akan disampaikan oleh penyair dan dapat ditelaah setelah
tema, rasa, dan nada puisi dipahami. Kusumawati (2013) menyatakan bahwa karya
sastra pada hakikatnya selalu membawa pesan atau amanat yang berhubungan
dengan sifat-sifat luhur dan utama guna memperjuangkan hak dan martabat
manusiaa. Amanat adalah hal yang mendorong penyair untuk menciptakan
puisinya.
2.2.8 Biografi M.Aan Manyur
M Aan Mansyur atau Aan adalah seorang penyair asal Bone, Sulawesi
Selatan. Aan lahir pada tanggal 14 Januari 1982. Ia menamatkan pendidikannya di
jurusan Sastra Inggris Universitas Hasanuddin, Makassar pada tahun 2005. Aan
adalah anak sulung dengan dua adik dari sebuah keluarga di Bone. Mereka hidup
bersama ibunya, seorang penjual sayur, setelah ayahnya pergi dan tidak pernah
89
kembali. Saat masih kecil, Aan adalah seorang anak yang pendiam dan tidak punya
banyak teman. Aan sering sekali mengurung diri di dalam rumah.
Kecintaan Aan terhadap dunia tulis-menulis tumbuh saat ia membaca
koleksi buku kakeknya di rumah. Sejak SD, Aan menulis cerita-cerita penek.
Kemampuan ini terus diasah saat SMP dan SMA. Beberapa majalah atau tabloid
anak dan remaja cukup sering menerbitkan tulisan Aan yang dikirimkan dengan
berbagai nama samaran. Honor yang Aan terima digunakan untuk menutup biaya
sekolah.
Pada tahun 1997, Aan merantau ke Makassar. Dia menghabiskan setahun
pertama untuk mengunjungi beberapa perpustakaan di kota itu. Setahun kemudian,
Aan kuliah di jurusan Sastra Inggris Universitas Hasanuddin. Sejak 2001, ia
bertekad untuk hidup dari menulis. Meski tidak mudah, Aan berjanji tidak mau
keluar kampus sebelum menerbitkan sebuah buku. Menjelang lulus, Aan
menerbitkan buku kumpulan puisinya Hujan Rintih-rintih (2005). Dua tahun
berikutnya, ia menerbitkan novel Perempuan, Rumah Kenangan (2007). Menyusul
kemudian Aku Hendak Pindah Rumah (2008), Cinta yang Marah (2009), Tokoh-
tokoh yang Melawan Kita dalam Satu Cerita (2012), Sudahkah Kau Memeluk
Dirimu Hari Ini? (2012), Kukila (2012), Kepalaku: Kantor Paling Sibuk di Dunia
(2014), dan Melihat Api Bekerja (2015). Karya terbaru Aan adalah sebuah buku
kumpulan puisi berjudul Tidak Ada New York Hari Ini. Aan menulis 31 puisi yang
mewakili cerita Rangga selama terpisah dari Cinta dari film Ada Apa Dengan Cinta
2. Kini, Aan aktif sebagai pustakawan di Katakerja. Katakerja merupakan ruang
alternatif bagi warga kota untuk merekatkan jejaring kaum muda kreatif di
90
Makassar. Kegiatannya beragam, mulai dari membuka toko buku kecil, pelatihan
keterampilan, diskusi, hingga pentas musik. Selain itu, Aan juga aktif sebagai
kurator dalam Makassar International Writers Festival (MIWF) yang digelar sejak
tahun 2011.
2.3 Kerangka Berpikir
Kerangka berpikir guna memperoleh jawaban sementara atas permasalahan
yang timbul. Berikut ini merupakan kerangka berpikir dari penelitian yang berjudul
“Bahasa Figuratif dan Citraan dalam Kumpulan Puisi Melihat Api Bekerja Karya
M.Aan Mansyur: Kajian Stilistika”. Dalam kerangka berpikir ini dijelaskan alur
penelitian yang akan dilakukan. Pertama kumpulan puisi Melihat Api Bekerja
Karya M.Aan Mansyur ini akan diteliti dari segi bentuk, makna serta fungsi bahasa
figuratif dan citraan dengan menggunakan kajian stilistika kemudian mencari
hubungan antara bahasa figuratif dan citraan dan yang terakhir dari penelitian
tersebut barulah akan ditarik sebuah kesimpulan.
Berikut ini merupakan bagan kerangka berpikir dari penelitian yang
berjudul “Bahasa Figuratif dan Citraan dalam Kumpulan Puisi Melihat Api Bekerja
Karya M.Aan Mansyur: Kajian Stilistika”.
91
Gambar 1. Skema Kerangka Berpikir
Kumpulan puisi Melihat Api Bekerja karya
M. Aan Mansyur
Bentuk, makna, fungsi citraan yang
dipakai dalam kumpulan puisi
Melihat Api Bekerja karya M. Aan
Mansyur
Bentuk, makna dan fungsi bahasa
figuratif yang dipakai dalam kumpulan
puisi Melihat Api Bekerja karya M. Aan
Mansyur.
Analisis Kajian
Stilistika
Simpulan
Hubungan antara bahasa figuratif dan
citraan dalam kumpulan puisi Melihat
Api Bekerja karya M. Aan Mansyur.
225
BAB V
PENUTUP
5.1 Simpulan
Berdasarkan analisis bahasa figuratif dan citraan dalam kumpulan puisi
Melihat Api Bekerja karya M.Aan Mansyur dengan kajian stilistika diperoleh hasil
kesimpulan sebagai berikut.
Pertama, penggunaan bahasa figuratif yang terbagi menjadi majas dan
idiom ditemukan dalam kumpulan puisi Melihat Api Bekerja karya M.Aan
Mansyur. Bentuk bahasa figuratif dalam majas simile terdapat 27 data dari 18 puisi,
majas metafora 17 data dari 6 puisi, majas personifikasi 18 data dari 11 puisi, majas
metonimia 3 data dari 2 puisi, majas sinekdoke 3 data dari 3 puisi dan idiom 8 data
dari 8 puisi yang terdapat dalam kumpulan puisi Melihat Api Bekerja karya M.Aan
Mansyur. Makna bahasa figuratif mengandung sebagian besar tentang kenangan,
kehidupan dan segala sesuatu yang melekat dalam dunia ini. Fungsi bahasa figuratif
untuk memberikan gambaran angan yang konkret serta menghidupkan gambaran
angan pembaca, membuat gambaran menjadi lebih jelas dan nyata serta
membangkitkan efek keindahan pada puisi. Bahasa figuratif yang mendominasi
adalah majas simile yang berfungsi untuk menggambarkan sifat dan perilaku tokoh
yang terdapat dalam puisi tersebut sehingga menjadi lebih hidup dan jelas.
226
Kedua, bentuk citraan dalam kumpulan puisi Melihat Api Bekerja karya
M.Aan Mansyur ditemukan dalam citraan penglihatan sebanyak 41 data dari 41
puisi, citraan pendengaran 8 data dari puisi, citraan penciuman 2 data dari 2 puisi,
citraan rasaan 1 data dari 1 puisi, citraan rabaan 19 data dari 14 data dan citraan
gerak 6 data dari 5 puisi. Makna citraan untuk memperkuat gambaran pikiran dan
perasaan pembaca. Fungsi citraan untuk membangkitkan gambaran konkret
imajinasi pembaca serta memberikan gambaran angan-angan yang jelas. Citraan
yang mendominasi adalah citraan penglihatan karena berfungsi untuk
membangkitkan gambaran konkret imajinasi pembaca sehingga menjadi lebih
hidup.
Ketiga, hubungan bahasa figuratif dan citraan dalam kumpulan puisi
Melihat Api Bekerja karya M.Aan Mansyur sangat erat kaitannya dengan karya
sastra. Hubungan bahasa figuratif dan citraan yaitu untuk saling memperkuat dan
melengkapi sehingga puisi menjadi lebih hidup dan jelas. Bentuk hubungan bahasa
figuratif dan citraan terdapat 6 data dari 5 puisi dalam kumpulan puisi Melihat Api
Bekerja karya M.Aan Mansyur. Makna dari hubungan bahasa figuratif dan citraan
untuk memperjelas dan melengkapi satu sama lain. Fungsi dari hubungan bahasa
figuratif dan citraan membuat efek estetika yang ditimbulkan dalam puisi menjadi
lebih hidup dan menarik minat pembaca.
5.2 Saran
Berdasarkan hasil penelitian, saran peneliti untuk pembaca dan penelitian
selanjutnya yaitu sebagai berikut.
227
Kepada pembaca untuk penelitian ini diharapkan mampu menjadikan
sumber informasi atau pembelajaran tentang bahasa figuratif dan citraan yang dapat
digunakan dalam sebuah karya sastra khususnya puisi, terutama dalam aspek
bentuk, makna dan fungsinya.
Bagi peneliti lain yang nantinya akan melakukan penelitian serupa,
disarankan untuk pemahaman lebih lanjut mengenai bahasa figuratif dan citraan
pada karya sastra, perlu diadakan penelitian bahasa figuratif dan citraan pada karya
sastra, baik puisi 86 maupun prosa lebih lanjut. Masih banyak lagi yang dapat
diungkapkan dari ragam bahasa figuratif dan citraan pada karya sastra baik prosa
maupun fiksi ini sesuai dengan kajian stilistika.
228
DAFTAR PUSTAKA
Abrams, M.H. (2009). A Glossary of Literary Terms. New York:Heinle & Heinle.
Aisyah, Siti dan Noor Indah Wulandari. (2016). “Ketidaklangsungan Ekspresi
Dalam Kumpulan Puisi Manusia Istana Karya Radhar Panca Dahana : Kajian
Stilistika”. Jurnal Bahasa, Sastra, dan Pengajarannya. ISSN 2527-4104 Vol.
1 No.2, 1 Oktober 2016.
http://ejurnal.stkipbjm.ac.id/index.php/STI/article/viewFile/208/170
(diunduh pada tanggal 18 Januari 2019 pukul 10.45 WIB).
Al-Ma’ruf, Ali Imron. (2007). Alt. "Pembelajaran Sastra Multi-kutural di Sekolah:
Aplikasi Novel Burung-Burung Rantau". Kajian Linguistik dan Sastra,
Volume 19, No. 1.
http://journals.ums.ac.id/index.php/KLS/article/viewFile/4410/2851
Al-Ma’ruf, Ali Imron. (2009). Stilistika: Teori, Metode, dan Aplikasi Pengkajian
Estetika Bahasa. Surakarta: Cakra Books Solo.
Al-Ma’ruf, Ali Imron. (2012). Kajian Stilistika Prespektif Kritik Holistik.
Surakarta: UNS Press.
Al-Ma’ruf, Ali Imron. (2012). “Dimensi Sufistik Dalam Stilistika Puisi “Tuhan,
Kita Begitu Dekat” Karya Abdulhadi W.M”. TSAQAFA, Jurnal Kajian Seni
Budaya Islam Vol. 1, No. 1, Juni 2012.
http://eprints.uad.ac.id/1493/1/0Tsaqafa_ali_imran_al_mar%27ruf_dimensi
_sufistik.pdf (diunduh pada tanggal 8 Maret 2019)
Aminuddin. (1995). Stilistika Pengantar Memahami Bahasa dalam Karya Sastra.
Semarang: IKIP Semarang Press.
Aminuddin. (2011). Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung: Sinar Baru
Algesindo.
Aris, M, Erlina Zahar dan Sujoko. (2019). “Citraan dalam Kumpulan Puisi Ayat-
Ayat Api Karya Sapardi Djoko Damono”. Aksara: Jurnal Ilmiah Pendidikan
Bahasa dan Sastra Indonesia Vol. 3 No.1 April 2019.
http://aksara.unbari.ac.id/index.php/aksara/article/view/99
Ariyanto, Dodi dan Agus Nuryatin. (2017). Badik dalam “Mata Badik Mata” Puisi
Karya D. Zawawi Imron: Perspektif Paul Ricoeur. Seloka: Jurnal Pendidikan
Bahasa dan Sastra 6 (2). Halaman162.
https://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/seloka/article/view/17281/8729
229
Aslam, Saima., Bushra Aslam, Paras Mukhtar dan Arooj Sarfaraz. (2014).
“Stylistics Analysis of The Poem “ Bereft” By Robert Frost”. European
Journal of Research and Reflection in Arts and Humanities. 2 (7):1-5.
https://www.idpublications.org/wp-content/uploads/2014/01/STYLISTICS-
ANALYSIS-OF-THE-POEM-%E2%80%9CBEREFT%E2%80%9D-BY-
ROBERT-FROST.pdf
Asrofah, Rustono, Teguh Supriyanto, dan Mimi Mulyani. (2017).”Linguistic
Defamiliarization in The Text of Ahmad Tohari’s Novel Trilogy”. Jurnal
UNNES. Vol 5 (3).
https://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/jed/article/view/18118
(diunduh pada tanggal 6 Maret 2019).
Astuti, Wiwiek Dwi. (2013). “Kritik Sosial dalam Puisi “Wakil Rakyat” dalam
Antologi Puisi:Tidur Tanpa Mimpi Karya Rachmat Djoko Pradopo”.
Atavisme. Vol 16, No 1 (2013)
http://atavisme.web.id/index.php/atavisme/article/view/85/78
(diunduh pada tanggal 21 Juni 2019 Pukul 14.44 WIB)
Azharina, Nia dan Ramli. (2017). “Analisis Struktur dan Fungsi Syair Tari Rabbani
Wahid”. Master Bahasa. Vol 5, No 1 (2017).
http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/MB/article/view/11075/8833
Cahyadi, Acep Deri, Dedi Koswara dan Ruhaliah. (2014). “Kajian Struktural,
Stilistika, dan Etnopedagogi dalam Kumpulan Puisi (Sajak) Periode Tahun
2000-An”. Lokabahasa. Vol 5, No 1 (2014).
http://ejournal.upi.edu/index.php/lokabasa/article/view/3131/2153
Depdiknas. (2008). Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan
dan Pedoman Pembentukan Istilah. Jakarta: Yrama Widya.
Doyin, Mukh. (2008). Seni Baca Puisi: Persiapan, Pelatihan, Pementasan, dan
Penilaian. Bandung: Bandungan Institute.
Doyin, Mukh. (2015). “Developing Poetry Teaching Material In Elementary
School”. Jurnal UNNES. The Journal of Education Development. Vol 3 No
1 (2015), June 2015.
https://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/jed/article/view/6800
(diunduh pada tanggal 6 Maret 2019).
Farhah, Eva dkk. (2013). “Pandangan Dunia Ibnu Chazm Al-Andalusy Tentang
Konsep Cinta (Al-Chubbun-Nazhary) Analisisstrukturalisme Genetik
Terhadap Teks “Thauqul-Chamāmah Fil-Ilfah Wal-Ullāf”. Jurnal Kajian
Linguistik dan Sastra, Vol 25, No 2, Desember 2013, 121-136.
230
http://journals.ums.ac.id/index.php/KLS/article/view/4132/2653.(diunduh
pada tanggal 27 Agustus 2018).
Fatoni, Nur Rochman. (2017). “Kekhasan Diksi Valentino Simanjuntak Pada Piala
Presiden 2017”. Adabiyyāt: Jurnal Bahasa dan Sastra. Vol. I, No. 2,
Desember 2017, hlm. 223-247.
http://ejournal.uin-suka.ac.id/adab/Adabiyyat/article/view/01205/815
Fransori, Arinah. (2017). “Analisis Stilistika Pada Puisi Kepada Peminta-Minta
Karya Chairil Anwar”. Deiksis. Vol. 09 No.01, Januari 2017 hal 1-12.
https://journal.lppmunindra.ac.id/index.php/Deiksis/article/view/884/1052
Gizatullina, A., & Hayrutdinova, G. (2017). Figurative Potential of Russian
Hydronymes in the Poetry of 19th – 20th Centuries. Journal of History
Culture and Art Research (ISSN: 2147-0626).
http://kutaksam.karabuk.edu.tr/index.php/ilk/article/view/1117/791 (diunduh
pada tanggal 23 Juli 2018 pada pukul 10.13 WIB).
Hanif, Sidra, Mumtaz Ahmed dan Maria Aftab. (2015). “A Stylistic Analysis of
William Henry Davies’ Leisure”. Journal of Literature, Languages and
Linguistics, An International Peer-reviewed Vol.7, 2015, ISSN 2422-8435.
https://www.iiste.org/Journals/index.php/JLLL/article/viewFile/22055/2254
2
(diunduh pada tanggal 24 Juli 2018 pukul 16.49 WIB).
Hasanah, Muakibatul. (2013). “Karakteristik Struktural-Semiotik Puisi-Puisi Karya
D. Zawawi Imron”. Jurnal Litera, Vol.1, No 2, Oktober 2013.
https://journal.uny.ac.id/index.php/litera/article/view/1589
Herianah. (2009). “Gaya Bahasa Dalam Elong Ugi Pammulang Elong”. Jurnal
SAWEGARING Volume 15, No 3, Desember 2009.
http://sawerigading.kemdikbud.go.id/index.php/sawerigading/article/view/7
3/72 (diunduh pada tanggal 7 Maret 2019).
Hidayat, Ariyo Dwi dan Teguh Supriyanto. (2017). “Paradoks dan Hiperbola dalam
Kumpulan Cerita Koala Kumal Karya Raditya Dika”. Seloka. 6(1) (2017).
https://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/seloka/article/view/14762/8408
Hidayati, Nurul. (2017). “Citraan Pada Novel Fantasi Nataga The Littledragon
Karya Ugi Agustono”. Jurnal BASINDO (Jurnal Kajian Bahasa, Sastra
Indonesia, dan Pembelajarannya) Volume 1, Nomor 1, April 2017.
http://journal2.um.ac.id/index.php/basindo/article/view/698/433
(diunduh pada tanggal 12 April 2018 pukul 15.46 WIB).
231
Hindun. (2012). “ Syingir: Tranformasi Puisi Arab ke Dalam Puisi Jawa”. Jurnal
Humaniora, Vol.24. No.1 Februari 2012. Diunduh pada tanggal 6 Maret
2019.
https://media.neliti.com/media/publications/11819-ID-syingir-transformasi-
puisi-arab-ke-dalam-puisi-jawa.pdf
Inayati, T dan Agus Nuryatin. (2016). Simbol dan Makna pada Puisi Menolak
Korupsi Karya Penyair Indonesia. Seloka: Jurnal Pendidikan Bahasa dan
Sastra Indonesia. Vol. 5(2). Hlm. 164.
https://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/seloka/article/view/13078
Indrasari, Yayuk. (2018). “Analisis Kesalahan Pemilihan Kata Pada Karangan
Mahasiswa Semester IV Prodi Pendidikan Bahasa Jepang Universitas Negeri
Semarang”. Journal of Japanase Learning and Teaching. 6 (2):83-88.
Diunduh pada tanggal 23 Mei 2019 pukul 22.48 WIB.
https://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/chie/article/view/22600
Irfan, Moh. Anas, Sunarti Mustamar, dan Sri Ningsih. (2013). “The Poem
Collection Of Wiji Thukul’s Aku Ingin Jadi Peluru: Semiotic Review”.
Jurnal Publika Budaya, Vol. 1 (1) September 2013.
Islam, Azanul dan Baiq Emilia Susdiana. 2017. “Citraan Puisi “Sang Penyemangat”
Pada Koleksi Puisi Motivasi: Kajian Stilistika”. Jurnal Mabasindo Volume 1
Nomor 2 Edisi November 2017. (diunduh pada tanggal 30 Maret 2018 pukul
16.25 WIB).
Jabrohim. (2012). Teori Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Junus, Umar. (1989). Stilistik: Pendekatan, Teori, Metode, Teknik, dan Kiat.
Yogyakarta: Unit Penerbitan Sastra Asia Barat.
Keraf, Gorys. (2015). Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama.
Khalwani, Ahmad, Mohamad Yusuf Ahmad Hasyim dan Ahmad Miftahudin.
(2017). “Kata Bermakna Hujan Dalam Al-Quran (Tinjauan Semantik dan
Stilistika)”. Journal of Arabic Learning and Teching. 6 (1):1-5.
https://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/laa/article/view/14386
(diunduh pada tanggal 28 Mei 2019 pukul 1.49 WIB)
Khan, Abdul Bari, dkk. (2015). “Stylistic Analysis of the Short Story ‘The Last
Word’ by Dr. A. R. Tabassum”. Jurnal Advances in Language and Literary
Studies. Vol. 6 (3) hal. 11-23.
http://journals.aiac.org.au/index.php/alls/article/view/1466/1426 (diunduh
pada tanggal 18 Juli 2018 pukul 11.17 WIB).
232
Khan, Shaukat.,Jehandeb, S., Ullah, I., & Irfan, M. (2016). “A Stylistic Analysis Of
“The Rime Of The Ancient Mariner”. English Review: Journal of English
Education, 5(1), 31-48.
https://www.journal.uniku.ac.id/index.php/ERJEE/article/view/387/317
(diunduh pada tanggal 18 Juli 2018 pada pukul 11.52 WIB).
Kosasih, E. (2008). Ensiklopedia Sastra Indonesia. Jakarta: Penerbit Nobel
Edumedia.
Kosasih, E. (2012). Dasar-dasar Keterampilan Bersastra. Bandung: Yrama Widya.
Kridalaksana, Harimurti. (1988). Kamus Linguistik. Edisi Keempat. Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama.
Kurniasih, Novita. (2013). “Kajian Stilistika Dalam Serat Pamoring Kawula Gusti
Karya Raden Ngabehi Ranggawarsita”. Jurnal Pendidikan, Bahasa, Sastra,
dan Budaya Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo, Vol. 03 / No. 06
/ November 2013.
http://ejournal.umpwr.ac.id/index.php/aditya/article/view/767/741
(diunduh pada tanggal 7 Maret 2019)
Kusumawati, Aning Ayu. (2013). “Pendidikan Karakter Bangsa dalam Puisi “Malu
(Aku) Jadi Orang Indonesia” Karya Taufiq Ismail. Adabiyyāt: Jurnal Bahasa
dan Sastra. Vol. XII, No. 2, Desember 2013.
http://ejournal.uin-suka.ac.id/adab/Adabiyyat/article/view/12206
Lamusu, Ance A. (2010). “Telaah Stilistika Puisi-puisi Rendra dan Taufik Ismail”.
Jurnal Inovasi, Vol. 7, No. 2, Juni 2010.
http://ejurnal.ung.ac.id/index.php/JIN/article/view/777/72
(diunduh pada tanggah 6 Maret 2019)
Leech, Geoffrey N. & Michael H. Short. (1984). Style in Fiction: a Linguistics
Introduction to English Fictional Prose. London:Longmann.
Lubis, Fheti Wulandari. (2019). “Kemampuan Menulis Puisi Bebas Dengan Tema
Nilai-Nilai Karakter Bangsa Mahasiswa Semester Genap 2017-2018 Stkip
Budidaya Binjai”. Jurnal Serunai Bahasa Indonesia. Vol.16, No.1, Februari
2019.
http://www.ejournal.stkipbudidaya.ac.id/index.php/je/article/view/129/98
M., Maulidya Riesta, Fitria Sugiatmi, dan M. Alan Mabruri. (2018). “Pengaruh
Aspek Sosio-Kultural Masyarakat Loloan terhadap Struktur dan Makna Syair
Burdah Melayu di Bali”. Jurnal Poetika Vol. VI No. 1 Juli 2018.
https://journal.ugm.ac.id/poetika/article/view/35713/22039
233
Mabruri, Zuniar Kamaluddin dan Sri Dwi Ratnasari. (2015). “Majas dan Citraan
dalam Kumpulan Puisi Blues Untuk Bonnie Karya W.S. Rendra dan
Pemakaiannya”. CULTURE Vol.2 No.1 Mei 2015.
http://www.unaki.ac.id/ejournal/index.php/jurnal-culture/article/view/100
Maulina, Yeni. (2016). “Citraan dalam Kumpulan Sajak Orgasmaya Karya Hasan
Aspahani”. Madah Jurnal Bahasa dan Sastra. Vol 7, No 2 (2016).
http://ejurnalbalaibahasa.id/index.php/madah/article/view/maulina/260
(diunduh pada tanggal 22 Juni 2019 pukul 20.07 WIB)
Manurung, Rudi Hartono. (2015). “Gaya Bahasa Enkyokuhou Dalam Novel Nihon
Kogyou Ginkou Karya Ryo Takasugi”. Lingua Cultura. Vol 9 (1) hal. 55-56.
https://journal.binus.ac.id/index.php/Lingua/article/view/762/739
Mansyur, M.Aan. (2015). Melihat Api Bekerja. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama.
Moleong J. Lexy. (2008). Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remita
Rosdakarya.
Muawanah dan Teguh Supriyanto. (2016). “Pandangan Dunia Pengarang dan
Konteks Sosial Novel Rumah Tanpa Jendela Karya Asma Nadia”. Seloka:
Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, 5 (1) (2016).
https://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/seloka/article/view/12756
Mujahidin, Aziz Amin. (2012). “ Keefektifan Pembelajaran Apresiasi Puisi dengan
Analisis Struktural dan Analisis Semiotik Berdasarkan Gaya Berpikir
Sekuensial-Acak Pada Siswa SMP”. Seloka: Jurnal Pendidikan Bahasa dan
Sastra Indonesia, Vol. 1 (2) 129-135.
https://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/seloka/article/view/697/679
(diunduh pada tanggal 11 Maret 2019)
Mukhlis, Abdul, Teguh Supriyanto dan Mimi Mulyani. (2018). “Aspek Stilistika
dalam Antologi Puisi Melipat Jarak Karya Sapardi Djoko Damono dan
Pemanfaatannya sebagai Materi Pengayaan Sastra”. Jurnal Pendidikan
Bahasa dan Sastra Indonesia Volume 3 Nomor 1 Maret 2018. Page 10-17 p-
ISSN: 2477-5932 e-ISSN: 2477-846X.
https://journal.stkipsingkawang.ac.id/index.php/JP-BSI/article/view/443
(diunduh pada tanggal 17 Juli 2018 pada pukul 15.04 WIB).
Mukminin. (2014). “Stilistika Novel Para Priyayi Karya Umar Kayam”. Jurnal
EDU-KATA, Vol. 1, No. 1, Februari 2014: 91-100.
http://e-jurnal.unisda.ac.id/index.php/kata/article/view/240/88 (diunduh pada
tanggal 25 Maret 2018 pukul 14.58 WIB.
234
Mulyono, T., Sayuti, S. A., dan Rustono. (2018). “Formal Aesthetics of Poems for
Indonesian Children Written by Adult Poets”. The Journal of Educational
Development. JED 6 (2) 2018 : 188-208.
https://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/jed/article/view/22140
(diunduh pada tanggal 25 Mei 2018)
Munir, Haryati dan Mulyono. (2013). “Diksi dan Majas dalam Kumpulan Puisi
Nyanyian dalam Kelam karya Sutikno W.S: Kajian Stilistika”. Jurnal Sastra
Indonesia, Volume 2, Nomor 1, 2013.
https://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/jsi/article/view/2437/2238 (diunduh
pada tanggal 25 Maret 2018 pada pukul 14.45 WIB).
Muntazir. (2017). “Struktur Fisik dan Struktur Batin Pada Puisi Tuhan, Aku Cinta
Padamu Karya WS Rendra”. Jurnal Pesona. Volume 3 No. 2, (2017), 208-
223.
http://ejournal.stkipmpringsewulpg.ac.id/index.php/pesona/article/view/448/
225
Musayyedah. (2012). “Gaya Bahasa Metafora dalam Puisi Bulan Luka Parah karya
Husni Djamaluddin”. Sawegaring, Vol 18, No. 3, Desember 2012:485-495
http://sawerigading.kemdikbud.go.id/index.php/sawerigading/article/view/3
98/214
(diunduh pada tanggal 28 Mei 2019 pukul 1.32 WIB)
Napireli, Manana. (2014). “Stylistic Categories, Based on the Poem Die
schlesischen Weber by Heinrich Heine”. European Researcher Vol.70 (3).
http://www.erjournal.ru/journals_n/1396253829.pdf
(diunduh pada tanggal 12 April 2018 pukul 15.40 WIB).
Niazy, Nozar. (2013). “A Stylistic Analysis of D.H. Lawrence’s ‘Sons and Lovers”.
International Journal of Applied Linguistics & English Literature ISSN
2200-3592 Vol. 2 No. 4 July 2013.
http://journals.aiac.org.au/index.php/IJALEL/article/view/989/919 (diunduh
pada tanggal 12 April 2018 pukul 15.36 WIB).
Nillas, Risha dan Nufus, Hayatun. (2016). Pedoman Umum Ejaan Bahasa
Indonesia. Jakarta: PT. Wahyu Media.
Nugroho, Henriono. (2009). The Famous Poet in Harpur’s Poem”. Atavisme.
12(1):23-23.
http://atavisme.web.id/index.php/atavisme/article/view/154
Nurain. (2014). Nilai-Nilai Kehidupan Dalam Puisi Al-Mutanabbi”. Adabiyyāt:
Jurnal Bahasa dan Sastra. Vol. XIII, No. 2, Desember 2014. Diunduh pada
tanggal 17 Juli 2018.
http://ejournal.uin-suka.ac.id/adab/Adabiyyat/article/view/13206/491
235
(diunduh pada tanggal 7 Maret 2019)
Nurgiyantoro, Burhan. (2005). Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada.
Nurgiyantoro, Burhan. (2014). Stilistika. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press.
Nurgiyantoro, Burhan. (2014). “Penggunaan Ungkapan Jawa Dalam Kumpulan
Puisi Tirta Kamandanu Karya Linus Suryadi (Pendekatan Stilistika
Kultural)”. Jurnal LITERA, Volume 13, Nomor 2, Oktober 2014.
https://journal.uny.ac.id/index.php/litera/article/viewFile/2575/2129
(diunduh pada tanggal 7 Maret 2019)
Nurhayati, Enung dan Yayu Wahyuni Hidayati. (2019). “Diksi Dan Bahasa
Figuratif Sastra Perjalanan Dalam Antologi Puisi A Romantic Journey The
Beginning Karya Desi Anwar: Kajian Stilistika”. Jurnal Akrab Juara.
Volume 4 Nomor 2 Edisi Mei 2019 (87-99).
http://akrabjuara.com/index.php/akrabjuara/article/view/590
Nuriadin, Dani. (2017). “Struktur Puisi Lirik Lagu Ada Band Album 2 Dekade
terbaik Dari”. Jurnal Ilmiah Diksatrasia. Vol 1, No 2 (2017).
https://jurnal.unigal.ac.id/index.php/diksatrasia/article/view/579/477
Nuroh, Ermawati Zulikhatin. (2011). “Analisis Stilistika Dalam Cerpen”.
PEDAGOGIA: Jurnal Pendidikan, Vol. 1, No. 1, Desember 2011: 21-34.
http://ojs.umsida.ac.id/index.php/pedagogia/article/view/30/39
Nuryatin, Agus. (2010). Mengabadikan Pengalaman dalam Cerpen. Rembang.
Yayasan Adhigama.
Patmawati, Leni., Sumiharti dan Sujoko. (2018). “Analisis Citraan Penglihatan
dalam Antologi Puisi di Hadapan Rahasia Karya Adimas Immanuel”. Aksara:
Jurnal Ilmiah Pendidikan Bahasa Dan Sastra Indonesia Vol. 1 No.2 April
2018.
http://aksara.unbari.ac.id/index.php/aksara/article/view/45
Pradopo, Rachmat Djoko. (2003). Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: PT
Hanindita Graha Widya.
Pradopo, Rachmat Djoko. (2014). “Pengkajian Puisi”. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Prismarini, Rosalia dan Josep J. Darmawan. (2011). “Potret Pendidikan Indonesia
dalam Puisi Sajak Anak Muda Karya WS Rendra”. Jurnal Ilmu Komunikasi,
Vol. 8, No 2, Desember 2011.
http://ojs.uajy.ac.id/index.php/jik/article/view/176
236
Ratna, Nyoman Kutha. ( 2007). Estetika Sastra dan Budaya. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Ratna, Nyoman Kutha. (2017). Stilistika: Kajian Puitikia Bahasa, Sastra dan
Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Riyono, Ahdi. (2016). “Gaya Bahasa Kumpulan Cerpen ‘Mata Yang Enak
Dipandang’ Karya Ahmad Tohari (Sebuah Kajian Stilistika)”. Jurnal Ilmiah
Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Vol 5, No 2 (2016).
http://ejournal.stkipsiliwangi.ac.id/index.php/semantik/article/view/295/225
Rozak, Abdul. Dede Endang Mascita dan Sri Astuti. (2018). “Kajian Puisi Anak
Dan Bahan Ajar Tematik Bahasa Indonesia Sekolah Dasar”. Deiksis-Jurnal
Pendidikan Bahasa Dan Sastra Indonesia.Vol 5 No 1 (2018).
http://jurnal.unswagati.ac.id/index.php/Deiksis/article/view/992/648
Satoto, Soediro. (1995). Stilistika. Surakarta: STSI Press.
Saptawuryandari, Nurweni. (2015). “Pandangan Dunia Mochtar Lubis Dalam
Novel Senja Di Jakarta”. Jurnal Aksara. Vol. 27, No. 2, Desember 2015.
http://aksara.kemdikbud.go.id/jurnal/index.php/aksara/article/view/184
Sayuti, Suminto. (2010). Berkenalan dengan Puisi. Yogyakarta: Gama Media.
Sebayang, Sri Kurnia Hastuti. (2018). “Analisis Struktur Batin Puisi Sesamar Kasih
Pencari Rezeki Karya Dwi Ayu Utami Nasution”. Basastra. Vol 1, No 7
(2018).
https://jurnal.unimed.ac.id/2012/index.php/basastra/article/view/9318/8553
Semi, Atar. (1993). Anatomi Sastra. Padang: Angkasa Raya.
Setyamoko, Prarika Fitria dan Teguh Supriyanto. (2017). “Penyimpangan Sosial
dalam Novel Neraka Dunia Karya Nur Sutan Iskandar”. Seloka 6 (3) (2017).
https://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/seloka/article/view/20260/9608
Shofi, Moh. Shofiuddin dan Teguh Supriyanto. (2018). The World View of W.S.
Rendra in Empat Kumpulan Sajak Structuralism Genetic Review. Seloka:
Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. 7 (3) (2018): 251–258.
https://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/seloka/article/view/27940
Simarmata, Mai Yuliastri. (2014). “Kajian Puisi Kontemporer Parsiak Na Bagi
Karya Thomson Hs Dengan Pendekatan Hermeneutik”. Jurnal Pendidikan
Bahasa Vol 3, No 1 (2014).
http://journal.ikippgriptk.ac.id/index.php/bahasa/article/view/181
237
Siswantoro. (2014). Metode Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Soelistyarini, Titien D. (2012). “Bercerita Tanpa Menggurui: Gaya Bahasa dalam
Buku Cerita Anak untuk Membangun Karakter”. Atavisme. 15 (2):18-7.
http://atavisme.web.id/index.php/atavisme/article/view/59
Stanton, Robert. (2012). Teori Fiksi Robert Stanton. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Subadiyono. (2008). “Telaah Stilistika Terhadap Puisi”. Jurnal Lingua (Jurnal
Bahasa dan Sastra), Juni 2008, Volume 9, Nomor 2, Hlm. 133-142. ISSN
14112388.
http://eprints.unsri.ac.id/4265/2/Stilistika(isi).pdf (diunduh pada tanggal 9
April 2018 pukul 12.35 WIB).
Sudjiman, Panuti. (1995). Bunga Rampai Stilistika. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.
Sulistiowati, Afrilia. (2013). “Novel Gadis Pantai Karya Pramoedya Ananta Toer:
Kajian Stilistika”. Jurnal PUBLIKA BUDAYA Vol 1(1) Juli 2013.
http://repository.unej.ac.id/handle/123456789/60738 (diunduh pada tanggal
16 Maret 2018 pukul 13.49 WIB).
Sumardjo, Jakob dan Saini KM. (1991). Apresiasi Kesusastraan. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.
Supriyanto, Teguh. (2009). Stilistika dalam Prosa. Jakarta :Pusat Bahasa
Departemen Pendidikan Nasional.
Supriyanto, Teguh. (2011). Kajian Stilistika dalam Prosa. Yogyakarta: Elmatera
Publishing.
Suryadi, Riza dan Agus Nuryatin. (2017). “Nilai Pendidikan dalam Antologi
Cerpen Senyum Karyamin Karya Ahmad Tohari”. SELOKA 6(3) (2017).
https://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/seloka/article/view/20261/9609
Sutopo, H.B. (2006). Metodologi Penelitian Kualitatif: Teori dan Aplikasinya
dalam Penelitian. Surakarta: Sebelas Maret University Press.
Tiyas, Ronaning. (2016). “Analisis Stilistika dan Nilai Pendidikan Karakter dalam
Puisi Sepilihan Sajak Hujan Bulan Juni Karya Sapardi Djoko Damono Serta
Relevansinya dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia di SMA”.Tesis.
Surakarta: Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret.
Tjakrawiriadi, Muchamad Faisal. (2018). “Efek Estetis Dalam Cerpen Bunga
Mawar dan Burung Bul-Bul Karya Oscar Wilde (Kajian Stilistika)”.
Jalabahasa. Vol 14, No 1 (2018).
http://jurnal.balaibahasajateng.id/index.php/jalabahasa/article/view/114/72
238
Umami, Imam Mahdil. (2009). “Analisis Wacana Penggunaan Gaya Bahasa dalam
Lirik Lagu-lagu Ungu: Kajian Stilistika”. Dinamika Bahasa & Budaya. 3 (2).
https://www.unisbank.ac.id/ojs/index.php/fbib1/article/view/451
Waluyo. Herman. J. (1987). Teori Dan Apresiasi Puisi. Jakarta: Erlangga.
Waluyo, Herman J. (2002). Pengkajian Sastra Rekaan. Salatiga: Widyasari Press.
Warnaningrum, Ayu dan Sudartomo Macaryus. (2015). “Gaya Bahasa 10
Geguritan Dalam Antologi Nurani Peduli Karya Handoyo Wibowo”.
CARAKA. Volume 2, Nomor 1, Edisi Desember 2015.
http://www.jurnal.ustjogja.ac.id/index.php/caraka/article/view/1655/807
Wati, Reni A. (2013). “Tinjauan Stilistika dalam Novel Sumpahmu Sumpahku
Karya Naniek P.M”. Jurnal Pendidikan, Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa,
November 2013, Volume 2013, Nomor 2.
http://ejournal.umpwr.ac.id/index.php/aditya/article/view/667/642 (diunduh
pada tanggal 3 April 2018 pukul 16.23 WIB).
Wellek, Rene & Austin Warren. (1989). Teori Kesusastraan. Jakarta : Gramedia.
Wibowo, Prasetyo Adi Wisnu. 2015.”A Stylistic Study on the Literary of Ki
Padmasusastra Holistic Critique Perspective”. International Journal of
Language and Linguistics Vol. 2, No.5: November 2015.
http://ijllnet.com/journal/index/2230
Widayati, Mukti, Subroto dan Rachmat Djoko Pradopo. (2014). “Language of
Poetries Balada Orang-Orang Tercinta, Empat Kumpulan Sajak, Blues Untuk
Bonnie, and Sajak-Sajak Sepatu Tua Written By W.S. Rendra. International
Journal of Linguistics Vol. 6, No. 3, 2014. ISSN 1948-5425.
http://www.macrothink.org/journal/index.php/ijl/article/view/4971
(diunduh pada tanggal 24 Juli 2018 pada pukul 16.23 WIB).
Widianto, Eko dan Ida Zulaeha. (2016). “Pilihan Bahasa dalam Interaksi
Pembelajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing”. Seloka: Jurnal
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Vol. 5 (2).(2016).
https://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/seloka/article/view/13074/7155
Widiastuti, Rini. (2011). “Gaya Bahasa dalam Lirik Lagu Hidup Iv - Ebiet G ade:
Kajian Stilistika”. Jurnal SAWEGARING Volume 17, No 3, Desember 2011.
http://sawerigading.kemdikbud.go.id/index.php/sawerigading/article/view/4
21/237(diunduh pada 28 Mei 2018 pada pukul 14.55 WIB).
239
Widyaningrum, Heny Kusuma. (2016). “Kajian Stilistika Dalam Cerpen Berjudul“
Penembak Misterius” Karya Seno Gumira Ajidama”. Jurnal Edutama Vol. 2
No. 2 Januari 2016.
http://ejurnal.ikippgribojonegoro.ac.id/index.php/JPE/article/view/20/20
(diunduh pada tanggal 7 Maret 2019)
Winnie dan Akun. (2008). “The Study Of Figurative Languages Using Stylistics
Theory In What My Mother Doesn’t Know By Sonya Sones”. Jurnal
LINGUA CULTURA Vol.2 No.2 November 2008: 156-165.
http://journal.binus.ac.id/index.php/Lingua/article/view/307/293
Wirawan, Gunta. (2016). “Analisis Struktural Antologi Puisi Hujan Lolos di Sela
Jari Karya Yudhiswara”. Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.
Volume 1 Nomor 2 September 2016. Page 39-44.
http://journal.stkipsingkawang.ac.id/index.php/JP-BSI/article/view/89/66
Wiyatmi. (2006). Pengantar Kajian Sastra. Yogyakarta:Pustaka.
WS, Hasanuddin. (2002). Membaca dan Menilai Sajak, Pengantar Pengkajian dan
Interpretasi. Bandung : Angkasa.
Wulandari, Rini Susanti. (2009). “Gaya Bahasa dalam Cerpen Warga Kota Kacang
Goreng Karya Adek Alwi”. Lingua. 5 (2): 95-104.
https://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/lingua/article/view/927/867
Yeibo, Ebi. (2012). “Figurative Language and Stylistic Function Clark-
Bekederemo’s Poetry”. Journal of Language Teaching and Research, Vol. 3,
No. 1, pp. 180-187.
http://www.academypublication.com/issues/past/jltr/vol03/01/23.pdf
(diunduh pada tanggal 05 September 2017 pukul 10.25 WIB).
Yono, Robert Rizki, dan Mimi Mulyani. (2017). “Majas dan Citraan dalam Novel
Kerling Si Janda Karya Taufiqurrahman Al-Azizy”. Jurnal Seloka 6 (2)
(2017): 200-207.
https://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/seloka/article/view/17286 (diunduh
pada tanggal 12 Februari 2018 pukul 13.23 WIB).
Yuliawati, N, Waluyo, H, J, Mujiyanto, Y. (2012). “Analisis Stilistika dan Nilai
Pendidikan Novel Bumi Cinta Karya Habiburrahman El Shizary”. Jurnal
BASASTRA (Jurnal Penelitian Bahasa, Sastra Indonesia, dan
Pengajarannya) Volume 1, Nomor 1, Desember 2012.
http://www.jurnal.fkip.uns.ac.id/index.php/bhs_indonesia/article/view/2081/
1510 (diunduh pada tanggal 16 Maret 2018 pukul 13.55 WIB).
Yunata, Elsa. (2013). “Telaah Stilistika dalam Syair Burung Pungguk”. Jurnal
Bahas, Volume 8, Nomor, 1, April 2013.
240
https://ejournal.unri.ac.id/index.php/JB/article/view/1321/1311
(diunduh pada tanggal 7 Maret 2019)
Zhang, Zhiqin. (2010). “The Interpretation of a Novel by Hemingway in Terms of
Literary Stylistics”. The International Journal of Language Society and
Culture. Issue 30. Page 155-161. ISSN 1327-774X
https://aaref.com.au/wp-content/uploads/2018/05/30-12.pdf
(diunduh pada tanggal 7 Maret 2019
241
Lampiran 1
Belajar Berenang
Kau nyala langit yang biru
pada pangkal April dan awan
yang menolak warna selain
putih. Kau setapak berundak-
undak di belakang rumah dan
bayangan pohon-pohon yang
menyembunyikan daun tua dan
hewan melata. Kau tebing dan
suara angin yang memantul-mantul.
Kau nyali yang melepaskan
pakaianku dengan malu-malu.Kau
langkah-langkah yang hendak dan
tidak ke bibir jurang. Kau tangkai
pohon yang tidak kutahu namanya,
tempat tungkai kakiku gemetar
sebelum terlambat memegang
sesuatu.
Kau udara sesaat yang membuatku
berdoa. Kau ketenangan yang
terbuka dan terluka menerima
tubuhku yang telanjang dan jatuh
sebagai jala gagal mengembang.
Kau ikan warna-warni yang kaget
dan sembunyi ke balik batu.
Kau benda-benda pendiam di
kedalaman. Kau air yang tiba-
tiba keruh dan kepanikan yang
menyakiti dadaku. Kau nyawa yang
berlepasan seperti balon-balon
kecil dari paru-paruku.
Kau jari-jari air yang mengangkatku
pelan-pelan ke permukaan.
Kau kekuatan yang kutelan dan
kuembuskan berulang kali. Kau
kepak yang membuat sepasang
lenganku bergerak menggapai-
gapai.
Kau keriangan yang tidak capai
bergolak dalam darahku. Kau
keseimbangan yang berhati-hati
dan tak menginginkanku berhenti.
Kau matahari yang memerahkan
punggungku.
Kau rumah yang membuatku lupa
pulang. Kau petang dan burung-
burung yang mencari sarang. Kau
senyum yang kusembunyikan dari
kemarahan ibu.
Kau kebahagiaan yang terlambat
terpejam. Kau yang pertama dan
akan selalu basah dalam mimpiku.
Kau yang terbangun tengah malam
dari mataku.
Kau sungai yang memanjang lalu
melapang sebagai lautan karena
khawatir aku jatuh sekali lagi. Kau
masa kecil yang sekarang kukenang
dengan rasa bersalah dari dekat
jendela darurat pesawat terbang.
242
Lampiran 2
Telanjang di Depan Cermin
Aku berdiri di depan cermin.
Telanjang dan mencari yang intim
dari seluruh yang tiba-tiba asing
dan liar.
Rambutku hujan, atau komet di
langit malam. Rahang persegiku
mahir menakut-nakuti tangan
pencari yang lemah lembut.
Mereka akan melihat benteng
kokoh, bukan benteng pemalu.
Bibirku langit dan kakinya pada
pukul enam sore. Atau teluk
yang ditakdirkan tidak dipeluk
sempurna.
Lekuk teluk bibirku mencibir dua
danau di atasnya. Tetangga yang
tidak pernah saling mengunjungi.
Sepasang kesepian.
Masa depan mataku adalah
kemarahan. Juga kelemahan
tempat cinta terjatuh. Suatu hari
kelak kau akan mengatakan hal
indah mengenai mataku. Mataku
kegelapan yang mengenakan
bintang-bintang tidak mati. Gelap
seperti dasar lautan. Seperti
pertanyaan yang menolak semua
jawaban. Mataku menyembunyikan
rahasia, termasuk dari dirinya
sendiri.
Aku mencengkeram kepala
dan wajahku. Menyarankannya
pantang menyerah. Hidungku jalan
sempit dan datar. Aku mewarisi
keterbatasan. Modal baik bagi
petualangan.
Aku menelusuri garis leher hingga
pinggang. Tebing gunung. Para
pendaki belum pernah ke sana.
Lenganmu masa depannya. Juga
payudaramu. Kau akan kelelahan
menanjak ke puncak. Di bahuku
akan dibangun perusahaan
dan rumah tempat seorang
perempuan pelancong akan
mampir. Juga tempat kita berbulan
madu selamanya.
Meski sudah kuat, tubuhku masih
ingat aroma rahim ibunya. Segera
akan
datang kau menawarkan rahim
berparfum merek lain. Jahat – dan
murah senyum.
Tungkai kakiku sepasang pohon.
Berdiri di kiri dan kanan jalan
bersemak. Rerimbunan yang akan
mengembalikanmu pada rahim ibu.
Aku remaja tiga belas tahun.
Berdiri telanjang di depan cermin.
Tubuhku negeri asing. Masih masa
lalu. Menunggu masa datang kau.
243
Lampiran 3
Laut Berparuh Merah
Akan kuhentikan tahun-tahun
diamku demi mengatakan kau
cantik. Setelah itu, aku bunuh diri.
Atau memintamu menjadi seekor
gagak yang mematuk mataku. Aku
ingin melihat perih terakhir adalah
merah paruhmu.
Halaman dan rumahmu selalu
penuh langit jatuh. Permukaannya
menyentuh dan menjadi kalung
bagi leher kota. Laut merebutmu.
Matamu berteman dengan ikan
dan terancam mata pancing.
Laut adalah langit, namun sedikit
lebih basah. Keduanya cemburu
kepada matamu.
Waktu menjadi siang yang padam
berminggu-minggu. Menggenang
seperti kenangan yang
ditinggalkan jalan pulang.
Bencana melandai menjadi tongkat
yang menggandeng tanganku ke
pantai. Dengan gemetar rindu,
kusentuh alismu. Sesuatu yang asin
dan asing menjawabku. Butiran-
butiran garam yang terbuat dari
masa lalu kita. Aku tak bisa
merasakan angin lagi sebagai lagu.
Ia menyebut terlalu banyak nama.
Bekas lukaku hidup seperti sisa air
yang terperangkap di telinga usai
mandi.
Seperti gigi bungsu. Susah payah
Tumbuh dan merobek gusiku.
Kau kini laut berparuh merah.
Tulang rusukku debu. Cinta jadi
lumpur, jika aku menyentuhmu.
Aku menyimpan napas terakhir
dalam botol parfum. Aku
meletakkannya di rambut-rambut
halus tubuh berombakmu.
Kelak jika kau bangkit, lolos dari
Laut, akan kususun debu-debuku
kembali sebagai kita. Sebagian
kuciptakan jadi kata-kata yang
cuma mencintai mulutmu dan
telingaku.
244
Lampiran 4
Menjatuhkan Bintang-Bintang
Aku akan menggulung langit
malam seperti karpet Turki dan
menjualnya kepada penawar
tertinggi. Akan aku lepaskan
binatang
buas dari diriku. Ia pernah tidur
berabad-abad di rumah ibadah.
Selalu lolos dari perangkap cahaya.
Aku belajar dengan cara
mengabaikan. Tetapi, sekarang, aku
ingin berhenti sejenak. Mengingat
nama mereka yang tertelan pasir
hisap pikiranku tahun lalu. Ada
hutan hitam di kepalaku. Waktuku
penuh tengkorak. Kakiku tangga,
memanjat dan menjatuhkan diri
sendiri.
Kepalaku pernah lebih ringan dari
bulu burung gelatik. Menggelitik
seperti riak-riak halus di perut
perahu yang berbaring di perut
telaga. Selalu menggoyang langitku.
Begini ramalan cuaca pekan ini:
Besok, udara lebih cerah dari
senyum bayi. Lusa, langit remaja
jatuh cinta ─ ceria, panas, dan
mengumpulkan hujan. Kamis,
penuh awan berbentuk tanda
baca. Jumat, curah dari awan mirip
kebun binatang. Sabtu, alam akan
penuh
api dan apapun yang menyerupai
itu. Minggu, Tidak ada cuaca.
Hati-hati. Angka bunuh diri langit
bisa tiba-tiba meningkat. Begitu
pun dengan kelembaban dan
keasinannya. Tetapi, aku akan
berjalan-jalan di cakrawala ketika
matahari mendarat di topiku.
Aku akan menggulung langit
malam seperti karpet. Sebagai
bintang-bintang, kau akan
berjatuhan. Dalam cahaya sekarat
senyum terakhirmu, ada sesuatu
yang nampak serasi. Mengerikan
dan menantang. Aku, untuk
pertama kali, kaupahami.
245
Lampiran 5
Perihal Tokoh Utama Komik
Ia berdiri. Luhur dan hening.
Rapuh dalam ikatan yang rawan
putus. Diselubungi jaring laba-laba
dan kebisingan dari kepalanya.
Matanya terpejam bagi puing-
puing, juga bencana yang masih
rencana.
Sepasang tangannya terentang.
Lapang bagi penerimaan. Seperti
sayuran terpotong-potong.
Mencintai pisau dan api dapur.
Kepalanya menampung penyakit.
Sebagian berperang melawan
seluruhnya.
Bibirnya dijahit. Perutnya penuh
kebakaran dan kelaparan.
Kemauannya lunak bagi
kebingungan dan keras kepalanya.
Tubuhnya dicabik-cabik waktu.
Berisi sesuatu yang mengizinkan
tubuh lain tumbuh ditubuhnya.
Paru-parunya sering kering.
Hatinya kuning. Jantungnya
Memompa kehidupan yang ragu-
ragu.
Bahunya lebih kuat dari batu
gunung. Pembuluh darah
menuangkan udara ke dalam
suaranya. Menghamburkan
kekuatan untuk setiap ons
takdirnya. Ia hidup. Dihiasi
pakaian berbagai warna.
Ia bicara menggunakan bahasa
roh.Tidak
masuk akal, namun penuh tetapi.
Ia kadang meratapi bebannya.
Ia menggantungkan diri di
kontrak besar yang tidak pernah
ditandatangani.
Hatinya selalu berduka dengan
harapan suatu hari ia utuh
kembali. Awan akan hilang. Api
yang membakarnya dari
dalam akan dingin. Lengannya
terpasang
lagi – dan tumbuh jadi kebun
baru. Kepalanya menjadi seluruh.
Hatinya merah.
Ia cantik. Pemurah dan sedikit
pemarah. Tak tertandingi
senyumnya. Ia akan menggodamu
dengan cerita yang tidak ada
ujungnya. Dongeng dan musik
ajaib. Ia waktu. Ia seorang ibu. Ia
mengandung dewa-dewa. Ia rahim
ribuan penyembahan dan tarian.
Namanya sama dengan nama
negaramu. Sepasang lengannya
terentang. Mencintai pisau
dan api dapur.
246
Lampiran 6
Menonton Flim
Semesta di mana orang-orang
bijak mabuk mengelilingi meja
kayu besi sambil membahas masa
depan kita. Udara terbuat dari
asap. Aku dan kau merangkak di
tanah seperti ular sebelum kaki-
kakinya hilang. langit pada musim-
musim tertentu jatuh seperti
potongan-potongan jigsaw. jutaan
simbol matematika menggantung
di kabel-kabel telepon dan lampu-
lampu jalan. bunga-bunga akan
memberi petunjuk ketika kita
kehilangan arah.
Semesta di mana waktu hanya
ada di cangkir-cangkir teh.
kehidupan nyata ibarat dunia
kartun dan kartun terlihat seperti
kehidupan nyata. Keduanya adalah
sepasang tetangga yang tidak saling
percaya. ingatan dikosongkan
setiap pukul 6 sore. Seperti
matahari tenggelam. untuk diisi
berita malam yang membicarakan
keluarga kita.
Semesta di mana kau dimakan
singa dan aku menunggumu di
mulutnya memegang tanda
bertuliskan nama aslimu yang tidak
pernah kautahu sebelumnya.
Semesta di mana setiap kali kau
menyentuh gelas dengan tangan
kosong, kau merasakan bisikan
yang mendesahkan. Lengan dan
kaki tidak diperlukan samasekali.
Kita bercinta dengan menuangkan
cahaya ke mata satu sama lain.
Semesta di mana furnitur
ialah hewan-hewan peliharaan
kesayanganmu. Botol-botol anggur
diisi dengan kelopak-kelopak
bunga untuk disajikan kepada bayi
kita yang baru lahir.
Semesta di mana setiap kali
matahari terbit, di kepalamu
tumbuh sulur-sulur tumbuhan
beracun. Setiap kali matamu
berkedip, aku seperti mendengar
gelegar petir beruntun.
Semesta serupa yang kita huni
kini, tetapi aku tidak pernah ada di
sana. Aku tidak pernah ada di sana.
247
Lampiran 7
Mendengar Radiohead
Aku ingin belajar menangis tanpa
air mata, perasan perasaan-
perasaan yang lembap. Aku
percaya ada perihal semacam itu;
peri yang memperindah hal-hal
perih, batu yang bertahan di alir
air sungai, atau badai yang lembut.
Aku tahu ketelanjangan tempat
bersembunyi bunyi yang lebih
nyaring daripada sunyi.
Dan dalam setiap yang pecah ada
keindahan, hal-hal yang berhak
dicahayai senyuman; porselin
mahal yang membentur lantai
ruang tamu, lampu taman yang
mati, daun-daun dan daun jendela
yang jatuh, hati yang patah dan
perpisahan, atau rindu dan bayi-
bayi yatim piatu.
Aku lahir dari ucapan-ucapan ibu
yang lebih banyak ia kecupkan
dengan diam: berlari adalah
kesunyian, berjalan adalah
kebalikannya.
Aku bertahan bertahun-tahun
berlari dalam kesunyian menuju
kau. Aku mau menemukanmu, agar
mampu berjalan menggandeng
tanganmu mengelilingi pagi yang
hangat.Atau mengantarmu pulang,
menyusuri gelap, dan dengan
sepenuh ketulusan aku ingin
menjaga dirimu dari diriku.
Ketulusan, panjang dan susah
dinikmati sepenuhnya, seperti
musim. Kejujuran, singkat dan
tidak mudah diduga, seperti cuaca.
Namun jika kau menginginkan
jarak, aku akan menjadi ketiadaan
yang lengang. sebab ingatanmu
sedekat-dekatnya keadaan aku.
Lebih dekap dari pelukan sepasang
lengan.
Kesalahanku padang rumput
yang hijau. seperti ternak, aku
ingin makan dan menjadi gemuk.
Menjadi potongan-potongan
daging yang membuatmu enggan
tersenyum seusai makan. Menjadi
lemak yang kau keluhkan dan
menghabiskan uangmu. Sementara
kebenaran semata museum yang
tidak kita sadari. Jika ada waktu, kau
akan mengunjunginya. Namun, kau
terlalu sibuk melupakanku.
Masing-masing kita adalah
kumparan diri sendiri, orang
lain, dan bayangan yang setia.
Tidak ada kemurnian. Dalam
pengingkaranmu akan aku, ada
cinta yang akan membuatmu
bersedih suatu kelak.
Sementara aku, aku tahu cara
mengisi kekosongan adalah
menunggu. Dunia ini dipenuhi
keseimbangan-keseimbangan. Tepat
ketika seorang melihat matahari
sore menutup mata, di tempat lain
ada seorang menatap matahari
pagi bangun. Ketika matamu
tiba-tiba berair, dari jarak yang
tidak kau ketahui aku tersenyum
menghangatkan kesedihanmu.
248
Lampiran 8
Menyeberang Jembatan
Aku ingin mampu menceritakan
apa yang kurasakan ketika
berjalan sendirian di jembatan.
Ibuku penasaran kenapa aku
senang melakukannya. Dia tidak
mengerti waktu aku mengatakan:
aku memperoleh kebahagiaan
dari yang gentar gemetar di
diriku. Seperti jatuh cinta? Tidak,
Ibu. Dia diam dan aku merasa
kalah.
Perihal membosankan dan
percuma selalu lebih mampu
menemukan kata-kata untuk
mereka kenakan. Bagi yang
setengah-setengah, dan bagi yang
berdiri di tengah-tengah, kata-kata
semata jembatan yang seolah-olah
ada. Di diriku ada banyak perihal
yang terengah-engah tidak mampu
menyeberang ke jantung ibuku.
Mereka terpaksa menjadi rahasia
dan aku merasa bersalah.
*
Sejak kecil aku sering pergi
ke hutan. Aku membisikkan
pikiran dan perasaaanku yang
merahasiakan diri dari tinta kepada
pepohonan, sebelum mereka
ditebang dan berubah menjadi
pintu dan jendela, kursi dan meja,
atau buku-buku.
Setiap kali ibuku terpekur di
hadapan lemari, aku mungkin ada
di sana menemaninya. Ketika ibuku
berusaha membuat dirinya cantik
sekali lagi, rahasiaku barangkali
yang menggenggam cermin
untuknya. Jika ibuku tidur memeluk
diri sendiri, aku berharap ikut
menopang rindu dan tubuhnya
yang kesepian.
Dan andai dia menerima surat dari
suaminya, pikiranku sungguh ingin
bergetar di jari-jarinya. Perasaanku
sungguh ingin basah oleh air
matanya.
*
Ibuku masa lampau. Kenangan.
Dia selalu mampu mengecup
ingatanku, namun ingatanku kening
yang cuma mampu menunggu
dikecup. Kata-kataku selalu ingin
mampu menyentuh jantungnya,
namun mereka tidak punya jemari.
Puisi ini sama belaka. Sekumpulan
kata, batang-batang pohon mati,
yang bermimpi menjadi rumah
tanpa dinding. Semata memiliki
jendela, pintu, dan sesuatu yang
memeluki keduanya. Rumah yang
menunggu pertanyaan-pertanyaan
ibuku datang memberi penghuni.
249
Lampiran 9
Melihat Peta
hari ini kematiaan membisikkan
perihal-perihal yang indah.
langit pagi yang perangainya tenang
dan hangat telah
ditanggalkan. beruluran jutaan jalan
kecil, kaki-kakinya
mekar jadi kembang api yang terbuat
dari awan hitam.
aku ingin tiba-tiba seisi tubuhku
tercuri. seseorang
menangis memasangkan pakaian
berwarna sederhana
dan wewangian sambil
membayangkan tuhan
menyambutku dengan riang.
kau, entah di mana, membaa catatan
yang aku tulis, aku
kirim, dan terlambat tiba.
hari terakhirku jadi hari pertama
bagimu. kesedihanku
terbakar menjadi abu. kau tumbuh
menjadi pohon yang
pucuk-pucuknya hendak menyentuh
kebiruan angkasa.
*
peta memberitahuku semua harta
karun tersimpan di
jantung rahasia hal-hal yang hancur.
kau menggantung
seperti sesuatu yang tak mampu aku
namai – mimpi atau
kenangan. di kepalaku, kau cahaya
yang disaring kaca
jendela berdebu. memasukiku
sebagai jiwa yang
kelelahan.
nanti malam, aku tak mampu
menutup mata jendela. akan
aku biarkan ia menatap mata bulan,
tempat barangkali
kau menitip rahasia.
sementara yang menetap di luar aku,
segalanya
dendanmu. memendam dendam, kata
ibuku, seperti
meminum segelas racun dengan
harapan membunuh
orang lain.
aku tak ingin mendengar kabar
pemakamanmu. biar
tubuhku dan seluru isinya yang
tercuri. hiduplah kau.
250
Lampiran 10
Menunggu Perayaan
Sol sepatumu bicara apa kepada
jalan yang menjauh?
Kuberitahu, hanya sedikit orang
yang mampu mencapai ujung dan
ketiadaan. Sekarang jalan sudah
terlalu panjang dan bercabang-
cabang. Aku terus berdiri di
gerbang ini dengan sepasang
telinga tidak mampu menyentuh
kata-katamu. Aku menunggu
punggungmu tidak menghadap
wajahku.
Kau pergi kedunia masa kecilku
yang dipenuhi gambar hitam putih.
Televisi berisi siaran dunia dalam
berita. Soeharto, topi caping,
hamparan pada, dan senyum yang
mengajari kita hal-hal palsu. Video
klip Tommy J Psa, Nila Daniati, dan
Betharia Sonata. Betapa pandai
mereka menyembunyikan dan
menyembunyikan kesedihan. Atau
siaran pedesaan dan kisah-kisah
keluarga penuh perkelahian.
Gunung, sungai, rumah, bendera,
juga toko dari kota. Semua dilukis
entah siapa menggunakan pensil
patah dan kertas putih semata.
Kau hanya mampu menghilang jika
pergi melampaui dunia sebelum
aku mengenalmu.
Dulu aku tidak perlu memikirkan
apa-apa selain segera jadi dewasa
Sekolah enam tahun. Berangkat
pagi, pulang siang, dan singgah
mandi telanjang di sungai sampai
tubuh merah. Lulus dari sekolah
lagi. Bersepeda dan terjatuh.
Menjual sawah darn sekolah lagi.
Lalu datang perayaan
kemerdekaan. Aku ikut lomba
memasukkan paku dari pantat
kemulut botol. Aku tidak
memenangkan apa-apa kecuali
tawamu dari sela-sela penonton.
Tawa itu mekar jadi pertanyaan
pada suatu siang yang kubisikkan
ke telingamu di kantin sekolah saat
para guru rapat membahas uang
dan ulangan. Kau mengangguk
dari waktu mengalir secepat
barang-barang impor. Walkman,
pager, DVD player, komputer, dan
telepon pintar.
Telingaku tidak mampu melupakan
tawamu seperti orang Amerika
mengingat peristiwa Sebelas
September.
Meski sendiri, aku ingin mewarnai
gerbang ini dan menyambut lagi
perayaan. Akan kubuat upacara
bendera, baris-berbaris, panggung
lagu-lagu lama, dan lomba-lomba
yang membuat penonton lupa
penderitaan. Barangkali aku tidak
akan memenangkan apa-apa sekali
lagi.
Tapi aku sudah nyaris
menghabiskan diriku di sekolah
bertahun-tahun. Bertahan tidak
mencintai siapa pun, kecuali
seseorang dalam diriku yang
menunggu waktu dan punggungmu
tidak menghadap wajahku.
Menunggu wajahmu tertawa sekali
lagi, mungkin kepada masa depan
yang lain.
251
Lampiran 11
Memimpikan Hari Libur
Bunga-bunga di beranda tertawa
melihat orang-orang melintas
membawa kendaraan berlibur
ke tempat ramai. Kemacetan,
supermarket, pelabuhan udara,
atau pantai. Hujan bergegas pulang
ke langit setelah bekerja keras
semalaman.
Di meja ada segelas buah-
buahan kedinginan menginginkan
cintamu keluar dari baju tidur.
Kau tenggelam di halaman koran
Minggu, membiarkan sejumlah
puisi berisi masa depan dan
masa lalu membaca matamu. Kau
mengenali puisi-puisi itu. Puisi ini
meniru mataku, katamu sembari
mengulang-ulang nama penulisnya.
Namaku.
Astaga! Kau mengagetkan pagi
seperti kota membangunkan
kesepian. Koran dan puisiku jatuh
menimpa dan menumpahkan
buah-buahan dari gelas yang telah
menempuh usia dan perjalanan
jauh demi menjilat lidahmu.
Aku bangun seperti hujan yang
pulang ke langit. Kepalaku tidak
berada di tempat yang tepat.
Aku berjalan ke kamar mandi
bersama potongan-potongan
mimpi. Pikiranku seperti lukisan
Frida Kahlo atau kisah-kisah Italo
Calvino. Aku memasukkan diriku
ke dalam hari libur dan harapan
bisa menemukan siapa namamu.
Sejak hari itu, aku tidak bisa
tidur lagi. Juga kau dan kesepian
barangkali.
Lampiran 12
Seekor Kucing dan Sepasang
Burung
Ada sangkar besar di tubuh kecil
setiap burung. Surga bagi para
pecinta burung, tempat mereka
terperangkap lupa diri dan mati.
Juga matamu, sepasang burung
terakhir di bumi. Aku tak pernah
membenci apa pun sebesar aku
mencintai matamu.
Pikiran bukan penjara. Aku
penjarakan pikiranku. Kututup
pintunya buat semua tamu dan
nama. Kecuali jiwamu, puisi tentang
jalan-jalan lengang pukul tiga pagi.
Aku ingin menjadi seekor kucing
di jalanan atau puisi. Aku ingin
memangsa sepasang burung di
wajahmu.
Jauh dalam tubuhku ada pohon
yang tumbang dan tumbuh tiap
hari. Juga sarang tempat angin
sering mampir istirahat.
Kelak orang membaca puisi
tentang taman kota, mengunjungi
museum burung, atau membaca
dongeng tentang hutan-hutan
yang hilang. Mereka tersenyum
mengingatkul.
"Pada zaman dahulu, ada seekor
kucing menyelamatkan sepasang
burung dengan memakan
sepasang mata kekasihnya."
252
Lampiran 13
Menenangkan Rindu
Bumi tidak butuh banyak bulan.
Bulan sendiri, pandai, dan
kekanak-kanakan. Dia bisa jadi
pisang ambon, mangkuk pecah
ibumu, atau martabak utuh jika
kau lapar. Dia akan menertawai
kerakusanmu atau menjadi penuh
ketika kau kosong.
Biarkan bintang padam sebagian
dan langit tetaplah satu-satunya
yang tidak mudah kautebak. Langit
yang lapang dan dalam akan
berterima kasih kepada tubuhnya
karena kau punya mata dan
benak. Juga ungu tato yang kau
sembunyikan di balik malumu yang
pura-pura.
*
Langit tampak cantik karena mobil
yang kautumpangi bergerak cepat.
Jendela mobil mogok bukan
pasangan yang cocok buat kaki
langit. Langit pekerja keras. Dia
membutuhkan satu hari yang
cerah dan kekosonganmu yang
gerah untuk membuat matahari
sore seperti lukisan atau kota
kebakaran.
Warna yang sama bisa tampak
sunyi dan riang sekaligus. Langit
paham hal-hal semacam itu. Kata-
katamu bicara terlalu banyak
tapi tidak pernah cukup. Langit
selalu cukup dengan cuaca dan
pertanyaan-pertanyaan.
*
Jangan percaya pada kartupos
dan kamera seorang petualang.
Menyelamlah ke ingatannya dan
temukan senja selalu basah di
sana. Kau hanya boleh jatuh cinta
kepada ingatan yang menyerupai
langit: rentan dan tidak mudah
dikira.
Dia meninggalkanmu agar bisa
selau mengingatmu. Dia akan
pulang untuk membuktikan
mana yang lebih kuat, langit atau
matamu.
253
Lampiran 14
Sejam Sebelum Matahari Tidak
Jadi Tenggelam
1.
Perih paling sulit untuk kucintai
adalah perihal yang paling kau cintai.
Aku ingin kau membuat tantangan
bagiku. Mencintaimu, umpama.
Ciri-ciri perempuan yang kucari-
cari adalah yang gampang berduka.
Kau tidak tahu berhenti tertawa.
Hidup bukan lelucon—atau
jantung lelucon adalah kantung air
mata.
Langit sore sedang tidak indah.
Dia senang berawan akhir-akhir ini.
Tetapi ketika aku melihat keluar,
wajahku terasa jauh lebih muda. Di
kaca jendela, samar kulihat diriku
sebagai anak langit tua itu. Dulu,
aku merasa anak matahari, tetapi
langit lebih mudah menerima
kekuranganku.
*
Pukul 5:17 sore. Aku tidak yakin
pada
segala sesuatu—kecuali yang
memar dalam puisi ini. Juga rasa
samar
antara manis dan pahit kopi yang
tinggal
sepah.
aku menginginkan gelas ketiga.
Puisi baru separuh.
Puisi ini kutulis untuk teman-
temanku. Aku ingin merasuk
dan merasakan dada mereka
yang belum kutemui. Kau juga
belum pernah bertemu mereka.
Aku tidak tahu sedalam apa
kebohongan di mata mereka—
barangkali tidak lebih dalam dari
milikmu.
Di internet, bahkan orang yang
sangat jauh dapat menyakiti kita.
Aku suka mereka menyakitiku
dari kejauhan. Aku menjadi lebih
mencintai diriku dan hal-hal yang
sering kuanggap rapuh.
Besok hari rabu. Jika ini hari
terakhirku, Rabu akan menjadi hari
favoritku.
*
Aku sering seperti ini. Gelisah dan
tidak
tahu harus melakukan apa pun.
Hanya
duduk dan mendadak puisi jatuh
cinta
kepada kesunyian di telingaku yang
sudah lama ingin bicara kepada kau
atau
siapa saja.
Puisi adalah pasangan bercinta
yang kasar—kadang seperti
perkelahian yang menggairahkan.
Kata-kata yang kau baca cuma
percik-percik darah.
*
Setelah gelas ketiga, kupikir
sebaiknya
aku melakukan satu hal gila: keluar
dari
kafe ini dan menabrakkan diri ke
kepala
254
truk.
Aku ingin melihat bagaimana
puisi memungut tubuhku—dan
aku tertawa membacanya di
koran besok pagi. Kubayangkan
kau tertawa pada hari Rabu.
Kau menertawai seseorang yang
bersedih karena kau tidak berhasil
membuat tantangan untuknya.
Aku ingin datang kepadamu
sebagai lelucon yang lebih besar
daripada hidupmu.
2.
Pukul 5:30. Rasanya seperti
pagi—dan aku baru saja bangun
dari mimpi buruk. Jalanan di luar
kafe adalah mimpi buruk yang
lain. Kadang aku berdoa kau tidak
sedang berada di sana, terjebak
bunyi klakson dan debu.
Lebih baik kau berbaring di tempat
tidur menertawai dirimu sendiri atau
siapa
saja yang gagal mencintaimu. Atau
menyerah kepada mimpi manis
tentang seseorang dari masa lalu.
Masa lalu hanya indah bagi orang-
orang yang tidak menyentuhkan
kakinya pada masa kini.
*
Matahari membuat orang mengurus
hal-
hal tertentu di dalam ruangan.
Mengurus
uang negara dan selingkuh, misalnya.
Tetapi tidak ada matahari sore ini.
Dia
takut tenggelam. Dia takut tidak bisa
terbit pada hari favoritku.
Kafe ini dipenuhi lagu yang
menghancurkan dirinya sendiri.
Sementara puisi ini untuk teman-
temanku adalah jalan-jalan baru
di tengah hutan. Kata-kata adalah
pepohonan yang bertumbangan.
kau dengar derak mereka? Seperti
dada teman-temanku yang jauh.
*
Ada kalanya puisi seperti cinta.
Tidak
tahu di mana harus berhenti.
3.
Pelayan kafe mengamati langit dari
jendela yang lain. Barangkali dia
saudara
kembarku. Saudara adalah puisi yang
selalu lupa dituliskan. Puisi tidak
tahu
tinggal di rumah. Sering pura-pura
jadi pengembara.
Aku ingin melupakanmu—dan
mencari tahi lalat ibuku di wajah
pelayan kafe.
Tangannya menyalakan lampu
seperti kesepian yang datang
dari masa lampau. Aku ingin dia
memadamkannya. Lampu tidak
perlu menyala sebelum betul-
betul gelap. Kita mesti memberi
kesempatan kepada bayangan
untuk bertukar dengan tubuh lain.
*
Setiap hari adalah kekasih yang
gagal mengucapkan selamat tinggal.
Kadang-kadang kau yang harus tega
mengecupkan selamat jalan. Dia
barangkali sudah terlalu sakit untuk
pergi—seperti matahari yang takut
tenggelam hari ini.
255
Lampiran 15
Catatan Seorang Pedagang Di
Pasar Terong Makasar
Dulu aku tak percaya orang lain
berani mengusirku dari rumah
sendiri. Tapi kota ini memaksaku
paham selalu ada orang mengaku
lebih berhak atas milikku.
Mereka dating membawa batu,
pasir, semen, besi, air, minyak tanah,
api, tentara, polisi, dan preman
untuk menebar kecemasan. aku
lebih takut kepada mata uang…..
dan kesenangan-kesenangan……
daripada mata senjata.
Aku tahu betegur sapa dengan
senyum bahkan kepada musuh
yang berpura-pura bertandang
sebagai tamu, teman, atau
pelanggan.
Aku mungkin kehabisan kata
meladeni mereka berbincang
tentang masa depan. Tapi aku
selalu punya senyum untuk
menolak semua yang cuma andai.
Sudah kulingkari nyaris semua
angka di kalender. Sudah kulingkari
hari ini dan besok. Aku waspada.
Aku selalu waspada. Kewaspadaan
yang terlatih tak bias dikalahkan
oleh senjata buatan pabrik.
Besok datang lagi orang-orang itu.
Lampiran 16
Menelepon Kau
Apakah kau ada di sana?
Apakah kau ada?
Apakah kau?
Di pusat malam, dari dalam diriku
Seorang peragu bertanya-tanya.
Apakah cuaca kurang sehat atau
kau sedang tidur memimpikanku?
Dering teleponku, suara menggigil
memanggil diri sendiri. Seperti lagu
mencari seorang penyanyi.
Seperti pohon mati menunggu
angin datang mematahkan lengan-
lengannya, atau memutihkan
ingatan bunga-bunganya. Seperti
seorang pengelana memanggul
penyesalan, mencari Tuhan
agar mampu menemukan dirinya
kembali
256
Lampiran 17
Menjadi Hantu
Aku ingin tidur seharian di
sepatumu saat kau pergi ke
kantor menggunakan sepatu lain.
Menunggumu di rumah tanpa
mengeluh.
Aku ingin jadi warna kesukaanmu,
melingkari lehermu. Berpura-pura
sebagai selendang, karena seorang
pria lain tidak putus menginginkan
dadamu.
Aku ingin mendengkur sebagai ular
sawah atau angin di sudut kamar,
di tumpukan pakaian kotormu.
Mereka hangat, dekat, mendekap,
dan masih beraroma kita.
Lampiran 18
Menjadi Lumba-lumba
Aku pernah punya mimpi. Kau
menulis angka-angka penanda
dibahuku,
semacam tato permanen. Aku juga
menulis angka-angka serupa
diperutmu,
dan kau tertawa. Ujung pisau yang
aku
gunakan menulis membuat rahimmu
geli. Kita telanjang, bergandengan
tangan,
berjalan dalam gelap dan tiba di
tebing,
lalu aku terjun ke sungai tapi kau
tidak.
Kelak, pada satu hari Sabtu, saat kau
sibuk di kantor, aku mencium pucuk
hidung anak-anakmu di bibir kolam
renang.
257
Lampiran 19
Menjadi Tamu
Aku akan datang ke rumahmu,
memegang semua benda yang
baru kau letakkan. Aku ingin
merasakan tanganmu ketika kau
sendiri atau tidak ada.
Aku akan menuliskan daftar
benda-benda yang menutup
matamu ketika menyebutkan
nama mereka. Saat sendiri, aku
mengucapkan dan mengecupkan
nama-nama itu agar mimpiku bisa
tertidur.
Aku akan masuk ke kamarmu,
berbaring di tempat tidurmu
hingga kamarmu berubah jadi
kamar kita. Atau menunggu di
beranda sambil mendengar lagu-
lagu cinta dari radio tetangga.
Aku akan menemanimu menanam
sayur-sayuran di halaman belakang
sembari membayangkan di pipiku
tumbuh bulu-bulu yang akan
menggelikan pipimu.
Aku akan mengambil dua foto
setiap hari dan merangkai mereka
jadi film. Barang-barang yang
pernah kau genggam. Ranjangmu.
Cabang-cabang dan kembang
sayurmu, atau cambang di pipiku.
Akan kumasukkan juga tembang-
tembang yang menemaniku
menunggu di beranda.
258
Lampiran 20
Pameran Foto Keluarga Paling
Bahagia
Aku tidak percaya kepada orang-
orang yang senang memamerkan
kebahagian keluarga mereka.
Hiburan dan liburan. Pakaian
dan kota-kota asing. Senyuman,
pelukan, dan berlembar-lembar
foto keluarga. Mereka kaca buram
yang mudah pecah. Buah-buahan
yang tidak dikupas. Barang-barang
mewah yang takut ketinggian.
Ketika kesedihan menyentuh hidup
mereka, semesta adalah kesalahan.
Tidak akan kuceritakan derita siapa
pun kepada mereka.
Tidak ada yang mampu mereka
lakukan selain berpura-pura—
dan memberi hal-hal yang tidak
dibutuhkan. Kutipan-kutipan atau
kisah sedih tentang usaha melewati
kehidupan yang berbahaya.
Alasan utama mereka bahagia
adalah tidak peduli. Mereka tidak
mau tahu jika kau masih punya
alasan lain.
Sudah lama kuhentikan
percakapan tentang negara dan
cinta dengan mereka. Bahkan
kepada saudara, mereka bicara
menggunakan klakson kendaraan.
Kuberitahu, saat kau menyusuri
jalanan mengenang teman-
temanmu yang pergi dan
tidak pernah pulang. Saat kau
menghindarkan teman-temanmu
yang masih hidup dari kejahatan-
kejahatan lain yang mengancam.
Mereka sibuk tersenyum di depan
kamera.
Mereka punya berlembar-lembar
foto keluarga yang penuh hal
tiruan baru.
259
Lampiran 21
Jendela perpustakaan
Langit menyentuh buku-buku pada
sore hari ketika para pengunjung
diminta berhenti membaca.
Seorang petugas akan menutupnya
dan tidak menyadari pertemuan
singkat mereka yang hangat.
perpisahan dan warna masa kecil
itu tiba-tiba musnah.
Orang-orang pulang dengan
pikiran-pikiran lama dikepala.
Lampu-lampu dipadamkan dengan
alasan penghematan.Buku-buku
tidak bisa membaca diri mereka
sendiri. Malam akan datang dan
kesunyian menyususn dirinya
kembali.
Di depan perpustakaan, langit
masih mentapa jendela tertutup
itu tanpa berkedip. Aku tidak ingin
cepat sampai rumah. Kubiarkan
langit yang sedih menyentuh
kepalaku. Orang-orang tergesa
dan tidak membawa buku. Mereka
berbahaya dan tidak waspada.
Di jalan menuju rumah aku
ingin memikirkan semua bunyi-
bunyian— bahkan yang paling
jauh—dan tidak ingin mengerti
apa-apa. Dirumah hanya ingin
kurenungkan diriku dan seluruh
yang tidak ingin kulupakan. Jika
mimpi datang, aku ingin jadi
jendela yang luas untuk langit,
buku-buku, dan kau.
260
Lampiran 22
Hantu Bernyanyi
Ia menekan-nekan tuts keyboard
mengetik kata piano lagi dan lagi,
juga titik dan koma, sambil dalam
hati menyanyikan lagu ciptaannya,
yang di ingatannya tinggal
beberapa larik:
1. Berdering-dering Halo yang
aku kirim sejak bertahun-tahun
lalu belum kau jawab hingga
sekarang. Aku tahu kau dengar.
2. Kepalaku kampung, dipenuhi
anak kecil yang berlarian
mengejar bayang-bayang
mereka sendiri. Aku melihat
diriku.
Di layar komputer, ia lihat piano-
piano seolah-olah dikerubungi
sekawanan semut. Jika ia pemabuk,
pikirnya, tanda-tanda baca itu
menyerupai kunang-kunang.
Tak ada hujan. Jika hujan datang
malam itu ia akan menjadi
penyebab.
*
Meski tidak mabuk, ia masuk
kamar mandi. Ia siram kepalanya.
Ia kosongkan bak. Ia tetap tidak
Mampu menghafal lagu ciptaannya
sendiri.
Sisa-sisa air yang tertinggal
ditelinganya seperti bisikan
kekasihnya yang pergi bertahun-
tahun sebelumnya.
Setelah melepaskan handuk, ia
tiba-tiba tidak bisa membedakan
antara kantuk dan angin. Ia
berjalan ke tempat tidur tanpa
mengenakan apapun kecuali
rambut yang tergerai basah dan
bekas luka.
Ia pejamkan semua mata lampu
dan matanya. Ia lihat di halaman
bunga satu demi satu mekar
bersama masa lampau.
Tak ada hujan. Jika hujan datang
malam itu ia akan menjadi
penyabab.
*
Ia tidur seperti tanda kutip dan
semua yang ia lihat dalam mimpi
adalah pahlawan. Baginya, yang
layak jadi pahlawan hanya bunga-
bunga dan anak-anak. Tetapi, bukan
itu maksudnya, katanya ketika
ia terjaga oleh suara sirine yang
semakin mendekat.
Ia bertanya-tanya, apakah harus
terjaga hingga pagi agar mampu
kehilangan mimpi. Ia tak mau
dikejar-kejar mimpi masa kecilnya.
Masa kecil amat rakus, mengubah
manusia menjadi undur-undur.
Tak ada hujan. Jika hujan datang
malam itu ia akan menjadi
penyebab.
*
Ia lapar. Sangat lapar. Ia seolah
punya kekuatan yang mampu
memakan malam dan seluruh
isinya. Ia lihat, di jendela, bulan
sudah habis ditelan pelan-pelan
oleh bayangan bumi. Ia merasa
261
lebih kuat dari sekedar bayangan
bumi.
Di tengah laparnya yang belum
melahap apapun, ia lihat mobil
jenazah berhenti dan menunggu
di depan rumah tetangga. Ia
ketakutan dan beberapa bagian
lagunya yang hilang tiba-tiba pulang
menemaninya.
1. Jika aku menyukainya, ia
bernama kesepian. Jika aku
Membencinya, ia bernama
kesepian.
2. Aku akan pergi, aku akan
segera pergi. Begitu juga
denganmu. Begitu juga mereka.
Ia bernyanyi dan bernyanyi sendiri
hingga ia raib ditelan suaranya
sendiri.
Tak ada hujan. Jika hujan datang
malam itu ia akan menjadi
penyebab.
*
Malam-malam berikutnya, penyanyi
itu menghantui rumahnya sendiri.
262
Lampiran 23
Mengunjungi Ambon
Langit di atap teluk berwarna layar
telivisi yang sudah lama menolak
aliran listrik. Sedih dan menarik.
Kucatat empat hal lain untuk
mengingat langit itu:
1. Gudang barang antik yang
mahal dan belum ditemukan,
2. Gedung pemerintah yang
didatangi demonstran berbayar;
3. Sepasang mata bayi yang mati
digugurkan ayahnya, dan
4. Rok pelajar lima tahin setelah
tak lulus ujian nasional.
Sebelum berangkat, kusimpan
namaku di saku sebagai nomor
kontak darurat yang akan sering
dihubungi ibuku dengan takut. Aku
ingin tinggal di alamat yang tidak
hendak menerima surat. Di antara
keinginan dilupakan dan keharusan
diingat.
Di kapal penyeberangan, di amtara
puluhan sepeda motor dan peluh
gadis-gadis berparas Portugis,
kulemparkan pesan seseorang ke
Tanjung Martha Alfonso
Menjadi diri sendiri adalah filsafat
yang sekarat dan alat kontrasepsi
yang sudah bocor sebelum
dimasukkan ke kemasan dan
dijajakan sembarangan.
Kesedihan selalu menunggu di
kampong Air Mata Cina. Kudengar
kabar, di antara rumah-rumah
sempit, para penduduk sempat
mau berdamai. Tapi, pada suatu
malam, ada bunyi parang riuh dari
dasar sumur mereka. Mata air yang
tak mau mati, terus membanjiri
kantor-kantor berita di Jakarta.
Kudengar erang orang-orang
menangisi diri mereka. Tentara dan
polisi lalu-lalang seperti orang-
orang pribumi, tapi tak tidak tahu
tersenyum.
Ambon yang langitnya berubah
jadi kembang api semalaman
kubayangkan tanah kelahiranku.
Kantuk menguapkan kopi hitam
terbaik
dari darahku.
Aku terpejam dan agamaku hilang
beberapa jam.
Aku bermimpi mengirim surat
kepada ibuku, tapi tidak pernah
sampai karena salah alamat.
Pagi menghidupkanku lagi dan
menemukan kematian bukan lagi
metafora. Sayang, tiket pesawat
sudah dipesan dan aku susah
menghindar dari perjalanan
berikutnya.
Cinta adalah kapsul yang tidak
menyembuhkan apapun kecuali
kegembiraan dan tabungan. Di titik
itu,
siapapun butuh tikungan atau
penghianatan yang cerdik.
Perihal yang jauh mesti diabaikan
hingga terbukti kembali punya hati.
Aku menitip kamera di Warung
263
Kopi Sibu-sibu dan mendaki tangga
untuk beristirhat di Negeri Soya.
Di tas punggungku ada sekantong
roti sagu yang hangat.
Dari ketinggian, aku menatap
Ambon dan malam perlahan
menutup kepalanya yang
ditumbuhi pohon natal dan kerlip
lampu kubah masjid.
Para perantau seperti masa
lampau mendatangi pintu
dan lonceng yang menunggu
didentangkan sekali lagi
Beberapa buku kembali jadi pohon
di dadaku penuh tanda baca cara
Oxford. Merekahkan memar
berbentuk hati. Luka tak berhenti
mendekatiku, hendak lebih dekap
dari jiwaku sendiri.
Seperti waktu, pahlawan, dan
kiamat yang tak memegang nomor
antrean. Jebakan dan trampolin
ada di mana-mana. Sulit dibedakan,
Untuk sampai ke satu tempat, aku
pergi dan meninggalkan sedikit
demi sedikit tubuh di jalanan,
untuk membangun rumah, aku
harus jatuh dan lumpuh.
264
Lampiran 24
Langit dan Laut di Timur
Masa lampai sering kali kita tolak
kilaunya. Sebagian bintang di langit
adalah hantu. Kala hidup, mereka
peta penentun kita mencari kerang
dan menyeberang ke pulau-pulau
jauh. Karenanya anak-anak kita
mencintai jendel, angan-angan,
pertualangan, dan buah tangan.
Cahaya bintang berakhir ditepat
waktu seperti peristiwa-peristiwa
dari bencana berubah jadi
kenangan indah yang berpura-pura
kita ingkari. Mata mereka mati.
Mayat mereka jatuh dan terkubur
di udara. Kita terpukau dan
berandai-andai. Kita ingin
jadi pilot dan bukan penyelam.
Tidak ada yang lebih pandai
mengelak dari diri sendiri melibihi
kita.
Kita Maluku kau Buru, aku aru, satu,
tapi laut adalah pusat tubuh kita yang
lapar, menghampar seperti kita riuh
dan berbahaya jari-jari pantai
berusaha
saling menggapai ibarat surat dan
alamat. Rindu surut atau perahu
karam
dan berkarat di dasar paling dalam.
Di permukaan, harapan tidak lebih
dari buih
yang terombang ambing, bimbang
antara
jadi pelampung atau nasib
penumpang
yang selamat dari maut.
Sementara masa kecil kita semata
mata air yang sudah berhenti jadi
sungai. Leluhur adalah gelegak
lahar di perut gunung berapi
yang bersembunyi seperti ranjau di
balik ombak dan mudah meledak.
Rahim ibu, puncak palung yang
lupa pula kita jadikan tempat
pulang, telah jadi cangkang-
cangkang mutiara belaka.
Selebihnya, hanya ada hewan-
hewan air yang asin dan beracun
seperti orang asing.
Sekarang, di televise dan internet,
biru cuma kata sifat yang tidak
tahu harus memeluk tubuh siapa.
Perumpamaan-perumpaan hampa.
Hal-hal lain sudah baru dan bukan
milik kita.
265
Lampiran 25
Memastikan Kematian
Seperti bulan, di dasar tiap kata,
kunikmati sepi dengan mengubah
benda-benda jadi bayangan.
Kuingin setiap cahaya tersenyum
melihatku sendiri. Kuingin tiada
apa pun mampu menampung dan
menjangkau kesedihanku.
Kejahatan ada di mana-mana.
Di kota-kota atau di kata-kata,
atau pada segala sesuatu yang
kausebut kita. Dalam bentuknya
yang paling sempurna, dia bernama
kebahagiaan.
Akan selalu kutemukan diriku
bersedih dan jatuh cinta kepada
laut yang memisahkan diri dari
puisi dan orang-orang kota yang
gemar berlibur. Aku mengajari
diriku berenang dan menjadi kuat.
*
Berkali-kali kauhadiri pemakaman
semata demi memastikan
kematianku.
*
Setelah mati, aku hidup sebagai
hewan peliharaan yang selalu
tak mau kausangkarkan atau
kebiasaan buruk yang tak mampu
kausingkirkan.
Sesekali aku jadi puisi cerewet
seperti ini untuk meyakinkanmu.
Kau selalu cantik bahkan saat
tidur di pelukan orang asing. Saat
bersedih. Saat jauh dari jangkauan
senyum siapa pun.
Di luar ingatanmu, semua orang
adalah orang asing.
Selalu ada puisi tentang kau. Telah
kuhapus selalu dan tentang di
kalimat sebelum ini. Kuingin tak ada
sesuatu yang butuh diseberangi di
antara kau dan puisi.
*
Kata-kata selalu bunuh diri dan
tumbuh sekali lagi jadi puisi.
Puisi membayangkan tidurmu
gelisah atau tanganmu teriris
saat memotong sayuran atau
kau bersedih kucingmu yang
mengenakan nama dewa mati
digerogoti virus atau anak tetangga
memecahkan kaca jendelamu
karena dia penasaran dan mau
atau kau menangis menyadari
senyummu selembar uang palsu.
Puisi bertamu ke dalam dirimu.
Dia datang dari hal-hal sederhana.
Dari bahaya. Dari pikiran-pikiran
yang menolak waspada. Dan kau
jatuh cinta.
266
Lampiran 26
Aku Menunggu di Kantukmu
Baik di dalam maupun di luar sajak
ini, kau adalah tragedi yang kubaca
berulang kali dari halaman terakhir
hingga kata pertama.
Sekarang – tidak mau kudengar
musim hujan kausebut puisi seperti
remaja patah hati – ingin kutulis di
keningmu sesuatu yang hangat dan
sudah lama kauingkari. Aku rindu
melihat tubuhmu jadi ruang pamer
benda-benda yang tidak bisa
disaksikan orang lain.
Aku mencintaimu seperti televisi
tua di gudang nenekmu yang
terbakar. Cuma satu kanal dan
tidak pakai remot kontrol.
Kausadari diam-diam. Kau tidak
pernah tampak cantik di internet
atau di jalan-jalan yang terbuat dari
iklan dan kemacetan dan korupsi.
Kau hanya bisa melakukannya di
kamar tidurmu atau di tidurmu
atau di mimpi-mimpimu tentang
harilalu. Ketika sendiri.
Kantuk yang kauabaikan;
(1) kelelahan oleh ulah tanggung
jawab yang pura-pura kautunaikan,
(2) kesedihan karena kau selalu
gagal jadi perayaan, (3) kesepian
yang tidak mampu disembuhkan
riuh dunia, (4) kecemasan yang
kaurahasiakan dengan senyum
lebih menyerupai mata pisau.
Berhentilah. Sejenak saja.
Di ujung sajak ini, kusiapkan
sebotol obat tidur dan segelas
kopi untuk kauberi pertanyaan.
Lampiran 27
Mengingat Pesan Ibu
Setelah sampai di perhatian
terakhir sajak ini, kau ingat pesan
ibumu.
Seluruh yang kau miliki bukan
yang kau mau. Seluruh yang
kau mau bukan yang kau butuh.
Seluruh yang kau butuh bukan
yang kau jangkau. Seluruh
yang mampu kau jangkau luruh
dan sia-sia belaka.
“Berhenti. Jangan berangkat
sebelum tiba,” katanya.
267
Lampiran 28
Jalan yang Berkali-kali Kau
Tempuh
Kita pernah melewati sajak ini. Kata
ini menemukanmu lagi di sini. Kau
sudah berkali-kali melewati kata ini.
Juga kata ini. Kalimat ini ada di sini
untuk kaulewat dan kaulupakan
sekali lagi. Sajak ini bagimu lebih
akrab daripada jalanan macet
di antara tempat tidur dan bilik
kerjamu.
Kau pernah sembunyi dibalik
beberapa kata sajak ini. Di balik
kata ini dan kata ini. Katu tahan
napas dan pura-pura jadi orang
lain. Seseorang menguntitmu
dan kau ketakutan. Barangkali
tukang tagih hutang. Sajak ini tahu,
ketakutan itu kaupikir telah mati,
sebagaimana kegembiraan yang
berulang kali kaurayakan dengan
minum bir di ujung bait ini.
Kau tak ingat apa yang
membuatmu pelupa. Kau negara
dan anak-anak buahnya yang
menggunakan hati menyakiti diri
sendiri. Kau kantor berita dan
ruang redaksi. Kau sahabat yang
pergi. Kau kekasih yang tidak tahu
berterima kasih. Kau anak yang
mengungsi bermil-mil dari rindu
yang menunggu di mana-mana,
di sajak ini.
Istirahatlah di sini. Kata ini, ada di
sini, mencari seseorang yang mau
mampir dan mampu berpikir. Atau
di sini, di antara kata ini dan kata
ini.
Kenapa kau terburu-buru?
Tunggu.
Masih ada persimpangan di
sajak ini. Beberapa kata dari sini.
Pelankan langkah dan berpikirlah
untuk belok ke lain arah, ke jalan
yang pernah kaulewati sekali.
Di jalan itu, yang tidak lagi
ingin kaulalui, dulu kau berjalan
mengandeng tanganmu. Berjalan
sebagai dirimu yang tidak lagi
kaukenali. Seperti kat lain yang tak
menampakkan diri di sepanjang
perjalananmu menempuh sajak ini.
Kau baru saja melewati
persimpangan terakhir; Kau tak lagi
melihatnya ketika menoleh.
Dan, pada akhirnya, tiada apapun
kautemukan setelah tiba di sini.
268
Lampiran 29
Mengunjungi Museum
1.
Ada remaja abadi yang tidak
kaukenal dalam diriku. Selalu, di
museum yang sama, ia seperti
patung belum dirampungkan
pahat. Ia tak mampu membedakan
antara menghadapi lukisan
dan berdiri di puncak tebing. Ia
menjatahkan diri ke semesta
benda-benda di bingkai ketika
belum jadi bangkai
atau hantu.
Tempat tidur dan segala yang
tertanggal di atasnya masih
pepohonan. Bekas luka dan
kesendirian perempuan itu masih
kuda muda liar dan senyuman.
Dan lain-lain yang hanya terlihat
jika kausentuh. Waktu, umpama,
sebelum terkutuk jadi kalender
atau jam dinding yang ketagihan
mengulang hidup dan tidak
menyelesaikannya.
Dunia lama selalu baru terjadi di
hadapannya. Ia menjauhkan diri
dari segala yang ada di luar pintu
museum. Ia merasa terjebak di
antara doa dan ciuman pertama.
Jika ia menganggap lukisan sebagai
keindahan, semesta itu memudar.
Ia tidak ingin aman dan tercatat
sebagai penghuni masa lampau
terlalu cepat.
2.
Ia dan seorang gadis di sekolahnya
pernah saling jatuh mencintai.
Semua pria dewasa, termasuk guru,
hanya orang bodoh di depan
gadis itu. Ia ingin gadis itu tumbuh
lebih nyata dari kecantikannya. Ia
ingin menjadi sihir dan gadis itu
percaya pada keajaiban.
Ia ingin sihir tampak nyata
dari lukisan atau lebih hidup dari
seluruh yang sibuk di luar
museum. Tapi ia tak ingin cinta
jadi tangga yang mengangkat dan
merendahkan diri sendiri.
Ketika gadis itu pergi, pelayan
toko buku langganannya berkata,
“Kau kehilangan. Ia terlalu banyak
bagimu”. Hanya ada satu toko
buku kecil di kota ini – dan pelayan
yang dimakan usia sendiri itu
terlalu rajin. Kehilangan dalam
kalimat pelayan itu adalah obat
yang tiap saat menyakitinya.
3.
Ia setuju, dan ia tak setuju. Ia
melihat gadis itu tak mampu
menerima hidupnya sendiri
sebagai kesibukan yang lumrah
dan boleh ditunda. Ia mengejar
dirinya sebagai karir, mengubah
kecantikannya jadi jam kerja.
Di museum, ia ingin
mengembalikan bekas luka di
punggung perempuan itu jadi
senyuman. Ia ingin meniupkan
apapun yang mampu mengubah
ranjang, selimut, dan pakaian
perempuan itu jadi serat-serat
pohon. Ia ingin menjadi penyair atau,
setidaknya, kembali jadi seorang
yang belum pernah bercita-cita
mengenal kuas dan warna. Ia ingin
jadi pencuri takdir sendiri, pulang
ke sekolah yang tidak kenal ujian
269
dan acara penamatan.
4.
“Setiap orang adalah lukisan, jika
tak membiarkan diri terperangkap
bingkai,” kata pelayan toko buku
itu pada hari terakhir bekerja, hari
terakhir sebelum jadi hantu lain di
pikiran remaja abadi dalam diriku
270
Lampiran 30
Menyaksikan Pagi dari Beranda
Langit menjatuhkan banyak
kata sifat. Tidak satu pun ingin
kutangkap dan kuingat. Kubiarkan
mereka bermain seperti anak-anak
kecil sebelum mengenal sekolah.
Mereka menyentuh pepohonan
dan membuatnya berwarna-
warni. Mereka memanjat dinding
dan jendela bercahaya. Mereka
mencelupkan jemari di kopi dan
mimpiku meluap jadi mata air di
halaman.
Orang-orang melintas membawa
kendaraan. Mereka menyalakan
radio dan tidak mendengarkan
apa-apa. Mereka pergi ke kantor
tanpa membawa kata kerja.
Mereka tergesa, tapi berharap
tidak tiba tepat waktu.
Jalanan keruh sekali setelah pukul
tujuh
pagi. Satu-satunya jalan keluar
adalah masuk. Tutup pintu. Biarkan
jalanan tumbuh dengan hal-hal
palsu.
Aku ingin mandi dan tidur
siang berlama-lama. Aku
mencintai kemalasanku dan
ingin melakukannya selalu. Pada
malam hari, aku ingin bangun dan
mengenang orang-orang yang
hilang.
Sudah tanggal berapa sekarang?
271
Lampiran 31
Menjadi Kemacetan
Kita lelah dan mesin-mesin ini tidak
tahu bergerak. Kauingin aku jadi
sesuatu yang ringan dan pandai
terbang. Aku lebih suka andai bisa
jadi mobil bertumpuk di belakang
pabrik yang sudah pension….atau
belukar yang menjadikannya taman
ular.
Dari jendela mobil yang
gelisah tidak ada yang tampak
indah. Bahkan matahari yang
menenggelamkan diri dan jingga.
Sebagian hujan sejak lama sudah
sial tercatat di laporan tahunan
departemen sosial. Selebihnya
memilih sembunyi di sajak siapa-
penyair-itu dan aman jadu laut atau
langit atau
cuaca tanpa ada yang
mengubah namanya jadi keluhan,
Kauingin aku menjadi kekasih atau
puisi yang tangannya bias memijat
betismu yang keram. Aku lebih
suka andai bias jadi trotoar atau
pohon tua yang mengajakmu
berlari-lari kecil seperti bocah
riang pulang sekolah.
Kita lelah dan kata-kata dusta dan
kota-kota jauh jatuh dari layar
telepon genggammu yang lelah
kaupandangi. Kau sedih seolah
semua orang yang kaukenal tiba-
tiba menghapusmu. Kauingin aku
jadi negara atau hal-hal yang
gemar berlibur. Aku lebih suka
andai bisa jadi buku dongeng
yang kaubaca di tempat tidur,
Kaupeluk aku sambil tertawa
membayangkan kita sepasang anak
kecil yang selamanya. Kupeluk kau
sambil membayangkan lengan kita
adalah negara satu-satunya.
Mesin-mesin ini tetap bodoh dan
tak tahu bergerak. Teleponmu
basah dan mati dan lepas dari
genggaman. Tidur, atau mungkin
maut, memasuki tubuhmu pelan-
pelan. Matamu museum kupu-
kupu. Kulihat mimpi satu demi satu
keluar dari sana. Aku, seperti biasa,
memikirikan cita-citaku yang selalu;
ingin segera berhenti jadi buruh.
272
Lampiran 32
Siput atau Bayi atau Aku yang
Tidur
Satu-satunya rumah yang tersisa
adalah tidurku. Di luar itu, badai –
dan
bayangan-bayangan yang mengejar
diri
sendiri. Aku tidak lagi menunggu.
Jendela
telah kehilangan cahaya. Langit-
langit
dan atap dan langit dipenuhi
perjalanan dan
ketakutan dan bandara.
Kuinginkan ini: selimut warisan
ibuku
adalah cangkang dan aku melunak
jadi
bayi. Sudah lama aku jatuh cinta
pada
hal-hal yang bisa mengajariku
mengerti
cara berhenti. Telingaku tersumbat
dan
lamat-lamat cuma kudengar kalimat
selamat tidur dari dalam diriku yang
baru kembali.
Aku siput dan aku bayi dan aku
diselaputi tidur yang damai.
Kumakan
mimpi-mimpiku: kita ada perih lain
yang
kita kira masa depan dan semua yang
cuma andai.
Kubiarkan semua bayangan di luar
rumahku berlari dan jatuh menabrak
diri
sendiri. Ikutlah berlari jika kau tak
ingin
ke mana-mana lagi. Di dalam
cangkang
ini, aku riang bermain. Alamat-
alamat
yang tidak pernah kudatangi, pulau-
pulau
yang pernah menjauh, pulang satu
demi
satu menempatiku.
Kelak ketika bayangan-bayangan itu,
dan
kau, menyerah atau mengalah atau
gagal
mengalahkan diri sendiri, aku
bangkit.
Mataku adalah pintu. Bahkan batu-
batu
akan memasukiku sebagai bunga
atau
matahari terbit.
273
Lampiran 33
Ada Anak Kecil Kesepian di
Tubuh Ayahmu
Ibumu tumbuh jadi anak perempuan
yang pandai memasak
dan memiliki anak-anak yang sering
di serang kelaparan
dan pertanyaan-pertanyaan.
Aku cuma seorang ayah yatim piatu.
Lampiran 34
Mengurus Surat Keterangan
Hilang
Ke kantor polisi—aku benci kantor
polisi—aku datang pagi-pagi.
Minggu
lalu dompetku hilang dan harus
menjadi urusan negara. Aku tidak
bisa makan tanpa surat keterangan
hilang. Meski tabunganku kecil, bank
lebih percaya stempel polisi daripada
tanda tanganku atau nama gadis
ibuku.
Di kantor polisi, ada seorang ibu
menangis. Aku ingin bertanya
dia kehilangan apa, tapi polisi
melarangku mendekat. Bukan
urusanku, mereka bilang.
Aku pulang membawa surat
kehilangan dan senyum seorang
ibu yang belepotan air mata. Di
perempatan sebelum belok ke bank,
aku mengirim pesan pendek kepada
ibuku.
Aku baik-baik saja hari ini.
Tapi, aku takut menanyakan
kabarnya.
274
Lampiran 35
Bermain Petak Umpet
Kututup mata di depan, atau
barangkali di belakang, pohon
mangga dan menghitung satu dua
tiga empat lambat hingga sepuluh.
Kubiarkan kau berlari, menemukan
jarak dan tempat sembunyi. Ketika
kau sudah aman, kucari kau sambil
bernyanyi. Kutahu, di suatu tempat,
kau cemas menunggu.
Rasanya baru dua tiga bulan, bukan
sepuluh, anak-anak belum sempat
menggalkan diri dari kita. Tapi, di
antara pohon mangga tempatku
terpejam menghitung dan sunyi
tempatmu bersembunyi, telah
dibentangkan jalanan. Di dadanya,
orang-orang asing dan mesin-
mesin lalu-lalang lebih cepat dari
waktu, saling kejar mencari dan
mencari dan mencari dan mencair
jadi apa dan kenapa dan kapan.
Kau, meski tak lagi bersembunyi,
tidak
juga kutemukan.
Barangkali kau suntuk menunggu,
dan aku mulai cemas kehabisan
lagu.
275
Lampiran 36
Tentang Sepasang Kekasih yang
Melintas Begandengan Tangan
Kelak aku seorang asing
bagimu. Wajahku gunung, tidak
tampak puncaknya karena tertutup
kabut….atau pameran tak kukenal
dalam film-film noir yang dipenuhi
kepulan asap kretek.
Ketika kaucoba menyusun
wajahku. Kau seakan-akan
membaca puisi Sulvia Platih pada
pukul tiga pagi. Kau tidak bisa
tidur dan aku satu-satunya
nyawa yang bisa kauhirup sebelum
berangkat ke kantor.
Kelak suatu sore kau berdiri di
depanku. Bumi bergetar sendiri
karena memberat oleh keheningan
yang tidak bisa kita tampung.
Kauingat ketika
mencintaiku segampang
menghirupembuskan napas. Aku
berhenti merokok karena
tidak tega melihat dadamu
nyeri. Aku mengganti parfum
beraroma ayahmu yang mati oleh
peluru nyasar polisi. Aku lebih rajin
memotong kuku. Aku mengurangi
waktu main Twiter dan game
online yang tidak kautahu namanya.
Ke mana-mana kaugenggam
jariku. Kaurasakan jantung kita
berkedut kecil di telapak tanganmu
yang mudah basah. Ketika aku
diam, kau menghitung dalam hati.
Satu. Dua. Tiga. Empat. Lima.
Enam.
Kau tersenyum menyadari jantung
kita adalah penyanyi dan musik
pengiring yang serasi.
Lalu kau tiba-tiba menemukan
kesimpulan. Cinta adalah hidangan
di atas meja. Pelan-pelan dingin
dan kau tidak lagi lapar.
Kelak aku seorang asing bagimu.
Tidak lebih satu wajah entah siapa
tersesat di keramaian karnaval.
Namun, sejak itu, kau tak mampu
menyanyi atau menghitung sesuatu
tanpa merasakan jari-jariku
menggelitik jantungmu.
Aku kembali menghisap kretek
sembari mengenang dadamu yang
sering mendadak minta diantar ke
rumah sakit.
276
Lampiran 37
Pulang ke Dapur Ibu
Aku hidup di antara orang-orang
yang memilih
melakukan usaha lebih keras untuk
menyakiti orang
lain daripada menolong diri sendiri.
Aku ingin pulang ke dapur ibuku,
melihatnya
sepanjang hari tidak bicara. Aku
ingin menghirup
seluruh kebahagiannya—yang
menebal jadi aroma
yang selalu membuat anak kecil
dalam diriku
kelaparan.
Aku ingin hidup dan diam bersama
ibuku. Aku akan
menyaksikan ia memetik sayur di
kebun kecilnya di
halaman belakang untuk makan
malam yang lengang.
Aku ingin membiarkannya
tersenyum menatapku
makan tanpa bernapas.
Aku ingin melihat ibuku tetap muda
dan mudah
tersenyum. Aku ingin menyimak
seluruh kata
yang tidak ia ucapkan. Aku ingin
hari-harinya sibuk
menebak siapa yang membuatku
tiba-tiba suka
bernyanyi di kamar mandi.
277
Lampiran 38
Seorang Lelaki dan Binatang-
binatang yang Hidup dalam
Jasnya
(Aku menulis kisah ini sepulang
bertemu penjahit. Aku piker setelah
berulang-ulang berulang tahun.
Tidak salah menghadiahi diri sendiri
satu setelan jas. Kadang aku merasa
penjahat yang perlu
pakaian yang bikin tampan dan
tampak sopan.
Pada usia-usia rawan yang ditarik-
tarik dari depan dan belakang,
seperti sekarang memiliki jas
adalah kebutuhan. Semakin banyak
undangan penjamuan datang.
Meskipun kemugkinan jas itu
cuma aku kenakan pada hari
kematianku yang diramaikan sudah
dekat).
1.
Ada pot bunga-bunga tiruan
duduk di atas meja. Ada pulpen
sedang bekerja menyelesaikan
bagian meja yang tidak sempat
dirampungkan tukang.
Laci terkunci meja itu, tentu saja,
menyimpan rahasia, bencana
rencana, dan mimpi yang hampa.
Sementara lelaki berjas di kursi
kurus jangkung itu ulang seorang
yang selalu membayangkan dirinya
Aristoteles. Dia membaca kalimat
itu lagi dan lagi.
2.
Laki-laki berjas itu berdiri di atas
sepatu lancip sembari menopang
kepalanya yang besar berisi kelinci
(mungkin jantan) yang berisik,
berbulu putih bagai selimut baru
dicuci, dan berhidung sehitam aib.
Dari saku jasnya ada yang seakan-
akan sudut lipatan saputangan.
Tetapi aku tahu itu, itu kuping tikus
yang memerlukan diet.
Di dadanya ada seekor ular tidur
melingkar seusai makan.
Dua tangannya terkepal apakah
dia hendak melepas kawanan
serangga ke udara yang luas tak
terhingga?
Namun dia tidak pernah sekalipun
salah mengeja namanya. Dia
menyentuh dan tersentuh
kesedihan bunga-bunga. Sakitnya
sembuh oleh senyum si asing
yang melintas. Dia tidak marah
celananya disinggahi debu dan bulu
dari bingkai apapun.
3.
Tanah sudah sekeras beton, jangan
tunggu ada yang tumbuh selain
pohon yang sudah berubah jadi
tangga, yang tinggi, ke langit yang
seolah-olah.
“Tanamlah harapan di sepasang
mataku, atauku di lengaku,” katanya
selalu.
Dia menapak satu demi satu anak
tangga sambil membawa ribuan
ekor burung di balik ketiaknya. Dia
278
tahu puncak tertinggi adalah jatuh
lagi ke tanah.
Dia ingin mengenakan burung-
burung sebagai parasut. Sejak
kanak-kanak dia bercita-cita
menjadi satu berita di koran
berbahasa asing atau tidak
setidaknya
di halaman pertama surat kabar
nasional.
4.
Dia sengaja tidak membawa satu
pun binatang ke mimbar meski
memakai jas yang sama. Pikirnya,
membiarkan mereka tinggal di
rumah sesekali adalah salah satu
cara menjinakkan.
Mereka harus lebih jinak disbanding
wanita.
Dia membaca pidato yang dia
kutip dari naskah kakeknya. Di atas
kepalanya tiba-tiba berdiri
sebuah istana, tempat lahir semua
binatang yang dia tinggalkan di
rumah. Kadang-kadang dia jadi
tokoh utama sebuah komik dan
hanya dia yang tahu.
5.
Suatu pagi, kelincinya sakit gigi. Dia
pergi ke kantor tanpa mengenakan
kepala. Tapi koper dan sakunya
penuh dengan tikus. Dan celananya
berisi sepasang kaki kijang yang
paling gesit berlari. Dia senang
kelincinya sakit gigi.
Dia sedang tidak mau berbasa-basi
dan tersenyum.
Hari itu di jalan, dia berpapasan
dengan orang-orang buta. Mereka
yang tidak buta sedang malas
meninggalkan tempat tidur.
Dia menang.
6.
Ketika cuaca buruk di negerinya
tempat lahir yang dia cinta
dengan penuh kerakusan sedang
memerahkan angka kalender, dia
akan bekerja di kamar hotel.
Tentu, saja dia juga mengajak
binatang-binatangnya berlibur.
Di dinding kamar hotel itu dia
menggambar bayangan dirinya.
Dia ingin seorang raksasa yang
rakus tumbuh dari dinding itu. Dia
tak pernah lupa membayangkan
dirinya jatuh cintah dan menikah
dengan seorang wanita yang akan
menhadiainya masa depan dan
masalah-masalah sepele yang akan
mengembalikannya jadi remaja.
Tapi, untuk tumbuh, anak-anak
butuh lebih dari sepasang orang
tua. Itu lah yang selalu
menghantuinya.
7.
Dia kadang menggunakan
kendaraan umum agar bisa
menyamar sebagai si siapa saja. Dia
lakukan itu saat jasnya sedang ada
di binatu dan binatang-binatangnya
sedang cuti tahunan merayakan
hari besar.
Dia tampak santai dan santun
bukan main karena takut. Sebab
dia kehilangan cakar. Sebab dia
kehilangan taring. Sebab dia
kehilangan kaki yang kuat berlari.
Sebab dia tidak mampu melilit,
279
menjerat, mengerat, dan menjilaat.
Pada saat-saat seperti itu
sesungguhnya dia sungguh
kesepian. Sebab tidak ada seorang
pun mau menyapa dan tersenyum
kepada seorang pria yang jasnya
sedang berada di binatu.
8.
Dia memutuskan memasang kupu-
kupu di kerah jasnya. Dia sedang
jatuh hati. Setiap kali duduk atau
berbaring, dia membayangkan
seorang perempuan sedang
membayangkan dirinya tersenyum.
Perempuan berbeda, tentu saja,
bukan yang melahirkan anak-
anaknya yang tidak peduli.
Di muka cermin dia kerap
tersenyum, seolah menghadapi
seorang perempuan yang amat
susah dirayu. Perempuan yang
mencintai lelaki lain yang jasnya
memiliki lebih banyak kupu-kupu.
Dia kasihan kepada diri sendiri dan
jasnya yang sudah terlalu sering
dicuci di binatung langganan.
Seluruh
binatang peliharaannya semakin tua.
9.
Sebenarnya dia meminta
berkali-kali agar dipensiunkan saja.
Apalagi dia sudah membeli peti
mati berukuran raksasa yang bisa
menampung satu kebun binatang.
Dia juga sudah berkali-kali
meminta agar diberi gelar
pahlawan dan seluruh kekayaanya
dimuseumkan agar bisa jadi
pelajaran sejarah. Setelah meraih
cita-cita jadi berita, dia ingin hidup
di buku sejarah tidak masalah
jika
buku sejarah ini penuh hal tiruan
seperti bunga di atas mejanya yang
beberapa bagiannya tidak pernah
diselesaikan pulpen yang sudah
berhenti karena kehabisan cinta.
(Aku tidak tega menulis semua
binatang yang hidup dibalik jasnya.
Lelaki berjas yang kumaksud dalam
kisah ini adalah mendiang ayahku.
Sejumlah binatang yang tidak
kusebut itu kini hidup di balik
jasku. Suatu saat, seseorang akan
menuliskan mereka mungkin
anakku ketika berulang tahun dan
memiliki jas baru.)
280
Lampiran 39
Menyunting Sajak Untukmu
Jangan banyak bicara. Di pusat tiap
kata ada sesuatu yang selalu siap
meledakkan pembuluh darahmu.
Halus dan berbahaya seperti masa
lalu di benak pendendam.
Sajak di tulis bukan untuk
kaukenakan ke pesta. Kata-kata
sesungguhnya pemalu dan benci
keriuhan. Sajak tidak tahu cara
menjatuhkan negara yang paling
lemah sekalipun. Sajak ditulis
untuk menjaga kata tidak meledak
semaunya di jantungmu.
Tidak persis begitu. Sebetulnya.
Singkirkan semua yang cuma kata.
Baca dan baca lagi hingga hilang
maksudku menuliskan sajak ini.
Apakah kau sudah merasakan hal
yang sejak mula kupikirkan?
Baiklah,
akan kuhapus dan memulainya lagi.
Lampiran 40
Ketidakmampuan
Mereka yang asing dan tidak
mengenal namaku adalah
kekasihku—termasuk langit, bunga-
bunga, buku-buku tua, pagi, segelas
kopi, dan anak kecil.
Aku tidak ingin mencintai
pahlawan—mereka yang
pandai dan mampu mengubah
penderitaan orang lain
jadi senyuman. Aku tidak mau
melihat
orang yang kucintai berubah jadi
patung di taman kota atau poster
di dinding sekolah dan diabaikan.
281
Lampiran 41
Kepada Kesedihan
Pada siang hari, aku tidak bisa
melihat kesedihan. Tapi, pada
malam hari, aku merasa kesedihan
selalu mampu menampakkan
diri dan membelai kepalaku—
membiarkanku tidur di
pangkuannya sebagai anak kecil.
Televisi telah mengubah pikiranku.
memejamkan mata berarti
menjadi politikus. Tidak ada yang
indah dalam hal-hal mudah. Dua
mataku akan berusaha selalu
terjaga. Aku memilih hidup sebagai
penjahat yang ceroboh—cuma
tahu melukai hidup sendiri.
Pada pagi hari, aku tahu ada
seseorang mengusir mimpi buruk
dari matamu dengan ciuman. Kau
terbit sebagai warna paling cerah
di taman.
“Jika kau tinggal mengucapkan
selamat tinggal, lakukan seperti
matahari tenggelam,” kataku
kepada diri sendiri.
Sampai ketemu besok pagi. Lagi.
282
Lampiran 42
Mengamati Lampu Jalan
─ kepada Eka Wulandari
Mereka lebih teratur daripada
hukum. Mereka lebih kuat daripada
perasaan orang-orang kota.
Mereka setia dan tidak pernah
memilih kepada siapa mereka ingin
tersenyum. Mereka tidak ingin
terlalu terang agar kau tidak malu
pada kelelahanmu pulang kerja–
atau demi menyembunyikan
ciuman entah siapa.
Lampu jalan di dekat pohon yang
baru ditebang itu mencintai
lampu jalan di depan rumahmu.
Lampu jalan memiliki kekasihnya
masing-masing – sebagaimana hati
manusia.
Lampu jalan depan rumahmu
mati – dan bukan hanya dirimu
yang sedih. Lampu jalan di dekat
pohon yang baru ditebang itu
seperti ingin menelan cahayanya
sendiri.
Jika kesedihan lampu jalan itu
sampai menyentuh lampu jalan
yang lain, mereka akan sepakat
berhenti menyala. Jalan-jalan
kota gelap. Lampu-lampu yang
lain – lampu di kamarmu dan
di kamarku – juga merasakan
kesedihannya dan ikut
memadamkan diri. Kota-kota akan
gelap dan bahkan kejahatan
takut keluar rumah.
Bulan dan matahari akan ikut
memejamkan cahaya. Kau tidak
pernah tahu berapa orang yang
mati.
Tapi lampu jalan di dekat pohon
yang
baru ditebang itu merahasiakan
perasaannya. Ia tetap menunggumu
di sana dengan cahaya yang sama.
Kau seperti biasa berjalan pulang
Kerja melewatinya, juga melewati
lampu jalan depan rumahmu
yang mati, sambil berpikir betapa
berbahayanya kesedihan.
283
Lampiran 43
Mengisahkan Kebohongan
Selalu kau ceritakan tentang
seorang laki-laki tua yang
mencintai taman kota. Dia
senang bicara kepada pohon. Dia
sedih karena pohon-pohon kian
gampang melepaskan. Daun-daun
masih muda sudah jatuh dan
berharap disingkirkan.
Pada suatu sore, katamu, di depan
tempat sampah, dia termangu
seperti batang pohon. Dia
melihat seekor burung mati, tapi
tanpa sayap. Seperti ada yang
melepaskannya dengan sengaja.
Pohon-pohon bahkan tidak lagi
mencintai burung, katanya.
Aku mendengarmu bicara. Aku
selalu mendengarmu bicara
tentang percakapan laki-laki itu di
taman kota.
Aku mencintaimu seperti laki-laki
itu mencintai taman kota, katamu.
Aku juga mencintaimu – meskipun
sebetulnya kautahu di kota ini
tidak ada taman dan percakapan.
Lampiran 44
Menikmati Akhir Pekan
Aku benci berada di antara orang-
orang yang bahagia. Mereka bicara
tentang segala sesuatu, tapi kata-
kata mereka tidak mengatakan
apa-apa. Mereka tertawa dan
menipu diri sendiri menganggap
hidup mereka baik-baik saja.
Mereka berpesta dan membunuh
anak kecil dalam diri mereka.
Aku senang berada di antara
orang-orang yang patah hati.
Mereka tidak banyak bicara, jujur,
dan berbahaya. Mereka tahu apa
yang mereka cari. Mereka tahu
dari diri mereka ada yang telah
dicuri.
284
Lampiran 45
Menyimak Musik di Kafe
Tidak ada yang istimewa dari
kafe itu. Minumannya biasa-biasa
saja. Lampu-lampunya terlalu
terang. Dan para pengunjung ribut
membicarakan negara yang sedang
tidur.
Panggung dan alat-alat musik
di panggung kafe istirahat setengah
jam. Pukul 2 tiba dan seorang
perempuan menyanyikan lagu
favoritmu. Aku menikmati tiga hal
dari lagu itu. Gempa waktu, rasa
sakit, dan sesuatu yang belum
kutahu namanya.
Aku pulang dan jalan beraroma
kampung halaman terbakar.
Aku berhenti setiap ada pohon
Dan mengucapkan terima kasih
sebelum tiba pada jam-jam tidak
bisa tidur di kamar.
Lagu itu belum berhenti. Rasa
sakit tumbuh seperti kalimat-
kalimat indah di buku-buku puisi
Sylvi Plath. Aku mencintaimu dan
mencintai kehilanganku atasmu.
Di kafe itu, orang-orang
berbahagia demi mengibur
kesedihan mereka. Aku berbahagia
karena selalu bisa sedih pernah
memiliki.
285
Lampiran 46
Melihat Api Bekerja
Di kota ini ruang bermain
adalah sesuatu yang hilang
dan tak seorang pun berharap
menemukannya. Anak-anak tidak
butuh permainan. Mereka akan
memilih kegemaran masing-masing
setelah dewasa. Menjadi dewasa
bukan menunggu negara bangun.
Menjadi dewasa adalah menu
Favorit di restoran cepat saji.
Para tetangga lebih butuh pagar
tinggi daripada pendidikan. Sekolah
adalah cara yang baik untuk
istirahat berkelahi di rumah. Anak-
anak membeli banyak penghapus
dan sedikit buku. Terlalu banyak hal
yang mereka katakan dan gampang
jatuh cinta. Mereka menganggap
jatuh cinta sebagai kata kerja dan
ingin mengucapkannya sesering
mungkin. Mereka tidak tahu jatuh
cinta dan mencintai adalah dua
penderitaan yang berbeda.
Jalan-jalan dan rumah kian lebar.
Semakin banyak orang yang hidup
dalam kehilangan. Harapan adalah
kalimat larangan, sesuatu yang
dihapus para polisi setiap mereka
temukan di pintu-pintu toko.
Hidup tanpa curiga adalah hidup
yang terkutuk. Kawan adalah lawan
yang tersenyum kepadamu.
Selebihnya, tanpa mereka tahu,
sepasang kekasih diam-diam
ingin mengubah kota ini jadi
abu. Aku mencintaimu dan kau
mencintaiku—meskipun tidak
setiap waktu. Kita menghabiskan
tabungan pernikahan untuk beli
bensin.
Kita akan berciuman sambil
melihat api bekerja.
286
Lampiran 47
Masa Kecil Langit
Jika pada suatu sore kau
menemukan langit di tempat
tidurmu, jangan katakan apapun
tentang siapapun. Langit
jujur dan punya kemampuan
membayangkan dirimu sebagai
orang lain yang ia cintai atau
benci. Ia hanya menginginkanmu
menunggu. Ia akan pergi tanpa
kauminta.
Namun, pada penghabisan musim
hujan, langit menangis sepanjang
malam dan siang sperti kekasih
tidak bisa mengendalikan diri. Ia
sedang merindukan masa kecilnya.
Bening, penuh warna, dan tidak
memiliki prasangka.
Besok pagi, ketika kau bangun
dan menemukan langit di depan
jendelamu. Lupakan seluruh jadwal
kerja yang menguras jiwamu dan
jadilah bunga-bunga. Biarkan ia
mewarnaimu. Ajak ia menyusuri
jalan menuju masa kecilmu dan
biarkan ia pergi ketika kau sudah
sampai. Ia tidak tahu membuatmu
kehilangan.
Ia tidak bisa melupakan jalan
menuju tempat tidurmu.
Lampiran 48
Sajak buat Seseorang yang tak
Punya Waktu Membaca Sajak
Kata-kata bukan jembatan yang
bisa membuat sepatumu tidak
tersentuh lumpur. Kata-kata bukan
kendaraan yang pandai melayang
dan menghindarkanmu dari
kemacetan. Kata-kata tak ingin
jadi senjata untuk kaugunakan
membunuh atasanmu. Kata-kata
adalah awan yang mengamati
jendela kamarmu menjelang
matahari tenggelam. Pernahkah
kau membayangkan bagaimana
rasanya memiliki awan sebagai
hewan peliharaan? Ia lebih setia
dari kebiasaan buruk.
287
Lampiran 49
Jika Aku Sakit
Jangan bertanya; sudah sembuh?
Tidak ada orang yang betul-betul
sehat. Aku Cuma lebih sakit darimu.
Aku sedang memberi diriku
kesempatan berharap dan percaya.
Jangan suruh aku menyerahkan
diri ke rumah sakit. Aku tidak akan
mengunjungi tempat itu sebelum
mereka tahu bahwa tidak ada
orang yang betul-betul miskin
hingga tidak pnya rumah. Ada
orang yang memilih membangun
rumah
di mimpi mereka, agar kuku-kuku
negara tidak bisa menyentuhnya.
Biarkan kunikmati penyakit yang
mengisap jiwaku. Rasa sakit adalah
alasan orang menggunakan kata
kerja dalam hidupnya. Mencintai
dan menunggu, umpama.
Jika aku sakit, tersenyumlah. Tidak
ada yang cukup di dunia ini – tapi
senyuman tidak pernah kurang.
Lampiran 50
Surat Pendek buat Ibu di
Kampung
Aku memilih tinggal di kota dan
itu adalah hukuman. Jangan pernah
mengunjungiku, agar aku bisa tiba-
tiba merindukanmu di antara hal-
hal yang teratur.
Agar aku memiliki satu hal indah
yang bisa membuat dadaku
bersedih sebelum tidur memeluk
diri sendiri dan tidak memimpikan
apa apa selain masa silam di
rahimmu.
288
Lampiran 51
Barangkali
1.
Barang kali aku jadi gelas yang
hangat, kopi yang diminum
tergesa-gesa, atau sendok yang
bunyinya mengganggu sunyi. Jika
dia tidak suka kopi karena alasan
tertentu, aku jadi kemalasan yang
menahannya di tempat tidur
atau cahaya dari jendela yang
memaksanya membuka mata. Aku
ingin sesuatu yang dia sentuh
pada pagi hari.
2.
Barangkali lebih baik dia tidak tahu
apa-apa tentang aku. Dia semata
senang melihatku melintas di depan
rumahnya atau duduk membaca
di warung kesukaannya. Aku
udara yang menyesakkan dadanya
ketika terhimpit penumpang lain
di angkutan umum. Aku sesuatu
yang belum memiliki nama. Aku
ingin diam-diam mencintainya
seperti benda kecil yang sengaja
menjatuhkan diri dan berharap
tidak pernah ditemukan.
3.
Barangkali lebih baik aku tidak
bisa bicara. Aku tidak ingin
mengunakan kebodohanku
memilih kata melalui
keindahannya. Aku tidak ingin
bahasa kehilangan kuasa di
hadapan tatapan matanya.
Cintaku kepadanya melampaui
jangkauan kata. Aku cuma mampu
mengecupnya dengan mata.
4.
Barangkali, pada akhirnya , dia
adalah kota yang tidak berhenti
dilalap api. Dari kejauhan, aku
adalah laut yang menenggelamkan
diri.
289
Lampiran 52
Ketika
1.
Ketika bicara tentang waktu, ia
mengandalkan ingatannya yang
singkat dan abu-abu. Ingatan
pertamanya adalah mimpi
menjadi seorang lelaki dewasa
dengan saya lepas ketika terbang
melintasi kota. Waktu itu, katanya,
ibuku menangis di pojok kamar
dan tidak ada seseorang yang bisa
dipanggil ayah.
2.
Ketika mandi, ia menghabiskan 17
menit dan selalu seperti itu. Air
dan rasa dingin punya kekuatan
membuatnya ingat kalimat terakhir
orang terakhir yang diajaknya
berbincang. Berhentilah bicara
sebelum mengucapkan kalimat
terakhir, katanya.
3.
Ketika mendengarkan musik,
ia menyerahkan diri kepada rasa
asing yang asing, dan sunyi yang
jauh. Ia senang memasukkan
dirinya ke dalam musik yang sama
ketika merindukanmu. Agar ia bisa
tahu bagaimana rasanya sangat
merindukanmu. Musik yang baik,
baginya, adalah musik yang tidak
tahu menghentikan dirinya sendiri.
Musik yang memiliki dada kosong
dan gema.
4.
ketika seseorang memanggil
nama kecilnya, ia bahagia. Ia punya
cita-cita rahasia membuat toko
permen menggunakan nama
kecilnya. Tetapi ia malu mengatakan
mimpi itu bahkan kepada ibunya
sendiri. Sebagian mimpi harus
rela berhenti dan menjadi rahasia.
Separuh hidupnya adalah rahasia.
5.
Ketika membaca sajak tentang
dirinya di koran, ia merasa
seseorang telah semena-mena
membelahnya jadi dua. Ia tidak
suka menemani dirinya
kesendirian selalu membuat
sesuatu lebih nyata. Ia selalu ingin
memilih kesendirian, namun orang-
orang yang sudah memasukkan
banyak
orang asing ke dalam tubuhnya.
Ia tidak mampu menolong diri
sendiri.
6.
Ketika melihat langit pada pukul
5 pagi, ia merasa dirinya adalah
jendela yang lepas dari dinding
rumahmu. Langit pukul 5 pagi
adalah warna kesukaannya.
Dan kehilangan adalah perasaan
yang
ingin selalu ia miliki. Ia tidak perlu
tahu apa saja telah tercuri dari
dirinya.
7.
Ketika tidur-----ia senang tidur pada
siang hari----ia membiarkan pintu
kamarnya terbuka, tapi menutup
jendelanya melihat dan
mengatakan terlalu banyak. Ia
ingin tidurnya tetap hitam putih,
seperti mimpi atau foto-foto di
koran lama. Keindahan tidak perlu
290
memiliki kemampuan menyilaukan
mata siapa pun. Sederhana
umpama tidur yang hampa dan
dalam. Seperti puisi yang memakan
maksudnya sendiri.
8.
Ketika maut mengecup keningnya
tidak ada yang ia ingat selain
sepasang kakimu. Ia tahu kau
membencci kakmimu. Sore itu
mereka membawamu ke pantai
dan kau tidak mampu menolak.
Kau menemukannya. Kau
mengenalnya dan ia tahu sepasang
kakimu akan menjadi kenangan
indah baginya. Sejak sore, itu, ia
membiaran kesedihan hidup
bahagia dalam dirinya.
9.
ketika kenangan mengembalikan
sesuatu tentang dirinya kepadamu,
kau tahu ada hari-hari tertentu
dalam hidupmu tak hendak selesai.
Hari-hari yang ditakdirkan menjadi
musik yang baik bagimu.
Lampiran 53
Kau Membakarku Berkali-kali
Aku pernah tinggal di buku
catatan harianmu dan kaubakar
di kaki pohon mangga di samping
kamarmu. Kau kembalikan
aku jadi pohon dan aku semakin
mencintaimu.
Aku ranting yang kemaring sore
kau potong karena menyentuh
kaca jendelamu. Akan kau dengar
aku tidak berhenti mengucapkan
namamu ketika apimu menghabisi
tubuhku sekali saja.
Kelak aku adalah rumput yang
mencium telapak kakimu ketika
kau kelelahan menjemur pakaian
anak-anakmu yang nakal.
Buat apa kuserahkan hidupku
kepada hal-hal lain, jika cinta juga
bisa membunuhku. Berkali-kali dan
berkali-kali lebih parah.
291
Lampiran 54
Hal-hal yang Dibayangkan Sajak
Terakhir ini Sebagai Dirinya.
Tanah tandus yang pernah
ditumbuhi pohon dan harapan.
Sunyi dan pria yang yakin tidak
putus mencintai ibunya dan kau.
Rahim.
Amin, penjemput yang luput,
malaikat maut yang terlambat. Doa
terakhir yang mati di perjalanan.
Kabut dan mimpi yang cuma
mampu melayang. Selimut yang
membuat subuh kedinginan dan
rindumu tiba-tiba jadi gunung
berapi. Atau air bah yang percaya
bisa mengubah tumpukan sampah
dan kota jadi indah namun
menolak menciptakan kepanikan
para pengungsi.
Pesta pernikahan rahasia antara
kau dan entah siapa. Stalakmit
dan stalaktit yang bercinta dengan
tetesan-tetesan kecil dalam gelap.
Atau sesuatu yang lebih sepi dari
airmata yang menangis di dada
seseorang yang mencintaimu
karena hanya ingin jatuh dari
runcing matamu.
Jalan setapak yang dulu selalu
kaulewati pulang dari sekolah dan
tempat mengaji. Jalan yang pindah
karena tumbuh supermarket,
kantor-kantor pemerintah dan
orang-orang asing di atasnya
jalan ramai yang memaksamu
jadi perempuan ramah agar bisa
selamat tiba dirumah.
Jam weker di meja dekat
ranjangmu. Waktu yang selalu
menolak berbunyi agar mimpi
indahmu tak pecah terlalu pagi.
Kesetiaan yang melebihi satu-
satunya ikan peliharaanmu,
yang bertahan bertahun-tahun
dalam akuarium di dekat jendela
kamarmu. Seekor ikan kecil yang
bercahaya, licin, dan selalu jauh
dari ajal.
Kilau bulan purnama yang terbuat
dan sepasang mata bocah
pengamen. Lagu dari radio yang
jatuh cinta kepada kuping seorang
yang mendengarkan dengan
telapak tangan bergetar. Atau lidah
seorang bisu yang sungguh ingin
bisa menyebut nama kecilnya
Kartu-kartu bergambar hati yang
digunakan pesulap menipumu
berkali-kali dan kau tersenyum,
juga selembar uang di saku tasmu
yang tidak pernah kausadari,
sembunyi demi menyelamatkanmu
suatu ketika.
Namun lilin yang mati kautiup pada
ulang tahunmu di taman kanak-
kanak. Nyala mata yang sudah
tidak pernah lagi menemukanmu
di depan cermin.
Bunga yang enggan jatuh dari
dahan karen mencintai seekor
burung kecil yang mati oleh
batu dari ketapel seorang bocah
yang bersuaha membunuh
kebosannya bermain sendiri.
Atau langit dan bunga-bunga yang
292
tidak tahu menyamar dengan
berubah warna.
Selembar tiket kereta yang
tercecer dan perpisahan yang
gagal sekali lagi. Atau pecahan-
pecahan kaca yang menyusun diri
mereka kembali jadi jendela yang
dulu selalu berembun saat hujan.
Agar matamu dan matahari tidak
tertukar pada sore hari yang haru.
Airmata yang rindu larut di
kebuasan dan keluasan laut.
Kesedihan yang hendak bergolak
seperti gelak ombak jauh dari
jangkauan yang tidak tahu berenang.
Jaket yang merengkuh tubuh
ringkihmu ketika suamimu entah
di mana memeluk perempuan lain.
Atau segar sayur yang membuat
subur air susumu, agar sepasang
anak dan suamimu yang senang
mengeluh itu tumbuh sehat.
Kemacetan yang menahanmu di
jalan raya. Keluhan kota dan sepi
yang sering membuatmu menggigit
bibir sendiri sambil mengingat
bibir mantan kekasimu yang
kering hitam, dan pendiam. Atau
seluruh harilalu yang memanggil-
manggil saat kau terbangun dibalik
punggung suamimu yang tidur
mendengkur.
Mata boneka yang hilang
membuat seorang gadis kecil ingin
mencongkel mata sendiri sebagai
pengganti. Atau cincin kawin
berbentuk hati yang longgar dan
hilang di rumah gadai.
Butir embun atau air mata seorang
anak yang tidak pernah dilahirkan.
Atau hujan yang tiba-tiba diam di
udara karena melihatmu berhenti
dan mendongak berusaha menahan
tangis.
Tunas di punggungmu yang gagal
menjadi sayap. Nama yang selalu
sibuk melupakan pemiliknya. Atau
negara yang tidak tahu bagaimana
cara memeluk.
Helai-helai uban di ubun-
ubun seorang yang menunggu
kekasihnya hidup kembali.
Atau kacamata rabun seorang
perempuan tua dari selembar
surat berbahasa asing dari cucunya
yang menerima beasiswa dari
pemerintah Amerika.
Rumah sakit dari penderitaan akut
yang sengaja tidak disembuhkan.
Kebahagiaan dan kejahatan-
kejahatan lain yang menghabiskan
uangmu. Atau mimpi-mimpi yang
memakan habis tidurmu.
Pistol yang tidak hendak meledak
dan ciuman yang terhapus lipstik.
Nisan yang bertuliskan namamu.
Satu-
satunya manusia yang tersisa dan
alamat-alamat yang merindukan
seorang tamu atau surat. Kota
yang mati dan kembali jadi hutan.
Atau apapun yang kubayangkan
sebagai aku dan kemarahan yang
setiap saat ingin bunuh diri.