bab iv model relasi ideal guru dan murid …idr.uin-antasari.ac.id/1375/2/bab iv.pdfa. keutamaan...
TRANSCRIPT
BAB IV
MODEL RELASI IDEAL GURU DAN MURID
(PERSPEKTIF K.H. MUHAMMAD HASYIM ASY’ARI DALAM
KITAB ADAB AL-ALIM WA AL-MUTA’ALIM)
A. Keutamaan Menuntut Ilmu Dan Ulama
Allah Ta’ala berfirman: “Allah akan mengangkat orang-orang yang
beriman di antara kalian dan orang yang diberi ilmu pengetahuan dengan
beberapa derajat, yakni Allah akan mengangkat para ulama di antara kalian
dengan beberapa derajat sebab mereka menghimpun ilmu dan amal”. Ibnu
Abbas ra. Berkata: “Derajat ulama terhadap orang-orang mukmin itu 700
derajat yang jarak antara 2 derajat itu 500 tahun perjalanan”.
Allah Ta’ala berfirman: “Allah bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Dia
dan malaikat-Nya dan orang yang diberi ilmu, maka Allah memulai dengan
dzatnya dan kedua dengan malaikat-Nya dan ketiga dengan ahli ilmu. Dan
cukuplah dengan firman Allah ini kemulyaan, keutamaan, dan keagungan
ilmu”. Allah Ta’ala berfirman: “Hanya saja yang takut kepada Allah dari
hamba-Nya adalah ulama”.
Dan Allah Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman
dan mengerjakan amal shaleh mereka itu adalah sebaik-baik makhluk, sampai
kepada firman-Nya: “Itu untuk orang yang takut kepada Tuhannya”.
Maka kedua ayat tersebut memutuskan bahwa ulama adalah orang-
orang yang takut kepada Allah, dan orang- orang yang takut kepada Allah
adalah sebaik- baik makhluk, maka disimpulkan bahwa ulama adalah sebaik-
baik makhluk. Rasulullah Saw. Bersabda: “Barang siapa yang Allah kehendaki
baik maka dipahamkannya masalah agama”.
Rasulullah Saw. bersabda: “Ulama adalah pewaris para nabi, dan
cukuplah bagimu dengan derajat ini akan keagungan dan kebanggaan, dan
dengan pangkat ini akan kemulyaan dan sebutan yang agung, dan apabila
pangkat kenabian itu tidak mulia, maka tidaklah mulia pewaris pangkat
tersebut”.
Tujuan ilmu adalah mengamalkannya, karena mengamalkan adalah
buah ilmu dan faedah umur adalah bekal akhirat. Barang siapa bisa
menggunakan umur dia akan bahagia dan barang siapa menyia-nyiakan
umurnya akan rugi. Dan tatkala disebutkan kepada Rasulullah akan 2 orang
laki- laki yang salah satunya ‘abid dan yang satunya ‘alim, beliau bersabda:
“Keutamaan ‘alim atas ‘abid seperti keutamaanku atas orang yang paling
rendah dari kalian”.
Rasulullah Saw. bersabda: “Barang siapa menempuh 1 jalan untuk
menuntut ilmu, maka Allah akan memudahkan l jalan dari jalan- jalan ke
surga”. Rasulullah Saw. bersabda: “Menuntut limu fardhu atas muslim laki-
laki dan muslim perempuan dan penuntut ilmu dimohonkan ampun oleh tiap
sesuatu sampai ikan di laut”.
Rasulullah Saw. bersabda: “Barang siapa berencana besok akan
menuntut ilmu maka malaikat memohonkan ampun untuknya dan diberkahi
kehidupannya. Rasulullah Saw. bersabda: “Barang siapa berencana besok akan
ke mesjid, dia tidak menginginkan sesuatu kecuali untuk belajar kebaikan atau
mengajarkannya, maka baginya seperti pahala berhaji yang sempurna”.
Rasulullah Saw. bersabda: “Orang 'alim dan orang yang belajar seperti
ini dari ini. Rasulullah Saw. bersabda: “Jadilah orang ‘alim atau orang yang
belajar atau pendengar atau pencinta dan janganlah jadi yang kelima (yang
benci ilmu) karena kamu akan binasa”. Rasulullah Saw. bersabda: “Pelajarilah
ilmu dan ajarkan manusia”.
Rasulullah Saw. bersabda: “Apabila kamu melihat taman surga maka
berhentilah, maka dikatakan wahai Rasulullah apa taman surga itu? Beliau
menjawab: Halaqah dzikir, ‘Atha berkata yaitu majelis yang menjelaskan yang
halal dan yang haram, bagaimana membeli, shalat, berzakat, berhaji, nikah,
cerai dan lain- lain”. Rasulullah Saw. bersabda: “Belajarlah ilmu dan
amalkanlah”. Rasulullah Saw. bersabda: “Belajarlah ilmu dan jadilah ahlinya”.
Rasulullah Saw. bersabda: “Ditimbang pada hari kiamat tinta ulama
dan darah syuhada”. Rasulullah Saw. bersabda: “Tidaklah Allah disembah
dengan sesuatu yang lebih afdhal dari orang yang paham masalah agama”.
Satu Orang faqih (paham fiqih) lebih berat atas syetan dari 1000 ‘abid.
Rasulullah Saw. bersabda: “Memberi syafaat pada hari kiamat 3 kelompok
yaitu para nabi, ulama dan syuhada”.
Diriwayatkan bahwa ulama pada hari kiamat di atas mimbar-mimbar
dari Nur. Al-Qadhi Husin telah menaqalkan bahwa diriwayatkan dari Nabi
Saw. Bahwa: “Barang siapa mencintai ilmu dan ulama tidak ditulis
kesalahannya selama hidupnya. Rasulullah Saw. bersabda: “Barang siapa
shalat di belakang orang ‘alim maka seperti shalat di belakang nabi dan
barangsiapa shalat di belakang nabi sungguh diampuni dosanya.
Dan hadits yang diriwiyatkan Abu dzar bahwa hadir ke majelis ilmu
lebih utama dari shalat 1000 rakaat, menyaksikan 1000 jenazah dan
mengunjungi 1000 orang sakit. Umar Bin Khattab berkata: “Sesungguhnya
seorang laki- laki sungguh keluar dari rumahnya dan atasnya dosa seperti
gunung Tahamah, maka apabila dia mendengar orang ‘alim lalu dia takut dan
bertaubat lalu pulang ke rumahnya maka hilanglah dosanya, maka janganlah
engkau pisahi majelis ulama karena Allah tidak menciptakan di muka bumi
akan tanah yang lebih mulia dari majelis ulama”.
Assyarmasahi Al-Maliki menukil pada awal kitabnya “Nazhmu Ad-
Durar” dari Nabi Saw. beliau bersabda: “Barangsiapa membesarkan ulama
maka dia membesarkan Allah ta’ala dan siapa meremehkan ulama maka dia
meremehkan Allah ta’ala dan Rasul-Nya.
‘Ali karramallahu wajhah berkata: “Cukuplah dengan ilmu sebagai
kemuliaan bahwa mengakuinya oleh orang yang tidak membagusinya (ilmu).
Dan cukuplah kebodohan itu sebagai kehinaan bahwa dia berlepas darinya
(ilmu). ‘Ali bernasyid:
Cukup kemuliaan dengan ilmu yang mengakuinya oleh orang
yang bodoh#
Dan gembira jika ilmu dinisbahkan kepadanya#
Dan cukup tidak terkenal dengan kebodohan#
Sesungguhnya saya takut tatkala saya dinisbahkan kepadanya
(kebodohan) dan saya marah#
Ibnu Zubair berkata bahwa Abu bakar menulis kepada saya sedangkan
saya di Irak dengan katanya: “Wahai anakku hendaklah engkau berilmu,
karena jika kamu fakir maka ilmu sebagai hartamu, dan jika kamu kaya dia
sebagai perhiasanmu”.
Wahab Bin Munabbih berkata:”Bercabang dari ilmu kemulyaan, jika ahli
ilmu hina maka dia jadi luhur, jika dihinakan dia dekat, jika jauh dia kaya, jika
fakir dia berwibawa. Lalu beliau bersyair:
Ilmu menyampaikan suatu kaum ke puncak kemulyaan#
Dan ahli limu dipelihara dari kerusakan#
Wahai ahli ilmu perlahan- lahan#
Jangan kamu kotori dengan perkara-perkara rusak#
Tidak lah bagi ilmu dibelakang#
Ilmu mengangkat rumah karena diatiangnya#
Dan kebodohan merobohkan rumah yang luhur dan mulia#
Abu Muslim Al-Khaulani ra. berkata: “Ulama di bumi seperti bintang
di langit, apabila dia nampak untuk manusia dia memberi petunjuk, dan apabila
dia samar (bersembunyi) dari manusia maka mereka akan bingung. Lalu beliau
bernasyid:
Bersama ilmu maka tempuhlah semua jalan ilmu.
Dan bukalah setiap kepahaman.
Maka di dalamnya ada terang untuk hati dari buta.
Dan penolong atas agama yang merupakan urusan wajib.
Maka bergaullah dengan perawi ilmu.
Bersahabat dengan mereka adalah hiasan dan bergaul dengan
mereka adalah kekayaan.
Dan janganlah kamu memalingkan matamu dari mereka.
Karena mereka bintang petunjuk jika hilang bintang.
Demi Allah jika tidak karena ilmu maka tidaklah jelas petunjuk.
Dan tidaklah jelas perkara-perkara samar.
Ka’bu Al-Akhbar berkata: “Seandainya pahala majelis ilmu
dinampakkan bagi manusia, niscaya mereka saling berperang sampai
meninggalkan setiap orang yang punya kekuasaan akan kekuasaannya, dan
orang yang punya toko akan tokonya. Sebagian ulama salaf berkata: “Sebaik-
baik pemberian adalah akal dan seburuk-buruk musibah adalah kebodohan”.
Sebagian mereka berkata: “Ilmu itu keamanan dari bujukan syetan dan
benteng dari bujukan orang yang dengki dan petunjuk kepintaran. Mereka
bernasyid:
Alangkah bagusnya akal dan terpuji orang yang berakal#
Dan jelek kebodohan dan tercela orang yang jahil#
Maka tidaklah bagus ucapan seseorang dalam berdebat#
Dan kejahilan merusaknya suatu hari bila ditanya#
Ilmu adalah sesuatu yang paling mulia yang diperoleh seorang
laki-laki#
Barangsiapa tidak berilmu bukanlah dia laki-laki#
Belajarlah ilmu dan amalkan wahai saudaraku#
Karena ilmu itu hiasan bagi yang mengamalkannya#
Dari Muadz Bin Jabal ra.: “Belajarlah ilmu karena mempelajarinya
adalah baik, menuntutnya adalah ibadah, memudzakarahkannya adalah tasbih,
mendiskusikannya adalah jihad, memberikan/mengamalkannya adalah dengan
Allah, dan mengajarkannya untuk orang yang tidak mengetahuinya adalah
shadaqah”.
Suffan bin ‘Uyainah ra. berkata: “Setinggi- tinggi kedudukan manusia
di sisi Allah dan di antara hamba-Nya adalah para nabi dan ulama. Suffan juga
berkata: “Tidak seorang pun diberikan sesuatu di dunia yang lebih utama dari
kenabian dan tidaklah ada setelah kenabian sesuatu yang lebih utama dari ilmu
dan fiqih, lalu Suffan ditanya orang tentang ini, lalu dijawabnya tentang fuqaha
(ahli fiqih).
Imam kita As-Syafi'i ra. Berkata: “Jikalau tidak ada fuqaha yang
mengamalkan ilmunya, maka tidaklah Allah memiliki wali”. Ibnu Al-Mubarak
ra. Berkata: “Seseorang laki- laki itu senantiasa ‘alim selama dia menuntut
ilmu, maka jika dia menyangka sudah ‘alim maka sungguh dia jahil”.
Waqi’ berkata: “Tidaklah seseorang itu jadi 'alim sampai dia
mendengarkan dari orang yang lebih tua darinya dari orang yang seumurnya
dan dari yang lebih muda. Suffan As-tsauri ra. Berkata: “Keajaiban-keajaiban
rata dan di akhir zaman lebih rata (umum) lagi bala dan bahaya besar, dan pada
perkara agama lebih banyak lagi, musibah-musibah besar, dan kewafatan
ulama besar, karena sesungguhnya orang 'alim hidupnya adalah rahmat bagi
umat, dan wafatnya dalam Islam adalah cacat.
Dan pada Shahihain dari Abdullah Bin Amar Bin Ash ra. Berkata: “Saya
telah mendengar Rasulullah Saw. bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak
mencabut ilmu sekaligus dari manusia, tetapi dia mencabutnya dengan
mewafatkan ulama sampai tidak tinggal satu orang ‘alim pun, lalu para
manusia menjadikan pemimpin-pemimpin mereka dari orang-orang yang
bodoh, maka mereka ditanya lalu mereka berfatwa dengan tanpa ilmu,
kemudian mereka sesat menyesatkan”.
Semua yang telah disebutkan di atas tentang keutamaan ilmu dan ahli
ilmu hanyalah untuk ulama yang mengamalkan ilmunya, yang baik, taqwa,
semata- mata mengharap ridha Allah dan berhampir dengan surga, tidaklah
untuk orang yang bermaksud untuk tujuan duniawi, berupa pangkat, harta,
banyak pengikut, dan murid.
Maka sungguh diriwayatkan dari nabi saw. : “Barangsiapa menuntut
ilmu untuk menjatuhkan ulama atau membantah fuqaha atau menarik perhatian
manusia, niscaya Allah akan memasukkannya ke neraka (HR. At-Tirmidzi).
Nabi Saw. bersabda: “Barangsiapa belajar ilmu yang mengarah pada
ridho Allah, kemudian tidak mempelajarinya kecuali untuk tujuan dunia,
niscaya dia tidak mendapat bau surga”. Nabi Saw. bersabda: “Barangsiapa
belajar ilmu bukan karena Allah maka bersiap-siaplah menempati tempatnya di
neraka”.
Nabi Saw. bersabda: “Didatangkan seorang ‘alim pada hari kiamat lalu
dilemparkan ke neraka, maka keluar ususnya lalu neraka memutarnya
sebagaimana keledai memutar gilingan, lalu mengelilinginya ahli neraka dan
bertanya: “Apa yang terjadi denganmu? Lalu dia menjawab: “Dulu saya
menyuruh kebaikan tapi saya tidak mengerjakannya, dan saya menyuruh
mencegah kejahatan tapi saya mengerjakan”.
Dari Bisyrin ra. Allah Ta’ala kepada nabi Daud As.: “Janganlah engkau
jadikan antaraku dan antaramu seorang ‘alim yang difitnah, maka takabburnya
akan menjauhkan kamu dari kasih sayangku, mereka itu adalah penyamun
hambaku. Sufyan As-Tsauri ra. berkata: “Hanya saja ilmu dipelajari supaya
takut (takwa) kepada Allah, dan hanya saja keutamaan atas lainnya karena
takut kepada Allah”.
Maka jika cacat tujuan ini dan rusak niat penuntutnya dengan
menjadikan ilmu hanya sebagai pengetahuan untuk memperoleh dunia yang
berupa harta atau pangkat, maka sungguh pahalanya batal dan amalnya lebur
dan dia benar-benar rugi.
Fudhail Bin ‘Iyadh ra. Berkata: “Telah sampai kepadaku bahwasanya
orang- orang fasik dari ulama dan orang yang menanggung Al-quran mereka di
azab lebih dulu daripada penyembah berhala. Hasan Al-Bashri ra. Berkata:
“Siksaan ilmu adalah matinya hati, maka ditanya orang apa itu mati hati? Lalu
jawabnya yaitu mencari dunia dengan amal akhirat”.
B. Adab Orang yang Belajar
Setiap manusia pastilah harus memiliki adab-adab yang diatur agar
mendapatkan ilmu yang bermanfaat. Di bawah ini ada beberapa adab orang
yang belajar.
1. Hendaknya dia mensucikan hatinya dari tiap-tiap bujukan, kotoran,
onek- onek, hasad, buruknya akidah dan akhlak. Supaya bagus dia
menerima ilmu, menghafalnya, menerbitkan makna-maknanya yang
halus, dan memahami yang samar-samar.
2. Hendaknya dia membaguskan niat dalam menuntut ilmu dengan
maksud mencari ridho Allah, beramal, menghidupkan syari’at,
memerangi hatinya, menghiasi batinnya, dan dekat dengan Allah. Dan
tidak bermaksud untuk tujuan duniawi berupa memperoleh
kepemimpinan, pangkat, harta, kekaguman kawan-kawan,
penghormatan dari manusia, dan lain- lain.
3. Hendaknya dia bersegera untuk memperoleh ilmu pada waktu mudanya
dan waktu-waktu umurnya, dan jangan terbujuk oleh bujukan
menunda-nunda, atau berangan-angan, karena tiap jam yang berlalu
dari umurnya tidak ada gantinya, dan jika memotong oleh rintangan-
rintangan yang menyibukkan, dan rintangan-rintangan yang menegah
dari kesempurnaan menuntut ilmu, mencurahkan ijtihad dan kuatnya
kesungguhan untuk memperolehnya, karena dia pemotong jalan- jalan
belajar.
4. Hendaknya dia merasa cukup dengan pemakannya dan pakaian yang
seadanya, sabar atau kesulitan hidup untuk memperoleh keluasan ilmu
dan memperkokoh hati dari dipecahkan oleh angan-angan dan
terpencar oleh sumber-sumber hikmah. Imam kita As-Syafi’i berkata:
“Tidaklah beruntung orang yang menuntut ilmu dengan kemuliaan diri
dan luas penghidupan, tetapi orang yang menuntut ilmu dengan
kehinaan diri, dan kesempitan hidup dan berkhidmat kepada ulama
itulah yang beruntung.”
5. Hendaknya dia membagi waktu malam dan siangnya dan menggunakan
sisa umurnya, karena sisa umur tidak tak ternilai harganya, dan
sebagus-bagus waktu untuk menghapal adalah waktu sahur, untuk
membahas adalah waktu subuh, untuk menulis adalah waktu tengah
hari, untuk muthala’ah (mengulangi) adalah waktu malam. Dan
sebagus-bagus tempat untuk menghaal adalah kamar dan tiap tempat
yang jauh dari tempat permainan, dan tidak bagus menghafal dengan
adanya tumbuh-tumbuhan, sayur- sayuran, sungai-sungai, dan bunyi-
bunyi hiruk pikuk.
6. Hendaknya dia menyedikitkan makan dan minum, karena kenyang itu
mencegah ibadah, dan memberatkan hati. Dan di antara faedah sedikit
makan, yaitu: sehat badan, menolak penyakit-penyakit badan, karena
kebanyakan penyakit disebabkan oleh banyak makan dan minum.
Banyak makan, sifat aniaya dan sombong bukanlah sifat yang dipuji
dan tidak terlihat pada seseorang dari wali, imam-imam, dan ulama
pilihan. Dan hanyalah dipuji dengan banyaknya makan bagi hewan-
hewan yang tidak berakal dan disiapkan untuk bekerja.
7. Hendaknya menjadikan dirinya wara' dan berhati-hati pada semua
keadaannya dan memeriksa kehalalan pada makanan, minuman,
pakaian, tempat tinggal, dan pada semua yang dia butuhkan, supaya
hatinya bersinar dan bagus untuk menerima ilmu, cahayanya dan
manfaatnya. Dan hendaknya dia menggunakan rukhshah (Keringanan)
pada tempat-tempatnya tatkala ada hajat. Karena Allah suka memberi
rukhshah sebagaimana dia diberi cita-cita.
8. Hendaknya dia menyedikitkan memakan makanan yang menyebabkan
bebal dan lemahnya panca indera seperti apel yang kempes, dan
kacang- kacangan, dan minum cuka, demikian pula yang menyebabkan
lender yang menyebabkan bodoh bagi akal dan memberatkan badan,
seperti banyak minum susu dan banyak makan ikan, dan hendaknya dia
menjauhi yang mewarisi lupa seperti makan bekas tikus, membaca
nisan kuburan, masuk antara 2 unta yang disapu dengan ter dan
membuang kutu hidup.
9. Hendaknya dia menyedikitkan tidur selama tidak memudaratkan badan
dan otaknya. Dan tidak lebih dalam sehari semalam dari 8 jam, yaitu
sepertiga hari. Maka jika kuat menanggungnya hendanya kurang dari 8
jam. Dan tidak mengapa dia menyenangkan diri, hati, otak, dan
penglihatannya apabila dia letih dan lemah mensucikan dan membuka
dirinya.
10. Hendaknya dia meninggalkan bergaul, karena meninggalkannya adalah
sesuatu yang lebih penting bagi penuntut ilmu, terlebih lagi bergaul
dengan yang berlawanan jenis. Jika dia banyak bermain dan sedikit
berfikir maka itu tabiat yang mencuri umur. Dan bahaya bergaul adalah
menyia-nyiakan umur tanpa manfaat dan menghilangkan agama apabila
bersama yang bukan ahlinya. Maka apabila dia memerlukan sahabat,
maka carilah sahabat yang shaleh, kuat agamanya wara’, bersih,
banyak kebaikan, sedikit kejelekan, bagus adabnya sedikit makan, jika
lupa dia mengingatkan dan jika ingat dia menolong.
C. Pembawaan dan Lingkungan Anak Didik (Pemikiran K. H. M.
Hasyim Asy’ari)
Sesungguhnya situasi interaksi edukatif tidak bisa terlepas dari
pengaruh latar belakang kehidupan anak didik. Untuk itulah pembawaan dan
lingkungan anak didik perlu di bicarakan untuk mendapatkan gambaran
mengenai faktor-faktor yang mampengaruhi anak didik sebelum ia masuk
lembaga pendidikan formal.
Pendidikan merupakan bagian dari kehidupan manusia. Karena itu
mutlak di perlukan. Anak yang baru lahir pun memerlukan pendidikan, bahkan
sejak ia dalam kandungan ibunya. Pada umumnya sikap dan kepribadian anak
didik di tentukan oleh kependidikan, pengalaman, dan latihan-latihan, yang
dilalui sejak masa kecil. Pendidikan merupakan kebutuhan hidup dan tuntutan
kejiwaan.
Anak yang baru lahir membawa sifat-sifat keturunan, tapi ia tak
bardaya, dan tak mampu, baik secaran fisik maupun mental. Bakat dan mental
yang di wariskan orang tuanya merupakan benih yang perlu di kembangkan.
Semua anggota jasmani membutuhkan bimbingan untuk tumbuh. Demikian
juga untuk jiwanya, membutuhkan bimbingan untuk berkembang sesuai
iramanya masing-masing, sehingga suatu waktu anak mampu membimbing diri
sendiri.
Anak yang baru lahir belum mampu menghadapi kehidupan, tapi ia
tergantung pada lingkungan. Anak yang tumbuh dan berkembang di
lingkungan yang baik, ia akan baik. Demikian sebaliknya, bakat kurang
berperan penting dalam membentuk pribadi anak, karena bakat tak mampu
tumbuh dan berkembang pada situasi yang tak sesuai. Bakat atau sifat
keturunan dengan interaksi lingkungan mempengaruhi perkembangan anak.
Hal ini identik dengan pendapat Morgan, yang mengatakan bahwa gen
mengatur sifat menurun tertentu yang mengandung satuan informasi genetika.
Gen ini merupakan satuan kimia yang di wariskan dalam kromoson yang
dengan interaksi lingkungan mempengaruhi atau menentukan perkembangan
suatu individu. Demikian juga perpaduan antara bakat yang di bawa dari
kelahiran serta pendidikan yang tepat, merupakan cara yang paling tepat dalam
proses pembentukan anak di masyarakat. Pendapat ini di dukung pula oleh
William Stern dengan teori konvergensinya.
Perkembangan dan kematangan jiwa seseorang anak di pengaruhi oleh
faktor pembawaan dan lingkungan. Lingkungan dapat dijadikan untuk tempat
kematangan jiwa seseorang. Dengan demikian, baik tidaknya sikap seseorang
di tentukan oleh dua faktor tersebut.
Anak yang baru lahir selalu menuntut penyempurnaan dirinya, bahkan
sejak ia dalam kandungan. Anak dalam kandungan melalui ibunya mengalami
proses pematangan diri, baik fisik, mental, dan emosional. Hubungan batin
antara ibu, dan anak dalam kandungan terjalin sangat erat sekali. Kegoncangan
emosional dan keterbatasan makan yang dilakukan ibu mempengaruhi
perkembangan anak secara keseluruhan.
Perkembangan dalam arti kuantitatif maupun kualitatif. Dengan
perantaraan ibu, anak dalam kandungan memenuhi tuntutan kejiwaannya untuk
mencapai perkembangan tertentu.
Begitu besarnya pengaruh ibu terhadap anak, sehingga pendidikan anak
dapat dilakukan selama dalam kandungan. K. H. E. Z. Muttaqin, mengatakan
bahwa anak harus di berikan pendidikan sedini mungkin, bahkan sejak orang
tuanya memasuki jenjang perkawinan, harus sudah mengkalkulasikan
bagaimana anak-anak yang akan mereka lahirkan nanti.
Ketika suami istri bergaul sudah diawali dengan doa agar dengan doa
itu setan tidak ikut campur (menurut ajaran Islam), karena dalam tetes air suci
(ovum/mani) yang tersimpan dalam rahim istri bukan terdiri dari bahan-bahan
jasmaniah semata, tetapi juga terkandung benih watak dan tabiah calon anak.
Makanan ibu yang mengandung akan menjadi vitamin jiwa calon anak.
Anak yang di lahirkan ke dunia ini adalah sebagai individu yang
memiliki ciri-ciri dan bakat tertentu yang bersifat laten. Ciri-ciri dan bakat
inilah yang akan membedakan anak dari anak lainnya dalam lingkungan sosial.
Lingkungan sosial di sini adalah lingkungan sosial masyarakat dalam arti luas.
Jenis kelamin, raut muka, bentuk tubuh (besar/kecil, tinggi/pendek)
anak adalah faktor pembawaan yang di bawa sejak lahir. Ciri-ciri ini dapat
dijadikan tolok ukur perbedaan anak sebagai individu.
Akhirnya, dalam rangka pengelolaan pengajaran, guru perlu memahami
karakteristik anak didik dengan melihat ciri-cirinya yang khusus sebagai
individu, baik dari segi fisik ataupun psikis dalam pertumbuhan atau
perkembangannya sebagai makhluk yang dinamis.
D. Relasi Guru dan Murid Di Masa Klasik serta Modern (Pemikiran K.
H. M. Hasyim Asy’ari)
1. Relasi Guru dan Murid di Masa Klasik
Secara historis jabatan guru mengandung arti pelayanan yang luhur.
Pelayanan luhur ini terbukti dengan jelas apabila membaca sejarah pendidikan,
baik di Barat, maupun di Timur. Pada abad pertengahan, yang menjadi guru
adalah orang-orang yang berperan di bidang keagamaan.
Mereka adalah orang-orang penting dan mempunyai pengaruh pada
zamannya, dan seolah-olah memegang kunci keselamatan rohani dalam
masyarakat. Dari sinilah relasi guru dan murid lebih berdasar pada spritualitas
atas dasar spiritualitas yang karenanya relasi keduanya sangat erat.
Relasi guru dan murid yang terjalin secara intens terlihat pada
lingkungan pendidikan yang mengkhususkan nilai-nilai keagamaan. Di
lingkungan pendidikan yang nilai keagamaan sangat dijunjung tinggi, guru
mempunyai kharisma yang besar. Pada pendidikan di lingkungan pesantren
misalnya, guru atau kiai mempunyai tokoh panutan dan mempunyai
kewibawaan rohani yang sangat tinggi.
Dalam membicarakan relasi guru dan murid di masa klasik, akan sangat
penting untuk mengetahui periodesasi perkembangan pendidikan di dunia
Islam. Dalam hal ini maka ada empat periode yakni:
a) Zaman Pendidikan Awal
Zaman pendidikan awal ini merupakan zaman pembinaan pada saat
Rasulullah, para sahabat, dan zaman Bani Umayyah yaitu bermula dari
tegaknya kerajaan Umayyah di Damaskus pada tahun 661 M sampai jatuhnya
pada tahun 705 M. Ciri-ciri utama dalam masa ini adalah, (1) Pendidikan Islam
murni berdasarkan Al-quran dan Hadits, (2) Bertujuan untuk meletakkan
dasar-dasar agama baru, (3) pada prinsipnya berdasar pada ilmu-ilmu Al-
quran, (4) Menaruh perhatian pada perkataan yang tertulis sebagai alat penelasi
penting, (5) Membuka jalan untuk mempelajari bahasa asing, (6) Bergantung
pada surau (kuttab), masjid, dan perpustakaan sebagai pusat pendidikan.
2) Zaman Keemasan
Zaman ini bermula dengan berdirinya kerajaan Abbasyiyah di Baghdad
pada tahun 750 M dan berakhir dengan jatuhnya bani Abbasyiyah pada tahun
1258 M oleh Genghis Khan. Sedangkan di bagian Barat, sepanjang masa
keemasan ini bermula tahun 711 M, dan berakhir dengan jatuhnya Granada
pada tahun 932 M, kerajaan Islam terakhir di Spanyol.
Pada saat ini, mulai dikembangkan displin ilmu yang lebih luas seperti
geografi, kimia, fisika, matematika, sastra, kedokteran, falak dan lainnya. Pada
masa ini pulalah diciptakan institusi pendidikan baru yakni sekolah
(madrasah). Di antara ulama yang terkenal pada masa ini adalah Imam Abu
Hanifah dan Malik, Al-Farabi, Ibnu Sina, Al-Ghazali, Ibnu Thufail, dan Ibnu
Rusyd.
3) Zaman Kemerosotan
Zaman ini bermula dengan berdirinya kerajaan Usmaniah pada tahun
1517M. Pada saat ini orang-orang Turki menguasai negara-negara Arab yang
terpecah dengan kekuatan militernya yang besar. Namun demikian, orang-
orang Turki ini lebih tertarik membina kekuatan militer dan melupakan
perkembangan ilmu pengetahuan dan pemikiran.
Akhirnya, negara Islam di bawah kerajaan Turki tertidur nyenyak
selama hampir empat abad lamanya. Pada tahun 1917M ketarjaan Turki
mengalami kekalahan pada perang dunia pertama yang mengakibatkan
bebasnya negara-negara Arab dari kerajaan Usmaniah dengan kerjasama
dengan penjajah-penjajah Inggris, Perancis, dan misionaris Kristen.
4) Zaman Modern
Zaman ini dimulai semenjak permulaan abad kedua puluh sampai
sekarang. Pada awalnya terjadi kebangkitan pemikiran yang dipelopori oleh
Jamaluddin Al-Afghani dan Muhammad Abduh pada pertengahan abad ke-19.
Namun, sebelum seruan kebangkitan mereka kembangkan secara gencar,
Muhammad bin Abdul Wahab di Hijaz pada penghujung abad 18 telah
menyerukan perubahan dan kebangkitan di dunia Islam.
Begitu pula dengan Muhammad Ali yang akan menjadi Gubernur Turki
di Mesir, yang kemudian memisahkan diri dari Mesir, mempunyai pemikiran
bahwa kekalahan kerajaan Turki diakibatkan kekalahan dalam ilmu dan
strategi kemiliteran.
Oleh karenanya ia mengirim para pelajar Mesir belajar ke Barat dengan
rombongan pertama yang dikepalai oleh Rifa’ah Al-Tahtawi. Sesudah
pembaharuan yang dilakukan Rifa’ah Al-Tahtawi inilah kemudian muncul
Muhammad Abduh dan Jamaluddin Al-Afghani. Mereka mengadakan
pembaharuan dengan Menciptakan Al-jami’ah Al-Islamiyah menerbitkan
majalah Al-Urwah Al-Wuthqa, majalah Al-Manar dan mengadakan
pembaharuan di universitas Al-Azhar di Kairo.
Periode pertama dan ketiga dapat dikategorikan ke dalam masa klasik,
dan pertengahan, di mana relasi guru dan murid dan dicirikan sebagai berikut:
a. Posisi guru begitu terhormat sebagai orang yang ‘alim. Ke’aliman ini
meliputi hampir seluruh cabang keilmuan dalam Islam. Namun demikian
ada sepesifikasi yang membuatnya masyhur, seperti ahli hadits bagi Imam
Bukhari dengan karyanya Shahih Bukhari, ahli tasawuf dan fiqih bagi
Imam Gazhali dengan karya monumentalnya Ihya Ulum Al-Din, Ahli
dalam tata bahasa Arab seperti Muhammad bin Malik Al-Andalusy dengan
karyanya Nadzam Al-Fiyah Ibnu Malik, dan para ulama pendiri madzhab.
b. Guru haruslah orang yang wara’ dan zulud. Sebagai orang yang wara’ ia
harus menjaga diri dari perbuatan syubhat, terlebih lagi yang jelas-jelas
dilarang (maksiat kepada Allah). Sedangkan sebagai orang yang zuhud, ia
hendaknya menghilangkan rasa cinta dalam hati terhadap harta benda, akan
tetapi bukan berarti menghilangkannya sama sekali. Kaitannya dengan ini
zuhud berarti mengosongkan hati dari dorongan ingin melebihi dari
kebutuhannya dan menghilangkan ketergantungan kepada makhluk.
c. Guru haruslah orang yang shaleh, dengan ini maka guru dituntut tidak
hanya sebagai orang yang ‘alim akan tetapi juga beramal shaleh sebagai
aktualisasi dari keilmuan yang dimilikinya. Tujuan paling utama dalam
pencarian ilmu adalah kemanfaatan ilmu tersebut (Al-‘Ilmu Al-Nafi’), dan
kemanfaatan ilmu ini berarti dalam bentuk pengamalan dari ilmu yang
dimilikinya.
d. Guru dipandang sebagai uswah. Dengan ke’aliman, kesalehan dan
kewira’ian ini ia menjadi kiblat bagi masyarakatnya karena ia dianggap
sebagai manusia ideal yang memenuhi derajat yang tinggi di sisi Tuhan.
Dengan demikian barangsiapa yang ingin memperoleh derajat yang tinggi
di sisi Tuhannya maka harus meniru para ulama yang shaleh sebagaimana
tuntunan nabi. Dalam masa ini guru juga dianggap bertanggungjawab
kepada muridnya, tidak saja ketika dalam proses belajar mengajar
berlangsung akan tetapi ketika proses belajar itu berakhir bahkan sampai di
akhirat. Dalam masa klasik ini relasi guru dan murid juga sangat erat
sehingga guru dianggap sebagai orang tua, bahkan penghormatan
kepadanya melebihi penghormatan kepada orang tua kandung.
Yang mempengaruhi relasi murid dan guru dalam masa klasik ini ialah
suatu keyakinan mendasar yakni guru sebagai manusia yang membawa misi
Muhammad sebagai utusan Allah. Muhammad dipandang sebagai mu’allimul
awal bertugas menyampaikan dan mengajarkan ayat-ayat Al-quran kepada
manusia, mensucikan diri dari dan jiwa dari dosa, menjelaskan mana yang
halal dan mana yang haram, yang haq dan yang batil, serta menceritakan
sejarah peradaban manusia dengan mengaitkan dengan konteks kehidupan
Muhammad dan juga memprediksikan kehidupan yang akan datang.
Kaitannya dengan ini, Asma Hasan Fahmi, mengatakan bahwa adanya
penempatan guru sebagai pengemban misi nabi, menyebabkan posisinya begitu
terhormat karena menempatkannya pada tempat yang kedua setelah Nabi.
Karena ketinggian derajat inilah, maka penghormatan guru oleh muridnya
sangat besar.
Guru dipandang sebagai orang yang memiliki kelebihan-kelebihan
spiritual seperti karamah (orang yang mempunyai keutamaan budi dan
karisma) dan dapat menjadi penyalur barakah (kemurahan atau hadiah
kebagusan) dari Allah dan pengikutnya, dengan kata lain ia dapat menjadi
penyalur kesucian dan kemurahan Tuhan.
Hal ini didapatkan selama guru tersebut mempunyai sifat wira’i yang
selalu menghindarkan diri dari perbuatan-perbuatan yang dilarang makruh dan
tidak jelas apakah diperkenankan agama atau tidak.
Aura keilahian dan sakralitas sebagai pewaris para nabi ini menjadikan
posisi guru sangat terhormat, sehingga murid harus menghormatinya dengan
segala ketundukan dan kepatuhan. Dari sinilah kemudian memunculkan
tuntutan-tuntutan etis yang mengatur pola relasi murid dan guru dalam proses
ta’lim.
Dalam tuntutan etis ini lebih banyak didominasi adanya keharusan yang
harus dipenuhi oleh murid. Oleh karenanya, murid pada zaman klasik sangat
ditekankan mempunyai berbagai etika yang secara ketat mengatur relasi
dengan gurunya. Hal ini didasarkan bahwa dalam mencapai tujuan ilmu yang
bermanfaat murid harus mengagungkan ilmu dan gurunya.
Dalam masa ini, murid sangat yakin bahwa gurunya merupakan orang
yang sangat mulia melebihi orang yang ahli ibadah. Dalam dalam salah satu
nadzamnya, Zaenuddin Al-Malaibari menyatakan bahwa orang ‘alim lebih
utama dari orang yang ahli ibadah sebagaimana keutamaan bulan purnama
dibanding dengan bintang-bintang lainnya.
Ke’aliman guru dan derajat yang demikian tinggi, menyebabkan murid
menjadi sangat respect dan kagum dengan keilmuan yang dimiliki gurunya.
Sementara sifat wira’i yang ada padanya akan menjaga muru’ah dan
ketinggian kepribadian guru sehingga murid menjadi segan, menaruh hormat
dan sangat mentaatinya. Begitu juga dengan kesalehan yang dimiliki guru
membuat murid menjadikannya sebagai uswah dalam kesehariannya.
Fungsi guru sebagai uswah ini, menyebabkan guru sebagai aktor utama
dan sentral dalam proses ta’lim. Dengan demikian, murid selalu berusaha
meniru apa yang dilakukan gurunya, yakni berupaya menjadikan dirinya alim,
shaleh, dan wira’i. Keinginan yang begitu kuat dan besar agar dapat meraih
posisi, dan melanjutkan perjuangan gurunya sangatlah besar.
Tidak jarang hal ini pada akhirnya akan menimbulkan fanatisme paham
dari para gurunya. Relasi yang dilandasi semangat kefanatikan ini, pada
akhirnya menyuburkan eklusifitas pemikiran pendidikan zaman klasik.
Pengagum masing-masing tokoh guru yang diidolakan akan membuat murid-
muridnya memperjuangkan mati-matian pendapat guru mereka.
Sebagai implikasi dari uswah ini, murid berupaya meniru gurunya
bukan saja dari aspek ilmiah, akan tetapi juga aspek spiritualitas. Dengan
demikian murid selalu berusaha untuk berjiwa bersih, menghindari diri dari
budi pekerti yang yang hina, dan sifat tercela lainnya. Dari sinilah tertanam
pembentukan karakter dan kepribadian yang mulia, tidak hanya sebatas pada
penguasaan materi keilmuan, akan tetapi juga pada tataran moraletic religius.
Pada dasarnya relasi guru dan murid yang demikian merupakan sesuatu
yang ideal. Hanya saja apabila penghormatan dan ketaatan tersebut begitu
besar tanpa disertai kebijakan, kearifan dan keempat ciri khas utama tersebut di
atas, relasi guru dan murid yang semacam ini bukan tidak mungkin justru akan
membunuh kreatifitas murid.
Inilah yang kemudian banyak dikritik pada zaman modern mengenai
konsep guru dan murid pada zaman klasik. Murid dianggap tidak mempunyai
otoritas apa pun dan untuk menentukan jenjang pendidikan dan jenis keilmuan
pun tidak diperbolehkan.
Selanjutnya, konsep dasar yang menjadi sebuah doktrin yang
melembaga adalah mencari ilmu merupakan kegaitan ibadah yang dapat
menghantarkan sampai ke surga. Dengan ini, maka guru yang mengajar dan
mendidik menjadikan pelantara dan penunjuk jalan ke surga. Dengan prinsip
ini guru kemudian dipandang sebagai orang yang paling berjasa bagi
keselamatan muridnya di akhirat.
Suatu hal yang menjadi ciri khas relasi guru dan murid di masa klasik
di mana dalam masa modern sudah mulai hilang dan kini kemudian
diupayakan pelaksanannya yakni silaturrahim dan pengawasan di luar halaqah
pengajaran, di mana murid-murid tidak hanya diajarkan materi di kelas, tetapi
juga dilakukan pengamatan terhadap aktualisasi hasil pengajaran di dalam
kelas pada realitas kehidupan murid.
Tanggung jawab sosial guru yang begitu besar terhadap muridnya
merupakan ciri yang tidak terpisahkan dalam masa klasik, bahkan diyakini
tanggung jawab ini sampai di akhirat kelak. Hal inilah yang menyebabkan
murid mempunyai rasa tangungjawab terhadap ilmunya untuk mengamalkan
baik terhadap diri maupun masyarakatnya.
Pada konteks kekinian kebiasaan ini dikenal dengan metode
contacthours yakni kegiatan di luar jam presentasi di muka kelas seperti
biasanya. Perlu digaris bawahi bahwa kegiatan belajar mengajar, tidak hanya
melalui presentasi atau sistem kuliah di depan kelas. Bahkan metode presentasi
tidaklah dianggap sebagai satu-satunya proses belajar yang efisien apabila
ditinjau baik dari segi pengembangan sikap dan fikiran intelektual yang kritis
dan kreatif.
Dengan metode contacthours ini dapat dikembangkan komunikasi dua
arah sehingga guru dapat menanyai dan mengungkap keadaan murid dan
sebaliknya murid mengajukan berbagai persoalan-persoalan dan hambatan
yang dihadapi. Terjadilah suatu proses relasi dan komunikasi yang humanistis.
Hal ini akan sangat membantu keberhasilan studi para murid, berhasil
tidak hanya sekedar mengetahui dan mendapat nilai baik dalam ujian, tetapi
akan menyentuh pada soal sikap mental dan tingkah laku yang bersifat
intrinsik. Dengan demikian tujuan kemanusiaan harus selalu diperhatikan,
sehingga salah satu hasil pendidikan yang diharapkan yakni human people
dimana manusia yang memiliki kesadaran untuk memperlakukan orang lain
dengan penuh respect dan digniry.
E. Relasi Guru dan Murid di Masa Modern
Mengenai masa modern sangat sulit menentukan awal kelahirannya.
Namun yang jelas pada abad ke 14, zaman pertengahan mulai mengalami
krisis yang berlangsung sampai pertengahan abad ke 15. Selanjutnya, abad ke-
15 dan ke -16 dikuasai oleh suatu gerakanyang disebut masa renaissance
(kelahiran kembali).
Pada paruh terakhir abad ke -15, kata modern mulai muncul sebagai
sebutan terhadap kaum occamist (pengikut William dari Ockham (l285-1349),
tepatnya ketika Erasmus (1466-1536), Filsuf asal Belanda berada di
Universitas Paris. Karena itu, ada pendapat yang mengatakan bahwa zaman
modern itu mulai muncul antara tahun 1450 dan 1500, walaupun tentang ini
masih terdapat perbedaan pendapat.
Namun demikian, bisa dikatakan bahwa masa modern dimulai dengan
abad ke 18. Hal ini karena pada abad 16 sampai abad ke 18 baru mulai terjadi
transformasi budaya yang membawa masyarakat Barat menuju modernitas.
secara historis Galileo Galilei dianggap sebagai pahlawan modernitas. Begitu
juga dengan Nikoleus Kopernikus dan Johannes Kepler, Isaac Newton yang
menemukan gaya grafitasi bumi yang mempengaruhi cita-cita pencerahan
(aufklarung) pada abad ke 18.
Kemajuan ini kemudian memuncak dengan revolusi industri di Inggris
dan revolusi Perancis yang melahirkan tokoh Jean Jacquas Rousseau yang
menggunakan kata modern dalam arti yang dikenal sekarang, yaitu dunia yang
bersendikan atas negara bangsa dalam sistem politik, tekhnologi yang
berdasarkan ilmu pengetahuan, rasionalisme, penggandaan keuntungan, dan
sekulerisasi.
Pada masa inilah, pendidikan pada umumnya mengalami perubahan
yang fundamental. Buku-buku dan alat pelajaran yang modern bertambah
banyak dan canggih, dan ini merupakan lambang perstise. Dengan demikian
penghormatan terhadap guru seolah-olah telah dialihkan kepada buku-buku
dan media belajar sebagai sumber pengetahuan.
Dalam ulasannya, Myron Leiberman melukiskan pengkhususan ilmu
pengetahuan dilihat dari status jabatan guru oleh sekelompok orang dipandang
sebagai pembaharuan yang merugikan. Kalau dulu guru dipandang sebagai
orang yang mempunyai wibawa dan kharisma, maka dengan kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi, guru-guru sekarang dipandang sebagai “penjual
ilmu”. Relasi murid dan guru yang sangat intens dengan landasan moral ethnic
religious pudar di mana relasi guru dan murid seperti penjual dan pembeli.
Pada saat sekarang ini, status guru di masyarakat mulai berubah,
terutama apabila ditinjau dalam konteks budaya indusri di perkotaan. Dalam
perspektif ini, kondisi sosial budaya sangat berpengaruh dalam penghargaan
dan penghormatan terhadap status guru yang mempengaruhi relasinya dengan
murid. Dalam hal ini ada dua pusat kebudayaan berdasarkan daerah teritorial
yang mempengaruhi relasi guru dan murid, yaitu:
1. Guru di desa
Guru di daerah pedesaan masih terpandang, karena guru dianggap
mempunyai kelebihan. Guru sebagai orang yang mempunyai wawasan dan
pengetahun lebih, diberi beban pendidikan yang menyangkut kehidupan
masyarakat.
2. Guru di Kota dan Lingkungan Industri
Di kota, guru sibuk bukan sekedar untuk pengabdian di masyarakat,
tetapi ia sibuk untuk mempertahankan tingkat kehidupan yang secara ekonomi
lebih tinggi dibanding di desa. Dengan kesibukan tambahan untuk mencari
kerja sampingan membuat stamina dan dorongan mengajar menurun. Sehingga
kinerja guru dari moral mereka kurang tertata dengan baik.
Di samping itu ada ganjalan psikologis, bagi murid yang mempunyai
ekonomi lebih. Ekonomi siswa lebih tinggi dari guru, sehingga sering terjadi
masalah psikologis dalam relasi guru dan murid.
Di samping faktor di atas, faktor yang sangat mempengaruhi relasi guru
dan murid pada saat ini adalah adanya respons masyarakat. Dalam masa klasik,
guru adalah segala-galanya dan menempati posisi sangat terhormat, akan tetapi
saat ini posisi guru dianggap kurang urgen dan dinamis dibanding dengan
profesi lainnya.
Guru sudah dipandang sebagai warga kelas dua (scondclass) yang
kehadiranya merupakan pekerjaan rutin dari kebutuhan yang biasa saja. Hal ini
berbeda dengan dokter yang yang dianggap vital dan sangat diperlukan secara
tiba-tiba.
Keperluan tiba-tiba ini memberikan prestise sosial dan penghargaan
khusus yang memang diperlukan di masyarakat. Dengan demikian masalah
yang sangat mendesak dan harus diselesaikan segera dengan implikasi nilai
biaya tinggi menyebabkan masyarakat lebih banyak memberikan penghargaan
pada keahlian khusus dan kebutuhan yang mendadak tersebut.
Selain itu relasi murid dan guru berlangsung dalam waktu yang lama,
berbeda dengan dokter yang berrelasi dengan pasien karena ada kebutuhan
yang harus diselesaikan dengan segera. Menurunnya prestise sosial ini
mengakibatkan menurunnya penghormatan masyarakat kepada guru. Dan ini
juga berakibat juga kepada murid, sehingga mempengaruhi dalam relasi guru
dan murid.
Dalam dunia pendidikan Islam, modernisasi pendidikan juga sangat
mempengaruhi relasi guru dan murid. Modernisasi ini dimulai dengan gerakan
pembaharuan di dunia Islam secara umum oleh Rifa’ah Al-Tahtawi,
Muhammad Abduh dan Jamaluddin al-Afghani.
Menurut para pembaharu ini, jalan satu-satunya untuk pembaharuan
dan kebangkitan dunia Islam adalah melalui pendidikan. Dengan mengadopsi
sistem pendidikan Barat yang telah mengalami kemajuan pesat di bidang ilmu
pengetahuan dan tekhnologi.
Para pembaharu ini melakukan pembaharuan-pembaharuan di bidang
pendidikan dengan melakukan kampanye bahwa kemajuan yang diperoleh
Barat merupakan hasil dari kemajuan Islam di masa lalu, dengan demikian
tidak ada pertentangan sama sekali antara kemajuan yang diperoleh di Barat
terutama masalah sains dengan ajaran Islam.
Dengan adanya gerakan modernisasi pendidikan, yang di antaranya
menerapkan sistem Barat, pada akhimya menentukan pula metode, bidang
kajian ilmu, proses belajar mengajar termasuk di dalamnya posisi guru dalam
belajar mengajar dan relasi antara guru dan murid.
Dalam konteks ke Indonesiaan, pendidikan banyak digerakkan oleh
lembaga dan organisasi modem di zaman penjajah. Dengan adanya taman
siswa, PERSIS, Muhammadiyah, pesantren dan lainnya, pendidikan di
Indonesia mengalami kemajuan dengan menerapkan sistem dari Barat,
termasuk di pesantren.
Dalam dunia pesantren yang secara ketat menerapkan sistem
pendidikan klasik, dalam beberapa hal menerapkan sistem klasikal dan metode
pangajaran modern. Dengan keadaan ini maka dunia pendidikan di pesantren
pun mengalami modernisasi walaupun ciri khas klasik masih sangat kental.
Namun demikian, dengan modernisasi pendidikan ini, guru tetap
menempati posisi yang terhormat dan sebagai tenaga yang profesional (‘alim).
Namun keshalehan, kewira’ian dan uswah yang merupakan prasyarat mutlak
dalam dunia pendidikan klasik, tidak begitu mendapat tuntutan secara mutlak.
Bahkan dalam beberapa tempat pendidikan di era modern, tuntutan sebagai
uswah yang memiliki kesalehan dan kewira’ian tidak lagi menjadi tuntutan
utama. Apalagi tangungjawab yang sangat besar sebagaimana guru di masa
klasik.
Dalam era ini yang terpenting adalah profesioalisme guru yang
mentransfer pengetahuan bagi anak didiknya. Relasi guru dan murid pun
sebatas memenuhi semacam kontrak sosial dalam proses belajar mengajar,
sehingga setelah prosesnya selesai, relasi itu tidak begitu kuat lagi.
Hal ini berbeda dengan konsep pendidikan klasik di mana relasi guru
dan murid tetap terjalin walapun sudah selesai menyelesaikan pendidikan,
bahkan relasi ini diyakini akan tetap lestari sampai di akhirat.
Namun dalam dunia pendidikan pesantren, nuansa pendidikan klasik
masih sangat kental. Modernisasi yang ada di dalamnya tidak serta merta
menyebabkan dunia pesantren kehilangan ruh salafiyahnya. Harus diakui
pengaruh modernisasi yang ada di pesantren tetap ada, akan tetapi bahwa Kiai
sebagai tokoh kraismatik di pesantren tetap seorang yang harus mempunyai
kesalehan dan wira’i serta menjadi uswah bukan hanya bagi santri akan tetapi
masyarakat di sekitamya.
Apabila seorang kiai sudah tidak saleh maka tidak layak menjadi
uswah. Bahkan apabila ia melakukan suatu kesalahan atau dosa akan
mengurangi kharisma dan wibawanya di tengah-tengah masyarakat pesantren.
Ia dipercaya sebagai penyalur kemurahan Tuhan, sehingga hal yang demikian
akan dianggap mengurangi martabatnya untuk memperoleh kemurahan
tersebut.
Menurunnya respect murid terhadap guru dalam masa modern serta
relasi yang tidak begitu intens bukan berarti relasi guru dan murid juga tidak
diperhatikan secara serius. Para pakar pendidikan modern tetap menekankan
signifikansi relasi guru dan murid dalam proses belajar mengajar.
Hal ini karena relasi guru dan murid dalam proses belajar mengajar
merupakan faktor yang sangat menentukan. Bagaimanapun baiknya mata
pelajaran yang diberikan, sempurnanya metode yang digunakan, namun
apabila relasi guru dan murid tidak harmonis, maka hasil yang dicapai tidaklah
maksimal.
Oleh karenanya dalam era modern pun relasi guru dan murid menjadi
bagian yang tidak terpisahkan dalam proses pendidikan. Hanya yang
membedakan adalah tuntutan moral etice religious dalam relasi ini tidak
seketat sebagaimana di masa klasik.
Adanya asumsi dalam era ini yakni bahwa guru dan murid tidak lebih
dari menjalani kontrak sosial dengan pertimbangan profesionalisme yang
diukur dengan biaya pendidikan yang ditanggung oleh murid, pada akhirnya
mempengaruhi relasi guru dan murid, sehingga lambat laun mengurangi
kewibawaannya.
Murid-murid masa kini, khususnya yang menduduki sekolah-sekolah
menengah di kota-kota pada umumnya hanya cenderung menghormati guru
karena ada udang di balik batu, yakni ingin mendapat nilai yang tinggi atau
naik kelas dengan peringkat tinggi tanpa kerja keras.
Hal ini berbeda dengan masa klasik yang sangat mengutamakan adanya
kezuhudan dan kewir’ian di mana profesionalisme guru tidak serta merta
diukur dan dinilai dari aspek material belaka.1
F. Adab Murid Terhadap Gurunya
Seorang murid memiliki kewajiban atas rasa hormat pada guru yang
sudah memberikan pembelajarannya.di bawah ini ada beberapa penjelasan
bagaimana seharunya adab seorang murid pada gurunya.
1. Murid sepantasnya mendahulukan berfikir dan meminta pilihkan Allah
Ta'ala akan guru yang akan ia ambil ilmunya dan mendapat akhlak
yang bagus dan adab darinya. Dan hendaklah dari guru yang ahli, nyata
tsiqahnya, Nampak sifat muru'ahnya dan masyhur keterpeliharaannya.
Dia (guru) adalah yang paling baik mengajar dan paling bagus
memahamkan. Maka dari sebagian ulama dahulu ilmu agama ini
diambil, maka perhatikanlah dari siapa kalian ambil agama kalian.
2. Hendaknya murid berijtihad bahwa gurunya adalah orang yang
memiliki ilmu-ilmu syari’at, sempuma pandangan, dan guru-gurunya
dari orang-orang yang dipercaya, dari guru-guru semasanya, banyak
1Drs. Sya’roni, M.Ag, Model Relasi Ideal Guru dan Murid, h. 19-35.
pembahasan, luas perkumpulan, bukan dari orang yang mengambil
ilmu dari buku-buku, dan tidak diketahui pergaulannya dengan guru-
guruyang cerdas. Imam kita As- Syafi’i berkata: “Barangsiapa belajar
ilmu fiqih dari buku-buku maka dia menghilangkan hukum-hukum”.
3. Hendaknya murid patuh kepada gurunya pada semua perkaranya, dan
janganlah keluar dari pendapatnya. Dan aturannya bahkan hendaklah
murid bersama gurunya seperti orang sakit bersama dokter yang
pandai, maka guru menyuruhnya pada sesuatu yang ia tuju, dan
menuntut ridho-Nya pada sesuatu yang dikerjakannya, dan melebihi
menghormatinya, dan mendekat kepada Allah dengan melayaninya dan
ketahuilah bahwa kerendahannya kepada gurunya adalah kemuliaannya
(murid), tunduknya pada guru adalah kebanggaannya, dan tawadhunya
kepada guru adalah ketinggiannya.
4. Hendaknya murid memandang gurunya dengan pandangan
memulyakan dan membesarkan dan meyakini akan derajat
kesempurnaannya karena yang demikian itu lebih dekat dengan
manfaat. Abu Yusuf berkata: “Saya telah mendengar ulama salaf
berkata: “Barangsiapa tidak meyakini kemuliaan gurunya niscaya tidak
beruntung, maka jangan mengkhitab (memanggil) gurunya dengan ta’
khitab dan kafnya jangan memanggil namanya, tapi panggillah “wahai
tuanku atau wahai guruku”, dan jangan menyebutnya pada waktu dia
tidak ada dengan namanya, kecuali disertai dengan kata yang
memberitahu kebesarannya, seperti “telah berkata syaikh ustadzh.........
atau telah berkata guru kami”.
5. Hendaknya murid mengetahui hak gurunya dan jangan melupakan
keutamaannya, dan mendoakannya semasa hidup dan setelah wafatnya,
dan menjaga keturunan, kerabat dan yang dikasihinya, dan
membiasakan menziarahi kuburnya dan memohonkan ampun untuknya,
bersedekah untuknya, menjalankan tingkah lakunya dan
petunjuknya,memelihara agama dan ilmu selamanya, beradab dengan
adabnya, dan jangan meninggalkan mengikutinya.
6. Bahwa murid sabar atas sifat kasar yang tumbuh dari guru atau buruk
akhlaknya, dan janganlah hal itu mencegah untuk tetap meyakini
kesempurnaannya dan murid harus menta’wilkan perbuatan-perbuatan
guru yang nampak menyalahi yang benar dengan sebaik-baik ta’wil,
dan apabila guru mengasarinya maka dia memulai meminta udzur dan
menampakkan salah dan celanya dirinya, karena yang demikian itu
mengekalkan kasih sayang guru, dan murid menghitung dari gurunya
dari nikmat-nikmat Allah dengan memperhatikan gurunya dan
memandangnya, karena yang demikian itu mencondongkan hati guru
dan membangkitkan atas memperhatikan kemaslahatannya, dan apabila
guru memberhentikan atas perkara-perkara yang lembut dari adab atau
kekurangan darinya, sedangkan murid sudah mengetahuinya
sebelumnya, maka janganlah si murid menampakkan bahwa dia tahu,
dan hendaklah murid melupakan tindakan guru tadi, tetapi murid
berterima kasih atas faedah yang diberikan guru, tetapi jika murid
memberitahu yang sebenarnya pada guru itu lebih bagus.
7. Hendaknya murid tidak masuk ke tempat guru selain majelis umum
kecuali dengan izin guru, baik guru lagi sendirian atau bersama yang
lain, maka jika murid sudah minta izin tapi guru tidak member izin
maka hendaklah dia pulang, dan jangan mengulangi minta izin. Dan
jika murid ragu diizinkan guru atau tidak? maka janganlah ia minta izin
lebih dari 3 kali atau 3 kali mengetuk pintu. Dan hendaklah murid
mengetuk pintu dengan ringan, dengan adab, dengan kuku jari,
kemudian dengan jari-jari sedikit demi sedikit. Bila guru mengizinkan
masuk sedangkan murid berombongan, maka majulah yang paling
utama dan paling tua untuk masuk dan memberi salam kemudian
diikuti yang utama terus yang utama dan seterusnya. Hendaklah murid
masuk ke tempat guru dengan sempurna tingkah laku, suci badan,
pakaian, sudah memotong kuku dan menghilangkan bau tak sedap,
terlebih lagi tatkala mau menuntut ilmu, majelis dzikir dan
perkumpulan ibadah. Dan tatkala dia masuk ketempat guru pada selain
majelis umum sedangkan pada saat itu ada yang berbicara dengannya
maka hendaklah mereka diam (tidak bicara). Atau murid masuk
sedangkan guru lagi sendirian sedang shalat, atau berdzikir, atau
mutala'ah, maka hendaklah dia tinggalkan, diam, dan jangan memulai
pembicaraan, tetapi hendaklah murid member salam, dan keluar dengan
cepat kecuali guru menyuruhnya untuk tinggal, dan apabila murid
tinggal maka jangan lama kecuali guru menyuruh. Dan apabila dia
menghadiri tempat guru tetapi tidak mendapatkan kawan duduk maka
hendaknya dia tunggu supaya tidak kelewatan pelajaran, dan janganlah
dia mengetuk supaya guru keluar. Dan jika guru sedang tidur hendaklah
murid sabar sampai guru bangun atau pulang dulu baru kembali lagi.
Dan bersabar lebih baik baginya. Dan janganlah murid meminta waktu
khusus untuk pribadinya jika murid adalah kepala/pimpinan (pembesar)
dari orang yang sombong dan bodoh atas guru dan para murid. Adapun
jika guru memulainya (memberi) waktu tertentu atau khusus karena
udzur yang menghalangi untuk hadir bersama jama'ah atau untuk
kebaikannya maka tidak apa- apa.
8. Hendaknya murid duduk di depan gurunya dengan adab, seperti duduk
bersimpuh atas 2 lututnya atau duduk tasyahud dengan tidak
meletakkan 2 tangannya di atas 2 pahanya, atau duduk bersila dengan
tawadhu’, khudu’, tenang dan khusyu’, dan jangan menoleh kecuali
darurat, bahkan dia menghadap guru dengan mendengarkannya,
memandangnya, memahami perkataannya, supaya dia tidak perlu
pengulangan guru 2 kali, jangan menoleh ke kanan atau ke kiri atau ke
atasnya tanpa ada hajat, terlebih lagi tatkala membahas, jangan gelisah
karena keramaian yang didengarnya atau menoleh, jangan menutup
lengan baju, jangan lesu dihadapannya, jangan mengganggu dengan
tangan-tangan atau kakinya atau lainnya terhadap tubuh guru, jangan
membuka mulutnya, jangan membenturkan giginya, jangan memukul
lantai dengan tapak tangan atau dengan jari-jarinya, jangan membelit
jari-jari tangannya. Jangan memain-mainkan sarungnya atau
seumpamanya, jangan bersandar ke dinding ke bantal tatkala di
hadapan guru, jangan duduk menyampingi guru atau
membelakanginya, jangan memegang 2 tangannya ke belakang atau ke
samping, jangan menceritakan sesuatu yang membuatmu tertawa atau
yang cabol atau omongan buruk atau adab yang buruk, jangan tertawa
tanpa keajaiban, jangan heran tanpa guru, jika dia tertawa hendaklah
tersenyum saja tanpa suara, jangan meludah, jangan berdaham, jangan
menampakkan ludah dari mulutnya tapi hendaklah diambilnya dari
mulutnya dengan sapu tangan atau ujung bajunya, apabila bersin
hendaklah menekan suaranya dan menutup wajahnya dengan sapu
tangan, apabila menguap hendanya menutup mulutnya setelah
menolaknya/menahannya jika dia beradab bersama teman-temannya
dan para hadirin maka hendaklah membesarkan sahabat-sahabatnya dan
menghormati yang lebih tua dan kawan-kawannya, karena adabnya
terhadap mereka sama dengan adab kepada guru dan memuliakan
majlisnya, jangan keluar dari barisan halaqah dengan maju atau
mundur, jangan bicara di tengah-tengah pelajaran dengan sesuatu yang
tidak berkaitan atau yang bisa memotong pembahasan, jika sebagian
murid menganiaya atas seseorang jangan membentaknya selain guru
kecuali dengan isyarat, jika seseorang melecehkan adabnya atas guru
wajib atas jama'ah membentaknya dan menolaknya dan menolong guru
dengan kemampuaannya, Jangan mendahuluinya untuk menjelaskan
masalah atau menjawab pertanyaan kecuali dengan izinnya dan
diantara membesarkan guru adalah jangan duduk di sisinya dan jangan
di atas tempat shalatnya dan jangan di atas kasurnya, dan jika guru
menyuruhnya maka janganlah dia lakukan kecuali apabila sulit
menolaknya, maka tidak mengapa menjunjung perintahnya tatkala itu,
kemudian kembali ke adabnya semula. Dan sungguh manusia sudah
membicarakan tentang 2 perkara ini yang lebih utama, menjunjung
perintah atau menjalankan adab, maka yang terunggul merinci, jika
guru mewajibkan perintahnya dengan kokoh maka menjunjung perintah
lebih utama, dan jika tidak maka menjalankan adab lebih utama dengan
maksud menampakkan menghormatinya dan perhatiannya maka hal itu
berkaitan dengan sesuatu yang wajib diantara yang membesarkan guru
dan beradab kepadanya.
9. Hendaknya murid membaguskan omongannya dengan guru
sekemampuannya, maka janganlah dia katakan “karena apa? Kami
mengenali, siapa yang menuqil ini? Dimana letaknya?” dan seumpama
itu. Maka jika dia hendak mendapat faedah maka haluskanlah caranya.
Kemudian dia di majelis yang lain lebih utama untuk mendapat faedah.
Dan apabila guru menyebutkan sesuatu, maka janganlah murid katakan
“demikian yang kamu katakan”, atau beresiko bagiku, atau demikian
yang telah si fulan katakan”, atau si fulan telah mengatakan yang
berbeda denganmu, atau ini tidak shahih. Dan apabila guru mengatakan
perkataan atau dalil yang salah karena lupa atau pendek pertimbangan
pada saat itu, maka jangan merubah raut mukanya atau matanya tetapi
dia mengambilnya dengan wajahyang ceria. Karena sifat ma’shum itu
hanyalah bagi para nabi Shalawatullah Wasalamuhualaihim Ajma’in.
10. Apabila murid mendengar gurunya menyebutkan suatu hukum dalam
suatu masalah atau faedah, atau menceritakan sebuah cerita, atau
menyanyikan sebuah syair sedangkan si murid hafal, maka hendaklah
murid benar-benar mendengarkannya, pura-pura haus padanya dan
gembira seakan-akan belum mendengarnya sama sekali. ‘Atha ra.
berkata: “Sesungguhnya saya mendengar hadits dari seorang laki-laki,
sedangkan aku lebih tahu dari padanya, maka aku dilihatkannya dari
diriku bahwa aku tidak lebih baik dannya, ‘Atha juga berkata:
“Sesungguhnya sebagian pemuda berbicara tentang sebuah hadits,
maka aku mendengarkannya seakan-akan aku belum mendengarnya,
sedangkan aku telah mendengarnya sebelum dia lahir. Maka apabila
guru menanyanya ketika rirasuk tentang hafalannya, maka janganlah
murid menjawab dengan na’am (ya) karena merasa tidak berhajat
kepada guru, dan jangan pula dia katakan la (tidak) karena itu dusta,
tetapi dia katakan saya lebih senang bahwa saya mendengarnya dari
guru atau mendapat faedah darinya.
11. Jangan mendahului guru untuk menjelaskan masalah atau menjawab
pertanyaan, jangan menampakkan pengetahuan atau pendapatnya.
Jangan memotong perkatannya, jangan mendahuluinya, tapi sabarlah
sampai dia selesai dari perkataannya, jangan berbicara bersama yang
lain, sedangkan guru sedang bicara dengannya atau bersama jemaah
majelis. Dan hendaklah hatinya hadir ke arah guru sekira-kira apabila
guru menyuruh atau menanya sesuatu atau mengisyaratkan sesuatu dia
tidak perlu mengulanginya 2 kali.
12. Apabila guru menyerahkan sesuatu maka hendaklah murid
menerimanya dengan tangan kanan, jika lembaran yang dibacanya
seperti fatwa atau kisah atau tulisan syara' dan seumpamanya maka dia
harus dibentangkan dan diangkat, dan jangan menyerahkannya di lipat
kecuali apabila dia tahu atau menyangka guru menyuruhnya, dan jika
guru menyerahkan kitab maka dia bersiap- siap membuka dan
membacanya tanpa berharap pada jabatannya, maka jika memandang
pada tempat yang ditentukan maka hendaklah dibuka dan ditentukan
temapatnya, dan janganlah menghapus dari kitab atau lembaran, dan
dia mengulurkan 2 tangannya apabila guru jauh dan tidak memerlukan
mengulurkan tangannya untuk mengarnbil pemberian tetapi berdiri
berdiri meraihnya, dan jangan merangkak dan apabila dia duduk
dihadapan guru janganlah terlalu dekat yangdihubungkan dengan buruk
adab, jangan meletakkan tangan atau kakinya atau sesuatu dari
badannya atau bajunya di atas baju guru atau bantalnya atau sajadahnya
atau kasurnya, jika guru menyerahkan polpen untuk menulis hendaklah
diambilnya dengan seger, jika dia meletakkan tempat tinta di
hadapannya maka hendaklah dibuka penutupnya. Supaya menyiapkan
untuk menulis. Dan jika dia mendapatkan sajadah yang dia akan shalat
di atasnya maka pertama-tama harus dia bentangkan. Dan adabnya dia
hamparkan tatkala dia bermaksud menggunakannya (untuk shalat). Dan
jangan duduk ketika ada guru di atas sajadah dan jangan shalat di
atasnya kecuali apabila tempat tidak suci atau karena ada udzur. Dan
apabila guru berdiri maka para jama'ah/murid harus segera
memegang/mengambil sajadah dan segera memegang tangannya atau
lengannya dan memajukan sandalnya jika tidak menyusahkan guru dan
bermaksud terhadap semua itu untuk taqarrub/mendekatkan diri pada
Allah dan mencari ridha guru. Maka sungguh dikatakan, 4 perkara yang
jauh dari aib, mulia orang yang melakukannya walau dia seorang
pemimpin, yaitu; 1. Berdiri dari majlis untuk menghormati sang ayah.
2. Berkhadam/membantu kepada guru yang mengajarnya. 3. Bertanya
tentang apa yang belum dia ketahui. 4. Berkhadam/membantu pada
tamunya. Dan apabila murid berjalan bersama guru maka hendaklah
murid di depan guru di waktu malam dan dibelakangnya di waktu siang
kecuali dibutuhkan menyalahinya karena sempit atau selainnya, dan
murid berdahulu di tanah yang asing atau berlumpur atau
masuk/menyelam dan pada tanah yang berbahaya, dan dia menjaga dari
kepercikan pada baju guru, dan jika di tempat sempit dia menjaganya
dengan tangannya adakalanya dari depan atau dari belakangnya, dan
apabila berjalan di depannya maka dia menoleh kepadanya sebentar-
sebentar, dan jika dia sendiri sedangkan guru berbicara dengannya
waktu berjalan di tempat teduh maka hendaklah murid di kanan guru,
dan dikatakan dari kirinya sambil maju sambil dan sambil menoleh
kepadanya, dan murid memberitahu guru dengan orang yang mendekat
atau orang orang menyapa jika guru tidak tahu, dan jangan berjalan di
sisi guru kecuali ada hajat atau sebagai penunjuk arah, dan menjaga
guru dari kesesakan dengan pundaknya atau dengan pundak
tunggangannya jika keduanya berkendaraan dan menempel pada
pakaiannya, dan memuliakannya dengan jihat (arah) teduh di waktu
panas, dan dengan jihat matahari di waktu dingin, dan dengan jihat
yang tidak mengenai matahari akan wajahnya, dan jangan berjalan di
antara guru dan orang yang bicara dengannya, tetapi hendaklah dia
mundur dari keduanya, apabila keduanya sedang bicara, atau maju, dan
jangan dekat dan jangan mendengarkan dan jangan menoleh, apabila
keduanya sudah masuk dalam pembicaraan maka hendaklah murid
datang dari arah yang lain, dan apabila dia bertemu guru di jalan, dia
memulai mengucapkan salam, dan dia bermaksud jika jauh tapi jangan
menyerunya, dan jangan memberi salam kepada guru dari jauh dan
jangan dari belakangnya, tetapi dia mendekat maju kemudian memberi
salam, jangan menunjukkan atasnya memulai mengambil jalan sampai
dia minta tunjuki, jangan menanya guru dijalan, dan apabila dia sampai
ke rumah guru maka jangan berdiri dihadapan pintunya karena dia
benci bahwa keluar orang yang membenci guru mendatanginya, dan
apabila dia naik bersamanya keduanya memberi salam sambil mundur
dari guru, dan apabila guru turun dia mendahuluinya untuk menjaga
supaya kaki guru tidak terpelisit, dan jangan mengatakan pendapat guru
yang salah “ini salah” dan jangan pula “ini bukan pendapat yang
benar”, tetapi katakanlah zhahirnya bahwa yang maslahah (yang benar)
sebagai berikut, dan janganlah dia katakan pendapat saya seperti ini
atau serupa itu.
a) Perbedaan Individual Anak Didik (Pemikiran K. H. M. Hasyim
Asy’ari)
Persoalan perbedaan individual anak didik perlu mendapat
perhatian dari guru, sehubungan dengan pengelolaan pengajaran agar
dapat berjalan secara kondusif. Karena banyaknya perbedaan individual
anak didik, maka dalam pembahasan ini akan diklasifikasikan menjadi tiga
aspek, yaitu perbedaan biologis, intelektual, dan psikilogis.
(1) Perbedaan Biologis
Di dunia ini tidak ada seorang pun yang memiliki jasmani yang persis
sama, meskipun dalam satu keturunan. Anak kembar dari satu sel telur pun
memiliki jasmani yang berlainan. Tidak heran bila seseorang yang mengatakan
bahwa anak kembar itu serupa tapi tak sama. Artinya, dalam hal-hal tertentu
anak kembar memiliki kesamaan dan perbedaan. Entah itu jenis kelamin,
warna rambut, warna kulit, mata, dan sebagainya. Semua itu adalah ciri-ciri
individu anak didik yang dibawa sejak lahir.
Aspek biologis lainnya adalah hal-hal yang menyangkut kesehatan
anak didik, misalnya yang berhubungan dengan kesehatan mata dan telinga
yang langsung berkaitan dengan penerimaan bahan pelajaran di kelas. Kedua
aspek ini sangat penting dalam pendidikan. Orang tidak akan dapat melihat
sesuatu bila mata telah buta.
Orang tidak akan pernah melihat sesuatu dengan jelas bila matanya
mendapat penyakit atau cacat. Penyakit atau cacat itu misalnya myopi (rabun
jauh), hypermetropi (rabun dekat), presbyopi (mata tua), xerop htalmin (rabun
malam), trachoma (penyakit mata yang di sebabkan virus), juling conjungtives
(peradangan selaput mata, infeksi karena debu atau kotoran lain, sering terjadi
di musim kemarau), buta warna (penyakit tidak dapat membedakan warna
merah dengan hijau, biru dengan hijau atau tidak dapat melihat warna sama
sekali, dan penyakit ini menurun), katarak (penyakit karena lensa mata
mengapur).
Kemudian yang berhubungan dengan gangguan pendengaran, misalnya
saluran liang telinga yang tersumbat oleh minyak telinga (seruman),
ketegangan pada gendang telinga, tulang-tulang pendengaran terganggu, dan
sebagainya2
. Penyakit lainnya yang bersifat insidentil, misalnya penyakit
batuk, influenza (penyakit demam), malaria, sakit mata, sakit kepala, bisul,
hipertensi (tinggi darah), anemia (rendah darah), dan sebagainya, yang ke
2Syaiful Bahri Djamarah, Guru dan Anak Didik dalam Interaksi Edukatif, (Jakarta:
Rineka Cipta: 2010), Cet. Ke-3, h. 55-56.
semuanya berpengaruh terhadap pengelolaan kelas dan pengelolaan
pengajaran.
Aspek biologis ini tidak bisa dianggap sebagai aspek yang tidak
penting hal ini terkait dengan masalah pembangunan gedung sekolah,
pengaturan jadwal pelajaran, pengaturan tempat duduk, pengelompokan anak
didik di kelas, dan sebagainya.
Pengelolaan pengajaran yang hanya memperhatikan aspek mental anak
didik dengan mengabaikan aspek biologis akan menyebabkan suasana belajar
di kelas menjadi kurang kondusif. Barang kali suasana belajarmenjadi kaku,
gaduh dan merugikan anak didik.
(2) Perbedaan Intelektual
Inteligensi merupakan salah satu aspek yang selalu aktual untuk di
bicarakan dalam dunia pendidikan. Keaktualan itu dikarenakan inteligensi
adalah unsur yang ikut mempengaruhi keberhasilan balajar anak didik.
Menurut ahli psikologi, yakni William Stern, inteligensi merupakan
daya untuk menyesuaikan diri secara mudah dengan keedaan baru dengan
menggunakan bahan-bahan pikiran yang ada menurut tujuannya3
.
Whitherington mengatakan, bahwa seseorang mengatakan inteligen apabila
3Syaiful Bahri Djamarah, Guru dan Anak Didik dalam Interaksi Edukatif, h. 57.
orang yang bersangkutan mempunyai kemampuan untuk menyesuaikan diri
dengan cepat tanpa mengalami suatu masalah.
Itu berarti, seseorang yang sukar beradaptasi dan banyak mengalami
masalah dikatakan tidak inteligen. Konsep kedua ahli ini barangkali belum
memberikan pemahaman lebih jauh mengenai inteligansi ini.
Jadi, dapat di pahami bahwa inteligensi adalah kemampuan untuk
memahami dan beradaptasi dengan situasi yang baru dengan cepat dan efektif,
dan kemampuan untuk memahami hubungan dan mempelajarinya dengan
cepat.
Dalam rangka untuk mengetahui tinggi rendahnya inteligensi
seseorang, dikembangkanlah instrumen yang dikenal dengan istilah “tes
inteligensi” dan gambaran mengenai hasil pengetesan kemudian dikenal
dengan intelligence quotient, di singkat dengan IQ.
Berdasarkan hasil tes inteligensi (intelligence quottient), maka hasil
yang diperoleh dari pembagian umur kecerdasan dengan umur sebenarnya,
menunjukan kesanggupan rata-rata kecerdasan seseorang. Pembagian itu
adalah:
1. Luas biasa (genius) IQ di atas 140
2. Pintar (begaaf) 110-140
3. Normal (biasa) 90-140
4. Kurang pintar 70-90
5. Bebal (debil) 50-70
6. Dungu (imbicil) 30-50
7. Pusung (idiot) di bawah 30
Menurut hasil penyelidikan, persentase orang yang genius dan idiot
sangat sedikit sekali, dan yang terbanyak adalah yang normal (biasa). Genius
adalah sifat pembawaan luar biasa yang dimiliki seseorang sehingga ia mampu
mengatasi kecerdasan orang-orang biasa dalam bentuk pemikiran dan hasil
karya.
Sedang idiot (pandir), menurut Mursal adalah penderita lemah otak,
yang hanya memiliki kemampuan berpikir setingkat dengan kecerdasan anak
yang berumur tiga tahun.4
Setiap anak memiliki inteligensi yang berlainan. Dalam perbedaan ini
dirasakan ada kesulitan untuk mengetahui dengan ukuran yang tepat mengenai
tinggi rendahnya inteligensi dalam bentuk pengalaman yang anak peroleh
selama hidupnya. Inteligensi hanya bersifat pembawaah. Pertumbuhan dan
perkembangan anak dipengaruhi oleh lingkungan, sebagai dua kekuatan yang
tidak bisa dipisahkan.
Perbedaan individual dalam bidang intelektual ini perlu guru ketahui
dan pahami, terutama dalam hubungannya dengan pengelompokkan anak didik
di kelas. Anak yang kurang cerdas jangan dikelompokkan dengan anak yang
4Syaiful Bahri Djamarah, Guru dan Anak Didik dalam Interaksi Edukatif, h. 58.
kecerdasannya setingkat dengannya, tetapi perlu dimasukkan ke dalam
kelompok anak-anak yang cerdas.
Dengan harapan agar anak yang kurang cerdas itu terpacu untuk lebih
kreatif, ikut terlibat langsung dengan motivasi yang tinggi dalam bekerja sama
dengan kawan-kawan sekelompok dengannya. Kepentingan lainnya lagi agar
guru dapat dengan mudah mengadakan pendekatan dengan anak didik untuk
memberikan bimbingan bagaimana cara belajar yang baik.
(3) Perbedaan Psikologis
Ahli psikologis dan pendidikan serta semua orang berpendapat bahwa
setiap anak manusia berbeda secara lahir dan batin. Jangankan pada aspek
biologis, pada aspek psikologis pun anak manusia berlainan. Coba lihat di
lingkungan masyarakat, manusia terdiri dari pria atau wanita yang terdiri dari
anak-anak, anak usia sekolah, anak remaja, pemuda, dan orang dewasa.
Secara psikologis mereka mempunyai perbedaan dengan karakteristik
mereka masing-masing. Ada yang murah senyum, pemarah, berjiwa sosial,
egois, cengeng, bodoh, cerdas, pemalas, rajin, pemurung, dan periang, yang
semua itu dipengaruhi oleh pembawaan dan lingkungan.
Di sekolah perbedaan aspek psikologis ini tak dapat dihindari,
disebabkan pembawaan dan lingkungan anak didik yang berlainan antara yang
satu dengan yang lainnya. Dalam pengelolaan pengajaran, aspek psikologis
sering menjadi ajang persoalan, terutama yang menyangkut masalah minat dan
perhatian anak didik terhadap bahan pelajaran yang diberikan.
Guru sadar bahwa bahan pelajaran yang diberikan tidak semuanya
dapat diserap anak didik, entah karena gaya penyampaian guru yang kurang
tepat atau karena anak didik yang kurang memperhatikan. Sepintas, perhatian
anak terarah pada pembicaraan guru, padangan dan anggota tubuhnya duduk
dengan baik ketika guru sedang menjelaskan bahan pelajaran, namun di waktu
lain perhatian anak didik sudah berkurang.
Anak didik yang duduk dengan rapi dan diam, tidak dapat dipastikan
memperhatikan semua penjelasan guru. Bisa saja pandangan mata anak didik
terarah pada gerak, sikap dan gaya guru mengajar, tetapi sebenarnya alam
pikirannya terarah pada permasalahan lain yang lebih menarik minatnya.
Sehingga tidak jarang anak didik terkejut ketika ada orang lain atau sesuatu
yang mengejutkannya.
Persoalan psikologis ini memang sangat kompleks, sebab menyangkut
apa yang ada dalam jiwa dan perasaan anak didik. Kata orang dalamnya lain
bisa diduga, dalamnya hati siapa yang tahu. Artinya orang dapat mengukur
kedalam laut dengan mempergunakan alat pengukur ke dalam laut.
Tetapi dapatkah orang mengukur/menebak apa yang sedang bergejolak
di dalam diri seseorang? Sebab apa yang terlihat itu belum tentu
menggambarkan kata jiwa atau apa yang ada di dalam hati seseorang.
Untuk memahami jiwa anak didik guru dapat melakukan pendekatan
kepada anak didik secara individual. Dengan cara ini hubungan anak didik
dengan guru menjadi akrab. Anak didik merasa diperhatikan dan dilayani
kebutuhannya dan guru dapat mengenal siapa anak didik sebagai individu.
Bila anak didik selalu ingin berdekatan dengan guru, tidaklah sukar
bagai guru untuk memberikan bimbingan dan motivasi agar anak didik lebih
giat belajar, baik di sekolah maupun di rumah. Minat timbul bersangkut paut
dengan masalah kebutuhan. Karena itu guru memberikan motivasi dengan
memanfaatkan kebutuhan anak didik agar dia berminat untuk belajar.
Sebaliknya, menurut Mursal dan Dkk5, guru bisa memanfaatkan minat
anak sebagai alat motivasi. Bila anak didik berminat terhadap suatu mata
pelajaran, dia akan memperhatikannya dalam jangka waktu tertentu. Minat
adalah perhatian yang mengandung unsur-unsur perasaan. minat adalah
kesadaran seseorang, bahwa suatu objek, seseorang atau suatu soal, atau suatu
situasi mengandung sangkut paut dengan dirinya. Sedangkan Whitherington,
Minat merupakan sebab serta akibat dari perhatian.
Menurut ahli S. Nasution, tentang perhatian penting dalam interaksi
edukatif. Untuk mengamati sesuati diperlukan perhatian. Anak harus melihat
papan tulis, gambar, guru, buku, tulisan di papan tulis, mendengarkan apa yang
guru ucapkan, dan sebagainya, dan bukan melihat ke luar jika ia ingin belajar.
5 Syaiful Bahri Djamarah, Guru dan Anak Didik dalam Interaksi Edukatif, h. 60.
Untuk itu anak harus diberikan rangsangan yang dapat mempengaruhi
kelakuannya agar terus memberikan perhatian kepada pelajaran6.
Untuk memuputk perhatian anak didik atau anak kecil dianjurkan
dnegan mempergunakan reinforcement berupa gula-gula dan ganjaran simbolis
seperti pujian, angka yang baik, acungan jempol, dan sebagainya.
Guru yang biasanya kurang berhasil dalam pengajaran karena
kegagalannya memupuk perhatian anak didik. Perhatian di sini tentu saja
menyangkut reaksi anak didik secara jiwa dan raga. Diakui, sukar untuk
mempertahankan perhatian anak didik dalam jangka waktu yang cukup lama.
Unsur kelelahan merupakan momok yang ditakuti guru selama
memberikan pelajaran di kelas. Pengajaran yang guru berikan menjadi kurang
bermakna, disebabkan anak didik melakukan sesuatu yang merugikan suasana
kelas.
Keadaan kelas yang pengap, padat, kurang pertukaran udara, sehingga
anak didik tidak dapat leluasa bernapas, menyebabkan kurangnya perhatian
anak didik terhadap bahan pelajaran yang diberikan oleh guru. Apalagi sejak
pagi hingga menjelang petang anak didik kurang gerak dan duduk berlama-
lama di kursi dengan istirahat yang sangat sedikit.
Lebih-lebih lagi keinginan anak didik untuk cepat-cepat pulang ke
rumah lebih besar daripada keinginan untuk menerima pelajaran dari guru.
6 Syaiful Bahri Djamarah, Guru dan Anak Didik dalam Interaksi Edukatif, h. 61.
Keadaan perut yang lapar di tengah hari sangat mendukung mengalihkan
perhatian anak didik pada makanan di tempat lain.
Betapa kompleksnya permasalah psikologis anak didik ini menambah
beban tugas guru menjadi lebih ekstra hati-hati. Perbedaan demi perbedaan
dalam masalah psikologis anak didik sebaiknya guru pahami sehingga dapat
dimanfaatkan untuk melakukan pendekatan yang akurat terhadap anak didik.
Pemahaman terhadap perbedaan psikologis anak didik merupakan strategi
yang ampuh untuk mendukung keberhasilan kegiatan interaksi edukatif.7
Istilah Al-Thalib selanjutnya banyak digunakan oleh para ahli
pendidikan Islam sejak zaman klasik sampai dengan zaman sekarang. Diantara
yang menggunakan istilah Al-Thalib adalah bukan kanak-kanak yang belum
berdiri sendiri, dan dapat mencari sesuatu, melainkan di tujukan kepada orang
yang memiliki keahlian, berpengetahuan, mencari jalan dan mendahulukan
sesuatu yang bermanfaat bagi dirinya.
Bahwasannya ia adalah seseorang yang telah mencapai usia dewasa dan
telah dapat bekerja dengan baik dengan menggunakan akal pikirannya. Ia
adalah seseorang yang sudah dapat dimintakan pertanggungjawaban dalam
melaksanakan kewajiban agama yang di bebankan kepadanya sebagai
fardu’ain.
7Syaiful Bahri Djamarah, Guru dan Anak Didik dalam Interaksi Edukatif; Suatu
Pendekatan Teoritis Psikologis, (Jakarta: Rineka Cipta, 2010), h. 31-61.
Seorang Al-Thalib adalah manusia yang telah memasuki kesanggupan
memilih jalan kehidupan, menemukan apa yang dinilainya baik, dan tidak pula
dibebankan kepadanya untuk berusaha dalam mendapatkan ilmu dan sungguh-
sungguh dalam mencarinya, sebagaimana yang demikian itu dapat ia nilai
sebagai yang buruk untuk ditinggalkan dan menyucikan dirinya.
Pendapat Al-Ghazali tersebut sejalan dengan pendapat Ibn Jama’ah
sebagaimana dikemukakan Dr. Abd. Al-Amir Syams Al-Din yaitu bahwa yang
dimaksud dengan Al-Thalib adalah orang yang telah mencapai tingkatan dalam
kecerdasan, dapat berpikir dengan baik dan berusaha sejalan dengan
kepribadian dan kecerdasannya dalam memilih jalan dalam mendapatkan ilmu
dan upaya-upaya untuk mencapainya. Semua ini dihubungkan dnegan upaya
pada setiap sesuatu yang diatur ke arah tercapainya tujuan dan keharusan, baik
yang bersifat fisik, pemikiran, kehidupan dan budi pekerti.
Istilah lainnya yang berhubungan dengan murid adalah Al-Muta’allim.
Kata ini berasal dari bahasa Arab, allama, yuallimu, ta’liman yang berarti
orang yang mencari ilmu pengetahuan. Itulah ini termasuk yang paling banyak
digunakan para ulama pendidikan dalam menjelaskan pengertian murid,
dibandingkan dengan istilah lainnya, seperti Burhanuddin Al-Zarnuji, Al-Iman
Muhyiddin Yahya bin Syaraf Al-Nawawi, Maulana Al-‘Alam Al-Hajar Al-
Husayn Amin Al-Mu’minin Al-Mansur bi Allah Al-Qasim bin Muhammad bin
Ali, Ibn Khaldun dan Ibn Al-Azraq, dan Muhammad Wathas.
Selanjutnya jika kita merujuk kepada Al-Qur’an dan Al-Hadits dapat
dijumpai tentang penggunaan kata Al-Muta’allim untuk arti pelajar atau orang
yang menuntut ilmu pengetahuan. Dalam Al-quran misalnya dijumpai kata
allama pada ayat 30 surat Al-Baqarah yang berbunyi:
������ �� � ����
��������☺���� ��� �� !"�#$
��% &'(�)*+ ,�./��0 1 1+234� #"5�6�7�8 �9:�� $�7
;<=>�.#? �9:�� @A�.B>�C��
�4D�7�ED+ ;$��FG��
;�HAI>K L�<M☺��NO
PQ�R<�K�� A� 1 �� 2��� ��
#S��M#�8 �7 TF �U3;☺��5 &XYZ
Kemudian pada ayat Al-‘Alaq ayat 5 juga dijelaskan tentang kata
‘Allama sebagai berikut:
0[���\ 0$�I>]^_+ �7 B[�
`a5�? &�Z
Pada kedua ayat tersebut Allah bertindak sebagai yang mengajar al-
(mu’allim) dan Nabi Adam berada dalam posisi sebagai yang belajar
(muta’allim). Allah bertindak sebagai pengajar atau pemberi ilmu, sedangkan
manusia berada pada posisi sebagai yang diberi pelajaran(al-muta’allim).
Selanjutnya jika dibandingkan dengan istilah-istilah yang mengacu
kepada pengertian murid sebagaimana disebut di atas, tampaklah bahwa
penggunaan kata Al-muta’allim jauh lebih banyak digunakan dibandingkan
dengan kata murid, tilmidz atau istilah lainnya.
Hal ini dapat dipahami mengingat kata Al-Muta’allim lebih bersifat
universal, yaitu mencakup semua orang yang menuntut ilmu pada semua
tingkatan, mulai dari tingkatan dasar sampai dengan tingkat pergutuan tinggi.
Dengan kata lain istilah Al-Muta’allim mencakup pengertian istilah murid,
tilmidz, mudarris, thalib dan sebagainya. Sedangkan istilah-istilah lainnya
bersifat spesifik dan terbatas.
G. Adab Murid Pada Pelajarannya Dan Berpedomannya Bersama Guru
Dan Perkawanannya
Kehidupan manusia pada umumnya mempunyai adab atau cara yang
terbaik untuk menerima pelajaran atau pembelajaran, dan juga pedoman dalam
menerima ilmu baik antara murid, guru, atau teman sekitarnya. Berikut adab
dan pedoman yang baik untuk dilakukan.
1. Bahwa murid memulai pelajarannya dengan ilmu yang fardhu ‘ain,
maka pertama dia harus menghasilkan 4 ilmu, pertama: ilmu zat yang
maha tinggi Allah (ilmu tauhid), dan cukuplah dia yakini bahwa zat
Allah ada, dahulu, kekal, suci dari kekurangan, bersifat dengan sifat
kemuliaan. Kedua: ilmu sifat Allah, dan cukuplah bahwa dia meyakini
bahwa zat Allah bersifat kuasa, berkehendak, tahu, hidup, mendengar,
melihat, dan berbicara. Dan jika dia menambahnya dengan dalil- dalil
dari Al-quran dan Sunnah maka itu kesempurnaan ilmu. Ketiga: ilmu
fiqih, dan cukuplah dengan membaikkan akan ketaatannya tentang
bersuci, shalat dan puasa. Dan jika dia memiliki harta wajib dia belajar
ilmu zakat. Dan janganlah dia maju (melaksanakan) suatu perkara
sampai dia mengetahui hukumnya. Keempat: ilmu ahwal, maqam,
bujukan-bujukan nafsu dan tipu dayanya dan apa yang mengalir pada
masalah itu. Dan sungguh Imam Ghazali sudah menyebutkannya di
kitabnya Bidayatul Hidayah. Dan Sayyid Abdullah dalam kitab
Sullamut Taufiq, semoga Allah merahmati keduanya.
2. Hendaknya dia setelah belajar ilmu yang fardhu ‘ain juga belajar kitab
Al-quran, dan membaikkannya dengan sebagus-bagusnya. Dan
bersungguh- sungguh dalam memahami tafsirnya dan semua ilmunya.
Karena dia adalah pokok ilmu, induknya ilmu, dan ilmu yang
terpenting. Kemudian dia menghafal dari setiap bidang ilmu akan kitab
ringkasan yang menghimpun di dalamnya dan hadits dan ilmu-ilmunya,
ushuluddin dan ushul fiqih, dan nahwu dan sharaf. Dan janganlah
menyibukkannya semua itu dari belajar Al-quran, menjaganya, dan
melaziminya sebagai wirid setiap hari. Dan supaya memelihara dari
lupanya setelah hafalnya. Dan sungguh telah datang hadits yang
melarangnya. Dan sibuk untuk menjelaskan hafalan-hafalan itu atas
guru- guru. Dan supaya memelihara dari berpegang pada hal itu atas
kitab- kitab pada permulaan. Tetapi hendaklah murid berpegang pada
setiap mata pelajaran dari guru yang paling bagus mengajarnya dan
paling banyak menegaskan. Dan murid memelihara (mengambil dan
mencontoh) pada guru akan agama ilmu, belas kasih dan kasih sayang.
Dan hendaklah dia menjadikan hafalan dan penjelasan apa yang
mungkin dan menguasai keadaannya tanpa kebosanan dan tidak taksir
untuk memperoleh hasil yang bagus.
3. Hendaklah murid memelihara pada permulaan perkaranya dari
berbimbang pada masalah ikhtilaf antara ulama dan antara manusia,
terutama pada ilmu yang berkaitan dengan akal, sam’iyyat, karena dia
membingungkan hati dan membingungkan akal, tetapi pertama-tama
hendaklah dia kokohkan satu kitab pada satu pak pelajaran, dan
beberapa kitab pada beberapa mata pelajaran jika dia kuat
menanggungnya atas satu jalan yang diridhoi oleh guru. Maka jika
jalan gurunya adalah nukilan beberapa mazhab dan ikhtilaf serta tidak
memiliki satu pendapat. Imam ghazali berkata: maka hendaklah dia
berhati-hati karena bahayanya lebih besar dari manfaatnya. Demikian
pula hendaknya dia berhati-hati pada awal menuntut ilmu dari
memuthalaahi kitab-kitab yang berbeda-beda, karena itu akan menyia-
nyiakan waktunya dan memecah hatinya, tetapi dia mengambil satu
kitab yang dibacanya atau satu pak pelajaran yang diambilnya sampai
kokoh/bagus. Demikian pula hendaklah dia berhati-hati dari berpindah
dari satu kitab ke kitab yang lain tanpa keperluan, karena itu ciri
kebosanan dan tidak bahagia. Dan adapun apabila sudah selesai dan
sudah kokoh pengetahuannya, maka lebih utama dia tinggalkan satu
pak dari ilmu syari’at kecuali dia pandang jika membantunya dan
panjang umur untuk memperdalamnya, dan jika tidak cukuplah dia
mengambil manfaat dari ilmu tersebut sekedar melepaskannya dari
lingkaran kebodohan dengan ilmu tersebut.
4. Hendaknya dia menshahihkan apa yang dibacanya sebelum
menghafalnya dengan tahshih yang bagus, baik melalui gurunya atau
orang lain yang mampu. Dan hendaklah dihafalnya dengan hafalan
yang kokoh. Kemudian dia mengulangi hafalannya dengan
pengulangan yang tetap dan tekun. Dan jangan menghapal sesuatu
sebelum mentahshihnya karena akan terjatuh pada
pembelokkan/perubahan. Dan sudah terdahulu penjelaskannya bahwa
ilmu tidak diambil dari kitab karena merupakan kerusakan yang paling
berbahaya. Dan seyogyanya dia menyediakan di sisinya tempat tinta,
polpen, dan pisau supaya dia memperbaiki dan membaguskan apa yang
ditahshihnya baik secara bahasa dan segi I'rab.
5. Hendaknya murid berpagi-pagi mendengar ilmu terlebih lagi hadits,
jangan meremehkan untuk sibuk dengannya, dengan ilmu-ilmunya, dan
memandang pada sanad- sanadnya, hukum-hukumnya, manfaat-
manfaatnya, bahasanya dan sejarahnya. Dan bersungguh-sungguh
pertama-tama dengan Shahih Al- Bukhari dan Muslim, kemudian sisa
kitab-kitab pokok yang mu'tamad pada hal ini, seperti Muwatha’ Imam
malik, Sunan Abi Daud, An-Nasa, Ibnu Majah, dan Jami' At-Tirmidzi.
Dan tidak seyogyanya dia meringkas yang lebih sedikit dari itu. Dan
sebaik-baik penolong bagi Ahli fiqih adalah kitab Sunan Al-Kubra
karangan Abu Bala Al-Baihaqy. Karena sesungguhnya hadits adalah
salah satu sayap ilmu syariat, dan penerang bagi sayap yang lain adalah
Al-quran. Imam kita As- Syafi’i ra. Berkata: “Barangsiapa berfikir
dalam hadits maka hujjahnya kuat”.
6. Apabila dia sudah menjelaskan hafalan-hafalannya yang diringkas, dan
sudah kuat di dalamnya dari perkara-perkara yang sukar dan manfaat-
manfaat yang penting, maka dia harus pindah mencari kitab-kitab yang
luas dengan selalu muthala'ah dan selalu berta’alluq dengan yang telah
dia lalui atau yang telah didengamya berupa manfaat-manfaat yang
indah dan masalah-masalah yang lembut dan cabang-cabang yang jauh
dan menguraikan/membuka perkara-perkara yang sukar dan
membedakan dari hukum-hukum yang mutasyabih/mirip dari semua
macam ilmu. Dan hendaklah cita-citanya dalam menuntut ilmu itu
luhur, tidaklah cukup dengan sedikit ilmu sedangkan memungkinkan
untuk menuntut lebih. Dan tidak diterima dari mewarisi para nabi
dengan mudah. Jangan melambatkan memperoleh faedah ilmu jika
mungkin cepat. Karena pada lambat itu ada kebinasaan. Karena apabila
dia memperolehnya pada waktu sekarang maka pada waktu yang lain
dia akan memperoleh yang lain. Dan hendaknya dia menggunakan
waktu luangnya, rajinnya, dan waktu sehatnya dan waktu mudanya
sebelum datang perkara-perkara yang mencegah. Dan hindarilah
memandang diri dengan pandangan sempuma dan merasa cukup (kaya)
dari guru, karena hal itu adalah bodoh dan dungu. Pemimpin Tabi’in
Sa’id bin Jubat ra. Berkata: “Seorang laki- laki senantiasa ‘alim selama
mau belajar, jika dia meninggalkan belajar dan menyangka sudah kaya
(cukup) maka dia lebih bodoh.
7. Hendaknya murid melazimi halaqah gurunya pada pelajaran dan
membaca jika mungkin. Karena hal itu akan menambah kebaikan,
hasil, adab, dan keutamaan. Dan bersungguh-sungguh untuk selalu
membantunya, karena hal itu akan menghasilkan kemuliaan,
kehormatan, dan janganlah terbatas di dalam halaqah hanya mendengar
pelajaran saja, tetapi hendaknya dia bermaksud dengan semua pelajaran
yang dijelaskan secara bagus dan ta’alluq jika pikirannya kuat
menanggungnya dan mengikuti kawan-kawannya sehingga seperti
setiap pelajaran baginya. Maka jika dia lemah. Dari menetapkan
semuanya maka perhatikanlah yang paling penting. Dan seyogyanya
dia bermudzakarah dengan para santri yang belajar di majlis guru dari
faedah-faedah dan ketetapan-ketetapan dan aturan-aturan dan lain-lain,
dan mengulang-ngulang perkataan guru diantara mereka, karena
mudzakarah memiliki manfaat yang besar. Khatib Al-Baghdadi
berkata: “seutama-utama mudzakarah adalah mudzakarah waktu
malam hari. Dan sungguh jama’ah salaf memulai mudzakarah dari isya
dan mungkin tidak berdiri/pulang sampai sampai mendengar azan
subuh. Maka jika dia tidak mendapati orang yang bermudzakarah,
maka dia bermudzakarah sendiri, dan mengulangi makna apa yang
didengarnya dan lafalnya di dalam hatinya supaya melekat pada
hatinya, karena mengulangi makna atas hati seperti mengulangi lafaz
atas lisan. Dan sedikit keberuntungan orang yang sedikit bertafakkur
dan berfikir di Hadrah guru khususnya kemudian meninggalkannya dan
berdiri dan tidak mengulanginya.
8. Apabila dia hadir ke majlis guru dia memberi salam kepada hadirin
dengan suara yang didengar oleh mereka dengan pendengaran yang
nyata dan mengkhususkan kepada guru dengan menambah
penghormatan dan memuliakan. Demikian pula apabila bubar/pulang,
dan apabila dia memberi salam. Maka janganlah melangkahi leher para
hadirin untuk mendekati guru, tetapi hendaknya dia duduk dimana
sampai majlis, kecuali mengatakan kepadanya oleh guru dan para
hadirin untuk maju dan melangkah atau mengetahui keadaan mereka
karena menghormati maka tidak mengapa. Maka jangan mendirikan
seseorang dari majlisnya atau menyelundup masuk karena ada maksud.
Maka jika memuliakannya yang bukan dari majlisnya jangan diterima,
kecuali pada hal itu ada maslahah yang diketahui kaum dan bermanfaat
dari membahasnya/mencarinya bersama guru tatkala dekatnya atau
keadaannya tua umurnya atau banyak keutamaannya atau kebaikannya.
Dan jangan duduk ditengah halaqah dan jangan dimuka seseorang
kecuali darurat, jangan duduk diantara 2 sahabat jangan diatas orang
yang lebih utama. Dan berkumpul kawan-kawan pada satu pelajaran
atau beberapa pelajaran pada arah yang satu supaya perkataan guru
kepada mereka semua tatkala menjelaskan.
9. Hendaknya murid tidak malu bertanya apa yang sulit baginya, dan
pemahaman yang belum dia mengerti dengan lembut dan bagus
perkataan dan beradab tatkala bertanya. Dan sungguh telah dikatakan
barangsiapa tipis wajahnya dari bertanya maka Nampak kekurangannya
disisi perkumpulan orang-orang. Mujahid Ra. Berkata: Tidak/jangan
belajar ilmu orang yang pemalu dan orang yang takabbur. Aisyah ra.
Berkata: “Allah merahmati perempuan-perempuan anshar yang tidak
malu bertanya pada masalah agama. Ummu Sulaim bertanya kepada
Rasulullah Saw.: Sesungguhnya Allah tidak malu dari hak/kebenaran,
apakah perempuan mandi apabila ihtilam? Dan jangan bertanya sesuatu
pada yang bukan tempatnya kecuali ada hajat, atau tahu melebihkan
guru akan hal/pertanyaan itu. Dan apabila guru diam tidak menjawab
jangan memaksanya. Dan apabila salah menjawab maka jangan
menolak pada saat itu. Dan sebagaimana seyogyanya bagi murid tidak
malu bertanya, demikian pula murid tidak malu berkata “tidak paham”,
apabila guru menanyanya, apakah kamusudah paham? sedangkan dia
tidak paham.
10. Hendaknya murid menjaga gilirannya, maka jangan mendahului tanpa
ridho orang lain. Diriwiyatkan bahwa seorang amhari mendatangi
Rasulullah Saw. seraya bertanya, dan datang setelahnya seorang laki-
laki dari Bani Tsaqif menanyanya, maka nabi Saw. berkata: “Wahai
saudara dari Bani Tsaqif sesungguhnya si Anshari sudah mendahului
kamu untuk bertanya, maka duduklah supaya kami memulai hajat
anshari sebelum hajatmu. Imam khatib berkata disunahkan bagi yang
berdahulu mendahulukan orang asing supaya menghormatinya.
Demikian pula apabila yang terkemudian ada hajat yang mendesak dan
yang terdahulu mengetahuinya maka dia mengutamakannya. Atau guru
mengisyaratkan untuk mendahulukannya karena suatu kemaslahatan
yang diketahuinya maka sunat mengutamakannya. Dan hasil dengan
giliran yang terdahulu dengan terdahulu hadir di majelis guru atau di
tempatnya. Dan tidak hilang haknya dengan pergi atau dengan
kesulitan yang menimpanya seperti qada’ hajat atau memperbaharui
wudhu’ apabila dia kembali sesudahnya. Dan apabila berdahulu 2
orang dan berebutan keduanya maka harus berundi keduanya, atau guru
mendahulukan salah satunya jika salah satunya lebih unggul.
11. Hendaknya dia duduk di hadapan guru, dan tingkah lakunya beradab
terhadap guru, dan dia membawa kitab yang dibaca guru dan
membawanya sendiri, dan jangan meletakkannya di lantai tatkala
dibaca terbuka, tetapi dibawanya dengan tangannya, dan jangan
membacanya kecuali setelah izin guru, dan jangan membaca tatkala
hati guru sibuk atau bosan atau marah atau lagi berduka. Maka jika
guru mengizinkannya dia berlindung dari syetan yang kejam, kemudian
membaca Bismillah dan Alhamdulillah, dan shalawat atas nabi Saw.
Dan keluarga dan sahabatnya. Kemudian berdoa untuk guru, untuk
kedua orang tuanya, untuk guru-gurunya, untuk dirinya dan seluruh
muslimin. Dan memohon rahmat bagi pengarang kitab tatkala
membacanya. Dan apabila murid berdo’a untuk gurunya hendaknya dia
katakan semoga Allah meridhoi kalian atau dari guru kami atau dari
imam kami atau seperti itu, dan apabila selesai dari pelajaran dia juga
mendoakan gurunya. Maka jika murid meninggalkan pembukaan
seperti yang telah disebutkan karena jahil atau lupa, hendaknya
diingatkan dan diajari karena hal ini merupakan adab yang terpenting.
12. Hendaknya dia tetap pada I kitab sampai tidak ada yang ketinggalan.
Dan atas 1 sampai tidak sibuk dengan pak yang lain sebelum kuat yang
pertama, dan atas 1 Negara sampai tidak pindah ke Negara yang lain
kecuali darurat, karena hal itu memecahkan urusan dan menyibukkan
hati dan menyia- nyiakan waktu. Dan hendaknya dia tawakkal jangan
memperhatikan perkara rezeki dan jangan bimbang. Jangan menentang
seseorang dan jangan memusuhinya, karena hal itu menyia-nyiakan
waktu, mewarisi dendam, hasad, dan kebencian, dan hendaknya dia
menjauhi majelis yang banyak ngomong dan ahli kerusakan, maksiat
dan bathil, karena majelis itu sangat mempengaruhi. Dan hendaknya
dia duduk menghadap kiblat, melaksanakan sunnah Rasulullah Saw.,
menggunakan ajakan ahli kebaikan, berhati-hati dari ajakan orang yang
zhalim dan ghibah, banyak melaksanakan shalat, dan shalat dengan
khusyu.
13. Hendaknya guru menggemarkan murid-murid untuk memperoleh ilmu,
dan mengganti mereka dari tempat sangkaan kesibukan dan faedah, dan
mengubah mereka dari kesusahan yang menyibukkan, dan
meringankan keluhan mereka, dan mengingatkan mereka apa yang
bermanfaat dari aturan- aturan dan perkara-perkara yang pelik atas
jihat, nasehat, dan mudzakarah, karena hal itu akan menyinari hati
mereka,dan memberi berkat pada ilmunya dan memperbesar pahalanya,
dan barangsiapa bakhil terhadap hal itu maka tidak tetap bersamanya,
dan jika tetap tidak akan berbuah, dan sungguh telah mencoba/meneliti
hal itu jama’ah salaf, dan jangan bermegah-megahan atas mereka atau
takjub dengan bagus akalnya, tetapi hendaknya dia memuji Allah dan
memohon tambahan kepada Allah dengan ketetapan bersyukumya, dan
memuliakan mereka dengan menebarkan salam dan menampakkan
kasih dan penghormatan, dan hendaknya mereka menjaga hak
persahabatan, dan persaudaraan dalam agama dan pekerjaan, karena
mereka adalah ahli ilmu dan pembawanya dan para penuntutnya, dan
melupakan kekurangan mereka dan memaafkan kekeliruan mereka dan
menutupi aib mereka dan menyukuri kebaikan mereka dan memaafkan
kesalahan mereka.
H. Adab Guru Pada Dirinya
Dalam duni pendidikan, baik dulu hingga sekarang memanglah
memiliki adab yang sangat baik untuk diterapkan dalam member atau
menerima pelajaran. Di bawah ini dijelaskan bagaimana adab guru pada diri
sendiri.
1. Guru harus selalu muraqabah/mengintai-ngintai pada Allah Ta'ala baik
tatkala sunyi maupun bersama orang banyak.
2. Guru harus selalu takut kepada Allah Ta’ala pada semua gerak dan
diamnya, perkataan dan perbuatannya, karena dia adalah orang yang
dipercaya untuk dititipi ilmu-ilmu, hikmah dan khasyyah (takut pada
Allah), dan guru harus meninggalkan khianat, dan sungguh Allah
Ta'ala berfirman: “Janganlah kalian mengkhianati Allah Swt. dan
Rasul-Nya dan janganlah kalian mengkhianati amanah-amanah
sedangkan kalian mengetahui.
3. Guru harus selalu tenang.
4. Guru harus selalu wara' (memelihara diri dari yang haram dan yang
subhat).
5. Guru harus selalu tawadhu’.
6. Guru harus selalu khusyu kepada Allah Ta’ala. Sebagaimana Malik ra.
Menulis kepada khalifah Harun Ar-Rasyid apabila kamu mengetahui
suatu ilmu, maka dilihatkan atas kamu oleh pengaruhnya dan
kehebatan/wibawanya, ketenangannya dan kesantunannya,
sebagaimana sabda Rasul Saw.: “ulama adalah pewaris para nabi”, dan
umar ra. Berkata belajarlah ilmu dan belajarlah ketenangan dan
wibawanya, dan sebagian ulama salaf berkata: “hak atas orang alim
tawadhu' kepada Allah tatkala sendiri maupun bersama orang lain, dan
menjaga dirinya, dan berhenti terhadap sesuatu yang menyulitkannya.
7. Guru harus selalu percaya/ menyerahkan segala perkaranya atas Allah
Ta’ala.
8. Guru jangan menjadikan ilmunya sebagai perantara untuk memperoleh
tujuan-tujuan dunia berupa pangkat, harta, sum'ah, kemasyhuran, atau
lebih hebat dari kawan-kawan.
9. Guru jangan mengagungkan anak-anak pejabat dengan berjalan kepada
mereka, dan berdiri untuk mereka kecuali jika hal itu ada kebaikan
yang dapat memperbaiki kerusakan. Apalagi guru pergi dengan
ilmunya ke tempat orang yang belajar kepadanya jika sang guru agung
kedudukannya. Bahkan dia harus menjaga ilmunya. Sebagaimana
menjaganya oleh salafusshalih/ ulama dahulu, dan berita-berita mereka
yang masyhur bersama khalifah-khalifah selain mereka sebagaimana
diriwiyatkan dari Malik Bin Anas (Imam Malik) berkata: “Saya masuk
kepada Harun Ar-Rasyid, maka beliau berkata kepadaku: “Wahai Abu
Abdullah seyogyanya engkau menyalahi kami (mengabulkan hajat
kami) sampai mendengar anak-anak kami akan muwatha', Imam Malik
menjawab: Semoga Allah memuliakan Amirul mukminin,
sesungguhnya ilmu ini dari kalian sudah keluar, jika kalian
memuliakannya (ilmu) maka kalian akan mulia, dan jika kalian
menghinakannya maka kalian akan hina, dan ilmu itu didatangi bukan
mendatangi, maka Harun Ar-Rasyid berkata: “Engkau benar, keluarlah
kalian ke mesjid sampai kalian mendengarnya bersama manusia”. Az-
Zuhri berkata: “Hinanya ilmu dengan bahwa si guru membawanya ke
rumah murid, maka jika kamu berkata jika darurat atau ada
kemaslahatan yang akan mengalahkan kerusakan maka tidak apa-apa”.
“Barangsiapa mengagungkan ilmu maka akan diagungkan Allah dan
barangsiapa menghinakannya maka akan dihinakan Allah. Wahab bin
Munabbih berkata: “Dahulu ulama-ulama sebelum kami kaya dengan
ilmu mereka dari dunia selain mereka karena senang terhadap ilmu
mereka, sekarang ahli ilmu melakukan/menyerahkan kepada ahli dunia
akan ilmu mereka karena senang terhadap dunia mereka, maka jadilah
Ahli dunia sungguh tidak suka terhadap ilmu mereka tatkala mereka
melihat buruknya tempat ilmu disisi ulama tersebut”.
10. Guru harus berakhlak zuhud terhadap dunia dan menyedikitkannya,
dengan kadar kemampuannya yang tidak menyulitkan dirinya,
keluarganya, atau yang sedang dari qana’ah, dan paling sedikit derajat
‘alim bahwa dia mengatakan kotor bergantung dengan dunia karena dia
paling tahu dengan keburukannya, fitnahnya, cepatnya tergelincir, dan
banyak payahnya. Dia lebih berhak dengan tidak menoleh terhadap
dunia dan sibuk dengan masalah-masalahnya. Diriwiyatkan dari Nabi
Saw.: “Mulia orang yang qana’ah dan hina orang yang tamak. Dari
Imam As-Syafi’i berkata: “Jikalau aku menasehati akal manusia supaya
diubah kepada ahli zuhud, maka tidaklah aku menjadi ulama yang
bertambah akal dan sempurna. Yahya Bin Mu'adz berkata: “Seandainya
dunia merupakan emas murni yang akan rusak sedangkan akherat
merupakan keramik yang kekal, niscaya seyogyanya orang berakal
akan memilih keramik yang kekal daripada emas murni, maka
bagaimana kalau dunia merupakan keramik yang akan rusak dan
akhirat merupakan emas murni yang abadi. Dan sudah nyata bagi orang
yang mengetahui bahwa harta ditinggalkan untuk ahli waris. Dan
dikehendaki dengan perkataan ini bahwa zuhudnya lebih kuat dari
gemarnya dan meninggalkannya (dunia) lebih banyak dari
menuntutnya.
11. Guru harus menjauh dari mendekati pekerjaan-pekerjaan yang
rendah/hina, dari makruhnya secara ‘adat dan syariat, seperti bekam,
menyamak kulit, pertukaran uang dan pekerjaan tukang emas.
12. Guru harus menjauhi tempat-tempat maksiat, jangan melakukan
sesuatu yang mengandung kekurangan muruah/kesopanan dan
kemungkaran secara zhahir, walaupun secara bathin boleh. Karena dia
harus memalingkan dirinya dari tempat maksiat dan fitnah yang akan
terjadi pada orang-orang dengan prasangka-prasangka yang dibenci dan
dosa fitnah tersebut. Maka jika dia melakukannya karena ada keperluan
maka dia harus memberitahu orang yang menyaksikannya akan
hukumnya dan udzurnya serta maksudnya. Supaya dia tidak berdosa
dengan sebabnya atau lari darinya, karena tidaklah bermanfaat ilmunya
dan supaya memberi tahunya. Sebagaimana nabi Saw. berkata kepada 2
orang laki-laki yang melihatnya berbicara bersama Shafiyah, kemudian
keduanya melewati dengan perlahan-lahan bahwa dia Shafiyah binti
Huyay, kemudian nabi berkata: “Sesungguhnya syetan
mengalir/berjalan di tubuh anak adam di tempat mengalimya darah,
maka aku takut dia melemparkan sesuatu di hati kalian berdua yang
akan membinasakan kalian.
13. Guru harus menjaga tegaknya syiar-syiar Islam dan nampaknya
hukum- hukum Islam seperti shalat di mesjid dengan berjamaah,
memasyhurkan salam kepada orang yang khusus dan umum, amar
ma’ruf nahi munkar dengan bersabar terhadap disakiti orang,
menerangkan kebenaran kepada para pembesar dengan menyerahkan
dirinya kepada Allah Ta'ala dan tidak takut terhadap celaan orang yang
mencela, sambil mengingat firman Allah Ta'ala “Dan bersabarlah
terhadap musibah yang menimpamu, sesungguhnya itu merupakan
perkara yang kokoh”. Rasulullah Saw. dan para nabi yang lain dahulu
pun juga bersabar terhadap celaan. Dan tidaklah mereka protes kepada
Allah Ta’ala dari ingkarnya para pengikut mereka terhadap mereka
seperti kisah nabi Adam dengan anaknya, nabi Musa dengan kaumnya,
Nuh, Hud, dan Shaleh dengan kaum mereka, Ibrahim bersama
Namrudz dan ayahnya, Ya’qub bersama anaknya, Yusuf bersama
saudara-saudaranya, Ayyub yang dibala/diuji, musa bersama Bani Israil
setelah selamat dari laut, Isa bersama teman-temannya yang meminta
hidangan dari langit, Nabi Muhammad Saw. bersama kaumnya,
kemudian bersama sahabat-sahabatnya di Hudaibiyah dan hari
pembagian rampasan perang, sampai beliau berkata: “Semoga Allah
merahmati saudaraku Musa yang sungguh dicoba lebih dari ini maka
dia bersabar, kemudian apa yang terjadi pada Abu bakar ra. setelah
wafatnya Nabi Saw. bersama para sahabat, kemudian bersama para
murtad, kemudian apa yang terjadi dengan sahabat ra dari keras dan
kasarnya manusia atas banyaknya perbedaan maksud, kemudian para
tabi’in dan tabi’it tabi’in sampai sekarang yang memiliki teladan yang
baik.
14. Guru harus menegakkan dengan menampakkan sunnah-sunnah nabi
dan mematikan bid’ah, dan menampakkan perkara-perkara agama yang
mengandung kemaslahatan bagi kaum muslimin atas jalan yang baik
secara syara' yang lembut secara adat dan watak, dan tidak ridha
melakukan secara zhahir dan bathin terhadap sesuatu yang
mubah/boleh, tetapi dia harus mengambil yang paling bagus dan
sempurna, karena ulama adalah panutan dan sumber/ambilan huhum-
hukum. Mereka adalah hujjah Allah atas orang- orang ‘awam/bodoh,
dan sungguh mengintai/mengintip mereka oleh orang yang mengambil
dari mereka sekalipun mereka tidak melihat, dan menganut mereka
oleh orang-orang yang tidak tahu, maka apabila tidak bermanfaat oleh
orang 'alim dengan ilmunya maka selainnya lebih jauh dari manfaat,
dan oleh sebab itulah sangat besar ketergelinciran/kekeliruan orang'
alim tatkala tersusun kerusakan-kerusakan darinya karena dia diikut
orang.
15. Guru harus menjaga sunnah-sunnah syari’at baik perkataan maupun
perbuatan, hendaknya dia melazimi membaca Al-quran dan dzikrullah
dengan hati dan lisan, juga membaca doa-doa dan dzikir-dzkir pada
malam dan siang dari shalat dan puasa, berhaji jika dia mampu,
bershalawat atas Nabi Saw., mencintainya, mengagungkannya, dan
beradab tatkala mendengar namanya dan disebut sunnah-sunnahnya.
16. Guru harus bergaul dengan manusia dengan semulia-mulia akhlak
dengan manis muka, menebarkan salam, memberi makan, menahan
marah, menahan hinaan manusia dan menanggungnya, mengutamakan
orang lain dan tidak minta diutamakan, melayani dan tidak minta
dilayani, mensyukuri kelebihan, menciptakan ketenangan dan bersegera
memenuhi hajat orang, mencurahkan pangkat untuk menolong, lembut
terhadap orang faqir, mencintai tetangga, kerabat, kawan, lembut
kepada murid, menolong mereka dan berbuat baik pada mereka. Dan
apabila dia melihat orang yang tidak sempurna shalatnya, thaharahnya
atau sesuatu dari yang wajib, maka dia menunjukinya dengan lembut,
ramah sebagaimana Nabi Saw., dengan orang Arab badui yang kencing
di mesjid, dan bersama Mu'awiyah bin Hakam ketika bicara dalam
shalat.
17. Guru harus menyucikan bathin kemudian zhahimya dari akhlak yang
hina, dan memperbaikinya dengan akhlak yang diridhai, maka di antara
akhlak- akhlak yang hina adalah berkhianat, dengki, zhalim, marah
bukan karena Allah, menipu, sombong, riya, 'ujub, sum'ah, bakhil,
angkuh, tamak, berprasangka buruk dan berlomba-lomba dalam dunia,
bermegah-megah, menipu, berhias karena manusia, suka dipuji dengan
sesuatu yang tidak dia lakukan, buta terhadap aib dirinya, sibuk dengan
aib makhluk, bringas, fanatik bukan karena Allah, ghibah, adu domba,
memfitnah, dusta, cabul dalam perkataan, dan menghina manusia.
Maka jauhilah/hindarilah sifat- sifat jahat ini dan akhlak yang hina ini,
karena dia pintu setiap kejahatan, bahkan dia jahat seluruhnya. Dan
sungguh dicoba sebagian jiwa yang kotor dari para ahli fuqaha pada
zaman sekarang dan ulamanya dengan banyaknya sifat ini kecuali
orang yang dipelihara Allah. Khususnya dengki, ‘ujub, riya', dan
takabbur. Dan obat penyakit-penyakit hati ini dijabarkan di dalam
kitab- kitab yang lembut/halus, maka barangsiapa ingin menyucikan
dirinya dari sifat- sifat tersebut maka hendaklah mempelajari kitab
tersebut, maka yang paling bermanfaat dan paling halus dari kitab
tersebut adalah kitab Bidayatul Hidayah karangan Imam Al-Ghazali
Rahimahullah Ta’ala, dan di antara obat hasad, dengki adalah
memikirkan bahwasanya dia melawan Allah Ta’ala pada hukum yang
sudah diputuskannya dengan mengkhususkan orang yang
dimahsud/yang dia dengki dengan nikmat, karena hal itu hanya
membuat hatinya payah dan tersiksa. Dan diantara obat 'ujub/bangga
adalah mengingat- ingat bahwa ilmunya, kepahamannya, bagusnya
akalnya, kepasihannya, dan lainnya adalah karunia Allah Ta’ala dan
amanah kepadanya supaya benar dijaga, dan sesungguhnya Allah
Ta'ala mampu mencabutnya dengan sekejap mata. Dan di antara obat
riya adalah memikirkan bahwa semua makhluk tidak mampu
memberikan manfaat terhadap apa yang belum ditakdirkan Allah
untuknya, dan tidak dapat memberi mudarat bila Allah tidak
menakdirkannya, maka dengan akan sia-sia amalnya dan
memudharatkan agamanya dengan menyibukkan dirinya dengan
memperhatikan orang yang yang sebenarnya tidak mampu memberi
manfaat dan mudharat, sedangkan Allah memandang mereka akan
niatnya dan jeleknya hatinya sebagaimana telah benar dalam hadits
“Barangsiapa memperdengarkan maka Allah akan
memperdengarkannya dan barangsiapa ria maka ‘Allah akan
memperlihatkannya. Dan di antara obat menghina manusia adalah
memikirkan firman Allah Janganlah suatu kaum menghina kaum yang
lain karena boleh jadi yang dihina lebih baik dari yang menghina” dan
firman Allah Ta'ala "sesungguhnya kami telah menciptakan kalian dari
laki- laki dan perempuan sampai pada firman-Nya sesungguhnya yang
paling mulia di antara kalian adalah yang paling takwa” dan firman-
Nya “Janganlah kalian memuji diri kalian karena Dia lebih tahu dengan
orang yang paling takwa, maka barangkali yang dihina hatinya lebih
bersih di sisi Allah dan lebih bersih amalnya dan lebih ikhlas niatnya,
sebagaimana dikatakan: “Janganlah kamu menghina di alam ini akan
orang yang paling sedikit/miskin maka barangkali yang dihina lebih
agung. Dan dikatakan sesungguhnya Allah menyembunyikan 3 perkara
dalam 3 perkara, wali/kekasih-Nya di antara hamba-Nya, ridho-Nya di
dalam ketaatan kepada-Nya, dan murka-Nya di dalam maksiat kepada-
Nya. Dan di antara akhlak yang diridhai adalah memperbanyak taubat,
ikhlas, yakin, takwa, sabar, ridha, qana'ah, zuhud, tawakkal, pasrah
pada Allah, baik hati, baik sangka, baik akhlak, berpikir bagus, syukur,
kasihan pada makhluk Allah, malu kepada Allah, dan kepada manusia,
khauf/takut, raja', cinta pada Allah yang merupakan pekerti yang
menghimpun semua sifat yang baik, dan hanya akan nampak dengan
mengikut Nabi Saw. sebagaimana firman Allah “Katakanlah jika kalian
mencintai Allah maka ikutilah aku niscaya Allah akan mencintai kalian
dan mengampuni dosa- dosa kalian.”
18. Guru harus selalu loba/tamak menambah ilmu. Dan mengamalkannya
dengan tekun dan rajin dan konsisten atas wirid ibadah, membaca,
muthala'ah, mudzakarah, menghapal dan membahas. Dan jangan
menyia-nyiakan umurnya dengan berpaling dari ilmu dan amal, kecuali
yang tidak bisa dia tinggalkan seperti makan, minum, tidur, istirahat,
menunaikan hak istri, berziarah, mencari nafkah, dan lainnya. Dan
sebagian ulama tidak meninggalkan pelajaran sebab datang penyakit
yang ringan, bahkan mereka minta kesembuhan dengan ilmu, dan sibuk
dengan ilmu. Dan sungguh Nabi Saw. bersabda “Hanya saja amal itu
tergantung niatnya, karena derajat ilmu adalah derajat pewaris para
nabi, dan tidak diperoleh derajat yang tinggi kecuali dengan kepayahan
diri. Dan pada shahih muslim dari Yahya bin Katsir berkata Nabi Saw.
“Tidak didapat ilmu dengan enaknya badan. Dan pada hadits “dikepung
surga dengan hal-hal yang dibenci nafsu”, dikatakan dalam sebuah
syair:
# kalian mengharapkan mendapat keluhuran dengan
murah
#Maka tidak boleh tidak untuk memperoleh madu harus
merasakan sengatan lebah.
Imam As-Syafi'i ra. berkata: “Merupakan kewaiiban atas ahli
ilmu mencurahkan semua kepayahannya untuk memperbanyak
ilmunya, dan sabar terhadap semua penghalang, ikhlas niat kepada
Allah dalam menemui ilmu secara nash dan istimbath, gemar kepada
Allah Ta'ala dalam menolongnya. Dan sungguh Nabi Saw., bersabda:
“Cobalah terhadap apa yang bermanfaat bagimu dan minta tolonglah
pada Allah Ta’ala.”
19. Guru jangan merasa cukup mengambil faedah ilmu yang belum
diketahuinya dariorang yang dibawahnya dari segi pangkat, nasab, atau
umur, tetapi hendaknya dia loba kepada ilmu dimana pun dia peroleh,
karena sesungguhnya hikmah/ilmu yang bermanfaat adalah petunjuk
bagi mukmin dimanapun dia dapati. Sa'id bin jubair berkata: “Seorang
laki-laki senantiasa 'alim selama belajar ilmu, maka jika dia
meninggalkan belajar dan menyangka sudah kaya dan cukup dengan
apa yang dimiliki maka dia itu bodoh. Sebagian orang Arab bersyair:
# Tidaklah seseorang dikatakan buta selama selalu bertanya,
dan hanya sanya
# sempurna buta jika selalu diam terhadap kejahilannya.
Dan adalah jama'ah ulama salaf mendapat faedah dari murid-
murid mereka atas sesuatu yang tidak mereka miliki, dan telah sahih
riwayat jama'ah sahabat dari para tabi'in, dan telah menyampaikan dari
hal itu oleh qiraat Nabi Saw. atas Ubay bin Ka'ab ra, dan berkata: telah
menyuruh kepadaku oleh Allah supaya aku bacakan kepadamu
“lamyakunilladziinakafaruu”. Dan berkata ulama: “Di antara faedah
bahwa tidak menghalangi orang yang utama mengambil ilmu dari
orang yang diutamai. Humaidi (murid Imam Syafi’i) berkata: “Saya
menemani Imam As-Syafi’i dari Mekkah ke Mesir, maka saya
mendapat faedah darinya akan beberapa masalah dan beliau mendapat
faedah hadits dari saya. Dan berkata Ahmad bin Hambal: “As-Syafi’i
berkata kepada kami, kalian lebih tahu dengan hadits dari pada aku,
maka apabila shahih hadits di sisi kalian, maka katakanlah kepada kami
sampai kami mengambilnya.”
20. Guru harus sibuk mengarang, mengumpulkan, dan menyusun kitab jika
dia ahli, karena dia mengetahui hakikat-hakikat bidang ilmu dan
kehalusan ilmu, dengan memerlukan banyak memeriksa, muthalaah
dan mengulangi. Sebagaimana Khatib Al-Baghdadi berkata:
“Tetapkanlah hafalan, bersihkan hati, asah lah akal, jelaskan
keterangan, baguskan sebutan, agungkan ganjaran, kekalkan sampai
akhir masa. Dan lebih utama dia bermaksud dengan ilmu yang
manfaatnya umum dan banyak diperlukan orang. Dan meninggalkan
kita/ilmu yang membosankan dan melewatkan yang merusak dengan
mendatangkan karangan-karangan yang lebih bagus/patut. Dan jangan
mengeluarkan karangannya sebelum mensucikan akhlaknya dan
mengulang melihatnya dan menyusunnya. Dan di antara manusia ada
yang mengingkari karangan dan susunan kitab pada zaman ini atas
orang yang nampak keahliannya dan dikenal pengetahuannya. Dan
tidak ada jalan dengan keingkaran ini kecuali jujur atas ahli zamannya
dan jika tidak maka barangsiapa melakukan daya upaya pada tintanya
dan kertasnya dengan menulis apa yang dia kehendaki dari syair- syair
atau hikayat-hikayat yang mubah atau lainnya tidak diingkari atasnya.
Maka apabila melakukan daya upaya dengan menulis apa yang
bermanfaat dari ilmu-ilmu syari’at dan alat-alatnya maka lebih utama
jangan di ingkari. Adapun orang yang tidak ahli dalam mengarang
maka mengingkarinya diarahkan dalam kandungannya yang keliru dan
tertipunya orang yang membaca karangan tersebut, dan karena
keadaannya yang menyia-nyiakan waktunya terhadap yang tidak
dikokohinya dan meninggalkan meyakini yang lebih patut untuknya.
I. Kepribadian Guru
Setiap guru mempunyai pribadi masing-masing sesuai ciri-ciri pribadi
yang mereka miliki. Ciri-ciri inilah yang membedakan seorang guru dari guru
lainnya. kepribadian sebenarnya adalah suatu masalah yang abstrak, hanya
dapat dilihat lewat penampilan, tindakan, ucapan, cara berpakaian, dan dalam
menghadapi setiap persoalan.
Prof. Dr. Zakiah Daradjat8 mengatakan kepribadian yang sesungguhnya
adalah abstrak (ma’nawi), syukur dilihat atau diketahui secara nyata, yang
dapat diketahui adalah penampilan atau bekasnya dalam segala segi dan aspek
kehidupan. Misalnya dalam tindakannya, ucapan, cara bergaul, berpakaian dan
dalam menghadapi setiap persoalan atau masalah, baik yang ringan maupun
yang berat.
Kepribadian adalah keseluruhan dari individu yang terdiri dari unsur
psikis dan fisik. Dalam makna demikian, seluruh sikap dan perbuatan
seseorang merupakan suatu gambaran dari kepribadian orang itu asal dilakukan
secara sadar. Dan perbuatan yang baik sering dikatakan bahwa seseorang itu
mempunyai kepribadian yang baik atau berakhlak mulia.
Sebaliknya, bila seorang melakukan suatu sikap dan perbuatan yang
tidak baik menurut pandangan masyarakat maka dikatakan bahwa orang itu
tidak mempunyai kepribadian yang baik atau mempunyai akhlak yang tidak
mulia. Oleh karena itu, masalah kepribadian adalah suatu hal yang sangat
8Syaiful Bahri Djamarah, Guru dan Anak Didik dalam Interaksi Edukatif, h. 39.
menentukan tinggi rendahnya kewibawaan seorang guru dalam pandangan
anak didik atau masyarakat.
Dengan kata lain, baik tidaknya citra seseorang ditentukan oleh
kepribadian. Lebih lagi bagi seorang guru, masalah kepribadian merupakan
faktor yang menentukan terhadap keberhasilan melaksanakan tugas sebagai
pendidik. Kepribadian dapat menentukan apakah guru menjadi pendidik dan
pembina yang baik ataukah anak menjadi perusak atau penghancur bagi hari
depan anak didik, teruitama bagi aanak didik yang masih kecil (tingkat sekolah
dasar) dan mereka yang sedang mengalami kegoncangan jiwa (tingkat remaja).
Namun begitu, seseorang yang berstatus guru tidak selamanya dapat
menjaga wibawa dan citra sebagai guru di mata anak didik dan masyarakat.
Ternyata masih ada sebagian guru yang mencemarkan wibawa dan citra guru.
Di media massa (cetak maupun elektronik) sering diberitakan tentang oknum-
oknum guru yang melakukan suatu tindakan asusila, asosial, dan amoral.
Perbuatan itu tidak sepatutnya dilakukan oleh guru. Lebih fatal lagi bila
perbuatan yang tergolong tindakan kriminal itu dilakukan terhadap anak didik
sendiri.
Kepribadian adalah unsur yang menentukan keakraban hubungan guru
dengan anak didik. Kepribadian guru akan tercermin dalam sikap dan
perbuatannya dalam membina dan membimbing anak didik. Alexander Meikel
John9 mengatakan: “No one can a genuine teacher unless he is him self
actively sharing in the human attempt to understand men and their word”
Jadi, menurut Meikel John, tidak seorang pun yang dapat menjadi
seorang guru yang sejati (mulia) kecuali bila dia menjadikan dirinya sebagai
bagian dari anak didik yang berusaha untuk memahami semua anak didik dan
kata-katanya. Guru yang dapat memahami tentang kesulitan anak didik dalam
hal belajar dan kesulitan lainnya di luar masalah belajar, yang bisa
menghambat aktivitas belajar anak didik, maka guru tersebut akan disenangi
anak didiknya.
Sebagai teladan, guru harus memiliki kepribadian yang dapat dijadikan
profil dan idola, seluruh kehidupannya adalah figur yang paripurna. Itulah
kesan terhadap guru sebagai sosok yang ideal. Sedikit saja guru berbuat yang
tidak baik atau kurang baik, akan mengurangi kewibawaannya dan kharisma
pun secara perlahan lebur jati diri.
Karena itu, kepribadian adalah masalah yang sangat sensitif sekali.
Penyatuan kata dan perbuatan dituntut dari guru. Bukan lain perkataan dengan
perbuatan. Ibarat kata pepatah, pepat di luar runcing di dalam.
Guru adalah mitra anak didik dalam kebaikan. Guru yang baik, anak
didik pun menjadi baik. Tidak ada seorang guru yang bermaksud
menjerumuskan anak didiknya ke lembah kenistaan. Karena kemuliaan guru,
9 Syaiful Bahri Djamarah, guru dan anak didik dalam interaksi edukatif, h. 41.
berbagai gelar pun disandangnya. Guru adalah pahlawan tanpa pamrih,
pahlawan tanpa tanda jasa, pahlawan ilmu, pahlawan, kebaikan, pahlawan
pendidikan, makhluk serna bisa, atau dengan julukan yang lain seperti
interpreter, artis, kawan, warga negara yang baik, pembangun manusia,
pembawa kultur, pioner, reformer dan terpercaya, soko guru, bhatara guru, ki
ajar, sang guru, sang kiai, ki guru, tuan guru, dan sebagainya.
Itulah atribut yang pas untuk guru yang diberikan oleh mereka-mereka
pengagum figur guru. Oleh karena itu, penyair Sjauki telah mengakui pula nilai
guru dengan kata-katanya, “Berdiri dan hormatilah guru dan berilah ia
penghargaan, seorang guru hampir saja merupakan seorang rasul”. Rasul
adalah figur yang paripurna. Seluruh aspek kehidupannya adalah “uswatun
hasanah”. Pribadi guru adalah uswatun hasanah, kendati tidak sesempurna
seperti rasul.
Ingat hanya “hampir” mendekati, bukan seluruh pribadi guru sama
dengan pribadi rasul, kekasih Allah dan penghulu dari seluruh nabi dan rasul
itu. Betapa tingginya derajat seorang guru, sehingga wajarlah bila guru diberi
berbagai julukan yang tidak akan pernah ditemukan pada profesi lain. Semua
julukan itu perlu dilestarikan dengan pengabdian yang tulus ikhlas, dengan
motivasi kerja untuk membina jiwa dan watak anak didik, bukan segalanya
demi uang.
Guru adalah spiritual father atau bapak rohani bagi seorang anak didik.
Ialah yang memberikan santapan jiwa dnegan ilmu, pendidikan akhlak, dan
membenarkannya, maka menghormati guru berarti menghormati anak didik,
kita menghargai guru berarti penghargaan terhadap anak-anak kita, dengan
guru itulah mereka hidup dan berkembang, sekiranya setiap guru itu
menunaikan tugasnya dengan sebaik-baiknya. Abu Darda’ melukiskan pula
mengenai guru dan anak didik itu bahwa keduanya adalah berteman dalam
“kebaikan” dan tanpa keduanya tak akan ada “kebaikan”.
Profil guru yang ideal adalah sosok yang mengabdikan diri berdasarkan
panggilan jiwa, panggilan hati nurani, bukan karena tuntutan uang belaka, yang
membatasi tugas dan tanggung jawabnya sebatas dinding sekolah. Tapi, jangan
hanya menuntut pengabdian guru, kesajahteraannya juga patut ditingkatkan.
Guru yang ideal selalu ingin bersama anak didik di dalam dan di luar
sekolah. Bila melihat anak didiknya menunjukkan sikap seperti sedih, murung,
suka berkelahi, malas belajar, jarang turun ke sekolah, sakit, dan sebagainya,
guru merasa prihatin dan tidak jarang pada waktu tertentu guru harus
menghabiskan waktunya untuk memikirkan bagaimana perkembangan pribadi
anak didiknya.
Jadi, kemuliaan hati seorang guru tercermin dalam kehidupan sehari-
hari, bukan hanya sekadar simbol atau semboyan yang terpampang di kantor
dewan guru. Iri hati, koruptor, munafik, suka menggunjing, suap menyuap,
malas dan sebagainya, bukanlah cerminan kemuliaan hati seorang guru. Semua
itu adalah perbuatan tercela yang harus disingkirkan dari jiwa guru.
Guru dengan kemuliaannya, dalam menjalankan tugas, tidak mengenal
lelah. Hujan dan panas bukan rintangan bagi guru yang penuh dedikasi dan
loyalitas untuk turun ke sekolah agar dapat bersatu jiwa dalam perpisahan raga
dengan anak didik. Raga guru dan anak didik boleh terpisah, tetapi jiwa
keduanya tidak dapat dipisahkan. Guru dan anak didik adalah “Dwi Tunggal”.
Oleh karena itu, dalam benak guru hanya ada satu kiat bagaimana
mendidik anak didik agar menjadi manusia dewasa susila yang cakap dan
berguna bagi agama, nusa, dan bangsa di masa yang akan datang.
Posisi guru dan anak didik boleh berbeda, tetapi keduanya tetap seiring
dan setujuan, bukan seiring tapi tidak setujuan. Sering dalam arti kesamaan
langkah dalam mencapai tujuan bersama. Anak didik berusaha mencapai cita-
citanya dan guru dengan ikhlas mengantar dan membimbing anak didik ke
pintu gerbang cita-citanya. Itulah barangkali sikap guru yang tepat sebagai
sosok pribadi yang mulis. Pendek kata, kewajiban guru adalah menciptakan
“khairunnas”, yakni manusia yang baik.10
J. Kode Etik Guru
10
Syaiful Bahri Djamarah, Guru dan Anak MUrid dalam Interaksi Edukatif: Suatu
Pendekatan Teoritis Psikologis, (Jakarta: Rineka Cipta, 2010), h. 142-144.
Kalau istilah “kode etik” itu dikaji, maka terdiri dari dua kata, yakni
“kode” dan “etik” berasal dari bahasa Yunani, “Ethos” yang berarti watak,
adab, atau cara hidup. Dapat diartikan bahwa etik itu menunjukkan “cara
berbuat yang menjadi adat, karena persetujuan dari kelompok manusia”.
Dan etik biasanya dipakai untuk pengkajian sistem nilai-nilai yang
disebut “kode”, sehingga terjelmalah apa yang disebut “kode etik”. Atau secara
harfiah “kode etik” berarti sumber etik. Etika artinya tata susila (etika) atau hal-
hal yang berhubungan dengan kesusilaan dalam mengerjakan suatu pekerjaan.
Jadi, “kode etik guru” diartikan sebagai “aturan tata susila keguruan”. Menurut
Westby Gibson, kode etik (guru) dikatakan sebagai suatu statemen formal yang
merupakan norma (aturan tata susila) dalam mengatur tingkah laku guru.
Karena itu, guru sebagai tenaga profesional perlu memiliki “kode etik
guru” dan menjadikannya sebagai pedoman yang mengatur pekerjaan guru
selama dalam pengabdian. Kode etik guru ini merupakan ketentuan yang
mengikat semua sikap dan perbuatan guru. Bila guru telah melakukan
perbuatan asusila dan amoral berarti guru telah melanggar “kode etik guru”.
Sebab kode etik guru ini sebagai salah satu ciri yang harus ada pada profesi
guru itu sendiri.
Berbicara mengenai “Kode Etik Guru Indonesia” berarti kita
membicarakan guru di negara kita. Berikut akan dikemukakan kode etik guru
Indonesia sebagai hasil rumusan kongres PGRI XIII pada tanggal 21 sampai
dengan 25 November 1973 di Jakarta, terdiri dari sembilan item, yaitu:
1. Guru berbakti membimbing anak didik seutuhnya untuk membentuk
manusia pembangunan yang ber-Pancasila.
2. Guru memiliki kejujuran profesional dalam menerapkan kurikulum
sesuai kebutuhan anak didik masing-masing.
3. Guru mengadakan komunikasi, terutama dalam memperoleh informasi
tentang anak didik, tetapi menghindarkan diri dari segala bentuk
penyalahgunaan.
4. Guru menciptakan suasana kehidupan sekolah dan memelihara
hubungan dengan orang tua anak didik sebaik-baiknya bagi
kepentingan anak didik.
5. Guru memelihara hubungan baik dengan masyarakat di sekitar
sekolahnya maupun masyarakat yang lebih luas untuk kepentingan
pendidikan.
6. Guru sendiri atau bersama-sama berusaha mengembangkan dan
meningkatkan mutu profesinya.
7. Guru menciptakan dan memelihara hubungan antara sesama guru, baik
berdasarkan lingkungan kerja maupun dalam hubungan keseluruhan.
8. Guru secara hukum bersama-sama memelihara, membina, dan
meningkatkan mutu organisasi guru profesional sebagai sarana
pengabdiannya.
9. Guru melaksanakan segala ketentuan yang merupakan segala
kebijaksanaan pemerintah dalam bidang pendidikan.
Kode etik guru ini merupakan suatu yang harus di laksanakan sebagai
barometer dari semua sikap dan perbuatan guru dalam berbagai segi
kehidupan, baik dalam keluarga, sekolah maupun masyarakat.11
K. Adab Guru Terhadap Pelajaran
Apabila guru hendak menghadiri majelis pelajaran maka hendaklah dia
bersuci dari hadats dan najis dan bersih dan berminyak wangi dan memakai
pakaian terbagus yang layak dimasyarakat, dengan maksud membesarkan
ilmu, menghormati syari’at dan berniat dengan pengajarannya supaya dekat
kepada Allah dan menyebarkan ilmu dan menghidupkan agama Islam.
Menyampaikan hukum-hukum Allah yang diamanahkan kepadanya
dan diperintahkan untuk menerangkannya, dan supaya dengan ilmunya dapat
menampakkan kebenaran dan kembali pada kebenaran, dan berkumpul atas
dzikrullah dan penyelamat atas saudaranya sesama muslim dan berdoa bagi
Salafus Shalih.
11
Syaiful Bahri Djamarah, Guru dan Anak Murid dalam Interaksi Edukatif: Suatu
Pendekatan Teoritis Psikologis, (Jakarta: Rineka Cipta, 2010), h. 49-50.
Dan selalu dzikrullah sampai ke majlis pengajaran. Maka
apabila guru sampai kepada majelis dia memberi salam kepada hadirin
dan dudukmenghadap kiblat jika mungkin dengan wibawa dan tenang
dan tawadu' dan khusu' dengan duduk bersila atau dengan duduk
dengan cara lain asal bagus, dan menjaga badannya dari
merangkak/lelah dari tempatnya, dan 2 tangannya dari bermain-main
dan bertasybik/marasuk tangan, dan 2 rnatanya dari memandang
kesana-kesini tanpa hajat, dan jauhi dari bergurau danbanyak tertawa,
karena akan mengurangi wibawa dan menjatuhkan kehormatan, dan
jangan mengajar di waktu sedang sangat lapar atau haus atau berduka
atau waktu marah atau waktu mengantuk atau di waktu sangat dingin
atau sangat panas.
Dan guru duduk keluar untuk semua hadirin dan supaya
membesarkan yang paling utama dengan ilmu atau umur atau paling
bagus atau paling mulia, dan mengangkat mereka atas. Mendahulukan
menjadi imam shalat, dan bersifat lemah lembut terhadap yang lain dan
memuliakan mereka dengan perkataan yang bagus dan muka yang
manis dan dengan bagusnya penghormatan, dan melakukan untuk yang
lebih tua dengan jalan penghormatan, dan menoleh kepada hadirin
sekedar keperluan, dan mengkhususkan kepada orang yang bicara
dengannya atau bertanya kepadanya dengan lebih menoleh kepadanya
dan menghadap kepadanya walau dia bocah atau orang rendahan,
karena jika dia tidak melakukannya maka itu termasuk perbuatan
orang-orang yang sombong.
Dan mendahulukan dalam pengajaran akan membaca ayat dari
Al-quran karena mengharap keberkahan. Dan berdo’a dengan yang
akan dia baca untuk para hadirin dan seluruh muslimin dan bagi yang
mewaqafkan tempat mejlis tersebut jika madrasah yang diwaqafkan
atau selainnya, sebagai balasan bagi waqafnya dan menyampaikan
maksud yang berwaqaf. Kemudian membaca ta'awudz basmalah dan
hamdalah, dan shalawat atas Nabi Saw. dan minta ridho dari para imam
muslimin.
Maka jika pelajaran banyak maka dahulukan yang paling mulia. Dan
paling penting. Maka dia harus mendahulukan tafsir Al-quran kemudian hadits
lalu ushuluddin lalu ushul fiqh lalu kitab-kitab mazhhab lalu nahwu, dan dia
tutup pelajaran dengan kitab-kitab yang menghaluskan watak/hati supaya
memberi faedah kepada hadirin akan mensucikan hati.
Dan dia menyambung pelajarannya apa yang harus dia sambung dan
berhenti pada tempat- tempat berhenti dan akhir pembicaraan. Dan jangan
menyebut perkara yang syubhat/samar dalam agama dalam pelajaran dan
menta'khirkan/menunda jawaban sampai pelajaran terakhir, tetapi hendaknya
dia sebutkan semuanya atau dia tinggalkan semuanya yang mengandung
kerusakan, terlebih jika pelajaran adalah dikumpulan orang-orang yang pintar
dan yang awam.
Dan jangan memanjangkan pelajaran yang membuat bosan dan jangan
terlalu meringkasnya. Dan memperhatikan dalam pelajaran tersebut akan
kemaslahatan dalam manfaat dalam memanjangkan uraian. Dan jangan
mencari maqam atau berbicara atas suatu faedah kecuali pada tempatnya, maka
jangan mendahulukan atau mengakhirkan pelajaran kecuali ada kemaslahatan.
Dan jangan menyaringkan suaranya di atas keperluan, dan jangan
terlalu merendahkannya yang akan mengurangi kualitas manfaat yang
disampaikan, dan yang lebih utama jangan melampaui oleh suaranya akan
majlisnya dan jangan kurang dari pendengaran hadirin. Maka sungguh Khatib
Al-Bahgdadi meriwayatkan dari nabi saw beliau bersabda: “Bahwasanya Allah
menyukai suara yang lirih dan samar dan membenci suara yang sangat tinggi”.
Maka jika hadir dalam majlis itu orang yang kurang pendengarannya
maka tidak mengapa dia menyaringkan suaranya sekedar dia dapat
mendengarnya. Dan jangan terlalu cepat dalam berbicara, tetapi hendaklah dia
alunkan dan lambatkan supaya dia dapat sambil berpikir dan orang yang
mendengarkannya.
Dan sungguh telah datang/warid dari Nabi Saw. bahwa perkataan Nabi
Saw. diperinci dipisah- pisah supaya dipahami oleh yang mendengarnya. Dan
apabila beliau berkata dengan satu kata maka beliau ulangi sampai 3 kali
supaya dapat dipahami, dan apabila dia telah selesai dari suatu masalah atau
suatu pokok pembahasan maka diam sebentar sampai berbicara orang yang
mau bertanya/bicara.
Guru harus menjaga majlisnya dari kebisingan/kegaduhan, karena
kebisingan akan mengubah ucapan, dan dari suara-suara keras dan berbeda-
bedanya arah pembahasan. Ar-rabi' berkata bahwa Imam As-Syafi’i apabila dia
didebat orang pada suatu masalah maka dia berpaling kepada selainnya
(masalah) sambil berkata kami akan menyelesaikan masalah ini kemudian
kami akan berpindah kepada yang kamu kehendaki, dan hendaklah bersifat
lemah lembut dari tempat permulaan/asal sebelum tersebar dan mengikutinya
oleh para diri/orang lain.
Guru hendaknya mengingatkan para hadirin tentang
makruhnya/dibencinya kekotoran terlebih lagi setelah nampaknya kebenaran.
Dan bahwasanya tujuan dari berkumpul adalah menampakkan kebenaran dan
membersihkan hati dan menuntut faedah. Dan bahwasanya tidak patut bagi ahli
ilmu saling berlomba karena akan menyebabkan permusuhan dan kebencian.
Bahkan wajib perkumpulan itu bertujuan ikhlas karena Allah Ta'ala.
Supaya sempurna manfaat di dunia dan kebahagiaan di akherat. Dan ingatlah
firman Allah Ta'ala: “Nyatakanlah yang hak/benar dan batalkan perkara yang
bathil meskipun benci orang- orang yang berdosa.” Maka dari ayat tadi
dipahami bahwa kehendak membatalkan yang haq dan membenarkan yang
bathil adalah dosa, maka berhati- hatilah.
Guru hendaknya menyampaikan teguran pada orang yang melampaui
dalam membahasnya, atau nampak sangat memusuhinya atau buruk adabnya
dalam membahas, atau meninggalkan sadar setelah nampak kebenaran, atau
banyak berteriak tanpa manfaat, atau buruk adabnya terhadap hadirin dan yang
tidak hadir, atau naik di tempat orang yang lebih utama darinya, atau tidur atau
berbicara dengan yang lain atau tertawa, atau mengejek salah satu hadirin atau
melanggar adab murid dalam halaqah mudzakarah, yang sudah disebutkan
pada bab adab murid.
Dan apabila guru ditanya tentang sesuatu yang belum diketahuinya
maka hendaknya diaberkata “saya tidak tahu”, karena sebagian ilmu bahwa dia
berkata “saya tidak tahu”, dari sebagian ulama berkata “saya tidak tahu” adalah
separu ilmu. Dan dari Ibnu ‘Abbas berkata: “Apabila guru menyalahi/tidak
mau berkata “saya tidak tahu” maka akan dicoba orang perkataannya.
Muhammad bin Hakam bertanya kepada Imam As-Syafi’i tentang
nikah mut’ah apakah di dalamnya ada talak atau warisan atau nafaqah yang
wajib dan kesaksian, maka beliau menjawab “demi Allah saya tidak tahu”. Dan
ketahuilah bahwa perkataan “saya tidak tahu” tidak mengurangi derajatnya
sebagaimana disangka oleh orang jahil/bodoh, bahkan perkataan “saya tidak
tahu” itu akan mengangkatnya karena dia merupakan petunjuk atas agungnya
pengetahuannya, kuatnya agamanya taqwa pada tuhannya, suci hatinya, dan
bagus ketetapannya.
Dan sungguh meriwayatkan hal itu oleh jama’ah salaf. Dan hanya saya
orang yang menjauhkan diri dari hal itu (tidak mau berkata “saya tidak tahu”)
adalah orang yang lemah imannya, sedikit pengetahuannya, karena dia
khawatir gugur dari mata-mata hadirin (takut dianggap tidak alim).
Dan ini adalah kebodohan dan menipiskan agama. Dan barangkali akan
masyhur kesalahannya di antara manusia, dan manusia akan lari darinya dan
antipati kepadanya. Dan sungguh Allah Ta’ala telah mendidik para ulama
dengan kisah sayyidina Musa atas nabi kita Saw. bersama nabi Haidir as.
tatkala Musa mengembalikan ilmu kepada Allah Ta’ala tatkala dia (Musa)
ditanya orang, dengan katanya “apakah ada seseorang yang lebih ‘alim dari
engkau (Musa)?
Guru harus kasih sayang terhadap orang asing yang datang di sisinya.
Dan memudahkan untuknya supaya lapang dadanya. Karena bagi orang yang
baru datang itu ada keheranan/bingung. Maka jangan terlalu banyak
memandangnya, karena akan membuatnya malu.
Dan apabila menemuinya oleh sebagian pembesar yang mau
menyatakan masalah makadia harus menahannya dulu sampai dia duduk, dan
jika dia mulai bertanya maka dia harus mengulangi akan maksudnya. Dan
apabila akan menghadapnya oleh orang yang memilkikeutamaan/pembesar
sedangkan pengajian akan selesai sekira- kira para jama'ah berdiri maupulang
lalu si pembesar baru datang ke majlis maka jangan menunggunya karena akan
membuat malu si pembesar dengan berdirinya para jama'ah dari duduknya, dan
menjaga kemaslahatan jama’ah yang telah duluan hadir dan terlambatnya si
pembesar tadi, apabila hal tersebut tidak menyusahkannya.
Guru harus berkata setelah berakhir tiap pelajaran “wallahu a'lam”,
setelah dia katakan dengan perkataan yang mengkhabarkan akan selesainya
pelajaran, dengan katanya “ini akhirnya” dan akan datang insya Allah ta'ala”,
supaya dengan kata “wallahu a’lam” itu murni untuk dzikrullah dan bermaksud
padanya.
Dan telah terdahulu penjelasannya bahwa guru harus memulai tiap
pelajaran dengan bismillahirrahmanirrahim supaya menjadi dzikrullah dari
awal sampai akhir. Guru harus tetap pada tempatnya sebentar setelah
berdirinya para hadirin karena ada beberapa faedah dan adab, di antaranya:
supaya tidak menyempiti mereka, atau ada seseorang yang mau bertanya,
supaya jangan naik berkendaan berbarengan dengan mereka.
Dan jangan mendirikan majelis ta'lim jika bukan ahlinya. Jangan
menyebutkan suatu ilmu yang tidak diketahuinya karena itu merupakan main-
main dalam agama dan akan diremehkan diantara manusia. Rasul Saw.
bersabda: “Orang yang membuat-buat kenyang dengan apa yang belum
diberikan seperti baju yang dibuat-buat (bohong).
Dari sebagian ulama berkata: “Barangsiapa duduk tempat yang
terkemuka/majlis sebelum waktunya maka sungguh dia menuntut kehinaannya.
Dari Abu Hanifah ra. berkata: “Barangsiapa menuntut kepemimpinan sebelum
masanya maka senantiasa dalam kehinaan. Dan sekurang-kurang kerusakan hal
itu bahwa hadirin akan hilang sikap sadar karena ketiadaan orang yang menjadi
rujukan tatkala ada persoalan”.
Karena si pengasuh tidak mengetahui yang benar maka dia
menolongnya dengan keliru maka dia dicela. Dan dikatakan kepada Imam Abu
Hanifah ra.: “Di dalam mesjid ada halaqah yang mereka berfikir dalam fiqih,
lalu Abu Hanifah berkata: “Apakah mereka memiliki pemimpin, Maka mereka
menjawab: “ Tidak ada”, lalu Abu Hanifah berkata: “Mereka tidak akan paham
fiqih selamanya, dan sebagian mereka tidak dapat mengadakan
ishlah/perbaikan.
# duduk di tempat yang terkemuka/majlis setiap orang yang
membingungkan
#Orang Jahil yang menamai diriya guru fiqih
#Makahak bagi ahli ilmu memberi contoh
#Di sebuah rumah yang tua yang menyebar ke setiap majlis.
1. Peranan Guru
Banyak peranan yang diperlukan dari guru sebagai pendidik, atau siapa
yang telah menerjunkan diri menjadi guru. Semua peranan yang diharapkan
dari guru seperti diuraikan di bawah ini.
a) Korektor
Sebagai korektor, maka harus bisa membedakan mana nilai yang baik
dan mana nilai yang buruk. Kedua nilai yang berbeda harus betul-betul
dipahami dalam kehidupan di masyarakat. Kedua nilai ini mungkin telah anak
didik miliki dan mungkin pula telah mempengaruhinya sebelum anak didik
masuk sekolah.
Latar belakang kehidupan anak didik yang berbeda-beda sesuai dengan
sosio kultural masyarakat di mana anak didik tinggal akan mewarnai
kehidupannya. Semua nilai yang baik harus guru pertahankan dan semua nilai
yang buruk harus disingkirkan dari jia dan watak anak didik.
Bila guru membiarkannya, berarti guru telah mengabaikan peranannya
sebagai seorang korektor, yang menilai dan mengoreksi semua sikap, tingkah
laku dan perbuatan anak didik. Koreksi yang harus guru lakukan terhadap
sikap dan sifat anak didik tidak hanya di sekolah, tetapi di luar sekolah pun
harus dilakukan.
Sebab tidak jarang di luar sekolah anak didik justru lebih banyak
melakukan pelanggaran terhadap norma-norma susila, moral, sosial, dan
agama yang hidup di masyarakat. Lepas dari pengawasan guru dan kurangnya
pengertian anak didik terhadap perbedaan nilai kehidupan menyebabkan anak
didik mudah larut di dalamnya.
b) Inspirator
Sebagai inspirator, guru harus dapat memberikan ilham yang baik bagi
kemajuan belajar anak didik. Persoalan belajar adalah masalah utama anak
didik. Guru harus dapat memberikan petunjuk (ilham) bagaimana cara belajar
yang baik. Petunjuk itu tidak mesti harus bertolak dari sejumlah teori-teori
belajar, dari pengalaman pun bisa dijadikan petunjuk bagaimana cara belajar
yang baik. Yang penting bukan teorinya, tapi bagaimana melepaskan masalah
yang dihadapi oleh anak didik.
c) Informator
Sebagai informator, guru harus dapat memberikan informasi
perkembangan ilmu pengetahun dan teknologi, selain sejumlah bahan pelajaran
untuk setiap mata pelajaran yang telah diprogramkan dalam kurikulum.
Informasi yang baik dan efektif diperlukan dari guru. Kesalahan informasi
adalah racun bagi anak didik.
Untuk menjadi informator yang baik dan efektif, penguasaan bahasalah
sebagai kuncinya, ditopang dengan penguasaan bahan yang akan diberikan
kepada anak didik. Informator yang baik adalah guru yang mengerti apa
kebutuhan anak didik dan mengabdi untuk anak didik.
d) Organisator
Sebagai organisator, adalah sisi lain dari peranan yang diperlukan dari
guru. Dalam bidang ini guru memiliki kegiatan pengelolaan kegiatan
akademik, menyusun tata tertib sekolah, menyusun kalender akademik, dan
sebagainya. Semuanya diorganisasikan, sehingga dapat mencapai efektivitas
dan efisiensi dalam belajar pada diri anak didik.
e) Motivator
Sebagai motivator, guru hendaknya dapat mendorong anak didik agar
bergairah dan aktif belajar. Dalam upaya memberikan motivasi, guru dapat
menganalisis motif-motif yang melatarbelakangi anak didik malas belajar dan
menurun prestasinya di sekolah. Setiap saat guru harus bertindak sebagai
motivator, karena dalam interaksi edukatif tidak mustahil ada di antara anak
didik yang malas belajar dan sebagainya.
Motivasi dapat efektif bila dilakukan dengan memperhatikan kebutuhan
anak didik. Penganekaragaman cara belajar memberikan penguatan dan
sebagainya, juga dapat memberikan motivasi pada anak didik untuk lebih
bergairah dalam belajar. Peranan guru sebagai motivator sangat penting dalam
interaksi edukatif, karena menyangkut esensi pekerjaan mendidik yang
membutuhkan kemahiran sosial, menyangkut performance dalam personalisasi
dan sosialisasi diri.
f) Inisiator
Dalam peranannya sebagai inisiator, guru harus dapat menjadi pencetus
ide-ide kemauan dalam pendidikan dan pengajaran. Proses interaksi edukatif
yang ada sekarang harus diperbaiki sesuai perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi di bidang pendidikan.
Kompetensi guru harus diperbaiki, keterampilan penggunaan media
pendidikan dan pengajatan harus diperbaharui sesuai kemajuan media
komunikasi dan informasi abad ini. Guru harus menjadikan dunia pendidikan,
khususnya interaksi edukatif agar lebih baik dari dulu. Bukan mengikuti terus
tanma mencetuskan ide-ide inovasi bagi kemajuan pendidikan dan pengajaran.
g) Fasilitator
Sebagai fasilitator, guru hendaknya dapat menyediakan fasilitas yang
memungkinkan kemudahan kegiatan belajar anak didik. Lingkungan belajar
yang tidak menyenangkan, suasana ruang kelas yang pengap, meja dan kursi
yang berantakan, fasilitas belajar yang kurang tersedia, menyebabkan anak
didik malas belajar. Oleh karena itu menjadi tugas guru bagaimana
menyediakan fasilitas, sehingga akan tercipta lingkungan belajar yang
menyenangkan anak didik.
h) Pembimbing
Peranan guru yang tidak kalah pentingnya dari semua peran yang telah
disebutkan di atas, adalah sebagai pembimbing. Peranan ini harus lebih
dipentingkan, karena kehadiran guru di sekolah adalah untuk membimbing
anak didik menjadi manusia dewasa susila yang cakap. Tanpa bimbingan, anak
didik akan mengalami kesulitan dalam menghadapi perkembangan dirinya.
Kekurangmampuan anak didik menyebabkan lebih banyak tergantung
pada bantuan guru. Tetapi semakin dewasa, ketergantungan anak didik
semakin berkurang. Jadi, bagaimana pun juga bimbingan dari guru sangat
diperlukan pada saat anak didik belum mampu berdiri sendiri (mandiri).
i) Demonstrator
Dalam interaksi edukatif, tidak semua bahan pelajaran dapat anak didik
pahami. Apalagi anak didik yang memiliki inteligensi yang sedang. Untuk
bahan pelajaran yang sukar dipahami anak didik, guru harus berusaha dengan
membantunya, dengan cara memperagakan apa yang diajarkan secara didaktis,
sehingga apa yang guru inginkan sejalan dengan pemahaman anak didik, tidak
terjadi kesalahan pengertian antara guru dan anak didik. Tujuan pengajaran
pun dapat tercapai dengan efektif dan efisien.
j) Pengelola Kelas
Sebagai pengelola kelas, guru hendaknya dapat mengelola kelas dengan
baik, karena kelas adalah berhimpun semua anak didik dan guru dalam rangka
menerima bahan pelajaran dari guru. Kelas yang dikelola dengan baik akan
menunjang jalannya interaksi edukatif. Sebaliknya, kelas yang tidak dikelola
dengan baik anak menghambat kegiatan pembelajaran.
Anak didik tidak mustahil akan merasa bosan untuk tinggal lebih lama
di kelas. Hal ini akan berakibat mengganggu jalannya proses interaksi edukatif.
Kelas yang terlalu padat dengan anak didik, pertukaran udara kurang, penuh
kegaduhan, lebih banyak tidak menguntungkan bagi terlaksananya interaksi
edukatif yang optimal.
Hal ini tidak sejalan dengan tujuan umum dari pengelolaan kelas, yaitu
menyedikan dan menggunakan fasilitas sekolah bagi bermacam-macam
kegiatan belajar mengajar agar mencapai hasil yang baik dan optimal. Jadi,
maksud dari pengelolaan kelas adalah agar anak didik betah tinggal di kelas
dengan motivasi yang tinggi untuk senantiasa belajar di dalamnya.
k) Mediator
Sebagai mediator, guru hendaknya memiliki pengetahuan dan
pemahaman yang cukup tentang media pendidikan dalam berbagai bentuk dan
jenisnya, baik media non material maupun materiil. Media berfungsi sebagai
alat komonikasi guna mengefektifkan proses interaksi edukatif.
Keterampilan menggunakan semua media itu di harapkan dari guru
yang di sesuaikan dengan pencapaian tujuan pengajaran. Sebagai
mediator,guru dapat di artikan sebagai penengah dalam proses belajar anak
didik. Dalam diskusi, guru dapat berperan sebagai penengah, sebagai pengatur
lalu lintas jalannya diskusi.
Kemacetan jalannya diskusi akibat anak didik kurang mampu mencari
jalan keluar dari pemecahan masalahnya, dapat guru tengahi, bagaimana
menganalisis permasalahan agar dapat diselesaikan. Guru sebagai mediator
dapat juga diartikan penyedia media.
l) Supervisor
Sebagai supervisor, guru hendaknya dapat membantu, memperbaiki,
dan menilai secara kritis terhadap proses pengajaran. Taktik-taktik supervisi
harus guru kuasai dengan baik agar dapat melakukan perbaikan terhadap
situasi belajar mengajar menjadi lebih baik. Untuk itu kelebihan yang dimiliki
supervisor bukan hanya karena posisi atau kedudukan yang ditempatinya, akan
tetapi juga karena pengalamannya, pendidikannya, kecakapannya, atau
keterampilan-keterampilan yang dimilikinya, atau karena memiliki sifat-sifat
kepribadian yang menonjol daripada orang-orang yang disupervisinya. Dengan
semua kelebihan yang di miliki, ia dapat melihat, menilai atau mengadakan
pengawasan terhadap orang atau sesuatu yang disupervisi.
m) Evaluator
Sebagai evaluator, guru di tuntut untuk menjadi seorang evaluator yang
baik dan jujur, dengan memberikan penilaian yang menyentuh aspek ekstrinsik
dan intrinsik. Penilaian terhadap aspek intrinsik lebih menyentuh pada aspek
kepribadian anak didik, yakni aspek nilai (values).
Berdasarkan hal ini, guru harus bisa memberikan penilaian dalam
dimensi yang luas. Penilaian terhadap kepribadian anak didik tentu lebih di
utamakan dari pada penilaian terhadap jawaban anak didik ketika diberikan tes.
Anak didik yang berprestasi baik, belum tentu memiliki kepribadian yang baik.
Jadi, penilaian itu pada hakekatnya diarahkan pada perubahan kepribadian
anak didik agar menjadi manusia susila yang cakap.
Sebagai evaluator, guru tidak hanya menilai produk (hasil pengajaran).
Dari kedua kegiatan ini akan mendapatkan umpan balik (feedback) tentang
pelaksanaan interaksi edukatif yang telah dilakukan.
L. Adab Guru Terhadap Murid
Pertama, hendaknya guru dalam mengajar dan mendidik murid semata-
mata bertujuan karena Allah Swt. bertujuan untuk menyebarkan ilmu,
menghidupkan syariat, senantiasa mengedepankan kebenaran dan menolak
bentuk kebathilan, menjadikan mereka (murid) umat yang terbaik dengan
diajarkannya banyak ilmu kepada mereka, menjaga perbuatan mereka yang
senantiasa bernilai pahala, dan mereka dapat mendapatkan pahala tersebut
karena telah mendapatkan ilmu yang baik setelah mereka belajar dengan baik
pula mendoakan keberkahan kepada mereka (murid), menyayangi mereka, dan
mengajarkannya kepada kemudahan ilmu yang telah diajarkan kepada
Rasulullah dan sampai kepada mereka sebagaimana yang telah diwahyukan
Allah yang bertujuan segala hukumnya untuk makhluknya.
Maka sesungguhnya mengajarkan suatu ilmu sangat penting dalam
perkara agama dan memiliki derajat yang tinggi disisi orang yang beriman.
Nabi Saw. bersabda: “Sesungguhnya Allah Swt., para malaikat, penduduk
langit dan bumi serta semut yang ada di dalam batu senantiasa bershalawat
kepada orang yang mengajarkan manusia tentang kebaikan, tidaklah digunakan
umurmu melainkan umur tersebut merupakan bagian yang sangat penting, dan
kita akan memperoleh ilmu tersebut semata-mata untuk kesuksesan yang
besar”. “Ya Allah janganlah kami terhalang untuk memperoleh ilmu dengan
sebab kami sendiri mencegahnya, dan janganlah engkau jadikan kami durhaka
terhadap ilmu dengan menjadi orang yang durhaka dan kami berlindung
kepadamu dari segala bentuk-bentuk ilmu yang tidak bermanfaat dan jauhkan
kami dari ilmu tersebut dan hilangkanlah hal tersebut dari kami”.
Kedua, seorang guru dalam mengajari murid hendaknya memiliki niat
yang ikhlas tulus, karena dengan niat yang baik dan tulus tersebut akan
memperoleh keberkahan ilmu tersebut. Sebagian ulama salaf berkata: “Kami
pernah menuntut ilmu bukan karena Allah maka kami pun terabaikan oleh ilmu
(sia-sia) maka hendaknya dalam memperoleh ilmu dan mengajarkannya karena
Allah”.
Dikatakan bahwa makna dari perkataan tersebut adalah ketika dalam
belajar dan mengajar hendaknya karena Allah yang didasari dari niat yang
ikhlas. Apabila dalam mengajarkan ilmu kepada murid dan murid
kebanyakannya merasa sulit dalam memahaminya, maka kesulitan itu akan
hilang dengan sendirinya.
Selain itu guru juga mendorong dan mengarahkan murid untuk
memiliki niat yang baik secara bertahap baik dalam perkataan maupun
perbuatan, dan memberitahukan padanya (murid) bahwa dengan niat yang baik
dalam belajar akan memperoleh kedudukan yang tinggi dari ilmu, amal,
perangai yang lembut, berbagai hikmah (pelajaran yang bermanfaat), hati yang
terang, dada yang lapang, berada pada hal yang benar, keadaan yang baik, dan
terarahnya dengan baik segala ucapan-ucapan, mengharap derajat yang tinggi
di hari kiamat, senantiasa mencintai ilmu dan terus menuntut ilmu tersebut
setiap waktu dengan mengingat apa yang telah Allah Swt. janjikan kepada para
ulama berupa kedudukan dan derajat yang mulia, karena sesungguhnya ulama
merupakan pewaris para nabi dan mereka berada pada minbar-minbar yang
bercahaya sehingga membuat iri para nabi, syuhada, dan lainnya sebagaimana
yang telah disebutkan dalam beberapa ayat, hadis, atsar, dan syair tentang
keutamaan ilmu dan ulama.
Mengenai hal itu telah saya (penulis) sebutkan beberapa
pembahasannya di bab yang pertama. Dan senantiasa senang dengan ilmu dan
amal tersebut dengan pengamalannya secara bertahap dari sesuatu yang
ringkas dan mudah, serta memberi ketentuan rasa cukup terhadap dunia dengan
tidak disibukkan hati dan pikiran dengannya, begitu juga menjauhkan dari rasa
gundah terhadapnya (dunia).
Maka sesungguhnya jika hati mulai ketergantungan terhadap
kenikmatan dunia dan berharap banyak terhadapnya serta adanya penyesalan
ketika kehilangan kenikmatannya yang meliputi segala hati dan menggoyahkan
agamanya, kemudian memuliakan dirinya dan kedudukannya yang tinggi tetapi
sangat sedikit kedengkiannya maka bersegeralah untuk menjaga ilmu tersebut
dan terus menambahnya.
Oleh karena itu sangat sedikit orang yang memperoleh bagian ilmu
yang sempurna melainkan orang yang dalam memperoleh ilmu didasari dengan
hal yang telah saya (penulis) sebutkan seperti sifat faqir terhadap ilmu,
qana’ah, menghidari dari segala bentuk keinginan dunia yang fana.
Ketiga, hendaknya guru menyayangi muridnya seperti ia menyayangi
dirinya sendiri sebagaimana disebutkan dalam hadits dan membenci hal-hal
yang tidak pantas pada murid tersebut sebagaimana pada dirinya, serta
memperhatikan kemashlahatan murid, dan memperlakukannya dengan penuh
penghargaan sebagaimana ia menghargai anak-anaknya dengan kasih sayang,
kelembutan serta bersikap baik dengannya (murid) dan bersabar atas kesalahan
yang diperbuatnya dan kekurangan yang ada padanya hal itu tidak terlepas dari
sifat manusiawi, juga terkadang ketika mendapati perangai yang jelek, dapat
memberikan pengajaran sesuai dengan kemampuannya, serta diiringi dengan
pemberian nasehat dengan baik bukan dengan cara kasar dan tindakan semena-
mena.
Adanya teguran-teguran tersebut dengan tujuan untuk membaikkan
pendidikannya (murid) dan membaguskan akhlaknya serta memperbaiki
keberadaannya, maka untuk dapat menjalankan hal itu guru harus mengenal
dan mengetahui kecerdasannya dengan petunjuk sesuai keperluan untuk
mengungkapkan atau menerangkan sesuatu dengan jelas, dan jika murid
tersebut belum paham terhadap apa yang telah disampaikan maka mesti
dengan penjelasan yang sejelasnya kembali (diulang-ulang), serta terus
bertanggunggung jawab dan mengawasi tahapan yang dijalani murid dan
mendidiknya dengan adab yang baik, serta senantiasa mendorong murid untuk
berperilaku yang diridhai dan mewasiatinya untuk selalu mengerjakan hal-hal
yang bagus sesuai kebiasaan yang baik dan ajaran syari’at.
Keempat, hendaknya seorang guru memberikan kesempatan kepada
murid untuk dapat menyampaikan sesuatu dalam pengajarannya dengan
ucapan yang baik dan dapat dipahami, khususnya bagi si murid sehingga
muncul adab yang baik dalam menuntut ilmu dan tidak akan berhenti
menuntutnya untuk memperoleh faedahnya serta mendengarkan segala cerita
murid, juga tidak mengabaikan berbagai ilmu dengan apa yang menjadi
pertanyaan murid dan guru harus menguasainya karena sesungguhnya hal itu
mungkin akan ditemukan ketidak lapangan dada, hati yang gelisah, dan
mewarisi kesuraman.
Begitu juga murid tidak dapat mengemukakan ungkapannya selama guru
masih mengabaikannya karena pikiran dan pemahaman yang tidak dapat
terjangkau/tidak dapat dipahami oleh guru tersebut. Jika murid bertanya
tentang sesuatu yang mengandung kemudharatan dan tidak memiliki manfaat
maka guru tidak perlu menjawab dan mengetahuinya.
Sesungguhnya mencegah hal itu bertujuan untuk menjaga tingkah laku
murid dengan kelembutan padanya bukan dengan kebaktian kepadanya
(murid), kemudian membenci segala tindakan yang tidak baik dengan
kesungguhan, dan akan memperoleh hasil yang sesuai dengan tindakan
tersebut. Imam Bukhari telah berkata dalam tafsir Rabbani sesungguhnya
seseorang itu dalam mendidik orang lain dimulai dengan hal yang terkecil dari
ilmu sebelum hal-hal yang besar.
Kelima, senantiasa guru memperhatikan perkembangan pengajarannya
dan dapat memahaminya dengan kesungguhan serta memberikan pendekatan
pemahaman makna yang diungkapkan secara jelas tanpa mengandung arti yang
banyak sehingga dapat dipahami dan diingat oleh murid, juga senantiasa
mengulangi setiap penjelasan tersebut.
Hendaknya guru memulai dengan memberikan gambaran permasalahan
kemudian memberikan penjelasannya dengan contoh-contoh dan menyebutkan
dalil-dalilnya, dan meringkas gambaran permasalahan tersebut serta
memberikan contoh bagi murid yang belum dapat memahaminya dengan
menghubungkan dalil dari penjelasan tersebut, juga dapat menjelaskan makna-
makna yang tersembunyi berupa hukum-hukum dan ‘illatnya serta hal-hal
yang berkaitan masalah tersebut baik cabang maupun ushulnya, dan sesuatu
yang belum jelas dalam hukum kemudian mengeluarkannya sehingga dapat
dipahami dengan menggunakan ungkapan yang baik tanpa ada unsur
mengurangi makna tersebut.
Penjelasan tersebut juga bertujuan untuk memberikan nasehat dan
mengemukakan pengertian dari nukilan-nukilan yang benar, menyebutkan
sesuatu yang menyerupai dari masalah tersebut kemudian mengaitkannya serta
sesuatu yang menjadi pemisah dan pasangan dari masalah tersebut, selanjutnya
menjelaskan dua hukum yang telah diambil dan dapat membedakan antara dua
masalah tersebut dan tidak mengabaikan penyebutan lafazh dari 2 masalah
yang masih tersebunyi jika hal itu memang perlu untuk disebutkan dan tidak
akan menjadi sempurna apabila tidak menyebutkannya.
Maka apabila sebuah lafazh berbentuk kinayah akan memberikan
tambahan makna dari lafaz tersebut jika dalam penjelasannya belum dapat
dipahami. Begitu juga dalam sebuah majlis jik ada sesuatu yang tidak pantas
untuk diucapkan maka cukup dengan menggunakan kata kinayah untuk
memberikan makna-makna yang dimaksud dan menjelaskan adanya perbedaan
dalam sebuah aspek tersebut, sebagaimana lafazh makna dalam hadis
terkadang sudah jelas dan terkadang mengandung makna kinayah.
Jika seorang guru telah selesai kepada satu permasalahan maka tidak
mengapa untuk berpindah ke permasalahan lain yang masih ada kaitannya
dengan masalah sebelumnya untuk menguji pemahaman mereka (murid) dan
ketepatannya dengan apa yang telah dijelaskan.
Maka jika telah paham murid tersebut dengan jawaban yang benar dan
tepat, guru dapat senantiasa mengulang jawaban tersebut sebagai bentuk
reward terhadapnya, dan jika murid tersebut belum paham maka hendaknya
guru mengulang-ngulang penjelasannya.
Adapun maksud memindahkan ke permasalan lain, bahwasanya ada
kemungkinan murid itu malu untuk berkata “saya belum paham” baik itu
karena ada beban untuk meminta guru mengulanginya atau waktu yang hanya
sedikit, perasaan malu yang timbul, atau karena keterlambatan dalam membaca
sehingga lambat untuk memahaminya.
Oleh karena itu dikatakan bahwa hendaknya seorang guru dapat bertanya
kepada murid seperti “apakah kamu paham?” jika murid tersebut memang
dapat dipercaya ucapannya dengan menjawab “ya saya faham” sebelumnya dia
memang benar-benar paham, kecuali jika murid yang akan ditanya tersebut
tidak dapat dipercaya akan fahamnya baik karena malu atau hal-hal lainnya
maka lebih baik jangan ditanya tentang apakah dia paham atau belum, karena
kemungkinan murid tersebut akan berbohong dangan ucapannya seperti
“ya, saya paham” padahal sebenarnya dia belum paham.
Maka dalam hal ini guru sebaiknya memindahkan ke masalah yang lain
sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya tadi. Jika seorang guru
tersebut tetap menanyakan kepada murid tentang kepahamannya kemudian
murid tersebut menjawab “ya, saya paham” maka guru tersebut jangan
mengalihkan dulu ke masalah yang lain kecuali murid tersebut dapat
menyingkirkan rasa malunya dengan menjawab yang sebenarnya.
Hendaknya seorang guru dapat memerintalrkan kepada para murid agar
dapat menyesuaikan dengan pelajarannya sebagaimana penjelasannya akan
datang insya Allah, dengan mengulangi penjelasan setelah selesai penjelasan
sebelumnya sehingga dapat melekat di pikiran murid dan mereka dapat benar-
benar paham karena dengan terus mendorong mereka untuk berpikir dan
mencari kebenaran atas kesalahan yang ada.
Keenam, meminta kepada para murid di sebagian waktunya untuk
mengulang apa yang telah dihafalnya, dan menguji ketelitian mereka terhadap
apa yang telah dipelajari sebelumnya dari beberapa kaidah-kaidah yang belum
jelas dan permasalahan yang masih asing, dan menguji mereka juga dengan
permasalahan yang dibangun dari asal (pokok) yang ditetapkannya atau dalil
yang telah menjadi landasannya, maka jika dia benar dalam menjawab dan
tidak takut mendapat pujian maka berikan pujian dengan mengucapkan selamat
dan terima kasih serta memujinya diantara teman-temannya agar menjadi
contoh bagi temannya sehingga mereka dapat belajar lebih sungguh-sungguh
untuk mendapatkan ilmu lainnya.
Dan bagi murid dalam menjawab masih kurang sempurna dan dia tidak
menyembunyikan ketakutannya dalam menjawab maka tunjukan dimana letak
kekurangan dan kesalahannya kemudian mendorongnya untuk mempunyai
semangat yang tinggi untuk mencapai kedudukan yang mulia dalam menuntut
ilmu, khususnya jika dia masih semangat dan rajin dalam belajar maka terus
didorong dan ucapkan rasa syukur serta terima kasih sebagai bentuk
kegembiraan, kemudian dapat mengulangi kembali sesuai dengan kondisi jika
memang itu diperlukan agar murid dapat lebih paham.
Ketujuh, apabila murid menjalani sesuatu yang ingin dicapainya tetapi
tidak dapat melakukannya disebabkan keadaan tertentu atau tidak ada
kemampuan untuk melakukannya maka guru mesti menghilangkan rasa jemu
yang pada murid tersebut dengan menasehatinya secara baik dan lembut serta
mengingatkannya akan sabda Nabi SAW maka sesungguhnya seseorang yang
terkilir kakinya, sehingga kekuatannya sudah habis untuk berjalan jauh dan ia
tidak dapat bangkit (pulih) kembali dari kekuatannya (menjadi sehat).
Seorang guru harus memiliki rasa sabar dan sungguh dalam memberikan
pendidikan. Jika ada pada murid tersebut perbuatan yang tidak baik dan mulai
muncul kejemuannya maka hendaknya guru memerintahkannya untuk istirahat
dan mengurangi setiap tugasnya, dan guru jangan memaksa murid untuk terus
melanjutkan pelajaran jika murid tersebut belum memahami pelajarannya serta
jangan pula melanjutkan tulisannya.
Apabila guru tersebut hendak memerintahkan kepada murid yang belum
mengetahui kondisinya apakah sudah paham dan sudah hafal terhadap apa
yang dipelajari maka guru jangan terlebih dahulu memerintahkannya untuk
melakukan sesuatu sehingga dia terlebih dahulu mencoba menguji
pemikirannya sendiri dan dapat mengetahui kondisinya.
Jika kondisi tersebut belum dapat dipahaminya juga maka
sebaiknya guru mengarahkannya dengan memberikan buku yang dapat
memberikan kemudahan untuk dipahami dari sesuatu yang dipelajari,
dan apabila setelah itu pemikirannya mulai berjalan dan mulai paham
dengan apa yang dipelajari maka arahkan murid tersebut untuk
berpindah ke buku yang lain sesuai dengan kemampuan berpikirnya
dan jika tidak maka tinggalkanlah hal tersebut, karena dengan
mengarahkan murid untuk mengganti buku sesuai dengan tahapan
berpikirnya maka murid tersebut akan mempunyai pemikiran yang
bagus dan bertambah luas kemampuan daya berpikirnya tetapi
sebaliknya jika murid tersebut diarahkan kepada kekurangannya maka
tidak akan banyak kegiatannya untuk berpikir dan murid tersebut tidak
mungkin dapat terfokus kegiatannya untuk pelajaran-pelajaran lainnya
jika satu pelajaran dia tidak ada kemampuan untuk meningkatkan
pemahamannya tetapi sebaiknya guru mengemukakan akan pentinya
apa yang telah dipelajari.
Apabila telah diketahui secara umum atas kemampuannya dan murid
tersebut tidak akan dapat mencapai pemahamannya terhadap apa yang
dipelajari maka arahkan dia untuk meninggalkannya dan menggantikan ke
pelajaran lainnya yang dapat diharapkan murid tersebut memahaminya.
Kedelapan, hendaknya seorang guru tidak melebihkan satu dengan yang
lain diantara para murid baik itu dalam hal pelajaran, maupun melebihkan
perhatian salah satu dari mereka karena sifat, umur, kelebihannya,
kepintarannya, atau karena agamanya, karena hal tersebut akan berakibat tidak
baik bagi perkembangan murid dan kelapangan hatinya dalam menerima
pelajaran.
Dan jika sebagian dari murid tersebut dapat memiliki pemahaman yang
baik serta kesungguhan dalam pelajaran dan memiliki adab yang baik maka
hendaknya guru menghormatinya juga dan memberikan penjelasan kepadanya
bahwa penghormatan yang diberikan guru kepada murid sebagai bentuk
penghargaan kesungguhannya dan hal itu tudak mengapa untuk dilakukan
guru, karena mendorong murid untuk dapat berperilaku baik.
Begitu juga tidak hanya memilih salah satu murid saja yang selalu
mendapat giliran untuk dipilih dalam kegiatan pelajaran atau murid tersebut
senantiasa mendapat giliran terakhir melainkan jika tindakan tersebut baik
untuk dilakukan dan kemashlahatannya.
Sesungguhnya jika sebagian dari mereka (murid) memaklumi dan tidak
menjadi masalah kepada sesama mereka dalam pengkhususan murid mendapat
giliran dalam kegiatan pembelajaran maka tindakan tersebut tidak mengapa
untuk dilakukan.
Kesembilan, sesungguhnya pada seorang guru memiliki adanya bentuk
kasih sayang dan perhatian terhadap kehadiran murid dan menyebutkan yang
tidak hadir di antara mereka dengan baik serta mengetahui nama-nama mereka,
keturunannya, tempat tinggalnya asal usulnya, dan mendoakan bagi murid
yang tidak hadir tersebut dengan kesembuhan dan kebaikannya maka seorang
guru harus mengetahui dengan baik kondisi-kondisi murid dengan melakukan
pendekatan terhadap mereka baik itu ditinjau dari sopan santunnya
pendidikannya tingkah lakunya baik secara zahir maupun bathin.
Apabila nampak sesuatu yang tidak sesuai dari murid tersebut dengan
melakukan tindakan yang diharamkan atau yang dimakruhkan atau melakukan
sesuatu yang menimbulkan kerusakan bahkan tidak aktif dalam pembelajaran
dan berlaku tidak baik terbadap guru dan murid lainnya, dan terlalu banyak
berbicara yang tidak mengandung faedah, serta tidak sesuai dalam bergaul
terhadap sesamanya.
Maka jika mendapati hal tersebut seorang guru mesti memberikan solusi
pencegahan terhadap adanya sifat tersebut pada murid dengan pencegahan
secara keseluruhan tidak hanya tertentu saja bagi dirinya, maka jika hal ini
tidak dilakukan dapat juga dengan cara memberikan pencegahan secara
tersembunyi dengan melakukan beberapa isyarat yang memberikan
pemahaman kepada mereka untuk tidak melakukan hal tersebut.
Jika secara tersembunyi tidak dapat dilakukana maka dengan cara terang-
terangan atau memberikan tekanan dalam ucapan kepadanya atau
memisahkannya dengan temannya yang lain serta mendidik dan memberikan
pengarahan tentang tata krama yang baik kepadanya setiap yang
mendengarkan dari setiap murid tersebut.
Maka jika hal tersebut juga tidak dapat dilakukan maka tidak mengapa
dengan mengeluarkan murid tersebut dari tempat pembelajaran serta
menjauhkannya dengan murid yang lain seperti memulangkannya apalagi
khususnya jika memang tindakan tersebut memang solusi terbaik dan
disepakati juga oleh murid-murid yang lain untuk memulangkan dan
mengeluarkannya.
Kesepuluh, hendaknya seorang guru berkomitmen juga dengan
melakukan apa yang semestinya dilakukan murid seperti mengucapkan salam,
berkata yang baik, saling menyayangi dan tolong menolong dalam kebaikan
dan ketaqwaan serta sesuatu yang menjadi tujuan penting untuk mencapainya.
Ringkasnya sebagaimana seorang guru dalam mengajar untuk
kemaslahatan agama mereka (murid) dalam berhubungan kepada Allah Swt.
dan juga diajarkan untuk kemaslahatan dunianya tentang bagaimana
berhubungan dengan orang lain sehingga sempurna keberadaan mereka dengan
keutamaan dua hal tadi.
Kesebelas, hendaknya seorang guru berusaha untuk memberikan
kemaslahatan kepada murid-muridnya dan menyatukan hati mereka satu sama
lain, membantu mereka untuk mencapai sesuatu menjadi lebih mudah baik itu
dalam kedudukan mapun harta yang ada padanya tanpa membuatnya menjadi
celaka serta menghilangkan kesusahannya, karena sesungguhnya Allah akan
memberikan pertolongan kepada setiap hamba selama hamba tersebut
memberikan pertolongan juga kepada saudaranya dan barang siapa
mengabulkan hajat saudaranya maka allah juga akan mengabulkan hajatnya,
dan barang siapa memudahkan orang yang sedang kesulitan maka Allah akan
memberikan jalan kemudahan pada hari perhitungan di hari kiamat kelak,
khususnya jika seseorang memberikan pertolongan dalam hal menuntut ilmu.
Kedua belas, apabila ada sebagian murid yang tidak hadir dan senantiasa
dengan ketidakhadirannya ketika pembelajaran berlangsung maka guru mesti
menanyakan keberadaannya dan sesuatu yang menjadi penyebab
ketidakhadirannnya. Jika dia tidak ada mengabarkan satupun maka sebaiknya
perintahkan seseorang untuk mencari kabarnya atau guru tersebut lebih baik
langsung datang ke rumah murid tersebut.
Apabila murid tersebut sakit maka jenguk atau kunjungi dia, jika dia
dalam kesusahan maka bantu dia untuk meringankan kesusahan tersebut, atau
jika dia dalam keadaan perjalanan maka cari keluarganya dan yang masih ada
kaitan dengannya dan menanyakan kepada mereka serta memberikan
keperluan-keperluan mereka yang cukup dan menjalin hubungan dengan
mereka jika hal tersebut dimungkinkan meskipun dengan do’a.
Ketahuilah bahwasanya murid yang baik akan membalas
kebaikan gurunya dunia dan akhirat baik itu dengan memberikan
sesuatu yang dapat mencukupi gurunya atau dengan mengunjungi
kerabatnya. Oleh karena itu para ulama terdahulu, mereka senantiasa
memberi nasehat semata-mata karena Allah dan agamanya serta
senantiasa bersungguh-sungguh di jalannya terutama senang mendekati
dan memberikan ilmu kepada orang yang menuntut ilmu yang
memberikan mafaatnya dari ilmunya tersebut kepada orang lain baik
pada kehidupannya maupun kehidupan setelah mereka, meskipun yang
diajarkan ini tidak menjadi orang alim tetapi walaupun hanya seorang
yang menuntut ilmu dan ilmu yang diberikan tersebut dapat bermanfaat
kepada orang lain baik dengan mengajarkan kembali ilmunya atau
dengan amalannya sifat zuhud yang dimilikinya serta dapat
memberikan tuntuan kepada orang lain, maka itu sudah cukup disisi
Allah Swt.
Maka sesungguhnya tidak akan berpindah ilmu seseorang itu kepada
orang lain yang dapat memberikan manfaat kepadanya melainkan baginya
(yang memberikan ilmu) akan mendapatkan balasan berupa pahala
sebagaimana dalam sebuah hadits yang shahih sabda Nabi Saw.: “Apabila
meninggal seorang hamba maka akan terputus amalnya kecuali dalam 3 hal
yaitu shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat serta anak shaleh yang selalu
mendoakannya”.
Maksud dari 3 hal yang disebutkan tadi yaitu orang yang mengajarkan
ilmu. Adapun shadaqah bagian dari ilmu yang mengandung manfaat yang terus
mengalir didalamnya. Sebagaimana dalam sebuah sabda Nabi Saw. tentang
bagi orang yang shalat barang siapa berniat bershadaqah dengan cara shalat
apa saja yang ada padanya maka akan memperoleh pahala fadilah jama’ah.
Seorang guru yang berilmu akan membawa muridnya untuk
memperoleh fadhilah ilmu tersebut dimana kedudukan ilmu lebih utama dari
shalat berjama’ah dan akan memperoleh kemuliaan dunia dan akhirat. Adapun
ilmu bermanfa’at itu akan tampak dengan sendirinya karena kedudukan
seorang guru tersebut yang mengamalkan dengan ilmu sehingga ilmu tersebut
menjadi bermanfa’at. Do’a orang yang shaleh merupakan sesuatu yang
senantiasa terucapkan baik lidah orang yang berilmu dan ahli hadits semuanya
sebagai bentuk doa kepada guru-guru mereka.
Ketigabelas, hendaknya guru senantiasa bersikap rendah diri terlebih
lagi kepada murid dan kepada setiap orang yang diberi petunjuk/pelajaran
darinya khususnya dalam menunaikan segala hal yang wajib dalam hak-hak
kepada Allah dan hak-hak murid itu sendiri dan seorang guru merendahkan diri
serta bersikap lembut kepada murid, sebagaimana firman Allah Swt. kepada
Nabi Muhammad Saw.: “Dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang
beriman yang mengikutimu”, dan telah membenarkan Nabi Saw. dalam sabda
beliau “Sesungguhnya Allah Swt. telah mewahyukan kepadaku untuk bersikap
tawadhu, dan tidaklah orang yang bersikap tawadhu kepada orang lain
melainkan Allah akan mengangkat derajatnya.
Keempatbelas, hendaknya guru menggunakan perkataan yang baik
kepada setiap murid sebagai bentuk penghormatan kepadanya dan memanggil
nama-nama mereka dengan nama yang baik, begitu juga hendaknya guru
menyapa mereka ketika bertemu, serta memuliakan mereka jika duduk dengan
mereka dan menanyakan keadaaan mereka serta keadaan orang yang berada
disekeliling mereka (keluarga) setelah menjawab salam mereka, menerima dan
menyambut mereka dengan wajah yang gembira menunjukan kesenangan dan
rasa cinta kepada mereka, apalagi akan bertambah senang jika ada murid yang
dijadikan harapan kelak keberhasilannya dan menunjukan kegigihannya dalam
belajar. Ringkasnya bahwa mereka merupakan wasiat Rasulullah Saw.
sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Sa’id Al-Khudriy ra. Nabi Saw.
bersabda: “Sesungguhnya manusia itu bagi kalian sebagai pengikut, dan
bahwasanya laki-laki itu akan datang kepada kalian dari penjuru bumi untuk
memahami dan mempelajari agama, maka apabila mereka mendatangi kalian
maka berilah wasiat yang baik kepada mereka”.
Berdasarkan petunjuk Al-quran sebagaimana disebutkan di atas,
terdapat empat hal yang berkenaan dengan guru. Pertama, seorang guru harus
memiliki tingkat kecerdasan intelektual yang tinggi, sehingga mampu
menangkap pesan-pesan ajaran, hikmah, petunjuk dan rahmat dari segala
ciptaan Tuhan, serta memiliki potensi batiniyah yang kuat sehingga ia dapat
mengarahkan hasil kerja dari kecerdasannya untuk diabdikan kepata Tuhan;
Kedua, seorang guru harus dapat mempergunakan kemampuan intelektual dan
emosional spiritualnya untuk memberikan peringatan kepada manusia lainnya,
sehingga manusia-manusia tersebut dapat beribadah kepada Allah Swt; Ketiga,
seorang guru harus dapat membersihkan diri orang lain dari segala perbuatan
dan akhlak yang tercela; Keempat, seorang guru harus berfungsi sebagai
pemelihara, pembina, pengarah, pembimbing, dan pemberi bekal ilmu
pengetahuan, pengalaman dan keterampilan kepada orang-orang yang
memerlukannya.
Istilah-istilah yang mengacu kepada pengertian guru dapat pula
ditemukan dalam hadits Rasulullah Saw. Dalam hubungan ini dijumpai kata
‘alim seperti dalam hadits yang artinya; Jadilah kamu sebagai orang yang ‘alim
(berpengetahuan/guru), atau sebagai muta’allim (orang yang mencari ilmu),
atau pendengar, atau sebagai pengikut/simpatisan setia, dan janganlah jadi
orang yang kelima, yaitu orang yang tidak memilih salah satu dari posisi
tersebut.
Selanjutnya di jumpai pula kata Al-muaddib seperti pada hadits yang
artinya: Tuhan telah mendidikku, maka mudah-mudahan pendidikanku
menjadi baik. Pengertian ‘alim dalam hadits tersebut sejalan dengan pengertian
‘alim dalam Al-quran. Sedangkan kata mu’addib digunakan sebagai guru
dalam lingkungan istana sebagaimana telah dijelaskan di atas.
Pengertian dan fungsi guru sebagaimana diungkapkan dalam Al-quran
dan As-Sunnah di atas, sejalan pula dengan pengertian dan fungsi guru dalam
arti profesional. Dalam diskusi pengembangan model pendidikan prefesional
tenaga kependidikan yang diselenggarakan oleh PPS IKIP Bandung tahun
1990, dirumuskan sepuluh ciri profesi, yaitu: 1) memiliki fungsi dan
sigmifikansi sosial, 2) memiliki keahlian dan keterampilan dengan teori dan
metode ilmiah, 3) didasarkan atas disiplin ilmu yang jelas, 4) diperoleh dengan
pendidikan dalam masa tertentu yang cukup lama, 5) aplikasi dan sosialisasi
nilai-nilai profesional, 6) memiliki kode etik, 7) kebebasan untuk memberikan
keputusan dalam memecahkan masalah dalam lingkup kerjanya, 8) memiliki
tanggung jawab profesional dan otonomi, 9) memperoleh pengakuan dari
masyarakat dan 10) mendapatkan imbalan atas kerja profesionalnya.
Berdasarkan uraian tersebut dapat di ketahui bahwa setiap orang yang
memiliki ciri-ciri profesional sebagaimana disebut di atas adalah sebagai guru
dalam pengertian yang profesional. Memang masih ada anggapan masyarakat
bahwa setiap orang bisa menjadi guru atau pendidik. Hal ini memang sulit
dihindari, walaupun telah ada batas yang jelas antara pendidikan formal
dengan pendidik informal, atau antara pendidik profesional dengan pendidik
non-profesional.
Dari ayat-ayat Al-quran dan penjelasanya sebagaimana disebut di atas,
tampah bahwa Al-quran mengisyaratkan perlunya pendidikan yang profesional
dan bukan pendidikan non-profesional atau pendidik asal-asalan. Hal ini dapat
dilihat dari isyarat Rasulullah Saw, dalam haditsnya yang menjelaskan bahwa:
“Apabila suatu urusan diserahkan buka pada ahlinya, maka tunggulah
kehancurannya”. Hal ini sejalan pula dengan firman Allah Swt. yang artinya:
“Katakanlah hai Muhammad bahwa setiap orang bekerja menurut
keahliannya”. Dan ayat lain yang artinya “Bekerjalah kamu menurut
keahlianmu sekalian”. Guru yang demikian itulah yang patut dihormati,
dibina, dikembangkan dan semakin diperbanyak jumlahnya.12
1. Makna Guru
Dalam pengertian yang sederhana, guru adalah orang yang memberikan
ilmu pengetahuan kepada anak didik. Guru dalam pandangan masyarakat
adalah orang yang melaksanakan pendidikan di tempat-tempat tertentu, tidak
mesti di lembaga pendidikan formal, tetapi bisa juga di mesjid, di
surau/mushala, di rumah, dan sebagainya.
Guru memang menempati kedudukan yang terhormat di masyarakat.
Kewibawaanlah yang menyebabkan guru dihormati, sehingga masyarakat tidak
meragukan figur guru. Masyarakat yakin bahwa gurulah yang dapat mendidik
anak didik mereka agar menjadi orang yang bekepribadian mulia.
Dengan kepercayaan yang diberikan masyarakat, maka di pundak guru
diberikan tugas dan tanggung jawab yang berat. Mengemban tugas memang
berat. Tapi lebih berat lagi mengemban tanggung jawab. Sebab tanggung
jawab guru tidak hanya sebatas dinding sekolah, tetapi juga di luar sekolah.
Pembinaan yang harus guru berikan pun tidak hanya secara kelompok
(klasikal), tetapi juga secara individual.
12
Abuddin Nata, Perspektif Islam tentang Pola Hubungan Guru-Murid: Studi
Pemikiran Tasawuf Al-Ghazali, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2001), Cet. Ke-1, h. 47-49.
Hal ini mau tidak mau menuntut guru agar selalu memperhatikan sikap,
tingkah laku, dan perbuatan anak didiknya tidak hanya di lingkungan sekolah
tetapi di luar sekolah sekalipun. Dikatakan oleh Drs N.A. Ametembun, bahwa
guru adalah semua orang yang berwenang dan bertanggung jawab terhadap
pendidikan murid-murid, baik secara individual ataupun klasikal, baik di
sekolah maupun di luar sekolah.
2. Persyaratan Guru
Dengan kemuliaannya, guru rela mengabdikan diri di desa terpencil
sekalipun. Dengan segala kekurangan yang ada guru berusaha membimbing
dan membina anak didik agar menjadi manusia yang berguna bagi nusa dan
bangsanya di kemudian hari.
Gaji yang kecil, jauh dari memadai, tidak membuat guru berkecil hati
dengan sikap frustasi meningkatkan tugas dan tanggung jawab sebagai guru.
Karenanya sangat wajar di pundak guru diberikan atribut sebagai “pahlawan
tanpa tanda jasa”.
Menjadi guru berdasarkan tuntutan hati nurani tidaklah semua orang
dapat melakukannya, karena orang harus merelakan sebagian besar dari
seluruh hidup dan kehidupannya mengabdi kepada negara dan bangsa guna
mendidik anak didik menjadi manusia susila yang cakap, demokratis, dan
bertanggung jawab atas pembangunan dirinya dan pembangunan bangsa dan
negara.
Menjadi guru menurut Prof. Dr. Zakiah Daradjat dan kawan-kawan13
tidak sembarangan, tetapi harus memenuhi beberapa persyaratan seperti di
bawah ini:
a) Takwa kepada Allah Swt
Guru, sesuai dengan tujuan ilmu pendidikan Islam, tidak mungkin
mendidik anak didik agar bertakwa kepada Allah, jika ia sendiri tidak bertakwa
kepada-Nya. Sebab ia adalah teladan bagi anak didiknya sebagaimana
Rasulullah Saw. menjadi teladan bagi umatnya. Sejauhmana seorang guru
mampu memberi teladan yang baik kepada semua anak didiknya, sejauh itu
pulalah ia diperkirakan akan berhasil mendidik mereka agar menjadi generasi
penerus bangsa yang baik dan mulia.
b) Berilmu
Ijazah bukan semata-mata secarik kertas, tetapi suatu bukti, bahwa
pemiliknya telah mempunyai ilmu pengetahuan dan kesaanggupan tertentu
yang diperlukannya untuk suatu jabatan. Guru pun harus mempunyai ijazah
agar ia diperbolehkan mengajar.
13
Syaiful Bahri Djamarah, Guru dan Anak Didik dalam Interaksi Edukatif, h. 32-34.
Kecuali dalam keadaan darurat, misalnya jumlah anak didik sangat
meningkat, sedang jumlah guru jauh dari mencukupi, maka terpaksa
menyimpang untuk sementara, yakni menerima guru yang belum berijazah.
Tetapi dalam keadaan normal ada patokan bahwa makin tinggi pendidikan
guru makin baik pendidikan dan pada gilirannya makin tinggi pula derajat
masyarakat.
c) Sehat Jasmani
Kesehatan jasmani kerap kali dijadikan salah satu syarat bagi mereka
yang melamar untuk menjadi guru. Guru yang mengidap penyakit menular,
umpamanya, sangat membahayakan kesehatan anak-anak. Di samping itu, guru
yang berpenyakit tidak akan bergairah mengajar. Kita kenal ucapan “mens
sana in corpore sano”, yang artinya dalam tubuh yang sehat terkandung jiwa
yang sehat. Walaupun pepatah itu tidak benar secara keseluruhan, akan tetapi
kesehatan badan sangat mempengaruhi semangat bekerja. Guru yang sakit-
sakitan kerapkali terpaksa absen dan tentunya merugikan anak didik.
d) Berkelakuan Baik
Budi pekerti guru penting dalam pendidikan watak anak didik. Guru
harus menjadi teladan, karena anak-anak bersifat suka meniru. Di antara tujuan
pendidikan yaitu membentuk akhlak yang mulia pada diri pribadi anak didik
dan ini hanya mungkin bisa dilakukan jika pribadi guru berakhlak mulia. Guru
yang tidak berakhlak mulia tidak mungkin dipercaya untuk mendidik.
Yang dimaksud dengan akhlak mulia dalam ilmu pendidikan Islam
adalah akhlak yang sesuai dengan ajaran Islam. Seperti dicontohkan oleh
pendidik utama, Nabi Muhammad Saw. Di antara akhlak mulia guru tersebut
adalah mencintai jabatannya sebagai guru, bersikap adil terhadap semua anak
didiknya, berlaku sabar dan tenang, berwibawa, gembira, bersifat manusiawi,
bekerjasama dengan guru-guru lain, bekerjasama, dengan masyarakat.
Di Indonesia untuk menjadi guru diatur dengan beberapa persyaratan,
yakni berijazah, profesional, sehat jasmani dan rohani, takwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa dan kepribadian yang luhur, bertanggung jawab, dan berjiwa
nasional.
e) Tanggung Jawab Guru
Guru adalah orang yang bertanggung jawab mencerdaskan kehidupan
anak didik. Pribadi susila yang cakap adalah yang diharapkan ada pada diri
setiap anak didik. Tidak ada seorang gurupun yang mengharapkan anak
didiknya menjadi sampah masyarakat. Untuk itulah guru dengan penuh
dedikasi dan loyalitas berusaha membimbing dan membina anak didik agar di
masa mendatang menjadi orang yang berguna bagi nusa dan bangsa.
Setiap hari guru meluangkan waktu demi kepentingan anak didik. Bila
suatu ketika ada anak didik yang tidak hadir di sekolah, guru menanyakan
kepada anak-anak yang hadir, apa sebabnya dia tidak hadir ke sekolah. Anak
didik yang sakit, tidak bergairah belajar, terlambat masuk sekolah, belum
menguasai bahan pelajaran, berpakaian sembarangan, berbuat yang tidak baik,
terlambat membayar uang sekolah, tak punya seragam, dan sebagainya,
semuanya menjadi perhatian guru.
Karena besarnya tanggung jawab guru terhadap anak didiknya, hujan
dan panas bukanlah menjadi penghalang bagi guru untuk selalu hadir ditengah-
tengah anak didiknya. Guru tidak pernah memusuhi anak didiknya meskipun
suatu ketika ada anak didiknya yang berbuat kurang sopan pada orang lain.
Bahkan dengan sabar dan bijaksana guru memberikan nasihat bagaimana cara
bertingkah laku yang sopan pada orang lain.
Karena profesinya sebagai guru adalah berdasarkan panggilan jiwa,
maka bila guru melihat anak didiknya senang berkelahi, meminum minuman
keras, mengisap ganja, datang ke rumah-rumah bordil, dan sebagainya, guru
merasa sakit hati. Siang atau malam selalu memikirkan bagaimana caranya
agar anak didiknya itu dapat dicegah dari perbuatan yang kurang baik, asusila,
dan amoral.
Guru seperti itulah yang diharapkan untuk mengabadikan diri di
lembaga pendidikan. Bukan guru yang hanya menuangkan ilmu pengetahuan
ke dalam otak anak didik. Sementara jiwa, dan wataknya tidak dibina.
Memberikan ilmu pengetahuan kepada anak didik adalah suatu
perbuatan yang mudah, tetapi untuk membentuk jiwa dan watak anak didik
itulah yang sukar, sebab anak didik yang dihadapi adalah makhluk hidup yang
memiliki otak dan potensi yang perlu dipengaruhi dengan sejumlah norma
hidup sesuai ideologi falsafah dan bahkan agama.
Menjadi tangung jawab guru untuk memberikan sejumlah norma itu
kepada anak didik agar tahu mana perbuatan yang susila dan asusila, mana
perbuatan yang bermoral dan amoral. Semua norma itu tidak mesti harus guru
berikan ketika di kelas, di luar kelas pun sebaiknya guru contohkan melalui
sikap, tingkah laku, dan perbuatan. Pendidikan dilakukan tidak semata-mata
dengan perkataan, tetapi dengan sikap, tingkah laku, dan perbuatan.
Anak didik lebih banyak menilai apa yang guru tampilkan dalam
pergaulan di sekolah dan di masyarakat daripada apa yang guru katakan, tetapi
baik perkataan maupun apa yang guru tampilkan, keduanya menjadi penilaian
anak didik. Jadi, apa yang guru katakan harus guru praktekkan dalam
kehidupan sehari-hari. Misalnya, guru memerintahkan kepada anak didik agar
hadir tepat pada waktunya. Bagaimana anak didik mematuhinya sementara
guru sendiri tidak disiplin dengan apa yang pernah dikatakan.
Perbuatan guru yang demikian mendapat protes dari anak didik. Guru
tidak bertanggung jawab atas perkataannya. Anak didik akhirnya tidak percaya
lagi kepada guru dan anak didik cenderung menentang perintahnya. Inilah
sikap dan perbuatan yang ditunjukkan oleh anak didik.
Sesungguhnya guru yang bertanggung jawab memiliki beberapa sifat,
yang menurut Wens Tanlain dan kawan-kawan,14
ialah:
(1) Menerima dan mematuhi norma, nilai-nilai kemanusiaan;
(2) Memikul tugas mendidik dengan bebas, berani, gembira (tugas
buka menjadi beban baginya);
(3) Sadar akan nilai-nilai yang berkaitan dengan perbuatannya serta
akibat-akibat yang timbul (kata hati);
(4) Menghargai orang lain, termasuk anak didik;
(5) Bijaksana dan hati-hati (tidak nekat, tidak sembrono, tidak
singkat akal); dan,
(6) Takwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Jadi, guru harus bertanggung jawab atas segala sikap, tingkah laku, dan
perbuatannya dalam rangka membina jiwa dan watak anak didik. Dengan
demikian, tanggung jawab guru adalah untuk membentuk anak didik agar
menjadi orang bersusila yang cakap, berguna bagi agama, nusa, dan bangsa di
masa yang akan datang.
14
Syaiful Bahri Djamarah, Guru dan Anak Didik dalam Interaksi Edukatif, h. 34-36.
3. Tugas Guru
Guru adalah figur seorang pemimpin. Guru adalah sosok arsitektur
yang dapat membentuk jiwa dan watak anak didik. Guru mempunyai
kekuasaan untuk membentuk dan membangun kepribadian anak didik menjadi
seorang yang berguna bagi agama, nusa dan bangsa. Guru bertugas
mempersiapkan manusia susila yang cakap yang dapat diharapkan membangun
dirinya dan membangun bangsa dan negara.
Jabatan guru memiliki banyak tugas, baik yang terikat oleh dinas
maupun di luar dinas dalam bentuk pengabdian. Tugas guru tidak hanya
sebagai suatu profesi, tetapi juga sebagai suatu tugas kemanusiaan dan
kemasyarakat.
Tugas guru sebagai suatu profesi menuntut kepada guru untuk
mengembangkan profesionalitas diri sesuai perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi. Mendidik, mengajar, dan melatih anak didik adalah tugas guru
sebagai suatu profesi.
Tugas guru sebagai pendidik berarti meneruskan dan mengembangkan
nilai-nilai hidup kepada anak didik. Tugas guru sebagai pengajar berarti
meneruskan dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi kepada
anak didik. Tugas guru sebagai pelatih berarti mengembangkan keterampilan
dan menerapkannya dalam kehidupan demi masa depan anak didik.
Tugas kemanusiaan salah satu segi dari tugas guru. Sisi ini tidak bisa
guru abaikan, karena guru harus terlibat dengan kehidupan di masyarakat
dengan interaksi sosial. Guru harus menanamkan nilai-nilai kemanusiaan
kepada anak didik. Dengan begitu anak didik di didik agar mempunyai sifat
kesetiakawanan sosial.
Guru harus dapat menempatkan diri sebagai orang tua kedua, dengan
mengemban tugas yang dipercayakan orang tua kandung/wali anak didik
dalam jangka waktu tertentu. Untuk itu pemahaman terhadap jiwa dan watak
anak didik diperlakukan agar dapat dengan mudah memahami jiwa dan watak
anak didik. Begitulah tugas guru sebagai orang tua kedua, setelah orang tua
anak didik di dalam keluarga di rumah.
Di bidang kemasyarakatan merupakan tugas guru yang juga tidak kalah
pentingnya. Pada bidang ini guru mempunyai tugas mendidik dan mengajar
masyarakat untuk menjadi warga negara Indonesia yang bermoral Pancasila.
Memang tidak dapat dipungkiri bila guru mendidik anak didik sama halnya
guru mencerdaskan bangsa Indonesia.
Bila di pahami, maka tugas guru tidak hanya sebatas dinding sekolah,
tetapi juga sebagai penghubung antara sekolah dan masyarakat. Bahkan bila
dirinci lebih jauh, tugas guru tidak hanya yang telah disebutkan. Menurut
Roestiyah N. K., bahwa guru dalam menididk anak didik bertugas untuk:
a. Menyerahkan kebudayaan kepada anak didik berupa kepandaian
kecakapan, dan pengalaman-pengalaman.
b. Membentuk kepribadian anak yang harmonis, sesuai cita-cita
dan dasar negara kita pancasila.
c. Menyiapkan anak menjadi warga negara yang baik sesuai
Undang-Undang Pendidikan yang merupakan Keputusan MPR
No. II Tahun 1983.
d. Sebagai perantara dalam belajar. Di dalam proses belajar guru
hanya sebagai perantara/medium, anak harus berusaha sendiri
mendapatkan suatu pengertian/insight, sehingga timbul
perubahan dalam pengetahuan, tingkah laku, dan sikap.
e. Guru adalah sebagai pembimbing, untuk membawa anak didik
ke arah kedewasaan, pendidik tidak maha kuasa, tidak dapat
membentuk anak menurut sekehendaknya.
f. Guru sebagai penghubung antara sekolah dan masyarakat. Anak
nantinya akan hidup dan bekerja, serta mengabdikan diri dalam
masyarakat, dengan demikian anak harus dilatih dan dibiasakan
di sekolah di bawah pengawasan guru. Sebagai penegak disiplin,
guru menjadi contoh dalam segala hal, tata tertib dapat berjalan
bila guru dapat menjalani lebih dahulu.
g. Guru sebagai administrator dan manajer. Di samping mendidik,
seorang guru harus dapat mengerjakan urusan tata usaha seperti
membuat buku kas, daftar induk, raport, daftar gaji dan
sebagainya, serta dapat mengkoordinasi segala pekerjaan di
sekolah secara demokratis, sehingga suasana pekerjaan penuh
dengan rasa kekeluargaan.
h. Pekerjaan guru sebagai suatu profesi. Orang yang menjadi guru
karena terpaksa tidak dapat bekerja dengan baik, maka harus
menyadari benar-benar pekerjaannya sebagai suatu profesi.
i. Guru sebagai perencana kurikulum. Guru menghadapi anak-anak
setiap hari, gurulah yang paling tahu kebutuhan anak-anak dan
masyarakat sekitar, maka dalam penyusunan kurikulum,
kebutuhan ini tidak boleh ditinggalkan.
j. Guru sebagai pemimpin (guidance worker). Guru mempunyai
kesempatan dan tanggung jawab dalam banyak situasi untuk
membimbing anak ke arah pemecahan soal, membentuk
keputusan, dan menghadapkan anak-anak pada problem.
k. Guru sebagai sponsor dalam kegiatan anak-anak. Guru harus
turut aktif dalam segala aktifitas anak, misalnya dalam
ekstrakurikuler membentuk kelompok belajar dan sebagainya.
Dengan meneliti poin-poin tersebut, tahulah bahwa tugas guru tidak
ringan. Profesi guru harus berdasarkan panggilan jiwa, sehingga dapat
menunaikan tugas dengan baik dan ikhlas. Guru harus mendapatkan haknya
secara proposional dengan gaji yang patut diperjuangkan melebihi profesi-
profesi lainnya, sehingga keinginan peningkatan kompetensi guru dan kualitas
belajar anak didik bukan hanya sebuah slogan di atas kertas.15
M. Adab Terhadap Kitab
Adab dengan kitab-kitab merupakan alat ilmu dan segala sesuatu yang
berkaitan dalam memperoleh ilmu tersebut malalui alatnya baik dalam hal
meletakkannya maupun tulisannya. Maka dalam hal ini adab terhadap kitab
ilmu tersebut ada 5 macam:
Pertama, hendaknya bagi penuntut ilmu mengetahui bagaimana kitab-
kitab yang diperlukan tersebut diperoleh baik dengan cara dibeli secara kontan
atau berhutang, karena kitab-kitab tersebut merupakan salah satu alat dalam
memperoleh ilmu, dan jangan menjadikan dalam memperoleh kitab tersebut
bagian dari ilmu dan mengumpulkan kitab-kitab tersebut bagian dari ilmu
dalam memahaminya sebagaimana yang dilakukan kebanyakan para penuntut
ilmu sekarang ini, dan begitu indahnya ucapan sebagian mereka: “Apabila
engkau tidak dapat menjadi penghafal yang faham, dan engkau mengumpulkan
15
Syaiful Bahri DJamarah, Guru dan Anak Murid dalam Interaksi Edukatif; Suatu
Pendekatan Teoritis Psikologis, (Jakarta: Rineka Cipta, 2010), h. 176 186.
kitab-kitab maka hal itu tidak bermanfa’at, engkau mengucapkan sesuatu hal
yang bodoh di sebuah majlis, sedangkan ilmumu di tinggal di rumah
tersimpan”.
Jika dimungkinkan engkau memperoleh kitab tersebut dengan membeli
maka jangan engkau salin kitab tersebut dan hendaknya tidak disibukan
dengan selalu menyalinnya kecuali ada keudzuran dalam memperolehnya
seperti tidak mempunyai uang atau biaya untuk menyalinnya, dan tidak terlalu
berlebihan dalam memperbagus tulisan tetapi lebih baik memperhatikan dalam
hal perbaikan tulisannya, dan jangan meminjam kitab dimana kita dapat
membelinya dan mempunyai uang untuk memperolehnya.
Kedua dianjurkan untuk meminjam kitab bagi orang tidak ada darurat
kepada orang yang tidak ada darurat pula, dan hendaknya bagi orang yang
meminjam mengucapkan terima kasih kepada orang yang meminjami kitab
tersebut dan jangan terlalu lama meminjam kitab tersebut tanpa ada keperluan
akan tetapi alangkah baiknya untuk mengembalikannya dengan segera jika
telah menggunakan sesuai keperluannya, dan tidak boleh memperbaiki
sedikipun isi kitab tersebut tanpa izin pemiliknya dan jangan pula mencatat di
sampingnya, juga jangan menulis apapun baik diawal kitab tersebut maupun
diakhirannya melainkan jika diketahui dan ada kerelaan dari pemiliknya,
jangan pula mencoretnya, dan jangan meminjamkannya ke orang lain, dan
jangan meninggalkan kitab tersebut tanpa ada darurat, tidak pula menghapus
tulisannya tanpa ada izin dari pemiliknya, dan jika dihapus juga dengan izin
pemiliknya maka jangan menulis di kitabnya tetapi alangkah baiknya di kertas
khusus atau dapat di atas tulisan dari kitab tersebut, serta jangan pula
meletakkan botol/tempat tinta di atas kitab tersebut.
Ketiga, apabila ada yang dihapus dari kitab tersebut atau hendak
mengulang-ngulang kitab tersebut maka jangan meletakkannya di atas tanah
yang dihamparkan, tetapi menjadikannya tumpukan dua kitab atau dengan
meja khusus untuk kitab-kitab agar tersusun dengan baik, dan jika
meletakkannya ditempat yang penuh dengan tumpukan maka sebaiknya diatas
meja untuk kitab atau dibawahnnya diletakkan kayu atau sejenisnya, dan
jangan meletakkannya di atas tanah agar tidak terkena basah. Apabila kitab-
kitab tersebut diletakkan di atas kayu atau sejenisnya maka hendaknya
diletakkan di atas dan dibawahnya yang dapat menjaga kitab tersebut dari
segala macam terkena kotoran tembok atau sejenisnya.
Hendaknya memiliki adab dalam meletakkan kitab-kitab berdasarkan
ilmu yang ada dalam kitab tersebut, kemuliaannya, kemulian pengarang dan
ketinggian derajat mereka maka hendaknya meletakkannya ditempat yang
termulia dari yang lainnya, kemudian mempelajarinya secara bertahap jika
kitab tersebut adalah Al-quran dan menjadikannya terlebih mulia dari yang
lain, dan yang lebih utama lagi menjadikan ukuran pada kitab tersebut yang
memiliki batas dengan paku-paku sebagai tanda dalam susunan kitab sehingga
menjadi lebih teratur dan bersih yang di pajang di tengah majlis kemudian
setelah Al-quran itu kitab hadits yang murni, kemudian tafsir Al-quran, tafsir
hadits, ushuluddin, ushul fiqh, Nahwu, Sharaf, kitab syair-syair arab, kemudian
kitab ilmu ‘arud, dan hendaknya ditulis jenis kitab tersebut disisi halaman
terakhir paling bawah.
Dan menjadikan setiap pojok huruf dengan terjemahan dipinggir kitab
tersebut yang didalam terdapat bismillah. Kegunaan adanya terjemah ini untuk
mengetahui kitab tersebut dan memudahkan untuk memilih kitab tersebut
diantara kitab-kitab yang lain.
Apabila meletakkan kitab maka sebaiknya membuat catatan dipinggir
tersebut dari permulaan basmalatr kemudian awal isi kitab sampai kebawah
seterusnya, dan jengan meletakkan susunan lembaran kitab dibawah lembaran
yang kecil, serta jangan pula menjadikan kitab hanya simpanan pada rak-rak
buku atau lainnya, dan jangan menjadikan kitab sebagai alas/bantal dan jangan
pula sebagai kipas, dan jangan pula melipat lembarannya baik pada catatan
dipinggirnya maupun pada sudut lembaran kitab tersebut.
Keempat, apabila meminjam sebuah kitab atau membelinya teliti
terlebih dahulu awal kitab tersebut, kemudian pada lembaran terakhirnya,
tengahnya, kemudian susunan bab-babnya, tulisannya, lembaran-lembaran
halamannya.
Kelima, apabila hendak menulis sesuatu dari ilmu-ilmu syariat maka
sebaiknya dalam keadaan suci (berwudhu), menghadap kiblat, bersih badan,
dan pakaian dengan tinta yang baik dan memulai di setiap kitab dengan tulisan
bismillahirrahmanirahim, maka jika pada kitab tersebut terdapat sambutan
dimuat didalamnya tulisan “memujji kepada Allah dan shalawat atas nabi
Muhammad Saw” yang ditulis setelah basmalah.
Begitu juga ditulis diakhir dari kitab tersebut dan akhir dari setiap juz
dari kitab tersebut, dan setiap kali setelah menulis diakhir juz pertama dan
kedua misalnya ditulis dengan keteranjutnya begini dan begini jika pada kita
tersebut belum sempurna tulisannya, dan ditulis jika sudah sempurna dengan
tulisan “ � ا����ب�� ا� ”, hal ini mengandung banyak faedah, dan
dimakruhkan menulis sesuatu nama yang disandarkan kepadaAllah seperti
Abdullah, Abdunahman bin Fulan sebaiknya dengan tulisan hamba pada akhir
baris dan nama Allah yang disertai bin fulan baik awalnya maupun diakhirnya,
akan tetapi sebagian ulama menjauhi perbuatan tersebut, begitu juga makruh
ada tulisan Rasulullah pada akhir kitab tersebut dan Allah diletakkan pertama.
Begitu juga seluruhnya yang menyerupai bentuk tersebut baik berupa ketidak
jelasan dalam tulisan seperti ada terdapat tulisan yang terpotong seperti pada
tulisan “ ر��� إ�� ���� ا��� ” pada akhir tulisan dan “ ر إ�� ���� ا��� ” di awal
tulisannya, atau menulis kata “ل� �” pada sebuah riwayat hadis seperti riwayat
hadis minuman khamar “������ �ل ! � ا$#ا� ا" و! � و�”pada lafaz yang
pertamanya, dan tidak mengapa jika ada pasal yang bersandar dengan 2 lafaz
jika kata tersebut tidak termasuk mubham (tidak jelas), seperti “ "ن ا�&'(”
akan tetapi lebih baik dijadikan satu kata, dan jika setiap kali ditulis nama
Allah maka diikuti dengan ta’zhim (sifat keagungan) seperti “)���” atau “
)���'�رك “ atau ”+� ذآ��“ atau ”'�رك و���atau “) ”!# و+�“(” atau'&��* و
“ atau ”إ) * !2 �* ح��0 ” dan yang lainnya.
Begitu juga setiap kali menulis nama Nabi Saw. maka ditulis
setelahnya “ 5�ة وا�5�م !�3* ا� ” dan hal itu yang telah dilakukan oleh para
ulama terdahulu dengan menulis “�3(ا" !�3* و )3�” dan semoga dengan
maksud tulisan tersebut sesuai denga apa yang telah difirmankan oleh Allah
Swt.:
yang artinya maka bershalawatlah kalian kepada �83ا !�3* و)3 8ا �37 �
nabi Muhammad dan berilah salam keselamatan, dan jangan diringkas tulisan
shalawat tersebut meskipun dalam penulisan disebutkan berulang-ulang
sebagaimana yang diperbuat oleh sebagian orang yang mahrumin yang ditulis
dengan “ 3� �� ” atau “ص م” dan semua itu tidak pantas disandarkan kepada
Nabi Saw.
Kemudian apabila menyebutkan sahabat maka ditulis setelahnya “ ر:
dan jika yang ditulis tersebut anak dari para sahabat maka ditulis ”ا" !�*
setelahnya “ !�; � ر: ا" ”, dan setiap kali menyebutkan salah satu dari para
ulama salafusshalihin maka ditulis setelahnya “*�3! "رح � ا” dan terlebih
khusus lagi para pemimpin Islam dan orang yang memberi petunjuk akan
Islam, maka ditulis setelah nama mereka itu tulisan tersebut dan meskipun jika
tidak tertulis pun sudah dinuqilkan padanya.
Adanya tulisan ini bukan datang dari sebuah riwayat melainkan sebagai
bentuk do’a. Dan hendaknya bagi setiap pembaca untuk membaca segala yang
disebutkan dan yang tidak disebutkan karena pada pokoknya telah
membacakannya, serta jangan bosan jika terulang-ulang menyebutkannya
karena ini adalah bentuk kebaikan yang sangat besar dan keutamaan yang
sangat agung.
Telah sempurna kitab yang membahas tentang adab guru dan murid,
dan proses pengumpulannya dilakukan pada waktu subuh hari Ahad tanggal 21
jumadil tsani tahun 1343 dan hijrahnya junjungan kita Nabi Muhammad Saw.
serta keluarga dan para sahabat beliau seluruhnya.