kedudukan mahar dalam perkawinan.doc

21
KEDUDUKAN MAHAR DALAM PERKAWINAN MAKALAH Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Hukum Perkawinan Islam Disusun Oleh: Nama : Siti Isnawati NPM : 11.0298.1 Fak. / Jur. : Syari’ah /AS Tk. / Smt : II / III 1

Upload: asep-bunyamin

Post on 19-Jul-2016

87 views

Category:

Documents


23 download

TRANSCRIPT

Page 1: Kedudukan Mahar dalam perkawinan.doc

KEDUDUKAN MAHAR DALAM PERKAWINAN

MAKALAH

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Hukum Perkawinan Islam

Disusun Oleh:

Nama : Siti IsnawatiNPM : 11.0298.1Fak. / Jur. : Syari’ah /ASTk. / Smt : II / III

INSTITUT AGAMA ISLAM CIPASUNGSINGAPARNA - TASIKMALAYA

2012

1

Page 2: Kedudukan Mahar dalam perkawinan.doc

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, hanya dengan petunjuk dan hidayah-Nya sajalah makalah

Perceraian Menurut Piqh ini bisa terwujud dan sampai dihadapan dosen dan para

pembaca yang berbahagia. Sholawat dan salam semoga selalu tercurah kepada

baginda alam Nabi Muhammad SAW, yang telah di berikan keistimewaan oleh

Alloh dari nabi-nabi yang lain berupa perkatannya yang singkat namun memilki

arti yang sangat luas, yaitu Al-Hadits / As-Sunnah yang merupakan sumber kedua

syari'at islam setelah Al-Qur'an. Tak terlupakan kepada keluarganya, para sahabat

dan pengikutnya sampai hari kemudian yang akan selalu memperjuangkan dan

memelihara syari'at-Nya. Aaminn.

Dalam makalah ini akan dibahas mengenai "Kedudukan Mahar dalam

Perkawinan", yang sejarah mahar, pengertian mahar dan dasar hukumnya, shaduq

sebagai mahar dan kadar minimal dan maksimal mahar, .

Sebagaimana pepatah mengatakan " tak ada gading yang tak retak", maka

makalah ini pun tiada tebebas dari kekurangan dan kelemahan di dalamnya.

Namun kami telah berusaha meminimalkannya. Untuk itu kami mohon maaf yang

sebesar-besarnya dan mengharap tegur sapa serta saran-saran penyempurnaan,

agar kekurangan dan kelemahan yang ada tidak sampai mengurangi nilai dan

manfaatnya bagi perkembangan studi Islam pada umumnya.

Akhirnya kami berharap semoga makalah ini bermanfaat bagi kita sebagai

generasi yang senantiasa terus mengkaji dunia pendidikan untuk menuju arah

perbaikan.

Cipasung, Desember 2012

Penyusun

i

Page 3: Kedudukan Mahar dalam perkawinan.doc

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR....................................................................................... i

DAFTAR ISI...................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN........................................................................... 1

A. Latar Belakang Masalah............................................................. 1

B. Perumusan Masalah.................................................................... 2

C. Tujuan Makalah.......................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN.............................................................................. 4

A. Sejarah Mahar Pada Masa Arab Pra-Islam................................. 3

B. Pengertian Mahar dan Dasar Hukumnya.................................... 4

C. Shaduq sebagai Mahar dalam al-Qur’an.................................... 5

D. Kadar Minimal dan Maksimal Mahar........................................ 8

BAB III PENUTUP........................................................................................ 11

DAFTAR PUSTAKA

ii

Page 4: Kedudukan Mahar dalam perkawinan.doc

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Merupakan hal yang wajar jika seseorang dalam hidupnya

membutuhkan hubungan biologis. Sehingga di dalam ajaran islam dikenal

dengan istilah nikah yang kurang lebihnya bermakna sebagai akad yang

membolehkan hubungan biologis antara seorang laki-laki dan perempuan.

Diantara rukun nikah yang diyakini adalah mahar (maskawin), setelah calon

suami-istri, wali, saksi, serta ijab dan qabul. Mahar bukanlah hal yang baru

dalam Islam. Pada zaman pra-islam juga telah dikenal istilah mahar.

Pemberian mahar pada saat itu ditujukan pada wali si wanita sebagai imbalan

bagi para wali yang telah membesarkannya dan juga sebagai resiko kehilangan

perannya dalam keluarga. Sehingga mahar sering ditafsiri sebagai harga beli

seorang perempuan dari walinya, sehingga wanita merupakan milik suami

sepenuhnya. Ia berhak memperlakukan istrinya dalam bentuk apapun.

Seiring dengan datangnya islam, hal seperti yang diatas sudah tidak

berlaku lagi. Islam menghapus semua praktik dan kebiaasan yang merugikan

wanita dalam hal mahar. Sehingga wanita tidak lagi diperlakukan seperti

barang yang telah dibeli dari sang penjual (majikan). Maka dari itu, kami ingin

mencoba mengkaji ulang makna dari mahar itu sendiri.

Hal lain yang juga menjadi problem dalam hal mahar adalah kadar

minimal yang harus diberikan oleh calon suami kepada calon istri. Sebagian

ulama membatasi kadar minimalnya –juga berbeda beda- dan sebagian lainnya

tidak membatasinya sama sekali. Sehingga bagi sebagian ulama, mahar

tidaklah harus berbentuk materi. Karena ada riwayat yang menyatakan bahwa

Rasulullah pernah mengizinkan seorang laki-laki menikahi seorang wanita

dengan hafalan quran sebagai mahar.

Dalam makalah yang singkat ini, kami akan mencoba memberi

gambaran pandangan para ulama sehingga kita dapat memahami alasan-alasan

dari para ulama terdahulu.

1

Page 5: Kedudukan Mahar dalam perkawinan.doc

B. Perumusan Masalah

1. Bagaimanakah sejarah mahar dalam Islam?

2. Bagaimanakah pengertian dan kedudukan mahar?

C. Tujuan Makalah

1. Ingin mengetahui sejarah mahar dalam Islam.

2. Ingin mengetahui pengertian dan kedudukan mahar.

2

Page 6: Kedudukan Mahar dalam perkawinan.doc

BAB II

PEMBAHASAN

A. Sejarah Mahar Pada Masa Arab Pra-Islam

Al-Quran menghapus adat kebiasaan zaman pra-Islam mengenai mahar

dan mengembalikannya kepada kedudukannya yang asasi dan alami. Di masa

pra islam para ayah dan ibu para gadis menganggap  maskawin adalah hak

mereka sebagai imbalan atas pendidikan dan perawatan mereka. Dalam kitab-

kitab tafsir disebutkan bahwa apabila seorang bayi wanita lahir maka biasanya

orang yang mengucapkan selamat kepadanya dengan mengatakan “hannian

laka al nafi’ah” (selamat, semoga ia menjadi sumber kekayaan bagimu). Hal

ini menunjukkan bahwa kelak si gadis akan dikawinkan dan mahar akan

menjadi milik si ayah sepenuhnya.

 Pada masa ini juga terdapat adat kebiasaan lain yang dalam praktiknya

digunakan untuk merampas hak wanita atas mas kawinnya. Salah satu dari

adat kebiasaan itu adalah pewarisan istri. Apabila seorang pria meninggal,

maka para ahli warisnya, seperti anak laki-lakinya atau saudara laki-lakinya

mewarisi istrinya persis sebagaimana mereka mewarisi harta dari lelaki yang

meninggal itu. Setelah kematian si pria, putranya atau saudara laki-lakinya

menganggap bahwa hak atas perkawinan tersebut masih terus berlaku. Si

pewaris memandang dirinya berhak untuk mengawinkan si wanita  warisan

tersebut dengan siapa saja yang dikehendakinya dan mengambil maskawin

dari perkawinan itu. Bisa pula ia sendiri mengambilnya sebagai istri tanpa

maskawin lagi, atas dasar kekuatan maskawin yang telah diberikan oleh

almarhum dulunya. Namun adat seperti ini telah dihapus dengan turunnya

firman Allah QS. Al Nisa: 19:

:(19)النساء “Wahai orang-orang yang beriman tidak halal bagi kamu mewarisi

perempuan dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan

3

Page 7: Kedudukan Mahar dalam perkawinan.doc

mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang

telah kamu berikan kepadanya, kecuali…”. (QS. Al Nisa’ (4): 19)

B. Pengertian Mahar dan Dasar Hukumnya

Salah satu dari usaha Islam ialah memperhatikan dan menghargai

kedudukan wanita, yaitu memberinya hak untuk memegang urusannya. Di

zaman Islam pra-Islam hak perempuan dihilangkan dan disia-siakan. Sehingga

walinya dengan semena-mena dapat menggunakan hartanya, dan tidak

memberikan kesempatan untuk mengurus hartanya, dan menggunakannya.

Kemudian Islam datang menghilangkan belenggu ini. Kepadanya diberi hak

mahar. Dan kepada suami diwajibkan memberikan mahar kepadanya, bukan

kepada ayahnya. Bahkan kepada orang yang paling dekat kepadanya sekalipun

tidak dibenarkan menjamah sedikitpun harta bendanya kecuali dengan ridha

dan kemauannya. Sebagaimana fiman Allah dalam QS al-Nisa:4

(4)النساء:Artinya:

“Dan berikanlah maskawin (mahar) kepada perempuan (yang kamu nikahi) sebagai pemberian yang penuh kerelaan. Kemudian, jika mereka menyarahkan kepada kamu sebagaian dari (maskawin) itu dengan senang hati, maka terimalah dan nikmatilah pemberian itu dengan senang hati”.

Maksudnya berikanlah mahar kepada para istri sebagai pemberian

wajib, bukan pembelian atau ganti rugi. Jika istri telah menerima maharnya

tanpa paksaan, dan tipu muslihat, lalu ia memberikan sebagian maharnya

kepadamu, maka terimahlah dengan baik.

Ada beberapa definisi mahar yang dikemukakan oleh ulama mazhab

diantanya mazhab Hanafi yang mendefinisikan mahar sebagai jumlah harta

yang menjadi hak istri karena akad perkawinan atau terjadinya senggama

dengan sesungguhnya. Ulama lainnya mendefinisikannya sebagai harta yang

wajib dibayarkan suami kepada istrinya ketika berlangsung akad nikah sebagai

4

Page 8: Kedudukan Mahar dalam perkawinan.doc

imbalan dari kesediaan penyerahan kepada suami (senggama) Ulama mazhab

Maliki mendefinisikannya sebagai sesuatu yang menjadikan istri halal untuk

digauli. Ulama mazdhab Syafi’i mendefinisikannya sebagai sesuatu yang

wajib dibayarkan disebabkan akad nikah atau senggama. Sedangkan ulama

mazhab Hanbali mendefinisikannya sebagai imbalan dari suatu perkawinan,

baik disebutkan secara jelas dalam akad nikah, ditentukan setelah akad dengan

persetujuan kedua belah pihak, maupun ditentukan oleh hakim. Termasuk juga

kewajiban untuk melakukan senggama. Sedangkan Quraish Shihab

mengatakan bahwa mahar adalah lambang kesiapan dan kesediaan suami

untuk memberi nafkah lahir kepada istri dan anak-anaknya.

C. Shaduq sebagai Mahar dalam al-Qur’an

Ketidaktepatan dalam memaknai  mahar menimbulkan berbagai

implikasi  terhadap status perempuan dalam kehidupan perkawinan  dan

rumah tangga. Dari sekian pembahasan para ahli hukum islam, permasalahan

mahar hanya berada disekitar dan berkaitan dengan permasalahan biologis,

sehingga seolah-olah mahar hanya sebagai alat perantara  dan kompensasi 

bagi kehalalan hubungan suami istri. Pada saat yang sama, mahar juga

digunakan sebagai alasan yang kuat untuk menyatakan bahwa suami

mempunyai hak yang terhadap istinya.

Berbagai definisi mahar yang disampaikan oleh ulama mazhab yang

telah disebutkan sebelumnya menunjukkan kebenaran kesimpulan diatas.

Beberapa indikator di atas menunjukkan bahwasanya mahar selama ini telah

diartikan secara sempit. Ketika kewajiban membayar mahar hanya diartikan

sebagai perantara bagi halalnya hubungan biologis suami-istri, meskipun

pembayarannya kadang tidak dilakukan secara tunai, maka dapat dimaklumi

mengapa akad pernikahan dikatakan sebagai akad kepemilikan (‘aqd al-

tamlik). Artinya, karena suami telah membayar sejumlah mahar kepada

istrinya waktu pernikahan., maka ketika itu suami berkedudukan  sebagai

pemilik dari istrinya. Ada juga yang berpendapat akad pernikahan adalah 

sebagai akad pengganti ( ‘aqd mu’awadah). Artinya, karena suami telah

5

Page 9: Kedudukan Mahar dalam perkawinan.doc

membayar  sejumlah mahar terhadap istrinya sebagai kompensasi, maka

pembayaran tersebut adalah sebagai jembatan untuk mendapatkan hubungan

biologis. Namun permasalahannya adalah, apakah mahar hanya sebatas

jembatan dan kompensasi bagi halalnya hubungan suami istri sehingga

memunculkan kesan bahwa mahar masih identik sebagai harga beli dari istri

itu sendiri?

Al-Qur’an tidak pernah menyebutkan  istilah mahar secara eksplisit

sebagai kewajiban yang harus dibayarkan oleh pria yang hendak menikah.

Hanya saja, ada beberepa isyarat ayat al-Qur’an yang menunjukkan  kearah

pengertian mahar tersebut dengan menggunakan  kata-kata shaduqat dan

nihlah. Inilah salah satu bentuk pembaharuan  yang ingin disampaikan al-

Qur’an terhadap tradisi Arab  pra-Islam. Sekalipun demikian, kebanyakan

fuqaha masih  saja tidak bisa melepaskan diri dari pengaruh tradisi jahiliyah

tersebut. Penggunaan kata-kata shaduqat dan nihlah sebagai isyarat  terhadap

pengertian mahar tersebut  terdapat pada surat  al-Nisa’ (4): 4 :

(4)النساء:Artinya:“Dan berikanlah maskawin (mahar) kepada perempuan (yang kamu nikahi) sebagai pemberian yang penuh kerelaan. Kemudian, jika mereka menyarahkan kepada kamu sebagaian dari (maskawin) itu dengan senang hati, maka terimalah dan nikmatilah pemberian itu dengan senang hati”.

Pada ayat di atas, Allah mengguanakan  kata-kata shaduqat  dan tidak

menggunakan kata-kata mahar, dan ini merupakan  salah satu ungkapan  yang

digunakan  oleh Allah dalam al-Qur’an untuk menunjukkan istilah mahar. 

Kata shaduqat merupakan jamak dari  kata shidaq dan merupakan satu rumpun

dengan kata shiddiq, shadaq dan shadaqah. Didalamnya terkandung makna

jujur, putih hati, bersih. Dengan demikian arti shaduqat dalam konteks ayat

tersebut adalah  harta yang diberikan  dengan hati yang bersih dan suci kepada

calon istri yang dinikahi sebagai amal shaleh. Hal tersebut adalah sebagai

wujud kasih sayang dan ketulusan suami pada istrinya dalam pernikahan yang

6

Page 10: Kedudukan Mahar dalam perkawinan.doc

memang pantas dan layak diantara kedua suami istri, sehingga jika istri rela

untuk tidak dibayarkan, maka hal itu dibolehkan dengan syarat tidak ada unsur

keterpaksaan. Inilah makna ketulusan dari kata-kata mahar. Kalau dibawakan

dalam konteks Indonesia, ternyata makna mahar dalam pengertian ini

mempunyai korelasi dengan ditemukannya istilah uang jujur sebagai

pengganti istilah mahar di beberapa wilayah Indonesia.

Di dalam ayat di atas, Allah juga menggunakan kata-kata nihlah.

Terdapat perbedaan sejumlah ulama tentang makna kata ini yang dapat

dikelompokkan kedalam dua kelompok. Kelompok  pertama mengartikannya

dengan sesuatu yang wajib (fardhu) diberikan kepada calon istri, diantara

ulamanya adalah Imam Qatadah, Ibnu Juraij, dan Abu Ubaidah. Mereka

menafsirkan nihlah dengan kewajiban, karena nihlah secara bahasa artinya

adalah agama, ajaran, syari’at dan madzhab. Jadi, redaksi arti dari ayat di atas

adalah “dan berikanlah mahar kepada istri-istrimu, karena ia merupakan

bagian dari ajaran agama (kewajiban)”. Konsekuensinya pemaknaan tersebut

adalah mahar wajib diberikan. Pengertian kata-kata nihlah dengan kewajiban

bertujuan supaya cepat dipahami bahwa mahar memang wajib dibayarkan.

Kelompok kedua, al-Kalabi mengartikannya dengan pemberian atau hibah.

Abu ‘Ubaidah mengartikannya dengan kebaikan hati. Hal ini dikarenakan

bahwasannya  nihlah secara bahasa adalah pemberian tanpa minta pengganti,

sebagaimana halnya  seorang bapak memberikan  sejumlah harta terhadap

anaknya yang diberikan atas dasar kasih sayang, bukan untuk mendapatkan

ganti rugi dari anaknya. Sehubungan dengan hal ini, Allah memerintahkan

para suami untuk memberikan mahar tehadap istrinya  tanpa menuntut ganti

rugi atau imbalan sebagai wujud rasa cinta dan penghormatan, apalagi diikuti

dengan perdebatan, karena sesuatu yang dituntut  atas dasar permusuhan,

bukanlah disebut nihlah.

Kalau diteliti asal usul kata nihlah ini, akan semakin  menguatkan

pemaknaan kata nihlah kebaikan dan kebersihan hati. Ada yang berpendapat

bahwa nihlah berasal dari rumpun yang sama dengan kata-kata al nahl yang

artinya lebah. Pemaknaan kata-kata ini masih ada hubungannya dengan kata

7

Page 11: Kedudukan Mahar dalam perkawinan.doc

shaduqat di atas. Yakni, yamg laki-laki mencari harta yang halal seperti lebah

mencari kembang yang kelak menjadi madu. Hasil jerih payah yang suci dan

bersih tersebut itulah yang diserahkan kepada calon istrinya sebagai bukti

ketulusan dan kejujurannya, dan nyatanya yang diberikan memang sari yang

bersih.

D. Kadar Minimal dan Maksimal Mahar

Mengenai kadar minimal mahar, terjadi perbedaan pendapat diantara

para ulama mazhab. Menurut Imam al Syafi’i, kadar minimal mahar tidak

dapat dibatasi. Ia berpendapat bahwa apa saja yang memiliki harga atau nilai

boleh dijadikan mahar. Sementara Iman Hanafi mengatakan bahwa jumlah

minimal mahar adalah sepuluh dirham. Sedangkan Imam Malik berpendapat

bahwa jumlah minimal mahar adalah tiga dirham. Akan tetapi pendapat yang

diutarakan oleh Imam Hanafi dan Imam Maliki tidaklah didasarkan pada

keterangan agama yang kuat atau alasan yang sah.

Quraih Shihab dalam bukunya Wawasan al Quran menyebutkan

bahwa karena mahar bersifat lambang maka sedikitpun jadilah. Bahkan

Rasulullah bersabda yang artinya “sebaik-baiknya maskawin adalah seringan-

ringannya” (HR. Abu Daud). Akan tetapi, ia mengatakan bahwa agama

menganjurkan agar maskawin merupakan sesuatu yang bersifat materi, karena

itu bagi orang yang tidak memilikinya dianjurkan untuk menangguhkan

perkawinan sampai ia memiliki kemampuan. Namun apabila oleh satu dan lain

hal ia harus juga kawin, maka cincin besipun jadilah, sebagaimana yang telah

disabdakan Rasulullah SAW.

Para ulama lebih cenderung kepada pendapat Imam al-Syafi’i. Karena

al Syafi’i menyebutkan bahwa apa saja yang berharga dan bernilai boleh

dijadikan mahar. Adapun yang dimaksud dengan berharga ialah sesuatu yang

bisa diperjual belikan dikalangan manusia. Sedangkan yang dimaksud dengan

nilai adalah sesuatu yang abstrak namun dapat bermanfa’at dalam kehidupan

manusia.

8

Page 12: Kedudukan Mahar dalam perkawinan.doc

Imam Syafi’i memberikan kriteria umum tentang sesuatu yang dapat

dijadikan mahar. Kriteria  ini tidak hanya dibatasinya kepada bentuk barang,

akan tetapi keterampilan dan profesionalisme juga dapat dijadikan sebagai

mahar, seperti menjahitkan pakaian, membangunkan rumah, membantu

selama sebulan, mencarikan pekerjaan, mengajarkan al Quran kepada manita

yang akan menjadi istri.

Sedangkan untuk kadar maksimal mahar, para ulama sepakat bahwa

tidak ada batasan jumlahnya. Hal ini sebagaimana riwayat Sa’ad bin Mansur

dan Abu Ya’la yang mengatakan bahwa Umar pernah melarang pembayaran

mahar lebih dari empat ratus dirham. Akan tetapi ia ditegur oleh seorang

perempuan quraisy dengan menyebutkan QS. Al Nisa : 20:

:النساء(20)

Artinya:

Dan jika kamu ingin mengganti istrimu dengan istri yang lain, sedang

kamu telah memberikan kepada seseorang diantara mereka harta yang

banyak, maka janganlah kamu mengambilnya kembali.

Lalu menjawab: “Ya Allah, saya mohon maaf. Orang-orang lain

kiranya lebih pintar dari pada Umar”. Kemudian beliau cabut keputusannya,

lalu ia berkata: “Sesungguhnya saya tadi telah melarang kepadamu memberi

mahar lebih dari empat ratus dirham. Sekarang siapa yang mau memberi

lebih dari pada harta yang dicintainya terserahlah”.

Namun bukan berarti tidak adanya batasan maksimal dalam kadar

mahar, seseorang dapat menentukan jumlah mahar yang diinginkannya dengan

hanya memperhatikan status sosialnya sendiri. Akan tetapi ia juga harus

memperhatikan ssosial masyarakat sekitarnya. Sehingga janganlah sampai

mahar itu berlebihan dalam jumlahnya hanya dikarenakan “gengsi belaka”.

Karena Aisyah dalam riwayatnya mengatakan bahwa Rasulullah bersabda

yang artinya:

9

Page 13: Kedudukan Mahar dalam perkawinan.doc

“Sesungguhnya perkawinan yang besar barakahnya adalah yang

paling murag maharnya”. Dan sabdanya pula: “perempuan yang baik

hati adalah yang murah maharnya, memudahkan dalam urusan

perkawinannya dan baik akhlaknya. Sedang perempuan yang celaka

yaitu, yang maharnya mahal, sulit perkawinannya dan buruk

akhlaknya”.

10

Page 14: Kedudukan Mahar dalam perkawinan.doc

BAB III

PENUTUP

Dari penguraian di atas jelaslah bahwa islam memiliki konsep sendiri

dalam hal mahar. Mahar yang pada masa pra-islam merupakan hak orang tua atau

wali perempuan, maka setelah islam datang, mahar sepenuhnya menjadi milik istri

tanpa ada yang boleh mengambilnya kecuali atas keridhaannya. Islam juga

menghapus sitem pewarisan istri yang ada pada masa pra-islam sebagaimana yang

telah kami paparkan. Sehingga mahar bukanlah harga jual-beli atau pengganti,

akan tetapi mahar haruslah dipandang sebagai pemberian yang penuh sukarela

sebagai amal shaleh yang tidak mengharapkan imbalan. Begitu juga dengan

bentuk mahar yang pada masa pra-Islam berupa materi –harta-, kemudian oleh

islam diperbolehkan dalam bentuk imateri – jasa atau kemampuan-. Walaupun 

masih ada perbedaan pendapat ulama mazhab dalam hal batas minimal kadar

mahar itu sendiri.

Dari penjelasan diatas juga dapat disimpulkan bahwa jangalah sampai

pelaksaan pernikahan tertunda, terlebih lagi batal hanya karena sarana dan

prasarana yang terlalu mahal. Karena bila suatu pernikahan diidentikkan dengan

ibadah maka sangatlah tidak etis bilamana ibadah tertunda hanya gaga-gara

permasalahan ini.

11

Page 15: Kedudukan Mahar dalam perkawinan.doc

DAFTAR PUSTAKA

Afdawaiza. ”KonsepShaduq Sebagai Mahar Dalam Al Qur’an”, Al-AQur’an dan Hadis, 5. januari 2004,

Dahlan , Abdul Aziz. Ensiklopedi Hukum Islam, jilid III.  Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2001.

Hasanuddin, “Mahar dalam……”, Asy-syir’ah. 40. 2006..

Mutahhari, Morteza. Wanita dan Hak-Haknya dalan Islam terj. M. Hashem. Bandung: Pustaka, 1985.

Sabiq, Sayyid.  Fikih Sunnah 7 terj. Moh. Thalib. Bandung: Al Ma’arif, 1986.

Tim DEPAG. Eniklopedi Islam, jilid II. Jakarta: CV. Anda Utama, 1993.

12