bab iii objek kajian a. biografi dan konteks sosial al ...digilib.uinsby.ac.id/6314/6/bab...
TRANSCRIPT
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
BAB III
OBJEK KAJIAN
A. Biografi dan Konteks Sosial Al-Zarnuji
1. Biografi Al-Zarnuji
Nama al-Zarnuji tidak asing lagi di dunia pendidikan, khususnya
pendidikan Islam dan lebih-lebih di kalangan pesantren salaf, karena kitab
(buku) karangannya, yaitu disebut sebagai salah satu kitab kuning, tentu
akan mengenal pemikiran Ta’limul Muta’allim, lebih mengakar di kalangan
pesantren model ini. Kitab ini mungkin dapat digolongkan sebagai salah
satu buku metodologi pendidikan, karena sebagaimana diungkapkan bahwa
kitab ini khusus dalam ilmu pendidikan berpengaruh sekali sebagai
pegangan para guru untuk mendidik anak-anaknya.1
Sebelum kita menganalisis pemikiran Al-Zarnuji, sebaiknya kita kaji
dulu terkait latarbelakang kehidupan Al-Zarnuji. Maksudnya adalah agar
kita mendapat pemahaman yang utuh tentang pemikiran beliau. al-Zarnuji
adalah salah seorang filosof Arab yang tidak diketahui nama dan waktu
hidupnya secara pasti.2 Ada yang menyebutnya dengan Burhān al-Din, ada
juga yang menyebutnya dengan Burhan al-Islam. Namun, kedua nama itu
diperkirakan sebagai julukan saja atas jasa-jasanya dalam menyebarkan
Islam.
1 Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam, ( Jakarta: Hidakarya Agung, 1990 ), 155 2 Plessner, al-Zarnuji dalam al-Syanthawi dkk, Dairah al-Ma‘arif al-Islamiyyah, jilid X, ( Dar al-
Fikr, tanpa tahun), 344
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
49
Nama "al-Zarnuji" sendiri diyakini bukan nama asli, tetapi nama yang
dinisbahkan kepada tempat, yakni Zurnuj atau Zaranj. Al-Qurasyi mengatakan
Zurnuj adalah sebuah tempat di wilayah Turki. Sedangkan menurut Hamawi,
Zurnuj adalah sebuah tempat yang terkenal di mawara’a al-nahr wilayah
Turkistan.1 Tetapi menurut para pakar geografi daerah mawara’a al-nahr itu
bukan di Turkistan, melainkan di Turki.2 Dengan demikian diperkirakan bahwa
ia berasal dari Turki. Mengenai masa hidupnya juga masih belum jelas, kecuali
sebatas perkiraan-perkiraan saja. Satu-satunya penulis yang menunjuk tahun
wafatnya adalah Fuad al-Ahwani. Menurut dia al-Zarnuji wafat tahun 591
H/1194 M.3
Dalam Islamic Studies Journal dikatakan bahwa “birth or lifetime al-
zarnuji can only be estimated is born in about the year 570 h. while about
kewafatan al-zarnuji there are differences, there are declared al-zarnuji died in
591 h. and according to the description, bahwasannya he has compiled the
book after years of 593 h. The estimate is based on the fact that al-zarnuji many
cite the opinion of his teacher that is written in the book of al-muta'allim study
groups, and some teachers are written in the book he died at the end of the 6th
century h. and he gain knowledge from the teacher when young.
1 Syihāb al-Dīn Ibn Abd Allah Yaqut al-Hamawi, Mu‘jam al-Buldan jilid III, (Beirut: Dar al-Fikr,
tanpa tahun), 139 2 Marwazi, Konsep Pendidikan dalam Kitab Ta‘limul Muta‘allim Karya al-Zarnuji dan
Aplikasinya di Pondok Pesantren al-Falah Ploso Mojo Kediri, Disertasi, (Jakarta: IAIN Syarif
Hidayatullah, 1998), 29 3 Ahmad Fuad Ahwani, al-Tarbiyyah fî al-Islâm aw al-Ta‘lim fî Ra’si al-Qabis, (al-Qahirah: Isa
al-Babi al-Halabi, 1955), 239
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
50
al-zarnuji an ulama 'who lives one period with Nukman bin Ibrahim al-
zarnuji who died in the same year, he died not far from the year because both
live in one period and generation. thus it can be concluded that al-zarnuji died
around the year 620 h. or in other words al-zarnuji life in the last quarter of the
6th century until the first two-thirds of the 7th century H.4
Dari berbagai pandangan terkait masa hidup Al-Zarnuji diatas maka
diperkirakan beliau lahir di Turki sekitar Abad 7 H. Pendapat lain mengatakan
bahwa Al-Zarnuji lahir di Bukhara. Al-Zarnuji di samping tergolong sebagai
salah satu tokoh pendidikan, juga terkenal sebagai seorang sastrawan (adib)
dari Bukhara. Dia termasuk ulama yang hidup pada abad 7 H atau sekitar abad
12–13 M, yang bertepatan dengan zaman kemerosotan atau kemunduran
Daulah Abbasiyah. Zaman ini disebut juga periode kedua Daulah Abbasiyah,
yaitu sekitar tahun 292–658 H.5 Oleh karena itu, untuk memahami al-Zarnuji
sebagai seorang pemikir, perlu mengetahui keadaan zaman tersebut, yaitu
zaman Abbasiyah atau zaman yang menghasilkan para pemikir ensiklopedi
yang sulit ditandingi para pemikir yang datang kemudian.
Pendapat yang kuat ialah bahwa Al-Zarnuji hidup pada masa akhir
dinasti Abasiyyah. Pada waktu itu terjadi kemerosotan dan kemunduran ilmu
pengetahuan. Oleh karenanya dari latarbelakang yang demikian itu tentu akan
mempengaruhi hasil karyanya. Tulisan beliau tentu sedikit banyak ada
kaitannya dengan konteks sosial yang terjadi pada waktu itu. Dikatakan pula,
bahwa al-Zarnuji adalah seorang ulama fiqh pengikut Madzhab Hanafi
4 Islamic Studies Jurnal, The Pedagogik of Al-Zarnuji, vol 1 No. 2 Juli-Desember 2013 5 Busairi Madjidi, Konsep Kependidikan Para Filosof Muslim, (Yogyakarta: Press, 1997), 10
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
51
sehingga dimungkinkan beliau tergolong orang yang banyak menggunakan
akal dalam berargumentasi, karena diketahui salah satu ciri madzhab ini adalah
lebih mengandalkan akal (rasio) dan analogi (secara qias) dalam berpikir.
Bukti bahwa al-Zarnuji pengikut Madzhab Hanafi juga dapat dilihat
dalam kitabnya Ta’limul Muta’alim yang di dalamnya banyak mengutip
pendapat Abu Hanifah, misalnya “Al-fiqhu ma’rifat al-nafsi mâ lahâ wa mâ
‘alaihâ. Mâ al-‘ilmu illa bi al-‘amali wa al-‘amalu bihî tarku al-‘âjili lilâjili ”
“Fiqih adalah pengetahuan tentang hal-hal yang berguna dan yang
membahayakan bagi diri seseorang. Ilmu itu hanya untuk diamalkannya,
sedangkan mengamalkannya berarti meninggalkan orientasi dunia demi
akhirat”.6
Atau syi’ir Abu Hanifah yang berbunyi, “Man talaba al-‘ilmu lilma’âdi
fâza bifadlin mina al-rasyâdi. Fayalkhusrâni tâlibîhi linaili fadlin min al-‘ibâdi”
“Barang siapa menuntut ilmu karena mencari pahala akherat, maka
berbahagialah dia dengan karunia dari Allah. Alangkah ruginya bagi penuntut
ilmu hanya memperoleh kelebihan dari sesama manusia”.7 Pada tahun 593 H,
berkat karangannya yang berjudul Ta’lim al-Muta’llim Thoriq al-Ta’allum, Al-
Zarnuji menjadi terkenal (masyhur).
Pada zamannya kitab Ta’limul Muta’allim benar-benar digemari dan
diterima di kalangan para pengajar dan peserta didik, khususnya para pelajar yang
tinggal di lingkungan para raja dan sultan yakni pada masa Murad Khan Bin Salim
abad 14, karena kitab ini telah tampil sebagai alternatif untuk mengatasi ekses-
6 al-Zarnuji, Ta’limul Muta’allim Tariqatta’allum (Jakarta : Darurrohmah, 1995), 9 7 Ibid., 11
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
52
ekses rasionalisme yang tengah berkembang waktu itu.8 Khususnya di Indonesia,
Kitab Ta’limul Muta’allim tidak asing lagi terutama bagi kalangan pondok
pesantren salafiyah, karena kitab ini telah dijadikan pedoman atau acuan bagi
santri dalam menuntut ilmu. Bahwa berdasarkan fakta kitab ini telah disepakati
para kyai pemangku pesantren sebagai salah satu kitab yang cocok untuk
mendasari jiwa kesantrian dan jiwa pelajar penuntut ilmu pengetahuan.
Pendapat lain mengatakan bahwa Zarnuji merupakan salah seorang guru
Rukn al-Din Imam Zada (Wafat sekitar tahun 573 H) dalam bidang fiqih.
Imam Zada juga berguru pada Syekh Ridha al-Din al-Nishapuri (wafat sekitar
antara tahun 550 dan 600 H) dalam bidang Mujahadah. Kepopuleran Imam
Zada diakui karena prestasinya dalam bidang Ushuluddin bersama dengan
kepopuleran ulama lain yang juga mendapat gelar rukn (sendi). Mereka antara
lain Rukn al-Din al- ‘Amidi (wafat : 615 H) dan Rukn al-Din al-Tawusi (wafat:
600 H). Dari data ini dapat dikatakan bahwa al-Zarnuji hidup sezaman dengan
Syekh Ridha al-Din al-Nisaphuri.9
Dasar filsafat Al-Zarnuji adalah dari Imam Ghazali. Kalau kita cermati
masa hidup Imam Ghazali dengan Al-Zarnuji tidak begitu jauh yaitu sekitar
abad 12 M. Al-Ghazali mempelajari karangan-karangan ahli filsafat terutama
karangan Ibnu Sina. Setelah mempelajari filsafat dengan seksama, ia
mengambil kesimpulan bahwa mempergunakan akal semata-mata dalam soal
ketuhanan adalah seperti mempergunakan alat yang tidak mencukupi
8 Mudjab Mahali, A. dan Mujawazah Mahali, Kode Etik Kaum Santri. Saduran (Yogyakarta: Al-
Bayan, 1988), 6 9 Sudarnoto Abdul Hakim, Hasan Asari, Yudian W. Asmin (penyunting), Islam Berbagai
Perspektif: Didedikasikan Untuk 70 tahun Prof. Dr. H. Munawir Sadzali, MA, (Yogyakarta:
LPMI, 1995), 20
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
53
kebutuhan. Al-Ghazali dalam Al-Munqidz min al-Dhalal menjelaskan bahwa
jika berbicara mengenai ketuhanan (metafisika), maka disinilah terdapat
sebagian besar kesalahan mereka (para filosof) karena tidak dapat
mengemukakan bukti-bukti menurut syarat-syarat yang telah mereka tetapkan
sendiri dalam ilmu logika.
Al-Ghazali meneliti kerja para filsuf dengan metodenya yang rasional,
yang mengandalkan akal untuk memperoleh pengetahuan yang meyakinkan.
Dia pun menekuni bidang filsafat secara otodidak sampai menghasilkan
beberapa karya yang mengangkatnya sebagai filsuf. Tetapi hasil kajian ini
mengantarkannya kepada kesimpulan bahwa metode rasional para filsuf tidak
bisa dipercaya untuk memberikan suatu pengetahuan yang meyakinkan tentang
hakikat sesuatu di bidang metafisika (ilahiyyat) dan sebagian dari bidang fisika
(thabi’iyat) yang berkenaan dengan akidah Islam. Meskipun demikian, Al-
Ghazali tetap memberikan kepercayaan terhadap kesahihan filsafat-filsafat di
bidang lain, seperti logika dan matematika. Sebagaimana yang telah dijelaskan
di atas, bahwa ada pemikiran tentang filsafat metafisika yang menurut al-
Ghazali sangat berlawanan dengan Islam, dan karenanya para filosof
dinyatakan kafir.
Mengenai kejadian alam dan dunia, Al-Ghazali berpendapat bahwa
dunia itu berasal dari iradat (kehendak) tuhan semat-mata, tidak bisa terjadi
dengan sendirinya. Iradat tuhan itulah yang diartikan penciptaan. Iradat itu
menghasilkan ciptaan yang berganda, di satu pihak merupakan undang-undang,
dan di lain pihak merupakan zarah-zarah (atom-atom) yang masih abstrak.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
54
Penyesuaian antara zarah-zarah yang abstrak dengan undang-undang itulah
yang merupakan dunia dan kebiasaanya yang kita lihat ini. Iradat tuhan adalah
mutlak, bebas dari ikatan waktu dan ruang, tetapi dunia yang diciptakan itu
seperti yang dapat ditangkap dan dikesankan pada akal (intelek) manusia,
terbatas dalam pengertian ruang dan waktu. Al-Ghazali menganggap bahwa
tuhan adalah transenden, tetapi kemauan iradatnya imanen di atas dunia ini,
dan merupakan sebab hakiki dari segala kejadian.10
Pendapat-pendapat diatas adalah perkiraan penulis berdasarkan sumber-
sumber yang ada. Karena setelah dikaji dalam kitab Ta’limul Muta’allim tidak
mendapatkan informasi yang valid tentang masa hidup Al-Zarnuji. Menurut
hemat penulis Al-Zarnuji sendiri tidak mencantumkan biografi serta
sepakterjangnya di dalam kitab karangannya. Karena beliau fokus pada isi
kitab yang dikarangnya tersebut. Penulis berharap kitab ini terus dikaji dalam
dunia pendidikan karena muatannya yang bagus yakni membahas etika atau
adab kita sebagai pelajar, dan juga membahas beberapa pedoman-pedoman
bagi guru tentang aspek yang harus diperhatikan ketika mengajar agar
memperoleh manfaat dari apa yang kita pelajari.
2. Konteks Sosial Konsep Pendidikan Al-Zarnuji
Beberapa pendapat mengatakan bahwa Al-Zarnuji hidup pada masa
akhir dinasti Abasiyyah. Pada waktu itu terjadi kemerosotan dan kemunduran
ilmu pengetahuan. Oleh karenanya dari latarbelakang yang demikian itu tentu
akan mempengaruhi hasil karya Al-Zarnuji. Tulisan beliau sedikit banyak ada
10 Poerwantana, dkk, Seluk Beluk Filsafat Islam, (Bandung: CV ROSDA, 1988), hlm. 172.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
55
kaitannya dengan konteks sosial yang terjadi pada waktu itu. Dikatakan pula,
bahwa al-Zarnuji adalah seorang ulama fiqh pengikut Madzhab Hanafi
sehingga dimungkinkan beliau tergolong orang yang banyak menggunakan
akal dalam berargumentasi, karena diketahui salah satu ciri madzhab ini adalah
lebih mengandalkan akal (rasio) dan analogi (secara qias) dalam berpikir. Di
awal sudah dijelaskan juga bahwa di dalam kitab Ta’limul Muta’allim ada
beberapa hal yang oleh Al-Zarnuji dirujuk dari pendapatnya imam Hanafi. Hal
tersebut memperkuat bahwa Al-Zarnuji pengikut Madzhab Hanafi.
Masa hidup Al-Zarnuji, yakni diakhir abad ke-6 H dan memasuki abad
ke-7 H atau abad 12-13 M, merupakan jaman kemunduran dan kemerosotan
Daulah Abbasiyah sekitar tahun 292-656 H.11 Pada masa ini dunia Islam telah
mengalami kontak senjata dengan orang-orang Kristen dalam perang Salib
sejak tahun 1097 M sampai dengan tahun 1291 M.12 Philip K. Hitti
mengatakan bahwa, dunia Islam waktu itu sedang mengalami disintegrasi
politik. Baghdad sebagai pusat pemerintahan Islam tidak dapat mengendalikan
kekuasaannya di daerah-daerah. Hal ini diikuti oleh sikap penguasa daerah
yang melepaskan diri dari pemerintahan pusat. Akan tetapi bahkan ada yang
kemudian menguasai pemerintahan pusat (Baghdad), diantaranya dinasti
Buwaihiyyah (320 - 447 H / 932 – 1055 M), dinasti Saljuk (Saljuk Besar)
didirikan oleh Rukn al-Dīn Abū Thalib Thughrul Bek Ibn Mīka’il Ibn Seljuk
Ibn Tuqaq yang menguasai Baghdad dan memerintah selama 93 tahun (429-
11 Busyairi Madjidi, Konsep Kependidikan Para Filosof Muslim, (Yogyakarta: al-Amin Press,
1997), 101 12 Badriyatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1998), Cet. VII, 79
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
56
522 H / 1037-1127 M).13 dua dinasti ini yang memerintah pada masa al-Zarnuji
serta Dinasti Ayubiyah (564-648 H / 1167-1250 M).
Di jaman kaum Saljuk, kota Baghdad mendapatkan kembali sebagian
dari daerah kedudukannya yang semula sebagai ibukota kerohanian tempat
persemayaman khalifah Abbasiyah yang menikmati pengaruh keagamaan, dan
menikmati kembali kehebatan serta keagungan yang pernah dinikmati
sebelumnya. Hal ini mungkin dikarenakan kesendirian di Baghdad serta
mendapat kehormatan dan sanjungan dari sultan-sultan kaum Saljuk, dan
pengaruh politik terus berada di ibukota kaum Saljuk di Nisabur kemudian di
Raiyi.14
Dalam zaman inilah para ulama dengan dukungan penguasa mulai
dengan keras mengecam filsafat dan para filosof bahkan dengan ilmu hikmah
(ilmu pengetahuan umum) pada umumnya. Akan tetapi pandangan mereka
terhadap filsafat dan mantiq berbalik arah, semula ilmu hikmah diabadikan
kepada agama tetapi pada akhirnya hampir saja agama itu dibunuhnya. Ibnu
Khaldun sendiri mengatakan bahwa filsafat itu besar mudharatnya terhadap
agama.15
Kalau kita telusuri sejarah pendidikan Islam, maka terdapat lima tahap
pertumbuhan dan perkembangan dalam bidang pendidikan Islam. Pertama
pendidikan pada masa Nabi Muhammad Saw (571-632 M); kedua pendidikan
pada masa Khulafāur Rasyidīn (632 – 661 M); ketiga pendidikan pada masa
13 Badriyatim, Sejarah Peradaban Islam, 65-66 14 Ahmad Salabi, Sejarah dan kebudayaan Islam, (Terj. Muhammad Labieb Ahmad), jilid 3,
(Jakarta: PT Al-Husna Zikra, 1997), Cet. II, 340. 15 Busyairi Madjidi, Konsep Kependidikan Para Filosof Muslim, 101-102
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
57
Bani Umayyah di Damsyik (661- 750 M); keempat pendidikan pada masa
kekuasaan Abbasiyah di Baghdad (750 – 1250 M); dan kelima pendidikan pada
masa jatuhnya kekuasaan khalifah di Baghdad (1250 – sekarang).
Dengan demikian al-Zarnuji hidup pada masa keempat dari periode
pendidikan dan perkembangan pendidikan Islam, yakni antara tahun 750 –
1250 M. Sehingga beliau sangat beruntung mewarisi banyak peninggalan yang
ditinggalkan oleh para pendahulunya dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan.
Dan al-Zarnuji bukanlah seorang fuqaha atau muhaddits ataupun mutakallim
tetapi beliau seorang murabbi biasa pada sebuah pendidikan, hal ini dilihat dari
karyanya hanya satu (Ta’līmul Muta’allim) dan tidak ada pula perkataan-
perkataan beliau yang bernilai hukum, ataupun tidak ada nukilan-nukilan
daripadanya untuk dipakai rujukan saat ini baik dari hukum, hadits ataupun
ilmu kalam. Berbeda dengan Imam Ghazali yang lebih terkenal dengan ilmu
tasawufnya dibandingkan dengan ilmu pendidikannya.16
Dari beberapa pendapat diatas dapat kita identifikasi latar belakang Al-
Zarnuji menulis kitab Ta’limul Muta’allim yaitu beliau ingin membangkitkan
kembali peradaban Islam yang mana pada waktu itu mengalami kemunduran
ilmu pengetahuan yaitu tepatnya pada akhir masa dinasty Abasiyyah. Faktor
lain yaitu pada masa itu banyak pencari ilmu (santri, pelajar dan mahasiswa)
ternyata banyak diantara mereka yang mendapatkan ilmu, tapi ternyata tidak
bisa mendapatkan manfaat dan buahnya ilmu, yaitu dapat mengamalkan dan
menyebarkan ilmu yang diperolehnya. Hal tersebut disebabkan karena
16 Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara,1992), Cet. III, 7
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
58
kesalahan mereka dalam menuntut ilmu, mereka tidak menghiraukan syarat-
syarat dalam menuntut ilmu. Dari latar belakang tersebut Al-Zarnuji ingin
menjelaskan kepada para pelajar tentang metodologi dan tips-tips dalam belajar
agar memperoleh ilmu yang bermanfaat. Pada akhirnya Al-Zarnuji menyusun
kitab yang bernama Ta’limul Muta’allim
kitab Ta’līmul Muta’allim merupakan bagian dari karya al-Zarnuji,
yang masih ada sampai sekarang. Sebagai kontribusi tunggal beliau dalam
bidang ilmiah yaitu bidang pendidikan, selain itu tidak ada. Kitab yang terdiri
dari 13 Bab tersebut, menurut Khalifah telah diberi catatan komentar (sarah)
oleh Ibn Isma’il, yang kemungkinan juga dengan al-Nau’i. Yang diterbitkan
pada tahun 996 H, kitab ini juga diterjemahkan kedalam bahasa Turki oleh
Abd. Al-Majid bin Nusuh bin Isra’il dengan judul Irsyad al-Ta’līm fi Ta’līm al-
Muta’allim.
Kitab Ta’līmul Muta’allim telah diakui kepopulerannya oleh Khalil A.
Totah dan Mehdi Nakosteen, ketika masing-masing melakukan survey atas
sumber literatur kependidikan Islam klasik dan abad pertengahan. Hal ini
berdasar pada identifikasi sejumlah karya kependidikan, bahwa kitab Ta’līmul
Muta’allim-lah yang paling terkenal. Kepopuleran itu ditunjukkan dengan
adanya penerjemahan dari bahasa Arab kedalam bahasa Latin dengan judul
Enchiridion Studiosi yang dilakukan dua kali oleh H. Reland pada tahun 1709
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
59
dan Caspari pada tahun 1838. dan juga penerjemahan kedalam bahasa Latin
digalakkan pada saat masih berlangsung perang Salib.17
B. Biografi dan Konteks Sosial Paulo Freire
1. Biografi Paulo Freire
Paulo Freire lahir pada 19 september 1921 di Recife, kota pelabuhan
diTimur Laut Brazil, dia berasal dari keluarga kelas menengah, ayahnya
bernama Joachim Themistocles Freire berprofesi sebagai polisi militer di
Pernambuco yang berasal dari Rio Grande de Norte. Ayahnya adalah
seorang pengikut aliran kebatinan, tanpa menjadi anggota dari agama resmi.
Baik budi, cakap, dan mampu untuk mencintai.dan ibunya bernama Edultrus
Neves Freire, berasal dari Pernambuco, beragama Katolik, lembut, baik
budi, dan adil. Merekalah yang dengan contoh dan cinta mengajarkan
kepada Paulo Freire untuk menghargai dialog dan menghormati pendapat
maupun pilihan orang lain.
Kehidupan orang tua Freire tergolong kelas menengah, namun sering
mengalami kesulitan financial. Situasi seperti itulah yang membuat Freire
menyadari arti lapar bagi anak sekolah dasar. Dan situasi itu juga membuat
ia pada waktu kecil bersumpah untuk membaktikan hidupnya melawan
kemiskinan dan kelaparan serta membela kaum miskin sehingga tidak ada
anak lain yang akan merasakan penderitaan seperti yang pernah ia alami.
Situasi ini terjadi pada tahun 1929 dimana krisis ekonomi melanda hampir
17 Ahmad Usman, Al-Ta’lim Inda Burhanul Islam Al-Zarnuji, (Kairo:Maktabah Al-Anjalu Al-
Misriyah, 1989), 88
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
60
di seluruh kota di Brazil.18 Kendati demikian semangat Freire tidak surut
untuk tetap membela dan memperjuangkan kesejahteraan kaum marginal
dan minoritas.
Pada tahun 1943, Freire mulai belajar di Universitas Recife, sebagai
seorang mahasiswa hukum, tetapi ia juga belajar filsafat dan psikologi
bahasa. Meskipun ia lulus sebagai ahli hukum, ia tidak pernah benar-benar
berpraktik dalam bidang tersebut. Sebagai buktinya, ia pernah berkarier
dalam waktu pendek sebagai seorang pengacara. Sebaliknya, ia bekerja
sebagai seorang guru di sekolah menengah, mengajar bahasa Portugis
selama 6 tahun (1941-1947). Pada 1946, Freire diangkat menjadi Direktur
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dari Dinas Sosial di Negara
bagian Pernambuco (yang ibu kotanya adalah Recife).
Selama bekerja itu, terutama ketika bekerja di antara orang-orang miskin
yang buta huruf, Freire mulai merangkul bentuk pengajaran yang non-
ortodoks yang belakangan dianggap sebagai teologi pembebasan. Tahun
1959, Freire menyerahkan disertasi doktoral di Universitas Recife dengan
judul Educacao e Atualidade Brazileira (Pendidikan dan Keadaan Masa
Kini di Brazil). Di kemudian hari, ia bahkan diangkat sebagai guru besar
bidang sejarah dan filsafat pendidikan di universitas tersebut.
Pada 1961-1964, ia diangkat sebagai Direktur Pertama dari
Departemen Perluasan Kebudayaan Universitas Recife. Dan pada 1962, ia
mendapatkan kesempatan pertama untuk menerapkan secara luas teori-
18 Firdaus M. Yunus, Pendidikan Berbasis Realitas Sosial, (Jogjakarta: logung pustaka, 2004), 22
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
61
teorinya. Saat itu, 300 orang buruh kebun tebu diajar untuk membaca dan
menulis hanya dalam 45 hari. Sebagai tanggapan terhadap eksperimen ini,
pemerintah Brazil menyetujui dibentuknya ribuan lingkaran budaya di
seluruh negeri. Karena keberhasilannya dalam program pemberantasan buta
huruf di daerah Angicos, Rio Grande do Norte, ia diangkat sebagai Presiden
dari Komisi Nasional untuk Kebudayaan Populer.
Pada tahun 1964, terjadi kudeta militer di Brazil, yang mengakhiri
upaya itu. Rezim yang berkuasa saat itu menganggap Freire seorang tokoh
yang berbahaya, karena itu mereka menahannya selama 70 hari sebelum
akhirnya “mempersilahkan” Freire untuk meninggalkan negeri itu. Ia
memulai masa 15 tahun pembuangannya dan tinggal untuk sementara waktu
di Bolivia. Dari Bolivia ia pindah ke Chili dan berkerja selama 5 tahun
untuk organisasi internasional Christian Democratic Agrarian Reform
Movement. Dalam masa 5 tahun ini, ia dianggap sangat berjasa menghantar
Chili menjadi 1 dari 5 negara terbaik di dunia yang diakui UNESCO sukses
dalam memberantas buta huruf. Pada tahun 1969, ia sempat menjadi visiting
professor di Universitas Harvard.19
Paulo Freire dalam berfilsafat beliau merujuk filsafat Emmanuel
Khan. Filsafat Emmanuel Khan bermula dari kritikan tentang perdebatan
aliran Rasionalisme dan Empirisme. Pendirian aliran rasionalisme dan
empirisme sangat bertolak belakang. Rasionalisme berpendirian bahwa rasio
merupakan sumber pengenalan atau pengetahuan, sedangkan empirisme
19 Paulo Freire, Pendidikan Kaum Tertindas, terj:tim redaksi (Jakarta: LP3ES, 2008), 33
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
62
berpendirian sebaliknya bahwa pengalaman menjadi sumber dalam
berfilsafat. Maka dari perdebatan tersebut, ia berusaha mengadakan
penyelesaian atas pertikaian itu dengan filsafatnya yang dinamakan
Kritisisme (aliran yang kritis).
Immanuel Kant adalah filsuf yang hidup pada puncak perkembangan
“Pencerahan”, yaitu suatu masa dimana corak pemikiran yang menekankan
kedalaman unsur rasionalitas berkembang dengan pesatnya. Pasa masa itu
lahir berbagai temuan dan paradigma baru dibidang ilmu, dan terutama
paradigma ilmu fisika alam. Heliosentris temuan Nicolaus Copernicus (1473
– 1543) di bidang ilmu astronomi yang membutuhkan paradigma geosentris,
mengharuskan manusia mereinterpretasikan pandangan duniannya, tidak
hanya pandangan dunia ilmu tetapi juga keagamaan.
Selanjutnya ciri kedua adalah apa yang dikenal dengan deisme, yaitu
suatu paham yang kemudian melahirkan apa yang disebut Natural
Religion (Agama alam) atau agama akal. Deisme adalah suatu ajaran yang
mengakui adanya yang menciptakan alam semesta ini. Akan tetapi setelah
dunia diciptakan, Tuhan menyerahkan dunia kepada nasibnya sendiri. Sebab
ia telah memasukkan hukum-hukum dunia itu ke dalamnya. Segala sesuatu
berjalan sesuai dengan hukum-hukumnya. Manusia dapat menunaikan
tugasnya dalam berbakti kepada Tuhan dengan hidup sesuai dengan hukum-
hukum akalnya.
Maksud paham ini adalah menaklukkan wahyu ilahi beserta degan
kesaksian-kesaksiannya, yaitu buku-buku Alkitab, mukjizat, dan lain-lain
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
63
kepada kritik akal serta menjabarkan agama dari pengetahuan yang alamiah,
bebas dari pada segala ajaran Gereja. Singkatnya, yang dipandang sebagai
satu-satunya sumber dan patokan kebenaran adalah akal. Kant berusaha
mencari prinsip-prinsip yang ada dalam tingkah laku dan kecenderungan
manusia. Inilah yang kemudian menjadi kekhasan pemikiran filsafat Kant,
dan terutama metafisikanya yang dianggap benar-benar berbeda sama sekali
dengan metafisikan pra kant. Maka dari itu kalau kita menelaah pemikiran
Paulo Freire maka tidak jauh berbeda dengan Emmanuel Khan. Karena
beliau mengambil dasar filsafat Emmanuel Khan yang diterapkan pada
zamannya.
2. Konteks Sosial Konsep Pendidikan Paulo Freire
Dengan melihat biografi Paulo Freire dari kecil hingga ia menjadi
orang berpengaruh maka tidak lain ialah Paulo ingin memperjuangkan
kemerdekaan dan kebebasan utamanya dalam hal pendidikan. Karena pada
waktu itu negara dalam kondisi krisis sedangkan masyarakatnya dalam
kondisi miskin. Oleh karenanya dengan faktor ini masyarakat tidak dapat
menikmati pendidikan dengan leluasa. Paulo tidak hanya seorang yang
kontroversial dengan metode pendidikan revolusionernya namun juga sosok
yang sulit diterka. Pemikirannya selalu mencerminkan nada gugatan, protes
dan berontak terhadap segala bentuk pendidikan yang telah mencabut
manusia dari kesadarannya.
Perjalanan hidup dan karier Paulo Freire sebagai pendidik begitu
optimis meskipun dikungkung oleh kemiskinan, pemenjara’an dan
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
64
pembuangan. Dialah pejuang kebebasan dunia yang eksis memperjuangkan
keadilan bagi orang-orang kelas marginal yang menyusun budaya diam di
banyak wilayah. Eksistensi dan peran besarnya dalam pendidikan
menempatkan Freire dalam orang-orang revolusioner-radikal.20 Oleh karena
itu dengan latar belakang kondisi sosial inilah maka Paulo mempunyai
banyak pikiran kritis tentang bagaimana memperlakukan seseorang dengan
baik.
Yaitu misalnya pendidikan menurut Paulo Freire merupakan usaha
untuk mengembalikan fungsi pendidikan sebagai alat yang membebaskan
manusia dari berbagai bentuk penindasan dan ketertindasan, atau bisa
disebut dengan usaha untuk "memanusiakan manusia" (humanisasi).
Dengan menggunakan pendekatan humanis, ia membangun konsep
pendidikannya mulai dari konsep manusia sebagai subyek aktif. Manusia
adalah makhluk praksis, yakni makhluk yang dapat beraksi dan berefleksi
dengan menggunakan pikirannya.
Pendidikan dengan pendekatan kemanusiaan sering diidentikan
dengan pembebasan, yakni pembebasan dari hal-hal yang tidak manusiawi.
Jadi, untuk mewujudkan pendidikan yang memanusiakan manusia
dibutuhkan suatu pendidikan yang membebaskan dari unsur dehumanisasi.
Dehumanisasi tersebut bukan hanya menandai seseorang yang
kemanusiannya telah dirampas, melainkan (dalam cara yang berlainan)
20 Hasanuddin wahid, Arti Lapar Bagi Anak Sekolah, dalam: Safiul Arif, Pemikiran Pemikiran
Revolusioner, 146.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
65
menandai pihak yang telah merampas kemanusiaan itu, dan merupakan
pembengkokkan cita-cita untuk menjadi manusia yang lebih utuh.
Konsep pendidikan Paulo Freire berpijak pada penghargaan terhadap
manusia. Ia menempatkan pendidik dan peserta didik sebagai subyek dalam
proses pendidikan, karena mereka memiliki kedudukan yang sejajar.
Pendidikan adalah sebuah kegiatan belajar bersama antara pendidik dan
peserta didik dengan perantara dunia, oleh objek-objek yang dapat dikenal.
Pendidikan tidak lagi sekedar pengajaran, namun dialog antara para peserta
didik dan pendidik yang juga belajar. Keduanya bertanggung jawab bersama
atas proses pencapaian. Hal ini merupakan sebuah penghargaan terhadap
peserta didik sebagai manusia. Pendidikan bukan lagi proses transfer ilmu
pengetahuan, sebab keduanya sama-sama dalam suasana dialogis membuka
cakrawala realita dunia.
Paulo mengatakan bahwa “Tujuan utama manusia adalah humanisasi
yang ditempuh melalui pembebasan. Proses untuk menjadi manusia secara
penuh hanya mungkin apabila manusia berintegrasi dengan dunia. Dalam
kedudukannya sebagai subjek, manusia senantiasa menghadapi berbagai
ancaman dan tekanan, namun ia tetap mampu terus menapaki dan
menciptakan sejarah berkat refleksi kritisnya.”21
Sayangnya, gambaran dunia pendidikan secara umum masih jauh dari
ideal. Sebagian besar sekolah (di Indonesia khususnya) hanya berfokus pada
target kuantitatif yang bisa diukur, seperti misalnya harus lulus mata
pelajaran dengan nilai tertentu, mendapatkan trophy, dan lain sebagainya.
Padahal, model pendidikan seperti itu jelas menimbulkan efek yang buruk
21 Paulo Freire dalam Siti Murtiningsih, Pendidikan Alat Perlawanan: Teori Pendidikan Radikal
Paulo Freire, (Yogyakarta: Resist Book, 2004), 55
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
66
bagi peserta didik. Menurut Paulo Freire dalam bukunya yang berjudul
Pendidikan Kaum Tertindas (1994), model pendidikan yang semacam itu ia
sebut sebagai banking education alias pendidikan gaya bank.
Dalam hal ini Paulo menyatakan “Pendidikan karenanya menjadi
sebuh kegiatan menabung, di mana para murid adalah celengan dan guru
adalah penabungnya. Yang terjadi bukanlah proses komunikasi, tetapi guru
menyampaikan pernyataan-pernyataan dan “mengisi tabungan” yang
diterima, dihafal dan diulangi dengan patuh oleh para murid.”22
22 Paulo Freire, Pendidikan Kaum Tertindas, (Jakarta: LP3S, 2008), 52