bab iii konsep integrasi pendidikan islam al-qabisi 1. …digilib.uinsby.ac.id/14002/6/bab 3.pdf ·...
TRANSCRIPT
57
BAB III
KONSEP INTEGRASI PENDIDIKAN ISLAM AL-QABISI
DAN IBNU SINA
A. Biografi Dan Pemikiran Al-Qabisi
1. Biografi Al-Qabisi
Al- Qabisi adalah salah seorang tokoh ulama ahli hadits dan
seorang pendidik ahli, yang hidup pada 324-403 H.1 Nama lengkap Al-
Qabisi adalah Abu Hasan Ali bin Muhammad bin Khalaf Al-Qabisi, lahir
pada Rajab 224 H. atau 13 Mei 1936 M di Qairawan, Tunisia. Ia pernah
merantau ke negara-negara timur pada 353 H. Atau 963 M. Selama 5
tahun kemudian kembali ke negeri asalnya dan meninggal dunia pada
tanggal 3 Rabi’ul awal 403 H. atau tanggal 23 Oktober 1012 M. 2
Masa kecil dan remajanya dihabiskan di Kota Qairawan untuk
belajar. Ia mulai mempelajari Al-Qur’an, hadits, fikih, ilmu-ilmu bahasa
Arab dan Qira’at dari beberapa ulama yang terkenal di kotanya. Ia pernah
juga tinggal di Mesir beberapa waktu lamanya, dan berguru pada salah
seorang ulama iskandariyah. Ia juga memperdalam ilmu agama, dan ilmu
hadits dari ulama-ulama terkenal di Afrika Utara, seperti Abul Abbas Al-
Ibyani dan Abul Hasan bin Masrur Ad-Dibaghi, Abu Abdillah bin Masrut
Al-Assaali serta ulama lainnya.
1Mahmud Arif, Pendidikan Islam Transformatif, (Yogyakarta: LKiS. 2008), 108-109
2Ali A l-Jumbulat i Abdul Futuh At-Tuwaanisi, Perbandingan Pendidikan Islam, penerjemah Prof.
H.M. Arifin, M.Ed, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1994) , 76
57
58
Al-Qabisi adalah salah satu pengagum berat terhadap guru-guru
tersebut. Kepada Abul Abbas Al-Ibyani ia mengatakan, ‚saya tidak
pernah menemukan di Barat dan di Timur ulama seperti Abu al-‘Abbas.‛
3
Al-Qabisi pun terkenal sebagai ulama yang sangat menonjol pada
zamannya. Ia adalah ulama yang gemar berpuasa, sembahyang tahajjud,
berwatak qona’ah, berhati halus terhadap orang yang menderita musibah
dan ia orang yang sabar. Keluasan ilmu Al-Qabisi–dalam bidang hadits
dan fikih di samping juga sastra Arab menjadi pilar untuk memecahkan
persoalan yang terjadi di masyarakat. Ia menjadi rujukan ummat dan
dibutuhkan untuk menjawab masalah-masalah hukum Islam yang terjadi
pada saat itu. ia pun diangkat menjadi mufti dinegerinya. Pada awalnya ia
tidak menyukai jabatan ini, karena ia memiliki sifat tawadlu‘ (merendah
hati), wara‘ (bersih dari dosa) dan zuhud (tidak mencintai kemewahan
hidup duniawi). Kondisi yang membuat Al-Qabisi harus menjadi mufti.
Ketika wafat Ibnu Syilun, mufti negeri Tunis, maka tak ada pilihan lain
yang pantas untuk mengiai jabatan yang kosong ini kecuali Al-Qabisi.4
Di samping itu juga dikenal sebagai tokoh pemikir pendidikan,
terutama tentang pendidikan anak-anak di kuttab-kuttab. Salah satu
karya dalam bidang pendidikan Islam yang sangat populer adalah kitab
‚Ahwal al-Muta’allim wa Ahkam Mu’allimin wa al-Muta’allimin‛, kitap
3Abdullah al-Amin al-Nu’my, Kaedah dan Tekhnik Pengajaran Menurut Ibnu Khaldun dan Al-
Qabisy (Jakarta: t.pt., 1995), 18 4Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam (Jakarta: PT. Raja Grap indo Persada,
2003), 26
59
itu cukup terkenal pada pada abad 4 dan setelahnya. Kitab itu merupakan
rincian prilaku murid dan hukum-hukum yang mengatur para murid dan
guru.
2. Pendidikan menurut Al-Qabisi
Al-Qabisi memiliki perhatian yang besar terhadap pendidikan
anak-anak yang berlangsung di kuttab-kuttab. Menurutnya bahwa
mendidik anak-anak merupakan upaya amat strategis dalam rangka
menjaga kelangsungan bangsa dan negara. Oleh karena itu, pendidikan
anak harus dilaksanakan dengan penuh kesungguhan dan ketekunan yang
tinggi.
Selanjutnya ia juga dikenal sebagai ulama yang berakhlak mulia.
Keluasan ilmunya yang tinggi dibarengi dengan ketekunan ibadah dan
budi pekerti mulia, menyebabkan apa yang dikerjakannya kepada orang
lain akan dapat diterima. Sifat inilah yang nantinya menjadi salah satu
faktor pendukung keberhasilan seorang guru dalam mengajar. Guru bukan
hanya menguasai berbagai materi pengajaran dan cara menyampaikannya
dengan baik, tetapi juga harus memiliki budi pekerti mulia dan
keteladanan yang tinggi. Ia senantiasa menunjukkan rasa takut kepada
Allah, bersih jiwanya, cinta pada fakir miskin, gemar berpuasa, shalat
tahajjud, menerima apa adanya (qanaah), berhati lembut terhadap orang-
orang yang mendapat musibah serta tabah dalam menderita cobaan
Tuhan.
3. Konsep Pendidikan Al-Qabisi
60
a. Tujuan Pendidikan Anak
Tujuan pendidikan pendidikan bagi Al-Qabisi adalah
mengembangkan kekuatan akhlak anak, menumbuhkan rasa cinta
agama, berpegang teguh kepada ajaran-ajaran-Nya, serta berprilaku
yang sesuai dengan nilai-nilai agama. Menurutnya, bahwa nilai-nilai
pendidikan agama harus bersumber dari akhlak yang mulia. Dalam
Islam sendiri, agama merupakan dasar pendidikan akhlak, oleh
karenanya akan menjadi suatu keharusan dalam satu pengajaran
ditanamkan pendidikan akhlak.5
Hal ini sejalan dengan pendapat Syaibani yang
mengemukakan bahwa ‚tujuan pendidikan Islam adalah
mempertinggi nilai-nilai akhlak, hingga mencapai tingkat akhlak al-
Karimah‛.6 Hal ini sesuai dengan sabda Nabi yang artinya
‚Sesungguhnya aku diutus hanya untuk menyempurnakan akhlak
yang mulia‛. Ini artinya, faktor kemuliaan akhlak dalam pendidikan
Islam dinilai sebagai hal yang paling essensial dalam menetukan
keberhasilan satu pendidikan.Inilah yang sesungguhnya ingin
diterapkan oleh al-Qabisi.
b. Materi Pengajaran
Dilihat dari aspek pengajaran yang diterapkan, al-Qabisi
membagi materi pelajaran ke dalam dua kategori, antara lain:
1) Mata Pelajaran Wajib
5Muhammad Munir Mursi, Al-Tarbiyah al-Islamiyah Ushuluha wa…, Dar al-Ma’arif, 1987, 121
6Jalaluddin, Filsafat Pendidikan Islam,(Jakarta:Rajawali Press, 1996), cet.2, 38.
61
Adapun yang termasuk mata pelajaran ini adalah
membaca dan menulis al-Qur’an, termasuk di dalamnya terdapat
bacaan-bacaan shalat, ditambah dengan penguasaan terhadap
ilmu Nahwu dan bahasa Arab yang keduanya merupakan
prasyarat untuk memantapkan bacaan al-Qur’an. Alasan utama
Al-Qabisi mamasukkan pelajaran membaca dan penulis al-Qur’an
ke dalam mata pelajaran wajib adalah karena al-Qur’an
merupakan kalam Allah dan menjadi sumber hukum tasyri’. Di
samping karena al-Qur’an juga merupakan rujukan utama kaum
muslimin dalam masalah ibadah dan mu’amalat.
2) Mata Pelajaran Pilihan
Mata pelajaran pilihan adalah materi pelajaran alternatif
atau pilihan. Artinya tidak ada kewajiban bagi siswa untuk
mengambil mata pelajaran model ini. Dalam kurikulum ini
terdapat beberapa materi pelajaran seperti ilmu hitung (hisab),
fiqh, penguasaan ilmu nahwu dan bahasa Arab secara lengkap,
syi’ir, kisah-kisah bangsa Arab serta sejarah. Materi-materi
tersebut merupakan pendorong untuk mengkaji ilmu-ilmu
tertentu dan sebagai alat untuk menuangkan bakat dan potensi
yang dimiliki seorang anak.
c. Metode/Teknik Pengajaran
1) Membaca dan menghafal
62
Metode menghafal yang dianjurkan oleh al-Qabisi itu
didasarkan pada pemahaman sebuah hadits Nabi Saw. tentang
menghafal al-Qur’an. Nabi mengumpakan orang yang menghafal
al-Qur’an bagaikan unta yang diikat dengan tali, jika pemiliknya
mengokohkan ikatannya, unta itu akan terikat erat pula, dan jika
ia melepaskan tali ikatannya, maka ia akan pergi.‛ Jika orang yang
menghafal al-Qur’an di waktu malam dan di siang hari
mengulang-ngulanginya, maka ia akan tetap mengingatnya, dan
jika ia tidak pernah membacanya, maka ia akan melupakannya
(hilang hafalannya).7
2) Menulis
Dari uraian di atas, dapat penulis analisis bahwa adanya
penerapan metode dalam satu proses pendidikan di setiap jenjang,
baik dasar maupun perguruan tinggi, harus betul-betul disesuaikan
dengan materi pelajaran yang bersangkutan, situasi dan kondisi
serta kemampuan guru yang mengajar. Di samping ada
pemahaman dari penulis kalau dalam mengajar dan belajar., semua
hendaknya harus sistematis, gradual atau tahap demi tahap. Hal
ini sangat nampak pada pemikiran al-Qabisi yang tidak
memperbolehkan seorang mengizinkan anak berpindah dalam
belajar sebelum hafal betul.
d. Kurikulum
7Abudin Nata,Pemikiran Para Tokoh…, (Jakarta: Rajawali Press, 2003), 35
63
Kurikulum pendidikan yang ditawarkan oleh al-Qabisi lebih
diorientasikan pada kepentingan siswa (Child Oriented) bukan pada
kepentingan guru. Mata pelajaran wajib seperti membaca dan menulis
al-Qur’an bagi seorang anak akan menjadi hal yang urgen.
1) Kurikulum Ijbari (wajib)
Kurikulum yang terdiri dari pada kandungan ayat-ayat Al-
Qur’an seperti ayat-ayat sembahyang dan do’a-do’a. Sebagian
para ahli mengatakan bahwa ilmu Nahwu dan bahasa Arab,
keduanya merupakan persyaratan mutlak untuk memantapkan
baca Al-Qur’an, tilawah, menulis dan hafalan. Al-Qabisi lebih
lanjut mengatakan bahwa dimasukkannya pelajaran membaca dan
menulis Al-Qur’an ke dalam kurikulum ijbari adalah karena Al-
Qur’an merupakan kalam Allah dan menjadi sumber hukum dan
tasyri’. Al-Qur’an menjadi referensi (rujukan) kaum muslimin
dalam masalah ibadat dan mu’amalat. Allah mendorong
semangat untuk beribadah dengan membaca Al-Qur’an tercantum
dalam Q. S. Al-Fatir: 29
Artinya: ‚Sesungguhnya oran-orang yang membaca kitab Allah
dan mendirikan sembahyang dan membelanjakan hartanya ke
jalan Allah setengah dari apa yang kami rezekikan kepada mereka
baik dengan cara diam-diam (rahasia) maupun dengan cara teran-
terangan mereka mengharapkan usaha dagangnya tidak menderita
kerugian.‛
64
Uraian kurikulum menurut pandangan al-Qabisi yang
telah disebutkan di atas adalah lebih cocok untuk jenjang
pendidikan dasar, atau pra-dasar, yakni pendidikan di al-kuttab,
sesuai dengan jenjang yang telah dikenal pada masa itu.
Kurikulum tersebut masih cocok dipakai pada jenjang pendidikan
tingkat dasar hingga pada masa sekarang.
2) Kurikulum Ikhtiari (Tidak Wajib/Pilihan)
Kurikulum ini berisi ilmu hitung dan seluruh ilmu Nahwu,
bahasa Arab, syair, kisah-kisah masyarakat Arab, sejarah Islam,
ilmu Nahwu (grammar), dan bahasa Arab lengkap. Lebih lanjut
Al-Qabisi mengemukakan bahwa perbedaan antara ilmu-ilmu
ikhtiari ini dengan ilmu ijbari adalah dari segi jarak jauh dekatnya
ilmu tersebut untuk pembinaan rasa keagamaan yang kuat,
dimana ilmu-ilmu jabariah lebih dekat jaraknya dengan
pembinaan keagamaan. Disinilah letak begitu kuatnya dengan
motivasi keagamaan dalam merumuskan konsep kurikulumnya.
Dalam kurikulum ikhtiari ini al-Qabisi memasukkan pelajaran
ketrampilan yang dapat menghasilkan produksi kerja yang
mampu membiayai hidup di masa yang akan datang.
Dengan demikian menurut pandangan al-Qabisi bahwa
memberikan pelajaran ketrampilan kerja untuk mencari nafkah
65
hidup sesudah selesai tiap jenjang pendidikan yang ditempuh
dengan dasar pengetahuan al-Qur’an serta ketaatan dalam
menjalankan ibadah menunjukkan adanya pandangan yang
menyatukan antara tujuan pendidikan keagamaan dengan tujuan
pendidikan pragmatis.
B. Biografi Dan Pemikiran Ibnu Sina
1. Biografi Ibnu Sina
Nama lengkap Ibnu Sina adalah Abu Ali Husain Ibn Abdillah Ibn
Sina. Ia lahir pada tahun 980 M di Asfshana, suatu tempat dekat Bukhara.
Persoalan tahun kelahiran Ibnu Sina ini kemudian dijelaskan lebih rinci
oleh Muhammad muhith thabathaba’in penasehat kebudayaan Iran di
Baghdad pada ceramahnya dihadapan para peserta kongres mengenai Ibnu
Sina yang bertepatan dengan peringatan wapatnya yang ke-1000 tahun di
Baghdad.
Menurutnya, bahwa tahun kelahiran Ibnu Sina yang dikemukakan
para ahli sejarah ada empat versi:
a. Menurut keterangan Qifthi, Ibnu khalikhan dan Baihaqi Ibnu Sina
lahir tahun 370 H
b. Menurut Ibnu abi ushaibah, Ibnu Sina lahir tahun 375 H
c. Menurut suatu keterangan, Ibnu Sina lahir pada tahun 373 H
d. Menurut keterangan lainnya, Ibnu Sina lahir tahun 363 H.
66
Dalam tulisan ini, tahun kelahiran Ibnu Sina yang dipergunakan
adalah tahun 370 H atau 980 M, kerna tahun itulah yang lebih banyak
dipergunakan oleh para ahli sejarah.
Orang tuanya adalah pegawai tinggi pada pemerintahan Dinasti
Saman. Di Bukhara dikawasan asia tengah, ia dibesarkan serta belajar
falsafah kedokteran dan ilmu - ilmu agama Islam. Ketika usia sepuluh
tahun ia telah banyak mempelajari ilmu agama Islam dan menghafal Al-
Qur’an seluruhnya. Dari mutafalsir Abu Abdullah Natili, Ibnu Sina
mendapat bimbingan mengenai ilmu logika yang elementer untuk
mempelajari buku Isagoge dan Porphyry, Euclid dan Al-Magest-Ptolemus.
Kemampuan Ibnu Sina dalam bidang filsafat dan kedokteran,
kedua duanya sama beratnya. Dalam bidang kedokteran dia
mempersembahkan Al-Qanun fit-Thibb-nya, dimana ilmu kedokteran
modern mendapat pelajaran, sebab kitab ini selain lengkap, disusunnya
secara sistematis.
Upaya memperdalam dan menguasai berbagai cabang ilmu
pengetahuan dilanjutkan Ibnu Sina pada saat ia memperoleh kesempatan
mempergunakan perpustakaan milik Nuh bin mansyur yang pada saat itu
menjadi sultan di Bukhara. Kesempatan tersebut terjadi karena jasa Ibnu
Sina yang berhasil mengobati penyakit sultan tersebut hingga sembuh.
Setelah itu Ibnu Sina terserang penyakit colic, dan karena
keinginannya untuk sembuh demikian kuat. Dengan segala usahanya
akhirnya ia mandi dan bertaubat kepada Allah, dan menyedekahkan
67
segala kekayaannya kepada kaum fakir, memaafkan setiap orang yang
menyakitinya, dan membebaskan para budaknya. Di usia 58 tahun (428 H
/ 1037 M) Ibnu Sina meninggal dan dikuburkan di Hamadan.
2. Karya-karya Ibnu Sina
Dalam dunia Islam kitab - kitab Ibnu Sina terkenal, bukan saja
karena kepadatan ilmunya, akan tetapi karena bahasanya yang baik dan
caranya menulis sangat terang. Selain menulis dalam bahasa Arab, Ibnu
Sina juga menulis dalam bahasa Persia. Buku-bukunya dalam bahasa
Persia, telah diterbitkan di Teheran dalam tahun 1954. Karya- karya Ibnu
Sina yang ternama dalam lapangan Filsafat adalah As-Shifa, An-Najat
dan Al Isyarat. An-Najat adalah resum dari kitab As-Shifa. Al-Isyarat,
dikarangkannya kemudian, untuk ilmu tasawuf. Selain dari pada itu, ia
banyak menulis karangan- karangan pendek yang dinamakan Maqallah.
Kebanyakan maqallah ini ditulis ketika ia memperoleh inspirasi dalam
sesuatu bentuk baru dan segera dikarangnya. Sekalipun ia hidup dalam
waktu penuh kegoncangan dan sering sibuk dengan soal negara, ia
menulis sekitar 250 karya.8
Diantaranya karya yang paling masyhur adalah ‚Qanun‛ yang
merupakan ikhtisar pengobatan Islam dan diajarkan hingga kini di Timur.
Buku ini dterjemahkan ke bahasa Latin dan diajarkan berabad lamanya di
8Ali A l-Jumbulat i, Perbandingan Pendidikan Islam,........., 76
68
Universita Barat. Karya keduanya adalah ensiklopedinya yang
monumental ‚Kitab As-Syifa‛. Karya ini merupakan titik puncak filsafat
paripatetik dalam Islam. Ibnu Sina dikenal di Barat dengan nama Avicena
(Spanyol aven Sina) dan kemasyhurannya di dunia Barat sebagai dokter
melampaui kemasyhuran sebagai Filosof, sehingga ia mereka beri gelar
‚the Prince of the Physicians‛. Di dunia Islam ia dikenal dengan nama Al-
Syaikh- al-Rais. Sedangkan kitab yang berkaitan dengan pendidikan
akhlak berjudul ‚al siyasah fi al tarbiyah‛, yang membahasa tentang
pendidikan akhlak terhadap anak menurut Islam.
3. Konsep pendidikan Ibnu Sina
a. Tujuan Pendidikan Anak
Tujuan tersebut secara lebih detail dalam bukunya
sebagaimana berikut:
1) Meningkatkan rasa keberagaman yang mampu membawa
manusia pada pandangan egalitarianisme.
2) Menyebarluaskan ilmu agama kepada manusia.
3) Menghasilkan ilmu dan mendapatkan ma’firah. Tujuan ini
menjadi sarana untuk mencapai kedua tujuan sebelumnya.
4) Mendapatkan kedudukan dalam masyarakat.
5) Memperoleh rizki.
6) Menyerap akhlak.9
9Tim Penyususn, Min ‘Alam at-Tarbiyah al-Arabyah al-Islamiyah, Jilid I, 261.
69
b. Kurikulum
Menurut Crow bahwa kurikulum adalah rancangan pengajaran
yang isinya sejumlah mata pelajaran yang disusun secara sistematis
yang diperlukan sebagai syarat untuk menyelesaikan suatu program
pendidikan tertentu. Sedangkan menurut Ibn Sina, kurikulum
didasarkan pada tingkat perkembangan usia anak didik, seperti mata
pelajaran olah raga, budi pekerti, kebersihan, seni suara dan kesenian,
ini semua untuk anak usia 3 sampai 5 tahun.
Jadi konsep kurikulum Ibn Sina ada 3 ciri, yaitu :
1) Kurikulum tidak terbatas pada menyusun jumlah mata pelajaran,
melainkan tujuan, kapan mata pelajaran diajarkan, aspek
psikologis, dan keahlian yang akan dipilihnya. Sehingga siswa
merasa senang mempelajari suatu ilmu.
2) Strategi penyusunan yang bersifat pragmatis fungsional
(marketting Oriented). Sehingga setiap lulusan pendidikan dapat
difungsikan dalam masyarakat.
3) Strategi pembentukan kurikulum sebagaimana yang dilakukan
dalam mempelajari berbagai ilmu dan keterampilan.
4) Dari ketiga ciri kurikulum tersebut telah memenuhi persyaratan
penyusunan kurikulum yang dikehendaki oleh masyarakat modern.
c. Metode/Teknik Pengajaran
Menurut Ibnu Sina ada beberapa metode pengajaran
diantaranya :
70
1) Metode Talqin
yaitu metode mengajarkan membaca Al-Qur'an dengan
cara memperdengarkan bacaan Al-Qur'an sebagian demi sebagian,
dan menyruh anak untuk mengulangi bacaan dengan perlahan-
lahan hingga hafal. Metode ini melibatkan guru dan murid dimana
murid diperintah untuk membimbing teman-temannya yang masih
tertinggal, istilah sekarang adalah tutor sebaya.
2) Metode Demonstrasi
Yaitu metode cara mengajar menulis dengan mencontoh
tulisan huruf hijaiyah di depan murid, kemudian guru menyuruh
murid untuk mendengarkannya yang dilanjutkan dengan
mendemonstrasikan cara menulis.
3) Metode Pembiasaan dan Teladan
Adalah metode pengajaran yang sangat efektif, khususnya
mengajarkan akhlak dengan cara pembiasaan dan teladan yang
disesuaikan dengan psikologis anak.
4) Metode Diskusi
Adalah metode cara penyajian pelajaran dimana siswa
diberi pertanyaan yang bersifat problematis untuk dipecahkan
bersama. Diharapkan dengan metode ini mendapatkan
pengetahuan yang bersifat rasional dan terotis, sehingga tidak
71
hanya mengajarkan metode ceramah saja yang akibatnya para
siswa akan tertinggal jauh dari perkembangan ilmu pengetahuan.
5) Metode Magang
Adalah metode yang menggabungkan antara teori dan
praktek yang nantinya akan menimbulkan manfaat ganda yaitu
disamping para siswa mahir dalam suatu bidang ilmu tertentu,
juga akan mendatangkan keahlian dalam bekerja atau memiliki
kemampuan (skill).
6) Metode Penugasan
Adalah metode cara penyajian bahan pelajaran dimana
guru memberikan tugas ajar. Siswa dapat melakukan kegiatan
belajar, sehingga siswa diharapkan dapat memecahkan problem
setelah guru menerangkan terlebih dahulu, dalam hal ini sejauh
mana siswa dapat memahami materi pelajaran yang telah
diajarkan oleh guru.
d. Konsep Hukuman DalamPengajaran
Salah satu pandangan Ibnu Sina dalam pendidikan adalah
melegalkan hukuman. Namun dalam konsep ini Ibn Sina sangat hati-
hati dalam memberikan hukuman karena ia sangat menghargai
martabat manusia, hukuman diperlukan jika dalam keadaan terpaksa.
Atas dasar kemanusiaan ia membatasi hukuman tersebut, serta
membolehkan pelaksanaan hukuman dengan cara yang ekstra hati-
72
hati hal ini dalam keadaan tidak normal. Sedangkan dalam keadaan
normal hukuman tidak boleh dilakukan.
C. Persamaan dan Perbedaan konsep integrasi pendidikan al-Qabisi dan Ibnu
Sina
1. Persamaan
Secara umum baik al-qabisi dan ibnu sina adalah kedua tokoh yang secara
signifikan memberikan arahan akan sebuah kesatuan semua ilmu dalam
bentuk pembelajaran. Akan lebih komprehensif jika kemampuan yang
dikurikulumkan diajarkan dengan metode yang efektif. Tentunya jalan ini
ditempuh keduanya demi memberikan jawaban atas tuntutan modernisasi
yang sama sekali tidak bisa dihindari.
a. Tujuan pendidikan
Al-Qabisi dan Ibnu sini menempatkan kesempurnaan akhlak sebagai
tolak ukur dalam kesuksesan pendidikan, sejalan dengan main mission
Rasul diutus ke dunia. Meski kedua menempatkan akhlak dalam
porsinya sendiri sendiri.
b. Materi pelajaran dan kurikulum
Kedua tokoh ini sama sama mengusung materi lebih kompleks dan
beragam dalam perkembangan peserta didik terutama sejak jenjang
anak anak. Secara detail keduanya memperhatikan tiap hal yang harus
disajikan demi kemajuan pola berpikir anak. Yang paling fundamental
keduanya memiliki perhatian begitu besar terheadap pelajaran agama
sebagai hal yang paling krusial bagi seorang anak. Misalnya, al-
73
Qur’an selalu diprioritaskan dengan berbagai penawaran metode.
Semua ini dimaksudkan agar anak lebih mudah dalam memahami dan
menguasai segala macam aspek kitab pedoman umat islam ini.
c. Metode Pengajaran
Ada beberapa kesamaan dalam penerapan metode pengajaran al-
Qabisi dan Ibnu Sina, diantara nya; al-qabisi memakai istilah metode
menghafal dan membaca sedang ibnu sina menggunakan istilah
metode talqin dan demonstrasi. Kedua metode ini sebenarnya sama
saja, jika dilihat dari penerapannya mencakup hafalan, membaca dan
menulis.
2. Perbedaan
Berikut perbedaan pola integrasi pendidikan kedua tokoh ini.
a. Tujuan Pendidikan
Jika Al-Qabisi menempatkan akhlak sebagai tujuan utama dalam
pendidikan anak, maka Ibnu sina menaruh perhatian lebih besar
terhadap keberaman dan egalitarisme. Anak harus lebih dibawa
kedunia luar yang lebih kompleks dengan masing-masing disiplin
ilmunya. Meski demikian al-Qabisi adalah penelur istilah gaji dalam
dunia pendidikan.
b. Materi pengajaran dan kurikulum.
Al-Qabisi mengambil istilah kurikulum ijbari (wajib) dan ilhtiyari
(pilihan). Beberapa pelajaran dikategorikan sedemikian rupa sehingga
terpetak-petak agar mudah dirampungkan dalam waktu tertentu.
74
Namun tidak demikian dengan Ibnu Sina, beliau mengkalisifikasikan
materi berdasarkan marketing oriented yang lebih pragmatis. Dengan
demikian kurikulum ala Ibnu Sina lebih sedikit unggul dalam
menjawab kebutuhan masyarakat modern. Lihat saja bagaimana
bapak kedokteran ini melandasi tujuan pendidikan dengan istilah
egalitarianism atau keragaman.
c. Metode dan strategi pengajaran
Al-Qabisi dikenal sebagai tokoh yang mendewakan hafalan. Sebagai
tokoh yang lama mendalami studi hadis dari ulama ulama Tunisia, Ia
mengharuskan murid-muridnya memiliki bekal hafalan yang cukup
disamping bekal pemahaman yang memadai. Dengan demikian
keaslian teks atau literature akan tetap terjaha.
Lain hal dengan ibnu sina, ia lebih banyak menelurkan istilah-istilah
yang popular di kalangan pendidik dewasa ini, seperti istilah diskusi,
demonstrasi, magang, dan penugasan. Salah satu metode yang paling
terkenal yakni metode punishment and reward (hukuman dan
penghargaan) yang banyak sejalan dengan pemikiran tokoh –tokoh
psikolog barat.