40 - sinta.unud.ac.id ii.pdf · dalam kegiatan bisnis, baik yang dilakukan orang perorangan ......

46
40 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KONTRAK PENGADAAN BARANG/JASA PEMERINTAH,WANPRESTASI DAN PENYELESAIAN SENGKETA PENGADAAN BARANG/JASA PEMERINTAH 2.1 Kontrak Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah 2.1.1 Pengertian dan Dasar Hukum Kontrak Perkembangan era globalisasi saat ini memberikan pengaruh salah satunya dalam pelaksanaan kerjasama bisnis. Dalam kerjasama yang dilakukan oleh pelaku bisnis banyak dilakukan melalui kesepakatan yang dituangkan dalam bentuk perjanjian tertulis atau kontrak. Kontrak dapat digunakan sebagai dasar bagi para pihak untuk dapat melakukan penuntutan apabila ada salah satu pihak yang tidak melaksanakan apa yang diperjanjikan dalam kontrak atau perjanjian. 1 Ewan Macintyre, menyatakan bahwa “a contract is a legally binding aggreement. In order for a contract to be created, one of parties must make an offer to the other party and the other party must accept this offer. 2 Dapat diartikan bahwa kontrak adalah kesepakan yang mengikat secara hukum. Agar kontrak yang akan 1 Muhammad Syaifuddin, op.cit, h.1. 2 Ewan Macintyre, 2007, Essentials of Business Law, Pearson Longman, Inggris, h. 29

Upload: nguyenque

Post on 14-Jun-2019

221 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

40

BAB II

TINJAUAN UMUM

TENTANG KONTRAK PENGADAAN BARANG/JASA

PEMERINTAH,WANPRESTASI DAN PENYELESAIAN SENGKETA

PENGADAAN BARANG/JASA PEMERINTAH

2.1 Kontrak Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah

2.1.1 Pengertian dan Dasar Hukum Kontrak

Perkembangan era globalisasi saat ini memberikan pengaruh

salah satunya dalam pelaksanaan kerjasama bisnis. Dalam

kerjasama yang dilakukan oleh pelaku bisnis banyak dilakukan

melalui kesepakatan yang dituangkan dalam bentuk perjanjian

tertulis atau kontrak. Kontrak dapat digunakan sebagai dasar bagi

para pihak untuk dapat melakukan penuntutan apabila ada salah

satu pihak yang tidak melaksanakan apa yang diperjanjikan dalam

kontrak atau perjanjian.1

Ewan Macintyre, menyatakan bahwa “a contract is a legally

binding aggreement. In order for a contract to be created, one of

parties must make an offer to the other party and the other party

must accept this offer.2 Dapat diartikan bahwa kontrak adalah

kesepakan yang mengikat secara hukum. Agar kontrak yang akan

1 Muhammad Syaifuddin, op.cit, h.1.

2 Ewan Macintyre, 2007, Essentials of Business Law, Pearson Longman, Inggris, h. 29

41

dibuat, salah satu pihak harus membuat penawaran ke pihak lain

dan pihak lain harus menerima tawaran ini.

Istilah kontrak atau perjanjian seringkali dipahami memiliki

pengertian yang berbeda, namun dalam KUHPerdata kedua istilah

tersebut tidak memiliki pengertian yang berbeda. Menurut Agus

Yudha Hernoko, dalam perspektif KUHPerdata istilah perjanjian

mempunyai pengertian yang sama dengan kontrak. 3

Kontrak diatur dalam KUHPerdata pada Buku III tentang

perikatan. Pengertian kontrak dimuat dalam Pasal 1313

KUHPerdata, yaitu “suatu perbuatan dengan mana seorang atau

lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.”

Pengertian tersebut tidak lengkap, karena hanya mencakup kontrak

sepihak, yaitu satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap

satu orang lainnya atau lebih, sedangkan orang lainnya atau lebih

tidak diharuskan mengikatkan dirinya kepada pihak pertama. Dari

hal tersebut dapat dipahami bahwa pengertian kontrak dalam

KUHPerdata tidak mengatur kontrak yang dalam kontrak tersebut

kedua pihak saling mempunyai prestasi secara timbal balik. Selain

itu pengertian kontrak tersebut memiliki makna yang terlalu luas

dan tidak memberikan pengertian yang tegas dan konkret.

Menurut Charless L. Knapp & Nathan M. Crystal, contract is

an agreement between two or more person not merely a shared

3 Muhammad Syaifuddin, op.cit, h.15.

42

belief, but common understanding as to something that is to be

done in the future by one or both of them.4 Hal ini berarti bahwa

kontrak merupakan perjanjian antara dua atau lebih orang tidak

hanya tentang keyakinan bersama, tetapi juga pemahaman bersama

sebagai sesuatu yang harus dilakukan di masa depan oleh salah satu

atau kedua belah pihak. Trietel menyatakan bahwa, “contract is an

agreement giving rise to obligations which are enforced or

recognized by law.”5 Yang berarti bahwa kontrak adalah perjanjian

yang menimbulkan kewajiban yang diberlakukan atau diakui oleh

hukum. Sedangkan menurut Clive turner menyatakan bahwa

“contract is an agreement made between two or more parties,

whereby legal rights and obligations are created which the law will

enforced.” 6 Menurut Clive berarti kontrak adalah perjanjian yang

dibuat antara dua pihak atau lebih, dengan ini hak dan kewajiban

hukum yang diciptakan akan ditegakkan.

Menurut Herlin Budiono, kontrak atau perjanjian adalah

perbuatan hukum yang menimbulkan, berubahnya, hapusnya hak

atau menimbulkan suatu hubungan hukum dengan cara demikian,

kontrak atau perjanjian menimbulkan akibat hukum yang

merupakan tujuan para pihak. Apabila suatu perbuatan hukum

4 Charless L. Knapp & Nathan M. Crystal, 1993, Problems in Contract Law : Case

and Materials, Little Brown and Company, Boston/Toronto/London, p.2

5 G.H Treitel, 1995, Law Of Contract, Sweet & Maxwell, London, p.1.

6 Clive Turner, 1995, Australian Commercial Law, The Law Book Company

Limited, Sydney, p.2.

43

adalah kontrak, orang-orang yang melakukan tindakan hukum

disebut pihak-pihak.7 Selanjutnya menurut H. Salim, kontrak atau

perjanjian adalah hubungan hukum antara subyek hukum yang satu

dengan subyek hukum yang lain dalam bidang harta kekayaan,

dimana subyek hukum yang satu berhak atas prestasi dan begitu

juga subyek hukum yang lain berkewajiban untuk melaksanakan

prestasinya sesuai dengan yang telah disepakatinya.8

Dalam kegiatan bisnis, baik yang dilakukan orang perorangan

maupun pemerintah senantiasa membuat kontrak sebagai dasar

untuk pelaksanakan kewajiban mereka masing-masing. Dengan

melibatkan diri dalam suatu transaksi komersial, pemerintah

mengikatkan diri dalam suatu hubungan kontraktual. Jenis

hubungan kontraktual yang dilakukan oleh pemerintah terkait

dengan kegiatan pengadaan barang/jasa dalam rangka untuk

menjalankan fungsi penyelenggaraan negara. Kontrak ini pada

dasarnya merupakan kontrak komersial sekalipun mengandung

unsur hukum publik, yang pada akhirnya memberikan dampak

bahwa disatu sisi hubungan hukum yang terjalin karena adanya

kontrak, tetapi disisi lain hubungan teresbeut sarat dengan aturan

bagi penyedia barang/jasa. Dalam Perpres No. 4 Tahun 2015 Pasal

7 Herlin Budiono, 2009, Ajaran Umum Hukum Perjanjian Dan Penerapannya Di

Bidang Kenotariatan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, h.67.

8 H. Salim,dkk, 2007, Perancangan Kontrak & Memorandum of Understanding

(MoU), Sinar Grafika, Jakarta, h.9.

44

1 angka 22, bahwa Kontrak pengadaan barang/jasa yang

selanjutnya disebut dengan kontrak adalah perjanjian tertulis antara

PPK dengan penyedia barang/jasa atau pelaksana swakelola.

2.1.2 Syarat Sah dan Jenis-jenis Kontrak

Dalam perkembangan doktrin ilmu hukum dikenal adanya

tiga unsur dalam perjanjian, yaitu :9

a. Unsur esensialia

Unsur ini dalam perjanjian mewakili ketentuan-

ketentuan berupa prestasi-prestasi yang wajib dilakukan

salah satu atau lebih pihak, sifat dari perjanjian

tersebut, yang membedakannya secara prinsip dari jenis

perjanjian lainnya. Unsur esensialia ini seharusnya

menjadi pembeda antara suatu perjanjian dengan

perjanjian lainnya.

b. Unsur naturalia

Unsur naturalia adalah unsur yang pasti ada dalam

suatu perjanjian tertentu, setelah unsur esensialianya

diketahui secara pasti.

c. Unsur aksidentalia

Unsur aksidentalia adalah unsur pelengkap dalam

suatu perjanjian, yang merupakan ketentuan-ketentuan

yang dapat diatur secara menyimpang oleh para pihak,

9 Kartini Muljadi & Gunawan Widjaja, op.cit, h.84.

45

sesuai dengan kehendak para pihak, yang merupakan

persyaratan khusus yang ditentukan secara bersama-

sama oleh para pihak. Dengan demikian maka unsur ini

pada hakekatnya bukan merupakan suatu bentuk

prestasi yang harus dilaksanakan atau dipenuhi oleh

para pihak.

Suatu perjanjian dianggap sah maka harus memenuhi syarat-

syarat yang diatur dalam Pasal 1320 KHUPerdata. Adapun syarat-

syarat untuk sahnya suatu perjanjian adalah :

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya

Kesepakatan dalam perjanjian merupakan perwujudan dari

kehendak dua atau lebih pihak dalam perjanjian mengenai apa

yang mereka kehendaki untuk dilaksanakan, bagaimana cara

melaksanakannya, kapan harus dilaksanakan,dan siapa yang

harus melaksanakannya.10 Suatu perjanjian dikatakan tidak

memenuhi unsur kebebasan apabila mengandung salah satu dari

3 (tiga), yaitu: (a) Unsur paksaan (dwang), (b) Unsur kekeliruan

(dwaling), (c) Unsur penipuan (bedrog).11

2. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian

10 ibid, h.95.

11 H. Purwosusilo, 2014, Aspek Hukum Pengadaan Barang Dan Jasa,

Prenadamedia Group, Jakarta, h.83

46

Setiap subyek hukum yang wenang untuk melakukan perbuatan

hukum adalah pengemban hak dan kewajiban hukum, termasuk

dalam hukum kontrak. Siapa yang dapat atau boleh melakukan

perbuatan hukum dan mengikatkan diri dalam hubungan

kontraktual adalah mereka yang cakap dan mampu melakukan

perbuatan hukum berupa membuat kontrak yang menimbulkan

akibat hukum kontraktual.12

3. Suatu hal tertentu

Suatu hal tertentu maksudnya adalah obyek perjanjian. Obyek

perjanjian biasanya berupa barang atau benda. Menurut Pasal

1332 KUH Perdata “hanya barang-barang yang dapat menjadi

pokok persetujuan-persetujuan”. Penentuan obyek perjanjian

sangatlah penting untuk menentukan hak dan kewajiban para

pihak dalam suatu perjanjian jika timbul perselisihan dalam

pelaksanaannya.

4. Suatu sebab yang halal

Suatu sebab yang halal berhubungan dengan isi perjanjian.

Menurut pengertiannya, “sebab causa” adalah isi dan tujuan

perjanjian, di mana hal tersebut tidak boleh bertentangan dengan

undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan (Pasal 1337

KUH Perdata). Sedangkan dalam Pasal 1335 KUH Perdata

disebutkan: “suatu persetujuan tanpa sebab, atau yang telah

12 Muhammad Syaifuddin,Op.cit, h.123.

47

dibuat karena sesuatu sebab yang palsu atau terlarang, tidak

mempunyai kekuatan”. Berkaitan dengan hal ini, maka akibat

yang timbul dari perjanjian yang berisi sebab yang tidak halal

adalah batal demi hukum.

Syarat kesepakatan mereka yang mengikatkan diri dan syarat

kecakapan untuk membuat suatu perikatan disebut sebagai syarat

subjektif, yaitu syarat untuk subjek hukum atau orangnya.

Sedangkan untuk syarat suatu hal tertentu dan suatu sebab yang

halal merupakan syarat objektif, yaitu syarat untuk objek hukum

atau bendanya.

Menurut Salim H.S bahwa jenis kontrak atau perjanjian

terdiri dari : 13

a. Kontrak Menurut Sumber Hukumnya

Kontrak berdasarkan sumber hukumnya

merupakan penggolongan kontrak yang didasarkan pada

tempat kontrak itu ditemukan. Menurut Sudikno

Mertokusumo Dalam Buku H. Salim HS menggolongkan

perjanjian dari sumber hukumnya, yang dibagi jenisnya

menjadi lima macam, yaitu:14

1) Perjanjian yang bersumber dari hukum keluarga,

seperti halnya perkawinan;

13 H.Salim, dkk, op.cit, h.18

14 Ibid.

48

2) Perjanjian yang bersumber dari kebendaan, yaitu

yang berhubungan dengan peralihan hukum benda,

misalnya peralihan hak milik;

3) Perjanjian obligatoir, yaitu perjanjian yang

menimbulkan kewajiban;

4) Perjanjian yang bersumber dari hukum acara;

5) Perjanjian yang bersumber dari hukum publik

b. Kontrak Menurut Namanya

Penggolongan ini didasarkan pada nama perjanjian

yang terdapat di dalam Pasal 1319 KUHPerdata yang

hanya disebutkan dua macam kontrak menurut namanya,

yaitu kontrak nominaat (bernama) dan kontrak innominaat

(tidak bernama).

Kontrak nominnat adalah kontrak yang dikenal

dalam KUHPerdata. Yang termasuk dalam kontrak

nominaat adalah jual beli, tukar menukar, sewa menyewa,

persekutuan perdata, hibah, penitipan barang, pinjam

pakai, pinjam meminjam, pemberian kuasa, penanggungan

utang, perdamaian. Sedangkan untuk kontrak innominaat

adalah kontrak yang timbul, tumbuh dan berkembang

dalam masyarakat. Jenis kontrak ini belum dikenal dalam

KUHPerdata. Yang termasuk dalam kontrak innominat

49

adalah leasing, beli sewa, franchise, joint venture, kontrak

karya, keagenan, production sharing, dan lain-lain.

c. Kontrak Menurut Bentuknya

Di dalam KUHPerdata, tidak disebutkan secara

sistematis tentang bentuk kontrak. Namun apabila kita

menelaah berbagai ketentuan yang tercantum dalam

KUHPerdata maka kontrak menurut bentuknya dapat

dibagi menjadi dua macam, yaitu kontrak lisan dan

tertulis.

Kontrak lisan adalah kontrak atau perjanjian yang

dibuat oleh para pihak cukup dengan lisan atau

kesepakatan para pihak sesuai dengan ketentuan Pasal

1320 KUHPerdata. Melalui konsensus maka perjanjian

dianggap telah terjadi. Termasuk dalam jenis ini adalah

perjanjian konsensual dan riil. Perjanjian konsensual

adalah suatu perjanjian terjadi apabila ada kesepakatan

para pihak. Sedangkan perjanjian riil adalah suatu

perjanjian yang dibuat dan dilaksanakan secara nyata.

Kontrak tertulis merupakan kontrak yang dibuat oleh

para pihak dalam bentuk tulisan. Hal ini dapat kita lihat

pada perjanjian hibah yang harus dilakukan dengan akta

notaris (Pasal 1682 KUHPerdata). Kontrak ini dibagi

menjadi dua macam, yaitu dalam bentuk akta di bawah

50

tangan dan akta autentik. Akta autentik terdiri dari akta

pejabat dan akta para pihak. Akta yang dibuat oleh notaris

itu merupakan akta pejabat. Selain itu juga dikenal

pembagian menurut bentuknya yang lain, yaitu perjanjian

standar. Perjanjian standar merupakan perjanjian yang

telah dituangkan dalam bentuk formulir.

d. Perjanjian dari Aspek Larangannya

Bentuk perjanjian ini berdasarkan larangannya

merupakan penggolongan perjanjian dari aspek tidak

diperkenankannya para pihak untuk membuat perjanjian

yang bertentang dengan undang-undang, kesusilaan, dan

ketertiban umum. Ini disebabkan perjanjian itu

mengandung praktik monopoli dan atau persaingan usaha

tidak sehat.

Dalam Undang-Undang Republik Indonesia

Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktik Monopoli

Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (yang selanjutnya

disebut UU Larangan Praktik Monopoli), bahwa terdapat

13 (tiga belas) perjanjian yang dilarang, yaitu : perjanjian

oligopoli, perjanjian penetapan harga, perjanjian dengan

harga berbeda,perjanjian dengan harga dibawah harga

pasar, perjanjian yang memuat persyaratan, perjanjian

pembagian wilayah, perjanjian pemboikotan, perjanjian

51

kartel, perjanjian trust, perjanjian oligopsoni, perjanjian

intergasi vertikal, perjanjian tertutup, perjanjian dengan

pihak luar negeri.

Dalam praktik penyelenggaraan pemerintahan, pemerintah

mengikatkan diri dengan pihak dengan pihak ketiga dalam hubungan

kontrak. Jenis kontrak pemerintahan terdiri dari :15

a) Kontrak pengadaan barang/jasa

Kontrak pengadaan barang dan jasa pemerintah

dilakukan untuk memenuhi kebutuhan barang dan jasa

pemerintah, baik melalui proses tender atau lelang

ataukah melalui penunjukan langsung kepada pihak

penyedia dan kontrak ini menimbulkan beban

pembayaran ;

b) Kontrak nonpengadaan barang/jasa

Kontrak ini lebih ditujukan kepada peningkatan

efisiensi dan efektivitas pelayanan publik yang

dilakukan oleh pemerintah dan menghasilkan

pemasukan.

Untuk kontrak pengadaan barang/jasa pemerintah, maka

pemahaman mengenai jenis kontrak dalam pelaksanaan pengadaan

barang/jasa perlu dilakukan untuk mengetahui jenis hubungan

15 Yogar Simamora, op.cit, h.47.

52

hukum yang mengikat para pihak dan aturan hukum yang

berlaku.16 Prinsip kebebasan berkontrak memungkinkan

pemerintah secara bebas untuk mengatur standarisasi syarat dan

ketentuan dalam hubungan hukum itu. Standarisasi ini menjadi hal

yang penting selain untuk tujuan efisiensi tetapi juga memudahkan

kontrol terhadap praktek pelaksanaan kontrak pengadaan oleh

berbagai lembaga pemerintahan. Adapun jenis Kontrak pengadaan

barang/jasa pemerintah berdasarkan Pasal 50 ayat (1) Perpres No. 4

Tahun 2015, meliputi :

1) Kontrak berdasarkan cara pembayarannya, terdiri atas :

a) Kontrak Lump Sum

b) Kontrak Harga Satuan

c) Kontrak gabungan Lump Sum dan Harga Satuan ;

d) Kontrak Presentase

e) Kontrak Terima Jadi

2) Kontrak berdasarkan pembebanan tahun anggaran ;

a) Kontrak Tahun Tunggal

b) Kontrak Tahun Jamak

3) Kontrak berdasarkan sumber pendanaan ;

a) Kontrak Pengadaan Tunggal

b) Kontrak Pengadaan Bersama

c) Kontrak Payung

16 Ibid., h. 211.

53

4) Kontrak berdasarkan jenis pekerjaan;

a) Kontrak Pengadaan Pekerjaan Tunggal

b) Kontrak Pengadaan Pekerjaan Terintegrasi

Tabel 1. Perbedaan Karakteristik antara Kontrak Pada Umumnya dengan Kontrak Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah :

No Substansi Kontrak pada umumnya Kontrak Pengadaan Barang/Jasa Keterangan

1 Dasar hukumnya KUHPerdata a) KUHPerdata

b) Perpres No. 4 Tahun 2015

c) Peraturan LKPP No. 14 Tahun 2012

2 Berdasarkan Subyek

Hukumnya

Para pihak baik orang

perorangan/badan hukum privat

Pemerintah sebagai badan hukum

publik dengan orang perorangan/badan

usaha

3 Berdasarkan

Obyeknya

Barang-barang yang dapat

diperdagangkan saja yang

menjadi pokok perjanjian

Barang, pekerjaan konstruksi, jasa

konsultasi dan jasa lainnya

4 Kewajiban

Pembayaran

Bersumber dari para pihak

orang perorangan/badan hukum

Bersumber dari dana APBN/APBD

55

5 Mekanisme kontrak a) Pemilihan para pihak yang

diajak berkontrak bebas

sesuai dengan keinginan dari

para pihak, namun tetap

berpedoman pada

KUHPerdata

a) Dimulai dari tahap pemilihan

penyedia sesuai dengan ketentuan

Perpres No. 4 Tahun 2015

b) Penetapan pemenang penyedia

c) penyusunan kontrak

d) pelaksanaan kontrak

e) penyerahan pekerjaan dari penyedia

kepada pemberi kerja

Dalam

kontrak

pengadaan

pemerintah

tunduk

dalam

ketentuan

hukum

privat

6 Penyelesaian

sengketa

a) Diawali dengan musyawarah

mufakat, apabila tidak

mencapai kesepakatan maka

menempuh ADR dan

terakhir menempuh proses

litigasi

a) Diawali dengan musyawarah

mufakat, apabila tidak mencapai

kesepakatan maka menempuh ADR

dan terakhir menempuh proses

litigasi

b) Kewenangan mengadili :

Dalam

penyelesaian

sengketa

kontrak

pengadaan

barang/jasa

pemerintah

dapat dipilih

melalui

56

b) Kewenangan mengadili

berada pada peradilan umum

1. Peradilan Tata Usaha Negara

apabila pokok sengketa

berkaitan dengan perbuatan

pemerintah dalam ranah hukum

publik seperti prosedur

administrasi dan teknis dalam

proses pengadaan ;

2. Peradilan umum apabila pokok

sengketa perbuatan pemerintah

dalam ranah hukum privat,

seperti perbuatan dalam

kontrak pengadaan

konsultasi

dengan

LKPP

57

2.1.3 Subyek dan Obyek Kontrak Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah

Pengadaan barang/jasapemerintah adalah kegiatan pengadaan

barang /jasa yang dibiayai dengan dana yang bersumber dari anggaran

pendapatan dan belanja negara (APBN) dan atau anggaran pendapatan

dan belanja daerah (APBD), baik yang dilaksanakan secara swakelola

maupun oleh penyedia barang/jasa. Menurut pengertian tersebut ada

dua unsur penting yang juga merupakan subyek dalam kegiatan

pengadaan barang/jasa pemerintah, baik perorangan maupun lembaga,

yaitu pemerintah dan penyedia barang/jasa. Berikut ini subyek dalam

kontrak pengadaan barang/jasa, yaitu :

Subyek dalam kontrak pengadaan barang/jasa terdiri dari

pemerintah yang merupakan pihak pemberi kerja dan pihak penyedeia

barang/jasa. Dalam Pasal 1 angka 2 Perpres No. 4 Tahun 2015

dirumuskan bahwa Kementerian/Lembaga Satuan Kerja Perangkat

Daerah/Institusi, yang selanjutnya disebut K/L/D/I adalah

instansi/institusi yang menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja

Negara (APBN) dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

(APBD). Dari definisi tersebut, dapat diartikan bahwa yang dimaksud

dengan “pemerintah” dalam pengadaan barang/jasa adalah K/L/D/I.

Namun, dalam hal penandatangan kontrak pengadaan, pemerintah yang

dalam hal ini K/L/D/I diwakili oleh Pejabat Pembuat Komitmen (yang

selanjutnya disebut PPK).

58

Berikut ini organisasi dalam kegiatan pengadaan barang/jasa

pemerintah, meliputi :

1. Pengguna Barang/Jasa

Pemerintah selaku pihak pengguna barang/jasa dalam

struktur organisasi pengadaan diwakili oleh Pengguna

Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran (PA/KPA), Pejabat

Pembuat Komitmen (PPK), Panitia Pengadaan/ULP (Unit

Layanan Pengadaan), Panitia/ Pejabat Penerima Hasil Pekerjaan

dan APIP.

a. Pengguna Anggaran (PA)

Pengertian Pengguna Anggaran dalam UU Keuangan

Negara tidak disebutkan secara jelas. Pengertian dari istilah

tersebut baru ditemukan pada Pasal 1 Angka 12

Perbendaharaan Negara yang menyebutkan bahwa Pengguna

Anggaran adalah pejabat pemegang kewenangan penggunaan

anggaran kementerian negara/lembaga/satuan kerja perangkat

daerah. Pejabat yang ditunjuk sebagai PA tersebut adalah: (a)

Menteri/pimpinan lembaga; (b) Gubenur/bupati/walikota

selaku kepala pemerintahan daerah; dan (c) Kepala Satuan

Kerja Perangkat Daerah bagi satuan kerja perangkat daerah

yang dipimpinnya.

Dengan demikian, PA merupakan pejabat tertinggi yang

mewakili pemerintah pada K/L/D/I yang dipimpinnya dalam

59

pengelolaan keuangan negara yang dibantu oleh beberapa

perangkat dibawahnya. Dalam prakteknya kewenangan

pimpinan K/L/D/I selaku Pengguna Anggaran dapat

didelegasikan kepada pejabat di bawahnya.

b. Kuasa Pengguna Anggaran (KPA)

KPA adalah pejabat yang ditetapkan oleh PA untuk

menggunakan APBN atau ditetapkan oleh Kepala Daerah

untuk menggunakan APBD. KPA pada K/L/D/I pusat lainnya

merupakan Pejabat yang ditetapkan oleh Kepala Daerah atas

usul PA/KPA untuk dana dekonsentrasi dan tugas pebantuan

ditetapkan oleh PA pada Kementerian/ Lembaga/Institusi pusat

lainnya atas usul Kepala Daerah. Sedangkan KPA, memiliki

kewenangan sesuai pelimpahan oleh PA.

c. Pejabat Pembuat Komitmen (PPK)

PPK adalah pejabat yang bertanggungjawab atas

pelaksanaan pengadaan barang/jasa.

d. ULP/Pejabat Pengadaan

Dalam organisasi pengadaan barang/jasa pemerintah

ditetapkan adanya ULP/Pejabat Pengadaan yang dapat

memberikan pelayanan pembinaan dibidang pengadaan

barang/ jasa.

e. Panitia/Pejabat Penerima Hasil Pekerjaan (PPHP)

60

Dalam rangka melakukan pemeriksaan, menerima dan

membuat berita acara penerimaan hasil pekerjaan, PA/KPA

menetapkan Panitia/Pejabat Penerima Hasil Pekerjaan yang

anggotanya berasal dari pegawai negeri, baik dari instansi

sendiri maupun instansi lainnya.

f. Aparat Pengawas Intern Pemerintah (APIP)

Aparat Pengawas Intern Pemerintah atau pengawas intern

pada institusi yang selanjutnya disebut APIP adalah aparat

yang melakukan pengawasan melalui audit, reviu, evaluasi,

peman-tauan dan kegiatan pengawasan lain terhadap

penyelenggaraan tugas dan fungsi organisasi.

2. Penyedia Barang/Jasa

Pihak kedua yang merupakan bagian penting setelah pihak

pemerintah dalam pengadaan barang/ jasa adalah penyedia

barang/jasa. Penyedia dalam hal ini adalah badan usaha atau

orang perseorangan yang menyediakan barang/pekerjaan

konstruksi/jasa konsultasi/jasa lainnya.

Dalam pengadaan barang/jasa yang menjadi obyek dalam

kontrak tersebut adalah barang, pekerjaan konstruksi, jasa

konsultasi dan jasa lainya. Dalam Pasal 1 angka 14 Perpres No. 4

Tahun 2015 dirumuskan bahwa barang adalah setiap benda baik

yang berwujud maupun tidak berwujud, bergerak maupun tidak

bergerak, yang dapat diperdagangankan, dipakai dipergunakan

61

atau dimanfaatkan oleh pengguna barang. Untuk pekerjaan

konstruksi yang dirumuskan dalam Perpres tersebut, bahwa

pekerjaan konstruksi adalah keseluruhan pekerjaan yang

berhubungan dengan pelaksanaan konstruksi bangunan atau

pembuatan wujud fisik lainnya. Sedangkan untuk jasa konsultasi

dirumuskan bahwa jasa konsultasi adalah jasa layanan profesional

yang membutuhkan keahlian tertentu diberbagai bidang keilmuan

yang mengutamakan adanya oleh pikir (brainware). Obyek yang

terakhir dari kontrak ini adalah jasa lainnya yang dirumuskan

sebagai jasa yang membutuhkan kemampuan tertentu yang

mengutamakan keterampilan (skillware) dalam suatu sistem tata

kelola yang telah dikenal luas di dunia usaha untuk

menyelesaikan suatu pekerjaan atau segala pekerjaan dan/atau

penyediaan jasa selain jasa konsultasi, pelaksanaan pekerjaan

konstuksi dan pengadaan barang.

2.1.4 Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah

Istilah pengadaan barang dan jasa atau procurement diartikan

secara luas, mencakup penjelasan dari tahap persiapan, penentuan dan

pelaksanaan atau adminstrasi tender untuk pengadaan barang, lingkup

pekerjaan atau jasa lainnya. Pengadaan barang dan jasa juga tak hanya

sebatas pada pemilihan rekanan proyek dengan bagian pembelian (pur-

chasing)atau perjanjian resmi kedua belah pihak saja, tetapi mencakup

seluruh proses sejak awal perencanaan, persiapan, perijinan, penentuan

62

pemenang tender hingga tahap pelaksanaan dan proses administrasi

dalam pengadaan barang, pekerjaan atau jasa seperti jasa konsultasi

teknis, jasa konsultasi keuangan, jasa konsultasi hukum atau jasa

lainnya.

Pengadaan barang dan jasa pada hakikatnya adalah upaya pihak

pengguna untuk mendapatkan atau mewujudkan barang dan jasa yang

diinginkannya, dengan menggunakan metoda dan proses tertentu agar

dicapai kesepakatan harga, waktu, dan kesepakatan lainnya. Agar

hakekat atau esensi pengadaan barang dan jasa tersebut dapat dilak-

sanakan sebaik-baiknya, maka kedua belah pihak yaitu pihak pengguna

dan penyedia haruslah selalu berpatokan kepada filosofi pengadaan

barang dan jasa, tunduk kepada etika dan norma pengadaan barangdan

jasa yang berlaku, mengikuti prinsip-prinsip, metoda dan proses

pengadaan barang dan jasa yang baku.

Di Indonesia untuk pelaksanaan kegiatan pengadaan

barang/jasa pemerintah diatur melalui Peraturan Presiden, yang secara

teknis diatur lebih lanjut dengan Peraturan Kepala Lembaga Kebijakan

Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Pasal 1 angka 1 Perpres No. 4

Tahun 2015 bahwa pengadaan barang/jasa pemerintah yang selanjutnya

disebut pengadaan barang/jasa adalah kegiatan untuk memperoleh

barang/jasa oleh Kementerian/Lembaga/Satuan Kerja Perangkat

Daerah/Institusi yang prosesnya dimulai dari perencanaan kebutuhan

63

sampai diselesaikannya seluruh kegiatan untuk memperoleh

barang/jasa.

Pengadaan barang dan jasa harus dilaksanakan berdasarkan prin-

sip-prinsip pengadaan dengan menerapkan prinsip-prinsip efisien,

efektif, transparan, keterbukaan, bersaing, adil/tidak diskriminatif dan

akuntabel akan meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap proses

Pengadaan Barang/Jasa, karena hasilnya dapat dipertanggungjawabkan

kepada masyarakat dari segi administrasi, teknis dan keuangan. Hal ini

sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 5 Perpres No. 4 Tahun 2015

sebagai berikut:

a. Efisien, berarti Pengadaan Barang/Jasa harus diusahakan dengan

menggunakan dana dan daya yang minimum untuk mencapai

kualitas dan sasaran dalam waktu yang ditetapkan atau

menggunakan dana yang telah ditetapkan untuk mencapai hasil

dan sasaran dengan kualitas yang maksimum.

b. Efektif, berarti Pengadaan Barang/Jasa harus sesuai dengan

kebutuhan dan sasaran yang telah ditetapkan serta memberikan

manfaat yang sebesar-besarnya.

c. Transparan, berarti semua ketentuan dan informasi mengenai

Pengadaan Barang/Jasa bersifat jelas dan dapat diketahui secara

luas oleh Penyedia Barang/Jasa yang berminat serta oleh

masyarakat pada umumnya.

64

d. Terbuka, berarti Pengadaan Barang/Jasa dapat diikuti oleh

semua Penyedia Barang/Jasa yang memenuhi

persyaratan/kriteria tertentu berdasarkan ketentuan dan prosedur

yang jelas.

e. Bersaing, berarti Pengadaan Barang/Jasa harus dilakukan

melalui persaingan yang sehat di antara sebanyak mungkin

Penyedia Barang/ Jasa yang setara dan memenuhi persyaratan,

sehingga dapat diperoleh Barang/Jasa yang ditawarkan secara

kompetitif dan tidak ada intervensi yang mengganggu

terciptanya mekanisme pasar dalam Pengadaan Barang/Jasa.

f. Adil/tidak diskriminatif, berarti memberikan perlakuan yang

sama bagi semua calon Penyedia Barang/Jasa dan tidak

mengarah untuk memberi keuntungan kepada pihak tertentu,

dengan tetap memperhatikan kepentingan nasional.

g. Akuntabel, berarti harus sesuai dengan aturan dan ketentuan

yang terkait dengan Pengadaan Barang/Jasa sehingga dapat

dipertanggungjawabkan.

2.2 Wanprestasi

2.2.1 Pengertian dan Dasar Hukum Wanprestasi

Prestasi adalah sesuatu yang wajib dipenuhi oleh debitur dalam

setiap perikatan. Prestasi adalah obyek perikatan. Dalam hukum perdata

kewajiban memenuhi prestasi selalu disertai dengan jaminan harta

65

kekayaan debitur. Berdasarkan rumusan Pasal 1234 KUHPerdata

menerangkan bahwa prestasi atau cara pelaksanaan kewajiban berupa :

1) memberikan sesuatu;

2) berbuat sesuatu; dan

3) tidak berbuat sesuatu.

Berdasarkan tiga cara pelaksanaan kewajiban tersebut, maka dapat

diketahui wujud dari prestasi yaitu berupa barang/jasa (tenaga atau

keahlian) dan tidak berbuat sesuatu. Apabila para pihak tidak

melaksanakan prestasinya sesuai dengan apa yang diperjanjiakan maka

dapat dianggap wanprestasi.

Wanprestasi merupakan bentuk terjemahan dari bahasa Belanda

“Wanprestatie” yang mempunyai arti tidak terpenuhinya kewajiban

yang telah ditetapkan dalam suatu perikatan, baik perikatan yang

ditimbulkan dari Undang-Undang maupun dari perjanjian. Tidak

terpenuhinya kewajiban tersebut ada dua macam kemungkinan yang

dapat digunakan sebagai alasan yaitu :

a. Karena kesalahan debitur, baik kesengajaan maupun kelalaian.

b. Karena keadaan memaksa (force majeur), yaitu diluar

kemampuan debitur dalam arti debitur tidak bersalah.

Dari rumusan tersebut diatas, maka wanprestasi dikatakan

merupakan suatu keadaan dimana seseorang tidak memenuhi kewajiban

untuk melaksanakan isi dari perjanjian yang disepakati sebelumnya

66

yang telah dibuat secara patut dan benar, sehingga ia dapat dikatakan

telah memiliki perestasi yang buruk.

Menurut Kamus Hukum, Wanprestasi adalah kelalaian, kealpaan,

cidera janji, tidak menepati kewajibannya dalam kontrak. Wanprestasi

dapat diartikan sebagai suatu keadaan dengan mana seorang debitor

tidak melaksanakan prestasi yang diwajibkan dalam suatu kontrak, yang

dapat timbul karena kesengajaan atau kelalaian debitor itu sendiri dan

adanya keadaan memaksa (overmacht).17 Sedangkan menurut Munir

Fuady, wanprestasi adalah tidak dilaksanakannya prestasi atau

kewajibannya sebagaimana mestinya yang dibebankan oleh kontrak

terhadap pihak-pihak tertentu yang disebutkan dalam kontrak, yang

merupakan pembelokan pelaksanaan kontrak, sehingga menimbulkan

kerugian yang disebabkan oleh kesalahan oleh salah satu atau para

pihak.18

Dalam Pasal 1238 KUHPerdata menyatakan bahwa “Debitur

adalah lalai, apabila ia dengan surat perintah atau dengan sebuah akta

sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi perikatannya sendiri, ialah

jika ia menetapkan, bahwa debitur akan harus dianggap lalai dengan

lewatnya waktu yang ditentukan. Rumusan pasal ini menerangkan

tentang kapan seseorang dianggap wanprestasi dalam suatu perjanjian.

17 P.N.H Simanjuntak, 2007, Pokok-Pokok Hukum Perdata Indonesia, Djambatan,

Jakarta, h.340

18 Munir Fuady, 2001, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis) Buku

Kedua, Citra Aditya Bakti, Bandung, h.87.

67

2.2.2 Unsur-unsur Wanprestasi

Dalam KUHPerdata tidak menerangkan kapan seseorang

dianggap wanprestasi. Melalui rumusan Pasal 1234 KUHPerdata yang

menyatakan bahwa prestasi adalah seseorang yang menyerahkan

sesuatu, melakukan sesuatu, dan tidak melakukan sesuatu, sebaliknya

dianggap wanprestasi bila seseorang :19

1. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya.

2. Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak

sebagaimana dijanjikan.

3. Melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat.

4. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh

dilakukannya.

Menentukan saat terjadinya wanprestasi dalam wujud tidak

dilaksanakannya prestasi dan melaksanakan prestasi tetapi tidak tepat

waktunya, karena para pihak umunya tidak menentukan secara tegas

waktu untuk melaksanakan prestasi yang dijanjikan dalam kontrak

yang disepakati para pihak. Selain itu, untuk menentukan terjadinya

wanprestasi dalam wujud melaksanakan prestasi tetapi tidak

sebagaimana mestinya, apabila para pihak tidak menentukan secara

konkrit prestasi yang seharusnya dilaksanakan dalam kontrak yang

mereka buat.

19 Abdul R. Saliman, 2010, Hukum Bisnis Untuk Perusahaan : Teori Dan Contoh

Kasus, Prenada media Group, Jakarta, h.48.

68

Wanprestasi akan lebih mudah ditentukan saat melaksanakan

perbuatan yang dilarang oleh kontrak tersebut, karena apabila seorang

debitor atau pihak yang memiliki kewajiban melaksanakan prestasi

dalam kontrak itu melaksanakan perbuatan yang dilarang oleh

kontrak, maka pihak tersebut tidak melaksanakan prestasinya.20

Wanprestasi dapat terjadi dengan dua cara, yakni :21

a) Pemberitahuan atau somasi, yaitu apabila perjanjian tidak

menentukan waktu tertentu kapan seseorang dinyatakan

wanprestasi atau perjanjian tidak menentukan batas waktu

tertentu yang dijadikan patokan tentang wanprestasinya

debitur, harus ada pemberitahuan terlebih dahulu kepada

debitur tersebut tentang kelalaiannya atau

wanprestasinya.

b) Sesuai dengan perjanjian, apabila dalam perjanjian

tersebut ditentukan jangka waktu pemenuhan perjanjian

dan debitur tidak memenuhi pada waktu tersebut, dia

telah wanprestasi.

2.2.3 Akibat Hukum Dari Wanprestasi

Akibat wanprestasi yang dilakukan oleh para pihak dalam

perjanjian yang mempunyai kewajiban melaksanakan prestasi, dapat

20 Muhammad Syaifuddin, op.cit, h.339.

21 Ahmadi Miru & Sakka Pati, 2008, Hukum Perikatan : Penjelasan Makna Pasal 1233

Sampai Pasal 1465 BW, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, h.8.

69

menimbulkan kerugian bagi pihak yang mempunyai hak menerima

prestasi.

Dalam hal debitur atau pihak yang mempunyai kewajiban

melaksanakan prestasi dalam kontrak tetapi melakukan wanprestasi,

kreditor atau pihak yang mempunyai hak menerima prestasi dapat memilih

dan mengajukan tuntutan hak berdasarkan Pasal 1267 KUHPerdata, ada

lima kemungkinan sebagai berikut:

1. Memenuhi/melaksanakan perjanjian;

2. Memenuhi perjanjian disertai keharusan membayar ganti rugi;

3. Membayar ganti rugi;

4. Membatalkan perjanjian; dan

5. Membatalkan perjanjian disertai dengan ganti rugi.

Penggantian kerugian bagi pihak yang melakukan wanprestasi harus

sesuai dengna kesepakatan yang telah tertuang dalam perjanjian. Perjanjian

merupakan bentuk persetujuan dari dua pihak atau lebih, yang saling

berjanji untuk mengikatkan diri untuk melakukan sesuatu. Oleh karenanya

perjanjian ini sangat penting, sehingga dalam pelaksanaannya hendaknya

selalu di buat dalam bentuk tertulis agar memiliki kekuatan hukum dan

kepastian hukum.

Menurut KUHPerdata pengertian rugi, adalah kerugian nyata yang

dapat diduga atau diperkirakan oleh para pihak pada saat mereka membuat

kontrak, yang timbul sebagai akibat dari wanprestasi. Keharusan adanya

70

hubungan sebab akibat yang langsung dan konkrit antara kerugian nyata dan

wanprestasi ditegaskan dalam Pasal 1248 KUHPerdata bahwa jika hal tidak

dipenuhinya kontrak itu disebabkan karena tipu daya debitor, penggantian

biaya, rugi dan bunga sekedar mengenai kerugian yang diderita oleh

kreditor dan keuntungan yang terhilang baginya, hanyalah terdiri atas apa

yang merupakan akibat langsung dari tidak dipenuhinya kontrak.

Ganti rugi sebagai upaya untuk memulihkan kerugian yang

prestasinya bersifat subsidair. Hal ini memiliki makna bahwa apabila

pemenuhan prestasi tidak lagi dimungkinkan atau sudah tidak diharapkan

lagi, maka ganti rugi merupakan alternatif yang dapat dipilih oleh kreditor.

Ganti kerugian terdiri dari :22

1. Ganti rugi pengganti adalah ganti rugi yang diakibatkan oleh tidak

adanya prestasi yang seharusnya menjadi hak kreditor

2. Ganti rugi pelengkap adalah ganti rugi sebagai akibat terlambat atau

tidak dipenuhinya prestasi debitor sebagaimana mestinya atau karena

adanya pemutusan kontrak

Dalam Pasal 1246 KUHPerdata, ada tiga komponen ganti kerugian,

yaitu :

a) Biaya (konsten), yakni segala pengeluaran atau ongkos yang nyata-

nyata telah dikeluarkan;

b) Rugi (schaden), yakni kerugian karena kerusakan barang-barang milik

kreditor atau pihak yang mempunyai hak menerima prestasi, yang

22 Agus Yudha Hernoko, 2008, Hukum Perjanjian : Asas Proporsionalitas Dalam

Kontrak Komersial, Laksbang Mediatama, Yogyakarta, h.236.

71

disebabkan oleh kelalaian debitor atau pihak yang mempunyai

kewajiban melaksanakan prestasi dalam kontrak;

c) Bunga (interessen), yakni keuntungan yang seharusnya diperoleh atau

diharapkan oleh kreditor atau pihak yang mempunyai kewajiban

melaksanakan prestasi dalam kontrak ternyata lalai melaksanakan

prestasi yang dijanjikan dalam kontrak tersebut.

Tidak semua kerugian dapat dimintakan penggantian. Kerugian yang

dapat dibayarkan sebagai akibat wanprestasi, adalah :

a) Kerugian yang dapat diduga pada saat kontrak dibuat

Berdasarkan Pasal 1247 KUHPerdata, debitor atau pihak yang

mempunyai kewajiban melaksanakan prestasi dalam kontrak hanya

diwajibkan membayar ganti kerugia yang nyata telah atau

seharusnya dapat diduganya pada saat kontrak dibuat, kecuali jika

hal tidak dilaksanakannya kontrak itu karena tipu daya olehnya.

b) Kerugian sebagai akibat langsung dari wanprestasi

Dalam Pasal 1248 KUHPerdata memiliki makna bahwa jika tidak

dilaksanakannya kontrak karena tipu daya debitor atau pihak yang

mempunyai kewajiban melaksanakan prestasi dalam kontrak, maka

pembayaran ganti kerugian yang diderita oleh kreditor atau pihak

yang mempunyai hak menerima prestasi dan keuntungan yang

hilang baginya, hanya terdiri atas apa yang merupakan akibat

langsung dari tidak dilaksanakannya kontrak.

72

2.3 Penyelesaian Sengketa Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah

2.3.1 Pengertian Sengketa Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah

Pengadaan barang/jasa dimulai dari adanya transaksi

pembelian/penjualan barang/jasa. Pada dasarnya pengadaan

barang/jasa adalah upaya pihak pengguna untuk mendapatkan

barang/jasa yang dibutuhkannya, dengan menggunakan metode dan

proses tertentu agar dicapai kesepakatam harga, waktu dan kesepakata

lainnya.

Proses pengadaan barang dan jasa merupakan wilayah hukum

perdata jika tidak mengandung unsur kesengajaan kerugian negara.

Kegiatan pengadaan barang dan jasa dikategorikan perdata karena

berupa perjanjian antara pemerintah selaku pemberi pekerjaan dengan

pihak yang menjadi penyedia barang dan jasa. Dalam suatu perjanjian,

salah satu bentuk konsensualisme suatu perjanjian yang dibuat secara

tertulis dan atau kontrak adalah adanya pembubuhan tanda tangan dari

pihak yang terlibat perjanjian dimaksud. Tanda tangan selain

berfungsi sebagai wujud kesepakatan/persetujuan atas tempat dan

waktu serta isi perjanjian, juga berhubungan dengan, kesengajaan para

pihak untuk membuat kontrak sebagai bukti atas suatu peristiwa.23

Berdasarkan rumusan Pasal 1 angka 22 Perpres No. 4 Tahun

2015 menunjukkan bahwa kontrak pengadaan barang/jasa oleh

pemerintah harus dituangkan dalam bentuk kontrak tertulis. Isi dari

23 Adrian Sutedi, op.cit, h.72.

73

kontrak merupakan bagian penting yang merupakan pokok dari suatu

kontrak/perjanjian itu sendiri. Pada bagian isi, para pihak

mencantumkan segala hal atau pokok-pokok yang dianggap perlu dan

merupakan kehendak para pihak sebagai pernyataan tertulis yang sah.

Sebagai pokok perjanjian, hal ini diharapkan dapat mencakup dan

mengandung semua isi perjanjian yang harus dipenuhi para pihak dan

memuat secara mendetail mengenai objek perjanjian, hak dan

kewajiban, serta uraian secara lengkap mengenai prestasi.

Kontrak pengadaan barang dan jasa sekurang-kurangnya

memuat ketentuan sebagai berikut:24

1. para pihak yang menandatangani kontrak meliputi nama,

jabatan, dan alamat;

2. pokok pekerjaan yang diperjanjikan dengan uraian yang jelas

mengenai jenis dan jumlah barang yang diperjanjikan;

3. hak dan kewajiban para pihak yang terikat di dalam perjanjian;

4. nilai/harga kontrak pekerjaan, serta syarat-syarat pembayaran;

5. persyaratan serta spesifikasi teknis yang jelas dan terperinci;

6. tempat dan jangka waktu penyelesaian/penyerahan dengan

disertai jadwal waktu penyelesaian/penyerahan yang pasti serta

syarat-syarat penyerahannya;

7. jaminan teknis/hasil pekerjaan yang dilaksanakan;

24 Ibid, h.73.

74

8. ketentuan mengenai cidera janji dan sanksi dalam hal para pihak

tidak memenuhi kewajibannya;

9. ketentuan mengenai pemutusan kontrak secara sepihak;

10. ketentuan mengenai keadaan memaksa;

11. ketentuan mengenai kewajiban para pihak dalam hal terjadi ke-

gagalan dalam pelaksanaan pekerjaan;

12. ketentuan mengenai perlindungan tenaga kerja;

13. ketentuan mengenai bentuk dan tanggung jawab gangguan ling-

kungan;

14. ketentuan mengenai penyelesaian perselisihan.

Dalam suatu kontrak yang telah disepakati oleh para pihak,

maka tidak menutup kemungkinan terjadinya perselisihan/sengketa

dalam perjalanan pekerjaan yang telah diperjanjikan antara para pihak.

Sengketa yang terjadi dapat karena perbuatan yang disengaja maupun

tidak disengaja. Sengketa timbul berawal dari situasi dan kondisi yang

menjadikan pihak yang satu merasa dirugikan oleh pihak yang lain.25

Pada umumnya suatu sengketa dimulai dari perasaan tidak puas yang

dialami oleh perorangan atau kelompok. Jika perasaan tidak puas

disampaikan kepada pihak kedua dan pihak kedua menanggapi dan

dapat memuaskan pihak pertama, maka selesailah konflik tersebut.

Namun, apabila perbedaan pendapat tersebut terus berlanjut, maka

25 Suyud Margono, 2001, Perlembagaan Alternative Dispute Resolution (ADR) Dalam

Prospek dan Pelaksanaan Arbitrase di Indonesiai, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, h.21.

75

akan terjadi sengketa.26 Sengketa dalam pengertian sehari-hari adalah

suatu keadaan di mana pihak-pihak yang melakukan perniagaan

mempunyai masalah, yaitu menghendaki pihak lain untuk berbuat atau

tidak dibuat sesuatu, tetapi pihak lainnya menolak.27 Sengketa ialah

adanya ketidakserasian antara pribadi-pribadi atau kelompok-

kelompok yang mengadakan hubungan, karena hak satu di antara dua

pihak terganggu atau langgar.

Apabila dihubungkan antara sengketa hukum dengan kontrak,

maka pengertian sengketa hukum kontrak adalah suatu kondisi

terjadinya ketidaksepakatan atau perbedaan pendapat di antara para

pihak yang membuat kontrak mengenai hukum dan fakta terkait

dengan tidak dipenuhinya hak atau tidak dilaksanakannya kewajiban

yang ditentukan dalam kontrak dan/atau berubahan isi (prestasi) yang

ditentukan dalam kontrak dan/atau pemutusan hubungan hukum

kontraktual yang dilakukan oleh satu pihak tanpa persetujuan dari

pihak lainnya.28

Dalam memenuhi kewajiban yang telah dituangkan dalam surat

perjanjian atau kontrak pengadaan barang/jasa pemerintah, sering kali

para pihak dihadapkan pada berbagai situasi dan kondisi yang kurang

mendukung dan menimbulkan hambatan dalam memenuhi kewajiban

26 Muhammad Syaifuddin, op.cit, h.369.

27 Komar Kantaatmadja, 2001, Beberapa Masalah Dalam Penerapan ADR di Indonesia

Dalam Prospek dan Pelaksanaan Arbitrase di Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 37.

Muhammad Syaifuddin, op.cit, h.370.

76

yang telah diatur dalam kontrak. Hambatan yang terjadi menyebabkan

suatu sengketa dalam kegiatan pengadaan barang/jasa. Sengketa

dalam pengadaan barang/jasa salah satunya dapat terjadi karena

perbuatan wanprestasi dari salah satu pihak. Pihak yang merasa

dirugikan akibat adanya wanprestasi bisa menuntut pemenuhan

perjanjian, pembatalan perjanjian atau pengenaan denda/meminta

ganti kerugian pada pihak yang melakukan wanprestasi. Ganti

kerugiannya bisa meliputi biaya yang nyata-nyata telah dikeluarkan,

kerugian yang timbul sebagai akibat adanya wanprestasi tersebut,

serta bunga atau denda sebagaimana disebutkan dalam klausul

kontrak. Pada wanprestasi bisa saja orang yang dituduhkan melakukan

wanprestasi tidak memiliki niat untuk melakukan wanprestasi. Hal ini

mungkin terjadi karena ia tidak bisa melaksanakan perjanjian karena

hal-hal di luar kemampuannya.

Dalam kontrak pengadaan maka pihak pemerintah merupakan

kreditur dan penyedia barang/jasa sebagai debitur. Sebagaimana yang

diatur dalam Pasal 1234 KUHPerdata yang merupakan salah satu

akibat dari wanprestasi adalah debitur harus membayar ganti rugi

kepada kreditur. Dalam pasal 1236 dan 1243 KUHPerdata, terhadap

debitur lalai untuk memenuhi kewajiban perikatannya kreditur berhak

untuk menuntut penggantian kerugian yang berupa ongkos-ongkos,

kerugian dan bunga. Selanjutnya pasal 1237 mengatakan, bahwa sejak

77

debitur lalai, maka resiko atas objek perikatan menjadi tanggungan

debitur.

Atas dasar pada ketentuan KUHPerdata, apabila penyedia

barang terbukti melakukan wanprestasi maka penyedia barang wajib

memberikan penggantian kerugian bagi pihak pemberi kerja. Dalam

pengadaan barang/jasa dasar dari penggantian kerugian adalah Perpres

No. 4 Tahun 2015 j.o Peraturan LKPP No. 14 Tahun 2012.

Penggantian kerugian yang wajib dipenuhi oleh penyedia barang

sesuai dengan ketentuan Pasal 120 Perpres No. 4 Tahun 2015 berupa

penjatuhan denda keterlambatan untuk setiap hari keterlambatannya.

Keterlambatan menyelesaikan pekerjaan dalam jangka waktu yang

ditetapkan dalam kontrak karena kesalahan penyedia barang/jasa,

dikenakan denda keterlambatan sebesar 1/1000 (satu perseribu) dari

nilai kontak atau nilai bagian kontrak untuk setiap hari keterlambatan.

Ketentuan lebih lanjut diatur dalam Bab II ketentuan tentang

Penandatanganan dan Pelaksanaan Kontrak/SPK Peraturan Pelaksana

LKPP No. 14 Tahun 2012 dalam huruf n menyatatakan bahwa :

1) Denda merupakan sanksi finansial yang dikenakan kepada

Penyedia barang/jasa sedangkan ganti rugi merupakan sanksi

finansial yang dikenakan kepada Pejabat Pembuat Komitmen (yang

selanjutnya disebut PPK), karena terjadinya cidera

janji/wanprestasi yang tercantum dalam Kontrak

78

2) Besarnya denda kepada Penyedia atas keterlambatan penyelesaian

pekerjaan adalah :

a) 1/1000 (satu perseribu) dari harga bagian Kontrak yang

tercantum dalam Kontrak dan belum dikerjakan, apabila

bagian pekerjaan dimaksud sudah dilaksanakan dan dapat

berfungsi; atau

b) 1/1000 (satu perseribu) dari harga Kontrak, apabila bagian

barang yang sudah dilaksanakan belum berfungsi.

2.3.2 Dasar Hukum Penyelesaian Sengketa Pengadaan Barang/Jasa

Pemerintah

Penyelesaian sengketa dapat dilaksanakan dengan mengacu kepada

ketentuan :

1. UU No. 30 Tahun 1999, yang mengatur tentang bentuk dan

mekanisme hukum penyelesaian sengketa diluar pengadilan baik

melalui konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi atau penilaian ahli

serta melalui arbitrase;

2. Dalam pengadaan barang/jasa dasar dari penyelesaian sengketa

adalah Perpres No. 4 Tahun 2015 j.o Peraturan LKPP No. 14 Tahun

2012.

2.3.3 Tata Cara Penyelesain Sengketa Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah

Dalam suatu kesepakatan yang telah disepakati para pihak dalam

sebuah perjanjian tidak menutup kemungkinan terjadi konflik/sengketa.

Konflik terjadi bila pihak-pihak yang berbeda pandangan atau sikap

79

menghendaki perubahan terjadi dengan cara yang berbeda, atau bila mereka

mencegah agar perubahan itu tidak terjadi.29 Timbulnya sengketa berawal

dari situasi dan kondisi yang menjadikan pihak yang satu merasa dirugikan

oleh pihak yang lain.3 Sengketa ialah adanya ketidakserasian antara pribadi-

pribadi atau kelompok-kelompok yang engadakan hubungan, karena hak

satu di antara dua pihak terganggu.30 Selanjutnya menurut H. Salim HS

bahwa konflik adalah pertentangan, perselisihan, atau percekcokan yang

terjadi antara pihak yang satu dengan yang pihak yang lainnya atau antara

pihak yang satu dengan berbagai pihak yang berkaitan dengan sesuatu yang

bernilai, baik berupa uang maupun benda.31

Menurut F.X. Suhardana, sengketa hukum kontrak dapat timbul

apabila kontrak tersebut bermasalah karena hal-hal sebagai berikut:32

a. Adanya alasan orang yang mengelak untuk melaksanakan kontrak,

karena: (1) rumusan kesepakatan dalam kontrak tidak tergambar

karena terdapat kesalahan, salah penafsiran karena kecurangan,

paksaan oleh satu pihak di antara dua pihak; dan (2) kontrak tidak

memenuhi persyaratan undang-undang yang mengharuskan kontrak

dalam bentuk tertentu (merupakan kontrak formal);

b. Adanya beberapa kesalahan yang kerap terjadi dalam praktik hukum

kontrak, baik bersifat sepihak atau bersama satu sama lain, yaitu:

29 I Made Widnyana, loc.cit.

30 Muhammad Syaifuddin, loc.cit.

31 H. Salim, op.cit, h.83.

32 FX.Suhardana, 2009, Contract Drafting : Kerangka Dasar dan Teknik Penyusunan

Kontrak, Penerbit Universitas Atmajaya, Yogyakarta, h.61.

80

1) Satu pihak membuat kesalahan tentang suatu fakta dan pihak

lainnya mengetahui atau setidak-tidaknya patut mengetahui

bahwa telah terjadi suatu kesalahan;

2) suatu kesalahan terjadi karena kekeliruan administratif atau

matematis; dan

3) kesalahan sangat fatal, sehingga dijalankannya kontrak akan

menyimpang dari rasa keadilan karena ada pihak yang

dirugikan.

Sengketa hukum yang timbul dari kontrak berawal dari adanya

perasaan tidak puas dari satu pihak, karena ada pihak lain yang tidak

memenuhi prestasi sebagaimana yang telah dijanjikan dalam kontrak atau

dengan kata lain ada satu pihak yang melakukan wanprestasi . Terjadinya

wanprestasi yang dilakukan oleh satu pihak, menimbulkan hak bagi pihak

lain dalam kontrak untuk menuntut ganti rugi dengan atau tanpa

pemutusan kontrak kepada pihak yang melakukan wanprestasi. Hal ini

juga yang terjadi dalam pemberian denda bagi pihak penyedia yang lewat

waktu penyelesaian pekerjaan. Pihak pemberi kerja merasa tidak puasa

kepada penyedia yang tidak memenuhi prestasi sesuai waktu yang

disepakati, sehingga pihak pemberi kerja memberikan sanksi berupa denda

yang dalam pelaksanaanya sering menimbulkan perselisihan.

Untuk dapat meyelesaikan sengketa pada kontrak termasuk kontrak

pengadaan barang/jasa pemerintah, para pihak dapat menempuh tata cara

penyelesaian sengketa melalui upaya hukum litigasi dan non litigasi.

81

Upaya hukum melalui litigasi yaitu proses penyelesaian sengketa melalui

pengadilan. Sedangkan penyelesaian sengketa non litigasi yang lazim

disebut Alternatif Disputes Resolution (yang selanjutnya disebut ADR)

menurut Takdir Rahmadi dalam buku I Made Widnyana, adalah sebuah

konsep yang mecakup berbagai bentuk penyelesaian sengketa selain

daripada proses peradilan melalui cara-cara yang sah menurut hukum, baik

berdasarkan pendekatan konsensus atau tidak beradasarkan pendekatan

konsensus.33 Penyelesaian sengketa melalui litigasi tunduk pada sistem

peradilan dalam Undang-undang Pokok Kekuasaan Kehakiman serta

hukum acara, sedangkan untuk penyelesaian sengketa non litigasi

didasarkan pada undang-undang tentang Arbitrase dan APS yang memiliki

tatacara penyelesaian tersendiri dan khusus. Tata penyelesaian sengketa ini

juga berlaku dalam kegiatan pengadaan barang/jasa pemerintah dengan

merujuk pada ketentuan Pasal 94 Perpres No. 4 Tahun 2015, dinyatakan

dalam ayat (1) bahwa “Dalam hal terjadi perselisihan antara para pihak

dalam penyediaan barang/jasa pemerintah, para pihak terlebih dahulu

menyelesaikan perselisihan tersebut melalui musyawarah untuk mufakat.”

Selanjutnya dalam ayat (2) dinyatakan bahwa “Dalam hal penyelesaian

perselisihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak tercapai,

penyelsaian perselisihan tersebut dapat dilakukan melalui arbitrase,

alternatif penyelesaian sengeketa atau pengadilan sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan.”

33 Ibid, h. 11.

82

Dewasa ini, untuk sengketa yang terjadi dalam kontrak termasuk

dalam kontrak pengadaan barang/jasa tata cara penyesaian sengeketa yang

terlebih dahulu ditempuh adalah musyawarah, namun apabila musyawarah

tidak menemukan kesepakatan akan ditempuh melalaui ADR. Melalui

ADR dipilih, karena penyelesaian sengketa melalui litigasi yang formal

memerlukan biaya yang mahal, yang prosesnya panjang dan dapat

menimbulkan hubungan yang tidak baik antara para pihak. Proses ADR

dipilih karena prosesnya yang lebih cepat, biaya yang lebih murah,

sifatnya informal karena segala sesuatunya ditentukan oleh pihak yang

bersengketa, kerahasiaan yang terjamin, serta dapat menjaga hubungan

baik dengan para pihak. 34

Penyelesaian sengketa diluar pengadilan yang melalui alternatif

penyelesaian sengketa adalah lembaga penyelesaian sengeketa atau beda

pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian

diluar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi

atau penilaian ahli. Konsultasi adalah proses penyelesaian sengeketa antara

pihak atau lebih dengan mengadakan pertemuan-pertemuan membahas

masalah-masalah yang dianggap penting dengan tujuan dapat dicarikan

jalan keluar dan pemecahan masalah yang dihadapi secara bersama-

sama.35 Negosiasi adalah proses penyelesaian sengketa yang berlangsung

secara suka rela antara pihak-pihak yang mempunyai masalah atau kasus

34 I Made Widnyana,op.cit, h.15.

35 Ibid, h,72.

83

dengan cara melakukan tatap muka secara langsung untuk memperoleh

kesepakatan yang dapat diterima kedua belah pihak.36 Sedangkan mediasi

adalah proses penyelesaian sengketa antara para pihak yang dilaukan

dengan bantuan pihak ketiga (mediator) yang netral dan tidak memihak

sebagai fasilitator, dimana keputusan untuk mencapai suatu kesepakatan

tetap diambil oleh para pihak itu sendiri, tidak oleh mediator.37 Untuk

konsiliasi adalah proses penyelesaian sengketa yang dilakukan oleh pihak

ketiga yang netral, dengan melakukan komunikasi dengan pihak-pihak

yang berbeda pendapat secara terpisah, dengan tujuan untuk mengurangi

atau meminimalisir ketegangan-ketegangan yang terjadi dan berusaha agar

diantara pihak-pihak yang bersengketa tersebut dapat mencapai suatu

kesepakatan bersama.38 Selanjutnya penilaian ahli adalah proses

penyelesaian sengketa yang dilakukan oleh ahli yang ditunjuk untuk

melakukan penilaian terhadap masalah atau kasus yang timbul antara para

pihak sesuai dengan keahliannya dan kemudian membuat suatu keputusan

yang mengikat para pihak. Selain kelima cara penyelesaian alternatif

sengketa tersebut, cara penyelesaian sengketa lainnya yang diluar

pengadilan melalui arbitrase. Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu

sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian

arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.

36 Ibid, h.77.

37 Ibid, h.111.

38 Ibid, h.73.

84

Penyelesaian sengketa melalui pengadilan merupakan pilihan

terakhir dalam menyelesaikan suatu sengketa setelah sebelumnya

dilakukan perundingan di antara para pihak yang bersengketa, baik secara

langsung maupun dengan menunjuk kuasa hukumnya guna menghasilkan

kesepakatan yang menguntungkan kedua belah pihak. Melalui jalur litigasi

maka penyelesaian sengketa melalui proses beracara melalui badan

peradilan. Sistem peradilan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang

Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman

(yang selanjutnya disebut UU Kekuasaan Kehakiman). Dalam Pasal 25

ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman terdapat empat lingkungan badan

peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung meliputi badan

peradilan dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan

militer, dan peradilan tata usaha negara. Ruang lingkup kewenangan

masing-masing peradilan terdiri dari :

1. Peradilan umum berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus

perkara pidana dan perdata sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan;

2. Peradilan agama berwenang memeriksa, mengadili, memutus, dan

menyelesaikan perkara antara orang-orang yang beragama Islam

sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;

3. Peradilan militer berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus

perkara tindak pidana militer sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan;

85

4. Peradilan tata usaha negara berwenang memeriksa, mengadili,

memutus, dan menyelesaikan sengketa tata usaha negara sesuai

dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Beberapa alasan yang menyebabkan penyelesaian sengketa

melalui pengadilan tidak dijadikan pilihan utama adalah lamanya proses

beracara dalam persidangan penyelesaian perkara yang disebabkan oleh

panjangnya tahapan penyelesaian sengketa, yakni proses beracara di

Pengadilan Negeri, kemudian masih dapat banding ke Pengadilan Tinggi,

dan kasasi ke Mahkamah Agung. Bahkan proses dapat lebih panjang jika

diajukan peninjauan kembali; tingginya biaya yang diperlukan dan

bersifat permusuham. Selain kelemahannya, proses litigasi juga memliki

keunggulan utama yaitu bahwa putusan pengadilan, yang disebut putusan

hakim, menunjukkan kekuasaan dari negara dan mempunyai kekuatan

eksekutorial.39

39 Ibid, h.71.