bab iii kitab fathul mu’in bi syarhi qurati al-’ain...

14
33 BAB III KITAB FATHUL MU’IN Bi SYARHI QURATI AL-’AIN BI MUHIMMATI AL-DIN KARYA ZAINUDDIN IBN ABDUL AZIZ AL-MALIBARY A. Gambaran Umum Kitab Fathul Mu’in Kitab 1 Fathul Mu’m merupakan karya Syaikh Zainuddin Ibn Syaikh Abdul Aziz Ibn Zainuddin (pengarang Hidayah al-Adzk:ya Ila Tariqa al-A ulya) Ibn syeikh Ali Ibn Syaikh Ahmad Asy-Syafi’i Al-Malibary al Fannani. Zainuddin lbn Abdul Aziz M. Malibary menyelesaikan karyanya ini pada hari Jum’at, 24 Ramadhan 892 H 2 . Kitab ini merupakan syarah 3 dan kitabnya Zainuddin Al-Malibary sendiri yang berjudul “Qurrati a!-‘Ain bi Muhimmati al-Din” (Penghibur mata dengan membahas ajaran agama yang penting), menjelaskan tujuan dan manfaatnya serta menyempurnakan makna yang dipergunakan untuk menghasilkan maksud tertentu. Yang menjadi pokok pembicaraan dalam kitab 1 Kitab secara bahasa adalah mengumpulkan sedangkan secara istilah adalah nama untuk sesuatu yang khusus yang memuat abwab (bab-bab), fushul (fasl-fasl), furu’ (cabang-cabang) dan masa’il (masalah-masalah), lihat Syeikh Sayyid al-Bakri Ibn Sayyid Muhammad Syatha Dimyati, I’a nah al Thalibin, Semarang, Toha Putra, tt, Juz I, hIm. 21. 2 Zainuddin Ibn Abdulul Aziz al Malibary, Fathul Mu’in Bisyarhi Qurrata A- ‘Ain BiMuhimmati Al-Din, Semarang Toha Putera, tt, hlm. 152. 3 Syarah secara bahasa (Arab), memiliki arti sebagai berikut 1) memotong (qatha ‘a), 2) menyingkap (kasyafa), 3) menjelaskan (bayyana), 4) menafsirkan (fassara) mempelruas (wass‘a). Di dalam istilah fiqh, syarah bisa berarti penjelasan suatu istilah ataupun penjelasan dari sualu kitab secara keseluruhan. Kitab syarah selalu dibarengi dengan teks asli (matan) yang disyarah. Lihat Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta, Ichtiar Baru Van Hoeve, Cet I, 1997, hlm. 1165. 33

Upload: hoangtu

Post on 06-Feb-2018

243 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB III KITAB FATHUL MU’IN Bi SYARHI QURATI AL-’AIN …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/12/jtptiain-gdl-s1... · kitab fathul mu’in bi syarhi qurati al-’ain bi

33

BAB III

KITAB FATHUL MU’IN

Bi SYARHI QURATI AL-’AIN BI MUHIMMATI AL-DIN

KARYA ZAINUDDIN IBN ABDUL AZIZ AL-MALIBARY

A. Gambaran Umum Kitab Fathul Mu’in

Kitab1 Fathul Mu’m merupakan karya Syaikh Zainuddin Ibn Syaikh

Abdul Aziz Ibn Zainuddin (pengarang Hidayah al-Adzk:ya Ila Tariqa al-A

ulya) Ibn syeikh Ali Ibn Syaikh Ahmad Asy-Syafi’i Al-Malibary al Fannani.

Zainuddin lbn Abdul Aziz M. Malibary menyelesaikan karyanya ini pada hari

Jum’at, 24 Ramadhan 892 H2.

Kitab ini merupakan syarah3 dan kitabnya Zainuddin Al-Malibary

sendiri yang berjudul “Qurrati a!-‘Ain bi Muhimmati al-Din” (Penghibur mata

dengan membahas ajaran agama yang penting), menjelaskan tujuan dan

manfaatnya serta menyempurnakan makna yang dipergunakan untuk

menghasilkan maksud tertentu. Yang menjadi pokok pembicaraan dalam kitab

1 Kitab secara bahasa adalah mengumpulkan sedangkan secara istilah adalah nama untuk

sesuatu yang khusus yang memuat abwab (bab-bab), fushul (fasl-fasl), furu’ (cabang-cabang) dan masa’il (masalah-masalah), lihat Syeikh Sayyid al-Bakri Ibn Sayyid Muhammad Syatha Dimyati, I’a nah al Thalibin, Semarang, Toha Putra, tt, Juz I, hIm. 21.

2 Zainuddin Ibn Abdulul Aziz al Malibary, Fathul Mu’in Bisyarhi Qurrata A- ‘Ain BiMuhimmati Al-Din, Semarang Toha Putera, tt, hlm. 152.

3 Syarah secara bahasa (Arab), memiliki arti sebagai berikut 1) memotong (qatha ‘a), 2) menyingkap (kasyafa), 3) menjelaskan (bayyana), 4) menafsirkan (fassara) mempelruas (wass‘a). Di dalam istilah fiqh, syarah bisa berarti penjelasan suatu istilah ataupun penjelasan dari sualu kitab secara keseluruhan. Kitab syarah selalu dibarengi dengan teks asli (matan) yang disyarah. Lihat Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta, Ichtiar Baru Van Hoeve, Cet I, 1997, hlm. 1165.

33

Page 2: BAB III KITAB FATHUL MU’IN Bi SYARHI QURATI AL-’AIN …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/12/jtptiain-gdl-s1... · kitab fathul mu’in bi syarhi qurati al-’ain bi

34

ini ialah membahas ilmu fiqh, kemudian diwujudkan dengan dalam sebuah

kitab secara singkat baik lafadz maupun artinya.4

Dalam kitab ini juga dipertegas bahwa sumber ilmu fiqh berasal dari al

Qur’an, al-Hadits, Ijma’ dan Qiyas, faedahnya adalah untuk melaksanakan

semua perintah Allah SWT dan meninggalkan larangan-Nya. Kitab Fiqh ini

berdasarkan madzhab Imam Mujtahid Abi Abdulillah Muhammad Ibn Idris

Asy-Syafi’i.

Kitab Fathul Mu’in ini diambil dari kitab-kitab mu ‘tamad (pegangan

para ulama) karangan gurunya Zainuddin Ibn Abdul Aziz al Malibary yakni

syeikh Syihabuddin Ahmad Ibn Hajar al-Haitami, juga dari mujtahid yang lain

seperti Wajihiddin Abdulurrahman Ibn Zihad Az-Zubaidi, Syaikhul Islam al-

Mujtahid. Zakria Al Anshari (820 H-920 H) dan Imam Ahmad Al-Mazjadi

Az-Zubaidi. Selain mereka juga terdapat Imam Nawawi (630 H - 676 H) dan

Imam Rafi’I (564 H — 624 H) sebagai sumber pengambilan serta ulama lain

seperti Syeikh Ibn Hajar dan lbn Ziyad.5

Menelaah Kitab Fathul Mu’in ini seakan kita melanglang buana karena

dalam kitab disamping pendapat Zainuddin M Malibary sendiri juga

ditampilkan pendapat-pendapat lain dari berbagai sumber yang terkadang

terjadi pro-kontra dalam suatu masalah. Namun demikian, sebagaimana

dinyatakan Azyumardi Azra, bahwa dalam penulisan kitab kuning tidak

4 Zainuddin Ibnn Abdul Aziz Al-Malibary, Fathul Mu‘in bi-Syarhi Qurata al-Ain bi

Muhimmati al-Din, Terj. Moch. Anwar “Terjemahan Fathul Mu’in”, Bandung, Sinar Baru, Algensindo, 1994, Cet I, hlm. 2.

5. Ibid hlm. 11

Page 3: BAB III KITAB FATHUL MU’IN Bi SYARHI QURATI AL-’AIN …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/12/jtptiain-gdl-s1... · kitab fathul mu’in bi syarhi qurati al-’ain bi

35

disertakan rujukan (referensi) dan footnote dikarenakan tradisi akademik yang

berlaku waktu itu belum terkondisikan seperti sekarang. Dengan demikian

sulit untuk melacak secara pasti apakah yang ditulis di dalam kilab kuning

merupakan pendapat pribadi atau pendapat orang lain.6

Dalam penulisan kitab ini Zainuddin Ibn Abdul Aziz Al-Malibary pada

setiap bab menyebutkan al-Fashl,7 aI-Fur’i,8 dan masalah-masalah umum,

juga di tambahkan dengan al-Tanbih9, al-Khatmah10 dan Titima.11’’

Sebagaimana kitab-kitab fiqh Iainnya, Kitab Fathul Mu’in secara garis

besar ditulis dengan sistematika sebagai berikut :

a. Khutbah al-Kitab (Muqaddimah), dalam bagian ini Zainuddin Ibn

Abdul Aziz AI-Malibary menguraikan tentang posisi kitab (sebagai

syarah), isi tulisan, tujuan penulisan dan pengambilan sumber

hukum.

b. Bab Shalat, dalam bagian ini diuraikan mengelul had orang yang

meninggalkan shalat, syarat-syarat shalat, al-Thaharah (yang

mengulas tentang wudhu, tayamum. mandi, pembahasan mengenai

haid dan nifas najis cara buang air besar dan kecil). Lebih lanjut

dalam bab ini diuraikan tentang rukun shalat. sunnah-sunnah shalat,

6 Azyumardi Azra , Jaringan ulama Nusantara Abad VII-IX, Bandung : Mizan, 1998,

hlm. 76. 7 Al-Fashl secara bahasa pemisah diantara dua hal, menurut istilah nama untuk kata-kata

khusus yang mencakup Al-Far’I dan masalah-masalah umum. 8 Al-Far’I secar bahasa sesuatu yang dibangun pada sesuatu yang lain, menurut Istilah

nama untuk kata-kata yang mencakup masalah-masalah umum. 9 Titel/Judul pembahasan yang sesuai dengan isyarah yang telah disebutkan dalam

pembahasan sebelumnya yang dapat di pahami seara global 10 Nama untuk kata-kata khusus yang di letakan pada akhir kitab atau bab. 11 Akhir dari kitab atau bab, kata titimah sepadan dengan Al-Khatimah. Lihat syeik

sayyid Al-Bakri Ibn Sayyid Muhammad Syatha Dimyati, Op-Cit, hlm. 21.

Page 4: BAB III KITAB FATHUL MU’IN Bi SYARHI QURATI AL-’AIN …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/12/jtptiain-gdl-s1... · kitab fathul mu’in bi syarhi qurati al-’ain bi

36

sujud sahwi dan tilawah, hal-hal yang membatalkan shalat, adzan

dan iqamat, shalat-shalat sunnah (shalat ied shalat gerhana dan

shalat istisqa), shalat jamaah. shalat jum’at, shalat musafir dan di

akhiri dengan shalat jenazah.

c. Bab zakat dalam bab ini diuraikan mengenai harta yang wajib di

zakati zakat fitrah, orang-orang yang berhak menerima zakat

(mastahiq al- zakat) dan macam-macam shadaqah.

d. Bab al-shaum, dalam bagian ini diuraikan tentang syarat-syarat

puasa, i’tikaf dan puasa sunnah.

e. Bab al-Hajj dan Umrah pada bagian ini dikaji seputar haji yakni

rukun dan wajib haji, hal-hal yang diharamkan bagi orang yang

ikhram, al-udhiyah dan al-aqiqah serta nadzar.

f. Bab al-Bai’, dalam bab ini dibahas mengenai riba, al-Qiradl, al-rahn,

orang yang bangkrut dalam usaha (al-muflis), hawalah, sulh,

wakalah, syirkah, syuf’ah, ijarah, ‘ariyah, ghosob, hibah, wakaf,

ikrar dan wasiat.

g. Bab al-faraidh, dalam bagian ini dikaji tentang pembagian harta

waris, hijab, ashabah, barang titipan, (wadi ‘ah) dan barang temuan

(luqathah).

h. Bab al-Nikah, dalam bagian ini dikaji tentang syarat, rukun nikah,

kafa’ah, mahar, walimah, ila, dhihar, thalak, ruju’, nafaqah, dan

Hadhanah.

Page 5: BAB III KITAB FATHUL MU’IN Bi SYARHI QURATI AL-’AIN …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/12/jtptiain-gdl-s1... · kitab fathul mu’in bi syarhi qurati al-’ain bi

37

i. Bab al-Jinayat, pada bagian ini ditulis mengenai riddah, had, ta’zir,

ash shiyal, jihad, qadha, gugatan (al-Da’wa), pembuktian (al-

bayyinat) kesaksian dan sumpah.

j. Bab memerdekakan budak, dalam bab terakhir ini dibahas mengenai

al khitabah, aI-tadbir dan umm al walad.

k. Bagian penutup, yakni ucapan pujian dan shalawat atas selesainya

penulisan kitab oleh Zainuddin Ibn Abdulul Aziz Al-Malibary dan

harapan-harapannya dengan wujudnya kitab Fathul Mu’in.

B. Pendapat Zainuddin Ibn Abdulul Aziz Al-Malibary Tentang Syarat

Perpindahan Madzhab

Kaitannya dengan perpindahan madzhab, dalam kitab Fathul Mu’in

dijelaskan, bahwa seseorang yang bermadzhab dengan salah satu madzhab

diperbolehkan untuk intiqal al-madzahib (berpidah dan satu madzhab ke

madzhab lain). Untuk lebih jelasnya maka dikutip persoalan ini sebagai

berikut:

“Apabila seorang awam berpegang kepada suatu madzhab, maka dia harus menurutinya. Jika tidak mau menurutinya, ia diharuskan memegang salah satu diantaranya madzhab yang empat, tetapi tidak boleh yang lainnya. Kemudian ia diperbolehkan berpindah madzhab ke madzhab yang lain secara keseluruhan, sekalipun dia telah mengamalkan madzhab yang pertama, atau dalam beberapa masalah tertentu, tetapi dengan syarat jangan terjadi rukhshah yang berturut-turut”. Pengertian mengambil rukhsah secara berturut-turut ialah mengambil dari setiap madzhab masalah-masalah yang paling ringan saja. Kemudian disadur menjadi suatu sikap. Dan janganlah seorang awam mentalfiq (mengacak) dan pendapat yang pada akhirnya menghasilkan hakikat yang tumpang tindih, padahal masing-masing dan kedua pendapat yang diacaknya itu tidak mengatakan demikian.”12

12 Zainuddin Ibn Abdulul Aziz Al-Malibary, Op-Cit, hlm.1698-1700.

Page 6: BAB III KITAB FATHUL MU’IN Bi SYARHI QURATI AL-’AIN …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/12/jtptiain-gdl-s1... · kitab fathul mu’in bi syarhi qurati al-’ain bi

38

Dalam masalah syarat perpindahan madzhab Zainuddin Ibn Abdulul

Aziz Al-Malibary juga mengambil ketentuan-ketentuan yang digunakan oleh

guru gurunya, sebagaimana disebutkan lebih lanjut dalam kitab Fathul Mu’in.

sebagai berikut:

“Di dalam kitab Fatawi Syeikh (guru) kami disebutkan, barang siapa ber taqlid mengikuti seorang imam dalam suatu masalah, maka ia diharuskan berpegang kepada ketentuan madzhab tersebut dalam masalah yang dimaksud dan semua hal yang berkaitan dengannya”.13 “Guru kami seorang ulama ahlu at-Tahqiq, Ibnu Ziyad, megatakan di dalam kitab al Fatawi”, yang kami simpulkan dari perumpamaan mereka adalah penggabungan madzhab yang di cela hanya terdapat pada kasus bila penggabungan tersebut di lakukan dalam satu masalah”)14 Dari penjelasan diatas, mengenai syarat perpindahan madzhab dapat

disimpulkan sebagai berikut:

a. Madzhab yang boleh diikuti (untuk berpindah) hanya empat

madzhab (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali).

b. Tidak mencari keringan dengan mengambil yang mudah-mudah dari

setiap madzhab.

c. Tidak mencampur adukan (talfiq) antara dua pendapat (qaul) yang

dapat menimbulkan kenyataan (haqiqat) yang tidak dikatakan oleh

keduanya.

d. Perpindahan madzhab tadi tidak dalam satu permasalahan

(qadhiyah).

13 Ibid., 14 Ibid., 1698-1700.

Page 7: BAB III KITAB FATHUL MU’IN Bi SYARHI QURATI AL-’AIN …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/12/jtptiain-gdl-s1... · kitab fathul mu’in bi syarhi qurati al-’ain bi

39

C. Metode Istinbath Hukum Zainuddin Ibn Abdul Aziz Al Malibary Tentang

Syarat Perpindahan Madzhab.

Istinbath’15 sistem atau metode para mujtahid guna menemukan atau

menetapkan suatu hukum. Istinbath erat kaitannya dengan fiqih, dengan segala

kaitannya tak lain merupakan hasil ijtihad para mujtahid dalam menemukan

hukum dan sumbernya (Al-Qur’an dan Al-Hadits), sebagaimana dikatakan

oleh Abu Zahrah:

نصوص القران الكريم والسنة النبوية هي الثي يقوم عليها آل

16 اسثنباط في الشريعة االسال مية Artinya : “Nash Al-Qur ‘an dan Al-Sunnah adalah alat berpijak setiap

istinbath (pengambllan hukum) dalam syariat Islam”

Mengkaji tentang istinbath hukum syarat perpindahan madzhab tidak

bisa lepas dari kajian historis adanya konsep bermadzhab, dimana dalam

perspektif historis perkembangan menarik dapat di kemukakan di sini bahwa

setelah Rasulullah wafat, generasi muslim di hadapkan pada berbagai

problematika baru yang memaksa mereka menggunakan pertimbangan mereka

sendiri dan mencatat tradisi-tradisi yang sampai melalui rangkaian mata rantai

periwayat. Pada tahap ini, istilah fiqh kemudian memiliki sentuhan makna

15 Lebih jauh istimbath didefinisikan dengan satu kaidah dalam ilmu ushul fiqh yaitu

menetapkan hukum dengan cara ijtihad atau hal mengeluarkan hukum dari dalil-dalil yang telah ditetapkan oleh syarah. Ushul fiqh, ialah ilmu yang menyelidiki keadaan dalil-dalil syarah serta menyelidiki bagaimana caranya dalil tersebut menunjukan hukum-hukum yang berhubungan dengan mukaIlaf. Lihat M Abdul Mujieb et.el, Kamus Istilah Fiqih Bandung: Pustaka Firdaus, Cet I, 1994, him. 129.

16 Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, Dar Al Fikr, Al-Arobi, t.t, hlm.115

Page 8: BAB III KITAB FATHUL MU’IN Bi SYARHI QURATI AL-’AIN …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/12/jtptiain-gdl-s1... · kitab fathul mu’in bi syarhi qurati al-’ain bi

40

yang lebih dekat kepada penggunaan kecerdasan (Exercise of Intellegence)

dan kental dengan watak intelektualnya.17

Secara garis besar sejarah perkembangan hukum Islam dapat dibagi ke

dalam lima periode, yakni periode Rasul, periode Sahabat, periode tadwin dan

Imam-Imam Mujiahid (masa ke emasan), periode Taqlid (masa kemunduran)

dan periode kebangkitan kembali (pembaharuan hukum Islam).18 Sementara

Abu Ameenah Bilal Philips, membagi perkembangan fiqh, secara tradisional

dibagi menjadi enam tahapan utama, sebagai berikut: (a) Fondasi, masa Nabi

Muhammad (609-632 M) (b) Pembentukan, masa Khulafaur-Rasyidin, sejak

wafatnya Nabi SAW sampai pertengahan abad ke-7 M (632-611) (c)

Pembangunan, sejak berdirinya Dinasti Umayyah (661 M) sampai

kemundurannya pada pertengahan abad ke-8 M, (d) Perkembangan, dari

berdirinya Dinasti Abbasiyyah pada pertengahan abad ke-8 sampai permulaan

kemundurannya sekitar pertengahan abad ke-l0 M, (e) Konsolidasi, runtuhnya

Dinasti Abbasiyyah sejak sekitar 960 M, sampai pembunuhan Khalifah

Abbasiyyah terakhir di tangan orang-orang Mongol pada pertengahan abad

ke-13 M, (f) Stagnasi dan Kemunduran, sejak penjarahan kota Baghdad 1258

M sampai sekarang.19

Keberadaan madzhab-madzhab di awali dari pendapat perseorangan

kemudian diikuti oleh murid-muridnya, lalu dianggap sebagai pendapat yang

17 Musahadi HAM, Evolusi Konsep Sunnah, Semarang : Aneka Ilmu, Cet I, 2000, hlm. 53. 18 Ibid., 59. 19 Lihat Abu Ameenah Bilial Philips, The Evolution of Fiqh Islamic Law and The

Madhabs, Terj. M. Fauzi Arifin “Asal Usul dan Perkembangan Fiqh” Bandung : Nusamedia, Cet I, 2005, thn. XVII.

Page 9: BAB III KITAB FATHUL MU’IN Bi SYARHI QURATI AL-’AIN …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/12/jtptiain-gdl-s1... · kitab fathul mu’in bi syarhi qurati al-’ain bi

41

paling kuat di daerah atau kota tertentu, ketika itulah mereka maka disebut

dengan madzhab sebuah kota atau daerah, yang seolah menjadi sebuah

konsensus (Ijma’) dan masyarakat kota atau daerah tersebut. Maka ada

madzhab Hijazi (madzhab Madinah dan madzhab Makkah), madzhab Iraqi

(madzhab Kufah dan madzhab Basrah) dan madzhab Syami, dan dalam

sejarahnya tiga madzhab besar ini adalah madzhab atas dasar kedaerahan.20

Dalam perkembangan berikutnya, madzhab yang semula sangat

terdominasi olah pendapat kedaerahan, lalu kembali lagi ke pendapat

perseorangan. Di antara sekian banyak madzhab yang paling populer ada

empat madzhab di kalangan ahli al-Sunnah wa al-jama’ah atau biasa disebut

dengan Madzhab Sunni. Jadilah nama (1) madzhab Hanafi, yang dinisbatkan

kepada nama mujtahid Abu Hanifah A1-Nu’man Ibn. Tsabit (W. 150/ 767),

(2) madzhab Maliki yang dinisbatkan kepada nama Malik Ibn Anas (W. 179/

795), (3) madzhab Al-Syafi’i yang dinsbatkan kepada nama Muhammad Ibn

Idris Al Syafi’i (W. 204/ 819) dan (4) madzhab Hanbali yang dinisbatkan

kepada nama Abu Abdulillah Ahmad Ibn Hanbal (W. 241/ 855).21

Bagaimanapun madzhab-madzhab hukum tersebut telah melahirkan

rumusan-rumusan metodologi bagi kajian hukum yang amat luas dan

komprehensip sehingga memberikan peluang dan kemudahan kepada generasi

muslim berikutnya untuk lebih mengembangkan kajian-kajian hukum dan

menjalankan ketentuan-ketentuan syari’ah secara lebih baik. Berkembangnya

madzhab-madzhab tersebut seharusnya membuat hukum Islam itu menjadi

20 A. Qadiri Azizy, Reformasl Bermadzhab, Jakarta: Traju, Cet I, 2003, hIm.15. 21 Ibid., hlm. 18.

Page 10: BAB III KITAB FATHUL MU’IN Bi SYARHI QURATI AL-’AIN …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/12/jtptiain-gdl-s1... · kitab fathul mu’in bi syarhi qurati al-’ain bi

42

lebih fleksibel, adaptif dan akomodatif terhadap ritme perubahan dan

dinamika masyarakat.

Akan tetapi, perkembangan berikutnya justru menampakkan

kecenderungan yang sebaliknya hukum Islam menemui titik anti klimaks dan

memasuki periode keterpakuan tekstual (Jumud) atau periode taqlid.

Zainuddin Ibn Abdul Aziz Al-Malibary dengan pendapatnya tentang

syarat perpindahan madzhab adalah termasuk tokoh yang hidup pada periode

taqlid (sejak pertengahan abad ke empat hijriyah), hal ini bisa dilihat dari hasil

karyanya yakni kitab Fathul Mu ‘in yang selesai ditulis pada tahun 982

Hijriyah. Dalam muqodimah (pembukaan) kitab Fathul Mu’in, Zainuddin Ibn

Aziz Al-Malibary dengan terang-terangan menyebutkan bahwa ia adalah

pengikut madzhab Syafi’i,22 disamping penjelasan bahwa kitab Fathul Mu’in

adalah syarah yang sumberya diambil dan ulama-ulama madzhab Syafi’i

seperti Syekh Syihabuddin Ahmad Ibn Hajar Al-Haitami, Syekh Wajihiddin

Abdulrrahman Bin Ziyad Az Zubaidi, Syekh Zakaria Al-Anshori, Syekh

Ahmad Al-Majadi Az-Zubaidi, Imam Nawawi, Imam Rafi’i juga Syekh Ibnu

Hajar dan Ibnu Ziyad.

Melihat basil karya Zainuddin Ibn Abdulul Aziz Al Malibary (Fathul

Mu’in) dan guru-gurunya seperti Syekh Zakariya Al Anshory (826-926 H

1423-1520 M) maka masa hidupnya sekitar abad 10 Hijriyah, di mana

fenomena yang muncul dan sikap para ulama dan pengarang abad ini adalah

mereka pada umumnya menganut sikap taqlid dan sedikit sekali yang

22 Lihat Zainuddin Ibn AM A1-Malibaiy, Fathul Mu ‘in, Semarang : Toha Putra, tth, him.

3.

Page 11: BAB III KITAB FATHUL MU’IN Bi SYARHI QURATI AL-’AIN …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/12/jtptiain-gdl-s1... · kitab fathul mu’in bi syarhi qurati al-’ain bi

43

mencoba melakukan ijtihad untuk mentarjih pendapat-pendapat para ulama

sebelumnya. Sedangkan para penulis mengikuti cara otak-atik matan (teks

asli) lalu menjelaskannya, setelah itu mereka membuat hawasyi (penjelasan

atas penjelasan).23

Mengenai taqlid fuqaha pada umumnya berpegang pada teks nash A1-

Qur’an surat an-Nahl : 43

24 آنتم ال تعلمون نفسئلوا اهل الذآر ا

Artinya: “Tanyakanlah kepada ahli dzikir (orang-orang pandai) apabila kamu tidak mengetahuinya “. (QS. An-NahI: 43)

Ahmad Musthafa Al-Maraghi dalam tafsir al Maraghi menjelaskan

bahwa Ahl al-Zikri adalah Ahl al-Kitab (Yahudi dan Nasrani) sebagaimana

firman Allah SWT dalam surat al-Anbiya, 21: 105.25.25 Sementara M. Quraish

Shihab dalam tafsirnya al-Mishbah menguraikan:

Bahwa kata Ahl al-Dzikri pada ayat ini dipahami oleh banyak ulama

dalam arti para pemuka agama Yahudi dan Nasrani, Mereka adalah orang-

orang yang dapat memberi informasi tentang kemanusiaan para rasul yang

diutus oleh Allah. Mereka wajar ditanyai karena mereka tidak dapat dituduh

berpihak pada informasi Al-Qur’an sebab mereka juga termasuk yang tidak

23 Abdullah Mustofa, Al Maraghi Fat al Mubin F! Tabaqat al Ushuulyyin, Terj. Husein

Muhammad, Pakar-Pakar Fiqih Sepanjang Sejarah, Yogyakarta : LKPSM Cet. I, 2001, hlm. 302. 24 Lihat Khairul Umam, Ushul Fiqh, Bandung Pustaka Setia, Cet I, 1989, him. 157.

Bandlingkan dengan Kamal Muchtar, Ushul Fiqh, Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf 1995, hIm. 161. Abdu1 Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Terjemahan, Noer Iskandar, Al Barsany, Muhammad Tholchah Mansoer “Kaidah-Kaidah Hukum Islam” Jakarta : Raja Grafindo Persada, Cet. VIL 2000, hIm. 355.

25 Ahmad Mushthafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, Jilid 14, Terj. Bahrun Abu Bakar, et al, Semarang : Toha Putra, 1992, Cet II, hlm. 155.

Page 12: BAB III KITAB FATHUL MU’IN Bi SYARHI QURATI AL-’AIN …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/12/jtptiain-gdl-s1... · kitab fathul mu’in bi syarhi qurati al-’ain bi

44

mempercayainya, kendati demikian persoalan kemanusiaan para rasul mereka

akui. Ada juga yang memahami istilah ini dalam arti sejarawan, baik muslim

atau pun non muslim.26

Lebih lanjut ia mengatakan:

“Walaupun penggalan ayat ini turun dalam konteks tertentu, yakni obyek pertanyaan, serta siapa yang ditanya tertentu pula, namun karena redaksinya yang bersifat umum, maka ia dapat dipahami pula sebagai perintah bertanya apa saja yang tidak diketahui atau diragukan kebenarannya kepada siapapun yang tahu dan tidak tertuduh obyektifitasnya”27

Masa hidup Zainuddin Ibn Aziz Al-Malibary adalah masa dimana

fuqaha dan semua madzhab merasa bahwa setiap problem hukum yang

esensial telah dibahas dan diselesaikan secara menyeluruh oleh para fuqaha

besar sebelumnya, perkembangan selanjutnya pemahaman ini seolah menjadi

konsensus bahwa tidak ada seorang pun yang dianggap memiliki syarat-syarat

yang dibutuhkan untuk melakukan ijtihad mandiri. Sehingga ijtihad yang

berkembang dibatasi hanya untuk melakukan penjelasan, penerapan dan justru

pada umumnya merupakan interpretasi terhadap doktrin (hasil ijtihad ulama

terdahulu).

Para ulama Pada periode taqlid, tidak berijtihad sebagaimana ulama

besar alasan yang muncul adalah bahwa seluruh persoalan telah dikaji dan

dibahas, sehingga tidak lagi membutuhkan ijtihad. Seiring dengan perjalanan

tersebut, muncullah sebuah konsep baru tentang madzhab, yaitu satu dan

empat mazhab tersebut harus diikuti oleh seorang muslim agar ke-Islamannya

absah. Pada gilirannya konsep ini tertanam kokoh di kalangan umat dan juga

26 M. Quraish Shihab, Tafsir A1-Mirahgi, Jakarta : Lentera Hati, 2004, Cet II, Vol 7, hlm.235-236

27 Ibid.,

Page 13: BAB III KITAB FATHUL MU’IN Bi SYARHI QURATI AL-’AIN …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/12/jtptiain-gdl-s1... · kitab fathul mu’in bi syarhi qurati al-’ain bi

45

fuqaha. Akibatnya agama Islam menjadi terbatas dalam kerangka empat

madzhab yakni Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali.28

Dengan deskripsi di atas maka istinbath hukum yang digunakan

Zainuddin Ibn Abdul Aziz Al-Malibary tentang syarat-syarat perpindahan

madzhab lebih mengacu pada teks normatif Al-Qur’an (QS. An Nahl : 43)

sebagaimana pandangan fuqaha yang bertaqlid dengan metode penalaran

bayani, sekaligus interpretasi dari Zainuddin Al Malibary sendiri di dalam

memahami beragamnya madzhab hukum.

Metode bayani yang digunakan oleh fuqaha di atas adalah metode

yang berkaitan dengan kajian kebahasaan (sematik) : kapan suatu lafadz

diartikan secara majas, bagaimana memilih salah satu arti dan lafadz

musytarak (ambigu), mana ayat yang umum, yang diterangkan (‘am,

mubayan, lex generalis) dan manapula yang khusus, yang menerangkan

(khash, mubayyin, lex specialis) mana ayat yang qath ‘i (yang artinya tidak

dapat berubah) dan mana pula yang dzanni, (yang artinya masih mungkin

untuk dikembangkan) dan seterusnya.29

Lebih lanjut dapat dijabarkan bahwa pendekatan bayani merupakan

studi filosofis terhadap sistem bangunan pengetahuan yang menempatkan teks

(wahyu) sebagai suatu kebenaran mutlak. Adapun akal hanya menempati

kedudukan sekunder yang bertugas menjelaskan dan membela teks yang ada,

28 Ameenah Bilal Philips, Op-Cit, hIm. 147. 29 Amir Mu’allim Yusdani, Ijtihad dan Legislasi Muslim Kontemporer, Yogyakarta, UII

Press, Cet. I, 2004, him. 72.

Page 14: BAB III KITAB FATHUL MU’IN Bi SYARHI QURATI AL-’AIN …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/12/jtptiain-gdl-s1... · kitab fathul mu’in bi syarhi qurati al-’ain bi

46

oleh karenanya kekuatan pendekatan ini terletak pada bahasa, baik pada

tataran gramatikal dan struktur maupun sastra.30

Dengan bahasa lain apa yang dilakukan Zainuddin Ibn Abdulul Aziz

Al-Malibary dalam mengetengahkan syarat perpindahan madzhab tidak jauh

berbeda dengan fuqaha pada massanya (qarnu at-taqild) yakni membaca nash

syara’, menta’wilkannya31 dan mencari persesuaian antar berbagai hal yang

sepintas nampak bertentangan, serta mengistinbathkan hukumnya dengan cara

meninjau ucapan para imam, menta’wilkan dan mentarjihkan, namun lebih

jauh Zainuddin Ibn Abdulul Aziz Al Malibary sekaligus membuat konklusi

hukum atas realitas yang ada yaitu keberadaan imam-imam besar madzhab

yang memiliki produk hukum yang berbeda-beda (khilafiyah)32 dengan

membuat syarat perpindahan madzhab.

30 Ibid.,hlm. 108. 31 Ta’wil secara lughawi berarti pengembalian, tetapi dalam rangka penafsiran A1-Qur’an,

kata itu telah mengalami perkembangan makna bagi ulama salaf, ta’wil sama maksudnya dengan tafsir. Tetapi bagi ulama mutaakhirin, ta’wil berarti memilih satu makna yang dipandang lebih kuat dari banyak maknanya karena terdapat alasan yang kuat untuk itu, lihat. Harun Nasution, et.al (eds) Ensikiopedi Islam 3, Jakarta : Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 1988, hlm. 972, Mana’u al-Quthan, Mabahis Fl Ulum Al Qur ‘an, Semarang : Toha Putra, t.th, hlm.. 325

32 32 lihat M. Abdul Mujieb, et.aI, Op. Cit, hlm. 118