bab iii - kementerian ppn/bappenas :: home · web viewpenyelenggara negara yang bersih dan bebas...

48
BAB III PENYELENGGARA NEGARA YANG BERSIH DAN BEBAS DARI KORUPSI, KOLUSI DAN NEPOTISME

Upload: trantu

Post on 29-Apr-2019

217 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BAB IIIPENYELENGGARA NEGARA

YANGBERSIH DAN BEBAS DARI

KORUPSI,KOLUSI DAN NEPOTISME

BAB IIIPENYELENGGARA NEGARA YANG BERSIH

DAN BEBAS DARI KORUPSI, KOLUSI, DAN NEPOTISME

A. PENDAHULUAN

Cita–cita didirikannya negara Indonesia, sebagaimana tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 adalah mencapai masyarakat adil dan makmur. Salah satu komponen untuk mewujudkan cita-cita tersebut adalah penyelenggaraan negara yang efisien, efektif, dan bersih dan praktek-praktek yang merugikan kepentingan negara dan bangsa. Penyelenggaraan negara seperti di atas dapat terlaksana apabila aparatur negara termasuk aparatur pemerintah di dalamnya dapat melaksanakan tugas dan fungsinya dengan baik, profesional, transparan, akuntabel, taat pada aturan hukum, responsif dan proaktif, serta mengutamakan kepentingan bangsa dan negara, dan bukan mengutamakan kepentingan pribadi, kelompok atau partai yang berkuasa dalam melaksanakan tugas dan fungsinya.

Kondisi yang dijumpai selama ini, ternyata berbeda dengan harapan di atas. Selama tiga dekade terakhir, telah terjadi pemusatan

III/1

kekuasaan, wewenang, dan tanggungjawab pada Presiden/ Mandataris Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dalam penyelenggaraan negara. Akibatnya, Lembaga Tertinggi dan Lembaga-Lembaga Tinggi Negara lainnya tidak dapat berfungsi dengan baik, dan partisipasi masyarakat dalam memberikan kontrol sosial dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara tidak dapat berkembang. Akibat lainnya, kegiatan penyelenggaraan negara cenderung mengarah pada praktek-praktek yang lebih menguntungkan kelompok tertentu yang pada akhirnya menyuburkan praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang melibatkan para pejabat negara dengan para pengusaha sehingga merusak sendi-sendi penyelenggaraan negara dalam berbagai aspek kehidupan nasional.

Berbagai praktek yang membuat penyelenggaraan negara menjadi tidak efisien dan efektif dan menyuburkan praktek KKN antara lain: (1) dominasi partai yang berkuasa dalam lembaga legislatif, yudikatif, dan eksekutif yang akhirnya menghambat pelaksanaan fungsi lembaga-lembaga tersebut; (2) badan-badan peradilan baik organisasi, keuangan, dan sumber daya manusianya berada dibawah lembaga eksekutif, sehingga menghambat penegakan hukum secara adil dan obyektif; (3) moonoloyalitas pegawai negeri dan Korps Pegawai Republik Indonesia (KORPRI) kepada partai yang berkuasa yang pada akhirnya membuat aparatur pemerintah cenderung mendahulukan kepentingan kelompok dari pada kepentingan bangsa dan negara baik dalam pengambilan kebijaksanaan maupun dalam pelaksanaannya; serta (4) terlalu besarnya kewenangan pemerintah pusat dan terlalu kecilnya kewenangan pemerintah daerah untuk mengurus rumah tangganya sendiri mendorong timbulnya ketidakpuasan dan menghambat partisipasi masyarakat daerah dalam pembangunan di berbagai daerah.

III/2

Kurang berfungsinya lembaga-lembaga tersebut di atas, dianggap sebagai salah satu faktor penyebab meluas dan semakin parahnya krisis moneter dan ekonomi dalam dua tahun terakhir ini yang telah berkembang dan mengakibatkan gejolak sosial dan politik yang ditandai dengan rusaknya tatanan ekonomi dan keuangan, pengangguran yang meluas, serta kemiskinan yang menjurus pada ketidakberdayaan masyarakat dan kurangnya kepercayaan masyarakat kepada pemerintah termasuk aparatur pemerintahan di pusat dan daerah. Hal ini tidak saja merugikan negara dan masyarakat secara materi tetapi juga secara sosial dan budaya.

Mengingat kondisi yang kurang menguntungkan dalam penyelenggaraan negara tersebut, maka bangsa Indonesia termasuk pemerintah menyadari perlu dilakukannya upaya-upaya untuk memfungsikan Lembaga Tertinggi dan Lembaga-lembaga Tinggi Negara sesuai dengan yang diharapkan bersama, meningkatkan partisipasi masyarakat dalam kehidupan dalam memberikan kontrol sosial, dan menghapus praktek-praktek yang menyuburkan KKN. Untuk itu, MPR telah menetapkan TAP MPR No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.

Melalui TAP tersebut, MPR mengamanatkan bahwa para penyelenggara negara pada lembaga-lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif harus melaksanakan fungsi dan tugasnya dengan baik dan bertanggung jawab kepada masyarakat, bangsa, dan negara. Dalam melaksanakan fungsi dan tugasnya, para penyelenggara negara harus jujur, adil, terbuka dan dapat dipercaya serta mampu membebaskan diri dari praktek KKN. Selain itu, diamanatkan pula bahwa upaya pemberantasan tindak pidana korupsi dilakukan secara tegas dengan melaksanakan secara konsisten undang-undang tindak pidana korupsi. Dalam hubungan ini, upaya pemberantasan KKN

III/3

harus dilakukan secara tegas terhadap siapapun juga, baik pejabat negara, mantan pejabat negara, keluarga dan kroninya maupun pihak swasta/konglomerat termasuk mantan Presiden Soeharto dengan tetap memperhatikan prinsip praduga tak bersalah dan hak-hak asasi manusia. Disadari bahwa pemberantasan masalah KKN membutuhkan waktu yang relatif cukup lama Namun demikian, bangsa Indonesia tidak punya pilihan lain dalam menghadapi masalah KKN tersebut,

Upaya memfungsikan lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif secara benar, serta pemberantasan praktek KKN dalam penyelenggaraan negara dalam rangka mencapai masyarakat yang adil dan makmur sesuai dengan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, tidak saja harus dilakukan oleh pemerintah sendiri, tetapi juga harus pula melibatkan lembaga-lembaga negara lainnya, organisasi politik, dan masyarakat pada umumnya. Dengan cara seperti ini, maka ruang gerak dan peluang terjadinya upaya untuk mengurangi pelaksanaan fungsi lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif dan terjadinya praktek-praktek KKN yang merugikan bangsa dan negara seperti yang terjadi pada masa yang lalu dapat dicegah.

B. Langkah-langkah yang Dilakukan

Dalam sidang pertama Kabinet Reformasi Pembangunan tanggal 25 Mei 1998, Presiden meminta semua Menteri dan Kepala Daerah untuk melakukan pemberantasan KKN, mengingat dampak negatif KKN sudah begitu luas. Hampir pada semua bidang dan tingkatan kehidupan ditemukan KKN dalam berbagai dimensi dan bentuk. Bidang-bidang bisnis dimana yang banyak ditemukan KKN adalah pembangunan dan pengelolaan infrastruktur, pelaksanaan pe layanan masyaraka t , pengadaan/ impor barang dan jasa ,

III/4

intermediasi, penjualan atau ruilslag harta/kekayaan negara, privatisasi BUMN/BUMD, pemberian fasilitas pajak, bea masuk, PPn dan PPN-BM, pemberian fasilitas ijin usaha atau hak pengusahaan, pemberian fasilitas kredit, serta pemberian monopoli kepada pihak-pihak tertentu.

Selanjutnya, mengingat bahwa pada saat itu definisi dan cara pencegahan KKN belum jelas, maka untuk mencegah tindakan yang simpang siur dan mengabaikan hukum yang berlaku, Pemerintah memberikan pedoman tentang cara mengenali dan menghapus KKN dari perekonomian nasional. Menurut pedoman tersebut, ciri utama suatu tindak KKN adalah adanya perlakuan istimewa dalam hubungan bisnis yang hanya diberikan dan dinikmati oleh pihak tertentu saja. Agar lebih efektif, langkah-langkah penghapusan KKN harus dibarengi dengan upaya untuk meningkatkan pelayanan masyarakat.

Para Menteri, Gubernur Bank Indonesia, para Pimpinan KDH Tingkat I, para Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND), para Bupati/Walikota Madya KDH Tingkat II diinstruksikan untuk meningkatkan pelayanan masyarakat di lingkungannya masing-masing.

Penghapusan KKN yang dilakukan selama ini menggunakan berbagai peraturan sebagai landasan hukum yaitu Ketetapan MPR-RI No. XI/MPR/1998 Tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari KKN, Tanggal 13 Nopember 1998, Ketetapan MPR-RI No. X /MPR/1998 Tentang Pokok-pokok Reformasi Pembangunan Dalam Rangka Penyelamatan Dan Normalisasi Kehidupan Nasional Sebagai Haluan Negara tanggal 13 Nopember 1998, Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan Kitab Undang-undang Hukum Pidana.

III/5

Penghapusan KKN yang dilaksanakan selama ini, khususnya yang menyangkut Tindak Pidana Korupsi masih diselesaikan berdasarkan pada UU No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan belum didasarkan pada UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sesuai dengan asas hukum, UU baru tidak dapat berlaku surut dan tidak dapat diterapkan terhadap tindak pidana yang dilakukan sebelum Undang-undang baru tersebut diundangkan.

Penghapusan KKN di masa mendatang, sebagai lanjutan pelaksanaan amanat TAP MPR-RI No. X/MPR/1998 dan No. XI/MPR/1998 akan mempergunakan perangkat perundangan yang baru, yaitu Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari KKN, Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagai pengganti UU No. 3 Tahun 1971, Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999 Tentang Perubahan UU Nomor 14 Tahun 1970 Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.

Di samping itu, KKN akan berkurang pula dengan diundangkannya Undang-undang No. 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Undang-undang ini memberi kesempatan yang sama bagi setiap warga negara untuk berpartisipasi di dalam proses produksi dan pemasaran barang dan/atau jasa, dalam iklim usaha yang sehat, efektif, dan efisien.

Lebih lanjut, KKN akan dapat berkurang melalui berbagai upaya penyelenggaraan kegiatan ekonomi yang transparan dan bertangggung-gugat (accountable). Sebagai misal, untuk mengembangkan usaha jasa konstruksi yang berkualitas, transparan,

III/6

dan bertanggung-gugat telah diundangkan Undang-undang No. 18 tahun 1999 tentang Undang-undang Jasa Konstruksi. Sebagai tindak lanjut dari UU ini, dibentuk Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK) yang independen dan mandiri.

Penghapusan kasus KKN dilakukan dari atas ke bawah dengan tetap memperhatikan prinsip praduga tak bersalah dan hak- hak asasi manusia. Empat langkah strategis dalam penghapusan KKN adalah penelitian terhadap hubungan bisnis khususnya yang berskala besar, penghapusan perlakuan istimewa, tindak lanjut hukum atas kasus-kasus oleh Kepolisian dan Kejaksaan, serta penyempurnaan sarana dan prasarana hukum.

Penanganan kasus-kasus KKN di lingkungan perbankan, sesuai amanat UU No. 10 Tahun 1998, ditangani langsung oleh Bank Indonesia dan Menteri Keuangan. Apabila diduga ada tindak pidana umum, Gubernur BI melimpahkannya kepada pihak Kepolisian dan tindak pidana khusus kepada Kejaksaan

C. Hasil-Hasil yang Dicapai

Upaya penghapusan KKN dilaksanakan oleh berbagai instansi terkait secara terkoordinasi dengan lingkup tugas yang saling melengkapi. Kasus KKN diselesaikan secara terus menerus, dimulai dari yang besar-besar dengan memperhatikan asas praduga tak bersalah dan Hak Asasi Manusia.

Penghapusan KKN yang telah dilakukan selama Kabinet Reformasi Pembangunan telah menyelamatkan uang negara/BUMN/BUMD sedikitnya mencapai Rp 31,9 triliun dan USD 2,0 miliar dalam berbagai bentuk, seperti penundaan investasi, pengembalian uang negara, dll . Selain itu di berbagai BUMN

III/7

penghapusan KKN diperkirakan menghasilkan penghematan biaya sebesar Rp 107 miliar/tahun dan USD 101 juta/tahun. Jumlah tersebut masih akan bertambah dengan upaya lanjutan yang terus dilakukan di berbagai instansi serta hasil pemeriksaan khusus pada unit-unit ekonomi penting seperti Pertamina, Bulog, dan PLN yang dewasa ini sedang dalam tahap evaluasi final dengan Akuntan Publik. Di samping itu, kasus-kasus KKN yang ditangani kejaksaan menyangkut nilai sebesar Rp 8,7 triliun lebih.

1. Kasus HM Soeharto (HMS)

Pemerintah telah meneliti tujuh Yayasan yang diketuai oleh HMS, yaitu Yayasan Dharmais, DAKAB, Supersemar, Dana Sejahtera Mandiri, Amal Bhakti Muslim Pancasila, Dana Gotong Royong, dan Trikora. Hasil penelitian Pemerintah yang telah dilaksanakan terutama mengenai perolehan dan penggunaan dana Yayasan.

Dana yayasan diperoleh dari berbagai sumber seperti setoran para pendiri, sumbangan dari Korpri, ABRI, karyawan perusahaan swasta serta individu lainnya, sumbangan dari perusahaan swasta, BUMN, instansi Pemerintah, sumbangan dari Bank Pemerintah berupa 2,5% dari laba bersih, sumbangan Wajib Pajak yang ditetapkan dengan Keppres No. 90 Tahun 1995 jo Keppres No. 92 Tahun 1996, dana Banpres, dana reboisasi, dan bahkan APBN (tahun 1997/1998).

Anggaran Dasar Yayasan menetapkan bahwa dana Yayasan yang tidak segera dibutuhkan disimpan/dijalankan menurut cara-cara yang ditentukan oleh pengurus dan diperlukan persetujuan tertulis terlebih dahulu dari Ketua Yayasan. Namun dalam penelitian ditemukan bahwa selain digunakan untuk hal-hal yang sesuai dengan tujuan Yayasan, terdapat pengeluaran lain yang menyimpang

III/8

dari Anggaran Dasar Yayasan. Dana Yayasan dipinjamkan tanpa bunga kepada kelompok Nusamba, dipinjamkan dengan bunga 16% per tahun kepada PT Kiani Kertas dan Kiani Sakti, penyertaan modal Yayasan kepada PT. Sempati, Kelompok Nusamba, Bank Umum Nasional, dan Bank Perkreditan Rakyat, serta disimpan dalam deposito.

Penelitian atas Yayasan yang diketuai oleh HMS menunjukkan adanya Keputusan Presiden dan Peraturan lainnya yang membebani masyarakat dengan berbagai sumbangan. Peraturan tersebut, khususnya Keputusan Presiden No. 90 Tahun 1995 jo Keputusan Presiden No. 92 Tahun 1996 bertentangan dengan amanat dan Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 yang menggariskan bahwa setiap tindakan yang menempatkan beban kepada rakyat sebagai pajak dan lain-lain, harus ditetapkan dengan Undang-Undang, yaitu dengan persetujuan DPR. Di samping itu, terdapat indikasi H. M. Soeharto, selaku Ketua Yayasan, tidak mematuhi sepenuhnya Anggaran Dasar Yayasan dalam penggunaan dana-dana Yayasan. Oleh karena ada dugaan penyimpangan tersebut, kasus Yayasan HMS ditangani oleh Kejaksaan Agung.

Sebagai tindak lanjut penanganan Yayasan HMS, Pemerintah mengambil langkah-langkah sebagai berikut:

a. Menerbitkan Keputusan Presiden No. 97 Tahun 1998 yang menghentikan dana-dana yang masuk ke Yayasan dengan mencabut Keppres No. 90 Tahun 1995 dan No. 92 Tahun 1996;

b. Menerbitkan Instruksi Presiden No. 20 Tahun 1998 yang ditujukan kepada para Menteri, Gubernur/KDH Tingkat I, Kepala LPND, Bupati/Walikotamadya dan Direksi BUMN/ BUMD untuk mencabut semua ketentuan Menteri/ Kepala LPND/ Gubernur/Bupati/Walikotamadya dan Direksi BUMN/

III/9

BUMD yang menjadi dasar perolehan dana bagi semua Yayasan, termasuk Yayasan yang diketuai oleh HMS. Sebagai tindak lanjut Inpres No. 20 Tahun 1998 tersebut, Menteri Keuangan telah mengeluarkan surat No. S.475/MK.01/1998 untuk mencabut fasilitas pembebasan pajak atas bunga deposito dan tabungan kepada 11 Yayasan, yaitu: Yayasan Supersemar, Badan Pengelola Dana ONH, Yayasan DAKAB, Yayasan Amal Abadi Bea Siswa ORBIT, Yayasan Dana Sejahtera Mandiri (YDSM), Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila, Yayasan Dharma Tirta, Yayasan Amal Bhakti Ibu, Lembaga GNOTA, Yayasan Dharmais dan Yayasan Kesejahteraan Sosial Dharma Putra Kostrad;

c. Melaksanakan audit legal dan finansial terhadap Yayasan yang menerima dana berdasarkan Keppres No. 90 Tahun 1995 dan No. 92 Tahun 1996;

d. Menagih dan menarik kembali dana Yayasan yang dipinjamkan atau yang digunakan oleh kroni-kroni HMS, yaitu Kelompok Nusamba dan PT Kiani Kertas. Ketua Kelompok Nusamba/Komisaris Utama PT Kiani Sakti/ PT Kiani Lestari/ PT Kiani Kertas tanggal 14 Agustus 1999 menyatakan bersedia membayar pinjaman tersebut beserta bunga yang belum dibayar dalam jangka waktu satu tahun. Menko Bidang Kesra dan Taskin melalui surat No. B-190/Menko/Kesra/VIII/1999 tanggal 20 Agustus 1999 menyatakan bahwa dengan kesediaan tersebut tidak ada lagi dana Yayasan yang dipinjamkan;

e. Koordinasi pelaksanaan operasional tujuh Yayasan HMS, sejak tanggal 22 November 1998, diserahkan oleh HMS kepada Pemerintah c.q. Menteri Negara Koordinator Bidang Kesra dan Taskin. Penugasan kepada Menko Kesra dan Taskin tersebut dikukuhkan dengan Keputusan Presiden No. 195 Tahun 1998.

III/10

Pemerintah telah pula meneliti kebijaksanaan Mobil Nasional (Mobnas) dalam kaitan dengan kemungkinan adanya KKN. Hasil penelitian menunjukkan bahwa materi Keputusan Presiden No. 42 Tahun 1996 telah mengubah dan memperluas pengertian mobil nasional yaitu mobil yang dibuat di luar negeri oleh tenaga kerja Indonesia diperlakukan sama dengan mobil nasional yang dibuat di dalam negeri sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah No. 36 Tahun 1996. Padahal dalam kenyataannya, tenaga kerja Indonesia yang dilaporkan PT Timor Putra Nasional sebagai pembuat mobil nasional di luar negeri (Korea Selatan), sebenarnya hanyalah tenaga kerja magang raja.

Juga ditemukan bahwa Peraturan Pemerintah No. 36 Tahun 1996 dan Keppres No. 42 Tahun 1996 diterbitkan pada tanggal yang sama (yaitu 4 Juni 1996), sehingga diperlukan penyelidikan menurut hukum, untuk mengetahui apakah ada penyalahgunaan wewenang dalam penerbitan Keppres No. 42 Tahun 1996, dan apakah penerbitan Keppres No. 42 Tahun 1996 tersebut dimaksudkan untuk memenuhi kepentingan kroni tertentu.

Kasus KKN yang melibatkan kroni merupakan kasus KKN terbanyak dengan nilai terbesar. Penelitian atas KKN yang dilakukan oleh kroni HMS menunjukkan adanya beberapa ketidakwajaran antara lain:

a. Kontrak-kontrak bisnisnya mengandung butir-butir yang sangat menguntungkan kelompok usaha milik kroni tersebut dan merugikan negara;

b. Penguasaan sumber daya alam (hutan dan lahan) yang berlebihan;

III/11

c. Peraturan perundangan yang memberikan dukungan khusus kepada kelompok usaha kroni, tidak sesuai dengan peraturan perundangan yang lebih tinggi.

Selanjutnya, peraturan, kontrak-kontrak, dan perijinan yang telah diberikan kepada usaha-usaha kroni tersebut diteliti untuk diubah atau dicabut. Beberapa peraturan perundang-undangan berindikasikan KKN yang telah dicabut disajikan dalam Tabel 1 pada Tabel Pendukung Bab III.

KKN yang melibatkan kroni terjadi hampir di semua sektor, antara lain kehutanan (penguasaan lahan secara berlebihan dan penggunaan dana reboisasi di luar maksud reboisasi), perkebunan (penguasaan lahan secara berlebihan), pertambangan (kontrak pertambangan dan perdagangan komoditi tambang khususnya batu bara), minyak dan gas bumi (intermediasi dalam impor dan ekspor minyak, pengadaan barang dan jasa, proyek pembangunan), ketenagalistrikan (proyek pembangunan pembangkit listrik, pengadaan barang dan jasa, dan usaha listrik swasta), perhubungan (pengoperasian fasilitas milik PT Garuda Indonesia, keagenan, intermediasi pengadaan pesawat, dan pengelolaan telekomunikasi), pekerjaan umum (kerjasama pembangunan dan pengoperasian jalan tol), perdagangan (pengadaan dan perdagangan beras, gula, jagung, cengkeh, dan aluminium ingot), dan lain-lain (stasiun TV, pengelolaan kawasan tertentu, dll.).

Penghapusan KKN yang melibatkan kroni dilakukan langsung oleh instansi yang bersangkutan dengan menggunakan pedoman yang telah ditetapkan Pemerintah.

III/12

2. Penghapusan KKN oleh Instansi Pemerintah/BUMN/ BUMD

Penghapusan KKN di Instansi Pemerintah/BUMN/BUMD dilaksanakan dengan berpedoman pada Edaran Menko Wasbangpan No. 79/MK.WASPAN/6/1998, yaitu dengan mengenali adanya perlakuan istimewa dalam hubungan bisnis dan kemudian menghapuskan perlakuan istimewa tersebut melalui berbagai cara yang sesuai untuk kasus KKN yang bersangkutan. Hasil penghapusan kasus-kasus KKN dilaporkan oleh para Menteri kepada masyarakat luas melalui Siaran Pers Penghapusan KKN Tahap I pada bulan September 1998, Tahap II pada bulan Desember 1998, dan Tahap III pada bulan Juli 1999.

Dengan banyaknya ragam kasus KKN, terdapat berbagai cara menghapuskan perlakuan istimewa, namun kesemuanya mengikuti pola tertentu yang dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu tindakan administratif, tindakan perdata, dan tindakan pidana.

Tindakan administratif yang dilakukan meliputi pengenaan sanksi administratif terhadap perusahaan yang melanggar ketentuan, penataan ulang pengelolaan aset negara oleh swasta (Kemayoran, Manggala Wanabakti, Senayan), penertiban penggunaan dana-dana khusus (dana abadi umat, dana reboisasi), penghapusan monopoli (cengkeh, jeruk, asuransi, dll.), penindakan terhadap PNS dan pejabat yang terbukti terkait dengan kasus KKN, pemeriksaan khusus terhadap unit ekonomi penting (Pertamina, PLN, Bulog, dll.).

Tindakan Perdata, meliputi pembatalan kontrak atau perjanjian (proyek jalan tol, listrik, pertambangan, minyak dan gas bumi, kehutanan dan perkebunan, pertanian, perhubungan, pemukiman, dan lain-lain), negosiasi ulang kontrak (jalan tol, listrik,

III/13

air minum, transmigrasi, pertanian, pertambangan, minyak dan gas bumi, perhubungan, dll.) dan penyelesaian perdata melalui Jaksa Pengacara Negara.

Tindakan secara pidana dilakukan oleh kejaksaan. Selama Kabinet Reformasi Pembangunan terjadi kenaikan jumlah penanganan kasus oleh Kejaksaan, baik berupa penyelidikan, penyidikan, maupun penuntutan.

Mengenai penghapusan KKN di Bidang Perbankan dapat disampaikan bahwa sekurang-kurangnya ada tiga faktor penyebab KKN di perbankan yaitu kurang lengkapnya ketentuan, intervensi pihak luar bank, dan itikad tidak baik dari pemilik/pengelola bank. Dengan demikian pencegahan KKN perbankan dilakukan dengan menghilangkan tiga faktor tersebut.

Memperhatikan amanat UU No. 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia dan UU No. 10 Tahun 1998, kasus-kasus KKN di bidang perbankan diselesaikan oleh Bank Indonesia.

Tindak pidana perbankan, antara lain, berupa kredit fiktif dan bank tidak melakukan pencatatan transaksi. Selama kurun waktu September 1997 sampai dengan Agustus 1999 sebanyak 34 kasus tindak pidana perbankan telah dilimpahkan ke aparat penegak hukum (Kepolisian dan Kejaksaan).

Pencegahan KKN di bidang perbankan di masa depan dilakukan dengan memperbaiki ketentuan tentang tertib dan disiplin pegawai dan reorganisasi intern Bank Indonesia, serta perbaikan peraturan bagi pihak eksternal BI, tentang prudential banking (penunjukan compliance director, fit and proper test, dll.).

III/14

D. Tindak Lanjut yang Diperlukan

Pencegahan KKN di masa depan sangat strategis sifatnya. Upaya tersebut meliputi penyempurnaan peraturan Perundang-undangan, penyempurnaan kelembagaan penegak hukum, dan peningkatan peran serta masyarakat.

Dua buah undang-undang baru yang langsung berkenaan dengan pencegahan KKN telah disahkan, yaitu Undang-undang No. 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari KKN dan Undang-undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. UU No. 28 Tahun 1999 telah dilengkapi dengan empat Peraturan Pemerintah dan satu Keputusan Presiden, yaitu PP. No. 65 Tahun 1999, PP. No. 66 Tahun 1999, PP. No. 67 Tahun 1999, PP. No. 68 Tahun 1999, dan Keppres No. 81 Tahun 1999.

Untuk mencegah munculnya praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat dikemudian hari telah diundangkan UU No. 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktik Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

Di samping itu, Pemerintah merumuskan RUU Tentang Pencucian Uang (Money Laundering) dan RUU Tentang Pengawasan dan Pemeriksaan Keuangan Negara.

TAP MPR-RI No. X/MPR/1998 mengamanatkan pemisahan fungsi yudikatif dari fungsi eksekutif. Menindak lanjuti amanat TAP MPR-RI tersebut, pemerintah telah melakukan kajian tentang pemisahan fungsi tersebut. Pemisahan fungsi yudikatif dari fungsi eksekutif akan lebih memberikan kemandirian kepada hakim, lepas dari pengaruh pemerintah, sehingga para hakim yang menangani kasus-kasus, termasuk kasus korupsi, diharapkan lebih mandiri dalam mewujudkan rasa keadilan.

III/15

Sebagai awal pelaksanaan pemisahan fungsi tersebut, telah diundangkan UU No. 35 tahun 1999 tentang Perubahan UU No. 14 Tahun 1970 Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, yang intinya menetapkan bahwa kekuasaan kehakiman berada di bawah wewenang Mahkamah Agung. Selanjutnya, secara bertahap dalam jangka waktu paling lama 5 tahun, akan diadakan penyesuaian peraturan perundang-undangan dan penataan organisasi, administrasi, dan keuangan, yang berkaitan dengan pelaksanaan kekuasaan kehakiman yang merdeka.

Disamping itu dalam upaya penyempurnaan kelembagaan penegak hukum, Pemerintah telah:

a. Memisahkan Polri dari TNI dan menyiapkan perubahan UU NO. 28 Tahun 1997 dan UU No. 20 Tahun 1992 Tentang Pertahanan dan Keamanan Negara;

b. Mengkaji kedudukan Kejaksaan Agung dan revisi UU No. 5 Tahun 1991, agar Kejaksaan menjadi lebih mandiri dalam upaya penegakan hukum.

Dalam rangka mendukung upaya pemberantasan KKN, Pemerintah RI telah menyelesaikan perjanjian ekstradisi bilateral dengan negara-negara tertentu, antara lain, dengan Malaysia, Thailand, Philipina, dan Australia, agar Pemerintah RI dapat meminta penyerahan warga negara Indonesia yang diindikasikan terlibat dalam tindak pidana korupsi dan melarikan diri ke negeri yang bersangkutan.

Di samping itu, telah diadakan mutual assistance in criminal matters yaitu bantuan timbal balik dalam penanganan kasus-kasus kriminal dengan Pemerintah Australia.

III/16

Beberapa inisiatif baru yang diharapkan dapat diratifikasi dalam waktu dekat adalah :

a. Perjanjian Surrender of fugitive offenders (sfo) dengan Pemerintah Hongkong;

b. Perjanjian dalam bidang ekstradisi dan mutual assistance in criminal matters dengan Pemerintah Cina.

Sedang dijajaki juga kerjasama dengan Pemerintah Austria, Swiss, dan Amerika Serikat untuk membantu upaya Pemerintah dalam penanganan kasus pelarian uang. Pemerintah Indonesia juga sedang mempelajari kemungkinan melakukan perjanjian yang serupa dengan beberapa negara lain, termasuk perjanjian ekstradisi dengan Singapura.

Kerjasama Polri dengan Interpol telah meningkat, khususnya dalam pertukaran informasi dan penanganan pelaku kasus-kasus kriminal yang bersifat lintas negara.

Peraturan Pemerintah No. 64 Tahun 1999 mengharuskan setiap perusahaan yang mempunyai nilai aset diatas Rp 25 Miliar untuk menyampaikan Laporan Tahunan Keuangan Perusahaan kepada Menteri Keuangan. Dengan ketentuan seperti ini, hanya akan ada satu informasi keuangan yang diacu, baik untuk keperluan pajak, pasar modal, pemegang saham dll., sehingga diharapkan kecurangan yang merugikan negara dapat dihindari.

Kebebasan pers merupakan unsur penting peran serta masyarakat dalam pemberantasan KKN. Pemerintah sudah mengambil langkah nyata mengenai kebebasan pers untuk mendorong keterbukaan informasi, sehingga juga akan membantu upaya penghapusan KKN. Pers tidak lagi dibatasi dalam membuat pemberitaan, namun Pers harus bertanggung jawab dan menghargai hak asasi manusia serta mematuhi peraturan perundangan yang

III/17

berlaku. Berkaitan dengan upaya penghapusan KKN, telah diundangkan UU Tentang Pers No. 40 Tahun 1999 dan satu RUU Tentang Penyiaran dengan substansi yang lebih demokratis yang telah disetujui DPR. Pengesahan RUU Tentang Penyiaran tersebut oleh Presiden (masih dalam proses) dan diundangkannya UU tentang Pers akan sangat meningkatkan kontrol masyarakat, sehingga diharapkan akan mengurangi KKN di masa depan. Pemerintah membuka kesempatan kepada masyarakat untuk berperan aktif mewujudkan penyelenggara negara yang bersih dan bebas dari KKN, antara lain dalam bentuk sebagai berikut:

a. Hak mencari, memperoleh, dan memberikan informasi mengenai penyelenggara negara;

b. Hak untuk memperoleh pelayanan yang lama dan adil dari penyelenggara negara;

c. Hak menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggung jawab terhadap kebijakan penyelenggara negara;

d. Hak memperoleh perlindungan hukum dalam hal melaksanakan haknya sebagaimana yang dimaksud dalam huruf a, b, dan c di alas; dan diminta hadir dalam proses penyelidikan, penyidikan, dan di sidang pengadilan sebagai saksi pelapor, saksi, atau saksi ahli, sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

Seiring dengan iklim keterbukaan yang makin berkembang serta makin besarnya partisipasi masyarakat, telah dibuka berbagai Kotak Pos lain di samping Kotak Pos 5000, antara lain Kotak Pos 777 (Kejaksaan Agung), Kotak Pos 4545 (Departemen Kehakiman), Kotak Pos 4000 (Kantor Menteri Negara Agraria/BPN), Kotak Pos 555 (Departemen Tenaga Kerja), dan Kotak Pos 550 (Departemen Kesehatan), dan lain-lain.

III/18

Pelayanan masyarakat yang buruk merupakan salah satu faktor terjadinya KKN. Dalam mendapatkan pelayanan jasa, masyarakat memilih menggunakan jalur tidak resmi karena pelayanan melalui jalur resmi dirasakan sangat sulit. Oleh sebab itu, upaya menghapuskan KKN di masa depan harus dibarengi dengan upaya peningkatan pelayanan masyarakat. Upaya ke arah ini sudah dirintis dan terus dilakukan, meskipun hasilnya masih belum memuaskan. Pemerintah telah meminta seluruh jajarannya untuk melakukan perbaikan pelayanan masyarakat.

Sejalan dengan peningkatan pelayanan masyarakat, dengan memanfaatkan teknologi informasi yang berkembang pesat, Pemerintah telah merintis tersedianya prasarana telematika yang menjangkau seluruh wilayah tanah air, sehingga masyarakat luas dapat memperoleh informasi yang tersedia di berbagai instansi pemerintah melalui internet. Hal ini memungkinkan semakin transparannya penyelenggaraan administrasi negara.

Kesejahteraan PNS, Polri, dan TNI, yang masih belum memadai, dipandang sebagai salah satu penyebab terjadinya KKN. Pemerintah telah mengagendakan perbaikan kesejahteraan tersebut secara bertahap, namun pelaksanaannya perlu disesuaikan dengan perbaikan ekonomi nasional. Peningkatan kesejahteraan PNS, Polri, dan TNI, memerlukan sumber dana cukup besar dan terus menerus dari APBN. Oleh sebab itu, diperlukan penggalian sumber pendanaan baru, khususnya yang tidak berasal dari hutang luar negeri. Ada dua sumber penting untuk dapat memenuhi kebutuhan tersebut yaitu Intensifikasi Pajak dan Swastanisasi BUMN. Intensifikasi penerimaan pajak merupakan unsur terpenting dalam upaya menggali sumber dana baru yang selanjutnya untuk peningkatan kesejahteraan pegawai tersebut. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, intensifikasi pajak dapat dilakukan dan akan mampu meningkatkan pendapatan negara, mengingat rasio

111/19

penerimaan pajak terhadap PDB di Indonesia masih yang terendah dibanding dengan rasio yang sama di beberapa negara tetangga. Disinyalir rendahnya rasio tersebut disebabkan karena masih banyak terjadi kebocoran pajak.

Melalui swastanisasi sebanyak 49% saham Badan Usaha Milik Negara tertentu dapat dilepaskan yang berarti mayoritas saham masih dimiliki pemerintah - dalam kurun waktu 1999 sampai 2005, diperkirakan kita mampu mengumpulkan dana sebesar USD 91 miliar yang berasal dari nilai tambah dari keuntungan dan nilai pasar yang tinggi.

Dengan intensifikasi penerimaan pajak dan swastanisasi BUMN, kesejahteraan PNS, Polri, dan TNI dapat ditingkatkan, sehingga diharapkan mengurangi KKN dan sekaligus dapat mengurangi ketergantungan pada pinjaman luar negeri. Peningkatan kesejahteraan PNS, Polri, dan TNI, perlu disertai pengawasan yang kuat atas kinerja dan disiplinnya.

Berdasarkan pengalaman melaksanakan penghapusan KKN selama ini, beberapa langkah strategis perlu dilakukan, baik dari segi administratif, perdata, pidana, maupun peraturan perundangan :

a. Pengawasan keuangan negara, baik dari sisi penerimaan maupun sisi penggunaan secara efektif, efisien (tidak tumpang tindih), serta menyeluruh, merupakan salah satu kunci pencegahan KKN. Pemerintah sedang melakukan kajian atas Pengawasan dan Pemeriksaan Keuangan Negara. Tugas ini perlu dituntaskan, untuk memberdayakan seluruh aparat pengawasan fungsional yang dimiliki negara. Pengkajian mengenai hal ini mencakup peninjauan kembali undang-undang perbendaharaan negara, BPK, dll.

III/20

b. Banyak pelaku KKN di masa lalu yang melaksanakan kegiatannya secara sah, berdasarkan kontrak bisnis bahkan berdasarkan peraturan perundangan yang sah pula. Oleh sebab itu, secara hukum para pelaku KKN tidak dapat begitu saja dikenai sanksi hukum. Meskipun perlakuan istimewa sudah dihapuskan, tetapi masih perlu dilakukan pemeriksaan secara intensif atas ketaatan mereka dalam memenuhi kewajibannya membayar pajakPemeriksaan tersebut perlu dilakukan untuk mencegah negara dirugikan kedua kalinya oleh pelaku KKN.

c. Program peningkatan kesejahteraan PNS, Polri, dan TNI, mutlak perlu diteruskan. Upaya menggali dua sumber dana baru yang telah disebutkan di muka yaitu intensifikasi pajak dan swastanisasi BUMN harus dilanjutkan secara konsisten. Dengan intensifikasi penerimaan pajak dan swastanisasi BUMN, kesejahteraan PNS, Polri, dan TNI dapat ditingkatkan, sehingga diharapkan mengurangi niat melakukan KKN dan sekaligus dapat mengurangi ketergantungan pada pinjaman luar negeri.Di samping peningkatan kesejahteraan, perlu pula diefektifkan pengawasan atas kinerja dan disiplin PNS, Polri, dan TNI.

d. Melanjutkan penyempurnaan kelembagaan penegak hukum untuk menjamin kemandirian aparat penegak hukum dalam melaksanakan fungsinya secara konsisten. Agenda yang harus diselesaikan antara lain adalah penyempurnaan kelembagaan Kejaksaan.

e. Melanjutkan penelitian atas kasus-kasus KKN yang sudah ditangani oleh instansi yang bersangkutan untuk melihat adanya indikasi tindak pidana khusus. Bila memang ditemukan ada dugaan tindak pidana khusus, dilimpahkan kepada pihak Kejaksaan.

1) Melanjutkan penelitian terhadap peraturan Perundang-undangan untuk mengetahui apakah peraturan perundang-undangan tersebut lahir karena penyalah-

III/21

gunaan kekuasaan, bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi, dan tidak sesuai lagi dengan era reformasi. Bila ada peraturan perundang-undangan seperti tersebut di atas, perlu ditinjau kembali untuk disempurnakan atau dicabut dan diganti dengan yang baru, yang lebih memenuhi rasa keadilan masyarakat. Beberapa peraturan perundangan direkomendasikan untuk dicabut dimuat pada Tabel 2 pada Tabel Pendukung Bab III .

2) Mahkamah Agung agar menggunakan kewenangannnya melaksanakan hak uji materiel (Judicial Review) atas peraturan perundangan yang menurut penilaian masyarakat bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi atau yang merugikan kepentingan masyarakat, baik berdasarkan pemeriksaan kasus, permintaan masyarakat, maupun atas inisiatif Mahkamah Agung sendiri.

Peningkatan kewenangan Mahkamah Agung untuk melakukan hak uji materiel (Judicial Review) itu, tidak hanya terhadap peraturan perundang-undangan di bawah Undang-undang tetapi juga terhadap Undang-undang dan kebijaksanaan pemerintahan.

Mempertegas status Yayasan sesuai surat HMS tanggal 22 Nopember 1998 tentang penyerahan Yayasan, sesungguhnya yang telah diserahkan kepada Pemerintah hanyalah koordinasi pelaksanaan operasional tujuh Yayasan HMS. Hal ini berarti, bahwa status ketujuh Yayasan tersebut masih berada di bawah penguasaan dan pengelolaan Badan Pendiri dan Badan Pengurus Yayasan-yayasan tersebut, sehingga menimbulkan

III/22

f)

ketidakjelasan pertanggungjawaban pengelolaan ketujuh Yayasan.

Untuk menghilangkan ketidakjelasan pertanggungjawaban pengelolaan tersebut, Badan Pendiri atau Badan Pengurus masing-masing Yayasan perlu diminta untuk menyerahkan dan mengalihkan kepengurusan ketujuh Yayasan itu sepenuhnya di bawah penguasaan Pemerintah dengan suatu akta otentik. Selanjutnya Pemerintah menyesuaikan Anggaran Dasar masing-masing Yayasan dan membentuk Badan Pengurus baru, sedangkan Badan Pendiri tidak berubah, se-hingga akan lebih jelas pertanggungjawaban pengelolaannya.

III/23