bab iii biografi dan pemikiran ali harb a. biografi...

22
35 BAB III BIOGRAFI DAN PEMIKIRAN ALI HARB A. Biografi Dan Karya Ali Harb Ali Harb, penulis, pemikir dan filosof kelahiran Lebanon 1941, menyelesaikan pendidikan akademisnya di Universitas Lebanon dan meraih gelar Master dalam bidang filsafat pada tahun 1978. 1 Sejak tahun 1976 hingga 1993, dia mengajar filsafat Arab dan Yunani pada tahun akademis 1995-1996, dia mendapatkan kesempatan menempuh gelar Agreation dari Universitas Paris, Prancis. 2 Sejak tahun 1979, dia telah aktif menulis artikel dan diterbitkan dalam berbagai surat kabar Lebanon serta jurnal-jurnal kebudayaan Arab. Dia juga aktif menyampaikan kuliah dalam berbagai simposium dan seminar. Tentang budaya dan pemikiran di negara-negara Arab di luar Lebanon, seperti Tunisia, Maghribi, Bahrain, Suriah, Arab Saudi, Mesir, dan Kuwait. Kini dia mengajar di Universitas Beirut Lebanon. Pemikiran Ali Harb ini sesungguhnya mempersoalkan kecenderungan di kalangan para pemikir dan intelektual Arab dalam menyikapi problematika “pembaharuan” (at-tajdîd). Isu-isu pembaharuan pemikiran Islam di Arab, terutama paska kekalahan politik atas Israel pada juli1967, diliputi persoalan at tajdîd wa at-turâts. Persoalan ini tak pelak menyiratkan upaya pencarian jati diri bangsa Arab paska kekalahan politik tersebut. Di satu sisi, mereka diterpa persoalan untuk membenahi diri demi tuntunan modernitas diperbagai bidang; politik, ekonomi, sosial, dan budaya, disisi lain, mereka mempertanyakan tradisi (turâts) yang selama ini menjadi identitasnya sebagai bangsa Arab. Maka mencuat persoalan apakah tradisi mereka masih cocok dengan moderntas dan pembaharuan 1 Ali Harb, Hermenutika Kebenaran, terj. Sunarwoto Dema Yogyakarta, LKiS, 2003, hlm. I 2 Ali Harb, Kritik Nalar Al-Qur'an, terj. M. Faisol Fatawi, LKiS, Yogyakarta, 2003, hlm. 456

Upload: vanthien

Post on 06-Feb-2018

232 views

Category:

Documents


6 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB III BIOGRAFI DAN PEMIKIRAN ALI HARB A. Biografi …library.walisongo.ac.id/...gdl-s1-2006-nurfatonin-1398-bab3_410-6.pdf · metodologi.6 Teori-teori yang dirumuskannya dari disiplin

35

BAB III

BIOGRAFI DAN PEMIKIRAN ALI HARB

A. Biografi Dan Karya Ali Harb

Ali Harb, penulis, pemikir dan filosof kelahiran Lebanon 1941,

menyelesaikan pendidikan akademisnya di Universitas Lebanon dan meraih

gelar Master dalam bidang filsafat pada tahun 1978.1 Sejak tahun 1976 hingga

1993, dia mengajar filsafat Arab dan Yunani pada tahun akademis 1995-1996,

dia mendapatkan kesempatan menempuh gelar Agreation dari Universitas

Paris, Prancis.2 Sejak tahun 1979, dia telah aktif menulis artikel dan

diterbitkan dalam berbagai surat kabar Lebanon serta jurnal-jurnal kebudayaan

Arab. Dia juga aktif menyampaikan kuliah dalam berbagai simposium dan

seminar. Tentang budaya dan pemikiran di negara-negara Arab di luar

Lebanon, seperti Tunisia, Maghribi, Bahrain, Suriah, Arab Saudi, Mesir, dan

Kuwait. Kini dia mengajar di Universitas Beirut Lebanon.

Pemikiran Ali Harb ini sesungguhnya mempersoalkan

kecenderungan di kalangan para pemikir dan intelektual Arab dalam

menyikapi problematika “pembaharuan” (at-tajdîd). Isu-isu pembaharuan

pemikiran Islam di Arab, terutama paska kekalahan politik atas Israel pada

juli1967, diliputi persoalan at tajdîd wa at-turâts. Persoalan ini tak pelak

menyiratkan upaya pencarian jati diri bangsa Arab paska kekalahan politik

tersebut. Di satu sisi, mereka diterpa persoalan untuk membenahi diri demi

tuntunan modernitas diperbagai bidang; politik, ekonomi, sosial, dan

budaya, disisi lain, mereka mempertanyakan tradisi (turâts) yang selama

ini menjadi identitasnya sebagai bangsa Arab. Maka mencuat persoalan

apakah tradisi mereka masih cocok dengan moderntas dan pembaharuan

1 Ali Harb, Hermenutika Kebenaran, terj. Sunarwoto Dema Yogyakarta, LKiS, 2003,

hlm. I 2 Ali Harb, Kritik Nalar Al-Qur'an, terj. M. Faisol Fatawi, LKiS, Yogyakarta, 2003, hlm.

456

Page 2: BAB III BIOGRAFI DAN PEMIKIRAN ALI HARB A. Biografi …library.walisongo.ac.id/...gdl-s1-2006-nurfatonin-1398-bab3_410-6.pdf · metodologi.6 Teori-teori yang dirumuskannya dari disiplin

36

ataukah tidak, antara orisinilitas dan pembaharuan, dan seterusnya.3 Dalam

konteks demikian, Ali Harb melihat bahwa para pemikir Arab

kontemporer memiliki kecenderuangan berpikir didalam kerangka ciri

khas kultural, nasional atau pun keagamaan. Hal demikian jelas tercermin

dari tema yang mereka sodorkan, seperti Tajdîd Al-Fikr Al-‘Arabî

(pembaharuan pemikiran Arab), Naqd Al-Fikr Al-‘Arabî (Kritik Nalar

Arab), Naqd al-Fikr al-Islâmî (kritik nalar Islam), dan tema-tema yang

menyemangatkan atribut-atribut identitasnya. Baginya, hal ini menunjukan

bahwa pemikir Arab kontemporer senantiasa berpikir dalam tekanan

kesadaran identitas kolektifnya. Dalam pengamatanya, ini jelas berbeda

dengan yang terjadi pada masa lalu Arab atau pemikiran Barat modern. Di

era klasik, karya-karya pemikiran justru tidak menunjukan identitas rasial,

keagamaan, atau geografis. Misalnya saja al-Farabi dengan al-madînah al

fâdilah-nya, Ibnu Khaldun dengan konsep ’Ilm al-‘Umrân-nya. Di Barat

modern, misalnya Kant dengan Kritik Nalar Murni-nya, Martin Heidegger

dengan Being and Time-nya, dan sebagainya. Tema-tema semacam ini,

jelas tidak berada dalam kerangka ciri-ciri khas nasional atau pun kultural

tertentu. Sebaliknya, semua ini menunjukan pada keterlibatan seorang

pemikir dalam problematika pemikiran secara umum, baik berkaitan

dengan nalar, makna pengetahuan wujud, kekuasan, maupun pemikiran itu

sendiri memang tidak serta merta identitas menghambat suatu pemikiran,

akan tetapi yang dipersoalkannya kemudian adalah bagaimana seorang

pemikir itu sendiri dalam berinteraksi dengan identitas dan juga

pemikirannya sendiri. Pendirian Ali Harb berujung pada persoalan

ketertutupan dan keterbukaan pemikiran dan juga nalar. Baginya,

3 Menurut analisis Hasan Hanafi, sikap pada tradisi dalam kaitanya dengan pembaharuan atau modernts ini terbagi dalam tiga sikap. Sikap pertama adalah al-iktifâ adz-dzâtî li at-turâts (mencakup pada tradisi). Sikap ini memandang keharusan pembahuran Islam bertumpu sepenuhnya pada turâts. Dalam konsepsi ini, pembahruan berarti pembahruan kembali pada sumber asal itu sendiri, yakni Al-Quran dan sunah Nabi. Sikap kedua adalah al-kifâ adz-dzâtî li aljadid (mencukupkan diri dengan yang baru) sikap ini menentang sama sekali tradisi yang dipandang sudah tidak relevan. Sedangkan sikap terakhir at-taufiq bain at-turâts wa al-jadid sikap yang mengkompromikan keduanya. Bagi sikap ini, tradisi tidak harus dicampakan dan dibuang, tetapi dikaji secara kritis sehingga dapat ditemukan unsur-unsur yang relevan dengan pembahruan.

Page 3: BAB III BIOGRAFI DAN PEMIKIRAN ALI HARB A. Biografi …library.walisongo.ac.id/...gdl-s1-2006-nurfatonin-1398-bab3_410-6.pdf · metodologi.6 Teori-teori yang dirumuskannya dari disiplin

37

pemikiran yang tertutup adalah pemikiran yang memandang pemikiran

lain melalui identitas kultural, rasial, bahasa, madzhab, dan agamanya.

Jika sesuai maka dia akan menerimanya, dan begitu sebaliknya, jika tidak

sesuai atau tidak identik denganya maka ditolak. Sedangkan pemikiran

terbuka adalah pemikiran yang tidak mempersoalkan identitas-identitas

tersebut untuk diterimanya.

Keterbukannya inilah yang dicoba dilakukan Ali Harb melalui kritik

teksnya. Satu teks memiliki berbagai tradisi, beragam aspek, aneka

pertentangan, kekaburan, celah dan lubang bahkan juga memiliki realitas

maya dan ruang kosong.4 Karenanya, sebuah teks dibaca dengan linguistik

atau membaca kemungkinan-kemungkinan semantisnya, atau mengungkap

struktur maknanya atau ekspansi bidang garapannya. Berdasarkan

pertimbangan di atas sebuah teks mungkin untuk diteliti dan dibaca atau

dianggap sebagai wacana yang bergerak tanpa titik akhir atau paparan yang

tidak untuk dihentikan, pembacaan sebagai bentuk perlakuan terhadap teks

dapat dianggap sebagai ruang yang terbuka, dimana di dalamnya dapat

diselidiki kemungkinan-kemungkinan rasionalnya atau kekayaan

strukturalnya, sehingga penelitian terhadap kekuatan interpretasinya sebagai

kekuatan yang mencerahkan menjadi keniscayaan.5

Karya-karya dan tulisannya banyak mengungkapkan persoalan dan

metodologi.6 Teori-teori yang dirumuskannya dari disiplin ini dihasilkan

melalui kritik teks dan analisis wacana. Metodologi kritisnya memiliki

keistimewaan berupa kemampuan potensi pemikir yang dapat melampaui

batas wacana hingga ke wilayah yang sangat luas dan tertutup, termasuk

mengalihkan perhatian dari eksistensi pemikiran menuju metode pemerlakuan,

pengelolaan, penggunaan serta aplikasinya. Dalam tulisan ini, mengemukakan

analisa kritisnya tentang bagaimana berhubungan dengan pemikiran di tengah

4Ali Harb, Relativitas Kebenaran Agama, Krtik dan Dialog, terj. Umar Bukhory,

Yogyakarta, 20001, hlm. 16 5 Nasr Hamid Abu Zaid, Tekstualis Al-Qur'an terj. Khoirun Nahdliyyin, Yogyakarta,

LKiS, 2003, hlm. 12 6 Ali Harb, relavitas kebenaran, Op.cit,. hlm. 363

37

Page 4: BAB III BIOGRAFI DAN PEMIKIRAN ALI HARB A. Biografi …library.walisongo.ac.id/...gdl-s1-2006-nurfatonin-1398-bab3_410-6.pdf · metodologi.6 Teori-teori yang dirumuskannya dari disiplin

38

usaha-usaha kritis untuk memecah beragam problem, persoalan dan

pemahaman, seperti teks, hakikat kebenaran, ideologi, esensi, kesatuan dialog,

demokratisasi, liberalisme, dan tema-tema lain yang berputar di sekitar

wacana dan hasil karyanya.

Ali Harb selama ini lebih dikenal melalui kritik teks-nya. Karyanya

secara khusus mengenai kritiknya ini adalah serial bertajuk An-Nashsh wa Al-

Haqîqah (teks dan kebenaran), yang terdiri dari Naqd An-Nashsh (1993),

Naqd Al-Haqîqah (1993), dan Al-Mamnûi wa al Mumtani’ Naqd adz-Dzât al-

Mufakkirah (1996). Selain karya buku ini, karya-karya Ali Harb lainnya,

diantaranya adalah : A-ta’wĭl al-Haqîqah (1985), Al-Hubb wa al fanâ’ (1990),

lu’bah al-ma’nâ (1991), as’ilah al haqiqah qa rihânât al-fikr (1994), Al-

Mâhiyah wa al-‘Ilâqah (1998), Al-Akhtâm al-Ushûliyyah wa asy-sya’a’ir at-

Taqaddumiyyah (2001), Ashnâm an-Nazhariyyah Wa Athyât al-Hurriyah

(2001), dan masih banyak lagi buku dan artikel yang telah ditelitinya.

Sedangkan karya terjemahannya diantaranya adalah Ashl al-‘anf wa ad-

Daulah (1985) karya Marcel Gauehet dan Pierre Clastres dan manthiq al-

‘Âlam al-Hayy (1989) karya Fran Cois Jakob, secara umum karya-karya Ali

Harb berasal dari kumpulan makalah yang telah diterbitkan dalam beberapa

jurnal Arab dan juga hasil wawancara dan simposium-simposium serta

diskusi-diskusi yang diikutinya.

B. Memahami Bahasa Agama

Dalam kaitannya dengan pembacaan hermeneutis, bahasa berada pada

inti proses pengetahuan, karena bahasa itulah yang pada akhirnya merupakan

salah satu bentuk wujud. Setiap pengetahuan tentang wujud ini mengantarkan

pada pemahaman tentang bahasa itu sendiri, begitu pula sesuatu bukan objek

instant. Kebenaran tidaklah diberikan terlebih dahulu karena nalar memahami

sesuatu melalui sejarah dan tradisinya. Pada akhirnya sejarah tiada lain adalah

sejarah hubungan dengan sesuatu dan terjadi melalui bahasa, karena itu

Page 5: BAB III BIOGRAFI DAN PEMIKIRAN ALI HARB A. Biografi …library.walisongo.ac.id/...gdl-s1-2006-nurfatonin-1398-bab3_410-6.pdf · metodologi.6 Teori-teori yang dirumuskannya dari disiplin

39

penelitian dan perenungan tentang sesuatu pada akhirnya sebenarnya adalah

bentuk dialog manusia dengan dirinya melalui kata-kata.7

Manusia sebagai “hewan yang berpikir” (hayawanun nâthiq) berarti

manusia adalah wujud bahasawi (kainûnah lughawiyah) “bahasa menjadi

tempat tinggal wujud” (maskan al-wujûd / the house of being), begitu kata

Heidegger, bahasa tempat untuk menerangkan dan menjelaskan berbagai sisi

wujud dan tempat yang menjadi landasan pemikiran. Bahasa sebagai tempat

tinggal wujud semestinya, tidak dipahami semata-mata sebagai gambaran

realitas atau wahana untuk mendapatkan makna atau sekedar nama-nama

untuk menyebut tanda-tanda yang diberi nama (musamma ayât).

Tidak diragukan bahwa nalar bahasa gramatika maupun retorika,

selalu tunduk pada aturan bahasa dan konteksnya. Nalar model ini

memandang bahasa sebagai struktur atau sistem atau sebagai konvensi-

konvensi atau penyimbolan-penyimbolan, yakni sebagai tanda-tanda yang

menunjukan pada sesuatu. Hanya saja, situasi bahasa dan pembentukannya

memunculkan fenomena yang terakait dengan wujud. Oleh sebab itu, bahasa

kehilangan kemampuannya untuk mencipta dan berkreasi, dan kata-kata

tercerabut kemampuannya untuk melakukan generalisasi dan pelampauan.

Bahasa sebagai ekspresi wujud, merupakan keterbukaan terhadap

“yang ada” dan kemungkinan bagi wujud, yaitu kemungkinan membangun

kebenaran sekaligus menyingkapnya dan menciptakan manusia sekaligus

menuturkannya, bahasa kreatif dan inovatif adalah majâs (metafora), yang

berarti melewati, melampaui, pindah dan beralih, sedangkan “wujud”

merupakan keanehan atau kelainan atau kontradiksi atau reposisi.8 Karena

jelas pada esensinya wujud adalah penggambaran bahasawi. Dengan bahasa

manusia senantiasa beralih dari tidak fasih menjadi fasih, dari yang biasa

menjadi estetik, dari celotehan menjadi kreasi, atau pendeknya dari alam

menjadi budaya. Manusia adalah majas, yakni majas dari realitas menjadi

7 Ali Harb, Hermeneutik kebenaran , Op.cit,. hlm. 20 8 ibid, hlm. 24

Page 6: BAB III BIOGRAFI DAN PEMIKIRAN ALI HARB A. Biografi …library.walisongo.ac.id/...gdl-s1-2006-nurfatonin-1398-bab3_410-6.pdf · metodologi.6 Teori-teori yang dirumuskannya dari disiplin

40

simbol dari yang tampak menjadi yang tidak tampak, dan dari tanda (dalil)

menjadi petanda (madlûl). Bahasa adalah perpindahan diantara makna-makna,

yaitu perpindahan yang didorong oleh sensitivitas wujud terhadap kekurangan

dan kehilangan, dan sumber pangkalnya adalah ketidakmampuan kata-kata

untuk mengatakan tanda-tanda dan subjek-subjek. Meskipun menunjukan

keterasingan wujud, kemetaforan teks berupaya mengembalikan identitas yang

hilang itu.9

Ada dua pendekatan yang menonjol dalam memahami ungkapan-

ungkapan keagamaan, yaitu theo–oriented dan anthropo–oriented. Mengenai

yang pertama apa yang disebut bahasa adalah kalam ilahi yang kemudian

terabadikan kedalam kitab suci. Di sini Tuhan dan kalam-Nya lebih

ditekankan, sehingga pengertian bahasa agama yang paling mendasar adalah

bahasa kitab suci. Yang kedua, bahasa agama adalah ungkapan serta perilaku

keagamaan dari seseorang atau sebuah kelompok sosial. Bahasa agama dalam

pengertian kedua ini adalah wacana keagamaan yang dilakukan oleh umat

beragama maupun sarjana ahli agama, meskipun tidak selalu menunjuk serta

menggunakan ungkapan-ungkapan kitab suci, hal ini seperti yang

diungkapkan oleh Hick, menurutnya bahwa bahasa agama sebenarnya

mengacu pada suatu realitas transenden telah mencirikan sebagai realis

ketimbang non realis.10

Pendekatan pertama dan kedua saling berkaitan karena semua kitab

suci pada gilirannya akan melahirkan penafsiran baik dalam bentuk lisan

maupun tulisan yang dilakukan oleh manusia. Dari sinilah kemudian bahasa

agama menurut Ali Harb adalah sebuah tawaran tentang metode takwil atau

yang sering dikenal dengan Hermeneutik.

Dan melalui takwil inilah Ali Harb menawarkan bagaimana cara

membaca teks dan turats. Menurut Ali Harb pembacaan hermeneutik (al-

9. Nasher Hamid Abu Zaid, Hermeneutika Inklusif, Mengatasi Problematika Bacaan dan Cara-cara Penakwilan Atas Diskuursus Keagamaan, terj. M. Mansur, Yogyakrta, LKiS, 2004, hlm. VIII

10 Seyyed Hossein Nasr dan Jhon Hick, Menyinkap Kebenaran Pluralisme Agama Dalam Filsafat Islam dan Kristen, terj. Munir, Bandung, Alifya, 2004, hlm. III

Page 7: BAB III BIOGRAFI DAN PEMIKIRAN ALI HARB A. Biografi …library.walisongo.ac.id/...gdl-s1-2006-nurfatonin-1398-bab3_410-6.pdf · metodologi.6 Teori-teori yang dirumuskannya dari disiplin

41

qirâ’ah al-ta’wĭliyyah) menghindari kategorisasi-kategorisasi yang umumnya

berlaku terhadap pemikiran dan teks, ulama dan para pengarang (authors /

mu’allifin) rasional dan tradisional, idealisme dan matrealisme, subjektifisme

dengan objektifisme, ilmiah dan non ilmiah, orisinil dan palsu, relatif dan

progresif. Bukan karena dikotomi-dikotomi ini tidak memiliki kebenaran dan

tidak mengungkapkan realitas pemikiran sama sekali sebaliknya karena

pembacaan dikotomis ini melampaui kategorisasi tersebut, dan karena ia

memahami bahkan menaklukannya, dengan begitu ia mendefinisi ulang

terminologi-terminologi dan konsepsi-konsepsinya.11

Memahami dikotomi nalar dan tradisi (al-‘aql wa an-naql) justru

semakin memperlihatkan rasonalitas tradisi dan irasionalitas nalar, sebab tidak

ada nalar murni bahkan rasionalitas memiliki tipe-tipe yang berbeda, tipe-tipe

merepresentasikan salah satu metode nalar dan salah satu tujuan pemikiran.

Jika pemikiran Arab-Islam bertolak dari “prinsip kenabian” (ash nabawi),

maka prinsip ini memiliki rasionalitasnya yang khas. Itulah yang selayaknya

diteliti dan dieksplorasi. Begitu pula prinsip rasional mengandung padanannya

yaitu irasionalitas (al-lâma’quliyyah) dengan bukti bahwa pemikiran filosofis

tidak pernah berhenti untuk meneliti prasangka-prasangka (prejudices) dan

takhayul (superstitions)nya semenejak plato.

Begitulah, pemikiran Arab mengkaji dirinya melalui wahyu dan hal di

balik atsar dan berita, lalu berkelana ke dalam teks untuk meneliti, menggali

dan mengungkap, kemudian merasionalkan hal yang tak terasionalkan dan

kembali mendefiniskan hal yang tak terdefiniskan, terlebih jika kata tersebut

berupa ayat-ayat eksploratif (âyât bayyinât). Kalau bayân adalah kalimat yang

mengandung berbagai tafsiran dan penakwilan, maka ayat itu adalah tanda-

tanda yang berlimpah ruah; isyarat simbol-simbol dan tanda-tanda makna

yang luas. Dari sini, penulis berpendapat bahwa nalar rasional empiris

(burhâni) “menemukan kembali dirinya” (isti’âdanafsahu) melalui metode

tafsir dan metode takwil, dan tampak dalam upaya menyusun bayan dan

11 Ali Harb, At-Ta’wîliyyah Fiats-Tsaqâfah Al ‘Arabiyyah, Beirut, Al-Markaz Ats-Tsaqafi Al-‘Arabi,1985, hlm. 18

Page 8: BAB III BIOGRAFI DAN PEMIKIRAN ALI HARB A. Biografi …library.walisongo.ac.id/...gdl-s1-2006-nurfatonin-1398-bab3_410-6.pdf · metodologi.6 Teori-teori yang dirumuskannya dari disiplin

42

pengetahuan. Tentangnya bayân, sebagai perluasan makna dan kekayaan

signifikansi dalam kaitannya dengan pemikiran membentuk, wilayah yang

subur dan cakrawala yang luas bagi perenungan. Bagi nalar bayân

memberikan peluang untuk menerapkan permainan dan pendeduksian dan

materi pembuktian bagi berbagai persoalan. Jika tanda adalah makna yang

tetap dan signifikan yang lazim maka tidak ada tanda atau pun bukti (burhân)

tanpa signifikansi.

Sedangkan “tanda” (dalīl) adalah cara untuk menetapkan signifikansi

sedang signifikansi adalah titik tolak tanda. Dengan kata lain, penalaran

deduktif (istidlâl) pasti melibatkan takwil, dan khususnya dalam bidang

pembacaan dan analisis-analisis teks. Karena setiap penalaran berlandaskan

pada pemahaman tertentu pada kata-kata istilah. Setiap pembuktian (burhân)

sesungguhnya adalah pelacakan suatu makna diantara sekian makna dan

sekian dalil; penyimpulan (pemungutan) salah satu signifikansi takwil tidak

lebih dari itu. Dengan demikian takwil menghubungkan antara bayân dengan

burhâni.

Wacana-wacana tidak melebur pada konsep-konsepsi (tashawwurât)

atau gagasan-gagasan murni atau konsep-konsep yang kaku dan tidak

tereduksi pada bukti-bukti atau pun analogi-analogi ilmiah.12 Sebaliknya,

wacana tersebut adalah tanda-tanda dan isyarat-isyarat tanda selamanya

berada diantara gagasan dan imajinasi, atau antara nalar dan ilusi, atau antara

yang tampak dan yang gaib. Karenanya, wacana tersebut mengandung

ambiguitas kemudian mengisyaratkan pada kehadiran (al-ĥudhûr)

sebagaimana pula menjadi “ketiadaan” (ghiyâb) dan menjelaskan tentang hal

yang eksis sebagaimana pula menyimbolkan apa yang memperkuat wujud dan

kekurangan. Di sini wacana tersebut selamanya menempati celah dalam inti

signifikansi, sehingga konsep-konsep tidak sepadan dengan realitas dan kata-

kata tidak mengatakan tentang sesuatu. Buktinya bahwa pembicaraan

12 Ali Harb, hermeneutik kebenaan ,Op. cit,. hlm. 20

Page 9: BAB III BIOGRAFI DAN PEMIKIRAN ALI HARB A. Biografi …library.walisongo.ac.id/...gdl-s1-2006-nurfatonin-1398-bab3_410-6.pdf · metodologi.6 Teori-teori yang dirumuskannya dari disiplin

43

selamanya mengungkapkan celah dan ruang yang mengizinkan untuk

memperbaharui perkataan dan mengatakan kembali sesuatu itu sendiri.

Dengan demikian sudah menjadi watak “tanda” bahwa ia sulit dibatasi

dan dikekang sehingga cenderung dari satu signifikansi (dalâlah)

kesignifikansi (dalâlah) lainnya, sehingga pertanda (madlûl) itu sendiri

senantiasa berubah menjadi tanda (dalil). Dengan demikian sesuatu menjadi

simbol dan terwujud menjadi dalam semantik yang luas.13

Bagi seseorang yang tertarik dengan semiotik, maka tugas utamanya

adalah mengamati (observasi) terhadap fenomena-fenomena di sekelilingnya

melalui berbagai “tanda” yang dilihatnya. Tanda sebenarnya representasi dari

gejala yang memiliki sejumlah kriteria seperti nama (sebutan), peran, fungsi,

tujuan, keinginan. Tanda tersebut berada pada kehidupan manusia dan

menjadi sistem tanda yang digunakanya menjadi pengatur kehidupannya. Oleh

karenanya tanda-tanda itu (yang berada pada sistem tanda) sangatlah akrab

dan melekat pada kehidupan manusia yang penuh makna (meaningful action)

seperti teraktualisasi pada bahasa, religi, seni sejarah, ilmu pengetahuan.

Tidak ada pembicaraan benar dan salah dalam konsep hubungan antara

teks dan kebenaran. Pembenaran dan penyalahan dibenarkan jika manusia

bergumul bersama teks yang mencerminkan atau sesuai dengan kebenaran

pikiran dan hal-hal yang berdiri di luarnya, sebagaimana kritik klasik yang

menggunakan konsep kontradiksi atau kerancuan. Jika sebuah teks

menciptakan kebenaran dan memiliki kerealisannya maka manusia harus

memberlakukan sebuah teks tersebut sebagaimana memberlakukan sebuah

peristiwa, artinya manusia harus berusaha membuka dimensi atau membangun

kemungkinan-kemungkinan, membebaskan belenggu, atau memikirkan fungsi

dan manfaatnya. Dalam pengertian seperti ini, teks menjadi kuat dan urgen

(significant). Ia melepaskan kerancuanya dan melahirkan beberapa interaksi

atau bahkan ia bebas dari pengaruh apa pun. Di sisi pembacanya, ada juga

13 Ali Harb, relavitas kebenaran, Op. cit., hlm. 2

Page 10: BAB III BIOGRAFI DAN PEMIKIRAN ALI HARB A. Biografi …library.walisongo.ac.id/...gdl-s1-2006-nurfatonin-1398-bab3_410-6.pdf · metodologi.6 Teori-teori yang dirumuskannya dari disiplin

44

perbedaan antara pendapat Hegel yang selalu melahirkan beragam interpretasi,

dan ungkapan Hegel sendiri yang hanya sekedar penjelasan kelompoknya.

Pemahaman demikian, secara khusus berlaku di dalam bidang sejarah

pemikiran, yaitu dalam bidang perenungan dan penaklukan teks-teks, karena

pemikiran merupakan pengkajian tentang sejarah kata-kata, dan manusia

adalah wujud “bahasawi”. Jika Descartes mengajarkan wujud dan pemikiran,

maka wujud pada saat dan tahap yang sama mengikuti bahasa; manusia itu ada

berarti ia berpikir dan berbicara, menunjuk dan menyimbolkan,14 sebagaimana

berpikir dan merenung, mengungkap dan membuktikan. Ini berarti manusia

tidak dapat berpikir dan merenung kecuali melalui bahasa, karena takwil

adalah berpikir dengan bahasa, dalam bahasa dan untuk bahasa, maka setiap

pikiran memandang watak hermeneutis. Jadi, selama manusia bernama

manusia berarti dia menakwil wujudnya sesuai dengan kadar kemampuannya,

karena dengan takwil ia mengkaji makna dan dengannya dia mengeluarkan

signifikansi agar hasrat dan keinginanya masuk dalam jasadnya. Manusia

hidup dan berhasrat tetapi dia menyimbolkan dan menandakan hidup dengan

simbol, dalam simbol dan untuk simbol. Di dalam simbol terdapat motivasi

takwil, dimana takwil merupakan kajian yang tak selamanya berhenti pada

makna yang hilang dan upaya yang tidak putus-putusnya untuk menjembatani

antara keinginan dan tanda. Dengan demikian, takwil menutupi celah yang

menganga yang direpresentikan oleh eksistensi manusia antara sisi lahir dan

sisi batin, “yang awal” dan “yang akhir”, “yang nampak” dan “yang tak

tampak”, dan antara “kebenaran” dan “yang benar”.

Demikianlah takwil merupakan dialog tentang inti wujud,

perbincangan yang tidak memberikan ruang untuk memisahkan antara subjek

dan objek, sebab penakwil sesungguhnya mengatakan hasratnya dan

mengabdikan hasratnya itu, berpikir tentang sejarahnya, menanyakan sumber-

sumbernya, menalar yang tak ternalar, memecahkan simbolnya, membaca

tanda-tandanya, dan memahami isyaratnya. Penakwil memahami

14 T. Z Lavine, Masa Transisi Historis Menuju Dunia Modern, terj. Andi Iswanto, Yogyakarta, 2003, hlm. 56-57

Page 11: BAB III BIOGRAFI DAN PEMIKIRAN ALI HARB A. Biografi …library.walisongo.ac.id/...gdl-s1-2006-nurfatonin-1398-bab3_410-6.pdf · metodologi.6 Teori-teori yang dirumuskannya dari disiplin

45

pemahamannya dan mengatakan eksistensinya. Jadi, tidak ada gunanya

berbicara tentang metode subjektif ataupun objektif dalam memahami tradisi.

Objektivitas dalam tradisi kadang-kadang mendorong untuk menjadikan

pemikiran sebagai objek murni bagi teks dan pada saat itu perbincangan

berubah menjadi pengulang-ulangan. Begitu pula subjektivitas kadang

mendorong menjadikan pemikiran sebagai subjek murni dan jika demikian,

pembicaraan berubah menjadi wacana yang hanya memproduksi premis-

premisnya. Dalam kedua hal tersebut tampak ketidakmampuan untuk

melahirkan makna dan memperbaharui signfikansi.15

Inilah hal yang dicoba untuk dijauhi oleh metode hermeneutik

(metode takwil). Takwil tidak berarti adanya subjek yang berupaya untuk

menyamai objeknya tetapi untuk mempertanyakan sesuatu tentang signifikansi

melalui bahasa karena pembicaraan mengandung celah yang menjadikan sulit

untuk dilewatkan. Selalu ada tempat untuk memulai dengan cara baru yaitu

untuk memulai pembicaraan, untuk menakwilkan ulang, dengan kata lain

takwil bukanlah untuk mewujudkan makna bagi sesuatu yang tidak memliki

makna dan bukan pula memasang signifikansi objek yang menyangkut

signifikansinya. Sebaliknya, takwil adalah transformasi dari suatu signifikansi

ke signifikansi lainnya dan menakwilkan kembali makna lainnya dan

menakwilkan kembali makna lama. Penakwilan makna baru tidak berarti

pembaruan pemahaman itu sendiri, karena takwil bukan sekedar untuk

penelitian atau alat pengetahuan atau jalan menuju kebenaran melainkan

takwil adalah bidang pemahaman yang memungkinkan untuk mengkaji wujud

secara baru dan memungkinkan untuk mendefiniskan kembali tentang sesuatu.

Metode bukanlah jalan menuju kebenaran saja, melainkan jalan untuk

memperbarui pemahaman manusia terhadap kebenaran itu sendiri. Dengan

begitu, signifikan wujud menjadi berlipat-lipat dan makna dari “yang benar”

(haq) menjadi luas.

15 Ali Harb, Hermenutik kebenaran, Op. cit., hlm. 56-57

Page 12: BAB III BIOGRAFI DAN PEMIKIRAN ALI HARB A. Biografi …library.walisongo.ac.id/...gdl-s1-2006-nurfatonin-1398-bab3_410-6.pdf · metodologi.6 Teori-teori yang dirumuskannya dari disiplin

46

C. Hakikat Teks

Berubahnya teks dari wilayah pengetahuan tertentu dan menjadi

garapan pemikiran, memiliki arti bahwa ia mempunyai gagasan (rancangan)

dan dunianya sendiri.16 Dunia teks membutuhkan perhatian, dengan tanpa

mentransformasikan kepada pengarangnya dan dunia luar. Dalam logika

kritik, teks terlepas dari pengarangnya dan dunia luar. Dalam logika krtik, teks

terlepas dari pengarangnya sebagaimana ia terlepas dari acuanya, agar dapat

menyuguhkan dunia wacana yang memiliki kebenaran dan keadilan dari

semua yang ada. Tentu tidak semua wacana mewarnai (membetuk) sebuah

teks. Teks adalah wacana yang sempurna setelah diakui dan diresmikan. Ia

adalah pembicaraan yang menetapkan kemampuanya, mendapatakan

ketunggalnnya, dan menjadi pengaruh yang dikembalikan pada dirinya. Jadi,

teks bukan realitas (al-wâqi), itulah yang menjadi acuan. Yakni bahwa dirinya

memaksa dan mendorong pembaca untuk membacanya secara terus-menerus.

Pembaca tidak membaca teks lantaran ia merefleksikan atau mengubahnya

menjadi realitas. Maka, teks yang merefleksikan realitas tidak lagi memiliki

signifikansi karena ia berhenti seiring dengan berhentinya realitas yang terjadi.

Misalnya membaca kembali Muqaddimah-Nya Ibnu Khaldun, bukanlah untuk

mengetahui realitas yang ada pada masa Ibnu Khaldun, melainkan agar

pembaca dapat mengerti realitas saat ini atau menyambut (realitas) masa

depan yang akan datang. Teks bukanlah cermin dari realitas, melainkan ia

berkutat diantara apa yang sedang terjadi dan yang mungkin harus terjadi.

Sampai disini, maka keterkaitan teks dengan realitas merupakan peniadaan

realitas itu sendiri. Ia adalah penghalang yang bertumpuk-tumpuk;

mengabaikan kebenaran teks dari satu sisi, dan melepaskan realitas pada sisi

yang lain. Demikian itu karena teks bukan realitas yang ditemukan dalam arah

dan tempatnya, melainkan di sana terdapat kejadian dan peristiwa yang tidak

bisa dipisahkan dari penafsiran-penafsiran atau pembacaan yang ditundukan.

Artinya, pada akhirnya teks hanya berupa riwayat-riwayat dan wacana-

16 Ali Harb Nalar Kritik Al-Quran, Op. cit., hlm. 9

Page 13: BAB III BIOGRAFI DAN PEMIKIRAN ALI HARB A. Biografi …library.walisongo.ac.id/...gdl-s1-2006-nurfatonin-1398-bab3_410-6.pdf · metodologi.6 Teori-teori yang dirumuskannya dari disiplin

47

wacana. Jika wacana dengan tabiatnya menghalangi realitas maka usaha untuk

mentransformasikan atau mengaitkannya dengan realitas tertentu hanya

sekedar penafsiran sebuah teks dengan teks lainnya, menutupi penghalang

(hijbu li al-hijbi). Hal itu tidak berarti bahwa teks hanya menciptakan realitas.

Tetapi teks menciptakan realitas sekaligus memiliki (menguasai)

kerealitasnya. Ia membuat kemungkinan bagi pemikiran, penegah

pemahaman, atau penerima relitas.

Kritik teks membuka sebuah kritik terhadap kebenaran dan temuan-

temuan dunia.17 Ia membuka hubungan baru dengan kebenaran yang

seharusnya mengubah pemahaman dan cara bergaul dengannya. Dalam

pandangan kritik, kebenaran bukanlah esensi yang melampaui kondisinya,

atau ditemukan terpisah dari wacananya melainkan ia diciptakan oleh teks itu

sendiri. Dengan kata lain, bahwa teks, dari aspek ini, tidak mengkaji

kebenaran tetapi ia menentukan kebenaran sendiri. Misalnya saja, apa yang

dikaji Immanuel Kant bukanlah yang dimaksudkan untuk mencapai kebenaran

transendental yang mendahului pengalaman, tetapi itulah teks yang

ditinggalkan olehnya untuk manusia, yang memiliki kekuatan untuk melawan,

disamping melampaui upaya-upaya perubahan dan penghimpunan, dan tidak

bisa kembali kepadanya. Contoh lain adalah kebenaran yang ada dalam kitab

al-Asfâr al- Âqliyyah al-Arba’ah karya Sadruddin as-Sairazi, bukanlah apa

yang coba dikaji dan dicapai oleh sang pengarang melalui perjalanan

intelektualnya, tetapi kebenaran itu sendiri adalah kebenaran teks yang

mendorong pembaca untuk membaca dan menulisnya, yakni kemungkinan

yang dikandung oleh teks atau temuan-temuan pada saat pembaca melakukan

pembacaan dan pembongkaran terhadapnya. Jadi teks bukan yang berkata

tentang kebenaran yang terdapat dalam teks, melainkan ia adalah wacana yang

menetapkan kemampuan dan menciptakan kebenaran sendiri, kritik adalah

15. ibid, hlm. 10

Page 14: BAB III BIOGRAFI DAN PEMIKIRAN ALI HARB A. Biografi …library.walisongo.ac.id/...gdl-s1-2006-nurfatonin-1398-bab3_410-6.pdf · metodologi.6 Teori-teori yang dirumuskannya dari disiplin

48

perpindahan dari teks kebenaran (Nashsh al-Haqîqah) menuju kebenaran teks

(Haqîqah an-Nashs).18

Tidak ada pembicaraan benar dan salah dalam konsep hubungan

antara teks dan kebenararn. Pembenaran dan penyalahan dibenarakn jika

pembaca bergumul bersama teks yang mencerminkan atau sesuai dengan

kebenaran pikiran dan hal-hal yang berdiri di luarnya, sebagaimana kritik

klasik yang menggunakan konsep kontradiksi atau kerancuan. Jika sebuah teks

menciptakan kebenaran dan memiliki keralitasannya maka pembaca harus

memberlakukan teks tersebut sebagaimana memberlakukan sebuah peristiwa,

artinya pembaca harus berusaha membuka dimensi atau membuka

kemungkinan-kemungkinan, membebaskan belenggu, atau memikirkan fungsi

dan manfaatnya. Dalam pengertian seperti ini, teks menjadi kuat dan urgen

(signifikan). Ia melepaskan kerancuanya dan melahirkan beberapa interaksi,

atau bahkan ia bebas dari pengaruh apa pun. Ada perbedaan antara ungkapan

yang kuat/kokoh, sepeti puisi al-Mutanabbi yang selalu mengajak kepada

pembaca untuk merujuknya dan ungkapan penyair sendiri yang tidak

meninggalkan pengaruh apa pun di sisi pembacanya. Ada juga perbedaan

antara pendapat Hegel yang selalu melahirkan beragam interpretasi, dan

ungkapan Hegel sendiri yang hanya sekedar penjelasan kelompoknya.

Kritik bukan berarti melawan berbagai usaha dan teks, sebagaimana

yang ditempuh oleh al-Ghazali. Menurut Ibnu Sina dan al- Farabi, hal-hal

kontradiktif yang dibangun al-Ghazali lebih kuat dibanding dengan apa yang

harus dimusnahkan. Dalam arti bahwa teks senantiasa memaksa dan

mendorong pembaca untuk membaca dan memikirkanya. Krtik bukan berarti

pengelabuhan wacana-wacana, sebagaimana menurut Abi al- Ala al-Ma'ari

dalam komentarnya terhadap Maqậlật ar-Rusul dan shadiq Jalal al-Azham

dalam konsepnya tentang dogma dan kebenaran tunggal. Teks nabawî

misalnya, ia tidak menyimpan sesuatu yang signifikan dalam memaparkan

kebenaran atau apa yang sesuai denganya. Tetapi pada tingkat pertama, ia

18 ibid , hlm. 11

Page 15: BAB III BIOGRAFI DAN PEMIKIRAN ALI HARB A. Biografi …library.walisongo.ac.id/...gdl-s1-2006-nurfatonin-1398-bab3_410-6.pdf · metodologi.6 Teori-teori yang dirumuskannya dari disiplin

49

menyembunyikan kebenaranya dalam melihat segala yang ada (maujûd),

mekanisme pemproduksi makna bagaimana berinteraksi dengan kebenaran,

dan juga cara mengungkapkan sesuatu.

Bergumul dengan teks tidak memiliki arti apa-apa jika dilihat dari

kacamata dialektika. Teks yang kuat dan signifikan tidak akan rapuh, tetapi

mungkin malah memberikan peluang pada pembaca untuk memperbincangkan

kekontradiksian dan keragamanya. Lebih tepatnya teks-teks mengajak kepada

pembaca untuk mengkritisi dan mendekonstruksi. Contoh konkretnya adalah

pembacaan Michel Faucoult terhadap teks Plato, terutama dalam hal cinta.

Setelah melakukan beberapa interpretasi metafisis-dalam waktu yang cukup

panjang-terhadap Plato, Michel Foucault tampil dengan interpretasi yang

berbeda. Menurutnya cinta dalam pengertian plato bukanlah sesuatu yang

menjahui jasad dikarenakan adanya persoalan lain, yaitu tentang kebenaran

cinta sebagai hubungan dengan kebenaran yang mengubah dari kerinduan

yang hakiki menjadi rindu terhadap kebenaran. Pembacaan Foucault itu

mengisyaratkan bahwa: pertama, teks yang kuat akan lebih kuat dari pada

usaha pengarangnya. Dalam arti bahwa ia sulit ditahan atau malah berubah

menjadi madzhab, dogma, sekte, atau ideologi, kedua teks tidak

membuthuhkan seorang pen-syarah dan pengkaji, sebagaimana segala sesuatu

membutuhkan pada pembacaan secara aktif-produktif dengan membaca segala

yang tidak terbaca sebelumnya. Secara singkat dapat dikatakan bahwa teks

mempunyai kebenaranya sendiri. Artinya teks tidak memuat kebenaran karena

wacana yang hanya berupa teks kebenaran akan berakhir seiring dengan

berakhirnya realitas yang menjadi keberlangsungan kebenaran. Adapun teks

yang mengharuskan dirinya sendiri merupakan teks yang senantiasa

mendorong membaca untuk merujuknya dalam memahami realitas dan

kebenaran. Teks tidak membicarakan kebenaran, tetapi membuka hubungan

denganya.19

19. ibid, hlm. 12

Page 16: BAB III BIOGRAFI DAN PEMIKIRAN ALI HARB A. Biografi …library.walisongo.ac.id/...gdl-s1-2006-nurfatonin-1398-bab3_410-6.pdf · metodologi.6 Teori-teori yang dirumuskannya dari disiplin

50

D. Cara Membaca Teks ke Konteks

Suatu pembacaan tidaklah lepas sdari penyerupaan (tasybih), baik

komentar, tafsir maupun takwil, semuanya berkaitan dengan pembacaan

terhadap alam atau pun terhadap teks; pembacaan atas pembacaan.20 Hal ini

karena ketika seseorang membaca makna benda-benda atau membaca apa

yang ada di dalamnya, ia senantiasa meminjam nama-namanya, dan

menyematkan sifat-sifat padanya. Melalui pembacaan terhadap benda, ia

membaca tubuhnya; lalu menjuluki hasrat-hasratnya, mengabarkan tingkah

lakunya, menyimbolkan perkembangan-perkembangannya, menalar dirinya

dan memperlihatkan kekuatanya. Demikian pembacaan tidak lepas dari

penyerupaan. Penyerupaan merupakan salah satu dari subjek, ia merupakan

pembacaan atas apakah sesungguhnya manusia, dan terhadap bentuk-bentuk

yang tampak darinya.

Seperti pembaca buku alam, orang juga membaca macam-macam

makna dan bentuknya. Begitu pula seorang yang membaca suatu teks, ia

membaca macam-macam makna dan bentuknya. Dia kemudian

mengujicobakan bahasa di dalamnya, menggunakan imajinasinya, dan

memahami pemahamannya.21 Setiap pembaca menampakkan dirinya, dan

berbicara tentang makna, gambar, dan bentuk yang tampak darinya, yakni

ketika dia menguraikan teks dengan komentar dan tafsir, atau dengan kritikan

takwil. Oleh karena itu seorang pembaca ketika membaca sesungguhnya ia

memproduksi bacaannya dengan satu atau lain makna dan diatas satu bentuk

atau lainnya.

Pembacaan harfiyah adalah pembacaan para tekstualis ahl azh-zhzhir,

yaitu orang-orang yang berpegang teguh pada tekstualitas teks, menjauhi tafsir

dan takwil. Para tektualis berpendapat bahwa di dalam teks hanya ada sisi

lahir, dan bahwa lafazh hanya mengandung satu makna. Maka menurut

pendapat ini tampak dengan sendirinya menjelaskan dengan ungkapan yang

20 Ali Harb, Naqd Al-Haqîqah, Beirut, Al- Markaz Ats- Tsaqafi Al-‘Arabi, 1995, hlm. 5 21 Ali Harb, Kritik Kebenaran, Op. cit., hlm. 2

Page 17: BAB III BIOGRAFI DAN PEMIKIRAN ALI HARB A. Biografi …library.walisongo.ac.id/...gdl-s1-2006-nurfatonin-1398-bab3_410-6.pdf · metodologi.6 Teori-teori yang dirumuskannya dari disiplin

51

dibaca atau ditulisnya sendiri, dan tidak membutuhkan komentar atau pun

penjelasan. Pendek kata, menurut pandangan ini teks menjelaskan kehendak,

maknanya jelas ucapannya pasti, dan maksudnya terang.22

Akan tetapi, pembacaan tekstual menimbulkan problem, yakni bahwa

para tekstualis mengemukakan pendapat mereka dan berijtihad menyelidiki

makna secara mendalam dimana mereka menganggap bahwa maknanya telah

dijelaskan (manshûsh ‘alaih) dan tidak perlu deduksi atau proses pemahaman.

Para tekstualis enggan untuk mengungkapkan makna yang dikehendaki, yakni

makna yang telah jelas, dengan ungkapan-ungkapan sendiri mereka

mengklaim bahwa makna tidak memerlukan formulasi (bentuk) selain yang

mengungkapkannya. Mengungkapkan makna yang dikehendaki (al-ma’nâ al

murâd) dengan suatu ungkapan, selain ungkapan pertamanya, sesungguhnya

melampaui kedudukan kata-kata, dan mengubah perkataan dari

kedudukannya, apa pun kedekatan kedua ungkapan tersebut dan apa pun

sasaran dan tujuan, karena kata-kata seperti yang telah ditetapkan para

tekstualis sendiri, sesungguhnya disusun dan diurutkan seperti makna-makna

khusus tanpa lainnya. Jika kata-kata tersebut telah berganti atau berubah

susunannya, maka hal itu tentu mengakibatkan perubahan dalam makna. Yang

pokok (ashl) di dalam bahasa adalah tidak adanya kesamaan, (sinonim, at-

tarâdut). Setiap sinonim yaitu penempatan suatu kata atau ungkapan pada

tempat yang lain, sesungguhnya merupakan penggunaan kalimat yang bukan

semestinya pada pokoknya. Itulah majaz (metafora alegori). Ia adalah

mengeluarkan signifikansi dan mengubah kalimat pada makna yang

dikandungnya. Jadi ia adalah perubahan signifikansi pada perbedaan makna.

Dengan demikian ketika para tekstualis sengaja bahkan memaksa

menformulasikan ulang makna yang dikehendaki, maka mereka mengeluarkan

aspek lahir dari teks untuk kemudian menakwilkan makna tersebut sekaligus

menafikanya. Inilah kebuntuan pembacaan tekstual. Ia kadang menyusun

22. Ibid, hlm. 8

Page 18: BAB III BIOGRAFI DAN PEMIKIRAN ALI HARB A. Biografi …library.walisongo.ac.id/...gdl-s1-2006-nurfatonin-1398-bab3_410-6.pdf · metodologi.6 Teori-teori yang dirumuskannya dari disiplin

52

ulang kata-kata dan memproduksi makna, dan kadang berujung pada diam,

atau cukup dengan mendengarkan teks dan memperhatikan bacaannya.23

Teks hendaknya menjadi wilayah pemikiran atau kajian. Ini berarti

bahwa teks membutuhkan sebuah pembacaan yang mengubah dirinya dari

sekedar kemungkinan menjadi proses pengetahuan yang produktif. Oleh

karena itu, syarat pembacaan dan alasan keberadaannya semestinya berbeda

dengan teks yang dibaca, dan hendaknya pembacaan itu menyingkap apa yang

tidak ada atau belum ditemukan sebelumnya. Adapun model pembacaan yang

menyoal apa yang diucapkan seorang pengarang maka pada dasarnya ia tidak

menjustifikasi asal (as-ashl). Karena asal adalah lebih utama dibanding

dengan pembacaan. Tetapi jika pembacaan itu, secara mendasar mengakui

bahwa dirinya membicarakan apa yang tidak diungkapkan oleh seorang

pengarang, maka dalam hal ini, pembacaan tidak membutuhkan teks dan

bahkan ia menjadi lebih utama dibanding teks.24

Demikian model pembacaan yang menyia-nyiakan teks dan yang

berlawanan dengan model pembacaan yang menyia-nyiakan dirinya sendiri.

Model pembacaan seperti itu sama saja dengan tidak membaca (al-lâqirâ’ah)

atau pembacaan yang mati dan tergolong sia-sia. Adapun pembacaan yang

hidup adalah usaha pembacaan terhadap esensi teks yang berbeda

sebagaimana pada saat yang sama teks tersebut berbeda dengan dirinya

sendiri. Ia adalah pembacaan yang aktif – poduktif terhadap berbagai teks.

Perbedaan bukan berarti aib atau perlawanan, sebaliknya ia merupakan

kemungkinan dan kekuatan, karena itu tidak setiap wacana memberikan

kemungkinan dan kekuatan. Teks yang jelas (an-nashsh al muhkam) memiliki

satu dimensi, yaitu ketunggalan makna imperialisme konsep. Ia merupakan

usaha yang tidak menuntut sebuah pembacaan, tetapi membutuhkan seorang

pembaca yang aktif, yang diajari, dan diberi penjelasan oleh otoritas teks dan

kekosongannya. Namun ia sendiri merupakan wacana yang berbeda dan tidak

23Nasher Hamid Abu Zaid, Menalar Firman Tuhan;Wacana Majas Dalam Al-Quran

menurut Mutazilah, terj. Abdurahman Kasdi, Bandung, Mizan, 2003, hlm 206-208 24 Ali Harb, Herneneutik kebenaran, Op. cit., hlm. 9

Page 19: BAB III BIOGRAFI DAN PEMIKIRAN ALI HARB A. Biografi …library.walisongo.ac.id/...gdl-s1-2006-nurfatonin-1398-bab3_410-6.pdf · metodologi.6 Teori-teori yang dirumuskannya dari disiplin

53

jelas (rancu), yakni wacana yang memiliki persamaan bukti, jaringan makna

dan bertingkat. Teks seperti itu memberikan kemungkinan pembacaan yang

hidup. Teks yang memberikan peluang banyak model-model pembacaan juga

menuntut pada berbagai model pembacaan karena pembacaan bervariasi

sesuai dengan ragam tingkatan dan perbedaan pembacanya.

Menurut Nur Kholik Ridwan, di dalam membaca teks, ada sisi narasi

“tak terbaca” yang itu sebenarnya adalah metafora, sebab yang disebut “tak

terbaca”pun akhirnya juga bisa dibaca. Hanya saja, sebagai metafora “tak

terbaca” dipakai untuk membongkar atau belum banyak dipikirkan untuk

dibaca.

Yang dibaca dalam “narasi tak terbaca” adalah melacak kepentingan

dari sebuah gagasan. Dengan kata lain, membaca apa yang “tak tampak

dipermukaan” dari gagasan. Apa yang tak tampak di permukaan dipandang

sebagai hasil dari kepentingan yang memunculkan gagasan, individu atau

sebuah komunitas, yang “tak tampak dipermukaan” ini justru dipandang

sebagai fakta yang menghasilkan gagasan atau yang menentukan gagasan.

Sebab justru disitulah yang memerankan dan menentukan makna kunci dari

gagasan karena ia adalah kepentingan yang memproduksi gagasan.25 Beragam

pembacaan tersebut diperbolehkan bagi setiap ragam jenis teks. Pembacaan

yang baik bukan berarti pembacaan yang memperbincangkan apa yang

dibahas oleh teks. Melainkan membuka segala yang tidak disentuh dan yang

dilupakan oleh teks. Yakni pembacaan itu tidak menafsirkan maksud yang

diinginkan, tetapi membuka sesuatu yang dihalangi dalam ucapan oleh karena

itu, pembacaan seperti ini tidak memberlakukan teks sebagai wacana yang

jelas dan sejenis, tetapi sebagai sebuah kerancuan, yaitu teks yang beragam

dan semu, yang berbeda dengan dirinya sendiri sebagaimana perbedaan

pembacaan terhadap teks, semisal pembacaan Ibnu Arabi terhadap teks

nabawî, dan pengumpulannya dengan teks tersebut. Setiap pernyataan

mengklaim bahwa dirinya menceritakan segala yang terkandung dalam teks,

25.Nur Khalik Ridwan, Agama Borjuis, Kritik atas Nalar Islam Murni, Yogyakarta, Ar Ruzz, 2004, hlm. 36

Page 20: BAB III BIOGRAFI DAN PEMIKIRAN ALI HARB A. Biografi …library.walisongo.ac.id/...gdl-s1-2006-nurfatonin-1398-bab3_410-6.pdf · metodologi.6 Teori-teori yang dirumuskannya dari disiplin

54

dan bukan menceritakan yang lain, atau bahwa ia adalah pernyataan yang

menipu, yang membicarakan teks dengan penuturan yang berbeda, kemudian

mengaku bahwa dirinya sesuai dengan teks, seperti wacana teologi yang

memberlakukan perbedaanya dengan asal, tetapi tetap menggunakan nama

asal dan juga tetap dalam satu bendera.

Ini adalah persoalan teks yang urgen dan atsar yang agung. Semua

menuntut pada pembacaan produktif yang melampaui segala apa yang tertulis

dalam teks. Ini pernah dilakukaan oleh Michel Foucault ketika melihat bentuk

lain dari nalar Descartes, dengan berpijak pada bagaimana wacana nalar

(rasio) menyembunyikan hubungaan antara rasionalitas (al-‘aql) dan

irasionalitas (al-lâ’aql) yaitu menyembunyikan kerasionalitasanya. Begitu

juga Althuser yang membaca teks “kapitalisme”. Ia berusaha melepaskan diri

dari ideologi Mark dengan melakukan penafsiran dan pembaacaan baru. Oleh

karena itu, ia kemudian menyuguhkan teks baru yang berbeda dengan

Marxisme. Pembacaan itu memberikaan keurgensan dan kebenaranya, yaitu

keberadaan pembacaan itu sendiri telah mewujudkan teks yang berbeda

dengan Marx dan juga model pembacaan lain yang tunduk pada teks tersebut.

Demikian pula pembacaan J. Lacoun terhadap Freud, ia sukses membuka

pemikiran Freud dengan metode yang baru yaitu, menghubugkan antara

ketidaksadaran (al-lâwa’yu) dan bahasa (al-lughah) artinya, J. Lacoun

menelusuri akal bawah sadar (al-aql al- bâthin) dengan pembacaan yang

diciptakanya, seolah-olah seperti pembicaraan, wacana, atau teks yang

memiliki struktur gramatika dan eksistensi simbolik. Dalam model pembacaan

seperti ini, apa yang ditampilkan kritik teks adalah seperti data pengetahuan

yang menyuguhkan berbagai instrumen dari dalam mengeksplorasi dan

meneliti.26 Akhirnya, Jacques Derida yang melakukan hal yang sama. Ia

memberlakukan teks dengan membaca dan mendekonstruksinya, ia tidak

mementingkan pernyataan yang ditulis dan diucapkan, seperti pandanganya

26 Ali Harb, Op. cit., hlm. 22-23.

Page 21: BAB III BIOGRAFI DAN PEMIKIRAN ALI HARB A. Biografi …library.walisongo.ac.id/...gdl-s1-2006-nurfatonin-1398-bab3_410-6.pdf · metodologi.6 Teori-teori yang dirumuskannya dari disiplin

55

teerhadap catatan pinggir, tetapi ia memperhatikan penipuan dan

pengelabuhan suatu peryataan.

Suatu teks memiliki berbagai gradasi, beragam aspek aneka

pertentangan, kekaburan, celah dan lubang, bahkan juga memiliki realitas

maya dan ruang kosong.27 Karenanya sebuah teks di baca dengan

membahasnya menurut perbedaan aspek-aspek linguistik, atau membuka

kemungkinan-kemunkinan semantisnya, atau menggunkap struktur

maknanya, atau ekspansi bidang garapanya. Berdasarkaan pertimbangan di

atas, sebuah teks mungkin untuk di teliti dan dibaca, atau dianggap sebagai

wacana yang bergerak tanpa titik akhir, atau paparan yang tidak mungkin

untuk dihentikan. Pembacaan sebagai bentuk perlakuan terhadap teks dapat

dianggap sebagai ruang yang terbuka, dimana didalamnya dapat diselidiki

kemungkinaan-kemungkinan rasionalnya, sehingga penelitian terhadap

kekuatan intepretasinya sebagai kekuatan yang mencerahkan menjadi

keniscayaan.28

Pembacaan teks dengan modal ini tersusun berdasarkan dua hal, yaitu

pertama, menghindaari aktivitas analisis-analisis yang merupakan kerja

pemikiran. Aktivitas analisis-analisis tersebut menyangkut beberapa madzhab,

sistem dan orientasi, baik bersifat ideologis, saintifik atau metodologis.

Pengaruh pemikiran itu lebih luas dan lebih kaya dari pembatasnya dengan

orientasi yang pasti, jelas dan tetap, atau menentukannya dengan sistematika,

yang kaku, atau memasukan bentuk-bentuknya. Untuk itu tujuan rekonstruksi

teks berarti mereduksinya, bahkan pada setiap rekonstruksi akhir itu identik

dengan karakter normatif–dogmatis atau rasional. Kedua setiap pembacaan

yang efektif tidak mungkin akan menghasilkan, sesuatu, kecuali jika teks yang

akan dibaca itu berbeda, itu berarti bahwa sebuah pembacaan tidak akan

membuang prinsip dasar yang dimaksud oleh si penulis teks, akan tetapi

merupakan pembicaraan teks yang memungkinkan hadirnya kemungkinan

makna lain yang sama sekali berbeda. Sebuah pembacaan mendasarkan diri

27 Ali Harb, Relavitas Kebenaran Agama, Op.cit., hlm. 16 28 Ibid., hlm.17

Page 22: BAB III BIOGRAFI DAN PEMIKIRAN ALI HARB A. Biografi …library.walisongo.ac.id/...gdl-s1-2006-nurfatonin-1398-bab3_410-6.pdf · metodologi.6 Teori-teori yang dirumuskannya dari disiplin

56

pada sumber teks, menganalisisnya dan menggungkapkanya dengan tujuan

untuk menafsirkanya dan merekonstruksi bangunan teorinya atau malah

memetakannya. Hal itu dapat diwujudkan dengan pemikiran yang berdasarkan

teks tersebut, serta dengan metode yang sama sekali lain dengan metode yang

dipergunakan penulisnya. Sebuah teks–berdasarkan teori ini memiliki sifat

plural, serta mengandung banyak perbedaan sekaligus kemiripan dan

keserupaan. Sebuah pembacaan yang baik bukanlah yang sesuai dengan teks,

melainkan berbeda dengannya, karena itu, sebuah teks yang terbuka

mendorong kemampuan berpikir karena, ia tidak memungkinkan untuk dibaca

dan tafsirkan. Ia hanyalah sebuah teks yang dibaca dan didegarkan serta tidak

bermakna apa-apa.29

Cara pemerlakuan teks seperti ini menyebabkan kedudukan madzhab

dan metodologi yang dijelaskan oleh penulis teks menjadi tidak banyak

berguna termasuk pada saat penulis bercerita tentang dirinya sendiri seperti,

apakah dirinya seorang rasionalis atau tidak, materialis dan idealis, marxis

atau liberalis, fundamentalis atau bukan fundamentalis. Yang paling penting

adalah aspek yang berbeda dibalik wacana dan tidak dinyatakan yang

mencakup sesuatu yang dijalani dan ditutup-tutupi, atau sesuatu yang tidak

terucap atau bahkan dilarang untuk diucapkan. Secara global, sebuah teks

berdasarkan apa yang di lihat dan di baca – yang menolak pembatasan dan

penelitian secara menghindari penyempitan dan reduksi setiap dibaca,

senantiasa memancing timbulnya pernyataan dan perdebatan serta melahirkan

kandungan makna yang kaya akan kemungkinan-kemungkinan untuk

ditawarkan, atau makna tersembunyi yang hampir menghilang dan dilupakan.

Dari sini dapat disimpulkan bahwa sebuah teks dianggap terbuka sesuai

dengan perbedaan dan keberagaman pembacanya.

29 Ibid., hlm. 18