bab ii tinjauan pustaka - repository.ipb.ac.id · tiga pilar penting dalam peningkatan populasi...
TRANSCRIPT
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kerbau Air
Kerbau Asia atau kerbau air termasuk dalam genus Bubalus dan spesies
bubalis. Bubalus bubalis merupakan kelas Mamalia, subkelas Ungulata, ordo
Artiodactyla, subordo Ruminantia, famili Bovidae, subfamili Bovinae, yang
termasuk dalam grup ini ialah Bovina (sapi), Bubalina (kerbau air/kerbau asia),
dan Syncerina. Bubalina yang ada di Indonesia di antaranya Bubalus
depressicornis atau Anoa- satwa endemik Sulawesi dan Bubalus bubalis yang
merupakan domestikasi dari Bubalis arnee, kerbau liar India ( Borghese & Mazzi
2005).
Bubalus arnee ialah nenek moyang kerbau air atau kerbau asia. Status
Bubalus arnee tergolong sebagai satwa yang Endangered di alam (IUCN 2008).
Oleh karena itu, upaya konservasi terhadap kerbau liar ini terus dilakukan di
beberapa kawasan habitat aslinya seperti daerah India, Sri Lanka, Nepal, Vietnam.
Status endangered ini menyebabkan penelitian terhadap Bubalus arnee menjadi
jarang. Bubalus arnee tetap dipertahankan eksistensinya sebagai plasma nutfah.
Namun kerbau air yang telah didomestikasi ini terus diteliti dan dikembangkan
populasinya sebagai sumber pangan asal hewan.
Gambar 1 Kerbau lumpur (Trubusonline 2008)
4
Bubalus bubalis (Gambar 1) secara garis besar terbagi menjadi dua
subspesies yaitu kerbau sungai dan kerbau lumpur. Kerbau sungai memiliki
kebiasaan berenang dan berendam di sungai yang mengalir, sedangkan kerbau
lumpur memiliki kebiasaan berkubang di lumpur. Perbedaan nyata dari kedua
kerbau ini terletak pada struktur kromosom dan karakteristik tubuh. Kromosom
kerbau sungai berjumlah 50, sedangkan kerbau lumpur 48 (AGRIS 2011).
Kerbau sungai berkulit hitam atau abu-abu agak gelap dengan tanduk melingkar
atau lurus memanjang ke belakang. Kerbau ini merupakan kerbau tipe perah. Ciri-
ciri kerbau lumpur ialah berwarna keabu-abuan, leher terkulai dan memiliki
tanduk besar yang mengarah ke belakang. Kerbau lumpur juga biasa digunakan
sebagai penghasil daging. Tujuh puluh persen populasi kerbau dunia tergolong
kerbau sungai (APCHA 2000). Namun, fenomena di Indonesia berbeda, 95%
populasinya merupakan kerbau lumpur (Alfiyati & Fauziah 2010).
2.2 Perkembangan Kerbau di Indonesia
Sejak 5 000 tahun lalu, Bubalus arnee telah didomestikasi menjadi Bubalus
bubalis dikembangkan sebagai hewan ternak untuk dipanen produksi daging, susu
dan kulitnya (Borghese & Mazzi 2005). Bubalus bubalis ini telah menyebar di
seluruh dunia meliputi kawasan dari Afrika, Asia (China, India), Eropa (Italia,
Bulgaria), Australia, Amerika Latin. FAO (2011) menyatakan jumlah populasi
kerbau kini mencapai 194 167 765 ekor. Indonesia sendiri memiliki populasi
kerbau sebanyak 2 005 000 ekor hingga tahun 2010 (BPS 2011). Sembilan puluh
lima persen populasi kerbau di Indonesia merupakan subspesies kerbau lumpur.
Sebanyak 5% populasi sisanya merupakan kerbau sungai seperti kerbau Murrah di
Medan, kerbau Tedong Bonga di Toraja, Kerbau Kalang di Kalimantan Selatan,
kerbau Binangan di Tapanuli Selatan dan Kerbau Moa di Maluku, disamping itu
ada kerbau liar di Taman Nasional Baluran (Alfiaty & Fauziah 2010).
Jumlah populasi kerbau di Indonesia mengalami pasang surut. Puncak
populasi terjadi pada tahun 1999. Namun, jumlahnya terus menurun hingga tahun
2007. Sejak tahun 2008 jumlahnya terus meningkat hingga tahun 2011. Hal ini
menunjukkan bahwa kerbau masih menjadi salah satu potensi ternak yang
menjanjikan sebagai bahan pangan asal hewan ruminansia besar selain sapi.
5
2.3 Pemanfaatan Ternak Kerbau
Kerbau memiliki nilai ekonomis dan tradisi bagi masyarakat Indonesia.
Nilai ekonomis dinilai dari produk daging, susu, kulit dan nilai tenaganya. Daging
kerbau memiliki kandungan lemak jenuh yang lebih rendah daripada daging sapi
dan babi. Selain itu, susunya mengandung bahan kering (protein, lemak, mineral)
sebesar 18-23%, dibandingkan pada susu sapi yang hanya sebesar 13-16%
(APCHA 2000). Hal ini menjadi keuntungan dalam pembuatan produk olahan
susu seperti keju dengan menggunakan susu kerbau. Tenaga kerbau dimanfaatkan
bagi petani tradisional untuk membajak sawah. Kerbau memiliki kemampuan
konversi pakan yang baik dibanding sapi (Zakaria et al. 2003). Kerbau mampu
mendigesti bahan bahan rendah kualitas seperti jerami, limbah tebu, limbah
jagung. Hal inilah yang menjadikan kerbau sebagai pilihan hewan peliharaan bagi
peternak kecil, sehingga mereka bisa mengoptimalisasi hasil bumi sebagai pakan
ternak dengan hasil konversi pakan yang baik.
2.4 Populasi Kerbau di Kabupaten Bogor
Data Dinas Peternakan Bogor (2007) menunjukkan bahwa jumlah populasi
kerbau hingga tahun 2007 sebanyak 16 662 ekor yang tersebar di hampir seluruh
Kecamatan kecuali Gunung Putri. Populasi kerbau terbanyak terdapat di
Kecamatan Sukajaya sebanyak 2 566 ekor. Populasi kerbau terendah terdapat di
Kecamatan Cibinong 9 ekor. Sampel penelitian berasal dari Kecamatan Tenjolaya.
Data terkini terkait populasi di kawasan Tenjolaya yaitu data tahun 2007
sebanyak 155 ekor. Kerbau di kawasan Bogor umumnya berasal dari Lebak
Banten dan dari peternakan lokal di kawasan tersebut. Namun, jumlah dan asal
kerbau di kawasan ini belum dipelajari secara seksama.
2.5 Permasalahan Ternak Kerbau
Permasalahan yang dihadapi terkait ternak kerbau ialah pembibitan kerbau
hanya dilakukan dalam skala kecil. Hal tersebut menyebabkan perhatian
masyarakat, ilmuan dan pemerintah terhadap ternak kerbau tidak sebesar terhadap
sapi. Bahkan salah satu dari 21 program utama Departemen Pertanian terkait
dengan upaya mewujudkan ketahanan pangan hewani asal ternak berbasis
6
sumberdaya domestik ialah Program Swasembada Daging Sapi Tahun 2014
(PSDS-2014) (DITJENNAK 2010). Hal ini bisa menjadi ancaman bagi ternak
kerbau. Penelitian dan upaya pembibitan akan terkonsentrasi ke sapi. Padahal
kerbau memeliki prospek sebagai pangan sumber protein hewani.
Aspek penelitian mengenai kesehatan sebagai bagian dari promosi
peningkatan populasi kerbau masih jarang dilakukan. Menurut APCHA (2000),
tiga pilar penting dalam peningkatan populasi kerbau ialah reproduksi,
manajemen dan pakan, dan kontrol penyakit. Oleh karena itu penelitian terkait
penyakit juga perlu dilakukan.
2.6 Protozoa
Parasit didefinisikan sebagai organisme yang memanfaatkan nutrisi dari
individu lain, secara normal parasit menimbulkan kerusakan bagi tubuh induk
semangnya (Ballweber 2001). Namun, parasit tidak akan menyebabkan kematian
segera dari induk semangnya. Sejumlah parasit yang menyerang induk semang
menyebabkan induk semang tersebut terinfeksi dan menjadi sumber penyebaran
parasit. Jumlah tertentu pada parasit akan menyebabkan terjadinya penyakit
(Begon et al.2006).
Parasit intraseluler darah disebut juga blood borne disease. Selain
berperantara darah, parasit ini berperantara serangga. Peranan serangga seperti
caplak dan lalat ialah mentransmisikan parasit ini dari satu induk semang yang
terinfeksi ke induk semang lain yang bebas. Oleh karena itu penyakit yang
disebabkan oleh parasit intraseluler darah ini juga tergolong sebagai arthropode
borne disease.
Subfilum Apicomplexa (Sporozoa) merupakan parasit obligat intraseluler
yang menyebabkan penyakit dengan cara menghancurkan sel inang. Kelompok
Apicomplexa yang memiliki kepentingan tinggi dalam dunia kesehatan hewan
ialah Coccidians dan Hemosporidian (Amstrong et al. 2001). Kelompok
Coccidians berkembang di sel epitel usus yang menyebabkan coccidiosis enteritis.
Kelompok Hemosporidian berkembang di intraseluler darah dan menyebabkan
anemia hemolitik.
7
2.6.1 Babesia
Filum :Sporozoa (Apicomplexa)
Kelas : Sporozoea
Subkelas : Coccidia
Superordo : Eucoccidea
Ordo : Haemosporidia
Subordo : Aconoidina
Family : Piroplasmidae
Genus : Babesia
Babesia spp merupakan parasit apicomplexa yang hidup di intraseluler
darah. Agen ini berbentuk apple-seedlike, seperti biji apel (Gambar 2). Agen ini
menjadi parasit pada berbagai macam hewan domestik. Hewan yang umumnya
terserang ialah ruminansia besar, ruminansia kecil, anjing dan satwa liar. Inang
antaranya ialah caplak keras yang tergolong pada famili Ixodidae seperti
Rhipicephalus microplus, R. annulataus, R. decoloratus. R. geigyi dan R. evertsi
(Bock et al. 2004, Uilenberg 2006). Babesia dapat bertransmisi dari satu generasi
caplak ke generasi lainnya, sehingga caplak dari stadium larva, nimfa dan dewasa
berpotensi sebagai inang antara.
Babesia melakukan reproduksi secara aseksual dan seksual (Gambar 3).
Reproduksi aseksual dilakukan di dalam tubuh induk semangnya di dalam sel
darah merah. Sporozoit (fase infektif ke induk semang vertebrata) masuk melalui
saliva caplak yang menggigit hewan vertebrata. Sporozoit akan masuk ke dalam
sel darah merah melalui penetrasi mekanis. Di dalam sel darah merah sporozoit
akan menjadi trophozoit yang mengalami pembelahan biner menjadi dua atau
empat individu merozoit. Pembelahan aseksual tersebut menyebabkan desakan
mekanis sehingga terjadi ruptur sel darah merah. Merozoit yang keluar bersama
dengan rupturnya sel darah merah akan mencari sel darah merah baru dan
mempenetrasinya (Homer et al. 2000). Sebagian merozoit mengalami perubahan
menjadi fase gametosit. Fase inilah yang akan berperan dalam reproduksi seksual.
Gambar 2 Infeksi Babesia bovis dalam sel
darah merah sapi (Kaufmann 1996)
8
Gambar 3 Siklus Hidup Babesia (Bock et al. 2004).
Reproduksi seksual akan terjadi pada tubuh caplak Ixoididae (Gambar 3).
Caplak yang menghisap darah hewan vertebrata yang terinfeksi dengan Babesia,
secara tidak sengaja akan menghisap pula sel darah merah yang mengandung fase
gametosit. Fase gametosit ini akan menghasilkan mikrogamet dan makrogamet
yang akan berfusi menjadi zigot. Fusi mikrogamet dan makrogamet menjadi zigot
inilah yang disebut dengan fase seksual (Uilenberg 2006). Beberapa penulis
menyebut mikrogamet dan makrogamet sebagai Ray Bodies (Hommer et al.
2000). Namun keduanya memiliki arti yang sama. Zigot selanjutnya berkembang
menjadi ookinet atau pada beberapa buku disebut sebagai vermiculus (Uilenberg
2006).
9
Ookinet akan masuk ke dalam epitel usus dan beberapa organ untuk
mencapai hemolimfe. Ookinet pada Babesia berukuran besar seperti B. divergens
dan B. canis memiliki kemampuan untuk bereplikasi. Ookinet juga mampu masuk
ke dalam ovarium pada caplak betina. Hal ini menyebabkan larva yang dihasilkan
akan positif terinfeksi ookinet Babesia. Transmisi infeksi ini disebut dengan
transmisi transovarial. Ketika larva berkembang menjadi nymfa atau dewasa,
secara otomatis di setiap stadium tersebut caplak mengalami infeksi Babesia.
Transmisi infeksi ini yang disebut sebagai transmisi transtadial (Homer et al.
2000).
Ookinet mengalami fase sporogoni ketika masuk ke kelenjar saliva dari
caplak atau larva atau nymfa. Parasit akan mengekspansi sel, menyebabkan
hipertrofi sel kelenjar saliva dan mengalami perkembangan menjadi sel
multinukleat sporoblast. Satu sporoblast yang matang akan menjadi 5 000 sampai
dengan 10 000 sporozoit. Sporozoit inilah yang akan masuk ke dalam tubuh
hewan vertebrata bersamaan dengan gigitan caplak.
Spesies yang menyerang ruminansia besar seperti sapi dan kerbau yang
pernah dilaporkan di anataranya Babesia bigemina, Babesia bovis dan Babesia
divergens. Di China juga dilaporkan spesies Babesia orientalis menyerang
populasi kerbau air. Babesia ovis, Babesia motasi, dan Babesia crassa
dilaporkan pula menyerang ruminansia kecil seperti domba dan kambing. Spesies
lain yang dilaporkan di antaranya Babesia canis (pada anjing), Babesia
trautmanni, Babesia perroncitoi (pada babi), Babesia felis (kucing), Babesia equi
(kuda) (Uilenberg 2006). Spesies yang menyerang hewan liar juga telah berhasil
diindetifikasi secara genetik dan merupakan spesies tersendiri di antaranya
Babesia leo, Babesia panthera, Babesia cattus, Babesia civettae dan masih
banyak beberapa jenis lainnya. Beberapa spesies yang menyerang hewan
domestik juga dilaporkan mampu menyerang hewan liar (Penzhorn 2006).
Babesia menjadi terkenal ketika Babesia bigemina menyerang sapi dan
menyebabkan piroplasmosis (Texas fever), suatu penyakit yang dicirikan dengan
fase akut yang menimbulkan deman hingga 42oC, hemoglobinuria, anemia,
ikterus dan splenomegali (Kaufmann 1996). Infeksi Babesia ini menunjukkan
manifestasi klinis yang mampu memicu terjadinya kematian ternak. Patogenesis
10
serangan akut secara umum ialah terjadinya destruksi sel darah merah yang
menyebabkan anemia hemolitik, PCV turun hingga 20%, hemoglobinuria,
hemoglobinuria, ikterus, splenomegali, hingga kematian dalam beberapa hari
(Urquhart et al. 2003).
Gejala klinis infeksi ini sudah jarang ditemukan pada kasus babesiosis. Kini
babesiosis yang menyerang hewan sifatnya lebih subklinis, kronis bahkan
beberapa menyebutkan sebagai endemically stable. Hampir seluruh individu
terserang dalam tingkat parasitemia yang rendah dan minim sekali gejala klinis
(Uilenberg 2006). Bahkan ada indikasi bahwa kekebalan pasif ke anak sudah
mulai terbentuk. Hal yang pasti ialah Babesia masih menyerang hewan domestik
maupun liar, dan memiliki potensi sebagai parasit yang merugikan kesehatan
ternak dalam segi produktifitas dan performa.
2.6.2 Theileria
Filum : Sporozoa (Apicomplexa)
Kelas : Sporozoea
Subkelas : Coccidia
Superordo : Eucoccidea
Ordo : Haemosporidia
Subordo : Aconoidina
Famili : Piroplasmidae
Genus : Theileria
Genus Theleria merupakan penyebab penyakit Theleriosis. Kasus yang
terkenal ialah East Coast fever di Afrika Timur dan Afrika Tengah. Penyakit
tersebut menyerang sapi-sapi di Afrika dan menyebabkan morbiditas dan
mortalitas yang tinggi (Kaufmann 1996). Salah satu siklus hidup protozoa ini
berada dalam sel darah merah dan limfosit (Gambar 4). Penyebarannya dilakukan
dengan perantara inang antara Riphicephalus, Haemaphysalis, Amblyomma dan
Hyalomma, anggota keluarga Ixodidae (Urquhart et al. 2003).
Siklus hidupnya hampir mirip dengan Babesia yaitu mengalami fase seksual
dan aseksual. Sporozoit ditransmisikan dari saliva famili Ixodidae yang menggigit
hewan. Namun, tidak seperti pada sporozoit Babesia yang menyerang sel darah
merah, pada Theleria sporozoit menyerang limfosit dan berkembang menjadi
Gambar 4 Limfoblast sapi yang
mengandung intrasitoplasmik Theileria
parva (Kaufmann 1996).
11
makroschizont. Di dalam limfosit makroschizont mengalami proses pembelahan
menjadi mikromerozoit yang kemudian dilepaskan dari limfosit. Mikromerozoit
inilah yang masuk ke dalam sel darah merah dan akan berperan dalam
perkembangan seksual di tubuh caplak seperti perkembangan Babesia (Souslby
1982).
Perkembangan seksual terjadi dalam usus caplak (Gambar 5).
Mikromerozoit di dalam usus caplak berdiferensiasi menjadi gamet jantan dan
gamet betina yang berfusi menjadi zigot. Zigot akan masuk ke dalam epitel usus
menjadi kinete. Kinete masuk ke dalam sel kelenjar saliva dan mengalami
perubahan menjadi sporoblast. Satu sporoblast ini akan menghasilkan 30 000
sampai dengan 50 000 sporozoit yang siap menginfeksi mamalia domestik melalui
gigitan caplak yang terinfeksi (Urquhart et al. 2003).
Gambar 5 Siklus Hidup Theileria (Kaufmman 1996)
Kinete dari Theleria tidak ditransmisikan ke ovarium caplak dewasa. Oleh
karena itu transmisi yang terjadi di tubuh caplak hanya transmisi transtadial.
Perbedaan dengan Babesia juga terletak pada tipe infeksinya di sel darah merah.
Perbedaan siklus hidup ini menyebabkan patogenesisnya berbeda dengan Babesia.
Satu minggu setelah infeksi limfosit akan diproduksi oleh sel limfosit baru. Oleh
karena itu kerja kelenjar pertahanan menjadi berat dan terjadi pembengkakan
kelenjar pertahanan. Namun, sporozoit yang termakan oleh limfosit harus
mengalami pembelahan aseksual. Materi organik dan genetik dari limfosit
dimanfaatkan oleh sporozoit . Oleh karena itu terjadi lymfolisis besar-besaran.
12
Selain itu limfosit yang terinfeksi ini dianggap sebagai benda asing oleh makrofag
maka dilakukan mekanisme penghancuran sel. Hal ini terjadi tiga minggu paska
infeksi. Produksi sel darah putih juga menurun maka terjadi leukopeni. Efek yang
terjadi lebih ke arah imunosupresi. Jarang dilaporkan terjadi anemia hemolitik
pada kasus Theileriosis, sebab di sel darah merah Theileria tidak mengalami
pembelahan, Theileria akan hidup beberapa waktu hingga sel darah merah
mengalami kerusakan dan pergantian sel yang baru atau memang terbawa oleh
caplak untuk perkembangan seksual (Kaufmann 1996).
Theileria buffelli, Theileria bicornis merupakan spesies yang dilaporkan
menginfeksi kerbau Afrika. Berdasarkan penelitian di kawasan Nyala Afrika
Selatan, keduanya menginfeksi 80% lebih populasi di kawasan tersebut. Namun
infeksi ini tidak menunjukkan adanya tanda klinis yang signifikan (Pfitzer et al.
2011). Walaupun demikian, dua spesies tersebut tergolong patogen bagi domba
di kawasan Asia Timur. Theleria parva merupakan spesies yang patogen bagi sapi
domestik. Namun, di Uganda Afrika dilaporkan bahwa Theleria parva menyerang
Cape Buffalo (Syncerus caffer) tanpa menunjukkan gejala klinis. Temuan tersebut
juga menunjukkan bahwa kerbau yang terinfeksi Theleria parva secara subklinis
bisa menjadi sumber infeksi bagi sapi domestik (Oura et al. 2011). Hal ini
menunjukkan bahwa kasus Piroplasmosis kini tidak selamanya menyebabkan
gejala klinis hingga kematian. Patogenitasnya bergantung terhadap spesies, umur,
imunitas, kondisi stress hewan, dan virulensi agen tersebut (Uilenberg 2006).
2.7 Rickettssiales
Berdasarkan klasifikasi Gieszczkiewicz (1939) dalam Soulsby (1982) ordo
Ricketsialles dulu tergolong dalam Protozoa, filum Chiliophora. Sejak tahun
1957, Anaplasma diklasifikasikan dalam dalam filum Proteobacteria, ordo
Ricketsiales (Rajput et al. 2005, Rymaszewska & Grenda 2008). Filum
Proteobacteria didominasi oleh bakteri Gram negatif. Klasifikasi filum ini
berdasarkan homologi dari jumlah sekuens nukleotida dari 16S ribosomal RNA
atau berdasarkan hibridisasi dari ribosomal RNA atau DNA dengan 16S dan 23S
ribosomal RNA (Bowman 2011).
13
Organisme dalam ordo Rickettsiales memiliki ukuran 0.3 - 0.5 pm, non
motil, pleomorfik, didominasi bakteri Gram negatif dan bereplikasi di dalam sel
induk semang (intraseluler obligat) (Quinn et al. 2008). Ordo Rickettsiales
umumnya berperantara vektor serangga dalam transmisinya. Selain itu, tropisme
agen ini berdasarkan induk semang, jenis sel dan penyebaran wilayah geografis.
Rickettsiales terdiri atas dua famili yaitu Rickettsiacea dan
Anaplasmataceae (Quinn & Markey 2003). Famili Rickettsiaceae dikenal sebagai
rickettsiae, targetnya di makrofag, leukosit dan sel endotelial. Dinding sel famili
Ricketsiaceae mengandung peptidoglikan (Quinn et al. 2008). Anggota famili ini
juga mampu dikultur pada sel spesifik atau pada telur fertil. Karekteristik famili
Anaplasmataceae berbeda dengan Ricketsiaceae. Anaplasmataceae tidak memiliki
dinding sel tetapi memiliki membran sel. Selama ini Anaplasmataceae belum
pernah dilaporkan berhasil dikultur secara in vitro. Sel target utama famili ini
adalah eritrosit (Quinn et al. 2008).
Genus yang merupakan anggota famili Ricketsiaceae adalah Cowdiria,
Ricketsia, Neorickettsia, Elichia, dan Coxiella (Quinn & Markey 2003). Coxiella
burnetti merupakan agen patogen penyebab Q fever pada manusia dan sporadik
aborsi pada ruminansia. Ehrlichia rumeminantium menyerang ruminansia dan
menyebabkan penyakit yang dikenal sebagai hearthwater. Neorickettsia ristiicii
dikenal menyebabkan potomac horse fever, sedangkan Rickettsia rickettsii
menyerang manusia dan anjing serta menyebabkan Rocky Mountain spotted fever
(Quinn et al. 2008).
Anggota Anaplasmatacea di antaranya Aegyptianella, Anaplasma,
Eperythozoon, dan Haemobartonella. Serupa dengan famili Ricketsiae, peranan
Anaplasmataceae dalam menyebabkan penyakit pada hewan cukup besar.
Aegyptianella pullorum memiliki kepentingan dalam penyakit Aegyptianellosis
pada unggas. Anaplasma marginale, A. ovis, A. phagocytophila, A. bovis, A.
platys juga menyebabkan Anaplasmosis pada hewan domestik, liar bahkan
manusia. Eperythozoon menyebabkan Eperythrozoonosis dan Haemobartonella
menyebabkan Haemobartonellosis.
Hampir semua anggota dari Rickettsiaceae sangat bergantung terhadap
vektor serangga dalam transmisi. Oleh karena itu penyakit-penyakit akibat agen
14
Rickettsiae disebut sebagai arthropode borne disease. Mikroorganisme ini
hidupnya mayoritas di dalam sel hidup induk semang, sehingga disebut
Rickettsiaceae tergolong sebagai mikroorganisme intraseluler obligat (Bowman
2011).
2.7.1 Anaplasma
Anaplasma merupakan kelompok bakteri yang menyerang sel darah hewan
domestik. Sel darah yang diserang beragam, yaitu eritrosit, monosit, sel
granulosit dan trombosit (Foley & Bieberstein 2004). Berdasarkan klasifikasi
Gieszczkiewicz (1939) dalam Souslby (1982) Anaplasma masih tergolong dalam
protozoa, filum Chiliophora, ordo Ricketsiales famili Ricketsiaceae. Namun,
berdasarkan taksonomi terbaru yang terdaftar dalam Genbank, Anaplasma kini
merupakan anggota dari filum Proteobakteria, kelas Alphaproteobacteria, ordo
Rickettsiales, dan famili Anaplasmataceae (Rymaszewska & Grenda 2008).
Anaplasma merupakan parasit obligat intraseluler, bakteri Gram- negatif
dan hidup di dalam sel darah mamalia (Rymaszewska & Grenda 2008). Induk
semangnya ialah sapi, kerbau, kambing, domba, anjing, kuda bahkan manusia.
Sedangkan yang berperan sebagai inang antara dalam penyebaran bakteri ini ialah
caplak dari famili Ixodidae dan Amblyommidae. Tabel 1 akan menjelaskan
mengenai jenis Anaplasma.
Tabel 1 Jenis Anaplasma yang ada di dunia
Agen Penyebab Penyakit Inang antara Induk semang
Sel yang
diinfeksi
Anaplasma bovis Bovine anaplasmosis Haemaphysalis sp Rhipichepalus sp Amblyoma sp
Ruminansia domestik, ruminansia kecil
Monosit
Anplasma ovis Ovine anaplasmosis Dermatocentor sp Ruminansia kecil Eritrosit
Anaplasma marginale
Bovine anaplasmosis
Ixodes sp
Dermatocentor sp Boophilus microplus Tabanus bovis (Hornok et al. 2008)
Ruminansia domestik Eritrosit
Anaplasma centrale Bovine anaplasmosis Ixodes sp Dermatocentor sp
Ruminansia domestik Eritrosit
Anaplasma phagotophilum
Granulotic anaplasmosis
Ixodes sp Dermatocentor sp
Ruminansia kecil, ruminansia domestik, ruminansia liar, anjing, kuda, manusia
Granulosit
Canine cyclic thrombocytopenia
Riphicepalus sanguensis
Anjing Platelet
Sumber: Rymaszewska & Grenda 2008 dengan beberapa penambahan
15
Seluruh stadium perkembangan caplak memiliki potensi untuk menyebarkan
agen Anaplasma. Infeksi pada induk semang terjadi akibat gigitan caplak yang
sebelumnya telah menggigit induk semang yang positif Anaplasmosis.
Penyebaran akan cepat terjadi pada suatu kawasan yang menejemennya
mencampurkan hewan yang positif anaplasmosis dan memiliki infestasi caplak
bersamaan dengan hewan sehat lainnya. Anaplasmosis juga diaporkan mampu
menyebar melalui kontaminasi silang peralatan pada prosedur dehorning, kastrasi,
vasksinasi dan koleksi sampel darah (Kocan et al. 2010).
Theileria, Babesia dan Anaplasma merupakan parasit intraseluler darah
yang berperantara caplak. Hal yang membedakan Anaplasma dengan Theileria
dan Babesia ialah transmisi juga bisa disebabkan oleh gigitan lalat. Lalat
penghisap darah dari famili Tabanidae dilaporkan mampu menjadi inang antara
mekanik dari Anaplasma marginale di kawasan Eropa tengah- timur (Hornok et
al. 2008).
Infeksi pada mamalia terdiri atas empat stadium yaitu inkubasi,
perkembangan, penyembuhan dan karier. Stadium inkubasi berlangsung pada saat
awal infeksi ketika Anaplasma menyerang sel darah hingga 1% dari sel darah
terinfeksi (Kocan et al. 2010). Lamanya stadium inkubasi bergantung atas jenis
Anaplasma yang menyerang dan jumlah Anaplasma. Pada stadium ini hewan
tidak menunjukkan gejala klinis. Tanda patologi klinik yang tampak ialah PCV
konstan, dan terjadi produksi sel darah merah bersamaan dengan lisisnya sel darah
merah akibat perkembangbiakan Anaplasma (Kocan et al. 2010).
Stadium perkembangan akan menunjukkan gejala klinis pada hewan
mamalia yang terinfeksi. Temuan patologi klinis yang muncul yaitu menurunnya
jumlah sel darah merah, PCV dan hemoglobin serta meningkatnya level
parasitemia dan jumlah sel darah merah yang rusak. Ketika anemia semakin
parah, hewan bisa mengalami gejala klinis berupa ikterus, kehilangan berat badan,
dehidrasi konstipasi dan peningkatan aktifitas respirasi. Infeksi akut ini juga bisa
menimbulkan aktifitas yang agresif, aborsi pada hewan bunting hingga kematian
akibat hipoksia. Stadium perkembangan dan inkubassi merupakan stadium yang
tepat untuk terapi obat dan penyembuhan.
16
Hewan yang berhasil melewati stadium inkubasi dan perkembangan akan
mengalami stadium penyembuhan. paremeter patologi klinis yang tampak yaitu
kembalinya nilai parameter darah PCV, jumlah sel darah merah, hemoglobin ke
rentang nilai normal. Hewan yang sembuh ini umumnya akan menjadi karier dan
bertindak sebagai sumber Anaplasmosis bagi hewan sehat lainnya seumur hidup
(Foley & Bieberstein 2004).
2.8 Dampak Infeksi Babesia, Theileria, Anaplasma
Perhitungan kerugian ekonomi setidaknya pernah dilaporkan di Tanzania
terkait tick borne disease tiap tahunnya mencapai 364 juta dolar Amerika,
termasuk 1.3 juta sapi yang mati. Dari kerugian tersebut setidaknya 68% kerugian
disebabkan oleh theileriosis, 13% disebabkan oleh anaplasmosis dan babesiosis
dan sisanya oleh penyakit lain (Kivaria 2006). Perhitungan serupa belum pernah
dilakukan di Indonesia, kerugian umumnya dikaitkan dengan gejala klinis dan
kematian (Uilenberg 2006, Osman & AL- Gaabary 2007, Kocan et al. 2010).
Hewan dengan infeksi rendah dan peresisten akan mengalami penurunan nafsu
makan yang berdampak pada penurunan produktifitas. Penurunan produktifitas
ditandai dengan penurunan berat badan dan performa kerja.
2.9 Penanganan infeksi Babesia, Theileria, Anaplasma
Pengobatan menggunakan sediaan antiprotozoa biasanya dilakukan pada
hewan yang menunjukkan gejala klinis akibat infeksi ketiga agen ini. Pengobatan
yang tersedia di antaranya tetracycline atau oxytetracycline untuk infeksi
Anaplasma dan Theileria (Kaufmann 1996, Akhter et al. 2010). Selain itu infeksi
Anaplasma bisa ditangani dengan sediaan parvaquone, cocsidiostat halofuginone
(Kaufmann 1996, Akhter et al. 2010). Infeksi Babesia bisa ditangani dengan
Diminazene aceturate dan Imidocarb dipropionate (Kaufmann 1996, Akhter et al.
2010). Hewan sembuh dari pengobatan, hewan tidak akan sepenuhnya terbebas
dari infeksi. Hewan yang sembuh akan menjadi karier bagi hewan lain .
Pada infeksi yang ringan umumnya penyakit ini bisa sembuh dengan
sendirinya. Pengendalian ektoparasit yang merupakan vektor adalah salah satu
penanganan infeksi yang tepat (Gubler 1998). Pengendalian ektoparasit lebih
17
mudah dilakukan di Indonesia, melihat ketersediaan insektisida di pasaran dan
sistem berternak bisa dimodifikasi. Himawan (2009) memberikan contoh
menejemen yang bisa dimodifikasi contohnya mengubah kebiasaan merumput di
pagi hari, dimana larva caplak aktif di rerumputan pagi hari, memandikan kerbau
maupun membiasakan kerbau berkubang.