bab ii tinjauan pustaka selai

11
3 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Selai Selai merupakan produk awetan yang dibuat dengan memasak hancuran buah yang dicampur gula atau campuran gula dengan dekstrosa atau glukosa, dengan atau tanpa penambahan air dan memiliki tekstur yang lunak dan plastis (Suryani et al., 2004). Menurut SNI-01-3746-1995, selai buah adalah produk pangan semi basah yang merupakan pengolahan bubur buah dan gula yang dibuat dari campuran tidak kurang dari 45% berat sari buah dan 55% berat gula. Campuran tersebut kemudian dipekatkan sampai diperoleh hasil akhir berupa padatan terlarut lebih dari 65% yang diukur menggunakan refraktometer. Menurut Muchtadi (1989), perbandingan gula terhadap bobot buah yang digunakan dalam pembuatan selai untuk buah-buahan asam adalah satu bagian bobot buah dan satu bagian bobot gula sedangkan menurut Suryani et al. (2004) formula umum yang digunakan adalah 45:55 (buah:gula), tetapi penambahan gula juga dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti keasaman buah, kandungan gula buah dan kematangan buah yang digunakan. Menurut Desrosier (1988), jika keasaman buah tinggi, kandungan gula tinggi dan kematangan buah optimum maka penambahan gula lebih rendah dari 55 bagian, karena buahnya sendiri telah mengandung sejumlah gula yang perlu diperhitungkan. Buah-buahan yang kandungan pektinnya rendah dapat ditambahkan pektin komersial pada saat pembuatan selai. Menururt Suryani et al. (2004), selai yang bermutu baik mempunyai tanda spesifik yaitu: 1. konsistensi kokoh, 2. warna cemerlang, 3. distribusi buah merata, 4. tekstur lembut, 5. flavor buah alami, 6. tidak mengalami sineresis dan kristalisasi selama penyimpanan

Upload: riyono-pinasthi

Post on 12-Jul-2016

27 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

tinpus pembuatan selai

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II Tinjauan Pustaka Selai

3

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Selai

Selai merupakan produk awetan yang dibuat dengan memasak

hancuran buah yang dicampur gula atau campuran gula dengan dekstrosa

atau glukosa, dengan atau tanpa penambahan air dan memiliki tekstur yang

lunak dan plastis (Suryani et al., 2004). Menurut SNI-01-3746-1995, selai

buah adalah produk pangan semi basah yang merupakan pengolahan bubur

buah dan gula yang dibuat dari campuran tidak kurang dari 45% berat sari

buah dan 55% berat gula. Campuran tersebut kemudian dipekatkan sampai

diperoleh hasil akhir berupa padatan terlarut lebih dari 65% yang diukur

menggunakan refraktometer.

Menurut Muchtadi (1989), perbandingan gula terhadap bobot buah

yang digunakan dalam pembuatan selai untuk buah-buahan asam adalah satu

bagian bobot buah dan satu bagian bobot gula sedangkan menurut

Suryani et al. (2004) formula umum yang digunakan adalah 45:55

(buah:gula), tetapi penambahan gula juga dipengaruhi oleh faktor-faktor

seperti keasaman buah, kandungan gula buah dan kematangan buah yang

digunakan.

Menurut Desrosier (1988), jika keasaman buah tinggi, kandungan gula

tinggi dan kematangan buah optimum maka penambahan gula lebih rendah

dari 55 bagian, karena buahnya sendiri telah mengandung sejumlah gula yang

perlu diperhitungkan. Buah-buahan yang kandungan pektinnya rendah dapat

ditambahkan pektin komersial pada saat pembuatan selai.

Menururt Suryani et al. (2004), selai yang bermutu baik mempunyai

tanda spesifik yaitu:

1. konsistensi kokoh,

2. warna cemerlang,

3. distribusi buah merata,

4. tekstur lembut,

5. flavor buah alami,

6. tidak mengalami sineresis dan kristalisasi selama penyimpanan

Page 2: BAB II Tinjauan Pustaka Selai

4

Pembuatan selai meliputi tahap pemilihan bahan, pencucian,

pengupasan, penghancuran buah, pemasakan, pengemasan dalam wadah

botol, pasteurisasi dan pendinginan (Mulyohardjo, 1984). Pada persiapan

bahan, pemilihan tingkat kematangan buah yang digunakan akan

mempengaruhi hasil akhir selai yang dihasilkan. Bila digunakan buah segar,

maka harus dipilih buah yang berkualitas baik, kemudian dilakukan

pengupasan pada buah yang berkulit serta penghilangan biji pada buah-

buahan yang berbiji (Suryani et al., 2004).

Pembuatan selai nanas selain menggunakan buah nanas sebagai bahan

baku juga menggunakan bahan tambahan yaitu :

1. Gula

Gula berperan sebagai pengawet bagi berbagai macam makanan

terutama jam, jeli, marmalade, sari buah pekat, sirup dan lain-lain.

Konsentrasi gula yang tinggi (70%) sudah dapat menghambat

pertumbuhan mikroba, akan tetapi pada umumnya gula dipergunakan

dengan salah satu teknik pengawetan lainnya, misalnya dikombinasikan

dengan keasaman tinggi, pasteurisasi, penyimpanan pada suhu rendah,

pengeringan, pembekuan dan penambahan kimia seperti SO2, asam

benzoat dan lain-lain. Kadar gula yang tinggi (minimum 40%) bila

ditambahkan ke dalam bahan pangan, air dalam bahan pangan akan

terikat sehingga tidak dapat dipergunakan oleh mikroba dan aw menjadi

rendah (Muchtadi, 1997).

Penambahan gula pasir sangat penting untuk memperoleh tekstur,

penampakan, dan flavor yang baik. Kekurangan gula pasir dalam

pembuatan selai akan menghasilkan gel yang kurang kuat pada semua

tingkat keasaman dan membutuhkan lebih banyak penambahan asam

untuk menguatkan strukturnya. Menurut Winarno (1997), gula yang

ditambahkan tidak boleh lebih dari 65% agar kristal-kristal yang

terbentuk di permukaan gel dapat dicegah.

Page 3: BAB II Tinjauan Pustaka Selai

5

2. Pengental (Nutrijell)

Menururt Cross (1984), bahan pembentuk gel berfungsi untuk

memodifikasi tekstur selai sehingga mendapatkan rasa cicip yang disukai.

Dalam penelitian ini, bahan pengental dan pembentuk gel yang

digunakan dalam pembuatan selai nanas adalah nutrijell. Nutrijell

merupakan merek dagang, dimana komposisi utama bahannya antara lain:

a. Karagenan

Karagenan adalah polisakarida yang diekstrak dari beberapa

anggota Rhodophyceae (rumput laut merah) seperti Chondrus,

Euchema, Gigartina, Gloiopeltis dan Iridea (Belitz dan Grosch, 1999).

Euchema cottonii dan E. Spinosum merupakan jenis Rhodophyceae

yang banyak ditemui di perairan Indonesia sedangkan Gigartina

banyak ditemui di daerah selatan Eropa. E. Cottonii merupakan jenis

rumput laut penghasil kappa karagenan, E. Spinosum merupakan

penghasil iota karagenan, dan Gigartina merupakan penghasil lamda

karagenan (Anonim, 2007). Menurut Imeson (2000), karagenan

merupakan polisakarida berantai linear dengan berat molekul yang

tinggi. Rantai polisakarida tersebut terdiri dari ikatan berulang antara

gugus galaktosa dengan 3,6-anhidrogalaktosa (3,6 AG), keduanya baik

yang berikatan dengan sulfat maupun tidak, dihubungkan dengan

ikatan glikosidik α-(1,3) dan β-(1,4).

Karagenan akan stabil pada pH 7 atau lebih tinggi, stabilitas

karagenan menurun khususnya dengan peningkatan suhu. Pada pH

yang lebih rendah dari 7, polimer karagenan terhidrolisis sehingga

kemampuan untuk membentuk gel menjadi hilang. Namun demikian

dalam praktek penerapannya, suatu gel terbentuk pada pH di bawah 7

dan hidrolisis terjadi tidak lama sehingga gel dapat stabil

(Glicksman, 1982). Menurut Imeson (2000), larutan karagenan akan

mengalami penurunan viskositas dan kekuatan gel (gel strength) pada

pH 3,4. Hal ini disebabkan terputusnya ikatan glikosidik yang

mengakibatkan terjadinya hidrolisis. Laju hidrolisis akan meningkat

seiring peningkatan suhu.

Page 4: BAB II Tinjauan Pustaka Selai

6

Polisakarida seperti karagenan dapat membentuk gel pada

kondisi tertentu, tetapi jika dicampurkan dengan konjak yang tidak

memiliki kemampuan membentuk gel maka akan terjadi interaksi yang

sinergis. Sinergisme tersebut akan menghasilkan gel dengan tekstur

yang lebih elastis (Takigami, 2000).

b. Konjak glukomannan

Konjak glukomannan banyak terdapat pada jenis tanaman

Amorphophallus. Sama halnya dengan karagenan, konjak

glukomannan juga merupakan hidrokoloid yang diperoleh dari hasil

ekstraksi umbi tanaman konjak. Penyebaran tanaman konjak lebih

banyak di daerah Asia seperti Timur Tengah, Jepang, dan Asia

Tenggara. Beberapa spesies Amorphophallus yang tumbuh di daerah

tersebut yaitu Amorphophallus konjak K Kouch, A. Rivierii, A.

Bulbifier, dan A. Oncophyllus. Jenis Amorphophallus juga banyak

dikembangkan di Indonesia diantaranya adalah iles-iles (A. Muelleri

Blume) dan suweg (A. Paeoniifolis) (Takigami, 2000). Konjak

glukomannan merupakan senyawa yang banyak terkandung dalam

tepung konjak yakni mencapai 70 – 90%. Bahan baku pembuatan

tepung konjak adalah umbi dari tanaman konjak. Tepung konjak dapat

digunakan sebagai bahan pengental, bahan pembentuk gel, dan

pengikat air (Thomas, 1997).

Konjak glukomannan adalah polimer yang larut air dan dapat

menyerap 100 kali dari volumenya sendiri dalam air. Larutan yang

terbentuk merupakan larutan pseudoplastic. Viskositas konjak lebih

tinggi daripada bahan pengental alami lainnya dan stabil terhadap

asam, tidak ada pengendapan walaupun pH diturunkan di bawah 3,3.

Larutan konjak tahan terhadap garam walaupun pada konsetrasi

tinggi. Sebagai bahan pembentuk gel, konjak memiliki kemampuan

yang unik untuk membentuk gel yang reversible dan irreversible pada

kondisi yang berbeda. Gel reversible terbentuk jika konjak

dikombinasikan dengan hidrokoloid lain seperti karagenan dan

xantham gum. Gel irreversible didapat dari gel konjak yang terbentuk

Page 5: BAB II Tinjauan Pustaka Selai

7

pada kondisi basa. Larutan konjak tidak akan membentuk gel karena

gugus asetilnya mencegah rantai panjang glikomannan untuk bertemu

satu sama lain (Widjanarko, 2008). Konjak dapat membentuk gel

kecuali dengan adanya kappa-karagenan dan xantham gum, dimana

asosiasi antar rantai mendukung gelasi atau pengentalan

(Thomas, 1997).

Gel konjak merupakan dietary fibre yang tidak akan diserap

oleh usus, melainkan dapat memenuhi lambung dan mempercepat rasa

kenyang sehingga cocok untuk makanan diet bagi penderita diabetes.

Manfaat lain yang didapat dari konsumsi gel konjak yaitu mengurangi

kolestrol darah, memperlambat pengosongan perut, dan mencegah

penyakit tekanan darah tinggi (Johnson, 2002).

3. Asam (Sari Jeruk Peras)

Penambahan asam yang terdapat pada sari jeruk bertujuan

mengatur pH terutama terhadap buah-buahan yang tidak mengandung

asam yang cukup untuk memperoleh pH yang diinginkan dan

menghindari pengkristalan gula. pH optimum yang dikehendaki dalam

pembuatan selai berkisar 3,10 - 3,46. Asam yang biasa digunakan dalam

pembuatan selai adalah asam sitrat, asam tartrat, dan asam malat. Apabila

terlalu asam akan terjadi sineresis yakni keluarnya air dari gel sehingga

kekentalan selai akan berkurang bahkan dapat sama sekali tidak terbentuk

gel. Asam sitrat dengan nama lain asam jeruk terdapat dalam sari buah

sitrus dalam konsentrasi yang tinggi dan memungkinkan untuk diisolasi

dan dimurnikan (Fachruddin, 1997).

Salah satu buah jeruk yang digunakan dalam pembuatan selai

adalah jeruk manis atau jeruk peras (Citrus sinensis Osbeck). Sari buah

jeruk peras (Citrus sinensis Osbeck) selain mengandung vitamin C, juga

mengandung asam sitrat dengan kadar berkisar 1,4%. Secara umum buah

jeruk kaya vitamin dan mineral yang baik untuk kesehatan tubuh. Seperti

yang terkandung dalam jeruk manis setiap 100 g dapat dilihat pada

Page 6: BAB II Tinjauan Pustaka Selai

8

Tabel 1. Selain kaya gizi, zat kimia terkandung seperti bioflanid, minyak

atsiri limonen, asam sitrat, linalin asetat dan fellandren (Sarwono, 1993).

Tabel 1. Kandungan kimia jeruk manis dalam 100 gram sari jeruk

Sumber : Sarwono (1993) B. Pengemasan

Kemasan mempunyai peranan penting dalam mempertahankan mutu

bahan. Pada saat ini proses pengemasan dianggap sebagai bagian integrasi

dari proses produksi di pabrik-pabrik, dan menurut fungsinya kemasan

berfungsi sebagai : (a) wadah untuk menempatkan produk dan memberi

bentuk sehingga memudahkan dalam penyimpanan, pengangkutan dan

distribusi; (b) memberi perlindungan terhadap mutu produk dari kontaminasi

luar dan kerusakan; dan (c) untuk menambah daya tarik produk (Syarief dan

Irawati, 1988).

Menurut Winarno (1997), pengemasan bertujuan untuk mengawetkan

bahan pangan, mempertahankan mutu kesegaran, menarik selera pandang

konsumen, memberikan kemudahan penyimpanan dan distribusi, serta yang

lebih penting lagi dapat menekan peluang kontaminasi dari udara dan tanah,

baik oleh mikroba pembusuk maupun mikroba yang dapat membahayakan

kesehatan konsumen.

Bahan kemasan harus tahan terhadap serangan hama atau binatang

pengerat dan bagian dalam yang berhubungan langsung dengan makanan

harus tidak berbau, tidak mempunyai rasa, dan tidak beracun (Winarno dan

Jenie, 1983).

Parameter Satuan Sari jeruk Kalori kalori 51 Protein g 0,9 Lemak g 0,2 Karbohidrat g 11,4 Mineral g 0,5 Kalsium mg 33 Fosfor mg 23 Besi mg 0,4 Asam askorbat mg 49

Page 7: BAB II Tinjauan Pustaka Selai

9

Faktor-faktor yang mempengaruhi kerusakan bahan pangan

sehubungan dengan kemasan yang digunakan menurut Winarno dan Jenie

(1983) dapat dibagi menjadi dua golongan : golongan pertama, kerusakan

ditentukan oleh sifat alamiah dari produk dan tidak dapat dicegah dengan

pengemasan, misalnya perubahan kimia, biokimia, fisik dan mikrobiologi;

sedangkan golongan kedua, kerusakan yang ditentukan oleh lingkungan dan

hampir seluruhnya dapat dikontrol dengan pengemasan yang digunakan,

misalnya kerusakan mekanis, perubahan kadar air bahan, absorbsi dan

interaksi dengan oksigen, serta kehilangan dan penambahan citarasa yang

tidak diinginkan.

Kemasan yang umum digunakan sebagai wadah selai adalah sebagai

berikut :

1. Kemasan Gelas Jar

Kemasan gelas banyak digunakan untuk mengemas produk dalam

bentuk padat dan cair. Kemasan ini memiliki kelebihan dan kekurangan.

Menurut Luh dan Woodroof (1982), kemasan gelas memiliki kelebihan

seperti inert (tidak bereaksi), sehingga tidak bereaksi dengan bahan

pangan, mudah dibuka dan ditutup, tahan terhadap kerusakan (korosi),

sangat baik sebagai barier terhadap benda padat, cair dan gas, ekonomis

karena dapat digunakan kembali dan produk yang terdapat didalamnya

dapat terlihat jelas (transparan), dapat disterilisasi dan divacum, tahan

terhadap suhu rendah dan tinggi, dengan catatan suhu tersebut tidak

berubah secara cepat. Menurut Erliza et al. (1987), disamping keuntungan

sifat-sifat gelas tersebut, terdapat beberapa kelemahan dari gelas yaitu

bersifat rapuh dan mudah pecah bila permukaannya tergores dan terkena

benturan selain itu angkos transportasi lebih tinggi dibanding kaleng.

Wadah gelas untuk bahan pangan dapat dibedakan ke dalam 2

bentuk, yaitu gelas bermulut lebar (wide mouth) dan gelas bermulut

sempit (narrow neck). Wadah gelas bermulut lebar kebanyakan digunakan

untuk produk makanan bayi, susu bubuk, buah-buahan, mentega, kacang,

kopi, teh, jam, jelly, acar, manisan, mayonis, sedangkan wadah gelas

Page 8: BAB II Tinjauan Pustaka Selai

10

berleher sempit kebanyakan digunakan untuk produk-produk cair seperti

kecap, sari buah, sirup, bumbu cair, saus dan cuka (Muchtadi,1995).

Faktor yang menentukan dalam pengemasan botol adalah adanya

ruang udara. Ruang udara (head space) harus disediakan pada setiap

kemasan gelas yang diisikan dengan suatu bahan. Ruang ini diberikan

untuk mengantisipasi terjadinya pemuaian bahan akibat peningkatan suhu

karena proses sterilisasi. Ukuran dari head space ini diusahakan tidak

terlalu besar atau kecil. Bila terlalu besar maka dapat mengakibatkan

akumulasi udara pada atas kemasan gelas dan apabila terlalu kecil proses

penutupan kemasan tidak akan sempurna. Besarnya head space yang

digunakan tergantung dari bahan yang dikemas. Pada umumnya berkisar

antara 3% - 5%. Namun, untuk produk-produk yang menghasilkan gas

seperti peroksida dan hipoklorit digunakan head space sebesar 10%

(Muchtadi, 1995).

2. Kemasan Plastik Polypropilen

Plastik telah menempati bagian yang sangat penting dalan industri

pengemasan. Kelebihan plastik dari bahan-bahan kemasan yang lain

adalah harganya relatif lebih murah, dapat dibuat dalam berbagai rupa,

warna dan bentuk, relatif lebih disukai konsumen, dan ringan sehingga

dapat mengurangi biaya transportasi. Kelemahan plastik yang utama

adalah umumnya tidak tahan terhadap suhu tinggi (Erliza et al., 1987).

Salah satu jenis plastik yang banyak digunakan adalah polypropilen.

Menurut Syarief et al. (1989), adapun sifat-sifat dari polypropilen

sehingga dapat dijadikan kemasan bahan pangan antara lain:

(1) Ringan, mudah dibentuk, tembus pandang dan jernih dalam bentuk

film

(2) Rapuh pada suhu rendah, tidak dapat digunakan untuk kemasan beku

(3) Lebih kaku dari polietilen dan tidak mudah sobek sehingga mudah

dalam penanganan dan distribusi

(4) Permeabilitas uap air rendah, permeabilitas gas sedang, tidak baik

untuk makanan yang peka terhadap oksigen

(5) Tahan terhadap suhu tinggi sampai 1500C

Page 9: BAB II Tinjauan Pustaka Selai

11

(6) Titik Lebur tinggi, sulit dibuat kantung dengan sifat kelim panas yang

baik, mengeluarkan benang-benang plastik pada suhu tinggi

(7) Tahan terhadap asam kuat, basa dan minyak, tidak terpengaruh pelarut

pada suhu kamar kecuali oleh HCl

C. Pendugaan Umur Simpan

Pengertian masa simpan makanan secara umum menurut Ahrene et al.

(1996) adalah periode waktu bagi sebuah produk hingga ia tidak dapat lagi

diterima secara sensorik, nutrisi dan keamanannya. Arpah dan Syarief (2000)

menyatakan bahwa umur simpan dapat didefinisikan juga sebagai waktu yang

dibutuhkan oleh suatu produk pangan menjadi tidak layak dikonsumsi jika

ditinjau dari segi keamanan, nutrisi, sifat fisik, dan organoleptik, setelah

disimpan dalam kondisi yang direkomendasikan.

Menurut Syarief et al. (1989), secara umum faktor-faktor yang

mempengaruhi umur simpan makanan yang dikemas adalah :

1. Keadaan alamiah atau sifat makanan dan mekanisme berlangsungnya

perubahan, misalnya kepekaan terhadap air dan oksigen, dan kemungkinan

terjadinya perubahan-perubahan kimia internal dan fisik,

2. Ukuran kemasan dalam hubungannya dengan volumenya,

3. Kondisi atmosfer (terutama suhu dan kelembaban) dimana kemasan dapat

bertahan selama transit dan sebelum digunakan, dan

4. Ketahanan keseluruhan dari kemasan terhadap keluar masuknya air, gas

dan bau, termasuk dari perekatan, penutupan dan bagian-bagian yang

terlipat.

Menurut Labuza dan Schmild (1985), faktor-faktor yang

mempengaruhi umur simpan meliputi: (i) jenis dan karakteristik produk

pangan. Produk yang mengalami pengolahan akan lebih tahan lama

dibanding produk segar. Produk yang mengandung lemak berpotensi

mengalami rancidity, sedangkan produk yang mengandung protein dan gula

berpotensi mengalami reaksi maillard (warna coklat); (ii) jenis dan

karakteristik bahan kemasan. Permeabilitas bahan kemas terhadap kondisi

Page 10: BAB II Tinjauan Pustaka Selai

12

lingkungan. Intensitas sinar (UV) menyebabkan terjadinya ketengikan dan

degradasi warna. Osigen menyebabkan terjadinya reaksi oksidasi.

Proses perkiraan umur simpan sangat tergantung pada tersedianya

data mengenai: (i) mekanisme penurunan mutu produk yang dikemas; (ii)

unsur-unsur yang terdapat di dalam produk yang langsung mempengaruhi

laju penurunan mutu produk; (iii) mutu produk dalam kemasan; (iv) bentuk

dan ukuran kemasan yang diinginkan; (v) mutu produk pada saat dikemas;

(vi) mutu minuman dari produk yang masih dapat diterima; (vii) variasi iklim

selama distribusi dan penyimpanan; (viii) resiko perlakuan mekanis selama

distribusi dan penyimpanan yang mempengaruhi kebutuhan kemasan; (ix)

sifat barrier pada bahan kemasan untuk mencegah pengaruh unsur-unsur luar

yang dapat menyebabkan terjadinya penurunan mutu produk (Hine, 1987)

Penentuan umur simpan dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu

dengan metode konvensional atau biasa disebut Extended Storage Studies

(ESS), dimana penentuan umur simpan dilakukan dengan mengamati

penurunan mutu produk yang disimpan pada kondisis normal sampai

mencapai tingkat mutu kadaluarsa. Metode ini akurat dan tepat akan tetapi

memerlukan waktu analisa yang panjang dengan parameter mutu yang relatif

banyak (Arpah, 2001).

Menurut Arpah (2001), metode lain yang digunakan dalam

menentukan umur simpan produk ialah dengan metode dipercepat atau biasa

disebut Accelerated Storage Studies (ASS) atau sering disebut dengan

Accelerated Shelf-life testing (ASLT). Metode ini menggunakan suatu kondisi

lingkungan yang dapat mempercepat reaksi deteriorasi produk pangan,

sehingga membutuhkan waktu pengujian yang relatif singkat akan tetapi

memiliki ketepatan dan akurasi yang tinggi. Pada metode ASS, produk

disimpan pada kondisi lingkungan yang ekstrim, antara lain produk disimpan

pada suhu atau kelembaban yang ekstrim, atau produk dapat pula disimpan

dalam ruangan yang dialiri radiasi ataupun kombinasi dari beberapa

perlakukan tersebut.

Menurut Arpah (2001), metode ASS pada dasarnya adalah metode

kinetik yang disesuaikan untuk produk pangan tertentu dengan menggunakan

Page 11: BAB II Tinjauan Pustaka Selai

13

dua cara pendekatan. Cara yang pertama dengan menggunakan pendekatan

kadar air kritis dengan bantuan teori difusi, yaitu suatu cara pendekatan yang

diterapkan untuk produk kering dengan menggunakan kadar air atau aktivitas

air sehingga kriteria kadaluarsa. Cara yang kedua yaitu dengan menggunakan

pendekatan semi empiris dengan bantuan persamaan Arrhenius, yaitu:

k = k0 e-Ea/RT

dimana :

k = konstanta laju reaksi pada temperatur T

k0 = konstanta laju absolut

Ea = energi aktivasi (kj/mol)

R = konstanta gas ideal (1,986 kal/mol)

T = suhu absolut (K)

e = bilangan e (2,718)