bab ii tinjauan pustaka +algoritma
DESCRIPTION
bnbzxmvzmTRANSCRIPT
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Tinjauan Tentang Kejang Demam
2.1.1. Definisi
Kejang demam berdasarkan definisi dari The International League Againts
Epilepsy (Commision on Epidemiology and Prognosis, 1993) adalah kejang yang
disebabkan kenaikan suhu tubuh lebih dari 38,40C tanpa adanya infeksi susunan saraf
pusat atau gangguan elektrolit akut pada anak berusia di atas 1 bulan tanpa riwayat
kejang sebelumnya5
2.1.2. Faktor Risiko
Beberapa faktor yang berperan menyebabkan kejang demam antara lain
adalah demam, demam setelah imunisasi DPT dan morbili, efek toksin dari
mikroorganisme, respon alergik atau keadaan imun yang abnormal akibat infeksi,
perubahan keseimbangan caira dan elektrolit6
Faktor risiko berulangnya kejang demam adalah :
(1) riwayat kejang demam dalam keluarga;
(2) usia kurang dari 18 bulan;
(3) temperatur tubuh saat kejang. Makin rendah temperatur saat kejang makin
sering berulang; dan
(4) lamanya demam.
Adapun faktor risiko terjadinya epilepsi di kemudian hari adalah :
(1) adanya gangguan perkembangan neurologis;
(2) kejang demam kompleks;
(3) riwayat epilepsi dalam keluarga; dan
(4) lamanya demam5
2.1.3. Etiologi
Semua jenis infeksi yang bersumber di luar susunan saraf pusat yang
menimbulkan demam dapat menyebabkan kejang demam. Penyakit yang paling
sering menimbulkan kejang demam adalah infeksi saluran pernafasan atas, otitis
media akut, pneumonia, gastroenteritis akut, bronchitis, dan infeksi saluran kemih7
2.1.4. Klasifikasi
Umumnya kejang demam dibagi menjadi 2 golongan. Kriteria untuk
penggolongan tersebut dikemukakan oleh berbagai pakar. Dalam hal ini terdapat
perbedaan kecil dalam penggolongan tersebut, menyangkut jenis kejang, tingginya
demam, usia penderita, lamanya kejang berlangsung, gambaran rekaman otak, dan
lainnya 8
Studi epidemiologi membagi kejang demam menjadi 3 bagian yaitu: kejang
demam sederhana, kejang demam kompleks, dan kejang demam berulang. Kejang
demam kompleks ialah kejang demam yang lebih lama dari 15 menit, fokal atau
multiple (lebih dari 1 kali kejang per episode demam). Kejang demam sederhana
ialah kejang demam yang bukan kompleks. Kejang demam berulang adalah kejang
demam yang timbul pada lebih dari satu episode demam. Epilepsi ialah kejang tanpa
demam yang terjadi lebih dari satu kali7
2.1.5. Patofisiologi
Pada keadaan demam kenaikan suhu 1°C akan mengakibatkan kenaikan
metabolisme basal 10%-15% dan kebutuhan oksigen akan meningkat 20%. Pada
seorang anak berumur 3 tahun sirkulasi otak mencapai 65% dari seluruh tubuh,
dibandingkan dengan orang dewasa yang hanya 15%. Jadi pada kenaikan suhu tubuh
tertentu dapat terjadi perubahan keseimbangan dari membran sel neuron dan dalam
waktu yang singkat terjadi difusi dari ion Kalium maupun ion Natrium melalui
membran tadi, dengan akibat terjadinya lepas muatan listrik.
Lepas muatan listrik ini demikian besarnya sehingga dapat meluas ke seluruh
sel maupun ke membran sel tetangganya dengan bantuan bahan yang disebut
neurotransmitter dan terjadilah kejang. Tiap anak mempunyai ambang kejang yang
berbeda dan tergantung tinggi rendahnya ambang kejang seeorang anak menderita
kejang pada kenaikan suhu tertentu. Pada anak dengan ambang kejang yang rendah,
kejang telah terjadi pada suhu 38°C sedangkan pada anak dengan ambang kejang
yang tinggi, kejang baru terjadi pada suhu 40°C atau lebih. Dari kenyataan inilah
dapatlah disimpulkan bahwa terulangnya kejang demam lebih sering terjadi pada
ambang kejang yang rendah sehingga dalam penanggulangannya perlu diperhatikan
pada tingkat suhu berapa penderita kejang.
Kejang demam yang berlangsung singkat pada umumnya tidak berbahaya dan
tidak menimbulkan gejala sisa. Tetapi pada kejang yang berlangsung lama (lebih dari
15 menit) biasanya disertai terjadinya apnea, meningkatnya kebutuhan oksigen dan
energi untuk kontraksi otot skelet yang akhirnya terjadi hipoksemia, hiperkapnia,
asidosis laktat disebabkan oleh metabolisme anaerobik, hipotensi arterial disertai
denyut jantung yang tidak teratur dan suhu tubuh makin meningkatnya aktifitas otot
dan selanjutnya menyebabkan metabolisme otak meningkat. Rangkaian kejadian di
atas adalah faktor penyebab hingga terjadinya kerusakan neuron otak selama
berlangsungnya kejang lama.
Faktor terpenting adalah gangguan peredaran darah yang mengakibatkan
hipoksia sehingga meninggikan permeabilitas kapiler dan timbul edema otak yang
mengakibatkan kerusakan sel neuron otak. Kerusakan pada daerah mesial lobus
temporalis setelah mendapat serangan kejang yang berlangsung lama dapat menjadi
“matang” di kemudian hari, sehingga terjadi serangan epilepsi yang spontan. Jadi
kejang demam yang berlangsung lama dapat menyebabkan kelainan anatomis di otak
hingga terjadi epilepsi9
2.1.6. Manifestasi Klinis
Umumnya kejang demam berlangsung singkat, berupa serangan kejang klonik
atau tonik klonik bilateral. Seringkali kejang berhenti sendiri. Setelah kejang berhenti
anak tidak memberi reaksi apapun untuk sejenak, tetapi setelah beberapa detik atau
menit anak terbangun dan sadar kembali tanpa defisit neurologis. Kejang demam
diikuti hemiparesis sementara (Hemeparesis Tood) yang berlangsung beberapa jam
sampai hari. Kejang unilateral yang lama dapat diikuti oleh hemiparesis yang
menetap. Bangkitan kejang yang berlangsung lama lebih sering terjadi pada kejang
demam yang pertama. Kejang berulang dalam 24 jam ditemukan pada 16% paisen7
Kejang yang terkait dengan kenaikan suhu yang cepat dan biasanya
berkembang bila suhu tubuh (dalam) mencapai 39°C atau lebih. Kejang khas yang
menyeluruh, tonik-klonik beberapa detik sampai 10 menit, diikuti dengan periode
mengantuk singkat pasca-kejang. Kejang demam yang menetap lebih lama dari 15
menit menunjukkan penyebab organik seperti proses infeksi atau toksik yang
memerlukan pengamatan menyeluruh10
2.1.7. Diagnosa
Beberapa hal dapat mengarahkan untuk dapat menentukan diagnosis kejang demam
antara lain:
1. Anamnesis, dibutuhkan beberapa informasi yang dapat mendukung diagnosis ke
arah kejang demam, seperti:
- Menentukan adanya kejang, jenis kejang, kesadaran, lama kejang, suhu sebelum dan
saat kejang, frekuensi, interval pasca kejang, penyebab demam diluar susunan saraf
pusat.
- Beberapa hal yang dapat meningkatkan risiko kejang demam, seperti genetik,
menderita penyakit tertentu yang disertai demam tinggi, serangan kejang pertama
disertai suhu dibawah 39° C.
- Beberapa faktor yang memengaruhi terjadinya kejang demam berulang adalah usia
<15 bulan saat kejang demam pertama, riwayat kejang demam dalam keluarga,
kejang segera setelah demam atau saat suhu sudah relatif normal, riwayat demam
yang sering, kejang demam pertama berupa kejang demam akomlpeks.
2. Gambaran Klinis, yang dapat dijumpai pada pasien kejang demam adalah:
- Suhu tubuh mencapai 39°C.
- Anak sering kehilangan kesadaran saat kejang.
- Kepala anak sering terlempar keatas, mata mendelik, tungkai dan lengan mulai
kaku, bagian tubuh anak menjadi berguncang. Gejala kejang tergantung pada jenis
kejang.
- Kulit pucat dan mungkin menjadi biru.
- Serangan terjadi beberapa menit setelah anak itu sadar6
3. Pemeriksaan fisik dan laboratorium
Pada kejang demam sederhana, tidak dijumpai kelainan fisik neurologi
maupun laboratorium. Pada kejang demam kompleks, dijumpai kelainan fisik
neurologi berupa hemiplegi. Pada pemeriksaan EEG didapatkan gelombang abnormal
berupa gelombang-gelombang lambat fokal bervoltase tinggi, kenaikan aktivitas
delta, relatif dengan gelombang tajam. Perlambatan aktivitas EEG kurang mempunyai
nilai prognostik, walaupun penderita kejang demam kompleks lebih sering
menunjukkan gambaran EEG abnormal. EEG juga tidak dapat digunakan untuk
menduga kemungkinan terjadinya epilepsi di kemudian hari7
2.1.7 Diagnosis Banding
Penyebab lain kejang yang disertai demam harus disingkirkan, khususnya
meningitis atau ensefalitis. Adanya sumber infeksi seperti otitis media tidak
menyingkirkan meningitis, dan jika pasien telah mendapatkan antibiotika maka perlu
pertimbangan pungsi lumba. Adapun diagnosis banding kejang pada anak dan bayi
adalah gemetar, apnea dan mioklonus nokturnal benigna.
Kejang pada anak merupakan suatu gejala dan bukan suatu penyakit.
Gangguan primer mungkin terdapat intrakranium atau ekstrakranium. Berbagai
penyakit intra serebral dan gangguan metabolik yang juga dapat menyebabkan kejang
antara lain :
1. Kelainan intrakranium
- Meningitis
- Ensefaliti
- Infeksi subdural dan epidural
- Abses otak
- Trauma kepala
- Stroke dan AVM
- Cytomegalic inclusion disease.
2. Gangguan metabolic
- Hipoglikemi
- Defisiensi vitamin B-6
- Gangguan elektrolit seperti hiponatremia, hipokalsemia, porfiria
- Keracunan.
3. Epilepsi
Epilepsi adalah suatu gangguan serebral kronik dengan berbagai macam
etiologi, yang dicirikan oleh timbulnya serangan paroksismal yang berkala, akibat
lepas muatan listrik neuron-neuron serebral secara eksesif.
2.1.8 Komplikasi
Pada penderita kejang demam yang mengalami kejang lama biasanya terjadi
hemiparesis. Kelumpuhannya sesuai dengan kejang fokal yang terjadi. Mula – mula
kelumpuhan bersifat flasid, tetapi setelah 2 minggu timbul spastisitas7.
Kejang demam yang berlangsung lama dapat menyebabkan kelainan anatomis
di otak sehingga terjadi epilepsy7.
Ada beberapa komplikasi yang mungkin terjadi pada klien dengan kejang demam :
a. Pneumonia aspirasi
b. Asfiksia
c. Retardasi mental
2.1.9 Penatalaksanaan
Tiga hal yg perlu dikerjakan, yaitu:
– Pengobatan pada fase akut
– Mencari dan mengobati penyebab
– Pengobatan profilaksis terhadap berulangnya kejang demam.
1. Pengobatan Fase Akut
Sebagian besar kasus kejang demam, akan berhenti sendiri à tindakan yang
perlu dilakukan adalah : mencari penyebab demam dan memberikan pengobatan yang
adekuat terhadap penyebab tersebut. Untuk mencegah agar kejang tidak berulang
kembali sebaiknya diberikan profilaksis antikonvulsan, karena kejang masih dapat
kambuh selama anak masih demam. Kejang harus segera dihentikan untuk mencegah
agar tidak terjadi kerusakan otak, meninggalkan gejala sisa atau meninggal5
Obat yang paling cepat untuk menghentikan kejang adalah diazepam yang
diberikan i.v. atau intrarektal. Dosis i.v. 0,3-0,5 mg/kg diberikan perlahan-lahan
dengan kecepatan 1-2 mg/mnt (dosis maksimal 20 mg). Apabila sukar mencari vena
dapat diberikan diazepam rektal dosis 0,5 mg/kg (5 mg utk bb < 10 kg & 10 mg bila
bb >10 kg). Apabila kejang belum berhenti, 5 menit kemudian dapat diulangi lagi
pemberian diazepam dengan dosis dan cara yang sama. Bila kejang tidak berhenti,
diberikan fenitoin dosis awal 10-20 mg/kgbb per drip selama 20 menit setelah
dilarutkan dalam cairan NaCl 0,9%. Dosis selanjutnya 4-8 mg/kgbb/hari, 12-24 jam
setelah dosis awal Setelah kejang berhenti harus ditentukan apakah perlu pengobatan
profilaksis atau tidak, tergantung jenis kejang demam dan faktor risiko yang ada pada
anak tersebut.5
Algoritma Penatalaksanaan Kejang Pada Anak
2. Mencari dan mengobati penyebab
Pemeriksaan cairan serebrospinalis dilakukan untuk menyingkirkan
kemungkinan meningitis, terutama pada pasien kejang demam yang
pertama.Walaupun demikian kebanyakan dokter melakukan pungsi lumbal
hanyapada kasus yang dicurigai sebagai meningitiss, misalnya bila ada gejala
meningitis atau kejang demam berlangsung lama5
3. Pengobatan profilaksis
Ada 2 cara profilaksis, yaitu :
(1) Profilaksis intermiten saat demam dan
(2) Profilaksis terus-menerus dengan antikonvulsan setiap hari.
a. profilaksis intermiten pd waktu demam berupa:
- Antipiretik, parasetamol 10-15 mg/kgbb/kali diberikan 4 kali sehari & tdk lebih
dari 5 kali atau ibuprofen 5-10 mg/kgbb/kali, 3-4 kali sehari
- Anti kejang, diazepam oral dgn dosis 0,3 mg/kgbb/kali atau diazepam rektal 0,5
mg/kgbb tiap 8 jam pada suhu tubuh >38,5°C. Terdapat efek samping (25-39%):
ataksia, mengantuk, iritabel & hipotonia
Although antipyretics may improve the comfort of the child, they will not prevent
febrile seizures (AAP, 2008), AAP merekomendasikan untuk tidak memberikan
profilaksis intermiten apalagi profilaksis terus-menerus pada kejang demam
sederhana pertama atau yang berulang tanpa faktor risiko.
b. Profilaksis terus-menerus
Pemberian profilaksis terus menerus pada anak dengan kejang demam
merupakan sebuah kontroversi. Sebagian besar penderita kejang demam prognosis
baik dan sangat rendahnya komplikasi yang diakibatkan oleh kejang demam serta
pertimbangan akan efektivitas dan efek samping obat anti konvulsan, pemberian
profilaksis terus menerus hanya diberikan secara individual atau pada kasus tertentu
saja.
Pengobatan jangka panjang HANYA diberikan jika kejang demam
menunjukkan ciri sebagai berikut (salah satu):
1. Kejang lama >15 menit
2. Kelainan neurologi yg nyata sebelum/sesudah kejang: hemiparesis, palsi
serebral, retardasi mental, hidrosefalus
3. Kejang fokal
Pengobatan jangka panjang DIPERTIMBANGKAN jika:
1. Kejang berulang ≥2 kali dalam 24 jam
2. KD terjadi pada bayi < 12 bulan
3. KD ≥ 4 kali per tahun
Jenis obat untuk pengobatan jangka panjang:
1. Fenobarbital (dosis 3-4 mg/kgbb/hari dibagi 1-2 dosis) ATAU
2. Asam valproat (dosis 15-40 mg/kgbb/hari dibagi 2-3 dosis)
à Efektif dlm menurunkan risiko berulangnya kejang Pengobatan diberikan
selama 1 tahun bebas kejang, kemudian dihentikan secara bertahap selama 1-2
bulan5
2.2. Demam Typoid
2.2.1 Definisi Demam Typoid
Pengertian Penyakit demam tifoid (Typhoid fever) yang biasa disebut tifus
merupakan penyakit yang disebabkan oleh bakteri Salmonella, khususnya turunannya
yaitu Salmonella typhi yang menyerang bagian saluran pencernaan11
2.2.2 Etiologi
Demam tifoid disebabkan oleh jenis Salmonella tertentu yaitu Salmonella
typhi, Salmonella paratyphi A, dan Salmonella paratyphi B dan kadang-kadang jenis
salmonella yang lain. Demam yang disebabkan oleh Salmonella typhi cendrung untuk
menjadi lebih berat daripada bentuk infeksi Salmonella yang lain12
Salmonella merupakan bakteri batang gram negatif yang bersifat motil, tidak
membentuk spora, dan tidak berkapsul. Sebagian besar strain meragikan glukosa,
manosa dan manitol untuk menghasilkan asam dan gas, tetapi tidak meragikan
laktosa dan sukrosa. Organisme Salmonella tumbuh secara aerob dan mampu tumbuh
secara anaerob fakultatif. Sebagian besar spesies resisten terhadap agen fisik namun
dapat dibunuh dengan pemanasan sampai 54,4º C selama 1 jam atau 60 º C selama 15
menit. Salmonella tetap dapat hidup pada suhu ruang dan suhu yang rendah selama
beberapa hari dan dapat bertahan hidup selama berminggu-minggu dalam sampah,
bahan makanan kering dan bahan tinja12
Salmonella memiliki antigen somatik O dan antigen flagella H. Antigen O
adalah komponen lipopolisakarida dinding sel yang stabil terhadap panas sedangkan
antigen H adalah protein yang bersifat termolabil12
2.2.3 Gejala demam tifoid
Keluhan dan gejala demam tifoid tidak khas, dan bervariasi dari gejala seperti
flu ringan sampai tampilan sakit berat dan fatal yang mengenai banyak sistem organ.
Secara klinis gambaran penyakit demam tifoid berupa demam berkepanjangan,
gangguan fungsi usus, dan keluhan susunan saraf pusat. Gejala-gejala tersebut
meliputi:
a. Panas lebih dari 7 hari, biasanya mulai dengan sumer yang makin hari makin
meninggi, sehingga pada minggu ke 2 panas tinggi terus menerus terutama pada
malam hari.
b. Gejala gastrointestinal dapat berupa diare, mual, muntah, dan kembung,
hepatomegali, splenomegali dan lidah kotor tepi hiperemi.
c. Gejala saraf sentral berupa delirium, apatis, sopor, bahkan sampai koma13
2.2.3 Patofisiologi
Masuknya kuman Salmonella typhi (S.typhi) dan Salmonella paratyphi (S.
paratyphi) ke dalam tubuh manusia terjadi melalui makanan yang terkontaminasi
kuman. Sebagian kuman dimusnahkan dalam lambung, sebagian lolos masuk ke
dalam lumen usus dan selanjutnya berkembang biak. Bila respon humoral mukosa
usus (IgA) kurang baik, maka kuman akan menembus sel-sel epitel (terutama sel M)
dan selanjutnya ke lamina propia. Di lamina propia kuman akan berkembang biak dan
difagosit oleh makrofag. Kuman dapat hidup di dalam makrofag dan selanjutnya akan
dibawa ke plaque Peyeri ileum distal dan kemudian ke kelenjar getah bening
mesenterika. Selanjutnya melalui duktus torasikus, kuman yang terdapat di dalam
makrofag ini akan masuk ke sirkulasi darah ( menyebabkan bakteremia
asimptomatik) dan menyebar ke seluruh organ retikuloendotelial tubuh terutama hati
dan limpa. Di dalam organ-organ in kuman meningglakan makrofag dan berkembang
biak di luar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi darah
lagi menyebabkan bakteremia yang kedua kalinya dengan disertai tanda-tanda dan
gejala penyakit infeksi sistemik
Di dalam hati, kuman masuk ke dalam kandung empedu, berkembang biak,
dan bersama cairan empedu diekskresikan secara intermittent ke dalam lumen usus.
Sebagian kuman dikeluarkan bersama feses sebagian lagi masuk ke dalam sirkulasi
setelah menembus lumen usus. Proses yang sama terulang kembali, berehubung
makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka saat fagositosis kuman Salmonella
terjadi pelepasan beberapa mediator inflamasi yang selanjutnya akan menimbulkan
gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala, sakit
perut, instabilitas vascular, gangguan mental dan koagulasi.
Di dalam Plaque Peyeri makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hyperplasia
jaringan (S.typhi intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat,
hyperplasia jaringan dan nekrosis organ). Perdarahan saluran cerna dapat terjadi
akibat erosi perdarahan sekitar plaque Peyeri yang sedang mengalami nekrosis dan
hyperplasia akibat akumulasi sel-sel mononuclear di dinding usus. Proses patologis
jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot, serosa usus, dan dapat
mengakibatkan perforasi, endotoksin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler
dengan akibat timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik,
kardiovaskular, pernapasan dan gangguan organ lainnya14
2.2.4 Komplikasi
1. Komplikasi intestinal
a. Perdarahan usus
b. Perporasi usus
c. Ilius paralitik
2. Komplikasi extra intestinal
a. Komplikasi kardiovaskuler : kegagalan sirkulasi (renjatan sepsis), miokarditis,
trombosis, tromboplebitis.
b. Komplikasi darah : anemia hemolitik, trobositopenia, dan syndroma uremia
hemolitik.
c. Komplikasi paru : pneumonia, empiema, dan pleuritis.
d. Komplikasi pada hepar dan kandung empedu : hepatitis, kolesistitis.
e. Komplikasi ginjal : glomerulus nefritis, pyelonepritis dan perinepritis.
f. Komplikasi pada tulang : osteomyolitis, osteoporosis, spondilitis dan arthritis.
g. Komplikasi neuropsikiatrik : delirium, meningiusmus, meningitis, polineuritis
perifer, sindroma Guillain bare dan sidroma katatonia15
2.2.5 Diagnosa
1. Manifestasi Klinis
Masa tunas demam tifoid berlangsung 10-14 hari. Gejala-gejala klinis timbul
sangat bervariasi dari ringan sampai berat, dari asimptomatik hingga gambaran
penyakit yang khas disertai dengan komplikasi hingga kematian.
Pada minggu pertama gejala klinis penyakit ini ditemukan keluhan dan gejala
serupa dengan penyakit infeksi pada umunya yaitu demam, nyeri kepala, pusing,
nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare, perasaan tidak enak di perut,
batuk dan epistaksis. Pada pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan
meningkat. Sifat demam adalah meningkat perlahan-lahan dan terutama pada sore
hingga malam hari.
Dalam minggu kedua, gejala-gejala menjadi lebih jelas berupa demam,
bradikardi relative (peningkatan suhu 1°C tidak diikuti peningkatan denyut nadi 8
kali/menit), lidah yang berselaput (kotor ditengah, tepi dan ujung merah serta tremor),
hepatomegali, splenomegali, meteorismus, gangguan mental berupa somnolen,
stupor, koma, delirium, atau psikosi16
2. Pemeriksaan Penunjang
· Pemeriksaan Laboratorium : dapat ditemukan lekopenia, lekositosis, atau lekosit
normal, aneosinofilia, limfopenia, peningkatan LED, anemia ringan, trombositopenia,
gangguan fungsi hati (SGOT dan SGPT meningkat) tetapi dapat kembali normal
setelah sembuh.
· Uji widal : Uji widal dilakukan untuk deteksi antibody terhadap kuman S.thypi.
Pada uji widal terjadi suatu reaksi aglutinasi antar antigen kuman S.thypi dengan
antiboby yamg di sebut aglutinin. Antigen yang di gunakan pada uji widal adalah
suspensi salmonella yang sudah dimatikan dan diolah di laboratorium. Maksud uji
widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita tersangka
demam tifoid yaitu:
a. Aglutinin O dari tubuh kuman
b. Aglutinin H dari flagella kuman
c. Aglutinin v simpai dari simpai kuman
Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang di gunakan untuk
diagnostik demam tifoid semakin tinggi titernya semakin tinggi kemungkinan
terinfeksi penyakit ini. Pembentukan aglutinin mulai terjadi pada akhir minggu
pertama demam, kemudian meningkat secara cepat dan mencapai puncak pada
minggu keempat, dan tetap tinggi selama beberapa minggu. Pada fase akut, mula-
mula timbul aglutinin O kemudian diikuti dengan aglutinin H. pada orang yang telah
sembuh dapat dijumpai aglitinin O 4-6 bulan, sedangkan aglutinin H menetap lebih
lama 9-12 bulan.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi uji widal yaitu :
1) Pengobatan dini dengan antiboitik
2) Gangguan pembentukan antibodi dan pemberian kortikosteroid
3) Waktu pengambilan darah
4) Daerah endemik atau non endemik
5) Riwayat vaksinasi
6) Reaksi anamnestik, yaitu penigkatan titer aglutinin pada infeksi bukan demam
tifoid akibat infeksi demam tifoid masa lalu atau vaksinasi.
7) Faktor teknik pemeriksaan antar laboratorium, akibat aglutinasi silang dan starin
salmonella yang di gunakan untuk suspensi antigen16
Saat ini belum ada kesamaan pendapat mengenai titer glutinin yg bermakna
diagnostik untuk demam tifoid. Batas titer yg dipakai hanya kesepakatan saja, hanya
berlaku setempat saja, dan dapat berbeda pada tiap-tiap laboratorium. Peningkatan
titer uji Widal >4 kali lipat setelah satu minggu memastikan diagnosis. Uji Widal
tunggal dengan titer antibodi O 1/320 atau H 1/640 disertai gambaran klinis khas
menyokong diagnosis16
- Uji Tubex : Tes Tubex merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang
sederhana dan cepat (kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan partikel yang
berwarna untuk meningkatkan sensitivitas. Spesifisitas ditingkatkan dengan
menggunakan antigen O9 yang benar-benar spesifik yang hanya ditemukan pada
Salmonella serogrup D. Tes ini sangat akurat dalam diagnosis infeksi akut karena
hanya mendeteksi adanya antibodi IgM dan tidak mendeteksi antibodi IgG dalam
waktu beberapa menit18.
Walaupun belum banyak penelitian yang menggunakan tes tubex ini, beberapa
penelitian pendahuluan menyimpulkan bahwa tes ini mempunyai sensitivitas dan
spesifisitas yang lebih baik daripada uji Widal. Penelitian oleh Lim dkk (2002)
mendapatkan hasil sensitivitas 100% dan spesifisitas 100%. Penelitian lain
mendapatkan sensitivitas sebesar 78% dan spesifisitas sebesar 89%. Tes ini dapat
menjadi pemeriksaan yang ideal, dapat digunakan untuk pemeriksaan secara rutin
karena cepat, mudah dan sederhana, terutama di negara berkembang18.
- Mikrobiologi Gall Culture
Bahan pemeriksaan untuk kultur dapat menggunakan darah, aspirat sumsum
tulang, feses, atau urine. Kultur darah masih digunakan sebagai standar baku emas
karena prosedur pengambilan bahan pemeriksaan darah relatif kurang invasif
dibandingkan dengan aspirasi sumsum tulang. Sensitivitas pemeriksaan kultur darah
penderita demam tifoid pada minggu pertama 60-80% bila prosedur kultur memenuhi
syarat, yaitu volume bahan pemeriksaan darah minimal 5-15 ml untuk penderita
dewasa dan anak 2-3 ml, penderita belum mendapat terapi antibiotik. Sensitivitas
kultur Salmonella sp. dari bahan pemeriksaan aspirat sumsum tulang lebih tinggi
yaitu 80-95%, karena hasil pemeriksaan kultur sumsum tulang tidak tergantung pada
lama penderita sakit maupun pemberian terapi antibiotik sebelum pemeriksaan kultur,
tetapi tindakan aspirasi sumsum tulang invasif dan penuh. Hasil pemeriksaan kultur
Salmonella typhi, umumnya baru diperoleh setelah 3-5 hari inokulasi bahan
pemeriksaan pada media kultur, sehingga penegakan diagnosis demam tifoid sering
terlambat dan hasil kultur sering negatif palsu akibat terapi antibiotik sebelum
pemeriksaan kultur19.
2.2.6 Penatalaksanaan
· Pengobatan non-medikamentosa
1. Istirahat dan perawatan : tirah baring dan perawatan profesional bertujuan untuk
pencegahan komplikasi. Tirah baring dengan perawatan sepenuhnya di tempat seperti
makan, minum, mandi, buang air kecil, dan buang air besar akan membantu dan
mempercepat masa penyembuhan. Dan sangat perlu sekali di jaga kebersihannya.17
2. Diet dan terapi penunjang : diet muerupakan hal yang cukup penting dalam proses
penyembuhan penyakit demam tifoid, karena makanan yang kurang dapat
mempengarui kondisi pasien demam tifoid, di masa lampau penderita demam tifoid
hanya diberi bubur saring, kemudian ditingkatkan menjadi bubur kasar dan akhir nya
di berikan nasi. Pemberian bubur saring bertujuan untuk menghindari komplikasi
perdarahan saluran cerna atau perforasi usus.17
· Pengobatan medikamentosa
Obat-obat pilihan pertama adalah kloramfenikol, ampisilin/amoksisilin atau
kotrimoksasol. Obat pilihan kedua adalah sefalosporin generasi III. Obat-obat pilihan
ketiga adalah meropenem, azithromisin dan fluorokuinolon.
Kloramfenikol diberikan dengan dosis 50 mg/kg BB/hari, terbagi dalam 3-4
kali pemberian, oral atau intravena, selama 14 hari. Bilamana terdapat indikasi
kontra pemberian kloramfenikol , diberi
ampisilin dengan dosis 200 mg/kgBB/hari, terbagi dalam 3-4 kali. Pemberian,
intravena saat belum dapat minum obat, selama 21 hari, atau
amoksisilin dengan dosis 100 mg/kgBB/hari, terbagi dalam 3-4 kali.
Pemberian, oral/intravena selama 21 hari, atau
kotrimoksasol dengan dosis (tmp) 8 mg/kbBB/hari terbagi dalam 2 kali
pemberian, oral, selama 14 hari.
Pada kasus berat, dapat diberi seftriakson dengan dosis 50 mg/kg BB/kali dan
diberikan 2 kali sehari atau 80 mg/kg BB/hari, sekali sehari, intravena, selama 5-7
hari17