bab ii tinjauan pustaka a. tinjauan umum tentang ...repository.ump.ac.id/218/3/bab ii ~ m. lukman...
TRANSCRIPT
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum tentang Pengertian Perjanjian
1. Pengertian Perjanjian
Mengenaipengertian perjanjian diatur dalam buku III KUHPerdata
Pasal 1313KUH Perdata:
“suatu perbuatan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya
terhadap satu orang lain atau lebih”.
Perumusan tersebut mengandung polemik di antara para sarjana, mereka
menganggap perumusan perjanjian yang diatur dalam pasal 1313
KUHPerdata mengandung ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
1. Kata perbuatan pada pasal 1313 KUHPerdata lebih tepat kalau diganti
dengan kata perbuatan/tindakan hukum, karena tidak hanya untuk
menunjukan akibat hukum yang dikehendaki, tetapi didalamnya sudah
tersimpul adanya sepakat yang merupakan ciri daripada perjanjian
(Pasal 1320 KUHPerdata).
2. Kalimat dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya
terhadap satu orang lain atau lebih, ini menimbulkan kesan seolah-olah
perjanjian sepihak. Supaya tidak terjadi salah pengertian, maka
sebaiknya ditambahkan “atau dimana kedua belah pihak saling
mengikatkan diri” (J.Satrio, 1992: 18).
Yang dimaksud dengan perjanjian adalah suatu perbuatan hukum
dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan diri pada satu orang lain
atau lebih atau dimana para pihak saling mengikatkan dirinya terhadap
lawan janjinya (J. Satrio, 1995: 7).
aKIBAT hUKUM dARI..., m. lUKMAN nUR hAKIM, f. hUKUM ump, 2015.
10
2. Syarat-Syarat Sahnya Perjanjian
Syarat-syarat sahnya perjanjian diatur dalam Pasal 1320
KUHPerdata, yaitu:
a. sepakat mereka yang mengikatkan dirinya,
b. kecakapan untuk membuat suatu perikatan,
c. suatu hal tertentu,
d. suatu sebab yang halal.
Dua syarat yang pertama adalah syarat yang menyangkut
subyeknya, sedangkan dua syarat yang terakhir adalah mengenai
obyeknya.Suatu perjanjian yang mengandung cacat subyeknya, tidak
selalu menjadikan perjanjian tersebut batal dengan sendirinya, tetapi
seringkali hanya memberikan kemungkinan untuk dibatalkan, sedang
perjanjian yang cacat dalam segi obyeknya adalah batal demi hukum (J.
Satrio, 1995: 163-164).
Ad.a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya.
Suatu syarat yang logis, karena dalam perjanjian harus ada dua
orang yang saling berhadap-hadapan dan mempunyai kehendak yang
saling mengisi.Orang dikatakan telah memberikan persetujuan /
sepakatnya, kalau orang. Pernyataan kehendak tersebut harus merupakan
kehendak yang diberikan secara bebas dalam arti betul-betul atas
kemauan sukarela para pihak tanpa cacat kehendak yaitu tanpa paksaan,
kekhilafan, kesesatan atau penipuan.
aKIBAT hUKUM dARI..., m. lUKMAN nUR hAKIM, f. hUKUM ump, 2015.
11
Menurut ketentuan Pasal 1321 KUHPerdata berikut:
Tiada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan,
atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan.
Pasal 1324 KUHPerdata merumuskan:
(1) Paksaan telah terjadi, apabila perbuatan itu sedemikian rupa
hingga dapat menakutkan orang yang berpikir sehat, dan
apabila perbuatan itu dapat menimbulkan ketakutan pada
orang tersebut bahwa dirinya atau kekayaannya terancam
dengan suatu kerugian yang terang dan nyata.
(2) Dalam mempertimbangkan hal itu, harus diperhatikan usia,
kelamin dan kedudukan orang-orang yang bersangkutan.
Pasal 1328 KUHPerdata menyebutkan:
(1) Penipuan merupakan suatu alasan untuk pembatalan
perjanjian, apabila tipu muslihat, yang dipakai oleh salah satu
pihak, adalah sedemikian rupa hingga terang dan nyata
bahwa pihak yang lain tidak telah membuat perikatan itu jika
dilakukan tipu muslihat tersebut.
(2) Penipuan tidak dipersangkakan tetapi harus dibuktikan.
Dengan demikian jika sepakatnya para pihak karena ada unsur
kekhilafan, paksaan, atau penipuan, maka perjanjian tersebut dapat
dimintakan pembatalan kepada hakim.Bila tidak dimintakan pembatalan
maka perjanjian tersebut mengikat para pihak.Untuk menyatakan
kehendak, wujudnya bermacam-macam, dapat secara diam-diam dan dapat
aKIBAT hUKUM dARI..., m. lUKMAN nUR hAKIM, f. hUKUM ump, 2015.
12
pula secara tegas.Dalam pernyataan kehendak secara diam-diam,
pernyataan secara setuju dapat disimpulkan dari sikap/ tindakan orang
yang bersangkutan dan tindakan tersebut menimbulkan kepercayaan bagi
pihak lawan Pernyataan kehendak secara tegas, dapat dilakukan secara
tertulis lisan maupun dengan tanda-tanda.Pernyataan kehendak yang
diberikan secara tertulis, dapat dilakukan dengan akta otentik maupun
dengan akta di bawah tangan.
Ad.b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
Menurut Pasal 1329 KUHPerdata menyatakan bahwa :
“setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan-perikatan,
jika ia oleh undang-undang tidak dinyatakan tak cakap”.
Pasal 1330 KUHPerdata merumuskan:
Tak cakap untuk membuat suatu perjanjian adalah:
1. orang yang belum dewasa,
2. mereka yang ditaruh di bawah pengampuan,
3. orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh
undang-undang, dan pada umumnya semua orang-orang kepada
siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian-
perjanjian tertentu.
Pasal 330 ayat (1) KUHPerdata menyebutkan:
(1) Belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur
genap dua puluh satu tahun, dan tidak lebih dahulu telah
kawin.
aKIBAT hUKUM dARI..., m. lUKMAN nUR hAKIM, f. hUKUM ump, 2015.
13
Sehingga, dapat disimpulkan bahwa orang dapat dikatakan dewasa
atau cakap adalah mereka yang telah berusia genap berusia 21 tahun atau
telah lebih dahulu kawin. Untuk orang yang berada di bawah pengampuan
kedudukan hukumnya adalah sama dengan seorang anak yang belum
dewasa. Hal itu diatur dalam Pasal 452 ayat (1) KUHPerdata sebagai
berikut :
(1) Setiap orang yang ditaruh di bawah pengampuan, mempunyai
kedudukan yang sama dengan seorang yang belum dewasa.
Orang yang berada di bawah pengampuan (curatele) dapat terjadi
atas dasar:
a. gila (sakit otak), dungu, mata gelap,
b. lemah akal,
c. pemborosan (J. Satrio, 1992: 283).
Setiap tindakan hukum orang yang berada di bawah pengampuan, diwakili
oleh pengampuannya (curandus).
Mengenai istri-istri sekarang dianggap cakap dengan keluarnya
SEMA No. 3/1963 tanggal 5 September 1963 yang telah menetapkan
bahwa Pasal 108 dan 110 KUHPerdata tentang wewenang seorang istri
untuk melakukan tindakan hukum di muka pengadilan dinyatakan tidak
berlaku lagi. Kemudian dipertegas lagi dengan keluarnya UU No. 1 Tahun
1974 dimana kedudukan istri adalah seimbang dengan suami (Pasal 31 UU
No. 1 Tahun 1974).
aKIBAT hUKUM dARI..., m. lUKMAN nUR hAKIM, f. hUKUM ump, 2015.
14
Ad.c. Suatu hal tertentu
Dalam suatu perjanjian harus mempunyai sebagai pokok suatu
benda (zaak) yang paling sedikit ditentukan jenisnya.Maksudnya adalah,
bahwa objek perjanjian tidak harus secara individual tertentu, tetapi cukup
bahwa jenisnya ditentukan.Hal itu tidak berarti, bahwa perjanjian sudah
memenuhi syarat, kalau jenis objeknya saja yang sudah
ditentukan.Ketentuan itu harus ditafsirkan, bahwa objek perjanjian harus
tertentu, sekalipun masing-masing objek tidak harus secara individual
tertentu (J. Satrio, 1992: 293).
Pasal 1333 KUHPerdata menyebutkan sebagai berikut :
(1) Suatu perjanjian harus mempunyai sebagai pokok suatu barang
yang paling sedikit ditentukan jenisnya.
(2) Tidaklah menjadi halangan bahwa barang tidak tentu, asal
jumlah itu terkemudian dapat ditentukan atau dihitung.
Dalam Pasal 1334 ayat (1) KUHPerdata sebagai berikut :
Barang-barang yang baru akan ada dikemudian hari dapat menjadi
pokok suatu perjanjian.
Ad.d. Suatu sebab yang halal
Causa suatu perjanjian adalah akibat yang sengaja ditimbulkan
oleh tindakan menutup perjanjian, yaitu apa yang menjadi tujuan para
pihak untuk menutup perjanjian (Satrio, 1992: 312).
aKIBAT hUKUM dARI..., m. lUKMAN nUR hAKIM, f. hUKUM ump, 2015.
15
Mengenai apa yang dimaksud dengan kausa yang halal dalam
Pasal 1335 KUHPerdata disebutkan:
Suatu persetujuan tanpa sebab atau yang telah dibuat karena sebab yang
palsu atau terlarang tidak mempunyai kekuatan.
Pasal 1337 KUHPerdata menyebutkan bahwa:
Suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang,
atau apabila berlawanan dengan kesusilaan atau ketertiban umum.
B. PerjanjianPenggunaan Klausul Baku 1. Pengertian Perjanjian Baku
Beberapa istilah dalam perjanjian baku antara lain yang dikenal di
negeri Belanda dengan nama standaard contract; di Jerman dikenal
dengan nama standard vertrag; dan di Inggris serta negara-negara Anglo
Saxon lainnya dikenal dengan istilah standard forms of contract. Di
samping istilah-istilah tersebut, perjanjian baku juga mendapat sebutan
khusus karena sifatnya, yaitu disebut sebagai unconcious bargain, karena
perjanjian ini dianggap tidak berperikemanusiaan. Selain itu juga diberi
nama dengan sebutan agrement d’adhesion, karena bersifat menekan salah
satu pihak. Adapun sebutan konfeksi sering ditujukan pada perjanjian baku
karena format perjanjian (biasanya dalam bentuk formulir) yang telah
tersedia dalam jumlah yang banyak dan siap untuk diisi jika akan membuat
perjanjian. Pasal 1 angka (10) Undang-undang No. 8 tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen, menjelaskan klausula baku adalah setiap aturan
atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan
aKIBAT hUKUM dARI..., m. lUKMAN nUR hAKIM, f. hUKUM ump, 2015.
16
terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam
suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh
konsumen.
Sutan Remi Sjahdenidalam Shidarta, (2006: 146-147) mengartikan
perjanjian standar sebagai perjanjian yang hampir seluruh klausul-
klausulnya dibakukan oleh pemakainya dan pihak yang lain pada dasarnya
tidak mempunyai peluang untuk merundingkan atau meminta perubahan.
Adapun yang belum dibakukan hanya beberapa hal, misalnya yang
menyangkut jenis, harga, jumlah, warna, tempat, waktu, dan beberapa hal
yang spesifik dari objek yang dipejanjikan.
Perjanjian baku ini lazim digunakan dengan istilah ”kontrak baku”
atau ”kontrak standar”. Di dalam kontrak baku tersebut lazimnya dimuat
syarat-syarat yang membatasi kewajiban kreditur. Syarat-syarat itu
dinamakan eksonerasi klausules atau exemption clause. Syarat ini sangat
merugikan debitur, tetapi debitur tidak dapat membantah syarat tersebut,
karena kontrak itu hanya memberi 2 (dua) alternatif, diterima atau ditolak
oleh debitur. Mengingat debitur sangat membutuhkan kontrak itu, maka
debitur menandatanganinya. Di dalam kepustakaan, kontrak baku ini
disebut perjanjian paksaan (dwang kontrak) atau take it or leave it contract
(Mariam Darus Badrulzaman, 2001: 285).
Perjanjian baku ini sering kali dikaitkan dengan masalah
keberadaan syarat-syarat eksemsi (eksonerasi). Hal ini juga sering disebut
dengan ”perjanjian adhesi” karena isinya sering kali menekan salah satu
pihak (umumnya pihak yang posisi tawarnya lemah). Penekanan tersebut
aKIBAT hUKUM dARI..., m. lUKMAN nUR hAKIM, f. hUKUM ump, 2015.
17
merupakan upaya yang biasanya dilakukan dengan cara mencantumkan
syarat-syarat eksemsi yang memberatkan salah satu pihak ke dalam bentuk
syarat-syarat baku. Untuk melindungi lemahnya kedudukan masyarakat
konsumen, dalam upaya perlindungan hukum yang selama ini hanya
menyangkut tanggung jawab produsen atas produk yang dihasilkannya,
yaitu yang dikenal dengan tanggung gugat produsen. Oleh karena itu perlu
adanya upaya perlindungan konsumen, dengan mencari alternatif jalan
keluarnya.
Khusus dalam proses litigasi dan pembentukan hubungan hukum,
pada umumnya, pihak yang mempunyai kekuatan tawar yang dominan
cenderung dalam posisi ”di atas angin”, jika dibanding dengan pihak yang
posisi tawarnya lemah. Kaitannya dengan perjanjian baku, dalam
pembentukan hubungan hukum, pihak konsumen tampak dan terkesan
lebih bersikap ”pasif”, sementara pihak pelaku usaha lebih bersifat ”aktif”,
dalam arti lebih mempunyai posisi yang menentukan. Pitlo
menggolongkan perjanjian baku sebagai perjanjian paksa (dwang
contract), yang walaupun secara teoritis yuridis, perjanjian baku ini tidak
memenuhi ketentuan undang-undang, dan oleh beberapa ahli hukum
ditolak, namun kenyataannya kebutuhan masyarakat berjalan dalam arah
yang berlawanan dengan keinginan hukum (Pitlo dalam Ahmadi Miru,
2004: 117).
aKIBAT hUKUM dARI..., m. lUKMAN nUR hAKIM, f. hUKUM ump, 2015.
18
Pasal 1 angka (10) Undang-undang No. 8 tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen, memberikan definisi klausula baku adalah:
“setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen”. Perjanjian yang dibuat dengan menggunakan perjanjian baku, di
satu sisi sangat menguntungkan apabila dilihat dari segi waktu tenaga dan
biaya karena hal ini dapat dihemat, tetapi di sisi lain menempatkan pihak
yang tidak ikut membuat klausul di dalam perjanjian tersebut sebagai
pihak yang dirugikan baik langsung maupun tidak langsung. Hal ini karena
pembuatan perjanjian baku yang secara sepihak dan sudah
distandarisasikan hanya menyisakan sedikit atau bahkan tidak sama sekali
ruang gerak bagi pihak lain untuk menegosiasikan isi perjanjian tersebut.
Lagi pula apabila dilihat dari segi isinya terdapat ketidakseimbangan hak
dan kewajiban para pihak, biasanya pihak pelaku usaha cenderung
melindungi kepentingannya sendiri, yaitu dengan menetapkan sejumlah
hak sekaligus membatasi hak-hak pihak lawan, sebaliknya pengusaha
meminimalkan kewajibannya sendiri dan mengatur sebanyak mungkin
kewajiban pihak lawan.
Ciri-ciri perjanjian baku adalah sebagai berikut(Abdulkadir,
2002:6):
a. Isinya ditetapkan secara sepihak oleh kreditur yang posisinya relatif
lebih kuat dari debitur
b. Debitur sama sekali tidak ikut menentukan isi perjanjian tersebut;
aKIBAT hUKUM dARI..., m. lUKMAN nUR hAKIM, f. hUKUM ump, 2015.
19
c. Terdorong oleh kebutuhan,debitur terpaksa menerima perjanjian
tersebut;
d. Bentuknya tertulis.
Perjanjian baku digunakan dalam perjanjianlaundry dimana pihak
pelaku usaha laundry telah menyiapkan terlebih dahulu klausula-klausula
dalam perjanjian dan pihak konsumen hanya bisa menyetujuinya tanpa
memiliki kesempatan untuk bernegosiasi mengubah klausula-klausula
yang sudah dibuat oleh pihak pelaku usaha laundry. Perjanjian terjadi
berlandaskan asas kebebasan berkontrak diantara para pihak yang
mempunyai kedudukan seimbang, sedangkan dalam perjanjian baku,
kebebasan berkontrak tersebut patut dipertanyakan karena dapat dikatakan
bahwa dalam perjanjian baku tidak ada kesetaraan kedudukan yang
seimbang antara para pihak yang membuat perjanjian tersebut. Dengan
adanya perjanjian laundry, maka muncullah perikatan antara para pihak.
Perikatan adalah suatu hubungan hukum antara dua orang atau dua pihak,
berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak
yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu
(Subekti,1997:1).
Sekarang ini, terdapat bentuk perjanjian dengan cara penyiapan
suatu formulir perjanjian yang sudah dicetak dan kemudian disodorkan
kepada pihak konsumen untuk disetujui, dengan hampir tidak memberikan
kebebasan sama sekali kepada pihak konsumen untuk menentukan isi
perjanjian. Perjanjian yang demikian dinamakan perjanjian baku.
Perjanjian baku adalah konsep perjanjian tertulis yang disusun tanpa
aKIBAT hUKUM dARI..., m. lUKMAN nUR hAKIM, f. hUKUM ump, 2015.
20
membicarakan isinya dan lazimnya dituangkan kedalam sejumlah
perjanjian tidak terbatas yang sifatnya tertentu. Jadi perjanjian baku adalah
perjanjian yang isinya dibakukan dan dituangkan dalam bentuk formulir.
Pihak lawan dari yang menyusun perjanjian umumnya disebut adherent,
berhadapan dengan yang menyusun perjanjian,tidak mempunyai pilihan
kecuali menerima/menolak (Badrulzaman,1994:47).
Pasal 18 ayat (2) Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen menyebutkan mengenai ketentuan teknis dari
pencantuman klausula baku yang isinya adalah bahwa:
“pelaku usaha dilarang mencantumkan klausuka baku yang letak
atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas,
atau pengungkapannya sulit dimengerti”.
Kemudian Pasal 18 ayat (4) Undang-undang No. 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen, menyatakan bahwa:
“pelaku usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang
bertentangan dengan Undang-undang Nomor 8 tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen”.
Setelah berlakunya Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen, para pelaku usaha yang telah mencantumkan
atau membuat klausula baku yang bertentangan dengan Pasal 18 UUPK
tersebut diwajibkan untuk menyesuaikan klausula baku sehingga tidak
bertentangan dengan Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen.Undang-undang No. 8 tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen pada prinsipnya tidak melarang pelaku usaha
untuk membuat perjanjian yang memuat klausula baku dalam setiap
aKIBAT hUKUM dARI..., m. lUKMAN nUR hAKIM, f. hUKUM ump, 2015.
21
dokumen dan/atau transaksi usaha perdagangan barang dan/atau jasa,
selama dan sepanjang perjanjian baku dan/atau klausula baku tersebut
tidak mencantumkan ketentuan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 18
ayat (2) Undang-undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen, yaitu mengenai pencantuman klausula eksonerasi yang letak
atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau
pengungkapannya sulit dimengerti oleh konsumen.
2. Bentuk Perjanjian Baku
Bentuk perjanjian baku yang berkembang dalam masyarakat
semakin beragam. Menurut Mariam Darus perjanjian baku yang terdapat
di dalam masyarakat dapat dibedakan ke dalam empat jenis, yaitu: (Salim,
2006:156)
a. Perjanjian baku sepihak
Perjanjian baku sepihak adalah perjanjian yang isinya ditentukan oleh
pihak yang kuat kedudukannya di dalam perjanjian itu. Pihak yang
kuat ialah pihak kreditur yang lazimnya mempunyai posisi (ekonomi)
lebih kuat dibandingkan pihak debitur.
b. Perjanjian baku timbal balik
Perjanjian baku timbal balik adalah perjanjian baku yang isinya
ditentukan oleh kedua belah pihak, misalnya perjanjian baku yang
pihak-pihaknya terdiri dari pihak majikan (kreditur) dan pihak lainnya
buruh (debitur). Kedua pihak lazimnya terikat dalam organisasi,
misalnya pada perjanjian buruh kolektif.
aKIBAT hUKUM dARI..., m. lUKMAN nUR hAKIM, f. hUKUM ump, 2015.
22
c. Perjanjian yang ditetapkan pemerintah
Perjanjian yang ditetapkan pemerintah adalah perjanjian baku yang
isinya ditentukan pemerintah terhadap perbuatan hukum tertentu,
misalnya perjanjian yang mempunyai objek hak atas tanah.
d. Perjanjian yang ditentukan di lingkungan notaris atau advokat
Perjanjian yang ditentukan di lingkungan notaris atau advokat adalah
perjanjian yang konsepnya sejak semula disediakan untuk memenuhi
permintaan anggota masyarakat yang meminta bantuan notaris atau
advokat yang bersangkutan.
3. Klausula Eksonerasi/Klausula Eksemsi
Pencantuman klausula baku dalam suatu perjanjian baku pada
dasarnya tidak dilarang, yang tidak diperbolehkan dalam perjanjian baku
adalah apabila terdapat klausula yang memberatkan salah satu pihak.
Klausula yang dimaksud disebut dengan klausula eksonerasi atau klausula
eksemsi, yaitu klausula yang isinya pembebasan tanggung jawab
(exemtion clause) salah satu pihak yang dilimpahkan kepada pihak lawan.
Klausula eksonerasi biasanya dimuat dalam perjanjian sebagai klausula
tambahan atas unsur esensial dari suatu perjanjian, pada umumnya terdapat
dalam perjanjian baku.
MenurutRijken (Ahmadi Miru, 2004: 114) mengatakan bahwa,
klausula eksonerasi adalah klausula yang dicantumkan dalam suatu
perjanjian dengan mana satu pihak menghindarkan diri untuk memenuhi
kewajibannya membayar ganti rugi seluruhnya atau terbatas, yang terjadi
aKIBAT hUKUM dARI..., m. lUKMAN nUR hAKIM, f. hUKUM ump, 2015.
23
karena ingkar janji atau perbuatan melanggar hukum. David Yates
memberikan definisi terhadap klausula eksonerasi yaitu bagian dari suatu
perjanjian yang membatasi, membebaskan atau merekayasa ganti rugi atau
tanggung jawab yang timbul dari pelanggaran terhadap suatu perjanjian.
(Celina,tanpa tahun, 141)
Ahmadi Miru (2004: 116) memberikan ciri-ciri perjanjian baku
yang mengandung klausula eksonerasi, yaitu:
a. Pada umumnya isinya ditetapkan oleh pihak yang posisinya lebih kuat; b. Pihak lemah pada umumnya tidak ikut menentukan isi perjanjian yang
merupakan unsur aksidentalia dari perjanjian; c. Terdorong oleh kebutuhannya, pihak lemah terpaksa menerima
perjanjian tersebut; d. Bentuknya tertulis; e. Dipersiapkan terlebih dahulu secara massal atau individual.
Klausula eksonerasi dalam KUHPerdata tercantum dalam Pasal
1493, yang menyatakan bahwa “Kedua belah pihak diperbolehkan dengan
persetujuan-persetujuan istimewa, memperluas atau mengurangi kewajiban
yang ditetapkan oleh undang-undang ini, bahwa mereka itu diperbolehkan
mengadakan perjanjian bahwa si penjual tidak akan diwajibkan
menanggung suatu apapun. Selanjutnya Pasal 1506 KUHPerdata
menyatakan bahwa “Ia diwajibkan menanggung terhadap cacat yang
tersembunyi, meskipun ia sendiri tidak mengetahui adanya cacat itu,
kecuali jika ia, dalam hal yang demikian, telah meminta perjanjian bahwa
ia tidak diwajibkan menanggung suatu apapun”.
aKIBAT hUKUM dARI..., m. lUKMAN nUR hAKIM, f. hUKUM ump, 2015.
24
Adapun klausula eksonerasi di dalam UUPK diatur dalam Pasal 18
ayat 1 huruf (a) yang menyatakan bahwa “pelaku usaha dalam
menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk perdagangan
dilarang membuat dan/atau mencantumkan klausula baku pada setiap
dokumen dan/atau perjanjian apabila menyatakan pengalihan tanggung
jawab pelaku usaha”. Larangan tersebut dimaksudkan untuk menempatkan
kedudukan konsumen setara dengan pelaku usaha berdasarkan prinsip
kebebasan berkontrak (penjelasan Pasal 18 ayat 1 UUPK).Dengan
menggunakan perjanjian baku maka terdapat perbedaan posisi para pihak
dalam perjanjian pengguna jasa laundry. Para pihak tidak memiliki posisi
tawar yang sama kuat. Apabila salah satu pihak memiliki posisi tawar yang
lemah, maka besar kemungkinan pihak yang kuat akan menentukan isi
kontrak untuk kepentingannya sendiri dengan merugikan pihak yang
lemah. Perjanjian baku memang tidak memenuhi ketentuan Undang-
undang, namun berdasarkan kebutuhan masyarakat dalam kenyataannya
dapat diterima. Penerimaan perjanjian baku oleh masyarakat motifasinya
adalah bahwa hukum berfungsi untuk melayani kebutuhan masyarakat dan
bukan sebaliknya.
Pasal 1 angka 10 Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen menjelaskan yang dimaksud dengan klausula
baku adalah setiap aturan /ketentuan dan syarat-syarat yang telah
dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku
usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang
mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen.
aKIBAT hUKUM dARI..., m. lUKMAN nUR hAKIM, f. hUKUM ump, 2015.
25
Lahirnya Undang-undang Nomor 8 tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen pada 20 April 1999 menjadi harapan baru, di
mana masalah perlindungan konsumen perlu penataan dan adanya
kepastian hukum. Hukum konsumen adalah keseluruhan asas-asas dan
kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan dan masalah antara
berbagai pihak satu sama pihak lain berkaitan dengan barang dan atau jasa
konsumen, di dalam pergaulan hidup (A.Z. Nasution, 1999: 64)
Secara umum dikenal ada empat hak dasar konsumen, yaitu :
1. hak untuk mendapatkan keamanan (the right to safety);
2. hak untuk mendapatkan informasi (the right to be informecy);
3. hak untuk memilih (the right to choose);
4. hak untuk didengar (the right to be hear) (Shidarta, 2000: 17).
Adapun untuk menjaga hak-hak dasar konsumen tersebut
pemerintah bertanggung jawab atas pembinaan penyelenggaraan
perlindungan konsumen yang menjamin diperolehnya hak konsumen dan
pelaku usaha serta dilaksanakannya kewajiban konsumen dan pelaku
usaha. Dalam rangka mengembangkan upaya perlindungan konsumen
dibentuk Badan Perlindungan konsumen.Menurut ketentuan Pasal 36
Undang-undang 8 tahun 1999, Anggota Badan Perlindungan Konsumen
terdiri dari atas unsur :
a. pemerintah;
b. pelaku usaha;
c. lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat;
d. akademisi; dan
e. tenaga ahli.
aKIBAT hUKUM dARI..., m. lUKMAN nUR hAKIM, f. hUKUM ump, 2015.
26
C. Tinjauan Umum tentang Perlindungan Konsumen
1. Pengertian Perlindungan Konsumen
Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia kata perlindungan
hukum dapat didefinisikan sebagai berikut:
"Kata perlindungan berasal dari kata dasar lindung. Perlindungan
berarti cara, proses, atau perbuatan melindungi. Sedangkan kata
hukum berarti 1) peraturan/adat yang secara resmi dianggap
mengikat yang dikukuhkan oleh penguasa, pemerintah, atau
otoritas, 2) undang-undang, peraturan dan sebagainya, otoritas
untuk mengatur pergaulan hidup masyarakat, 3) patokan (kaidah,
ketentuan) mengenai peristiwa (alam dan sebagainya) yang
tertentu, 4) keputusan (pertimbangan) yang ditetapkan oleh hakim
(di pengadilan); vonis. Hukum juga dapat diartikan sebagai
peraturan-peraturan yang bersifat memaksa yang menentukan
tingkah laku manusia dalam lingkungan masyarakat, yang dibuat
oleh badan-badan resmi yang berwajib, pelanggaran terhadap
peraturan-peraturan tadi berakibat diambilnya tindakan“
(Poerwadarminta, 2003: 595).
Istilah "konsumen“ dalam peraturan perundang-undangan di
Indonesia disebut sebagai definisi yuridis formal yang ditemukan pada
Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
(UUPK). UU ini memuat suatu definisi tentang konsumen, yaitu setiap
aKIBAT hUKUM dARI..., m. lUKMAN nUR hAKIM, f. hUKUM ump, 2015.
27
pemakai dan/atau pengguna barang dan/atau jasa, baik untuk kepentingan
sendiri maupun untuk kepentingan orang lain. Batasan itu mirip dan garis
besar maknanya diambil alih oleh UUPK (Shidarta, 2006: 12).
Pasal 1 angka 2 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen menyebutkan bahwa:
‘‘Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa
yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri,
keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk
diperdagangkan”.
Berdasarkan pengertian diatas, subyek yang disebut sebagai
konsumen berarti setiap orang yang berstatus sebagai pemakai barang dan
jasa. Istilah hukum perlidungan konsumen dan perlindungan konsumen
banyak ditemukan dalam literatur-literatur yang membahas tentang
perlindungan terhadap konsumen, banyaknya konsumen yang dirugikan
oleh para pelaku usaha dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa,
sehingga dengan hal itu muncullah gerakan perlindungan konsumen.
"Hukum Perlindungan Konsumen itu sendiri adalah keseluruhan
peraturan-peraturan yang mengatur segala tingkah laku manusia
yang berhubungan dengan pihak konsumen, pelaku usaha dan
pihak lain yang berkaitan dengan masalah konsumen yang disertai
sanksi bagi pelanggarnya”(Suyadi, 2007: 1).
aKIBAT hUKUM dARI..., m. lUKMAN nUR hAKIM, f. hUKUM ump, 2015.
28
Berdasarkan hal tersebut, maka perlindungan konsumen sangat
penting sekali dalam rangka melindungi kepentingan-kepentingan
konsumen yang berupa hak-hak yang dimiliki konsumen, sehingga apabila
hak-hak tersebut dilanggar oleh pelaku usaha, terdapat suatu sanksi bagi
pelanggarnya. Sehubungan dengan itu, konsumen akan terlindungi
kepentingannya serta bertujuan untuk mengurangi terjadinya pelanggaran
yang dilakukan oleh pelaku usaha. Perlindungan konsumen peranannya
dalam masyarakat sangat dibutuhkan, karena pada umumnya kedudukan
konsumen di Indonesia masih lemah dibandingkan dengan pelaku usaha,
sehingga sangat diperlukan kehadirannya untuk menjamin kepastian
hukum untuk melindungi kepentingan konsumen.
Menurut Janus Sidabolok, mengemukakan bahwa:
“Perlindungan konsumen adalah istilah yang dipakai untuk
menggambarkan perlindungan hukum yang diberikan kepada
konsumen dalam usahanya untuk memenuhi kebutuhannya dari
hal-hal yang dapat merugikan konsumen itu sendiri. Dalam bidang
hukum, istilah ini masih relatif baru, khususnya di Indonesia.
Sedangkan di negara maju, hal ini mulai dibicarakan bersamaan
dengan berkembangnya industri dan teknologi” (Sidabolok,
2006:9).
aKIBAT hUKUM dARI..., m. lUKMAN nUR hAKIM, f. hUKUM ump, 2015.
29
Dalam pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen menyebutkan bahwa:
‘‘Perlindungan Konsumen adalah segala upaya yang menjamin
adanya kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada
konsumen”.
Kalimat yang menyatakan “segala upaya yang menjamin adanya kepastian
hukum”, diharapkan sebagai benteng untuk meniadakan tindakan
sewenang-wenang yang merugikan pelaku usaha hanya demi untuk
kepentingan perlindungan konsumen (Sutarman Yodo, 2007: 1).
Az. Nasution menjelaskan bahwa kedua istilah itu antara hukum
perlindungan konsumen dan perlindungan konsumen itu berbeda, yaitu :
"Hukum perlindungan konsumen adalah bagian dari hukum
konsumen. Hukum konsumen menurut beliau adalah keseluruhan
asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan dan
masalah antara berbagai pihak satu sama lain berkaitan dengan
barang dan/atau jasa konsumen, di dalam pergaulan hidup.
Sedangkan hukum perlindungan konsumen adalah keseluruhan
asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur dan melindungi
konsumen dalam hubungan dan masalahnya dengan para penyedia
barang dan/atau jasa konsumen”(Sidabolok, 2006: 45).
Berhubungan dengan hal tersebut, maka dapat dideskripsikan
bahwa terdapat suatu perbedaan diantara keduanya yakin bahwa hukum
konsumen itu lebih menunjukkan bahwa terdapat suatu hubungan antara
satu pihak (pelaku usaha) dengan pihak yang lainnya (konsumen) yang
aKIBAT hUKUM dARI..., m. lUKMAN nUR hAKIM, f. hUKUM ump, 2015.
30
menyangkut barang dan/atau jasa, sedangkan hukum perlindungan
konsumen itu lebih mengarah pada upaya untuk melindungi kepentingan
konsumen yang mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang diproduksi oleh
pelaku usaha.
AZ. Nasution dalam Janus Sidabolok menjelaskan sebagai berikut:
Hukum konsumen pada pokoknya lebih berperan dalam hubungan
dan masalah konsumen yang kondisi para pihaknya berimbang dalam
kedudukan sosial ekonomi, daya saing, maupun tingkat pendidikan.
Rasionya adalah sekalipun tidak selalu tepat, bagi mereka masing-masing
lebih mampu mempertahankan dan menegakkan hak-hak mereka yang sah.
Hukum perlindungan konsumen dibutuhkan apabila kondisi pihak-pihak
yang mengadakan hubungan hukum atau bermasalah dalam masyarakat itu
tidak seimbang (Sidabolok, 2006: 46).
Berdasarkan hal tersebut hukum konsumen maupun hukum
perlindungan konsumen membicarakan hal yang sama, yaitu kepentingan
hukum (hak-hak) konsumen. Maka, berbicara tentang perlindungan
konsumen berarti mempersoalkan jaminan atau kepastian tentang
terpenuhinya hak-hak konsumen. Oughton dan Lowry memandang hukum
perlindungan konsumen (consumer protection law) sebagai sebuah
fenomena modern yang khas abad kedua puluh, namun sebagaimana
ditegaskan dalam perundang-undangan, perlindungan hukum bagi
konsumen itu sendiri dimulai seabad lebih awal (Barkatullah, 2010: 3).
aKIBAT hUKUM dARI..., m. lUKMAN nUR hAKIM, f. hUKUM ump, 2015.
31
Purba dalam bukunya Abdul Halim Barkatullah berpendapat
mengenai perlindungan konsumen sebagai berikut:
"Perlindungan hukum bagi konsumen sebagai satu konsep terpadu dan merupakan hal baru, yang perkembangannya dimulai dari negara-negara maju. Namun demikian, saat sekarang konsep ini sudah tersebar ke bagian dunia lain.“ (Barkatullah, 2010: 3). Purba juga mengatakan bahwa terdapat sendi-sendi pokok
pengaturan perlindungan konsumen, sebagai berikut:
1. Kesederajatan antara konsumen dan pelaku usaha;
2. Konsumen mempunyai hak;
3. Pelaku usaha mempunyai kewajiban;
4. Pengaturan mengenai perlindungan hukum bagi konsumen
menyumbang pada pembangunan nasional;
5. Pengaturan tidak merupakan syarat;
6. Perlindungan hukum bagi konsumen dalam iklim hubungan bisnis
yang sehat;
7. Keterbukaan dalam promosi produk;
8. Pemerintah berperan aktif;
9. Peran serta masyarakat;
10. Implementasi asas kesadaran hukum;
11. Perlindungan hukum bagi konsumen memerlukan penerobosan
konsep-konsep hukum tradisional;
12. Konsep perlindungan hukum bagi konsumen memerlukan
penerobosan konsep-konsep hukum (Barkatullah, 2010: 10).
aKIBAT hUKUM dARI..., m. lUKMAN nUR hAKIM, f. hUKUM ump, 2015.
32
Perlindungan konsumen mempunyai cakupan yang luas meliputi
perlindungan terhadap konsumen barang dan jasa, yang berawal dari tahap
kegiatan untuk mendapatkan barang dan jasa hingga ke akibat-akibat dari
pemakaian barang dan jasa tersebut. Cakupan perlindungan konsumen
dalam dua aspek itu, dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Perlindungan hukum terhadap kemungkinan diserahkan kepada
konsumen barang dan/atau jasa yang tidak sesuai dengan apa yang
telah disepakati atau melanggar ketentuan undang-undang. Dalam
kaitan ini termasuk persoalan-persoalan mengenai penggunaan bahan
baku, proses produksi, proses distribusi, desain produk, dan lain
sebagainya, apakah telah sesuai dengan standar sehubungan dengan
keamanan dan keselamatan konsumen atau tidak. Juga, persolan
tentang bagaimana konsumen mendapatkan penggantian jika timbul
kerugian karena memakai atau mengkonsumsi produk yang tidak
sesuai.
2. Perlindungan terhadap diberlakukannya kepada konsumen syarat-
syarat yang tidak adil. Dalam hal ini termasuk persoalan-persoalan
promosi dan periklanan, standar kontrak, harga, layanan purnajual,
dan sebagainya. Hal ini berkaitan dengan perilaku produsen dalam
memproduksi dan mengedarkan produknya (Sidabolok, 2006: 10-11).
Aspek yang pertama, mencakup persoalan barang dan/atau jasa
yang dihasilkan dan diperdagangkan, dimasukkan dalam cakupan
tanggungjawab produk, yaitu tanggungjawab yang dibebankan kepada
aKIBAT hUKUM dARI..., m. lUKMAN nUR hAKIM, f. hUKUM ump, 2015.
33
produsen karena barang yang diserahkan kepada konsumen itu
mengandung cacat didalamnya sehingga menimbulkan kerugian bagi
konsumen, misalnya karena keracunan makanan, barang tidak dapat
dipakai untuk tujuan yang diinginkan karena kualitasnya rendah, barang
tidak dapat bertahan lama karena cepat rusak, dan sebagainya. Dengan
demikian, tanggungjawab produk erat kaitannya denga persoalan ganti
kerugian. Aspek yang kedua, mencakup cara konsumen memperoleh
barang dan/atau jasa, yang dikelompokkan dalam cakupan standar kontrak
yang mempersoalkan syarat-syarat perjanjian yang diberlakukan oleh
produsen kepada konsumen pada waktu konsumen hendak mendapatkan
barang dan/atau jasa kebutuhannya (Sidabolok, 2006: 10-11).
Produsen secara umum membuat atau menetapkan syarat-syarat
perjanjian secara sepihak tanpa memperhatikan dengan sungguh-sungguh
kepentingan konsumen sehingga bagi konsumen tidak ada kemungkinan
untuk mengubah syarat-syarat itu guna mempertahankan kepentingannya
(Satrio, 2001: 42). Seluruh syarat yang terdapat pada perjanjian,
sepenuhnya atas kehendak pihak produsen barang dan/atau jasa. Bagi
konsumen hanya ada pilihan: mau atau tidak mau sama sekali. Karena itu,
Vera Bolger menamakannya sebagai take or leave it contract. Artinya,
kalau calon konsumen setuju, perjanjian boleh dibuat, dan kalau tidak
setuju, silahkan pergi (Sidabolok, 2006: 10-11).
aKIBAT hUKUM dARI..., m. lUKMAN nUR hAKIM, f. hUKUM ump, 2015.
34
2. Hak dan Kewajiban Konsumen
Biasanya syarat-syarat perjanjian itu telah tertuang dalam formulir
yang sudah disiapkan terlebih dahulu yang dicetak sedemikian rupa
sehingga kadang-kadang tidak terbaca dan sulit dimengerti.
1. Hak dan kewajiban konsumen
Pentingnya perlindungan terhadap konsumen didasarkan kepada
kenyataan tidak seimbangnya antara hak dan kewajiban yang berlaku
bagi konsumen dan pelaku usaha. Penyebab gangguan atas
kepentingan konsumen itu antara adalah :
a. Hak itu dilekatkan kepada seseorang yang disebut sebagai pemilik
atau subyek dari hak itu. Ia juga disebut sebagai orang yang
memiliki titel atas barang yang menjadi sasaran dari hak.
b. Hak itu tertuju kepada orang lain, yaitu hak yang menjadi
pemegang kewajiban. Antara hak dan kewajiban terdapat hubungan
korelatif.
c. Hak yang ada pada seseorang ini mewajibkan pihak lain untuk
melakukan (commision) atau tidak melakukan (omission) sesuatu
perbuatan. Ini bisa disebut sebagai isi dari hak.
d. Comission atau omission ini menyangkut sesuatu yang bisa disebut
sebagai obyek dari hak.
e. Setiap hak menurut hukum itu mempunyai titel, yaitu suatu
peristiwa tertentu yang menjadi alasan melekatnya hak itu pada
pemiliknya.
aKIBAT hUKUM dARI..., m. lUKMAN nUR hAKIM, f. hUKUM ump, 2015.
35
Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang
tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga,
orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk dipedagangkan
(Gunawan Widjaya dan Ahmad Yani, 2001: 5).
Hak dan kewajiban konsumen yang diberikan/dibebankan oleh
Undang-undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen,
yaitu:
a. Hak Konsumen
Menurut ketentuan Pasal 5, konsumen memiliki hak sebagai berikut:
1) Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam
mengkonsumsi barang dan/atau jasa.
2) Hak untuk memilih barang dan/atau jasa, serta mendapatkan
barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi,
serta jaminan yang dijanjikan.
3) Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi
dan jaminan barang dan/atau jasa.
4) Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/ atau
jasa yang digunakan.
5) Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya
penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut.
6) Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen.
7) Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar, jujur, serta
tidak diskriminatif.
aKIBAT hUKUM dARI..., m. lUKMAN nUR hAKIM, f. hUKUM ump, 2015.
36
8) Hak untuk mendapatkan konpensasi, ganti rugi dan/ atau
penggantian, apabila barang/atau jasa yang diterima tidak sesuai
dengan perjanjian atau sebagaimana mestinya.
9) Hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan
lainnya.
b. Kewajiban Konsumen
Konsumen memiliki kewajiban sebagai berikut:
1) Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur
pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi
keamanan dan keselamatan.
2) Bertikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang /atau
jasa.
3) Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati.
4) Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan
konsumen secara patut.
c. Hak Pelaku Usaha
Hak pelaku usah meliputi:
1) Menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai
kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan.
2) Mendapatkan perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang
beritikad tidak baik.
3) Melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian
hukum sengketa konsumen.
aKIBAT hUKUM dARI..., m. lUKMAN nUR hAKIM, f. hUKUM ump, 2015.
37
4) Rehabilitasi nama baik apabila tidak terbukti secara hukum bahwa
kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/ atau jasa
yang diperdagangkan.
5) Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-
undangan lainnya.
d. Kewajiban Pelaku Usaha
Kewajiban dari pelaku meliputi :
1) Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya.
2) Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai
kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa, serta memberikan
penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan.
3) Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur,
serta tidak diskriminatif.
4) Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/ atau
diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang
dan/atau jasa yang berlaku.
5) Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau
mencoba barang dan/atau jasa tertentu, serta memberi jaminan
dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau
diperdagangkan.
6) Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas
kerugian akibat penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang
dan/atau jasa yang diperdagangkan.
aKIBAT hUKUM dARI..., m. lUKMAN nUR hAKIM, f. hUKUM ump, 2015.
38
7) Memberi konpensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila
barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatan tidak sesuai
dengan perjanjian.
Mengenai tanggung jawab pelaku usaha dalam Pasal 19 Undang-
Undang No. 8 Tahun 1999 disebutkan :
1. Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas
kerusakan, pencemaran dan/atau kerugian konsumen akibat
mengkonsumsi barang atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.
2. Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa
pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang
sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau
pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undang yang berlaku.
3. Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2) tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana
berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur
kesalahan.
4. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak
berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan
tersebut merupakan kesalahan konsumen.
Jadi apabila suatu produk yang dipasarkan, ternyata terdapat cacat
pada produk-produk tersebut sehingga menimbulkan kerugian pada
konsumen maka produsen yang menghasilkan produk tersebut harus
bertanggung jawab, karena dalam keadaan demikian tersebut dianggap
telah melakukan perbuatan melawan hukum.
aKIBAT hUKUM dARI..., m. lUKMAN nUR hAKIM, f. hUKUM ump, 2015.
39
D. Tuntutan Ganti Rugi
1. Tuntutan Berdasarkan Wanprestasi
Dalam setiap perikatan selalu ada suatu prestasi yang harus
terpenuhi yang merupakan hakekat dari perikatan itu sendiri.Prestasi
menurut Pasal 1234 KUH Perdata ada tiga yaitu memberikan sesuatu,
untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu.
Wanprestasi menurut J. Satrio berupa :
1. debitur sama sekali tidak berprestasi,
2. debitur keliru berprestasi; (J Satrio, 2001: 122).
Menurut R. Subekti wanprestasi berupa :
1. debitur tidak memenuhi kewajibannya;
2. debitur terlambat memenuhinya ;
3. debitur memenuhinya tetapi tidak seperti yang telah diperjanjikan
(R. Subekti, 1996: 147).
Akibat hukum bagi Debitur yang melakukan wanprestasi diatur
dalam Pasal 1236, Pasal 1243, KUHPerdata sebagai berikut :
Pasal 1236 KUHPerdata:
“Tiap-tiap perikatan untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat
sesuatu, apabila si berutang tidak memenuhi kewajibannya, mendapatkan
penyelesaiannya dalam kewajiban memberikan penggantian biaya, rugi
dan bunga”.
aKIBAT hUKUM dARI..., m. lUKMAN nUR hAKIM, f. hUKUM ump, 2015.
40
Pasal 1243 KUHPerdata:
“Penggantian biaya, rugi dan bunga karena tak dipenuhinya suatu
perikatan, barulah mulai diwajibkan, apabila si berutang, setelah
dinyatakan lalai memenuhi perikatannya, tetap melalaikannya, atau jika
sesuatu yang harus diberikan atau dibuatnya, hanya dapat diberikan atau
dibuat dalam tenggang waktu yang telah dilampaukannya.
Wanprestasi mempunyai akibat hukum dari Debitur yang berupa
hukuman/sanksi sebagai berikut :
1. Debitur diwajibkan membayar ganti kerugian yang telah diderita oleh
Kreditur;
2. Apabila perbuatan itu tidak betul, Kreditur dapat memenuhi
pemutusan atau pembatalan perikatan melalui hakim.
3. Dalam perikatan untuk memberikan sesuatu, resiko beralih kepada
Debitur sejak terjadi wanprestasi.
4. Debitur diwajibkan memenuhi perikatan jika masih dapat dilakukan
atau pembatalan disertai pembayaran ganti rugi.
5. Debitur wajib membayar biaya perkara jika diputuskan di muka
Pengadilan Negeri dan Debitur dinyatakan bersalah (Pasal 181 ayat
(1) HIR) (Abdulkadir Muhamad ,2002: 204-205).
aKIBAT hUKUM dARI..., m. lUKMAN nUR hAKIM, f. hUKUM ump, 2015.
41
2.Tuntutan Berdasarkan Perbuatan Melawan Hukum
Perbuatan melawan hukum merupakan perikatan yang timbul dari
undang-undang karena perbuatan orang.Dalam KUH Perdata perbuatan
melawan hukum, diatur dalam Pasal 1365 KUH Perdata.
“Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian
kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya
menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”.
Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi pada suatu perbuatan
supaya dapat dibenarkan gugat ganti rugi berdasarkan perbuatan melawan
hukum menurut Pasal 1365 KUH Perdata yaitu:
1). Perbuatan melawan hukum.
2). Harus ada kesalahan.
3). Harus ada kerugian yang ditimbulkan.
4). Adanya hubungan kausal antara perbuatan dengan kerugian
Unsur-unsur tersebut haruslah terpenuhi semuanya, sehingga ketentuan
mengenai syarat-syarat dari adanya gugat ganti kerugian akibat perbuatan
melawan hukum bersifat kumulatif. Berikut ini penjelasan lebih lanjut
unsur-unsur perbuatan melawan hukum.
Ad 1.Perbuatan yang melawan hukum.
Perbuatan dalam arti "perbuatan melawan hukum" meliputi
perbuatan positif, yang dalam Bahasa Belanda disebut "daad" (Pasal 1365
KUHPerdata) dan perbuatan negatif disebut "nalatigheid" (kelalaian)
atau kurang hati-hati (Pasal 1366 KUHPerdata). Dengan demikian,
Pasal 1365 KUHPerdata itu untuk orang yang betul-betul berbuat,
aKIBAT hUKUM dARI..., m. lUKMAN nUR hAKIM, f. hUKUM ump, 2015.
42
sedangkan Pasal 1366 KUHPerdata untuk orang yang tidak berbuat.
Pelanggaran kedua pasal ini mempunyai akibat hukum yang sama yaitu
mengganti kerugian.
Ad 2.Harus ada kesalahan
Pasal 1365 KUHPerdata tidak memberikan ukuran tentang
perbuatan yang bagaimanakah dikatakan sebagai perbuatan melawan
hukum. Namun sejak putusan H.R. tahun 1919 dalam perkara
Lindenbaum - Cohen, pada umumnya dikenal empat kriteria perbuatan
melawan hukum. Keempat kriteria tersebut dipergunakan untuk menilai
sifat melanggar hukumnya suatu perbuatan. Sedangkan ukuran tentang
kesalahan dipergunakan untuk menilai ada tidaknya kesalahan pada diri
si pelaku. Pada umumnya unsur kesalahan mengikuti sifat melawan
hukumnya suatu perbuatan, tetapi prakteknya tidak demikian.
Ad 3.Harus ada kerugian yang ditimbulkan
Kerugian ini dapat bersifat kerugian materiil atau kerugian
imateriil. Apa ukuran yang termasuk kerugian tidak ditentukan lebih
lanjut dalam undang-undang sehubungan dengan perbuatan melawan
hukum. Menurut Yurisprudensi, kerugian yang timbul karena perbuatan
melawan hukum, ketentuannya sama dengan ketentuan kerugian yang
timbul karena wanprestasi dalam perjanjian. Ketentuan tersebut
diperlakukan secara analogi, kerugian akibat wanprestasi yang meliputi
3(tiga) unsur yaitu biaya, kerugian yang sungguh-sungguh diderita dan
aKIBAT hUKUM dARI..., m. lUKMAN nUR hAKIM, f. hUKUM ump, 2015.