bab ii tinjauan pustaka a. pengertian perbuatan melawan...
TRANSCRIPT
11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Perbuatan Melawan Hukum
Perbuatan melawan hukum adalah suatu perbuatan atau tidak berbuat
sesuatu yang mengakibatkan timbulnya kerugian bagi orang lain tanpa
sebelumnya ada suatu hubungan hukum, kewajiban mana ditujukan terhadap
setiap orang pada umumnya dan dengan tidak memenuhi kewajibannya tersebut
dapat diminta suatu ganti rugi.6
Perbuatan melawan hukum (Onrechmatige daad) diatur dalam Pasal 1365
B.W. Pasal ini menetapkan bahwa perbuatan yang melawan hukum mewajibkan
orang yang melakukan perbuatan itu, jika karena kesalahannya telah timbul
kerugian, untuk membayar kerugian itu.
Pasal 1365 KUHPerdata menyatakan :
Tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada orang
lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu,
mengganti kerugian tersebut.”
Sedangkan ketentuan pasal 1366 KUHPerdata menyatakan:
Setiap orang bertanggung-jawab tidak saja untuk kerugian yang
disebabkan karena perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian
yang disebabkan karena kelalaiannya atau kurang hati-hatinya.
6
Rachmat Setiawan, Tinjauan Elementer Perbuatan Melanggar Hukum, Alumni,
Bandung, 1982, h. 7.
12
Ketentuan pasal 1365 tersebut di atas mengatur pertanggung-jawaban yang
diakibatkan oleh adanya perbuatan melanggar hukum baik karena berbuat atau
karena tidak berbuat. Sedangkan pasal 1366 KUHPerdata lebih mengarah pada
tuntutan pertanggung-jawaban yang diakibatkan oleh kesalahan karena
kelalaian.Berdasarkan putusan Hoge Raad 1919, yang diartikan dengan
melanggar hukum adalah:7
1. Melanggar hak orang lain, seperti hak pribadi (integritas tubuh,
kebebasan, kehormatan, dan lain-lain) dan hak absolute (hak kebendaan,
nama perniagaan, dan lain-lain);
2. Bertentangan dengan kewajiban hukum pelaku;
3. Bertentangan dengan kesusilaan, yaitu perbuatan yang dilakukan
seseorang bertentangan dengan sopan santun yang hidup dan tumbuh
dalam masyarakat;
4. Bertentangan dengan kecermatan yang harus diindahkan dalam
masyarakat..
Pengertian perbuatan melanggar hukum dalam putusan Hoge Raad 1919
adalah dalam arti luas karena tidak hanya melanggar Undang-Undang, tetapi juga
bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku, kesusilaan, dan kecermatan
yang harus diindahkan dalam masyarakat.
1. Unsur-Unsur Perbuatan Melawan Hukum
Agar suatu perbuatan dapat dikategorikan sebagai suatu perbuatan melawan
hukum, maka harus memenuhi unsur-unsur perbuatan sebagai berikut: Adanya
7 Salim H.S., Pengantar Hukum Perdata Tertulis, Sinar Grafika, Jakarta, 2006, h. 170.
13
suatu perbuatan. Suatu perbuatan melawan hukum diawali oleh suatu perbuatan
dari si pelakunya. Perbuatan disini meliputi perbuatan aktif (berbuat sesuatu)
maupun pasif (tidak berbuat sesuatu), padahal secara hukum orang tersebut
diwajibkan untuk patuh terhadap perintah undang-undang, ketertiban umum, dan
kesusilaan (public order and morals).
a. Perbuatan tersebut melanggar hukum. Manakala pelaku tidak
melaksanakan apa yang diwajibkan oleh undang-undang, ketertiban
umum dan atau kesusilaan, maka perbuatan pelaku dalam hal ini
dianggap telah melanggar hukum, sehingga mempunyai konsekuensi
tersendiri yang dapat dituntut oleh pihak lain yang merasa dirugikan.
b. Adanya kerugian bagi korban. Yang dimaksud dengan kerugian, terdiri
dari kerugian materil dan kerugian immateril. Akibat suatu perbuatan
melanggar hukum harus timbul adanya kerugian di pihak korban,
sehingga membuktikan adanya suatu perbuatan yang melanggar hukum
secara luas.
c. Adanya hubungan kausal antara perbuatan dengan kerugian. Hubungan
kausal merupakan salah satu ciri pokok dari adanya suatu perbuatan
melanggar hukum. Perbuatan melanggar hukum dalam hal ini harus
dilihat secara materiil. Dikatakan materiil karena sifat perbuatan
melanggar hukum dalam hal ini haru dilihat sebagai suatu kesatuan
tentang akibat yang ditimbulkan olehnya terhadap diri pihak korban.
Untuk hubungan sebab akibat ada 2 (dua) macam teori, yaitu teori
hubungan faktual dan teori penyebab kira-kira. Hubungan sebab akibat
(causation in fact) hanyalah merupakan masalah fakta atau apa yang
14
secara faktual telah terjadi. Sedangkan teori penyebab kira-kira adalah
lebih menekankan pada apa yang menyebabkan timbulnya kerugian
terhadap korban, apakah perbuatan pelaku atau perbuatan lain yang
justru bukan dikarenakan bukan suatu perbuatan melanggar hukum.
Namun dengan adanya suatu kerugian, maka yang perlu dibuktikan
adalah hubungan antara perbuatan melanggar hukum dengan kerugian
yang ditimbulkan.8
2. Konsekuensi Yuridis dalam Hal Timbulnya Perbuatan
Melawan Hukum
Akibat perbuatan melawan hukum diatur pada Pasal 1365 sampai dengan
1367 KUHPerdata sebagai berikut:
Menurut Pasal 1365 KUHPerdata dikutip bunyinya:
Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian
kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya
menerbitkan kerugian itu mengganti kerugian.
Sedangkan Pasal 1366 KUHPerdata, menyebutkan:
Setiap orang bertanggung-jawab tidak saja untuk kerugian yang
disebabkan karena perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian
yang diesbabkan karena kelalaian atau kurang hati-hatinya.
Lebih lanjut, Pasal 1367 KUHPerdata, menyebutkan:
Seorang tidak saja bertanggung-jawab untuk kerugian yang
disebabkan karena perbuatannya sendiri, tetapi juga untuk
kerugian yang disebabkan karena perbuatan orang-orang yang
menjadi tanggungannya, atau disebabkan oleh orang-orang yang
berada di bawah pengawasannya … dst.
8 Sakkirang Sriwaty, Hukum Perdata, Teras, Yogyakarta, 2011, h. 135.
15
Berdasarkan kutipan Pasal tersebut di atas, secara umum memberikan
gambaran mengenai batasan ruang lingkup akibat dari suatu perbuatan melawan
hukum. Akibat perbuatan melawan hukum secara yuridis mempunyai konsekuensi
terhadap pelaku maupun orang-orang yang mempunyai hubungan hukum dalam
bentuk pekerjaan yang menyebabkan timbulnya perbuatan melanggar hukum.
Jadi, akibat yang timbul dari suatu perbuatan melanggar hukum akan diwujudkan
dalam bentuk ganti kerugian terehadap korban yang mengalami.
Penggantian kerugian sebagai akibat dari adanya perbuatan melawan
hukum, sebagaimana telah disinggung diatas, dapat berupa penggantian kerugian
materiil dan immateriil. Lajimnya, dalam praktek penggantian kerugian dihitung
dengan uang, atau disetarakan dengan uang disamping adanya tuntutan
penggantian benda atau barang-barang yang dianggap telah mengalami
kerusakan/perampasan sebagai akibat adanya perbuatan melanggar hukum pelaku.
Jika mencermati perumusan ketentuan pasla 1365 KUHPerdata, secara
limitatif menganut asas hukum bahwa penggantian kerugian dalam hal terjadinya
suatu perbuatan melawan hukum bersifat wajib. Secara teoritis penggantian
kerugian sebagai akibat dari suatu perbuatan melawan hukum diklasifikasikan ke
dalam dua bagian, yaitu : kerugian yang bersifat actual (actual loss) dan kerugian
yang akan datang.
Dikatakan kerugian yang bersifat actual adalah kerugian yang mudah dilihat
secara nyata atau fisik, baik yang bersifat materiil dan immateriil. Kerugian ini
didasarkan pada hal-hal kongkrit yang timbul sebagai akibat adanya perbuatan
melawan hukum dari pelaku. Sedangkan kerugian yang bersifat dimasa
mendatang adalah kerugian-kerugian yang dapat diperkirakan akan timbul
16
dimasa mendatang akibat adanya perbuatan melanggar hukum dari pihak pelaku.
Kerugian ini seperti pengajuan tuntutan pemulihan nama baik melalui
pengumuman di media cetak dan atau elektronik terhadap pelaku. Ganti kerugian
dimasa mendatang ini haruslah didasarkan pula pada kerugian yang sejatinya
dapat dibayangkan dimasa mendatang dan akan terjadi secara nyata.
3. Tentang Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup adalah pengganti Undang-Undang Nomor 23
Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya,
keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang
mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan
manusia serta makhluk hidup lain.9
Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 juga mendefinisikan
tentang:
a. Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yaitu, upaya sistematis
dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup
dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan
hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian,
9 Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup.
17
pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum.10
Perusakan
lingkungan hidup adalah tindakan orang yang menimbulkan perubahan
langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik, kimia, dan/atau hayati
lingkungan hidup sehingga melampaui kriteria baku kerusakan
lingkungan hidup.11
b. Dampak lingkungan hidup adalah pengaruh perubahan pada lingkungan
hidup yang diakibatkan oleh suatu usaha dan/atau kegiatan.12
Dalam hal
ini Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup telah mengatur secara seksama tentang
pengertian lingkungan hidup, serta perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup, dimana dalam hal ini segala sesuatu mengenai
perusakan , kerusakan, dampak, izin dan hak dan kewajiban haruslah di
dasarkan dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 serta peraturan
pelaksananya dalam hal ini adalah Peraturan Pemerintah Nomor 27
Tahun 2012 Tentang Izin Lingkungan.
Selain mengatur tentang beberapa hal di atas Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2009 juga mengatur tentang asas dalam lingkungan hidup, yaitu:
a. Tanggung jawab Negara
Yang dimaksud dengan “asas tanggung jawab negara” adalah:
10
Pasal 1 angka 2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup
11 Pasal 1 angka 16 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup.
12 Pasal 1 angka 26 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup.
18
1) Negara menjamin pemanfaatan sumber daya alam akan memberikan
manfaat yang sebesar-besarnya bagi kesejahteraan dan mutu hidup
rakyat, baik generasi masa kini maupun generasi masa depan.
2) Negara menjamin hak warga negara atas lingkungan hidup yang baik
dan sehat.
3) Negara mencegah dilakukannya kegiatan pemanfaatan sumber daya
alam yang menimbulkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan
hidup.
b. Pencemar membayar
Yang dimaksud dengan “asas pencemar membayar” adalah bahwa setiap
penanggung jawab yang usaha dan/atau kegiatannya menimbulkan
pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup wajib menanggung
biaya pemulihan lingkungan.
c. Tata kelola pemerintahan yang baik
Yang dimaksud dengan “asas tata kelola pemerintahan yang baik”
adalah bahwa perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dijiwai
oleh prinsip partisipasi, transparansi, akuntabilitas, efisiensi, dan
keadilan.
B. Perizinan di Bidang Kehutanan
1. Pengertian tentang izin dan perizinan
Pembukaan UUD 1945 menetapkan dengan tegas tujan kehidupan
bernegara yang berdasarkan hukum, hal ini berarti bahwa hukum merupakan
19
supermasi atau tiada kekuasaan lain yang lebih tinggi selain hukum. Upaya
merealisasi Negara berdasarkan hukum dan mewujudkan kehidupan bernegara
maka hukum menjadi pengarah, perekayasa, dan perancang bagaimana bentuk
masyarakat hukum untuk mencapai keadilan. Berkaitan dengan hal tersebut perlu
adanya pembentukan peraturan dimana harus disesuaikan dengan perkembangan
masyarakat serta tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Pengertian izin menurut definisi yaitu perkenan atau pernyataan
mengabulkan. Sedangkan istilah mengizinkan mempunyai arti memperkenankan,
memperbolehkan, tidak melarang. Secara garis besar hukum perizinan adalah
hukum yang mengatur hubungan masyarakat dengan Negara dalam hal adanya
masyarakat yang memohon izin.
Hukum perizinan berkaitan dengan Hukum Publik Prinsip izin terkait dalam
hukum publik oleh karena berkaitan dengan perundang-undangan
pengecualiannya apabila ada aspek perdata yang berupa persetujuan seperti
halnya dalam pemberian izin khusus. Izin merupakan perbuatan Hukum
Administrasi Negara bersegi satu yang diaplikasikan dalam peraturan berdasarkan
persyaratan dan prosedur sebagaimana ketentuan perundang-undangan.
Izin menurut Prof. Bagirmanan, yaitu “persetujuan dari penguasa
berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk memperuraikan tindakan
atau perbuatan tertentu yang secara umum dilarang”. Izin khusus, yaitu
persetujuan dimana disini terlihat adanya kombinasi antara hukum publik dengan
hukum prifat, dengan kata lain izin khusus adalah penyimpangan dari sesuatu
yang dilarang. Izin yang dimaksud, yaitu:
20
a. Dispensasi yaitu penetapan yang bersifat deklaratoir, menyatakan bahwa
suatu perundang-undangan tidak berlaku bagi kasus sebagaimana
diajukan oleh seorang pemohon.
b. Linsesi adalah izin untuk melukakn suatu yang bersifat komersial serta
mendatangkan laba dan keuntungan.
c. Konsesi adalah suatu penetapan administrasi negara yang secara yuridis
dan kompleks, oleh karena merpuakan seperangkat dispensasi-
dispensasi, jiin-ijin, serta lisensi-lisensi disertai dengan pemberian
semcam wewenang pemerintah terbatas pada konsensionaris. Konsesi
tidak mudah diberikan oleh karena banyak bahaya penyelundupan,
kekayaan bumi dan kekayaan alam negara dan kadang-kadang
merugikan masyarakat yang bersangkutan. Wewenang
pemerintah diberikan kepada konsensionaris walupun terbatas dapat
menimbulkan masalah pilitik dan social yang cukup rumit, oleh
karena perusahaan pemegang konsesi tersebut dapat memindahkan
kampong, dapat membuat jaringan jalan, listrik dan telepon, membentuk
barisan keamanan, mendirikan rumah sakit dan segala sarana laiannya.
Menurut W.F Prins yang diterjemaahkan oleh Kosim Adi Saputra “bahwa
istilah izin dapat diartikan tampaknya dalam arti memberikan dispensasi dari
sebuah larangan dan pemakaiannya dalam arti itu pula.” Uthrecht “bilamana
pembuatan peraturan tidak umunya melarang suatu perbuatan tetapi masih juga
memperkenankannya asal saja diadakan secara yang ditentukan untuk masing-
masing hal konkrit maka perbuatan administrasi Negara memperkenankan
perbuatan tersebut bersifat suatu izin (vergunning)”.
21
Menurut Prajyudi Atmosoedirdjo:
Suatu penetapan yang merupakan dispensasi dari suatu
larangan oleh undang-undang yang kemudian larangan tersebut
diikuti dengan perincian dari pada syarat-syarat , criteria dan
lainnya yang perlu dipenuhi oleh pemohon untuk memperoleh
dispensasi dari larangan tersebut disertai denganpenetapan
prosedur dan juklak (petunjuk pelaksanaan) kepada pejabat-
pejabat administrasi negara yang bersangkutan.
Menurut Sjachran Basah “Perbuatan hukum Negara yang bersegi satu yang
mengaplikasikan peraturan dalam hal konkreto berdasarkan persyaratan dan
prosedur sebagaimana diteapakan oleh ketentuan perundang-undangan yang
berlaku”. Ateng Syafruddin, “Merupakan bagian dari hubungan hukum antara
pemerintah administrasi dengan warga masyarakat dalam rangka menjaga
keseimbangan kepentingan antara masyarakat dengan lingkungannya dan
kepentingan individu serta upaya mewujudkan kepastian hukum bagi anggota
masyarakat yang berkepentingan”.
Perbedaan prinsip antara Hukum Publik dengan Hukum Privat, adalah,
jika Hukum Publik bersifat umum, ordonatif (sepihak), diatur oleh perundang-
undangan, sanksi sangat tegas, mengatur masyarakat. Maka, jika Hukum Privat,
bersifat individu, koordinatif (dua pihak), berdasaran kesepakatan atau perjanjian,
sanksi kurang tegas, mengatur individu dengan individu.
Fungsi lain dari izin, yaitu untuk memberikan kepastian hukum bagi
pemohon dan masyarakat, sebagai tindakan preventif untuk menghadapi pihak-
pihak yang mengganggu, sebagai pengaman secara hukum. Proses pengeluaran
izin, yaitu, proses sentralisasi (pengaitan terhadap hukum-hukum yang berlaku),
dan proses disentralisasi.
22
2. Pengertian Perizinan terkait Kehutanan
Berdasarkan Pasal 50 ayat (3) UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
(“UU 41/1999”), ditentukan bahwa setiap orang dilarang melakukan eksplorasi
terhadap hutan sebelum mendapatkan izin dari pejabat yang berwenang yaitu
Menteri Kehutanan. Jadi, sebelum izin tersebut diterbitkan, seharusnya kegiatan
terkait eksplorasi hutan belum boleh dilakukan.
Hal ini ditegaskan pula dalam Pasal 2 Peraturan Menteri Kehutanan Nomor:
P.43/ Menhut-Ii/ 2008 tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan
(“Permenhut 43/2008”) yang mengatur bahwa pinjam pakai kawasan hutan
dilaksanakan atas dasar izin Menteri.
Dan memang dalam pengawasannya UU memberikan kewenangan kepada
pejabat kehutanan tertentu sesuai dengan sifat pekerjaannya untuk bertindak
sebagai polisi khusus (lihat Pasal 51 UU 41/1999). Polisi khusus ini antara lain
tugasnya adalah:
1. Mengadakan patroli/perondaan di dalam kawasan hutan atau wilayah
hukumnya;
2. Memeriksa surat-surat atau dokumen yang berkaitan dengan
pengangkutan hasil hutan di dalam kawasan hutan atau wilayah
hukumnya;
3. Menerima laporan tentang telah terjadinya tindak pidana yang
menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan;
4. Mencari keterangan dan barang bukti terjadinya tindak pidana yang
menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan;
23
5. Dalam hal tertangkap tangan, wajib menangkap tersangka untuk
diserahkan kepada yang berwenang; dan
6. Membuat laporan dan menandatangani laporan tentang terjadinya tindak
pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan.
Adapun, ijin dalam kawasan hutan yaitu terkait luas maksimum untuk
kegiatan kehutanan yang dapat dilelang di setiap provinsi adalah maksimum
100.000 hektar (kecuali Papua yang memiliki maksimum 200.000 hektar), dan
400.000 hektar di Indonesia secara total.
Seperti disebutkan dalam Permenhut nomor 31/2014 tentang Tatacara
Pemberian dan perluasasan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK)
di hutan produksi, maka terdapat tiga macam izin yang dapat dikeluarkan,
masing-masing IUPHHK-Hutan Alam (HA), IUPHHK-Hutan Tanaman (HT), dan
IUPHHK-Restorasi Ekosistem (RE).
Perbedaan dari tiga macam izin ini yaitu:
1. IUPHHK-HA (dahulu disebut Hak Pengusahaan Hutan/HPH) adalah
izin untuk penebangan, pengangkutan, penanaman, pemeliharaan,
pengamanan, pengolahan hingga pemasaran kayu. Diutamakan di area
yang masih banyak potensi tegakan kayunya.
2. IUPHHK-HT (dahulu disebut Hutan Tanaman Industri/HTI) adalah izin
untuk membangun hutan tananam (monokultur) di area hutan produksi
oleh suatu kelompok industri untuk memenuhi bahan baku industri.
Diutamakan di area yang sudah tidak produktif.
3. IUPHHK-RE, adalah izin unuk membangun kawasan dalam hutan alam
pada hutan produksi yang memiliki ekositem penting sehingga dapat
24
dipertahanka fungsinya, melalui pemeliharaan, perlindungan, pemulihan
ekosistem lewat pengayaan, penjarangan, penangkaran satwa,
pelepasliaran flora fauna untuk mengembalikan unsur hayati dan non
hayati sehingga tercapai keseimbangan hayati dan ekosistem.
Diutamakan di area yang sudah terdegradasi ekosistemnya.
Menurut Pasal 1 ayat (2) PP 24/2010 yang kemudian diperbaharui dengan
PP 61/2012, yang dimaksud dengan kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang
ditunjuk dan/atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya
sebagai hutan tetap.
Menurut Pasal 1 ayat (4) PP 6/2007, pemanfaatan hutan adalah kegiatan
untuk memanfaatkan kawasan hutan, memanfaatkan jasa lingkungan,
memanfaatkan hasil hutan kayu dan bukan kayu serta memungut hasil hutan kayu
dan bukan kayu secara optimal dan adil untuk kesejahteraan masyarakat dengan
tetap menjaga kelestariannya.
Menurut Pasal 1 ayat (5) PP 6/2007, Pemanfaatan kawasan adalah kegiatan
untuk memanfaatkan ruang tumbuh sehingga diperoleh manfaat lingkungan,
manfaat sosial dan manfaat ekonomi secara optimal dengan tidak mengurangi
fungsi utamanya.
Menurut Pasal 1 ayat (7) PP 6/2007, Pemanfaatan hasil hutan kayu adalah
kegiatan untuk memanfaatkan dan mengusahakan hasil hutan berupa kayu dengan
tidak merusak lingkungan dan tidak mengurangi fungsi pokoknya.
Menurut Pasal 1 ayat (8) PP 6/2007, Pemanfaatan hasil hutan bukan kayu
adalah kegiatan untuk memanfaatkan dan mengusahakan hasil hutan berupa
25
bukan kayu dengan tidak merusak lingkungan dan tidak mengurangi fungsi
pokoknya.
Termasuk dalam pengertian perlindungan hutan untuk mempertahankan dan
menjaga hak-hak negara, masyarakat dan perorangan atas hutan, kawasan hutan
dan hasil hutan serta investasi dan perangkat yang berhubungan dengan
pengelolaan hutan, maka Pemerintah wajib melakukan pengawasan.Dengan
demikian bagi Pemerintah maka izin suatu alat dengannya pemerintah dapat
mengawasi segala tindakan penerima izin sesuai dengan kesepakatan atas izin
yang diperolehnya.
Sedangkan bagi pemegang izin, izin yang telah diperolehnya akan
memberikan perlindungan baginya dalam melaksanakan kegiatan usahanya sesuai
dengan kesepakatan atau ketentuan-ketentuan yang ditetapkan dalam izin itu
sendiri.13
Terdapat dua pengawasan dalam bidang kehutanan yaitu: pertama,
pengawasan yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat terhadap pengurusan hutan
yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah dan kedua, Pengawasan yang
dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah dan masyarakat terhadap
pengelolaan dan atau pemanfaatan hutan yang dilakukan oleh pihak ketiga.14
Oleh karena itu, mekanisme Perizinan dan izin yang diterbitkan adalah
untuk kepentingan dan pengendalian pengawasan administratif yang dapat
digunakan sebagai alat untuk mengevaluasi keadaan/kondisi. Dengan demikian,
13
Suriansyah Murhaini, Penegakan Hukum terhadap Kejahatan di Bidang Kehutanan,
Cetakan II, Laksbang Grafika, Yogyakarta, 2012, h. 52.
14 Bintoro Tjokroamidjojo, Good Governance (Paradigma Baru Manajemen
Pembangunan), UI Press, Jakarta, 2000, h. 12.
26
perizinan merupakan limitasi kegiatan interaksi antara pemerintah dan masyarakat
yang di dalamnya terdapat kepentingan strategis, politis dan normatif pemerintah
dalam mencapai tujuan nasional.
Izin merupakan instrumen yuridis yang digunakan oleh pemerintah untuk
mempengaruhi para warga agar mau mengikuti cara yang dianjurkannya guna
mencapai suatu tujuan konkret.Sebagai suatu instrumen, izin berfungsi selaku
ujung tombak instrumen hukum sebagai pengarah, perekayasa dan perancang
masyarakat adil dan makmur itu dijelmakan. Hal ini berarti lewat izin dapat
diketahui bagaimana gambaran masyarakat adil dan makmur dapat terwujud. Ini
berarti persyaratan-persyaratan yang terkandung dalam izin merupakan
pengendali dalam memfungsikan izin itu sendiri.
Secara konstitusional, UUD 1945 dalam bagian Mukaddimah-nya telah
dengan tegas mencantumkan bahwa salah satu tugas utama para the founding
father ketika memproklamirkan negara Republik Indonesia antara lain adalah
“memajukan kesejahteraan umum”. Petikan penggalan amanat konstitusi tersebut
secara implisit mengisyaratkan, adanya political wiil yang jelas oleh para
pengambil kebijakan (the king maker) terutama pemerintah untuk berupaya
semaksimal mungkin melayani segala kebutuhan masyarakat tanpa unsur
diskriminatif. Administrasi negara haruslah mengimplementasikan prinsip-prinsip
good governance, sehingga tindakan administrasi negara tidak boleh merugikan
kepentingan masyarakat, pihak swasta dan administrasi negara itu sendiri.
Semestinya pemerintah menjadikan perizinan sebagai instrumen yang
membantu melakukan monitoring dan kontrol dalam pembangunan yang
dilaksanakan di wilayahnya. Karenanya cukup beralasan kalau dikehendaki agar
27
dalam rangka meningkatkan kinerja pelayanan perizinan maka diterapkannya
prinsip-prinsip good governance dalam melaksanakan tugasnya.
Dalam kaitannya dengan pengurusan hutan, maka pengelolaannya hanya
akan berhasil menunjang pembangunan nasional jika administrasi negara
menjalankan fungsinya secara efektif dan terpadu. Untuk itu dalam usaha
menjamin, melindungi dan mengamankan fungsi hutan, maka di bidang
kehutanan secara teoritis telah dimasukkan prinsip-prinsip good governance,
seperti prinsip participation, rule of law, transparancy concensus orientation ke
dalam asas penyelenggaraan kehutanan berasaskan manfaat dan lestari,
kerakyatan, keadilan, kebersamaan, keterbukaan dan keterpaduan. 15
Ketentuan di atas menegaskan bahwa pemanfaatan sumber daya hutan harus
memberi manfaat bagi kemakmuran rakyat yang sejalan dengan negara.
Kesejahteraan (welfare State), dan pemanfaatan hutan tersebut harus
memperhatikan kelestarian sumber daya alam hutan, serta memberikan peluang
dan kesempatan yang sama kepada semua warga negara sesuai dengan
kemampuannya sehingga dapat meningkatkan kemakmuran seluruh rakyat oleh
karena itu dalam pemberian izin pemanfaatan hutan harus di cegah terjadinya
praktek-praktek monopoli, monopsoni, oligopoli dan oligopsoni. Terkait pula
dengan keterbukaan dimaksudkan agar setiap kegiatan penyelenggaraan
kehutanan mengikutsertakan masyarakat dan memperhatikan aspirasi masyarakat
serta asas keterpaduan dimaksudkan agar setiap penyelenggaraan kehutanan
dilakukan secara terpadu dengan memperhatikan kepentingan nasional, sektor lain
dan masyarakat setempat.
15
Ridwan HR., Hukum Administrasi Negara, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006, h.
23.
28
Pada masa Orde Baru sistem perizinan usaha pemanfaatan hasil hutan kayu
yang sekarang dikenal dengan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan
Kayu(IUPHHK), hanya dapat diberikan melalui pengajuan permohonan kepada
Menteri yang mengurusi bidang kehutanan, dan dalam praktiknya pemerintah
memberikan prioritas kepada sekelompok tertentu yang pada akhirnya seluruh
kegiatan usaha sehingga mekanisme perizinan pemanfaatan hasil hutan kayu
sangat berbasis pada kekuasaan birokrasi dan kekuatan bisnis. Bahkan pemohon
izin cukup hanya mengajukan permohonan dengan dengan mengisi surat
permohonan yang telah disiapkan formatnya oleh pemerintah, serta dapat
menunjuk sendiri areal hutan yang diminati.
Hal ini dikarenakan lambat dan buruknya kualitas pelayanan khususnya di
bidang perizinan sehingga muncul istilah ”adul (ada duit urusan lancar)”, persepsi
ganda dari Pemerintah pada masa Orde Baru tersebut yang menjadikan instrumen
perizinan sebagai ”pengumpun dana” dan keberhasilan pembangunan di ukur dari
jumlah izin yang dikeluarkan yang sebenarnya berdampak buruk bagi
pembangunan di Indonesia.
Berkaca dari pengalaman di zaman Orde Baru maka prinsip good
governance khususnya prinsip keterbukaan belum dapat diterapkan oleh
Pemerintah sepenuhnya begitu pula halnya dengan prinsip Equity atau kesetaraan,
hal ini terlihat dari pemberian prioritas kepada pihak-pihak tertentu.
Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa dalam bidang kehutanan telah
terjadi onrechtmatige overheidsdaad karena Pemerintah telah menyalahgunakan
kewenangan yang dimilikinya dengan menguntungkan sekelompok orang saja,
29
padahal sebagai penyelenggara negara maka Pemerintah mengemban kewajiban
yang lebih besar lagi yakni mensejahterakan rakyat Indonesia pada umumnya.
Prinsip selanjutnya dari good governance adalah akuntabilitas, yang
berarti pembuat keputusan dalam pemerintahan, sektor swasta dan masyarakat
bertanggung jawab kepada publik dan lembaga stakeholders. Jika dikaitkan
dengan perizinan di bidang kehutanan maka prinsip ini terkandung dalam pasal 49
dan 50 UU Kehutanan yang dengan jelas mengatur tanggung jawab izin konsesi
atas terjadinya kebakaran hutan dan larangan melakukan kegiatan yang
menimbulkan kerusakan hutan di dalam areal kerjanya.
Namun dalam kenyataan yang terjadi di lapangan prinsip-prinsip dari good
governace belum dapat diimplementasikan sepenuhnya karena hutan di Indonesia
adalah sektor yang paling sering mendapat eksploitasi berlebihan.Laju kerusakan
hutan Indonesia mencapai 1,6 juta hektar hingga 2 juta hektar pertahun dan Walhi
mencatat 96,5 juta hektar atau 72 persen dari 134 juta hektar hutan tropis
Indonesia telah hilang, sehingga hutan yang tersisa tinggal 37,5 juta hektar.16
Kerugian yang diderita akibat kerusakan hutan 1,6 juta hektar pertahun
menurut Menteri Kehutanan yang pada waktu itu dijabat oleh Muhammad
Prakoso adalah sangat fantastis mencapai Rp 30,42 triliun pertahun.17
Terkait pula dengan prinsip rule of law maka data dan informasi yang juga
dikoleksi oleh Walhi melalui media massa terkait penegakkan hukum lingkungan
untuk kasus kebakaran hutan/lahan yang pelakunya oleh pemegang HPH selama
16
M. Hamdan, Tindak Pidana Pencemaran Lingkungan Hidup, Mandar Maju,
Bandung, 2000, h. 31.
17 Media Indonesia, “Indonesia Alami Kerusakan Hutan Tercepat,” 18 Maret 2006.
30
kurun 2001-2006 menyebutkan sekitar 10 kasus pembakaran hutan/lahan yang
diproses hukum dan dibawa kepengadilan.
Artinya hanya 0,1 persen saja penegakkan hukum terhadap 178 nama
perusahaan yang di duga/terindikasi melakukan pembakaran hutan/lahan.
Sehingga terlihat masih rendahnya keseriusan penegakkan hukum. Hal ini terjadi
pula pada kasus pencurian kayu dimana pemerintah belum berhasil menangani
kasus illegal logging yang semakin ”merajalela”.
Di Dunia. Perizinan di Bidang Kehutanan Terdapat 3 jenis kegiatan yang
diizinkan dalam memakai kawasan hutan, antara lain:
1. Pemanfaatan hutan yaitu kegiatan kehutanan yang memanfaatkan
kawasan Hutan dan hasil hutan.
2. Penggunaan Kawasan hutan yaitu kegiatan yang menggunakan kawasan
hutan untuk kepentingan pembangungan di luar kegiatan kehutanan
3. Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan yaitu kegiatan di luar kehutanan
yang menggunakan kawasan hutan namun mengubah pokok fungsi
kawasan hutan dan bentang alam
Izin dalm Pemanfaatan Kawasan Hutan:
1. Izin usaha pemanfaatan kawasan;
2. Izin Usaha Pemanfaatan Jasa Lingkungan;
3. Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu;
4. Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu;
5. Izin Pemungutan Hasil Hutan Kayu;
6. Izin Pemungutan Hasil Hutan Bukan Kayu.
31
Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan diwajibkan untuk kegiatan yang
menggunakan kawasan hutan namun mengubah fungsi pokok kawasan hutan
seperti kegiatan perkebunan. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007
terdapat penjelasan berbagai perizinan di bidang kehutanan yaitu:
Angka 10 menyatakan ;
Izin pemanfaatan hutan adalah izin yang diterbitkan oleh pejabat
yang berwenang yang terdiri dari izin usaha pemanfaatan
kawasan, izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha
pemanfaatan hasil hutan kayu dan/atau bukan kayu, dan izin
pemungutan hasil hutan kayu dan/atau bukan kayu pada areal
hutan yang telah ditentukan.
Angka 11 menyatakan :
Izin usaha pemanfaatan kawasan yang selanjutnya disingkat
IUPK adalah izin usaha yang diberikan untuk memanfaatkan
kawasan pada hutan lindung dan/atau hutan produksi.
Angka 12 menyatakan :
Izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan yang selanjutnya
disingkat IUPJL adalah izin usaha yang diberikan untuk
memanfaatkan jasa lingkungan pada hutan lindung dan/atau
hutan produksi.
Angka 13 menyatakan :
Izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu yang selanjutnya
disingkat IUPHHK dan/atau izin usaha pemanfaatan hasil hutan
bukan kayu yang selanjutnya disebut IUPHHBK adalah izin
usaha yang diberikan untuk memanfaatkan hasil hutan berupa
kayu dan/atau bukan kayu dalam hutan alam pada hutan
produksi melalui kegiatan pemanenan atau penebangan,
pengayaan, pemeliharaan dan pemasaran.
32
C. Ganti Kerugian
Kerugian adalah situasi berkurangnya harta kekayaan salah satu pihak yang
ditimbulkan dari suatu perikatan (baik melalui perjanjian maupun melalui undang-
undang) dikarenakan pelanggaran norma oleh pihak lain.
Pengertian kerugian yang lebih luas dikemukakan oleh Mr. J. H.
Nieuwenhuis sebagaimana yang diterjemahkan oleh Djasadin Saragih, pengertian
kerugian adalah berkurangnya harta kekayaan pihak yang satu, yang disebabkan
oleh perbuatan (melakukan atau membiarkan) yang melanggar norma oleh pihak
yang lain.18
Yang dimaksud dengan pelanggaran norma oleh Nieuwenhuis di sini
adalah berupa wanprestasi dan perbuatan melanggar hukum. Bila kita tinjau
secara mendalam, kerugian adalah suatu pengertian yang relatif, yang bertumpu
pada suatu perbandingan antara dua keadaan. Kerugian adalah selisih (yang
merugikan) antara keadaan yang timbul sebagai akibat pelanggaran norma.
Menurut Purwahid Patrik, kerugian terdiri dari dua unsur, yaitu:
a. Kerugian yang nyata diderita (damnum emergens) meliputi biaya dan
rugi;
b. Keuntungan yang tidak diperoleh (lucrum cessans) meliputi bunga.19
Dari pengertian kerugian pada sub bab sebelumnya dapat kita lihat bahwa
kerugian adalah suatu pengertian kausal, yakni berkurangnya harta kekayaan
(perubahan keadaan berkurangnya harta kekayaan), dan diasumsikan adanya suatu
peristiwa yang menimbulkan perubahan tersebut.
18
J.H. Nieuwenhuis, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, terjemahan oleh Djasadin
Saragih, Airlangga University Press, Surabaya, 1985, h. 54.
19 Purwahid Patrik, Dasar-Dasar Hukum Perikatan (Perikatan yang Lahir dari
Perjanjian dan dari Undang-Undang), Mandar Maju, Bandung, 1994, h. 14.
33
Syarat untuk menggeserkan kerugian itu kepada pihak lain oleh pihak yang
dirugikan adalah bahwa kerugian tersebut disebabkan oleh pelanggaran suatu
norma oleh pihak lain tersebut.
Dalam pengertian bahwa kerugian yang disebabkan oleh perbuatan
melawan hukum dapat berupa:
1. Kerugian materiil, dimana kerugian materiil dapat terdiri dari kerugian
yang nyata-nyata diderita dan keuntungan yang seharunya diperoleh.
Jadi pada umumnya diterima bahwa si pembuat perbuatan melawan
hukum harus mengganti kerugian tidak hanya untuk kerugian yang
nyata-nyata diderita, juga keuntungan yang seharusnya diperoleh.
2. Kerugian idiil, dimana perbuatan melawan hukum pun dapat
menimbulkan kerugian yang bersifat idiil seperti ketakutan, sakit dan
kehilangan kesenangan hidup.
Kemudian salah satu unsur yang harus terpenuhi agar perbuatan dapat
dikatakan perbuatan melawan hukum harus ada hubungan kasual antara perbuatan
dengan kerugian. Untuk memecahkan hubungan causal antara perbuatan melawan
hukum dengan kerugian, terdapat dua teori, yaitu:
a. Condition sine qua non, dimana menurut teori ini orang yang melakukan
perbuatan melawan hukum selalu bertanggung jawab jika perbuatannya
condition sine qua non menimbulkan kerugian (yang dianggap sebagai
sebab dari pada suatu perubahan adalah semua syarat-syarat yang harus
ada untuk timbulnya akibat).
34
b. Adequate veroorzaking, dimana menurut teori ini si pembuat hanya
bertanggung jawab untuk kerugian yang selayaknya dapat diharapkan
sebagai akibat dari pada perbuatan melanggar hukum.
Pada umumnya ganti rugi diperhitungkan dalam sejumlah uang tertentu.
Hoge Raad malahan berpendapat, bahwa penggantian “ongkos, kerugian, dan
bunga” harus dituangkan dalam sejumlah uang tertentu. Sering pula muncul pada
tuntutan ganti rugi atas dasar onrechtmatige daad. Namun adanya ganti rugi atas
kepentingan yang tidak dapat dinilai dengna uang, secara tegas-tegas diakui,
seperti pada Pasal 1601w KUHPerdata yang menyatakan bahwa:
Jika salah satu pihak dengan sengaja atau karena salahnya telah
berbuat melanggar dengan salah satu kewajibannya dan
kerugian yang karenanya diderita oleh pihak lawan tidak dapat
dinilaikan dengan uang, maka Hakim akan menetapkan suatu
jumlah uang menurut keadilan, sebagai ganti rugi
Kemudian dalam kasus ini terdapat bukti bahwa Negara telah dirugikan oleh
PT.MPL karena telah melakukan perusakan lingkungan.
D. Gambaran Kasus
Penulis menjadikan kasus a quo sebagai obyek penelitian Penulis, yang
Penulis ambil dalam Putusan No. 79/PDT/2014/PTR dengan Penggugat dari
Kementerian Lingkungan Hidup Republik Indonesia melawan Tergugat dari PT.
Merbau Pelalawan Lestari, dimana dalam kasus ini PT. Merbabu Pelalawan
Lestari yang merupakan perusahaan yang bergerak di bidang Usaha Pemanfaatan
Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman, digugat oleh Kementerian Lingkungan
Hidup Republik Indonesia atas dasar perbuatan melanggar hukum.
35
Perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh tergugat menurut
Penggugat ada 2 (dua), yaitu melakukan penebangan hutan di luar lokasi Izin
Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman (IUPHHK-HT), dan
melakukan penebangan hutan di dalam lokasi IUPHHK-HT, dengan melanggar
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Perbuatan melanggar hukum pertama yaitu tentang melakukan penebangan
hutan di luar lokasi IUPHHK-HT, bahwa tergugat telah melanggar hukum dengan
melebihi luas lokasi penebangan yang telah ditentukan, hal ini di buktikan oleh
peggugat dengan:
1. Surat Nomor 21/MPL/BKT/XI/2003 tanggal 06 November 2003
tentang Usulan Rencana Kerja Tahunan Usaha Pemanfaatan Hasil
Hutan Kayu pada Hutan Tanaman PT. Merbau Pelalawan Lestari seluas
2.634 ha (bruto) atatu seluas 2.252 ha (netto);
2. Surat Nomor 0062/MPL/UBKT/IX/2004 tanggal 14 September 2004
tentang Usulan Rencana Kerja Tahunan Usaha Pemanfaatan Hasil
Hutan Kayu pada Hutan Tanaman PT. Merbau Pelalawan Lestari seluas
2.208 ha (bruto) atau seluas 1.703 ha (netto);
3. Surat Nomor 109/MPL-PKU/UM/X/2005 tanggal 14, 20 Oktober 2005
tentang Usulan Rencana Kerja Tahunan Usaha Pemanfaatan Hasil
Hutan Kayu pada Hutan Tanaman PT. Merbau Pelalawan Lestari seluas
2.624 ha (bruto) atau seluas 2.185 ha (netto).
Sehingga berdasarkan RKT Tahun 2003, 2004, dan 2005, maka jumlah luas
seluruhnya 7.446 ha, oleh karenanya selisih dari IUPHHK-HT adalah seluas 1.873
ha, karena dari IUPHHK-HT hanya 5.590 ha.
36
Sedangkan perbuatan melanggar hukum kedua yang dilakukan oleh
Tergugat adalah tentang melakukan penebangan hutan di dalam lokasi IUPHHK-
HT dengan melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku,
yaitu menurut Keputusan Bupati Pelalawan Nomor
522.21/IUPHHKHT/XII/2002/004 tentang Pemberian Hak Izin Usaha
Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman kepada PT. Merbau Pelalawan
Lestari di lahan seluas 5.590 ha telah melakukan perbuatan melanggar hukum
berupa penebangan pohon dengan diameter lebih dari 10 cm dan lebih dari 5 m3
per hektar, penebangan pohon yang dilindungi, melakukan kegiatan penebangan
pada awal kegiatan usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dan pembuatan kanal, hal
tersebut merupakan pelanggaran peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Berdasarkan kasus perbuatan melanggar hukum yang dilakukan Tergutat,
maka penggugat mengajukan permohonan provisi kepada Pengadilan Negeri
Pekanbaru untuk terlebih dahulu menghukum dan memerintahkan penghentian
sementara kegiatan operasional serta melakukan sita jaminan atas harta kekayaan
Tergugat baik berupa benda tetap ataupun benda tidak tetap sampai adanya
putusan yang berkekuatan hukum tetap.
Dalam putusan terdahulu, yaitu putusan Pengadilan Negeri Pekanbaru
Nomor 157/Pdt.G/2013/PN.PBR menyatakan bahwa Majelis Hakim menolak
gugatan Penggugat seluruhnya.
Kemudian Penggugat melakukan banding, yang di dalam memori
bandingnya mengemukakan bahwa Majelis Hakim Pengadilan Tingkat Pertama
telah keliru menilai perkara a quo, yang mana terdapat pertentangan antara satu
dengan yang lainnya dalam pertimbangan putusan Hakim, keliru dalam menilai
37
tentang alat bukti yang sah dan valid, serta keliru dalam menilai dalam putusan
pada halaman 99 alinea keenam s/d halaman 100 alinea kedua dan ketiga,
halaman 100 alinea keempat s/d halaman 101 alinea kesatu dan kedua, halaman
101 alinea ketiga, halaman 102 alinea pertama dan alinea kedua, halaman 103
alinea pertama, serta Majelis Hakim tingkat pertama tidak memberikan
pertimbangan hukum yang benar baik mengenai tuntutan provisi maupun
pemeriksaan setempat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Setelah membaca memori banding yang diajukan oleh pembanding, maka
Pengadilan Tinggi menolak banding yang diajukan oleh Kementerian Lingkungan
Hidup Republik Indonesia. Namun dalam putusan terdapat dissenting opinion
antara kedua hakim anggota dan hakim ketua.
E. Pertimbangan Hukum dalam Putusan Nomor
79/PDT/2014/PTR
Subbab ini akan membahas mengenai pertimbangan hukum hakim dalam
putusan banding dengan nomor 79/PDT/2014/PTR, sebagaimana yang menjadi
obyek dalam penulisan skripsi ini.
Permohonan banding dari pembanding, semula Penggugat, telah diajukan
dalam tenggang waktu dan menurut tata cara, serta memenuhi persyaratan yang
ditentukan oleh undang-undang, oleh karena itu permohonan banding tersebut
secara formal dapat diterima.
Pengadilan Tinggi, setelah memeriksa dan meneliti secara cermat dan
seksama berkas perkara, beserta turunan resmi putusan Pengadilan Negeri
Pekanbaru tanggal 3 Maret 2014 Nomor 157/Pdt.G/2013/PN.PBR, dan telah pula
38
membaca serta memperhatikan dengan seksama surat memori banding yang
diajukan oleh Pembanding semula Penggugat.
Pembanding semula Penggugat, dalam memori bandingnya pada pokoknya
mengemukakan sebagai berikut:
1. Majelis Hakim Pengadilan tingkat pertama telah keliru menilai perkara a
quo, yang mana terdapat pertentangan antara satu dengan lainnya dalam
pertimbangan putusan Hakim;
2. Majelis Hakim Pengadilan tingkat pertama telah keliru dalam menilai
perkara a quo sebagaimana dalam putusannya pada halaman 99 alinea
keenam s/d halaman 100 alinea kedua dan ketiga;
3. Majelis Hakim Pengadilan tingkat pertama telah keliru dalam menilai
tentang alat bukti yang sah dan valid, yang mana hakim berdasarkan
pada putusan MARI dalam perkara pidana No. 1479 K/Pid/1989 yang
mendefinisikan: “Alat bukti dianggap sah apabila proses
pengambilannya dilakukan dalam rangka pro yustisia dengan prosedur
acara yang telah ditetapkan dalam KUHAP. Alat bukti dianggap valid
apabila proses pengambilannya dan pemeriksaannya didasarkan pada
metodologi ilmu pengetahuan yang paling sahih, terbaru dan diakui
oleh ahli dalam bidang ilmu yang bersangkutan.”
Perkara a quo bukanlah perkara pidana, akan tetapi perkara perdata, oleh
karena itu Majelis Hakim Pengadilan tingkat pertama yang menentukan
sah dan valid-nya alat bukti dengan berpedoman pada putusan perkara
pidana adalah jelas suatu kekeliruan yang nyata;
39
4. Majelis Hakim Pengadilan tingkat pertama telah keliru dalam menilai
perkara a quo, sebagaimana dalam putusannya pada halaman 100 alinea
keempat s/d halaman 101 alinea ke satu dan kedua.
Majelis Hakim tingkat pertama dalam mengambil kesimpulan dan
pertimbangan tentang Tergugat tidak melakukan penebangan hutan di
luar areal izin tebang yang dimiliki, hanya berdasarkan bukti, saksi, dan
ahli yang diajukan oleh Terbanding/Tergugat tanpa membandingkan
bukti, saksi, dan ahli yang diajukan oleh Pembanding/Penggugat;
5. Majelis Hakim Pengadilan tingkat pertama telah keliru dalam menilai
perkara a quo, sebagaimana dalam putusannya pada halaman 101 alinea
ketiga.
Majelis Hakim Pengadilan tingkat pertama mengambil kesimpulan,
Penggugat tidak dapat membuktikan bahwa Tergugat melakukan
penebangan terhadap jenis tanaman tersebut di atas, melainkan hanya
berdasarkan asumsi yang tidak didukung bukti, hanya berdasarkan satu
keterangan saksi yang diajukan oleh Terbanding/Tergugat saja, tanpa
mempertimbangkan bukti-bukti yang diajukan oleh
Pembanding/Penggugat;
6. Majelis Hakim Pengadilan tingkat pertama telah keliru dalam menilai
perkara a quo, sebagaimana dalam putusannya pada halaman 102 alinea
pertama. Pertimbangan Majelis Hakim tingkat pertama tersebut jelas
suatu kekeliruan yang nyata, karena quad non ada perbedaan antara
bukti, saksi, maupun ahli yang diajukan oleh Pembanding/Penggugat
dengan bukti yang diajukan Terbanding/Tergugat, maka berdasarkan
40
Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) RI No. 7 Tahun 2001 tentang
pemeriksaan setempat, dan berdasarkan keterangan ahli Dr. Atja
Sondjaja, S.H (Ahli Hukum Perdata) yang disampaikan pada
persidangan hari Kamis tanggal 30 Januari 2014, yang pada pokoknya
menyatakan: pemeriksaan setempat dilakukan jika ada perbedaan antara
Penggugat maupun Tergugat mengenai obyek sengketa, termasuk dalam
kasus perusakan lingkungan yang menyatakan ada atau tidaknya
kerusakan, akan tetapi Majelis Hakim Pengadilan tingkat pertama tidak
melakukan pemeriksaan setempat meskipun telah diminta oleh
Pembanding/Penggugat pada setiap pemeriksaan persidangan;
7. Majelis Hakim Pengadilan tingkat pertama telah keliru dalam menilai
perkara a quo sebagaimana dalam putusannya pada halaman 102 alinea
kedua.
Penghentian penyidikan tindak pidana kehutanan di areal PT. MPL tidak
ada kaitannya dengan pembuktian terjadinya perbuatan melanggar
hukum berupa perusakan lingkungan hidup, yang berupa perusakan
tanah untuk produksi biomassa (lahan basah) yang dilakukan dengan
cara melakukan penebangan hutan di luar lokasi izin usaha pemanfaatan
hasil hutan, kayu hutan, tanaman (IUPHHK-HT), dan melakukan
penebangan hutan di dalam lokasi IUP HHK-HT dengan melanggar
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Sedangkan pembuktian terjadinya perbuatan melawan hukum telah
diuraikan secara jelas dalam gugatan a quo angka 12 sampai dengan 18,
41
serta diperkuat dengan keterangan saksi dan ahli yang diajukan oleh
Pembanding/Penggugat;
8. Majelis Hakim Pengadilan tingkat pertama telah keliru menilai perkara a
quo sebagaimana dalam putusannya halaman 103 alinea pertama;
9. Majelis Hakim tingkat pertama tidak memberikan pertimbangan hukum
yang benar, baik mengenai tuntutan provisi maupun pemeriksaan
setempat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
Dapat disimpulkan, bahwa setelah membaca dan meneliti isi memori
banding yang diajukan oleh Pembanding, semula Penggugat tersebut di atas,
Pengadilan Tinggi berpendapat:
Majelis Hakim tingkat pertama telah mempertimbangkan dengan benar
semua bukti-bukti yang diajukan oleh Pembanding semula Penggugat untuk
membuktikan dalil gugatannya, baik bukti surat maupun bukti saksi, termasuk
keterangan ahli yang diajukan oleh Pembanding semula Penggugat.
Majelis Hakim tingkat pertama juga telah mempertimbangkan dengan benar
bukti-bukti yang diajukan oleh Terbanding, semula Tergugat untuk menguatkan
dalil bantahannya, baik bukti surat maupun bukti saksi, termasuk keterangan ahli
yang diajukan oleh Terbanding semula Tergugat.
Majelis Hakim tingkat pertama telah memberikan pertimbangan dan
penilaian atas keterangan ahli, baik yang diajukan oleh Pembanding semula
Penggugat, maupun yang diajukan oleh Terbanding semula Tergugat.
Mengenaipemeriksaan setempat dalam perkara a quo, pada prinsipnya tidak
wajib bagi Majelis Hakim untuk melakukan pemeriksaan setempat, karena hal
tersebut diserahkan sepenuhnya kepada Majelis Hakim untuk menilai perlu
42
tidaknya dilakukan pemeriksaan setempat atas perkara tersebut. Dan secara
yuridis formil, hasil pemeriksaan setempat bukan merupakan alat bukti
sebagaimana diatur dalam hukum acara perdata, pemeriksaan setempat hanya
bersifat bukti pendukung apabila menurut Majelis Hakim, bukti-bukti yang
diajukan oleh para pihak belum cukup jelas bagi Majelis Hakim untuk
memutuskan suatu perkara.
Berdasarkan bukti-bukti yang diajukan oleh Pembanding, semula Penggugat
dan Terbanding semula Tergugat, Pengadilan Tinggi sependapat dengan Majelis
Hakim tingkat pertama, yang berkesimpulan bahwa Pembanding semula
Penggugat tidak dapat membuktikan adanya kerusakan lingkungan yang
dilakukan oleh Terbanding semula Tergugat sebagaimana didalilkan oleh
Pembanding semula Penggugat dalam gugatannya.
Menurut Pengadilan Tinggi, bahwa Majelis Hakim tingkat pertama telah
memberikan pertimbangan dan penilaian yang benar tentang perkara a quo dan
Majelis Hakim tingkat pertama telah memberikan pertimbangan yang cukup,
sehingga Pengadilan Tinggi sependapat dengan pertimbangan Majelis Hakim
tingkat pertama.
Dengan demikian, maka pertimbangan-pertimbangan hukum Majelis Hakim
tingkat pertama tersebut diambilalih dan dijadikan dasar pertimbangan-
pertimbangan putusan Pengadilan Tinggi sendiri, sehingga putusan Pengadilan
Negeri Pekanbaru tanggal 3 Maret 2014 Nomor 157/Pdt.G/2013/PN.PBR dapat
dipertahankan dan dikuatkan dalam peradilan tingkat banding.
Oleh karena Pembanding, semula Penggugat tetap dipihak yang kalah, baik
dalam peradilan tingkat pertama maupun dalam peradilan tingkat banding, maka
43
semua biaya yang timbul dalam kedua tingkat peradilan tersebut dibebankan
kepadanya.
Hakim Ketua Majelis tingkat banding mempunyai pendapat lain dalam
perkara ini sehingga terjadi dissenting opinion yang diuraikan sebagai berikut:
Pertimbangan tersebut di atas adalah pendapat dari 2 (dua) orang Hakim
Anggota Majelis yang memeriksa dan mengadili perkara a quo, sementara Hakim
Ketua Majelis berpendapat lain, dengan pertimbangan sebagai berikut:
1. Untuk menentukan sikap dalam perkara a quo atau sebelum memeriksa
perkara pokok, dalam tingkat banding, sebaiknya Pengadilan Tinggi
Pekanbaru terlebih dahulu mengeluarkan Putusan Sela yang
memerintahkan Pengadilan Negeri untuk melakukan Sidang di tanah
perkara;
2. Pembanding, semula Penggugat, untuk mendukung dalil gugatannya
telah mengajukan alat bukti baik bukti surat maupun bukti saksi, bahkan
dengan pendapat ahli, sesuai dengan Keputusan Mahkamah Agung R I
No. 36/KMA/SK/II/2013 yang mengatur tentang jenis alat bukti pada
pembuktian dalam penanganan perkara perdata Lingkungan Hidup;
3. Dari alat bukti tersebut di atas, disimpulkan telah terjadi perusakan
Lingkungan Hidup, karena ulah dan perbuatan dari pihak Terbanding,
semula Tergugat;
4. Pihak Terbanding, semula Tergugat, juga untuk mendukung dalil
bantahannya telah pula mengajukan alat bukti berupa bukti, bukti surat
maupun bukti saksi, bahkan dengan pendapat ahli, yang dalam
44
kesimpulannya menyatakan tidak ada terjadi perusakan Lingkungan
Hidup;
5. Dari semua dalil dan alat bukti yang diajukan, baik oleh Pembanding,
semula Penggugat, maupun oleh Terbanding, semula Tergugat, terlihat
jelas perbedaan yang sangat prinsip dan mendasar;
6. Oleh karena adanya perbedaan yang sedemikian rupa, untuk membantu
Pengadilan dalam mengambil suatu putusan, Mahkamah Agung RI telah
mengeluarkan Surat Edaran Nomor 7 Tahun 2001 tentang Pemeriksaan
Setempat, dan juga dihubungkan dengan keterangan ahli Dr. Atja
Sondjaya, S.H (Ahli Hukum Perdata) yang disampaikan pada
persidangan hari Kamis tanggal 30 Januari 2014, pada pokoknya
menyatakan “pemeriksaan setempat dilakukan jika adanya perbedaan
antara Penggugat maupun Tergugat mengenai objek sengketa termasuk
dalam kasus perusakan lingkungan hidup yang menyatakan ada atau
tidaknya kerusakan”;
7. Pemeriksaan setempat dalam perkara ini sangat diperlukan untuk
melihat areal yang dikerjakan oleh Terbanding, semula Tergugat sesuai
Pemberian Hak Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan
Tanaman seluas ± 5.590 hektar di Kabupaten Pelalawan, apakah benar-
benar sudah terjadi perusakan lingkungan hidup atau tidak di areal
tersebut atau di luar areal tersebut akibat perbuatan dari pihak
Terbanding, semula Tergugat;
45
8. Berdasarkan alasan-alasan tersebut di atas, adalah mutlak haruslah
dilakukan pemeriksaan setempat sebelum mengambil putusan terhadap
perkara a quo.
Tambahan lagi, dalam musyawarah Majelis Hakim tingkat banding terdapat
perbedaan pendapat dalam memutus perkara ini sebagaimana diuraikan di atas,
maka sesuai dengan Pasal 30 ayat (3) Undang-Undang No.14 Tahun 1985
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang
Mahkamah Agung, setelah musyawarah diambil keputusan dengan suara
terbanyak, dalam hal ini putusan yang diucapkan adalah pendapat dari 2 (dua)
orang Hakim Anggota Majelis, yakni menguatkan putusan Pengadilan Negeri
Pekanbaru Nomor 157/Pdt.G/2013/PN.Pbr tanggal 3 Maret 2014 yang
dimohonkan banding tersebut.
Maka, mengingat Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman, Undang-Undang No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum, yang
telah diubah pertama dengan Undang-Undang No. 8 Tahun 2004 dan terakhir
diubah dengan Undang-Undang No. 49 Tahun 2009, Rbg (Rechtsreglement
Buitengewesten Stb : 1927 No.27) Reglemen untuk Daerah Luar Jawa dan
Madura, Pasal 155 sampai dengan Pasal 205, dan Peraturan Perundang-undangan
lainnya yang terkait, Hakim mengadili:
1. Menerima permohonan banding yang diajukan oleh Pembanding semula
Penggugat;
2. Menguatkan putusan Pengadilan Negeri Pekanbaru tanggal 3 Maret
2014 Nomor 157/Pdt.G/2013/PN.Pbr yang dimohonkan banding
tersebut;
46
3. Menghukum Pembanding semula Penggugat untuk membayar seluruh
biaya perkara yang timbul dalam kedua tingkat peradilan, yang ditingkat
banding ditetapkan sebesar Rp. 150.000,00 (seratus lima puluh ribu
rupiah).
F. Analisis terhadap Pertimbangan Hakim dalam Putusan
Nomor 79/PDT/2014/PTR
Berikut akan dijelaskan dalam paragraf per paragraf, sebagaimana diuraikan
di dalam putusan a quo, terdapat 2 (dua) point tentang kaidah “melawan hukum”.
Point pertama adalah: PT. Merbau Pelalawan Lestari (Tergugat) melakukan
penebangan hutan di luar lokasi Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan
Tanaman (IUPHHK-HT). Perlu diketahui, bahwa PT. Merbau Pelalawan Lestari
adalah Badan Usaha yang bergerak di bidang usaha pemanfaatan hasil hutan kayu
dan memperoleh IUPHHK-HT seluas 5.590 (lima ribu lima ratus sembilan puluh)
hektar di Kabupaten Pelalawan berdasarkan Keputusan Bupati Pelalawan Nomor
522.21/1UPHHKHT/X11/2002/004, bertanggal 17 Desember 2002, tentang
Pemberian Hak Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman
kepada PT. Merbau Pelalawan Lestari.
Dalam Rencana Kerja Tahunan Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada
Hutan Tanaman (RKT UPHHK-HT) yang diajukan oleh Tergugat kepada Dinas
Kehutanan Propinsi Riau ditemukan luas areal yang melebihi luas IUPHHK-HT
yang diberikan seluas 5.590 (lima ribu lima ratus sembilan puluh) hektar, hal ini
dibuktikan dengan:
47
1. Surat Nomor 21/MPL/BKT/XI/2003 tanggal 06 November 2003 tentang
Usulan Rencana Kerja Tahunan Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu
pada Hutan Tanaman PT. Merbau Pelalawan Lestari seluas 2.634 ha
(bruto) atau seluas 2.252 ha (netto);
2. Surat Nomor 0062/MPL/UBKT/IX/2004 tanggal 14 September 2004
tentang Usulan Rencana Kerja Tahunan Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan
Kayu pada Hutan Tanaman PT. Merbau Pelalawan Lestari seluas 2.208
ha (bruto) atau seluas 1.703 ha (netto);
3. Surat Nomor 109/MPL-PKU/UM/X/2005 tanggal 14 Oktober 2005
tentang Usulan Rencana Kerja Tahunan Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan
Kayu pada Hutan Tanaman PT. Merbau Pelalawan Lestari seluas 2.624
ha (bruto) atau seluas 2.185 ha (netto);
Sehingga berdasarkan RKT Tahun 2004, 2005, dan 2006, maka jumlah luas
seluruhnya menjadi 7.466 ha, oleh karenanya selisih dari IUPHHK-HT adalah
seluas ± 1.873 (seribu delapan ratus tujuh puluh tiga) ha.
Dengan demikian, berdasarkan uraian di atas, Tergugat secara jelas telah
melakukan perbuatan melawan hukum karena melakukan penebangan di luar
IUPHHK HT.
Perbuatan Melawan Hukum point kedua yaitu: melakukan penebangan
hutan di dalam lokasi IUPHHK-HT, dengan melanggar ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Sebagaimana diketahui, areal Izin Usaha
Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu-Hutan Tanaman(IUPHHK-HT) Tergugat seluas ±
5.590 (lima ribu lima ratus sembilan puluh) hektar di Kabupaten Pelalawan,
berasal dari hutan bekas tebangan seluas 400 ha dan hutan primer seluas 5.190 ha,
48
yang merupakan kawasan Hutan Produksi Terbatas dan hutan produksi yang
dapat dikonversi.20
Yang dimaksud dengan Hutan Produksi Terbatas adalah Kawasan hutan
dengan faktor-faktor kelas lereng, jenis tanah, dan intensitas hujan, setelah
masing-masing dikalikan dengan angka penimbang mempunyai jumlah nilai
antara 125 s/d 174 (seratus dua puluh lima sampai dengan seratus tujuh puluh
empat), diluar kawasan lindung, hutan suaka alam, hutan pelestarian alam dan
taman buru.21
Tergugat berdasarkan Keputusan Bupati Pelalawan Nomor
522.21/IUPHHKHT/XII/2002/004 tentang Pemberian Hak Izin Usaha
Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman kepada PT. Merbau Pelalawan
Lestari di lahan seluas 5.590 (lima ribu lima ratus sembilan puluh) ha telah
melakukan perbuatan melawan hukum berupa penebangan pohon dengan
diameter lebih dari 10 cm dan lebih dari 5 m3 per hektar, penebangan pohon yang
dilindungi, melakukan kegiatan penebangan pada awal kegiatan usaha
pemanfaatan hasil hutan kayu dan pembuatan kanal. Hal ini merupakan
pelanggaran peraturan perundang-undangan yang berlaku yaitu:
1. Diktum Ketiga angka 2 Keputusan Bupati Pelalawan No:
522.21/IUPHHK HT/XII/2002/004 tentang Pemberian Hak Izin Usaha
Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman kepada PT. Merbau
Pelalawan Lestari seluas ± 5.590 (lima ribu lima ratus sembilan puluh)
20
Vide Keputusan Bupati Pelalawan Nomor 522.21/IUPHHKHT/XII/2002/004
bertanggal 17 Desember 2002 tentang Pemberian Hak Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu
Hutan Tanaman kepada PT. Merbau Pelalawan Lestari (Tergugat).
21 Vide Pasal 24 ayat (3) huruf c Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2004 tentang
Perencanaan Kehutanan.
49
hektar di Kabupaten Pelalawan, yang berbunyi sebagai berikut: “PT.
Merbau Pelalawan Lestari selaku pemegang IUPHHK-HT terikat
ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam lampiran keputusan ini dan
peraturan perundangan yang berlaku bagi pengusahaan hutan.”
2. Diktum KETIGA angka 3 Keputusan Kepala Dinas Kehutanan Provinsi
Riau Nomor: KPTS.522.2/PK/2051 tentang Pengesahan Rencana Kerja
Tahunan Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman
Tahun 2006 di Kabupaten Pelalawan atas nama PT. Merbau Pelalawan
Lestari yang berbunyi sebagai berikut:
Mewajibkan kepada PT. Merbau Pelalawan Lestari untuk
meninggalkan dan mempertahankan, serta melindungi dan
memelihara vegetasi/hutan alam yang berada dalam areal RKT-
UPHHK pada hutan tanaman seperti kawasan lindung (kawasan
gambut, kawasan resapan air, sepadan sungai, kawasan sekitar
waduk/danau, dan sekitar mata air, termasuk pohon dan
kepungan sialang.
3. Pasal 3 ayat (4), (6) dan Pasal 9 ayat (2) huruf i Keputusan Menteri
Kehutanan Nomor: 10.1/Kpts-11/2000 tentang Pedoman Pemberian Izin
Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman, yang berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 3 ayat (4):
Areal hutan yang dapat dimohon untuk usaha hutan tanaman
dengan penutupan vegetasi berupa non-hutan (semak belukar,
padang alang-alang, dan tanah kosong), atau areal bekas
tebangan yang kondisinya rusak dengan potensi kayu bulat
berdiameter 10 cm untuk semua jenis kayu dengan kubikasi
tidak lebih dart 5M kubik per hektar.
Pasal 3 ayat (6):
Pada prinsipnya tidak dibenarkan melakukan penebangan hutan
alam di dalam usaha hutan tanaman, kecuali untuk kepentingan
pembangunan sarana dan prasarana yang tidak dapat dihindari
50
dengan luas maksimum 1% dari seluruh luas usaha hutan
tanaman melalui peraturan yang berlaku.
Pasal 9 ayat (2):
Pemegang izin usaha hutan tanaman wajib melaksanakan
ketentuan yang berlaku di bidang kehutanan dan perkebunan
sesuai peraturan yang berlaku.
4. Pasal 1 ayat (1) dan Pasal 2 KepMenHut No. 127 Tahun 2001 tentang
Penghentian Sementara (Moratorium) Kegiatan Penebangan dan
Perdagangan Ramin (Gonytylus):
Pasal 1 ayat (1):
Menghentikan sementara (moratorium) seluruh kegiatan
penebangan jenis Ramin (Gonytylus spp) di seluruh kawasan
hutan tetap, di kawasan hutan yang dapat dikonversi dan hutan
hak.
Pasal 2:
Setiap orang dilarang untuk menebang dan mengeluarkan dari
habitatnya jenis Ramin (Gonytylus spp) baik di kawasan hutan
yang telah dibebani hak pengelolaan, maupun kawasan hutan
lainnya.
5. Pasal 2 ayat (1) KepMenHut No. 168/Kpts-IV/2001 tanggal 11 Juni
2001 tentang Pemanfaatan dan Peredaran Kayu Ramin (Gonytylus spp):
Pemegang Hak Pengusahaan Hutan (HPH) yang pada arealnya
terdapat jenis kayu Ramin dan yang telah mendapatkan
pengesahan Rencana Kerja Tahunan Pengusahaan Hutan (RKT
PH) atau bagan Kerja Tahunan Pengusahaan Hutan (BKT PH)
tahun 2001, terhitung sejak tanggal 11 April 2001 dilarang
melakukan penebangan Ramin.
Berdasarkan Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL) PT. Merbau
Pelelawan Lestari Tahun 2002, jenis-jenis flora yang dilindungi, yaitu:
Ramin (Gonystilus bancanus);
Langsat (Lansium domesticum);
51
Cempedak (Arthocarpus sp);
Durian (Durio sp);
Gaharu (Aquailaries malacensis);
Rambutan hutan (Nephelium lapaceum);
Jelutung (Dyera costulata);
Kayu arang
6. Pasal 30 ayat (1) dan (3) Peraturan Pemerintah RI Nomor 34 Tahun
2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan,
Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan, yang berbunyi:
Ayat (1):
Usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dan/atau bukan kayu pada
tanaman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf b
meliputi kegiatan penyiapan lahan, pembibitan, penanaman,
pemeliharaan, pengamanan, pemanenan atau penebangan hasil,
pengolahan, dan pemasaran.
Ayat (3):
Usaha pemanfaatan hasil hutan pada hutan tanaman
dilaksanakan pada lahan kosong, padang alang-alang dan/atau
semak belukar di hutan produksi.
Maka berdasarkan Pasal 1 angka 15, angka 17, Pasal 21 ayat (3) UUPLH jo.
Pasal 1 angka 3, angka 8, Pasal 5 ayat (1) PP No. 150 Tahun 2000, maka
perbuatan Tergugat adalah perbuatan perusakan lingkungan hidup yang berupa
perusakan tanah untuk produksi biomassa (lahan basah), yang dilakukan dengan
cara:
1. Melakukan penebangan hutan di luar lokasi Izin Usaha Pemanfaatan
Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman (IUPHHK-HT);
52
2. Melakukan penebangan hutan di dalam lokasi IUPHHK-HT, dengan
melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Bahwa dengan demikian, Tergugat telah melakukan perusakan tanah
untuk produksi biomassa untuk lahan basah.
Perbuatan Tergugat juga telah memenuhi unsur Perbuatan Melawan Hukum
sebagaimana diatur dalam Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Berdasarkan Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang
menyatakan: “Tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian
kepada orang, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena
kesalahannya untuk menggantikan kerugian tersebut.”
Juga, Pasal 87 ayat (1) UU 32/2009 dengan tegas menyatakan: “Setiap
penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan melakukan perbuatan melanggar
hukum berupa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup, menimbulkan
kerugian pada orang lain atau lingkungan hidup, wajib membayar ganti rugi
dan/atau melakukan tindakan tertentu.”
Tergugat juga telah memenuhi unsur-unsur perbuatan melawan hukum
sebagaimana diatur dalam Pasal 1365 KUHPerdata, sebagai berikut:
1. Unsur Perbuatan Melawan Hukum
Bahwa berdasarkan doktrin hukum dan yurisprudensi, Perbuatan
Melawan Hukum (Onrechtmatighdaad), diartikan secara luas,22
meliputi:
2. Bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku;
3. Bertentangan dengan hak subyektif orang lain;
22
Vide Rosa Agustina, 2003, Perbuatan Melawan Hukum, Jakarta: Program Pasca
Sarjana FH UI, h. 117.
53
4. Bertentangan dengan kesusilaan;
5. Bertentangan dengan kepatutan, ketelitian, dan kehati-hatian.
Bahwa sebagaimana telah diuraikan secara jelas di bagian atas,
perbuatan Tergugat yang berupa:
Melakukan penebangan hutan di luar lokasi Izin Usaha Pemanfaatan
Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman (IUPHHK-HT) yaitu PT MPL
telah menebang hutan seluas 7.466 hektare berdasarkan Rencana
Kerja Tahunan (RKT) tahun 2004, 2005, dan 2006. Selisih dengan
IUPHHKHT seluas 1.873 hektare,. Tak hanya itu, PT MPL juga
dinilai melakukan penebangan hutan di dalam areal IUPHHKHT,
dari 5.590 hektare, 400 hektare berupa bekas tebangan dan sisanya
seluas 5.190 hektar.
Melakukan penebangan hutan di dalam lokasi IUPHHK-HT,yaitu
penebangan pohon dengan diameter lebih dari 10 cm dan lebih dari 5
m3per hektar, penebangan pohon yang dilindungi (kayu ramin),
melakukan kagiatan penebangan pada awal kegiatan usaha
pemanfaatan hasil hutan kayu dan pembuatan kanal. Dengan
melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku,
adalah merupakan perbuatan melanggar hukum, karena melanggar
ketentuan yang diatur dalam:
a. Keputusan Bupati Pelalawan No: 522.21/1UPHHK-
HT/X11/2002/004 tentang Pemberian Hak Izin Usaha
Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman kepada PT.
Merbau Pelalawan Lestari seluas ± 5.590 (Lima Ribu Lima
54
Ratus Sembilan Puluh) hektar di Kabupaten Pelalawan;
Keputusan Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Riau Nomor:
KPTS.522.2/PK/2051 tentang Pengesahan Rencana Kerja
Tahunan Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan
Tanaman Tahun 2006 di Kabupaten Pelalawan atas nama PT.
Merbau Pelalawan Lestari;
b. Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : 10.1/Kpts-II/2000
tentang Pedoman Pemberian Izin Usaha Pemanfaatan Hasil
Hutan Kayu Hutan Tanaman;
c. KepMenHut No. 127 Tahun 2001 tentang Penghentian
Sementara (Moratorium) Kegiatan Penebangan dan
Perdagangan Ramin (Gonytylus);
d. Lampiran PP No. 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis
Tumbuhan dan Satwa. Jenis-jenis Fauna yang dilindungi;
e. Pasal 30 ayat (1) dan (3) Peraturan Pemerintah RI Nomor 34
Tahun 2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana
Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan, dan Penggunaan
Kawasan Hutan.
Bahwa dengan demikian unsuru perbuatan melanggar hukum telah
terpenuhi.
a. Unsur kesalahan
Unsur kesalahan dimaknai sebagai berikut:23
23
Berdasarkan pendapat Prof. DR. Rosa Agustina, S.H., M.H, Guru Besar Hukum
Perdata pada Universitas Indonesia, dalam buku Perbuatan Melawan Hukum, halaman 64.
55
Maka akan ada schuld/kesalahan dalam arti konkrit atau dalam
arti obyektifnya, apabila si pelaku seharusnya melakukan
perbuatan secara lain daripada yang telah dilakukannya. Si
pelaku telah berbuat secara lain daripada yang seharusnya
dilakukannya dan dalam hal sedemikian itu, kesalahan dan sifat
melanggar hukum menjadi satu.
Bahwa Tergugat telah mempunyai dokumen AMDAL yang memuat
aspek- aspek perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang
menjadi kewajiban Tergugat. Namun pada kenyataanya Tergugat telah
melakukan perbuatan yang melanggar ketentuan perundang-undangan
dan bertentangan dengan kewajiban hukumnya. Dengan demikian, unsur
kesalahan yang dilakukan Tergugat terpenuhi.
b. Unsur Kerugian
Perbuatan melanggar hukum dan kesalahan yang telah dilakukan
tergugat telah menimbulkan kerugian lingkungan hidup,yaitu kerusakan
lingkungan hidup sehingga Tergugat wajib untuk membayar ganti rugi
dan/atau melakukan tindakan tertentu.
Berdasarkan Pasal 5 Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 13
Tahun 2011 tentang Ganti Kerugian Akibat Pencemaran dan/atau
Kerusakan Lingkungan Hidup tergolong sebagai kerugian yang bersifat
tetap.
Berdasarkan Pasal 1 angka 11 Permen Lingkungan Hidup 13/2011 a
quo, komponen kerugian akibat pencemaran dan/atau perusakan
lingkungan hidup ganti ruginya harus dibayarkan secara utuh, bukan
dengan adanya kesepakatan antara Penggugat dan Tergugat.
Secara terperinci, Penggugat akan menguraikan perhitungan kerugian
secara rinci, yang diakibatkan tindakan perusakan dan/atau kerusakan
56
lingkungan hidup yang telah dilakukan Tergugat berdasarkan Peraturan
Menteri Lingkungan Hidup Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2011
tentang Ganti Kerugian Akibat Pencemaran dan/atau Perusakan
Lingkungan Hidup.
Perhitungan kerugian yang diakibatkan tindakan perusakan tanah
sebagaimana diuraikan di atas dilakukan berdasarkan pedoman yang
dikeluarkan Kementerian Lingkungan Hidup RI, yaitu Peraturan
Menteri Lingkungan Hidup Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2011
tentang Ganti Kerugian Akibat Pencemaran dan/atau Perusakan
Lingkungan Hidup, yaitu Perihal Kerugian Akibat Perusakan
Lingkungan Hidup di dalam areal IUPHHK-HT seluas ± 5.590 ha (lima
ribu lima ratus sembilan puluh hektar).
Akibat kegiatan konversi hutan alam menjadi hutan, tanaman dan tanah
rusak, maka sebagai pengganti fungsi tanah pada hutan alam menjadi
tanah rusak dan hutan tanaman di IUPHHK-HT Tergugat sebagai
penyimpan air yang rusak, maka perlu dibangun tempat penyimpan air
buatan dengan membuat reservoir buatan. Reservoir tersebut harus
mempunyai kemampuan menyimpan air sebanyak 401 m3/ha.
Total kerugian kerusakan ekologis lingkungan adalah Rp
11.678.795.700.000,- (sebelas triliyun enam ratus tujuh puluh delapan
milyar tujuh ratus sembilan puluh lima juta tujuh ratus ribu rupiah).
Berikut diuraikan biaya pemulihan untuk mengaktifkan fungsi ekologi
yang hilang adalah:
57
Biaya Penyedian Air Melalui Pembangunan Rp
226.395.000.000,-;
Biaya Pengendalian Limpasan dan Erosi Rp 33.540.000.000,-;
Biaya Pembentukan Tanah Rp 2.795.000.000,-;
Biaya Pendaur Ulang Unsur Hara Rp 25.769.900.000,-;
Biaya Fungsi Pengurai Limbah Rp 2.431.650.000,-;
Biaya Pemulihan Biodiversiti Rp 15.093.000.000,-;
Biaya Sumberdaya Genetik Rp 2.291.900.000,-;
Biaya Pelepasan Karbon Rp 180.612.900.000,-.
Jadi, total biaya pemulihan lingkungan adalah Rp 488.929.350.000,-
(empat ratus delapan puluh delapan milyar sembilan ratus dua puluh
sembilan juta tiga ratus lima puluh ribu rupiah).
Berdasarkan uraian perhitungan kerugian di atas, total biaya kerugian
dalam kasus perusakan lingkungan hidup berupa hutan alam yang
menjadi tanah rusak dan hutan tanaman di IUPHHK-HT TERGUGAT
adalah sebagai berikut:
1. Biaya Kerugian Kerusakan Ekologis Lingkungan
Rp.11678.795.700.000,-
2. Biaya Kerugian untuk Pemulihan Fungsi Ekologi Rp
488.929.350.000,-
Total Kerugian Perusakan Lingkungan Rp 12.167.725.050.000,- (dua
belas triliyun seratus enam puluh tujuh milyar tujuh ratus dua puluh lima
juta lima puluh ribu rupiah). Perihal Kerugian Akibat Perusakan
58
Lingkungan Hidup di luar areal IUPHHK-HT seluas ± 1.873 ha (seribu
delapan ratus tujuh puluh tiga hektar).
Akibat kegiatan konversi hutan alam menjadi hutan tanaman dan tanah
rusak, maka sebagai pengganti fungsi tanah pada hutan alam menjadi
tanah rusak dan hutan tanaman di IUPHHK-HT TERGUGAT sebagai
penyimpan air yang rusak maka perlu dibangun tempat penyimpan air
buatan dengan membuat reservoir buatan. Reservoir tersebut harus
mempunyai kemampuan menyimpan air sebanyak 401 m3/ha.
Dengan demikian, jelas unsur adanya kerugian dan/atau biaya
pemulihan kerugian perusakan lingkungan hidup yang mesti dibayarkan
Tergugat terpenuhi.
c. Unsur Kausalitas
Tergugat yang telah melakukan perbuatan yang melanggar hukum
dengan menebang pohon lebih dari izin yang telah diberikan, menebang
pohon yang dilindungi, membuat kanal, menebang pohon berdiameter
10m2
dan lebih dari 5m3. Sehingga kerugian yang ditimbulkan dan biaya
pemulihan lingkungan hidup yang mesti dibayarkan Tergugat
merupakan akibat langsung dari perbuatan-perbuatan atau tindakan-
tindakan Tergugat yang telah merusak lingkungan hidup di dalam lokasi
dan di luar areal Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan
Tanaman (IUPHHK-HT) Tergugat. Dengan demikian unsur kausalitas
terpenuhi.
Berdasarkan uraian diatas dapat lebih ditegaskan bahwa untuk
pelanggaran hukum terpenuhi yang lebih dominan adalah perbuatan
59
yang bertentangan dengan kewajiban sebagaimana diatur dalam
beberapa instrument hukum. Kemudian unsur kesalahan bahwa
Tergugat telah mempunyai dokumen AMDAL yang memuat aspek-
aspek perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang menjadi
kewajiban Terguga pada kenyataanya Tergugat telah melakukan
perbuatan yang melanggar ketentuan perundang-undangan dan
bertentangan dengan kewajiban hukumnya. Kemudian unsur kerugian
dimana terdapat kerugian sebesar Rp 12.167.725.050.000,- (dua belas
triliyun seratus enam puluh tujuh milyar tujuh ratus dua puluh lima juta
lima puluh ribu rupiah) akibat perbuatan melanggar hukum yang
dilakukan oleh tergugat. Serta adanya hubungan kausal antara perbuatan
melanggar hukum yaitu perbuatan melanggar hukum tergugat yang
melakukan penebangan hutan diluar lokasi IUPHHK-HT dan melakukan
penebangan hutan di dalam lokasi izin IUPHHK-HT dengan melanggar
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dengan kerugian.