bab ii tinjauan pustaka a. pemberdayaan...

Download BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pemberdayaan …abstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/T611108012_bab2.pdf · No.1114/Menkes/SK.VII/2005 tentang Pedoman Pelaksanaan Promosi ... keluarganya

If you can't read please download the document

Upload: ngotu

Post on 06-Feb-2018

222 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • BAB II

    TINJAUAN PUSTAKA

    A. Pemberdayaan Masyarakat Dalam Promosi Kesehatan

    Pembangunan seperti realita pada umumnya menjadi self projected reality

    yang kemudian menjadi acuan dalam proses pembangunan, sehingga sering kali

    menjadi semacam ideology of developmentalism (Tjokrowinoto, 1996 cit.

    Soetomo, 2006). Elemen penting yang ditekankan pada teori ini ialah partisipasi

    (participation) dan pemberdayaan (empowerment) (Dudley, 1979 cit. Mardikanto,

    2010). Freira (cit. Hubley, 2002) mengatakan bahwa pemberdayaan adalah suatu

    proses dinamis yang dimulai dari ketika masyarakat langsung belajar dari

    tindakan.

    Meskipun masyarakat umumnya didefinisikan sebagai sekelompok orang

    yang tinggal di lokasi yang sama dan di bawah pemerintahan yang sama, namun

    definisi kerja pemberdayaan berfokus pada dimensi tindakan kolektif yaitu

    masyarakat sebagai sebuah kelompok yang berbagi kepentingan bersama,

    sehingga anggotanya termotivasi untuk terlibat dalam aksi kolektif (Brinkerhoff

    dan Azfar, 2006). Ife (2002) bahwa pemberdayaan masyarakat setidaknya

    membutuhkan enam tahapan yang perlu dilalui untuk mewujudkan change from

    below,yaitu; 1) pemilahan antara proses dan hasil, 2) pentingnya pengintegrasian

    proses, 3) peningkatan kesadaran, 4) partisipasi sebagai bagian dari demokrasi,

    5) membangun kerja sama, dan 6) community building.

    Hubley (2002) mengatakan bahwa pemberdayaan kesehatan (health

    empowerment), sadar kesehatan (health literacy), dan promosi kesehatan (health

    promotion) diletakkan dalam kerangka pendekatan yang komprehensif. Sebagai

    suatu proses yang komprehensif, Labonte dan Laverack (2008) mengatakan,

    pemberdayaan masyarakat melibatkan beberapa komponen, yaitu pemberdayaan

    personal, pengembangan kelompok kecil, pengorganisasian masyarakat,

    kemitraan, aksi sosial, dan politik. Dengan demikian, pemberdayaan masyarakat

    mempunyai spektrum yang cukup luas.

  • 2

    Barr (1995) menyarankan agar program pemberdayaan sebaiknya

    difokuskan pada sebagian kecil masyarakat dan dimulai dari kebutuhan nyata di

    masyarakat agar berjalan secara maksimal. Kelompok masyarakat yang tumbuh

    dari masyarakat itu sendiri adalah fasilitas yang paling efektif untuk upaya

    pemberdayaan masyarakat. Tersedianya dan efektivitas kelembagaan akan sangat

    berpengaruh terhadap pemberdayaan (Mardikanto, 2010). Wallerstein dan

    Sanchez-Merki (1994) mengusulkan kolaborasi pemberdayaan, sebab ditinjau dari

    konsep promosi kesehatan, pemberdayaan dan pembangunan mendorong

    peningkatan kapasitas masyarakat.

    Beberapa tonggak pencapaian perkembangan adopsi pemberdayaan ke

    dalam konsep promosi kesehatan antara lain: Wallerstein (1992) menyatakan

    bahwa pendidikan pemberdayaan masyarakat diadopsi untuk meningkatkan

    efektivitas pendidikan kesehatan, efektivitas program, dan menjaga kelestarian

    (sustainability) program. Selanjutnya, Nutbeam (1998) mengatakan bahwa

    pemberdayaan adalah inti dari promosi kesehatan.

    Pemberdayaan masyarakat dapat dilaksanakan dengan mengikuti langkah-

    langkah sebagai berikut: (a) merancang keseluruhan program; (b) menetapkan

    tujuan yang ditetapkan pada tahap perencanaan; (c) memilih strategi

    pemberdayaan; (d) implementasi strategi dan manajemen, dilakukan dengan cara:

    meningkatkan peran serta pemangku kepentingan (stakeholder), menumbuhkan

    kemampuan pengenalan masalah, mengembangkan kepemimpinan lokal,

    membangun keberdayaan struktur organisasi, meningkatkan mobilisasi sumber

    daya, meningkatkan kontrol stakeholder atas manajemen program, dan membuat

    hubungan yang sepadan dengan pihak luar; (e) evaluasi program, dan

    (f) perencanaan tidak lanjut (Sumaryadi, 2005).

    WHO dalam Depkes RI (2006) mendefinisikan promosi kesehatan sebagai

    proses pemberdayaan individu dan masyarakat untuk meningkatkan kemampuan

    mereka mengendalikan determinan-determinan kesehatan, sehingga dapat

    meningkatkan derajat kesehatan mereka. Promosi kesehatan merupakan upaya

    untuk meningkatkan kemampuan masyarakat melalui proses pembelajaran dari,

    oleh, untuk, dan bersama masyarakat agar mereka dapat menolong dirinya sendiri

  • 3

    serta mengembangkan kegiatan yang bersumber daya masyarakat, sesuai dengan

    kondisi sosial budaya setempat dan didukung oleh kebijakan publik yang

    berwawasan kesehatan (Depkes RI, 2006). Menolong diri sendiri artinya

    masyarakat mampu menghadapi masalah-masalah potensial (yang mengancam)

    dengan cara mencegahnya dan mengatasi masalah-masalah kesehatan yang sudah

    terjadi dengan menanganinya secara efektif dan efisien (Hartono, 2010).

    Berkaitan dengan pemberdayaan yang mendorong masyarakat mandiri,

    Clark (2002) menyebutkan bahwa suatu masyarakat dapat disebut mandiri secara

    kesehatan jika memiliki beberapa kemampuan, yaitu; 1) mengenali masalah

    kesehatan dan faktor-faktor yang mempengaruhi masalah kesehatan, 2) mengatasi

    masalah kesehatan secara mandiri dengan menggali potensi yang ada,

    3) memelihara dan melindungi diri mereka dari berbagai ancaman kesehatan

    dengan melakukan tindakan pencegahan, dan 4) meningkatkan kesehatan secara

    dinamis dan terus-menerus melalui berbagai macam kegiatan seperti kelompok

    kebugaran, olahraga, konsultasi dan sebagainya.

    Visi promosi kesehatan tidak lepas dari UU Kesehatan No.23/1992, maupun

    WHO (1994), yakni meningkatkan kemampuan masyarakat untuk memelihara dan

    meningkatkan derajat kesehatan baik fisik, mental, maupun sosialnya sehingga

    produktif secara ekonomi maupun sosial. Misi promosi kesehatan secara umum

    dapat dirumuskan menjadi tiga butir, yaitu: (a) Advokat (advocate);

    (b) Menjembatani (mediate); dan (c) Memampukan (enable).

    Promosi kesehatan diharapkan dapat melaksanakan strategi yang bersifat

    paripurna (komprehensif), khususnya dalam menciptakan perilaku baru.

    Kebijakan nasional promosi kesehatan (Keputusan Menteri Kesehatan

    No.1193/Menkes/SK/X/2004 dan Keputusan Menteri Kesehatan

    No.1114/Menkes/SK.VII/2005 tentang Pedoman Pelaksanaan Promosi Kesehatan

    di Daerah) telah menetapkan strategi dasar promosi kesehatan (Hartono, 2010),

    yaitu: (a) Gerakan pemberdayaan, baik aspek knowledge, aspek attitude, dan

    aspek practice (Kapalawi, 2007); (b) Bina suasana. Bina suasana adalah upaya

    menciptakan opini atau lingkungan sosial yang mendorong individu anggota

    masyarakat untuk mau melakukan perilaku yang diperkenalkan; (c) Advokasi.

  • 4

    Advokasi adalah upaya atau strategi yang terencana untuk mendapatkan

    komitmen dan dukungan dari pihak-pihak yang terkait (stakehoders); dan

    (d) Kemitraan. Kemitraan perlu digalang dengan individu-individu, keluarga,

    pejabat-pejabat, atau instansi pemerintah yang terkait dengan urusan kesehatan

    (lintas sektor), pemuka atau tokoh masyarakat, media masa, dan lain-lain.

    B. Parenting Education sebagai Proses Belajar dalam Promosi Kesehatan

    Nutbeam (2001 cit. Macdowall dan Davies, 2006) secara ringkas

    jugamenggariskan pelembangaan dan perencanaan operasionalisasi program

    promosi kesehatan terdiri dari edukasi, mobilisasi sosial (community development,

    fasilitasi kelompok, target komunikasi massa) dan advokasi (lobi dan negosiasi

    partai politik, aktifis, birokrasi). Pendidikan merupakan salah satu elemen dari

    promosi kesehatan (Depkes RI, 2006).

    Pendekatan educational dalam promosi kesehatan adalah untuk

    menyediakan informasi dan pengetahuan untuk mengembangkan kemampuan

    yang diperlukan. Dengan kata lain, pendidikan merupakan proses belajar karena

    diharapkan menghasilkan suatu outcome atau perubahan perilaku yang tampak

    (Hoog dan Vaughan, 2002). Selaras dengan Suyono dan Hariyanto (2011) yang

    menyatakan bahwa proses belajar adalah suatu aktivitas atau suatu proses untuk

    memperoleh pengetahuan, meningkatkan keterampilan, memperbaiki perilaku,

    sikap, dan mengokohkan kepribadian.

    Memadukan pendidikan di kelompok bermain dengan di rumah, seharusnya

    menjadi perhatian bagi para penyelenggara pendidikan anak usia dini dengan

    meningkatkan layanan yang tidak terbatas pada anak di kelompok bermain saja,

    melainkan lebih jauh menjadikan para orangtua sebagai mitra kerja atau sebagai

    pendidik di rumah dengan cara memberikan program pendidikan keorangtuaan

    (parenting education) bagi para orangtua agar mampu menjalankan tugasnya

    sebagai pendidik. Parenting adalah proses interaksi berkelanjutan antara orangtua

    dan anak-anak mereka yang meliputi aktivitas-aktivitas berikut: memberi makan

    (nourishing), memberi petunjuk (guiding), dan melindungi (protecting) anak-anak

    ketika mereka tumbuh (Brooks, 1991). Lebih lanjut Bronfenbrenner (1979)

  • 5

    memberi tekanan pada lingkungan keluarga sebagai ekologi perkembangan anak

    usia dini yang utama, dengan orangtua sebagai socialization agent yang paling

    penting, namun banyak penelitian yang mengemukakan terjadinya pergeseran

    pola asuh orangtua.

    Penelitian yang dilakukan oleh Syakrani (2004) mengatakan bahwa

    rendahnya perkembangan anak, terutama EQ dan ESQ nya, pada etnik Banjar dan

    Madura merupakan resultants langsung pola asuh yang tidak sehat (Syakrani,

    2004). Lebih lanjut literatur dan hasil kajian tentang dampak negatif jangka

    panjang rendahnya EQ dan ESQ dapat dibagi menjadi dua level, yakni dampak

    terhadap individu dan masyarakat (bangsa dan negara). Pada level individual,

    hasil kajian Coles (2000), Covey (2000), Ellias et al. (2004), Jensen (cit.

    Megawangi, 2003), Josephson et al., (2001), Lickona (cit. Megawangi, 2003),

    Shapiro (2004), Megawangi (2003), Tamara (200l), dan Mazhahiri (2000),

    menemukan bahwa tanpa ada kesadaran, kemampuan, dan komitmen untuk

    memperbaiki pola asuh yang tidak baik oleh orangtua maupun komunitas,

    indikator-indikator rendahnya EQ dan ESQ pada anak-anak seperti tidak empati,

    tidak bisa dipercaya, tidak jujur, tidak ramah, munafik, tidak bernurani, egois,

    tidak punya respek, tidak peduli, dan sebagainya, akan berlanjut pada masa-masa

    berikutnya.

    Temuan penelitian, masalah gizi mulai dikaitkan dengan peran penting pola

    asuh orangtua dalam keluarga (Unicef cit. Engle et al., 1997). Rendahnya tumbuh

    kembang anak, sebagian besar disebabkan oleh rendahnya keterampilan pola asuh

    orangtua. Implikasinya adalah, peningkatan keterampilan pola asuh orangtua

    (perbaikan proses) akan berdampak positif terhadap tumbuh kembang anak

    (Syakrani, 2004). Temuan Rohner (1986) mengungkap satu fakta penting tentang

    perkembangan anak, yakni faktor intervening developmental process; sebuah

    faktor yang memungkinkan dilakukannya pencegahan dampak negatif pola asuh

    orangtua yang tidak baik terhadap perkembangan anak.

  • 6

    Beberapa penelitian membuktikan bahwa anak yang mendapatkan pola

    asuh yang baik akan menunjukkan kompetensi sosial yang baik pada masa

    kanak-kanak. Sementara itu, Grosman dan Grosman (cit. Sutcliffe, 2002)

    menemukan bahwa anak dengan kualitas kelekatan aman dari orangtuanya

    lebih mampu menangani tugas yang sulit dan tidak cepat berputus asa. Pola asuh

    orangtua memiliki pengaruh langsung yang signifikan dan positif terhadap

    prestasi akademik, self-efficacy, dan motivasi (Abesha, 2012).

    Parenting education adalah salah satu faktor yang paling penting yang

    memengaruhi prestasi dan motivasi anak (Selvam, 2013). Parenting education

    adalah istilah umum berbagai macam kesempatan belajar orangtua (Einzig, 1999),

    untuk mengembangkan kesadaran diri, rasa percaya diri, dan meningkatkan

    kapasitas orangtua (Barlow et al., 2005), melalui pelatihan, dukungan, atau

    pendidikan, dan tujuan utamanya adalah untuk memengaruhi kesejahteraan anak-

    anak dari orangtua (Smith et al., 2002). Program parenting education telah

    menunjukkan peningkatan kualitas beberapa interaksi (Cowan et al., 2011),

    kompetensi pengasuhan dan stres (Gross et al., 2003;. Nixon et al., 2003.) dan ibu

    depresi (Sanders dan McFarland, 2000).

    Bedasarkan pandangan-pandangan di atas, dapat dikemukakan bahwa bila

    sama sekali tidak ada intervensi sosial terhadap keterampilan pola asuh orangtua

    yang tidak baik, misalnya melalui program parenting education untuk orangtua

    atau pemberdayaan keluarga, maka orangtua atau calon orangtua tidak akan

    mampu menjadikan keluarganya sebagai wadah utama pendidikan karakter bagi

    anak-anaknya. Dengan kata lain, intervensi sosial berupa parenting education

    dimaksudkan untuk meningkatkan keterampilan pola asuh orangtua. Tanpa

    intervensi ini, pola asuh yang tidak baik akan tetap dianggap sebagai cara yang

    benar.

    Penelitian Barlow dan Stewart-Brown (Nolan, 2002) mengidentifikasi

    beberapa situasi ketika orangtua bisa mendapatkan manfaat dengan menjadi

    peserta dalam pelatihan parenting. Yang paling diapresiasi orangtua dengan

    terlibat dalam pelatihan adalah dukungan yang mereka peroleh dengan berada di

    antara orangtua lain dan adanya kesempatan bagi mereka untuk menjadi diri

  • 7

    sendiri dalam lingkungan yang bisa menerima mereka seadanya. Kenyataan

    bahwa kesulitan yang mereka hadapi bukan hanya milik mereka sendiri, juga

    sangat menguatkan dan memberdayakan. Orangtua menyadari bahwa kepedulian

    mereka bisa dibagi dengan orang lain, mereka akan merasa mampu untuk

    mencapai penyelesaian masalah mereka dengan cara yang wajar. Banyak

    penelitian menunjukkan bahwa orang dewasa yang berpartisipasi dalam

    sejumlah program, menjadi lebih tahu mengenai tingkah laku dan kebutuhan

    anak, serta merasa lebih kompeten sebagai orangtua (Bigner, 1994).

    Kecenderungan orangtua untuk menyerahkan sepenuhnya pembentukan

    kebiasaan anak-anak yang baik kepada sekolah, bisa dilihat dari beberapa sudut

    pandang, di antaranya kurangnya pengetahuan orangtua mengenai cara

    mengembangkan tingkah laku anak, salah dalam memilih metode dalam

    mengembangkan perilaku tersebut, atau orangtua merasa sekolah lebih mampu

    untuk membentuk tingkah laku anak. Orangtua yang menjadi tidak sabar atau

    memaksa anak untuk mencapai tugas perkembangan jauh sebelum anak

    tersebut siap, akan mengakibatkan rusaknya self esteem anak dan bahkan

    kesejahteraan anak tersebut secara fisik, begitu pula sebaliknya (Steinberg,

    2005).

    Program-program ini telah disampaikan dalam berbagai format termasuk

    kelompok besar (Sanders et al., 2009), kelompok kecil (Hoath dan Sanders,

    2002), bimbingan individu/konsultasi (Sanders et al., 2000), dikelola sendiri

    (Morawska dan Sanders, 2006), atau sebagai program televisi (Sanders et al.,

    2000). Parenting education dalam format kelompok umumnya disukai oleh

    orangtua dan instruktur (Goddard et al., 2004) karena menjadi lebih hemat biaya,

    berpotensi memenuhi kebutuhan sejumlah besar orangtua (Barlow et al., 2005).

    Studi menemukan bahwa program berbasis kelompok lebih berhasil dalam jangka

    panjang untuk memperbaiki perilaku anak usia tiga sampai sepuluh tahun (Barlow

    dan Stewart Brown, 2000) dibandingkan dengan program individu (Barlow et al.,

    2005).

  • 8

    Menurut Kemendiknas (2012), program parenting education dapat

    dilakukan dalam bentuk: (a) Kegiatan pertemuan orangtua (kelas orangtua);

    (b) Keterlibatan orangtua di kelompok/kelas anak; (c) Keterlibatan orangtua

    dalam acara bersama; (d) Hari konsultasi orangtua; (e) Kunjungan rumah; dan

    (f) Bentuk-bentuk kegiatan lain yang dapat dikembangkan sesuai dengan

    kebutuhan.

    Hasil positif mengenai efektivitas program pengasuhan dengan intervensi

    dilakukan oleh beberapa peneliti. Pengembangan (Rahman et al., 2009;. Jin et al.,

    2007;. Klein dan Rye, 2004), interaksi ibu-anak (Klein dan Rye, 2004; Lee,

    Griffiths, Glossop dan Eapen, 2010), ibu dan kesehatan fisik dan mental bayi

    (Aracena et al., 2009), perilaku melanggar pada anak (Aracena et al., 2009; Oveisi

    et al., 2010.), perilaku anak (Fayyad et al., 2010), self-efficacy dan motivasi

    berprestasi (Abesha 2012), self-efficacy orangtua dan stres pengasuhan (Sally et

    al., 2012). Masalah perilaku kekerasan terhadap anak, masalah sosial remaja, dan

    anak (Kaiser dan Hancock, 2003; Goddard, 2004).

    Parenting education bukan sesuatu yang baru, namun juga tidak banyak

    yang mampu menyelenggarakannya. Parenting education telah terbukti strategis

    dan efektif di negara-negara berpenghasilan tinggi/negara maju, namun sampai

    saat ini penelitian tentang efektivitas di negara-negara berpenghasilan rendah/

    negara berkembang seperti Indonesia masih terbatas (Anilena et al., 2012),

    sehingga penting untuk dikaji dari konsep teoritis tentang manajemen program

    parenting education pada pendidikan anak usia dini, mengingat kegiatan ini

    sangat bermanfaat dalam membantu pertumbuhan dan perkembangan anak secara

    maksimal.

    C. Pola Asuh Holistik

    Beberapa istilah pendidikan orangtua memiliki arti hampir sama seperti

    caring, rearing, mothering, fathering, dan keayahbundaan (Syakrani, 2004).

    Penelitian ini berfokus pada pola asuh yang dilakukan oleh orangtua secara

    menyeluruh dalam institusi keluarga yang menyangkut kesadaran, perilaku, dan

    keterampilan orangtua dalam melakukan aktivitas-aktivitas tersebut.

  • 9

    Banyak para ahli mendefinisikan pola asuh. Pengasuhan berasal dari kata

    asuh yang mempunyai makna menjaga, merawat, dan mendidik anak yang masih

    kecil. Pola asuh merupakan pola interaksi antara orangtua dan anak, termasuk cara

    penerapan aturan, mengajarkan nilai/norma, memberikan perhatian dan kasih

    sayang, serta menunjukkan sikap dan perilaku baik, kemampuan keluarga untuk

    menyediakan waktu, perhatian dan dukungan terhadap anak agar dapat tumbuh

    kembang dengan sebaik-baiknya secara fisik, mental, dan sosial (Suparyanto,

    2010; Jusat, 2000; Amin, 2008).

    Pola asuh orangtua meliputi perawatan, perlindungan, penyiapan makanan,

    kebersihan diri dan sanitasi lingkungan, praktik kesehatan dan pola pencarian

    pelayanan kesehatan (Soetjiningsih, 2002), menumbuhkan kelekatan emosional,

    menghindari hukuman fisik, mengajarkan disiplin, memahami anak secara

    menyeluruh (Sears), mendidik (Kemdiknas, 2011), perhatian/dukungan ibu

    terhadap anak, pemberian ASI atau makanan pendamping pada anak, rangsangan

    psikososial terhadap anak, persiapan dan penyimpanan makanan, praktik

    kebersihan atau higiene dan sanitasi lingkungan (Engle et al., 1997), pemberian

    stimulasi, dukungan emosional (Ashar et al., 2008) maupun mental (Amin, 2008)

    yang semuanya untuk kelangsungan hidup, pertumbuhan, dan perkembangan

    balita.

    Perkembangan otak dipengaruhi faktor genetik dan stimulasi lingkungan

    baik kualitas maupun kuantitas, yang hal ini menyebabkan keanekaragaman

    individual yang tidak identik. Periode perkembangan cepat dari otak ini

    merupakan peluang emas yang tidak boleh dilewatkan. Yang harus ditekankan

    adalah otak bayi menunggu pengalaman seperti rangkaian penglihatan, bau, suara,

    sentuhan, bahasa dan kontak mata untuk menentukan bagaimana hubungan antar

    neuron terbentuk (Santrock, 2007).

  • 10

    Untuk memaksimalkan potensi otak yang dimiliki setiap anak, ada

    beberapa cara yang bisa dilakukan para pendidik dan orangtua, seperti:

    1) Memberi asupan gizi yang cukup; 2) Memberikan perlakuan positif, seperti

    rasa kasih sayang, penghargaan dan motivasi; 3) Memberi stimulus permainan

    dan pengalaman baru pada anak; 4) Memberikan keamanan dan menjaganya dari

    hal-hal yang dapat merusak otak (Hamalik, 2009).

    Menurut Spiker (1966) cit. Khairimas (2010) ada dua macam pengertian

    yang harus dihubungkan dengan perkembangan anak usia dini yaitu otogenetik

    dan filogenetik. Kunci perkembangan anak usia dini yaitu pada pendekatan sesuai

    dengan perkembangan filogenetik. Filogenetik adalah perkembangan dari asal

    usul manusia sampai sekarang ini. Perkembangan perubahan fungsi sepanjang

    masa hidup menyebabkan perubahan tingkah laku dan perubahan ini juga terjadi

    sejak permulaan adanya manusia. Perubahan-perubahan meliputi beberapa aspek,

    baik fisik maupun psikis. Perubahan tersebut dibagi menjadi 4 (empat) kategori

    utama, yaitu :

    1. Perubahan dalam ukuran. Perubahan dapat berbentuk pertambahan ukuran

    panjang atau tinggi maupun berat badan.

    2. Perubahan dalam perbandingan. Dilihat dari sudut fisik terjadi perubahan

    proposional antara kepala, anggota badan, dan anggota gerak.

    3. Berubah untuk mengganti hal-hal yang lama. Dari sudut emosi terjadi

    perubahan-perubahan ke arah kemampuan menunda emosi secara lebih tepat.

    4. Berubah untuk memperoleh hal-hal yang baru. Banyak hal yang akan diperoleh

    selama perkembangan sesuai dengan keadaan dan tingkatan/tahap

    perkembangannya.

    Menurut Hurlock (1999), perkembangan merupakan hasil proses

    kematangan dan belajar. Arti kematangan atau kematangan intrinsik yang secara

    potensial ada pada individu yang berasal dari warisan genetik individu. Ciri

    perkembangan fisik dan mental sebagian berasal dari proses kematangan

    instrinsik, dari ciri tersebut dan sebagian berasal dari latihan dan usaha individu.

    Fungsi filogenetik yaitu fungsi yang sesuai pada umumnya, misalnya: merangkak,

    duduk, dan berjalan (perkembangan berasal dari proses kematangan).

  • 11

    Sesungguhnya latihan hanya memberikan sedikit keuntungan. Sebaliknya

    mengendalikan lingkungan dengan cara mengurangi kesempatan berlatih akan

    menghalangi perkembangan. Berbeda dengan fungsi ontogenetik merupakan

    fungsi khas individu, misalnya: berenang, melempar bola, naik sepeda, menulis

    diperlukan latihan. Tanpa latihan perkembangan tidak akan terjadi.

    Dengan demikian, penting untuk melakukan pendekatan holistik untuk

    memperhitungkan fakta bahwa aspek psikologis dan fisik yang saling terkait dan

    saling memengaruhi (Cohn et al., 2009). Teori-teori tersebut di atas mendukung

    penggunaan indikator-indikator yang telah ditetapkan dengan menambahkan

    materi dari kegiatan BKB, posyandu, PAUD berbasis keluarga, serta ditambahkan

    materi Dasa Citra Anak Indonesia (Kemdiknas, 2011), teori tentang pola asuh

    (Unicef, 1990; Syakrani, 2004; Suparyanto, 2010., Jusat, 2000., Amin, 2008;

    Soetjiningsih, 2002; Ashar et al., 2008; Cohn et al., 2009; Barlow et al., 2005;

    Engle et al., 1997) serta dokumen-dokumen nasional terkait penelitian

    (Kemendiknas, 2012; Kemenkes, 2011). Hal tersebut merupakan kebaruan dari

    penelitian ini, sehingga prioritas yang akan dicapai dalam program dari gagasan

    disertasi ini yaitu: kemampuan pemeliharaan kesehatan, mengasuh, pemenuhan

    gizi, perawatan, mendidik, dan perlindungan pada anak.

    Holistik artinya menyeluruh. Dengan demikian, pola asuh secara holistik

    adalah penanganan anak usia dini secara utuh atau menyeluruh yang mencakup

    layanan gizi, kesehatan, pendidikan, perawatan, pengasuhan, serta perlindungan,

    untuk mengoptimalkan semua aspek pertumbuhan dan perkembangan anak, yang

    dalam hal ini membutuhkan para tenaga ahli yang sesuai dengan bidangnya.

    Pendekatan holistik sangat penting untuk memperhitungkan fakta bahwa aspek

    psikologis dan fisik yang saling terkait dan saling memengaruhi (Cohn et al.,

    2009).

    Selama bertahun-tahun para ahli pertumbuhan anak mempelajari aspek-

    aspek pola asuh yang mendukung pertumbuhan total dalam diri anak. Salah satu

    di antaranya adalah Diana Baumrind yang beranggapan bahwa para orangtua

    semestinya tidak terlalu ketat, suka menghukum (punitive), ataupun terlalu

    longgar (loose), namun pada saat yang sama, penuh kasih sayang (affectionate).

  • 12

    Baumrind menekankan empat gaya pola asuh yaitu: autoritatif, otoriter,

    memanjakan (indulgent), dan melalaikan (neglectful). Keempat-empatnya

    mengikutsertakan dimensi-dimensi: penerimaan (acceptance) dan sikap responsif

    (mau mendengarkan, responsiveness) di satu pihak, serta tuntutan dan kontrol di

    pihak lain (Schikendanz, 1995).

    Megawangi (2000) mengemukakan bahwa orangtua yang mampu

    menerapkan perilaku ini akan dapat mengarahkan anaknya dengan efektif, yakni

    mampu dengan persuasif mendorong anaknya berbuat baik, bisa menetapkan dan

    menegakkan aturan yang jelas, yang disampaikan secara komunikatif, sehingga

    anak menjadi lebih peka, mudah mengontrol tindakannya, dan menghargai

    peraturan. Sedangkan orangtua yang menerapkan perilaku yang otoriter lebih

    menekankan kekuasaan, sehingga anak menjadi takut. Ini kemudian akan

    menghambat kreativitasnya.

    Hal ini sejalan dengan pandangan Shapiro (2004) tentang keseimbangan

    antara kemandirian dan ketergantungan. Pola asuh yang baik menurut Shapiro

    adalah pola asuh yang bisa mengombinasikan dengan kreatif dua hal tersebut.

    Ketergantungan positif menghasilkan kedekatan anak dengan orangtua dan orang

    lain, lahirnya sikap empatik dan respek, sedangkan kemandirian positif

    membuahkan pemahaman batas-batas individual antara orangtua dengan anak.

    Dalam indikator model attachment parenting yang dikemukakan Sears,

    terdapat delapan prinsip untuk mengembangkan attachment yang sehat (aman)

    antara anak dengan orangtua (pengasuh). Inti dari parenting model ini adalah

    berusaha untuk menumbuhkan kelekatan emosional, menghindari hukuman fisik,

    mengajarkan disiplin melalui interaksi orangtua-anak, memenuhi kebutuhan

    emosional anak, disertai dengan usaha untuk memahami anak secara

    menyeluruh. Pola asuh sebagai fungsi utama sebuah keluarga sangat ditentukan

    oleh cara orangtua melihat dan menilai dirinya sendiri, anak-anaknya, dan situasi

    di sekeliling mereka (Wonohadidjojo, 1998).

  • 13

    Gambar 2.1. Faktor-faktor yang memengaruhi pola asuh

    Kerangka konseptual yang dikemukan oleh Unicef (1990) menekankan

    bahwa tiga komponen, makanan-kesehatan-asuhan, merupakan faktor-faktor yang

    berperan dalam menunjang pertumbuhan dan perkembangan anak yang optimal.

    Dikembangkan oleh Engle dan Lhotska (1997) menjadi The Ekstended Model of

    Care. Model tersebut menjelaskan bahwa determinan pola asuh, yaitu:

    perhatian/dukungan ibu terhadap anak, pemberian ASI atau makanan pendamping

    pada anak, rangsangan psikososial terhadap anak, persiapan dan penyimpanan

    makanan, praktik kebersihan atau higiene dan sanitasi lingkungan, dan perawatan

    balita dalam keadaan sakit seperti pencari pelayanan kesehatan.

    Indikator pola asuh menurut Kemendiknas (2012) adalah: gizi, kesehatan,

    perawatan, pengasuhan, pendidikan, perlindungan. Dalam rangka menghadapi era

    global, selain hal tersebut ditambahkan pendidikan karakter anak untuk

    mewujudkan Anak Indonesia Harapan (AIH) yang merupakan hadiah 100 tahun

    Indonesia merdeka (2045) yaitu anak yang memiliki sepuluh ciri utama (dasa citra

    anak Indonesia), yaitu (1) beriman; (2) bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;

    (3) berakhlak mulia; (4) sehat; (5) cerdas; (6) jujur; (7) bertanggung jawab;

    (8) kreatif; (9) percaya diri; dan (10) cinta tanah air (Kemdiknas, 2011).

    Status gizi

    Penyebab

    langsung

    Penyebab

    tidak

    langsung

    Pokok

    masalah di

    masyarakat

    Akar dasar

    Asupan zat gizi

    Infeksi Infeksi

    Pengetahuan,

    sikap, dan

    keterampilan

    Pemanfaatan

    pelayanan

    kesehatan dan

    sanitasi

    lingkungan

    Pola Asuh

    Kurangnya pemberdayaan wanita dan

    keluarga, kurang pemanfaatan

    sumberdaya masyarakat

    Krisis ekonomi,

    Politik, dan Sosial

    Ketahanan

    pangan

  • 14

    Berdasarkan indikator-indikator pola asuh tersebut, para orangtua harus

    menyadari bahwa praktik-praktik pola asuh yang baik mencakup dua hal, yaitu:

    membangun relasi yang hangat antara orangtua dan anak melalui penerimaan

    (acceptance) dan sikap responsif (responsiveness) terhadap kebutuhan anak, serta

    tersedianya batasan-batasan yang diwujudkan melalui tuntutan dan kontrol.

    Orangtua boleh saja menerapkan tuntutan-tuntutan yang tinggi, tetapi mereka juga

    harus memberikan dukungan yang dibutuhkan oleh anak-anak mereka untuk

    mencapai tuntutan-tuntutan tersebut. Keseimbangan di antara dua dimensi ini

    sangat penting untuk pertumbuhan total anak.

    Perkembangan terakhir menunjukkan juga adanya minat yang semakin kuat

    terhadap upaya perbaikan pola asuh ke arah yang lebih baik. Kebutuhan ekonomi

    dan perkembangan teknologi informasi, pengetahuan orangtua dan stakeholder

    yang rendah tentang parenting dianggap sebagai kekuatan besar yang memberi

    tekanan sangat kuat terhadap perkembangan anak. Sekarang adalah saat-saat yang

    sangat sulit menjadi orangtua dan anak, karena pengaruh eksternal yang harus

    dihadapi oleh orangtua dan anak semakin besar. Konsep pola asuh holistik harus

    diwujudkan dalam aktivitas-aktivitas nyata oleh orangtua di rumah sesuai dengan

    tahap pertumbuhan dan perkembangan anak.

    D. Pengembangan Anak Usia Dini (PAUD) Holistik-Integratif

    Pengembangan anak usia dini (PAUD) holistik-integratif adalah

    pengembangan anak usia dini yang dilakukan berdasarkan pemahaman untuk

    memenuhi kebutuhan esensial anak yang beragam dan saling berkait secara

    simultan dan sistematis, yang meliputi berbagai aspek, yaitu: pemeliharaan

    kesehatan, pemenuhan gizi, pendidikan, stimulasi mental, dan psikososial

    (Bappenas, 2011).

    Pembinaan PAUD (2011) mendefinisikan PAUD holistik-integratif dengan

    dua pengertian. Holistik berarti penanganan anak usia dini secara utuh atau

    menyeluruh yang mencakup layanan gizi, kesehatan, pendidikan, pengasuhan, dan

    perlindungan untuk mengoptimalkan semua aspek perkembangan anak. Integratif

    berarti penanganan anak usia dini dilakukan secara terpadu oleh berbagai

  • 15

    pemangku kepentingan di tingkat masyarakat, pemerintah daerah, dan pusat.

    Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan penyelenggaraan PAUD holistik

    integratif adalah pengintegrasian layanan posyandu, BKB, dan PAUD. Kegiatan

    ini di bawah pembinaan Dinas Kesehatan, BKKBN, Dinas Pendidikan

    Kota/Kabupaten, dan tim penggerak PKK Kota/ Kabupaten.

    1. Bina Keluarga Balita (BKB)

    Program BKB adalah suatu upaya untuk memberikan pengetahuan dan

    keterampilan kepada para ibu dan anggota keluarga lain tentang cara

    mengasuh dan mendidik anak balitanya (BKKBN,1997; Patmonodewo, 2003).

    Melalui kegiatan program BKB, diharapkan ibu-ibu balita dan anggota

    keluarga lainnya dapat mengetahui tahap tumbuh kembang anak serta cara

    merangsangnya, sehingga anak-anak tumbuh dan berkembang secara optimal.

    Program BKB ditujukan pada keluarga atau orangtua yang memiliki

    anak balita usia 0-5 tahun. Perkembangan anak dimulai sejak dalam

    kandungan dan dilanjutkan pada usia dini. Oleh karena itu, penting bagi para

    ibu yang memiliki anak usia dini mendapatkan intervensi (parent

    intervention), seperti pemberian wawasan tentang kehamilan, gizi, dan cara

    merawat dan mendidik anak (Suyanto, 2005).

    2. Posyandu

    a. Pengertian

    Posyandu merupakan suatu forum komunikasi, alih teknologi, dan

    pelayanan kesehatan masyarakat yang mempunyai nilai strategis untuk

    pengembangan sumber daya manusia sejak dini. Posyandu adalah kegiatan

    kesehatan dasar yang diselenggarakan dari, oleh, dan untuk masyarakat

    yang dibantu oleh petugas kesehatan di suatu wilayah kerja puskesmas.

    Program ini dapat dilaksanakan di balai dusun, balai kelurahan, maupun

    tempat-tempat lain yang mudah didatangi masyarakat (Ismawati, 2010).

    b. Sasaran posyandu balita

    Pelayanan kesehatan masyarakat melalui posyandu balita mempunyai

    sasaran dalam kegiatannya yaitu : bayi berusia kurang dari satu tahun, anak

    balita usia 1-5 tahun, ibu hamil tanpa risiko tinggi, ibu menyusui, ibu

  • 16

    melahirkan (ibu nifas), wanita usia subur atau wanita usia produktif (WUS),

    pasangan usia subur atau pasangan dengan usia produktif (PUS) (Depkes

    RI, 2006).

    c. Kegiatan posyandu balita

    Kegiatan posyandu balita terdiri atas kegiatan utama dan kegiatan

    pengembangan atau pilihan (Depkes RI, 2006). Secara garis besar, kegiatan

    posyandu balita adalah sebagai berikut: penimbangan berat badan,

    penentuan status pertumbuhan, penyuluhan, pelayanan imunisasi, pelayanan

    gizi, penyuluhan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS).

    3. Pendidikan anak usia dini (PAUD)

    a. Pengertian PAUD

    PAUD adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak

    sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui

    pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan

    perkembangan jasmani dan rohani, agar anak memiliki kesiapan dalam

    memasuki pendidikan lebih lanjut (UU No. 20 Tahun 2003 tentang

    Sisdiknas).

    Pos PAUD adalah bentuk layanan PAUD yang penyelenggaraannya

    dapat diintegrasikan dengan layanan bina keluarga balita (BKB) dan

    posyandu (Kemdiknas, 2012). Pos PAUD dikelola dengan prinsip dari, oleh,

    dan untuk masyarakat. Pos PAUD dibentuk atas kesepakatan masyarakat

    dan dikelola berdasarkan azas gotong royong, kesukarelaan, dan

    kebersamaan.

    b. Anak usia dini

    Anak usia dini adalah anak yang berada pada rentang usia 0-6 tahun

    (Undang-undang Sisdiknas Tahun 2003) dan 0-8 tahun menurut para pakar

    pendidikan anak (Mansur, 2009). Masa ini merupakan masa emas atau

    golden age, karena anak mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang

    sangat pesat dan tidak tergantikan pada masa mendatang. Menurut berbagai

    penelitian di bidang neurologi, terbukti bahwa 50% kecerdasan anak

    terbentuk dalam kurun waktu empat tahun pertama. Setelah anak berusia

  • 17

    delapan tahun perkembangan otaknya mencapai 80% dan pada usia 18 tahun

    mencapai 100% (Suyanto, 2005).

    Sesuai dengan Undang-undang Sisdiknas Tahun 2003 pasal 1 ayat 14,

    upaya pembinaan yang ditujukan bagi anak usia 0-6 tahun tersebut

    dilakukan melalui PAUD. PAUD jalur formal berbentuk taman kanak-kanak

    (TK) dan raudatul athfal (RA) dan bentuk lain yang sederajat. PAUD jalur

    nonformal berbentuk kelompok bermain (KB), taman penitipan anak (TPA),

    sedangkan PAUD pada jalur pendidikan informal berbentuk pendidikan

    keluarga atau pendidikan yang diselenggarakan lingkungan seperti bina

    keluarga balita (BKB) dan posyandu yang terintegrasi PAUD atau yang

    dikenal dengan satuan PAUD sejenis (SPS) (Mulyasa, 2012).

    c. Prinsip penyelenggaraan PAUD

    1) Berbasis masyarakat

    PAUD dikelola dengan prinsip dari, oleh, dan untuk masyarakat.

    PAUD dibentuk atas kesepakatan masyarakat dan dikelola berdasarkan

    azas gotong-royong, kerelaan, dan kebersamaan.

    2) Mudah, terjangkau, dan bermutu

    Mudah adalah dengan prinsip kesederhanaan menjadikan PAUD

    mudah dilaksanakan dari, oleh, dan untuk masyarakat. Murah adalah

    dengan prinsip pengelolaan: dari, oleh, dan untuk masyarakat membuat

    PAUD terjangkau biayanya. Bermutu, yaitu mutu pos PAUD dicapai

    melalui: (1) keterpaduan dalam layanan pembinaan pengurusnya melalui

    BKB dan layanan kesehatan dan gizi melalui posyandu serta

    (2)keterpaduan pemberian rangsangan pendidikan antara yang dilakukan

    di PAUD (center base) dan yang dilakukan di rumah masing-masing

    (home base). Dengan demikian, anak menerima layanan secara utuh dan

    terpadu yang mencakup aspek kesehatan, gizi, pengasuhan, dan

    pendidikan.

  • 18

    3) Keterlibatan orangtua

    Semua orangtua wajib berpartisipasi aktif dalam

    penyelenggaraan dan pengelolaan PAUD, termasuk menyampaikan

    berbagai usulan.

    Hal-hal yang mendasari perlunya PAUD holistik-integratif (Handayani et

    al., 2011) adalah: (1) Memenuhi kebutuhan esensial anak secara utuh dan

    menyeluruh; (2) Memenuhi pelayanan kepada anak yang sistematik dan

    terencana; (3) Tumbuh kembang anak dipengaruhi oleh sistem interaksi yang

    kompleks dengan berbagai tingkatan lingkungan sekitarnya yang disebut

    ekologi tumbuh kembang anak usia dini. Lingkungan yang dimaksud meliputi

    sistem mikro, meso, eso, dan makro (dibahas pada keterangan di bagian

    bawah); (4) Adanya masa emas (golden period) pada tumbuh kembang anak,

    yaitu sejak janin sampai usia enam tahun; dan (5) Manfaat dan pendekatan

    PAUD holistik integratif sudah teruji secara ilmiah, manfaat secara sosial, dan

    manfaat secara ekonomi.

    Gambar 2.2 Model ekologi tumbuh kembang anak usia dini

    Anak

    Penitipan Anak

    Orang Tua

    Layanan

    Kesehatan

    Masyarakat

    Kebudayaan

    Norma

    Sekola

    h

    Lingkungan

    Tetangga

    Pekerj

    aan

    Orang

    Tua

    Huku

    m SISTEM MIKRO

  • 19

    Sistem mikro adalah lingkungan yang paling dekat dengan anak dalam

    kegiatan dan interaksinya sehari-hari, yaitu interaksi dengan orangtua, kakak,

    adik, dan teman sebaya. Interaksi dengan lingkungan terdekat akan berakibat

    langsung terhadap anak, pada saat yang sama juga terdapat hubungan timbal

    balik (dua arah), yaitu anak memengaruhi lingkungan dan lingkungan

    memengaruhi anak. Lingkungan ini memunyai dampak terbesar dan mendalam

    pada perkembangan anak karena berlangsung dalam jangka waktu yang

    panjang dan intensif pada anak usia dini.

    Sistem meso adalah interaksi antar komponen dalam sistem mikro,

    misalnya hubungan antara keluarga dengan sekolah. Bila terjadi hubungan

    yang kuat dan saling mengisi antar komponen ini maka semakin besar

    pengaruh baiknya bagi perkembangan anak. Sistem ekso merupakan sistem

    sosial yang lebih besar yang anak tidak langsung berperan di dalamnya.

    Contoh: lingkungan kerja orangtua. Kebijakan dan keputusan pada tataran ini

    secara tidak langsung akan berpengaruh terhadap perkembangan anak. Sistem

    makro merupakan lingkungan terluar anak seperti nilai-nilai budaya, hukum,

    adat, peraturan perundang-undangan, dan lain-lain yang juga berpengaruh tidak

    langsung terhadap perkembangan anak.

    E. Faktor-faktor yang Berpengaruh terhadap Promosi Kesehatan melalui

    Parenting Education sebagai Proses Belajar Pola Asuh Holistik

    Model merupakan perwakilan atau abstraksi dari sebuah objek atau

    situasi aktual, karena model tidak bisa menceritakan perincian atau detail

    kenyataan tersebut, melainkan hanya porsi atau bagian-bagian tertentu yang

    penting saja, atau yang merupakan sosok kunci atau key features (Amirin,

    2011; Eriyatno, 2003). Oleh karena itu, ukuran keberhasilan pembuatan model

    bukanlah ditinjau dari besar dan rumitnya model, tetapi berdasarkan kecukupan

    jawaban terhadap permasalahan yang dianalisis (Boland, 2004).

  • 20

    Studi ini akan mengadopsi model Precede dan Proceed dari Green dan

    Kauter (1991). Model ini telah mengalami beberapa penyempurnaan, namun

    untuk studi ini akan merujuk pada model dasarnya. Alasan dipilihnya model ini

    adalah panduan yang sistematis dan lugas terhadap faktor yang harus diamati

    dan dievaluasi untuk membuat suatu rekomendasi. Precede dan Proceed harus

    dilakukan secara bersama-sama dalam proses perencanaan, implementasi, dan

    evaluasi.

    Precede digunakan pada fase diagnosis masalah, penetapan prioritas

    masalah, dan tujuan program, sedangkan Proceed digunakan untuk menetapkan

    sasaran dan kriteria kebijakan serta implementasi dan evaluasi. Langkah-

    langkah Precede dan Proceed: diagnosis sosial (sosial need assessment),

    diagnosis epidemiologi, diagnosis perilaku dan lingkungan, diagnosis

    pendidikan dan organisasional, diagnosis administratif dan kebijakan,

    implementasi, evaluasi proses, evaluasi hasil, evaluasi dampak.

    Gambar 2.3. Skema Model Preceede dan Proceed dari Green dan Kauter (1991)

  • 21

    Berdasarkan model tersebut, dapat ditelaah bahwa informasi yang perlu

    diungkap dalam studi antara lain:

    a. Faktor-faktor predisposisi (predisposing factors), yaitu faktor-faktor yang

    mempermudah atau mempredisposisi terjadinya perilaku seseorang. Dua

    faktor khususnya, sosio-demografi, persepsi dan motivasi, telah menerima

    perhatian dalam kegiatan pemberdayaan (Haggerty et al., 2002). Sejumlah

    penelitian menunjukkan pentingnya faktor-faktor sosio-demografis dalam

    pengambilan keputusan dalam pendidikan orangtua (Perrino et al., 2001;

    Spoth dan Redmond 2000). Sosio-demografis dalam studi ini adalah

    persepsi, motivasi, dan akses terhadap sumber informasi.

    b. Faktor-faktor pemungkin (enabling factors), adalah faktor-faktor yang

    memungkinkan atau yang memfasilitasi perilaku atau tindakan. Hal yang

    sangat mendukung dalam keberhasilan parenting education yaitu partisipasi

    orangtua dan proses parenting education itu sendiri yang dapat dilihat dari:

    kompetensi pemateri, metode, materi, media, serta sarana dan prasarana

    yang baik dan lengkap.

    c. Faktor-faktor pendorong (reinforcing factors), adalah faktor-faktor yang

    mendorong atau memperkuat terjadinya perilaku, antara lain sikap dan

    perilaku tokoh masyarakat, petugas kesehatan atau petugas lain, yang

    merupakan kelompok referensi dari perilaku masyarakat. Penelitian ini akan

    menganalisis beberapa faktor yang berpengaruh terhadap proses promosi

    kesehatan melalui parenting education serta pola asuh anak antara lain:

    peran bidan desa, peran PLKB, peran kader, dan peran pendidik PAUD.

    Uraian masing-masing faktor dapat dilihat sebagai berikut:

    1. Persepsi tentang parenting education dan pola asuh holistik

    Pelayanan kesehatan harus memasukkan konsep-konsep promosi

    kesehatan seperti pengembangan masyarakat, pemberdayaan. Berdasarkan hal

    tersebut, Labonte dan Laverack (2008) menyebutkan ada empat elemen penting

    dalam upaya promosi kesehatan,yaitu; 1) persepsi dan makna bahwa kesehatan

    bisa diukur, 2) relasi sosial, yaitu kesehatan tidak bisa berdiri sendiri,

    3) kapasitas dan kapabilitas yang berasal dari dalam maupun dari luar

  • 22

    komunitas, dan 4) fungsi fisik manusia, yaitu kesehatan juga mempengaruhi

    fisik manusia.

    Persepsi merupakan proses akhir dari pengamatan yang diawali oleh

    proses pengindraan, yaitu proses diterimanya stimulus oleh alat indera,

    kemudian diteruskan ke otak, dan baru kemudian individu menyadari tentang

    sesuatu yang dipersepsikan (Sunaryo, 2004). Hasil dari persepsi individu akan

    berbeda, tergantung dari pengalaman, pengetahuan individu tentang objek,

    kebutuhan, motif, minat, dan latar belakang masing-masing. Berkaitan dengan

    perilaku, bila seseorang memiliki pengertian tentang manfaat yang ditimbulkan

    dari suatu objek, maka dengan kesadarannya ikut mengambil bagian (Asngari,

    2003)

    Persepsi dan sikap orangtua tentang pentingnya pola asuh yang lebih baik

    merupakan sumber daya pola asuh yang penting. Faktor ini menjadi basis

    psiko-perseptual harapan dan kebutuhan akan pola asuh yang lebih baik

    dikaitkan dengan harapan orangtua terhadap masa depan anak. Faktor ini

    menjadi the cognitive structure of parenthood yang menentukan tumbuhnya

    konsepsi dan kesadaran akan pola asuh yakni sistem pengetahuan terorganisasi

    yang dengannya orangtua menjadi peka terhadap kebutuhan dan hak anak.

    Persepsi tentang nilai anak juga berpengaruh terhadap harapan dan

    kebutuhan ini. Tetapi faktor nilai anak-nilai ekonomis dan non-ekonomis

    menempati ranah (domain) basis psiko-perseptual yang berbeda dari persepsi

    orangtua tentang pentingnya mengasuh anak dengan lebih baik. Yang pertama

    berfokus pada anak, sedangkan yang kedua berkaitan dengan manfaat yang

    bisa diperoleh oleh orangtua dari anak. Secara bersama-sama atau sendiri-

    sendiri, dua faktor ini bisa berpengaruh terhadap perilaku dan motivasi pola

    asuh. Pola asuh juga dipengaruhi oleh kondisi lingkungan rumah dan

    pelayanan kesehatan atau pendidikan masyarakat (Syakrani, 2004).

    2. Motivasi orangtua terhadap parenting education dan pola asuh holistik

    Motivasi dapat diartikan sebagai faktor-faktor yang mengarahkan dan

    mendorong perilaku atau keinginan seseorang untuk melakukan suatu kegiatan

    yang dinyatakan dalam bentuk usaha yang keras atau lemah (Marihot, 2002).

  • 23

    Hal ini sejalan dengan teori motivasi menurut Abraham H. Maslow yang

    mengungkapkan bahwa perilaku terjadi karena adanya motivasi atau dorongan

    (drive) yang mengarahkan individu untuk bertindak sesuai dengan kepentingan

    atau tujuan yang ingin dicapai. Dorongan diaktifkan oleh adanya kebutuhan

    (need), dalam arti kebutuhan membangkitkan dorongan, dan dorongan ini pada

    akhirnya mengaktifkan atau memunculkan mekanisme perilaku.

    Faktor internal yang memengaruhi pola asuh, menurut Bigner (1979),

    mencakup motivasi dan kesadaran tentang dampak pola asuh yang tidak baik

    terhadap tumbuh kembang anak. Motivasi dan kesadaran ini mendorong

    orangtua untuk berperilaku permisif, autoritarian, atau autoritatif. Zeitlin et al.

    (1990) menambahkan dimensi kemampuan pada faktor internal. Mereka

    mengemukakan bahwa kemampuan merupakan faktor krusial untuk

    ditingkatkan agar aktivitas riil pola asuh sesuai dengan kebutuhan tumbuh

    kembang anak. Tetapi faktor ini pun dipengaruhi oleh beberapa faktor lain,

    seperti beban kerja, kesehatan dan pengalaman mengasuh, tingkat pendidikan,

    persepsi tentang nilai anak, kepuasan hidup, dan persepsi mengenai arti penting

    mengasuh anak dengan kompeten (Syakrani, 2004).

    Motivasi yang dikaji dalam penelitian ini adalah motivasi teori ERG yang

    dikembangkan oleh Clayton Alderfer yang didasarkan pada kebutuhan manusia

    akan keberadaan (existence), hubungan (relatedness), dan pertumbuhan

    (growth) (Handoko, 1996). Teori ini sedikit berbeda dengan Maslow. Alderfer

    mengemukakan bahwa jika kebutuhan yang lebih tinggi tidak atau belum dapat

    dipenuhi, maka manusia akan kembali pada gerak yang fleksibel dari

    pemenuhan kebutuhan dari waktu ke waktu dan dari situasi ke situasi. Robbins

    dan Judge (2008) mengutip pendapat Clayton Alderfer mengatakan bahwa

    teori ERG lebih bersifat fleksibel, karena pemenuhan kebutuhan dapat

    dilakukan secara bersamaan atau mengusahakan pemenuhan kebutuhan yang

    lebih tinggi, walaupun kebutuhan yang lebih rendah belum sepenuhnya

    terpenuhi (Sandjojo, 2011).

  • 24

    Dalam penelitian ini, motivasi ditinjau dari: (a) Tingkat keingintahuan

    orangtua terhadap cara-cara pengasuhan anak; (b) Keinginan orangtua dalam

    menerapkan pola pengasuhan anak sehat untuk mengoptimalkan tumbuh

    kembang anak; (c) Upaya meningkatkan keterampilan pengasuhan anak;

    (d) Tingkat keinginan orangtua terhadap program atau informasi untuk

    meningkatkan pengasuhan anak; (e) Tingkat kepuasan orangtua terhadap

    pengasuhannya; dan (f) Tingkat keinginan orangtua agar anak berprestasi.

    Menurut Hasiah (2006), tinggi rendahnya motivasi peserta terhadap suatu

    kegiatan akan menentukan tingkat peran sertanya terhadap kegiatan tersebut.

    Dengan demikian, apabila seseorang memiliki motivasi yang kuat atau tinggi

    terhadap suatu kegiatan, maka akan tampak peran sertanya dalam kegiatan

    tersebut dan sebaliknya. Jika seseorang tidak termotivasi terhadap suatu

    kegiatan, maka dia pun kurang atau tidak mau berperan serta. Menurut Gaibi

    (1937), orang yang memunyai motivasi tinggi berusaha mencapai hasil yang

    memuaskan dalam suatu kegiatan.

    Kesimpulannya, motivasi orangtua terhadap suatu kegiatan, mempunyai

    hubungan yang erat dengan tingkat peran serta dalam mengikuti kegiatan.

    Soedomo (1986) menyatakan bahwa apabila anggota telah bangkit

    kesadarannya, maka akan berperan serta secara aktif dan bertanggung jawab

    dalam pelaksanaan kegiatan tersebut secara berkesinambungan.

    3. Akses terhadap sumber informasi

    Informasi merupakan hasil proses intelektual, yaitu proses

    mengolah/memroses stimulus yang masuk ke dalam diri individu melalui

    panca indera, kemudian diteruskan ke otak/pusat syaraf untuk diolah/diproses

    dengan pengetahuan, pengalaman, selera, dan iman yang dimiliki seseorang.

    Setelah mengalami pemrosesan, stimulus tersebut dapat dimengerti sebagai

    informasi (Wiryanto, 2004). Informasi juga diartikan sebagai suatu hal yang

    memberikan pengetahuan. Slamet (2001) menambahkan, informasi adalah

    bahan mentah untuk menjadi pengetahuan, dan pengetahuan tersebut sangat

    diperlukan untuk bisa mempertahankan hidup, serta untuk meningkatkan

    kualitas hidup.

  • 25

    Aksesibilitas informasi merupakan aktivitas masyarakat dalam

    mendapatkan informasi melalui berbagai cara seperti penyuluhan kesehatan,

    pendidikan dan pelatihan, media massa, serta media elektronik (Sulaeman,

    2012). Karr (cit. Notoadmodjo, 2012) menyatakan bahwa terjangkaunya

    informasi adalah tersedianya informasi-informasi terkait dengan tindakan yang

    akan diambil oleh seseorang. Sebuah keluarga dapat mengasuh anaknya

    dengan baik apabila keluarga tersebut mendapatkan penjelasan yang lengkap

    tentang tumbuh kembang anaknya.

    Aktivitas-aktivitas pola asuh biasanya terjadi dalam lingkungan keluarga,

    namun pola asuh tidak terbatas hanya pada mereka yang melahirkan anak.

    Tanggung jawab pola asuh juga dilakukan oleh pihak-pihak lain dalam

    masyarakat, seperti nenek (grandmothering), kakek (grandfathering), saudara

    (sistering atau brothering), orangtua dari murid yang lain, para guru/pendidik

    di sekolah, pembantu rumah tangga, perawat bayi (baby sitter), dan bahkan

    teman-teman si anak, serta media masa (TV, surat kabar, dan majalah) yang

    menjadikan faktor-faktor ini juga krusial. Faktor-faktor ini juga membentuk

    informal learning processes bagi anak selain yang dilakukan oleh orangtua.

    Interaksi sosial oleh setiap individu dalam suatu masyarakat sangat

    diperlukan. Menurut Weiss (1974 cit. Sear et al., 1992), analisis kebutuhan

    afiliatif didasarkan pada enam ketentuan hubungan sosial, hal-hal penting yang

    diberikan berbagai hubungan bagi individu antara lain: (a) Kasih sayang

    merupakan rasa aman dan ketenangan yang diberikan oleh hubungan yang

    sangat erat; (b) Integrasi sosial merupakan perasaan berbagai minat dan sikap

    yang sering diberikan oleh hubungan dengan teman, rekan sekerja, atau teman

    seregu. Hubungan semacam ini memungkinkan adanya persahabatan dan

    memberikan rasa mempunyai kepada kelompok; (c) Harga diri diperoleh jika

    orang mendukung perasaan kita bahwa kita adalah orang yang berharga dan

    berkemampuan; (d) Rasa persatuan yang dapat dipercaya melibatkan

    pengertian bahwa orang akan membantu orang lain pada saat membutuhkan;

    (e) Bimbingan diberikan oleh konselor, guru, dokter, teman, dan lain-lain, yang

    nasihat dan informasinya diharapkan; (f) Kesempatan untuk mengasuh terjadi

  • 26

    jika seseorang bertanggung-jawab terhadap kesejahteraan orang lain.

    Mengasuh orang lain memberikan perasaan bahwa seseorang dibutuhkan dan

    penting.

    Wiryanto (2004) menyatakan bahwa sebuah informasi yang berkualitas

    sangat ditentukan oleh kecermatan, tepat waktu, dan relevansi. Akses informasi

    dalam penelitian ini adalah usaha orangtua untuk mencari informasi yang

    berkaitan dengan pola asuhnya. Dari tesis tersebut peneliti menetapkan

    indikator aksesibilitas terhadap informasi pada penelitian ini meliputi: paparan

    media massa, interaksi dengan orangtua murid yang lain, interaksi dengan

    anggota keluarga yang lain.

    4. Peran stakeholders

    Menurut Labonte dan Laverack (2008), promosi kesehatan membutuhkan

    penanganan bersama oleh komunitas, hal tersebut disepakati juga oleh

    PRHPRC (2004). Beberapa hal yang berkaitan dengan program pemberdayaan

    menurutnya terdiri dari partisipasi, kepemimpinan, struktur organisasi,

    penilaian masalah, mobilisasi sumber daya, daya kritis komunitas, jejaring dan

    kemitraan, kewenangan dan manajemen program.

    Lebih jauh PRHPRC 2004 menyatakan bahwa untuk penilaian kapasitas

    kelembagaan dapat diukur dari beberapa hal, yaitu; 1) komitmen (organisasi,

    visi dan misi, strategi prioritas, partisipasi masyarakat, kemitraan), 2) kultur

    (kemampuan manajemen organisasi, inovasi, prinsip, hubungan antar anggota,

    komunikasi yang terbangun), 3) struktur (tanggung jawab bersama, mekanisme

    akuntabilitas pada struktur yang membuka ruang kerja sama dengan para

    pihak, kebijakan yang efektif untuk pengembangan, perencanaan program

    berbasis komunitas), dan 4) sumber daya (ketenagaan yang memiliki

    pengetahuan dan keterampilan, keseimbangan beban kerja, pembiayaan dari

    sumber dana utama, bergabung dengan komunitas, melibatkan praktisi sesuai

    sarana dan prasarana yang ada).

  • 27

    Kegiatan perubahan senantiasa mensyaratkan partisipasi masyarakat,

    namun masyarakat sebagai pelaku utama pembangunan, seringkali berada

    dalam kedudukan yang lemah. Masyarakat umumnya mempunyai posisi tawar

    lemah dalam pengambilan keputusan, lemah dalam pengetahuan, sikap,

    keterampilan, serta persepsinya terhadap setiap upaya pembangunan atau

    perubahan yang ditawarkan (Mardikanto, 2007). Oleh karena itu, dirasakan

    pentingnya peran agen-agen perubahan sebagai sumber daya komunitas.

    Dimasukkannya faktor sumber daya komunitas (stakeholders) sejalan

    dengan preskripsi tesis children of the universe dan perhatian banyak kalangan

    terhadap pola asuh orangtua (Syakrani, 2004). Karena itu kajian tentang

    parenting education dalam kaitannya dengan pola asuh orangtua secara holistik

    bukan saja mempertimbangkan faktor yang terdapat pada level individu dan

    keluarga, tetapi juga faktor komunitas. Dukungan komunitas sangat

    dibutuhkan, terutama untuk menguatkan keterampilan pola asuh orangtua.

    Dukungan komunitas dalam penelitian ini adalah sebagai fasilitator atau agen

    perubahan (change agent). Faktor ini mencakup peran bidan desa, petugas

    PLKB, pendidik PAUD, dan kader. Semua faktor yang secara teoritik diduga

    berpengaruh positif terhadap parenting education dan pola asuh orangtua

    secara holistik, digubah dan diseleksi untuk menjadi kerangka pemikiran

    penelitian.

    Fasilitator pemberdayaan masyarakat memiliki peran penting dalam

    memunculkan dan meningkatkan kesadaran masyarakat. Peran (role)

    merupakan pola perilaku dan sikap yang diharapkan dari seseorang karena

    status ataupun kedudukannya (Robbins, 2002). Fasilitator perlu mengarahkan

    masyarakat untuk menyadari situasi kehidupan mereka serta memahami

    penyebab dan alternatif pemecahan situasi tersebut. Selain itu, fasilitator

    memiliki peran pula sebagai motivator dan community organizers (Midgley,

    1986). Fasilitator program parenting education adalah stakeholder seperti

    bidan desa, kader kesehatan, pendidik PAUD, dan tokoh masyarakat lain yang

    berkepentingan.

  • 28

    Freeman (2007) secara fungsional mendefinisikan stakeholder organisasi

    sebagai kelompok atau individu yang dapat mempengaruhi atau dipengaruhi

    oleh pencapaian tujuan organisasi. Bourne (2006) mendefinisikan stakeholder

    sebagai individu atau kelompok yang memiliki kepentingan, memiliki

    beberapa aspek hak dan kepemilikan dalam organisasi, serta semua pihak yang

    dapat memberikan kontribusi pada organisasi. Dalam perencanaan suatu

    program mencakup pelibatan stakeholder, cakupan perencanaan, tim penyusun,

    perencanaan sumber daya, tim pelaksana.

    Fasilitator pada hakekatnya memiliki peran ganda, yaitu sebagai guru,

    penganalisis, penasihat, dan organisator (Mardikanto, 2010). Lebih lanjut,

    fasilitator pemberdayaan masyarakat secara singkat dapat disebut sebagai peran

    edfikasi, yaitu akronim dari peran edukasi, diseminasi inovasi, fasilitasi,

    konsultasi, advokasi, supervisi, pemantau (monitoring), dan evaluasi. Peran-

    peran stakeholder yang ada tersebut menurut Butterfield et al. (2004) dibagi

    dalam enam kelompok, yaitu pemotivasi, pembentuk, moderator pembentuk,

    operasional, hasil atau outcomes, moderator hasil atau moderator outcomes.

    Peran kader posyandu dalam masyarakat dapat berupa :

    a. Motivator, yaitu peran kader dalam memberikan bimbingan dan penyuluhan

    serta petunjuk-petunjuk baik kepada perorangan, keluarga, maupun

    masyarakat, yang sedang menghadapi permasalahan, sehingga menimbulkan

    sebuah idea atau gagasan dan kemampuan untuk dapat mengadakan suatu

    gagasan perbaikan pada dirinya, pada keluarga, maupun pada lingkungan.

    b. Dinamisator, yaitu peran kader dalam menggerakkan baik perorangan,

    keluarga, maupun masyarakat yang mengalami permasalahan untuk segera

    diatasi secara swadaya, serta mengajak tokoh-tokoh masyarakat setempat

    dengan memberikan petunjuk untuk meningkatkan kesehatan ibu dan anak

    di lingkungannya.

    c. Fasilitator, yaitu kader diharapkankan menghadapi permasalahan yang ada

    di masyarakat. Kader dapat membantu dalam mengadakan sarana-sarana

    atau program-program yang diperlukan oleh masyarakat, baik secara

    perorangan atau swadaya masyarakat, serta kader diharapkan mampu

  • 29

    memenuhi permintaan masyarakat dan wilayah kerjanya. Peran kader

    sebagai fasilitator diaplikasikan dengan cara memfasilitasi masyarakat untuk

    mengakses program yang dibutuhkan.

    d. Inovator, yaitu kader diharapkan mempunyai gagasan-gagasan baru untuk

    meningkatkan kesejahteraan rakyat, kader diharapkan tanggap dan cepat

    memahami permasalahan yang ada di masyarakat.

    Kader BKB memiliki tugas-tugas yang harus dijalani, tugas-tugas

    tersebut antara lain: (1) Mengadakan dan menyelenggarakan penyuluhan BKB;

    (2) Mengadakan kunjungan rumah; (3) Melakukan pengamatan atau melihat

    langsung kegiatan ibu sasaran di tempat penyuluhan dan di rumah;

    (4) Memotivasi peserta agar kegiatan BKB dilaksanakan; (5) Membuat dan

    melakukan pencatatan dan pelaporan.

    Peran petugas kesehatan dalam pemberdayaan masyarakat di bidang

    kesehatan adalah: (1) Memfasilitasi masyarakat melalui kegiatan maupun

    program pemberdayaan masyarakat meliputi pertemuan dan pengorganisasian;

    (2) Memberikan motivasi kepada masyarakat agar berpartisipasi; dan

    (3) Mengalihkan pengetahuan, keterampilan, dan teknologi kepada masyarakat

    dengan melakukan pelatihan-pelatihan yang bersifat vokasional (Notoatmodjo,

    2003).

    Sasaran pemberdayaan masyarakat dapat berupa perorangan, masyarakat,

    dan swasta menjadi inisiator, motivator, dan fasilitator dengan dukungan para

    pemimpin baik formal maupun nonformal (Kemenkes RI, 2009). Peran

    stakeholder, baik bidan desa, petugas PLKB, pendidik PAUD, maupun kader

    kesehatan, yang dikaji dalam penelitian ini adalah peran sebagai fasilitator,

    dinamisator, inovator, motivator, pembina, pengumpul dan penyebar informasi.

    5. Partisipasi orangtua dalam parenting education

    Pengertian yang secara umum tentang istilah partisipasi oleh Mikkelsen

    (2005 cit. Adi, 2008) adalah keterlibatan masyarakat secara suka rela dalam

    perubahan yang ditentukan sendiri oleh masyarakat sebagai upaya

    pembangunan lingkungan, kehidupan dan diri mereka sendiri, sedangkan

  • 30

    Mardikanto (2010) menyatakan bahwa partisipasi merupakan keikutsertaan

    seseorang atau sekelompok anggota masyarakat dalam suatu kegiatan.

    Pendekatan partisipatif merupakan salah satu strategi dalam

    pengembangan masyarakat. Pendekatan partisipatif diyakini sangat efektif

    dalam memberdayakan masyarakat menuju kemandirian dan pembangunan

    berkelanjutan (Ohama, 2001). Partisipasi dan pemberdayaan merupakan dua

    buah konsep yang saling berkaitan. Masyarakat ikut berpartisipasi dalam

    proses pembangunan dan pemerintahan (Eko, 2002). Partisipasi merupakan

    komponen penting dalam pembangkitan kemandirian dan proses

    pemberdayaan (Craig dan May, 1995 cit. Hikmat, 2004).

    Partisipasi masyarakat di bidang kesehatan berarti keikutsertaan semua

    anggota masyarakat dalam memecahkan masalah kesehatan mereka sendiri.

    Dalam hal ini, masyarakat sendirilah yang aktif memikirkan, merencanakan,

    melaksanakan, dan mengevaluasi program-program kesehatan masyarakatnya.

    Institusi kesehatan hanya sekadar memotivasi dan membimbingnya

    (Notoatmodjo, 2012). Hal ini sejalan dengan Isbandi (2007), yang menyatakan

    bahwa partisipasi adalah keikutsertaan masyarakat dalam proses

    pengidentifikasian masalah dan potensi yang ada di masyarakat, pemilihan dan

    pengambilan keputusan tentang alternatif solusi untuk menangani masalah,

    pelaksanaan mengatasi masalah, dan keterlibatan masyarakat dalam proses

    evaluasi perubahan yang terjadi.

    Partisipasi merupakan konsep yang berasal dari bawah yang akan

    mendorong keaktifan dan keterlibatan penerima manfaat sehingga

    menjadikannya sebagai program yang inklusif (Tesoriero, 2010). Pernyataan

    tersebut sekaligus mengandung pengertian bahwa masyarakat tersebut harus

    diberikan upaya yang dapat mengembangkan pengetahuan dan

    keterampilannya melalui pemberian sarana dan prasarana yang memungkinkan

    masyarakat mengembangkan dirinya sendiri yang menyebabkan partisipasi

    tidak dapat dipisahkan dari konsep pemberdayaan (empowerment).

  • 31

    Prinsip dalam partisipasi adalah melibatkan atau peran serta masyarakat

    secara langsung, dan hanya mungkin dicapai jika masyarakat sendiri ikut ambil

    bagian, sejak dari awal, proses, dan perumusan hasil. Dalam mengevaluasi

    partisipasi, perlu dilihat secara menyeluruh mulai dari proses perencanaan,

    pengambilan keputusan, dukungan pembiayaan dan kelembagaan serta

    jaringan, pengelolaan manajemen kegiatan dan monitoring kegiatan (Tesoriero,

    2010).

    Mikkelsen (2003) mengatakan bahwa partisipasi adalah keterlibatan

    sukarela oleh masyarakat dalam perubahan yang ditentukan sendiri. Partisipasi

    masyarakat yang semakin meningkat, baik secara kualitatif maupun kuantitatif,

    merupakan salah satu perwujudan dari perubahan sikap, dan perilaku tersebut.

    Sependapat dengan Ife dan Tesoriero (2008) yang mengemukakan bahwa

    partisipasi menyebabkan mobilisasi psikis dan fisik (perubahan pengetahuan,

    sikap dan perilaku) karena program yang dijalankan sesuai dengan kebutuhan,

    prioritas, dan kondisi sumber daya yang dimiliki.

    Menurut Adisasmita dan Raharjo (2006), partisipasi anggota masyarakat

    adalah keterlibatan anggota masyarakat dalam program, meliputi kegiatan

    dalam perencanaan dan pelaksanaan (implementasi) program/kegiatan yang

    dikerjakan di dalam masyarakat lokal. Cohen dan Uphoff (1980) menyatakan

    bahwa partisipasi yang diharapkan dari masyarakat dalam kegiatan termasuk

    penyuluhan adalah partisipasi dalam pengambilan keputusan pada perencanaan

    kegiatan, implementasi, memperoleh keuntungan penyuluhan, dan evaluasi

    kegiatan.

    Keterlibatan masyarakat akan menjadi penjamin bagi suatu proses yang

    baik dan benar (Abe, 2005). Kumar (2002) mencatat sejumlah keuntungan

    utama partisipasi masyarakat dalam suatu program, yaitu: efisiensi (efficiency),

    efektivitas (effectiveness), kemandirian (self-reliance), jaminan (coverage),

    keberlanjutan (sustainability).

  • 32

    Beberapa pendekatan untuk memajukan partisipasi masyarakat adalah:

    (a) Pendekatan pasif, pelatihan, dan informasi; yakni partisipasi tersebut

    memberikan komunikasi satu arah, dari atas ke bawah dan hubungan pihak

    eksternal dan masyarakat bersifat vertikal; (b) Pendekatan partisipasi aktif,

    yaitu memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk berinteraksi secara

    lebih intensif dengan para petugas eksternal, contohnya pelatihan dan

    kunjungan; (c) Pendekatan partisipasi dengan keterikatan masyarakat atau

    individu diberikan kesempatan untuk melakukan program, dan diberikan

    pilihan untuk terikat pada sesuatu kegiatan dan bertanggung jawab atas

    kegiatan tersebut; dan (d) Pendekatan dengan partisipasi setempat, yaitu

    pendekatan dengan mencerminkan kegiatan atas dasar keputusan yang diambil

    oleh masyarakat setempat (Mikkelsen, 2003).

    Marschall (2006) dalam studinya di Afrika menyatakan bahwa selain

    representasi, keberhasilan pelaksanaan partisipasi masyarakat bergantung pada

    keefektifan komunikasi, peran fasilitator hingga kesesuaian proyek/program

    dengan kebutuhan masyarakat. Uphoff et al. (cit. Bryant dan White, 1982)

    mengemukakan bahwa kontribusi gerakan pengembangan masyarakat dan

    pelajaran yang dapat diambil guna mengembangkan peran serta, terkait dengan

    suatu studi adalah sebagai berikut: (a) Peran serta janganlah dijadikan program

    yang terpisah; ia merupakan suatu proses dan oleh sebab itu hendaknya

    dipadukan dengan kegiatan-kegiatan lain; (b) Peran serta harus didasarkan

    pada organisasi-organisasi lokal; (c) Distribusi yang lebih adil akan mendorong

    lebih banyak partisipasi; dan (d) Perlu diciptakan mata rantai antara berbagai

    tingkat, dan hendaknya pembangunan tidak didasarkan pada upaya-upaya yang

    terpisah-pisah.

    Salah satu upaya untuk mengembangkan partisipasi masyarakat adalah

    melalui organisasi-organisasi lokal (Uphoff et al. cit. Bryant dan White, 1982).

    Lebih lanjut, pada kelompok aktor institusi, menurut Teegen dan Doh (2003

    cit. Louise, 2011), yang paling penting dijadikan mitra adalah organisasi

    masyarakat, karena menurut Fabig dan Boele (1999 cit. Louise, 2011) untuk

    meningkatkan perubahan sosial dibutuhkan organisasi masyarakat. Sejalan

  • 33

    dengan Mardikanto (2010) yang mengemukakan bahwa untuk menumbuhkan

    partisipasi dapat diupayakan melalui kegiatan pemberdayaan masyarakat dalam

    penelitian ini adalah parenting education.

    Howard, Baker, dan Forest (1994) membedakan keterlibatan dalam tiga

    tipe, yaitu: keterlibatan fisik (physical involvement), jika sekelompok kecil

    orang berkumpul di suatu ruangan; keterlibatan sosial (social involvement), jika

    mereka berdiskusi, bertukar pikiran mengungkapkan perasaan, kebutuhan dan

    harapan; keterlibatan psikologis (psychological involvement), jika mereka

    terlibat diskusi aktif, mendalami pilihan-pilihan program, hingga menjadi

    disepakati sebagai rumusan dan pemecahan masalah. Partisipasi yang dikaji

    dalam penelitian ini adalah partisipasi orangtua dalam proses parenting

    education dan partisipasi orangtua dalam lembaga sosial (posyandu, BKB).

    6. Proses promosi kesehatan melalui parenting education

    Keberhasilan suatu proses pembelajaran tentu mempertimbangkan

    berbagai komponen, antara lain: kompetensi pemateri, metode, media yang

    digunakan, materi dan sarana prasarana yang mendukung. Dalam penelitian ini,

    kegiatan parenting education diukur berdasarkan proses promosi kesehatan

    melalui parenting education yang meliputi: kompetensi pemateri, metode,

    media yang digunakan, materi, dan sarana prasarana.

    a. Kompetensi pemateri/penyuluh

    Pemateri/penyuluh dituntut memiliki kemampuan mumpuni agar dapat

    menyampaikan informasi kepada sasaran secara optimal. Kemampuan

    (ability) yaitu kapasitas individu untuk mengerjakan berbagai tugas dalam

    suatu pekerjaan, baik kemampuan intelektual maupun kemampuan fisik

    (Robbins, 2003).

    Penyuluh harus melakukan proses pembelajaran secara persuasif,

    yaitu: (1) memanfaatkan perhatian yang ada; (2) membangun hasrat yang

    terpilih (motif, kebiasaan, minat); (3) hubungan antara keinginan dan

    meyakinkan tujuan, dan (4) menimbulkan tanggapan dari sasaran (Robbins,

    2003). Mardikanto (1993), menambahkan salah satu kemampuan yang harus

    dimiliki penyuluh adalah kemampuan berkomunikasi yang meliputi:

  • 34

    (1) kemampuan memilih inovasi; (2) kemampuan berkomunikasi secara

    efektif; (3) kemampuan memilih dan menerapkan metode penyuluhan yang

    efektif dan efisien; (4) kemampuan memilih dan menggunakan alat bantu

    yang efektif; (5) kemampuan berempati dan berinteraksi dengan sasaran.

    Pendapat yang dikemukakan oleh Rogers (1995) adalah bahwa

    kualitas informasi yang diberikan tergantung pada peran penyuluh sebagai

    agen perubahan, yaitu: (1) besarnya usaha yang dilakukan penyuluh dalam

    berkomunikasi; (2) kredibilitas penyuluh, misalnya kedekatan emosi dan

    keberpihakan serta mau menerima umpan balik; dan (3) tingkat pemahaman

    penyuluh terhadap kebutuhan sasaran. Dengan demikian, penyuluh tidak

    cukup hanya memiliki informasi tersebut, tetapi harus pula memiliki

    kemampuan berempati yang baik.

    b. Metode

    Menurut Machfoed et al. (2005), metode atau cara penyuluhan,

    tergantung pada tujuan penyuluhan yang akan dicapai. Tujuan bisa

    dikelompokkan menjadi tiga bidang, yaitu bidang pengetahuan, sikap, dan

    keterampilan atau tindakan. Apabila tujuan yang akan dicapai adalah bidang

    pengetahuan, pesan cukup disampaikan dengan ucapan, atau disampaikan

    secara tertulis, sedangkan tujuan untuk mengembangkan sikap positif,

    sasaran perlu menyaksikan sendiri penyuluhan yang dilakukan, dan apabila

    tujuan untuk mengembangkan keterampilan, selain dengan menyaksikan

    penyuluhan yang diberikan, sasaran juga diberikan untuk mencoba sendiri.

    Metode penyuluhan sangat berperan dalam keberhasilan penyuluhan.

    Sebaik apapun dan selengkap apapun materi penyuluhan yang disampaikan

    tidak akan mampu mengubah perilaku sasaran yang diinginkan jika metode

    yang digunakan kurang tepat. Akan tetapi, Mardikanto (1993) merujuk pada

    Kang dan Song, mengatakan bahwa tidak ada satupun metode yang selalu

    efektif, perlu metode secara simultan yang saling menunjang dan

    melengkapi. Menurut Notoatmodjo (2010), metode dan teknik

    penyuluhan/pendidikan kesehatan berdasarkan sasarannya dibagi menjadi

    tiga, yaitu :

  • 35

    1) Metode promosi individual (perorangan)

    Bentuk pendekatan ini, antara lain: bimbingan dan penyuluhan

    (guidance and counceling), serta wawancara (interview).

    2) Metode promosi kelompok

    Dalam memilih metode penyuluhan kelompok, harus mengingat

    besarnya kelompok sasaran serta tingkat pendidikan formal dari sasaran.

    a. Kelompok besar (lebih dari 15 orang). Metode yang baik untuk

    kelompok besar ini, antara lain ceramah dan seminar.

    b. Kelompok kecil (kurang dari 15 orang). Metode-metode yang cocok

    untuk kelompok kecil ini antara lain: diskusi kelompok, curah

    pendapat (brain strorming), bola salju (snow balling), kelompok-

    kelompok kecil (buzz group), role play (memainkan peranan), dan

    permainan simulasi (simulation game). Keuntungan role play

    (memainkan peranan), dan permainan simulasi (simulation game),

    metode demonstrasi itu sendiri adalah proses penerimaan sasaran

    terhadap materi penyuluhan akan lebih berkesan secara mendalam

    sehingga mendapatkan pemahaman yang lebih baik dan sempurna

    (Herijulianti et al., 2002).

    c. Metode penyuluhan massa. Metode dan teknik promosi kesehatan

    yang sering digunakan adalah ceramah umum, penggunaan media

    massa elektronik seperti radio dan televisi (talkshow), penggunaan

    media cetak, penggunaan media di luar ruang (billboard).

    c. Media

    Media atau alat peraga dalam penyuluhan dapat diartikan sebagai alat

    bantu untuk penyuluhan yang dapat dilihat, didengar, diraba, dirasa, atau

    dicium, untuk memperlancar komunikasi dan penyebarluasan informasi

    (Depkes RI, 2000). Menurut Notoatmodjo (2012), pendidikan kesehatan

    tidak dapat lepas dari media penyuluhan karena pesan dapat disampaikan

    dengan mudah untuk dipahami. Alat peraga ini disusun berdasarkan prinsip

    bahwa pengetahuan yang ada pada setiap manusia itu diterima atau

    ditangkap melalui panca indera. Semakin banyak indera yang digunakan

  • 36

    untuk menerima sesuatu maka semakin banyak dan semakin jelas pula

    pengertian/pengetahuan yang diperoleh. Dengan kata lain, alat peraga ini

    dimaksudkan untuk mengerahkan indera sebanyak mungkin kepada suatu

    objek sehingga mempermudah persepsi.

    Secara terperinci, fungsi alat peraga adalah untuk menimbulkan minat

    sasaran, mencapai sasaran yang lebih banyak, membantu mengatasi

    hambatan bahasa, merangsang sasaran untuk melaksanakan pesan

    kesehatan, membantu sasaran untuk belajar lebih banyak dan tepat,

    merangsang sasaran untuk meneruskan pesan yang diterima kepada orang

    lain, mempermudah memperoleh informasi oleh sasaran, mendorong

    keinginan orang untuk mengetahui, kemudian lebih mendalami dan

    akhirnya memberikan pengertian yang lebih baik, dan membantu

    menegakkan pengertian yang diperoleh.

    Alasan media sangat diperlukan di dalam pelaksanaan penyuluhan

    antara lain adalah: (1) menjadi sarana pesan yang tidak dapat dijelaskan

    dengan kata-kata; (2) memperkuat penjelasan yang disampaikan penyuluh;

    (3) membuka pengetahuan baru bagi sasaran (Ibrahim et al., 2003).

    Berdasarkan fungsinya sebagai penyaluran pesan-pesan kesehatan, media

    dibagi menjadi tiga, yakni: (a) Media cetak sebagai alat untuk

    menyampaikan pesan-pesan kesehatan yaitu: flip chart (lembar balik),

    booklet, poster, leaflet, flyer (selebaran), rubrik, foto; (b) Media elektronik

    sebagai saluran untuk menyampaikan pesan-pesan kesehatan memiliki jenis

    yang berbeda, antara lain: televisi, radio, video, slide dan film strip; dan

    (c) Media papan yang dipasang di tempat umum dapat diisi dengan pesan

    kesehatan.

    Berbagai penelitian telah dilakukan dengan menggunakan media

    penyuluhan untuk mengubah perilaku, hasilnya media mampu memengaruhi

    sasarannya. Penelitian yang dilakukan oleh Handayani (2008) tentang

    pengaruh poster terhadap perilaku ibu dalam pemberian MP-ASI pada

    baduta menyimpulkan bahwa pemasangan poster di posyandu memengaruhi

    perilaku ibu dalam pemberian MP-ASI. Begitu juga dengan penelitian yang

  • 37

    dilakukan oleh Rapiasih et al. (2009) tentang pelatihan higiene sanitasi

    bahwa poster berpengaruh terhadap pengetahuan, perilaku penjamah

    makanan, dan kelayakan hygiene sanitasi di instalasi gizi RSUP Sanglah

    Denpasar.

    d. Materi

    Efektivitas program parenting education ditentukan juga oleh materi

    tersebut disampaikan. Mardikanto (1996) mengatakan bahwa materi

    penyuluhan pada hakekatnya merupakan segala pesan yang ingin

    dikomunikasikan penyuluh kepada sasaran. Selama ini proses penyuluhan

    sebagai bentuk komunikasi yang dijalankan tidak dilaksanakan secara

    teratur dan terencana. Pelaksanaannya sering dilakukan secara spontanitas.

    Materi yang dibuat dan yang tersedia tampaknya melihat anak tumbuh

    secara bertahap dan gradual dan bersifat isolatif.

    Pertumbuhan dan perkembangan kognitif anak, perlu disesuaikan pada

    era seperti sekarang. Perkembangan teknologi komunikasi khususnya media

    massa, menjadikan akses terhadap informasi dan interaksi dengan

    lingkungan kadang-kadang jauh dan sulit diprediksikan. Visualisasi

    terhadap isi materi menjadi penting, sehingga setiap tahap dan

    perkembangan pertumbuhan anak dapat dilihat secara jelas. Materi

    disesuaikan dengan kondisi anak secara riil. Walaupun sudah ada PAUD

    holistik integratif, namun dalam program parenting education belum

    dilaksanakan secara integratif terutama tentang pelaksanaan dan materi yang

    diberikan. Selama ini penyuluhan dalam BKB, parenting education, dan

    kelas ibu balita masih berjalan sendiri-sendiri. Dengan program integrasi

    diharapkan dapat memberikan pelayanan secara komprehensif sesuai

    dengan kebutuhan keluarga dan masyarakat.

    Materi yang disampaikan untuk mengubah pola asuh orangtua secara

    holistik yaitu materi pola asuh Unicef (1990), Kemdiknas (2013),

    Soetjiningsih (2002), Barlow et al., (2005), Engle et al., (1997), Amin

    (2008), Wonohadidjojo, (1998) serta Kemendiknas (2012) yaitu tentang

    gizi, kesehatan, perawatan, pengasuhan, pendidikan, dan perlindungan.

  • 38

    Dalam rangka menghadapi era global selain hal tersebut ditambahkan

    pendidikan karakter anak untuk mewujudkan Anak Indonesia Harapan

    (AIH) yang merupakan hadiah 100 tahun Indonesia merdeka (2045), yaitu

    anak yang memliki sepuluh ciri utama (dasa citra anak Indonesia), yaitu

    (1) beriman; (2) bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; (3) berakhlak

    mulia; (4) sehat; (5) cerdas; (6) jujur (7) bertanggung jawab; (8) kreatif;

    (9) percaya diri; dan (10) cinta tanah air.

    e. Sarana prasarana

    Moenir (1992) mengemukakan bahwa sarana adalah segala jenis

    peralatan, perlengkapan kerja, dan fasilitas yang berfungsi sebagai alat

    utama/pembantu dalam pelaksanaan pekerjaan, dan juga dalam rangka

    kepentingan yang berhubungan dengan organisasi kerja. Sarana dan

    prasarana pendidikan merupakan hal yang tidak kalah penting dalam

    menunjang proses pembelajaran. Kurangnya sarana prasarana dapat

    menghambat proses penyuluhan.

    Swarana dan prasarana untuk kelancaran pelaksanaan program

    parenting education, yaitu: (a) Penyediaan tempat kegiatan; (b) Penyediaan

    sarana pertemuan sesuai kondisi dan kebutuhan orangtua;

    (c) Mengalokasikan waktu dan kegiatan yang dapat dilakukan bersama

    dengan orangtua; (d) Membantu menyebarkan informasi kegiatan kepada

    orangtua; dan (e) Membantu merekomendasikan narasumber yang sesuai

    dengan kebutuhan.

    F. Kerangka Berpikir

    Kajian teoritik di atas memberikan landasan konseptual mengenai hubungan

    antara promosi kesehatan melalui parenting education dan pola asuh holistik.

    Promosi kesehatan melalui parenting education adalah bentuk kegiatan informal

    yang dilakukan untuk meningkatkan pengetahuan, sikap dan keterampilan

    orangtua dalam pengasuhan terhadap anaknya, untuk memenuhi hak tumbuh

    kembang anak.

  • 39

    Pengembangan anak usia dini holistik integratif di masyarakat merupakan

    paradigma baru, (LIPI, 1998; Madanijah, 2005) dengan penyelenggaraan

    pengembangan anak usia dini (PAUD) holistik integratif dengan pengintegrasian

    layanan pos pelayanan terpadu (posyandu), Bina Keluarga Balita (BKB), dan

    PAUD untuk memaksimalkan tumbuh kembang anak usia dini. Penyelenggaraan

    dan fasilitasi anak usia dini secara holistik berdampak pada tumbuh-kembang,

    baik fisik motorik, kognitif, bahasa maupun perkembangan sosialnya menjadi

    lebih utuh dan lebih baik (Hastuti, 2010).

    Informasi tentang pola asuh secara holistik didapatkan orangtua melalui

    promosi kesehatan dalam proses belajar pendidikan orangtua (parenting

    education). Proses belajar tersebut terkait dengan berbagai faktor yang ada dalam

    diri orangtua (Perrino et al., 2001; Spoth dan Redmond, 2000; Johnson et al.,

    2003; Larne, 2009), maupun lingkungan sekitarnya, seperti partisipasi orangtua,

    akses sumber informasi, peran stakeholder di dalam kegiatan terkait (Syakrani,

    2004). Untuk menumbuhkan partisipasi juga dipengaruhi oleh persepsi dan

    motivasi (Labonte dan Laverack, 2008).

    Studi ini mengadopsi model perencanaan promosi kesehatan Precede dan

    Proceed dari Green dan Cauter (1991), determinan pola asuh The Ekstended

    Model of Care dari Engle dan Lhotska (1997) dan model ekologi tumbuh

    kembang anak usia dini. Pola asuh orangtua meliputi perawatan, perlindungan,

    penyiapan makanan, kebersihan diri dan sanitasi lingkungan, praktik kesehatan

    dan pola pencarian pelayanan kesehatan (Soetjiningsih, 2002), menumbuhkan

    kelekatan emosional, menghindari hukuman fisik, mengajarkan disiplin,

    memahami anak secara menyeluruh (Sears), mendidik (Kemdiknas, 2011),

    perhatian/dukungan ibu terhadap anak, pemberian ASI atau makanan pendamping

    pada anak, rangsangan psikososial terhadap anak, persiapan dan penyimpanan

    makanan, praktik kebersihan atau higiene dan sanitasi lingkungan (Engle et al.,

    1997), pemberian stimulasi, dukungan emosional (Ashar et al., 2008) maupun

    mental (Amin, 2008) yang semuanya untuk kelangsungan hidup, pertumbuhan,

    dan perkembangan balita. Dengan demikian, penting untuk melakukan

  • 40

    pendekatan holistik untuk memperhitungkan fakta bahwa aspek psikologis dan

    fisik yang saling terkait dan saling memengaruhi (Cohn et al., 2009).

    Faktor yang mempermudah atau mempredisposisi terjadinya perilaku pola

    asuh holistik yaitu dua faktor khususnya, sosio-demografi (Haggerty et al., 2002).

    Sejumlah penelitian menunjukkan pentingnya faktor-faktor sosio-demografis

    dalam pengambilan keputusan dalam pendidikan orangtua (Perrino et al., 2001;

    Spoth dan Redmond 2000). Sosio-demografis dalam studi ini yaitu persepsi,

    motivasi, akses terhadap sumber informasi.

    Hal yang sangat mendukung dalam keberhasilan promosi kesehatan melalui

    parenting education, yaitu partisipasi orangtua dan proses parenting education itu

    sendiri yang dapat dilihat dari: kompetensi pemateri, metode, materi, media, serta

    sarana dan prasarana yang baik dan lengkap. Faktor-faktor yang mendorong atau

    memperkuat terjadinya perilaku, antara lain sikap dan perilaku tokoh masyarakat,

    petugas kesehatan atau petugas lain, yang merupakan kelompok referensi dari

    perilaku masyarakat seperti peran bidan desa, peran PLKB, peran kader, dan

    peran pendidik PAUD.

    Berdasarkan teori di atas, dalam penelitian ini pola asuh holistik dikaji

    dengan pendekatan belajar dalam promosi kesehatan melalui komponen proses

    belajar, yang merupakan interaksi antara keadaan internal orangtua dan faktor-

    faktor yang berpengaruh terhadap parenting education dan pola asuh holistik.

    Variabel-variabel yang akan dikaji antara lain : persepsi ibu sebagai orangtua

    terhadap parenting education dan pola asuh holistik (X1), motivasi ibu sebagai

    orangtua terhadap parenting education dan pola asuh holistik (X2), akses terhadap

    sumber informasi (X3), peran bidan desa (X4), peran kader (X5), peran pendidik

    PAUD (X6), peran PLKB (X7), partisipasi ibu sebagai orangtua dalam parenting

    education (X8), proses promosi kesehatan melalui parenting education (X9), dan

    pola asuh holistik (Y).

  • 41

    Phase 5

    Diagnosis

    administratif dan kebijakan

    Phase 2

    Diagnosis

    epidemologi

    Phase 3

    Diagnosis perilaku dan

    lingkungan

    Phase 4

    Diagnosis

    pendidikan dan organisasional

    Phase 1 Diagnosis sosial

    Phase 6

    Pelaksanaan

    Phase 7

    Proses evaluasi

    Phase 8

    Evaluasi hasil

    Phase 9

    Evaluasi dampak

    Karakteristik orangtua 1. Persepsi ibu sebagai

    orangtua terhadap

    parenting education dan pola asuh holistik

    2. Motivasi ibu sebagai orangtua terhadap

    parenting education

    dan pola asuh holistik

    Proses

    promosi kesehatan

    melalui

    parenting education

    Partisipasi ibu sebagai

    orangtua

    dalam parenting

    education

    Peran stakeholders

    1. Peran bidan desa 2. Peran kader 3. Peran pendidik PAUD 4. Peran petugas PLKB

    Pola asuh orangtua

    secara holistik (kemampuan

    pemenuhan gizi,

    perawatan anak, pemeliharaan

    kesehatan, mendidik

    anak, mengasuh anak, dan

    perlindungan kepada

    anak)

    Akses terhadap sumber

    informasi 1. Interaksi dengan

    orangtua murid yang

    lain 2. Interaksi dengan

    anggota keluarga lain

    3. Interaksi dengan media

    Gambar 2.4. Kerangka konsep

    Pertumbuhan dan

    perkembangan

    anak usia dini

    Kebijakan

    dan

    strategi

    Orangtua/keluarga/

    calon

    orangtua/

    pengasuh

    Pengembangan

    anak usia dini

    holistik integratif

    Predisposing factors

    Reinforcing factors

    Enabling factors

  • 42

    gtua

    G. Hipotesis

    Berdasarkan kerangka berpikir, diajukan hipotesis sebagai berikut:

    1. Terdapat pengaruh positif yang signifikan faktor persepsi ibu sebagai orangtua,

    motivasi ibu sebagai orangtua, akses terhadap sumber informasi, peran bidan

    desa, peran kader, peran pendidik PAUD dan peran PLKB berpengaruh

    terhadap partisipasi ibu sebagai orangtua dalam parenting education di

    Kabupaten Karanganyar.

    2. Terdapat pengaruh positif yang signifikan faktor persepsi ibu sebagai orangtua,

    motivasi ibu sebagai orangtua, akses terhadap sumber informasi, peran bidan

    desa, peran kader, peran pendidik PAUD, peran PLKB dan partisipasi ibu

    sebagai orangtua berpengaruh terhadap proses promosi kesehatan melalui

    parenting education di Kabupaten Karanganyar.

    3. Terdapat pengaruh secara langsung maupun tidak langsung yang signifikan

    faktor persepsi ibu sebagai orangtua, motivasi ibu sebagai orangtua, akses

    terhadap sumber informasi, peran bidan desa, peran kader, peran pendidik

    PAUD, peran PLKB, partisipasi ibu sebagai orangtua d