bab ii tinjauan pustaka 2.1 tinjauan tentang tanaman...
TRANSCRIPT
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Tentang Tanaman Ketul (Bidens pilosa L.)
2.1.1 Asal dan Taksonomi Tanaman Ketul (Bidens pilosa L.)
Menurut (Department of Agriculture, Forestry and Fisheries, 2011)
tanaman B. pilosa berasal dari Amerika Selatan dan biasa ditemukan di
wilayah yang beriklim tropis dan subtropis di penjuru dunia. Tanaman B.
pilosa tercatat sebagai rumput liar yang tumbuh pada tanah atau lahan yang
sedang dibudidayakan dan dikenal sebagai tanaman herbal di negara-negara
Afrika seperti Kenya, Kongo, Boswana, Zambia, Zimbabwe, Afrika Selatan,
dan Mozambik.
Tanaman ini tersebar di seluruh daratan Afrika yang iklimnya tropis.
Umumnya, tanaman ini merupakan rumput liar yang sangat mengganggu dan
kebanyakan ditemukan di disturbed area (daerah yang telah terkena gangguan
baik karena faktor alam maupun ulah tangan manusia) (Department of
Agriculture, Forestry and Fisheries, 2011). Menurut (Sastroamidjojo, 2001)
tanaman B. pilosa ini memiliki nama Indonesia diantaranya ajeran, hereuga,
jaringan, ketul kebo, ketul sapi, ketulan dan lancituwa.
Menurut (Young-soo, 2009) tanaman B. pilosa memiliki habitat yang
biasa ditemukan di daerah yang terganggu (disturbed area), daerah gurun,
pekarangan yang tak terawat, padang rumput, perkebunan, pembukaan hutan,
pinggiran jalan, dan seluruh daerah padang gurun. Penyebaranya ada di daerah
tropis yakni tersebar luas di area yang membudidayakannya serta di daerah
11
gurun. Tanaman ini tumbuh dengan baik mulai dari daerah dengan ketinggian
rendah hingga ketinggian di atas 2000 meter di Papua Nugini.
Menurut (Putra, 2015) tanaman B. pilosa dalam sistematika tumbuhan
(taksonomi) diklasifikasikan sebagai berikut:
Kingdom : Plantae
Subkingdom : Tracheobionta
Division : Magnoliopphyta
Class : Magnoliopside
Subclass : Asteridae
Order : Asterales
Family : Asteraceae
Genus : Bidens
Species : Bidens pilosa L.
2.1.2 Morfologi Tanaman Ketul (Bidens pilosa L.)
Menurut (Department of Agriculture, Forestry and Fisheries, 2011)
batang tanaman ini berbentuk tegak, bercabang, persegi, dan tidak berbulu
yang mana ketinggiannya dapat mencapai 120 cm. Ketika musimnya sedang
berlangsung, cabangnya akan menyebar. Cabang utamanya cenderung
memencar dan akarnya akan berada pada simpul yang rendah dan menyentuh
tanah. Tanaman ini memiliki bentuk daun berseberangan dan dinagi menjadi 3
sampai 5 pucuk daun muda dengan garis tepi yang bergerigi. Bentuk tepian dan
akhiran pucuk daunnya mulai dari oval hingga lancip dan di tepi daun terdapat
anak daun berambut.
Gambar 2.1: Tanaman Ketul (Bidens
pilosa L.)
Sumber: (Department of Agriculture,
Forestry and Fisheries, 2011).
12
Bunga pada tanaman ini memiliki bentuk bunganya kecil, berwarna putih
dan kuning, serta diameternya 5 hingga 15 meter. Bunganya menyempit
panjang dan tangkai di ujung batangnya berbentuk tipis. Tiap bunganya
memiliki 4 atau 5 kepala daun bunga yang pendek, lebar dan berwarna putih
dilengkapi dengan banyak bunga kecil berwarna kuning. Bunganya berbunga
di bulan Oktober, namun ada sepanjang tahun terutama di di musim panas dan
musim gugur. Bunganya memiliki organ jantn dan betina yang mana
penyerbukannya dilakukan oleh lebah (Department of Agriculture, Forestry
and Fisheries, 2011).
Buah yang dihasilkan oleh B. pilosa tidak enak, berbulu, dan dapat
menusuk dengan cepat melalui lapisan pakaian. B. pilosa juga memiliki buah
kecil yang kering dan bercabang yang saling mengait. Sedangkan bijinya
berbentuk kecil, berwarna hitam dan tipis dengan sedikit gerutan di salah satu
ujungnya. Bijinya bisa menempel pada pakaian atau bulu binatang. Bijinya
mempunyai 4 sisi, dengan panjang 6 sampai 12 mm dan 2 atau 3 bulu tegak
berduri (Department of Agriculture, Forestry and Fisheries, 2011).
(a)
(b)
(c)
Gambar 2.2 : Tanaman Ketul (Bidens pilosa L.) (a) Daun, (b) Bunga, (c) Biji
dan Buah
Sumber : (Department of Agriculture, Forestry and Fisheries, 2011).
13
2.1.3 Kandungan Senyawa Kimia Tanaman Ketul (Bidens pilosa L.)
Menurut (Adedapo 2011 dalam Kabany dan Ibrahim, 2013) dalam
ekstrak air daun B. pilosa pada analisis proksimat menunjukkan bahwa, daun
tanaman mengandung persentase kadar air yang cukup, kadar abu, minyak
mentah, protein, lemak kasar, serat kasar dan karbohidrat, sedangkan analisis
unsur menunjukkan bahwa daunnya mengandung natrium, kalium, kalsium,
magnesium, besi, seng, fosfor, tembaga, mangan, dan nitrogen. Komposisi
kimia dalam mg/100 g.d.w menunjukkan adanya alkaloid, saponin, dan fitat.
Selain itu menurut penelitian (Jun Yi et al, 2016) daun tanaman ini
mengandung senyawa kimia yaitu flavonoid, glikosida flavonoid, fenol dan
phenylpropanoids. Menurut (Sukiyono, 2010) (Bidens pilosa L.) mengandung
senyawa kimia diantaranya alkaloid, saponin, zat pahit, minyak atsiri dan zat
samak. Selain itu senyawa lain yang terkandung dalam tanaman ini adalah
terpen, fenilpropanoid, lemak dan benzoid (Setiawati et al, 2008).
2.1.4 Manfaat Tanaman Ketul (Bidens pilosa L.)
Umumnya tanaman B. pilosa di Indonesia dimanfaatkan sebagai seduhan
dari akar-akarnya yaitu sebagai obat mata. Tumbuhan dan daun muda
digunakan untuk menyembuhkan sakit gigi dan dapat digunakan sebagai obat
borok (Sastroamidjojo, 2001). Di Amerika Selatan dan Amerika Tengah
(seperti Peru, Meksiko dan Brazil), B. pilosa digunakan untuk mengobati
penyakit kaki dan mulut, angina,diabetes, gangguan menstruasi, hepatitis,
radang tenggorokan, faringitis, wasir, sebagai obat kumur untuk mulut lecet,
hepatitis, gangguan saraf, cacingan, inflamasi/radang internal dan eksternal,
sakit gigi, sakit kepala, luka, laserasi, sakit perut karena keracunan makanan,
14
sakit tenggorokan dan retensi air (Taylor, 2005; Duke, 1997 dalam
Ezeonwumelu, 2011).
Di Negara-negara berkembang, khususnya Negara Columbia yang
berpenghasilan rendah seperti petani, mereka memanfaatkan tanaman B. pilosa
untuk obat infeksi. Tanaman ini diolah sebagai dekoksi dan getahnya untuk
mengobati infeksi saluran pernafasan dan dapat diterapkan langsung pada
permukaan luka yang terinfeksi dan dapet menyembuhkan luka (Gonzales,
1980 dalam Arthur et al, 2012). Tanaman ini di Brazil dan Cina digunakan
untuk mengobati diabetes, peradangan, enteritis, disentri, faringitis, diuretic,
antirematik, disentri, faringitis dan antirematik (Brandao et al, 1997 dalam
Arthur et al, 2012).
Flavonoid adalah senyawa yang terdiri dari 15 atom karbon seperti pada
gambar 2.3 yang umumnya tersebar di dunia tumbuhan. Flavonoid hampir
terdapat pada semua bagian tumbuhan termasuk buah, akar, daun dan kulit
batang. Manfaat flavonoid antara lain untuk melindungi struktur sel,
meningkatkan efektivitas vitamin C, antiinflamasi dan antibiotik (Haris, 2011
dalam Lumbessy, 2013). Menurut penelitian (Kurniasari, 2006 dalam
Lumbessy, 2013) menyatakan bahwa sejumlah tanaman obat mengandung
flavonoid telah dilaporkan yaitu memiliki antioksidan, antibakteri, antivirus,
antiradang, antialergi dan antikanker.
15
Gambar 2.3 : Kerangka C6- C3-C6 Flavonoid
Sumber: (Redha, 2010)
Flavonoid memiliki fungsi sebagai anti oksidan sehingga sangat baik
untuk pencegahan kanker. Manfaat flavonoid antara lain adalah untuk
melindungi struktur sel, antiinflamasi dan antibiotic (Bames dkk, 2004 dalam
Fridiana, 2012). flavonoid dapat mengahambat fosfodiesterase, flavonoid lain
menghambat aldoreduktase, monoamina oksidase, protein kinase, DNA
polymerase dan lipooksigenase. Penghambat lipooksigenase merupakan
langkah pertama pada jalur yang menuju hormone eicosanoid seperti
prostaglandin dan tromboksan. Flavonoid dapat mengurangi pembekuan darah
jika dipakai pada kulit dan menghambat perdarahan (Robbinson, 1995 dalam
Fridiana, 2012).
Mekanisme flavonoid dalam menghambat terjadinya radang melalui dua
cara yaitu menghambat asam arakhidonat dan sekresi enzim lisosom dari
endothelial sehingga menghambat proliferasi dan eksudasi dari proses radang.
Terhambatnya pelepasan asam arakhidonat dari sel inflamasi akan
menyebabkan kurang tersedianya substrat arakhidonat bagi jalur
sikloolsigenase dan jalur lipooksigenase. Lisosom mengandung protease dan
enzim lain. Protease lisosom merupakan salah satu mediator kimiawi inflamasi
16
yang memiliki aktivitas enzimatis langsung sehingga penghambatan enzim ini
dapat mengurangi inflmasi (Vinay dkk, 2007 dalam Fridiana, 2012).
Saponin adalah jenis glikosida seperti pada gambar 2.4 yang banyak
ditemukan dalam tumbuhan. Saponin memiliki karakteristik berupa buih.
Sehingga ketika direaksikan dengan air dan dikocok maka akan terbentuk buih
yang dapat bertahan lama (Wijaya, 2013). Terdapat 2 jenis saponin yaitu
steroid dan saponin tripernoid, saponin steroid tersusun atas inti steroid (C27)
dengan melekul karbohidrat. Saponin steroid dihidrolisis menghasilkan suatu
aglikon yang dikenal sebagai saraponin. Saponin triterpenoid tersusun atas inti
triterpenoid dengan molekul karbohidrat, dan jika dihidrolisis menghasilkan
suatu aglikon yang disebut sapogenin (Mien, 2015).
Gambar 2.4: Kerangka Sapogenin
Sumber: (Gunawan, 2004)
Efek saponin berdasarkan sistem fisiologis meliputi aktivitas pada sistem
kardiovaskular dan aktivitas pada sifat darah (hemolisis, koagulasi, kolesterol),
sistem saraf pusat, sistem endokrin, dan aktivitas lainnya (Wijaya, 2013).
Beberapa saponin bekerja sebagai antimikroba juga. Diantara banyak efek yang
dilaporkan, efek yang ditunjang dengan baik adalah bukti ialah penghambatan
jalur ke steroid ginjal, tetapi senyawa ini menghambat juga dehydrogenase
jalur prostaglandin (Fridiana, 2012).
17
Saponin bermanfaat untuk mempengaruhi kolagen dalam tahap awal
perbaikan jaringan. Setiap jenis luka mengalami peradangan, yang merupakan
reaksi tubuh terhadap cedera. Salah satu penyebab paling umum dari
peradangan adalah disebabkan oleh mikroba yang dapat menghambat produksi
jaringan bekas luka yang berlebihan. Saponin bersifat sebagai antimikroba
yang menghambat pertumbuhan mikroba tersebut sehingga mempercepat
penyembuhan luka (Mien dkk, 2015).
2.1.5 Tanaman Ketul (Bidens pilosa L.) sebagai penyembuh luka sayat
Penyembuhan luka sayat menggunakan dosis 250 gram bubuk daun B.
pilosa yang diekstraksi dengan menggunakan maserasi dingin dengan
kandungan 90% etanol (750 ml) selama 72 jam (Edefia et al, 2015). Ekstrak
diterapkan pada luka dalam sebanyak 3 tetes yang cukup untuk menutupi
seluruh area dan ini dilakukan satu kali sehari sampai luka mengalami proses
penyembuhan. Penggunaan ekstrak untuk penyembuhan luka yaitu
menggunakan konsentrasi 5 % dari ekstrak yang telah disiapkan (Kakki et al,
2016). Berdasarkan penelitian sebelumnya peneliti menggunakan konsentrasi
5%, 7,5%, 10%,12,5 % dan 15% yaitu dengan tingkatan pada masing-masing
konsentrasi 2,5%.
Pada penelitian ini, tikus akan dibuat luka sayat pada masing-masing kulit
punggungnya dengan panjang 2 cm dengan penyayatan sampai terlihat
jaringan subkutan. Flavonoid yang terkandung dalam ekstrak daun B. pilosa
merupakan senyawa aktif yang dapat berperan dalam proses penyembuhan luka
bakar karena dapat menghambat pertumbuhan bakteri pada jaringan hidup,
meningkatkan jumlah fibroblast dan meningkatkan produksi IL-2 dan poliferasi
18
(Haris, 2011 dalam Dewantari & Sugihartini, 2015). Selain itu flavonoid dari
ekstrak daun B. pilosa adalah auron dan chalcon memiliki sifat anti-inflmasi.
dengan adanya asetilen pada senyawa flavonoid dapat mengobati peradangan
dan sebagai anti-bakteri pada luka yang dapat mematikan bakteri S. aureus
yang dapat menyebabkan infeksi pada luka (Bartolome et al, 2013). Sehingga
senyawa flavonoid dalam ekstrak daun B. pilosa mempercepat penyembuhan
luka sayat.
2.2 Tinjauan Tentang Kulit
2.2.1 Definisi Kulit
Menurut (Effendi, 1999) kulit adalah organ tubuh terluas yang menutupi
otot dan mempunyai peranan dalam homeostasis. Kulit mempunyai fungsi
sebagai pelindung tubuh dari berbagai trauma dan merupakan penahan
terhadap bakteri, virus dan jamur. Kehilangan panas dan penyimpanan panas
diatur oleh vasodilatasi atau sekresi kelenjar-kelenjar keringat dan tanpa
adanya kulit, maka cairan tubuh yang penting akan menguap dan elektrolit
tubuh akan hilang dalam beberapa waktu.
Menurut (Majid dan Prayogi, 2013) kulit merupakan organ tubuh paling
luar dan membatasi bagian dalam tubuh dari lingkungan luar. Luas kulit pada
orang dewasa sekitar 1,5 m2 dan beratnya sekitar 15 % dari berat badan secara
keseluruhan. Kulit merupakan organ terbesar pada tubuh, mencakup 12-15%
berat tubuh. Sistem integumen berperan dalam homeostasis, proteksi,
pengaturan suhu, reseptor, sintesis biokimia dan penyerapan zat.
19
2.2.2 Anatomi Kulit
1. Epidermis
Menurut (Majid dan Prayogi, 2013) lapisan epidermis terdiri dari
empat lapisan, seperti pada gambar 2.5 berikut:
Gambar 2.5 : Anatomi Kulit
Sumber: (McGrath et al, 2010)
a. Lapisan basal/ stratum germinativum
1) Terdiri dari sel-sel kuboid yang tegak lurus terhadap dermis.
2) Tersusun sebagai tiang pagar atau palisade.
3) Lapisan terbawah dari epidermis
4) Terdapat melanosit yaitu sel densritik yang membetuk
melanin yang berfungsi untuk melindungi kulit dari sinar
matahari.
b. Lapisan malphigi/stratum spinosum
Lapisan malphigi merupakan:
1) Lapisan epidermis yang paling tebal.
2) Terdiri dari sel polygonal.
20
3) Sel-sel mempunyai protoplasma yang menonjol yang terlihat
seperti duri.
c. Lapisan granular/ stratum granulosum
Stratum granulosum terdiri dari butir-butir granula keratohialin
yang basofilik.
d. Lapisan tanduk/korneum
Lapisan tanduk (korneum) terdiri dari 20-25 lapis sel tanduk
tanpa inti.
2. Dermis
Dermis merupakan lapisan di bawah epidermis, yang terdiri dari
jaringan ikat yang mempunyai dua lapisan yaitu pars papilaris, yang
merupakan sel fibroblast yang berfungsi memproduksi kolagen dan
retikularis yang terdapat banyak pembuluh darah, limfe, akar rambut,
kelenjar keringat dan kelenjar sebasea (Majid dan Prayogi, 2013).
3. Subdermis/hipodermis
Hipodermis adalah lapisan kulit yang terdalam. Lapisan ini
terutamanya adalah jaringan adipose, yang memberikan bantalan
antara lapisan kulit dan struktur internal seperti otot dan tulang.
Lapisan ini memungkinkan mobilitas kulit, pembentuk kontur tubuh,
dan pelindung tubuh (Effendi, 1999).
2.2.3 Fisiologi Kulit
Menurut (Majid dan Prayogi, 2013) kulit memiliki fungsi, yang berguna
dalam menjaga homeostasis tubuh. Fungsi-fungsi tersebut dapat dibedakan
21
menjadi fungsi proteksi, absorpsi, ekskresi, persepsi, pengaturan suhu tubuh
(termoregulasi), dan pembentukan vitamin D.
1. Fungsi Proteksi
Kulit melakukan proteksi terhadap tubuh dengan berbagai cara
yaitu:
a. Keratin melindungi kulit dari mikroba, abrasi (gesekan), panas,
dan zat kimia. Keratin merupakan struktur yang keras, kaku, dan
tersusun rapi dan erat seperti batu bata di permukaan kulit.
b. Lipid yang dilepaskan mencegah evaporasi air dari permukaan
kulit dan dehidrasi; selain itu juga mencegah masuknya air dari
lingkungan luar tubuh melalui kulit.
c. Sebum yang berasal dari kelenjar sebasea mencegah kulit dan
rambut dari kekeringan serta mengandung zat bakterisid yang
berfungsi membunuh bakteri di permukaan kulit.
d. Pigmen melanin melindungi dari efek sinar ultraviolet yang
berbahaya. Pada stratum basal, sel-sel melanosit melepaskan
pigmen melanin ke sel-sel di sekitarnya.
e. Sel langerhans, berperan sebagai sel imun yang protektif yang
merespresentasikan antigen terhadap mikroba; dan sel fagosit yang
bertugas mamfagositosis mikroba yang masuk melewati keratin
dan sel langerhans.
2. Fungsi Absorbsi
Kemampuan absorbsi kulit dipengaruhi oleh tebal tipisnya kulit,
hidrasi, kelembaban, metabolisme dan jenis vehikulum. Penyerapan
22
dapat berlangsung melalui celah antar sel-sel epidermis daripada
yang melalui muara kelenjar.
3. Fungsi Ekskresi
Kulit juga berfungsi dalam ekskresi dengan perantaraan dua kelenjar
eksokrinnya, yaitu kelenjar sebasea dan kelenjar keringat.
a. Kelenjar Sebasea
Kelenjar sebasea merupakan kelenjar yang melekat pada folikel
rambut dan melepaskan lipid yang dikenal sebagai sebum menuju
lumen. Sebum dikeluarkan ketika muskulus arektor pili
berkontraksi menekan kelenjar sebasea sehingga sebum
dikeluarkan ke folikel rambut lalu ke permukaan kulit.
b. Kelenjar Keringat
Walaupun stratum korneum kedap air, namun sekitar 400 ml air
dapat keluar dengan cara menguap melalui kelenjar keringat tiap
hari. Selain mengeluarkan air dan panas, keringat juga merupakan
sarana untuk mengekskresikan garam, karbondioksida, dan dua
molekul organik hasil pemecahan protein yaitu amoniak dan urea
(Majid dan Prayogi, 2013).
4. Fungsi Persepsi
Kulit mengandung ujung-ujung saraf sensorik di dermis dan subkutis.
Untuk merespon terhadap rangsangan panas diperankan oleh badan-
badan Ruffini di dermis dan subkutis, sedangkan terhadap dingin
diperankan oleh badan-badan Krause yang terletak di dermis, badan
taktil Meissner terletak di papila dermis berperan terhadap rabaan,
23
demikian pula badan Merkel Ranvier yang terletak di epidermis.
Selanjutnya terhadap tekanan diperankan oleh badan Paccini di
epidermis (Majid dan Prayogi, 2013).
5. Fungsi Pengaturan Suhu Tubuh
Kulit berkontribusi terhadap pengaturan suhu tubuh (termoregulasi)
melalui dua cara yaitu: pengeluaran keringat dan menyesuaikan aliran
darah di pembuluh kapiler (Majid dan Prayogi, 2013).
6. Fungsi Pembentukan Vitamin D
Sintesis vitamin D dilakukan dengan mengakstivasi prekursor 7-
dihidroksi kolesterol dengan bantuan sinar ultraviolet. Enzim di hati
dan ginjal lalu memodifikasi prekursor dan menghasilkan calcitriol,
bentuk vitamin D yang aktif. Calcitriol adalah hormon yang berperan
dalam mengabsorpsi kalsium makanan dari traktus gastrointestinal
ke dalam pembuluh darah (Majid dan Prayogi, 2013).
2.3 Inflamasi
2.3.1 Definisi Inflamasi
Inflamasi adalah jaringan tubuh yang mengalami cedera, selama hospes
tetap hidup memiliki respon yang menyolok pada jaringan hidup yang berada
di sekitarnya. Respon cedera tersebut dinamakan peradangan. Peradangan
adalah reaksi vascular yang hasilnya zat-zat terlarut, dan sel-sel dari sirkulasi
darah ke jaringan-jaringan interstitial pada daerah cedera atau nekrosis (Price
& Wilson, 1992 dalam Hidayat, 2010).
24
Inflamasi adalah usaha protektif dari suatu organisme untuk
menghilangkan stimuli yang dapat merugikan sekaligus mengawali proses
dalam penyembuhan suatu jaringan (Denko, 1992 dalam Hidayat, 2010).
Inflamasi ini diperlukan dalam penyembuhan proses luka, jika inflamasi tidak
dicegah dapat menjadi sebuah awalan dari beberapa penyakit seperti vasomotor
rhinnorhoea, rheumatoid arthritis dan atherosclerosis (Henson & Murphy,
1989 dalam Hidayat, 2010).
Respon pertahanan pada tubuh terhadap invasi benda asing, kerusakan
jaringan atau keduanya disebut inflamasi. Penyebab terjadinya inflamasi antara
lain mikroorganisme, trauma mekanis, zat-zat kimia, dan pengaruh fisika.
Tujuan akhir dari respon inflamasi adalah menarik protein plasma dan fagosit
ke tempat yang mengalami cedera atau terinvasi agar keduanya dapat
mengisolasi, menghancurkan atau menginaktifkan agen yang masuk,
membersihkan debris dan mempersiapkan jaringan untuk proses penyembuhan
luka (Corwin, 2008 dalam Apriani, 2011).
2.3.2 Klasifikasi Inflamasi
Inflamasi secara umum dibagi menjadi 3 fase, yakni : inflamasi akut,
respon imun, dan inflamasi kronis. Inflamasi akut merupakan respon awal
terhadap cedera jaringan yang didahului oleh pembentukan imun (Katzung,
2011). Fase ini ditandai dengan adanya vasodilatasi lokal dan peningkatan
permeabilitas kapiler. Respon imun terjadi apabila sejumlah sel yang mampu
menimbulkan kekebalan diaktifkan untuk merespon organisme asing (Vogel,
2002 dalam Hidayat, 2010).
25
Inflamasi kronik merupakan inflamasi yang berlangsung lebih dari dua
minggu dan dapat timbul setelah inflamasi akut (Corwin, 2008 dalam Apriani,
2011). Inflamasi kronil melibatkan keluarnya sejumlah mediator yang tidak
begitu berperan dalam respon akut seperti interferon, platelet-derived growth
factor (PDGF) serta interleukin (Katzung, 2001 dalam Hidayat, 2010). Pada
fase ini terjadi degenerasi jaringan dan fibrosis (Vogel, 2002).
2.3.3 Penyebab dan Gejala
Penyebab inflamasi dapat ditimbulkan oleh rangsangan fisik, kimiawi,
biologis (infeksi akibat mikroorganisme atau parasite), dan kombinasi ketiga
agen tersebut (Mutschler, 1986 dalam Hidayat, 2010). Gejala respon inflamasi
meliputi, rubor (kemerahan), kalor (panas), dolor (nyeri), tumor
(pembengkakan lokal) dan function laesa (Corwin, 2008 dalam Apriani, 2011).
Rubor (kemerahan), biasanya merupakan hal pertama yang terlihat di
daerah yang mengalami peradangan. Waktu reaksi peradangan mulai timbul,
maka arteriola yang mensuplai daerah tersebut melebar, sehingga lebih banyak
darah yang mengalir ke dalam mikrosirkulas lokal. Keadaan inilah yang
bertanggung jawab atas warna merah lokal karena peradangan akut (Hidayat,
2010). Kalor (panas), berjalan sejajar dengan kemerahan disebabkan oleh
bertambahnya pengumpulan darah (banyak darah yang disalurkan), atau
mungkin karena pirogen yang mengganggu pusat pengaturan panas pada
hipotalamus (Fridiana, 2012).
Dolor (nyeri) disebabkan oleh pembengkakan dan pelepasan mediator-
mediator kimia diantaranya bradikinin, prostaglandin (Pringgoutomo et al,
2000 dalam Sukaina 2013). Gejala yang paling terlihat dari peradangan akut
26
mungkin adalah tumor (pembengkakan lokal). Pembengkakan timbul akibat
cairan dan sel-sel dari sirkulasi darah ke jaringan-jaringan interestial.
Campuran cairan dan sel yang tertimbun di daerah peradangan disebut eksudat
(Hidayat, 2010).
Fuctio laesa yaitu adanya perubahan, gangguan, kegagalan fungsi dari
organ yang mengalami peradangan (Sander, 2003 dalam Hidayat, 2010).
Hilangnya funsi disebabkan karena penumpukan cairan pada tempat cedera
jaringan dank arena rasa nyeri, yang mengurangi mobilitas pada daerah yang
terkena (Kee dan Hayer, 1996). Berkurangnya fungsi pada daerah yang
bengkak dan sakit disertai adanya sirkulasi yang abnormal akibat penumpukan
dan aliran darah yang meningkat juga menghasilkan lingkungan lokal yang
abnormal sehingga tentu saja jaringan yang terinflamasi tersebut tidak
berfungsi secara normal (Price dan Wilson, 2005 dalam Fridiana, 2013).
2.3.4 Mekanisme terjadinya Inflamasi
Proses Inflamasi merupakan suatu proses yang komplek yang melibatkan
berbagai macam sel, misalnya dalam beberapa jam sel-sel leukosit yang
berfungsi sebagai sel pertahanan tubuh menempel ke sel endotel pembuluh
darah di daerah inflamasi dan bermigrasi melewati dinding kapiler masuk ke
rongga jaringan yang disebut extravasasi. Keluarnya berbagai factor plasma
seperti immunoglobulin, komplemen, system aktivasi kontak-koagulasi-
fibrinolitik, sel-sel leukosit seperti neutrophil, eosinofil, basophil, limfosit,
momosit yang berinteraksi satu sama lain dalam proses inflamasi. Sel system
imun nonspesifik seperti neutrophil, basophil, eosinofil, dan monosit ini
diproduksi dan disimpan di sumsum tulang dan diedarkan di dalam darah. Pada
27
keadaan normal, leukosit hanya sedikit melekat pada sel endotel, tetapi pada
inflamasi adhesi antara leukosit dan sel endotel ini sangat ditingkatkan
sehingga meningkatkan sel mediator inflamasi ke dalam jaringan (Mansjoer,
1999 dalam Fridiana, 2013).
2.4 Luka
2.4.1 Definisi Luka
Luka adalah terputusnya kontinuitas suatu jaringan oleh karean adanya
cedera atau pembedahan (Majid & Prayogi, 2013). Luka merupakan suatu
keadaan yang ditandai dengan rusaknya berbagai jaringan tubuh. Terkoyaknya
jaringan ikat, otot, serta kulit akibat suatu sebab sering diikuti dengan rusaknya
jaringan syaraf dan robeknya pembuluh darah yang mengakibatkan pendarahan
(Abdurrahmat, 2014).
2.4.2 Klasifikasi Luka
Luka yang ditimbulkan oleh kecelakaan ataupun oleh operasi sangat
beragam bentuknya, namun demikian, luka dapat kita klasifikasikan
berdasarkan dua hal utama yaitu berdasarkan proses terjadinya luka
(mechanism of injury) serta derajat terkontaminasinya suatu luka oleh berbagai
mikroorganisme (degree of contamination) (Abdurrahmat, 2014).
1. Klasifikasi berdasarkan Mechanism of Injury
Berdasarkan klasifikasi mechanism of injury maka luka terbagi
menjadi atas:
a. Luka iris (sayat) yaitu jenis luka yang diakibatkan oleh irisan
benda tajam misalnya pisau. Jenis luka ini sering menimbulkan
28
rusaknya pembuluh-pembuluh yang cukup besar bila irisannya
cukup dalam. Bila keadaan luka ini aseptis maka luka jenis ini
akan segera tertutup setelah sebelumnnya terjadi penutupan
pembuluh darah dengan meninggalkan bekas berbentuk sutura.
b. Luka memar yaitu jenis luka yang diakibatkan oleh benturan
tubuh dengan benda tumpul yang mungkin akan diikuti oleh
kerusakan bagian dalam tubuh yang lunak, kerusakan tulang,
pendarahan atau pembengkakan.
c. Luka terkoyak yaitu jenis luka yang memiliki kontur tidak
menentu, bergerigi serta cukup dalam sehingga banyak jaringan
tubuh yang rusak. Luka jenis ini bisa disebabkan oleh pecahan
kaca atau mata kail.
d. Luka bocor yaitu jenis luka yang menimbulkan lubang kecil di
permukaan kulit tetapi menembus tubuh cukup dalam, contohnya
luka yang ditimbulkan oleh tusukan pisau atau peluru.
e. Luka gores yaitu jenis luka yang tidak terlalu dalam tetapi
memiliki permukaan luka yang sangat lebar, biasanya terjadi
akibat tergoresnya kulit pada permukaan yang kasar. Pada luka
jenis ini pembuluh-pembuluh yang rusak hanya yang berada di
bagian perifer.
f. Luka bakar yaitu jenis luka yang ditimbulkan akibat terbakarnya
bagian tubuh. Jenis luka dibedakan menjadi luka bakar ketebalan
parsial yaitu bila yang terbakar hanya sampai pada jaringan
29
epidermis sedangkan jaringan dermis tetap utuh dan tingkatan di
atasnya ialah luka bakar total dimana sebagian dermis ikut hilang.
2. Klasifikasi berdasarkan Degree of Contamination
Sedangkan berdasarkan klasifikasi Degree of Contamination, maka
luka terbagi atas:
a. Clean wound artinya tidak terdapat infeksi oleh mikroorganisme
apapun terhadap luka tersebut. Kemungkinan untuk terjadi
infeksi pada luka jenis ini hanya berkisar antara 1-5% dan
biasanya luka tersebut akan sembuh secara cepat dengan
meninggalkan bekas berupa sutura.
b. Clean-contaminated wound adalah jenis luka yang hanya
terkontaminasi oleh jenis bakteri tertentu yang biasanya ada pada
luka. Kemungkinan infeksi pada luka jenis ini berkisar antara 3-
11%.
c. Contaminated wound ialah jenis luka yang terbuka, segar, taj
disengaja atau luka operasi dengan teknik yang aseptis atau
adanya pembukaan pada saluran cerna. Kemungkinan terjadi
infeksi pada luka jenis ini ialah 10-17%.
d. Dirty wound ialah jenis luka yang terjadi pada lingkungan yang
sudah terkontaminasi oleh berbagai bakteri, termasuk juga luka
akibat pelaksanaan operasi di tempat yang tidak steril, misalnya
operasi darurat di lapangan. Kemungkinan terjadi infeksi lebih
dari 27%.
30
2.4.3 Penyembuhan Luka Sayat
Luka akan sembuh sesuai dengan tahapan yang spesifik dimana bisa
terjadi tumpang tindih. Proses penyembuhan luka tergantung pada jenis
jaringan yang rusak serta penyebab luka tersebut. Proses penyembuhan luka
terdiri dari 3 fase yaitu:
1. Fase inflamasi
Gambar 2.6: Fase Inflamasi
Sumber:(http://www.bumc.bu.edu/www/Busm/sg/Images/
suturing/phase2.gif)
Adalah fase yang terjadi pada hari ke-0 sampai hari ke-5. Respon
segera setelah terjadi luka atau pembekuan darah atau untuk
mencegah kehilangan darah. Fase inflamasi ditandai dengan adanya
respon vaskuler dan seluler yang terjadi akibat perlukaan yang terjadi
pada jaringan kulit. Pada fase ini terjadi hemoestasisi dan fase akhir
terjadi fagositosis. Lama fase ini bisa singkat jika terjadi infeksi
(Majid & Prayogi, 2013).
31
2. Fase proliferasi atau epitelisasi
Gambar 2.7: Fase Proliferasi
Sumber:(http://www.bumc.bu.edu/www/Busm/sg/Images/
suturing/phase2.gif)
Terjadi pada hari ke-4 sampai hari ke-14. Disebut juga dengan fase
granulasi oleh karena adanya pembentukan jaringan granulasi pada
luka atau luka nampak merah segar dan mengkilat. Jaringan granulasi
terdiri dari kombinasi antara firoblasts, sel inflamasi, pembuluh darah
yang baru, fibronektin dan hyularonic acid. Epitalisasi terjadi pada
24 jam pertama ditandai dengan penebalan lapisan epidermis pada
tepian luka, sedangkan pada luka insisi epitalisasi terjadi pada 48 jam
pertama (Majid & Prayogi, 2013).
3. Fase maturasi atau remodeling
Berlangsung dari beberapa minggu sampai dengan 2 tahun.
Terbentuknya kolagen yang baru yang mengubah bentuk luka serta
peningkatan kekuatan jaringan (tensile strength). Terbentuknya
jaringan parut sekitar 50-80% sama kuatnya dengan jaringan
sebelumnya serta terdapat pengurangan secara bertahap pada aktivitas
selular dan vaskularisasi jaringan yang mengalami perbaikan (Majid
& Prayogi, 2013).
32
Gambar 2.8: Fase Maturasi
Sumber:(http://www.bumc.bu.edu/www/Busm/sg/Images/
suturing/phase2.gif)
Menurut (Tarigan, 2007) menjelaskan bahwa proses penyembuhan
luka meliputi dua komponen utama yaitu regenerasi dan perbaikan
(repair). Regenerasi adalah pergantian sel-sel yang hilang dan jaringan
dengan sel-sel yang bertipe sama, sedangkan repair adalah tipe
penyembuhan yang biasanya menghasilkan terbentuknya scar. Repair
merupakan proses yang lebih kompleks daripada regenerasi. Penyembuhan
repair terjadi oleh intention primer, sekunder dan tersier.
a. Intension primer
Fase-fase dalam penyembuhan Intension primer :
1. Fase Inisial (3-5 hari)
2. Sudut insisi merapat, migrasi sel-sel epitel, mulai pertumbuhan sel
3. Fase granulasi (5 hari – 4 minggu)
Fibroblas bermigrasi ke dalam bagian luka dan mensekresi kolagen.
Selama fase granulasi luka berwarna merah muda dan mengandung
pembuluh darah. Tampak granula-granula merah. Luka berisiko
dehiscence dan resisten terhadap infeksi. Epitelium permukaan pada
tepi luka mulai terlihat. Dalam beberapa hari lapisan epitelium yang
tipis bermigrasi menyebrangi permukaan luka. Epitel menebal dan
33
mulai matur dan luka merapat. Pada luka superficial, reepitelisasi
terjadi selama 3 – 5 hari.
4. Fase kontraktur scar ( 7 hari – beberapa bulan )
Serabut-serabut kolagen terbentuk dan terjadi proses remodeling.
Pergerakan miofibroblast yang aktif menyebabkan kontraksi area
penyembuhan, membentu menutup defek dan membawa ujung kulit
tertutup bersama-sama. Skar yang matur selanjutnya terbentuk. Skar
yang matur tidak mengandung pembuluh darah dan pucat dan lebih
terasa nyeri daripada fase granulasi.
b. Intension sekunder
Adalah luka yang terjadi dari trauma, elserasi dan infeksi dan memiliki
sejumlah besar eksudat dan luas, batas luka ireguler dengan kehilangan
jaringan yang cukup luas menyebabkan tepi luka tidak merapat. Reaksi
inflamasi dapat lebih besar daripada penyembuhan primer.
c. Intension Tersier
Adalah intension primer yang tertunda. Terjadi karena dua lapisan
jaringa granulasi dijahit bersama-sama. Ini terjadi ketika luka yang
terkontaminasi terbuka dan dijahit rapat setelah infeksi dikendalikan.
Ini juga dapat terjadi ketika luka primer mengalami infeksi, terbuka dan
dibiarkan tumbuh jaringan granulasi dan kemudian dijahit. Intension
tersier biasanya mengakibatkan skar yang lebih luas dan lebih dalam
daripada intension primer atau sekunder.
34
2.4.4 Faktor yang Mempengaruhi Penyembuhan Luka
Menurut (Baroroh, 2011) factor yang mempengaruhi penyembuhan luka
diantaranya adalah:
1. Usia
Anak dan dewasa penyembuhannya lebih cepat daripada orang tua.
Orang tua lebih sering terkena penyakit kronis, penurunan fungsi hati
dapat mengganggu sintesis dari faktor pembekuan darah.
2. Nutrisi
Penyembuhan menempatkan penambahan pemakaian pada tubuh.
Klien memerlukan kaya protein, karbohidrat, lemak, vitamin C dan A,
dan mineral seperti Fe, Zn. Klien kurang nutrisi memerlukan waktu
untuk memperbaiki status nutrisi mereka setelah pembedahan jika
mungkin. Klien yang gemuk meningkatkan resiko infeksi luka dan
penyembuhan lama karena supply darah jaringan adipose tidak
adekuat.
3. Infeksi
Infeksi luka menghambat penyembuhan. Bakteri sumber penyebab
infeksi. Sirkulasi (hipovolemia) dan Oksigenasi Sejumlah kondisi fisik
dapat mempengaruhi penyembuhan luka. Adanya sejumlah besar
lemak subkutan dan jaringan lemak (yang memiliki sedikit pembuluh
darah). Pada orang-orang yang gemuk penyembuhan luka lambat
karena jaringan lemak lebih sulit menyatu, lebih mudah infeksi, dan
lama untuk sembuh. Aliran darah dapat terganggu pada orang dewasa
dan pada orang yang menderita gangguan pembuluh darah perifer,
35
hipertensi atau diabetes millitus. Oksigenasi jaringan menurun pada
orang yang menderita anemia atau gangguan pernapasan kronik pada
perokok. Kurangnya volume darah akan mengakibatkan vasokonstriksi
dan menurunnya ketersediaan oksigen dan nutrisi untuk penyembuhan
luka.
4. Hematoma
Hematoma merupakan bekuan darah. Seringkali darah pada luka
secara bertahap diabsorbsi oleh tubuh masuk kedalam sirkulasi. Tetapi
jika terdapat bekuan yang besar hal tersebut memerlukan waktu untuk
dapat diabsorbsi tubuh, sehingga menghambat proses penyembuhan
luka.
5. Benda asing
Benda asing seperti pasir atau mikroorganisme akan menyebabkan
terbentuknya suatu abses sebelum benda tersebut diangkat. Abses ini
timbul dari serum, fibrin, jaringan sel mati dan lekosit (sel darah
merah), yang membentuk suatu cairan yang kental yang disebut
dengan nanah (“Pus”).
6. Iskemia
Iskemia merupakan suatu keadaan dimana terdapat penurunan suplai
darah pada bagian tubuh akibat dari obstruksi dari aliran darah. Hal ini
dapat terjadi akibat dari balutan pada luka terlalu ketat. Dapat juga
terjadi akibat faktor internal yaitu adanya obstruksi pada pembuluh
darah itu sendiri.
36
7. Diabetes
Hambatan terhadap sekresi insulin akan mengakibatkan peningkatan
gula darah, nutrisi tidak dapat masuk ke dalam sel. Akibat hal tersebut
juga akan terjadi penurunan protein-kalori tubuh.
8. Keadaan Luka
Keadaan khusus dari luka mempengaruhi kecepatan dan efektifitas
penyembuhan luka. Beberapa luka dapat gagal untuk menyatu.
9. Obat
Obat anti inflamasi (seperti steroid dan aspirin), heparin dan anti
neoplasmikmempengaruhi penyembuhan luka. Penggunaan antibiotik
yang lama dapat membuat seseorang rentan terhadap infeksi luka.
a. Steroid : akan menurunkan mekanisme peradangan normal tubuh
terhadap cedera
b. Antikoagulan : mengakibatkan perdarahan
c. Antibiotik : efektif diberikan segera sebelum pembedahan untuk
bakteri penyebab
kontaminasi yang spesifik. Jika diberikan
37
2.5 Tinjauan tentang Tikus (Rattus sp)
Menurut (Suckow et al, 2006) R. norvegicus dalam sistematika
diklasifikasikan sebagai berikut:
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Klas : Mammalia
Ordo : Rodentia
Famili : Muridae
Genus : Rattus
Spesies : Rattus norvegicus
Tikus (Rattus sp) termasuk binatang pengerat yang merugikan dan
termasuk hama terhadap tanaman petani. Selain menjadi hama yang merugikan,
hewan ini juga membahayakan kehidupan manusia. Sebagai pembawa penyakit
yang berbahaya, hewan ini dapat menularkan penyakit seperti wabah pes dan
leptospirosis. Tikus yang paling terkenal ialah tikus berwarna coklat, yang
menjadi hama pada usaha-usaha pertanian dan pangan yang disimpan di gudang.
Tikus albino (tikus putih) banyak digunakan sebagai hewan percobaan di
laboratorium (Akbar, 2010).
Tikus putih (Rattus norvegicus) memiliki dua macam strain yaitu Spague-
Dewley atau disebut S.D, ukuran tubuhnya cukup besar dan sangat jinak. Strain
yang lain yaitu Wistar, dikembangkan oleh Weistar Institute of Biology and
Anantomy, dikembangkan secara luas digunakan untuk penelitian laboratorium.
Ukuran tubuhnya lebih kecil dari pada Sprague-Dawley dan sangat mudah
Gambar 2.9 Tikus Putih (Rattus norvegicus)
Sumber: Dokumen Pribadi, 2016
38
menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Sifatnya sangat jinak asalkan tidak
diganggu (Astuti, 1986).
Tikus putih memiliki beberapa sifat yang menguntungkan sebagai hewan
uji penelitian di antaranya perkembangbiakan cepat, mempunyai ukuran yang
lebih besar dari mencit, mudah dipelihara dalam jumlah yang banyak. Tikus putih
juga memiliki ciri-ciri morfologis seperti albino, kepala kecil, dan ekor yang lebih
panjang dibandingkan badannya, pertumbuhannya cepat, temperamennya baik,
kemampuan laktasi tinggi, dan tahan terhadap arsenik tiroksid (Akbar, 2010).
2.6 Ekstrak
2.6.1 Definisi Ekstrak
Ekstrak adalah sediaan kering, kental atau cair dibuat dengan penyari
simplisia menurut cara yang cocok, diluar pengaruh cahaya matahari langsung.
Ekstrak kering harus mudah digerus menjadi serbuk. Cairan penyari yang
digunakan adalah air, eter, etanol, atau campuran etanol dan air (Badan POM
RI, 2007).
Ekstrak adalah sediaan yang kental yang diperoleh dengan mengekstraksi
senyawa aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut
yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa
atau serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian hingga memenuhi baku yang
telah ditetapkan. Sebagian besar ekstrak dibuat dengan mengekstraksi bahan
baku obat secara perlokasi. Seluruh perkolat biasanya dipekatkan secara
destilasi dengan pengurangan tekanan, agar bahan sesedikit mungkin terkena
panas (Depkes RI, 2000).
39
2.7 Teknologi Ekstraksi
2.7.1 Proses Pembuatan Ekstrak
Proses pembuatan ekstrak menurut (Departemen Kesehaan Republik
Indonesia, 2000) adalah sebagai berikut:
1. Pembuatan serbuk simplisia dan klasifikasinya
Proses awal pembuatan ekstrak adalah tahapan pembuatan serbuk
simplisia kering (penyerbukan). Dari simplisia dibuat serbuk
simplisia dengan peralatan tertentu sampai derajat kehalusan tertentu.
Proses ini dapat mempengaruhi mutu ekstrak dengan dasar beberapa
hal sebagai berikut:
a) Makin halus serbuk simplisia, proses ekstraksi makin efektif
efisien, namun makin halus serbuk, maka makin rumit secara
teknologi peralatan untuk tahapan filtrasi.
b) Selama penggunaan peralatan penyerbukan dimana ada gerakan
dan interaksi dengan benda keras (logam), maka akan timbul
panas (kalori) yang dapat berpengaruh pada senyawa kandungan.
Namun, hal ini dapat dikompensasi dengan penggunaan nitrogen
cair.
2. Cairan pelarut
Cairan pelarut dalam proses pembuatan ekstrak adalah pelarut yang
baik (optimal) untuk senyawa kandungan yang berkhasiat atau yang
aktif, dengan demikian senyawa tersebut dapat terpisahkan dari bahan
dan dari senyawa kandungan lainnya, serta ekstrak hanya
mengandung sebagian besar senyawa kandungan yang diinginkan.
40
Dalam hal ekstrak total, maka cairan pelarut dipilih yang melarutkan
hampir semua metabolit sekunder yang terkandung. Faktor utama
untuk pertimbangan pada pemilihan cairan penyari adalah sebagai
berikut:
a) Selektivitas
b) Kemudahan bekerja dan proses dengan cairan tersebut
c) Ekonomis
d) Ramah lingkungan
e) Keamanan
3. Separasi dan Pemurnian
Tujuan dari tahapan ini adalah menghilangkan (memisahkan)
senyawa yang tidak dikehendaki semaksimal mungkin tanpa
berpengaruh pada senyawa kandungan yang dikehendaki, sehingga
diperoleh ekstrak yang lebih murni. Proses-proses pada tahapan ini
adalah pengendapan, pemisahan dua cairan tak campur, sentrifugasi,
dekantasi, filtrasi serta proses adsorbsi dan penukar ion.
4. Pemekatan/ Penguapan (vaporasi dan evaporasi)
Pemekatan berati peningkatan jumlah partial solute (senyawa terlarut)
secara penguapan pelarut tanpa sampai menjadi kondisi kering,
ekstrak hanya menjadi kental/pekat.
5. Pengeringan ekstrak
Pengeringan berarti menghilangkan pelarut dan bahan sehingga
menghasilkan serbuk, masa kering-rapuh, tergantung proses dan
41
peralatan yang digunakan. Ada berbagai proses pengeringan ekstrak,
yaitu dengan cara:
a) Pengeringan Evaporasi
b) Pengeringan Vaporasi
c) Pengeringan Sublimasi
d) Pengeringan Konveksi
e) Pengeringan Kontak
f) Pengeringan Radiasi
g) Pengeringan Dielektrik.
6. Randemen
Randemen adalah perbandingan antara ekstrak yang diperoleh dengan
simplisia awal.
2.7.2 Metode Ekstraksi
1. Cara dingin
a. Maserasi
Maserasi adalah proses pengekstrakan simplisia dengan
menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau
pengadukan pada temperatur ruangan (kamar). Secara teknologi
termasuk ekstraksi dengan prinsip metode pencapaian konsentrasi
pada keseimbangan. Maserasi kinetik berarti dilakukan
pengadukan yang kontinu (terus-menerus). Remaserasi berarti
dilakukan pengulangan penambahan pelarut setelah dilakukan
penyaringan maserat pertama, dan seterusnya.
42
b. Perlokasi
Perlokasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai
sempurna (exhaustive extraction) yang umumnya dilakukan pada
temperatur ruangan. Proses terdiri dari tahaan pengembangan
bahan, tahap maserasi antara, tahap perlokasi sebenarnya
(penetesan/penampungan ekstrak), terus menerus sampai
diperoleh ekstrak (perkolat) yang jumlahnya 1-5 kali bahan.
2. Cara panas
a. Refluks
Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik
didihnya, selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang
relatif konstan dengan adanya pendingin baik. Umumnya
dilakukan pengulangan proses pada residu pertama sampai 3-5
kali sehingga dapat termasuk proses ekstrkasi sempurna.
b. Soxhlet
Soxhlet adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru
yang umumnya dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi
ekstraksi kontinu dengan jumlah pelarut relatif konstan dengan
adanya pendingin balik.
c. Digesti
Digesti adalah maserasi kinetik (dengan pengadukan kontinu)
pada temperatur yang lebih tinggi dari temperatur ruangan
(kamar), yaitu secara umum dilakukan pada temperatur 40- 50ºC.
43
d. Infus
Infus adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur
penangas air (bejana infus tercelup dalam penangas air mendidih,
temperatur terukur 96-98ºC) selama waktu tertentu (15-20 menit).
e. Dekok
Dekok adalah infus pada waktu yang lebih lama (≥ 30º C) dan
temperatur sampai titik didih air.
2.8 Sumber Belajar Biologi
2.8.1 Definisi Sumber Belajar
Sumber belajar dikemukakan oleh Association Educational
Comunication and Tehnology (AECT, 1977) dalam Kasrina, dkk (2012), yaitu
berbagai atau semua sumber baik berupa data, orang, dan wujud tertentu yang
dapat digunakan siswa dalam belajar, baik secara terpisah maupun
terkombinasi sehingga mempermudah siswa dalam mencapai tujuan belajar.
Menurut (Sadiman 1989 dalam Kasrina dkk, 2012) sumber belajar yaitu segala
macam sumber yang ada di luar diri seseorang (peserta didik) dan yang
memungkinkan atau memudahkan terjadinya proses belajar. Sumber belajar
merupakan segala sesuatu yang dapat memudahkan peserta didik dalam
memperoleh sejumlah informasi, pengetahuan, pengalaman, dan keterampilan
dalam proses belajar mengajar (Mulyasa, 2006 dalam Purnomo, 2012).
Kedua pengertian tersebut menunjukkan bahwa pada hakikatnya sumber
belajar begitu luas dan kompleks. Segala hal yang sekiranya diprediksikan
44
akan mendukung dan dapat dimanfaatkan untuk keberhasilan pembelajaran
dapat dipertimbangkan menjadi sumber belajar yang dirancang maupun
dimanfaatkan. Dengan pemahaman ini maka guru bukanlah satu-satunya
sumber tetapi hanya salah satu saja dari sekian sumber belajar lainnya (Kasrina
dkk, 2012).
2.8.2 Kriteria Pemilihan Sumber Belajar
Menurut (Sudrajat, 2008: Hamdani, 2011) mengemukakan lima kriteria
dalam pemilihan sumber belajar yaitu:
a. Ekonomis, tidak harus terpatok pada harga yang mahal;
b. Praktis, tidak memerlukan pengelolaan yang rumit, sulit, dan langka;
c. Mudah, dekat dam tersedia di sekitar lingkungan kita;
d. Fleksibel, dimanfaatkan untuk berbagai tujuan intruksional;
e. Semua dengan tujuan, mendukung proses dan pencapaian tujuan
belajar, dapat membangkitkan motivasi dan minat belajar siswa.
2.8.3 Macam-macam Sumber Belajar
Agar kita mampu mengidentifikasi dan memanfaatkan berbagai potensi
sumber belajar yang melimpah di sekitar kita secara maksimal, maka hal
terpenting yang mesti kita lakukan adalah mengenali berbagai bentuk sumber
belajar tersebut. Berdasarkan hasil penelusuran dari berbagai literatur, dapat
kita sebutkan bahwa bentuk-bentuk sumber belajar di sekitar kita antara lain:
1. Buku, yakni majalah lembar kertas yang berjilid, baik berisi tulisan
maupun kosong. Buku sebagai sumber belajar adalah buku yang berisi
teks tertulis yang mengandung ilmu pengetahuan. Ada berbagai jenis
45
buku seperti, buku ajar, ilmiah, populer, fiksi, nonfisik, novel, komik, dan
lain sebagainya.
2. Majalah, yakni terbitan berkala yang isinya mencakup berbagai liputan
jurnalistik dan pandangan tentang topik aktual yang patut diketahui
pembaca. Menurut waktu penerbitannya, majalah dibedakan atas majalah
bulanan, mingguan, tengah bulanan, mingguan, dan sebagainya.
3. Brosur, yakni bahan informasi tertulis mengenai suatu masalah yang
disusun secara sistematis. Brosur bisa juga dimaknai sebagai cetakan yang
hanya terdiri atas beberapa halaman dan dilipat tanpa dijilid, atau
selebaran cetakan yang berisi keterangan singkat, tetapi lengkap.
Misalnya brosur tentang organisasi atau institusi sekolah.
4. Poster, yakni plakat yang dipasang di tempat umum, biasanya berupa
pengumuman atau iklan.
5. Ensiklopedia, yakni buku yang menghimpun keterangan atau uraian
tentang berbagai hal dalam bidang seni dan ilmu pengetahuan, yang
disusun menurut abjad atau lingkungan ilmu. Contohnya, ensiklopedia al-
Qur’an, ensiklopedia hewan, ensiklopedia flora, dan lain sebagainya.
6. Film, yakni selaput tipis yang dibuat dari seluloid untuk tempat gambar
negatif (yang akan dibuat potret) atau tempat gambar positif (yang akan
dimainkan di dalam bioskop). Ada beragam bentuk film, seperti film
kartun, film dokumenter, film kartun, film seri, dan sebagainya.
7. Model, yakni barang tiruan yang kecil dengan bentuk (rupa) persis seperti
yang ditiru. Contohnya model manusia, model sepeda motor, model
pesawat terbang dan lain sebagainya.
46
8. Transparansi, yakni barang (plastik dan sejenisnya) yang tembus cahaya,
yang dipakai untuk menayangkan tulisan (gambar) pada layar proyektor.
9. Studio, yakni ruang tempat bekerja (bagi pelukis, tukang foto dan
sebagainya) atau ruangan yang dipakai untuk menyiarkan acara radio atau
televisi.
10. Wawancara, yakni tanya jawab dengan seseorang yang diperlukan untuk
dimintai keterangan atau pendapatnya mengenai suatu hal. Ada berbagai
macam bentuk wawancara, seperti wawancara terbuka, wawancara
tertutup, wawancara terstruktur, wawancara induvidual, wawancara
kelompok dan sebagainya.
11. Permainan, yakni suatu yang digunakan untuk bermain, barang atau
sesuatu yang dipermainkan, mainan, hal bermain, atau perbuatan bermain
(misalanya bulu tangkis, sepak bola, dan sebagainya) (Prastowo, 2011).
2.9 Leaflet
2.9.1 Definisi Leaflet
Menurut (Notoatmodjo, 2003 dalam Kawuriansari et al, 2010) leaflet
adalah bentuk penyampaian informasi atau pesan-pesan melalui lembaran yang
dilipat, isi informasi dapat dalam bentuk kalimat maupun gambar, atau
kombinasi.
2.9.2 Syarat-syarat Pembuatan Leaflet
Menurut (Agustiansyah, 2009 dalam Kawuriansari et al, 2010 antara lain
yaitu:
47
1. Menggunakan bahasan sederhana dan mudah dimengerti oleh
pembacanya.
2. Judul yang digunakan harus menarik dibaca.
3. Tidak banyak tulisan.
4. Sebaiknya dikombinasikan antara tulisan dan gambar.
5. Materi harus sesuai dengan target sasaran yang dituju.
2.9.3 Kelebihan Leaflet
Kelebihan Leaflet menurut (Notoatmodjo, 2005 dalam Kawuriansari et
al, 2010) adalah tahan lama, mancakup orang banyak, biaya tidak tinggi, tidak
perlu listrik, dapat dibawa kemana-mana, dapat mengungkit rasa keindahan,
mempermudah pemahaman dan meningkatkan gairah belajar. Menurut Jayanti
(2011) kelebihan Leaflet yaitu sebagai alat sederhana pengingat pesan dimana
pembaca dapat belajar secara mandiri informasi yang terdapat didalamnya
termasuk detil (misalnya statistik) yang tidak mungkin bisa disampaikan lisan.
2.9.4 Kekurangan Leaflet
Kekurangan menurut (Notoatmodjo, 2005 dalam Kawuriansari et al,
2010) adalah media ini tidak dapat menstimulir efek suara dan efek gerak,
mudah terlipat. Menurut (Jayanti, 2011) kekurangan Leaflet juga tidak tahan
lama dan mudah hilang, dapat menjadi kertas percuma kecuali pengajar secara
aktif melibatkan klien dalam membaca dan menggunakan materi. Uji coba
dengan sasaran sangat dianjurkan.
2.9.5 Leaflet Sebagai Sumber Belajar Biologi SMA Materi
Keanekaragaman Hayati dan Pemanfaatanya.
Materi Keanekaragaman Hayati merupakan materi yang terdapat pada
SMA kelas X semester satu. Dalam materi ini akan dibahas mengenai
48
pemanfaatan sumber daya alam yang dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraan
manusia. Salah satunya yaitu pemanfaatan sumber obat-obatan yang dimiliki
oleh Indonesia yang kaya berbagai aneka ragam tumbuhan yang dapat
dijadikan sebagai tanaman obat.
Perlunya pengembangan produk berupa leaflet ini sebagai sumber
informasi bagi pembaca dalam materi keanekaragaman hayati yang membahas
mengenai pemanfaatan sumber daya alam yang dapat digunakan sebagai
sumber obat-obatan alami yang mudah ditemui di lingkungan sekitarnya.
Leaflet adalah bentuk penyampaian informasi atau pesan-pesan kesehatan
melalui lembaran yang dilipat, isi informasi dapat berbentuk kalimat maupun
gambar serta dapat dikombinasikan dari keduannya (Notoatmojo, 2003 dalam
Kawuriansari et al, 2010). Jadi dengan adanya produk pengembangan berupa
leaflet ini dapat mempermudah pembaca khususnya siswa SMA kelas X
memperoleh informasi serta pengetahuan mengenai sumber daya alam
khususnya tanaman-tanaman yang berada di lingkungan sekitar yang dapat
dimanfaatkan sebagai tanaman obat. Selain memberikan informasi terbaru bagi
siswa, leaflet ini bertujuan untuk sebagai sarana yang dapat membantu
pengajar untuk mengenalkan kepada siswa mengenai salah satu tanaman-
tanaman yang berpotensi obat yang berada disekitar kita, sehingga dapat
menunjang pelajaran terutama materi keanekaragaman hayati yang membahas
mengenai pemanfaatan sumber daya alam khususnya tanaman yang dapat
dijadikan sumber obat-obatan.
49
2.10 Kerangka Konsep
Kerangka konsep dari penelitian adalah sebagai berikut:
Gambar 2.10 Kerangka Konsep Penelitian
2.11 Hipotesis
1. Ada pengaruh pengaruh pemberian ekstrak daun ketul (Bidens pilosa L.)
terhadap penyembuhan luka sayat pada punggung tikus putih (Rattus
norvegicus).
2. Pada konsentrasi ekstrak 15% dapat mempercepat penyembuhan luka
sayat dibandingkan dengan konsentrasi 5%, 7,5%, 10% dan 12,5% pada
punggung tikus putih (Rattus norvegicus).
Luka/Cedera Pada Kulit
Luka Sayat
Ekstrak daun ketul Obat Alami Kelimpahan Tanaman Ketul
Flavonoid dan Saponin
Anti Inflamasi Antibakteri Anti Alergic
tidak ada eritema, pembengkakan, luka mulai menutup
dan luka menutup
Fase Inflamasi
(agregasi trombosit)
Fase Proliferasi
(kontraksi luka)
Fase maturasi
(penyerapan jaringan)
Luka Sembuh
Data hasil penelitian dimanfaatkan menjadi Sumber Belajar
Biologi SMA berupa Leaflet.