bab ii tinjauan pustaka 2.1 tinjauan tentang tanaman...

40
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Tentang Tanaman Ketul (Bidens pilosa L.) 2.1.1 Asal dan Taksonomi Tanaman Ketul (Bidens pilosa L.) Menurut (Department of Agriculture, Forestry and Fisheries, 2011) tanaman B. pilosa berasal dari Amerika Selatan dan biasa ditemukan di wilayah yang beriklim tropis dan subtropis di penjuru dunia. Tanaman B. pilosa tercatat sebagai rumput liar yang tumbuh pada tanah atau lahan yang sedang dibudidayakan dan dikenal sebagai tanaman herbal di negara-negara Afrika seperti Kenya, Kongo, Boswana, Zambia, Zimbabwe, Afrika Selatan, dan Mozambik. Tanaman ini tersebar di seluruh daratan Afrika yang iklimnya tropis. Umumnya, tanaman ini merupakan rumput liar yang sangat mengganggu dan kebanyakan ditemukan di disturbed area (daerah yang telah terkena gangguan baik karena faktor alam maupun ulah tangan manusia) (Department of Agriculture, Forestry and Fisheries, 2011). Menurut (Sastroamidjojo, 2001) tanaman B. pilosa ini memiliki nama Indonesia diantaranya ajeran, hereuga, jaringan, ketul kebo, ketul sapi, ketulan dan lancituwa. Menurut (Young-soo, 2009) tanaman B. pilosa memiliki habitat yang biasa ditemukan di daerah yang terganggu (disturbed area), daerah gurun, pekarangan yang tak terawat, padang rumput, perkebunan, pembukaan hutan, pinggiran jalan, dan seluruh daerah padang gurun. Penyebaranya ada di daerah tropis yakni tersebar luas di area yang membudidayakannya serta di daerah

Upload: lamkhanh

Post on 02-Mar-2019

220 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Tentang Tanaman Ketul (Bidens pilosa L.)

2.1.1 Asal dan Taksonomi Tanaman Ketul (Bidens pilosa L.)

Menurut (Department of Agriculture, Forestry and Fisheries, 2011)

tanaman B. pilosa berasal dari Amerika Selatan dan biasa ditemukan di

wilayah yang beriklim tropis dan subtropis di penjuru dunia. Tanaman B.

pilosa tercatat sebagai rumput liar yang tumbuh pada tanah atau lahan yang

sedang dibudidayakan dan dikenal sebagai tanaman herbal di negara-negara

Afrika seperti Kenya, Kongo, Boswana, Zambia, Zimbabwe, Afrika Selatan,

dan Mozambik.

Tanaman ini tersebar di seluruh daratan Afrika yang iklimnya tropis.

Umumnya, tanaman ini merupakan rumput liar yang sangat mengganggu dan

kebanyakan ditemukan di disturbed area (daerah yang telah terkena gangguan

baik karena faktor alam maupun ulah tangan manusia) (Department of

Agriculture, Forestry and Fisheries, 2011). Menurut (Sastroamidjojo, 2001)

tanaman B. pilosa ini memiliki nama Indonesia diantaranya ajeran, hereuga,

jaringan, ketul kebo, ketul sapi, ketulan dan lancituwa.

Menurut (Young-soo, 2009) tanaman B. pilosa memiliki habitat yang

biasa ditemukan di daerah yang terganggu (disturbed area), daerah gurun,

pekarangan yang tak terawat, padang rumput, perkebunan, pembukaan hutan,

pinggiran jalan, dan seluruh daerah padang gurun. Penyebaranya ada di daerah

tropis yakni tersebar luas di area yang membudidayakannya serta di daerah

11

gurun. Tanaman ini tumbuh dengan baik mulai dari daerah dengan ketinggian

rendah hingga ketinggian di atas 2000 meter di Papua Nugini.

Menurut (Putra, 2015) tanaman B. pilosa dalam sistematika tumbuhan

(taksonomi) diklasifikasikan sebagai berikut:

Kingdom : Plantae

Subkingdom : Tracheobionta

Division : Magnoliopphyta

Class : Magnoliopside

Subclass : Asteridae

Order : Asterales

Family : Asteraceae

Genus : Bidens

Species : Bidens pilosa L.

2.1.2 Morfologi Tanaman Ketul (Bidens pilosa L.)

Menurut (Department of Agriculture, Forestry and Fisheries, 2011)

batang tanaman ini berbentuk tegak, bercabang, persegi, dan tidak berbulu

yang mana ketinggiannya dapat mencapai 120 cm. Ketika musimnya sedang

berlangsung, cabangnya akan menyebar. Cabang utamanya cenderung

memencar dan akarnya akan berada pada simpul yang rendah dan menyentuh

tanah. Tanaman ini memiliki bentuk daun berseberangan dan dinagi menjadi 3

sampai 5 pucuk daun muda dengan garis tepi yang bergerigi. Bentuk tepian dan

akhiran pucuk daunnya mulai dari oval hingga lancip dan di tepi daun terdapat

anak daun berambut.

Gambar 2.1: Tanaman Ketul (Bidens

pilosa L.)

Sumber: (Department of Agriculture,

Forestry and Fisheries, 2011).

12

Bunga pada tanaman ini memiliki bentuk bunganya kecil, berwarna putih

dan kuning, serta diameternya 5 hingga 15 meter. Bunganya menyempit

panjang dan tangkai di ujung batangnya berbentuk tipis. Tiap bunganya

memiliki 4 atau 5 kepala daun bunga yang pendek, lebar dan berwarna putih

dilengkapi dengan banyak bunga kecil berwarna kuning. Bunganya berbunga

di bulan Oktober, namun ada sepanjang tahun terutama di di musim panas dan

musim gugur. Bunganya memiliki organ jantn dan betina yang mana

penyerbukannya dilakukan oleh lebah (Department of Agriculture, Forestry

and Fisheries, 2011).

Buah yang dihasilkan oleh B. pilosa tidak enak, berbulu, dan dapat

menusuk dengan cepat melalui lapisan pakaian. B. pilosa juga memiliki buah

kecil yang kering dan bercabang yang saling mengait. Sedangkan bijinya

berbentuk kecil, berwarna hitam dan tipis dengan sedikit gerutan di salah satu

ujungnya. Bijinya bisa menempel pada pakaian atau bulu binatang. Bijinya

mempunyai 4 sisi, dengan panjang 6 sampai 12 mm dan 2 atau 3 bulu tegak

berduri (Department of Agriculture, Forestry and Fisheries, 2011).

(a)

(b)

(c)

Gambar 2.2 : Tanaman Ketul (Bidens pilosa L.) (a) Daun, (b) Bunga, (c) Biji

dan Buah

Sumber : (Department of Agriculture, Forestry and Fisheries, 2011).

13

2.1.3 Kandungan Senyawa Kimia Tanaman Ketul (Bidens pilosa L.)

Menurut (Adedapo 2011 dalam Kabany dan Ibrahim, 2013) dalam

ekstrak air daun B. pilosa pada analisis proksimat menunjukkan bahwa, daun

tanaman mengandung persentase kadar air yang cukup, kadar abu, minyak

mentah, protein, lemak kasar, serat kasar dan karbohidrat, sedangkan analisis

unsur menunjukkan bahwa daunnya mengandung natrium, kalium, kalsium,

magnesium, besi, seng, fosfor, tembaga, mangan, dan nitrogen. Komposisi

kimia dalam mg/100 g.d.w menunjukkan adanya alkaloid, saponin, dan fitat.

Selain itu menurut penelitian (Jun Yi et al, 2016) daun tanaman ini

mengandung senyawa kimia yaitu flavonoid, glikosida flavonoid, fenol dan

phenylpropanoids. Menurut (Sukiyono, 2010) (Bidens pilosa L.) mengandung

senyawa kimia diantaranya alkaloid, saponin, zat pahit, minyak atsiri dan zat

samak. Selain itu senyawa lain yang terkandung dalam tanaman ini adalah

terpen, fenilpropanoid, lemak dan benzoid (Setiawati et al, 2008).

2.1.4 Manfaat Tanaman Ketul (Bidens pilosa L.)

Umumnya tanaman B. pilosa di Indonesia dimanfaatkan sebagai seduhan

dari akar-akarnya yaitu sebagai obat mata. Tumbuhan dan daun muda

digunakan untuk menyembuhkan sakit gigi dan dapat digunakan sebagai obat

borok (Sastroamidjojo, 2001). Di Amerika Selatan dan Amerika Tengah

(seperti Peru, Meksiko dan Brazil), B. pilosa digunakan untuk mengobati

penyakit kaki dan mulut, angina,diabetes, gangguan menstruasi, hepatitis,

radang tenggorokan, faringitis, wasir, sebagai obat kumur untuk mulut lecet,

hepatitis, gangguan saraf, cacingan, inflamasi/radang internal dan eksternal,

sakit gigi, sakit kepala, luka, laserasi, sakit perut karena keracunan makanan,

14

sakit tenggorokan dan retensi air (Taylor, 2005; Duke, 1997 dalam

Ezeonwumelu, 2011).

Di Negara-negara berkembang, khususnya Negara Columbia yang

berpenghasilan rendah seperti petani, mereka memanfaatkan tanaman B. pilosa

untuk obat infeksi. Tanaman ini diolah sebagai dekoksi dan getahnya untuk

mengobati infeksi saluran pernafasan dan dapat diterapkan langsung pada

permukaan luka yang terinfeksi dan dapet menyembuhkan luka (Gonzales,

1980 dalam Arthur et al, 2012). Tanaman ini di Brazil dan Cina digunakan

untuk mengobati diabetes, peradangan, enteritis, disentri, faringitis, diuretic,

antirematik, disentri, faringitis dan antirematik (Brandao et al, 1997 dalam

Arthur et al, 2012).

Flavonoid adalah senyawa yang terdiri dari 15 atom karbon seperti pada

gambar 2.3 yang umumnya tersebar di dunia tumbuhan. Flavonoid hampir

terdapat pada semua bagian tumbuhan termasuk buah, akar, daun dan kulit

batang. Manfaat flavonoid antara lain untuk melindungi struktur sel,

meningkatkan efektivitas vitamin C, antiinflamasi dan antibiotik (Haris, 2011

dalam Lumbessy, 2013). Menurut penelitian (Kurniasari, 2006 dalam

Lumbessy, 2013) menyatakan bahwa sejumlah tanaman obat mengandung

flavonoid telah dilaporkan yaitu memiliki antioksidan, antibakteri, antivirus,

antiradang, antialergi dan antikanker.

15

Gambar 2.3 : Kerangka C6- C3-C6 Flavonoid

Sumber: (Redha, 2010)

Flavonoid memiliki fungsi sebagai anti oksidan sehingga sangat baik

untuk pencegahan kanker. Manfaat flavonoid antara lain adalah untuk

melindungi struktur sel, antiinflamasi dan antibiotic (Bames dkk, 2004 dalam

Fridiana, 2012). flavonoid dapat mengahambat fosfodiesterase, flavonoid lain

menghambat aldoreduktase, monoamina oksidase, protein kinase, DNA

polymerase dan lipooksigenase. Penghambat lipooksigenase merupakan

langkah pertama pada jalur yang menuju hormone eicosanoid seperti

prostaglandin dan tromboksan. Flavonoid dapat mengurangi pembekuan darah

jika dipakai pada kulit dan menghambat perdarahan (Robbinson, 1995 dalam

Fridiana, 2012).

Mekanisme flavonoid dalam menghambat terjadinya radang melalui dua

cara yaitu menghambat asam arakhidonat dan sekresi enzim lisosom dari

endothelial sehingga menghambat proliferasi dan eksudasi dari proses radang.

Terhambatnya pelepasan asam arakhidonat dari sel inflamasi akan

menyebabkan kurang tersedianya substrat arakhidonat bagi jalur

sikloolsigenase dan jalur lipooksigenase. Lisosom mengandung protease dan

enzim lain. Protease lisosom merupakan salah satu mediator kimiawi inflamasi

16

yang memiliki aktivitas enzimatis langsung sehingga penghambatan enzim ini

dapat mengurangi inflmasi (Vinay dkk, 2007 dalam Fridiana, 2012).

Saponin adalah jenis glikosida seperti pada gambar 2.4 yang banyak

ditemukan dalam tumbuhan. Saponin memiliki karakteristik berupa buih.

Sehingga ketika direaksikan dengan air dan dikocok maka akan terbentuk buih

yang dapat bertahan lama (Wijaya, 2013). Terdapat 2 jenis saponin yaitu

steroid dan saponin tripernoid, saponin steroid tersusun atas inti steroid (C27)

dengan melekul karbohidrat. Saponin steroid dihidrolisis menghasilkan suatu

aglikon yang dikenal sebagai saraponin. Saponin triterpenoid tersusun atas inti

triterpenoid dengan molekul karbohidrat, dan jika dihidrolisis menghasilkan

suatu aglikon yang disebut sapogenin (Mien, 2015).

Gambar 2.4: Kerangka Sapogenin

Sumber: (Gunawan, 2004)

Efek saponin berdasarkan sistem fisiologis meliputi aktivitas pada sistem

kardiovaskular dan aktivitas pada sifat darah (hemolisis, koagulasi, kolesterol),

sistem saraf pusat, sistem endokrin, dan aktivitas lainnya (Wijaya, 2013).

Beberapa saponin bekerja sebagai antimikroba juga. Diantara banyak efek yang

dilaporkan, efek yang ditunjang dengan baik adalah bukti ialah penghambatan

jalur ke steroid ginjal, tetapi senyawa ini menghambat juga dehydrogenase

jalur prostaglandin (Fridiana, 2012).

17

Saponin bermanfaat untuk mempengaruhi kolagen dalam tahap awal

perbaikan jaringan. Setiap jenis luka mengalami peradangan, yang merupakan

reaksi tubuh terhadap cedera. Salah satu penyebab paling umum dari

peradangan adalah disebabkan oleh mikroba yang dapat menghambat produksi

jaringan bekas luka yang berlebihan. Saponin bersifat sebagai antimikroba

yang menghambat pertumbuhan mikroba tersebut sehingga mempercepat

penyembuhan luka (Mien dkk, 2015).

2.1.5 Tanaman Ketul (Bidens pilosa L.) sebagai penyembuh luka sayat

Penyembuhan luka sayat menggunakan dosis 250 gram bubuk daun B.

pilosa yang diekstraksi dengan menggunakan maserasi dingin dengan

kandungan 90% etanol (750 ml) selama 72 jam (Edefia et al, 2015). Ekstrak

diterapkan pada luka dalam sebanyak 3 tetes yang cukup untuk menutupi

seluruh area dan ini dilakukan satu kali sehari sampai luka mengalami proses

penyembuhan. Penggunaan ekstrak untuk penyembuhan luka yaitu

menggunakan konsentrasi 5 % dari ekstrak yang telah disiapkan (Kakki et al,

2016). Berdasarkan penelitian sebelumnya peneliti menggunakan konsentrasi

5%, 7,5%, 10%,12,5 % dan 15% yaitu dengan tingkatan pada masing-masing

konsentrasi 2,5%.

Pada penelitian ini, tikus akan dibuat luka sayat pada masing-masing kulit

punggungnya dengan panjang 2 cm dengan penyayatan sampai terlihat

jaringan subkutan. Flavonoid yang terkandung dalam ekstrak daun B. pilosa

merupakan senyawa aktif yang dapat berperan dalam proses penyembuhan luka

bakar karena dapat menghambat pertumbuhan bakteri pada jaringan hidup,

meningkatkan jumlah fibroblast dan meningkatkan produksi IL-2 dan poliferasi

18

(Haris, 2011 dalam Dewantari & Sugihartini, 2015). Selain itu flavonoid dari

ekstrak daun B. pilosa adalah auron dan chalcon memiliki sifat anti-inflmasi.

dengan adanya asetilen pada senyawa flavonoid dapat mengobati peradangan

dan sebagai anti-bakteri pada luka yang dapat mematikan bakteri S. aureus

yang dapat menyebabkan infeksi pada luka (Bartolome et al, 2013). Sehingga

senyawa flavonoid dalam ekstrak daun B. pilosa mempercepat penyembuhan

luka sayat.

2.2 Tinjauan Tentang Kulit

2.2.1 Definisi Kulit

Menurut (Effendi, 1999) kulit adalah organ tubuh terluas yang menutupi

otot dan mempunyai peranan dalam homeostasis. Kulit mempunyai fungsi

sebagai pelindung tubuh dari berbagai trauma dan merupakan penahan

terhadap bakteri, virus dan jamur. Kehilangan panas dan penyimpanan panas

diatur oleh vasodilatasi atau sekresi kelenjar-kelenjar keringat dan tanpa

adanya kulit, maka cairan tubuh yang penting akan menguap dan elektrolit

tubuh akan hilang dalam beberapa waktu.

Menurut (Majid dan Prayogi, 2013) kulit merupakan organ tubuh paling

luar dan membatasi bagian dalam tubuh dari lingkungan luar. Luas kulit pada

orang dewasa sekitar 1,5 m2 dan beratnya sekitar 15 % dari berat badan secara

keseluruhan. Kulit merupakan organ terbesar pada tubuh, mencakup 12-15%

berat tubuh. Sistem integumen berperan dalam homeostasis, proteksi,

pengaturan suhu, reseptor, sintesis biokimia dan penyerapan zat.

19

2.2.2 Anatomi Kulit

1. Epidermis

Menurut (Majid dan Prayogi, 2013) lapisan epidermis terdiri dari

empat lapisan, seperti pada gambar 2.5 berikut:

Gambar 2.5 : Anatomi Kulit

Sumber: (McGrath et al, 2010)

a. Lapisan basal/ stratum germinativum

1) Terdiri dari sel-sel kuboid yang tegak lurus terhadap dermis.

2) Tersusun sebagai tiang pagar atau palisade.

3) Lapisan terbawah dari epidermis

4) Terdapat melanosit yaitu sel densritik yang membetuk

melanin yang berfungsi untuk melindungi kulit dari sinar

matahari.

b. Lapisan malphigi/stratum spinosum

Lapisan malphigi merupakan:

1) Lapisan epidermis yang paling tebal.

2) Terdiri dari sel polygonal.

20

3) Sel-sel mempunyai protoplasma yang menonjol yang terlihat

seperti duri.

c. Lapisan granular/ stratum granulosum

Stratum granulosum terdiri dari butir-butir granula keratohialin

yang basofilik.

d. Lapisan tanduk/korneum

Lapisan tanduk (korneum) terdiri dari 20-25 lapis sel tanduk

tanpa inti.

2. Dermis

Dermis merupakan lapisan di bawah epidermis, yang terdiri dari

jaringan ikat yang mempunyai dua lapisan yaitu pars papilaris, yang

merupakan sel fibroblast yang berfungsi memproduksi kolagen dan

retikularis yang terdapat banyak pembuluh darah, limfe, akar rambut,

kelenjar keringat dan kelenjar sebasea (Majid dan Prayogi, 2013).

3. Subdermis/hipodermis

Hipodermis adalah lapisan kulit yang terdalam. Lapisan ini

terutamanya adalah jaringan adipose, yang memberikan bantalan

antara lapisan kulit dan struktur internal seperti otot dan tulang.

Lapisan ini memungkinkan mobilitas kulit, pembentuk kontur tubuh,

dan pelindung tubuh (Effendi, 1999).

2.2.3 Fisiologi Kulit

Menurut (Majid dan Prayogi, 2013) kulit memiliki fungsi, yang berguna

dalam menjaga homeostasis tubuh. Fungsi-fungsi tersebut dapat dibedakan

21

menjadi fungsi proteksi, absorpsi, ekskresi, persepsi, pengaturan suhu tubuh

(termoregulasi), dan pembentukan vitamin D.

1. Fungsi Proteksi

Kulit melakukan proteksi terhadap tubuh dengan berbagai cara

yaitu:

a. Keratin melindungi kulit dari mikroba, abrasi (gesekan), panas,

dan zat kimia. Keratin merupakan struktur yang keras, kaku, dan

tersusun rapi dan erat seperti batu bata di permukaan kulit.

b. Lipid yang dilepaskan mencegah evaporasi air dari permukaan

kulit dan dehidrasi; selain itu juga mencegah masuknya air dari

lingkungan luar tubuh melalui kulit.

c. Sebum yang berasal dari kelenjar sebasea mencegah kulit dan

rambut dari kekeringan serta mengandung zat bakterisid yang

berfungsi membunuh bakteri di permukaan kulit.

d. Pigmen melanin melindungi dari efek sinar ultraviolet yang

berbahaya. Pada stratum basal, sel-sel melanosit melepaskan

pigmen melanin ke sel-sel di sekitarnya.

e. Sel langerhans, berperan sebagai sel imun yang protektif yang

merespresentasikan antigen terhadap mikroba; dan sel fagosit yang

bertugas mamfagositosis mikroba yang masuk melewati keratin

dan sel langerhans.

2. Fungsi Absorbsi

Kemampuan absorbsi kulit dipengaruhi oleh tebal tipisnya kulit,

hidrasi, kelembaban, metabolisme dan jenis vehikulum. Penyerapan

22

dapat berlangsung melalui celah antar sel-sel epidermis daripada

yang melalui muara kelenjar.

3. Fungsi Ekskresi

Kulit juga berfungsi dalam ekskresi dengan perantaraan dua kelenjar

eksokrinnya, yaitu kelenjar sebasea dan kelenjar keringat.

a. Kelenjar Sebasea

Kelenjar sebasea merupakan kelenjar yang melekat pada folikel

rambut dan melepaskan lipid yang dikenal sebagai sebum menuju

lumen. Sebum dikeluarkan ketika muskulus arektor pili

berkontraksi menekan kelenjar sebasea sehingga sebum

dikeluarkan ke folikel rambut lalu ke permukaan kulit.

b. Kelenjar Keringat

Walaupun stratum korneum kedap air, namun sekitar 400 ml air

dapat keluar dengan cara menguap melalui kelenjar keringat tiap

hari. Selain mengeluarkan air dan panas, keringat juga merupakan

sarana untuk mengekskresikan garam, karbondioksida, dan dua

molekul organik hasil pemecahan protein yaitu amoniak dan urea

(Majid dan Prayogi, 2013).

4. Fungsi Persepsi

Kulit mengandung ujung-ujung saraf sensorik di dermis dan subkutis.

Untuk merespon terhadap rangsangan panas diperankan oleh badan-

badan Ruffini di dermis dan subkutis, sedangkan terhadap dingin

diperankan oleh badan-badan Krause yang terletak di dermis, badan

taktil Meissner terletak di papila dermis berperan terhadap rabaan,

23

demikian pula badan Merkel Ranvier yang terletak di epidermis.

Selanjutnya terhadap tekanan diperankan oleh badan Paccini di

epidermis (Majid dan Prayogi, 2013).

5. Fungsi Pengaturan Suhu Tubuh

Kulit berkontribusi terhadap pengaturan suhu tubuh (termoregulasi)

melalui dua cara yaitu: pengeluaran keringat dan menyesuaikan aliran

darah di pembuluh kapiler (Majid dan Prayogi, 2013).

6. Fungsi Pembentukan Vitamin D

Sintesis vitamin D dilakukan dengan mengakstivasi prekursor 7-

dihidroksi kolesterol dengan bantuan sinar ultraviolet. Enzim di hati

dan ginjal lalu memodifikasi prekursor dan menghasilkan calcitriol,

bentuk vitamin D yang aktif. Calcitriol adalah hormon yang berperan

dalam mengabsorpsi kalsium makanan dari traktus gastrointestinal

ke dalam pembuluh darah (Majid dan Prayogi, 2013).

2.3 Inflamasi

2.3.1 Definisi Inflamasi

Inflamasi adalah jaringan tubuh yang mengalami cedera, selama hospes

tetap hidup memiliki respon yang menyolok pada jaringan hidup yang berada

di sekitarnya. Respon cedera tersebut dinamakan peradangan. Peradangan

adalah reaksi vascular yang hasilnya zat-zat terlarut, dan sel-sel dari sirkulasi

darah ke jaringan-jaringan interstitial pada daerah cedera atau nekrosis (Price

& Wilson, 1992 dalam Hidayat, 2010).

24

Inflamasi adalah usaha protektif dari suatu organisme untuk

menghilangkan stimuli yang dapat merugikan sekaligus mengawali proses

dalam penyembuhan suatu jaringan (Denko, 1992 dalam Hidayat, 2010).

Inflamasi ini diperlukan dalam penyembuhan proses luka, jika inflamasi tidak

dicegah dapat menjadi sebuah awalan dari beberapa penyakit seperti vasomotor

rhinnorhoea, rheumatoid arthritis dan atherosclerosis (Henson & Murphy,

1989 dalam Hidayat, 2010).

Respon pertahanan pada tubuh terhadap invasi benda asing, kerusakan

jaringan atau keduanya disebut inflamasi. Penyebab terjadinya inflamasi antara

lain mikroorganisme, trauma mekanis, zat-zat kimia, dan pengaruh fisika.

Tujuan akhir dari respon inflamasi adalah menarik protein plasma dan fagosit

ke tempat yang mengalami cedera atau terinvasi agar keduanya dapat

mengisolasi, menghancurkan atau menginaktifkan agen yang masuk,

membersihkan debris dan mempersiapkan jaringan untuk proses penyembuhan

luka (Corwin, 2008 dalam Apriani, 2011).

2.3.2 Klasifikasi Inflamasi

Inflamasi secara umum dibagi menjadi 3 fase, yakni : inflamasi akut,

respon imun, dan inflamasi kronis. Inflamasi akut merupakan respon awal

terhadap cedera jaringan yang didahului oleh pembentukan imun (Katzung,

2011). Fase ini ditandai dengan adanya vasodilatasi lokal dan peningkatan

permeabilitas kapiler. Respon imun terjadi apabila sejumlah sel yang mampu

menimbulkan kekebalan diaktifkan untuk merespon organisme asing (Vogel,

2002 dalam Hidayat, 2010).

25

Inflamasi kronik merupakan inflamasi yang berlangsung lebih dari dua

minggu dan dapat timbul setelah inflamasi akut (Corwin, 2008 dalam Apriani,

2011). Inflamasi kronil melibatkan keluarnya sejumlah mediator yang tidak

begitu berperan dalam respon akut seperti interferon, platelet-derived growth

factor (PDGF) serta interleukin (Katzung, 2001 dalam Hidayat, 2010). Pada

fase ini terjadi degenerasi jaringan dan fibrosis (Vogel, 2002).

2.3.3 Penyebab dan Gejala

Penyebab inflamasi dapat ditimbulkan oleh rangsangan fisik, kimiawi,

biologis (infeksi akibat mikroorganisme atau parasite), dan kombinasi ketiga

agen tersebut (Mutschler, 1986 dalam Hidayat, 2010). Gejala respon inflamasi

meliputi, rubor (kemerahan), kalor (panas), dolor (nyeri), tumor

(pembengkakan lokal) dan function laesa (Corwin, 2008 dalam Apriani, 2011).

Rubor (kemerahan), biasanya merupakan hal pertama yang terlihat di

daerah yang mengalami peradangan. Waktu reaksi peradangan mulai timbul,

maka arteriola yang mensuplai daerah tersebut melebar, sehingga lebih banyak

darah yang mengalir ke dalam mikrosirkulas lokal. Keadaan inilah yang

bertanggung jawab atas warna merah lokal karena peradangan akut (Hidayat,

2010). Kalor (panas), berjalan sejajar dengan kemerahan disebabkan oleh

bertambahnya pengumpulan darah (banyak darah yang disalurkan), atau

mungkin karena pirogen yang mengganggu pusat pengaturan panas pada

hipotalamus (Fridiana, 2012).

Dolor (nyeri) disebabkan oleh pembengkakan dan pelepasan mediator-

mediator kimia diantaranya bradikinin, prostaglandin (Pringgoutomo et al,

2000 dalam Sukaina 2013). Gejala yang paling terlihat dari peradangan akut

26

mungkin adalah tumor (pembengkakan lokal). Pembengkakan timbul akibat

cairan dan sel-sel dari sirkulasi darah ke jaringan-jaringan interestial.

Campuran cairan dan sel yang tertimbun di daerah peradangan disebut eksudat

(Hidayat, 2010).

Fuctio laesa yaitu adanya perubahan, gangguan, kegagalan fungsi dari

organ yang mengalami peradangan (Sander, 2003 dalam Hidayat, 2010).

Hilangnya funsi disebabkan karena penumpukan cairan pada tempat cedera

jaringan dank arena rasa nyeri, yang mengurangi mobilitas pada daerah yang

terkena (Kee dan Hayer, 1996). Berkurangnya fungsi pada daerah yang

bengkak dan sakit disertai adanya sirkulasi yang abnormal akibat penumpukan

dan aliran darah yang meningkat juga menghasilkan lingkungan lokal yang

abnormal sehingga tentu saja jaringan yang terinflamasi tersebut tidak

berfungsi secara normal (Price dan Wilson, 2005 dalam Fridiana, 2013).

2.3.4 Mekanisme terjadinya Inflamasi

Proses Inflamasi merupakan suatu proses yang komplek yang melibatkan

berbagai macam sel, misalnya dalam beberapa jam sel-sel leukosit yang

berfungsi sebagai sel pertahanan tubuh menempel ke sel endotel pembuluh

darah di daerah inflamasi dan bermigrasi melewati dinding kapiler masuk ke

rongga jaringan yang disebut extravasasi. Keluarnya berbagai factor plasma

seperti immunoglobulin, komplemen, system aktivasi kontak-koagulasi-

fibrinolitik, sel-sel leukosit seperti neutrophil, eosinofil, basophil, limfosit,

momosit yang berinteraksi satu sama lain dalam proses inflamasi. Sel system

imun nonspesifik seperti neutrophil, basophil, eosinofil, dan monosit ini

diproduksi dan disimpan di sumsum tulang dan diedarkan di dalam darah. Pada

27

keadaan normal, leukosit hanya sedikit melekat pada sel endotel, tetapi pada

inflamasi adhesi antara leukosit dan sel endotel ini sangat ditingkatkan

sehingga meningkatkan sel mediator inflamasi ke dalam jaringan (Mansjoer,

1999 dalam Fridiana, 2013).

2.4 Luka

2.4.1 Definisi Luka

Luka adalah terputusnya kontinuitas suatu jaringan oleh karean adanya

cedera atau pembedahan (Majid & Prayogi, 2013). Luka merupakan suatu

keadaan yang ditandai dengan rusaknya berbagai jaringan tubuh. Terkoyaknya

jaringan ikat, otot, serta kulit akibat suatu sebab sering diikuti dengan rusaknya

jaringan syaraf dan robeknya pembuluh darah yang mengakibatkan pendarahan

(Abdurrahmat, 2014).

2.4.2 Klasifikasi Luka

Luka yang ditimbulkan oleh kecelakaan ataupun oleh operasi sangat

beragam bentuknya, namun demikian, luka dapat kita klasifikasikan

berdasarkan dua hal utama yaitu berdasarkan proses terjadinya luka

(mechanism of injury) serta derajat terkontaminasinya suatu luka oleh berbagai

mikroorganisme (degree of contamination) (Abdurrahmat, 2014).

1. Klasifikasi berdasarkan Mechanism of Injury

Berdasarkan klasifikasi mechanism of injury maka luka terbagi

menjadi atas:

a. Luka iris (sayat) yaitu jenis luka yang diakibatkan oleh irisan

benda tajam misalnya pisau. Jenis luka ini sering menimbulkan

28

rusaknya pembuluh-pembuluh yang cukup besar bila irisannya

cukup dalam. Bila keadaan luka ini aseptis maka luka jenis ini

akan segera tertutup setelah sebelumnnya terjadi penutupan

pembuluh darah dengan meninggalkan bekas berbentuk sutura.

b. Luka memar yaitu jenis luka yang diakibatkan oleh benturan

tubuh dengan benda tumpul yang mungkin akan diikuti oleh

kerusakan bagian dalam tubuh yang lunak, kerusakan tulang,

pendarahan atau pembengkakan.

c. Luka terkoyak yaitu jenis luka yang memiliki kontur tidak

menentu, bergerigi serta cukup dalam sehingga banyak jaringan

tubuh yang rusak. Luka jenis ini bisa disebabkan oleh pecahan

kaca atau mata kail.

d. Luka bocor yaitu jenis luka yang menimbulkan lubang kecil di

permukaan kulit tetapi menembus tubuh cukup dalam, contohnya

luka yang ditimbulkan oleh tusukan pisau atau peluru.

e. Luka gores yaitu jenis luka yang tidak terlalu dalam tetapi

memiliki permukaan luka yang sangat lebar, biasanya terjadi

akibat tergoresnya kulit pada permukaan yang kasar. Pada luka

jenis ini pembuluh-pembuluh yang rusak hanya yang berada di

bagian perifer.

f. Luka bakar yaitu jenis luka yang ditimbulkan akibat terbakarnya

bagian tubuh. Jenis luka dibedakan menjadi luka bakar ketebalan

parsial yaitu bila yang terbakar hanya sampai pada jaringan

29

epidermis sedangkan jaringan dermis tetap utuh dan tingkatan di

atasnya ialah luka bakar total dimana sebagian dermis ikut hilang.

2. Klasifikasi berdasarkan Degree of Contamination

Sedangkan berdasarkan klasifikasi Degree of Contamination, maka

luka terbagi atas:

a. Clean wound artinya tidak terdapat infeksi oleh mikroorganisme

apapun terhadap luka tersebut. Kemungkinan untuk terjadi

infeksi pada luka jenis ini hanya berkisar antara 1-5% dan

biasanya luka tersebut akan sembuh secara cepat dengan

meninggalkan bekas berupa sutura.

b. Clean-contaminated wound adalah jenis luka yang hanya

terkontaminasi oleh jenis bakteri tertentu yang biasanya ada pada

luka. Kemungkinan infeksi pada luka jenis ini berkisar antara 3-

11%.

c. Contaminated wound ialah jenis luka yang terbuka, segar, taj

disengaja atau luka operasi dengan teknik yang aseptis atau

adanya pembukaan pada saluran cerna. Kemungkinan terjadi

infeksi pada luka jenis ini ialah 10-17%.

d. Dirty wound ialah jenis luka yang terjadi pada lingkungan yang

sudah terkontaminasi oleh berbagai bakteri, termasuk juga luka

akibat pelaksanaan operasi di tempat yang tidak steril, misalnya

operasi darurat di lapangan. Kemungkinan terjadi infeksi lebih

dari 27%.

30

2.4.3 Penyembuhan Luka Sayat

Luka akan sembuh sesuai dengan tahapan yang spesifik dimana bisa

terjadi tumpang tindih. Proses penyembuhan luka tergantung pada jenis

jaringan yang rusak serta penyebab luka tersebut. Proses penyembuhan luka

terdiri dari 3 fase yaitu:

1. Fase inflamasi

Gambar 2.6: Fase Inflamasi

Sumber:(http://www.bumc.bu.edu/www/Busm/sg/Images/

suturing/phase2.gif)

Adalah fase yang terjadi pada hari ke-0 sampai hari ke-5. Respon

segera setelah terjadi luka atau pembekuan darah atau untuk

mencegah kehilangan darah. Fase inflamasi ditandai dengan adanya

respon vaskuler dan seluler yang terjadi akibat perlukaan yang terjadi

pada jaringan kulit. Pada fase ini terjadi hemoestasisi dan fase akhir

terjadi fagositosis. Lama fase ini bisa singkat jika terjadi infeksi

(Majid & Prayogi, 2013).

31

2. Fase proliferasi atau epitelisasi

Gambar 2.7: Fase Proliferasi

Sumber:(http://www.bumc.bu.edu/www/Busm/sg/Images/

suturing/phase2.gif)

Terjadi pada hari ke-4 sampai hari ke-14. Disebut juga dengan fase

granulasi oleh karena adanya pembentukan jaringan granulasi pada

luka atau luka nampak merah segar dan mengkilat. Jaringan granulasi

terdiri dari kombinasi antara firoblasts, sel inflamasi, pembuluh darah

yang baru, fibronektin dan hyularonic acid. Epitalisasi terjadi pada

24 jam pertama ditandai dengan penebalan lapisan epidermis pada

tepian luka, sedangkan pada luka insisi epitalisasi terjadi pada 48 jam

pertama (Majid & Prayogi, 2013).

3. Fase maturasi atau remodeling

Berlangsung dari beberapa minggu sampai dengan 2 tahun.

Terbentuknya kolagen yang baru yang mengubah bentuk luka serta

peningkatan kekuatan jaringan (tensile strength). Terbentuknya

jaringan parut sekitar 50-80% sama kuatnya dengan jaringan

sebelumnya serta terdapat pengurangan secara bertahap pada aktivitas

selular dan vaskularisasi jaringan yang mengalami perbaikan (Majid

& Prayogi, 2013).

32

Gambar 2.8: Fase Maturasi

Sumber:(http://www.bumc.bu.edu/www/Busm/sg/Images/

suturing/phase2.gif)

Menurut (Tarigan, 2007) menjelaskan bahwa proses penyembuhan

luka meliputi dua komponen utama yaitu regenerasi dan perbaikan

(repair). Regenerasi adalah pergantian sel-sel yang hilang dan jaringan

dengan sel-sel yang bertipe sama, sedangkan repair adalah tipe

penyembuhan yang biasanya menghasilkan terbentuknya scar. Repair

merupakan proses yang lebih kompleks daripada regenerasi. Penyembuhan

repair terjadi oleh intention primer, sekunder dan tersier.

a. Intension primer

Fase-fase dalam penyembuhan Intension primer :

1. Fase Inisial (3-5 hari)

2. Sudut insisi merapat, migrasi sel-sel epitel, mulai pertumbuhan sel

3. Fase granulasi (5 hari – 4 minggu)

Fibroblas bermigrasi ke dalam bagian luka dan mensekresi kolagen.

Selama fase granulasi luka berwarna merah muda dan mengandung

pembuluh darah. Tampak granula-granula merah. Luka berisiko

dehiscence dan resisten terhadap infeksi. Epitelium permukaan pada

tepi luka mulai terlihat. Dalam beberapa hari lapisan epitelium yang

tipis bermigrasi menyebrangi permukaan luka. Epitel menebal dan

33

mulai matur dan luka merapat. Pada luka superficial, reepitelisasi

terjadi selama 3 – 5 hari.

4. Fase kontraktur scar ( 7 hari – beberapa bulan )

Serabut-serabut kolagen terbentuk dan terjadi proses remodeling.

Pergerakan miofibroblast yang aktif menyebabkan kontraksi area

penyembuhan, membentu menutup defek dan membawa ujung kulit

tertutup bersama-sama. Skar yang matur selanjutnya terbentuk. Skar

yang matur tidak mengandung pembuluh darah dan pucat dan lebih

terasa nyeri daripada fase granulasi.

b. Intension sekunder

Adalah luka yang terjadi dari trauma, elserasi dan infeksi dan memiliki

sejumlah besar eksudat dan luas, batas luka ireguler dengan kehilangan

jaringan yang cukup luas menyebabkan tepi luka tidak merapat. Reaksi

inflamasi dapat lebih besar daripada penyembuhan primer.

c. Intension Tersier

Adalah intension primer yang tertunda. Terjadi karena dua lapisan

jaringa granulasi dijahit bersama-sama. Ini terjadi ketika luka yang

terkontaminasi terbuka dan dijahit rapat setelah infeksi dikendalikan.

Ini juga dapat terjadi ketika luka primer mengalami infeksi, terbuka dan

dibiarkan tumbuh jaringan granulasi dan kemudian dijahit. Intension

tersier biasanya mengakibatkan skar yang lebih luas dan lebih dalam

daripada intension primer atau sekunder.

34

2.4.4 Faktor yang Mempengaruhi Penyembuhan Luka

Menurut (Baroroh, 2011) factor yang mempengaruhi penyembuhan luka

diantaranya adalah:

1. Usia

Anak dan dewasa penyembuhannya lebih cepat daripada orang tua.

Orang tua lebih sering terkena penyakit kronis, penurunan fungsi hati

dapat mengganggu sintesis dari faktor pembekuan darah.

2. Nutrisi

Penyembuhan menempatkan penambahan pemakaian pada tubuh.

Klien memerlukan kaya protein, karbohidrat, lemak, vitamin C dan A,

dan mineral seperti Fe, Zn. Klien kurang nutrisi memerlukan waktu

untuk memperbaiki status nutrisi mereka setelah pembedahan jika

mungkin. Klien yang gemuk meningkatkan resiko infeksi luka dan

penyembuhan lama karena supply darah jaringan adipose tidak

adekuat.

3. Infeksi

Infeksi luka menghambat penyembuhan. Bakteri sumber penyebab

infeksi. Sirkulasi (hipovolemia) dan Oksigenasi Sejumlah kondisi fisik

dapat mempengaruhi penyembuhan luka. Adanya sejumlah besar

lemak subkutan dan jaringan lemak (yang memiliki sedikit pembuluh

darah). Pada orang-orang yang gemuk penyembuhan luka lambat

karena jaringan lemak lebih sulit menyatu, lebih mudah infeksi, dan

lama untuk sembuh. Aliran darah dapat terganggu pada orang dewasa

dan pada orang yang menderita gangguan pembuluh darah perifer,

35

hipertensi atau diabetes millitus. Oksigenasi jaringan menurun pada

orang yang menderita anemia atau gangguan pernapasan kronik pada

perokok. Kurangnya volume darah akan mengakibatkan vasokonstriksi

dan menurunnya ketersediaan oksigen dan nutrisi untuk penyembuhan

luka.

4. Hematoma

Hematoma merupakan bekuan darah. Seringkali darah pada luka

secara bertahap diabsorbsi oleh tubuh masuk kedalam sirkulasi. Tetapi

jika terdapat bekuan yang besar hal tersebut memerlukan waktu untuk

dapat diabsorbsi tubuh, sehingga menghambat proses penyembuhan

luka.

5. Benda asing

Benda asing seperti pasir atau mikroorganisme akan menyebabkan

terbentuknya suatu abses sebelum benda tersebut diangkat. Abses ini

timbul dari serum, fibrin, jaringan sel mati dan lekosit (sel darah

merah), yang membentuk suatu cairan yang kental yang disebut

dengan nanah (“Pus”).

6. Iskemia

Iskemia merupakan suatu keadaan dimana terdapat penurunan suplai

darah pada bagian tubuh akibat dari obstruksi dari aliran darah. Hal ini

dapat terjadi akibat dari balutan pada luka terlalu ketat. Dapat juga

terjadi akibat faktor internal yaitu adanya obstruksi pada pembuluh

darah itu sendiri.

36

7. Diabetes

Hambatan terhadap sekresi insulin akan mengakibatkan peningkatan

gula darah, nutrisi tidak dapat masuk ke dalam sel. Akibat hal tersebut

juga akan terjadi penurunan protein-kalori tubuh.

8. Keadaan Luka

Keadaan khusus dari luka mempengaruhi kecepatan dan efektifitas

penyembuhan luka. Beberapa luka dapat gagal untuk menyatu.

9. Obat

Obat anti inflamasi (seperti steroid dan aspirin), heparin dan anti

neoplasmikmempengaruhi penyembuhan luka. Penggunaan antibiotik

yang lama dapat membuat seseorang rentan terhadap infeksi luka.

a. Steroid : akan menurunkan mekanisme peradangan normal tubuh

terhadap cedera

b. Antikoagulan : mengakibatkan perdarahan

c. Antibiotik : efektif diberikan segera sebelum pembedahan untuk

bakteri penyebab

kontaminasi yang spesifik. Jika diberikan

37

2.5 Tinjauan tentang Tikus (Rattus sp)

Menurut (Suckow et al, 2006) R. norvegicus dalam sistematika

diklasifikasikan sebagai berikut:

Kingdom : Animalia

Filum : Chordata

Klas : Mammalia

Ordo : Rodentia

Famili : Muridae

Genus : Rattus

Spesies : Rattus norvegicus

Tikus (Rattus sp) termasuk binatang pengerat yang merugikan dan

termasuk hama terhadap tanaman petani. Selain menjadi hama yang merugikan,

hewan ini juga membahayakan kehidupan manusia. Sebagai pembawa penyakit

yang berbahaya, hewan ini dapat menularkan penyakit seperti wabah pes dan

leptospirosis. Tikus yang paling terkenal ialah tikus berwarna coklat, yang

menjadi hama pada usaha-usaha pertanian dan pangan yang disimpan di gudang.

Tikus albino (tikus putih) banyak digunakan sebagai hewan percobaan di

laboratorium (Akbar, 2010).

Tikus putih (Rattus norvegicus) memiliki dua macam strain yaitu Spague-

Dewley atau disebut S.D, ukuran tubuhnya cukup besar dan sangat jinak. Strain

yang lain yaitu Wistar, dikembangkan oleh Weistar Institute of Biology and

Anantomy, dikembangkan secara luas digunakan untuk penelitian laboratorium.

Ukuran tubuhnya lebih kecil dari pada Sprague-Dawley dan sangat mudah

Gambar 2.9 Tikus Putih (Rattus norvegicus)

Sumber: Dokumen Pribadi, 2016

38

menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Sifatnya sangat jinak asalkan tidak

diganggu (Astuti, 1986).

Tikus putih memiliki beberapa sifat yang menguntungkan sebagai hewan

uji penelitian di antaranya perkembangbiakan cepat, mempunyai ukuran yang

lebih besar dari mencit, mudah dipelihara dalam jumlah yang banyak. Tikus putih

juga memiliki ciri-ciri morfologis seperti albino, kepala kecil, dan ekor yang lebih

panjang dibandingkan badannya, pertumbuhannya cepat, temperamennya baik,

kemampuan laktasi tinggi, dan tahan terhadap arsenik tiroksid (Akbar, 2010).

2.6 Ekstrak

2.6.1 Definisi Ekstrak

Ekstrak adalah sediaan kering, kental atau cair dibuat dengan penyari

simplisia menurut cara yang cocok, diluar pengaruh cahaya matahari langsung.

Ekstrak kering harus mudah digerus menjadi serbuk. Cairan penyari yang

digunakan adalah air, eter, etanol, atau campuran etanol dan air (Badan POM

RI, 2007).

Ekstrak adalah sediaan yang kental yang diperoleh dengan mengekstraksi

senyawa aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut

yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa

atau serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian hingga memenuhi baku yang

telah ditetapkan. Sebagian besar ekstrak dibuat dengan mengekstraksi bahan

baku obat secara perlokasi. Seluruh perkolat biasanya dipekatkan secara

destilasi dengan pengurangan tekanan, agar bahan sesedikit mungkin terkena

panas (Depkes RI, 2000).

39

2.7 Teknologi Ekstraksi

2.7.1 Proses Pembuatan Ekstrak

Proses pembuatan ekstrak menurut (Departemen Kesehaan Republik

Indonesia, 2000) adalah sebagai berikut:

1. Pembuatan serbuk simplisia dan klasifikasinya

Proses awal pembuatan ekstrak adalah tahapan pembuatan serbuk

simplisia kering (penyerbukan). Dari simplisia dibuat serbuk

simplisia dengan peralatan tertentu sampai derajat kehalusan tertentu.

Proses ini dapat mempengaruhi mutu ekstrak dengan dasar beberapa

hal sebagai berikut:

a) Makin halus serbuk simplisia, proses ekstraksi makin efektif

efisien, namun makin halus serbuk, maka makin rumit secara

teknologi peralatan untuk tahapan filtrasi.

b) Selama penggunaan peralatan penyerbukan dimana ada gerakan

dan interaksi dengan benda keras (logam), maka akan timbul

panas (kalori) yang dapat berpengaruh pada senyawa kandungan.

Namun, hal ini dapat dikompensasi dengan penggunaan nitrogen

cair.

2. Cairan pelarut

Cairan pelarut dalam proses pembuatan ekstrak adalah pelarut yang

baik (optimal) untuk senyawa kandungan yang berkhasiat atau yang

aktif, dengan demikian senyawa tersebut dapat terpisahkan dari bahan

dan dari senyawa kandungan lainnya, serta ekstrak hanya

mengandung sebagian besar senyawa kandungan yang diinginkan.

40

Dalam hal ekstrak total, maka cairan pelarut dipilih yang melarutkan

hampir semua metabolit sekunder yang terkandung. Faktor utama

untuk pertimbangan pada pemilihan cairan penyari adalah sebagai

berikut:

a) Selektivitas

b) Kemudahan bekerja dan proses dengan cairan tersebut

c) Ekonomis

d) Ramah lingkungan

e) Keamanan

3. Separasi dan Pemurnian

Tujuan dari tahapan ini adalah menghilangkan (memisahkan)

senyawa yang tidak dikehendaki semaksimal mungkin tanpa

berpengaruh pada senyawa kandungan yang dikehendaki, sehingga

diperoleh ekstrak yang lebih murni. Proses-proses pada tahapan ini

adalah pengendapan, pemisahan dua cairan tak campur, sentrifugasi,

dekantasi, filtrasi serta proses adsorbsi dan penukar ion.

4. Pemekatan/ Penguapan (vaporasi dan evaporasi)

Pemekatan berati peningkatan jumlah partial solute (senyawa terlarut)

secara penguapan pelarut tanpa sampai menjadi kondisi kering,

ekstrak hanya menjadi kental/pekat.

5. Pengeringan ekstrak

Pengeringan berarti menghilangkan pelarut dan bahan sehingga

menghasilkan serbuk, masa kering-rapuh, tergantung proses dan

41

peralatan yang digunakan. Ada berbagai proses pengeringan ekstrak,

yaitu dengan cara:

a) Pengeringan Evaporasi

b) Pengeringan Vaporasi

c) Pengeringan Sublimasi

d) Pengeringan Konveksi

e) Pengeringan Kontak

f) Pengeringan Radiasi

g) Pengeringan Dielektrik.

6. Randemen

Randemen adalah perbandingan antara ekstrak yang diperoleh dengan

simplisia awal.

2.7.2 Metode Ekstraksi

1. Cara dingin

a. Maserasi

Maserasi adalah proses pengekstrakan simplisia dengan

menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau

pengadukan pada temperatur ruangan (kamar). Secara teknologi

termasuk ekstraksi dengan prinsip metode pencapaian konsentrasi

pada keseimbangan. Maserasi kinetik berarti dilakukan

pengadukan yang kontinu (terus-menerus). Remaserasi berarti

dilakukan pengulangan penambahan pelarut setelah dilakukan

penyaringan maserat pertama, dan seterusnya.

42

b. Perlokasi

Perlokasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai

sempurna (exhaustive extraction) yang umumnya dilakukan pada

temperatur ruangan. Proses terdiri dari tahaan pengembangan

bahan, tahap maserasi antara, tahap perlokasi sebenarnya

(penetesan/penampungan ekstrak), terus menerus sampai

diperoleh ekstrak (perkolat) yang jumlahnya 1-5 kali bahan.

2. Cara panas

a. Refluks

Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik

didihnya, selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang

relatif konstan dengan adanya pendingin baik. Umumnya

dilakukan pengulangan proses pada residu pertama sampai 3-5

kali sehingga dapat termasuk proses ekstrkasi sempurna.

b. Soxhlet

Soxhlet adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru

yang umumnya dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi

ekstraksi kontinu dengan jumlah pelarut relatif konstan dengan

adanya pendingin balik.

c. Digesti

Digesti adalah maserasi kinetik (dengan pengadukan kontinu)

pada temperatur yang lebih tinggi dari temperatur ruangan

(kamar), yaitu secara umum dilakukan pada temperatur 40- 50ºC.

43

d. Infus

Infus adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur

penangas air (bejana infus tercelup dalam penangas air mendidih,

temperatur terukur 96-98ºC) selama waktu tertentu (15-20 menit).

e. Dekok

Dekok adalah infus pada waktu yang lebih lama (≥ 30º C) dan

temperatur sampai titik didih air.

2.8 Sumber Belajar Biologi

2.8.1 Definisi Sumber Belajar

Sumber belajar dikemukakan oleh Association Educational

Comunication and Tehnology (AECT, 1977) dalam Kasrina, dkk (2012), yaitu

berbagai atau semua sumber baik berupa data, orang, dan wujud tertentu yang

dapat digunakan siswa dalam belajar, baik secara terpisah maupun

terkombinasi sehingga mempermudah siswa dalam mencapai tujuan belajar.

Menurut (Sadiman 1989 dalam Kasrina dkk, 2012) sumber belajar yaitu segala

macam sumber yang ada di luar diri seseorang (peserta didik) dan yang

memungkinkan atau memudahkan terjadinya proses belajar. Sumber belajar

merupakan segala sesuatu yang dapat memudahkan peserta didik dalam

memperoleh sejumlah informasi, pengetahuan, pengalaman, dan keterampilan

dalam proses belajar mengajar (Mulyasa, 2006 dalam Purnomo, 2012).

Kedua pengertian tersebut menunjukkan bahwa pada hakikatnya sumber

belajar begitu luas dan kompleks. Segala hal yang sekiranya diprediksikan

44

akan mendukung dan dapat dimanfaatkan untuk keberhasilan pembelajaran

dapat dipertimbangkan menjadi sumber belajar yang dirancang maupun

dimanfaatkan. Dengan pemahaman ini maka guru bukanlah satu-satunya

sumber tetapi hanya salah satu saja dari sekian sumber belajar lainnya (Kasrina

dkk, 2012).

2.8.2 Kriteria Pemilihan Sumber Belajar

Menurut (Sudrajat, 2008: Hamdani, 2011) mengemukakan lima kriteria

dalam pemilihan sumber belajar yaitu:

a. Ekonomis, tidak harus terpatok pada harga yang mahal;

b. Praktis, tidak memerlukan pengelolaan yang rumit, sulit, dan langka;

c. Mudah, dekat dam tersedia di sekitar lingkungan kita;

d. Fleksibel, dimanfaatkan untuk berbagai tujuan intruksional;

e. Semua dengan tujuan, mendukung proses dan pencapaian tujuan

belajar, dapat membangkitkan motivasi dan minat belajar siswa.

2.8.3 Macam-macam Sumber Belajar

Agar kita mampu mengidentifikasi dan memanfaatkan berbagai potensi

sumber belajar yang melimpah di sekitar kita secara maksimal, maka hal

terpenting yang mesti kita lakukan adalah mengenali berbagai bentuk sumber

belajar tersebut. Berdasarkan hasil penelusuran dari berbagai literatur, dapat

kita sebutkan bahwa bentuk-bentuk sumber belajar di sekitar kita antara lain:

1. Buku, yakni majalah lembar kertas yang berjilid, baik berisi tulisan

maupun kosong. Buku sebagai sumber belajar adalah buku yang berisi

teks tertulis yang mengandung ilmu pengetahuan. Ada berbagai jenis

45

buku seperti, buku ajar, ilmiah, populer, fiksi, nonfisik, novel, komik, dan

lain sebagainya.

2. Majalah, yakni terbitan berkala yang isinya mencakup berbagai liputan

jurnalistik dan pandangan tentang topik aktual yang patut diketahui

pembaca. Menurut waktu penerbitannya, majalah dibedakan atas majalah

bulanan, mingguan, tengah bulanan, mingguan, dan sebagainya.

3. Brosur, yakni bahan informasi tertulis mengenai suatu masalah yang

disusun secara sistematis. Brosur bisa juga dimaknai sebagai cetakan yang

hanya terdiri atas beberapa halaman dan dilipat tanpa dijilid, atau

selebaran cetakan yang berisi keterangan singkat, tetapi lengkap.

Misalnya brosur tentang organisasi atau institusi sekolah.

4. Poster, yakni plakat yang dipasang di tempat umum, biasanya berupa

pengumuman atau iklan.

5. Ensiklopedia, yakni buku yang menghimpun keterangan atau uraian

tentang berbagai hal dalam bidang seni dan ilmu pengetahuan, yang

disusun menurut abjad atau lingkungan ilmu. Contohnya, ensiklopedia al-

Qur’an, ensiklopedia hewan, ensiklopedia flora, dan lain sebagainya.

6. Film, yakni selaput tipis yang dibuat dari seluloid untuk tempat gambar

negatif (yang akan dibuat potret) atau tempat gambar positif (yang akan

dimainkan di dalam bioskop). Ada beragam bentuk film, seperti film

kartun, film dokumenter, film kartun, film seri, dan sebagainya.

7. Model, yakni barang tiruan yang kecil dengan bentuk (rupa) persis seperti

yang ditiru. Contohnya model manusia, model sepeda motor, model

pesawat terbang dan lain sebagainya.

46

8. Transparansi, yakni barang (plastik dan sejenisnya) yang tembus cahaya,

yang dipakai untuk menayangkan tulisan (gambar) pada layar proyektor.

9. Studio, yakni ruang tempat bekerja (bagi pelukis, tukang foto dan

sebagainya) atau ruangan yang dipakai untuk menyiarkan acara radio atau

televisi.

10. Wawancara, yakni tanya jawab dengan seseorang yang diperlukan untuk

dimintai keterangan atau pendapatnya mengenai suatu hal. Ada berbagai

macam bentuk wawancara, seperti wawancara terbuka, wawancara

tertutup, wawancara terstruktur, wawancara induvidual, wawancara

kelompok dan sebagainya.

11. Permainan, yakni suatu yang digunakan untuk bermain, barang atau

sesuatu yang dipermainkan, mainan, hal bermain, atau perbuatan bermain

(misalanya bulu tangkis, sepak bola, dan sebagainya) (Prastowo, 2011).

2.9 Leaflet

2.9.1 Definisi Leaflet

Menurut (Notoatmodjo, 2003 dalam Kawuriansari et al, 2010) leaflet

adalah bentuk penyampaian informasi atau pesan-pesan melalui lembaran yang

dilipat, isi informasi dapat dalam bentuk kalimat maupun gambar, atau

kombinasi.

2.9.2 Syarat-syarat Pembuatan Leaflet

Menurut (Agustiansyah, 2009 dalam Kawuriansari et al, 2010 antara lain

yaitu:

47

1. Menggunakan bahasan sederhana dan mudah dimengerti oleh

pembacanya.

2. Judul yang digunakan harus menarik dibaca.

3. Tidak banyak tulisan.

4. Sebaiknya dikombinasikan antara tulisan dan gambar.

5. Materi harus sesuai dengan target sasaran yang dituju.

2.9.3 Kelebihan Leaflet

Kelebihan Leaflet menurut (Notoatmodjo, 2005 dalam Kawuriansari et

al, 2010) adalah tahan lama, mancakup orang banyak, biaya tidak tinggi, tidak

perlu listrik, dapat dibawa kemana-mana, dapat mengungkit rasa keindahan,

mempermudah pemahaman dan meningkatkan gairah belajar. Menurut Jayanti

(2011) kelebihan Leaflet yaitu sebagai alat sederhana pengingat pesan dimana

pembaca dapat belajar secara mandiri informasi yang terdapat didalamnya

termasuk detil (misalnya statistik) yang tidak mungkin bisa disampaikan lisan.

2.9.4 Kekurangan Leaflet

Kekurangan menurut (Notoatmodjo, 2005 dalam Kawuriansari et al,

2010) adalah media ini tidak dapat menstimulir efek suara dan efek gerak,

mudah terlipat. Menurut (Jayanti, 2011) kekurangan Leaflet juga tidak tahan

lama dan mudah hilang, dapat menjadi kertas percuma kecuali pengajar secara

aktif melibatkan klien dalam membaca dan menggunakan materi. Uji coba

dengan sasaran sangat dianjurkan.

2.9.5 Leaflet Sebagai Sumber Belajar Biologi SMA Materi

Keanekaragaman Hayati dan Pemanfaatanya.

Materi Keanekaragaman Hayati merupakan materi yang terdapat pada

SMA kelas X semester satu. Dalam materi ini akan dibahas mengenai

48

pemanfaatan sumber daya alam yang dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraan

manusia. Salah satunya yaitu pemanfaatan sumber obat-obatan yang dimiliki

oleh Indonesia yang kaya berbagai aneka ragam tumbuhan yang dapat

dijadikan sebagai tanaman obat.

Perlunya pengembangan produk berupa leaflet ini sebagai sumber

informasi bagi pembaca dalam materi keanekaragaman hayati yang membahas

mengenai pemanfaatan sumber daya alam yang dapat digunakan sebagai

sumber obat-obatan alami yang mudah ditemui di lingkungan sekitarnya.

Leaflet adalah bentuk penyampaian informasi atau pesan-pesan kesehatan

melalui lembaran yang dilipat, isi informasi dapat berbentuk kalimat maupun

gambar serta dapat dikombinasikan dari keduannya (Notoatmojo, 2003 dalam

Kawuriansari et al, 2010). Jadi dengan adanya produk pengembangan berupa

leaflet ini dapat mempermudah pembaca khususnya siswa SMA kelas X

memperoleh informasi serta pengetahuan mengenai sumber daya alam

khususnya tanaman-tanaman yang berada di lingkungan sekitar yang dapat

dimanfaatkan sebagai tanaman obat. Selain memberikan informasi terbaru bagi

siswa, leaflet ini bertujuan untuk sebagai sarana yang dapat membantu

pengajar untuk mengenalkan kepada siswa mengenai salah satu tanaman-

tanaman yang berpotensi obat yang berada disekitar kita, sehingga dapat

menunjang pelajaran terutama materi keanekaragaman hayati yang membahas

mengenai pemanfaatan sumber daya alam khususnya tanaman yang dapat

dijadikan sumber obat-obatan.

49

2.10 Kerangka Konsep

Kerangka konsep dari penelitian adalah sebagai berikut:

Gambar 2.10 Kerangka Konsep Penelitian

2.11 Hipotesis

1. Ada pengaruh pengaruh pemberian ekstrak daun ketul (Bidens pilosa L.)

terhadap penyembuhan luka sayat pada punggung tikus putih (Rattus

norvegicus).

2. Pada konsentrasi ekstrak 15% dapat mempercepat penyembuhan luka

sayat dibandingkan dengan konsentrasi 5%, 7,5%, 10% dan 12,5% pada

punggung tikus putih (Rattus norvegicus).

Luka/Cedera Pada Kulit

Luka Sayat

Ekstrak daun ketul Obat Alami Kelimpahan Tanaman Ketul

Flavonoid dan Saponin

Anti Inflamasi Antibakteri Anti Alergic

tidak ada eritema, pembengkakan, luka mulai menutup

dan luka menutup

Fase Inflamasi

(agregasi trombosit)

Fase Proliferasi

(kontraksi luka)

Fase maturasi

(penyerapan jaringan)

Luka Sembuh

Data hasil penelitian dimanfaatkan menjadi Sumber Belajar

Biologi SMA berupa Leaflet.