bab ii tinjauan pustaka 2.1 tanaman kastuba (euphorbia ...eprints.umm.ac.id › 59936 › 3 › bab...
TRANSCRIPT
10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tanaman Kastuba (Euphorbia pulcherrima)
2.1.1 Deskripsi Tanaman Kastuba (Euphorbia pulcherrima)
Kastuba (Euphorbia pulcherrima) merupakan tanaman herba yang hidup di
daerah yang beriklim tropis sedang dengan kelembapan udara sedang serta
temperatur harian tidak terlalu panas. Selain dikenal sebagai tanaman hias, sejak
dahulu bangsa Meksiko menggunakan Kastuba (Euphorbia pulcherrima) sebagai
ramuan obat tradisional diantaranya untuk mengobati sakit perut dan
penyembuhan luka. Kastuba memiliki ciri-ciri yang dapat mudah membedakan
dalam satu famili Euphorbiaceae. Ciri kastuba secara umum sebagian besar
tanaman Euphorbiaceae memiliki berbatang besar, sangat sukulen, serta mudah
dikenal karena terdapat duri di sepanjang bagian tubuh tanaman, sehingga
menyerupai Kaktus (Lingga, 2006).
Kastuba merupakan perdu yang tingginya bisa mencapai sekitar 3 meter dan
memiliki bentuk tajuk yang berdiameter seluas 2 meter. Kastuba mempunyai daun
tunggal dengan bentuk elips hingga bulat telur dan tangkai yang kerap ditemukan
adanya 2-4 lekukan. Ujung daun Kastuba lancip dan memiliki susunan tulang
daun menyirip (Lingga, 2006).
Kastuba berbunga majemuk yang membentuk cawan dengan susunan
khusus yang disebut dengan cyathium, pada setiap cyathium terdapat daun
pelindung (bract) yang berbentuk daun sejati yang berwarna merah, putih,
11
kuning maupun warna lain sesuai dengan varietas nya. Daun pelindung
(bract) merupakan ciri khusus dari Kastuba sehingga mudah untuk dikenali.
Bunga betina berada diantara bunga jantan yang tidak mempunyai mahkota, tetapi
di sekitarnya memiliki bunga semu (cyathium) (Lingga, 2006).
Tanaman Kastuba (Euphorbia pulcherrima) menunjukkan perbedaan warna
dalam pertumbuhan daunnya. Perbedaan warna tersebut menunjukkan adanya
perbedaan kandungan pigmen daun termasuk pigmen klorofil dan antosianin.
Antosianin merupakan golongan senyawa flavonoid yang dapat dimanfaatkan
dalam bidang kesehatan sebagai sumber antioksidan (Maulid, 2014).
2.1.2 Klasifikasi Tanaman Kastuba (Euphorbia pulcherrima)
Kastuba pertama kali dibudidaya
oleh bangsa Indian dari suku Aztec di
Meksiko dengan sebutan cuetlaxochitl.
Kastuba memiliki kekerabatan dengan
famili Euphorbiaceae dan dikenal
dengan nama botani Euphorbia
pulcherrima Wild. Ex. Klotzsch
(sinonim Poinsettia pilcherrima
R.Grah.) yang memiliki arti euphorbia yang sangat indah yang ditunjukkan oleh
gambar 2.1. Di Indonesia, tanaman ini disebut Kastuba dan telah lama dikenal
baik sebagai tanaman liar, masyarakat Indonesia sering memanfaatkan Kastuba
sebagai tanaman hias. Menurut Lingga (2006) secara botani Kastuba memiliki
urutan taksonomi sebagai berikut.
Gambar 2.1 Tanaman Kastuba
12
Kingdom : Plantae
Divisi : Tracheobionta
Subdivisi : Spermatophyta
Kelas : Dikotiledoneae
Ordo : Euphorbiales
Famili : Euphorbiaceae
Genus : Euphorbia
Spesies : Euphorbia pulcherrima Wild. Ex. Klotzsch
2.1.3 Manfaat dan Kandungan Senyawa Tanaman Kastuba (Euphorbia
pulcherrima)
Habitat asli Kastuba yaitu berasal dari Meksiko dengan memanfaatkan
tanaman ini sebagai obat kulit, serta untuk mengatasi gigitan binatang berbisa.
Kastuba memiliki sifat farmakologi pahit, sepat, bersifat sejuk dan toksin
(beracun). Sifat ini berkhasiat untuk menghentikan pendarahan (hemostatis),
sebagai pencahar (purgativum), menghilangkan bengkak, dan melancarkan ASI
(galaktagog). Disebabkan sifatnya beracun, untuk penggunaan tanaman ini hanya
dapat digunakan sebagai obat luar dengan dosis 10gram herba segar untuk 1 kali
pemakaian. Kelebihan dosis dapat menyebabkan keracunan. Apabila terjadi
keracunan, penawar yang digunakan berupa rebusan dari akar manis atau ganco
(Lingga, 2006).
Penelitian Sharif (2015) menyatakan sifat obat dari tanaman Kastuba dapat
kontra indikasi dalam pengobatan lokal infeksi saluran pernapasan, malaria,
eksim, asma dan penyembuhan luka. Senyawa antioksidan yang ditemukan pada
Kastuba antara lain flavonoid, alkaloid, terpenoid, dan saponin. Dalam buku
13
(Lingga, 2006) mengatakan bahwa daun Kastuba memiliki kandungan alkaloid,
saponin, lemak dan amylodextrin. Senyawa tersebut memiliki fungsi yang dapat
digunakan sebagai penyembuhan pada luka. Kandungan kimia serta efek
farmakologi dari tanaman Kastuba (Euphorbia pulcherrima) terdapat dalam tabel
dibawah ini:
Tabel 2.1 Kandungan Kimia dan Efek Farmako1ogi Tanaman Kastuba
(Euphorbia pulcherrima)
No Nama Senyawa Manfaat
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Alkaloid
Flavonoid
Fenolik
Steroid
Saponin
Terpenoid
Kuinon
Benzena
Tanin
Antiinflamasi
Untuk menghasilkan sistem imun yang alam
dan spesifik, antiinflamasi, antihistamin
Antiinflamasi
Regenerasi sel, meningkatkan sistem imun
Meningkatkan sistem imun dan antiinflamasi
Antiinflamasi dan antibiotik
Antiseptik, penghilang rasa sakit dan
regenerasi sel
Antiseptik
Antimikroba dan meningkatkan epitelisasi
(Sumber: Sharif, 2015)
2.1.4 Mekanisme Senyawa Tanaman Kastuba (Euphorbia pulcherrima)
terhadap Penyembuhan Luka Sayat
Kastuba (Euphorbia pulcherrima) mempunyai banyak kandungan
senyawa yang memiliki peran dalam mengobati khususnya pada penyembuhan
luka. Berkaitan dengan penelitian yang akan dilakukan, kandungan senyawa
dari tanaman Kastuba (Euphorbia pulcherrima) yang berguna dalam
penyembuhan luka antara lain flavonoid, alkaloid dan saponin. Senyawa
tersebut memiliki fungsi yang berbeda dalam masing-masing tugasnya yaitu
sebagai antiinflamasi, antifungi, antiseptik dan antibakteri.
14
Flavonoid merupakan komponen polifenol yang banyak terdapat pada
tumbuhan. Flavonoid muncul dalam bentuk aglikon, glikosida, dan turunan
alkohol (Kumar, 2013). Flavonoid berperan dalam penyembuhan luka dengan
menghentikan perdarahan yaitu melalui mekanisme vasokontriksi pada pembuluh
darah, penangkal radikal bebas, penghambat hidrolisis dan oksidasi enzim, serta
antiinflamasi (Calsum, 2018).
Senyawa flavonoid memiliki peran dalam fase inflamasi dalam penghentian
pendarahan sehingga terjadi hipoksia dan inflamasi yang menginduksi ekspresi
gen dan mempromosikan pembelahan sel yang akan dilakukan oleh sitokin.
Senyawa flavonoid juga berfungsi sebagai antioksidan, antiinflamasi dan
menghambat pertumbuhan mikroba, sehingga dapat dimanfaatkan sebagai
antiseptik serta untuk regenerasi sel (Adawiah, 2015). Mekanisme kerja zat
antibakteri ini dengan cara menghambat sintesis dinding sel, menghambat fungsi
membran sel, menghambat sintesis protein, menghambat sintesis asam nukleat,
dan menghambat kerja enzim pada bakteri. Serta kandungan fenol dalam
flavonoid dapat merusak dinding sel sehingga zat yang berbahaya akan masuk dan
menyebabkan kematian pada bakteri (Siswahyuningsih, 2010).
Senyawa tanin memiliki fungsi untuk antioksidan dan antimikroba yang
dapat berpengaruh dalam penyembuhan luka serta mempercepat proses epitelisasi.
Selain itu, tanin juga memiliki peran pada proses penyembuhan luka sayat.
Tanin memiliki manfaat yaitu sebagai astrigen yang dapat menyebabkan
berkurangnya permeabilitas mukosa dan ikatan antar mukosa menjadi lebih kuat.
Sehingga luka tidak akan terinfeksi oleh mikroorganisme serta zat kimia iritan.
15
Tanin berperan dalam menghambat hipersekresi pada cairan mukosa dan dapat
menetralisir protein inflamasi. Senyawa tanin berfungsi sebagai antibakteri
dimana senyawa tersebut akan membantu mengerutkan dinding sel atau membran
sel yang dapat menghambat permeabilitas bakteri dalam berkembang biak (Liana,
2018).
Senyawa alkaloid juga memiliki fungsi sebagai anti diare, anti diabetes, anti
mikroba dan anti malaria (Ningrum 2016). Kandungan flavonoid merupakan
antioksidan kuat yang dapat mengurangi lipid peroksidasi, meningkatkan
kecepatan epitelisasi, dan bersifat antimikroba. Penurunan lipid peroksidasi oleh
flavonoid akan mencegah nekrosis, memperbaiki vaskularisasi, dan meningkatkan
viabilitas serabut kolagen dengan meningkatkan kekuatan anyaman serabut
kolagen dalam proses regenerasi sel.
Sedangkan kandungan senyawa lain dalam tanaman Kastuba (Euphorbia
pulcherrima) yang berkontribusi dalam penyembuhan luka sayat yaitu saponin.
Saponin merupakan senyawa sebagai faktor yang diperlukan oleh fibroblas dalam
mensintesis kolagen (Rupina, 2016). Pada jaringan kulit memiliki persentase 50%
yaitu jaringan kolagen. Kolagen berupa protein matriks ekstraseluler yang
mempunyai peran pada fase penyembuhan jaringan ikat atau fase poliferasi.
Tingginya densitas kolagen pada fase poliferasi adalah tanda dimana proses
penyembuhan luka terjadi lebih cepat serta dapat menurunkan potensi buruk pada
luka (Novriansyah, 2008). Saponin dapat merangsang dalam pembentukan sel
epitel baru dan mendukung terjadinya proses epitelisasi sehingga menyebabkan
pengecilan ukuran luka (Kurnianto, 2017).
16
Saponin dapat meningkatkan jumlah makrofag yang bermigrasi ke daerah
luka terjadi sehingga dapat meningkatkan produksi growth factors dan akan
menstimulasi dalam pembentukan pembuluh darah baru serta meningkatkan
proses migrasi dan proliferasi fibroblas pada permukaan luka (Kurnianto,
2017). Saponin juga memberikan rasa pahit dan sifat menyejukan serta berkhasiat
sebagai anti tumor dan dapat menghambat pertumbuhan kanker, terutama kanker
usus besar (Rohyani, 2015)
2.2 Luka
2.2.1 Definisi Luka
Luka yaitu terjadinya kerusakan pada jaringan kulit yang disebabkan kontak
langsung dengan benda tajam, sumber panas (seperti bahan kimia, air panas, api,
radiasi, dan listrik), hasil tindakan medis, maupun perubahan kondisi fisiologis.
Luka dapat menyebabkan gangguan pada fungsi dan struktur anatomi tubuh
(Purnama, 2016).
2.2.2 Luka berdasarkan Klasifikasinya
Berdasarkan jurnal Meikahani (2015) menurut TBMM luka diklasifikasikan
sebagai berikut:
a. Luka Terbuka
1. Luka 1ecet merupakan 1uka yang disebabkan jatuh bergeser pada benda
atau tempat yang memiliki permukaan keras dan kasar, timbul bintik-
bintik kemerahan, sering terjadi karena jatuh terseret maupun terkena
percikan api. Luka terjadi pada permukaan sehingga lapisan kulit
sebelah atas terkelupas dan membekas berupa daerah yang kasar dan
17
lunak. Partikel benda asing dapat menimbulkan infeksi terhadap 1uka
(Meikahani, 2015).
2. Luka sayat (Vulnus scissum) diakibatkan oleh goresan dari benda tajam
misalnya pisau ataupun pecahan kaca, pembuluh darah yang terdapat di
tepi luka dapat terpotong luas. Darah yang keluar dapat cukup banyak,
serta bentuk luka memanjang dan jaringan kulit di sekitar luka tidak
mengalami kerusakan (Meikahani, 2015).
3. Luka robek (Vulnus traumaticum) dapat terjadi karena trauma, seperti
kecelakaan lalu 1intas maupun kecelakaan 1ainnya. Luka tidak beraturan,
dan jaringan ku1it di sekitar 1uka jika diikat akan menga1ami kerusakan
(Meikahani, 2015).
b. Luka Tertutup
Luka tertutup adalah luka di mana kulit penderita tetap utuh, tak ada
hubungan dengan dunia luar, jadi kerusakannya terjadi pada jaringan yang
disebabkan oleh benda tumpul. Luka tertutup antara lain memar, cedera pada
otot atau tendon dan ligamen, dan dislokasi. Dislokasi adalah terlepasnya
sebuah sendi dari tempat yang seharusnya. Dislokasi yang sering terjadi
adalah dislokasi di bahu, sendi panggul (paha), karena terpeleset dari
tempatnya maka sendi itu pun menjadi macet dan juga terasa nyeri
(Meikahani, 2015).
2.2.3 Faktor yang mempengaruhi Penyembuhan Luka
Penyembuhan luka adalah proses yang kompleks dimana adanya kegiatan
bio seluler dan biokimia terjadi secara berkesinambungan. Proses penyembuhan
18
luka tidak terbatas hanya pada proses regenerasi yang bersifat lokal, tetapi juga
dipengaruhi oleh faktor endogen, seperti umur, nutrisi, imunologi, pemakaian
obat-obatan, serta kondisi metabolik (Purnama, 2016).
2.3 Fisiologi Penyembuhan Luka
Berdasarkan dalam jurnal Purnama (2016) menyatakan bahwa mekanisme
penyembuhan luka dibagi ke dalam tiga fase, meliputi fase inflamasi, fase
proliferasi, dan fase maturasi. Saat luka terjadi akan mengakibatkan pendarahan
dan mengaktifkan sistem homeostatis yang akan menginisiasi komponen eksudat
yaitu fibrinogen untuk melakukan pembekuan darah dengan cara koagulasi dan
pembentukan jaringan fibrin dan memproses agen pembekuan darah. Fase
inflamasi ditandai terjadinya edema, ekimosis, kemerahan, dan nyeri karena
adanya mediasi oleh sitokin, kemokin, faktor pertumbuhan, dan efek terhadap
reseptor.
Tahap inflamasi terbagi menjadi fase awal dan fase akhir. Pada saat jaringan
terluka, pembuluh darah yang terputus pada luka akan menyebabkan pendarahan,
reaksi tubuh pertama sekali adalah berusaha menghentikan pendarahan dengan
mengaktifkan faktor koagulasi intrinsik dan ekstrinsik, yang mengarah ke agregasi
platelet dan formasi clot vasokontriksi, pengerutan ujung pembuluh darah yang
putus (retraksi) dan reaksi haemostasis (Primadina, 2019). Menurut Gutner GC
(2007) dalam jurnal Primadina (2019) menyatakan fase inflamasi akhir terjadi
setelah terjadi luka sampai hari ke-5 pasca trauma. Tujuan utama pada fase ini
yaitu untuk menyingkirkan jaringan mati, dan pencegahan terjadinya kolonisasi
dan infeksi oleh agen mikrobial patogen.
19
Senyawa Flavonoid memiliki peran dalam fase inflamasi dalam penghentian
pendarahan sehingga terjadi hipoksia dan inflamasi yang menginduksi ekspresi
gen dan mempromosikan pembelahan sel yang akan dilakukan oleh sitokin.
Senyawa flavonoid juga berfungsi sebagai antioksidan, antiinflamasi dan
menghambat pertumbuhan mikroba, sehingga dapat dimanfaatkan sebagai
antiseptik serta untuk regenerasi sel (Adawiah, 2015).
Mekanisme kerja zat antibakteri ini dengan cara menghambat sintesis dinding
sel, menghambat fungsi membran sel, menghambat sintesis protein, menghambat
sintesis asam nukleat, dan menghambat kerja enzim pada bakteri. Serta
kandungan fenol dalam flavonoid dapat merusak dinding sel sehingga zat yang
berbahaya akan masuk dan menyebabkan kematian pada bakteri
(Siswahyuningsih, 2010). Selain itu, tanin juga memiliki peran dalam fase ini
karena dapat menghambat hipersekresi pada cairan mukosa serta menetralisir
protein inflamasi. Senyawa tanin memiliki kandungan senyawa antibakteri yang
berfungsi untuk membantu pengerutan dinding sel atau membran sel sehingga
dapat menghambat proses permeabilitas bakteri untuk berkembang (Liana, 2018).
Sedangkan alkaloid juga memiliki fungsi untuk melawan infeksi mikrobia.
Mekanisme kerjanya yaitu dengan cara mengganggu komponen yang menyusun
peptidoglikan. sehingga sel bakteri tidak terbentuknya lapisan dinding sel secara
utuh serta menyebabkan kematian pada sel bakteri (Hasibuan, 2015). Berdasarkan
fungsinya alkaloid memiliki berperan dalam fase poliferasi pada penyembuhan
luka.
20
Selanjutnya fase poliferasi terjadi pergerakan sel epitel dan fibroblas pada
area yang mengalami luka. Berfungsi dalam menggantikan jaringan yang rusak
atau hilang. Sel tersebut beregenerasi mulai dari tepi, dan secara cepat tumbuh di
daerah luka pada bagian yang telah tertutup darah yang membeku bersamaan
dengan pengerasan epitel. Jaringan yang telah tergranulasi dibentuk oleh
pembuluh darah kapiler serta limfatik di dalam luka. Kolagen yang disintesis oleh
fibroblas akan memberikan kekuatan pada kulit. Sel epitel kemudian akan
mengeras dan kolagen akan bekerja dalam memperbaiki jaringan yang luka
(Purnama, 2016).
Fase proliferasi berlangsung mulai hari ke-3 hingga 14 pasca trauma,
ditandai dengan pergantian matriks provisional oleh platelet dan makrofag yang
mendominasi secara bertahap dan digantikan oleh migrasi sel fibroblast dan
deposisi sintesis matriks ekstraselular. Pada level makroskopis ditandai dengan
adanya jaringan granulasi yang kaya akan jaringan pembuluh darah baru,
fibroblas, dan makrofag, granulosit, sel endotel dan kolagen yang membentuk
matriks ekstraseluler dan neovaskular yang mengisi celah luka dan memberikan
scaffold adhesi, migrasi, pertumbuhan dan diferensiasi sel. Tujuan fase proliferasi
ini adalah untuk membentuk keseimbangan antara pembentukan jaringan parut
dan regenerasi jaringan (Primadina, 2019).
Tahap maturasi akan berkembang dan membentuk jaringan penghubung
selular serta penguatan sel epitel baru sesuai dengan besarnya luka. Jaringan
granular selular akan membentuk massa aselular dalam waktu sekitar beberapa
bulan sampai 2 tahun (Purnama, 2016). Fase maturasi ini berlangsung mulai hari
21
ke-21 hingga sekitar 1 tahun yang bertujuan untuk memaksimalkan kekuatan dan
integritas struktural jaringan baru pengisi luka, pertumbuhan epitel dan
pembentukan jaringan parut. Segera setelah luka terisi oleh jaringan granulasi dan
proses reepitelialisasi usai, fase ini pun segera dimulai (Primadina, 2019).
Saponin merupakan senyawa sebagai faktor yang diperlukan oleh fibroblas
dalam mensintesis kolagen (Rupina, 2016). Pada jaringan kulit memiliki
persentase 50% yaitu jaringan kolagen. Kolagen berupa protein matriks
ekstraseluler yang mempunyai peran pada fase penyembuhan jaringan ikat atau
fase poliferasi. Tingginya densitas kolagen pada fase poliferasi adalah tanda
dimana proses penyembuhan luka terjadi lebih cepat serta dapat menurunkan
potensi buruk pada luka (Novriansyah, 2008). Senyawa saponin juga dapat
meningkatkan permeabilitas membrane sehingga terjadi hemolisis sel, apabila
saponin bereaksi dengan sel bakteri maka dinding sel bakteri akan pecah
(Fridiana, 2012).
Saponin dapat merangsang dalam pembentukan sel epitel baru dan
mendukung terjadinya proses epitelisasi sehingga menyebabkan pengecilan
ukuran luka (Kurnianto, 2017). Saponin dapat memproduksi makrofag yang
bermigrasi ke daerah luka. Sehingga dapat meningkatkan produksi growth factors
yang akan menstimulasi proses pembentukan pembuluh darah yang baru serta
meningkatkan migrasi dan proliferasi fibroblas pada permukaan luka (Kurnianto,
2017).
22
2.4 Kulit
2.4.1 Pengertian Kulit
Kulit merupakan suatu shell yang fleksibel, mudah melentur, protektif,
mengatur diri sendiri yang melindungi sistem hidup kita. Kulit terdiri atas 2
lapisan utama yaitu epidermis dan dermis. Epidermis merupakan jaringan epitel
yang berasal dari ektoderm, sedangkan dermis berupa jaringan ikat agak padat
yang berasal dari mesoderm. Di bawah dermis terdapat selapis jaringan ikat
longgar yaitu hipodermis, yang pada beberapa tempat terutama terdiri dari
jaringan lemak (Kalangi, 2013). Kulit adalah organ tubuh yang paling besar pada
manusia dan memiliki fungsi memproteksi. Kulit pada manusia dewasa memiliki
berat dapat mencapai 5 kg dan melapisi seluruh bagian permukaan tubuh seluas 2
meter. Kulit berfungsi sebagai barrier fisik, proteksi terhadap agen infeksius,
termoregulasi, sensasi, terhadap sinar ultraviolet (UV), serta untuk regenerasi dan
penyembuhan luka. Fungsi tersebut diperankan oleh keseluruhan bagian lapisan
dari kulit (Murlistyarini, 2018).
2.4.2 Lapisan Kulit
Berdasarkan buku Murlistyarini (2018) menyatakan bahwa kulit tersusun
atas 3 lapisan utama, yaitu lapisan epidermis, dermis dan hipodermis (subkutan).
a. Epidermis
Epidermis yaitu lapisan kulit luar yang dapat dilihat oleh kasat mata.
Epidermis memiliki ketebalan 0,4 - 1,5 mm dengan mayoritas sel keratinosit
yang terdapat di epidermis. Epidermis terdiri atas empat lapisan yang
memiliki diferensiasi keratinosit berbeda-beda, antara lain lapisan basal,
23
lapisan spinosus, lapisan granutosum, dan lapisan korneun. Keratinosit
melakukan diferensiasi mulai dari sel basal hingga menjadi sel yang
berdiferensiasi akhir dilapisan korneum yang merupakan lapisan terluar dari
kulit. Lapisan korneum berperan sebagai protektor mekanik kulit dan barrier
terhadap water loss. Proses diferensiasi tersebut biasanya membutuhkan
waktu 28-30 hari (Mulistyarini, 2018).
Diantara sel keratinosit didapatkan melanosit, sel langerhans, dan sel
merkel. Melanosit adalah sel dendritik yang menghasilkan pigmen sehingga
warna kulit dapat muncul. Sel langerhans merupakan sel dendritik yang
berasal dari sumsum tulang belakang yang berperan pada proses imun adaptif
dikulit. Sedangkan sel merkel berperan sebagai reseptor mekanosensori untuk
merespon sentuhan (Mulistyarini, 2018).
b. Dermis
Lapisan dermis yaitu sistem integrasi pada jaringan konektif fibrosa,
filamentosa, dan difus, serta pada lapisan dermis juga merupakan lokasi
terdapatnya pembuluh darah dan saraf. Dermis adalah komponen yamg paling
besar menyusun kulit dan dapat membuat kulit memiliki kemampuan
elastisitas. Lapisan kulit tersebut berfungsi untuk melindungi tubuh dari
trauma mekanik, mengikat air, dan membantu proses regulasi suhu tubuh
serta mengandung reseptor sensorik. Pada dermis terdapat 2 regio antara lain
papilla dermis dan retikuler dermis. Papila dermis berbatasan dengan
epidermis yang memiliki ketebalannya tidak lebih dari 2 kali tebalnya
24
epidermis, sedangkan retikuler dermis menyusun sebagian besar dari lapisan
dermal. Lapisan tersebut tersusun dari serabut kolagen (Mulistyarini, 2018).
c. Hipodermis
Hipodermis merupakan susunan dari kumpulan sel-sel adiposit dan
tersusun menjadi lobulus-lobulus yang dibatasi oleh septum dari jaringan ikat
fibrosa. Jaringan hipodermis memiliki berfungsi dalam melindungi tubuh, dan
berperan dalam menyimpan cadangan energi serta melindungi kulit sebagai
bantalan kulit. Lapisan dapat membentuk kontur tubuh seseorang dan
berperan secara kosmetik. Selain itu lemak juga memiliki fungsi sebagai
endokrin yang melakukan komunikasi dengan hipotalamus melalui sekresi
leptin dan dapat mengubah energi di tubuh dan regulasi nafsu makan. Lemak
pada tubuh manusia sekitar 80% terdapat pada subkutis (Mulistyarini, 2018).
2.5 Metode Ekstraksi
Berdasarkan Mukhriani (2014) jenis-jenis metode ekstrasi yang dapat
digunakan adalah sebagai berikut:
a. Maserasi
Metode ini dilakukan dengan memasukkan serbuk tanaman dan pelarut yang
sesuai ke dalam wadah inert yang tertutup rapat pada suhu kamar. Proses
ekstraksi dihentikan ketika tercapai kesetimbangan antara konsentrasi
senyawa dalam pelarut dengan konsentrasi dalam sel tanaman. Setelah proses
ekstraksi, pelarut dipisahkan dari sampel dengan penyaringan. Kerugian
utama dari metode maserasi ini adalah memakan banyak waktu, pelarut yang
digunakan cukup banyak, dan besar kemungkinan beberapa senyawa hilang.
25
Selain itu, beberapa senyawa mungkin saja sulit diekstraksi pada suhu kamar.
Namun di sisi lain, metode maserasi dapat menghindari rusaknya senyawa-
senyawa yang bersifat termolabil (Mukhriani, 2014).
b. Ultrasound - Assisted Solvent Extraction
Merupakan metode maserasi yang dimodifikasi dengan menggunakan
bantuan ultrasound (sinyal dengan frekuensi tinggi, 20 kHz). Wadah yang
berisi serbuk sampel ditempatkan dalam wadah ultrasonic dan ultrasound. Hal
ini dilakukan untuk memberikan tekanan mekanik pada sel hingga
menghasilkan rongga pada sampel. Pelarut akan merusak sel sehingga dapat
menyebabkan peningkatan dalam kelarutan senyawa serta dapat
meningkatkan hasil ekstraksi (Mukhriani, 2014).
c. Perkolasi
Pada metode perkolasi, serbuk sampel dibasahi secara perlahan dalam sebuah
perkolator (wadah silinder yang dilengkapi dengan kran pada bagian
bawahnya). Pelarut ditambahkan pada bagian atas serbuk sampel dan
dibiarkan menetes perlahan pada bagian bawah. Kelebihan dari metode ini
adalah sampel senantiasa dialiri oleh pelarut baru. Sedangkan kerugiannya
adalah jika sampel dalam perkolator tidak homogen maka pelarut akan sulit
menjangkau seluruh area. Selain itu, metode ini juga membutuhkan banyak
pelarut dan memakan banyak waktu (Mukhriani, 2014).
d. Soxhlet
Metode ini dilakukan dengan menempatkan serbuk sampel dalam sarung
selulosa (dapat digunakan kertas saring) dalam klonsong yang ditempatkan di
26
atas labu dan di bawah kondensor. Pelarut yang sesuai dimasukkan ke dalam
labu dan suhu penangas diatur di bawah suhu reflux. Keuntungan dari metode
ini adalah proses ekstraksi yang kontinyu, sampel terekstraksi oleh pelarut
murni hasil kondensasi sehingga tidak membutuhkan banyak pelarut dan
tidak memakan banyak waktu. Kerugiannya adalah senyawa yang bersifat
termolabil dapat terdegradasi karena ekstrak yang diperoleh terus-menerus
berada pada titik didih (Mukhriani, 2014).\
e. Reflux dan Destilasi Uap
Pada metode reflux, yaitu sampel dimasukkan ke dalam labu bersama dengan
pelarut kemudian dihubungkan dengan kondensor. Kemudian pelarut
dipanaskan hingga mencapai titik didih. Uap akan terkondensasi dan kembali
ke dalam labu. Destilasi uap memiliki proses yang sama dan biasanya untuk
mengekstraksi minyak esensial (campuran berbagai senyawa menguap).
Selama pemanasan, uap terkondensasi dan destilasi (terpisah sebagai dua
bagian yang tidak saling bercampur) ditampung dalam wadah yang terhubung
dengan kondensor. Kerugian dari kedua metode ini adalah senyawa yang
bersifat termolabil dapat terdegradasi (Mukriani, 2014).
27
2.6 Tikus Putih (Rattus norvegicus)
2.6.1 Klasifikasi Tikus Putih (Rattus norvegicus)
Klasifikasi Tikus putih (Rattus norvegicus) menurut Akbar (2010):
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Kelas : Mamalia
Ordo : Rodentia
Subordo : Sciurognathi
Famili : Muridae
Genus : Rattus
Spesies : Rattus norvegicus
2.6.2 Deskripsi Tikus Putih (Rattus norvegicus)
Tikus putih (Rattus norvegicus) termasuk kedalam hewan mamalia yang
mempunyai ekor panjang. Tikus ini memiliki tubuh panjang dan kepala yang lebih
sempit. Telinga tikus putih tebal namun pendek dengan rambut halus dan
memiliki mata yang berwarna merah. Ciri yang menonjol pada tikus putih yaitu
berekor panjang. Dengan berat badan tikus jantan pada umur dua belas minggu
dapat mencapai 240 gram, sedangkan tikus betina dapat mencapai berat 200 gram.
Tikus mempunyai lama hidup berkisar antara 4 hingga 5 tahun dengan berat
badan umum Tikus jantan berkisar 267 hingga 500 gram dan betina 225 hingga
325 gram. Galur ini memiliki pertumbuhan yang cepat, temperamen yang baik
dan kemampuan laktasi yang tinggi. Habitat Tikus putih biasanya terdapat pada
28
area pertanian, hutan alami maupun buatan, pesisir pantai, dan tempat-tempat
yang lembab (Akbar, 2010).
2.7 Sumber Belajar
2.7.1 Pengertian Sumber Belajar
Sumber belajar dalam jurnal Supriadi (2015) merupakan sesuatu yang dapat
berwujud benda maupun orang yang dapat menunjang kegiatan belajar dan dapat
mencakup semua sumber yang dapat dimanfaatkan oleh tenaga pengajar maupun
siswa agar terjadi perilaku belajar. Pemanfaatan berbagai sumber belajar
merupakan upaya pemecahan masalah belajar. Sedangkan peran teknologi
pendidikan sebagai pemecahan masalah belajar dapat terjadi dalam bentuk sumber
belajar yang dirancang, dipilih dan dimanfaatkan untuk keperluan belajar.
Sumber-sumber belajar tersebut diidentifikasikan sebagai pesan, orang, bahan,
alat, teknik, dan latar.
2.7.2 Kegunaan Sumber Belajar
Belajar adalah suatu kegiatan yang dilakukan baik dengan bimbingan tenaga
pengajar maupun dengan usahanya sendiri. Belajar pada dasarnya untuk
memperoleh pengetahuan, keterampilan, dan sikap di mana saja, kapan saja, dan
dengan apa saja, sebab sumber belajar terdapat di mana saja dan ada bermacam
beragam jenisnya. Hasil belajar dapat dipengaruhi oleh kualitas interaksi peserta
didik dengan sumber belajar. Dengan demikian adanya perbedaan yang sangat
besar yaitu antara peserta didik yang mempunyai intensitas tinggi dalam
memanfaatkan sumber belajar dengan peserta didik yang mempunyai intensitas
29
rendah dalam memanfaatkan sumber belajar yang rendah dalam meraih hasil
belajarnya.
2.8 Pengembangan Panduan Praktikum sebagai Sumber Belajar
Berdasarkan jurnal Asmaningrum (2018) menyatakan bahwa panduan
praktikum merupakan salah satu sarana yang digunakan untuk membantu proses
kegiatan belajar mengajar di laboratorium sehingga tujuan pembelajaran dapat
tercapai dan memperkecil risiko kecelakaan. Panduan praktikum termasuk
fasilitas yang diberikan oleh pengajar agar siswa dapat belajar dan bekerja secara
kontinu dan terarah. Peran penting panduan praktikum tersebut yaitu digunakan
untuk mengaktifkan siswa untuk mengembangkan keterampilan melalui kegiatan
yang tersusun dalam panduan praktikum.
Menurut Depdiknas (2008) menyatakan bahwa modul praktikum yang baik
memiliki kriteria Self instructional, self contained, stand alone dan adaptive serta
user friendly. Kriteria tersebut berkaitan erat dengan pemanfaatan modul itu
sendiri. Modul atau panduan praktikum dapat membantu dalam pembelajaran di
kelas kepada peserta didik secara mandiri berbeda dengan bahan ajar lainnya.
Modul yaitu berupa pengajaran yang dilakukan oleh guru kemudian dituangkan
dalam bentuk tulisan. Penerapan praktikum dengan menggunakan modul
praktikum dapat mempengaruhi keterampilan proses sains siswa, keaktifan siswa
dan kognitif siswa (Sufinah, 2013).
Menurut Nurmala (2019), Learning Cycle merupakan model pembelajaran
kooperatif dimana peserta didik sebagai pusat pembelajaran (student centered),
berupa rangkaian tahap-tahap kegiatan (fase) yang diorganisasikan sedemikian
30
rupa agar peserta didik dapat menguasai kompetensi-kompetensi yang harus
dikuasai dalam pembelajaran dengan jalan berperan aktif.
Model learning cycle ini mempunyai tujuan yang memberikan kesempatan
kepada siswa untuk mengkonstruksi pengetahuan dan pengalaman mereka sendiri
dengan terlibat secara aktif mempelajari materi secara bermakna dengan bekerja
dan berfikir baik secara individu maupun kelompok, sehingga siswa dapat
menguasai kompetensi– kompetensi yang harus dicapai dalam pembelajaran
(Fitriyani, 2016).
Pada kegiatan ini hasil penelitian dari tahap I akan dikembangkan menjadi
sebuah produk sumber belajar berupa buku Panduan praktikum dengan
menggunakan Learning Cycle 3E yang dimodifikasi ke dalam penelitian
pengembangan. Model pembelajaran Leaning Cycle 3E adalah pembelajaran yang
dilakukan melalui serangkaian tahap (fase pembelajaran). Model pembelajaran
Learning Cycle 3E terdiri dari tiga fase yaitu, fase eksplorasi (exploration), fase
penjelasan konsep (explanation) dan fase penerapan konsep (elaboration) (Lisma,
Kurniawan, & Sulistri, 2017).
31
Gambar 2.2 Modifikasi Pengembangan Modul Praktikum Menggunakan
Learning Cycle 3E
a. Eksplorasi
Eksplorasi merupakan fase yang membawa siswa untuk memperoleh
pengetahuan secara langsung yang berhubungan dengan konsep yang akan
dipelajari. Fase ini dapat dilakukan dengan mengobservasi, bertanya, dan
menyelidiki konsep dari bahan-bahan pembelajaran yang telah disediakan
sebelumnya. Pada fase ini perlu diadakan penilaian kebutuhan (need assessment)
dengan melihat hasil penelitian pada tahap I. Pada penelitian tahap I membahas
Pengaruh Pemberian Berbagai Konsentrasi Ekstrak Daun Kastuba (Euphorbia
pulcherrima) terhadap Penyembuhan Luka Sayat Tikus Putih (Rattus norvegicus).
Hasil pada penelitian tahap I ini berkaitan dengan salah satu materi pokok SMA
kelas XI pada bab “Struktur dan Fungsi Sel pada Tumbuhan dan Hewan” SMA
kelas XI KD. 3.4 Menerapkan konsep tentang keterkaitan hubungan antara
struktur sel pada jaringan hewan dengan fungsi organ pada hewan berdasarkan
hasil pengamatan.
1 E (Eksplorasi):
1. Hasil Penelitian
2. Silabus, RPP, dan Kebutuhan
guru/siswa
2 E (Eksplanasi)
1. Studi Pustaka
2. Konsultasi ke pakar/ahli
3 E (Elaborasi)
Pengembangan Produk
32
b. Eksplanasi
Kegiatan pada fase ini bertujuan untuk melengkapi, menyempurnakan, dan
mengembangkan konsep yang telah diperoleh pada tahap sebelumnya. Dalam
kegiatan ini terdapat dorongan untuk menjelaskan konsep yang sudah diperoleh
dengan bahasa sendiri sehingga dapat menentukan istilah-istilah dari konsep yang
dipelajari. Kegiatan tersebut dapat dilaksanakan dengan melakukan studi pustaka
dan dari hasil penelitian yang telah dilakukan. Kemudian setelah melakukan studi
pustaka melanjutkan membuat desain produk buku panduan praktikum yang akan
dikembangkan.
c. Elaborasi
Fase elaborasi bertujuan untuk mengasah pemahaman yang sudah
didapatkan, dan meningkatkan potensi yang ada pada diri siswa. Kegiatan pada
fase ini mengarah pada penerapan-penerapan konsep yang telah dipahami. Hal ini
bertujuan untuk mengubah konsep yang telah dikembangkan menjadi sebuah
produk buku panduan praktikum. Produk tersebut digunakan untuk meningkatkan
pemahaman siswa sehingga siswa dapat membuat hubungan dengan konsep yang
telah dipelajari dan membuatnya lebih mengerti dan paham.
Adapun langkah-langkah pembuatan panduan praktikum pembelajaran
biologi pada materi “Struktur dan Fungsi Sel pada Tumbuhan dan Hewan”
sebagai berikut:
1. Pengerjaan menggunakan aplikasi Mc. Word pada laptop dengan pengaturan
kertas A4, ukuran margin (left 3, top 2, bottom 2, dan right 2)
2. Bagian orientation pilih portrait
33
3. Sistematika sesuai kaidah penulisan untuk panduan praktikum sebagai berikut:
Langkah-langkah membuat Buku Panduan Praktikum yakni:
a. Membuat cover buku panduan praktikum.
b. Menyusun tata tertib, kata pengantar dam daftar isi.
c. Menyusun tujuan praktikum.
d. Memasukkan dasar teori yang didapat dari penguatan sumber pustaka pada
tahap eksplanasi.
e. Menyusun alat, bahan serta prosedur yang digunakan dalam praktikum.
f. Mengisi hasil pengamatan dan menarik analisis untuk dikaitkan dengan
materi pembelajaran.
4. Dicetak sesuai kebutuhan
34
2.9 Kerangka Konsep
Masalah:
Semakin meningkatnya resiko infeksi dari tahun ke tahun di lingkungan masyarakat
akibat infeksi dari luka sayat
Kastuba salah satu tanaman herba yang dimanfaatkan dalam penyembuhan luka
karena memiliki beberapa senyawa antioksidan
Fungsi: sebagai anti
inflamasi yaitu
menyembuhkan rasa
sakit dengan
mengurangi
peradangan atau
pembengkaan
Fase Inflamasi
Penghentian darah
sehingga terjadi hipoksia
dan inflamasi, serta
mempromosikan
pembelahan sel
Fungsi: sebagai faktor
yang diperlukan oleh
fibroblas dalam
mensintesis kolagen.
protein matriks
ekstraseluler yang
berperan dalam fase
penyembuhan jaringan
ikat
Fungsi: dapat
menghambat
hipersekresi cairan
mukosa dan
menetralisir protein
inflamasi, serta
mempercepat proses
epitalisasi
Luka tertutup/sembuh
Flavonoid Saponin Tanin
Fae Poliferasi
Pembentukan jaringan
yang tergranulasi dan
epitelisasi yang
membentuk kolagen
dari sintesis fibroblas
Fase Maturasi
Terjadi setelah fase
poliferasi kemudian
jaringan berkembang
dan penguatan epitel
baru
Senyawa
Peran
Peran
Berkontribusi
Fungsi Fungsi Fungsi
Peran
35
2.10 Hipotesis
Hipotesis dari penelitian ini adalah:
1. Ekstrak daun tanaman Kastuba (Euphorbia pulcherrima) dapat
mempercepat proses penyembuhan luka sayat pada Tikus putih (Rattus
norvegicus)
2. Konsentrasi 10% merupakan konsentrasi yang paling efektif pada
pemberian berbagai ekstrak daun Kastuba (Euphorbia pulcherrima)
terhadap kecepatan penyembuhan luka sayat pada Tikus putih (Rattus
norvegicus
3. Hasil penelitian “Pengaruh Pemberian Berbagai Ekstrak Daun Kastuba
(Euphorbia pulcherrima) terhadap Penyembuhan Luka Sayat pada Tikus
Putih (Rattus norvegicus)” dikembangkan sebagai sumber belajar biologi
dalam bentuk panduan praktikum agar memudahkan siswa untuk
memahami materi “Struktur dan Fungsi Sel pada Tumbuhan dan Hewan”
SMA kelas XI KD. 3.4 Menerapkan konsep tentang keterkaitan
hubungan antara struktur sel pada jaringan hewan dengan fungsi organ
pada hewan berdasarkan hasil pengamatan.