bab ii solanaceae. tanaman ini berasal dari daerah peru ... ii tesis.pdftanaman ini sangat terkenal...

28
6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terong Belanda Terong belanda (Solanum betaceum Cav.) atau yang dikenal dengan sebutan Tamarillo merupakan tanaman perdu jenis terung-terungan yang tergolong ke dalam famili Solanaceae. Tanaman ini berasal dari daerah Peru dan mulai dikembangkan di Indonesia seperti di daerah Bali, Jawa Barat dan Tanah Karo Sumatera Utara. Tanaman ini sangat terkenal di daerah New Zealand karena rasa buahnya merupakan kombinasi antara tomat dan jambu biji dan menjadi daya tarik masyarakat di New Zealand (Kumalaningsih dan Suprayogi, 2006). Pada awalnya terong belanda dikenal dengan nama Cyphormandra betaceae (Cav.) Sendt., namun kemudian direvisi oleh Sendtner dengan nama ilmiah Solanum betaceum Cav (Faucon, 1998). 2.1.1 Klasifikasi terong belanda Secara taknonomi, tanaman terong belanda dapat diklasifikasikan sebagai berikut (Departemen Kesehatan dan Kesehatan Sosial, 2001). Kingdom : Plantae Subkingdom : Tracheobionta Divisi : Spermatophyta Subdivisi : Angiospermae Klass : Dicotyledonae Subklass : Asteridae

Upload: dangkhuong

Post on 24-Apr-2019

221 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

6

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Terong Belanda

Terong belanda (Solanum betaceum Cav.) atau yang dikenal dengan sebutan

Tamarillo merupakan tanaman perdu jenis terung-terungan yang tergolong ke

dalam famili Solanaceae. Tanaman ini berasal dari daerah Peru dan mulai

dikembangkan di Indonesia seperti di daerah Bali, Jawa Barat dan Tanah Karo

Sumatera Utara. Tanaman ini sangat terkenal di daerah New Zealand karena rasa

buahnya merupakan kombinasi antara tomat dan jambu biji dan menjadi daya

tarik masyarakat di New Zealand (Kumalaningsih dan Suprayogi, 2006). Pada

awalnya terong belanda dikenal dengan nama Cyphormandra betaceae (Cav.)

Sendt., namun kemudian direvisi oleh Sendtner dengan nama ilmiah Solanum

betaceum Cav (Faucon, 1998).

2.1.1 Klasifikasi terong belanda

Secara taknonomi, tanaman terong belanda dapat diklasifikasikan sebagai

berikut (Departemen Kesehatan dan Kesehatan Sosial, 2001).

Kingdom : Plantae

Subkingdom : Tracheobionta

Divisi : Spermatophyta

Subdivisi : Angiospermae

Klass : Dicotyledonae

Subklass : Asteridae

7

Ordo : Solanales

Famili : Solanaceae

Genus : Solanum

Spesies : Solanum betaceum Cav.

Gambar 2.1Terong belanda (Solanum betaceum Cav.)

2.1.2 Penyebaran tanaman terong belanda

Terong belanda berasal dari pegunungan Andes di Peru, Chili, Equador

dan Bolivia. Tanaman ini kemudian masuk ke Indonesia dan berkembang di

daerah Bali, Jawa Barat serta Sumatera Utara. Tanaman ini menjadi daya tarik

penduduk New Zealand sejak zaman dahulu (Kumalaningsih dan Suprayogi,

2006).

2.1.3 Morfologi terong belanda

Terong belanda merupakan tanaman semak atau pohon dengan tinggi

batang antara 2 sampai 3 meter dengan diameter batang 4 cm. Batangnya

berbentuk bulat dan memiliki daun alternate dengan bentuk kordatus, vena

8

menonjol dan panjang petiolus antara 7 sampai 10 cm. Bentuk bunga terong

belanda berukuran kecil, mempunyai tandan dengan warna merah jambu sampai

biru terong dengan diameter berukuran 1 cm (Verheij & Coronel, 1992).

Tanaman ini memiliki tangkai panjang sehingga sau dengan yang lainnya

dapat tumbuh sendirian atau ada yang berkelompok sebanyak 3-12. Buah terong

belanda berbentuk oval dengan ukuran panjang antara 5-6 cm serta lebarnya di

atas 5 cm. Warna kulit buah ini sangat bervariasi mulai dari ungu gelap, merah

darah, oranye dan kuning. Terong belanda yang masih muda berwarna hijau agak

keabu-abuan. Ketika buah sudah mulai matang maka warnanya akan menjadi

merah kecoklatan. Daging buah terong belanda berwarna kekuningan dan

dibungkus oleh selaput tipis. Daging buah ini terdiri atas lapisan luar yang

memiliki kandungan air yang tinggi. Biji terong belanda berwarna coklat muda

hingga kehitaman dengan struktur yang keras dengan bentuk yang agak tumpul,

bulat dan kecil namun lebih besar daripada biji tomat (Kumalaningsih, 2006).

2.1.4 Jenis terong belanda

Berdasarkan tipe buahnya, terong belanda dapat dibedakan menjadi

beberapa kelompok sebagai berikut.

1. Terong belanda merah

Terong belanda merah memiliki karakteristik yaitu kulit buahnya berwarna

merah dengan warna merah gelap di sekitar bijinya dan warna kuning

emas pada daging buahnya. Terong belanda jenis ini rasanya manis dan

memiliki aroma yang enak terutama pada buah yang berukuran kecil.

9

Buah ini sering dimanfaatkan untuk keperluan industri pangan seperti sari

buah, sirup, permen dan lain sebagainya.

2. Terong belanda kuning

Karakteristik dari buah terong belanda kuning adalah warna kulitnya yang

kuning dengan daging buah yang berwarna kuning emas di sekitar biji.

Tanaman jenis ini menghasilkan buah yang berukuran paling besar di

antara jenis yang lainnya.

3. Terong belanda kuning emas

Karakteristik dari terong kuning emas adalah kulit buah yang berwarna

kuning emas kemerah-merahan. Perbedaan antara terong belanda jenis ini

dengan yang lainnya adalah tidak ada warna di sekitar bijinya. Terong

belanda ini rasanya lebih manis dibandingkan jenis lainnya

(Kumalaningsih, 2006).

2.1.5 Kandungan nutrisi dan manfaat terong belanda

Buah terong belanda sangat kaya nutrisi yang dibutuhkan oleh tubuh

seperti vitamin, mineral, beta karoten, karbohidrat, protein, lemak, antosianin dan

serat. Kandungan tersebut sangat berperan penting bagi tubuh untuk menangkal

serangan radikal bebas.

10

Nutrisi yang terkandung dalam buah terong belanda dapat dilihat pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1Kandungan nutrisi buah terong belanda (Kumalaningsih, 2006; Morton, 1987)

Kandungan Gizi Jumlah (tiap 100 g)

Vitamin A

Vitamin B1

Vitamin B2

Vitamin B6

Vitamin C

Vitamin E

Karoten

Karbohidrat

Protein

Lemak

Serat

Niasin

Kalium

Kalsium

Magnesium

Besi

Seng

Fosfor

Kadar air

Kadar abu

540-5600 μg

0,03-0,14 mg

0,01-0,05 mg

0,01-0,05 mg

15-42 mg

2 mg

0,371-0,653 mg

10,3 g

1,4-2 mg

0,1-0,6 mg

1,4-4,7 mg

0,3-1,4 mg

0,28-0,38 mg

6-18 mg

16-25 mg

0,3-0,9 mg

0,1-0,2 mg

22-65 mg

80-90 g

0,66-0,94 mg

11

2.2 Antioksidan

Antioksidan merupakan suatu senyawa yang mampu menetralkan radikal

bebas seperti superoksida, oksigen singlet, radikal peroksil, radikal hidroksil

dengan menyumbangkan atau menerima elektron radikal bebas. Antioksidan

mampu menstabilkan radikal bebas yaitu dengan cara melengkapi kekurangan

elektron yang dimiliki oleh radikal bebas. Selain itu, antioksidan juga mampu

menghambat terjadinya reaksi berantai pembentukan radikal bebas. Jumlah

radikal bebas yang tidak seimbang dengan antioksidan menyebabkan terjadinya

kerusakan sel. Secara umum, mekanisme antioksidan di dalam tubuh adalah

menghambat proses oksidasi lemak, terutama asam lemak tak jenuh (Rice-Evans

et al., 1997).

Berdasarkan fungsi dan mekanisme kerjanya dalam melindungi jaringan

terhadap pengaruh radikal bebas, antioksidan dapat dikelompokkan menjadi lima

kelompok sebagai berikut (Rice-Evans et al., 1997).

a. Antioksidan primer

Antioksidan primer berfungsi mencegah terbentuknya radikal bebas yang

baru dengan cara mengubah radikal bebas menjadi molekul yang lebih

stabil. Sistem kerja dari antioksidan ini sangat dipengaruhi oleh mineral-

mineral seperti mangan, seng, tembaga dan selenium. Antioksidan primer

yang ada di dalam tubuh diantaranya: superoksida dismutase (SOD),

glutation peroksidase (GPx) dan katalase.

12

b. Antioksidan sekunder

Antioksidan sekunder berfungsi menangkap radikal bebas dan mencegah

timbulnya reaksi berantai sehingga mencegah terjadinya kerusakan yang

lebih besar dalam tubuh. Contoh antioksidan sekunder adalah vitamin C,

vitamin E, β-karoten, asam urat, isoflavon, bilirubin dan albumin.

c. Antioksidan tersier

Antioksidan tersier berfungsi memperbaiki sel-sel serta jaringan yang rusak

yang disebabkan oleh serangan radikal bebas. Contoh antioksidan tersier

adalah metionin sulfosida reduktase (Sidik, 1997).

d. Oxygen scavenger

Oxygen scavenger berfungsi mengikat oksigen sehingga tidak mendukung

reaksi oksidasi, contohnya vitamin C.

e. Chelators atau sequesstrant

Chelators atau sequesstrant bersifat mengikat logam yang mampu

mengkatalisis reaksi oksidasi, contohnya asam sitrat dan asam amino.

Berdasarkan sumbernya, antioksidan dapat digolongkan menjadi dua

kelompok yaitu (Trilaksani, 2003):

1. Antioksidan sintetik

Antioksidan sintetik merupakan antioksidan yang diperoleh dari hasil

sintesis reaksi kimia.

2. Antioksidan alami

Antioksidan alami merupakan antioksidan yang berasal dari hasil ekstraksi

bahan alami.

13

Peranan antioksidan tidak terlepas dari kandungan nutrien serta sistem

pertahanan antioksidan tersebut dalam tubuh.

2.3 Flavonoid

Senyawa flavonoid merupakan golongan metabolit sekunder yang

dihasilkan oleh tanaman. Keberadaan flavonoid dapat ditemukan pada semua

bagian tumbuhan tingkat tinggi termasuk daun, akar, kulit kayu, tepung sari,

nektar, bunga, buah dan biji (Gould dan Lister, 2006). Flavonoid yang ditemukan

di alam berupa glikosida yang merupakan kombinasi antara gula dan alkohol.

Pada tumbuhan, senyawa flavonoid ditemukan dalam bentuk campuran yang

terdiri atas flavonoid dengan kelas yang berbeda (Harborne, 1988). Senyawa

flavonoid memiliki 15 atom karbon, terdiri atas 2 cincin benzena yang

dihubungkan oleh rantai linier yang terdiri atas tiga atom karbon.

Struktur flavonoid adalah C6-C3-C6 yang dapat dilihat pada Gambar 2.2.

Gambar 2.2Struktur senyawa flavonoid (Manitto, 1992)

14

Susunan rantai karbon pada struktur flavonoid dapat menghasilkan tiga jenis

struktur, yaitu flavonoid (1,3-diarilpropana), isoflavonoid (1,2-diarilpropana),

neoflavonoid (1,1-diarilpropana) yang dapat dilihat pada Gambar 2.3.

Gambar 2.3Tiga jenis struktur senyawa flavonoid (Achmad, 1986)

Berdasarkan sifat kelarutan dan reaksi warna, flavonoid dapat digolongkan

menjadi beberapa jenis, yang dapat dilihat pada Tabel 2.2.

Tabel 2.2Uji kualitatif golongan senyawa flavonoid (Harborne, 1987)

Pereaksi Golongan flavonoid Warna hasil reaksiCH3COONa Antosianidin MerahFeCl3 Antosianidin BiruNa2CO3 Antosianidin Ungu, biru, hijauPb(CH3COO)2 Kalkon

AuronFlavon

JinggaMerahJingga-krem

NaOH 0,1 N Kalkon, Auron Merah-unguFlavonol, flavon Kuning

H2SO4 pekat Flavon KuningFlavonol Kuning, Jingga-kremKalkon Merah

15

Berikut ini merupakan struktur dari beberapa golongan senyawa flavonoid.

O

O

O

O

(a) Antosianin (b) Kalkon (c) Flavon

O

O

CO

O

OH

O

O

(d) Auron (e) Flavonol (f) Flavanon

O

O

OH

O

O O

(g) Flavanonol (h) Isoflavon (i) Dihidrokalkon

O

OH

OH

HO

OH

OH

(j) Flavan-3,4-diol

Gambar 2.4Struktur dari beberapa golongan senyawa flavonoid (Harborne, 1987)

16

Flavonoid memiliki sistem aromatik terkonjugasi sehingga menunjukkan

pita serapan yang kuat pada daerah spektrum UV-Vis (Harborne, 1987).

Flavonoid memiliki spektrum khas yang terdiri atas dua panjang gelombang

maksimum yaitu 240-285 nm (pita 2) dan 300-550 nm (pita 1). Rentang serapan

spektrum UV-Vis senyawa flavonoid dapat dilihat pada Tabel 2.3.

Tabel 2.3Rentang serapan spektrum UV-Vis senyawa flavonoid (Markham, 1988)

Pita 2 (nm) Pita 1 (nm) Jenis flavonoid250-280 310-350 Flavon250-280 330-360 Flavonol (3-OH tersubstitusi)250-280 350-385 Isoflavon245-275 310-330 (bahu)

320 (puncak)Isoflavon(5-deoksi-6,7-dioksigenasi)

275-295 300-330 Flavanon dan dihidroflavonol230-270 340-390 Kalkon230-270 380-430 Auron270-280 465-560 Antosianidin dan antosianin

Aglikon flavonoid merupakan flavonoid yang tidak mengikat gugus gula

serta bersifat kurang polar sehingga cenderung mudah larut dalam pelarut eter dan

kloroform. Yang termasuk ke dalam flavonoid ini diantaranya isoflavon,

flavonon, flavon serta flavonol yang termetoksi. Flavonoid glikosida merupakan

flavonoid yang mengikat gugus gula. Flavonoid O-glikosida merupakan senyawa

flavonoid yang mengikat satu gugus hidroksil pada satu gugus gula. Selain itu,

terdapat pula flavonoid C-glikosida yang merupakan flavonoid yang gulanya

terikat langsung pada inti benzena dengan ikatan C-C. Adanya pengaruh glikosida

menyebabkan senyawa flavonoid bersifat mudah larut dalam air (Markham,

1988).

17

Berbagai jenis senyawa, kandungan dan aktivitas antioksidatif flavonoid

sebagai antioksidan alami yang tersebar pada sayur-sayuran, sereal dan buah-

buahan telah banyak dipublikasikan. Osawa et al. (1992) telah mengisolasi suatu

senyawa flavonoid baru dari daun green barley muda yang diidentifikasi sebagai

2’’-O-Glycosylisovitexin (2’’-O-GIV). Berdasarkan hasil pengujian, sebanyak

100 μM senyawa 2’’-O-GIV pada pH 7,4 dalam kondisi irradiasi UV, mampu

menekan pembentukan 40% malondialdehyde (Kitta et al., 1992). Kandungan

isoflavon yang telah diidentifikasi dari tempe berpotensi dalam pencegahan

penuaan dini sel dan penyakit degeneratif karena memiliki kemampuan sebagai

antioksidan yaitu sebagai free radical scavenging (Ren et al., 2001; Rimbach,

2003).

Flavonoid merupakan antioksidan sekunder yang terbukti bermanfaat

dalam mencegah kerusakan sel yang diakibatkan oleh stres oksidatif. Aktivitas

antioksidan yang dimiliki oleh senyawa flavonoid dapat dimanfaatkan untuk

pencegahan penyakit degeneratif. Mekanisme kerja dari senyawa flavonoid

sebagai antioksidan bisa secara langsung maupun tidak langsung. Mekanisme

kerja secara langsung yaitu dengan mendonorkan ion hidrogen sehingga dapat

menetralisir efek toksik dari radikal bebas. Mekanisme kerja secara tidak

langsung yaitu dengan meningkatkan ekspresi gen antioksidan endogen melalui

beberapa mekanisme. Salah satu mekanisme peningkatan ekspresi gen antioksidan

adalah melalui aktivasi nuclear factor erythroid 2 related factor 2 (Nrf2) sehingga

terjadi peningkatan ekspresi gen yang berperan dalam sintesis misalnya gen SOD

(superoxide dismutase) (Sumardika dan Jawi, 2012).

18

2.4 Vitamin E (Tokoferol)

Vitamin E pertama kali ditemukan pada tahun 1922 yaitu ketika diketahui

bahwa tikus betina membutuhkan suatu zat dalam dietnya untuk mempertahankan

kehamilan normal. Vitamin ini memiliki delapan isomer yang terdiri atas empat

tokoferol (α, β, γ dan δ) dan empat tokotrienol (α, β, γ dan δ). Bentuk vitamin E

tersebut didasarkan pada letak gugus metil pada cincin fenil rantai cabang serta

ketidakjenuhan rantai cabang tersebut (Burton, 1984; Brigelius-Flohe, 1999).

Vitamin E untuk pertama kalinya diisolasi pada tahun 1936 dari minyak tepung

gandum.

Pada vitamin E, terdapat tokoferol yang paling aktif serta sangat berperan

penting untuk aktivitas biologi tubuh yaitu α-tokoferol sehingga aktivitas vitamin

E diukur sebagai α-tokoferol. α-tokoferol tersimpan terutama dalam jaringan

adiposa, hati dan otot (Bagchi, 1998). Senyawa ini berfungsi sebagai pemutus

rantai peroksidasi lemak pada membran. α-tokoferol mampu mengendalikan

peroksidasi lemak dengan menyumbangkan H+ ke dalam reaksi sehingga radikal

peroksil dapat diubah menjadi radikal tokoferol yang kurang reaktif, menghalangi

aktivitas tambahan yang diakibatkan oleh peroksida, sehingga memutus reaksi

berantai serta bersifat mengendalikan kerusakan. Tokoferol mempunyai aktivitas

yang paling tinggi terhadap radikal peroksil. Gugus yang bertanggung jawab

terhadap aktivitas antioksidan adalah gugus fenol pada gugus hidroksil cincin C6

dan adanya sistem cincin kromanol untuk menstabilkan elektron yang tidak

berpasangan (Burton, 1994; Brigelius-Flohe, 1999 dan Evans, 1991).

19

Struktur dari molekul α-tokoferol yang terkandung dalam vitamin E dapat

dilihat pada Gambar 2.5 berikut ini.

Gambar 2.5Struktur molekul α-tokoferol

Adapun karakteristik dari vitamin ini adalah tidak larut dalam air tetapi larut

dalam minyak, lemak, alkohol, aseton, eter dan pelarut lemak lainnya. Vitamin E

bersifat stabil pada pemanasan serta tidak terpengaruh oleh asam pada suhu di atas

1000C. Apabila terkena oksigen yang ada di dalam udara, akan teroksidasi secara

perlahan-lahan.

Pengaruh antioksidan in vivo melibatkan oksidasi tokoferol menjadi

tokoferilquinon melalui senyawa antara radikal tokoferoksil. Asam askorbat telah

terbukti secara in vitro mereduksi tokoferoksil menjadi tokoferol kembali serta

teroksidasi menjadi asam dehidroaskorbat selama proses. Sumber α-tokoferol

banyak ditemukan dalam minyak tumbuhan seperti minyak bunga matahari,

minyak zaitun, kacang-kacangan, biji gandum dan sayuran berwarna hijau

(Combs, 1992).

19

Struktur dari molekul α-tokoferol yang terkandung dalam vitamin E dapat

dilihat pada Gambar 2.5 berikut ini.

Gambar 2.5Struktur molekul α-tokoferol

Adapun karakteristik dari vitamin ini adalah tidak larut dalam air tetapi larut

dalam minyak, lemak, alkohol, aseton, eter dan pelarut lemak lainnya. Vitamin E

bersifat stabil pada pemanasan serta tidak terpengaruh oleh asam pada suhu di atas

1000C. Apabila terkena oksigen yang ada di dalam udara, akan teroksidasi secara

perlahan-lahan.

Pengaruh antioksidan in vivo melibatkan oksidasi tokoferol menjadi

tokoferilquinon melalui senyawa antara radikal tokoferoksil. Asam askorbat telah

terbukti secara in vitro mereduksi tokoferoksil menjadi tokoferol kembali serta

teroksidasi menjadi asam dehidroaskorbat selama proses. Sumber α-tokoferol

banyak ditemukan dalam minyak tumbuhan seperti minyak bunga matahari,

minyak zaitun, kacang-kacangan, biji gandum dan sayuran berwarna hijau

(Combs, 1992).

19

Struktur dari molekul α-tokoferol yang terkandung dalam vitamin E dapat

dilihat pada Gambar 2.5 berikut ini.

Gambar 2.5Struktur molekul α-tokoferol

Adapun karakteristik dari vitamin ini adalah tidak larut dalam air tetapi larut

dalam minyak, lemak, alkohol, aseton, eter dan pelarut lemak lainnya. Vitamin E

bersifat stabil pada pemanasan serta tidak terpengaruh oleh asam pada suhu di atas

1000C. Apabila terkena oksigen yang ada di dalam udara, akan teroksidasi secara

perlahan-lahan.

Pengaruh antioksidan in vivo melibatkan oksidasi tokoferol menjadi

tokoferilquinon melalui senyawa antara radikal tokoferoksil. Asam askorbat telah

terbukti secara in vitro mereduksi tokoferoksil menjadi tokoferol kembali serta

teroksidasi menjadi asam dehidroaskorbat selama proses. Sumber α-tokoferol

banyak ditemukan dalam minyak tumbuhan seperti minyak bunga matahari,

minyak zaitun, kacang-kacangan, biji gandum dan sayuran berwarna hijau

(Combs, 1992).

20

2.5 Radikal Bebas

Radikal bebas merupakan suatu atom, gugus atau molekul yang memiliki

satu elektron atau lebih yang tidak berpasangan pada orbital terluarnya sehingga

mampu menyerang senyawa-senyawa lain seperti DNA, membran lipid dan

protein. Radikal bebas merebut elektron dari molekul lain yang berada di

sekitarnya agar stabil sehingga seringkali menjadi penyebab terjadinya kerusakan

sel, kerusakan jaringan dan proses penuaan. Secara kimiawi, radikal bebas bersifat

sangat aktif karena adanya elektron tidak berpasangan. Radikal bebas dapat

berupa kation (bermuatan positif), anion (bermuatan negatif) atau tidak bermuatan

(Halliwell and Gutteridge, 2000).

Berdasarkan sumbernya, radikal bebas dapat berasal dari proses

metabolisme dalam tubuh (internal) dan dapat berasal dari luar tubuh (eksternal)

yang disajikan pada Tabel 2.4.

Tabel 2.4Sumber radikal bebas (Esti, 2012)

Sumber Internal Sumber EksternalMitokondria RokokFagosit Polutan lingkunganXantin oksidase RadiasiOlah raga Obat-obatan tertentuPeradangan PestisidaIskemia/reperfusi Larutan industri

Ozon

Radikal bebas yang berasal dari dalam tubuh diantaranya superoksida (O2•),

hidroksil (•OH), peroksil (ROO•), hidrogen peroksida (H2O2), singlet oksigen

(1O2), oksida nitrit (NO•) dan peroksinitrit (ONOO•). Radikal bebas yang berasal

21

dari luar tubuh antara lain berasal dari asap rokok, polusi, radiasi, sinar UV, obat,

pestisida, limbah industri dan ozon (Siswono, 2005).

Pada umumnya radikal bebas memiliki efek yang sangat menguntungkan

karena dapat membantu destruksi sel-sel mikroorganisme dan kanker. Akan

tetapi, produksi radikal bebas yang berlebihan yang tidak disertai dengan produksi

antioksidan yang memadai dapat menyebabkan kerusakan sel-sel jaringan dan

mengganggu kerja enzim. Kerusakan jaringan dapat terjadi akibat gangguan

oksidatif yang disebabkan oleh radikal bebas asam lemak yang dikenal dengan

sebutan peroksidasi lipid. Aktivitas radikal bebas dapat menjadi penyebab atau

mendasari berbagai keadaan patologis. Di antara senyawa-senyawa oksigen

reaktif, radikal bebas (•OH) merupakan senyawa yang paling berbahaya karena

memiliki tingkat reaktivitas yang sangat tinggi. Keberadaan radikal hidroksil

dalam tubuh dapat merusak tiga jenis senyawa penting yang berfungsi untuk

mempertahankan integritas sel yaitu:

Asam lemak tak jenuh jamak (PUFA) yang merupakan senyawa penting

fosfolipid yang menyusun membran sel.

DNA yang merupakan materi genetik dari sel.

Protein yang berperan penting seperti enzim, reseptor, antibodi, pembentuk

matriks dan sitoskeleton (Halliwell and Gutteridge, 2000; Papas, 1999).

Regulasi jumlah radikal bebas secara normal dalam sistem biologis tubuh

dilakukan oleh enzim-enzim antioksidan endogenous seperti superoksida

dismutase (SOD), glutation peroksidase (GPx) dan katalase (Cat). Pengukuran

radikal bebas di dalam tubuh sangat sulit dilakukan karena radikal bebas mampu

22

bereaksi sangat cepat sehingga seringkali dilakukan pengukuran secara tidak

langsung melalui produk turunannya seperti MDA atau 4-hidroksinonenal. Kedua

senyawa tersebut seringkali digunakan sebagai pengukuran reaksi radikal bebas

lipid (Belleville-Nabet, 1996).

2.6 Produksi Radikal Bebas Akibat Aktivitas Fisik

Salah satu pemicu timbulnya radikal bebas adalah aktivitas fisik.

Pembentukan radikal bebas dapat terjadi selama dan setelah proses aktivitas fisik

oleh otot yang berkontraksi serta jaringan yang mengalami iskemik-reperfusi

(Chevion et al., 2003). Terbentuknya radikal bebas diakibatkan oleh otot rangka

yang berkontraksi (Powers and Jackson, 2008). Pada saat melakukan aktivitas

fisik maksimal, konsumsi oksigen tubuh meningkat dengan cepat. Selama

melakukan aktivitas fisik maksimal, penggunaan oksigen dapat meningkat hingga

100-200 kali dibandingkan pada saat istirahat (Chevion et al., 2003). Pada saat

terjadi fosforilasi oksidatif di dalam mitokondria, oksigen direduksi oleh sistem

transport elektron mitokondria dengan tujuan membentuk adenosin trifosfat

(ATP) dan air. Sebanyak 2% molekul oksigen akan berikatan dengan elektron

tunggal yang bocor dari karier elektron pada rantai pernapasan selama proses

fosforilasi oksidatif sehingga membentuk radikal superoksida (O2-). Kehadiran

radikal superoksida akan membentuk hidrogen peroksida (H2O2) dan hidroksil

reaktif (OH-) yaitu dengan cara berinteraksi dengan logam transisi reaktif seperti

tembaga dan besi.

23

Proses reduksi oksigen secara lengkap diuraikan oleh Clarkson and

Thompson (2000) sebagai berikut.

1. O2 + e- O2-• (superoxide radical)

2. O2-• + H2O H2O• + OH- (hydroperoxyl radical)

3. H2O• + e- + H+ H2O2 (hydrogen peroxyde)

4. H2O2 + e- •OH + OH- (hydroxyl radical)

2.7 Stres Oksidatif

Stres oksidatif merupakan suatu kondisi fisiologis yang terjadi akibat

jumlah radikal bebas yang terbentuk melebihi kapasitas pertahanan antioksidan

yang berpotensi menimbulkan kerusakan pada molekul sel. Kerusakan yang

diakibatkan oleh stres oksidatif seringkali dikenal dengan kerusakan oksidatif,

yaitu kerusakan biomolekul penyusun sel yang timbul akibat reaksi dengan

radikal bebas. Peningkatan stres oksidatif berpotensi merusak membran lipid

sehingga membentuk malondialdehida (MDA), merusak protein, karbohidrat serta

DNA (Kevin et al., 2006). Kerusakan oksidatif yang disebabkan oleh radikal

bebas berdampak pada berbagai kondisi patologis, antara lain terjadinya

kerusakan sel, jaringan, organ (hati, ginjal, dan jantung) bahkan dapat berakhir

pada kematian sel sehingga memicu munculnya penyakit degeneratif baik pada

manusia maupun hewan. Stres oksidatif dapat menyebabkan terjadinya penyakit

neurodegeneratif, seperti Artherosclerosis, Parkinson, Alzheimer, serta

mempercepat proses penuaan, memicu risiko terjadinya kanker dan kerusakan sel.

Stres oksidatif yang terjadi secara berlebihan akan menimbulkan efek patologis

(Kevin et al., 2006; Valko et al., 2007).

24

Tingkat stres oksidatif dapat diukur dengan beberapa cara antara lain

pengukuran kadar MDA dan aktivitas enzim SOD. Terbentuknya MDA

merupakan tanda biologis untuk mengukur tingkat stres oksidatif pada organisme

karena MDA merupakan suatu senyawa toksik yang terbentuk dari hasil akhir

terputusnya rantai karbon asam lemak pada proses peroksidasi lipid (McBridge &

Kraemer, 1999). Proses oksidasi lipid merupakan salah satu hasil kerja dari

radikal bebas yang diketahui paling awal dan paling mudah pengukurannya

(Winarsi, 2007). Selain MDA, tingkat stres oksidatif juga dapat diketahui dari

aktivitas SOD karena enzim ini berperan penting dalam sistem pertahanan tubuh,

terutama terhadap aktivitas senyawa oksigen reaktif penyebab stres oksidatif.

2.8 Superoksida Dismutase (SOD)

Superoksida dismutase merupakan metaloenzim yang mengandung atom

tembaga, seng atau besi yang dibentuk dalam sitosol atau yang mengandung

mangan yang dibentuk di dalam matriks mitokondria. SOD berperan sebagai

antioksidan intraselular utama dalam sel aerobik. Keberadaan SOD dapat

ditemukan di otak, hati, sel darah merah, ginjal, tiroid, testis, otot jantung, mukosa

lambung, kelenjar pituitari, pankreas dan paru-paru. Enzim ini berfungsi

mengkatalisis reaksi pemecahan anion superoksida menjadi oksigen dan hidrogen

peroksida dengan reaksi sebagai berikut (Combs, 1992; Evans, 1991).

2O2•- + 2H2O + SOD 2 H2O2 + O2 + 2OH-

Semakin tua usia seseorang, kekuatan SOD dalam tubuhnya semakin menurun.

Selain itu, SOD juga dikendalikan oleh faktor genetik (Niwa, 1997).

25

2.9 Malondialdehida (MDA)

Malondialdehida (MDA) merupakan produk enzimatis dan nonenzimatis

yang berasal dari proses pemecahan prostaglandin endoperoksida dan merupakan

produk akhir dari peroksidasi lipid (Leibler et al., 1997). MDA adalah molekul

reaktif yang mempunyai rumus molekul C3H4O2 dan dikenal sebagai penanda

(marker) peroksidasi lipid. Reaksi peroksidasi lemak pada asam lemak tak jenuh

rantai panjang dapat dilihat pada Gambar 2.6 (Murray et al., 2003).

XHX

H H

Asam Lemak Tak Jenuh

C

O

HOH

C

O

HOAsam lemak radikal

OH OO2

Radikal Peroksil

C

O

HO

H

C

O

HO

RH

OOHH

+ R

Hidroperoksida

C

O

HO

O O

Endoperoksida

H H

O O

Malondialdehid (MDA)

C

O

HO

Gambar 2.6Peroksidasi lemak pada asam lemak tak jenuh rantai panjang

26

Para peneliti telah banyak melakukan pengukuran MDA sebagai tolak ukur

secara tidak langsung dari kerusakan oksidatif yang disebabkan oleh peroksidasi

lipid. Tokur et al. (2006) menyatakan bahwa prinsip pengukuran MDA adalah

reaksi satu molekul MDA dengan dua molekul asam tiobarbiturat (TBA)

membentuk kompleks senyawa MDA-TBA yang berwarna hitam dan

kuantitasnya dapat dibaca dengan spektrofotometer.

Beberapa penelitian mengenai MDA telah dilakukan oleh para ahli seperti

yang dilakukan oleh Prangdimurti et al. (2006), yang menyatakan bahwa telah

terjadi penurunan kadar MDA pada hati tikus Sprague Dawley yang telah diberi

asupan ekstrak daun suji. Hasil penelitian Jawi et al. (2008) juga menyatakan

terjadi penurunan kadar MDA pada darah dan hati mencit jantan galur Swiss

setelah diberi asupan ekstrak ubi jalar ungu. Penelitian yang dilakukan oleh Kutlu

et al. (2009) pada tikus hiperkolesterolemia yang disuplementasi dengan ‘apricot

cemel oil’, memberikan hasil yang signifikan terhadap penurunan MDA pada hati

tikus. Hal ini juga didukung oleh penelitian serupa yang dilakukan oleh Dewi

(2014) yang menyatakan bahwa ekstrak etil asetat biji terong belanda memiliki

kemampuan dalam menurunkan kadar MDA plasma darah tikus Wistar. Hasil

penelitian Suarsana et al. (2013) juga menyatakan terjadi penurunan kadar MDA

jaringan hati tikus pada kondisi stres oksidatif setelah diberi asupan isoflavon

yang terdapat pada tempe.

27

2.10 Isolasi dan Identifikasi Senyawa Flavonoid

2.10.1 Ekstraksi

Ekstraksi merupakan suatu metode penarikan komponen kimia yang dapat

larut sehingga terpisah dari bahan yang tidak larut dengan pelarut cair. Proses

ekstraksi sangat ditentukan oleh jenis senyawa, tekstur dan kandungan air dari

bahan yang akan diekstraksi. Ekstraksi dapat dilakukan dengan menggunakan

jaringan tumbuhan yang masih segar maupun yang kering (Harborne, 1987).

Jenis-jenis metode ekstraksi dapat digolongkan sebagai berikut.

1. Cara dingin

a) Maserasi

Maserasi merupakan proses ekstraksi yang dilakukan dengan merendam

sampel untuk menarik komponen yang diinginkan pada kondisi dingin

diskontinyu. Prinsip teknik maserasi adalah pengikatan atau pelarutan zat aktif

berdasarkan sifat kelarutannya dalam suatu pelarut (like dissolved like). Pada

proses ini, cairan pengekstrak akan menembus dinding sel kemudian masuk ke

dalam rongga sel yang mengandung zat aktif yang akan larut yang disebabkan

oleh adanya perbedaan konsentrasi antara larutan zat aktif di dalam sel dan di luar

sel. Keunggulan dari teknik maserasi adalah lebih praktis, penggunaan pelarut

yang lebih sedikit dibandingkan dengan perkolasi serta tidak memerlukan proses

pemanasan. Kelemahan dari teknik ini adalah prosesnya membutuhkan waktu

yang lebih lama. Filtrat yang diperoleh dari proses maserasi biasanya diuapkan

dengan alat penguap putar vakum (rotary vacuum evaporator) sehingga

menghasilkan ekstrak pekat (Harborne, 1987; Kristanti et al., 2008).

28

b) Perkolasi

Perkolasi merupakan teknik ekstraksi dengan mengalirkan pengekstrak

melalui bahan yang telah dibasahi sehingga pelarut yang digunakan selalu baru.

Perkolasi banyak digunakan untuk ekstraksi metabolit sekunder, terutama untuk

senyawa yang tidak tahan panas (Harborne, 1987). Perkolasi terdiri atas beberapa

tahapan yaitu tahap pengembangan, tahap maserasi antara, tahap perkolasi

sebenarnya secara terus-menerus sampai diperoleh ekstraknya. Jika dibandingkan

dengan maserasi, metode perkolasi memiliki kelebihan yaitu:

Aliran cairan pengekstrak menyebabkan adanya pergantian larutan yang

terjadi dengan larutan yang konsentrasinya lebih rendah sehingga

meningkatkan derajat perbedaan konsentrasi.

Ruangan di antara butir-butir serbuk simplisia membentuk saluran tempat

mengalir cairan pengekstrak. Kecepatan pelarut cukup untuk mengurangi

lapisan batas karena kecilnya saluran kapiler sehingga dapat meningkatkan

perbedaan konsentrasi.

2. Cara Panas

a) Refluks

Refluks merupakan metode ekstraksi dengan pelarut pada temperatur yang

sesuai dengan titik didihnya. Prinsip dari teknik refluks adalah proses ekstraksi

yang berkesinambungan. Bahan yang akan dieksraksi direndam dengan cairan

pengekstrak dalam labu alas bulat yang dilengkapi dengan alat pendingin tegak,

kemudian dipanaskan sampai mendidih. Teknik ini biasanya dilakukan 3 kali dan

setiap kali diekstraksi selama 4 jam (Harborne, 1987).

29

b) Sokletasi

Sokletasi merupakan metode ekstraksi yang menggunakan ekstraksi

berulang disertai pemanasan. Metode sokletasi dilakukan dengan cara

memanaskan pelarut hingga membentuk uap dan membasahi sampel. Pelarut yang

sudah membasahi sampel selanjutnya akan turun ke labu pemanasan serta kembali

menjadi uap untuk membasahi sampel. Hal tersebut dapat menghemat

penggunaan pelarut karena terjadi sirkulasi pelarut yang selalu membasahi

sampel. Metode ini sangat baik digunakan untuk senyawa yang tidak mudah

terurai oleh proses pemanasan.

Flavonoid yang tersebar pada tumbuhan pada umumnya bersifat polar.

Oleh karena itu, senyawa flavonoid dapat diekstrak menggunakan pelarut polar.

Ekstrak yang diperoleh dari proses ekstraksi kemudian diuapkan dengan rotary

vacum evaporator sehingga dihasilkan ekstrak yang pekat. Ekstrak inilah yang

dikenal dengan sebutan ekstrak kasar (crude extract). Metode yang paling umum

digunakan pada saat ekstraksi adalah maserasi karena mudah serta memberikan

hasil yang memuaskan (Markham, 1988; Widodo 2007).

2.10.2 Pemisahan dan pemurnian

Sebelum dilakukan proses pemurnian dengan teknik kromatografi, terlebih

dahulu dilakukan proses pemisahan dengan cara ekstraksi cair-cair yang dikenal

dengan tahap partisi (Harborne, 1987). Ekstraksi cair-cair merupakan proses

pemisahan zat terlarut di dalam dua jenis pelarut yang bersifat tidak saling

campur. Pada umumnya ekstraksi cair-cair dimulai dengan penggunaan pelarut

non polar seperti n-heksan atau petroleum eter untuk menarik senyawa yang

30

bersifat non polar. Kemudian dilanjutkan dengan penggunaan pelarut semipolar

seperti kloroform, etil asetat atau aseton untuk menarik senyawa yang bersifat

semipolar. Setelah itu, proses partisi dilanjutkan dengan pelarut polar seperti

metanol atau n-butanol untuk menarik senyawa yang bersifat polar. Proses

ekstraksi cair-cair ini biasanya menggunakan corong pisah dalam proses

pemisahannya (Sudjadi, 1992; Harborne, 1987).

2.10.3 Spektrofotometri UV-Vis

Analisis kualitatif dan kuantitatif sampel yang mengandung flavonoid

dapat dilakukan dengan menggunakan spektrofotometer UV-Vis.

Spektrofotometri UV-Vis merupakan suatu teknik analisis spektroskopi yang

menggunakan sumber REM (radiasi elektromagnetik) ultraviolet dekat (190-380

nm) dan sinar tampak (380-780 nm). Pada proses analisis molekulnya,

spektrofotometri UV-Vis melibatkan energi elektronik yang cukup besar (Mulja

dan Suharman, 1995).

Absorbsi cahaya UV-Vis mengakibatkan terjadinya transisi elektronik,

yaitu perpindahan elektron-elektron dari orbital keadaan dasar yang berenergi

rendah ke orbital keadaan tereksitasi berenergi tinggi. Keuntungan dari serapan

ultraviolet yaitu lebih selektif dimana gugus-gugus yang khas dapat diketahui

dalam molekul-molekul yang sangat kompleks (Noerdin, 1985). Eksitasi elektron

yang memberikan serapan maksimum pada panjang gelombang tertentu disebut

dengan panjang gelombang maksimum (λmaks). Penentuan panjang gelombang

maksimum dapat digunakan untuk mengidentifikasi molekul yang memiliki

karakteristik tertentu sebagai data sekunder.

31

Spektrofotometri ultraviolet merupakan teknik yang paling tepat untuk

menganalisis struktur flavonoid, umumnya ditentukan dalam larutan dengan

pelarut metanol atau etanol. Spektrum senyawa flavonoid terdiri atas dua pita

absorbsi maksimum yaitu pita I pada rentang 300-550 nm dan pita II pada rentang

240-285 nm. Pita I menunjukkan absorbsi sistem benzoil pada cincin A

(Markham, 1988).

Kedudukan gugus hidroksi fenol bebas pada inti flavonoid dapat

ditentukan dengan cara menambahkan pereaksi geser ke dalam larutan cuplikan

dan mengamati puncak serapan yang terjadi (Markham, 1988). Terdapat dua

langkah yang dilakukan dalam menafsirkan spektrum. Langkah pertama yaitu

menentukan jenis flavonoid dengan memperhatikan bentuk umum spektrum

dalam metanol, panjang gelombang pita serapan dan data kromatografi. Langkah

kedua yaitu memperhatikan arti perubahan spektrum yang disebabkan oleh

adanya penambahan berbagai pereaksi geser. Pereaksi geser yang umum

digunakan adalah NaOMe untuk mengetahui keberadaan gugus hidroksil pada

atom C3’ dan C4, NaOAc untuk mengetahui keberadaan gugus 7-hidroksil bebas,

CH3COONa menyebabkan pengionan (pada gugus hidroksil flavonoid yang

paling asam) dan AlCl3 untuk mengetahui letak gugus hidroksil pada atom C3 dan

C5 (Markham, 1988).

32

2.10.4 Spektrofotometri Inframerah

Spektrofotometri inframerah (IR) merupakan suatu teknik yang digunakan

untuk mengukur penyerapan radiasi inframerah pada berbagai panjang

gelombang. Energi inframerah tidak mampu mentransisikan elektron melainkan

hanya menyebabkan molekul mengalami vibrasi pada tingkat vibrasi tertentu.

Spektra inframerah suatu senyawa mampu memberikan gambaran dan struktur

molekul dari senyawa tersebut. Spektra IR dapat dihasilkan dengan mengukur

absorbansi radiasi, refleksi atau emisi di daerah IR.

Suatu ikatan kimia dapat bervibrasi sesuai dengan tingkat energinya

sehingga memberikan frekuensi yang spesifik. Hal inilah yang menjadi dasar

pengukuran spektroskopi IR. Pada umumnya terdapat dua jenis vibrasi molekul

yaitu vibrasi ulur (stretching) dan tekuk (bending). Vibrasi ulur merupakan

pergerakan atom yang teratur sepanjang sumbu ikatan antara dua atom sehingga

jarak antara atom dapat bertambah atau berkurang. Contoh vibrasi ulur adalah

symmetrical stretching dan assymmetrical stretching. Vibrasi tekuk merupakan

pergerakan atom yang menyebabkan perubahan sudut ikatan antara dua ikatan

atau pergerakan dari satu atom ke atom lainnya. Contoh vibrasi tekuk adalah

scissoring, rocking, wagging dan twisting. Daerah inframerah pada spektrum

gelombang elektromagnetik mencakup bilangan gelombang 14.000 cm-1 hingga

10 cm-1. Daerah inframerah sedang (4000-400 cm-1) berkaitan dengan transisi

energi vibrasi dari molekul yang memberikan informasi mengenai gugus-gugus

fungsi dalam molekul tersebut. Daerah inframerah jauh (400-10 cm-1) bermanfaat

untuk menganalisis molekul yang mengandung atom-atom berat seperti senyawa

33

organik, namun membutuhkan teknik khusus yang lebih baik. Daerah inframerah

dekat (12.500-4000 cm-1) yang peka terhadap vibrasi overtone (Ellis, 2006).