bab ii solanaceae. tanaman ini berasal dari daerah peru ... ii tesis.pdftanaman ini sangat terkenal...
TRANSCRIPT
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Terong Belanda
Terong belanda (Solanum betaceum Cav.) atau yang dikenal dengan sebutan
Tamarillo merupakan tanaman perdu jenis terung-terungan yang tergolong ke
dalam famili Solanaceae. Tanaman ini berasal dari daerah Peru dan mulai
dikembangkan di Indonesia seperti di daerah Bali, Jawa Barat dan Tanah Karo
Sumatera Utara. Tanaman ini sangat terkenal di daerah New Zealand karena rasa
buahnya merupakan kombinasi antara tomat dan jambu biji dan menjadi daya
tarik masyarakat di New Zealand (Kumalaningsih dan Suprayogi, 2006). Pada
awalnya terong belanda dikenal dengan nama Cyphormandra betaceae (Cav.)
Sendt., namun kemudian direvisi oleh Sendtner dengan nama ilmiah Solanum
betaceum Cav (Faucon, 1998).
2.1.1 Klasifikasi terong belanda
Secara taknonomi, tanaman terong belanda dapat diklasifikasikan sebagai
berikut (Departemen Kesehatan dan Kesehatan Sosial, 2001).
Kingdom : Plantae
Subkingdom : Tracheobionta
Divisi : Spermatophyta
Subdivisi : Angiospermae
Klass : Dicotyledonae
Subklass : Asteridae
7
Ordo : Solanales
Famili : Solanaceae
Genus : Solanum
Spesies : Solanum betaceum Cav.
Gambar 2.1Terong belanda (Solanum betaceum Cav.)
2.1.2 Penyebaran tanaman terong belanda
Terong belanda berasal dari pegunungan Andes di Peru, Chili, Equador
dan Bolivia. Tanaman ini kemudian masuk ke Indonesia dan berkembang di
daerah Bali, Jawa Barat serta Sumatera Utara. Tanaman ini menjadi daya tarik
penduduk New Zealand sejak zaman dahulu (Kumalaningsih dan Suprayogi,
2006).
2.1.3 Morfologi terong belanda
Terong belanda merupakan tanaman semak atau pohon dengan tinggi
batang antara 2 sampai 3 meter dengan diameter batang 4 cm. Batangnya
berbentuk bulat dan memiliki daun alternate dengan bentuk kordatus, vena
8
menonjol dan panjang petiolus antara 7 sampai 10 cm. Bentuk bunga terong
belanda berukuran kecil, mempunyai tandan dengan warna merah jambu sampai
biru terong dengan diameter berukuran 1 cm (Verheij & Coronel, 1992).
Tanaman ini memiliki tangkai panjang sehingga sau dengan yang lainnya
dapat tumbuh sendirian atau ada yang berkelompok sebanyak 3-12. Buah terong
belanda berbentuk oval dengan ukuran panjang antara 5-6 cm serta lebarnya di
atas 5 cm. Warna kulit buah ini sangat bervariasi mulai dari ungu gelap, merah
darah, oranye dan kuning. Terong belanda yang masih muda berwarna hijau agak
keabu-abuan. Ketika buah sudah mulai matang maka warnanya akan menjadi
merah kecoklatan. Daging buah terong belanda berwarna kekuningan dan
dibungkus oleh selaput tipis. Daging buah ini terdiri atas lapisan luar yang
memiliki kandungan air yang tinggi. Biji terong belanda berwarna coklat muda
hingga kehitaman dengan struktur yang keras dengan bentuk yang agak tumpul,
bulat dan kecil namun lebih besar daripada biji tomat (Kumalaningsih, 2006).
2.1.4 Jenis terong belanda
Berdasarkan tipe buahnya, terong belanda dapat dibedakan menjadi
beberapa kelompok sebagai berikut.
1. Terong belanda merah
Terong belanda merah memiliki karakteristik yaitu kulit buahnya berwarna
merah dengan warna merah gelap di sekitar bijinya dan warna kuning
emas pada daging buahnya. Terong belanda jenis ini rasanya manis dan
memiliki aroma yang enak terutama pada buah yang berukuran kecil.
9
Buah ini sering dimanfaatkan untuk keperluan industri pangan seperti sari
buah, sirup, permen dan lain sebagainya.
2. Terong belanda kuning
Karakteristik dari buah terong belanda kuning adalah warna kulitnya yang
kuning dengan daging buah yang berwarna kuning emas di sekitar biji.
Tanaman jenis ini menghasilkan buah yang berukuran paling besar di
antara jenis yang lainnya.
3. Terong belanda kuning emas
Karakteristik dari terong kuning emas adalah kulit buah yang berwarna
kuning emas kemerah-merahan. Perbedaan antara terong belanda jenis ini
dengan yang lainnya adalah tidak ada warna di sekitar bijinya. Terong
belanda ini rasanya lebih manis dibandingkan jenis lainnya
(Kumalaningsih, 2006).
2.1.5 Kandungan nutrisi dan manfaat terong belanda
Buah terong belanda sangat kaya nutrisi yang dibutuhkan oleh tubuh
seperti vitamin, mineral, beta karoten, karbohidrat, protein, lemak, antosianin dan
serat. Kandungan tersebut sangat berperan penting bagi tubuh untuk menangkal
serangan radikal bebas.
10
Nutrisi yang terkandung dalam buah terong belanda dapat dilihat pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1Kandungan nutrisi buah terong belanda (Kumalaningsih, 2006; Morton, 1987)
Kandungan Gizi Jumlah (tiap 100 g)
Vitamin A
Vitamin B1
Vitamin B2
Vitamin B6
Vitamin C
Vitamin E
Karoten
Karbohidrat
Protein
Lemak
Serat
Niasin
Kalium
Kalsium
Magnesium
Besi
Seng
Fosfor
Kadar air
Kadar abu
540-5600 μg
0,03-0,14 mg
0,01-0,05 mg
0,01-0,05 mg
15-42 mg
2 mg
0,371-0,653 mg
10,3 g
1,4-2 mg
0,1-0,6 mg
1,4-4,7 mg
0,3-1,4 mg
0,28-0,38 mg
6-18 mg
16-25 mg
0,3-0,9 mg
0,1-0,2 mg
22-65 mg
80-90 g
0,66-0,94 mg
11
2.2 Antioksidan
Antioksidan merupakan suatu senyawa yang mampu menetralkan radikal
bebas seperti superoksida, oksigen singlet, radikal peroksil, radikal hidroksil
dengan menyumbangkan atau menerima elektron radikal bebas. Antioksidan
mampu menstabilkan radikal bebas yaitu dengan cara melengkapi kekurangan
elektron yang dimiliki oleh radikal bebas. Selain itu, antioksidan juga mampu
menghambat terjadinya reaksi berantai pembentukan radikal bebas. Jumlah
radikal bebas yang tidak seimbang dengan antioksidan menyebabkan terjadinya
kerusakan sel. Secara umum, mekanisme antioksidan di dalam tubuh adalah
menghambat proses oksidasi lemak, terutama asam lemak tak jenuh (Rice-Evans
et al., 1997).
Berdasarkan fungsi dan mekanisme kerjanya dalam melindungi jaringan
terhadap pengaruh radikal bebas, antioksidan dapat dikelompokkan menjadi lima
kelompok sebagai berikut (Rice-Evans et al., 1997).
a. Antioksidan primer
Antioksidan primer berfungsi mencegah terbentuknya radikal bebas yang
baru dengan cara mengubah radikal bebas menjadi molekul yang lebih
stabil. Sistem kerja dari antioksidan ini sangat dipengaruhi oleh mineral-
mineral seperti mangan, seng, tembaga dan selenium. Antioksidan primer
yang ada di dalam tubuh diantaranya: superoksida dismutase (SOD),
glutation peroksidase (GPx) dan katalase.
12
b. Antioksidan sekunder
Antioksidan sekunder berfungsi menangkap radikal bebas dan mencegah
timbulnya reaksi berantai sehingga mencegah terjadinya kerusakan yang
lebih besar dalam tubuh. Contoh antioksidan sekunder adalah vitamin C,
vitamin E, β-karoten, asam urat, isoflavon, bilirubin dan albumin.
c. Antioksidan tersier
Antioksidan tersier berfungsi memperbaiki sel-sel serta jaringan yang rusak
yang disebabkan oleh serangan radikal bebas. Contoh antioksidan tersier
adalah metionin sulfosida reduktase (Sidik, 1997).
d. Oxygen scavenger
Oxygen scavenger berfungsi mengikat oksigen sehingga tidak mendukung
reaksi oksidasi, contohnya vitamin C.
e. Chelators atau sequesstrant
Chelators atau sequesstrant bersifat mengikat logam yang mampu
mengkatalisis reaksi oksidasi, contohnya asam sitrat dan asam amino.
Berdasarkan sumbernya, antioksidan dapat digolongkan menjadi dua
kelompok yaitu (Trilaksani, 2003):
1. Antioksidan sintetik
Antioksidan sintetik merupakan antioksidan yang diperoleh dari hasil
sintesis reaksi kimia.
2. Antioksidan alami
Antioksidan alami merupakan antioksidan yang berasal dari hasil ekstraksi
bahan alami.
13
Peranan antioksidan tidak terlepas dari kandungan nutrien serta sistem
pertahanan antioksidan tersebut dalam tubuh.
2.3 Flavonoid
Senyawa flavonoid merupakan golongan metabolit sekunder yang
dihasilkan oleh tanaman. Keberadaan flavonoid dapat ditemukan pada semua
bagian tumbuhan tingkat tinggi termasuk daun, akar, kulit kayu, tepung sari,
nektar, bunga, buah dan biji (Gould dan Lister, 2006). Flavonoid yang ditemukan
di alam berupa glikosida yang merupakan kombinasi antara gula dan alkohol.
Pada tumbuhan, senyawa flavonoid ditemukan dalam bentuk campuran yang
terdiri atas flavonoid dengan kelas yang berbeda (Harborne, 1988). Senyawa
flavonoid memiliki 15 atom karbon, terdiri atas 2 cincin benzena yang
dihubungkan oleh rantai linier yang terdiri atas tiga atom karbon.
Struktur flavonoid adalah C6-C3-C6 yang dapat dilihat pada Gambar 2.2.
Gambar 2.2Struktur senyawa flavonoid (Manitto, 1992)
14
Susunan rantai karbon pada struktur flavonoid dapat menghasilkan tiga jenis
struktur, yaitu flavonoid (1,3-diarilpropana), isoflavonoid (1,2-diarilpropana),
neoflavonoid (1,1-diarilpropana) yang dapat dilihat pada Gambar 2.3.
Gambar 2.3Tiga jenis struktur senyawa flavonoid (Achmad, 1986)
Berdasarkan sifat kelarutan dan reaksi warna, flavonoid dapat digolongkan
menjadi beberapa jenis, yang dapat dilihat pada Tabel 2.2.
Tabel 2.2Uji kualitatif golongan senyawa flavonoid (Harborne, 1987)
Pereaksi Golongan flavonoid Warna hasil reaksiCH3COONa Antosianidin MerahFeCl3 Antosianidin BiruNa2CO3 Antosianidin Ungu, biru, hijauPb(CH3COO)2 Kalkon
AuronFlavon
JinggaMerahJingga-krem
NaOH 0,1 N Kalkon, Auron Merah-unguFlavonol, flavon Kuning
H2SO4 pekat Flavon KuningFlavonol Kuning, Jingga-kremKalkon Merah
15
Berikut ini merupakan struktur dari beberapa golongan senyawa flavonoid.
O
O
O
O
(a) Antosianin (b) Kalkon (c) Flavon
O
O
CO
O
OH
O
O
(d) Auron (e) Flavonol (f) Flavanon
O
O
OH
O
O O
(g) Flavanonol (h) Isoflavon (i) Dihidrokalkon
O
OH
OH
HO
OH
OH
(j) Flavan-3,4-diol
Gambar 2.4Struktur dari beberapa golongan senyawa flavonoid (Harborne, 1987)
16
Flavonoid memiliki sistem aromatik terkonjugasi sehingga menunjukkan
pita serapan yang kuat pada daerah spektrum UV-Vis (Harborne, 1987).
Flavonoid memiliki spektrum khas yang terdiri atas dua panjang gelombang
maksimum yaitu 240-285 nm (pita 2) dan 300-550 nm (pita 1). Rentang serapan
spektrum UV-Vis senyawa flavonoid dapat dilihat pada Tabel 2.3.
Tabel 2.3Rentang serapan spektrum UV-Vis senyawa flavonoid (Markham, 1988)
Pita 2 (nm) Pita 1 (nm) Jenis flavonoid250-280 310-350 Flavon250-280 330-360 Flavonol (3-OH tersubstitusi)250-280 350-385 Isoflavon245-275 310-330 (bahu)
320 (puncak)Isoflavon(5-deoksi-6,7-dioksigenasi)
275-295 300-330 Flavanon dan dihidroflavonol230-270 340-390 Kalkon230-270 380-430 Auron270-280 465-560 Antosianidin dan antosianin
Aglikon flavonoid merupakan flavonoid yang tidak mengikat gugus gula
serta bersifat kurang polar sehingga cenderung mudah larut dalam pelarut eter dan
kloroform. Yang termasuk ke dalam flavonoid ini diantaranya isoflavon,
flavonon, flavon serta flavonol yang termetoksi. Flavonoid glikosida merupakan
flavonoid yang mengikat gugus gula. Flavonoid O-glikosida merupakan senyawa
flavonoid yang mengikat satu gugus hidroksil pada satu gugus gula. Selain itu,
terdapat pula flavonoid C-glikosida yang merupakan flavonoid yang gulanya
terikat langsung pada inti benzena dengan ikatan C-C. Adanya pengaruh glikosida
menyebabkan senyawa flavonoid bersifat mudah larut dalam air (Markham,
1988).
17
Berbagai jenis senyawa, kandungan dan aktivitas antioksidatif flavonoid
sebagai antioksidan alami yang tersebar pada sayur-sayuran, sereal dan buah-
buahan telah banyak dipublikasikan. Osawa et al. (1992) telah mengisolasi suatu
senyawa flavonoid baru dari daun green barley muda yang diidentifikasi sebagai
2’’-O-Glycosylisovitexin (2’’-O-GIV). Berdasarkan hasil pengujian, sebanyak
100 μM senyawa 2’’-O-GIV pada pH 7,4 dalam kondisi irradiasi UV, mampu
menekan pembentukan 40% malondialdehyde (Kitta et al., 1992). Kandungan
isoflavon yang telah diidentifikasi dari tempe berpotensi dalam pencegahan
penuaan dini sel dan penyakit degeneratif karena memiliki kemampuan sebagai
antioksidan yaitu sebagai free radical scavenging (Ren et al., 2001; Rimbach,
2003).
Flavonoid merupakan antioksidan sekunder yang terbukti bermanfaat
dalam mencegah kerusakan sel yang diakibatkan oleh stres oksidatif. Aktivitas
antioksidan yang dimiliki oleh senyawa flavonoid dapat dimanfaatkan untuk
pencegahan penyakit degeneratif. Mekanisme kerja dari senyawa flavonoid
sebagai antioksidan bisa secara langsung maupun tidak langsung. Mekanisme
kerja secara langsung yaitu dengan mendonorkan ion hidrogen sehingga dapat
menetralisir efek toksik dari radikal bebas. Mekanisme kerja secara tidak
langsung yaitu dengan meningkatkan ekspresi gen antioksidan endogen melalui
beberapa mekanisme. Salah satu mekanisme peningkatan ekspresi gen antioksidan
adalah melalui aktivasi nuclear factor erythroid 2 related factor 2 (Nrf2) sehingga
terjadi peningkatan ekspresi gen yang berperan dalam sintesis misalnya gen SOD
(superoxide dismutase) (Sumardika dan Jawi, 2012).
18
2.4 Vitamin E (Tokoferol)
Vitamin E pertama kali ditemukan pada tahun 1922 yaitu ketika diketahui
bahwa tikus betina membutuhkan suatu zat dalam dietnya untuk mempertahankan
kehamilan normal. Vitamin ini memiliki delapan isomer yang terdiri atas empat
tokoferol (α, β, γ dan δ) dan empat tokotrienol (α, β, γ dan δ). Bentuk vitamin E
tersebut didasarkan pada letak gugus metil pada cincin fenil rantai cabang serta
ketidakjenuhan rantai cabang tersebut (Burton, 1984; Brigelius-Flohe, 1999).
Vitamin E untuk pertama kalinya diisolasi pada tahun 1936 dari minyak tepung
gandum.
Pada vitamin E, terdapat tokoferol yang paling aktif serta sangat berperan
penting untuk aktivitas biologi tubuh yaitu α-tokoferol sehingga aktivitas vitamin
E diukur sebagai α-tokoferol. α-tokoferol tersimpan terutama dalam jaringan
adiposa, hati dan otot (Bagchi, 1998). Senyawa ini berfungsi sebagai pemutus
rantai peroksidasi lemak pada membran. α-tokoferol mampu mengendalikan
peroksidasi lemak dengan menyumbangkan H+ ke dalam reaksi sehingga radikal
peroksil dapat diubah menjadi radikal tokoferol yang kurang reaktif, menghalangi
aktivitas tambahan yang diakibatkan oleh peroksida, sehingga memutus reaksi
berantai serta bersifat mengendalikan kerusakan. Tokoferol mempunyai aktivitas
yang paling tinggi terhadap radikal peroksil. Gugus yang bertanggung jawab
terhadap aktivitas antioksidan adalah gugus fenol pada gugus hidroksil cincin C6
dan adanya sistem cincin kromanol untuk menstabilkan elektron yang tidak
berpasangan (Burton, 1994; Brigelius-Flohe, 1999 dan Evans, 1991).
19
Struktur dari molekul α-tokoferol yang terkandung dalam vitamin E dapat
dilihat pada Gambar 2.5 berikut ini.
Gambar 2.5Struktur molekul α-tokoferol
Adapun karakteristik dari vitamin ini adalah tidak larut dalam air tetapi larut
dalam minyak, lemak, alkohol, aseton, eter dan pelarut lemak lainnya. Vitamin E
bersifat stabil pada pemanasan serta tidak terpengaruh oleh asam pada suhu di atas
1000C. Apabila terkena oksigen yang ada di dalam udara, akan teroksidasi secara
perlahan-lahan.
Pengaruh antioksidan in vivo melibatkan oksidasi tokoferol menjadi
tokoferilquinon melalui senyawa antara radikal tokoferoksil. Asam askorbat telah
terbukti secara in vitro mereduksi tokoferoksil menjadi tokoferol kembali serta
teroksidasi menjadi asam dehidroaskorbat selama proses. Sumber α-tokoferol
banyak ditemukan dalam minyak tumbuhan seperti minyak bunga matahari,
minyak zaitun, kacang-kacangan, biji gandum dan sayuran berwarna hijau
(Combs, 1992).
19
Struktur dari molekul α-tokoferol yang terkandung dalam vitamin E dapat
dilihat pada Gambar 2.5 berikut ini.
Gambar 2.5Struktur molekul α-tokoferol
Adapun karakteristik dari vitamin ini adalah tidak larut dalam air tetapi larut
dalam minyak, lemak, alkohol, aseton, eter dan pelarut lemak lainnya. Vitamin E
bersifat stabil pada pemanasan serta tidak terpengaruh oleh asam pada suhu di atas
1000C. Apabila terkena oksigen yang ada di dalam udara, akan teroksidasi secara
perlahan-lahan.
Pengaruh antioksidan in vivo melibatkan oksidasi tokoferol menjadi
tokoferilquinon melalui senyawa antara radikal tokoferoksil. Asam askorbat telah
terbukti secara in vitro mereduksi tokoferoksil menjadi tokoferol kembali serta
teroksidasi menjadi asam dehidroaskorbat selama proses. Sumber α-tokoferol
banyak ditemukan dalam minyak tumbuhan seperti minyak bunga matahari,
minyak zaitun, kacang-kacangan, biji gandum dan sayuran berwarna hijau
(Combs, 1992).
19
Struktur dari molekul α-tokoferol yang terkandung dalam vitamin E dapat
dilihat pada Gambar 2.5 berikut ini.
Gambar 2.5Struktur molekul α-tokoferol
Adapun karakteristik dari vitamin ini adalah tidak larut dalam air tetapi larut
dalam minyak, lemak, alkohol, aseton, eter dan pelarut lemak lainnya. Vitamin E
bersifat stabil pada pemanasan serta tidak terpengaruh oleh asam pada suhu di atas
1000C. Apabila terkena oksigen yang ada di dalam udara, akan teroksidasi secara
perlahan-lahan.
Pengaruh antioksidan in vivo melibatkan oksidasi tokoferol menjadi
tokoferilquinon melalui senyawa antara radikal tokoferoksil. Asam askorbat telah
terbukti secara in vitro mereduksi tokoferoksil menjadi tokoferol kembali serta
teroksidasi menjadi asam dehidroaskorbat selama proses. Sumber α-tokoferol
banyak ditemukan dalam minyak tumbuhan seperti minyak bunga matahari,
minyak zaitun, kacang-kacangan, biji gandum dan sayuran berwarna hijau
(Combs, 1992).
20
2.5 Radikal Bebas
Radikal bebas merupakan suatu atom, gugus atau molekul yang memiliki
satu elektron atau lebih yang tidak berpasangan pada orbital terluarnya sehingga
mampu menyerang senyawa-senyawa lain seperti DNA, membran lipid dan
protein. Radikal bebas merebut elektron dari molekul lain yang berada di
sekitarnya agar stabil sehingga seringkali menjadi penyebab terjadinya kerusakan
sel, kerusakan jaringan dan proses penuaan. Secara kimiawi, radikal bebas bersifat
sangat aktif karena adanya elektron tidak berpasangan. Radikal bebas dapat
berupa kation (bermuatan positif), anion (bermuatan negatif) atau tidak bermuatan
(Halliwell and Gutteridge, 2000).
Berdasarkan sumbernya, radikal bebas dapat berasal dari proses
metabolisme dalam tubuh (internal) dan dapat berasal dari luar tubuh (eksternal)
yang disajikan pada Tabel 2.4.
Tabel 2.4Sumber radikal bebas (Esti, 2012)
Sumber Internal Sumber EksternalMitokondria RokokFagosit Polutan lingkunganXantin oksidase RadiasiOlah raga Obat-obatan tertentuPeradangan PestisidaIskemia/reperfusi Larutan industri
Ozon
Radikal bebas yang berasal dari dalam tubuh diantaranya superoksida (O2•),
hidroksil (•OH), peroksil (ROO•), hidrogen peroksida (H2O2), singlet oksigen
(1O2), oksida nitrit (NO•) dan peroksinitrit (ONOO•). Radikal bebas yang berasal
21
dari luar tubuh antara lain berasal dari asap rokok, polusi, radiasi, sinar UV, obat,
pestisida, limbah industri dan ozon (Siswono, 2005).
Pada umumnya radikal bebas memiliki efek yang sangat menguntungkan
karena dapat membantu destruksi sel-sel mikroorganisme dan kanker. Akan
tetapi, produksi radikal bebas yang berlebihan yang tidak disertai dengan produksi
antioksidan yang memadai dapat menyebabkan kerusakan sel-sel jaringan dan
mengganggu kerja enzim. Kerusakan jaringan dapat terjadi akibat gangguan
oksidatif yang disebabkan oleh radikal bebas asam lemak yang dikenal dengan
sebutan peroksidasi lipid. Aktivitas radikal bebas dapat menjadi penyebab atau
mendasari berbagai keadaan patologis. Di antara senyawa-senyawa oksigen
reaktif, radikal bebas (•OH) merupakan senyawa yang paling berbahaya karena
memiliki tingkat reaktivitas yang sangat tinggi. Keberadaan radikal hidroksil
dalam tubuh dapat merusak tiga jenis senyawa penting yang berfungsi untuk
mempertahankan integritas sel yaitu:
Asam lemak tak jenuh jamak (PUFA) yang merupakan senyawa penting
fosfolipid yang menyusun membran sel.
DNA yang merupakan materi genetik dari sel.
Protein yang berperan penting seperti enzim, reseptor, antibodi, pembentuk
matriks dan sitoskeleton (Halliwell and Gutteridge, 2000; Papas, 1999).
Regulasi jumlah radikal bebas secara normal dalam sistem biologis tubuh
dilakukan oleh enzim-enzim antioksidan endogenous seperti superoksida
dismutase (SOD), glutation peroksidase (GPx) dan katalase (Cat). Pengukuran
radikal bebas di dalam tubuh sangat sulit dilakukan karena radikal bebas mampu
22
bereaksi sangat cepat sehingga seringkali dilakukan pengukuran secara tidak
langsung melalui produk turunannya seperti MDA atau 4-hidroksinonenal. Kedua
senyawa tersebut seringkali digunakan sebagai pengukuran reaksi radikal bebas
lipid (Belleville-Nabet, 1996).
2.6 Produksi Radikal Bebas Akibat Aktivitas Fisik
Salah satu pemicu timbulnya radikal bebas adalah aktivitas fisik.
Pembentukan radikal bebas dapat terjadi selama dan setelah proses aktivitas fisik
oleh otot yang berkontraksi serta jaringan yang mengalami iskemik-reperfusi
(Chevion et al., 2003). Terbentuknya radikal bebas diakibatkan oleh otot rangka
yang berkontraksi (Powers and Jackson, 2008). Pada saat melakukan aktivitas
fisik maksimal, konsumsi oksigen tubuh meningkat dengan cepat. Selama
melakukan aktivitas fisik maksimal, penggunaan oksigen dapat meningkat hingga
100-200 kali dibandingkan pada saat istirahat (Chevion et al., 2003). Pada saat
terjadi fosforilasi oksidatif di dalam mitokondria, oksigen direduksi oleh sistem
transport elektron mitokondria dengan tujuan membentuk adenosin trifosfat
(ATP) dan air. Sebanyak 2% molekul oksigen akan berikatan dengan elektron
tunggal yang bocor dari karier elektron pada rantai pernapasan selama proses
fosforilasi oksidatif sehingga membentuk radikal superoksida (O2-). Kehadiran
radikal superoksida akan membentuk hidrogen peroksida (H2O2) dan hidroksil
reaktif (OH-) yaitu dengan cara berinteraksi dengan logam transisi reaktif seperti
tembaga dan besi.
23
Proses reduksi oksigen secara lengkap diuraikan oleh Clarkson and
Thompson (2000) sebagai berikut.
1. O2 + e- O2-• (superoxide radical)
2. O2-• + H2O H2O• + OH- (hydroperoxyl radical)
3. H2O• + e- + H+ H2O2 (hydrogen peroxyde)
4. H2O2 + e- •OH + OH- (hydroxyl radical)
2.7 Stres Oksidatif
Stres oksidatif merupakan suatu kondisi fisiologis yang terjadi akibat
jumlah radikal bebas yang terbentuk melebihi kapasitas pertahanan antioksidan
yang berpotensi menimbulkan kerusakan pada molekul sel. Kerusakan yang
diakibatkan oleh stres oksidatif seringkali dikenal dengan kerusakan oksidatif,
yaitu kerusakan biomolekul penyusun sel yang timbul akibat reaksi dengan
radikal bebas. Peningkatan stres oksidatif berpotensi merusak membran lipid
sehingga membentuk malondialdehida (MDA), merusak protein, karbohidrat serta
DNA (Kevin et al., 2006). Kerusakan oksidatif yang disebabkan oleh radikal
bebas berdampak pada berbagai kondisi patologis, antara lain terjadinya
kerusakan sel, jaringan, organ (hati, ginjal, dan jantung) bahkan dapat berakhir
pada kematian sel sehingga memicu munculnya penyakit degeneratif baik pada
manusia maupun hewan. Stres oksidatif dapat menyebabkan terjadinya penyakit
neurodegeneratif, seperti Artherosclerosis, Parkinson, Alzheimer, serta
mempercepat proses penuaan, memicu risiko terjadinya kanker dan kerusakan sel.
Stres oksidatif yang terjadi secara berlebihan akan menimbulkan efek patologis
(Kevin et al., 2006; Valko et al., 2007).
24
Tingkat stres oksidatif dapat diukur dengan beberapa cara antara lain
pengukuran kadar MDA dan aktivitas enzim SOD. Terbentuknya MDA
merupakan tanda biologis untuk mengukur tingkat stres oksidatif pada organisme
karena MDA merupakan suatu senyawa toksik yang terbentuk dari hasil akhir
terputusnya rantai karbon asam lemak pada proses peroksidasi lipid (McBridge &
Kraemer, 1999). Proses oksidasi lipid merupakan salah satu hasil kerja dari
radikal bebas yang diketahui paling awal dan paling mudah pengukurannya
(Winarsi, 2007). Selain MDA, tingkat stres oksidatif juga dapat diketahui dari
aktivitas SOD karena enzim ini berperan penting dalam sistem pertahanan tubuh,
terutama terhadap aktivitas senyawa oksigen reaktif penyebab stres oksidatif.
2.8 Superoksida Dismutase (SOD)
Superoksida dismutase merupakan metaloenzim yang mengandung atom
tembaga, seng atau besi yang dibentuk dalam sitosol atau yang mengandung
mangan yang dibentuk di dalam matriks mitokondria. SOD berperan sebagai
antioksidan intraselular utama dalam sel aerobik. Keberadaan SOD dapat
ditemukan di otak, hati, sel darah merah, ginjal, tiroid, testis, otot jantung, mukosa
lambung, kelenjar pituitari, pankreas dan paru-paru. Enzim ini berfungsi
mengkatalisis reaksi pemecahan anion superoksida menjadi oksigen dan hidrogen
peroksida dengan reaksi sebagai berikut (Combs, 1992; Evans, 1991).
2O2•- + 2H2O + SOD 2 H2O2 + O2 + 2OH-
Semakin tua usia seseorang, kekuatan SOD dalam tubuhnya semakin menurun.
Selain itu, SOD juga dikendalikan oleh faktor genetik (Niwa, 1997).
25
2.9 Malondialdehida (MDA)
Malondialdehida (MDA) merupakan produk enzimatis dan nonenzimatis
yang berasal dari proses pemecahan prostaglandin endoperoksida dan merupakan
produk akhir dari peroksidasi lipid (Leibler et al., 1997). MDA adalah molekul
reaktif yang mempunyai rumus molekul C3H4O2 dan dikenal sebagai penanda
(marker) peroksidasi lipid. Reaksi peroksidasi lemak pada asam lemak tak jenuh
rantai panjang dapat dilihat pada Gambar 2.6 (Murray et al., 2003).
XHX
H H
Asam Lemak Tak Jenuh
C
O
HOH
C
O
HOAsam lemak radikal
OH OO2
Radikal Peroksil
C
O
HO
H
C
O
HO
RH
OOHH
+ R
Hidroperoksida
C
O
HO
O O
Endoperoksida
H H
O O
Malondialdehid (MDA)
C
O
HO
Gambar 2.6Peroksidasi lemak pada asam lemak tak jenuh rantai panjang
26
Para peneliti telah banyak melakukan pengukuran MDA sebagai tolak ukur
secara tidak langsung dari kerusakan oksidatif yang disebabkan oleh peroksidasi
lipid. Tokur et al. (2006) menyatakan bahwa prinsip pengukuran MDA adalah
reaksi satu molekul MDA dengan dua molekul asam tiobarbiturat (TBA)
membentuk kompleks senyawa MDA-TBA yang berwarna hitam dan
kuantitasnya dapat dibaca dengan spektrofotometer.
Beberapa penelitian mengenai MDA telah dilakukan oleh para ahli seperti
yang dilakukan oleh Prangdimurti et al. (2006), yang menyatakan bahwa telah
terjadi penurunan kadar MDA pada hati tikus Sprague Dawley yang telah diberi
asupan ekstrak daun suji. Hasil penelitian Jawi et al. (2008) juga menyatakan
terjadi penurunan kadar MDA pada darah dan hati mencit jantan galur Swiss
setelah diberi asupan ekstrak ubi jalar ungu. Penelitian yang dilakukan oleh Kutlu
et al. (2009) pada tikus hiperkolesterolemia yang disuplementasi dengan ‘apricot
cemel oil’, memberikan hasil yang signifikan terhadap penurunan MDA pada hati
tikus. Hal ini juga didukung oleh penelitian serupa yang dilakukan oleh Dewi
(2014) yang menyatakan bahwa ekstrak etil asetat biji terong belanda memiliki
kemampuan dalam menurunkan kadar MDA plasma darah tikus Wistar. Hasil
penelitian Suarsana et al. (2013) juga menyatakan terjadi penurunan kadar MDA
jaringan hati tikus pada kondisi stres oksidatif setelah diberi asupan isoflavon
yang terdapat pada tempe.
27
2.10 Isolasi dan Identifikasi Senyawa Flavonoid
2.10.1 Ekstraksi
Ekstraksi merupakan suatu metode penarikan komponen kimia yang dapat
larut sehingga terpisah dari bahan yang tidak larut dengan pelarut cair. Proses
ekstraksi sangat ditentukan oleh jenis senyawa, tekstur dan kandungan air dari
bahan yang akan diekstraksi. Ekstraksi dapat dilakukan dengan menggunakan
jaringan tumbuhan yang masih segar maupun yang kering (Harborne, 1987).
Jenis-jenis metode ekstraksi dapat digolongkan sebagai berikut.
1. Cara dingin
a) Maserasi
Maserasi merupakan proses ekstraksi yang dilakukan dengan merendam
sampel untuk menarik komponen yang diinginkan pada kondisi dingin
diskontinyu. Prinsip teknik maserasi adalah pengikatan atau pelarutan zat aktif
berdasarkan sifat kelarutannya dalam suatu pelarut (like dissolved like). Pada
proses ini, cairan pengekstrak akan menembus dinding sel kemudian masuk ke
dalam rongga sel yang mengandung zat aktif yang akan larut yang disebabkan
oleh adanya perbedaan konsentrasi antara larutan zat aktif di dalam sel dan di luar
sel. Keunggulan dari teknik maserasi adalah lebih praktis, penggunaan pelarut
yang lebih sedikit dibandingkan dengan perkolasi serta tidak memerlukan proses
pemanasan. Kelemahan dari teknik ini adalah prosesnya membutuhkan waktu
yang lebih lama. Filtrat yang diperoleh dari proses maserasi biasanya diuapkan
dengan alat penguap putar vakum (rotary vacuum evaporator) sehingga
menghasilkan ekstrak pekat (Harborne, 1987; Kristanti et al., 2008).
28
b) Perkolasi
Perkolasi merupakan teknik ekstraksi dengan mengalirkan pengekstrak
melalui bahan yang telah dibasahi sehingga pelarut yang digunakan selalu baru.
Perkolasi banyak digunakan untuk ekstraksi metabolit sekunder, terutama untuk
senyawa yang tidak tahan panas (Harborne, 1987). Perkolasi terdiri atas beberapa
tahapan yaitu tahap pengembangan, tahap maserasi antara, tahap perkolasi
sebenarnya secara terus-menerus sampai diperoleh ekstraknya. Jika dibandingkan
dengan maserasi, metode perkolasi memiliki kelebihan yaitu:
Aliran cairan pengekstrak menyebabkan adanya pergantian larutan yang
terjadi dengan larutan yang konsentrasinya lebih rendah sehingga
meningkatkan derajat perbedaan konsentrasi.
Ruangan di antara butir-butir serbuk simplisia membentuk saluran tempat
mengalir cairan pengekstrak. Kecepatan pelarut cukup untuk mengurangi
lapisan batas karena kecilnya saluran kapiler sehingga dapat meningkatkan
perbedaan konsentrasi.
2. Cara Panas
a) Refluks
Refluks merupakan metode ekstraksi dengan pelarut pada temperatur yang
sesuai dengan titik didihnya. Prinsip dari teknik refluks adalah proses ekstraksi
yang berkesinambungan. Bahan yang akan dieksraksi direndam dengan cairan
pengekstrak dalam labu alas bulat yang dilengkapi dengan alat pendingin tegak,
kemudian dipanaskan sampai mendidih. Teknik ini biasanya dilakukan 3 kali dan
setiap kali diekstraksi selama 4 jam (Harborne, 1987).
29
b) Sokletasi
Sokletasi merupakan metode ekstraksi yang menggunakan ekstraksi
berulang disertai pemanasan. Metode sokletasi dilakukan dengan cara
memanaskan pelarut hingga membentuk uap dan membasahi sampel. Pelarut yang
sudah membasahi sampel selanjutnya akan turun ke labu pemanasan serta kembali
menjadi uap untuk membasahi sampel. Hal tersebut dapat menghemat
penggunaan pelarut karena terjadi sirkulasi pelarut yang selalu membasahi
sampel. Metode ini sangat baik digunakan untuk senyawa yang tidak mudah
terurai oleh proses pemanasan.
Flavonoid yang tersebar pada tumbuhan pada umumnya bersifat polar.
Oleh karena itu, senyawa flavonoid dapat diekstrak menggunakan pelarut polar.
Ekstrak yang diperoleh dari proses ekstraksi kemudian diuapkan dengan rotary
vacum evaporator sehingga dihasilkan ekstrak yang pekat. Ekstrak inilah yang
dikenal dengan sebutan ekstrak kasar (crude extract). Metode yang paling umum
digunakan pada saat ekstraksi adalah maserasi karena mudah serta memberikan
hasil yang memuaskan (Markham, 1988; Widodo 2007).
2.10.2 Pemisahan dan pemurnian
Sebelum dilakukan proses pemurnian dengan teknik kromatografi, terlebih
dahulu dilakukan proses pemisahan dengan cara ekstraksi cair-cair yang dikenal
dengan tahap partisi (Harborne, 1987). Ekstraksi cair-cair merupakan proses
pemisahan zat terlarut di dalam dua jenis pelarut yang bersifat tidak saling
campur. Pada umumnya ekstraksi cair-cair dimulai dengan penggunaan pelarut
non polar seperti n-heksan atau petroleum eter untuk menarik senyawa yang
30
bersifat non polar. Kemudian dilanjutkan dengan penggunaan pelarut semipolar
seperti kloroform, etil asetat atau aseton untuk menarik senyawa yang bersifat
semipolar. Setelah itu, proses partisi dilanjutkan dengan pelarut polar seperti
metanol atau n-butanol untuk menarik senyawa yang bersifat polar. Proses
ekstraksi cair-cair ini biasanya menggunakan corong pisah dalam proses
pemisahannya (Sudjadi, 1992; Harborne, 1987).
2.10.3 Spektrofotometri UV-Vis
Analisis kualitatif dan kuantitatif sampel yang mengandung flavonoid
dapat dilakukan dengan menggunakan spektrofotometer UV-Vis.
Spektrofotometri UV-Vis merupakan suatu teknik analisis spektroskopi yang
menggunakan sumber REM (radiasi elektromagnetik) ultraviolet dekat (190-380
nm) dan sinar tampak (380-780 nm). Pada proses analisis molekulnya,
spektrofotometri UV-Vis melibatkan energi elektronik yang cukup besar (Mulja
dan Suharman, 1995).
Absorbsi cahaya UV-Vis mengakibatkan terjadinya transisi elektronik,
yaitu perpindahan elektron-elektron dari orbital keadaan dasar yang berenergi
rendah ke orbital keadaan tereksitasi berenergi tinggi. Keuntungan dari serapan
ultraviolet yaitu lebih selektif dimana gugus-gugus yang khas dapat diketahui
dalam molekul-molekul yang sangat kompleks (Noerdin, 1985). Eksitasi elektron
yang memberikan serapan maksimum pada panjang gelombang tertentu disebut
dengan panjang gelombang maksimum (λmaks). Penentuan panjang gelombang
maksimum dapat digunakan untuk mengidentifikasi molekul yang memiliki
karakteristik tertentu sebagai data sekunder.
31
Spektrofotometri ultraviolet merupakan teknik yang paling tepat untuk
menganalisis struktur flavonoid, umumnya ditentukan dalam larutan dengan
pelarut metanol atau etanol. Spektrum senyawa flavonoid terdiri atas dua pita
absorbsi maksimum yaitu pita I pada rentang 300-550 nm dan pita II pada rentang
240-285 nm. Pita I menunjukkan absorbsi sistem benzoil pada cincin A
(Markham, 1988).
Kedudukan gugus hidroksi fenol bebas pada inti flavonoid dapat
ditentukan dengan cara menambahkan pereaksi geser ke dalam larutan cuplikan
dan mengamati puncak serapan yang terjadi (Markham, 1988). Terdapat dua
langkah yang dilakukan dalam menafsirkan spektrum. Langkah pertama yaitu
menentukan jenis flavonoid dengan memperhatikan bentuk umum spektrum
dalam metanol, panjang gelombang pita serapan dan data kromatografi. Langkah
kedua yaitu memperhatikan arti perubahan spektrum yang disebabkan oleh
adanya penambahan berbagai pereaksi geser. Pereaksi geser yang umum
digunakan adalah NaOMe untuk mengetahui keberadaan gugus hidroksil pada
atom C3’ dan C4, NaOAc untuk mengetahui keberadaan gugus 7-hidroksil bebas,
CH3COONa menyebabkan pengionan (pada gugus hidroksil flavonoid yang
paling asam) dan AlCl3 untuk mengetahui letak gugus hidroksil pada atom C3 dan
C5 (Markham, 1988).
32
2.10.4 Spektrofotometri Inframerah
Spektrofotometri inframerah (IR) merupakan suatu teknik yang digunakan
untuk mengukur penyerapan radiasi inframerah pada berbagai panjang
gelombang. Energi inframerah tidak mampu mentransisikan elektron melainkan
hanya menyebabkan molekul mengalami vibrasi pada tingkat vibrasi tertentu.
Spektra inframerah suatu senyawa mampu memberikan gambaran dan struktur
molekul dari senyawa tersebut. Spektra IR dapat dihasilkan dengan mengukur
absorbansi radiasi, refleksi atau emisi di daerah IR.
Suatu ikatan kimia dapat bervibrasi sesuai dengan tingkat energinya
sehingga memberikan frekuensi yang spesifik. Hal inilah yang menjadi dasar
pengukuran spektroskopi IR. Pada umumnya terdapat dua jenis vibrasi molekul
yaitu vibrasi ulur (stretching) dan tekuk (bending). Vibrasi ulur merupakan
pergerakan atom yang teratur sepanjang sumbu ikatan antara dua atom sehingga
jarak antara atom dapat bertambah atau berkurang. Contoh vibrasi ulur adalah
symmetrical stretching dan assymmetrical stretching. Vibrasi tekuk merupakan
pergerakan atom yang menyebabkan perubahan sudut ikatan antara dua ikatan
atau pergerakan dari satu atom ke atom lainnya. Contoh vibrasi tekuk adalah
scissoring, rocking, wagging dan twisting. Daerah inframerah pada spektrum
gelombang elektromagnetik mencakup bilangan gelombang 14.000 cm-1 hingga
10 cm-1. Daerah inframerah sedang (4000-400 cm-1) berkaitan dengan transisi
energi vibrasi dari molekul yang memberikan informasi mengenai gugus-gugus
fungsi dalam molekul tersebut. Daerah inframerah jauh (400-10 cm-1) bermanfaat
untuk menganalisis molekul yang mengandung atom-atom berat seperti senyawa