bab ii kondisi surakarta a. letak dan ekologi surakarta · kartosuro, sragen, karanganyar dan...

23
15 BAB II KONDISI SURAKARTA A. Letak dan Ekologi Surakarta Di dalam perjanjian Gianti pada tahun 1755, berdiri dua kerajaan, yaitu kerajaan Surakarta dan Yogyakarta, pada tahun 1757 berdiri kadipaten Mangkunegaran sebagai hasil perjanjian Solotigo. Di dalam perkembangannya pihak kerajaan Surakarta atau Kasunanan makin terikat oleh kontrak-kontrak dengan pemerintah kolonial, sedangkan di pihak lain mangkunegaran makin banyak mendapatkan kebebasan. 10 Surakarta memiliki wilayah meliputi daerah seluas 6.215 km 2 . Pada tahun 1838 penduduknya berjumlah 358.230 orang, dan pada tahun 1920 naik menjadi 2.049.547 orang. Penelitian ini dipusatkan pada dua bagian dari Surakarta, yaitu daerah pajang di bagian barat dan Sukowati di bagian timur Surakarta. Daerah Pajang merupakan dataran rendah, persawahan yang subur, dan padat penduduknya, sedangkan Sukowati merupakan yang kurang subur, terdiri dari tegal dan kurang padat penduduknya adalah daerah Klaten. Selain faktor penduduk daerah ini mempunyai lingkungan alam yang menguntungkan bagi perluasan perusahaan perkebunan. Sejak dilakukannya perluasan perkebunan pada awal abad 19, karesidenan Surakarta sudah mengkordinasikan seluruh kegiatannya yang meliputi daerah Klaten, Boyolali, Kartosuro, Sragen, Karanganyar dan Wonogiri. 11 10 Suhartono, Apanage dan Bekel Perubahan Sosial di Pedesaan Surakarta 1830-1920, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1991) , hlm. 23. 11 Ibid., hlm. 24.

Upload: trankien

Post on 27-Aug-2019

220 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

15

BAB II

KONDISI SURAKARTA

A. Letak dan Ekologi Surakarta

Di dalam perjanjian Gianti pada tahun 1755, berdiri dua kerajaan, yaitu

kerajaan Surakarta dan Yogyakarta, pada tahun 1757 berdiri kadipaten

Mangkunegaran sebagai hasil perjanjian Solotigo. Di dalam perkembangannya

pihak kerajaan Surakarta atau Kasunanan makin terikat oleh kontrak-kontrak

dengan pemerintah kolonial, sedangkan di pihak lain mangkunegaran makin

banyak mendapatkan kebebasan.10

Surakarta memiliki wilayah meliputi daerah

seluas 6.215 km2. Pada tahun 1838 penduduknya berjumlah 358.230 orang, dan

pada tahun 1920 naik menjadi 2.049.547 orang. Penelitian ini dipusatkan pada dua

bagian dari Surakarta, yaitu daerah pajang di bagian barat dan Sukowati di bagian

timur Surakarta. Daerah Pajang merupakan dataran rendah, persawahan yang

subur, dan padat penduduknya, sedangkan Sukowati merupakan yang kurang

subur, terdiri dari tegal dan kurang padat penduduknya adalah daerah Klaten.

Selain faktor penduduk daerah ini mempunyai lingkungan alam yang

menguntungkan bagi perluasan perusahaan perkebunan. Sejak dilakukannya

perluasan perkebunan pada awal abad 19, karesidenan Surakarta sudah

mengkordinasikan seluruh kegiatannya yang meliputi daerah Klaten, Boyolali,

Kartosuro, Sragen, Karanganyar dan Wonogiri.11

10

Suhartono, Apanage dan Bekel Perubahan Sosial di Pedesaan

Surakarta 1830-1920, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1991) , hlm. 23. 11

Ibid., hlm. 24.

16

Letak karesidenan Surakarta sangat strategis dan mudah dijangkau dari

berbagai penjuru. Sepanjang jalan besar dari Semarang dan Yogyakarta banyak

didirikan pos dan benteng untuk memudahkan pengawasan dan komunikasi.

Demikian pula jalan kereta api Semarang yang dipasang sejak tahun 1864 dan

jalan trem yang menghubungkan pusat-pusat perkebunan di pedalaman sudah

membentuk jaringan transprotasi pada akhir abad 19 yang efektif dengan kota-

kota.12

Penduduk Surakarta dapat dikatakan homogeni. Orang Jawa, tentu yang

tinggal lebih banyak di pedesaan dan orang Belanda, China dan Arab tinggal di

pusat kota. Daerah pajang merupakan daerah persawahan yang subur, dan

penduduknya hidup menetap, sedangkan daerah Sukowati, keadaannya sedikit

berbeda. Daerah ini terdiri dari tegal, bukit, hutan jati, dan penduduknya

mempunyai kebiasaan mengembara keluar desa. Sebagai daerah yang belum

terbuka Sukowati digunakan sebagai tempat persembunyian yang aman bagi

perampok. Bagian selatan Surakarta adalah daerah Mangkunegaran yang

keadaannya tidak jauh berbeda dengan daerah Sukowati. Perpindahan secara

musiman banyak dilakukan oleh penduduk ke tempat yang subur dan banyak air.

Kehidupan di pedesaan Jawa banyak diceritakan oleh orang-orang Eropa yang

melakukan perjalanan ke Jawa.13

Secara administratif karesidenan Surakarta berbatasan dengan Karesidenan

Yogyakarta, Kedu, Semarang, dan Madiun. Batas alam berupa gunung Merapi

12

Ibid. 13

Djoko Sukiman, Kebudayaan Indis, dan Gaya Hidup Masyarakat

Pendukungnya Di Jawa, (Yogyakarta: Bentang, 2000) hlm. 50.

17

(2.875 m) dan Merbabu (3.145 m) terletak di sebelah barat, pegunungan Kendeng

di sebelah utara dan gunung Lawu (3.265 m ) di sebelah timur. Antara gunung

Merapi dan Merbabu dengan gunung Lawu membentuk dataran rendah yang luas,

meliputi daerah Klaten, Boyolali dan Kartosuro yang kaya sedimen vulkanis. Dari

lereng gunung Merapi mengalir kali Opak ke selatan, menjadi batas antara

karesidenan Surakarta dan Yogyakarta. Kali Dengkeng kemudian menyatu dengan

Bengawan Solo yang mata airnya berasal dari distrik Sembuyan, dengan nama

kali Penambangan. Di lereng barat gunung Lawu mengalir kali Samin, Colo,

Wingko dan Jenes. Kali-kali ini mengalir ke dataran rendah Karanganyar yang

membentuk daerah persawahan.14

Di bagian selatan terbentang pegunungan Sewu yang kea rah barat

memasuki daerah Pajang dank e arah timur laut sampai ke distrik Keduwang. Dari

distrik ini bentangannya ke utara menuju gunung Lawu, dan ke selatan sampai di

perbatasan Pacitan. Daerah lereng gunung Lawu cocok untuk perkebunan kopi.

Dari kota Solo ke arah utara membentang dataran rendah yang makin kurang

subur, berbukit kapur yang berakhir di pegunungan Kendeng. Beberapa distrik di

dataran ini merupakan perkebunan kopi, sedangkan sisanya sangat cocok untuk

tanaman jati.15

Distrik Kalioso yang terletak di pinggir Bengawan Solo merupakan

persawahan subur, tetapi bagian barat distrik ini agak kurang subur sehingga

membentang daerah kebun kopi yang membentang antara daerah Karanggede

14

Denys Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya Batas-batas Pembaratan,

(Jakarta: Gramedia, 2007), hlm. 30 15

Ibid., hlm. 35.

18

sampai Gagatan. Ke arah barat daya terhampar dataran rendah yang luas, yakni

daerah Klaten yang kaya mata air dan cocok untuk perkebunan tebu, sedangkan

kea rah gunung Merapi tersebar desa- desa kebun kopi.16

B. Tanah, Iklim dan Hidrografi Surakarta

Baik tanaman pangan maupun perdagangan hidup dengan subur di daerah

Surakarta karena dataran rendahnya luas dan kaya sendimen vulkanis, serta

mengandung mineral yang sangat berguna bagi kesuburan tanah. Sungai-sungai

membentuk sendimen aluvial, sedangkan batu-batuan bahan mineral, dan kimia

yang diperlukan bagi tumbuh-tumbuhan ikut terbawa oleh aliran sungai. Tanah

dan lumpur itu menjadi tanah sekunder yang subur. Banjir yang terjadi setiap

tahun memperluas penyebaran sedimen ke dataran yang lebih rendah.17

Iklim tropis di Surakarta mengalami dua kali pergantian musim dalam

setahun. Pada musim hujan curah hujan tercatat sangat tinggi dan pada musim

kemarau di tempat-tempat yang terbasah masih menunjukan curah hujan di atas

minimum pada musim hujan. Tinggi rendahnya suatu tempat menentukan

temperature dan membedakan jenis tanaman yang tumbuh. Pengairan secara

teratur dari mata air, rawa, dan sungai menyebabkan tanah tetap subur. Hampir

setiap musim hujan terjadi banjir. Bengawan Solo meluap karena tidak

menampung air dari sungai-sungai kecil, dan banjir besar pernah terjadi. 18

16

Ibid. 17

Hans van Miert, Dengan Semangat berkobar Nasionalisme dan gerakan

Pemuda di Indonesia 1918-1930, (Jakarta: Hasta Mitra Pustaka Utan Kayu, 2003)

hlm.26. 18

Ibid., hlm. 27.

19

C. Kondisi Sosial Masyarakat Surakarta

Masyarakat Surakarta terbagi dalam dua golongan sosial yang besar, yaitu

golongan sosial atas yang terdiri dari para bangsawan dan priyayi, dan golongan

sosial bawah yang terdiri dari petani, buruh tani, pedagang, tukang, perajin dan

lain sebagainya. Bangsawan adalah golongan sosial atas yang mempunyai

hubungan genealogi dengan raja. Mereka merupakan keluarga raja. Priyayi juga

termasuk golongan sosial atas dan merupakan pejabat dalam pemerintahan

kerajaan.19

Dua golongan sosial ini menempati wadah budaya yang berbeda yang

ditunjukkan oleh struktur apanage. Di satu pihak, priyayi dengan gaya hidupnya,

kebiasaan, makanan, dan pakaian, serta symbol-simbolnya, menunjukan gaya

aristocrat. Keadaan macam ini menjadi pola ideal bagi priyayi, penyewa tanah

asing pun juga menirukan gaya hidup bangsawan Jawa. Di lain pihak bagi wong

cilik, lingkungan pedesaan banyak mempengaruhi tingkah laku mereka.

Kebiasaan polos, terbuka dan kasar merupakan bentuk budaya pedesaan.20

Status sosial memiliki hirarki yang terdiri dari golongan-golongan sosial

sebagai berikut: golongan penguasa, bangsawan, dan priyayi menempati status

sosial di atas. Para elit birokrat yang mendapat tanah apanage membentuk

golongan penguasa. Mereka hidup dari pajeg, pudhutan, dan berbagai layanan.

19

Mijam Mates, Dari Pemerintahan Halus ke Tindakan kekerasan Pers

Zaman kolonial antara kebebasan dan Pemberangusan 1906-1942, (Jakarta:

Hasta Mitra Pustaka Utan Kayu,2003), hlm.33. 20

Ibid., hlm. 32-33.

20

Status sosial dan hak-hak pribadi mereka dapat diketahui dari gelar dan lambang

yang dipakai yang menunjukkan dari golongan mana mereka berasal.21

Untuk memperkuat status sosialnya, kalangan bangsawan mengadakan

ikatan perkawinan dengan keluarga istana agar tercipta kestabilan politik dan

pemerintahan. Hal ini dimaksudkan agar para patih tetap loyal kepada raja. Untuk

memperkuat ikatan politik, raja memberikan triman kepada birokrat yang

diangkat. Puncak birokrasi kerajaan diduduki oleh patih yang diangkat oleh

pemerintah kolonial. Selain gaji, juga mendapatkan tanah apanage. Dan

merangkap sebagai ketua pengadilan yang berhak mengangkat birokrat

rendahan.22

Bersamaan dengan perkembangan birokrasi kolonial dan agro industri

pada pertengahan abad 19, golongan birokrat makin kuat statusnya untuk

mendukung pelaksanaan addministrasi kolonial. Banyak jabatan yang diisi oleh

priyayi cilik, seperti juru tulis penarik pajak dan kasir sampai dengan pengawas-

pengawasnya dengan gelar mantri. Kedudukan golongan bangsawan dalam

birokrasi kolonial maupun dalam pemerintahan kerajaan mulai tergeser setelah

masuknya golongan priyayi cilik.23

D. Kondisi Ekonomi Surakarta

Kondisi ekonomi dalam masyarakat agraris, penghasilan petani berasal

dari panen padi dan palawija. Sawah-sawah yang subur dan diairi sepanjang

21

Ibid., hlm. 33. 22

Ibid. 23

Ibid., hlm. 34.

21

tahun, dipanen dua kali setahun, tetapi untuk sawah yang kurang subur hanya

dipanen sekali. Pendapatan petani dapat dihitung dari hasil panen. Di salah satu

distrik di daerah Surakarta pada tahun 1888 petani memanen dua kali setahun.24

Selain beras, makanan pokok penduduk Surakarta adalah jagung dan

ketela. Dilihat dari panen padi setiap musim tampaklah bahwa distribusi tersubur

adalah Banyudono, Ponggok, dan Delanggu. Pada tahun 1840 harga-harga naik

hampir dua kali, dan pada tahun 1865 kenaikan harga terjadi bersamaan dengan

datangnya bulan puasa dan hari raya. Terjadinya kenaikan harga ini diperkirakan

disebabkan oleh makin banyaknya uang yang beredar di pedesaan. Kesempatan

ini digunakan oleh orang-orang Cina untuk memborong beras. Beras itu dijual

kembali dengan harga yang jauh lebih tinggi. Selain itu, pertambahan penduduk

adalah faktor penting bagi kenaikan harga.25

Pada tahun 1870 harga kebutuhan pokok mengalami penurunan, dan baru

pada tahun 1887 naik sedikit karena terjadi kemarau panjang sehingga gagal

panen. Kenaikan harga kebutuhan pokok menyebabkan petani mengalami

kesulitan hidup. Setelah tahun 1890 kerajinan rumah berkembang dan hasilnya

dijual di pasar-pasar sekitar perkebunan dan bahkan menjangkau pasar di luar

daerah Surakarta. Kerajinan batik tulis semula merupakan monopoli keluarga

bangsawan, sejak tahun 1890-an, dibuat oleh orang-orang Cina. Pada waktu itu

kain batik sudah menjangkau pasar-pasar seluruh Jawa dan Priangan.26

24

Vincent J.H. Houben, Kraton and Kumpeni Surakarta and Yogyakarta

1820-1830, (Leiden: KITLV Press, 1994) , hlm. 257. 25

Ibid. 26

Ibid.

22

Bahan-bahan batik seperti katun, malam, dammar, berbagai jenis soga,

dikuasai oleh pedagang Cina. Hasil kerajinan bambu, rotan, dan anyaman

digunakan untuk memenuhi kebutuhan sendiri. Kerajinan kuningan seperti bokor,

talam, dan pendhok keris berkembang di kota Solo. Pemasarannya menjangkau

Semarang. Alat-alat rumah tangga dan pertanian dari besi dan tembaga dijual di

pasar-pasar daerah Surakarta dan Yogyakarta. Payung sebagai symbol status

sosial merupakan kerajinan rumah yang sudah lama berkembang. Demikian pula

kerajinan gerabah di daerah Klaten. Pembuatan perahu terhenti setelah dibuka

jalan kereta api ke jurusan Surabaya pada tahun 1884. Selain barang-barang dari

kulit di pasar-pasar dan di desa-desa banyak beredar minuman keras dan rokok

sebagai barang kenikmatan. Orang-orang Cina membuat kecap dari kedelai yang

dijual di warung-warung.27

Perdagangan alat pertanian, berbagai jenis hasil bumi, dan hasil kerajinan

rumah sudah memasuki pasar lokal. Pemasaran barang ke luar daerah berarti

memperluas jaringan antar pasar lokal maupun regional. Hubungan antara

pedalaman dengan pantai utara yang sudah lama terjalin memudahkan masuknya

barang-barang kebutuhan ke daerah pedalaman. Pengankutan yang sudah ada

dilakukan dengan kapasitas dan jarak angkut yang sangat terbatas. Untuk

pengangkutan jarak jauh digunakan gerobak atau cikar. Perjalanan yang lebih dari

sehari memerlukan penginapan di koplakan yang sekaligus menjadi tempat transit

para pedagang. Prambanan, Jatinom, dan Boyolali adalah tempat transit bagi

pedagang yang akan melanjutkan perdagangannya ke luar daerah Surakarta. Di

27

Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru 1500-1900:

Dari Emporium Sampai Imperium, jil 1. (Jakarta: Gramedia, 1992), hlm. 349

23

pasar-pasar banyak dijual hewan peliharaan, yang kemudian ditukarkan dengan

kapas dari Ponorogo, Kelapa dari Pacitan, pakaian dan alat-alat rumah tanggal

dari kota Solo, atau baju dan kain lurik dari Yogyakarta, Bagelan, Pekalongan,

dan Rembang.28

Tempat transit biasanya berdekatan dengan pusat perkebunan dan pasar,

misalnya pasar Gondang-Jetis dekat dengan Stasiun Srowot. Di pinggir jalan

besar antara Surakarta dan Yogyakarta terdapat bengkel kereta dan gerobak,

antara lain di desa Karangwuni, Wonggo, dan Pokoan. Sudah ada jalur dagang

antara kota Solo dengan kota-kota lain seperti Sragen, Purwodadi dan Wonogiri.

Perdagangan beras bertambah ramai di pasar-pasar kota. Barang dari kulit, emas

dan perak pada awal abad ke 19 sudah diperdagangkan. Di samping itu barang

impor yang dimasukan melalui pelabuhan Semarang ialah antara lain kain putih,

kain lena, piring, cangkir dan barang-barang dari proselin, bumbu, ikan asin,

gambir, tanduk, besi, baja, dan kuda. Barang-barang itu ada yang diangkut dengan

perahu ke pedalaman melalui Bengawan Solo. Perahu-perahu dari Gresik

menyusuri Bengawan sampai di Kota Solo dan masih dapat diteruskan ke hulu.

Muatan utama perahu itu adalah garam dan ikan asin untuk konsumsi di

pedalaman. 29

Setelah dibukanya angkutan dengan kereta api, angkutan dengan gerobak

terdesak. Angkutan dengan gerobak lebih cocok untuk angkutan jarak sedang.

Pedagang lebih suka menggunakan angkutan gerobak karena biayanya lebih

28

M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, (Jakarta:

Serambi, 2008), hlm. 354 29

Ibid., hlm. 355.

24

murah meskipun memerlukan waktu lama. Barang-barang dagangan dijual di

pasar-pasar kota maupun desa pada hari pasaran. Antara pasar satu dengan yang

lain tidak bersamaan hari pasarannya, dan siklus ini dimaksudkan agar terjadi

distribusi kegiatan ekonomi yang merata disetiap daerah yaitu kesepakatan untuk

melakukan transaksi secara bergiliran. Pasar Gede di kota Surakarta setiap harinya

banyak dikunjungi pedagang dan pembeli, dan pada hari pasaran itu bertambah

ramai karena dilakukan transaksi oleh pedagang luar kota.30

Pajak pasar yang tinggi di daerah menunjukkan banyaknya transaksi setiap

tahun. Selain itu jelas bahwa kehidupan ekonomi pedesaan memiliki jaringan

yang luas, namun secara lazimnya penarikan pajak pasar diborongkan pada orang-

orang Cina. Di beberapa pasar terjadi perbedaan harga yang disebabkan oleh

bertambahnya biaya angkutan. Semakin menjauh ke pedesaan, harga pangan dan

pakaian menjadi lebih tinggi beberapa sen. Bersamaan dengan perluasan

perkebunan maka didirikan pasar-pasar disekitarnya. Tumbuhnya pasar jelas

sebagai konsekuensi dari proses monetisasi di pedesaan. Selain itu, tempat-tempat

itu digunakan oleh petani untuk mengkonsumsi upahnya sehingga upah semakin

lancar.31

E. Kondisi Politik Surakarta

Surakarta mengalami perkembangan politik yang semula dikuasai oleh

patih kemudian beralih pada para penyewa asing. Penetrasi kekuasaan kolonial

menciptakan transformasi politik, khususnya, sistem kekuasaan di pedesaan, yang

30

Suhartono, Op.cit., (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1991) , hlm. 45. 31

Ibid.

25

menyangkut perubahan peranan. Pola kelembagaan tidak lagi bercorak wewenang

tradisional maupun karismatis, tetapi sudah bergeser dan menerima pola dan

norma politik kolonial. Masyarakat pedesaan melakukan partisipasi dan adaptasi

terhadap tujuan politik kolonial, maka secara tidak langsung kelompok

masyarakat turut mempercepat proses masuknya pengaruh kolonial. Dilihat dari

ruang lingkupnya, perubahan dan akibat-akibatnya hanya dilihat terbatas pada

desa sebagai unitnya.32

Pusat perhatian ditekankan pada kebekelan sebagai salah satu lembaga

pedesaan sehingga diketahui kelompok yang melakukan adaptasi atau reaksi.

Berlakunya sistem apanage berarti masih dipertahankannya lembaga-lembaga

yang secara tradisional diakui dan didukung keberadaannya di dalam masyarakat

agraris. Dalam menggambarkan proses mempertahankan lembaga-lembaga yang

ada, pergeseran politik pedesaan akan dilihat kedudukan kabekelan sebagai unit

sosial yang tidak lepas dari cacah dan hubungan patron-klien. Pada abad 19

penduduk Surakarta masih merupakan masyarakat tradisional dengan lembaga-

lembaganya yang tetap terpelihara, tetapi dengan makin berkurangnya kekuasaan

raja-raja di satu pihak dan makin meluasnya kepentingan kolonial di pihak lain,

lembaga-lembaga itu semakin lemah. Makin kuatnya kepentingan ekonomi dan

masuknya pengaruh Barat menyebabkan lembaga-lembaga tradisional seperti

kabekelan, disesuaikan dengan kepentingan kolonial, meskipun perubahan

32

Sartono Kartodirdjo,Op.cit., (Jakarta: Gramedia, 1992), hlm. 63.

26

lembaga-lembaga desa yang berhubungan dengan pemerintahan desa dan

kedudukan tanah baru dilakukan.33

Reaksi yang timbul terhadap tekanan lembaga tradisional menyebabkan

kelompok-kelompok sosial beraliansi dengan kelompok sosial lain untuk

memperkuat gerakan antipemerintah kolonial. Reaksi dan gerakan antipemerintah

kolonial dimanifestasikan dan dihimpun dalam gerakan radikal. Gerakan itu

melibatkan massa, maka faktor kepemimpinan pedesaan dan petani sebagai

pengikut tidak dapat ditinggalkan. Selanjutnya perlu dilihat pula cara-cara

menghadapi pengaruh kolonial di pedesaan dan menghimpun gerakan politik yang

melibatkan massa dan elite pedesaan. Kelompok sosial masyarakat atas ada di

bawah pengaruh pemerintah kolonial yang diikat dengan kontrak-kontrak,

sedangkan masyarakat bawah tidak merasa terikat kontrak, dan mereka

menganggap dirinya masih bebas. Namun demikian, makin lama pengaruh

gubernemen makin merongrong otonomi masyarakat bawah.34

Sunan menduduki puncak struktur politik kerajaan yang mencakup

kekuasaan politik maupun agama. Sunan adalah penguasa tertinggi dan menurut

ajaran Hindu Sunan merupakan inkarnasi dewa. Oleh karena itu, segala perintah

Sunan harus dilaksanakan oleh rakyatnya. Para pangeran yang terdiri dari putra

raja merupakan golongan bangsawan yang paling dekat dengan Sunan. Di antara

mereka ada yang menduduki jabatan birokrasi istana, dan menjadi pasukan

pengawal raja. Jabatan pemeritahan yang tertinggi dipegang oleh patih. Untuk

menjelaskan hubungan struktur politik perlu dilihat organisasi pemerintahan yang

33

Ibid. 34

Ibid.

27

luas dan administrasi teritorialnya. Pada tahun 1847, Baron de Deer menjabat

Residen Surakarta yang bersamaan dengan meninggalnya Patih R.A.

Sossrodiningrat, di Kasunanan diadakan reorganisasi peradilan dan polisi

sehingga daerah Kasunanan dibagi menjadi lima kabupaten, yaitu Klaten,

Kartosuro, Boyolali, Ampel, dan Sragen. Pada tahun itu juga daerah

mangkunegaran dibagi menjadi tiga, antara lain Karanganyar, Wonogiri, dan

Malangjiawan, masing-masing ada di bawah perintah seorang wadana gunung.35

Kehidupan politik pedesaan dapat berjalan karena didukung oleh

kehidupan ekonomi pedesaan. Pajak yang ditarik oleh bekel dipakai untuk

mencukupi kebutuhan patuh. Sunan juga mendapat penghasilan dari pajak pasar,

sewa tanah dan hadiah-hadiah. Pertengahan abad 19 perdagangan pedesaan

Surakarta ramai karena ditunjang oleh perkembangan perkebunan. Selain itu

kehidupan patuh sangat tergantung dari uang sewa tanah. Reaksi politik di

kalangan isnana dilakukan oleh Sunan Paku Buwono VI karena daerah

mancanegara dikuasai oleh gubernemen. Rupanya Sunan tidak senang terhadap

tindakan gubernemen, maka Sunan mengasingkan diri dan mencari ketenangan

dengan berziarah ke makam leluhurnya dan ke Laut Selatan. Hubungan antara

pusat kerajaan dengan daerah-daerah pinggiran tidak selalu berjalan baik sebab

Sunan harus tunduk pada kontrak. 36

Para ulama yang terdesak kelembagaannya adalah agitator militant yang

melawan penguasa. Mereka mempunyai pengaruh kharismatik yang besar yang

35

Kuntowijoyo, Raja, Priyayi, dan kawula. (Yogyakarta, Ombak, 2004),

hlm.63. 36

Ibid.

28

dapat merangsang timbulnya gerakan-gerakan keagamaan. Daerah lain terjadi

gerakan keagamaan pemerintahpun bersikap hati-hati terhadap para kiai dan haji

yang berpindah-pindah tempat. Surakarta telah terjadi gerakan sosial keagamaan

yang merupakan aliansi para bangsawan, kiai, haji, dab bekel desa untuk melawan

kekuasaan raja. Setelah perang Diponegoro tahun 1830 kekuasaan raja – raja

Yogyakarta dan Surakarta dibatasi. 37

Selama abad 19 jumlah bangsawan makin bertambah karena berlakunya

sistem poligami yang sudah lazim di kalangan bangsawan. Konsekuensinya ialah

banyak terjadi pancasan apanage. Apanage menjadi semakin kecil dan banyak

jumlahnya. Bangsawan memperkuat kedudukannya dengan menjalin hubungan

perkawinan sehingga dengan sendirinya terbentuk jaringan yang luas dan kuat.

Pola jaringan semacam ini menyebabkan perbedaan hubungan baik secara

genealogis maupun sosial-politis. Keturunan bangsawan merasa lebih dekat

hubungan darahnya dengan raja sudah barang tentu lebih berhak mendapatkan

kedudukan di dalam birokrasi istana. Sebaliknya sering terjadi jabatan penting di

dalam birokrasi itu dipegang oleh keturunan yang tingkat kebangsawanannya

lebih rendah. Keadaan semacam ini menyebabkan timbulnya ketidakpuasan di

kalangan bangsawan yang sakit hati dan membentuk kelompok sendiri yang

berusaha mempertahankan kehidupan kelompoknya. Di Kasunanan antara tahun

1839-1848 tidak terjadi gerakan politik yang berarti, tetapi persekongkolan istana

tetap mewarnai ketidakpuasan sekelompok bangsawan.38

37

Ibid., hlm. 64. 38

Ibid.

29

Kesempatan mengenal pengaruh barat dirasakan lebih dahulu oleh para

bangsawan. Melalui pendidikan pada akhir abad 19 mereka berhasil menduduki

jabatan di lingkungan pemerintahan kolonial. Menggunakan kedudukan dan

pengaruhnya yang tinggi di lingkungan istana untuk melawan pemerintahan

kolonial. Perlu ditambahkan bahwa persaingan antar kelompok dapat

menimbulkan konflik. Birokrasi kerajaan Surakarta sudah berlangsung lama

karena dukungan para elite birokrasi. Dalam kaitanya dengan pemerintahan

kolonial, elite birokrasi lebih banyak berperan dalam administrasi pemerintahan.

Pemerintahan kolonial berhasil mendekati dan memaksa agar loyal.39

Diterapkannya administrasi kolonial berarti diperlemah struktur dan

hubungan politik kerajaan. Birokrasi kolonial menyebabkan terjadinya

transformasi pola kekuasaan kerajaan dan kolonial berjalan sendiri-sendiri, yang

pada hakekatnya merupakan dua kekuasaan yang berbeda. Dominasi kekuasaan

kolonial mulai mengurangi kekuasaan raja. Hal-hal legal yang diterapkan oleh

pemerintah kolonial tidak selamanya berjalan lancer, pertentangan antara

kepentingan jabatan dengan kepentingan pribadi. Pemerintah menganggap

tindakan ini sebagai penyalahgunaan wewenang. Birokrasi kolonial yang rasional

dan tengah berkembang harus mampu memisahkan kepentingan pribadi. Birokrasi

di pusat pemerintahan dan di daerah-daerah tidak sama perkembangannya. Di

pinggiran, perkembangan jauh lebih lambat dan di pusat pelaksanaan birokrasi

dilakukan dengan ketat.40

39

Ibid. 40

Ibid., hlm.66.

30

F. Kondisi Budaya Surakarta

Dalam perkembangan sosial budaya terjadi banyak interaksi. Interaksi

yang dimaksud adalah persentuhhan budaya Timur dengan Barat, yang dikenal

dengan kebudayaan Indis. Kebudayaan campuran yang didukung oleh segolongan

masyarakat. Kebudayaan ini muncul secara alami. Para lelaki kulit putih

mengawini wanita-wanita pribumi dan orang Eropa mengadopsi kebiasaan orang

pribumi juga sebaliknya dengan orang pribumi. Ada unsur saling mengisi dan

mengambil dalam kebudayaan Indis. Kebudayaan Indis merupakan jalinan erat

antara dua kebudayaan, yaitu pribumi dan Belanda. Kesejahteraan dan

meningkatnya status seseorang menuntut adanya perubahan gaya hidup, seperti

bahasa, cara berpakaian, cara makan, kelengkapan alat dan perabot rumah tangga,

pekerjaan, kesenian, religi, dan penghargaan atas waktu. Hubungan yang saling

membutuhkan, tergantung dan saling menghidupi.41

Orang Belanda tidak merasa malu mengadaptasikan diri dengan

lingkungan sekitar, mengikuti adat dan kebiasaan rakyat pribumi. Kaum pria

berpakaian ala pribumi dengan mengenakan celana panjang berkain motif batik

dan berbaju potongan Cina, sedangkan wanita memakai kebaya. Kebiasaan ini

merupakan wujud betapa kuatnya pengaruh iklim dan suasana tempat tinggal

mereka di tengah-tengah masyarakat pribumi. Orang-orang lapisan atas yang

terdiri atas para pejabat tinggi dan saudagar kaya juga mengikuti gaya hidup Indis

ini.42

41

Fadly Rahman, Rijsttafel Budaya Kuliner Di Indonesia Masa Kolonial

1870-1942.,(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,2011), hlm. 17 42

Ibid.

31

Pengaruh Barat di kalangan masyarakat pribumi, terutama para elite, juga

berjalan cepat. Pengaruh ini pada akhirnya turut menyentuh kehidupan, seperti

dalam hal gaya bangunan, penggunaan destar (sejenis penutup kepala) dan kain

atau pakaian seperti rok yang dikombinasikan dengan jaket berpotongan Eropa,

serta kebiasaan duduk di kursi. Para pendukung kebudayaan Indis ini lebih

menunjukkan keistimewaan status melalui media-media gaya hidup tersebut.

Pergundikan antara laki-laki Eropa dengan wanita pribumi merupakan bagian dari

kebudayaan Indis.43

Terutama sejak dibukanya lahan-lahan perkebunan pergundikan semakin

menyebar. Kehidupan bersama antara laki-laki Eropa dan wanita pribumi telah

memunculkan pengaruh tersendiri bagi perkembangan kehidupan keduanya,

terutama bagi laki-laki yang kemudian lebih banyak terkena pengaruh budaya

wanita pribumi. Selain itu, lahirnya anak-anak Indo dari hasil hubungan ini

menjadi salah satu media bagi semakin kuatnya perkembangan budaya campuran.

Berkembangnya golongan Indo menambah banyaknya kehidupan budaya.

Golongan Indo umumnya memiliki perbedaan fisik dibandingkan orang pribumi

dan cenderung bangga akan perbedaan tersebut.44

Lestarinya budaya Indis di lingkungan elit pribumi dapat dilihat pada

sosok priayi. Golongan priayi banyak mengadopsi budaya Barat dan turut pula

dalam gaya hidup Indis. Muncullah beberapa aspek gaya hidup dengan

karakteristik campuran. Hal ini bisa dilihat dalam hal pembangunan rumah tempat

tinggal dengan susunan tata ruang, penggunaan kelengkapan alat rumah tangga,

43

Ibid. 44

Ibid., hlm. 19

32

cara berpakaian, dan kebiasaan makan. Budaya Indis tidak dapat dilepaskan dari

proses historis yang telah berlangsung lama. Beberapa unsur gaya hidup Indis

terbentuk melalui kondisi khusus sebagai respons terhadap kondisi historis,

politik, sosial, ekonomi, dan budaya. Kehidupan sosial budaya ditekankan pada

unsur-unsur seperti solidaritas dan rasa kesatuan dalam suatu kelompok. Dalam

perkembangannya unsur-unsur budaya ini menjadi suatu kelas sosial tersendiri

meliputi golongan para pejabat pemerintah kolonial, kalangan priayi, dan

golongan Indo. Tanpa disadari , pandangan hidup, irama hidup, dan adat

kebiasaan, dalam hal sandang, pangan, papan, banyamk dipengaruhi masyarakat

pribumi.45

Di wilayah Jawa yang memiliki struktur masyarakat majemuk, keberadaan

budaya Indis terpelihara dengan baik. Hal ini disebabkan juga oleh sifat

kebudayaan Barat yang lebih memperngaruhi kebudayaan Timur. Gaya hidup

Indis pada hakikatnya baru berkembang benar setelah sekian lama dan dalam

situasi stabil, pada tahun 1870 ketika ketentraman dan ketertiban berkembang saat

mendekati masa liberal. Masa tersebut menjadi titik tolak semakin

berkembangnya budaya Indis terhadap masyarakat kolonial, yang banyak

mempengaruhi sendi-sendi kehidupan sosial budaya.46

Kebiasaan makan merupakan salah satu unsur kebudayaan Indis. Konsep

makan sebagai sistem budaya berlaku pada seluruh kebiasaan makan manusia.

Tiap golongan masyarakat mempersepsikan makanan secara berbeda berdasar

kadar status sosial. Kebiasaan makan tiap golongan masyarakat dapat dilihat dari

45

Ibid., hlm. 21 46

Kuntowijoyo, Op.cit., hlm.70.

33

sikap meliputi tingkah laku pada waktu makan, seperti berdiri, duduk, jongkok,

dan bersila. Dalam kehidupan sehari-hari, kebutuhan makan dan minum tidak

dapat dipisahkan dari kedudukan sosial seseorang atau sekelompok orang dalam

masyarakat.47

G. Kondisi masa Kolonial Jepang

Pecahnya perang dan pendudukan pasukan militer Jepang mengakibatkan

perubahan besar-besaran di dalam struktur ekonomi Jawa. Tujuan pokok

penyerbuan Jepang ke Jawa, sebagaimana ke bagian lain di Hindia Belanda, ialah

mengeksploitasi sumber daya ekonomi wilayah-wilayah jajahan. Pedesaan Jawa,

dengan tanah yang subur dan penduduk yang banyak, dianggap mempunyai

potensi ekonomi yang luar biasa, dan Jepang berusaha mengekspoitasi dengan se

efisien mungkin melaui control secara intensif atas pulau Jawa. Jawa diperintah di

bawah cetak biru Jepang bagi suatu ”Lingkungan Kemakmuran Bersama Asia

Timur Raya” yang melibatkan seluruh Asia Tenggara dan Asia Timur. Kegiatan-

kegiatan ekonomi orang Jepang diarahkan pada kepentingan-kepentingan

kekaisaran, dengan Jepang sebagai pusatnya. Tuntutan-tuntutan berat dikenakan

pada pendudukan Jawa oleh pasukan militer Jepang, tidak hanya untuk

mendukung pasukan pendudukan setempat, tetapi juga untuk mendukung operasi-

operasi militer mereka lebih jauh. Kegiatan-kegiatan ekonomi di Jawa diarahkan

sebegitu rupa sehingga bisa melayani upaya perang Jepang. Produksi bahan

makanan untuk memasok pasukan militer diberi prioritas tertinggi. Meskipun

Jawa telah bisa menopang dirinya sendiri dalam hal bahan makanan pokok di

47

Ibid.

34

zaman Belanda, keadaan ini tidak bisa berlangsung dibawah pendudukan Jepang

karena meningkatnya tuntutan yang dikenakan atas produksi di pulau Jawa.48

Setelah beberapa aspek kebijakan sosial ekonomi Jepang yang ditujukan

pada mobilisasi besar-besaran penduduk pedesaan Jawa, kini harus dipikirkan

terbentuknya lembaga-lembaga pada tingkat masyarakat biasa untuk mendukung

kebijakan tersebut. Tomarigumi, atau rukun tetangga, secara resmi diperkenalkan

ke Jawa pada bulan Januari 1944. Pada jenjang terendah, tonarigumi terdiri dari

10 atau 20 rumah tangga dan berlaku untuk memperketat cengkraman pemerintah

atas penduduk serta untuk meningkatkan komunikasi dengan penduduk. Pada

Perang Dunia II, dalam kerangka kebijakan ”Mobilitas Total” yang dianut,

Kementrian Dalam Negeri mulai menaruh perhatian pada manfaat tonarigumi ini

sebagai unit terendah untuk melakukan control dan sekaligus memobilisasi

penduduk. Ringkasnya, tonarigumi bertindak sebagai sarana efektif dalam

melakukan control atas penduduk di Jepang pada masa perang. Setiap rumah

tangga dipaksa untuk berpartisipasi, dan bagi yang tidak ikut, tidak berhak untuk

ikut serta dalam kegiatan regional apa pun, termasuk distribusi makanan.49

Fungsi tonarigumi yang dijalankan di Jawa kegiatan utamanya meliputi:

a. Membantu Keibodan (organisasi keamanan) dalam mempertahankan

tanah air dan melawan serangan udara, kebakaran, mata-mata, dan

penjahat.

48

Aiko Kurosawa, Mobilisasi dan Kontrol Studi Tentang Perubahan

Sosial Di Pedesaan Jawa 1942-1945, (Jakarta: PT Gramedia Widiasarana,

1993),hlm. 3. 49

Ibid.,hlm. 195-196.

35

b. Member tahu rakyat mengenai dekrit, peraturan, dan petunjuk

pemerintah, serta menyadarkan mereka.

c. Membantu peningkatan produksi dan penyerahan bahan pangan dan

pertanian.

d. Mendistribusikan catu barang

e. Bekerja sama dengan pemerintah militer dalam urusan militer dan

menjalankan pelayanan lain.

f. Memajukan gotong royong dikalangan penduduk.

Kewajiban ekonomi seperti peningkatan produksi pengumpulan padi, dan

distribusi catu barang juga dipercayakan kepada tonarigumi. Dalam operasi ini

tonarigumi bekerja sama dengan kumiai (koperasi gaya baru masa pendudukan

Jepang) di desa. Dalam mendistribusikan barang catu, ketua tonarigumi, yaitu

Kumicho, bertanggung jawab atas pemberian kupon yang dikirim dari kumiai atau

kantor desa serta pembagian barangnya.50

H. Kondisi Masa Revolusi Kemerdekaan

Pada akhir pendudukan Jepang keadaan ekonomi sangat kacau yang

disebabkan inflasi yang sangat tinggi. Inflasi terjadi karena beredarnya mata uang

pendudukan jepang yang tak terkendali. Kelompok masyarakat yang paling

menderita akibat inflasi adalah petani. Hal ini disebabkan pada masa pendudukan

Jepang petani adalah produsen yang paling banyak menyimpan mata uang jepang.

Pemerintah yang baru saja berdiri menyatakan tiga mata uang yang berlaku

50

Ibid., hlm. 202-203.

36

sementara antara lain mata uang De Javasche Bank, mata uang Hindia-Belanda

dan mata uang pendudukan Jepang.51

Sikap Tionghoa sebagai minoritas perantara yang terpecah pada masa

pendudukan Jepang dan Revolusi Kemerdekaan, sebagai masa penuh degan

pergolakan, kekerasan dan ketakutan.52

Berakhirnya pendudukan Jepang diikuti

dengan massa revolusi, yakni konflik Indonesia melawan Belanda. Sikap etnis

Tionghoa dalam masa revolusi menurut Mary Somers Heidhues memiliki sikap

sebagai berikut.53

Sebagian etnis Tionghoa tidak ingin berpihak dalam konflik

Indonesia-Belanda, karena bukan merupakan bagian dari Belanda atau Indonesia.

Walaupun posisi ini sering menuai kritik, namun dibeberapa daerah justru sikap

netral ini yang diminta salah satu contoh pidato Dr. Abu Hanifah pemimpin

perjuangan di Sukabumi. Terdapat juga etnis Tionghoa yang bersimpati dan

berjuang di pihak Republik. Sikap berikutnya adalah mengharapkan perlindungan

dari Republik Tiongkok.54

Revolusi yang terjadi setelah proklamasi berupa penentangan terhadap

pranata sosial Indonesia yang terlanjur terbentuk pada masa penjajahan Belanda,

dan terkadang juga merupakan hasil kebencian terhadap kebijakan pada masa

penjajahan Jepang. Di seluruh Negara, masyarakat bangkit melawan kekuasaan

51

Akira Nagazumi, Pemberontakan Indonesia Masa Pendudukan

Jepang,(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1988), hlm. 114. 52

Kwee Thiam Tjing, Indonesia dalam Api dan Bara,(Jakarta: Elkasa,2004), hlm.

21. 53

Ibid., hlm.22 54

http://web.budaya-tionghoa.net/index.php/item/1068-dari-ibu-liem-sampai-

john-lie-sumbangsih-tionghoa-di-masa-revolusi-kemerdekaan, diakses 1

September 2016, jam 09.40 WIB.

37

aristocrat dan kepala daerah dan mencoba untuk mendorong penguasaan lahan

dan sumber daya alam atas nama rakyat. Kebanyakan revolusi sosial berakhir

dalam waktu singkat, dan dalam kebanyakan kasus gagal terjadi.55

Kultur kekerasan dalam konflik yang memecah belah Negara saat dalam

penguasaan Belanda seringkali terulang di paruh akhir abad keduapuluh. Istilah

revolusi sosial banyak digunakan untuk aktifitas berdarah yang dilakukan

kalangan yang melibatkan niat untuk mengatur revolusi dengan ekspresi balas

dendam, kebencian, dan pemaksaan kekuasaan, kekerasan adalah salah satu dari

sekian banyak hal yang dipelajari rakyat selama masa penjajahan Jepang.

Kebnyakan orang Indonesia pada masa ini hidup dalam ketakutan dan

kebimbangan, hal ini terutama terjadi pada populasi yang mendukung kekuasaan

Belanda atau mereka yang hidup dibawah kontrol Belanda.56

55

Ibid., hlm. 120. 56

Ibid., hlm. 122.