bab ii kajian pustaka -...

24
7 BAB II KAJIAN PUSTAKA Bab II ini berisi kajian teori tentang belajar yang meliputi hakikat belajar, hakikat pembelajaran, prinsip pembelajaran, managemen pembelajaran, strategi pengajaran. Selain itu, terdapat juga kajian pustaka mengenai proses belajar, belajar tuntas (mastery learning), dan hasil belajar. Bab ini juga membahas mengenai IPS yang meliputi pendekatan IPS dan kajian IPS SD. Terdapat ulasan mengenai Make a Match Berbantuan Mind Mapping yang meliputi pengertian Make a Match dan Mind Mapping, alasan peneliti menggunakan Make a Match Berbantuan Mind Mapping dan sintak penerapan Make a Match Berbantuan Mind Mapping. Penelitian yang relevan, kerangka berpikir dan hipotesis tindakan akan tersusun secara sistematis dalam Bab II ini. 2.1 Belajar 2.1.1 Hakikat Belajar Menurut Deni Darmawan dan Permasih (2011:124), “belajar adalah aktivitas yang disengaja dan dilakukan oleh individu agar terjadi perubahan kemampuan diri, dengan belajar anak yang tadinya tidak mampu melakukan sesuatu, menjadi mampu melakukan sesuatu, atau anak yang tadinya tidak terampil menjadi terampil.” Menurut Gagne (dalam Deni Darmawan dan Permasih, 2011:124), “belajar adalah suatu proses dimana suatu organisme berubah perilakunya sebagai akibat pengalaman.Dari pengertian Gagne (dalam Deni Darmawan dan Permasih, 2011:124), terdapat tiga unsur pokok dalam belajar yaitu proses, perubahan perilaku, dan pengalaman. Seseorang dikatakan belajar apabila pikiran dan perasaannya aktif. Dijelaskan lebih lanjut bahwa:

Upload: vonguyet

Post on 03-Mar-2019

218 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

7

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

Bab II ini berisi kajian teori tentang belajar yang meliputi hakikat belajar,

hakikat pembelajaran, prinsip pembelajaran, managemen pembelajaran, strategi

pengajaran. Selain itu, terdapat juga kajian pustaka mengenai proses belajar,

belajar tuntas (mastery learning), dan hasil belajar. Bab ini juga membahas

mengenai IPS yang meliputi pendekatan IPS dan kajian IPS SD. Terdapat ulasan

mengenai Make a Match Berbantuan Mind Mapping yang meliputi pengertian

Make a Match dan Mind Mapping, alasan peneliti menggunakan Make a Match

Berbantuan Mind Mapping dan sintak penerapan Make a Match Berbantuan Mind

Mapping. Penelitian yang relevan, kerangka berpikir dan hipotesis tindakan akan

tersusun secara sistematis dalam Bab II ini.

2.1 Belajar

2.1.1 Hakikat Belajar

Menurut Deni Darmawan dan Permasih (2011:124), “belajar adalah

aktivitas yang disengaja dan dilakukan oleh individu agar terjadi perubahan

kemampuan diri, dengan belajar anak yang tadinya tidak mampu melakukan

sesuatu, menjadi mampu melakukan sesuatu, atau anak yang tadinya tidak

terampil menjadi terampil.” Menurut Gagne (dalam Deni Darmawan dan

Permasih, 2011:124), “belajar adalah suatu proses dimana suatu organisme

berubah perilakunya sebagai akibat pengalaman.” Dari pengertian Gagne (dalam

Deni Darmawan dan Permasih, 2011:124), terdapat tiga unsur pokok dalam

belajar yaitu proses, perubahan perilaku, dan pengalaman.

Seseorang dikatakan belajar apabila pikiran dan perasaannya aktif.

Dijelaskan lebih lanjut bahwa:

8

1) Belajar adalah mekanisme yang dengan itu menjadikannya anggota

masyarakat yang cakap, yang penting dalam menentukan semua

keterampilan, pengetahuan, sikap dan nilai yang tingkah laku yang

berlainan(kapabilitas), 2) Kapabilitas diperoleh dari (1) Stimulasi yang

berasal dari lingkungan, dan (2) Proses yang dilakukan oleh si pelajar.

Aktivitas pikiran dan perasaan itu sendiri tidak dapat diamati orang lain,

akan tetapi dirasakan oleh yang bersangkutan sendiri. Belajar tidak hanya

dengan mendengarkan penjelasan dari guru(tidak harus ada yang mengajar),

karena belajar dapat dilakukan siswa dengan berbagai macam cara dan

kegiatan, asal terjadi interaksi antara individu dengan lingkungannya.

Menurut Arief Sadiman (dalam Deni Darmawan dan Permasih, 2011: 125),

“belajar adalah suatu proses yang kompleks yang terjadi pada semua orang dan

berlangsung seumur hidup, sejak dia masih bayi hingga ke liang lahat.” Seperti

halnya ketika masih bayi belajar mencari air asi ibunya, ketika menginjak usia

satu tahun sampai dewasa, seseorang akan terus belajar yang belum pernah dia

terima, dia alami, dia rasakan, dan belum pernah dia dapatkan. Menurut para ahli

psikologi dalam (dalam Deni Darmawan dan Permasih, 2011: 125), “tidak semua

perubahan perilaku sebagai hasil belajar.” Bisa terjadi perubahan perilaku yang

dengan tanpa belajar, anak tersebut dengan sendirinya mengalami perubahan

perilaku (dari dirinya sendiri). Perubahan perilaku hasil belajar diklasifikasikan

menjadi tiga domain yaitu kognitif, afektif, dan psikomotorik.

Pada pembelajaran perubahan perilaku sebagai hasil belajar yang ingin

dicapai ini dapat dirumuskan dalam bentuk tujuan pembelajaran atau rumusan

kompetensi yang ingin dicapai dengan segala indikatornya. Menurut Gagne

(dalam Deni Darmawan dan Permasih, 2011: 126), “lingkungan pembelajaran

yang baik adalah lingkungan yang merangsang dan menantang siswa untuk

belajar.” Lingkungan belajar yang baik sangat mempengaruhi rangsangan siswa

untuk lebih giat dalam belajar, untuk lebih sungguh-sungguh dalam menerima

pelajaran dan belajar. Menurut Whiterington (dalam Deni Darmawan dan

Permasih, 2011: 127), “belajar adalah sesuatu yang mendorong, memberikan

inspirasi, memberikan motif-motif dan membimbing murid-murid dalam usaha

mereka mencapai tujuan-tujuan yang diinginkan.”

9

Dari beberapa penelitian tersebut disimpulkan, belajar adalah suatu proses

aktivitas yang disengaja dan tidak disengaja, yang dilakukan oleh individu, untuk

membuat perubahan pada diri dari setiap individu, yang awalnya belum tahu

menjadi tahu, yang awalnya tidak mampu menjadi mampu, yang awalnya belum

terampil menjadi terampil, yang bisa membuat perubahan perilaku pada diri dari

setiap individu.

2.1.2 Hakikat Pembelajaran

Belajar dan pembelajaran memiliki sebuah keterkaitan. Belajar

merupakan proses individu melakukan sesuatu yang menghasilkan perubahan

sikap, pola pikir, tingkah laku, dan pemikiran yang baik yang dapat terjadi

didalam kehidupan individu baik ada dan tidak adanya orang lain yang sengaja

ikut campur dalam proses belajarnya (Deni Darmawan dan Permasih 2011:

128). Contohnya seorang anak yang melihat ayahnya melihat film bersejarah,

berdasarkan pengalamannya tersebut ia belajar banyak hal seperti melihat hal

yang bersejarah dalam “Lihatlah gambar-gambar yang ada di film ini, Nak!,”

dalam gambar di film “Lihatlah di dalam film ini ada gambar bangunan-bangunan

dan orang-orang jaman dahulu”, sejarah dalam film “bagaimana kalau kita tebak-

tebakan untuk gambar bangunan dan orangnya tersebut adalah kerajaan-kerajaan

di Indonesia dan tokohnya?”, padahal ayah tersebut tidak mengajarinya IPS, anak

hanya disuruh mengamati gambar bangunan dan orangnya.

Bila belajar bisa berasal dari pengalaman, maka individu dihadapkan pada

situasi di mana ia tidak dapat menyesuaikan diri dengan cara biasa, atau apabila ia

harus mengatasi rintangan-rintangan yang mengganggu kegiatan-kegiatan yang

diinginkan. Menurut Deni Darmawan dan Permasih (2011: 129), “pembelajaran

merupakan perkembangan dari istilah pengajaran, dan istilah belajar-mengajar

yang dapat kita perdebatkan, atau kita abaikan saja yang penting makna dari

ketiganya.” Menurut Deni Darmawan dan Permasih (2011: 128), “pembelajaran

adalah suatu upaya yang dilakukan oleh seseorang guru atau pendidik untuk

membelajarkan siswa yang belajar.” Pembelajaran tidak jauh dari upaya mengajak

10

siswa untuk belajar, memberikan siswa ilmu, dan mendidik siswa dari segi

karakter serta akademik, agar siswa benar-benar mampu memahami dan bisa

menerima pelajaran yang disampaikan, serta terbentuk menjadi anak yang

diinginkan dan diharapkan orangtua maupun guru.

Menurut Mudhofir (dalam Deni Darmawan dan Permasih, 2011: 128), ada

empat pola pembelajaran yaitu:

pertama, pola pembelajaran guru dengan siswa tanpa menggunakan alat

bantu/bahan pembelajaran dalam bentuk alat peraga. Kedua, dengan

menggunakan pola (guru + alat peraga) dengan siswa. Ketiga, dengan

menggunakan pola (guru) + (media) dengan siswa. Dan keempat, dengan

menggunakan pola media dengan siswa atau pola pembelajaran jarak jauh

menggunakan media atau bahan pembelajaran yang disiapkan.” Menurut

Chaedar Alwasilah, hakikat pembelajaran adalah interaksi antara siswa

dengan lingkungan pembelajaran agar tercapai tujuan pembelajaran

(perubahan perilaku).

Dari pendapat diatas hakikat belajar adalah proses individu melakukan

sesuatu yang menghasilkan perubahan, baik itu perubahan sikap, perubahan pola

pikir, perubahan tingkah laku, perubahan pemikiran yang lebih baik, dan

perubahan kehidupan pada setiap individu. Serta usaha untuk membelajarkan

seseorang agar menghasilkan hasil perubahan yang diharapkan.

2.1.3 Prinsip Pembelajaran

Menurut Zaenal Arifin (2011: 182), prinsip pembelajaran terbagi menjadi

dua yaitu prinsip umum pembelajaran dan prinsip khusus pembelajaran. Prinsip

umum pembelajaran yaitu:

(1) Belajar menghasilkan perubahan perilaku peserta didik yang relatif

permanen atau tetap, (2) Peserta didik memiliki potensi, gandrung, dan

kemampuan yang merupakan benih kodrati untuk ditumbuhkembangkan,

(3) Perubahan atau pencapaian kualitas ideal itu tidak tumbuh alami

linear sejalan proses kehidupan.

Prinsip khusus pembelajaran yaitu:

(1) Prinsip perhatian dan motivasi untuk siswa merupakan dalam proses

pembelajaran memiliki peranan yang sangat penting sebagai langkah

11

awal dalam memicu aktivitas-aktivitas belajar.” Menurut Zaenal Arifin

(2011: 183), “perhatian adalah memusatkan pikiran dan perasaan

emosional secara fisik dan psikis terhadap sesuatu yang menjadi pusat

perhatiannya.” Dari sini siswa sangat memerlukan perhatian dari guru,

agar pikirannya bisa fokus pada pelajaran yang disampaikan guru dan

merasakan nyaman dalam menerima pelajaran. Menurut Zaenal Arifin

(2011: 183), “motivasi adalah dorongan atau kekuatan yang dapat

menggerakkan sesesorang untuk melakukan sesuatu.” Siswa juga

memerlukan motivasi, tidak semua siswa kehidupannya baik dan kondisi

lingkungan maupun keluarga sesuai dengan umuran mereka, maka dari

itu motivasi dari guru atau dari sekolah sangat penting bagi setiap anak

didik dalam menjalani sekolah. Menurut H.L Petri (dalam Zaenal Arifin

2011: 183), “motivation is the concept we use when we describe the

forces acting on or within an organism to initiate and direct behavior,”

(2) Prinsip keaktifan merupakan kecenderungan psikologi saat ini

menyatakan bahwa anak adalah makhluk yang aktif. Belajar pada

hakikatnya adalah proses aktif dimana seseorang melakukan kegiatan

secara sadar untuk mengubah suatu perilaku secara tidak sadar atau

secara sadar, terjadi kegiatan merespon terhadap setiap pembelajaran.

Menurut gage & Berliner (dalam Zaenal Arifin 2011: 183), “teori kognitif

menyatakan bahwa belajar menunjukkan adanya jiwa yang aktif, jiwa tidak

sekadar merespons informasi, namun jiwa mengolah dan melakukan transformasi

informasi yang diterima.” Penilaian kepada siswa secara kognitif sangat

diperlukan agar siswa benar-benar mampu merespons informasi materi pelajaran

yang disampaikan oleh guru dan dapat menerimanya dengan baik. Sedangkan

menurut Tutik Rachmawati dan Daryanto (2015: 155), “prinsip pembelajaran

adalah suatu landasan, konsep dasar, dan sumber yang menjadikan proses belajar

yang terjadi antara pendidik dengan peserta didik lebih dinamis dan terarah sesuai

dengan tujuannya.” Dalam penerapannya, prinsip ini memerlukan usaha guru

untuk membuat siswa bisa berinteraksi baik dengan guru selama proses

pembelajaran berlangsung dan sesuai dengan tujuan pembelajaran yang

disampaikan.

Menurut beberapa ahli pendidikan (dalam Tutik Rachmawati dan Daryanto

2015: 155), prinsip-prinsip umum pembelajaran yaitu:

1) Perhatian dan Motivasi

12

Perhatian mempunyai peranan penting dalam kegiatan belajar,

karena perhatian merupakan faktor yang besar pengaruhnya, jika peserta

didik mendapatkan perhatian yang besar mengenai apa yang dipelajari,

maka peserta didik dapat mengarahkan dirinya sendiri pada tugas yang

diberikan. Motivasi adalah tenaga yang menggerakan dan mengarahkan

seseorang melakukan aktivitas. Motivasi berkaitan erat dengan minat,

peserta didik yang memiliki minat pada suatu bidang studi, maka peserta

didik tersebut akan tertarik perhatiannya pada sebuah bidang studi tersebut

dan timbul rasa untuk mempelajarinya (motivasi).

2) Keaktifan

Menurut pandangan psikologi, anak adalah makhluk yang aktif.

Anak mempunyai dorongan untuk melakukan sesuatu, mempunyai kemauan

dan aspirasinya sendiri.

3) Keterlibatan Langsung/Pengalaman

Belajar harus dilakukan oleh peserta didik itu sendiri, sehingga

pembelajaran harus dibuat secara unik dan menarik agar peserta didik dapat

langsung mengikuti proses pembelajarannya sendiri, melihat sendiri, dan

mencobanya sendiri. Sebagaimana menurut seorang filsof China Confocius

(dalam Tutik Rachmawati dan Daryanto 2015: 157), bahwa: Apa yang saya

dengar, saya lupa. Apa yang saya lihat, saya ingat.

4) Pengulangan

Mengulang salah satu faktor yang besar pengaruhnya dalam

belajar, karena dengan adanya pengulangan “bahan yang belum begitu

dikuasai serta mudah terlupakan” akan tetap tertanam pada otak seseorang.

Teori yang menekankan prinsip pengulangan adalah teori koneksionisme

Thordike, dalam teori ini ia mengemukakan bahwa belajar adalah

pembentukan hubungan antara stimulus dan respons, dan pengulangan

terhadap pengalaman-pengalaman itu memperbesar peluang timbulnya

respons benar.

5) Tantangan

Bahan belajar yang baru, inovatif, kreatif, dan menantang akan

membuat peserta didik tertantang dan dengan sendirinya meraka akan lebih

giat dan sungguh-sungguh dalam belajar.

6) Balikan dan Penguatan

Ketika peserta didik melakukan suatu perbuatan yang berefek baik

maka mereka akan dengan sendirinya mengulanginya lagi, dan apabila

mereka melakukan perbuatan yang berefek jelek, mereka akan dengan

sendirinya meninggalkannya. Namun, kadangkala dorongan belajar itu tidak

saja dari penguatan yang menyenangkan tapi juga yang tidak

menyenangkan, dalam memperkuat belajar.

Dari beberapa pengertian tersebut, prinsip pembelajaran merupakan sebuah

proses yang mengharapkan sebuah perubahan, dimana terdapat perubahan

perilaku, perubahan yang menghasilkan pencapaian kualitas, serta pemberian

13

perubahan yang menghasilkan perhatian dan motivasi, keaktifan, pengalaman,

pengulangan, tantangan, balikan dan penguatan secara signifikan.

2.1.4 Manajemen Pembelajaran

Menurut Terry(dalam Syafaruddin dan Irwan Nasution 2005: 70), “The

management is the process of getting thing done by the effort of other people.”

Dapat dipahami bahwa manajemen adalah kekuatan utama dalam sebuah

organisasi seperti guru yang mengkoordinir berbagai kegiatan bagian-bagian (sub

sistem) serta berhubungan dengan lingkungan. Manajemen berusaha

memfokuskan perhatian atas proses pokok mencakup perencanaan,

pengorganisasian, dan pengawasan yang sangat esensial jika organisasi ingin

mencapai tujuan dan sasaran utamanya. Menurut Reigeluth dan Garfinkel (dalam

Syafaruddin dan Irwan Nasution 2005: 75), “guru adalah sebagai fasilitator dan

manajer pendidikan.” Peran ini mensyaratkan sistem yang berbasis sumber daya,

penggunaan kekuatan alat-alat baru berkaitan dengan kemajuan teknologi

daripada berbasis kepada guru untuk dijadikan alat peraga dalam mengajar.

Menurut Davis (dalam Syafaruddin dan Irwan Nasution 2005: 75), peranan

guru sebagai manajer dalam proses pengajaran yaitu:

(1) Merencanakan yaitu menyusun tujuan belajar sebagai pengajaran, (2)

Mengorganisasikan yaitu menghubungkan atau menggabungkan seluruh

sumber daya belajar-mengajar dalam mencapai tujuan secara efektif dan

efisien, (3) Memimpin yaitu memotivasi para peserta didik untuk siap

menerima materi pelajaran dan memberikan ilmu kepada para peserta didik

untuk siap mendengarkan penjelasan, (4) Mengawasi yaitu apakah kegiatan

belajar mengajar mencapai tujuan pengajaran.

Menurut Hoban (dalam Syafaruddin dan Irwan Nasution 2005: 76),

“manajemen pembelajaran mencakup saling berhubungan berbagai peristiwa tidak

hanya seluruh peristiwa pembelajaran saja, dalam proses pembelajaran tetapi juga

faktor logistik.” Teori pembelajaran, pengajaran, manajemen pembelajaran adalah

ilmu murni, ilmu terapan, dan ilmu sistem. Menurut Glover (2000), “manajemen

pembelajaran adalah proses menolong murid untuk mencapai pengetahuan,

keterampilan, kemampuan dan pemahaman terhadap dunia di sekitar mereka.”

14

Manfaat manajemen pembelajaran adalah sebagai aktivitas profesional dalam

menggunakan dan memelihara satuan program pengajaran yang dilaksanakan

(Syafaruddin dan Irwan Nasution 2005: 78). Fungsi manajemen pembelajaran

adalah untuk perencanaan, pengajaran, pengorganisasian pengajaran,

kepemimpinan dalam KBM, dan evaluasi pengajaran dilaksanakan (Syafaruddin

dan Irwan Nasution 2005: 79).

Dari beberapa pengertian tersebut, manajemen pembelajaran adalah proses

menolong siswa untuk mencapai pengetahuan yang seharusnya didapat, mencapai

keterampilan yang seharusnya dimiliki, mencapai kemampuan yang seharusnya

dimiliki, dan pemahaman terhadap dunia mereka sendiri, dengan guru sebagai

fasilitator atau yang mengkoordinir proses pengajarannya.

2.1.5 Strategi Pengajaran

Menurut Mac Donald (dalam Syafaruddin dan Irwan Nasution 2005: 76),

strategi adalah “The art of carrying out a plan skillfully.” Seni yang menunjukkan

kestrategian bisa membawa rencana pembelajaran menjadi cekatan/mahir

sehingga siswa merasakan kenyamanan dalam menerima pelajaran jika guru dapat

melakukan hal tersebut. Strategi pengajaran adalah sebagai pandangan yang

bersifat umum serta arah umum dari tindakan untuk menentukan metode yang

akan dipakai dalam proses belajar mengajar, oleh Abizar (dalam Syafaruddin dan

Irwan Nasution 2005: 76).

Menurut Gulo (dalam Syafaruddin dan Irwan Nasution 2005: 76), strategi

belajar-mengajar adalah rencana dan cara-cara membawakan pengajaran agar

segala prinsip dasar dapat terlaksana dan segala tujuan pengajaran dapat dicapai

secara efektif. Strategi belajar-mengajar merupakan rancangan dasar bagi seorang

guru tentang cara guru menyampaikan pelajaran di kelas secara bertanggung

jawab. Menurut Abizar (dalam Syafaruddin dan Irwan Nasution 2005: 76), dilihat

dari proses belajar dan pembelajaran terdapat strategi pembelajaran yaitu belajar

melalui penerimaan (reception learning), dan belajar melalui penemuan

(discovery learning).

15

Adapun belajar melalui penerimaan disebut juga proses informasi

(information processing), sedangkan belajar melalui penemuan disebut juga

belajar melalui pengalaman (experimental learning). Menurut Oemar Hamalik

(2014: 131), ada 4 strategi pembelajaran yang pantas disajikan dan diketahui oleh

guru atau calon guru, yaitu:

1) Pembelajaran Penerimaan (reception learning): penerimaan, pemahaman,

partikularisasi, dan tindakan terhadap prinsip-prinsip umum, aturan-aturan,

illustrasi khusus, contoh-contoh yang diberikan, dan proses simbol ke

perbuatan/tindakan. 2) Pembelajaran Penemuan (discovery learning):

pendukung utama pendekatan ini adalah Piaget dan Bruner yakni penganut

Psikologi Kognitif dan Humanistik. 3) Pembelajaran Penguasaan (mastery

learning): pendukung utama pendekatan ini adalah Carrol, memadukan teori

behavioristik dan humanistik. Belajar tuntas adalah salah satu strategi

pembelajaran yang diinividualisasikan dengan menggunakan pendekatan

kelompok. Pendekatan ini yaitu siswa belajar bersama-sama, memberikan

banyak waktu untuk siswa, dan memberi bantuan ke siswa yang kesulitan.

4) Pembelajaran Terpadu (unit learning): pendekatan ini berpangkal pada

teori psikologi Gestalt, pembelajaran terpadu adalah suatu sistem

pembelajaran yang bertitik tolak dari suatu masalah, yang dipelajari oleh

siswa baik secara individual maupun kelompok dengan metode yang

bervariasi serta dengan bimbingan guru.

Strategi pengajaran tidak sama dengan metode pengajaran, Rohani dan

Ahmadi (dalam Syafaruddin dan Irwan Nasution 2005: 76), menyimpulkan pola

pengajaran yaitu:

(1) Perumusan tujuan umum adalah penjabaran topik-topik dibarengi

dengan rumusan tujuan umum pengajaran, (2) Identifikasi ciri-ciri yang

penting dari pelajaran untuk terlibat dalam pelajaran, (3) Perumusan tujuan

belajar atau tujuan khusus pengajaran, (4) Kumpulan isi atau bahan

pelajaran yang diperlukan untuk mencapai tujuan, (5) Penjajakan awal latar

belakang dan kemampuan siswa yang berkaitan dengan topik yang

ditentukan (pre test), (6) Pemilihan aktivitas pengajaran dan sumber

pengajaran, (7) Koordinasi layanan penunjang seperti biaya, alat, fasilitas,

rancangan, dan jadwal serta metode, (8) Evaluasi penguasaan tujuan (post

test).

Dari beberapa pengertian tersebut, strategi pengajaran merupakan suatu

tindakan untuk menentukan metode yang akan dipakai selama proses belajar

mengajar, seperti rencana pengajaran dan cara-cara membawakan pengajaran

yang efektif, serta mempunyai rancangan dasar dalam menyampaikan pelajaran.

16

2.2 Proses Belajar

2.2.1 Hakikat Proses Belajar

Menurut Bruner (dalam S. Nasution 2008: 9), dalam proses belajar dapat

dibedakan menjadi tiga fase, yakni:

(1) informasi, (2) transformasi, (3) evaluasi. Informasi, dalam tiap pelajaran

kita peroleh informasi, ada yang menambah pengetahuan, ada yang

memperhalus dan ada yang memperdalamya, ada pula informasi yang

bertentangan dengan apa yang telah kita ketahui. Transformasi,

informasi itu harus dianalisis, diubah ke dalam bentuk yang lebih

abstrak agar dapat digunakan untuk hal-hal yang lebih luas. Evaluasi,

kita menilai sampai manakah pengetahuan yang kita peroleh dan

transformasi itu dapat kita manfaatkan.

Di dalam proses belajar juga dapat kita ajarkan setiap mata pelajaran dalam

bentuk yang sesuai dengan taraf perkembangan anak, oleh S. Nasution 2008: 10.

Kurikulum spiral dapat digunakan untuk memusatkan masalah-masalah penting

dan nilai-nilai siswa, oleh S. Nasution 2008: 10. Menurut S. Nasution (2008: 10),

“berpikir intuitif bisa digunakan guna mengingatkan siswa di dalam proses belajar

bahwa siswa telah lama memikirkan sesuatu yang dilihat atau suatu soal dan

secara tiba-tiba melihat pemecahannya.”

Dari beberapa pengertian tersebut, hakikat proses belajar adalah proses

belajar yang dibedakan menjadi 3 fase yaitu informasi, transformasi, dan evaluasi.

Informasi sesuai dengan informasi yang diperoleh kemudian diperhalus dan

diperdalam. Transformasi merupakan proses analisis agar dapat digunakan untuk

hal-hal yang lebih luas. Evaluasi merupakan penilaian untuk pengetahuan yang

diperoleh dan transformasi yang didapat.

2.2.2 Belajar Tuntas (mastery learning)

Tujuan proses belajar-mengajar secara ideal adalah agar bahan yang

dipelajari dikuasai sepenuhnya oleh murid. Ini disebut “mastery learning” atau

belajar tuntas, artinya penguasaan penuh dalam hal materi, oleh S. Nasution 2008:

36. Menurut Undang-undang Dasar 1945, “menginginkan agar setiap warga

17

negara mendapat kesempatan belajar seluas-luasnya.” Memberi kesempatan

belajar saja belum memadai bila jumlah yang tinggal kelas dan putus sekolah

masih tinggi. Setiap murid harus mendapat bimbingan agar ia berhasil

menyelesaikan pelajarannya dengan baik.

Pelajaran di sekolah harus merupakan pelajaran yang menyenangkan bagi

siswa, masalah yang sangat penting yang kita hadapi adalah usaha agar sebagian

besar siswa dapat belajar dengan efektif, menguasai bahan pelajaran, dan

keterampilan yang di anggap esensial bagi perkembangannya. Menurut S.

Nasution (2008: 37), “siswa akan mengalami frustasi ketika mendapat nilai jelek

tetapi di tegur, mendapatkan kecaman dan celaan, selama nilai-nilai baik yang

hanya diberikan ke sebagian kecil siswa maka mengalami frustasi dan tidak

mengembangkan bakat akan berhenti atau berkurang.” Menurut penelitian, bila

semua anak-anak yang bermacam-macam bakatnya diberi pengajaran yang sama,

maka hasilnya akan berbeda menurut bakat mereka, ada yang mempunyai bakat

tinggi di mata pelajaran seperti matematika, IPA, sejarah, bahasa, dan ada yang

mempunyai bakat rendah di mata pelajaran tersebut.

Hampir semua murid sanggup menguasai sepenuhnya bahan pelajaran

tertentu dengan syarat-syarat tertentu:

(1) Bakat untuk mempengaruhi penguasaan penuh merupakan syarat yang

pertama. Bakat, misalnya inteligensi, mempengaruhi prestasi belajar.

Korelasi antara bakat, misalnya untuk IPS dan prestasi untuk bidang studi

itu setinggi 70. Hasil itu akan tampak bila murid dalam suatu kelas

diberikan metode yang sama dan waktu belajar yang sama. Kenyataannya

bahwa IPS dan mata pelajaran lain hanya dapat dikuasai oleh sebagian siswa

saja, yaitu yang mempunyai bakat khusus untuk mata pelajaran yang

bersangkutan. Tetapi mata pelajaran IPS masih termasuk rendah dari mata

pelajaran yang lainnya. Menurut John Carrol (dalam S. Nasution 2008: 38),

“adanya perbedaan bakat sebagai perbedaan waktu yang diperlukan untuk

menguasai sesuatu.” (2) Mutu pengajaran merupakan syarat yang kedua.

Pestalozzi merupakan pengajaran klasikal yang populer sebagai pengganti

pengajaran individual. Pengajaran klasikal merupakan keharusan dalam

menghadapi jumlah murid yang membanjiri sekolah sebagai kewajiban

belajar. Buku yang diberikan oleh pemerintah sama semua dan metode

mengajar harus paling efektif. Pada dasarnya anak-anak tidak belajar secara

kelompok, akan tetapi secara individual, menurut cara masing-masing

18

meskipun dalam kelompok. Itu sebabnya setiap anak memerlukan bantuan

individual, meskipun dengan satu metode untuk semua siswa, maka guru

harus mempersiapkan diri untuk membimbing setiap anak yang belum

paham dan belum mengerti pelajaran yang diajarkan, oleh S. Nasution 2008:

41. (3) Kesanggupan untuk memahami pengajaran merupakan syarat yang

ketiga. Kemampuan murid untuk menguasai suatu bidang studi banyak

bergantung pada kemampuannya untuk memahami ucapan guru selama

menjelaskan. Dalam pengajaran, guru menyampaikan materi melalui bahasa

dan penggunaan alat peraga oleh S. Nasution 2008: 42. (4) Ketekunan

merupakan syarat yang keempat. Indikasi ketekunan belajar antara lain

jumlah jam rata-rata dalam seminggu yang digunakan oleh murid untuk

membuat pekerjaan rumah menurut laporan murid. Ketekunan belajar ini

bekaitan dengan sikap dan minat terhadap pelajaran, karena bila suatu

pelajaran tidak menarik minatnya, maka ia segera menyampaikan

kesulitannya, begitu juga sebaliknya, oleh S. Nasution 2008: 46.

Bagaimanapun, murid-murid berbeda secara individual dalam cara

belajarnya, ini harus dipertimbangkan dalam strategi mengajar agar setiap anak

dapat menguasai pelajaran secara tuntas, oleh Syafaruddin dan Irwan Nasution

2005: 184. Pembelajaran tuntas diambil dari pemikiran Benyamin S. Bloom

(dalam Syafaruddin dan Irwan Nasution 2005: 184), “terhadap munculnya format

tertentu dari perencanaan pengajaran dengan menggunakan beberapa model

belajar yang dibuat Carrol yaitu pembelajaran menuju kriteria 100% atau

pembelajaran tuntas tidak hanya suatu keinginan saja tetapi juga suatu pencapaian

tujuan.” Rancangan sistem pembelajaran tuntas, rancangan pengajarannya dimulai

dengan analisis kebutuhan yang bertujuan untuk menentukan kebutuhan yang

dipelajari, oleh Syafaruddin dan Irwan Nasution 2005: 184.

Dari beberapa pengertian tersebut, belajar tuntas adalah semua bahan materi

pelajaran dipelajari dan dikuasai sepenuhnya oleh murid. Memberikan

kesempatan belajar pada murid seluas-luasnya serta membimbing setiap murid

dengan berbagai macam karakter yang berbeda sampai benar-benar menguasai

bahan materi pelajaran dan bahan keterampilan bakat yang dimiliki. Pemerintah

memberikan buku yang sama dan metode yang sama serta yang paling efektif,

akan tetapi anak-anak tidak belajar secara kelompok melainkan secara individu,

itu sebabnya setiap anak memerlukan bimbingan secara individual. Rancangan

19

sistem pembelajaran tuntas yaitu dengan menganalisis kebutuhan yang bertujuan

menentukan kebutuhan yang dipelajari.

2.2.3 Hasil Belajar

UNESCO (dalam Deni Darmawan dan Permasih, 2011: 140),

“mengemukakan empat pilar hasil belajar yang diharapkan dapat dicapai oleh

pendidikan, yaitu learning to know, learning to be, learning to life together, dan

learning to do.” Siswa sangat perlu belajar untuk tahu segala hal, belajar untuk

menjadi yang diinginkan, belajar untuk hidup bersama yang lain, dan belajar

untuk melakukan sesuatu yang diinginkan (aktif). Menurut Bloom (dalam Deni

Darmawan dan Permasih, 2011: 140), “menyebutnya dengan tiga ranah hasil

belajar, yaitu kognitif, afektif, dan psikomotor. Aspek kognitif terdiri dari enam

tingkatan yaitu, (1) Pengetahuan, (2) Pemahaman, (3) Pengertian, (4) Aplikasi, (5)

Analisis, (6) Sintesis, dan yang terakhir sebagai tambahan ada evaluasi.”

Proses perubahan belajar dapat terjadi dari yang paling sederhana sampai

yang paling kompleks, yang bersifat pemecahan masalah, dan pentingnya peranan

kepribadian dalam proses serta hasil belajar. Variasi dalam Cognitive Entry

Behaviours, Afektif Entry Characteristic, dan kualitas pengajaran menentukan

hasil belajar, variabel kualitas pengajaran yang tercemin dalam penyajian bahan

petunjuk latihan (tes formatif), proses balikan, dan perbaikan penguatan

partisipasi siswa harus sesuai dengan kebutuhan siswa, oleh Bloom (dalam Max

Darsono, 1989: 88, dalam Deni Darmawan dan Permasih, 2011: 140). Secara

umum, menurut Deni Darmawan dan Permasih(2011: 140), hasil belajar

dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal, yaitu:

Faktor internal yaitu, 1) Faktor fisiologis yang bersifat bawaan yang

diperoleh dari mendengar, melihat, cacat tubuh, dan lain-lain, 2) Faktor

psikologis bersifat keturunan yang terdiri atas faktor intelektual: faktor

potensial yaitu inteligensi dan bakat, dan faktor non-intelektual yaitu

kecakapan nyata dan prestasi, 3) Faktor kematangan baik fisik maupun

psikis yang tergolong faktor eksternal seperti faktor sosial, faktor budaya,

faktor lingkungan fisik, dan faktor spiritual.

20

Dari beberapa pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa hasil belajar

adalah sesuatu yang dicapai oleh seseorang yang didapatnya belajar untuk tahu,

belajar untuk melakukan, belajar untuk bersama dimana hasil belajar tidak hanya

berupa nilai tetapi juga dapat dilihat dari pengaruh faktor internal dan eksternal.

2.3 IPS

2.3.1 Pendekatan IPS

PIPS atau Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial dikaji dari perspektif

kependidikan sebagai cabang ilmu pendidikan maupun sebagai tindakan

pendidikan yang perlu dikaji pendekatan-pendekatan apa yang kini masih menjadi

orientasi kegiatannya. Pendekatan yang kuno dan sempit terhadap pengajaran

studi IPS menganggap bahwa ilmu tersebut disederhanakan untuk tujuan

pendidikan (Wesley dan Wronsky, 1958, dalam Stanley, 1991), sedangkan

pendekatan yang lebih maju memandangnya terutama dari kaitannya dengan

pembentukan warga negara yang baik yang terungkapkan dalam perpaduan isi

ilmu tersebut dengan masalah luas dari masyarakat, di mana seseorang

dihadapkan kepada berbagai proses keputusan pada situasi praktis. Penanaman

atau pembebanan yang tidak reflektif dari isi dan nilai tertentu, dasar

pengfokusannya adalah isi, dengan asumsi bahwa kita sudah mengetahui nilai

mana yang penting, sehingga sama sekali atau sedikit sekali mengajarkan

keterampilan untuk memberikan pilihan yang efektif antara berbagai nilai yang

berkembang. Pendekatan yang bersifat consensus de facto yang status quo, dasar

pemikirannya adalah pendidikan IPS dengan pendekatan yang dulu berbeda dari

yang kini diberlakukan, sebagai transmisi kultural yang konservatif untuk

mempertahankan dan menghasilkan status quo dari peraturan masyarakat dan

institusi. Di dalam kemajuan teknologi yang maju ini, pembelajaran PIPS tidak

hanya buka saja sangat relevan, melainkan merupakan conditi sine qua non.

Dari beberapa pengertian tersebut, pendekatan IPS adalah perspektif dari

kependidikan sebagai cabang ilmu pendidikan. Pendekatan kuno dan sempit

terhadap pengajaran studi IPS merupakan ilmu tersebut disederhanakan untuk

21

tujuan pendidikan, sementara pendekatan yang lebih maju terkait dengan

pembentukan warga negara yang baik serta perpaduan isi ilmu dengan masalah

dari masyarakat.

2.3.2 Kajian IPS

Berpikir sistematik berarti kita harus menggunakan masukan (input) situasi

aktual dengan berpijak pada penjelasan tentang sebab akibat masalah yang

dihadapi hari ini untuk dipahami, sehingga dapat dikembangkan pemikiran

strategis konseptual apakah masukan hari ini dapat digunakan untuk mencapai

tujuan (situasi ideal) yang ingin diraih. Pengamatan terhadap pembelajaran PIPS

menghasilkan persepsi kognitif yang kurang ditandai oleh aspek kemampuan

berkinerja (the ability to perform), memecahkan masalah dalam kehidupan hari ini

yang terkait dengan realitas kehidupan apa adanya. Cara berpikir yang deduktif

yang diperoleh dari pengalaman belajar memroseskan perolehan, merupakan

figurative learning dan bukan operative learning (Piaget dalam Good dan Brophy,

1990).

Dalam pembelajaran yang sistematik kita ingin mengantisipasi hari depan

(situasi ideal) dengan berpijak pada fakta dan masalah hari ini. Atas dasar asumsi

unforeseen, uncontrollable dan uncalculable (Toffler, 1990, dalam in Memorium

of Panglaykim), maka bagi berbagai ilmu terutama yang siklus pengembangannya

panjang (seperti psikologi, PIPS, dan ilmu pengetahuan sosial pada umumnya),

dan yang tidak seperti berbagai ilmu teknologi yang ibarat baterai habis cepat

bergerak, sepantasnya dipatokkan skenario tertentu di masa yang akan datang

dalam upaya pembentukan kemampuan mengadakan pilihan. Menurut Subekti

(2013:2), “tujuan IPS akan dicapai melalui kompetensi peserta didik yang

ditetapkan pada SK (Standar Kompetensi) dan KD (Kompetensi Dasar).” SK

adalah kualifikasi kemampuan minimal peserta didik yang menggambarkan

penguasaan sikap, pengetahuan, dan keterampilan yang diharapkan dicapai pada

setiap tingkat dan/atau semester. SK terdiri atas sejumlah kompetensi dasar

sebagai acuan baku yang harus dicapai dan berlaku secara nasional. KD

22

merupakan sejumlah kemampuan yang harus dimiliki peserta didik dalam mata

pelajaran tertentu sebagai rujukan untuk menyusun indikator kompetensi.

Adapun SK dan KD IPS untuk kelas 5 pada semester 1 dijelaskan melalui tabel

2.3.2.1 berikut ini.

Tabel 2.3.2.1

SK dan KD IPS KELAS V SEMESTER 1

Standar Kompetensi Kompetensi Dasar

1.1. Menghargai berbagai peninggalan dan

tokoh sejarah yang berskala nasional pada masa

Hindu-Budha dan Islam, keragaman

kenampakan alam dan suku bangsa, serta

kegiatan ekonomi di Indonesia

1.1 Mengenal makna peninggalan-peninggalan

sejarah yang berskala nasional dari masa Hindu-

Budha dan Islam di Indonesia

1.2 Menceriterakan tokoh-tokoh sejarah pada

masa Hindu-Budha dan Islam di Indonesia

1.3 Mengenal keragaman kenampakan alam

dan buatan serta pembagian wilayah waktu di

Indonesia dengan menggunakan

peta/atlas/globe dan media lainnya

1.4 Menghargai keragaman suku bangsa dan

budaya di Indonesia

1.5 Mengenal jenis-jenis usaha dan kegiatan

ekonomi di Indonesia

2.4 Make a Match Berbantuan Mind Mapping

2.4.1 Pengertian Make a Match

Make a Match merupakan metode pembelajaran make a match atau mencari

pasangan dikembangkan oleh Lorna Curran (1994). Salah satu keunggulan teknik

ini adalah siswa mencari pasangan sambil belajar mengenai suatu konsep atau

topik dalam suasana yang menyenangkan. Bisa diterapkan untuk semua mata

pelajaran dan tingkatan kelas. Make a Match menekankan pada kegiatan belajar

sambil melakukan sesuatu yaitu mencari pasangan. Make a Match merupakan

suatu metode mengajar yang sistematik yang mengajak siswa dalam mempelajari

pengetahuan penting dan membuat siswa dalam belajar dalam suasana yang

menyenangkan. Proses keingintahuan yang mempengaruhi siswa yang terstruktur

secara kompleks disekitarnya, pertanyaan yang dapat dibuktikan dan jawaban

yang dirancang dengan baik. Model pembelajaran make a match adalah sistem

pembelajaran yang mengutamakan penanaman kemampuan sosial terutama

23

kemampuan bekerja sama, kemampuan berinteraksi disamping kemampuan

berpikir cepat melalui permainan mencari pasangan dengan dibantu kartu (Wahab,

2007: 59).

Make a Match membawa siswa untuk meningkatkan kemampuan mereka

dalam menemukan sendiri jawaban dari suatu pertanyaan, masalah atau

tantangan, begitu sebaliknya siswa menemukan sendiri pertanyaan dari suatu

jawaban, masalah atau tantangan. Hal ini juga membuat siswa harus dapat

berpikir dan menentukan pilihannya (jawaban dan pertanyaan) serta diatur dan

dinilai secara hati-hati guna mencapai sasaran pembelajaran dan menciptakan

produk yang asli dan bermutu tinggi. Pembelajaran kooperatif merujuk pada

berbagai macam metode pengajaran dimana para siswa bekerja dalam kelompok-

kelompok kecil untuk saling membantu satu sama lainnya dalam mempelajari

materi pembelajaran (Robert E. Slavin, 2011: 4). Para siswa akan secara mandiri

menyelesaikan hasil mereka tanpa bantuan guru.

2.4.2 Alasan peneliti menggunakan Make a Match

Peneliti menggunakan Make a Match karena alasan sebagai berikut:

a. Make a Match dapat menjadi metode yang bisa memenuhi tujuan Satuan

Pendidikan SD yang tercantum pada kurikulum KTSP yaitu menjadikan

siswa menjadi manusia yang mandiri, berakhlak mulia, berilmu, cakap,

kritis, kreatif, dan inovatif, dan percaya diri serta toleran, peka sosial,

demokratis dan bertanggung jawab.

b. Penggunaan Make a Match dianggap akan membuat efektif karena pengaruh

kematangan siswa kelas V dalam berpikir dan bersikap. Sifat metode Make a

Match yang berpusat pada siswa diduga akan lebih efektif karena siswa kelas V

lebih mandiri dan sudah bisa bertanggung jawab atas tugas yang diberikan guru

pada mereka. Peran guru disini nantinya adalah hanya sebagai

pelatih/mentor/fasilitator saja.

24

c. Siswa merasa jenuh dengan pengajaran IPS yang terkesan monoton,

membosankan dan sulit karena terlalu banyak hafalan seperti lokasi kerajaan,

tokoh-tokohya, dan tahun setiap kerajaan. Make a Match dinilai tidak akan

membuat siswa merasa bosan karena mereka nantinya tidak hanya akan

menciptakan suatu hasil yang sebenarnya merupakan bagian dari pembelajaran

IPS itu serta berdiskusi dengan teman untuk menemukan jawaban/soal

sehingga IPS terkemas kedalam kondisi yang menyenangkan.

d. Make a Match merupakan metode pembelajaran make a match atau mencari

pasangan dikembangkan oleh Lorna Curran (1994), namun sayangnya sekolah

sekolah yang masih menggunakan KTSP sebagai kurikulumnya merasa

janggal dalam mengaplikasikannya padahal jika dicermati sebenarnya baik

KTSP maupun kurikulum 2013 mengacu pada masalah pembelajaran yang

ada.

e. Keunggulan Make a Match adalah siswa mencari pasangan sambil belajar

mengenai suatu konsep atau topik dalam suasana yang menyenangkan.

f. Kelemahan Make a Match adalah:

1. Proses pembelajaran membutuhkan waktu yang lama.

2. Guru tidak dapat mengetahui kemampuan siswa masing-masing.

3. Siswa kurang konsentrasi.

2.4.3 Penerapan Make a Match

Kakarakter utama dari Make a Match adalah proses/produk sebagai hasil

akhir pembelajaran, oleh Yohana Setiawan (2014: 20). Menurut Yohana Setiawan

(2014: 20), “guru sebaiknya mampu memberikan motivasi kepada siswa dalam

menentukan proyek apa yang akan siswa lakukan agar siswa tertarik mengerjakan

proyek dan tidak merasa bosan.” Selain itu, proyek harus memenuhi tujuan

pembelajaran yang tentunya sesuai dengan kompetensi dasar, materi dan hasil

belajar yang ingin dicapai siswa. Berikut ini sintaks pelaksanaan Make a Match:

25

a. Guru membuat potongan-potongan kertas sejumlah siswa yang ada dalam

kelas.

b. Guru mengkondisikan siswa dengan memberi contoh konkret atau nyata yang

akan dilakukan siswa.

c. Setiap kertas berisi satu pertanyaan atau satu jawaban dari materi yang

disampaikan.

d. Guru membagi jumlah kertas yang sudah dipotong menjadi dua bagian yang

sama untuk soal atau jawaban.

e. Guru mengkocok kertas yang sudah dibagi menjadi dua bagian tersebut sampai

tercampur.

f. Guru membagikan satu per satu kertas tersebut ke setiap siswa, satu siswa

mendapatkan satu kertas.

g. Separo siswa akan menerima pertanyaan, separo siswa lagi akan mendapatkan

jawaban.

h. Guru meminta setiap siswa untuk mencari pasangan dari kertas yang mereka

dapatkan, misalnya mendapat pertanyaan, siswa tersebut keliling mencari

jawaban sebagai pasangan pertanyaannya.

i. Jika siswa sudah menemukan pasangan, mereka harus diam tidak boleh

memberitahu materi (pertanyaan dan jawaban) yang mereka dapatkan ke

teman yang lain.

j. Setelah semua siswa menemukan pasangan, bagi yang mendapatkan

pertanyaan, membacakan pertanyaan tersebut secara keras dan selanjutnya

soal tersebut dijawab oleh pasangan yang lain.

k. Langkah terakhir adalah membuat kesimpulan dan klarifikasi.

26

2.4.4 Pengertian Mind Mapping

Mind map adalah cara termudah untuk menempatkan informasi ke dalam

otak dan mengambil informasi keluar dari otak, serta cara mencatat yang kreatif,

efektif, dan secara harfiah yang “memetakan” pikiran-pikiran kita. Pusat Mind

Map mewakili ide utama, jalan utama yang menyebar dari pusat mind map

mewakili pikiran-pikiran utama dalam proses pemikiran kita, jalan sekunder

mewakili pikiran-pikiran sekunder, dan seterusnya. Mid map juga merupakan peta

rute yang hebat untuk ingatan, membuat kita menyusun fakta dan pikiran

sedemikian rupa sehingga cara kerja alami otak dilibatkan sejak awal. Mind map

mempunyai kesamaan, semuanya menggunakan warna, memikiki struktur alami

yang memancar dari pusat, menggunakan garis lengkung, simbol, kata, dan

gambar yang sesuai dengan satu rangkaian aturan yang sederhana, mendasar,

alami, dan sesuai dengan cara kerja otak. (Tony Buzan, 2012: 4)

2.4.5 Alasan peneliti menggunakan bantuan Mind Mapping

Peneliti menggunakan bantuan Mind Mapping karena alasan sebagai

berikut:

a. Mind mapping memberikan kemudahan untuk kita merencanakan rute dan

mengetahui ke mana kita akan pergi dan di mana kita akan berada.

b. Mind mapping menyenangkan untuk dilihat, dibaca, dicerna, diingat, dan

sangat menarik diagramnya karena warna-warni serta teratur, sehingga

informasi yang didapat sangat mudah untuk diingat.

c. Siswa tidak akan jenuh dan pembelajaran tidak akan terlihat monoton karena

terlalu banyak hafalan seperti lokasi kerajaan, tokoh-tokohya, dan tahun setiap

kerajaan.

d. Keunggulan Mind Mapping adalah:

1. Pembelajaran menjadi lebih kreatif.

2. Menghemat waktu selama penjelasan materi.

3. Menyelesaikan masalah pembelajaran.

4. Memusatkan perhatian pada titik-titik yang ditunjuk ketika menjelaskan.

27

5. Membuat ingatan menjadi lebih bagus.

2.4.6 Penerapan Mind Mapping

Kakarakter utama dari Mind Mapping adalah proses/produk selama

pembelajaran, oleh Yohana Setiawan (2014: 20). Menurut Yohana Setiawan

(2014: 20), “guru sebaiknya mampu memberikan motivasi kepada siswa dalam

menentukan proyek apa yang akan siswa lakukan agar siswa tertarik

melihat/mengamati proyek dan tidak merasa bosan.” Selain itu, proyek harus

memenuhi tujuan pembelajaran yang tentunya sesuai dengan kompetensi dasar,

materi dan hasil belajar yang ingin dicapai siswa. Berikut ini sintaks pelaksanaan

Mind Mapping:

a. Guru membuat mind map yaitu mengenai pelajaran yang dibahas dan

dijelaskan ke siswa.

b. Guru mengisi mind map dengan menggunakan banyak gambar daripada

tulisan/keterangan untuk gambar.

c. Guru menjelaskan secara runtut, diawali dari titik pusat menuju ke

lengkungan pertama yang dituju, kemudian lanjut ke lengkungan berikutnya

sampai selesai.

d. Guru mengosongi beberapa tempat untuk siswa ikut aktif/terlibat dalam

pembelajaran berbantuan mind map.

2.5 Kajian Hasil Penelitian yang Relevan

Penelitian yang dilakukan oleh Subekti pada tahun 2013 pada siswa kelas 5

SD Negeri Ketitang Wetan 01 Pati Semester 1 Tahun 2013/2014 dengan judul,

“Upaya Peningkatan Hasil Belajar IPS Melalui Model Pembelajaran Tipe Make A

Match Siswa Kelas 5 SD Negeri Ketitang Wetan 01 Pati Semester 1 Tahun

2013/2014”, menunjukkan bahwa hasil belajar siswa kelas 5 SD Negeri Ketitang

Wetan 01 Pati Semester 1 Tahun 2013/2014 rendah, hal ini tampak dari dominasi

guru dalam proses pembelajaran menyebabkan siswa lebih bersifat pasif,

guru menggunakan metode ceramah, sehingga mengaktifkan guru, sehingga

siswa lebih banyak menunggu sajian guru daripada mencari, menemukan

28

sendiri pengetahuan atau sikap dalam pembelajaran IPS. Hasil penelitian ini

menunjukkan bahwa penerapan model pembelajaran MM pada mata pelajaran

IPS kelas 5 SD Negeri Ketitang Wetan 01 Pati Semester 1 Tahun 2013/2014

menghargai peranan para tokoh pejuang dan masyarakat dalam mempersiapkan

dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia, siswa kelas 5 SD Negeri Ketitang

Wetan 01 Pati Semester 1 Tahun 2013/2014 terbukti dapat meningkatkan hasil

belajar siswa. Dalam setiap siklus ketuntasan hasil belajar pada aktivitas belajar

siswa mengalami peningkatan yaitu pada tahap tindakan pada siklus 1 sebesar

66,67%; dan pada siklus 2 mengalami kenaikan menjadi 88,89% yang tuntas dan

11,11% belum tuntas. Ketuntasan hasil belajar pada aktivitas belajar siswa dari

siklus 1 naik 22,22% ke siklus 2. Ketuntasan hasil belajar pada tes akhir siswa

dari nilai awal ke siklus I naik 5,56% dan dari siklus 1 ke siklus 2 naik 22,22%.

Penelitian senada dilakukan oleh Heni Kusumawati dengan judul

“Efektifitas Penggunaan Benda Kongkret Pada Model Pembelajaran Kooperatif

Tipe Make A Match Terhadap Hasil Belajar IPS Kelas 5 SD Gugus Perkutut

Tuntang Semarang Semester II Tahun Ajaran 2011/2012”. Tujuan penelitian ini

adalah untuk mengetahui hasil belajar IPS melalui model MM bagi siswa kelas 5

semester 2 SD Gugus Perkutut Tuntang Semarang Semester II Tahun Ajaran

2011/2012. Menunjukkan bahwa hasil belajar siswa kelas 5 SD Gugus Perkutut

Tuntang Semarang Semester 2 Tahun Ajaran 2011/2012 rendah, hal ini

disebabkan penggunaan model dan metode pembelajaran monoton, sehingga

siswa merasa bosan dan enggan untuk mengikuti pelajaran, selain itu disebabkan

juga oleh kurangnya pemanfaatan media pembelajaran sehingga siswa kurang

tertarik mengikuti kegiatan belajar. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa

penerapan model pembelajaran MM pada mata pelajaran IPS kelas 5 SD Gugus

Perkutut Tuntang Semarang Semester II Tahun Ajaran 2011/2012, terbukti dapat

meningkatkan hasil belajar siswa.

Sedangkan penelitian yang penulis lakukan saat ini, penelitian dilakukan

pada tahun 2016 pada siswa kelas 5 SD Negeri Kutowinangun 4 Salatiga

Semester 2 Tahun Pelajaran 2015/2016 dengan judul, “Penerapan Model

29

Pembelajaran Kooperatif Learning Tipe Make A Match Berbantuan Mind

Mapping Untuk Meningkatkan Hasil Belajar IPS Siswa Kelas V SDN

Kutowinangun 4 Tahun Pelajaran 2015/2016”, menunjukkan bahwa hasil belajar

siswa kelas 5 SD Negeri Kutowinangun 4 Salatiga Semester 2 Tahun Pelajaran

2015/2016 rendah, hal ini tampak dari dominasi guru dalam proses pembelajaran

menyebabkan siswa lebih bersifat pasif, guru menggunakan metode ceramah,

sehingga mengaktifkan guru, sehingga siswa lebih banyak menunggu sajian guru

daripada mencari, menemukan sendiri pengetahuan atau sikap dalam

pembelajaran IPS, dan melakukan praktik. Hasil penelitian ini menunjukkan

bahwa penerapan model pembelajaran MM pada mata pelajaran IPS kelas 5 SD

Negeri Kutowinangun 4 Salatiga Semester 2 Tahun Pelajaran 2015/2016

peninggalan sejarah kerajaan Hindu-Buddha dan Islam di Indonesia, siswa kelas

5 SD Negeri Kutowinangun 4 Salatiga Semester 2 Tahun 2015/2016 terbukti

dapat meningkatkan hasil belajar siswa. Dalam setiap siklus ketuntasan hasil

belajar pada aktivitas belajar siswa mengalami peningkatan yaitu pada tahap

tindakan pada siklus I sebesar 79,67% dengan 5 siswa tidak tuntas dan pada siklus

II menjadi 81,23% dengan seluruh siswa mengalami ketuntasan.

2.6 Kerangka Pikir

Kegiatan pembelajaran merupakan proses komunikasi dan interaksi antara

guru dan siswa. Guru harus dapat menciptakan suasana belajar yang memberikan

kemudahan untuk siswa serta siswa mampu menerima yang telah dijelaskan oleh

guru. Guru menggunakan metode pembelajaran yang monoton yaitu ceramah.

Siswa hanya melihat, memperhatikan, dan mendengarkan guru menjelaskan

materi, sehingga membuat siswa lebih banyak diam karena mengantuk dan tidak

terlalu berkonsentrasi. Pada kondisi seperti ini, siswa ketika diberi pertanyaan atau

tes, hasil yang diperoleh masih banyak dibawah KKM yaitu 70.

Kondisi seperti ini memerlukan suatu perbaikan, salah satunya yaitu dengan

menggunakan model pembelajaran yang dapat meningkatkan hasil belajar siswa

30

yaitu model pembelajaran kooperatif tipe MM. Langkah-langkah model

pembelajaran kooperatif tipe MM adalah:

1. Membagi siswa satu kelas menjadi dua kelompok besar

2. Memberikan dua macam kartu yang masing-masing isinya berupa pertanyaan

dan jawaban ke masing-masing siswa di setiap kelompok

3. Masing-masing siswa mendapatkan kartu yang berisi pertanyaan atau jawaban

4. Siswa yang mendapatkan kartu berisi pertanyaan, membacakan isinya

5. Masing-masing siswa yang memegang kartu jawaban mencari pasangannya

6. Dalam waktu yang telah ditentukan, mendapatkan poin

7. Membuat keismpulan

2.7 Hipotesis Tindakan

Dengan penggunaan model Make a Match Berbantuan Mind Mapping ini,

diduga terjadi peningkatan presentasi siswa tuntas KKM dan siswa menjadi lebih

positif atau menjadi sangat baik terhadap IPS. Adapun indikator kinerjanya

adalah:

a. Guru terampil mengelola proses pembelajaran IPS dengan menggunakan

metode Make A Match berbantuan Mind Mapping.

b. Terjadi perubahan sikap dan perilaku siswa selama mengikuti pelajaran

IPS yang ditandai dengan aktivitas siswa yang dapat dilihat pada lembar

penilaian observasi siswa.

c. 80% siswa kelas V SD Negeri Kutowinangun 4 Salatiga mengalami

ketuntasan belajar dalam materi Peninggalan Sejarah Kerajaan Hindu-

Buddha dan Islam.