bab ii kajian pustaka 2.1 gangguan pemusatan...
TRANSCRIPT
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Gangguan Pemusatan Perhatian dan Hiperaktivitas (GPPH)
2.1.1 Definisi Gangguan Pemusatan Perhatian dan Hiperaktivitas (GPPH)
Gangguan Pemusatan Perhatian dan Hiperaktivitas (GPPH) adalah
gangguan neurobehaviour pada anak, yang ditandai dengan adanya gejala
berkurangnya perhatian dan atau aktivitas atau impulsivitas yang berlebihan.
Kedua ciri tersebut merupakan syarat mutlak untuk diagnosis dan harusnya nyata
pada lebih dari satu situasi (Sadock dkk., 2015). Organisasi Kesehatan Dunia
(1992), dalam ICD-10 menggunakan kategori gangguan hiperkinetik untuk GPPH
yang memiliki deskripsi gangguan perilaku yang sama pada umumnya, tetapi
berat item yang berbeda. Singkatnya, tiga komponen gangguan hiperkinetik harus
ada dalam setiap kasus (Saputro, 2012).
GPPH sebagai suatu gangguan psikiatri yang ditandai oleh suatu
perkembangan yang tidak sesuai, pervasif (berbagai situasi berbeda seperti di
rumah dan sekolah) dan persisten dari pola kurangnya perhatian, hiperaktivitas,
dan atau impulsivitas berat dengan onset pada masa kanak awal yang berkaitan
dengan hendaya besar dalam fungsi sosial, akademik, dan atau pekerjaan
(Banaschewski & Rohde, 2010). Diagnostic & Statistical Manual of Mental
Disorder 5th
edition (2013) dari American Psychiatric Association, ciri penting
dari GPPH adalah pola persisten dari kurangnya perhatian dan atau hiperaktif
impulsif yang mengganggu fungsi atau perkembangan, gejala harus hadir sebelum
2
usia 12 tahun GPPH dapat dibuat pada orang yang juga memiliki diagnosis
Autism Spectrum Disorders, dan remaja atau orang dewasa bisa dimasukan
klasifikasi GPPH dengan setidaknya lima gejala di salah satu atau kedua dari dua
domain.
Pada DSM-5 dibahas tentang faktor risiko dan faktor prognostik yang
menekankan perlunya memperhitungkan keadaan lingkungan anak. Tekanan
hidup jangka panjang seperti kemiskinan dan kekerasan fisik atau emosional dapat
menyebabkan gejala yang mirip dengan GPPH atau dapat meningkatkan
keparahan gejala GPPH (Paris, 2013). Gejala-gejala yang diperlihatkan DSM-5
ataupun DSM IV-TR secara subtansial tidak banyak mengalami perubahan seperti
gejala kurangnya perhatian dalam GPPH bermanifestasi sebagai kesulitan
mempertahankan fokus dan bukan karena kurangnya pemahaman. Hiperaktivitas
mengacu pada aktifitas motorik yang berlebihan seperti seorang anak yang
berlarian, tidak bisa diam, gelisah, banyak bicara. Impulsivitas mengacu pada
tindakan tergesa-gesa yang terjadi tanpa pemikiran dan memiliki potensi tinggi
untuk merugikan individu misalnya, menyeberang ke jalan tanpa melihat.
Perilaku impulsif dapat bermanifestasi sebagai masalah sosial, misalnya,
mengganggu orang lain secara berlebihan, dan atau membuat keputusan penting
tanpa memikirkan konsekuensi jangka panjang, misalnya, mengambil pekerjaan
tanpa informasi yang memadai (Banaschewski & Rohde, 2010).
2.1.2 Prevalensi GPPH
Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Tuckman (2007) mengatakan
prevalensi GPPH usia sekolah sebesar 3%-5% di AS, Jerman, Puerto Rico,
3
Taiwan dan di AS didapatkan prevalensi sebesar 7%-8% untuk anak usia dibawah
18 tahun, dan sebesar 4%-5% untuk usia 18 tahun ke atas sedangkan yang
berlanjut hingga dewasa sebesar 30%-50%.
Tinjauan sistematik terhadap 102 penelitian yang meliputi 171.756 subyek
ditemukan prevalensi GPPH di seluruh dunia adalah 5,29%. Kelompok usia anak
ditemukan prevalensi 6,5% dan 2,7% untuk kelompok usia remaja. Anak-anak
usia antara 6 sampai 17 tahun di Amerika Serikat, telah menerima diagnosis
GPPH (Polanczyk et al, 2007).
Penelitian tentang prevalensi anak dengan GPPH pada masa tumbuh
kembang anak di Indonesia, masih belum banyak yang mengkaji (Judarwanto,
2009). Penelitian pada sekolah dasar di Kabupaten Sleman Yogyakarta pada tahun
2000 menunjukkan prevalensi GPPH 9,5%, dan pada sebuah penelitian terbatas
yang dilakukan tahun 2009 mengatakan 2,9% sampel dewasa mempunyai gejala
sisa GPPH dengan rasio laki-laki dua kali lebih banyak dibandingkan perempuan
(Saputro D., 2012). Penelitian di Purwokerto mendapatkan prevalensi GPPH
sebesar 44,2%, dengan rentang usia 6 sampai 12 tahun (Hidayani dkk., 2015).
GPPH sering memiliki komorbiditas dengan gangguan sikap menentang
(54-84%), gangguan belajar (33-60%), gangguan tidur (25-50%), penyalahgunaan
zat (40%), gangguan cemas (30-40%), gangguan tic (34%), gangguan mood (20-
30%), serta gangguan tingkah laku (10-20%) (Taylor & Barke, 2008).
Penelitian mengenai predisposisi anak yang memiliki kedudukan khusus
dalam keluarga seperti anak sulung, anak tunggal, atau anak bungsu dalam sebuah
keluarga secara sosio-budaya biasanya sering diperlakukan istimewa didalam pola
4
asuh keluarga. Pola asuh yang diterapkan dalam keluarga tersebut dapat berupa
melindungi berlebihan (overprotective) atau dimanjakan (overindulgence)
(Herwini, 2014). Perbedaan pola asuh orangtua memiliki peran penting dalam
mempengaruhi perkembangan GPPH dan perilaku agresif yang sangat berkaitan
dengan GPPH (Lui dkk., 2013).
2.1.3 Etiologi GPPH
Etiologi sesungguhnya dari GPPH memang belum jelas diketahui. Faktor
neurobiologi diduga salah satu faktor yang cukup kuat untuk timbulnya gangguan
ini. Pemaparan zat toksik prenatal, prematuritas, dan mekanisme kelahiran yang
mengganggu sistem saraf diperkirakan berhubungan dengan gangguan ini. Hasil
penelitian menyatakan bahwa faktor psikososial dapat menyebabkan dan
memperburuk gejala GPPH. Beberapa faktor yang diduga berhubungan atau
sebagai penyebab GPPH antara lain (Paris,2013) :
A. Faktor Genetik
GPPH lebih sering didapatkan pada keluarga yang memiliki riwayat
menderita GPPH. Keluarga keturunan pertama dari anak dengan GPPH
didapatkan lima kali lebih banyak menderita GPPH daripada keluarga anak
normal. Angka kejadian orangtua kandung dari anak dengan GPPH lebih
banyak menderita GPPH daripada orangtua angkat. Saudara kandung dari
anak dengan GPPH didapatkan 2-3 kali lebih banyak menderita GPPH
daripada saudara anak normal (Taylor & Barke, 2008). Beberapa penelitian
ini menemukan bahwa orangtua dengan GPPH memiliki peningkatan dua
hingga delapan kali lipat untuk risiko untuk memiliki anak GPPH. Pada saat
5
ini penelitian yang paling banyak dilakukan adalah yang terkait dengan
neurotransmiter dopamin, serotonin, noradrenergik, dan neurotransmiter
nikotinergik. Genetik berpengaruh 76% terhadap kejadian GPPH pada anak
dan gen spesifik yang berhubungan dengan GPPH yaitu gen transporter
dopamin (DAT1) pada khromosom 5 dan gen D4 reseptor dopamin (DRD4)
pada khromosom 11 (Taylor & Barke, 2008; Paris, 2013).
B. Faktor Lingkungan
Beberapa penelitian dengan anak kembar menemukan interaksi yang
terjadi antara lingkungan dan konstitusi genetik yang berkonstribusi
terhadap penurunan suatu gangguan perilaku. Lingkungan dapat
berhubungan dengan efek genetik melalui beberapa cara dan menunjukkan
korelasi yang pasif antara gen dan lingkungan dimana orangtualah yang
menciptakan lingkungan pada anak seperti halnya mewarisi gen mereka.
Faktor non-genetik yang dapat mempengaruhi risiko GPPH seperti adanya
riwayat merokok, penggunaan alkohol, penggunaan obat-obatan atau
anemia selama kehamilan, dan kelahiran anak yang prematur (Nass &
Leventhal, 2012).
Orangtua yang antisosial akan menciptakan suatu lingkungan yang
kasar dan reaksi yang inkonsisten pada anak mereka. Reaksi tersebut
berhubungan dengan adanya dan menetapnya perilaku antisosial pada anak
(Banaschewski & Rohde, 2010).
Beberapa aspek dari lingkungan anak terbentuk dari hiperaktivitas
yang berasal dari orangtua, seperti yang ditampilkan dalam gambar 2.1.
6
Gambar 2.1 Patofisiologi GPPH (Taylor & Barke, 2008)
C. Faktor Neurobiologis
Anak-anak dengan GPPH tidak terbukti mengalami kerusakan berat di
otak. Hal ini dijelaskan dengan banyaknya anak dengan kelainan neurologis
yang disebabkan oleh trauma kapitis berat justru tidak menunjukkan adanya
gejala-gejala gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas. Hasil
penelitian 10-15 tahun terakhir ini mendukung adanya pengaruh gangguan
perkembangan neurologis yang mempengaruhi timbulnya gejala GPPH.
Penelitian dengan Computerized Tomography Scan (CT Scan) dan Magnetic
Resonance Imaging (MRI) telah membuktikan bahwa ada beberapa tempat
7
di otak yang berfungsi abnormal pada individu dengan GPPH yaitu
hubungan antara circuit cortical-striatal-thalamic-cortical (CSTC)
(Feldman & Reiff, 2014).
Hasil pemeriksaan Positron Emission Tomography Scan (PET Scan)
pada anak dengan GPPH didapatkan penurunan metabolisme gluose di
korteks prefrontal dan frontal terutama sebelah kanan. Penelitian dari
National Institute of Mental Health di USA juga menunjukkan bahwa area
globus pallidus dan nucleus caudatus secara bermakna lebih kecil pada anak
ADHD daripada anak normal (Stahl & Mignon, 2009).
2.1.4 Diagnosis GPPH
Diagnosis GPPH didasarkan pada riwayat klinis yang didapat dari
wawancara dengan pasien dan orangtua serta informasi dari guru. Kriteria
Diagnostik GPPH menurut DSM-5, dari panduan diagnosis American Psychiatric
Association (2013), sesuai dengan kriteria di bawah ini:
A. Gejala Utama GPPH
Gambaran Utama GPPH adalah adanya pola menetap dari gejala kurangnya
perhatian, hiperaktivitas dan impulsivitas yang bersifat maladaptif dan tidak
sesuai dengan tahap perkembangan anak. GPPH diawali pada masa anak-anak,
beberapa gejala nampak sebelum usia 12 tahun dan terlihat pada minimal dua
tempat yang berbeda (misalnya di rumah, sekolah, atau tempat kerja). GPPH
dapat ditegakkan apabila terdapat minimal enam gejala dari kurangnya perhatian,
hiperaktivitas dan impulsivitas minimal dalam enam bulan.
8
Penilaian adanya gejala GPPH memerlukan informasi dari orang yang
melihat individu ini sehari-hari, karena pada suasana hati dimana individu dengan
GPPH itu mendapatkan pujian, atau dalam pengawasan, atau melakukan kegiatan
yang menarik dan menyenangkan, semua menunjukkan gejala.
Terdapat salah satu atau dua di antara gejala di bawah ini yang menonjol, yaitu:
1. Tidak mampu memusatkan perhatian (inattention)
Penyandang GPPH menunjukkan kesulitan memusatkan perhatian
dibandingkan anak dengan umur dan jenis kelamin yang sama. Gejala yang
dapat diamati berupa: sering gagal memberikan perhatian penuh sampai
terperinci atau selalu membuat kesalahan saat melakukan aktifitas pekerjaan
di sekolah, tempat pekerjaan atau aktifitas lain, sering mengalami kesukaran
dalam mempertahankan perhatian dalam tugas tertentu atau aktifitas bermain
(mudah bosan), sering nampak tidak mendengarkan apabila diajak bicara,
tidak mengikuti perintah dengan sungguh-sungguh dan selalu gagal dalam
menyelesaikan tugas, kesulitan mengatur tugas-tugas dan aktifitasnya, sering
menghindar terhadap tugas-tugas yang memerlukan perhatian mental cukup
lama, sering kehilangan barang-barang (alat tulis pensil, buku, mainan),
perhatian mudah teralih oleh rangsangan dari luar, sering melupakan aktifitas
sehari-hari.
Pemusatan perhatian adalah suatu kondisi mental yang berupa
kewaspadaan penuh (alertness), sangat berminat (aurosal), selektivitas,
mempertahankan perhatian (sustained attention), dan rentang perhatian
(attention span). Individu dengan gangguan pemusatan perhatian
9
menunjukkan kesulitan dalam kemampuan-kemampuan tersebut. Keunikan
mereka adalah mampu mempertahankan perhatian (sangat fokus) apabila
mengerjakan hal-hal yang diminatinya. Ini merupakan potensi baik yang ada
pada penyandang GPPH, sering dikatakan sebagai selective inattention.
2. Hiperaktivitas – impusivitas
Hiperaktivitas paling sering dijumpai sebagai kegelisahan dengan
tangan atau kaki sering bergerak-gerak saat duduk, meninggalkan tempat
duduk saat ada di dalam kelas atau situasi lain dimana memerlukan duduk
diam, sering lari-lari atau memanjat secara berlebihan dalam situasi yang
tidak sesuai, kesukaran dalam mengikuti permainan atau aktifitas yang
membutuhkan ketenangan, berbicara berlebihan, selalu bergerak atau
aktifitas seolah-olah mengendarai sepeda motor, menjawab sebelum
pertanyaan selesai diutarakan, sukar menunggu giliran bermain, sering
interupsi saat diskusi (Association, 2013).
Gejala hiperaktivitas bukan merupakan gejala yang terpisah dari
impulsivitas. Anak dengan GPPH pada umumnya tidak mampu
menghambat tingkah lakunya saat merespon rangsangan dari luar dirinya,
itulah yang disebut impulsivitas. Perilaku anak dengan GPPH sehari-hari
seperti tidak sabar, sulit menunggu giliran, jengkel bila keinginannya tidak
terpenuhi, usil, mengganggu anak lain, melakukan sesuatu tanpa berpikir
dahulu, terlalu cepat memberikan jawaban sebelum pertanyaan selesai
ditanyakan. Perilaku impulsif tersebut yang membuat individu dengan
GPPH sering melakukan kesalahan yang seharusnya tidak perlu terjadi,
10
dan cepat bosan. Gaya bicara yang spontan, kurang memperdulikan
perasaan orang lain dan konsekuensi sosial yang terjadi. Anak dengan
GPPH sering dianggap kurang bertanggung-jawab, tidak dapat
mengendalikan diri, kekanak-kanakkan, mementingkan diri sendiri, malas,
tidak sopan atau nakal, sehingga sering mendapatkan hukuman, kritikan,
teguran atau tidak disukai oleh teman-temannya (Juniar & Setiawati,
2014).
Berdasarkan gejala yang menonjol, GPPH dibagi menjadi tiga sub tipe
yaitu tipe kurangnya perhatian, tipe hiperaktivitas-impulsivitas, dan tipe
kombinasi (Saputro, 2012; Association, 2013).
B. Deteksi Dini GPPH
Mendeteksi GPPH diperlukan informasi tentang riwayat
perkembangan serta observasi perilakunya sehari-hari dirumah, disekolah,
maupun di berbagai tempat, karena saat di klinik anak dengan GPPH sering
menunjukkan perilaku yang baik, sehingga tidak ditemukan gejala GPPH.
Dampak negatif pada fungsi sehari-hari anak, baik dirumah, maupun di
lingkungan yang lain serta kesulitan yang dialami anak perlu dipastikan dari
informasi orangtua, guru maupun pengasuh anak (Juniar & Setiawati, 2014).
Kuisioner yang berupa skala penilaian perilaku (rating scale) untuk
penapisan GPPH yang disusun sesuai dengan kriteria diagnosis, dapat
dijadikan bahan untuk diisi atau dijawab oleh orangtua atau guru. Skala ini
menggambarkan keadaan anak sehari-hari, apabila laporan dari orangtua
atau guru menunjukkan adanya gejala GPPH dan menimbulkan kegagalan
11
fungsi atau apabila nilai total skor dari skala penilaian perilaku tersebut
melampaui batas cut-off score, maka anak tersebut dapat dideteksi sebagai
anak beresiko tinggi untuk terjadinya GPPH (Juniar & Setiawati, 2014).
Dua kuisioner skala penilaian yang dapat digunakan untuk keperluan
skrining GPPH, yaitu Skala Penilaian Perilaku Anak Hiperaktif Indonesia
(SPPAHI), dan Abbreviated Conner’s Teacher Rating Scale (ACTRS) yang
telah divalidasi ke dalam bahasa Indonesia (Saputro D., 2009).
2.1.5 Penanganan pada anak dengan GPPH
GPPH merupakan kondisi berbasis biologis, sehingga memerlukan
pharmacologis agent untuk memperbaiki gejalanya selain terapi non
farmakologis. Anak dengan GPPH memerlukan penanganan yang efektif dengan
kombinasi penanganan terapi obat-obatan dan terapi perilaku. Orangtua anak
dengan GPPH diberikan edukasi tentang kondisi anak dengan GPPH dan
penyebabnya, sehingga mereka dapat berperan aktif dalam menangani anak di
rumah. Pengasuhan anak dengan GPPH dengan tehnik reinforcement positif pada
anak contohnya: memberikan pelukan atau hadiah atau sistem poin apabila anak
berperilaku baik. Anak yang menunjukkan perilaku tidak baik akan diberikan
konsekuensi ringan seperti tidak boleh bersepeda atau menonton televisi.
Orangtua wajib memonitor atau melakukan observasi pada anak baik diluar
maupun didalam rumah, sehingga diharapkan orangtua memiliki strategi cara
mengatasi masalah anak dan cara bermusyawarah dengan anak (Warsiki, 2010).
Program yang melibatkan guru-guru di sekolah juga diharapkan mampu berperan
dalam mengembangkan keterampilan anak dalam area penyelesaian masalah
12
tingkah lakunya, bagaimana caranya mengatasi kemarahannya, keterampilan
interaksi sosial dengan teman atau lingkungannya, kemampuan komunikasi
dengan sekelilingnya. Program sekolah ini memberikan kesempatan pada guru
dan orangtua untuk memusatkan perhatian pada masalah spesifik yang dialami
anak atau remaja (Tresco dkk., 2010).
2.2. Depresi
2.2.1. Definisi Depresi
Depresi adalah suatu kondisi terganggunya aktifitas kehidupan selama dua
minggu atau lebih yang berhubungan dengan alam perasaan yang sedih, diikuti
dengan gejala penyerta, termasuk gangguan pola tidur, gangguan nafsu makan,
gangguan psikomotor, gangguan konsentrasi, kelelahan, rasa putus asa dan tidak
berdaya, serta keinginan bunuh diri (O'Connor, 2013).
Gangguan depresi ditandai oleh perasaan kesedihan, berkurangnya
kesenangan, kehilangan energi, perasaan tidak berguna, menurunnya kemampuan
berfikir dan konsentrasi, pikiran berulang mengenai kematian sampai pada
munculnya waham dan halusinasi serta kemungkinan adanya tindakan bunuh diri
(Sadock dkk., 2015).
Gangguan depresi mayor menurut Diagnostic and Statistical Manual of
Mental Disorders Fifth Edition (DSM-5) (2013) memenuhi kriteria:
A. Lima (atau lebih) dari beberapa gejala dibawah ini yang berlangsung
setidaknya dalam dua minggu dan menunjukkan adanya gangguan dalam
fungsi, minimal salah satu dari gejala (1) mood depresi atau (2) kehilangan
minat dan kesenangan.
13
1. Mood depresi yang muncul hampir setiap hari, perasaan sedih, kosong,
putus asa.
2. Kehilangan minat atau kehilangan rasa nikmat terhadap semua, atau
hampir semua kegiatan sebagian besar waktu dalam satu hari, atau
bahkan hampir setiap hari (ditandai oleh laporan secara subyektif atau
berdasarkan pengamatan orang lain).
3. Kehilangan berat badan yang signifikan saat tidak melakukan diet atau
bertambahnya berat badan secara signifikan (misalnya: perubahan
berat badan lebih dari 5% berat badan sebelumnya dalam satu bulan).
4. Insomnia atau hipersomnia hampir setiap hari.
5. Kegelisahan atau keterlambatan psikomotor hampir setiap hari (dapat
diamati oleh orang lain, bukan hanya perasaan subyektif akan
kegelisahan atau merasa lambat).
6. Perasaan lelah atau kehilangan kekuatan hampir setiap hari.
7. Perasaan tidak berharga atau perasaan bersalah yang berlebihan atau
tidak wajar (bisa merupakan delusi) yang dialami hampir setiap hari.
8. Berkurangnya kemampuan untuk berpikir atau berkonsentrasi atau
sulit dalam membuat keputusan hampir setiap hari (ditandai oleh
laporan subyektif atau pengamatan orang lain).
9. Berulangkali muncul pikiran akan kematian (bukan hanya takut mati),
berulang kali muncul pikiran untuk bunuh diri tanpa rencana yang
jelas, atau usaha bunuh diri atau rencana yang spesifik untuk
mengakhiri nyawa sendiri.
14
B. Semua gejala klinis ini akibat dari adanya distress yang signifikan atau
gangguan dalam sosial, pekerjaan, atau fungsi penting lainnya.
C. Episode ini tidak diakibatkan oleh efek psikologis dari penggunaan zat atau
kondisi medis lainnya.
D. Tidak memenuhi kriteria gangguan skizoafektif, dkizofrenia,
skizofreniform, gangguan waham, spektrum skizofrenia tidak spesifik atau
spesifik lainnya dan gangguan psikotik lain.
E. Tidak pernah ada episode manik atau hipomanik.
Gangguan depresi selain dengan kriteria diagnostik, untuk keperluan skrining
dapat dilakukan dengan memakai skala penilaian seperti Beck Depression
Inventory-II (BDI-II) yang merupakan skala pengukuran interval yang
mengevaluasi 21 gejala depresi. Instrumen ini cocok dan mudah dilakukan untuk
melakukan skrining awal pada populasi tertentu.
2.2.2. Etiologi Depresi
Depresi dapat disebabkan oleh beberapa faktor seperti: faktor genetik,
faktor biologi dan faktor psikososial (Birrel, 2013):
a. Faktor Genetik
Hasil penelitian genetik dan keluarga menunjukkan bahwa risiko untuk
mengalami depresi antara anggota keluarga tingkat pertama dari individu
yang menderita depresi berat (unipolar) diperkirakan dua sampai tiga kali
lebih besar dibandingkan dengan populasi umum. Faktor yang signifikan
dalam perkembangan depresi adalah genetik. Hasil penelitian pada anak
kembar terhadap gangguan depresi berat menunjukkan bahwa kembar
15
monozigot memiliki insiden komorbiditas 54% lebih besar dan kembar
dizigot memiliki insiden 24% lebih besar (Feldman & Reiff, 2014).
b. Faktor Biologi
Ketidakseimbangan zat-zat kimia di dalam sel otak akan memicu
timbulnya depresi. Kelainan pada amin biogenic di dalam darah, urin,
cairan cerebrospinal terjadi pada pasien depresi. Amin biogenic yang
berubah yaitu 5- Hidroksi Indol Asetic Acid (5-HIAA), Homovanilic Acid
(HVA), 5-Methoxy-0-Hydroksi Phenil Glikol (MPGH). Neurotransmitter
yang berperan dalam patologi depresi adalah serotonin dan epinephrine.
Penurunan serotonin dapat menimbulkan depresi (Sadock dkk., 2015).
Norepinephrine berhubungan dengan menurunnya regulasi reseptor B-
adrenergik dan respon antidepresan yang secara klinis merupakan indikasi
dari peran sistem noradrenergic dalam depresi (Birrel, 2013). Hormon
esterogen dan progesteron dapat mempengaruhi perasaan dan perilaku
dengan mempengaruhi norepinephrine, serotonin, dopamin, asetilkolin.
Perubahan hormon esterogen dan progesteron yang menurun membuat
perempuan mudah mengalami gangguan mood, khususnya depresi (Stahl
& Mignon, 2009).
c. Faktor Psikososial
Pendapat Freud (1917 dalam Sadock dkk., 2015) menyatakan bahwa
penyebab depresi adalah suatu hubungan antara kehilangan objek yang
dicintai. Kemarahan pasien depresi mengarah pada diri sendiri untuk
mengidentifikasikan objek yang hilang tersebut (Arista, 2014). Faktor
16
psikososial yang diperkirakan sebagai penyebab depresi adalah hilangnya
peran sosial, penurunan kesehatan, penyakit kronis, isolasi diri,
kemiskinan, penurunan fungsi kognitif dan kurangnya dukungan keluarga.
Faktor kepribadian apapun dapat sebagai faktor predisposisi terhadap
depresi.
Peningkatan risiko terjadinya depresi dapat disebabkan oleh beberapa faktor
seperti: usia, jenis kelamin, status pernikahan, kehilangan pekerjaan dan
pendapatan rumah tangga, dukungan keluarga, pendidikan, dan suku. Depresi
lebih mudah terjadi pada orang dewasa muda, dengan jenis kelamin perempuan
dan pada individu yang memiliki pendidikan yang rendah (Arista, 2014).
2.3 Depresi Pada Ibu
Peran ibu dalam keluarga sangat banyak yaitu sebagai istri, mengurus
rumah tangga, sebagai pengasuh dan pendidik anak, dan sebagai salah satu
kelompok dari peran sosialnya serta bagian dari masyarakat. Kenakalan dan
kegagalan pendidikan anak, lebih banyak ditunding sebagai akibat dari
kegagalan seorang ibu dalam menjalankan fungsinya. Saat ini banyak ibu yang
realitasnya menjadi perempuan bekerja untuk menunjang ekonomi keluarga
(Purba, 2011).
Pergeseran nilai peran seorang ibu saat ini, dimana seorang ibu menjalankan
peran ganda dalam melaksanakan peran seorang ibu dan sekaligus perempuan
bekerja akan berpengaruh positif maupun negatif terhadap kondisi keluarga
terutama terhadap anak. Sisi positif dimana bekerja dipandang sebagai sarana
untuk melepaskan diri dari tekanan dalam rumah tangga, untuk mengembangkan
17
diri, aktualisasi diri, serta menambah pendapatan keluarga (Retnowati &
Pujiastuti, 2005).
Seorang ibu rumah tangga ataupun ibu yang bekerja membutuhkan
manajemen waktu untuk menjaga keseimbangan kehidupan keluarga. Rumah
tangga yang aman adalah rumah tangga tempat dimana kedua orangtua memiliki
waktu saling memperhatikan pasangannya serta anak-anak mereka (Semiawan,
2005). Masalah yang sering ditemui dimana perlakuan ibu terhadap anak
dirumah yang memanjakan anak-anaknya akibat rasa bersalah karena lebih
banyak menghabiskan waktu untuk pekerjaan, dapat berdampak negatif terhadap
prestasi belajar anak dan interaksi sosialnya di sekolah (Nurdin, 2011; Anugrah,
2015).
Sebuah penelitian pendahuluan dengan menggunakan Parenting Stress
Index (PSI) terhadap lima orang ibu didapatkan, tiga orang ibu mengatakan
bahwa lebih repot mengurus lebih dari satu anak dibandingkan hanya satu orang
anak saja dan ibu yang bekerja sebagai karyawan, mengaku seringkali tidak
tenang meninggalkan anaknya saat bekerja. Kesulitan yang mereka hadapi
adalah saat anak mereka sulit dinasehati, sulit diatur, dan menunjukkan perilaku
yang sulit dikendalikan (Chairini, 2013).
Berbagai faktor internal maupun eksternal dengan berbagai tuntutan
terhadap seorang ibu dapat berdampak pada psikologis ibu. Stresor yang
berlangsung terus dalam jangka panjang, maka ibu dapat mengalami kelelahan
mental, dan pada akhirnya akan memasuki kondisi depresi. Gangguan depresi
pada ibu mempunyai gambaran yang spesifik, yaitu waktu mengalami depresi
18
lebih panjang, menjadi bersifat khronik berkaitan dengan kejadian reproduktif,
gejala atipikal lebih banyak, lebih dominan gejala somatik, dan respon terhadap
terapi lebih lambat (Maramis, 2009).
Salah satu faktor yang dapat menimbulkan depresi pada perempuan adalah
stress dan tekanan yang dialami di luar rumah, ketidak-seimbangan antara tugas
sebagai istri dan ibu rumah tangga disamping juga pekerjaan yang mampu
menciptakan suatu stress tersendiri (Sianturi, 2013). Kondisi depresi yang
dialami ibu tentu saja akan mempengaruhi kondisi keluarga. Ibu menjadi
pemurung, gelisah, tidak bersemangat, sehingga melalaikan kewajibannya dalam
merawat dan mendidik anaknya di rumah. Hal tersebut dalam mempengaruhi
pertumbuhan dan perkembangan seorang anak.
2.3.1 Prevalensi Depresi Pada Ibu
Perempuan memiliki risiko lebih besar untuk terjadiya depresi. Penelitian di
Amerika mendapatkan bahwa 7% dari perempuan mengalami depresi, demikian
juga halnya dengan di Edmonton, Canada, Puerto Rico, Paris dan Jerman Barat
(Stein dkk., 2006). Angka kejadian depresi seumur hidup pada perempuan
sebesar 21%, khususnya di masa subur dengan onset usia berkisar antara 20
hingga 50 tahun (Maramis, 2009; Muhdi, 2009).
2.3.2 Dampak Depresi Ibu Terhadap Perkembangan Anak
Proses tumbuh kembang seorang anak dipengaruhi oleh faktor herediter dan
faktor lingkungan psikososial, dimana faktor herediter menentukan kemampuan
19
bawaan, sedangkan lingkungan psikososial akan menentukan dicapainya atau
tidak potensi bawaan dari anak tersebut (Semiawan, 2005).
Taraf perkembangan kemampuan kognitif yang optimal, diperlukan struktur
tubuh dan fungsi dari organ-organ yang baik, adanya simulasi atau rangsangan
baru yang berkelanjutan dari lingkungan dan peran aktif individu untuk mengolah
informasi yang diterimanya dari lingkungan itu. Hal tersebut menjelaskan bahwa
peranan orangtua sangat diperlukan dalam upaya mencapai taraf pertumbuhan dan
perkembangan anak yang optimal (Rahmita, 2011).
Kesehatan fisik dan emosional ibu ketika membesarkan anak-anaknya
berpengaruh erat terhadap perubahan perilaku anak. Anak-anak yang masih dalam
sekolah dasar dan dibesarkan oleh ibu yang mengalami depresi, cenderung akan
terlibat dalam masalah perilaku seperti peminum alkohol dan narkotika disaat
anak tersebut menginjak usia remaja (Diley, 2005 ; O'Connor, 2013).
Pengasuhan ibu yang depresi dan perilaku orangtua yang negatif dapat
membahayakan perkembangan anak sendiri. Penelitian di Kanada terhadap ibu
yang mengalami depresi menunjukkan perilaku anak yang lebih emosional
dibandingkan dengan anak yang diasuh oleh ibu yang tidak depresi. Ibu yang
depresi kurang konsisten dalam mengasuh anak mereka, meninggalkan anak –
anak di lingkungan yang kurang stabil, disiplin dan komunikasi orangtua-anak
tidak efektif (Harmon, 2010).
2.4 Depresi Pada Ibu yang Memiliki Anak GPPH
Karakteristik anak dengan GPPH adalah tidak mampu memusatkan
perhatian, hiperaktivitas dan impulsivitas. Pola perilaku anak prasekolah dengan
20
GPPH, dan komorbiditas yang menyertainya sama dengan anak usia dewasa.
Gambaran klinis anak dengan GPPH adalah kegagalan fungsi pada berbagai
bidang akibat gejala tersebut. GPPH menunjukkan keterkaitan secara konsisten
dengan kegagalan berbicara, serta keterampilan akademik yang buruk, banyak
mengalami masalah motorik dan mudah mengalami kecelakaan, kesulitan
bersosialisasi dengan kelompok sebayanya. Mereka juga memiliki kesulitan
dalam berinteraksi dengan orangtua dan anggota keluarga yang lain. Kondisi
tersebut dapat menimbulkan beban dan sumber stres bagi keluarga terutama ibu
(Saputro D., 2012).
Kualitas waktu kehidupan anak terbanyak dalam lingkungan keluarga.
Orangtua khususnya ibu merasa kecewa dengan perilaku anak yang negatif, meski
berulangkali diberi nasehat. Mereka menganggap perilaku anak dengan GPPH
yang ditunjukkan anak adalah perilaku-perilaku yang dipaparkan sengaja. Hal
tersebut memunculkan konflik antara anak dan orangtua. Anak dengan GPPH
juga bermasalah di sekolah, tidak mampu berinteraksi dengan teman-teman, dan
nilai prestasi sekolah yang buruk. Anak dengan GPPH banyak menimbulkan
masalah yang dapat berdampak terhadap psikologis ibu sehingga rentan untuk
mengalami gangguan cemas ataupun depresi (Ellison, 2015).
2.4.1 Prevalensi Depresi pada Ibu yang Memiliki Anak GPPH
Ibu yang memiliki anak dengan GPPH memiliki peningkatan angka
perceraian, penyalahgunaan zat, dan menderita depresi yang jauh lebih tinggi dari
ibu yang memiliki anak-anak normal. Anak dengan GPPH membutuhkan lebih
banyak perhatian, obat-obatan dan pengasuhan yang konsisten sehingga
21
menambah beban pengasuhan ibu, dimana ditemukan setidaknya 50% dari ibu-ibu
yang memiliki anak dengan GPPH menjadi depresi (Serpico, 2013; Ellison,
2015).
Penelitian oleh Lee dkk. (2008) yang meneliti kepribadian ibu dari anak-
anak dengan GPPH dengan menggunakan Minnesota Multiphasic Personality
Inventory (MMPI), dimana didapatkan hasil skor depresi, histeria, dan
psychastenia lebih tinggi dan bermakna secara statistik pada ibu dengan anak
dengan GPPH dibandingkan kelompok kontrol, dengan mengontrol usia ibu,
pendidikan ibu, jenis kelamin anak, usia dan jumlah dari Intellegence Quotient
(IQ).
2.4.2 Dampak Depresi Ibu terhadap perkembangan anak GPPH
Anak dengan GPPH menunjukkan perilaku yang buruk, seperti tidak mau
diam, tidak patuh terhadap perintah, anak terlalu senang bermain, malas belajar.
Orangtua kurang memahami tentang karakteristik gangguan GPPH beserta dengan
gejala penyertanya. Orangtua menganggap bahwa gangguan ini merupakan sifat
buruk anak (Saputro, 2009).
Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Hidayati (2013) tentang peran
pendampingan regulasi emosi dalam menurunkan perilaku maltreatment fisik
terhadap anak GPPH, dengan melakukan wawancara pada ibu yang memiliki anak
yang terdiagnosis GPPH. Hasil dari penelitian tersebut bahwa ibu sering tidak
sabar dan jengkel menghadapi perilaku anak dengan GPPH. Sikap ibu menjadi
lebih kasar dan terkadang menjadi ringan tangan, mencubit dan memukul,
menyeret ketika anak tidak segera melakukan instruksi yang diberikan, ibu merasa
22
anak merepotkannya dan ibu akan mudah mengalami suasana hati yang berubah-
ubah dapat menyebabkan suasana hati yang buruk dan depresi. Sikap keras yang
dilakukan oleh ibu dalam upaya mengendalikan anak, justru menjadi sebaliknya,
anak menjadi marah dan menunjukkan sikap melawan, memiliki gejala
impulsivitas dan kurangnya perhatian yang lebih parah dibandingkan anak dengan
GPPH yang tidak mengalami kekerasan.
Penelitian oleh Lee dkk. (2013) yang melanjutkan penelitian sebelumnya
terhadap ibu yang memiliki anak dengan GPPH, menggunakan metode
observarsional. Penelitian ini bertujuan mengetahui pengaruh depresi ibu terhadap
anak GPPH dan menilai kualitas interaksi orangtua-anak. Penelitian ini
membandingkan antara anak GPPH dengan ibu yang depresi, anak GPPH dengan
ibu yang tidak depresi dan anak tanpa GPPH dengan ibu yang tidak depresi. Hasil
dari penelitian ini adalah anak dengan GPPH yang ibunya mengalami depresi
terjadi interaksi orangtua-anak yang kurang positif dibandingkan kelompok yang
lain. Depresi ibu mungkin memainkan peran penting dalam presentasi afektif
terhadap anak dengan GPPH dengan ibu yang depresi.