bab ii kajian pustaka 2.1 gangguan pemusatan...

23
BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Gangguan Pemusatan Perhatian dan Hiperaktivitas (GPPH) 2.1.1 Definisi Gangguan Pemusatan Perhatian dan Hiperaktivitas (GPPH) Gangguan Pemusatan Perhatian dan Hiperaktivitas (GPPH) adalah gangguan neurobehaviour pada anak, yang ditandai dengan adanya gejala berkurangnya perhatian dan atau aktivitas atau impulsivitas yang berlebihan. Kedua ciri tersebut merupakan syarat mutlak untuk diagnosis dan harusnya nyata pada lebih dari satu situasi (Sadock dkk., 2015). Organisasi Kesehatan Dunia (1992), dalam ICD-10 menggunakan kategori gangguan hiperkinetik untuk GPPH yang memiliki deskripsi gangguan perilaku yang sama pada umumnya, tetapi berat item yang berbeda. Singkatnya, tiga komponen gangguan hiperkinetik harus ada dalam setiap kasus (Saputro, 2012). GPPH sebagai suatu gangguan psikiatri yang ditandai oleh suatu perkembangan yang tidak sesuai, pervasif (berbagai situasi berbeda seperti di rumah dan sekolah) dan persisten dari pola kurangnya perhatian, hiperaktivitas, dan atau impulsivitas berat dengan onset pada masa kanak awal yang berkaitan dengan hendaya besar dalam fungsi sosial, akademik, dan atau pekerjaan (Banaschewski & Rohde, 2010). Diagnostic & Statistical Manual of Mental Disorder 5 th edition (2013) dari American Psychiatric Association, ciri penting dari GPPH adalah pola persisten dari kurangnya perhatian dan atau hiperaktif impulsif yang mengganggu fungsi atau perkembangan, gejala harus hadir sebelum

Upload: lamtram

Post on 28-Jul-2018

221 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Gangguan Pemusatan Perhatian dan Hiperaktivitas (GPPH)

2.1.1 Definisi Gangguan Pemusatan Perhatian dan Hiperaktivitas (GPPH)

Gangguan Pemusatan Perhatian dan Hiperaktivitas (GPPH) adalah

gangguan neurobehaviour pada anak, yang ditandai dengan adanya gejala

berkurangnya perhatian dan atau aktivitas atau impulsivitas yang berlebihan.

Kedua ciri tersebut merupakan syarat mutlak untuk diagnosis dan harusnya nyata

pada lebih dari satu situasi (Sadock dkk., 2015). Organisasi Kesehatan Dunia

(1992), dalam ICD-10 menggunakan kategori gangguan hiperkinetik untuk GPPH

yang memiliki deskripsi gangguan perilaku yang sama pada umumnya, tetapi

berat item yang berbeda. Singkatnya, tiga komponen gangguan hiperkinetik harus

ada dalam setiap kasus (Saputro, 2012).

GPPH sebagai suatu gangguan psikiatri yang ditandai oleh suatu

perkembangan yang tidak sesuai, pervasif (berbagai situasi berbeda seperti di

rumah dan sekolah) dan persisten dari pola kurangnya perhatian, hiperaktivitas,

dan atau impulsivitas berat dengan onset pada masa kanak awal yang berkaitan

dengan hendaya besar dalam fungsi sosial, akademik, dan atau pekerjaan

(Banaschewski & Rohde, 2010). Diagnostic & Statistical Manual of Mental

Disorder 5th

edition (2013) dari American Psychiatric Association, ciri penting

dari GPPH adalah pola persisten dari kurangnya perhatian dan atau hiperaktif

impulsif yang mengganggu fungsi atau perkembangan, gejala harus hadir sebelum

2

usia 12 tahun GPPH dapat dibuat pada orang yang juga memiliki diagnosis

Autism Spectrum Disorders, dan remaja atau orang dewasa bisa dimasukan

klasifikasi GPPH dengan setidaknya lima gejala di salah satu atau kedua dari dua

domain.

Pada DSM-5 dibahas tentang faktor risiko dan faktor prognostik yang

menekankan perlunya memperhitungkan keadaan lingkungan anak. Tekanan

hidup jangka panjang seperti kemiskinan dan kekerasan fisik atau emosional dapat

menyebabkan gejala yang mirip dengan GPPH atau dapat meningkatkan

keparahan gejala GPPH (Paris, 2013). Gejala-gejala yang diperlihatkan DSM-5

ataupun DSM IV-TR secara subtansial tidak banyak mengalami perubahan seperti

gejala kurangnya perhatian dalam GPPH bermanifestasi sebagai kesulitan

mempertahankan fokus dan bukan karena kurangnya pemahaman. Hiperaktivitas

mengacu pada aktifitas motorik yang berlebihan seperti seorang anak yang

berlarian, tidak bisa diam, gelisah, banyak bicara. Impulsivitas mengacu pada

tindakan tergesa-gesa yang terjadi tanpa pemikiran dan memiliki potensi tinggi

untuk merugikan individu misalnya, menyeberang ke jalan tanpa melihat.

Perilaku impulsif dapat bermanifestasi sebagai masalah sosial, misalnya,

mengganggu orang lain secara berlebihan, dan atau membuat keputusan penting

tanpa memikirkan konsekuensi jangka panjang, misalnya, mengambil pekerjaan

tanpa informasi yang memadai (Banaschewski & Rohde, 2010).

2.1.2 Prevalensi GPPH

Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Tuckman (2007) mengatakan

prevalensi GPPH usia sekolah sebesar 3%-5% di AS, Jerman, Puerto Rico,

3

Taiwan dan di AS didapatkan prevalensi sebesar 7%-8% untuk anak usia dibawah

18 tahun, dan sebesar 4%-5% untuk usia 18 tahun ke atas sedangkan yang

berlanjut hingga dewasa sebesar 30%-50%.

Tinjauan sistematik terhadap 102 penelitian yang meliputi 171.756 subyek

ditemukan prevalensi GPPH di seluruh dunia adalah 5,29%. Kelompok usia anak

ditemukan prevalensi 6,5% dan 2,7% untuk kelompok usia remaja. Anak-anak

usia antara 6 sampai 17 tahun di Amerika Serikat, telah menerima diagnosis

GPPH (Polanczyk et al, 2007).

Penelitian tentang prevalensi anak dengan GPPH pada masa tumbuh

kembang anak di Indonesia, masih belum banyak yang mengkaji (Judarwanto,

2009). Penelitian pada sekolah dasar di Kabupaten Sleman Yogyakarta pada tahun

2000 menunjukkan prevalensi GPPH 9,5%, dan pada sebuah penelitian terbatas

yang dilakukan tahun 2009 mengatakan 2,9% sampel dewasa mempunyai gejala

sisa GPPH dengan rasio laki-laki dua kali lebih banyak dibandingkan perempuan

(Saputro D., 2012). Penelitian di Purwokerto mendapatkan prevalensi GPPH

sebesar 44,2%, dengan rentang usia 6 sampai 12 tahun (Hidayani dkk., 2015).

GPPH sering memiliki komorbiditas dengan gangguan sikap menentang

(54-84%), gangguan belajar (33-60%), gangguan tidur (25-50%), penyalahgunaan

zat (40%), gangguan cemas (30-40%), gangguan tic (34%), gangguan mood (20-

30%), serta gangguan tingkah laku (10-20%) (Taylor & Barke, 2008).

Penelitian mengenai predisposisi anak yang memiliki kedudukan khusus

dalam keluarga seperti anak sulung, anak tunggal, atau anak bungsu dalam sebuah

keluarga secara sosio-budaya biasanya sering diperlakukan istimewa didalam pola

4

asuh keluarga. Pola asuh yang diterapkan dalam keluarga tersebut dapat berupa

melindungi berlebihan (overprotective) atau dimanjakan (overindulgence)

(Herwini, 2014). Perbedaan pola asuh orangtua memiliki peran penting dalam

mempengaruhi perkembangan GPPH dan perilaku agresif yang sangat berkaitan

dengan GPPH (Lui dkk., 2013).

2.1.3 Etiologi GPPH

Etiologi sesungguhnya dari GPPH memang belum jelas diketahui. Faktor

neurobiologi diduga salah satu faktor yang cukup kuat untuk timbulnya gangguan

ini. Pemaparan zat toksik prenatal, prematuritas, dan mekanisme kelahiran yang

mengganggu sistem saraf diperkirakan berhubungan dengan gangguan ini. Hasil

penelitian menyatakan bahwa faktor psikososial dapat menyebabkan dan

memperburuk gejala GPPH. Beberapa faktor yang diduga berhubungan atau

sebagai penyebab GPPH antara lain (Paris,2013) :

A. Faktor Genetik

GPPH lebih sering didapatkan pada keluarga yang memiliki riwayat

menderita GPPH. Keluarga keturunan pertama dari anak dengan GPPH

didapatkan lima kali lebih banyak menderita GPPH daripada keluarga anak

normal. Angka kejadian orangtua kandung dari anak dengan GPPH lebih

banyak menderita GPPH daripada orangtua angkat. Saudara kandung dari

anak dengan GPPH didapatkan 2-3 kali lebih banyak menderita GPPH

daripada saudara anak normal (Taylor & Barke, 2008). Beberapa penelitian

ini menemukan bahwa orangtua dengan GPPH memiliki peningkatan dua

hingga delapan kali lipat untuk risiko untuk memiliki anak GPPH. Pada saat

5

ini penelitian yang paling banyak dilakukan adalah yang terkait dengan

neurotransmiter dopamin, serotonin, noradrenergik, dan neurotransmiter

nikotinergik. Genetik berpengaruh 76% terhadap kejadian GPPH pada anak

dan gen spesifik yang berhubungan dengan GPPH yaitu gen transporter

dopamin (DAT1) pada khromosom 5 dan gen D4 reseptor dopamin (DRD4)

pada khromosom 11 (Taylor & Barke, 2008; Paris, 2013).

B. Faktor Lingkungan

Beberapa penelitian dengan anak kembar menemukan interaksi yang

terjadi antara lingkungan dan konstitusi genetik yang berkonstribusi

terhadap penurunan suatu gangguan perilaku. Lingkungan dapat

berhubungan dengan efek genetik melalui beberapa cara dan menunjukkan

korelasi yang pasif antara gen dan lingkungan dimana orangtualah yang

menciptakan lingkungan pada anak seperti halnya mewarisi gen mereka.

Faktor non-genetik yang dapat mempengaruhi risiko GPPH seperti adanya

riwayat merokok, penggunaan alkohol, penggunaan obat-obatan atau

anemia selama kehamilan, dan kelahiran anak yang prematur (Nass &

Leventhal, 2012).

Orangtua yang antisosial akan menciptakan suatu lingkungan yang

kasar dan reaksi yang inkonsisten pada anak mereka. Reaksi tersebut

berhubungan dengan adanya dan menetapnya perilaku antisosial pada anak

(Banaschewski & Rohde, 2010).

Beberapa aspek dari lingkungan anak terbentuk dari hiperaktivitas

yang berasal dari orangtua, seperti yang ditampilkan dalam gambar 2.1.

6

Gambar 2.1 Patofisiologi GPPH (Taylor & Barke, 2008)

C. Faktor Neurobiologis

Anak-anak dengan GPPH tidak terbukti mengalami kerusakan berat di

otak. Hal ini dijelaskan dengan banyaknya anak dengan kelainan neurologis

yang disebabkan oleh trauma kapitis berat justru tidak menunjukkan adanya

gejala-gejala gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas. Hasil

penelitian 10-15 tahun terakhir ini mendukung adanya pengaruh gangguan

perkembangan neurologis yang mempengaruhi timbulnya gejala GPPH.

Penelitian dengan Computerized Tomography Scan (CT Scan) dan Magnetic

Resonance Imaging (MRI) telah membuktikan bahwa ada beberapa tempat

7

di otak yang berfungsi abnormal pada individu dengan GPPH yaitu

hubungan antara circuit cortical-striatal-thalamic-cortical (CSTC)

(Feldman & Reiff, 2014).

Hasil pemeriksaan Positron Emission Tomography Scan (PET Scan)

pada anak dengan GPPH didapatkan penurunan metabolisme gluose di

korteks prefrontal dan frontal terutama sebelah kanan. Penelitian dari

National Institute of Mental Health di USA juga menunjukkan bahwa area

globus pallidus dan nucleus caudatus secara bermakna lebih kecil pada anak

ADHD daripada anak normal (Stahl & Mignon, 2009).

2.1.4 Diagnosis GPPH

Diagnosis GPPH didasarkan pada riwayat klinis yang didapat dari

wawancara dengan pasien dan orangtua serta informasi dari guru. Kriteria

Diagnostik GPPH menurut DSM-5, dari panduan diagnosis American Psychiatric

Association (2013), sesuai dengan kriteria di bawah ini:

A. Gejala Utama GPPH

Gambaran Utama GPPH adalah adanya pola menetap dari gejala kurangnya

perhatian, hiperaktivitas dan impulsivitas yang bersifat maladaptif dan tidak

sesuai dengan tahap perkembangan anak. GPPH diawali pada masa anak-anak,

beberapa gejala nampak sebelum usia 12 tahun dan terlihat pada minimal dua

tempat yang berbeda (misalnya di rumah, sekolah, atau tempat kerja). GPPH

dapat ditegakkan apabila terdapat minimal enam gejala dari kurangnya perhatian,

hiperaktivitas dan impulsivitas minimal dalam enam bulan.

8

Penilaian adanya gejala GPPH memerlukan informasi dari orang yang

melihat individu ini sehari-hari, karena pada suasana hati dimana individu dengan

GPPH itu mendapatkan pujian, atau dalam pengawasan, atau melakukan kegiatan

yang menarik dan menyenangkan, semua menunjukkan gejala.

Terdapat salah satu atau dua di antara gejala di bawah ini yang menonjol, yaitu:

1. Tidak mampu memusatkan perhatian (inattention)

Penyandang GPPH menunjukkan kesulitan memusatkan perhatian

dibandingkan anak dengan umur dan jenis kelamin yang sama. Gejala yang

dapat diamati berupa: sering gagal memberikan perhatian penuh sampai

terperinci atau selalu membuat kesalahan saat melakukan aktifitas pekerjaan

di sekolah, tempat pekerjaan atau aktifitas lain, sering mengalami kesukaran

dalam mempertahankan perhatian dalam tugas tertentu atau aktifitas bermain

(mudah bosan), sering nampak tidak mendengarkan apabila diajak bicara,

tidak mengikuti perintah dengan sungguh-sungguh dan selalu gagal dalam

menyelesaikan tugas, kesulitan mengatur tugas-tugas dan aktifitasnya, sering

menghindar terhadap tugas-tugas yang memerlukan perhatian mental cukup

lama, sering kehilangan barang-barang (alat tulis pensil, buku, mainan),

perhatian mudah teralih oleh rangsangan dari luar, sering melupakan aktifitas

sehari-hari.

Pemusatan perhatian adalah suatu kondisi mental yang berupa

kewaspadaan penuh (alertness), sangat berminat (aurosal), selektivitas,

mempertahankan perhatian (sustained attention), dan rentang perhatian

(attention span). Individu dengan gangguan pemusatan perhatian

9

menunjukkan kesulitan dalam kemampuan-kemampuan tersebut. Keunikan

mereka adalah mampu mempertahankan perhatian (sangat fokus) apabila

mengerjakan hal-hal yang diminatinya. Ini merupakan potensi baik yang ada

pada penyandang GPPH, sering dikatakan sebagai selective inattention.

2. Hiperaktivitas – impusivitas

Hiperaktivitas paling sering dijumpai sebagai kegelisahan dengan

tangan atau kaki sering bergerak-gerak saat duduk, meninggalkan tempat

duduk saat ada di dalam kelas atau situasi lain dimana memerlukan duduk

diam, sering lari-lari atau memanjat secara berlebihan dalam situasi yang

tidak sesuai, kesukaran dalam mengikuti permainan atau aktifitas yang

membutuhkan ketenangan, berbicara berlebihan, selalu bergerak atau

aktifitas seolah-olah mengendarai sepeda motor, menjawab sebelum

pertanyaan selesai diutarakan, sukar menunggu giliran bermain, sering

interupsi saat diskusi (Association, 2013).

Gejala hiperaktivitas bukan merupakan gejala yang terpisah dari

impulsivitas. Anak dengan GPPH pada umumnya tidak mampu

menghambat tingkah lakunya saat merespon rangsangan dari luar dirinya,

itulah yang disebut impulsivitas. Perilaku anak dengan GPPH sehari-hari

seperti tidak sabar, sulit menunggu giliran, jengkel bila keinginannya tidak

terpenuhi, usil, mengganggu anak lain, melakukan sesuatu tanpa berpikir

dahulu, terlalu cepat memberikan jawaban sebelum pertanyaan selesai

ditanyakan. Perilaku impulsif tersebut yang membuat individu dengan

GPPH sering melakukan kesalahan yang seharusnya tidak perlu terjadi,

10

dan cepat bosan. Gaya bicara yang spontan, kurang memperdulikan

perasaan orang lain dan konsekuensi sosial yang terjadi. Anak dengan

GPPH sering dianggap kurang bertanggung-jawab, tidak dapat

mengendalikan diri, kekanak-kanakkan, mementingkan diri sendiri, malas,

tidak sopan atau nakal, sehingga sering mendapatkan hukuman, kritikan,

teguran atau tidak disukai oleh teman-temannya (Juniar & Setiawati,

2014).

Berdasarkan gejala yang menonjol, GPPH dibagi menjadi tiga sub tipe

yaitu tipe kurangnya perhatian, tipe hiperaktivitas-impulsivitas, dan tipe

kombinasi (Saputro, 2012; Association, 2013).

B. Deteksi Dini GPPH

Mendeteksi GPPH diperlukan informasi tentang riwayat

perkembangan serta observasi perilakunya sehari-hari dirumah, disekolah,

maupun di berbagai tempat, karena saat di klinik anak dengan GPPH sering

menunjukkan perilaku yang baik, sehingga tidak ditemukan gejala GPPH.

Dampak negatif pada fungsi sehari-hari anak, baik dirumah, maupun di

lingkungan yang lain serta kesulitan yang dialami anak perlu dipastikan dari

informasi orangtua, guru maupun pengasuh anak (Juniar & Setiawati, 2014).

Kuisioner yang berupa skala penilaian perilaku (rating scale) untuk

penapisan GPPH yang disusun sesuai dengan kriteria diagnosis, dapat

dijadikan bahan untuk diisi atau dijawab oleh orangtua atau guru. Skala ini

menggambarkan keadaan anak sehari-hari, apabila laporan dari orangtua

atau guru menunjukkan adanya gejala GPPH dan menimbulkan kegagalan

11

fungsi atau apabila nilai total skor dari skala penilaian perilaku tersebut

melampaui batas cut-off score, maka anak tersebut dapat dideteksi sebagai

anak beresiko tinggi untuk terjadinya GPPH (Juniar & Setiawati, 2014).

Dua kuisioner skala penilaian yang dapat digunakan untuk keperluan

skrining GPPH, yaitu Skala Penilaian Perilaku Anak Hiperaktif Indonesia

(SPPAHI), dan Abbreviated Conner’s Teacher Rating Scale (ACTRS) yang

telah divalidasi ke dalam bahasa Indonesia (Saputro D., 2009).

2.1.5 Penanganan pada anak dengan GPPH

GPPH merupakan kondisi berbasis biologis, sehingga memerlukan

pharmacologis agent untuk memperbaiki gejalanya selain terapi non

farmakologis. Anak dengan GPPH memerlukan penanganan yang efektif dengan

kombinasi penanganan terapi obat-obatan dan terapi perilaku. Orangtua anak

dengan GPPH diberikan edukasi tentang kondisi anak dengan GPPH dan

penyebabnya, sehingga mereka dapat berperan aktif dalam menangani anak di

rumah. Pengasuhan anak dengan GPPH dengan tehnik reinforcement positif pada

anak contohnya: memberikan pelukan atau hadiah atau sistem poin apabila anak

berperilaku baik. Anak yang menunjukkan perilaku tidak baik akan diberikan

konsekuensi ringan seperti tidak boleh bersepeda atau menonton televisi.

Orangtua wajib memonitor atau melakukan observasi pada anak baik diluar

maupun didalam rumah, sehingga diharapkan orangtua memiliki strategi cara

mengatasi masalah anak dan cara bermusyawarah dengan anak (Warsiki, 2010).

Program yang melibatkan guru-guru di sekolah juga diharapkan mampu berperan

dalam mengembangkan keterampilan anak dalam area penyelesaian masalah

12

tingkah lakunya, bagaimana caranya mengatasi kemarahannya, keterampilan

interaksi sosial dengan teman atau lingkungannya, kemampuan komunikasi

dengan sekelilingnya. Program sekolah ini memberikan kesempatan pada guru

dan orangtua untuk memusatkan perhatian pada masalah spesifik yang dialami

anak atau remaja (Tresco dkk., 2010).

2.2. Depresi

2.2.1. Definisi Depresi

Depresi adalah suatu kondisi terganggunya aktifitas kehidupan selama dua

minggu atau lebih yang berhubungan dengan alam perasaan yang sedih, diikuti

dengan gejala penyerta, termasuk gangguan pola tidur, gangguan nafsu makan,

gangguan psikomotor, gangguan konsentrasi, kelelahan, rasa putus asa dan tidak

berdaya, serta keinginan bunuh diri (O'Connor, 2013).

Gangguan depresi ditandai oleh perasaan kesedihan, berkurangnya

kesenangan, kehilangan energi, perasaan tidak berguna, menurunnya kemampuan

berfikir dan konsentrasi, pikiran berulang mengenai kematian sampai pada

munculnya waham dan halusinasi serta kemungkinan adanya tindakan bunuh diri

(Sadock dkk., 2015).

Gangguan depresi mayor menurut Diagnostic and Statistical Manual of

Mental Disorders Fifth Edition (DSM-5) (2013) memenuhi kriteria:

A. Lima (atau lebih) dari beberapa gejala dibawah ini yang berlangsung

setidaknya dalam dua minggu dan menunjukkan adanya gangguan dalam

fungsi, minimal salah satu dari gejala (1) mood depresi atau (2) kehilangan

minat dan kesenangan.

13

1. Mood depresi yang muncul hampir setiap hari, perasaan sedih, kosong,

putus asa.

2. Kehilangan minat atau kehilangan rasa nikmat terhadap semua, atau

hampir semua kegiatan sebagian besar waktu dalam satu hari, atau

bahkan hampir setiap hari (ditandai oleh laporan secara subyektif atau

berdasarkan pengamatan orang lain).

3. Kehilangan berat badan yang signifikan saat tidak melakukan diet atau

bertambahnya berat badan secara signifikan (misalnya: perubahan

berat badan lebih dari 5% berat badan sebelumnya dalam satu bulan).

4. Insomnia atau hipersomnia hampir setiap hari.

5. Kegelisahan atau keterlambatan psikomotor hampir setiap hari (dapat

diamati oleh orang lain, bukan hanya perasaan subyektif akan

kegelisahan atau merasa lambat).

6. Perasaan lelah atau kehilangan kekuatan hampir setiap hari.

7. Perasaan tidak berharga atau perasaan bersalah yang berlebihan atau

tidak wajar (bisa merupakan delusi) yang dialami hampir setiap hari.

8. Berkurangnya kemampuan untuk berpikir atau berkonsentrasi atau

sulit dalam membuat keputusan hampir setiap hari (ditandai oleh

laporan subyektif atau pengamatan orang lain).

9. Berulangkali muncul pikiran akan kematian (bukan hanya takut mati),

berulang kali muncul pikiran untuk bunuh diri tanpa rencana yang

jelas, atau usaha bunuh diri atau rencana yang spesifik untuk

mengakhiri nyawa sendiri.

14

B. Semua gejala klinis ini akibat dari adanya distress yang signifikan atau

gangguan dalam sosial, pekerjaan, atau fungsi penting lainnya.

C. Episode ini tidak diakibatkan oleh efek psikologis dari penggunaan zat atau

kondisi medis lainnya.

D. Tidak memenuhi kriteria gangguan skizoafektif, dkizofrenia,

skizofreniform, gangguan waham, spektrum skizofrenia tidak spesifik atau

spesifik lainnya dan gangguan psikotik lain.

E. Tidak pernah ada episode manik atau hipomanik.

Gangguan depresi selain dengan kriteria diagnostik, untuk keperluan skrining

dapat dilakukan dengan memakai skala penilaian seperti Beck Depression

Inventory-II (BDI-II) yang merupakan skala pengukuran interval yang

mengevaluasi 21 gejala depresi. Instrumen ini cocok dan mudah dilakukan untuk

melakukan skrining awal pada populasi tertentu.

2.2.2. Etiologi Depresi

Depresi dapat disebabkan oleh beberapa faktor seperti: faktor genetik,

faktor biologi dan faktor psikososial (Birrel, 2013):

a. Faktor Genetik

Hasil penelitian genetik dan keluarga menunjukkan bahwa risiko untuk

mengalami depresi antara anggota keluarga tingkat pertama dari individu

yang menderita depresi berat (unipolar) diperkirakan dua sampai tiga kali

lebih besar dibandingkan dengan populasi umum. Faktor yang signifikan

dalam perkembangan depresi adalah genetik. Hasil penelitian pada anak

kembar terhadap gangguan depresi berat menunjukkan bahwa kembar

15

monozigot memiliki insiden komorbiditas 54% lebih besar dan kembar

dizigot memiliki insiden 24% lebih besar (Feldman & Reiff, 2014).

b. Faktor Biologi

Ketidakseimbangan zat-zat kimia di dalam sel otak akan memicu

timbulnya depresi. Kelainan pada amin biogenic di dalam darah, urin,

cairan cerebrospinal terjadi pada pasien depresi. Amin biogenic yang

berubah yaitu 5- Hidroksi Indol Asetic Acid (5-HIAA), Homovanilic Acid

(HVA), 5-Methoxy-0-Hydroksi Phenil Glikol (MPGH). Neurotransmitter

yang berperan dalam patologi depresi adalah serotonin dan epinephrine.

Penurunan serotonin dapat menimbulkan depresi (Sadock dkk., 2015).

Norepinephrine berhubungan dengan menurunnya regulasi reseptor B-

adrenergik dan respon antidepresan yang secara klinis merupakan indikasi

dari peran sistem noradrenergic dalam depresi (Birrel, 2013). Hormon

esterogen dan progesteron dapat mempengaruhi perasaan dan perilaku

dengan mempengaruhi norepinephrine, serotonin, dopamin, asetilkolin.

Perubahan hormon esterogen dan progesteron yang menurun membuat

perempuan mudah mengalami gangguan mood, khususnya depresi (Stahl

& Mignon, 2009).

c. Faktor Psikososial

Pendapat Freud (1917 dalam Sadock dkk., 2015) menyatakan bahwa

penyebab depresi adalah suatu hubungan antara kehilangan objek yang

dicintai. Kemarahan pasien depresi mengarah pada diri sendiri untuk

mengidentifikasikan objek yang hilang tersebut (Arista, 2014). Faktor

16

psikososial yang diperkirakan sebagai penyebab depresi adalah hilangnya

peran sosial, penurunan kesehatan, penyakit kronis, isolasi diri,

kemiskinan, penurunan fungsi kognitif dan kurangnya dukungan keluarga.

Faktor kepribadian apapun dapat sebagai faktor predisposisi terhadap

depresi.

Peningkatan risiko terjadinya depresi dapat disebabkan oleh beberapa faktor

seperti: usia, jenis kelamin, status pernikahan, kehilangan pekerjaan dan

pendapatan rumah tangga, dukungan keluarga, pendidikan, dan suku. Depresi

lebih mudah terjadi pada orang dewasa muda, dengan jenis kelamin perempuan

dan pada individu yang memiliki pendidikan yang rendah (Arista, 2014).

2.3 Depresi Pada Ibu

Peran ibu dalam keluarga sangat banyak yaitu sebagai istri, mengurus

rumah tangga, sebagai pengasuh dan pendidik anak, dan sebagai salah satu

kelompok dari peran sosialnya serta bagian dari masyarakat. Kenakalan dan

kegagalan pendidikan anak, lebih banyak ditunding sebagai akibat dari

kegagalan seorang ibu dalam menjalankan fungsinya. Saat ini banyak ibu yang

realitasnya menjadi perempuan bekerja untuk menunjang ekonomi keluarga

(Purba, 2011).

Pergeseran nilai peran seorang ibu saat ini, dimana seorang ibu menjalankan

peran ganda dalam melaksanakan peran seorang ibu dan sekaligus perempuan

bekerja akan berpengaruh positif maupun negatif terhadap kondisi keluarga

terutama terhadap anak. Sisi positif dimana bekerja dipandang sebagai sarana

untuk melepaskan diri dari tekanan dalam rumah tangga, untuk mengembangkan

17

diri, aktualisasi diri, serta menambah pendapatan keluarga (Retnowati &

Pujiastuti, 2005).

Seorang ibu rumah tangga ataupun ibu yang bekerja membutuhkan

manajemen waktu untuk menjaga keseimbangan kehidupan keluarga. Rumah

tangga yang aman adalah rumah tangga tempat dimana kedua orangtua memiliki

waktu saling memperhatikan pasangannya serta anak-anak mereka (Semiawan,

2005). Masalah yang sering ditemui dimana perlakuan ibu terhadap anak

dirumah yang memanjakan anak-anaknya akibat rasa bersalah karena lebih

banyak menghabiskan waktu untuk pekerjaan, dapat berdampak negatif terhadap

prestasi belajar anak dan interaksi sosialnya di sekolah (Nurdin, 2011; Anugrah,

2015).

Sebuah penelitian pendahuluan dengan menggunakan Parenting Stress

Index (PSI) terhadap lima orang ibu didapatkan, tiga orang ibu mengatakan

bahwa lebih repot mengurus lebih dari satu anak dibandingkan hanya satu orang

anak saja dan ibu yang bekerja sebagai karyawan, mengaku seringkali tidak

tenang meninggalkan anaknya saat bekerja. Kesulitan yang mereka hadapi

adalah saat anak mereka sulit dinasehati, sulit diatur, dan menunjukkan perilaku

yang sulit dikendalikan (Chairini, 2013).

Berbagai faktor internal maupun eksternal dengan berbagai tuntutan

terhadap seorang ibu dapat berdampak pada psikologis ibu. Stresor yang

berlangsung terus dalam jangka panjang, maka ibu dapat mengalami kelelahan

mental, dan pada akhirnya akan memasuki kondisi depresi. Gangguan depresi

pada ibu mempunyai gambaran yang spesifik, yaitu waktu mengalami depresi

18

lebih panjang, menjadi bersifat khronik berkaitan dengan kejadian reproduktif,

gejala atipikal lebih banyak, lebih dominan gejala somatik, dan respon terhadap

terapi lebih lambat (Maramis, 2009).

Salah satu faktor yang dapat menimbulkan depresi pada perempuan adalah

stress dan tekanan yang dialami di luar rumah, ketidak-seimbangan antara tugas

sebagai istri dan ibu rumah tangga disamping juga pekerjaan yang mampu

menciptakan suatu stress tersendiri (Sianturi, 2013). Kondisi depresi yang

dialami ibu tentu saja akan mempengaruhi kondisi keluarga. Ibu menjadi

pemurung, gelisah, tidak bersemangat, sehingga melalaikan kewajibannya dalam

merawat dan mendidik anaknya di rumah. Hal tersebut dalam mempengaruhi

pertumbuhan dan perkembangan seorang anak.

2.3.1 Prevalensi Depresi Pada Ibu

Perempuan memiliki risiko lebih besar untuk terjadiya depresi. Penelitian di

Amerika mendapatkan bahwa 7% dari perempuan mengalami depresi, demikian

juga halnya dengan di Edmonton, Canada, Puerto Rico, Paris dan Jerman Barat

(Stein dkk., 2006). Angka kejadian depresi seumur hidup pada perempuan

sebesar 21%, khususnya di masa subur dengan onset usia berkisar antara 20

hingga 50 tahun (Maramis, 2009; Muhdi, 2009).

2.3.2 Dampak Depresi Ibu Terhadap Perkembangan Anak

Proses tumbuh kembang seorang anak dipengaruhi oleh faktor herediter dan

faktor lingkungan psikososial, dimana faktor herediter menentukan kemampuan

19

bawaan, sedangkan lingkungan psikososial akan menentukan dicapainya atau

tidak potensi bawaan dari anak tersebut (Semiawan, 2005).

Taraf perkembangan kemampuan kognitif yang optimal, diperlukan struktur

tubuh dan fungsi dari organ-organ yang baik, adanya simulasi atau rangsangan

baru yang berkelanjutan dari lingkungan dan peran aktif individu untuk mengolah

informasi yang diterimanya dari lingkungan itu. Hal tersebut menjelaskan bahwa

peranan orangtua sangat diperlukan dalam upaya mencapai taraf pertumbuhan dan

perkembangan anak yang optimal (Rahmita, 2011).

Kesehatan fisik dan emosional ibu ketika membesarkan anak-anaknya

berpengaruh erat terhadap perubahan perilaku anak. Anak-anak yang masih dalam

sekolah dasar dan dibesarkan oleh ibu yang mengalami depresi, cenderung akan

terlibat dalam masalah perilaku seperti peminum alkohol dan narkotika disaat

anak tersebut menginjak usia remaja (Diley, 2005 ; O'Connor, 2013).

Pengasuhan ibu yang depresi dan perilaku orangtua yang negatif dapat

membahayakan perkembangan anak sendiri. Penelitian di Kanada terhadap ibu

yang mengalami depresi menunjukkan perilaku anak yang lebih emosional

dibandingkan dengan anak yang diasuh oleh ibu yang tidak depresi. Ibu yang

depresi kurang konsisten dalam mengasuh anak mereka, meninggalkan anak –

anak di lingkungan yang kurang stabil, disiplin dan komunikasi orangtua-anak

tidak efektif (Harmon, 2010).

2.4 Depresi Pada Ibu yang Memiliki Anak GPPH

Karakteristik anak dengan GPPH adalah tidak mampu memusatkan

perhatian, hiperaktivitas dan impulsivitas. Pola perilaku anak prasekolah dengan

20

GPPH, dan komorbiditas yang menyertainya sama dengan anak usia dewasa.

Gambaran klinis anak dengan GPPH adalah kegagalan fungsi pada berbagai

bidang akibat gejala tersebut. GPPH menunjukkan keterkaitan secara konsisten

dengan kegagalan berbicara, serta keterampilan akademik yang buruk, banyak

mengalami masalah motorik dan mudah mengalami kecelakaan, kesulitan

bersosialisasi dengan kelompok sebayanya. Mereka juga memiliki kesulitan

dalam berinteraksi dengan orangtua dan anggota keluarga yang lain. Kondisi

tersebut dapat menimbulkan beban dan sumber stres bagi keluarga terutama ibu

(Saputro D., 2012).

Kualitas waktu kehidupan anak terbanyak dalam lingkungan keluarga.

Orangtua khususnya ibu merasa kecewa dengan perilaku anak yang negatif, meski

berulangkali diberi nasehat. Mereka menganggap perilaku anak dengan GPPH

yang ditunjukkan anak adalah perilaku-perilaku yang dipaparkan sengaja. Hal

tersebut memunculkan konflik antara anak dan orangtua. Anak dengan GPPH

juga bermasalah di sekolah, tidak mampu berinteraksi dengan teman-teman, dan

nilai prestasi sekolah yang buruk. Anak dengan GPPH banyak menimbulkan

masalah yang dapat berdampak terhadap psikologis ibu sehingga rentan untuk

mengalami gangguan cemas ataupun depresi (Ellison, 2015).

2.4.1 Prevalensi Depresi pada Ibu yang Memiliki Anak GPPH

Ibu yang memiliki anak dengan GPPH memiliki peningkatan angka

perceraian, penyalahgunaan zat, dan menderita depresi yang jauh lebih tinggi dari

ibu yang memiliki anak-anak normal. Anak dengan GPPH membutuhkan lebih

banyak perhatian, obat-obatan dan pengasuhan yang konsisten sehingga

21

menambah beban pengasuhan ibu, dimana ditemukan setidaknya 50% dari ibu-ibu

yang memiliki anak dengan GPPH menjadi depresi (Serpico, 2013; Ellison,

2015).

Penelitian oleh Lee dkk. (2008) yang meneliti kepribadian ibu dari anak-

anak dengan GPPH dengan menggunakan Minnesota Multiphasic Personality

Inventory (MMPI), dimana didapatkan hasil skor depresi, histeria, dan

psychastenia lebih tinggi dan bermakna secara statistik pada ibu dengan anak

dengan GPPH dibandingkan kelompok kontrol, dengan mengontrol usia ibu,

pendidikan ibu, jenis kelamin anak, usia dan jumlah dari Intellegence Quotient

(IQ).

2.4.2 Dampak Depresi Ibu terhadap perkembangan anak GPPH

Anak dengan GPPH menunjukkan perilaku yang buruk, seperti tidak mau

diam, tidak patuh terhadap perintah, anak terlalu senang bermain, malas belajar.

Orangtua kurang memahami tentang karakteristik gangguan GPPH beserta dengan

gejala penyertanya. Orangtua menganggap bahwa gangguan ini merupakan sifat

buruk anak (Saputro, 2009).

Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Hidayati (2013) tentang peran

pendampingan regulasi emosi dalam menurunkan perilaku maltreatment fisik

terhadap anak GPPH, dengan melakukan wawancara pada ibu yang memiliki anak

yang terdiagnosis GPPH. Hasil dari penelitian tersebut bahwa ibu sering tidak

sabar dan jengkel menghadapi perilaku anak dengan GPPH. Sikap ibu menjadi

lebih kasar dan terkadang menjadi ringan tangan, mencubit dan memukul,

menyeret ketika anak tidak segera melakukan instruksi yang diberikan, ibu merasa

22

anak merepotkannya dan ibu akan mudah mengalami suasana hati yang berubah-

ubah dapat menyebabkan suasana hati yang buruk dan depresi. Sikap keras yang

dilakukan oleh ibu dalam upaya mengendalikan anak, justru menjadi sebaliknya,

anak menjadi marah dan menunjukkan sikap melawan, memiliki gejala

impulsivitas dan kurangnya perhatian yang lebih parah dibandingkan anak dengan

GPPH yang tidak mengalami kekerasan.

Penelitian oleh Lee dkk. (2013) yang melanjutkan penelitian sebelumnya

terhadap ibu yang memiliki anak dengan GPPH, menggunakan metode

observarsional. Penelitian ini bertujuan mengetahui pengaruh depresi ibu terhadap

anak GPPH dan menilai kualitas interaksi orangtua-anak. Penelitian ini

membandingkan antara anak GPPH dengan ibu yang depresi, anak GPPH dengan

ibu yang tidak depresi dan anak tanpa GPPH dengan ibu yang tidak depresi. Hasil

dari penelitian ini adalah anak dengan GPPH yang ibunya mengalami depresi

terjadi interaksi orangtua-anak yang kurang positif dibandingkan kelompok yang

lain. Depresi ibu mungkin memainkan peran penting dalam presentasi afektif

terhadap anak dengan GPPH dengan ibu yang depresi.

23