bab i pendahuluan...1 bab i pendahuluan 1. latar belakang tanah minahasa adalah tanah yang awalnya...

27
1 BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Tanah Minahasa adalah tanah yang awalnya menjadi tempat hidup dari empat Pakasa’an, 1 yakni Tountemboan, Tombulu, Tolour, dan Tonsea. 2 Dalam bab IV akan dijelaskan bagaimana proses terbentuknya pakasa’an, tetapi intinya pakasa’an adalah kumpulan taranak 3 yang hidup bersama dalam satu wilayah. Mereka berasal dari tempat berbeda, bahkan diduga kuat berasal dari luar Minahasa. Salah seorang Tona’as 4 bernama Rinto Taroreh memberikan contoh situs budaya yang menjelaskan bahwa leluhur Minahasa adalah orang-orang dari luar yang datang dan tinggal di Minahasa. Taroreh menjelaskan, bahwa ada tradisi lisan yang terekam kuat dalam diri orang- orang Tonsea (Pakasa’an Tonsea) mengenai Opo Roti 5 dan 1 Pakasa’an adalah istilah yang dipakai untuk menunjuk satu kelompok etnis yang mendiami satu wilayah tertentu, memakai bahasa yang sama, dan melaksanakan riual-ritual yang sama. Karenanya, Pakasa’an tidak hanya terdiri dari kumpulan taranak yang sedarah, tetapi juga terdiri dari kumpulan taranak berbeda yang hidup dalam satu wilayah serta melaksanakan ritual yang sama. 2 Keempat pakasaan tersebut adalah juga empat wilayah di tanah Minahasa awal. 3 Taranak adalah istilah lokal Minahasa yang biasa dipakai untuk menunjuk ikatan darah sebagai keluarga. Istilah lokal ini dipakai untuk menunjuk kumpulan beberapa keluarga yang menyatu atau terikat satu sama lain karena hubungan darah. Kata ini juga menunjuk pada kumpulan keluarga yang dipimpin oleh seorang pemimpin yang disebut Pa’ Endon Tua; seseorang yang dipilih oleh keluarga- keluarga dalam kumpulan tersebut karena kualitas dirinya untuk memimpin dan mengarahkan mereka. Bandingkan juga dengan penjelasan Bert Supit, Minahasa Dari Amanat Watu Pinawetengan sampai Gelora Minawanua (Jakarta: Sinar Agape Press, 1986),47. Supit menjelaskan bahwa dalam konteks Minahasa taranak adalah sebutan untuk kumpulan beberapa awu/keluarga batih. Mereka hidup dalam satu rumah besar atau dalam bangsal-bangsal yang saling berdekatan pada satu kompleks luas. 4 Tona’as adalah seorang pemimpin ritual dan juga orang yang dituakan dan menjadi pemimpin dalam kelompok masyarakat budaya. 5 Opo adalah sebutan penghormatan pada para leluhur yang dinilai memiliki integritas diri yang kuat, selalu berusaha menjaga keutuhan tanah, serta mampu memberi rasa aman bagi masyarakat. Nama Opo ditambahkan pada nama leluhur,

Upload: others

Post on 18-Feb-2021

4 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    1. Latar Belakang

    Tanah Minahasa adalah tanah yang awalnya menjadi

    tempat hidup dari empat Pakasa’an,1 yakni Tountemboan,

    Tombulu, Tolour, dan Tonsea.2 Dalam bab IV akan dijelaskan

    bagaimana proses terbentuknya pakasa’an, tetapi intinya

    pakasa’an adalah kumpulan taranak3 yang hidup bersama dalam

    satu wilayah. Mereka berasal dari tempat berbeda, bahkan

    diduga kuat berasal dari luar Minahasa. Salah seorang Tona’as4

    bernama Rinto Taroreh memberikan contoh situs budaya yang

    menjelaskan bahwa leluhur Minahasa adalah orang-orang dari

    luar yang datang dan tinggal di Minahasa. Taroreh menjelaskan,

    bahwa ada tradisi lisan yang terekam kuat dalam diri orang-

    orang Tonsea (Pakasa’an Tonsea) mengenai Opo Roti5 dan

    1 Pakasa’an adalah istilah yang dipakai untuk menunjuk satu kelompok etnis

    yang mendiami satu wilayah tertentu, memakai bahasa yang sama, dan

    melaksanakan riual-ritual yang sama. Karenanya, Pakasa’an tidak hanya terdiri dari

    kumpulan taranak yang sedarah, tetapi juga terdiri dari kumpulan taranak berbeda

    yang hidup dalam satu wilayah serta melaksanakan ritual yang sama. 2 Keempat pakasaan tersebut adalah juga empat wilayah di tanah Minahasa awal.

    3 Taranak adalah istilah lokal Minahasa yang biasa dipakai untuk menunjuk

    ikatan darah sebagai keluarga. Istilah lokal ini dipakai untuk menunjuk kumpulan

    beberapa keluarga yang menyatu atau terikat satu sama lain karena hubungan darah.

    Kata ini juga menunjuk pada kumpulan keluarga yang dipimpin oleh seorang

    pemimpin yang disebut Pa’ Endon Tua; seseorang yang dipilih oleh keluarga-

    keluarga dalam kumpulan tersebut karena kualitas dirinya untuk memimpin dan

    mengarahkan mereka. Bandingkan juga dengan penjelasan Bert Supit, Minahasa

    Dari Amanat Watu Pinawetengan sampai Gelora Minawanua (Jakarta: Sinar Agape

    Press, 1986),47. Supit menjelaskan bahwa dalam konteks Minahasa taranak adalah

    sebutan untuk kumpulan beberapa awu/keluarga batih. Mereka hidup dalam satu

    rumah besar atau dalam bangsal-bangsal yang saling berdekatan pada satu

    kompleks luas.

    4 Tona’as adalah seorang pemimpin ritual dan juga orang yang dituakan dan

    menjadi pemimpin dalam kelompok masyarakat budaya.

    5 Opo adalah sebutan penghormatan pada para leluhur yang dinilai memiliki

    integritas diri yang kuat, selalu berusaha menjaga keutuhan tanah, serta mampu

    memberi rasa aman bagi masyarakat. Nama Opo ditambahkan pada nama leluhur,

  • 2 Redefinisi dan Rekonstruksi Tou

    kedatangannya di daerah itu. Taroreh menuturkan, berdasarkan

    tradisi lisan di Tonsea, Opo Roti adalah orang yang berasal dari

    luar dan masuk ke tanah Minahasa melalui salah satu tempat

    yang kemudian dikenal dengan nama Likupang. Opo Roti lalu

    membaur dengan orang-orang yang telah lebih dahulu

    bermukim di situ dan membentuk salah satu taranak di Tonsea

    itu. Dalam pencarian situs budaya di Tonsea, Tona’as Taroreh

    dan kelompok budaya Waraney Wuaya, menemukan lima

    waruga6 Opo Roti di daerah Likupang sampai ke daerah

    Minawerot (semuanya ada di Lokasi Tonsea). Waruga-waruga

    tersebut menurut Taroreh menjadi penanda dari perjalanan Opo

    Roti sebagai leluhur di daerah itu. Karena di zaman lalu, jika ada

    orang yang kemudian bisa memperlihatkan kesungguhannya

    menjaga tanah tempat hidup bersama, maka dia akan dihargai

    dengan sebutan Opo dan ketika meninggal akan dikuburkan di

    waruga dengan pahatan khusus yang mendeskripsikan

    mengenai perannya semasa hidup di tengah masyarakat.7

    Tradisi lisan lainnya yang juga ditunjang dengan waruga

    yang ada, yakni cerita tentang Opo Wurik Muda atau Wurik

    Sombor. Opo Wurik Muda dalam tradisi lisan masyarakat

    diceritakan sebagai Opo yang dalam hidupnya memakai pakaian

    ala pelaut Portugis dengan sepatu, topi lebar dan pedang

    disamping kiri. Gaya berpakaian Opo Wurik Muda demikian

    terpahat pada waruganya yang terletak di desa Kakaskasen-

    Tomohon. Menurut tradisi lisan, cara berpakain Opo Wurik

    seperti nama Roti yang kemudian menjadi Opo Roti. Dalam perkembangan

    kemudian, nama Opo menjadi nama marga dari keturunannya.

    6 Waruga adalah kubur leluhur yang dibangun dari batu, berbentuk kotak dan

    terbagi atas dua bagian, yakni bagian atas yang merupakan atap dan bagian bawah.

    Waruga pada umumnya dihiasi dengan gambar pahatan sederhana berbentuk

    gambar manusia, binatang ataupun tumbuhan. Selanjutnya, mengenai lima

    waruga/kubur Opo Roti yang ditemukan, saya menginterpretasi sebagai bentuk

    penghargaan warga di tempat-tempat berbeda tersebut terhadap semua perbuatan

    baiknya kepada mereka. Tentu saja hanya satu dari lima waruga tersebut yang

    benar-benar pernah menjadi tempat jazadnya.

    7 Wawancara dengan Tona’as Rinto Taroreh, pemimpin ritual dan pemimpin

    kelompok budaya Waraney Wuaya, 14 Oktober 2014, di Manado.

  • Pendahuluan 3

    Muda yang demikian karena dia adalah anak hasil perkawinan

    bangsawan Portugis dengan ibunya yang berasal dari desa

    Kilow/Kinilow (salah satu kampung tua di masa Minahasa awal-

    terletak di kaki gunung Lokon). Perawakan Opo Wurik Muda

    juga digambarkan seperti orang Portugis, yakni tinggi besar,

    putih dan tampan. Sejak kecil dia telah berkelana ke berbagai

    negara mengikuti ayahnya, sampai akhirnya dia kembali ke

    kampung ibunya yang ternyata telah menikah lagi dengan

    pemimpin kampung yang biasa di sapa sebagai Wurik Tua. Nama

    Wurik Muda diberikan oleh ayah tirinya menggantikan nama

    Portugal yang diberikan ayahnya. Menurut tradisi lisan, Opo

    Wurik Muda tidak hanya memiliki kekuatan fisik, tetapi juga

    pengetahuan yang luas dan penguasaan beberapa bahasa yang

    menempatkan dirinya sebagai orang muda yang menjadi tempat

    bertanya ketika warga menghadapi masalah. Opo Wurik Muda

    tidak hanya dikenal di kampungnya, tetapi juga di kampung-

    kampung lain. Dia memiliki banyak murid yang tersebar di

    beberapa kampung. 8

    Di samping tradisi-tradisi lisan tersebut di atas, ada juga

    mitologi tentang Karema, Lumimuut dan Toar sebagai leluhur

    Minahasa yang berasal dari luar. Banyak versi mitologi

    mengenai tiga leluhur tersebut, namun semuanya menempatkan

    ketiga tokoh kultural ini sebagai leluhur utama. Karema dan

    Lumimuut diceritakan berasal dari Indo-Mongoloide atau Cina

    selatan. Mitologi-mitologi tersebut semakin melengkapi

    gambaran mengenai leluhur Minahasa berasal dari luar

    Minahasa (pembahasan tentang Karema, Lumimuut dan Toar

    akan di bahas dalam Bab IV).

    Penanda kultural lainnya di tanah Minahasa awal yang

    kemudian menjadi identitas kumpulan taranak yang

    bermahasa9, yakni pemaknaan tentang Tou. Tou menunjuk pada

    8 Data observasi, 23 Januari 2015, Tomohon.

    9 Kata Mahasa/Maesa menunjuk pada kumpulan taranak Minahasa awal yang

    menyatu dalam rangka menyelesaikan konflik diantara mereka. Karenanya, kata

  • 4 Redefinisi dan Rekonstruksi Tou

    manusia, hewan dan semua yang ada di alam raya. Singkatnya,

    Tou adalah deskripsi orang Minahasa awal tentang kehidupan

    dan cara mereka menjalaninya. Tou adalah nilai-nilai kultural

    yang egaliter terhadap semua yang ada di alam raya. Falsafah

    Tou demikian jugalah yang mendasari relasi perempuan dan

    laki-laki di tanah Minahasa. Di konteks sosio-kultural Minahasa

    awal, perempuan dan laki-laki berperan sebagai walian/

    pempimpin-pemimpin keagamaan. Mitologi yang ditulis oleh

    para Zending yang mengfigurisasikan Karema sebagai imam

    pertama di tanah Minahasa-- melakukan ritual untuk proses

    kehamilan Lumimuut dan yang kemudian mensahkan

    perkawinan Lumimuut-Toar -- adalah salah satu contoh tentang

    kesetaraan kepemimpinan di tanah Minahasa. Menurut saya,

    mitologi ini lahir dari pengalaman pembuat mitologi yang

    menyaksikan dan mengalami kepemimpinan perempuan

    bersama dengan laki-laki di tanah Minahasa saat itu sebagai

    suatu kelaziman. Selain itu, masih bertahannya praktek hidup

    dalam keluarga di beberapa kampung kini yang penduduknya

    masih hidup dari hasil pertanian, yakni tidak adanya pembagian

    kerja berdasarkan jenis kelamin. Perempuan dan laki-laki

    mengerjakan pekerjaan rumah secara bersama kemudian

    bersama-sama ke kebun, begitupun ketika mereka kembali ke

    rumah akan mengerjakan pekerjaan rumah secara bersama.

    Dalam perjalanan menjadi Minahasa, beberapa kali nilai

    Tou yang demikian dilukai oleh konflik-konflik antar taranak

    karena keinginan memperluas wilayah kekuasaan dan keinginan

    berkuasa di antara mereka. Karenanya, Tou adalah juga upaya

    menata kembali kehidupan bersama yang egaliter antar

    kelompok taranak yang terkristalisasi dalam tiwa Lumimuut-

    Toar/ konsensus keturunan Lumimuut-Toar yang disyairkan

    sebagai Esa cita waya, tou peleng masu’at. Cawana si parukuan

    Mahasa/Maesa juga menunjuk pada keberadaan kumpulan taranak yang bebeda-

    beda dan awalnya tidak saling kenal dan peduli, bahkan terlibat konflik satu sama

    lain.

  • Pendahuluan 5

    cawana si pakuruan, pute waya tou maesa cita (satu kita semua.

    Tidak boleh menyembah dan tidak boleh disembah. Semua

    manusia itu sama).10 Perjanjian dan konsensus tersebut menjadi

    batasan dan aturan kultural mengenai keterbukaan dan

    penerimaan antar taranak dan selanjutnya diberlakukan juga

    terhadap para pendatang kemudian. Singkatnya, semua orang

    dapat datang, tinggal dan menetap di Minahasa asalkan mentaati

    tiwa Lumimuut-Toar. Semua orang harus mentaati batasan dan

    aturan kulural yang ditetapkan para pemimpin taranak.

    Pemberlakuan Tiwa Lumimuut-Toar juga berimplikasi pada

    pengakuan antar pakasaan dan juga dengan para pendatang

    (kemudian) tentang keberadaan mereka sebagai Tou.

    Karenanya, pakasa’an maupun pendatang akan menerima sangsi

    yang sama jika melanggar Tiwa Lumimuut-Toar (kajian lebih

    dalam mengenai Tiwa Lumimuut-Toar akan dibahas pada bab V).

    Ketaatan terhadap ikrar tersebut diatur berdasarkan tiga

    aturan kultural, yakni pantik, wantik dan santi. Pantik artinya

    janji sudah ditetapkan untuk dilaksanakan. Wantik artinya janji

    sudah ditandai dan santi artinya berarti pedang. Karena itu di

    Minahasa awal, pelanggaran terhadap ikrar tersebut

    diselesaikan dengan pemenggalan kepala para pelanggar,

    termasuk para pendatang yang melakukan pelanggaran.

    Kuatnya pelaksanaan aturan kultural tersebut, terbaca dari

    penilaian terhadap kualitas diri seorang pemimpin di masa itu

    yang diukur dari banyaknya kepala para pelanggar ikrar yang

    dipajang di depan rumahnya (penjelasan lebih lanjut akan

    dipaparkan dalam Bab IV).11

    10 Wawancara dengan Rinto Taroreh, 14 Oktober 2014, di Manado; Wowor, 29

    Januari 2015, di Manado; kelompok Mawale Movement, 18 Februari 2015, di

    Manado.

    11 Tentang tradisi pemenggalan kepala para pelanggar ikrar dan musuh menjadi

    tradisi lisan di tanah Minahasa. Biasanya diceritakan untuk menjelaskan pada para

    turunan, bahwa melanggar sesuatu yang telah ditetapkan adalah fatal. Selain itu,

    juga dimaksudkan untuk menceritakan bahwa para pemimpin di masa itu adalah

    orang-orang kuat dan tegas.

  • 6 Redefinisi dan Rekonstruksi Tou

    Bersamaan dengan berjalannya waktu, Minahasa yang

    beragam semakin beragam dengan kehadiran para pendatang

    baru di tanah Minahasa. Para pendatang tersebut, yakni

    Portugis, Spanyol, Cina, Belanda, Jepang, Inggris, serta Kyai

    Modjo dan pengikutnya, imam Bonjol dan pengikutnya. Imam

    Bonjol dan Kyai Modjo beserta para pengikut menjadi tahanan

    politik pemerintah kolonial Belanda dan dibuang ke tanah

    Minahasa (pembahasan tentang para pendatang yang datang

    kemudian di tanah Minahasa akan dibahas dalam bab IV).

    Dalam konteks tanah Minahasa kini, keragaman

    demikian dapat dikenali antara lain melalui marga dari sebagian

    orang Minahasa yang menunjukkan bahwa mereka adalah

    keturunan Portugal, Spanyol, Belanda, Cina, dan juga marga Jawa

    dan Sumatera, di tambah juga dengan Ternate, Sangihe, dan

    pendatang dari daerah-daerah lain di Indonesia. Penanda

    lainnya, yakni nama kampung di beberapa tempat di tanah

    Minahasa yang dinamai sesuai nama asal-usul negara atau suku

    ataupun agama leluhur mereka, antara lain, kampung Borgo.

    Borgo berasal dari bahasa Belanda Borges yang kemudian

    menjadi vrijtborges atau orang-orang bebas. Kata Borgo ini

    kemudian dipakai untuk menunjuk keturunan orang Belanda,

    Portugis, dan Spanyol. Selain itu, ada beberapa tempat di tanah

    Minahasa kini yang juga dinamai sesuai asal daerah para

    pendatang, yakni kampung Jawa-Tondano, kampung Ternate,

    kampung Cina, kampung Islam, kampung Sanger, kampung Arab.

    Pada perkembangan selanjutnya, tanah Minahasa menjadi

    bagian wilayah NKRI. Tanah Minahasa tidak lagi berdiri sendiri

    tetapi menjadi bagian dari Propinsi Sulawesi Utara dan terbagi

    dalam enam kabupaten dan kota, yakni Kota Bitung, Kabupaten

    Minahasa Utara, Kabupaten Minahasa, Kota Tomohon,

    Kabupaten Minahasa Tenggara dan Kabupaten Minahasa

    Selatan. Dalam lingkup Propinsi Sulawesi Utara, keenam

    kabupaten-kota di tanah Minahasa berada bersama dengan Kota

    Manado (sebagai ibu kota propinsi), Kabupaten Kepulauan

  • Pendahuluan 7

    Sangihe, Kabupaten Kepulauan Sitaro, Kabupaten Kepulauan

    Talaud, Kabupaten Bolaang Mongondow, Kabupaten Bolaang

    Mongondow Utara, Kabupaten Bolaang Mongondow Selatan,

    Bolaang Mongondow Timur, dan Kota Kotamobagu. Penataan

    demikian, semakin membuka ruang pembauran dari orang-

    orang yang datang dan tinggal bersama di tanah Minahasa kini.

    Gambar 1.1 Peta Propinsi Sulawesi Utara12

    Beragam orang yang kini mendiami tanah Minahasa

    turut memberi warna bagi dinamika sosial, agama, ekonomi,

    politik bahkan kultural. Dinamika tersebut tidak hanya

    berdampak pada perjumpaan beragam nilai, tetapi juga

    mendorong perubahan sosio-kultural terutama terkait dengan

    pemahaman dan pemaknaan Tou. Perubahan tersebut ditandai

    dengan reduksi Tou hanya untuk menunjuk siapa yang layak

    disebut manusia Minahasa asli. Bahkan reduksi demikian

    semakin menyempit pada klaim orang Minahasa adalah kristen.

    Imbasnya, di tanah Minahasa kini mulai bermunculannya klaim-

    klaim asli-bukan asli Minahasa, lokal-pendatang, Minahasa

    Kristen. Klaim-klaim demikian tidak hanya menempatkan

    12 Badan Pusat Statistik Propinsi Sulawesi Utara (SULUT).

  • 8 Redefinisi dan Rekonstruksi Tou

    masyarakat dalam kelompok-kelompok dengan polarisasi yang

    tajam. Pun sudah mulai menciptakan gesekan-gesekan antar

    kelompok yang saling mengklaim tersebut dan juga dengan

    masyarakat yang memilih tidak terpolarisasi pada kelompok

    manapun (pembahasan tentang masyarakat yang terpolarisasi

    ini akan dibahas dalam bab VI).13

    Kesadaran kultural yang muncul dalam bentuk reduksi

    Tou dan polarisasi masyarakat yang demikian melahirkan

    pertanyaan reflektif. Apakah realitas demikian menjadi penanda

    keterbatasan masyarakat di tanah Minahasa kini memahami

    tenunan-tenunan sosio-kultural? Keterbatasan pemahaman

    masyarakat tentang Tou yang menjadi ruang bersama bagi

    manusia dan ciptaan lainnya untuk hidup di tanah Minahasa.

    Apakah realitas demikian adalah juga cermin geliat kegelisahan

    masyarakat di tanah Minahasa kini terhadap kerapuhan

    kehidupan bersama?

    Dalam wawancara dengan beberapa tokoh masyarakat dan

    organisasi masyarakat adat, saya merekam respon yang

    berwarna terhadap tiga pertanyaan reflektif tersebut. Salah satu

    ketua Aliansi Makapetor14 (Masyarakat Kawanua Peduli

    13 Masyarakat yang tidak mau terpolarisasi pada salah satu kelompok yang ada

    dicap tidak peduli terhadap budaya dan tidak mau memperjuangkan amanat leluhur

    untuk menjaga tanah Minahasa.

    14 Aliansi Makapetor adalah kumpulan Ormas adat yang awalnya bergabung

    dalam rangka menyikapi pembangunan Masjid Al Khairiyah yang telah melebihi

    luas lahan yang disiapkan untuk tempat pembangunan gedung ibadah semua agama

    di lahan kosong milik pemerintah. Lahan itu yang semula bernama Kampung Texas,

    terletak di pusat kota manado. Kampung Texas, awalnya dihuni tanpa izin oleh

    masyarakat. Setelah para penghuni lahan Texas dipindahkan ke tempat yang

    disiapkan pemerintah, tanah di lokasi tersebut diprogramkan oleh pemerintah untuk

    menjadi lokasi wisata religi. Karena itu di lahan tersebut akan dibangun rumah-

    rumah ibadah semua agama. Persoalan muncul, ketika pembangunan mulai

    berlangsung, pembangunan mesjid ternyata menggunakan luas tanah yang sudah

    melebihi batas pembagian. Akibatnya, lahan tempat pembangunan masjid menjadi

    lebih luas dari semua lahan tempat bangunan ibadah agama-agama lain. Bagi

    makapetor pembangunan masjid yang memakai lahan lebih besar bukan hanya

    menyangkut luas lahan yang digunakan, tetapi dinilai sebagai tindakan arogansi dan

    monopoli dari pendatang terhadap masyarakat lokal. Dalam perkembangan

    selanjutnya, aliansi Makapetor ini sudah beberapa kali memotori tindakan

  • Pendahuluan 9

    Toleransi) Wellem Kumaunang, memahami mengenai

    menguatnya klaim asli dan bukan asli di tanah Minahasa kini

    sebagai akibat dari kejadian di beberapa tempat yang

    memperlihatkan arogansi pendatang (kini). Karenanya, sebagian

    masyarakat di tanah Minahasa kini, terutama kelompok

    masyarakat yang menggabungkan diri dalam organisasi-

    organisasi Masyarakat (Ormas) adat merasa sudah saatnya

    untuk menegaskan pengelompokkan masyarakat asli dan bukan

    asli, lokal dan pendatang. Kumaunang menegaskan, bahwa

    penetapan penduduk asli/lokal dan pendatang harus dilakukan

    untuk menghentikan tindakan dominasi dan seenaknya oleh

    pendatang seperti yang dilakukan di kampung Texas.

    Kumaunang juga mengacu pada gesekan antar masyarakat yang

    menyebut diri masyarakat lokal dengan pendatang di Bitung

    yang terjadi pada pertengahan tahun 2014. Dari versi

    Kumaunang, kasus ini dimulai dengan pemukulan terhadap

    seorang dari Ormas adat Minahasa oleh beberapa oknum

    pendatang15 yang sedang melakukan takbiran.16 Pemukulan

    tersebut melahirkan reaksi dari kalangan masyarakat dan

    Ormas adat Minahasa dan berakhir dengan kericuhan kecil.

    Beberapa hari kemudian, beberapa kelompok Ormas adat

    berkumpul di Bitung dan bergerak bersama menuju ke mesjid di

    “pengamanan” lahan dan juga masalah-masalah sosial lainnya yang terjadi akibat

    gesekan antara masyarakat beragama Kristen dan pendatang beragama Islam.

    Wawancara dengan Wellem Kumaunang, 2015.

    15 Kata Pendatang saya pakai untuk menunjuk pembedaan yang sedang terjadi

    di masyarakat di tanah Minahasa kini. Pembedaan yang dibuat oleh ormas adat

    Minahasa untuk mengklaim diri mereka sebagai orang Minahasa asli dan menunjuk

    orang-orang yang berasal dari luar Minahasa—jawa, gorontalo dan bugis/makasar

    yang beragama Islam, khususnya para pendatang kini—sebagai bukan

    Minahasa/pendatang. Bandingkan juga dengan definisi dalam Kamus Besar Bahasa

    Indonesia tentang orang asing dan pendatang. Orang asing adalah yang datang dari

    luar negeri, daerah atau lingkungan adalah orang asing (bukan penduduk asli). Tim

    Penyusun Kamus Pusa Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar

    Bahasa Indonesia, Cetakan ketiga (Jakarta: Gramedia, 1991), 61, 212. Dalam

    disertasi ini saya menggunakan kata pendatang dan orang asing secara bersamaan.

    16 Wawancara dengan Wellem Kumaunang, salah satu ketua Aliansi Makapetor,

    3 November 2015, di Manado.

  • 10 Redefinisi dan Rekonstruksi Tou

    Aertembaga Bitung. Kelompok Ormas adat melarang umat Islam

    di situ untuk melanjutkan pembangunan masjid. 17

    Selanjutnya Kumaunang menjelaskan, bahwa para

    pendatang berani melakukan dominasi seperti yang mereka

    lakukan di lahan pembangunan gedung ibadah kampung Texas

    dan di Bitung, karena pemerintah sangat lemah. Kumaunang

    menilai bahwa kepentingan politis pemerintah yang membuat

    mereka sepertinya tidak berani mengambil tindakan pada

    kasus-kasus dominasi yang dilakukan para pendatang.18

    Karenanya menurut Kumaunang, Makapetor akan mengerakkan

    pembentukan Dewan adat yang akan turut aktif menentukan

    program pembangunan pemerintah di tanah Minahasa. Dewan

    adatpun akan turut menentukan persyaratan tinggal dan waktu

    tinggal dari para pendatang yang akan bekerja ataupun yang

    hendak menjadi penduduk tetap di tanah Minahasa kini.19

    Di sisi yang lain, saya mencatat—melalui wawancara

    dengan para informan lainnya—bahwa gerakan kelompok adat

    tersebut adalah juga reaksi ketersinggungan dan

    ketidaksenangan masyarakat lokal karena marginalisasi nilai-

    nilai kultural oleh oknum pendatang. Ketersinggungan dan

    ketidaksenangan yang bercampur dengan kekuatiran terhadap

    kelompok-kelompok intoleran Islam seperti FPI yang telah

    menyusup ditengah masyarakat dan sengaja memicu gesekan-

    gesekan sosial berbasis agama. Kesimpulan demikian antara lain

    17 Reaksi terhadap kericuhan yang terjadi karena pemukulan terhadap seorang

    anggota kelompok adat memang sangat disayangkan, karena justru semakin

    memperpanjang masalah. Apalagi karena larangan pembangunan masjid dinilai

    tidak terkorelasi dengan kericuhan tersebut. Karenanya, Komnas HAM dalam Rapat

    bersama Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia menanggapi tindakan pelarangan

    pembangunan masjid oleh kelompok adat sebagai pelanggaran terhadap kebebasan

    beragama yang dijamin undang-undang (bdk dengan laporan KOMNAS HAM

    https://w.w.w.komnasham.go.id. pdf Laporan Tahunan kebebasan beragama dan

    berkeyakinan di Manado, 2016.

    18 Wawancara dengan Kumaunang, 2015.

    19 Kumaunang, 2015.

    https://w.w.w.komnasham.go.id/

  • Pendahuluan 11

    yang terekam dalam FGD dengan beberapa pengurus kelompok

    adat,20 sebagai berikut:

    …sikap terhadap pendatang itu memang terbuka tetapi harus hati-hati. Karena ada banyak data di lapangan misalnya, kasus larangan FPI di seluruh Indonesia, tetapi pembukaan jalan bersama di Kota Bitung beberapa waktu lalu ada temuan adanya FPI. Karena data tersebut kami kelompok adat turun untuk menangani hal tersebut. Lalu kasus berbeda di Kota Bitung belum lama ini. Sewaktu malam takbiran, mereka turun bertakbiran dengan membawa senjata tajam dan kemudian melukai salah satu anggota Ormas Adat. karena itu, kami turun di Kota Bitung untuk meminta pihak keamanan menjamin keamanan Sosial. Waktu itu juga terjadi provokasi di depan Polres. Contoh-contoh ini sebenarnya menegas-kan, bahwa orang Minahasa sudah menerima pendatang dengan baik, tetapi memang ada pendatang yang kemudian bertindak tidak benar, bahkan memprovokasi konflik sosial. Kalau soal para pendatang yang menjadi pedagang, menurut saya kita juga harus hati-hati. Bayangkan ada tukang jual sayur dan kebutuhan dapur keliling asal Jawa yang baru berjualan satu dua bulan, lalu kemudian sudah bisa membeli motor model terbaru. Kami berusaha mencari data, bagaimana hal tersebut dapat terjadi, lalu kami menemukan bahwa ternyata mereka memiliki jaringan. Jaringan ini yang membiayai semua kebutuhan mereka dalam berdagang. jadi memang kita mesti hati-hati, karena pendatang zaman dulu dengan sekarang sudah berbeda. Saya pikir sebagai masyarakat lokal, kita harus mampu meng-

    20 FGD dengan pengurus Aliansi Masyarakat Adat Nasional Sulut, Kelompok

    budaya Makatanak Minahasa dan Barisan Pemuda Adat Nusantara Sulawesi Utara,

    8 Maret 2015, di Manado.

  • 12 Redefinisi dan Rekonstruksi Tou

    klasifikasi para pendatang tidak menerima begitu saja secara membuta.21

    Keprihatinan terkait gesekan-gesekan yang terjadi

    antara masyarakat yang menyebut diri sebagai masyarakat lokal

    di tanah Minahasa dengan para pendatang terekam juga dalam

    Deklarasi Minahasa Bersatu oleh 25 (dua puluh Lima) kelompok

    masyarakat adat yang dilakukan di Bitung pada 27 Juli 2016.

    Deklarasi tersebut diawali dengan ritual Taratak Fosso yang

    dimaksudkan untuk membersihkan Bitung dari hal-hal yang

    tidak baik dan mengatur kembali tanah dan kehidupan di Bitung

    agar berlangsung tenang dan tentram. Dalam pelaksanaan ritual

    tersebut Tona’as yang memimpin ritual menyampaikan doa-doa

    kepada Opo Empung (Tuhan pencipta alam semesta) agar tanah

    Minahasa dipulihkan dari hal-hal buruk yang mengganggu

    keamanan dan kesejateraan kehidupan bersama. Ritual tersebut

    dilanjutkan di tiga tempat yang dipercayai menjadi tempat-

    tempat representatif untuk membersihkan kota Bitung dari

    pengaruh-pengaruh buruk. 22 Rinto Taroreh salah satu Tona’as

    yang bertugas melanjutkan ritual di salah satu lokasi di Sagrat

    (Sagrat terletak di perbatasan antara Kota Bitung dan

    Kabupaten Minahasa Utara) menjelaskan pentingnya ritual yang

    mereka lakukan, sehingga perlu melakukan persiapan-persiapan

    awal satu hari sebelum Ritual Taratak Fosso di laksanakan.

    Demikian Taroreh menuturkan:

    Biasanya sebelum acara begini, kami ada persiapan khusus. Kami kan datang sebagai tamu di sini. Jadi untuk menghindari jangan sampai yang mengundang kami ini – namanya manusia-- ada kekurangan-kekurangan makanya kami sudah melakukan ritual pendahuluan. Artinya kami menjaga supaya jika dalam ritual Taratak Fosso yang akan dilakukan sebentar ada kesalahan yang

    21 Yusak Tangkilisan, Sekjen Ormas adat Makatanak Minahasa, 8 Maret 2015,

    di Manado.

    22 Data observasi, 27 Juli 2016, di Bitung.

  • Pendahuluan 13

    dibuat, kami telah berusaha menutup melalui ritual persiapan yang sudah kami laksanakan tadi malam di Kema. Makanya kami sudah buka/tu’motol di kemah tadi malam. Mengapa di kemah? Karena di kemah merupakan pusat dari orang-orang tua Tonsea yang di daerah sini (bitung), yang menjadi daerah kekuasaan mereka. Jadi tadi kami sudah pergi ke batunya, batu Toytow, lalu ke waruganya kepala walak, dan waruganya wali’an donowu di sana. Kami sudah mulai di sana. Artinya, ketika kami sudah datang ke sini, kalau mungkin ada kekurangan-kekurangan, kita sudah tidak masuk ke bagian itu, karna kita sudah melaksanakan ritual utama di sana. Jadi selesai dari sini, rencananya akan mengatur pasela-pasela (batu-batu di ujung negeri) di mana kalau mau ikut tatacaranya, maka batu-batu pasela itu menjadi tempat orang tua menjaga kampung. Pasela kan artinya ujung/pembatas.23

    Pada tanggal 29 Agustus 2016 beberapa kelompok adat

    yang juga hadir dalam deklarasi di Bitung, melaksanakan

    Deklarasi PITON (Pinaesaan-Tountemboan) Bersatu di Batu

    Pinabetengan pada 29 Agustus 2016 yang juga diawali dengan

    ritual. 24 Pelaksanaan ritual dan deklarasi tersebut dipimpin

    oleh pemimpin ritual (Tona’as) yang sama dengan yang

    memimpin deklarasi di Bitung, yakni Tona’as Dede Katopo.

    Pemilihan Batu pinabetengan sebagai tempat pelaksanaan ritual,

    bukan tanpa makna. Pinabetengan secara historis-kultural

    merupakan tempat berkumpul para pemimpin taranak

    Minahasa awal dalam upaya penyelesaian konflik. Karenanya,

    pelaksanaan ritual di Pinabetengan dipahami sebagai penegasan

    ulang terhadap konsensus para leluhur; penegasan ulang

    terhadap Tiwa Lumimuut-Toar, bahwa hidup bersama dalam

    23 Wawancara dengan Tona’as Rinto Taroreh, 27 Juli 2016, di Bitung.

    24 Data observasi, 29 Agustus 2016, di Pinabetengan.

  • 14 Redefinisi dan Rekonstruksi Tou

    masyarakat hanya dimungkinkan jika setiap kelompok taat pada

    kesepakatan awal yang telah dibuat para leluhur.25

    Pandangan lain yang mendorong kekritisan masyarakat di

    tanah Minahasa terhadap para pendatang, saya temukan dalam

    wawancara dengan beberapa tokoh masyarakat dan kelompok

    pemuda budaya. Rivo Gosal, Ketua Aliansi Masyarakat Adat

    Nasional menilai kekuatiran terhadap para pendatang sebagai

    reaksi yang berlebihan dan cenderung menggeneralisasi semua

    pendatang. Menurut beliau, meskipun harus berhati-hati

    terhadap pendatang yang memiliki agenda-agenda tersembunyi,

    tetapi penilaian yang mebutapun hanya akan menjadikan relasi

    sosial semakin meruncing. Selanjutnya Gosal menuturkan:

    Kami di Mawale (salah satu kelompok adat di mana beliau juga menjadi bagian) sudah merumuskan satu rumusan tentang siapa Tou Minahasa. Tou Minahasa menurut kami adalah siapapun yang menjadikan tanah Minahasa sebagai ruang hidup dan berkomitmen menjaga keberlangsungan tanah Minahasa dan segala yang ada di tanah ini berarti dia Tou Minahasa. Jadi tidak melihat dari darahnya, warna kulit, suku. Saya sebagai pribadi melihat ada yang kemudian merusak hal tersebut--bukan hanya pendatang tapi juga masyarakat lokal Minahasa. Sikap saya sebagai pribadi terhadap pendatang, yakni hati-hati. Tetapi Ada klasifikasi lagi, yakni pendatang yang memang jujur memaknai diri sebagai bagian dari tanah Minahasa, karena telah mendapatkan hidup dari tanah ini. Sementara itu ada juga pendatang yang memang hanya menjadikan tanah ini sebagai tempat mencari kebutuhan hidupnya dan tidak ada tanggung-jawabnya untuk menghargai kehidupan di tanah ini; bahkan tidak jarang mereka mempunyai agenda-agenda khusus. Memang karena kelompok-kelompok yang

    25 Ibid.

  • Pendahuluan 15

    memiliki agenda-agenda khusus demikian, kemudian membuat masyarakat lokal terjebak untuk menganggap pendatang dengan agama tertentu semuanya sama, yakni memiliki agenda khusus. Tapi memang harus tetap berhati-hati terhadap pendatang agar kita tidak kecolongan oleh para pendatang yang memiliki agenda khusus.26

    Tanggapan-tanggapan berbeda tersebut di atas terhadap

    relasi sosial di tanah Minahasa kini adalah juga gambaran

    mengenai bagaimana masyarakat memahami realitas sosial yang

    plural. Klaim asli-bukan asli, lokal-pendatang, Minahasa Kristen-

    Minahasa bukan kristen mendeskrpsikan bahwa pembauran

    masyarakat di tanah Minahasa kini berlangsung sedemikian

    kentalnya dan saling bersinggungan. Di sisi lain, klaim-klaim

    demikian adalah juga ekspresi ketersinggungan dan

    keidaksenangan masyarakat lokal terhadap kecenderungan

    oknum pendatang (kini) yang dinilai kebablasan mengelolah

    keterbukaan dan penerimaan terhadap mereka. Ketersing-

    gungan yang menajam pada upaya mengklaim kembali tanah,

    nilai, dan semua hal yang dapat menegaskan kepemilikan

    mereka terhadap tanah Minahasa.

    Mengacu pada alur berpikir di atas dan realitas sosio-

    kultural di tanah Minahasa kini, maka menurut saya studi

    mengenai Redefinisi dan rekonstruksi TOU. Studi Sosial

    terhadap identitas sosial Minahasa dalam konteks Negara

    Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sangat penting

    dilakukan. Upaya demikian tidak hanya bertujuan agar

    masyarakat di tanah Minahasa kini dapat memahami kembali

    identitas bersama yang telah dikonstruksi oleh para leluhur

    dalam rangka mengatur kehidupan bersama yang beragam. Di

    sisi lain, rekonstruksi dan redefinisi Tou sebagai identitas sosial

    masyarakat di tanah Minahasa kini akan membantu merajut

    26Wawancara dengan Rivo Gosal, Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nasional, 8

    Maret 2015, di Manado.

  • 16 Redefinisi dan Rekonstruksi Tou

    kembali tenunan-tenunan sosio-kultural dan menghadirkan

    kehidupan bersama yang konstruktif dan bermartabat sebagai

    bagian dari NKRI.

    Pemilihan pokok studi demikian, juga ditunjang oleh

    pemeriksaan yang saya lakukan terhadap studi-studi

    sebelumnya.27 Berdasar pemeriksaan tersebut, saya menemukan

    ada beberapa pengelompokkan studi tentang Minahasa.

    Pengelompokan yang pertama, yakni studi awal yang bersifat

    pandangan mata yang dilakukan oleh para para penginjil Barat

    yang datang ke tanah Minahasa, dan juga dalam bentuk laporan

    dari pejabat pemerintah kolonial Belanda yang bertugas di

    daerah ini mengenai situasi orang-orang Minahasa. Salah satu

    laporan, yakni laporan resmi residen Manado J.D. Schierstein

    kepada Gubernur di Maluku tentang penyelesaian konflik antara

    beberapa pakasa’an dan juga keberhasilannya menyatukan

    ukung-ukung di Minahasa. Dari tulisan dan laporan-laporan

    tersebut diperoleh gambaran mengenai bagaimana keberadaan

    orang-orang Minahasa awal, budaya, sistim sosial dan

    pemerintahan, serta keagamaan yang berlangsung di tanah

    Minahasa saat itu. Pengelompokkan kedua, yakni yang bersifat

    akademis mengenai Minahasa yang dilakukan oleh para peneliti

    Barat. Beberapa diantaranya, yakni studi terhadap makna cerita-

    cerita rakyat di Minahasa yang ditulis buku tiga jilid oleh J.A.T.

    Schwarz, Tontemboansche Teksten (Leiden: Brill, 1907).

    Selanjutnya, N.P. Wilken sebagai salah seorang penulis yang

    serius menggali akar kebudayaan Minahasa. Kurt Tauchmann,

    seorang peneliti Jerman, dipromosi doktor di Universitas Köln

    27Ketika melakukan pemeriksaaan terhadap studi-studi terdahulu saya

    mendapatkan banyak kemudahan karena usaha dokumentasi studi-studi tentang

    Minahasa yang dilakukan David Tular dalam tulisannya tentang Minahasalogi.

    David Tular, Minahasalogisebagaistudikeminahasaan.blogspot.co.id. Pemaparan

    tentang studi-studi terdahulu yang saya lakukan sebagian besar mengacu pada

    uraian pengelompokan studi-studi Minahasa yang dilakukan oleh David Tular.

    Selain itu, saya juga mengacu pada dokumentasi hasil studi di UKSW, UGM, dan

    UI tentang Minahasa yang bisa diakses di perpustakaan umum ketiga Universitas

    tersebut.

  • Pendahuluan 17

    dengan disertasi berjudul Die Religion der Minahasa-Stämme

    (Nordost-Celebes/Sulawesi). Melalui studinya ini Tauchmann

    merekonstruksi agama dan kepercayaan asli suku-suku di

    Minahasa dari masa pra-pengaruh Eropa. Studi penting lainnya,

    yakni Mieke Schouten dengan tulisannya yang berjudul

    Minahasa and Bolaangmongondow: an annotated bibliography

    1800-1942 (The Hague: Martinus Nijhoff, 1981). Sesuai judulnya,

    buku ini memuat daftar tulisan-tulisan dan buku-buku mengenai

    Minahasa dan Bolaang Mongondow). Disertasi lainnya ditulis

    oleh Menno Hekker berjudul Minahassers in Indonesië en

    Nederland: migratie en cultuurverandering (Disertasi Universiteit

    van Amsterdam, 1993). Dari judulnya jelas bahwa arah

    penelitiannya adalah mengenai perubahan kultural pada kaum

    migran Minahasa di Negeri Belanda. Pada tahun 1996 KITLV di

    Leiden menerbitkan buku dari David E.F. Henley, Nationalism

    and Regionalism in a Colonial Context: Minahasa in the Dutch East

    Indies (Leiden: KITLV, 1996). Dalam bentuknya yang belum

    direvisi, isi buku ini sudah diajukan oleh penulisnya sebagai

    disertasi Ph.D. pada Australian National University pada tahun

    1992. David Henley sendiri berkebangsaan Inggris. Buku ini

    pada hakekatnya meneliti perkembangan nasionalisme regional

    yang bertumbuh di Minahasa pada zaman Hindia-Belanda

    hingga tahun 1942. Selain terbitnya disertasi-disertasi ini, ada

    dua buku kompilasi tulisan mengenai Minahasa yang terbit

    dalam bahasa Inggris selama era 90-an. Dua buku ini masing-

    masing adalah Helmut Buchholt dan Ulrich Mai, eds., Continuity,

    Change and Aspirations: Social and Cultural Life in Minahasa,

    Indonesia (Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 1994)

    dan Reimer Schefold, ed., Minahasa Past and Present: Tradition

    and Transition in an Outer Island Region of Indonesia (Leiden:

    Research School CNWS, 1995). Pengelompokan yang ketiga,

    yakni studi yang dilakukan para peneliti dan penulis Indonesia,

    antara lain disertasi dari Geraldine Y.J. Manoppo-Watupongoh

    berjudul Bahasa Melayu surat kabar di Minahasa pada abad ke-

    19 (Disertasi, Universitas Indonesia, Jakarta, 1983). Tulisan dari

  • 18 Redefinisi dan Rekonstruksi Tou

    H.M. Taulu yang terbit di era 50-an berjudul Adat dan Hukum

    Adat Minahasa, J.F. Malonda yang terkenal berjudul Membuka

    tudung dinamika filsafat-purba Minahasa, tahun, 1952. Juga

    termasuk dalam deretan terbitan di era 1950-an adalah buku

    dari J.G.Ch. Sahelangi, Ringkasan Hikajat Tanah dan Bangsa

    Minahasa Purbakala serta dengan Hikajat Bangsa Bentenan jang

    menduduki bahagian tenggara tanah Minahasa. Buku Sejarah

    Minahasa oleh F.S. Watuseke. Buku ini berisi studi mengenai

    peristiwa-peristiwa yang terjadi di Minahasa mulai dari “zaman

    purba” sampai dengan tahun 1954, yaitu ketika Bitung dijadikan

    pelabuhan samudra. E.V. Adam, Kesusasteraan, Kebudajaan dan

    Tjerita-tjerita Peninggalan Minahasa, 1967. Buku kecil ini lebih

    merupakan kapita selecta mengenai kebiasaan-kebiasaan dan

    kepercayaan-kepercayaan tua serta aturan-aturan tata-krama di

    Minahasa tempo dulu. L. Adam, Pemerintahan di Minahasa

    (Jakarta: Bhratara, 1975) dengan kata pengantar oleh F.S.

    Watuseke dan Adat Istiadat Sukubangsa Minahasa. Disertasi

    Richard A.D. Siwu tentang , “Adat, Gospel and Pancasila: A Study

    of the Minahasan Culture and Christianity in the Frame of

    Modernization in Indonesian Society” (Tesis D.Min, Lexington

    Theological Seminary, 1985); Disertasi Josef Manuel Saruan

    tentang Opo dan Allah Bapa. Suatu Studi mengenai Perjumpaan

    Agama Suku dan Kekristenan di Minahasa ( Disertasi Program

    Doktoral The South East Asia Graduate School of Theology,

    Jakarta 1991), yang menggali korelasi nama Tuhan di suku

    Minahasa dengan Allah Bapa dalam agama Kristen. Tesis, K.A.

    Kapahang-Kaunang, Perempuan: Pemahaman Teologis tentang

    Perempuan dalam Konteks Budaya Minahasa (Jakarta: BPK

    Gunung Mulia, 1993). Di bidang pertanian, misalnya, ada

    penelitian dari A.E. Wahongan-K, “Peranan Wanita dalam

    Pembangunan dan Kaitannya dengan Lembaga Mapalus” (Tesis

    Master, Institut Pertanian Bogor, 1986). Tesis Magdalena

    Tangkudung yang berjudul Mitos dan Kodrat yang menggali

    bagaimana keberadaan perempuan Minahasa dalam kaitan

    dengan mitos dan kodrat (Tesis Magister Sosiologi-Agama

  • Pendahuluan 19

    UKSW). Tesis dari Dance Palit, Minahasa: Integrasi Etnis, yang

    berorientasi pada upaya menggali latar-belakang penyatuan

    sub-sub etnik (Tesis Magister Sosioloi-Agama UKSW). Tulisan

    Bert Supit berjudul Minahasa: Dari Amanat Watu Pinawetengan

    Sampai Gelora Minawanua (Jakarta: Sinar Harapan, 1986), juga

    merupakan salah satu studi tentang Minahasa yang menjadi

    acuan karena cukup lengkap menulis mengenai orang Minahasa

    dan konteksnya. Serta studi-studi lainnya mengenai Minahasa

    yang mulai diminati oleh para mahasiswa/i di Universitas-

    universitas di Indonesia. Mengacu pada pemeriksaan tersebut,

    saya menyimpukan, bahwa studi mengenai Redefinisi dan

    Rekonstruksi Tou. Studi Sosial terhadap Identitas Sosial

    Minahasa dalam konteks Negara Kesatuan Republik

    Indonesia (NKRI), belum pernah diteliti dan ditulis secara

    khusus.

    2. Masalah Penelitian

    Bertolak dari latar-belakang pemikiran yang telah

    dipaparkan di atas, maka saya merumuskan masalah penelitian

    sebagai berikut: Bagaimana konstruksi Tou sebagai identitas

    sosial Minahasa awal? Bagaimana nilai-nilai dalam Tou yang

    mengatur relasi antar taranak—dalam wale, walak dan

    pakasa’an – dan dengan pendatang di Minahasa? Mengapa

    terjadi reduksi Tou dalam perjalanan sebagai Minahasa?

    Bagaimana dampak reduksi Tou terhadap relasi sosial di tanah

    Minahasa kini? Bagaimana redefinisi dan rekonstruksi Tou

    sebagai identitas sosial masyarakat di tanah Minahasa kini dan

    dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)?

    3. Tujuan Penulisan

    Berdasarkan rumusan masalah penelitian, maka tujuan

    dari penulisan ini adalah melakukan deskripsi dan analisis

  • 20 Redefinisi dan Rekonstruksi Tou

    terhadap proses definisi dan konstruksi Tou sebagai identitas

    sosial Minahasa awal. Dalam deskripsi dan analisis tersebut

    akan ditelisik secara mendalam latar belakang terbentuknya

    Minahasa dalam wale, walak, pakasaan, serta bagaimana para

    lelulur mengkonstruksi Tou sebagai identitas Mahasa/Minahasa.

    Bagian terakhir dari tulisan ini bertujuan mendiskripsikan dan

    mengkaji Tou dalam konteks masyarakat di tanah Minahasa kini.

    Mengapa Tou direduksi menjadi identitas primordial serta

    bagaimana redefinisi dan rekonstruksi Tou harus dilakukan

    dalam rangka memposisikan kembali Tou sebagai identitas

    sosial Minahasa dalam konteks NKRI.

    4. Urgensi Penelitian

    1. Teoritis

    Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis apa dan

    bagaimana identitas etnis yang egaliter dapat dikonstruksi

    menjadi identitas sosial. Studi mengenai Tou sebagai

    identitas bersama di Minahasa awal yang dikonstruksi

    sebagai upaya menata keragaman orang dengan latar

    belakang bahasa, ritual serta asal-usul berbeda. Karenanya,

    studi ini dapat menjadi acuan akademis bagi studi-studi lain

    tentang identitas etnis dan sosial.

    2. Praktis

    Keragaman etnis dan agama yang ada di Indonesia

    seringkali menjadi alasan terjadinya gesekan dan benturan.

    Pada umumnya gesekan dan benturan terjadi, karena

    keragaman tersebut telah memarginalisasi nilai kultural

    yang telah membangun dan menghidupi masyarakat sejak

    zaman leluhur. Ketika marginalisasi tersebut ditanggapi

    dengan penguatan identitas kultural primordial, maka

    benturan sosial dan dehumanisasi dengan alasan-alasan

    fanatisme primordial tidak dapat dihindari. Karena itu, studi

  • Pendahuluan 21

    ini akan sangat berguna bagi pemerintah, pemimpin-

    pemimpin lokal, para aktivis sosio-kultural untuk mengklaim

    kembali nilai-nilai kultural yang egaliter bagi upaya

    membangun kesadaran sosial dan penghargaan terhadap

    keragaman. Dalam konteks masyarakat di tanah Minahasa

    kini, studi ini memberi kontribusi kritis bagi pemerintah,

    agama-agama dan masyarakat dalam rangka membangun

    kesadaran mengenai pentingnya mengklaim kembali Tou

    yang egaliter. Selanjutnya, studi ini dapat menjadi acuan dari

    upaya rekonsiliasi sosial agar gesekan-gesekan sosial tidak

    akan menajam menjadi benturan antar budaya.

    5. Metodologi Penelitan

    a. Pendekatan penelitian

    Pendekatan Penelitian yang saya gunakan dalam

    penelitian, yakni pendekatan penelitian kualitatif.

    Pendekatan kualitatif terdiri dari dua komponen utama,

    pertama, data berasal dari berbagai sumber, yakni

    wawancara, observasi, dokumen, rekaman, dan film. Kedua,

    pada tahap ini peneliti dapat melakukan interpretasi data

    atau mengorganisir data; termasuk didalamnya sampel yang

    tidak bercorak statistik, catatan lapangan, dan diagram.28

    b. Metode Penelitian.

    Metode penelitian yang dipakai dalam penelitian ini,

    yani grounded theory. Strauss and Corbin, menjelaskan

    bahwa grounded theory, merujuk pada penelitian tentang

    kehidupan manusia, pengalaman hidup, perilaku, emosi-

    emosi, fungsi-fungi organisasi, gerakan-gerakan sosial,

    fenomena kultural, dan interaksi antar bangsa. Strauss dan

    28 Anselm Strauss & Juliet Corbin, Basic of Qualitative Research Techniques

    and Procedures for Devoloping Grounded Theory (London,-New Delhi: Sage

    Publication, 1988), 9.

  • 22 Redefinisi dan Rekonstruksi Tou

    Corbin juga menjelaskan, bahwa koleksi dan analisis data

    dalam grounded theory dilakukan secara simultan.29

    Penjelasan Staruss and Corbin diperkuat oleh Campbell,

    yang menjelaskan bahwa cara kerja grounded theory

    memang berbeda dengan bentuk penelitian kualitatif

    lainnnya yang melakukan pengumpulan data lebih dahulu,

    kemudian melakukan analisa data. Hal lain yang

    membedakan grounded theori dengan bentuk lain dari

    penelitian kualitatif yakni, bahwa penelitian ini menghasilkan

    pengembangan teori melalui proses pengumpulan dan analisis data

    yang simultan. Campbell menegaskan demikian only through this

    simultaneous process can a researcher develop and then amend the theory

    as the research data dictates. This is another example, as mentioned

    previously of how the teory is dependent on the data and not the data

    dependent on the theory.30 Di samping itu menurut Erin Horvat,

    keunikan dari grounded theory method, yakni mendengar

    penuturan informan mengenai pemahaman mereka tentang

    diri, masyarakat dan dunia mereka sebagai bagian penting

    dari kerja penelitian.31

    c. Jenis Penelitian

    Jenis penelitian ini adalah kualitatif interpretatif.

    Kualitatif interpretatif mensyaratkan fakta-fakta sosial

    dipelajari dalam konteks alaminya, agar makna yang

    dilekatkan pada fakta-fakta tersebut dapat diinterpretasi.32

    Selain itu, untuk mempertajam interpretasi data (terutama

    data-data teks), saya juga akan mengacu pada teori Paul

    Ricoeur dan Hans Georg Gadamer mengenai hermeneutik.

    29 Ibid.

    30 Jason Campbell, “Qualitative Method of Research: Grounded Theory Research” (Ph.D.

    diss., Mark Bound Nova Southeastern, 2011), 15.

    31Erin Horvat, et al, The beginner’s guide to doing qualitative research: how to

    get into the fild, collect data, and write up your (New Yor & London: Teacher

    College Press Colombia University, 2013), 73.

    32 Norman K. Denzim & Ivina S. Lincoln, Handbook of Qualitative Research.

    Diterjemahkan oleh Dariyatno dkk.(Yogyakarta: Pustakan Pelajar, 2009), 7.

  • Pendahuluan 23

    Pertama, teori Paul Ricoeur mengenai hermeneutik. Ricoeur

    menjelaskan, bahwa berkaitan dengan kerja hermeneutik,

    maka penafsir berhadapan dengan teks, bukan bahasa

    percakapan. Dengan demikian kerja hermeutik akan

    berkaitan dengan dua hal utama, yakni pertama bagaimana

    menempatkan teks sebagai teks. Kedua, berkaitan dengan

    metodologi yang disebut interpretasi teks.33 Perbedaan

    antara teks dan percakapan terlihat jelas dalam diskursus.

    Dalam diskursus percakapan, maksud pembicara dan apa

    yang dimaksudkannya dalam diskursus saling tumpang

    tindih, sebab apa yang dimaksudkan oleh pembicara dan apa

    maksud diskursusnya dapat dipahami dengan cara yang

    sama. Berbeda dengan diskursus tulisan, maksud penulis

    dan makna dari teks serta makna batiniah adalah apa yang

    sungguh-sungguh dipertaruhkan dalam diskursus tulisan.34

    Ricouer menjelaskan lebih lanjut, bahwa meskipun demikian

    tidak berarti teks dapat dipahami dengan jelas tanpa penulis,

    melainkan makna teks dapat melampaui dan rumit. Karena

    teks mengembangkan dirinya lepas dari penulis, sehingga

    apa yang teks suarakan sekarang (ketika dibaca dan ditafsir)

    lebih dari pada apa yang penulis katakan.35 Ricouer juga

    menjelaskan bahwa dalam diskursus tulisan, dunia adalah

    pasangan dari literatur yang terbuka terhadap teks. Karena

    itu menurut Ricoeur, pemahaman tentang situasi/dunia kita

    akan membantu kita memahami teks.36 Ricoeur juga

    membedakan antara percakapan dan teks pada yang

    menjadi alamat/tujuan. Percakapan hanya dialamatkan pada

    orang yang di ajak bicara, sedangkan yag menjadi tujuan

    teks adalah semua orang yang bisa membaca. Singkatnya,

    33 Paul Ricoeur, The Model of the Text: Meaningful Action Considered as a

    Text” dalam Paul Rabinow & William M. Silivian, Interpretative Social Science A

    reader (Berkley-Los Angeles-London: University of California Press, 1979), 73.

    34 Ibid., 78.

    35 Ibid.

    36 Ibid., 79.

  • 24 Redefinisi dan Rekonstruksi Tou

    alamat teks diciptakan sendiri oleh teks.37 Selanjutnya

    Ricoeur menegaskan, bahwa struktur spesifik dari teks

    adalah kumulatif dan holistik, karenanya teks harus

    ditempatkan dalam keseluruhan teks yang terbuka terhadap

    beberapa referensi dan konstruksi. 38

    Kedua, teori Hans Georg Gadamer mengenai

    Hermenutik. Dalam bukunya yang berjudul Kebenaran dan

    Metode, Gadamer menulis, bahwa teks akan berbicara, jika

    kita berusaha memahami. Karena itu, penafsir harus

    menemukan bahasa yang benar yang dapat membuat teks

    berbicara, dan pemahaman tersebut bukan prosedur

    arbitrer melainkan upaya mencari jawab dari pertanyaan

    yang diajukan.39 Gadamer juga menjelaskan mengenai

    pentingnya kepekaan penafsir terhadap kualitas makna baru

    dari teks. Kepekaan demikian bisa terjadi jika penafsir

    memiliki kesadaran secara metodologi dan membebaskan

    diri dari prasangka-prasangka pribadi; membebaskan diri

    dari tirani-tirani prasangka yang membuat penafsir bisu

    terhadap bahasa yang berbicara dalam teks. Implikasinya,

    kesadaran demikian akan mengarahkan penafsir untuk

    melakukan pengecekan dan kemudian menemukan

    pemahaman yang benar dari teks itu sendiri.40 Selanjutnya

    berkaitan dengan posisi penafsir berhadapan dengan teks,

    Gadamer menjelaskan bahwa antara penafsir dan teks

    memiliki hubungan dialektika. Memang dalam relasi

    tersebut teks dan penafsir tidak berada dalam kesejajaran,

    karena jarak historis yang terbentang diantara mereka.

    Tetapi tidak berarti pemahaman yang lebih unggul akan

    tergantung pada posisi tidak sejajar tersebut. Karena pada

    37 Ibid., 80.

    38 Ibid., 90.

    39 Hans Georg Gadamer, Kebenaran dan Metode. Pengantar Filsafat

    Hermeneutik. Diterjemahkan oleh Ahmad Sahidah (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,

    2010), 454,482. 40 Ibid., 326.

  • Pendahuluan 25

    dasarnya teks berbicara dari konteks dan waktunya,

    sedangkan penafsir meskipun harus berusaha

    membebaskan diri dari keberpihakannya, ia tetap tidak

    dapat mengelakkan diri untuk berpijak dari konteks dan

    motivasinya.41 Meskipun demikian, menurut Gadamer tidak

    berarti dialektika diantara keduanya dalam kerja

    hermeneutika tidak dapat dilaksanakan. Selanjutnya

    Gadamer menjelaskan, bahwa sama halnya dengan pidato

    yang mengikat pembicara dan yang diajak bicara, demikian

    juga teks dengan penafsir. Karena itu, teks meskipun

    ditafsirkan berulang-ulang oleh orang berbeda, teks akan

    tetap menjadi teks yang sama yang memberikan penjelasan

    tentang dirinya dengan cara berbeda.42 Penjelasan Gadamer

    lainnya, yakni mengenai penafsiran terhadap gambar.

    Gambar tidak sekedar mengandung nilai estetika. Gambar

    adalah juga pengada dari mana ia dimunculkan. Gambar

    adalah model dari aslinya; representasi dari pribadi khusus

    di dalam sebuah gambar yang muncul seperti lukisan.

    Karena itu, gambar memiliki kekhasan. Tetapi kekhasan di

    sini sama sekali bukan sebuah pengurangan terhadap klaim

    artistik dari karya-karya tersebut, melainkan kekhasan dari

    pengungkapan sebuah penentuan makna yang ajeg.43

    d. Teknik Pengumpulan data

    Berdasarkan pendekatan dan metode penelitian

    yang digunakan, maka teknik pengumpulan data yang

    digunakan adalah multiple source data atau beragam sumber

    data yang memungkinkan pegumpulan data secara

    maksimal. Beragam sumber data yang dipakai dalam

    penelitian ini, yakni wawancara mendalam, FGD,

    dokumentasi dan observasi. Teknik wawancara mendalam

    yang digunakan adalah wawancara terbuka, yakni

    41 Ibid, 569-570.

    42 Ibid., 483.

    43 Lebih detail dalam Gadamer, Kebenaran…., 164-172.

  • 26 Redefinisi dan Rekonstruksi Tou

    wawancara yang menggunakan pedoman wawancara

    sebagai acuan peneliti, tetapi juga memungkinkan

    pertanyaan-pertanyaan baru dikembangkan dari jawaban-

    jawaban informan. Pada prinsipnya, wawancara terbuka

    sangat tergantung pada keluwesan peneliti untuk

    mengembangkan pertanyaan-pertanyaan yang mengarah

    pada pendalaman data44 FGD dilakukan dengan menetukan

    topik utama yang akan dibahas, yakni topik mengenai Tou.

    Agar FGD tersebut mencapai tujuan dari penelitian ini, maka

    peneliti menjaga seketat mungkin dengan tetap mengacu

    pada topik diskusi. Untuk teknik dokumentasi, saya

    menginventarisir tulisan-tulisan dari penulis lokal dan barat

    tentang Minahasa serta dokumen-dokumen terkait

    (misalnya dokumen asal-usul leluhur Minahasa yang dibuat

    oleh kelompok-kelompok budaya). Selanjutnya, saya

    memilah dokumen-dokumen tersebut sesuai kebutuhan

    penelitian.

    e. Sumber Data

    Sumber data dari penelitian ini terbagi dalam tiga

    jenis data. Pertama, data verbal dari hasil wawancara

    dengan para para pelaku budaya (kelompok-kelompok

    budaya), tokoh masyarakat dan tokoh agama, turunan

    pengikut Kyai Modjo dan turunan pengikut Imam Bonjol.

    Kedua, data dokumentasi yang diperoleh dari tulisan-tulisan

    para penulis barat dan lokal tentang Minahasa dan dari

    gambar pada waruga (kuburan para leluhur) dan batu-batu

    penanda kampung. Ketiga, data observasi yang diperoleh

    dari pengamatan penulis terhadap proses ritual kampetan

    (pemimpin ritual yang kesurupan arwah leluhur) dan juga

    perilaku para pelaku budaya dalam ritual dan perlakuan

    mereka terhadap situs-situs budaya. Keempat, data FGD

    yang diperoleh dari diskusi dengan beberapa pimpinan

    44 Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: PT Remaja

    Rosdakarya, 2006), 188.

  • Pendahuluan 27

    kelompok-kelompok budaya (kalangan muda) dan pimpinan

    agama di SULUT yang tergabung dalam Badan Kejasama

    Umat Beragama (BKSUA).

    6. Susunan Pemaparan

    Pemaparan dalam tulisan ini disusun sebagai berikut:

    Bab I Pendahuluan, meliputi Latar-Belakang, Masalah Penelitian,

    Tujuan Penulisan, Pendekatan dan Metode Penelitian, serta

    Susunan Pemaparan. Bab II mengenai identitas dan perubahan

    sosial. Bab III mengenai Ritus: jenis dan fungsi. Bab IV mengenai

    Minahasa: Negeri para taranak. Sub-sub pembahasan dalam bab

    ini, yakni Asal-usul nama Minahasa, Taranak sebagai komunitas

    awal Minahasa, Pengelompokkan taranak dalam Wale dan

    Walak, Pengelompokkan Taranak dalam Pakasa’an, dan

    Perjumpaan dan embauran taranak dengan pendatang. Bab V

    tentang Tou, yang terurai dalam 3 bagian, yakni pertama, Tou

    dalam Tiwa Lumimuut-Toar, kedua, Tou dalam konsensus para

    pemimpin taranak di batu Pinabetengan, dan ketiga, Tou dalam

    ucapan-ucapan tua. Bab VI tentang Redefinisi dan rekonstruksi

    Tou sebagai identitas sosial di tanah Minahasa kini dalam

    konteks NKRI. Bab terakhir dalam disertasi ini dibagi dalam 2

    bagian, pertama Redefinisi dan Rekonstruksi Tou sebagai

    identitas sosial tanah Minahasa kini, kedua, Tou sebagai

    identitas sosial Minahasa dalam konteks NKRI. Bab VII Refleksi

    dan Kesimpulan.