askep albino, vitiligo dan melasma

33
PANDUAN MAHASISWA KEPERAWATAN 2012 KUMPULAN ASUHAN KEPERAWATAN (Askep Albino, Vitiligo dan Melasma) WWW . SAKTYAIRLANGGA . WORDPRESS . COM

Upload: moh-halim-mukhlasin

Post on 26-Nov-2015

955 views

Category:

Documents


24 download

DESCRIPTION

PENYAKIT PADA MANUSIA

TRANSCRIPT

PANDUAN MAHASISWA KEPERAWATAN

2012

KUMPULAN ASUHAN

KEPERAWATAN

(Askep Albino, Vitiligo

dan Melasma)

W W W . S A K T Y A I R L A N G G A . W O R D P R E S S . C O M

w w w . s a k t y a i r l a n g g a . w o r d p r e s s . c o m

Page 2

ALBINISME

Definisi

Gambar 1. Albinisme

Albinisme (dari Bahasa Latin albus, "putih"; atau dalam Bahasa

Indonesia: Bulai), merupakan salah satu bentuk kelainan bawaan

hipopigmentasi yang dikarakterisasikan oleh kurangnya ataupun tidak

adanya pigmen melanin pada mata, kulit, dan rambut.

(http://id.wikipedia.org)

Albinisme merupakan suatu penyakit keturunan yang jarang

ditemukan dimana tubuh tidak dapat membentuk melanin. Orang yang

menderita albinisme disebut albino.

Albino timbul dari perpaduan gen resesif. Diturunkan dari orang

tua, walaupun dalam kasus-kasus yang jarang dapat diturunkan dari

ayah/ibu saja. Ada mutasi genetik lain yang dikaitkan dengan albino,

terkait perubahan dari produksi melanin.

w w w . s a k t y a i r l a n g g a . w o r d p r e s s . c o m

Page 3

WOC

-Herediter

Mutasi genetik

Perubahan produksi melanin dalam tubuh

Pengaruh tirosinase positif

Pengaruh tirosinase negatif

Enzim tirosinase sedikit

Melanosit tidak mampu produksi melanin

Produksi tirosinase tidak ada

Non fungsional

ALBINISME

Tidak adanya melanin

Kulit terpapar radiasi sinar uv

Mudah terbakar

Gangguan integritas kulit

Warna kulit dan rambut abnormal

Warna putih susu/ abu-abu

Klien merasa tidak percaya diri

Gangguan citra diri

Pergerakan bola mata irreguler cepat

nystagmus

Susah melihat secara spontan

Gangguan sensori penglihatan

w w w . s a k t y a i r l a n g g a . w o r d p r e s s . c o m

Page 4

Etiologi

Albino adalah kelainan genetik, bukan penyakit infeksi dan tidak

dapat ditransmisi melalui kontak, tranfusi darah, dsb. Gen albino

menyebabkan tubuh tidak dapat membuat pigmen melanin. Sebagian

besar bentuk albino adalah hasil dari kelainan biologi dari gen-gen resesif

yang diturunkan dari orang tua, walaupun dalam kasus-kasus yang jarang

dapat diturunkan dari ayah/ibu saja. Ada mutasi genetik lain yang

dikaitkan dengan albino, tetapi semuanya menuju pada perubahan dari

produksi melanin dalam tubuh.

Albino tidak terpengaruh gender, kecuali ocular albino (terkait

dengan kromosom X), sehingga pria lebih sering terkena ocular albino.

Karena penderita albino tidak mempunyai pigmen melanin (berfungsi

melindungi kulit dari radiasi ultraviolet yang datang dari matahari),

mereka menderita karena sengatan sinar matahari, yang bukan

merupakan masalah bagi orang biasa.

Manifestasi Klinis

A. Klasifikasi Albino

1) Albino tirosinase-positif, enzim tirosinase ada, namun melanosit

(sel pigmen) tidak mampu untuk memproduksi melanin karena

alasan tertentu yang secara tidak langsung melibatkan enzim

tirosinase.

2) Albino tirosinase negatif, enzim tirosinase tidak diproduksi atau

versi nonfungsional diproduksi.

B. Tipe Albino

1) Oculocutaneous albinism (berarti albino pada mata dan kulit),

kehilangan pigmen pada mata, kulit, dan rambut.

w w w . s a k t y a i r l a n g g a . w o r d p r e s s . c o m

Page 5

Gambar 2. Oculocutaneous Albinism

2) Ocular albinism, hanya kehilangan pigmen pada mata. Orang-orang

dengan oculocutaneous albinism bisa tidak mempunyai pigmen

dimana saja sampai ke tingkat hampir normal. Orang-orang dengan

ocular albinism mempunyai warna rambut dan kulit yang normal,

dan banyak dari mereka mempunyai penampilan mata yang

normal.

Gambar 3. Ocular Albinism

C. Tanda dan Gejala

1) Hilangnya pigmen melanin pada mata, kulit, dan rambut (atau lebih

jarang hanya pada mata).

2) Kulit dan rambut secara abnormal putih susu atau putih pucat dan

memiliki iris merah muda atau biru dengan pupil merah.

3) Kulit terlalu sensitif pada cahaya matahari, sehingga mudah

terbakar.

4) Nystagmus, pergerakan bola mata yang irregular dan rapid dalam

pola melingkar

5) Strabismus (“crossed eyes” or “lazy eye”).

6) Kesalahan dalam refraksi seperti miopi, hipertropi, dan

astigmatisma.

7) Fotofobia, hipersensitivitas terhadap cahaya

8) Hipoplasi foveal, kurang berkembangnya fovea (bagian tengah dari

retina)

9) Hipoplasi nervus optikus – kurang berkembangnya nervus optikus.

10) Abnormal decussation (crossing) dari fiber nervus optikus pada

chiasma optikus.

w w w . s a k t y a i r l a n g g a . w o r d p r e s s . c o m

Page 6

11) Ambliopia, penurunan akuisitas dari satu atau kedua mata karena

buruknya transmisi ke otak, sering karena kondisi lain seperti

strabismus.

Penatalaksanaan

A. Perlindungan Sinar Matahari

Penderita albino diharuskan menggunakan sunscreen ketika terkena

cahaya matahari untuk melindungi kulit prematur atau kanker kulit.

Baju penahan atau pelindung kulit dari cahaya matahari yang

berlebihan.

B. Bantuan Daya Lihat

Beberapa penderita albino sangat cocok menggunakan bifocals

(dengan lensa yang kuat untuk membaca), sementara yang lain lebih

cocok menggunakan kacamata baca. Penderita pun dapat memakai

lensa kontak berwarna untuk menghalangi tranmisi cahaya melalui

iris. Beberapa menggunakan bioptik, kacamata yang mempunyai

teleskop kecil di atas atau belakang lensa biasa, sehingga mereka lebih

dapat melihat sekeliling dibandingkan menggunakan lensa biasa atau

teleskop.

C. Pembedahan Pada Mata

Pembedahan mungkin untuk otot mata untuk menurunkan nystagmus,

strabis mus, dan kesalahan refraksi seperti astigmatisma. Pembedahan

strabismus mungkin mengubah penampilan mata. Pembedahan

nistagmus mungkin dapat mengurangi perputaran bola mata yang

berlebihan. Efektifitas dari semua prosedur ini bervariasi masing-

masing individu. Namun harus diketahui, pembedahan tidak akan

mengembalikan fovea ke kondisi normal dan tidak memperbaiki daya

lihat binocu lar. Dalam kasus esotropia (bentuk “crossed eyes” dari

strabismus), pembedahan mungkin membantu daya lihat dengan

memperbesar lapang pandang (area yang tertangkap oleh mata ketika

mata melihat hanya pada satu titik).

w w w . s a k t y a i r l a n g g a . w o r d p r e s s . c o m

Page 7

VITILIGO

Definisi

Gambar 4. Vitiligo

Vitiligo adalah kelainan pigmentasi kulit, seringkali bersifat

progresif dan familial yang ditandai oleh makula hipopigmentasi pada

kulit yang asimtomatik.

Kata vitiligo berasa dan bahasa lain vitellus yang berarti anak sapi,

karena kulit penderita berwarna putih seperti kulit anak sapi yang

berbercak putih. Istilah vitiligo mulai diperkenalkan oleh Celsus, seorang

dokter Romawi pada abad ke-2. (Djunaedi Hidayat)

Penyakit dapat terjadi sejak lahir sampai usia lanjut dengan

frekuensi tertinggi pada usia 10-30 tahun. Menurut statistik di Amerika

Serikat 50% dan penderita vitiligo mulai timbul pada usia sebelum 20

tahun dan 25% pada usia di bawah 8 tahun.

w w w . s a k t y a i r l a n g g a . w o r d p r e s s . c o m

Page 8

WOC

Masih sedikit yang diketahui tentang patogenesis vitiligo, sehingga

patofisiologi penyakit ini masih menjadi teka-teki. Sampai saat ini

terdapat 3 hipotesis klasik patofisiologi vitiligo yang dianut, yang

masing-masing mempunyai kekuatan dan kelemahan yaitu:

a. Hipotesis autositoksik

Hipotesis ini berdasarkan biokimiawi melanin dan prekursornya.

Dikemukakan bahwa terdapat produk antara dari biosintesis melanin

yaitu monofenol atau polifenol. Sintesis produk antara yang

berlebihan tersebut akan bersifat toksik terhadap melanosit. Lerner

(1959) mengemukakan bahwa melanosit normal mempunyai proteksi

VITILIGO

MK: Kerusakan

integritas kulit

Rasa panas pada lesi

MK: Gangguan body

image

Terdapat lesi berupa

makula yang

Merusak melanosit

Monofenol/polifenol ↑

Melanosit tidak dapat

memproteksi

monofenol/polifenol

Hipotesis Autositoksik

Merusak melanosit

Asetilkolin, epinefrin,

dan norepinefrin ↑

Hipotesis Neurohumoral

penyakit kelenjar

tiroid, alopesia

areata, anemia

pernisiosa, anemia

hemolitik autoimun,

Hipotesis imunologik

VITILIGO

w w w . s a k t y a i r l a n g g a . w o r d p r e s s . c o m

Page 9

terhadap proses tersebut, sedangkan pada penderita vitiligo

mekanisme proteksi ini labil, sehingga bila ada gangguan, produk

antara tersebut akan merusak melanosit dan akibatnya terjadi vitiligo.

Hal ini secara klinis dapat terlihat lesi banyak dijumpai pada daerah

kulit yang mengandung pigmen lebih banyak (berwarna lebih gelap).

Juga hal ini dapat terjadi pada pekerja-pekerja industri karet, plastik

dan bahan perekat karena banyak berkontak dengan bahan fenol dan

katekol.

b. Hipotesis neurohumoral

Hipotesis ini mengatakan bahwa mediator neurokimiawi seperti

asetilkolin, epinefrin dan norepinefrin yang dilepaskan oleh ujung-

ujung saraf perifer merupakan bahan neurotoksik yang dapat merusak

melanosit ataupun menghambat produksi melanin. Bila zat-zat

tersebut diproduksi berlebihan, maka sel melanosit di dekatnya akan

rusak. Secara klinis dapat terlihat pada vitiligo segmental satu atau

dua dermatom, dan seringkali timbul pada daerah dengan gangguan

saraf seperti pada daerah paraplegia, penderita polineuritis berat.

c. Hipotesis imunologik

Vitiligo merupakan suatu penyakit autoimun; pada penderita dapat

ditemukan autoantibodi terhadap antigen sistem melanogenik, yaitu

autoantibodi anti melanosit yang bersifat toksik terhadap melanosit.

Dari hasil-hasil penelitian terakhir, tampaknya hipotesis imunologik

yang banyak dianut oleh banyak ahli. Hal ini disokong dengan

kenyataan bahwa insidens vitiligo meningkat pada penderita penyakit

autoimun, yaitu antara lain : penyakit kelenjar tiroid, alopesia areata,

anemia pernisiosa, anemia hemolitik autoimun, skleroderma, artritis

rheumatoid.

Etiologi

Penyebab vitiligo yang pasti belum diketahui, diduga suatu

penyakit herediter yang diturunkan secara autosomal dominan. Dari

penyelidikannya, Lerner (1959) melaporkan 38% penderita vitiligo

w w w . s a k t y a i r l a n g g a . w o r d p r e s s . c o m

Page 10

mempunyai keluarga yang menderita vitiligo, sedangkan Eli -Mofty

(1968) menyebut angka 35%.

Beberapa faktor pencetus terjadinya vitiligo antara lain:

A. Faktor Mekanis

Pada 10-70% penderita vitiligo timbul lesi setelah trauma fisik,

misalnya setelah tindakan bedah atau pada tempat bekas trauma fisik

dan kimiawi.

B. Faktor sinar matahari atau penyinaran ultra violet A

Pada 7-15% penderita vitiligo timbul lesi setelah terpajan sinar

matahari atau UV A dan ternyata 70% lesi pertama kali timbul pada

bagian kulit yang terpajan.

C. Faktor emosi/psikis

Dikatakan bahwa kira-kira 20% penderita vitiligo berkembang setelah

mendapat gangguan emosi, trauma atau stres psikis yang berat.

D. Faktor hormonal

Diduga vitiligo memburuk selama kehamilan atau pada penggunaan

kontrasepsi oral. Tetapi pendapat tersebut masih diragukan.

Manifestasi Klinis

A. KLASIFIKASI

Bermacam-macam klasifikasi dikemukakan oleh beberapa ahli.

1. Koga (1977) membagi vitiligo dalam 2 golongan yaitu:

a. Vitiligo dengan distribusi sesuai dermatom.

b. Vitiligo dengan distribusi tidak sesuai dermatom.

2. Berdasarkan lokalisasi dan distribusinya, Mosher (1987) membagi

menjadi:

a. Tipe lokalisata, yang terdiri atas:

1) Bentuk fokal : terdapat satu atau lebih makula pada satu

daerah dan tidak segmental.

2) Bentuk segmental : terdapat satu atau lebih makula dalam

satu atau lebih daerah dermatom dan selalu unilateral.

3) Bentuk mukosal : lesi hanya terdapat pada selaput lendir

(genital dan mulut).

w w w . s a k t y a i r l a n g g a . w o r d p r e s s . c o m

Page 11

b. Tipe generalisata, yang terdiri atas:

1) Bentuk akrofasial : lesi terdapat pada bagian distal

ekstremitas dan muka.

2) Bentuk vulgaris : lesi tersebar tanpa pola khusus.

3) Bentuk universalis : lesi yang luas meliputi seluruh atau

hampir seluruh tubuh. Dapat pula terjadi bentuk-bentuk

campuran atau bentuk-bentuk peralihan, misalnya dari bentuk

lokalisata menjadi bentuk generalisata.

B. MANIFESTASI/GAMBARAN KLINIS

Makula hipopigmentasi yang khas pada vitiligo berupa bercak

putih seperti susu, berdiameter beberapa milimeter sampai sentimeter,

berbentuk bulat, lonjong, ataupun tak beraturan, dan berbatas tegas.

Selain hipopigmentasi tidak dijumpai kelainan lain pada kulit.

Kadang-kadang rambut pada kulit yang terkena ikut menjadi putih.

Pada lesi awal kehilangan pigmen tersebut hanya sebagian, tetapi

makin lama seluruh pigmen melanin hilang.

Lesi vitiligo umumnya mempunyai distribusi yang khas. Lesi

terutama terdapat pada daerah terpajan (muka, dada, bagian atas,

punggung tangan), daerah intertriginosa (aksila, lipat paha), daerah

sekitar orifisium (sekitan mulut, hidung, mata dan anus), pada bagian

ekstensor permukaan tulang yang menonjol (jari-jari, lutut, siku),

daerah tibia anterior, daerah sekitar puting susu dan umbiliku. Daerah

mukosa yang sering terkena terutama genital, bibir, dan gusi. Di

samping itu dapatpula ditemukan bentuk-bentuk lain dari lesi vitiligo,

antara lain:

1. Trichome vitiligo : vitiligo yang terdiri atas lesi berwarna coklat,

coklat muda dan putih.

2. Vitiligo inflamatoar: lesi dengan tepi yang meninggi eritematosa

dan gatal.

3. Lesi linear.

Penatalaksanaan

A. PEMERIKSAAN

w w w . s a k t y a i r l a n g g a . w o r d p r e s s . c o m

Page 12

Diagnosis ditegakkan terutama berdasarkan anamnesis dan

pemeriksaan klinis, dan ditunjang oleh pemeriksaan histopatologik

serta pemeriksaan dengan lampu Wood. Pemeriksaan histopatologi

lesi vitiligo menunjukkan tidak dijumpainya melanosit dan granul

melanin di epidermis; pewarnaan perak atau reaksi dopa, memberi

hasil negatif. Pada pemeriksaan dengan mikroskop elektron terlihat

hilangnya melanosit, sedangkan pada tepi lesi sering dijumpai

melanosit yang besar dengan prosesus dendritikus yang panjang;

beberapa penulis menjumpai infiltrat limfositik di dermis. Pada lesi

awal atau tepi lesi masih dapat dijumpai beberapa melanosit dan

granul melanin. Pada pemeriksaan dengan lampu Wood, lesi vitiligo

tampak putih berkilau dan hal ini berbeda dengan kelainan

hipopigmentasi lainnya.

B. PENGOBATAN

Karena penyebab dan patogenesisnya masih banyak yang belum

diketahui, sampai sekarang pengobatan vitiligo masih bersifat

nonspesifik. Pernah pula dilaporkan regresi spontan, tetapi

persentasinya sangat kecil.

Beberapa cara dan usaha yang dilakukan untuk mengatasinya,

yaitu:

1. Psoralen dan UVA

Fotokemoterapi dengan psoralen dan radiasi ultraviolet natural

atau artifisial masih dianggap sebagai pengobatan dengan hasil

yang cukup baik. Psoralen untuk mengobati vitiligo sudah dipakai

sejak zaman Mesir kuno dan India. Psoralen yang sering dipakai

adalah 8-metoksipsoralen atau trimetil psoralen; hasilnya sangat

bervariasi. Hal ini disebabkan oleh variasi absorpsi obat yang besar

pada tiap individu.

Psoralen dapat dipakai secara topikal atau sistemik. Bila lesi

meliputi daerah yang luas (lebih dari 20-25% luas permukaan kulit

tubuh), psoralen sistemik dapat dipakai; metode ini dianggap

memberi harapan untuk timbulnya repigmentasi. Bila 8-

w w w . s a k t y a i r l a n g g a . w o r d p r e s s . c o m

Page 13

metoksipsoralen yang dipakai, dosisnya 0,3 mg per kilogram berat

badan. Obat dimakan 2 jam sebelum dijemur sinar mata hari.

Pajanan sinar matahani dapat dimulai dengan lama 5 menit dan

dapat diperpanjang 5 menit tiap kali pengobatan. Sebaiknya jangan

dijemur lebih dari 30 menit per tempat. Umumnya repigmentasi

dimulai setelah 30 sampai 50 kali pengobatan. Repigmentasi

dimulai sebagai bintik-bintik sekitar folikel rambut dan meluas

secara perlahan dan berkonfluensi.

Pada pemakaian psoralen secara topikal, penderita harus

diperingatkan untuk mencuci obat setelah pemakaian dan

selanjutnya melindungi kulit dan pajanan sinar matahari.

Mekanisme kerja obat ini masih belum diketahui dengan pasti.

Menurut Ortonne (19769) psoralen dan sinar ultraviolet A akan

merangsang mitosis melanosit pada folikel rambut dan melanosit

tersebut akan bermigrasi ke daerah lesi. Sedangkan Nordlund

(1982) mengatakan bahwa psoralen tidak secara langsung

merangsang pertumbuhan sel-sel melanosit, tetapi merusak

beberapa bahan penghambat atau sel di epidermis yang

bertanggung jawab terhadap pemusnahan sel-sel melanosit.

Honigsmann (1987) mengatakan bahwa repigmentasi timbul

karena stimulasi peningkatan jumlah melanosit fungsional,

hipertrofi melanosit, aktivitas tirosinase dan mempercepat migrasi

melanosit dan adneksa kulit.

Pengobatan tersebut digunakan secara terus menerus selama

memberi hasil yang cukup baik, yaitu timbulnya repigmentasi yang

dimulai dan folikel rambut yang makin lama makin melebar dan

berkonfluensi. Pada pengobatan dengan PUVA, penderita harus

sanggup menjalani 100 sampai 300 kali pengobatan. Pengobatan

sebaiknya dihentikan bila selama 3 bulan tidak terjadi

repigmentasi.

2. Kortikosteroid

w w w . s a k t y a i r l a n g g a . w o r d p r e s s . c o m

Page 14

Pemakaian kortikosteroid topikal pada vitiligo berdasarkan

pada hipotesis autoimun. Kumani (1984) menggunakan klobetasol

propionat 0,05% dengan hasil yang cukup baik. Pernah pula

dilaporkan penggunaan triamsionolon asetonid 0,1% intralesi atau

betametason 17 valerat 0,1% secara topikal. Pada kasus yang dini

pemberian kortikosteroid intralesi efektif pada 50% penderita dan

penggunaan kortikosteroid topmkal dapat mencegah perkembangan

lebih lanjut. Biasanya diperlukan terapi yang lama dan adanya efek

samping akibat pemakaian steroid yang lama menyebabkan

pemakaiannya terbatas.

3. Fluorourasil

Untuk menimbulkan pigmentasi pada lesi, dapat dipakai

fluorourasil secana topikal. Pemakaian fluorourasil tersebut

dilakukan secara tertutup di atas kulit yang telah diepidermabrasi.

Pada kulit yang erosif tersebut dioleskan krim fluorourasil 5% dan

ditutup dengan bahan polietilen untuk jangka waktu 24 jam. Cara

pengobatan ini dihentikan setelah aplikasi sebanyak 7-10 kali.

Salah satu hipotesis mengatakan bahwa fluorourasil juga

mengakibatkan kolonisasi melanosit di epidermis yang kemudian

bermigrasi ke daerah lesi sewaktu proses epitelisasi.

4. Zat warna

Karena vitiligo mengganggu penampilan seseorang maka dapat

dipakai zat wanna topikal sebagai kamuflase. Beberapa kosmetik

kamuflase dapat dipakai dan yang banyak terdapat di Indonesia

antara lain Dermablend Cover cream, Derma Color Cover Cream,

Covermark Cover Cream dan lain-lain.

C. PENGOBATAN Lain-lain

1. Tehnik bedah:

a) tandur kulit/epidermis

b) invitro cultured epidermal auto graft bearing melanocytes

2. Akupunktur

w w w . s a k t y a i r l a n g g a . w o r d p r e s s . c o m

Page 15

Diperkirakan akupunktur memberikan efek stimulasi terhadap

melanosit, perbaikan mikrosirkulasi, peningkatan respons imunitas

dan efek regulasi fungsi organ.

3. Monobenzil hidrokuinon adalah bahan pemutih yang memberikan

efek samping vitiligo. Obat ini dapat menyebabkan kerusakan

melanosit dan biasanya dipakai pada vitiligo yang sangat luas,

sehingga sisa kulit yang normal diputihkan seluruhnya. Biasanya

dipakai dalam bentuk krim dengan konsentrasi 2-4%

Cara pengobatan di atas memang memerlukan waktu yang lama,

pengobatan biasanya memerlukan waktu 18 bulan sampai 2 tahun.

Selain itu setiap penderita vitiligo perlu menggunakan tabir cahaya,

karena dosis eritematosa minimal (MED) kulit penderita vitiligo lebih

rendah dari orang normal. Biasanya dipakai tabir cahaya dengan sun

protective factor (SPF) 15.

Efek psikososial vitiligo juga tidak boleh dilupakan. Tiap

penderita memerlukan dukungan psikologis, lebih-lebih bila terdapat

hambatan sosial atau psikis.

Vitiligo bukan penyakit yang membahayakan kehidupan, tetapi

prognosisnya masih meragukan dan bergantung pula pada kesabaran

dan kepatuhan pen derita terhadap pengobatan yang diberikan.

MELASMA

Definisi

Gambar 5. Melasma

Melasma adalah hipermelanosis yang simetris berupa makula yang

berwarna coklat muda sampai coklat tua dan yang terdapat pada daerah-

w w w . s a k t y a i r l a n g g a . w o r d p r e s s . c o m

Page 16

daerah kulit yang terbuka. Faktor penyebab yang banyak dari melasma

adalah pengaruh genetik, sinar ultra violet, dan hormon sex wanita.

Lesi pada melasma berupa makula berwarna coklat muda atau

coklat tua berbatas tegas dengan tepi tidak teratur. Sering pada pipi dan

hidung (pola malar) terdapat pada dagu (pola mandibula) dipelipis, dahi,

alis dan bibir atas (pola sentrofasia). Sebagai terapi dapat digunakan

antara lain; Tabir surya untuk mencegah paparan sinar matahari, Topikal

(Hidrokinon, Asam retinoat, Asam azeleat), Sistemik ( Vitamin C,

Glutation ) dan Tindakan Khusus ( Pengelupasan kimiawi, Bedah laser ).

Melasma dapat mengenai semua ras terutama penduduk yang

tinggal di daerah tropis. Melasma terutama dijumpai pada wanita,

meskipun didapat pula pada pria (10 %). Terutama tampak pada wanita

usia subur dengan riwayat langsung terkena pajanan sinar matahari.

Kelainan ini dapat mengenai wanita hamil, wanita yang mengkonsumsi

pil kontrasepsi, pemakai kosmetik, pemakai obat, dan lain-lain. (1, 5, 6)

Melasma sering dijumpai pada banyak wanita khususnya hispanik dan

orang Asia. Pada ras kulit hitam yang hidup di India, Pakistan dan Timur

Tengah cenderung mengalami melasma pada saat pubertas atau masa

dewasa.

w w w . s a k t y a i r l a n g g a . w o r d p r e s s . c o m

Page 17

WOC

Sinar UV Hormon Genetik Kosmetik

Faktor Internal Faktor Eksternal

Obat

Pemakaian

terlalu lama

Melanogenesis

Merusak gugus

sulfhidril

epidermis

Hambatan enzim

tirosinase tidak

ada

Melanogenesis

Fotosen

sitivitas

Hiperpig

mentasi

Pemakaian

terlalu lama

Melanogenesis

MELASMA

Adanya bekas makula

berwarna coklat di wajah

Klien merasa malu

Gangguan konsep diri anxietas

gelisah

Koping individu

inefektif

MELASMA

w w w . s a k t y a i r l a n g g a . w o r d p r e s s . c o m

Page 18

Proses terjadinya melasma masih belum diketahui secara pasti

namun saat ini banyak faktor yang terlibat dalam patogenesis melasma.

Faktor-faktor yang dimaksud, yang paling penting adalah predisposisi

genetik dan pancaran sinar ultraviolet, selain itu ada juga penggunaan

kontrasepsi oral, kehamilan dan kosmetik. Pasien yang telah

menyelesaikan pengobatan mereka sering mengalami kekambuhan

kembali setelah terpapar sinar matahari lagi. Penelitian terbaru

menunjukkan tingginya kadar Alfa- MSH pada lesi keratinosit melasma

memainkan peranan penting dalam hiperpigmentasi kulit melasma.

Kemungkinan ada faktor genetik yang membuat seseorang

memiliki kecenderungan untuk menderita melasma. Selain dari fakta

bahwa penyakit ini menjadi lebih sering muncul pada beberapa kelompok

ras tertentu, terdapat banyak kasus melasma yang diturunkan dalam

sebuah keluarga namun melasma bukan penyakit keturunan.

Etiologi

Etiologi melasma sampai saat ini belum diketahui pasti. Faktor

kausatif yang dianggap berperan pada patogenesis melasma adalah:

a. Sinar ultra violet.

Spektrum sinar matahari ini merusak gugus sulfhidril di epidermis

yang merupakan penghambat enzim tirosinase dengan cara mengikat

ion Cu dari enzim tersebut. Sinar ultra violet menyebabkan enzim

tirosinase tidak dihambat lagi sehingga memacu proses

melanogenesis.

b. Hormon.

Misalnya estrogen, progesteron, dan MSH (Melanin Stimulating

Hormone) berperan pada terjadinya melasma. Pada kehamilan,

melasma biasanya meluas pada trimester ke 3. Pada pemakai pil

w w w . s a k t y a i r l a n g g a . w o r d p r e s s . c o m

Page 19

kontrasepsi, melasma tampak dalam 1 bulan sampai 2 tahun setelah

dimulai pemakaian pil tersebut.

c. Obat.

Misalnya difenil hidantoin, mesantoin, klorpromasin, sitostatik, dan

minosiklin dapat menyebabkan timbulnya melasma. Obat ini ditimbun

di lapisan dermis bagian atas dan secara kumulatif dapat merangsang

melanogenesis.

d. Genetik.

Dilaporkan adanya kasus keluarga sekitar 20-70%.

e. Ras.

Melasma banyak dijumpai pada golongan Hispanik dan golongan kulit

berwarna gelap.

f. Kosmetika.

Pemakaian kosmetika yang mengandung parfum, zat pewarna, atau

bahan-bahan tertentu dapat menyebabkan fotosensitivitas yang dapat

mengakibatkan timbulnya hiperpigmentasi pada wajah, jika terpajan

sinar matahari.

Manifestasi Klinis

Lesi melasma berupa makula berwarna coklat, abu-abu atau dapat

juga biru menyatu membentuk bercak-bercak dan tepi yang irreguler.

Berdasarkan gambaran klinis, bentuk melasma terbagi dalam tiga

bentuk mayor yaitu, pola sentro-fasial, pola malar dan pola mandibular.

Pola sentro-fasial adalah yang paling sering ditemukan dan muncul pada

kira-kira dua pertiga penderita melasma. Bentuk ini meliputi daerah dahi,

hidung, pipi bagian medial dan dagu. Pola malar pula didapatkan pada

kira-kira 20% kasus; lesi-lesinya terbatas bagian pipi dan hidung. Kira-

kira 15% penderita melasma datang dengan pola mandibular yang

meliputi kulit sekitar mandibula. Daerah-daerah lain yang terpajan

dengan sinar matahari misalnya di lengan dapat juga terjadi melasma

dengan bentuk yang berbagai dari tiga jenis pola ini.

w w w . s a k t y a i r l a n g g a . w o r d p r e s s . c o m

Page 20

Penatalaksanaan

A. Pemeriksaan Penunjang

1. Pemeriksaan Secara Kasat Mata

Dengan sinar, melasma dibedakan atas :

a. Tipe epidermal : lesi terlihat berwarna coklat muda.

b. Tipe dermal : lesi terlihat berwarna abu-abu atau abu-abu

kebiruan.

c. Tipe campuran : lesi terlihat berwarna coklat gelap.

2. Pemeriksaan dengan Lampu Wood / Wood Lamp

a. Tipe epidermal : melasma tampak lebih jelas dengan lampu

wood dibandingkan dengan secara kasat mata.

b. Tipe dermal : dengan lampu wood tak tampak warna kontras

dibandingkan dengan secara kasat mata.

c. Tipe campuran : tampak beberapa lokasi lebih jelas sedang

lainnya tidak jelas.

3. Pemeriksaan Histopatologik.

Secara histopatologik terdapat dua tipe hipermelanosis:

a. Tipe epidermal: melanin terutama terdapat di lapisan basal dan

suprabasal, kadang-kadang di seluruh stratum spinosum sampai

stratum korneum; sel-sel yang padat mengandung melanin

adalah melanosit, sel-sel lapisan basal, dan suprabasal, juga

terdapat pada keratinosit dan sel-sel stratum korneum.

b. Tipe dermal: terdapat makrofag bermelanin di sekitar pembuluh

darah dalam dermis bagian atas terdapat fokus-fokus infiltrat.

4. Pemeriksaan Mikroskop Elektron

Gambaran ultrastruktur melanosit dalam lapisan basal memberi

kesan aktivitas melanosit meningkat.

B. DIAGNOSIS

Diagnosis melasma dapat ditegakkan berdasarkan Anamnesa,

pemeriksaan fisis dan gambaran klinis. Untuk menentukan tipe

melasma dilakukan pemeriksaan lampu Wood, sedangkan

w w w . s a k t y a i r l a n g g a . w o r d p r e s s . c o m

Page 21

pemeriksaan histopatologik hanya dilakukan pada kasus-kasus

tertentu.

C. PENATALAKSANAAN

Pengobatan melasma memerlukan waktu cukup lama, kontrol yang

teratur serta kerja sama yang baik antara penderita dan dokter yang

menanganinya. Kebanyakan penderita berobat untuk alasan kosmetik.

Pengobatan dan perawatan kulit harus dilakukan secara teratur dan

sempurna karena melasma bersifat kronik residif. Pengobatan yang

sempurna adalah pengobatan yang kausal, maka penting dicari

etiologinya.

1. Pencegahan

a. Mengatasi peran sinar matahari sebagai salah satu faktor etiologi

dan eksaserbasi yang sangat penting yaitu :

1) Penderita diharuskan menghindari pajanan langsung sinar

ultra violet terutama antara pukul 09.00-15.00.

2) Bila keluar rumah menggunakan payung atau topi yang

lebar.

3) Memberikan pertimbangan/alternatif mengenai pekerjaan,

kegiatan sehari-hari atau olahraga baik mengenai waktu atau

kondisi lingkungan.

4) Melindungi kulit dengan memakai tabir surya yang tepat,

baik mengenai bahan maupun cara pemakaiannya. Tanpa

pemakaian tabir surya setiap hari pengobatan sulit berhasil.

b. Menghilangkan faktor yang merupakan penyebab atau

predisposisi melasma misalnya:

1) Menghentikan pemakaian pil kontrasepsi dan mengganti

dengan kontrasepsi lain yang bukan hormonal.

2) Menghentikan pemakaian kosmetika yang berwarna atau

mengandung parfum yang dapat menyebabkan

hiperpigmentasi.

w w w . s a k t y a i r l a n g g a . w o r d p r e s s . c o m

Page 22

3) Mencegah pemberian obat-obatan yang dapat merangsang

hiperpigmentasi, contohnya hidantoin, sitostatika, obat

antimalaria, dan minosiklin.

2. Pengobatan

a. Pengobatan topikal

1) Hidrokinon

Sampai saat ini hidrokinon merupakan bahan pemutih yang

paling banyak dipakai untuk pengobatan melasma dan relatif

aman serta efektif. Cara kerja dari hidrokinon adalah

menghambat konversi dopa menjadi melanin dengan

menghambat enzim tirosinase. Hidrokinon dipakai dengan

konsentrasi 2-5 %. Krim tersebut dipakai pada malam hari

disertai pemakaian tabir surya pada siang hari. Umumnya

tampak perbaikan dalam 6-8 minggu dan dilanjutkan sampai

6 bulan. Efek samping pemakaian hidrokuinon meliputi

komplikasi akut dan kronik. Komplikasi akut misalnya

dermatitis kontak alergi dan iritan, dan hiperpigmentasi pasca

inflamasi. Pemakaian hidrokuinon juga dapat menyebabkan

hipopigmentasi dan depigmentasi pada kulit yang diobati

maupun kulit normal disekitarnya tetapi sifatnya sementara

dan akan menghilang bila obat dihentikan. Pemakaian

hidrokuinon konsentrasi tinggi (hidrokuinon > 3 %) yang

dipakai dalam jangka waktu lama dapat meyebabkan

kerusakan kulit yang berat dan menetap berupa okronosis.

Setelah penghentian penggunaan hidrokinon sering terjadi

kekambuhan.

2) Asam retinoat (retinoic acid / tretinoin)

Asam retinoat mempunyai efek keratolitik yang mengurangi

pigmentasi. Asam retinoat 0,1 % terutama digunakan sebagai

terapi tambahan atau terapi kombinasi. Krim tersebut juga

dipakai pada malam hari, karena pada siang hari dapat terjadi

fotodegradasi. Kini asam retinoat dipakai sebagai

w w w . s a k t y a i r l a n g g a . w o r d p r e s s . c o m

Page 23

monoterapi, dan didapatkan perbaikan klinis secara

bermakna, meskipun berlangsung agak lambat. Efek samping

berupa eritema, deskuamasi, dan pada daerah yang diolesi,

sering berhubungan dengan dermatitis yang dapat

menyebabkan hiperpigmentasi.

3) Asam azeleat (Azeleic acid)

Asam azeleat merupakan obat aman untuk dipakai. Asam

azeleat bertindak sebagai kompetitif inhibitor enzim

tirosinase, yaitu suatu enzim yang paling berperan pada

proses melanogenesis. Selanjutnya terbukti pula bahwa

golongan ini tidak mempunyai efek toksik ataupun

kemampuan depigmentasi terhadap kulit normal. Pengobatan

dengan asam azeleat 20 % selama 6 bulan memberikan hasil

yang baik. Efek sampingnya rasa panas dan gatal.

b. Pengobatan sistemik

1) Asam askorbat / Vitamin C

Vitamin C merupakan antioksidan pada cairan ekstrasel dan

aktifitas sel pada umumnya. Vitamin C mempunyai efek

merubah melanin bentuk oksidasi menjadi melanin bentuk

reduksi yang berwarna lebih cerah dan mencegah

pembentukan melanin dengan mengubah DOPA kinon

menjadi DOPA.

2) Glutation

Glutation bentuk reduksi adalah senyawa sulfhidril (SH) yang

berpotensi menghambat pembentukan melanin dengan jalan

bergabung dengan Cuprum dari tirosinase.

c. Tindakan khusus

1) Pengelupasan Kimiawi atau Peeling

Pengelupasan kimiawi dapat membantu pengobatan kelainan

hiperpigmentasi. Bedah kimia superfisial, medium dan dalam

sering dipakai untuk pengobatan melasma pada orang kulit

putih. Bahan-bahan yang dipakai dapat berupa fenol, asam

w w w . s a k t y a i r l a n g g a . w o r d p r e s s . c o m

Page 24

trikloroasetat, pasta resorsinol dan asam alfa hidroksi yang

memberikan hasil beragam. Pada orang dengan kulit gelap,

ada kecenderungan untuk menjadi hipopigmentasi atau

hiperpigmentasi setelah dilakukan bedah kimia.

Pengelupasan kimiawi dilakukan dengan mengoleskan asam

glikolat 50-70 % selama 4 sampai 6 menit dilakukan setiap 3

minggu selama 6 kali. Sebelum dilakukan pengelupasan

kimiawi diberikan krim asam glikolat 10 % selama 14 hari.

2) Bedah laser

Tersedianya jenis laser baru yang memakai konsep

fototermolisis selektif dan mempunyai panjang gelombang

yang dapat menembus sampai ke dermis bagian bawah,

memberi harapan besar bagi keberhasilan pengobatan

melasma tipe dermal. Bedah laser tersebut bekerja secara

selektif dengan menghancurkan melanin dikulit, tampa

menimbulkan kerusakan pada sel atau jaringan sekitarnya.

Bedah laser dengan menggunakan laser Q – Switched Ruby

dan laser Argon. Bedah laser masih terbatas perangnya selain

harganya yang cukup mahal, juga risiko hiperpikmentasi

paska infelamasi yang ditimbulkan, selaing itu kekambuhan

juga dapat terjadi.

PIGMENTASI PASCA INFLAMASI

Hiperpigmentasi Pasca Inflamasi

Definisi

Hiperpigmentasi post inflamasi (HPI) adalah kelainan pigmen

yang didapat akibat terakumulasi pigmen setelah terjadinya proses

peradangan akut atau kronik. Keadaan ini disebabkan oleh

meningkatnya sintesis melanin sebagai respons peradangan dan

inkontinensia pigmenti yaitu terperangkapnya pigmen melanin di

dalam makrofag di bagian atas dermis. semua tipe kulit terutama tipe

kulit gelap baik pria maupun wanita segala usia dapat mengalami HPI.

w w w . s a k t y a i r l a n g g a . w o r d p r e s s . c o m

Page 25

kelainan ini ditandai dengan timbul bercak kecoklatan-hitam yang

asimptomatik, berbatas tidak tegas dan sedikit berbulu. ada tipe

epidermal dan dermal yang dapat dibedakan dengan pemeriksaan

lampu wood. penatalaksanaan yang utama adalah mengobati penyebab

peradangan, edukasi pasien menghindari pemakaian kosmetik rias dan

sinar matahari dengan tabir surya dan dapat digunakan pengobatan

topikal agen pencerah kulit yang efektif tetapi memberikan efek

samping ringan.

WOC

Terpapar sinar UV,

bahan kimia dan

tindakan medikasi

Pelepasan dan oksidasi

asam arakidonat

Respon melanosis

tetracycline,

bleomycin,

doxorubicin, 5-

acne excoriée, lichen planus,

systemic lupus erythematosus

(SLE), dermatitis kronis, dan

cutaneous T-cell lymphoma,

terutama varian

Penyakit inflamasi

reaksi alergi,

infeksi, trauma,

erupsi fototoksik

w w w . s a k t y a i r l a n g g a . w o r d p r e s s . c o m

Page 26

Hiperpigmentasi post inflamasi disebabkan oleh salah satu dari

proses melanosis epidermis ataupun melanosis dermis. Respon

inflamasi epidermis menyebabkan pelepasan dan kemudian oksidasi

dari asam arakidonat menjadi prostaglandin, leukotrien dan produk

HIPERPIGMENT

ASI KULIT

↑stimulasi dan transfer

granul melanin

↑ transfer pigmen

↑sintesis melanin

Menstimulasi melanosit

MK : Kurang

pengetahuan

Membutuhkan

perawatan khusus

MK : Gangguan

body image

Klien merasa malu

akan kondisinya

MK : Kerusakan

integritas kulit

Prostaglandin, leukotrien,

dan produk lainnya

w w w . s a k t y a i r l a n g g a . w o r d p r e s s . c o m

Page 27

lainnya. Produk inflamasi ini merubah aktivitas dari sel imun dan

melanosit. Spesifiknya, produk inflamasi ini menstimulasi melanosit

epidermal, menyebabkan peningkatan sintesis melanin dan kemudian

meningkatkan transfer pigmen untuk mengelilingi keratinosit.

Demikian, meningkatkan stimulasi dan transfer granul melanin

menghasilkan hipermelanosis epidermal.

Sebaliknya, melanosis dermal terjadi ketika inflamasi

mengganggu lapisan sel basal, menyebabkan pigmen melanin terlepas

dan kemudian terperangkap oleh sel imun besar yang dikenal sebagai

makrofag pada papilla dermis.

Etiologi

Hiperpigmentasi post inflamasi dapat terjadi pada berbagai

proses yang mengenai kulit. Proses tersebut melibatkan reaksi alergi,

infeksi, trauma, erupsi fototoksik.

Penyakit inflamasi yang sering yang mengakibatkan

hiperpigmentasi post inflamasi antara lain acne excoriée, lichen

planus, systemic lupus erythematosus (SLE), dermatitis kronis, dan

cutaneous T-cell lymphoma, terutama varian erythrodermic.

Terpapar sinar UV, bahan kimia dan tindakan medikasi

(tetracycline, bleomycin, doxorubicin, 5-fluorouracil, dll)

Manifestasi Klinis

Warna lesi berkisar antara coklat terang-hitam. Gambaran coklat

terang jika pigmennya terjadi di epidermis dan gambaran hitam jika

lesi mengandung melanin dermis.

Hiperpigmentasi post inflamasi merupakan respon kulit pada

inflamasi yang sering ditemukan . Walaupun dapat mengenai semua

orang, perkembangannya lebih sering pada orang yang berkulit gelap

dan dapat mengenai semua umur. Insiden dari hiperpigmentasi post

inflamasi pada laki-laki dan perempuan adalah sama, atau tidak ada

predileksi jenis kelamin.

w w w . s a k t y a i r l a n g g a . w o r d p r e s s . c o m

Page 28

Penatalaksanaan

Penanganan hiperpigmentasi post inflamasi (PIH) cenderung

susah dan membutuhkan proses yang lama yaitu sering membutuhkan

6-12 bulan agar mencapai hasil yang diinginkan untuk depigmentasi.

Setiap pilihan pengobatan berpotensi memperbaiki hipermelanosis

epidermal, tetapi tidak menjamin efektif untuk hipermelanosis dermal.

Saat ini penggunaan broad-spectrum sunscreen adalah bagian yang

penting untuk melakukan terapi.

Berbagai penanganan topikal telah digunakan untuk mengobati

hiperpigmentasi epidermal, dengan beragam tingkat keberhasilan.

Agen-agen tersebut adalah hydroquinone, tretinoin cream,

kortikosteroid, glycolic acid (GA), dan azelaic acid. Kombinasi dari

krim topikal dan gel, chemical peel, dan sun screens dapat menjadi

sangat dibutuhkan untuk perbaikan yang berarti. Kombinasi tersebut

hanya efektif untuk hiperpigmentasi epidermal.

Topikal tretinoin 0,1% telah efektif untuk orang Afro-Amerika.

GA peel dikombinasikan dengan tretinoin dan hydroquinone adalah

penanganan efektif untuk hiperpigmentasi post inflamasi untuk orang

yang bercorak kulit gelap. Aqueous gel retinoic acid 0,1-0,4%

digunakan bersamaan dengan hydroquinon-zalf lactic acid untuk

memutihkan. Setelah perbaikan cukup pada hiperpigmentasi di capai,

kortikosteroid dapat digunakan secara topikal dengan hydroquinon

untuk mendukung penyembuhan. Kombinasi dari beragam agen terapi

topikal telah memperlihatkan keuntungan, terutama pada wajah.

Hipopigmentasi Pasca Inflamasi

Definisi

Hipopigmentasi pasca inflamasi adalah hilangnya warna kulit

(pigmentasi) setelah kulit mengalami cedera. Pigmen yang

memproduksi sel (melanosit) rusak atau hancur dalam proses

penyembuhan.

w w w . s a k t y a i r l a n g g a . w o r d p r e s s . c o m

Page 29

WOC

Obat-obatan dan zat-zat kimia dapat menyebabkan hilangnya

pigmen kulit. Hal ini dapat terjadi akibat zat-zat yang digunakan

dalam pekerjaan, tetapi yang paling sering menjadi penyebab adalah

krim pemutih kulit, yang dijual terutama di masyarakat Afro-Karibia

dan Asia. Kandungan yang aktif biasanya adalah hidrokuinon, yang

dapat digunakan untuk terapi.

Banyak kelainan kulit dengan peradangan menyebabkan

timbulnya hipopigmentasi sekunder atau pascaperadangan, akibat

adanya gangguan pada keutuhan epidermis dan sistem produksi

melain (missal eksema dan psoriasis). Kelainan kulit tersebut dapat

meninggalkan bekas berupa hipopigmentasi temporer. Akan tetapi,

peradangan dapat menghancurkan semua melanosit (missal pada

jaringan parut, sesudah terjadi luka bakar, dan pasca tindakan

krioterapi).

Berbagai proses inflamasi pada penyakit kulit dapat pula

menyebabkan hipopigmentasi misalnya lupus eritematosus discoid,

dermatitis atopic, psoriasis, parapsoriasis gutata kronis, dan lain-lain.

Predileksi dan bentuk kelainan hipopigmentasi yang terjadi sesuai

dengan lesi primernya. Hal ini khas pada kelainan hipopigmentasi

yang terjadi sesudah menderita psoriasis.

Hipomelanosis terjadi segera setelah resolusi penyakit primer

dan mulai menghilang setelah beberapa minggu hingga beberapa

bulan terutama pada area yang terpapar matahari.

Pathogenesis proses ini dianggap sebagai hasil dan ganguan

transfer melanosom dari melanosit ke keratinosit. Pada dermatitis

hipopigmentasi mungkin merupakan akibat dari edema sedangkan

pada psoriasis mungkin akibat meningkatnya epidermal turnover.

Diagnosis ditegakkan berdasarkan riwayat penyakit yang

berhubungan sebelumnya. Jika diagnosis belum berhasil ditegakkan

w w w . s a k t y a i r l a n g g a . w o r d p r e s s . c o m

Page 30

maka biopsi pada lesi hipomelanosis akan menunjukkan gambaran

penyakit kulit primernya.

Terapi biasanya sesuai dengan penyakit dasarnya. Setelah proses

inflamasi menyembuh maka warna kulit asli akan perlahan kembali.

Hal ini mungkin dapat dipercepat dengan paparan sinar matahari.

Etiologi

Siapapun bisa mengalami kehilangan pigmen, tetapi lebih sering

terjadi pada orang berkulit hitam, karena mereka ingin memutihkan

wajah dengan menggunakan kosmetik pemutih. Hal ini dapat terjadi

setelah cedera kulit seperti luka bakar, operasi, jerawat, eksim, cacar

air, dermatitis seboroik, dan lain sebagainya. Beberapa obat dapat

menyebabkan hipopigmentasi pada orang yang berkulit gelap

(misalnya, krim kortison atau benzoyl peroxide).

Manifestasi Klinis

a. Satu atau lebih area putih atau lebih terang dari kulit.

b. Ukuran, bentuk, dan area yang terpengaruh bergantung pada

penyebabnya.

Penatalaksanaan

a. Menghentikan konsumsi krim kortison atau lotion yang

mengandung benzoyl peroxide.

b. Jika daerah yang mengalami hipopigmentasi hanya sedikit dan

tidak memiliki masalah kulit yang mendasari, tidak memerlukan

perawatan khusus.

c. Jika daerah hipopigmentasi memiliki riwayat cedera kulit

sebelumnya atau mengalami mati rasa pada daerah tersebut, segera

cari pertolongan medis.

w w w . s a k t y a i r l a n g g a . w o r d p r e s s . c o m

Page 31

ASUHAN KEPERAWATAN

Identitas Pasien

Meliputi nama, umur, jenis kelamin, alamat, pekerjaan, suku/bangsa, agama,

status perkawinan.

Keluhan

Ketidaknyamanan dgn perubahan kondisi kulit/ proses ggn (malu dst)

Riwayat penyakit

Gangguan pd keluarga.

Kelainan yang berhubungan dgn gangguan endokrin dan metabolik.

gangguan hormonal, kosmetik yang bahan dasarnya dari minyak, faktor genetik ,

ras, sinar ultra violet, kelembaban udara, temperatur, psikis,infeksi bakteri .

anamnesa pola kebiasaan

Nutrisi

Kebersihan diri

Istirahat Tidur

Aktifitas

Koping- management stress

Pemeriksaan

Pemeriksaan kulit dilakukan di ruangan dgn pencahayaan yg baik .

Pemeriksaan meliputi :

Warna & kondisi kulit – adanya kelainan/deformitas, termasuk jari, kuku, rambut.

Palpasi kulit – turgor- elastisitas kulit

Pemeriksaan berhubungan dgn sistem yg lain : Kondisi gangguan luas &

kompleks ( B1-B6).

MK

• Gangguan gambaran diri ( Body Image)

• Gangguan rasa nyaman ( nyeri, panas)

• Gangguan integritas jaringan /kulit.

• Koping individu tidak adaptif

w w w . s a k t y a i r l a n g g a . w o r d p r e s s . c o m

Page 32

• Cemas/ ansietas

• Penatalaksanaan terapi yang tidak efektif

w w w . s a k t y a i r l a n g g a . w o r d p r e s s . c o m

Page 33

Daftar Pustaka

http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/11Vitiligo117.pdf/11Vitiligo117.html

http://kesehatan.kompasiana.com/medis/2010/10/09/cara-cerdas-memahami-

vitiligo/

http://aguskrisnoblog.wordpress.com/2012/01/11/kajian-genetika-populasi-pada-

studi-kasus-penyakit-albino-di-indonesia/

http://fajarsahrudin.blogspot.com/2011/08/warna-kulit-manusia.html