artikel bende 43 mei 2007

16
ISSN 1693 - 3261 ARTIKEL BENDE EDISI 43 Mei 2007 SEKILAS SEJARAH DAN PERKEMBANGAN KARAWITAN MANGKUNEGARAN DITINJAU PADA MASA JAMAN BAROK Oleh : Suyadi * Pendahuluan Pada masa Kraton sebagai pusat kekuasaan, karawitan merupakan satu bentuk kesenian adi luhung yang hanya dinikmati oleh kerabat istana atau kaum bangsawan. Istilah yang digunakan adalah kagunan gamelan, bukan karawitan. Kagunan gamelan mulai dari pembuatan sampai dengan gending-gending yang dihasilkan oleh gamelan, baik secara teknis, latar belakang filosofis, serta berbagai macam tata nilai budaya Jawa 1 . Kata kagunan diindikasikan mempunyai kesejajaran dengan arti art (seni) dan kata seni ketika itu belum dikenal dalam khasanah budaya Jawa dan bukan produk budaya Jawa, melainkan istilah yang diadopsi dari budaya lain. 2 Keterkaitan dengan hal tersebut untuk menyebut produk-produk estetik budaya Jawa selalu disebut dengan kagunan seperti kagunan gamelan, kagunan beksan, dan kagunan wayang. Untuk selanjutnya istilah-istilah itu sekarang berubah menjadi seni karawitan, seni tari dan seni wayang (seni pedalangan). 3 Kagunan secara harafiah memiliki arti kepandaian, hikmat seni, dan kesenian. 4 arti dari kata tersebut dapat ditafsirkan bahwa kagunan memiliki muatan intelektualitas dan estetis. Uraian ini membuka pikiran kita bahwa dibalik kagunan gamelan tersimpan sistem pengetahuan yang berupa nilai-nilai dan pandangan filosofis yang terkemas dalam simbol-simbol berwujud fisik, bahasa, * Dosen STK Wilwatikta Surabaya 1 Sri Hastanto, “Pendidikan Karawitan: Situasi, Problema dan Angan-angan Wujudnya”, Wiled, Jurnal Seni 1997, Th II:pp. 28-29. 2 Waridi, “Gending Dalam Pandangan Orang Jawa: Makna, Fungsi, dan Hubungan Seni”, dalam buku Kembang Setaman: Persembahan Untuk Sang Maha Guru. Yogyakarta: BP ISI Yogyakarta, 2003, p. 301. 3 Ibid. 4 Prawiraatmodjo, Bausastra Jawa Indonesia, Jakarta: Gunung Agung, 1992, 200. 1

Upload: sandy-rosandy

Post on 24-Sep-2015

45 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

ISSN 1693 - 3261 ARTIKEL BENDE EDISI 43Mei 2007SEKILAS SEJARAH DAN PERKEMBANGAN KARAWITAN MANGKUNEGARAN DITINJAU PADA MASA JAMAN BAROKOleh : Suyadi

TRANSCRIPT

  • ISSN 1693 - 3261 ARTIKEL BENDE EDISI 43

    Mei 2007

    SEKILAS SEJARAH DAN PERKEMBANGAN KARAWITAN MANGKUNEGARAN DITINJAU PADA MASA JAMAN BAROK

    Oleh : Suyadi* Pendahuluan

    Pada masa Kraton sebagai pusat kekuasaan, karawitan merupakan satu

    bentuk kesenian adi luhung yang hanya dinikmati oleh kerabat istana atau kaum

    bangsawan. Istilah yang digunakan adalah kagunan gamelan, bukan karawitan.

    Kagunan gamelan mulai dari pembuatan sampai dengan gending-gending yang

    dihasilkan oleh gamelan, baik secara teknis, latar belakang filosofis, serta

    berbagai macam tata nilai budaya Jawa1. Kata kagunan diindikasikan mempunyai

    kesejajaran dengan arti art (seni) dan kata seni ketika itu belum dikenal dalam

    khasanah budaya Jawa dan bukan produk budaya Jawa, melainkan istilah yang

    diadopsi dari budaya lain.2 Keterkaitan dengan hal tersebut untuk menyebut

    produk-produk estetik budaya Jawa selalu disebut dengan kagunan seperti

    kagunan gamelan, kagunan beksan, dan kagunan wayang. Untuk selanjutnya

    istilah-istilah itu sekarang berubah menjadi seni karawitan, seni tari dan seni

    wayang (seni pedalangan).3

    Kagunan secara harafiah memiliki arti kepandaian, hikmat seni, dan

    kesenian.4 arti dari kata tersebut dapat ditafsirkan bahwa kagunan memiliki

    muatan intelektualitas dan estetis. Uraian ini membuka pikiran kita bahwa dibalik

    kagunan gamelan tersimpan sistem pengetahuan yang berupa nilai-nilai dan

    pandangan filosofis yang terkemas dalam simbol-simbol berwujud fisik, bahasa,

    * Dosen STK Wilwatikta Surabaya 1 Sri Hastanto, Pendidikan Karawitan: Situasi, Problema dan Angan-angan Wujudnya,

    Wiled, Jurnal Seni 1997, Th II:pp. 28-29. 2 Waridi, Gending Dalam Pandangan Orang Jawa: Makna, Fungsi, dan Hubungan Seni,

    dalam buku Kembang Setaman: Persembahan Untuk Sang Maha Guru. Yogyakarta: BP ISI Yogyakarta, 2003, p. 301.

    3 Ibid. 4 Prawiraatmodjo, Bausastra Jawa Indonesia, Jakarta: Gunung Agung, 1992, 200.

    1

  • 2

    notasi, kesan musikal dan sebagainya. Simbol fisik berupa gamelan, sedangkan

    non fisik berwujud gending dengan segala yang berkenaan dengannya seperti

    nada (laras), laras slendro dan laras pelog (tangga nada), irama, embat, serta

    pathet.5

    Dalam membicarakan sejarah perkembangan karawitan tentu saja tidak

    akan terlepas dari aspek-aspek sosial budaya yang melatarbelakanginya. Berkaitan

    dengan hal tersebut penulis mengkaji perkembangan karawitan dikaitkan dengan

    periode perkembangan musik barat pada Jaman Barok (1600-1750). Berdasarkan

    sejarah pemerintahan pada waktu itu (sesuai dengan jaman Barok) khususnya di

    Pulau Jawa atau di tanah Jawa berkembang suatu kerajaan Mataram dengan

    Sultan Agung sebagai rajanya (1613-1645). Sampai dengan wafatnya Sultan

    Agung 1645 menolak dengan keras kehadiran Belanda di Jawa. Sultan Agung

    berhasil merampas markas Kompeni di Batavia pada tahun 1628 dan 1629. Selain

    Sultan Agung berhasil mempersatukan Jawa di bawah naungan Mataram dan

    berkat perjuangannya yang keras maka Sultan Agung diakui sebagai raja besar

    Jawa.

    Seiring dengan perjalanan sejarah maka terciptalah beberapa gending

    dalam karawitan yang melukiskan suatu peristiwa atau segala perilaku yang

    dialami oleh raja. Untuk selanjutnya dalam penulisan ini penulis mengambil salah

    satu masa pemerintahan pada Paku Buwana II sebagai raja Kartasura yang juga

    keturunan dari Sultan Agung yang nantinya melatarbelakangi munculnya

    karawitan Mangkunegaran khususnya pada masa pemerintahan Paku Buwana II

    sebagai raja Kartasura(1725-1749) dan apabila dihubungkan dengan jaman Barok,

    periode ini masuk periode Barok Akhir (1680-1750). Alasan pemilihan topik ini

    selain juga bertepatan pada jaman Barok ada satu hal yang menarik sehubungan

    dengan perkembangan karawitan dengan munculnya satu gaya karawitan yaitu

    karawitan Mangkunegaran yang akhirnya di daerah Surakarta ada dua gaya yang

    berkembang sampai sekarang yaitu Karawitan Surakarta dan Mangkunegaran.

    Hal tersebut sangat dipengaruhi oleh kekuasaan pemerintahan pada waktu itu, dari

    segi sejarah masa Paku Buwana II menimbulkan gejolak khususnya pada sistem

    5 Waridi, Ibid.

  • 3

    tradisi pewarisan atau peralihan tahta yang menimbulkan pergolakan bagi para

    pewaris kraton Kartosura. Akan tetapi, sebelum pokok persoalan penulis bahas

    terlibih dahulu dijelaskan tentang kesenian pada Jaman Barok (1600-1750) dan

    sekaligus sejarah pemerintahan Paku Buwana II.

    Sekilas Tentang Jaman Barok

    Munculnya jaman Barok (1600-1750) merupakan satu bentuk reaksi

    terhadap jaman Renaissance, yang tidak lagi melihat diri sendiri (manusia)

    sebagai citra Allah, sebagai pedoman dan ukuran keindahan, tetapi mulai

    memperhatikan juga perasaan dan imajinasinya. Berdasarkan Encyclopedie

    karangan Denis Diderot pada tahun 1750 yang dikutip oleh Karl Edmund Prier sj

    dalam bukunya Sejarah Musik Jilid 2, istilah Barok digunakan untuk menyebut

    suatu gaya kesenian dan diartikan dalam bahasa portugis Barucco atau

    Barocco yang berarti mutiara. Dalam jaman barok secara lazim terbagi dalam

    tiga tahap yaitu: Barok Awal kira-kira 1580-1630; Barok Tengah kira-kira 1630

    1680; dan Barok Akhir kira-kira 1680 1750.6

    Pada awal masa Barok sebagai awal dari gaya musik baru, pada waktu itu

    orang mulai masa baru dengan perasaan dan pikiran baru. Pada masa akhir Barok

    terjadi suatu perubahan yang tidak hanya terjadi pada musik tetapi juga pada

    arsitektur, seni rupa, seni lukis, dan sastra. Kecenderungan perubahan karya seni

    sebenarnya telah dimulai sekitar 1730, di satu fihak memiliki keinginan untuk

    arah lebih sederhana dan wajar dan fihak lain berkeinginnan ke arah luwes dan

    sebagai puncak dari perubahan ini adalah era baru yang disebut Jaman Klasik.7

    Perkembangan dalam setiap periode ini merupakan dari bentuk-bentuk reaksi para

    seniman atau manusia kreatif pada setiap jamannya sebagaimana yang terjadi

    pada jaman Barok, diawali dari jaman Renaissance dan diakhir pada jaman Klasik

    begitu seterusnya.

    6 Edmund, Prier sj, Sejarah Musik Jilid 2, Yogyakarta: Pusat Musik Liturgi, 1993:7. 7 Ibid

  • 4

    Situasi Politik Sosial Pada Jaman Barok

    Masyarakat jaman Barok mempertahankan sistem golongan lama: Raja,

    kaum bangsawan, kaum rohaniawan, penduduk kota dan petani. Sistem

    pemerintahan, kekuasaan penuh ada di tangan raja dan raja menganggap dirinya

    semacam dewa yang dibantu oleh bangsawan, kaum rohaniawan dan tentara.8

    Kehidupan masyarakat tergolong antara masyarakat kota dan pedalaman serta

    penduduk kota terdapat lapisan orang kaya dan terdidik sementara di masyarakat

    pedalaman menjadi makin miskin. Perbedaan status yang demikian juga sangat

    berpengaruh pada perkembangan kesenian yang berada dalam istana dan di luar

    istana atau golongan masyarakat petani dan pedalaman. Dalam masyarakat kelas

    bawah seni lebih bersifat spontan sehingga tanpa adanya pendokumentasian yang

    baik dan lebih bersifat tradition oral yang tentu saja banyak kelemahannya dari

    pada keunggulannya. Seperti halnya pada perkembangan seni khususnya lagu dan

    tari rakyat Barok sebagian besar lenyap dikarenakan dalam pewarisannya hanya

    secara lisan (tradisi lisan) sedangkan di lapisan masyarakat atas dicatat dan

    diabadikan. Musik yang diciptakan dan dipentaskan terutama pada istana dengan

    dukungan atau disponsori dari kaum bangsawan. Gereja katedral disponsori oleh

    uskup sebagai pimpinan lokal, di kota disponsori oleh pemerintah lokal, sekolah

    disponsori oleh yayasan dan dalam gedung opera disponsori oleh Yayasan atau

    swasta.9 Sehingga kesenian tersebut sangat baik dalam pendokumnentasiannya

    dan memudahkan dalam sistem pewarisannya.

    Fungsi musik pada jaman Barok (Orkes Barok pada abad 17) berkembang

    musik instrumental yang merupakan permainan dari beberapa alat musik tanpa

    disertai dengan suara vokal. Salah satu bentuk orkes Barok antara lain orkes istana

    memiliki fungsi untuk memeriahkan resepsi atau perayaan, untuk hiburan di

    waktu makan atau juga sebagai pengiring tarian, unutuk pementasan opera dan

    untuk memeriahkan ibadat di gereja.10 Selain memiliki fungsi dalam istana musik

    juga disimbolkan dengan angka-angka bahkan tidak hanya musik yang

    8 Edmund, ibid : 9-10. 9 ibid 10 ibid, 70-71.

  • 5

    menggunakan angka sebagai makna simbol tetapi juga dalam arsitektur. Dalam

    dunia musik, simbolik nada dipakai secara fungsional dalam komposisi-komposisi

    Barok, sebagai mana kutipan di bawah ini:

    ... tanda kres (#) dibaca sebagai lambang salib misalnya berupa motif nada dalam wujud salib. Angka 3 biasanya melambangkan trinitas (Allah tritunggal)/ kesempurnaan/Roh; angka 4 mewakili 4 elemen dasar dunia; angka 12 dipakai sebagai simbol gereja/ 12 rasul. Begitu pula nomur urut huruf dalam abjad dipakai sebagai angka (A=1, B=2 dst). Bentuk musik seperti fuga diartikan sebagai kejar-kejaran/ pemburuan; kanon diartikan sebagai hukum, ketaatan.11

    Makna simbolik yang ada pada dunia musik di jaman Barok juga terdapat dalam

    makna simbolik nada yang ada pada karawitan yang dikaitkan dengan proses

    filsafat kehidupan manusia.

    Perkembangan Musik berdasarkan periodisasi pada Jaman Barok dilihat

    berdasarkan tabel Sejarah, seperti terlihat di bawah ini:

    1601 1605 1607 1618

    Caccini, Nuove Musiche Belanda mengusir Portugis dari Maluku dan menjajah Indonesia Monteverdi Awal Perang 30 tahun di Jerman

    1624 1629 1637 1648 1649 1661 1668 1671 1678

    Sceidt, Tabulatora Nova Schtz, Symphoniae Sacre Gedung Opera Pertama di Venetia/Italia Akhir perang 30 tahun di Jerman Raja Charles dari Inggris dihukum mati; awal dari Commonwealth Louis XIV menjadi Raja Perancis Cestis, Opera Pomo doro Wina Academie Royale de Musique didirikan Gedung Opera di Hamburg/Jerman

    1686 1697 1711 1725 1728 1742 1750 1752 1756

    Werckmeister, Woltemperierte Stimmung Pangeran Eugen dari Austria mengalahkan tentara Turki Handel pindah ke London Fux mengarang Gradus ad parnassum (ilmu kontrapung) The Beggars Opera di London Handel, The Messiah J.S. Bach meninggal Perang Pangeran Opera Buffo di Paris W.A. Mozart lahir

    Barok Awal 1580-1630

    11 Ibid, 12.

  • 6

    Barok Tengah 1630-1680 Barok Akhir 1680-1750

    Keterangan: data diambil dari Tabel 1 Buku Sejarah Musik Jilid 2 tulisan Edmund Prier sj. Tahun 1993. Latar Belakang Munculnya Karawitan Mangkunegaran

    Membicarakan sejarah perkembangan karawitan tentu saja tidak akan

    terlepas dari aspek-aspek sosial budaya yang melatarbelakanginya. Oleh karena

    itu setiap periode, sebelum membicarakan perkembangan karawitan dibicarakan

    dulu situasi sosial politik dan sosial ekonomi. Dengan diketahuinya sistuasi sosial

    politik dan sosial ekonomi pada suatau periode tertentu, akan dapat diketahui

    mengapa kehidupan karawitan dapat tumbuh dan berkembang atau sebaliknya.

    Sebagaimana situasi sosial politik yang terjadi pada jaman Barok, di tanah

    Jawa juga demikian adanya, raja merupakan penguasa tertinggi dalam

    menjalankan pemerintahannya. Berkaitan dengan permasalahan di atas penulis

    mengambil pembahasan pemerintahan pada periode kraton Kartasura dengan raja

    Paku Buwana II (1725-1749). Periode ini juga berdasarkan pada silsilah jaman

    kraton Mataram yang diawali Sultan Agung sebagai raja yang pertama (lihat

    silsilah dinasti raja-raja jaman Mataram). Pada pemerintahan Paku Buwana II

    dianggap merupakan proses awal munculnya karawitan Mangkunegaran

    Sebagai bahan referensi, berikut Silsilah dinasti raja-raja Mataram

    (didasarkan pada Pigeaud dan Ricklefs), bermaksud untuk mensejajarkan periode

    pada jaman Barok dan Jaman Kerajaan di Jawa berkaitan dengan perkembangan

    karawitan.

  • 7

    DINASTI RAJA-RAJA MATARAM

    Mataram

    Sultan Agung 1613-1645

    Amangkurat I 1645-1677

    Amangkurat II

    1677-1703 Amangkurat III

    1703-1705 Paku Buwana I

    1705-1719 Amangkurat IV

    1719-1726 Paku Buwana II

    1726-1745 Surakarta 1745

    Paku Buwana III 1749-1788

    Surakarta

    Susuhunan

    Yogyakarta Kasultanan

    MANGKUNEGARAN Mangkunegara I 1757-1796 Mangku Negara II 1796-1835 Mangku Negara III 1835-1853 Mangku Negara IV 1853-1881 Mangku Negara V 1881-1896 Mangku Negara VI 1896-1916 Mangku Negara VII 1916-1944

    Pakubuwana IV 1788-1820 Pakubuwana V 1820-1823 Pakubuwana VI 1823-1830 Pakubuwana VII 1830-1858 Pakubuwana VIII 1858-1861 Pakubuwana IX 1861-1893 Pakubuwana X 1893-1939 Pakubuwana XI 1939-1944

    Hamengku Buwana I 1755-1792 Hamengku Buwana II 1792-1810 Hamengku Buwana III 1810-1814

    Hamengku Buwana IV 1814-1822 Hamengku Buwana V 1822-1855 Hamengku Buwana VI 1855-1877 Hamengku Buwana VII 1877-1921 Hamneku Buwana VIII 1921-1939

    PAKUALAMAN Paku alam I 1813-1829 Paku Alam II 1829-1858 Paku Alam III 1858-1864 Paku alam IV 1864-1878 Paku Alam V 1878-1900 Paku Alam VI 19001-1902 Paku Alam VII 1902-1938

  • 8

    Paku Buwana II merupakan salah satu putra kesepuluh Amangkurat IV

    raja Kartasura (Mataram), dalam usia yang relatif muda sudah menggantikan

    kedudukan ayahnya sebagai raja Kartasura berdasar pada surat wasiat

    Amangkurat IV yang isinya ingin mengangkat putra ke sepuluh sebagai raja

    menggantikan Amangkurat IV. Dikarenakan umurnya yang masih muda maka

    pelaksana pemerintahan dijalankan oleh patihnya bernama Danureja.

    Berdasrkan keturunan semestinya yang diangkat sebagai raja Kartasura

    bukanlah Paku Buwana II tetapi Pangeran Amengkunegara sebagai putra pertama

    Peristiwa inilah yang merupakan awal mula keretakan keluarga kraton Kartosura,

    yang akhirnya menimbulkan perpecahan dan pembagian kerajaan Mataram.

    Sebetulnya hampir setiap kematian raja disusul oleh krisis politik yang disebabkan

    oleh perebutan tahta. Tidak ada tradisi mantap yang mengatur pergantiannya

    bahkan yang ada ialah semacam tradisi perebutan tahta.12 dalam suasana

    perebutan kekuasaan (tahta) dimanfaatkan oleh Belanda untuk memanipulasikan

    kehidupan politik kraton Jawa demi keuntungan Kompeni. Akibatnya kekuasaan

    politik kraton Jawa merosot.

    Paku Buwana II bertahtakan di kraton Kartasura yang letaknya berada di

    sebelah barat dari Surakarta dan berjarak hanya beberapa kilometer saja. Pada

    masa pemerintahan Paku Buwana II seperti diungkapkan Ricklefs yang dikutip

    oleh Sumarsam dalam buku hayatan gamelan, mengalami kekacau-balauan

    politik yang tanpa hentinya, disebabkan oleh pertikaian-pertikaian keluarga

    ningrat sendiri, pergolakan dari luar daerah, ketegangan keagamaan antara

    anggota dari berbagai golongan Islam dan intervensi Belanda dalam Affair

    Jawa.13

    12 Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: dari Emporium Sampai

    Imperium. Jilid I. Jakarta: Gramedia, 1987:228. 13 Sumarsam, hayatan Gamelan, Kedalaman Lagu, Teori dan perspektif. Surakarta:

    STSI Press, 2002:171.

  • 9

    Secara kebetulan pada pemerintahan paku Buwana II terjadi

    pemberontakan Cina terhadap VOC yang diakibatkan adanya penindasan bagi

    warga Cina yang tinggal di tanah Jawa. Akibat pemberontakan tersebut sampai ke

    wilayah Kartasura. Pihak kraton sendiri membantu pemberontak orang Cina yang

    hidup di Jawa dalam pertentangan mereka dengan VOC. Dalam peperangan ini ,

    beberapa markas Belanda ditaklukkan oleh prajurit sang raja dan aliansinya.

    Tetapi tidak lama kemudian hasil peperangan membalik dan Belanda menang.

    Akhirn

    yang selanjutnya

    sebaga

    sama dengan Mangkubumi (adik kandung).

    Akibat

    ya Sunan mengakhiri aksi pergolakannya melawan Belanda dengan jalan

    perdamaian.

    Sesudah peristiwa tersebut Kartosura kembali diserang oleh orang Cina

    bersama pengikut Paku Buwana yang tidak mendukung terhadap sikap Paku

    Buwana sendiri. Pemberontak mengangkat Mas Garendi (putra Amengkunegara)

    naik ke tahta. Karena kehilangan keratonnya, Paku Buwana melarikan diri ke arah

    timur ke daerah Panorogo (1742). Paku Buwana berusaha untuk merebut kembali

    keratonnya dengan minta bantua tentara Belanda. Usaha tersebut berhasil dan Mas

    Garendi memegang kekuasaan hanya berjalan enam bulan,

    i pemberontak dijatuhi hukuman dan dibuang ke Srilangka. Setelah

    peristiwa itu Kartasura resmi menjadi daerah jajahan Kompeni.

    Akibat dari kerusakan berat akibat peperangan, dua tahun kemudian Paku

    Buwana memutuskan untuk memindah keratonnya ke arah timur ke desa Sala.

    Desa tersebut kemudian diberi nama baru yaitu Surakarta. Meskipun telah

    berhasil memindahkan pusat pemerintahan di Surakarta namun kepemimpinan

    paku Buwana masih harus menerima pemberontakan-pemberontakan yaitu dari

    Mas Said (keponakan) yang bekerja

    nya, serangan pemberontak menjadi beban yang besar pada angkatan

    perang Belanda dan Paku Buwana.

    Kekacauan dan peperangan yang terus menerus serta tekanan dari

    Kompeni yang dialami oleh Paku Buwana mengakibatkan jatuh sakit. Dalam

    kondisi sakitnya yang semakin parah dan sementara itu masih adanya

    pemberontakan yang tiada hentinya serta ketergantungannya kepada Belanda

    maka pada saat waktu mendekati wafatnya sang raja memutuskan menyerahkan

  • 10

    keamanan kerajaan dan keluarganya kepada Kompeni. Akhirnya Paku Buwana

    wafat pada tanggal 20 Desember 1749, dan Kompeni yang telah diserahi

    di Paku

    Buwan

    aku Buwana

    II men

    lendro patet nem, gending Hasrikaton

    laras p

    telah memiliki

    gamela ama Kyai Udan Riris sebagaimana terlukis

    dalam Serat Babad Mangkunegaran I, pada pupuh Sinom bait 17.

    sepenuhnya oleh Paku Buwana segera mengangkat putra tertua menja

    a III.

    Beberapa Gending Tercipta Semasa Pemerintahan Paku Buwana II

    Berangkat dari sejarah pemerintahan Paku Buwana II di saat adanya

    pemberontakan yang terpaksa harus melarikan diri sampai di Ponorogo,

    memerintahkan abdi gending untuk menyusun gending Lunta (Kalunta) laras

    slendro patet Sanga, dan juga gending Layu-layu laras pelog patet Nem.Gending

    Lunta (Kalunta-lunta) melambangkan kesedihan Paku Buwana karena harus

    melarikan diri ke Ponorogo. Setelah Paku Buwana II dapat bertahta kembali di

    Kartasura, gending Lunta ditambah dengan bentuk inggah yakni Bangunmati

    (Bangomati). Gending ini sebagai lambang direbutnya kembali kerajaan kartasura

    dari tangan pemberontak Cina. Setelah pindah di keraton Surakarta, P

    yusun gending Ketawang Boyong laras slendro patet Barang. Gending ini

    memberikan makna kepindahan keraton dari Kartosura ke Surakarta.

    Menurut Wredhapradangga, di samping gending Lunta, pada saat itu juga

    disusun gending Silir Banten dan gending Candra. Demikian pula setelah pindah

    di keraton Surakarta, kecuali menyusun gending Boyong, pada saat itu juga

    gending Ketawang Kedhaton Radya laras s

    elog patet Barang, gending Jamba laras slendro patet Nem dan gending

    Alas Padhang laras slendro patet Manyura.

    Di samping itu peristiwa penting lainnya yang muncul pada jaman

    pemerintahan Paku Buwana II yakni karawitan Mangkunegaran. Karawitan

    Mangkunegaran muncul bersama-sama dengan proses lahirnya Pura

    mangkunegaran. Proses itu diawali sewaktu Mas Said berjuang melawan

    Kompeni. Setiap usai menghadapi pertempuran, Mas Said bersama para prajurit

    dan semua keluarganya, menikmati berbagai sajian kesenian di antaranya

    klenengan (konser karawitan). Di masa perjuangannya Mas Said

    n Gedhe laras slendro bern

  • 11

    Pasanggrahane kang putra,

    guyu-uyu gamelan,

    utranya [Mas Said]

    n karya sendiri,

    elama lima hari suara gamelan itu bertalu-talu memberi penghormatan

    an pelog

    diberi n

    gamelan Monggang; dan seperangkat gamelan carabali.

    at Babad Mangkunegara I pada pupuh pangkur

    bait 41

    ,

    eng Mataram miwah pelog yasanipun,

    Kanyut,

    i Mataram juga membuat seperangkat gamelan pelog, em,

    Carabali).

    anguyu-uyu pribadi, salendro denira bekta, genira damel pribadi, wastanan Udan Riris, mnung sapeken laminipun, nwau Pangran Mangkubumi, Sabtu enjing pepakan kang wadya bala. (pasanggrahan khusus milik pmerupakan suatu tempat untuk memberikan penghormatan, dengan gamelan slendro milik dayang diberi nama Udan Riris skepada pangeran mangkubumi, dan pada sabtu hari pagi semua prajurit menghadapnya).14 Demikian pula pada Mas Said masih tergabung dengan pangeran

    Mangkubumi dan menjadi menantunya, Mas Said sempat membuat empat

    perangkat gamelan yakni (1) seperangkat gamelan Gede laras slendro d

    ama Kyai Kanyut; (2) seperangkat gamelan Gede diberi nama Kyai Lipur;

    (3) seperangkat

    Hal itu terungkap dalam Ser

    dan 42.

    Ayasa gamelan monggang, lan salendro wasta pun kanyut,wong gendhing kang akaryanpun Lipur ingkang satunggal, pun Mesem lan Carabali.15 (Membuat gamelan seperangkat Monggang, dan gamelan Slendro dinamakanpembuatnya sangat pandai, ddiberi nama Lipur dan Messerta membuat seperangkat gamelan

    14 Serat Babad Mangkunegaran I, Surakarta: Perpustakaan Reksa Pustaka MS 223. 15 Ibid, 168

  • 12

    Saben dina asukan-sukan tan alami neng Ngayogya Matawis, kang rama putusan selur, Pangeran Mangkubumya, mring Pangeran Dipati asring memundhut,

    undhut dusun mundhut amal, ng.16

    angeran mangkubumi ayahnya, segera meminta kepada Masa Said agar sering memperhatikan daerahnya

    dari gending itu sendiri.

    ciptanya gending juga sangat sulit

    dikaren

    mwong anom asring tinudi setiap hari bersuka ria, namun tidak lama di Yogyakarta, P

    dan juga bersedekah kepada orang yang sering diminta tolong).

    Berdasarkan peristiwa atau sejarah yang telah tertulis di atas menunjukkan bahwa

    gending atau sekarang lazim disebut dengan istilah seni karawitan

    memperlihatkan bahwa kekuasaan raja berwenang atas kepemilikan karya

    gending pada saat pemerintahannya. Gending digunakan untuk melukiskan

    peristiwa yang dikaitkan dengan situasi dan raja di masa pemerintahannya.

    Gending dalam sejarah mempunyai peran sebagai pencatat (dalam bentuk ceritera)

    sejarah yang dijadikan pula untuk mengetahui sejarah

    Meskipun untuk melacak sejarah ter

    akan tidak ada pendokumentasian dengan baik.

    Makna Simbolik Nada dalam Gending

    Sebagaimana di jaman Barok bahwa nada atau angka banyak

    melambangkan simbol demikian juga dalam karawitan, juga memiliki makna

    simbol sebagai proses yang berhubungan dengan kehidupan manusia. Istilah

    gending digunakan untuk menyebut komposisi musikal dalam gamelan Jawa.

    Gending ibaratnya sebuah rumah yang terdiri dari berbagai unsur sehingga

    membentuk struktur. Unsur utama adalah balungan atau diartikan sebagai

    kerangka gending. Berdasarkan pada balungan dalam gending para pengrawit

    (musisi) mampu menginterpretasikan ke dalam sajian gending. Salah satu bagian

    dari kerangka adalah nada yang disimbolikkan dengan angka (1,2,3,4,5,6,7).

    16 Ibid

  • 13

    Dalam laras slendro disimbolkan dalam bentuk angka yaitu 1, 2, 3, 5 dan 6 kalau

    dibaca atau diucapkan menjadi ji, ro, lu, ma, nem. Berdasarkan dua empu

    karawitan yaitu Martapangrawit dan Sinduwarsana, bahwa nada-nada dalam

    gamelan khususnya laras slendro penyebutannya mulai dari urutan nada

    dikonotasikan dengan istilah organ tubuh manusia. Nada 1 (ji) disebut barang

    dikonotasikan dengan kepala manusia, 2 (ro) disebut jangga dikonotasikan dengan

    leher m

    hidung (pencium), lidah (perasa) terletak pada bagian kepala

    manusi

    lain seb

    bagai jalan,

    fora yang bermakna sebagai

    Bilah nada lima: memiliki metafora yang bermakna sebagai nafsu atau kecintaan namun pada bukan cinta asmara.

    nyura 6 (rasa), 1

    (wujud

    ta yang dipakai untuk

    notasi k

    dengan k

    anusia, 3 (lu) disebut dhadha sama dengan dada manusia. Nada 5 (lima)

    dan 6 (nem) dikonotasikan dengan tangan manusia.

    Nada barang yang diwujudkan sebagai kepala manusia memberikan

    inspirasi bahwa bagian dari panca indera manusia yaitu telinga (pendengaran),

    mata (penglihatan),

    a. Seperti diungkapkan oleh Widaryanto mengimplementasikan nada yang

    gai berikut:

    Bilah nada gulu [leher]: memiliki metafora yang bermakna sekarena fungsinya untuk aliran segala sesuatu dari kepala. Bilah nada dhadha [dada]; memiliki metahidup. Ini karena sumber kehidupan (jantung) berada di dada.

    Bilah nada nem memiliki metafora yang bermakna sebagai rasa.17

    Apabila tangga nada atau titilaras dalam patet sanga yang terdiri dari 5 6 1 2 3

    maka secara simbolis dapat dibaca nafsu adalah wujud jalan hidup (sengseming

    rasa awujud dalaning urip). Tangga nada dalam patet Ma

    ), 3 (hidup), 5 (nafsu) maka dapat dibaca ngrasake wujuding dalan

    nguripi sengsem atau wujud jalan itu menghidupkan nafsu.

    Sebagai contoh yang lain berikut makna dalam nada-nada karawitan gaya

    Sunda: Notasi Daminatila ciptaan RM Angga Kusumadina

    arawitan Sunda, da, mi, na, ti, la, mempunyai makna yang berhubungan

    ehidupan manusia. Seperti dinyatakan berikut ini:

    17 Widaryanto, FX., Evolusi Srimpi Renggawati di Kraton Yogyakarta dari ritus ke

    seni Pertunjukan, Jurnal Seni Pertunjukan Indonesia, Jakarta: MSPI bekerja sama dengan Gramedia Widiasmara, 1993:72-74.

  • 14

    Dari penggabungan dua suku kata ini, dapat diambil beberapa kata kunci yang sangat vital bagi kehidupan manusia. Kata kunci tersebut diantaranya adalah dami (napas). lana, (kekal) nami (nama), dada (jiwa/hati), dan titi (hati-hati). Kata dami (napas sangat berkaitan dengan hidup matinya seseorang. nami (nama) sangat erkaitan dengan identitas seseorang. lana (kekal) sangat berkaitan

    kenyataan bahwa karawitan tidak hanya dinikmati dalam sajiannya

    (audio Visual) saja. Akan tetapi ada beberapa hal yang menarik di luar bentuk

    yaitu ungkapan yang tersirat dalam syair ataupun yang terselubung di

    balik n

    ih berdiri kokoh

    membe

    kembang di kalangan

    rakyat termasuk dalam estetika kasar, yang barangkali kesenian ini lebih bersifat

    bdengan dunia akhirat. dada (jiwa/hati) sangat berkaitan dengan kepribadian. Sedangkan kata titi (hati-hati) sangat berkaitan dengan perilaku.18

    Berdasarkan konotasi tersebut jelaslah bahwa notasi yang telah dikonotasikan

    dengan organ tubuh manusia memiliki kandungan makna yang sangat dalam

    berhubungan hakekat kehidupan manusia. Pengungkapan demikian ini

    merupakan

    sajiannya

    ada.

    Penutup

    Kehidupan masyarakat jaman barok mempunyai kemiripan dengan

    pemerintahan di tanah Jawa khususnya pada masa pemerintahan Sultan Agung

    raja Mataram sampai dengan keturunannya. Sampai dengan saat ini kita masih

    bisa menyaksikan dua kraton di Yogyakarta dan Surakarta, disamping itu pula ada

    Pura Mangkunegaran dan Pura Pakualaman yang mas

    rikan kesaksian sejarah pada generasi sekarang. Terkait dengan hal

    tersebut gending dalam karawitan dalam proses penciptaannya tidak terlepas dari

    sejarah pemerintahan di mana raja sebagai penguasa tertinggi.

    Gending atau karawitan sebagai konsep adi luhung atau dalam istilah

    estetika halus artinya pengemasan bentuk seni lebih terkunstruksi dengan baik

    dikarenakan ini sebagai persembahan atau milik raja. Dan yang menikmati adalah

    kaum ningrat atau bangsawan. Sementara kesenian yang ber

    18 Heri Herdini. Raden Machjar Angga Kusumadinata: Pikiran, Aktivitas, dan karya-

    karyanya dalam Karawitan Sunda Tesis untuk memenuhi sebagaian persyaratan Mancapai derajat Sarjana S-2, Program Pascasarjana UGM Yogyakarta, 2002:139.

  • 15

    spontan

    karang

    berkem

    gkunegara II karawitan difungsikan untuk memperingatai

    ri kelahirannya, dan hal yang lain berfungsi sebagai sarana upacara di

    lingkungan keraton.

    DAFTAR PUSTAKA

    Manuskrip:

    Serat Babad Mangkunegaran I, Surakarta: Surakarta: Perpustakaan Reksa Pustaka MS. 223.

    Buku Tercetak:

    Edmund, P Heri Herdi Kusumadinata: Pikiran, Aktivitas,

    dan karya-karyanya dalam Karawitan Sunda Tesis untuk memenuhi

    Pascasarjana UGM Yogyakarta.

    Prawiraatm : Gunung Agung.

    , apa adanya, dan kadang bisa hadir atau tidak hadir dalam kehidupan

    masyarakat (tergantung dari situasi kehidupan masyarakat).

    Pemerintahan Paku Buwana II dianggap sebagai proses munculnya

    karawitan Mangkunegaran, sedangkan pada masa pemerintahan Paku Buwana III

    sebagai pertumbuhan karawitan Mangkunegaran, demikian dan seterusnya.

    Dengan demikian di Surakarta sampai sekarang memiliki dua gaya seni karawitan

    yaitu gaya Surakarta dan Mangkunegaran yang kedua-duanya sampai se

    bang secara beriringan di dua wilayah. Meskipun sedikit banyak karawitan

    Mangkunegaran mempunyai pengaruh terhadap karawitan gaya Surakarta.

    Fungsi karawitan semasa Mas Said dalam masa perjuangan selalu

    dipentaskan sehabis mengadakan pertempuran sebagai hiburan sekaligus sebagai

    pembangkit semangat para prajurit. Pada waktu kemunculannya di masa

    pemerintahanan Man

    ha

    rier sj, 1993. Sejarah Musik Jilid 2, Yogyakarta: Pusat Musik Liturgi.

    ni. 2002. Raden Machjar Angga

    sebagaian persyaratan Mancapai derajat Sarjana S-2, Program

    odjo, 1992. Bausastra Jawa Indonesia, Jakarta

  • 16

    al Seni 1997, Th II.

    aridi, 2003. Gending Dalam Pandangan Orang Jawa: Makna, Fungsi, dan

    idaryanto, FX., 1993. Evolusi Srimpi Renggawati di Kraton Yogyakarta dari

    Ritus ke Seni Pertunjukan, Jurnal Seni Pertunjukan Indonesia, Jakarta: MSPI bekerja sama dengan Gramedia Widiasmara.

    Sartono Kartodirdjo, 1987. Pengantar Sejarah Indonesia Baru: dari Emporium Sampai Imperium. Jilid I. Jakarta: Gramedia.

    Sri Hastanto, 1997. Pendidikan Karawitan: Situasi, Problema dan Angan-angan

    Wujudnya, Wiled, Jurn Sumarsam, 2002. Hayatan Gamelan, Kedalaman Lagu, Teori dan perspektif.

    Surakarta: STSI Press.

    WHubungan Seni, dalam buku Kembang Setaman: Persembahan Untuk Sang Maha Guru. Yogyakarta: BP ISI Yogyakarta.

    W

    PendahuluanSituasi Politik Sosial Pada Jaman Barok