artikel bende 43 mei 2007
DESCRIPTION
ISSN 1693 - 3261 ARTIKEL BENDE EDISI 43Mei 2007SEKILAS SEJARAH DAN PERKEMBANGAN KARAWITAN MANGKUNEGARAN DITINJAU PADA MASA JAMAN BAROKOleh : SuyadiTRANSCRIPT
-
ISSN 1693 - 3261 ARTIKEL BENDE EDISI 43
Mei 2007
SEKILAS SEJARAH DAN PERKEMBANGAN KARAWITAN MANGKUNEGARAN DITINJAU PADA MASA JAMAN BAROK
Oleh : Suyadi* Pendahuluan
Pada masa Kraton sebagai pusat kekuasaan, karawitan merupakan satu
bentuk kesenian adi luhung yang hanya dinikmati oleh kerabat istana atau kaum
bangsawan. Istilah yang digunakan adalah kagunan gamelan, bukan karawitan.
Kagunan gamelan mulai dari pembuatan sampai dengan gending-gending yang
dihasilkan oleh gamelan, baik secara teknis, latar belakang filosofis, serta
berbagai macam tata nilai budaya Jawa1. Kata kagunan diindikasikan mempunyai
kesejajaran dengan arti art (seni) dan kata seni ketika itu belum dikenal dalam
khasanah budaya Jawa dan bukan produk budaya Jawa, melainkan istilah yang
diadopsi dari budaya lain.2 Keterkaitan dengan hal tersebut untuk menyebut
produk-produk estetik budaya Jawa selalu disebut dengan kagunan seperti
kagunan gamelan, kagunan beksan, dan kagunan wayang. Untuk selanjutnya
istilah-istilah itu sekarang berubah menjadi seni karawitan, seni tari dan seni
wayang (seni pedalangan).3
Kagunan secara harafiah memiliki arti kepandaian, hikmat seni, dan
kesenian.4 arti dari kata tersebut dapat ditafsirkan bahwa kagunan memiliki
muatan intelektualitas dan estetis. Uraian ini membuka pikiran kita bahwa dibalik
kagunan gamelan tersimpan sistem pengetahuan yang berupa nilai-nilai dan
pandangan filosofis yang terkemas dalam simbol-simbol berwujud fisik, bahasa,
* Dosen STK Wilwatikta Surabaya 1 Sri Hastanto, Pendidikan Karawitan: Situasi, Problema dan Angan-angan Wujudnya,
Wiled, Jurnal Seni 1997, Th II:pp. 28-29. 2 Waridi, Gending Dalam Pandangan Orang Jawa: Makna, Fungsi, dan Hubungan Seni,
dalam buku Kembang Setaman: Persembahan Untuk Sang Maha Guru. Yogyakarta: BP ISI Yogyakarta, 2003, p. 301.
3 Ibid. 4 Prawiraatmodjo, Bausastra Jawa Indonesia, Jakarta: Gunung Agung, 1992, 200.
1
-
2
notasi, kesan musikal dan sebagainya. Simbol fisik berupa gamelan, sedangkan
non fisik berwujud gending dengan segala yang berkenaan dengannya seperti
nada (laras), laras slendro dan laras pelog (tangga nada), irama, embat, serta
pathet.5
Dalam membicarakan sejarah perkembangan karawitan tentu saja tidak
akan terlepas dari aspek-aspek sosial budaya yang melatarbelakanginya. Berkaitan
dengan hal tersebut penulis mengkaji perkembangan karawitan dikaitkan dengan
periode perkembangan musik barat pada Jaman Barok (1600-1750). Berdasarkan
sejarah pemerintahan pada waktu itu (sesuai dengan jaman Barok) khususnya di
Pulau Jawa atau di tanah Jawa berkembang suatu kerajaan Mataram dengan
Sultan Agung sebagai rajanya (1613-1645). Sampai dengan wafatnya Sultan
Agung 1645 menolak dengan keras kehadiran Belanda di Jawa. Sultan Agung
berhasil merampas markas Kompeni di Batavia pada tahun 1628 dan 1629. Selain
Sultan Agung berhasil mempersatukan Jawa di bawah naungan Mataram dan
berkat perjuangannya yang keras maka Sultan Agung diakui sebagai raja besar
Jawa.
Seiring dengan perjalanan sejarah maka terciptalah beberapa gending
dalam karawitan yang melukiskan suatu peristiwa atau segala perilaku yang
dialami oleh raja. Untuk selanjutnya dalam penulisan ini penulis mengambil salah
satu masa pemerintahan pada Paku Buwana II sebagai raja Kartasura yang juga
keturunan dari Sultan Agung yang nantinya melatarbelakangi munculnya
karawitan Mangkunegaran khususnya pada masa pemerintahan Paku Buwana II
sebagai raja Kartasura(1725-1749) dan apabila dihubungkan dengan jaman Barok,
periode ini masuk periode Barok Akhir (1680-1750). Alasan pemilihan topik ini
selain juga bertepatan pada jaman Barok ada satu hal yang menarik sehubungan
dengan perkembangan karawitan dengan munculnya satu gaya karawitan yaitu
karawitan Mangkunegaran yang akhirnya di daerah Surakarta ada dua gaya yang
berkembang sampai sekarang yaitu Karawitan Surakarta dan Mangkunegaran.
Hal tersebut sangat dipengaruhi oleh kekuasaan pemerintahan pada waktu itu, dari
segi sejarah masa Paku Buwana II menimbulkan gejolak khususnya pada sistem
5 Waridi, Ibid.
-
3
tradisi pewarisan atau peralihan tahta yang menimbulkan pergolakan bagi para
pewaris kraton Kartosura. Akan tetapi, sebelum pokok persoalan penulis bahas
terlibih dahulu dijelaskan tentang kesenian pada Jaman Barok (1600-1750) dan
sekaligus sejarah pemerintahan Paku Buwana II.
Sekilas Tentang Jaman Barok
Munculnya jaman Barok (1600-1750) merupakan satu bentuk reaksi
terhadap jaman Renaissance, yang tidak lagi melihat diri sendiri (manusia)
sebagai citra Allah, sebagai pedoman dan ukuran keindahan, tetapi mulai
memperhatikan juga perasaan dan imajinasinya. Berdasarkan Encyclopedie
karangan Denis Diderot pada tahun 1750 yang dikutip oleh Karl Edmund Prier sj
dalam bukunya Sejarah Musik Jilid 2, istilah Barok digunakan untuk menyebut
suatu gaya kesenian dan diartikan dalam bahasa portugis Barucco atau
Barocco yang berarti mutiara. Dalam jaman barok secara lazim terbagi dalam
tiga tahap yaitu: Barok Awal kira-kira 1580-1630; Barok Tengah kira-kira 1630
1680; dan Barok Akhir kira-kira 1680 1750.6
Pada awal masa Barok sebagai awal dari gaya musik baru, pada waktu itu
orang mulai masa baru dengan perasaan dan pikiran baru. Pada masa akhir Barok
terjadi suatu perubahan yang tidak hanya terjadi pada musik tetapi juga pada
arsitektur, seni rupa, seni lukis, dan sastra. Kecenderungan perubahan karya seni
sebenarnya telah dimulai sekitar 1730, di satu fihak memiliki keinginan untuk
arah lebih sederhana dan wajar dan fihak lain berkeinginnan ke arah luwes dan
sebagai puncak dari perubahan ini adalah era baru yang disebut Jaman Klasik.7
Perkembangan dalam setiap periode ini merupakan dari bentuk-bentuk reaksi para
seniman atau manusia kreatif pada setiap jamannya sebagaimana yang terjadi
pada jaman Barok, diawali dari jaman Renaissance dan diakhir pada jaman Klasik
begitu seterusnya.
6 Edmund, Prier sj, Sejarah Musik Jilid 2, Yogyakarta: Pusat Musik Liturgi, 1993:7. 7 Ibid
-
4
Situasi Politik Sosial Pada Jaman Barok
Masyarakat jaman Barok mempertahankan sistem golongan lama: Raja,
kaum bangsawan, kaum rohaniawan, penduduk kota dan petani. Sistem
pemerintahan, kekuasaan penuh ada di tangan raja dan raja menganggap dirinya
semacam dewa yang dibantu oleh bangsawan, kaum rohaniawan dan tentara.8
Kehidupan masyarakat tergolong antara masyarakat kota dan pedalaman serta
penduduk kota terdapat lapisan orang kaya dan terdidik sementara di masyarakat
pedalaman menjadi makin miskin. Perbedaan status yang demikian juga sangat
berpengaruh pada perkembangan kesenian yang berada dalam istana dan di luar
istana atau golongan masyarakat petani dan pedalaman. Dalam masyarakat kelas
bawah seni lebih bersifat spontan sehingga tanpa adanya pendokumentasian yang
baik dan lebih bersifat tradition oral yang tentu saja banyak kelemahannya dari
pada keunggulannya. Seperti halnya pada perkembangan seni khususnya lagu dan
tari rakyat Barok sebagian besar lenyap dikarenakan dalam pewarisannya hanya
secara lisan (tradisi lisan) sedangkan di lapisan masyarakat atas dicatat dan
diabadikan. Musik yang diciptakan dan dipentaskan terutama pada istana dengan
dukungan atau disponsori dari kaum bangsawan. Gereja katedral disponsori oleh
uskup sebagai pimpinan lokal, di kota disponsori oleh pemerintah lokal, sekolah
disponsori oleh yayasan dan dalam gedung opera disponsori oleh Yayasan atau
swasta.9 Sehingga kesenian tersebut sangat baik dalam pendokumnentasiannya
dan memudahkan dalam sistem pewarisannya.
Fungsi musik pada jaman Barok (Orkes Barok pada abad 17) berkembang
musik instrumental yang merupakan permainan dari beberapa alat musik tanpa
disertai dengan suara vokal. Salah satu bentuk orkes Barok antara lain orkes istana
memiliki fungsi untuk memeriahkan resepsi atau perayaan, untuk hiburan di
waktu makan atau juga sebagai pengiring tarian, unutuk pementasan opera dan
untuk memeriahkan ibadat di gereja.10 Selain memiliki fungsi dalam istana musik
juga disimbolkan dengan angka-angka bahkan tidak hanya musik yang
8 Edmund, ibid : 9-10. 9 ibid 10 ibid, 70-71.
-
5
menggunakan angka sebagai makna simbol tetapi juga dalam arsitektur. Dalam
dunia musik, simbolik nada dipakai secara fungsional dalam komposisi-komposisi
Barok, sebagai mana kutipan di bawah ini:
... tanda kres (#) dibaca sebagai lambang salib misalnya berupa motif nada dalam wujud salib. Angka 3 biasanya melambangkan trinitas (Allah tritunggal)/ kesempurnaan/Roh; angka 4 mewakili 4 elemen dasar dunia; angka 12 dipakai sebagai simbol gereja/ 12 rasul. Begitu pula nomur urut huruf dalam abjad dipakai sebagai angka (A=1, B=2 dst). Bentuk musik seperti fuga diartikan sebagai kejar-kejaran/ pemburuan; kanon diartikan sebagai hukum, ketaatan.11
Makna simbolik yang ada pada dunia musik di jaman Barok juga terdapat dalam
makna simbolik nada yang ada pada karawitan yang dikaitkan dengan proses
filsafat kehidupan manusia.
Perkembangan Musik berdasarkan periodisasi pada Jaman Barok dilihat
berdasarkan tabel Sejarah, seperti terlihat di bawah ini:
1601 1605 1607 1618
Caccini, Nuove Musiche Belanda mengusir Portugis dari Maluku dan menjajah Indonesia Monteverdi Awal Perang 30 tahun di Jerman
1624 1629 1637 1648 1649 1661 1668 1671 1678
Sceidt, Tabulatora Nova Schtz, Symphoniae Sacre Gedung Opera Pertama di Venetia/Italia Akhir perang 30 tahun di Jerman Raja Charles dari Inggris dihukum mati; awal dari Commonwealth Louis XIV menjadi Raja Perancis Cestis, Opera Pomo doro Wina Academie Royale de Musique didirikan Gedung Opera di Hamburg/Jerman
1686 1697 1711 1725 1728 1742 1750 1752 1756
Werckmeister, Woltemperierte Stimmung Pangeran Eugen dari Austria mengalahkan tentara Turki Handel pindah ke London Fux mengarang Gradus ad parnassum (ilmu kontrapung) The Beggars Opera di London Handel, The Messiah J.S. Bach meninggal Perang Pangeran Opera Buffo di Paris W.A. Mozart lahir
Barok Awal 1580-1630
11 Ibid, 12.
-
6
Barok Tengah 1630-1680 Barok Akhir 1680-1750
Keterangan: data diambil dari Tabel 1 Buku Sejarah Musik Jilid 2 tulisan Edmund Prier sj. Tahun 1993. Latar Belakang Munculnya Karawitan Mangkunegaran
Membicarakan sejarah perkembangan karawitan tentu saja tidak akan
terlepas dari aspek-aspek sosial budaya yang melatarbelakanginya. Oleh karena
itu setiap periode, sebelum membicarakan perkembangan karawitan dibicarakan
dulu situasi sosial politik dan sosial ekonomi. Dengan diketahuinya sistuasi sosial
politik dan sosial ekonomi pada suatau periode tertentu, akan dapat diketahui
mengapa kehidupan karawitan dapat tumbuh dan berkembang atau sebaliknya.
Sebagaimana situasi sosial politik yang terjadi pada jaman Barok, di tanah
Jawa juga demikian adanya, raja merupakan penguasa tertinggi dalam
menjalankan pemerintahannya. Berkaitan dengan permasalahan di atas penulis
mengambil pembahasan pemerintahan pada periode kraton Kartasura dengan raja
Paku Buwana II (1725-1749). Periode ini juga berdasarkan pada silsilah jaman
kraton Mataram yang diawali Sultan Agung sebagai raja yang pertama (lihat
silsilah dinasti raja-raja jaman Mataram). Pada pemerintahan Paku Buwana II
dianggap merupakan proses awal munculnya karawitan Mangkunegaran
Sebagai bahan referensi, berikut Silsilah dinasti raja-raja Mataram
(didasarkan pada Pigeaud dan Ricklefs), bermaksud untuk mensejajarkan periode
pada jaman Barok dan Jaman Kerajaan di Jawa berkaitan dengan perkembangan
karawitan.
-
7
DINASTI RAJA-RAJA MATARAM
Mataram
Sultan Agung 1613-1645
Amangkurat I 1645-1677
Amangkurat II
1677-1703 Amangkurat III
1703-1705 Paku Buwana I
1705-1719 Amangkurat IV
1719-1726 Paku Buwana II
1726-1745 Surakarta 1745
Paku Buwana III 1749-1788
Surakarta
Susuhunan
Yogyakarta Kasultanan
MANGKUNEGARAN Mangkunegara I 1757-1796 Mangku Negara II 1796-1835 Mangku Negara III 1835-1853 Mangku Negara IV 1853-1881 Mangku Negara V 1881-1896 Mangku Negara VI 1896-1916 Mangku Negara VII 1916-1944
Pakubuwana IV 1788-1820 Pakubuwana V 1820-1823 Pakubuwana VI 1823-1830 Pakubuwana VII 1830-1858 Pakubuwana VIII 1858-1861 Pakubuwana IX 1861-1893 Pakubuwana X 1893-1939 Pakubuwana XI 1939-1944
Hamengku Buwana I 1755-1792 Hamengku Buwana II 1792-1810 Hamengku Buwana III 1810-1814
Hamengku Buwana IV 1814-1822 Hamengku Buwana V 1822-1855 Hamengku Buwana VI 1855-1877 Hamengku Buwana VII 1877-1921 Hamneku Buwana VIII 1921-1939
PAKUALAMAN Paku alam I 1813-1829 Paku Alam II 1829-1858 Paku Alam III 1858-1864 Paku alam IV 1864-1878 Paku Alam V 1878-1900 Paku Alam VI 19001-1902 Paku Alam VII 1902-1938
-
8
Paku Buwana II merupakan salah satu putra kesepuluh Amangkurat IV
raja Kartasura (Mataram), dalam usia yang relatif muda sudah menggantikan
kedudukan ayahnya sebagai raja Kartasura berdasar pada surat wasiat
Amangkurat IV yang isinya ingin mengangkat putra ke sepuluh sebagai raja
menggantikan Amangkurat IV. Dikarenakan umurnya yang masih muda maka
pelaksana pemerintahan dijalankan oleh patihnya bernama Danureja.
Berdasrkan keturunan semestinya yang diangkat sebagai raja Kartasura
bukanlah Paku Buwana II tetapi Pangeran Amengkunegara sebagai putra pertama
Peristiwa inilah yang merupakan awal mula keretakan keluarga kraton Kartosura,
yang akhirnya menimbulkan perpecahan dan pembagian kerajaan Mataram.
Sebetulnya hampir setiap kematian raja disusul oleh krisis politik yang disebabkan
oleh perebutan tahta. Tidak ada tradisi mantap yang mengatur pergantiannya
bahkan yang ada ialah semacam tradisi perebutan tahta.12 dalam suasana
perebutan kekuasaan (tahta) dimanfaatkan oleh Belanda untuk memanipulasikan
kehidupan politik kraton Jawa demi keuntungan Kompeni. Akibatnya kekuasaan
politik kraton Jawa merosot.
Paku Buwana II bertahtakan di kraton Kartasura yang letaknya berada di
sebelah barat dari Surakarta dan berjarak hanya beberapa kilometer saja. Pada
masa pemerintahan Paku Buwana II seperti diungkapkan Ricklefs yang dikutip
oleh Sumarsam dalam buku hayatan gamelan, mengalami kekacau-balauan
politik yang tanpa hentinya, disebabkan oleh pertikaian-pertikaian keluarga
ningrat sendiri, pergolakan dari luar daerah, ketegangan keagamaan antara
anggota dari berbagai golongan Islam dan intervensi Belanda dalam Affair
Jawa.13
12 Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: dari Emporium Sampai
Imperium. Jilid I. Jakarta: Gramedia, 1987:228. 13 Sumarsam, hayatan Gamelan, Kedalaman Lagu, Teori dan perspektif. Surakarta:
STSI Press, 2002:171.
-
9
Secara kebetulan pada pemerintahan paku Buwana II terjadi
pemberontakan Cina terhadap VOC yang diakibatkan adanya penindasan bagi
warga Cina yang tinggal di tanah Jawa. Akibat pemberontakan tersebut sampai ke
wilayah Kartasura. Pihak kraton sendiri membantu pemberontak orang Cina yang
hidup di Jawa dalam pertentangan mereka dengan VOC. Dalam peperangan ini ,
beberapa markas Belanda ditaklukkan oleh prajurit sang raja dan aliansinya.
Tetapi tidak lama kemudian hasil peperangan membalik dan Belanda menang.
Akhirn
yang selanjutnya
sebaga
sama dengan Mangkubumi (adik kandung).
Akibat
ya Sunan mengakhiri aksi pergolakannya melawan Belanda dengan jalan
perdamaian.
Sesudah peristiwa tersebut Kartosura kembali diserang oleh orang Cina
bersama pengikut Paku Buwana yang tidak mendukung terhadap sikap Paku
Buwana sendiri. Pemberontak mengangkat Mas Garendi (putra Amengkunegara)
naik ke tahta. Karena kehilangan keratonnya, Paku Buwana melarikan diri ke arah
timur ke daerah Panorogo (1742). Paku Buwana berusaha untuk merebut kembali
keratonnya dengan minta bantua tentara Belanda. Usaha tersebut berhasil dan Mas
Garendi memegang kekuasaan hanya berjalan enam bulan,
i pemberontak dijatuhi hukuman dan dibuang ke Srilangka. Setelah
peristiwa itu Kartasura resmi menjadi daerah jajahan Kompeni.
Akibat dari kerusakan berat akibat peperangan, dua tahun kemudian Paku
Buwana memutuskan untuk memindah keratonnya ke arah timur ke desa Sala.
Desa tersebut kemudian diberi nama baru yaitu Surakarta. Meskipun telah
berhasil memindahkan pusat pemerintahan di Surakarta namun kepemimpinan
paku Buwana masih harus menerima pemberontakan-pemberontakan yaitu dari
Mas Said (keponakan) yang bekerja
nya, serangan pemberontak menjadi beban yang besar pada angkatan
perang Belanda dan Paku Buwana.
Kekacauan dan peperangan yang terus menerus serta tekanan dari
Kompeni yang dialami oleh Paku Buwana mengakibatkan jatuh sakit. Dalam
kondisi sakitnya yang semakin parah dan sementara itu masih adanya
pemberontakan yang tiada hentinya serta ketergantungannya kepada Belanda
maka pada saat waktu mendekati wafatnya sang raja memutuskan menyerahkan
-
10
keamanan kerajaan dan keluarganya kepada Kompeni. Akhirnya Paku Buwana
wafat pada tanggal 20 Desember 1749, dan Kompeni yang telah diserahi
di Paku
Buwan
aku Buwana
II men
lendro patet nem, gending Hasrikaton
laras p
telah memiliki
gamela ama Kyai Udan Riris sebagaimana terlukis
dalam Serat Babad Mangkunegaran I, pada pupuh Sinom bait 17.
sepenuhnya oleh Paku Buwana segera mengangkat putra tertua menja
a III.
Beberapa Gending Tercipta Semasa Pemerintahan Paku Buwana II
Berangkat dari sejarah pemerintahan Paku Buwana II di saat adanya
pemberontakan yang terpaksa harus melarikan diri sampai di Ponorogo,
memerintahkan abdi gending untuk menyusun gending Lunta (Kalunta) laras
slendro patet Sanga, dan juga gending Layu-layu laras pelog patet Nem.Gending
Lunta (Kalunta-lunta) melambangkan kesedihan Paku Buwana karena harus
melarikan diri ke Ponorogo. Setelah Paku Buwana II dapat bertahta kembali di
Kartasura, gending Lunta ditambah dengan bentuk inggah yakni Bangunmati
(Bangomati). Gending ini sebagai lambang direbutnya kembali kerajaan kartasura
dari tangan pemberontak Cina. Setelah pindah di keraton Surakarta, P
yusun gending Ketawang Boyong laras slendro patet Barang. Gending ini
memberikan makna kepindahan keraton dari Kartosura ke Surakarta.
Menurut Wredhapradangga, di samping gending Lunta, pada saat itu juga
disusun gending Silir Banten dan gending Candra. Demikian pula setelah pindah
di keraton Surakarta, kecuali menyusun gending Boyong, pada saat itu juga
gending Ketawang Kedhaton Radya laras s
elog patet Barang, gending Jamba laras slendro patet Nem dan gending
Alas Padhang laras slendro patet Manyura.
Di samping itu peristiwa penting lainnya yang muncul pada jaman
pemerintahan Paku Buwana II yakni karawitan Mangkunegaran. Karawitan
Mangkunegaran muncul bersama-sama dengan proses lahirnya Pura
mangkunegaran. Proses itu diawali sewaktu Mas Said berjuang melawan
Kompeni. Setiap usai menghadapi pertempuran, Mas Said bersama para prajurit
dan semua keluarganya, menikmati berbagai sajian kesenian di antaranya
klenengan (konser karawitan). Di masa perjuangannya Mas Said
n Gedhe laras slendro bern
-
11
Pasanggrahane kang putra,
guyu-uyu gamelan,
utranya [Mas Said]
n karya sendiri,
elama lima hari suara gamelan itu bertalu-talu memberi penghormatan
an pelog
diberi n
gamelan Monggang; dan seperangkat gamelan carabali.
at Babad Mangkunegara I pada pupuh pangkur
bait 41
,
eng Mataram miwah pelog yasanipun,
Kanyut,
i Mataram juga membuat seperangkat gamelan pelog, em,
Carabali).
anguyu-uyu pribadi, salendro denira bekta, genira damel pribadi, wastanan Udan Riris, mnung sapeken laminipun, nwau Pangran Mangkubumi, Sabtu enjing pepakan kang wadya bala. (pasanggrahan khusus milik pmerupakan suatu tempat untuk memberikan penghormatan, dengan gamelan slendro milik dayang diberi nama Udan Riris skepada pangeran mangkubumi, dan pada sabtu hari pagi semua prajurit menghadapnya).14 Demikian pula pada Mas Said masih tergabung dengan pangeran
Mangkubumi dan menjadi menantunya, Mas Said sempat membuat empat
perangkat gamelan yakni (1) seperangkat gamelan Gede laras slendro d
ama Kyai Kanyut; (2) seperangkat gamelan Gede diberi nama Kyai Lipur;
(3) seperangkat
Hal itu terungkap dalam Ser
dan 42.
Ayasa gamelan monggang, lan salendro wasta pun kanyut,wong gendhing kang akaryanpun Lipur ingkang satunggal, pun Mesem lan Carabali.15 (Membuat gamelan seperangkat Monggang, dan gamelan Slendro dinamakanpembuatnya sangat pandai, ddiberi nama Lipur dan Messerta membuat seperangkat gamelan
14 Serat Babad Mangkunegaran I, Surakarta: Perpustakaan Reksa Pustaka MS 223. 15 Ibid, 168
-
12
Saben dina asukan-sukan tan alami neng Ngayogya Matawis, kang rama putusan selur, Pangeran Mangkubumya, mring Pangeran Dipati asring memundhut,
undhut dusun mundhut amal, ng.16
angeran mangkubumi ayahnya, segera meminta kepada Masa Said agar sering memperhatikan daerahnya
dari gending itu sendiri.
ciptanya gending juga sangat sulit
dikaren
mwong anom asring tinudi setiap hari bersuka ria, namun tidak lama di Yogyakarta, P
dan juga bersedekah kepada orang yang sering diminta tolong).
Berdasarkan peristiwa atau sejarah yang telah tertulis di atas menunjukkan bahwa
gending atau sekarang lazim disebut dengan istilah seni karawitan
memperlihatkan bahwa kekuasaan raja berwenang atas kepemilikan karya
gending pada saat pemerintahannya. Gending digunakan untuk melukiskan
peristiwa yang dikaitkan dengan situasi dan raja di masa pemerintahannya.
Gending dalam sejarah mempunyai peran sebagai pencatat (dalam bentuk ceritera)
sejarah yang dijadikan pula untuk mengetahui sejarah
Meskipun untuk melacak sejarah ter
akan tidak ada pendokumentasian dengan baik.
Makna Simbolik Nada dalam Gending
Sebagaimana di jaman Barok bahwa nada atau angka banyak
melambangkan simbol demikian juga dalam karawitan, juga memiliki makna
simbol sebagai proses yang berhubungan dengan kehidupan manusia. Istilah
gending digunakan untuk menyebut komposisi musikal dalam gamelan Jawa.
Gending ibaratnya sebuah rumah yang terdiri dari berbagai unsur sehingga
membentuk struktur. Unsur utama adalah balungan atau diartikan sebagai
kerangka gending. Berdasarkan pada balungan dalam gending para pengrawit
(musisi) mampu menginterpretasikan ke dalam sajian gending. Salah satu bagian
dari kerangka adalah nada yang disimbolikkan dengan angka (1,2,3,4,5,6,7).
16 Ibid
-
13
Dalam laras slendro disimbolkan dalam bentuk angka yaitu 1, 2, 3, 5 dan 6 kalau
dibaca atau diucapkan menjadi ji, ro, lu, ma, nem. Berdasarkan dua empu
karawitan yaitu Martapangrawit dan Sinduwarsana, bahwa nada-nada dalam
gamelan khususnya laras slendro penyebutannya mulai dari urutan nada
dikonotasikan dengan istilah organ tubuh manusia. Nada 1 (ji) disebut barang
dikonotasikan dengan kepala manusia, 2 (ro) disebut jangga dikonotasikan dengan
leher m
hidung (pencium), lidah (perasa) terletak pada bagian kepala
manusi
lain seb
bagai jalan,
fora yang bermakna sebagai
Bilah nada lima: memiliki metafora yang bermakna sebagai nafsu atau kecintaan namun pada bukan cinta asmara.
nyura 6 (rasa), 1
(wujud
ta yang dipakai untuk
notasi k
dengan k
anusia, 3 (lu) disebut dhadha sama dengan dada manusia. Nada 5 (lima)
dan 6 (nem) dikonotasikan dengan tangan manusia.
Nada barang yang diwujudkan sebagai kepala manusia memberikan
inspirasi bahwa bagian dari panca indera manusia yaitu telinga (pendengaran),
mata (penglihatan),
a. Seperti diungkapkan oleh Widaryanto mengimplementasikan nada yang
gai berikut:
Bilah nada gulu [leher]: memiliki metafora yang bermakna sekarena fungsinya untuk aliran segala sesuatu dari kepala. Bilah nada dhadha [dada]; memiliki metahidup. Ini karena sumber kehidupan (jantung) berada di dada.
Bilah nada nem memiliki metafora yang bermakna sebagai rasa.17
Apabila tangga nada atau titilaras dalam patet sanga yang terdiri dari 5 6 1 2 3
maka secara simbolis dapat dibaca nafsu adalah wujud jalan hidup (sengseming
rasa awujud dalaning urip). Tangga nada dalam patet Ma
), 3 (hidup), 5 (nafsu) maka dapat dibaca ngrasake wujuding dalan
nguripi sengsem atau wujud jalan itu menghidupkan nafsu.
Sebagai contoh yang lain berikut makna dalam nada-nada karawitan gaya
Sunda: Notasi Daminatila ciptaan RM Angga Kusumadina
arawitan Sunda, da, mi, na, ti, la, mempunyai makna yang berhubungan
ehidupan manusia. Seperti dinyatakan berikut ini:
17 Widaryanto, FX., Evolusi Srimpi Renggawati di Kraton Yogyakarta dari ritus ke
seni Pertunjukan, Jurnal Seni Pertunjukan Indonesia, Jakarta: MSPI bekerja sama dengan Gramedia Widiasmara, 1993:72-74.
-
14
Dari penggabungan dua suku kata ini, dapat diambil beberapa kata kunci yang sangat vital bagi kehidupan manusia. Kata kunci tersebut diantaranya adalah dami (napas). lana, (kekal) nami (nama), dada (jiwa/hati), dan titi (hati-hati). Kata dami (napas sangat berkaitan dengan hidup matinya seseorang. nami (nama) sangat erkaitan dengan identitas seseorang. lana (kekal) sangat berkaitan
kenyataan bahwa karawitan tidak hanya dinikmati dalam sajiannya
(audio Visual) saja. Akan tetapi ada beberapa hal yang menarik di luar bentuk
yaitu ungkapan yang tersirat dalam syair ataupun yang terselubung di
balik n
ih berdiri kokoh
membe
kembang di kalangan
rakyat termasuk dalam estetika kasar, yang barangkali kesenian ini lebih bersifat
bdengan dunia akhirat. dada (jiwa/hati) sangat berkaitan dengan kepribadian. Sedangkan kata titi (hati-hati) sangat berkaitan dengan perilaku.18
Berdasarkan konotasi tersebut jelaslah bahwa notasi yang telah dikonotasikan
dengan organ tubuh manusia memiliki kandungan makna yang sangat dalam
berhubungan hakekat kehidupan manusia. Pengungkapan demikian ini
merupakan
sajiannya
ada.
Penutup
Kehidupan masyarakat jaman barok mempunyai kemiripan dengan
pemerintahan di tanah Jawa khususnya pada masa pemerintahan Sultan Agung
raja Mataram sampai dengan keturunannya. Sampai dengan saat ini kita masih
bisa menyaksikan dua kraton di Yogyakarta dan Surakarta, disamping itu pula ada
Pura Mangkunegaran dan Pura Pakualaman yang mas
rikan kesaksian sejarah pada generasi sekarang. Terkait dengan hal
tersebut gending dalam karawitan dalam proses penciptaannya tidak terlepas dari
sejarah pemerintahan di mana raja sebagai penguasa tertinggi.
Gending atau karawitan sebagai konsep adi luhung atau dalam istilah
estetika halus artinya pengemasan bentuk seni lebih terkunstruksi dengan baik
dikarenakan ini sebagai persembahan atau milik raja. Dan yang menikmati adalah
kaum ningrat atau bangsawan. Sementara kesenian yang ber
18 Heri Herdini. Raden Machjar Angga Kusumadinata: Pikiran, Aktivitas, dan karya-
karyanya dalam Karawitan Sunda Tesis untuk memenuhi sebagaian persyaratan Mancapai derajat Sarjana S-2, Program Pascasarjana UGM Yogyakarta, 2002:139.
-
15
spontan
karang
berkem
gkunegara II karawitan difungsikan untuk memperingatai
ri kelahirannya, dan hal yang lain berfungsi sebagai sarana upacara di
lingkungan keraton.
DAFTAR PUSTAKA
Manuskrip:
Serat Babad Mangkunegaran I, Surakarta: Surakarta: Perpustakaan Reksa Pustaka MS. 223.
Buku Tercetak:
Edmund, P Heri Herdi Kusumadinata: Pikiran, Aktivitas,
dan karya-karyanya dalam Karawitan Sunda Tesis untuk memenuhi
Pascasarjana UGM Yogyakarta.
Prawiraatm : Gunung Agung.
, apa adanya, dan kadang bisa hadir atau tidak hadir dalam kehidupan
masyarakat (tergantung dari situasi kehidupan masyarakat).
Pemerintahan Paku Buwana II dianggap sebagai proses munculnya
karawitan Mangkunegaran, sedangkan pada masa pemerintahan Paku Buwana III
sebagai pertumbuhan karawitan Mangkunegaran, demikian dan seterusnya.
Dengan demikian di Surakarta sampai sekarang memiliki dua gaya seni karawitan
yaitu gaya Surakarta dan Mangkunegaran yang kedua-duanya sampai se
bang secara beriringan di dua wilayah. Meskipun sedikit banyak karawitan
Mangkunegaran mempunyai pengaruh terhadap karawitan gaya Surakarta.
Fungsi karawitan semasa Mas Said dalam masa perjuangan selalu
dipentaskan sehabis mengadakan pertempuran sebagai hiburan sekaligus sebagai
pembangkit semangat para prajurit. Pada waktu kemunculannya di masa
pemerintahanan Man
ha
rier sj, 1993. Sejarah Musik Jilid 2, Yogyakarta: Pusat Musik Liturgi.
ni. 2002. Raden Machjar Angga
sebagaian persyaratan Mancapai derajat Sarjana S-2, Program
odjo, 1992. Bausastra Jawa Indonesia, Jakarta
-
16
al Seni 1997, Th II.
aridi, 2003. Gending Dalam Pandangan Orang Jawa: Makna, Fungsi, dan
idaryanto, FX., 1993. Evolusi Srimpi Renggawati di Kraton Yogyakarta dari
Ritus ke Seni Pertunjukan, Jurnal Seni Pertunjukan Indonesia, Jakarta: MSPI bekerja sama dengan Gramedia Widiasmara.
Sartono Kartodirdjo, 1987. Pengantar Sejarah Indonesia Baru: dari Emporium Sampai Imperium. Jilid I. Jakarta: Gramedia.
Sri Hastanto, 1997. Pendidikan Karawitan: Situasi, Problema dan Angan-angan
Wujudnya, Wiled, Jurn Sumarsam, 2002. Hayatan Gamelan, Kedalaman Lagu, Teori dan perspektif.
Surakarta: STSI Press.
WHubungan Seni, dalam buku Kembang Setaman: Persembahan Untuk Sang Maha Guru. Yogyakarta: BP ISI Yogyakarta.
W
PendahuluanSituasi Politik Sosial Pada Jaman Barok