analisa koefisien limpasan pada persamaan rasional untuk menghitung debit banjir rencana di das...
TRANSCRIPT
8
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
A. Sungai
1. Pengertian Sungai
Suatu alur yang panjang di atas permukaan bumi tempat mengalirnya air
yang berasal dari hujan disebut alur sungai dan perpaduan antara alur sungai
dan aliran air didalamnya disebut sungai (Sosrodarsono, 1984). Sungai
merupakan sistem alur alam, dapat terdiri dari satu atau lebih alur-alur yang
bertemu atau bercabang. Dengan kondisi fisik alami seperti diatas, sungai akan
menjadi terminal dari perjalanan gerakan air di sungai (kuantitas dan kualitas),
beserta interaksinya dengan tampang basah sungai, sangat dipengaruhi oleh
perjalanan menuju ke sungai tersebut.
Sungai mempunyai fungsi mengumpulkan curah hujan dalam suatu
daerah tertentu (DAS = Daerah Aliran Sungai) dan mengalirkannya ke laut.
Apabila intensitas hujan yang jatuh di suatu DAS melebihi kapasitas dari suatu
sungai akan menyebabkan debit sungai meningkat. Apabila debit sungai lebih
besar dari kapasitas sungai untuk mengalirkan debit maka akan terjadi luapan
pada tebing sungai sehingga terjadi banjir. Di DAS bagian hulu dimana
kemiringan lahan dan kemiringan sungai besar, atau disuatu DAS kecil
kenaikan debit banjir dapat terjadi dengan cepat, sementara pada sungai-sungai
besar kenaikan debit terjadi lebih lambat untuk mencapai debit puncak
(Triatmodjo, 2008).
Air yang mengalir dalam saluran atau sungai dapat berasal dari aliran
permukaan atau dari air tanah yang merembes didasar sungai. Kontribusi air
tanah pada aliran sungai disebut aliran dasar (baseflow), sementara total aliran
disebut debit (runoff). Air yang tersimpan di waduk, danau dan sungai disebut
air permukaan (surface water) (Suripin, 2004).
9
2. Perilaku Sungai
Sungai adalah suatu saluran drainase yang terbentuk secara alamiah.
Akan tetapi disamping fungsinya sebagai saluran drainase (alam) dan dengan
adanya air yang mengalir di dalamnya, sungai menggerus tanah dasarnya
secara terus-menerus sepanjang masa exsistensinya dan terbentuklah lembah-
lembah sungai. Volume sedimen yang sangat besar yang dihasilkan dari
keruntuhan tebing-tebing sungai di daerah pegunungan dan tertimbun di dasar
sungai tersebut, terangkut ke hilir oleh aliran sungai. Karena di daerah
pegunungan kemiringan sungainya curam, gaya tarik aliran airnya cukup besar.
Tetapi setelah aliran sungai mencapai dataran, maka gaya tariknya sangat
menurun. Dengan demikian beban yang terdapat dalam arus sungai berangsur-
angsur diendapkan. Karena itu ukuran butiran sedimen yang mengendap di
bagian hulu sungai lebih besar dari pada di bagian hilirnya.
3. Alur Sungai
Suatu alur sungai dapat dibagi menjadi 3 bagian yaitu :
a. Bagian Hulu
Bagian hulu sungai merupakan daerah sumber erosi karena pada umumnya
alur sungai melalui daerah pegunungan, bukit, atau lereng gunung yang
kadang-kadang mempunyai ketinggian yang cukup besar dari muka air laut.
Alur sungai dibagian hulu ini biasanya mempunyai kecepatan yang lebih
besar dari pada bagian hilir.
b. Bagian Tengah
Bagian ini merupakan daerah peralihan dari bagian hulu dan hilir.
Kemiringan dasar sungai lebih landai sehingga kecepatan aliran relatif lebih
kecil dari pada bagian hulu. Bagian ini merupakan daerah keseimbangan
antara proses erosi dan sedimentasi yang sangat bervariasi dari musim ke
musim.
c. Bagian Hilir
Alur sungai dibagian hilir biasanya melalui dataran yang mempunyai
kemiringan dasar sungai yang landai sehingga kecepatan alirannya lambat.
Keadaan ini sangat memudahkan terbentuknya pengendapan atau sedimen.
10
Endapan yang terbentuk biasanya berupa endapan pasir halus, lumpur,
endapan organik, dan jenis endapan lain yang sangat labil.
B. Daerah Aliran Sungai
1. Pengertian Daerah Aliran Sungai
Daerah aliran sungai adalah suatu wilayah daratan yang secara topografik
dibatasi oleh punggung-punggung gunung yang menampung dan menyimpan
air hujan untuk kemudian menyalurkannya ke laut melalui sungai utama
(Asdak, 2002). Dengan demikian, DAS dapat dipandang sebagai suatu unit
kesatuan wilayah tempat air hujan mengumpul ke sungai menjadi aliran sungai.
Garis batas antara DAS adalah punggung permukaan bumi yang dapat
memisahkan dan membagi air hujan menjadi aliran permukaan di masing-
masing DAS. Wilayah daratan tersebut dinamakan daerah tangkapan air
(catchment area) yang merupakan suatu ekosistem dengan unsur utamanya
terdiri atas sumber daya alam (tanah, air, dan vegetasi) dan sumber daya
manusia sebagai pemanfaat sumber daya alam.
2. Bentuk Daerah Aliran Sungai
Sifat-sifat sungai sangat dipengaruhi oleh luas dan bentuk daerah
alirannya. Bentuk suatu daerah aliran sungai sangat berpengaruh terhadap
kecepatan terpusatnya air. Secara umum bentuk daerah aliran sungai dibedakan
menjadi 4 macam (Sosrodarsono, 1976) :
a. Daerah aliran radial
Daerah aliran radial adalah daerah aliran sungai yang berbentuk seperti
kipas atau lingkaran dimana anak-anak sungainya mengkonsentrasi di suatu
titik secara radial. Daerah aliran sungai yang demikian mempunyai banjir
yang besar di dekat titik pada pertemuan anak-anak sungai.
b. Daerah aliran sejajar (pararel)
Bentuk ini mempunyai corak dimana dua jalur daerah aliran bersatu di
bagian hilir Banjir itu terjadi di sebelah hilir titik pertemuan sungai-sungai
c. Daerah aliran kompleks
Dalam keadaan yang sesungguhnya kebanyakan sungai-sungai tidaklah
11
sesederhana sebagaimana uraian diatas, akan tetapi merupakan perpaduan
dari ketiga tipe tersebut. Daerah aliran yang demikian dinamakan daerah
aliran kompeks.
d. Daerah aliran bulu burung (memanjang)
Jalur daerah di kiri kanan sungai utama dimana anak-anak sungai mengalir
ke sungai utama dengan jarak tertentu disebut daerah aliran bulu burung.
Daerah aliran yang demikian mempunyai debit banjir yang kecil, oleh
karena waktu tiba banjir dari anak-anak sungai itu berbeda-beda. Sebaliknya
banjir berlangsung agak lama.
Gambar 3.1. Bentuk-bentuk DAS, (a) Bentuk Radial, (b) Bentuk Pararel, (c) Bentuk Kompleks (d) Bentuk Bulu Burung (Sumber : Sosrodarsono, 1976)
C. Curah Hujan
Presipitasi merupakan istilah umum yang digunakan untuk menyatakan
uap air yang mengkondensasi dan jatuh dari atmosfir ke bumi dalam segala
bentuknya dalam rangkaian siklus hidrologi. Jika air yang jatuh berbentuk cair
disebut hujan (rainfall) dan jika berupa padat disebut salju (snow) (Suripin, 2004).
Hujan berasal dari uap air yang berada di atmosfir, sehingga bentuk dan
jumlahnya dipengaruhi oleh faktor klimatologi seperti angin, temperatur dan
tekanan atmosfir. Uap tersebut akan naik ke atmosfer sehingga mendingin dan
terjadi kondensasi menjadi butir-butir air dan kristal-kristal es yang akhirnya jatuh
sebagai hujan.
12
Hujan merupakan sumber dari semua air yang mengalir di sungai. Jumlah
dan variasi debit sungai tergantung pada jumlah, intensitas dan distribusi hujan.
Terdapat hubungan antara debit sungai dan curah hujan yang jatuh pada suatu
DAS. Sifat umum hujan adalah makin singkat hujan berlangsung maka
intensitasnya cenderung makin tinggi dan makin besar periode ulangnya makin
tinggi pula intensitasnya (Triatmodjo, 2008).
Hujan merupakan faktor terpenting dalam analisis hidrologi. Karakteristik
hujan yang perlu ditinjau dalam analisis dan perencanaan hidrologi meliputi
(Suripin, 2004) :
1. Intensitas (i) adalah laju hujan atau sama dengan tinggi air per satuan waktu,
misalnya mm/menit, mm/jam, atau mm/hari.
2. Lama waktu (duration, t) adalah lamanya waktu yang dibutuhkan pada saat
hujan turun yang dinyatakan dalam menit atau jam.
3. Tinggi hujan (d) adalah jumlah atau banyaknya hujan yang terjadi selama
durasi hujan dan dinyatakan dalam ketebalan air di atas permukaan datar,
dalam mm.
4. Frekuensi adalah frekuensi kejadian dan biasanya dinyatakan dengan kala
ulang (return period, T), misalnya sekali dalam 2 tahun (T = 2).
5. Luas adalah luas geografis daerah sebaran hujan.
D. Analisa Hidrologi
1. Uji Abnormalitas
Dari hasil perhitungan curah hujan daerah harian maksimum, maka data
yang diperoleh perlu diuji untuk mengetahui adanya data curah hujan yang
abnormal. Data yang di uji dalam uji abnormalitas adalah data curah hujan
yang terbesar dan yang terkecil.
Uji tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan rumus Iway
(Sosrodarsono, 1983), sebagai berikut :
Log (Xε + b) = Log ( Xo + b) ± γε Sx ..................................................... (1)
Adapun prosedur perhitungannya adalah sebagai berikut :
13
a. Data curah hujan daerah harian maksimum yang ada dirangking dari kecil
ke besar, singkirkan nilai terkecil dan terbesar kemudian dilogaritmakan.
b. Menghitung Xo, dengan persamaan :
n
LogXLogX
n
ii
o
∑== 1 ................................................................................ (2)
c. Menghitung harga b, dengan persamaan :
m
bb
n
ii∑
== 1 .......... ............................................................................. (3)
( )tso
otsi XXX
XXXb
+−−
=2
. 2
............................................................................. (4)
10nm = ; angka bulat (dibulatkan ke angka yang terdekat) ................... (5)
d. Menghitung Xo, dengan persamaan :
( )bXLogX oo += ..................................................................................... (6)
( )
n
bXLogn
ii∑
=
+= 1 ................................................................................ (7)
e. Menghitung X2, dengan persamaan :
( )[ ]
n
bXLogX
n
ii∑
=
+= 1
2
2 ........................................................................ (8)
f. Menghitung derajat standar deviasi (Sx) dengan persamaan :
( )22ox XXS −= .................................................................................... (9)
g. Menentukan harga batas untuk penyingkiran (εo) :
εo = 1 – (1 – βo)1/n ............................................................................ (10)
h. Menentukan laju abnormalitas (ε)
Cara perhitungan harga abnormal didasarkan pada nilai γε yang diperoleh
untuk abnormal (Xε) yang diperiksa, kemudian membandingkan laju
abnormalitas (ε) dengan harga batas untuk penyingkiran (εo). Jika Laju
14
abnormalitas (ε) dari harga yang diperiksa (Xε) tidak lebih kecil dari harga
batas untuk penyingkiran (εo), maka harga yang diperiksa (Xε) tidak dapat
disingkirkan.
Keterangan :
Xo = data curah hujan daerah harian maksimum setelah
dirangking (mm)
n = jumlah data yang digolongkan
Xε = data curah hujan yang diuji (mm)
βo = laju resiko (1% - 5%), biasanya diambil 5%
Sx = derajat standar deviasi
γε = laju abnormalitas
εo = harga batas untuk penyingkiran
ε = laju abnormalitas
Xs = data terbesar
Xt = data terkecil
b = harga limit bawah (untuk harga b yang kecil maka untuk
mempermudah perhitungan dapat diambil b = 0).
2. Curah Hujan Rancangan
Curah hujan rancangan adalah curah hujan yang terjadi pada suatu daerah
dengan periode ulang tertentu. Dalam perhitungan curah hujan rancangan
digunakan analisis frekuensi, akan tetapi sebelum menggunakannya perlu
dikaji parameter statistik yang berkaitan dengan analisis frekuensi. Adapun
pengujian parameter statistik analisis frekuensi adalah sebagai berikut
(Soewarno, 1995) :
a. Menghitung parameter statistik Cs, Cv, Ck untuk menentukan pemilihan
agihan frekuensi. Syarat untuk EJ. Gumbell, Ck = 5,40 dan Cs = 1,14, Log
Pearson III harga Cs dan Cvnya bebas, dan untuk Log Normal Cs = 0,00. b. Setelah diketahui agihan frekuensinya, maka sebaran data dapat diuji
dengan metode Chi-Square dan metode Smirnov Kolmogorof Test.
15
3. Pemilihan Agihan Frekuensi
Adapun langkah-langkah dalam pemilihan agihan frekuensi adalah
(Subarkah, 1980):
1. Menghitung curah hujan maksimum rerata dengan persamaan :
∑=
=n
iio X
nX
1
1 ....................................................................................... (11)
2. Menghitung simpangan baku, dengan persamaan :
( )
11
2
−
−=∑=
n
XXS
n
ioi
x .............................................................................. (12)
3. Menghitung parameter statistik yang meliputi koefisien
skewness/penyimpangan (Cs), koefisien varians (Cv) dan koefisien kurtosis
(Ck) dengan persamaan :
( )
( )( ) 31
3
21 x
n
ioi
s Snn
XXnC
−−
−=∑= ............................................................................ (13)
( )
( )( )( ) 31
42
321 x
n
ioi
k Snnn
XXnC
−−−
−=
∑= .................................................................... (14)
o
xv X
SC = ......................................................................................... .... (15)
4. Berdasarkan harga Cs, Ck dan Cv yang diperoleh maka dapat ditentukan
agihan frekuensi yang akan digunakan.
Keterangan :
Xi = curah hujan (mm)
Xo = curah hujan rata-rata (mm)
n = jumlah data
Sx = standar deviasi
Cs = koefisien skewnes/ penyimpangan
Cv = koefisisen varians
Ck = koefisien kurtoris
16
4. Pengujian Kesesuaian Distribusi Frekuensi
Setelah diketahui jenis distribusi frekuensi yang dipilih, maka perlu
dilakukan pengujian parameter untuk menguji kecocokan (the goodness of fit
test) distribusi frekuensi sampel data terhadap fungsi distribusi peluang yang
diperkirakan dapat mewakili distribusi frekuensi tersebut. Pengujian parameter
yang sering digunakan adalah Chi Square Test dan Smirnov Kolmogorov Test
(Suripin, 2004).
Umumnya pengujian dilakukan dengan cara menggambarkan data pada
kertas peluang dan menentukan apakah data tersebut merupakan garis lurus
(plotting data dari hasil pengamatan pada kertas probabilitas Gumbell atau Log
Person III. Adapun tahapan pemeriksaan tersebut adalah sebagai berikut :
a. Data curah hujan harian maksimum tiap tahun dirangking dari kecil ke besar
atau sebaliknya.
b. Hitung peluang dengan persamaan Weibull :
( )1100
+=
nmP ........................................................................... (16)
dimana :
P = probabilitas (%)
m = nomor urut data
n = banyak data
c. Plot data curah hujan versus peluang
d. Plot persamaan Gumbell atau Log Person III (sesuai sebarannya), maka
dengan mengambil dua besaran dapat ditarik sesuai garis durasi.
Untuk selanjutnya dapat dilakukan pemeriksaan uji kesesuaian distribusi
frekuensi, sebagai berikut (Soewarno, 1995) :
a. Uji Chi - Square (X2) Test
Uji chi square dimaksudkan untuk menentukan apakah persamaan
distribusi peluang yang telah dipilih dapat mewakili dari distribusi statistik
sampel data yang dianalisis. Pengambilan keputusan uji ini menggunakan
parameter X2. Parameter X2 dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut :
17
( )Ef
OfEfK
ihX2
1
2 −∑==
.............................................................................(17)
K= 1 + 3,322 x log n ...............................................................................(18)
Derajat Bebas (Number of degrees Freedom) = K – h – 1 ......................(19)
Ef = Banyaknya Data
Jumlah Kelas ....................................................................(20)
dimana :
X²h = Harga chi square hasil hitungan
Of = Nilai yang diamati (nilai teoritis)
Ef = Nilai yang diharapkan
K = Jumlah Kelas
n = p = probabilitas = 99,9 %
h = Jumlah parameter = 2 (nilai h = 2, untuk distribusi normal dan
binomial, dan nilai h = 1 untuk distribusi poisson).
Taraf Signifikan (α) = 10 %
18
Tabel 3.1. Hubungan antara Derajat Nyata (α) dengan Derajat
Kebebasan (dk) untuk Uji Chi Square Derajat Derajat nyata (level of significance, α)
Kebebasan 0,200 0,100 0,050 0,010 0,001
(dk)
1 1,642 2,706 3,841 6,635 10,827
2 3,219 4,605 5,991 9,210 13,815
3 4,642 6,251 7,815 11,345 16,268
4 5,989 7,779 9,488 13,277 18,465
5 7,289 9,236 11,070 15,086 20,517
6 8,558 10,645 12,592 16,812 22,457
7 9,803 12,017 14,067 18,475 24,322
8 11,030 13,362 15,507 20,090 26,425
9 12,242 14,684 16,919 21,666 27,877
10 13,442 15,987 18,307 23,209 29,588
11 14,631 17,275 19,675 24,725 31,264
12 15,812 18,549 21,026 26,217 32,909
13 16,985 19,812 22,362 27,688 34,528
14 18,151 21,064 23,685 29,141 36,123
15 19,311 22,307 24,996 30,578 37,697
16 20,465 23,542 26,296 32,000 39,252
17 21,615 24,769 27,587 33,409 40,790
18 22,760 25,989 28,869 34,805 42,312
19 23,900 27,204 30,144 36,191 43,820
20 25,038 28,412 31,410 37,566 45,315
21 26,171 29,615 32,671 38,932 46,797
22 27,301 30,615 33,924 40,289 48,268
23 28,429 32,007 35,172 41,638 49,728
24 29,553 33,196 36,415 42,980 51,179
25 30,675 34,382 37,652 44,314 52,620
26 31,795 35,563 38,885 45,642 54,052
27 32,912 36,741 40,113 46,963 55,476
28 34,027 37,916 41,337 48,278 56,893
29 35,139 39,087 42,557 49,588 58,302
30 36,250 40,256 43,773 50,892 59,703
Sumber : Soewarno, 1995
19
Interpretasi hasil dari uji chi square adalah :
1) Apabila peluang lebih besar dari 5%, maka persamaan distribusi teoritis
yang digunakan dapat diterima.
2) Apabila peluang lebih kecil 1%, maka persamaan distribusi teoritis
yang digunakan tidak dapat diterima.
3) Apabila peluang berada diantara 1 - 5% adalah tidak mungkin
mengambil keputusan, misal perlu penambahan data.
b. Uji Smirnov Kolmogorov
Dengan membandingkan kemungkinan (probability) untuk setiap
variasi dan distribusi empiris dan teoritis, sehingga diperoleh perbedaan (Δ)
tertentu. Plotting data sama dengan langkah-langkah plotting pada uji chi
square, dengan persamaan smirnov kolmogorov :
(Pmax | Pe –Pt | ) < ΔCr, α ..................................................................... (21)
Apabila harga Δmax yang terbaca pada kertas peluang < A Cr yang
diperoleh dari tabel Δ kritis untuk suatu derajat signifikan (α), maka dapat
disimpulkan bahwa distribusi frekuensi yang dipilih dapat digunakan.
Tabel 3.2. Harga Kritis (Cr) untuk Smirnov Kolmogorov
n α
0,20 0,10 0,05 0,01
5 0,45 0,51 0,56 0,67
10 0,32 0,37 0,41 0,49
15 0,27 0,30 0,34 0,40
20 0,23 0,26 0,29 0,36
25 0,21 0,24 0,27 0,32
30 0,19 0,22 0,24 0,29
35 0,18 0,20 0,23 0,27
40 0,17 0,19 0,21 0,25
45 0,18 0,18 0,20 0,24
50 0,15 0,17 0,19 0,23
n > 50
Sumber : Soewarno, 1995 n07.1
n22.1
n36.1
n63.1
20
Pada umumnya taraf signifiksi atau derajat nyata (α) diambil sebesar
5% dengan asumsi bahwa 5 dari 100 kesimpulan kita akan menolak hipotesa
yang seharusnya kita terima atau kira-kira 95% konfiden bahwa kita telah
membuat kesimpulan yang benar.
E. Analisa Debit Banjir Rancangan Menggunakan Data Curah Hujan
dengan Persamaan Rasional
Persamaan yang umum digunakan untuk memperkirakan laju aliran
puncak (debit banjir atau debit rencana) yaitu persamaan Rasional USSCS
(1973). Metode ini digunakan untuk daerah yang luas pengalirannya kurang
dari 300 ha (Goldman et.al., 1986).
Persamaan Rasional adalah salah satu dari metode tertua dan awalnya
digunakan hanya untuk memperkirakan debit puncak (peak discharge)
(Wanielista, 1990). Persamaan Rasional dikembangkan berdasarkan asumsi
bahwa curah hujan yang terjadi mempunyai intensitas seragam dan merata di
seluruh daerah pengaliran selama paling sedikit sama dengan waktu
konsentrasi (tc) (Suripin, 2004). Persamaan matematik persamaan Rasional
adalah sebagai berikut :
Q = 0,278.C.I.A ............................................................................ (22)
Keterangan :
Q = Debit banjir puncak (m3/detik)
C = Koefisien limpasan
I = Intensitas curah hujan rata-rata selama waktu kosentrasi (mm/jam)
A = Luas daerah pengaliran sungai (km2)
Beberapa hal yang membatasi persamaan Rasional antara lain :
1. Debit puncak banjir untuk intensitas hujan tertentu akan maksimum bila
durasi hujan tersebut lebih lama dari waktu kosentrasi;
2. Periode ulang banjir sama dengan periode ulang hujan (kenyataan di
lapangan belum tentu), untuk itu hanya disarankan digunakan untuk
DAS kecil agar periode ulang banjir sama dengan periode ulang hujan;
3. Koefisien aliran dianggap sama untuk berbagai frekuensi hujan;
21
4. Hanya dapat dihitung nilai debit puncaknya saja, volume dan waktu
lamanya hidrograf banjir naik dan turun tidak dapat ditentukan.
Untuk menghitung debit banjir rancangan dengan persamaan Rasional
terlebih dahulu harus ditentukan :
a. Waktu Tiba Banjir (Tc)
b. Intensitas Hujan (I)
c. Koefisien Pengaliran (C)
1. Waktu Tiba Banjir (Tc)
Waktu tiba banjir adalah selang waktu antara permulaan hujan dan saat
pada seluruh areal daerah aliran ikut berperan pada pengaliran sungai atau
waktu yang diperlukan oleh hujan yang jatuh di titik terjauh dari daerah
pengaliran untuk mencapai titik yang ditinjau.
Beberapa rumus yang digunakan untuk menghitug waktu tiba banjir
adalah :
1. Rumus Bayern
Tc = L/W .............................................................................(23)
W = 72 . (H/L)0,6 (km/jam) .........................................(24)
W = 20. (H/L)0,6 (m/det) .........................................(25)
2. Persamaan Bransby – Williams
Tc = 0,975 . L / (A0,1 . i0,2) (jam) ...............................(26)
3. Persamaan Mc Dermot
Tc = 0,76 . A 0.38 (jam) ................................................................(27)
4. Persamaan Kirpich (1940)
Tc = ((0,87 x L2) / (1000 x S))0,385 ...............................................(28)
Keterangan :
Tc = Waktu tiba banjir (jam)
H = Beda tinggi antara titik yang ditinjau dengan titik yang terjauh dari
alur sungai (m)
22
L = Panjang alur sungai dari titik yang terjauh sampai titik yang ditinjau
(km)
W = Kecepatan rambat banjir (km/jam)
A = Luas daerah pengaliran (km2)
S = Kemiringan dasar sungai rata-rata
2. Intensitas Hujan
Perhitungan debit banjir dengan metode Rasional memerlukan data
intensitas curah hujan. Intensitas curah hujan adalah ketinggian curah hujan
yang terjadi pada suatu kurun waktu di mana air tersebut terkonsentrasi
(Loebis, 1992). Intensitas curah hujan dinotasikan dengan huruf I dengan
satuan mm/jam.
Durasi adalah lamanya suatu kejadian hujan. Intensitas hujan yang
tinggi pada umumnya berlangsung dengan durasi pendek dan meliputi daerah
yang tidak sangat luas. Hujan yang meliputi daerah luas, jarang sekali dengan
intensitas tinggi, tetapi dapat berlangsung dengan durasi cukup panjang.
Kombinasi dari intensitas hujan yang tinggi dengan durasi panjang jarang
terjadi, tetapi apabila terjadi berarti sejumlah besar volume air bagaikan
ditumpahkan dari langit (Sudjarwadi, 1987). Menurut Loebis (1992)
intensitas hujan (mm/jam) dapat diturunkan dari data curah hujan harian
(mm) empirik menggunakan metode mononobe sebagai berikut :
I = �R2424� �24
T�
2/3............................................................................... (29)
Dengan :
I = Intensitas hujan untuk lama hujan t (mm/jam)
R24 = Curah hujan (mm/hari)
T = Lamanya curah hujan (jam)
Pada persamaan ini hujan harian maksimum yang digunakan dalam hujan
rancangan berdasarkan kala ulang tertentu yang diperoleh dari metode
23
distribusi data, dengan demikian intensitas hujan didapat juga berdasarkan
kala ulang tertentu.
3. Koefisien Pengaliran (C)
Koefisien pengaliran adalah persentase jumlah air yang dapat melimpas
melalui permukaan tanah dari keseluruhan air hujan yang jatuh pada suatu
daerah (Eripin, 2005). Semakin kedap suatu permukaan tanah, maka semakin
tinggi nilai koefisien pengalirannya. Harga koefisien aliran berbeda – beda
dan sulit ditentukan secara tepat. Faktor-faktor yang mempengaruhi nilai
koefisien limpasan adalah : kondisi tanah, laju infiltrasi, kemiringan lahan,
tanaman penutup tanah dan intensitas hujan.
Faktor ini merupakan variabel yang paling menentukan hasil
perhitungan debit banjir. Pemilihan harga C yang tepat memerlukan
pengalaman hidrologi yang luas. Nilai C berkisar antara 0 – 1. Nilai C = 0
menunjukkan bahwa semua air hujan terintersepsi dan terinfiltrasi ke dalam
tanah, sebaliknya untuk nilai C = 1 menunjukkan bahwa air hujan mengalir
sebagai aliran permukaan. Pada DAS yang baik harga C mendekati nol dan
semakin rusak suatu DAS maka harga C semakin mendekati satu (Kodoatie
dan Syarief, 2005).
Faktor utama yang mempengaruhi C adalah laju infiltrasi tanah atau
prosentase lahan kedap air, kemiringan lahan, tanaman penutup tanah, dan
intensitas hujan. Harga C berubah dari waktu ke waktu sesuai dengan
perubahan pada faktor-faktor yang bersangkutan dengan aliran permukaan di
dalam sungai, terutama kelembaban tanah. Koefisien limpasan (C), dapat
diperkirakan dengan meninjau tata guna lahan.
Harga C berubah – ubah dari waktu ke waktu sesuai dengan perubahan
dari faktor – faktor yang bersangkutan dengan aliran permukaan di dalam
sungai, seperti :
1. Tipe hujan,
2. Intensitas hujan dan lama waktu hujan,
3. Topografi dan geologi,
4. Keadaan tumbuh-tumbuhan,
24
5. Perubahan-perubahan karena pekerjaan manusia, dan lain – lain.
Jika DAS terdiri dari berbagai macam penggunaan lahan dengan
koefisien aliran permukaan yang berbeda, maka C yang dipakai adalah
koefisien DAS yang dapat dihitung dengan persamaan berikut (Suripin,
2004):
AiAiCiC
n
i
.1=∑=
............................................................................................. (30)
dimana :
Ai = Luas lahan dengan jenis penutup tanah i
Ci = Koefisien aliran permukaan jenis penutup tanah i
n = Jumlah jenis penutup lahan.
Tabel 3.3. Nilai Koefisien Aliran Untuk Berbagai Penggunaan Lahan
Penggunaan Lahan atau Bentuk
Struktur Nilai C (%)
Hutan Tropis < 3
Hutan Produksi 5
Semak Belukar 7
Sawah-sawah 15
Daerah Pertanian, Perkebunan 40
Daerah Permukiman 70
Jalan Aspal 95
Bangunan Padat 70 - 90
Bangunan Terpencar 30 - 70
Atap Rumah 70 - 90
Jalan Tanah 13 - 50
Lapis Keras Kerikil Batu Pecah 35 - 70
Lapis Keras Beton 70 - 90
Taman, Halaman 5 - 25
Tanah Lapang 10 - 30
Kebun, Ladang 0 - 20
Sumber : Soewarno, 2000
25
Tabel 3.4. Koefisien Pengaliran Untuk Penggunaan Secara Umum
Tipe Daerah Aliran Jenis Tanah Harga C
Perumputan Tanah pasir, datar, 2 % 0,05 - 0,10
Tanah pasir, rata-rata 2 - 7 % 0,10 - 015
Tanah pasir, curam, 7 % 0,15 - 0,20
Tanah gemuk, datar, 2 % 0,13 - 0,17
Tanah gemuk, rata-rata 2 - 7 % 0,18 - 0,22
Tanah gemuk, curam 7 % 0,25 - 0,35
Business Daerah kota lama 0,75 - 0,95
Daerah pinggiran 0,50 - 070
Perumahan Daerah "Single Family" 0,30 - 0,50
"Multi Units", terpisah-pisah 0,40 - 0,60
"Multi Units", tertutup 0,60 - 0,75
"Suburban" 0,25 - 0,40
Daerah rumah-rumah apartemen 0,50 - 0,70
Industri Daerah ringan 0,50 - 0,80
Daerah berat 0,60 - 0,90
Jalan Beraspal 0,70 - 0,95
Beton 0,80 - 0,95
Batu 0,70 - 0,85
Pertamanan, kuburan 0,10 - 0,25
Tempat bermain 0,20 - 0,35
Halaman kereta api 0,20 - 0,40
Daerah yang tidak dikerjakan 0,10 - 0,30
Untuk berjalan dan naik kuda 0,75 - 0,85
Atap 0,75 - 0,95
Sumber : Subarkah, 1980
26
Tabel 3.5. Koefisien Limpasan Berdasarkan Fungsi Lahan
Tata Guna Lahan Karakteristik Koefisien
Limpasan (C)
Pusat bisnis dan perbelanjaan - 0,90
Industri Penuh 0,80
Perumahan kepadatan sedang -tinggi 20 rumah /Ha 0,48
30 rumah /Ha 0,55
40 rumah /Ha 0,65
60 rumah /Ha 0,75
Sawah - 0,15
Kolam Daerah datar 0,20
Kebun campuran - 0,10
Sumber : Haryono, 1999.
Tabel 3.6. Nilai Faktor Pengelolaan Tanaman (C)
No. Macam Penggunaan Lahan Nilai Faktor C
1 Tanah terbuka/tanpa tanaman 1,00
2 Sawah 0,01
3 Tegalan 0,70
4 Ubikayu 0,80
5 Jagung 0,70
6 Kedelai 0,399
7 Kentang 0,40
8 Kacang tanah 0,20
9 Padi 0,561
10 Tebu 0,20
11 Pisang 0,60
12 Akar wangi (sereh wangi) 0,40
13 Rumput bede (tahun pertama) 0,287
14 Rumput bede (tahun kedua) 0,002
27
15 Kopi dengan penutup tanah buruk 0,20
16 Talas 0,85
17 Kebun campuran 0,10
18 Kerapatan sedang 0,20
19 Kerapatan rendah 0,50
20 Perladangan 0,40
21 Hutan alam: serasah banyak 0,001
22 Serasah kurang 0,005
23 Hutan produksi: tebang habis 0,50
24 Tebang pilih 0,20
25 Semak belukar/padang rumput 0,30
26 Ubi kayu + kedelai 0,181
27 Ubi kayu + kacang tanah 0,195
28 Padi - Sorgum 0,345
29 Padi - Kedelai 0,417
30 Kacang tanah + gude (tanaman polongan) 0,495
31 Kacang tanah + kacang tunggak 0,571
32 Kacang tanah + mulsa jerami 4 ton/ha 0,049
33 Padi + mulsa jerami 4 ton/ha 0,096
34 Kacang tanah + mulsa jagung 4 ton/ha 0,128
35 Kacang tanah + mulsa kacang tunggak 0,259
36 Kacang tanah + mulsa jerami 2 ton/ha 0,377
37 Pola tanam tumpang gilir + mulsa jerami 0,079
38 Pola tanam berurutan + mulsa sisa tanaman 0,357
39 Alang-alang murni subur 0,001
Sumber : Kironoto, 2003
28
Tabel 3.7. Harga Koefisien Limpasan (C)
Penutupan Lahan Harga C
Hutan Lahan Kering Sekunder 0,03
Belukar 0,07
Hutan Primer 0,02
Hutan Tanaman Industri 0,05
Hutan Rawa Sekunder 0,15
Perkebunan 0,4
Pertanian Lahan Kering 0,1
Pertanian Lahan Kering Campur Semak 0,1
Pemukiman 0,6
Sawah 0,15
Tambak 0,05
Terbuka 0,2
Perairan 0,05
Sumber : Kodoatie dan Syarief, 2005
F. Pengukuran Debit Sungai
Data debit diperlukan dalam studi-studi untuk menentukan volume aliran
atau perubahan-perubahannya yang diakibatkan oleh bangunan-bangunan yang
dibuat di sungai oleh manusia. Karena besarnya debit sama dengan luas
penampang basah dikalikan kecepatan arus maka pengukurannya diarahkan pada
kedua faktor tersebut (Soemarto, 1995) :
1. Pengukur Duga Air
Karena sulitnya untuk mengukur debit, maka data primer yang dapat
dikumpulkan di pos pengukur debit adalah duga air. Cara yang paling
sederhana untuk mengukur duga air adalah dengan menggunakan rambu duga
air (staff gauge), yang merupakan skala yang dipasang sedemikian rupa
sehingga ada bagian yang selalu tenggelam dalam air. Rambu tersebut terdiri
dari skala vertikal tunggal yang ditempelkan pada pilar jembatan, di tiang
29
pancang, tembok penahan tanah atau konstruksi lain yang mencapai palung
aliran kecil (low water channel) sungai. Jika tidak terdapat konstruksi atau
bangunan yang dapat digunakan untuk menempelkan rambu duga air pada
segala kedalaman, maka dipasang rambu duga air seksional (sectional staff
gauge). Potongan-potongan rambu dipasang pada bangunan yang ada atau pada
konsstruksi khusus yang dibuat sedemikian rupa sehingga setiap potongan
rambu tersebut dapat dibaca atau diamati.
2. Pencatat Duga Air Otomatis (Automatic Water Level Recorder)
Pencatat duga air otomatis (Automatic Water Level Recorder) memiliki
pelampung yang bergerak akibat perubahan permukaan air sungai yang dicatat
di atas suatu grafik. Alat ini ditempatkan di dalam suatu shelter. Pelampungnya
ditempatkan di dalam pipa casing yang dihubungkan dengan pipa intake ke
sungai agar tidak terganggu oleh benda-benda asing.
3. Pengukur Debit
Salah satu cara yang dapat digunakan dalam mengukur debit sungai yaitu
dengan mengukur kecepatan arus dapat dilakukan dengan menggunakan
pelampung atau alat pengukur kecepatan (current meter). Jika digunakan alat
pelampung, pengukur kecepatan arus dapat dilakukan dengan mudah meskipun
permukaan air sungai tinggi. Tempat yang dipilih untuk keperluan ini
merupakan bagian sungai yang lurus dengan perubahan lebar, kedalaman dan
gradient sungai yang kecil. Tiang-tiang pengamatan dipancangkan di dua titik
yang berjarak 50 - 100 m. waktu tempuh pelampung di antara dua buah garis
pengamatan diukur dengan stopwatch.
Setelah itu, debit dapat dihitung dengan cara mengalikan kecepatan dengan
luas penampang basah sungai.
30
G. Analisa Debit Banjir Rancangan Menggunakan Data Debit Sungai dengan
Metode Distribusi Frekuensi
Masalah banjir sangat berkaitan erat dengan kemanan bangunan-bangunan
persungaian, seperti bendung, bendungan, tanggul dan sebagainya. Pada musim
penghujan debit sungai akan melimpah, sehingga perlu dilakukan suatu analisis
untuk memperhitungkan keamanan bangunan persungaian serta kehidupan dan
fasilitas lain yang dapat terancam keselamatannya (Triatmodjo, 2008).
Tujuan dari analisis frekuensi data debit sungai guna mencari hubungan
antara besarnya kejadian ekstrim (banjir) terhadap frekuensi kejadian dengan
menggunakan distribusi probabilitas. Besarnya kejadian ekstrim (banjir)
mempunyai hubungan terbalik dengan probabilitas kejadian debit sungai,
misalnya frekuensi kejadian debit banjir bandang (sangat besar) adalah lebih kecil
dibanding dengan debit-debit sedang atau kecil. Dengan analisis frekuensi
(distribusi frekuensi) menggunakan data debit sungai maksimum tahunan, yaitu
data terbesar yang terjadi selama satu tahun yang terukur selama beberapa tahun,
dapat diperkirakan besarnya banjir dengan interval kejadian tertentu , seperti 10
tahunan, 100 tahunan, dan frekuensi banjir dengan besar tertentu yang mungkin
terjadi selama suatu periode tertentu (Suripin, 2004).
Dalam ilmu statistik dikenal beberapa macam distribusi frekuensi dan
empat jenis distribusi yang banyak digunakan dalam bidang hidrologi adalah
(Suripin, 2004) :
1. Distribusi Normal
Distribusi normal atau kurva normal adalah simetris terhadap sumbu
vertikal dan fungsi densitas peluang normal (PDF = probability density
function) yang paling dikenal adalah berbentuk lonceng yang disebut pula
distribusi Gauss. Distribusi normal mempunyai dua parameter yaitu rerata µ
dan deviasi standar σ dari populasi . Dalam praktek, X dan deviasi S
diturunkan dari data sampel untuk menggantikan µ dan σ. Fungsi distribusi
normal mempunyai bentuk sebagai berikut :
31
( ) ( )
−−= 2
2
2exp
21
SXX
SXp
π∞≤≤∞− X ................................... (31)
dengan :
p(X) = fungsi densitas peluang normal (probabilitas kontinyu)
X = variable acak kontinyu
X = rata-rata nilai X
S = simpangan baku dari nilai X
Dalam pemakaian praktis, umumnya rumus tersebut tidak digunakan
secara langsung karena telah dibuat tabel untuk keperluan perhitungan dan
persamaan umum yang sering digunakan adalah :
SKXX ToT += ............................................................................... (32)
dimana :
SXX
K oTT
−=
................................................................................. (33)
dengan :
XT = perkiraan nilai yang diharapkan terjadinya dengan periode ulang T
tahunan
oX = nilai rata-rata hitungan variat
S = deviasi standar nilai variat
KT = faktor frekuensi, merupakan fungsi dari peluang atau periode ulang dan
tipe model matematik distribusi peluang yang digunakan untuk analisis
peluang
Nilai faktor frekuensi KT umumnya tersedia dalam tabel untuk
mempermudah perhitungan, seperti ditunjukkan dalam tabel 3.8 yang umum
disebut sebagai tabel nilai variable reduksi Gauss (variable reduced Gauss).
32
Tabel 3.8. Nilai Variabel Reduksi Gauss
No. Periode ulang, T
Peluang KT (tahun)
1 1,001 0,999 -3,050
2 1,005 0,995 -2,580
3 1,010 0,990 -2,330
4 1,050 0,950 -1,640
5 1,110 0,900 -1,280
6 1,250 0,800 -0,840
7 1,330 0,750 -0,670
8 1,430 0,700 -0,520
9 1,670 0,600 -0,250
10 2,000 0,500 0,000
11 2,500 0,400 0,250
12 3,330 0,300 0,520
13 4,000 0,250 0,670
14 5,000 0,200 0,840
15 10,000 0,100 1,280
16 20,000 0,050 1,640
17 50,000 0,020 2,050
18 100,000 0,010 2,330
19 200,000 0,005 2,580
20 500,000 0,002 2,880
21 1.000,000 0,001 3,090
Sumber : Suripin, 2004
2. Distribusi Log Normal
Distribusi log normal digunakan apabila nilai-nilai dari variabel random
tidak mengikuti distribusi normal, tetapi nilai logaritmanya memenuhi
distribusi normal. Jika variabel acak Y = log X terdistribusi secara normal,
maka X dikatakan mengikuti distribusi log normal. Fungsi densitas
probabilitas (PDF = probability density function) untuk distribusi log normal
33
dapat dituliskan dalam bentuk rata-rata dan simpangan bakunya, sebagai
berikut :
( ) ( )
−−= 2
2
2exp
21
SYY
YSXP
π 0X ............................................. (34)
dengan :
P(X) = peluang log normal
X = nilai variat pengamatan
Y = log X
Y = rata-rata populasi Y
S = deviasi standar nilai variat Y
Apabila nilai P(X) digambarkan pada kertas, maka peluang logaritma akan
merupakan persamaan garis lurus, sehingga dapat dinyatakan sebagai model
matematik dengan persamaan (Soewarno, 1995) :
SKYY TT += ...................................................................................... (35)
dimana :
SYYK T
T−
=
....................................................................................... (36)
dengan :
YT = perkiraan nilai yang diharapkan terjadi dengan periode ulang T tahunan
Y = nilai rata-rata hitungan variat
S = deviasi standar nilai variat
KT = faktor frekuensi, merupakan fungsi dari peluang atau periode ulang dan
tipe model matematik distribusi peluang yang digunakan untuk analisis
peluang.
34
Hitungan distribusi log normal dilakukan dengan menggunakan tabel
yang sama dengan distribusi normal yaitu tabel 3.8, dimana dapat dihitung
debit banjir puncak dengan periode ulang tertentu.
3. Distribusi Log Person III
Pada situasi tertentu, walaupun data yang diperkirakan mengikuti
distribusi sudah dikonversi ke dalam bentuk logaritmis, ternyata kedekatan
antara data dan teori tidak cukup kuat untuk menjustifikasi pemakaian
distribusi log normal.
Person telah mengembangkan serangkaian fungsi probabilitas yang
dapat dipakai untuk hampir semua distribusi probabilitas empiris dari suatu
distribusi adalah Log Person tipe III (LP III). Tiga parameter penting dalam
Log Person III, yaitu harga rata-rata, simpangan baku dan koefisien
kemencengan. Jika koefisien kemencengan sama dengan nol, maka distribusi
kembali ke distribusi log normal.
Adapun prosedur penggunaan distribusi Log Person III adalah
(Soewarno, 1995) :
a. Tentukan logaritma dari semua nilai variat X
b. Menghitung harga rerata :
log Xo = ∑=
n
1iiXlog
n1
.......................................................................... (37)
c. Hitung standar deviasi dari log X, dengan persamaan :
S log X = ( )
1n
XlogXlogn
1i
2oi
−
−∑= .....................................................(38)
d. Hitung koefisien penyimpangan, dengan persamaan :
Cs = ( )
3
n
1i
3oi
2)(n1)(n
XlogXlog
S
n
−−
−∑= ........................................................ (39)
e. Menghitung logaritma dengan persamaan :
log XT = log Xo + KTr . S log X ..................................................... (40)
35
f. Harga KTr diperoleh dari tabel hubungan antara Cs dengan kala ulang
(tabel 3.9). Dimana nilai KTr adalah variabel standar (standardized
variable) untuk nilai X yang besarnya tergantung koefisien kemencengan.
Tabel 3.9. Faktor Penyimpangan KTr untuk Log Person III
Waktu Balik (Tahun)
Koef. 1,0101 1,25 2 5 10 25 50 100
Cs Peluang (%)
99 80 50 20 10 4 2 1
3 -0,667 -0,636 -0,396 0,420 1,180 2,278 3,152 4,051
2,5 -0,799 -0,711 -0,360 0,518 1,250 2,262 3,048 3,845
2,2 -0,905 -0,752 -0,330 0,574 1,284 2,240 2,970 3,705
2 -0,990 -0,777 -0,307 0,609 1,302 2,219 2,912 3,605
1,8 -1,087 -0,799 -0,282 0,643 1,318 2,193 2,848 3,499
1,6 -1,197 -0,817 -0,254 0,675 1,329 2,163 2,780 3,388
1,4 -1,318 -0,832 -0,225 0,705 1,337 2,128 2,706 3,271
1,2 -1,449 -0,844 -0,195 0,732 1,340 2,087 2,626 3,149
1 -1,588 -0,852 -0,164 0,758 1,340 2,043 2,542 3,022
0,9 -1,660 -0,854 -0,148 0,769 1,339 2,018 2,498 2,957
0,8 -1,733 -0,856 -0,132 0,780 1,336 1,998 2,453 2,891
0,7 -1,806 -0,857 -0,116 0,790 1,333 1,967 2,407 2,824
0,6 -1,880 -0,857 -0,099 0,800 1,328 1,939 2,359 2,755
0,5 -1,955 -0,856 -0,083 0,808 1,323 1,910 2,311 2,686
0,4 -2,029 -0,855 -0,066 0,816 1,317 1,880 2,261 2,615
0,3 -2,104 -0,853 -0,050 0,824 1,309 1,849 2,211 2,544
0,2 -2,178 -0,850 -0,033 0,830 1,301 1,818 2,159 2,472
0,1 -2,252 -0,846 -0,017 0,836 1,292 1,785 2,107 2,400
0 -2,326 -0,842 0,000 0,842 1,282 1,751 2,054 2,326
-0,1 -2,400 -0,836 0,017 0,836 1,270 1,716 2,000 2,252
-0,2 -2,472 -0,830 0,033 0,850 1,258 1,680 1,945 2,178
36
-0,3 -2,544 -0,824 0,050 0,853 1,245 1,643 1,890 2,104
-0,4 -2,615 -0,816 0,066 0,855 1,231 1,606 1,834 2,029
-0,5 -2,686 -0,808 0,083 0,856 1,216 1,567 1,777 1,955
-0,6 -2,755 -0,800 0,099 0,857 1,200 1,528 1,720 1,880
-0,7 -2,824 -0,790 0,116 0,857 1,183 1,488 1,663 1,806
-0,8 -2,891 -0,780 0,132 0,856 1,166 1,448 1,606 1,733
-0,9 -2,957 -0,769 0,148 0,854 1,147 1,407 1,549 1,660
-1 -3,022 -0,758 0,164 0,852 1,128 1,366 1,492 1,588
-1,2 -3,149 -0,732 0,195 0,844 1,086 1,282 1,379 1,449
-1,4 -3,271 -0,705 0,225 0,832 1,041 1,198 1,270 1,318
-1,6 -3,388 -0,675 0,254 0,817 0,994 1,116 1,166 1,197
-1,8 -3,499 -0,643 0,282 0,799 0,945 1,035 1,069 1,087
-2 -3,605 -0,600 0,307 0,777 0,895 0,959 0,980 0,990
-2,2 -3,705 -0,574 0,330 0,752 0,844 0,888 0,900 0,905
-2,5 -3,845 -0,518 0,360 0,711 0,771 0,793 0,798 0,799
-3 -4,051 -0,420 0,396 0,636 0,660 0,666 0,666 0,667
Sumber : Suripin, 2004
g. Hitung nilai anti log dari XT, untuk mendapatkan curah hujan rancangan
dengan kala ulang T tahun.
Keterangan :
Xi = curah hujan (mm)
XT = curah hujan rancangan dengan kala ulang T tahun (mm)
Cs = koefisien penyimpangan/kemencengan
S log X = standar deviasi
KTr = fungsi Cs terhadap kala ulang
Log Xo = logaritma curah hujan rerata
Log Xi = logaritma curah hujan harian maksimum
37
4. Distribusi Gumbel
Distribusi gumbel banyak digunakan untuk analisis data maksimum,
seperti untuk analisis frekuensi banjir. Gumbel menggunakan harga ekstrim
untuk menunjukkan bahwa dalam deret harga-harga ekstrim X1, X2, X3, ……,
Xn mempunyai fungsi distribusi eksponensial ganda. Fungsi densitas
kumulatif dari distribusi Gumbel mempunyai bentuk : )(
)(bXaeeXp
−−−= ................................................................................... (41)
dimana e = 2,7182818…….
Apabila jumlah populasi yang terbatas (sampel), maka dapat didekati dengan
persamaan berikut :
KSXX noT += ....................................................................................(42)
Menghitung nilai K dengan persamaan :
Sn
YnYtK
−= ......................................................................................(43)
Untuk memperoleh nilai XT juga dapat digunakan rumus berikut :
TT Ya
bX 1+=
.......................................................................................(44)
dimana
SS
Xb no −=
........................................................................................(45)
n
n
SSY
a =
........................................................................................(46)
dengan
oX = harga rata-rata sampel
nS = standar deviasi sampel
XT = curah hujan rancangan dengan periode ulang T tahun (mm)
38
Yt = reduced variate (fungsi periode ulang) yang dapat dihitung dengan
persamaan berikut :
=
−
−−Tr
Tr 1lnln
................................................................(47)
Tabel 3.9 memperlihatkan hubungan antara reduced variate dengan
periode ulang
Yn = reduced mean (rata-rata tereduksi) yang tergantung jumlah sampel/data
n (Tabel 3.11)
Sn = reduced standard deviation (standar deviasi tereduksi), tergantung
jumlah sampel/data n (Tabel 3.12)
Sn = simpangan baku
K = faktor penyimpangan Gumbel
Xo = curah hujan maksimum rerata (mm)
Tabel 3.10. Reduced Variate, Yt sebagai Fungsi Periode Ulang
Kala Ulang
(Tahun)
Faktor
Reduksi (Yt)
Kala Ulang
(Tahun)
Faktor
Reduksi (Yt)
2 0,3668 100 4,6012
5 1,5004 200 5,2969
10 2,2510 250 5,5206
20 2,9709 500 6,2149
25 3,1993 1000 6,9087
50 3,9028 5000 8,5188
75 4,3117 10000 9,2121
Sumber : Suripin, 2004
39
N 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9
10 0.4952 0.4996 0.5035 0.5070 0.5100 0.5128 0.5157 0.5181 0.5202 0.5220
20 0.5236 0.5252 0.5268 0.5283 0.5296 0.5309 0.5320 0.5332 0.5343 0.5353
30 0.5362 0.5371 0.5380 0.5388 0.8396 0.5403 0.5410 0.5418 0.5424 0.5436
40 0.5436 0.5442 0.5448 0.5453 0.5458 0.5463 0.5468 0.5473 0.5477 0.5481
50 0.5485 0.5489 0.5493 0.5497 0.5501 0.5504 0.5508 0.5511 0.5515 0.5518
60 0.5521 0.5524 0.5527 0.5530 0.5533 0.5535 0.5538 0.5540 0.5543 0.5545
70 0.5548 0.5550 0.5552 0.5555 0.5557 0.5559 0.5561 0.5563 0.5565 0.5567
80 0.5569 0.5570 0.5572 0.5574 0.5576 0.5578 0.5580 0.5581 0.5583 0.5585
90 0.5586 0.5587 0.5589 0.5591 0.5592 0.5593 0.5595 0.5596 0.5598 0.5599
100 0.5600 0.5602 0.5603 0.5604 0.5606 0.5607 0.5608 0.5609 0.5610 0.5611
N 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9
10 0,9496 0,9676 0,9833 0,9971 1,0095 1,0206 1,0316 1,0411 1,0493 1,0565
20 1,0628 1,0696 1,0754 1,0811 1,0864 1,0915 1,0961 1,1004 1,1047 1,108
30 1,1124 1,1159 1,1193 1,1226 1,1255 1,1285 1,1313 1,1339 1,1363 1,1388
40 1,1413 1,1436 1,1458 1,148 1,1499 1,1519 1,1538 1,1557 1,1574 1,159
50 1,1607 1,1623 1,1638 1,1658 1,1667 1,1681 1,1696 1,1708 1,1721 1,1734
60 1,1747 1,1759 1,177 1,1782 1,1793 1,1803 1,1814 1,1824 1,1834 1,1844
70 1,1854 1,1863 1,1873 1,1881 1,189 1,1898 1,1906 1,1915 1,1923 1,193
80 1,1938 1,1945 1,1953 1,1959 1,1967 1,1973 1,198 1,1987 1,1994 1,2001
90 1,2007 1,2013 1,202 1,2026 1,2032 1,2038 1,2044 1,2049 1,2055 1,206
100 1,2065 1,2069 1,2073 1,2077 1,2081 1,2084 1,2097 1,209 1,2093 1,2096
Tabel 3.11. Reduced Mean (Yn)
Sumber : Suripin, 2004
Tabel 3.12. Reduced Standard Deviation (Sn)
Sumber : Suripin, 2004