sejarah aceh
Post on 01-Dec-2015
156 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
SEJARAH ACEH
MOKI, Pulau Aceh-Peninggalan sejarah tentang Masa jayanya Kerajaan Aceh Darussalam yang dpimpin oleh Raja Sultan Iskandar Muda masih ada berbekas di Pulau Breuh Kecamatan Pulau Aceh Kabupaten Aceh Besar. Bentuk kerja sama antara Kerajaan Aceh Darussalam dan Kerajaan Portugis adalah berupa Menara Suar yang didirikan pada abad ke 17 untuk kelancaran transportasi laut kala itu dan Menara Suar tersdebut adalah Menara Suar yang pertama kali ada di Pulau Sumatera (andalas).
Pada saat kepemimpinan Sultan Iskandar Muda Negara Kerajaan Aceh Raya Darussalam merupakan pengekpor beras keluar wilayah, bukan hanya itu saja, ia juga memperketat pajak kelautan bagi kapal kapal asing yang berlabuh/singgah di daratan kekuasaan beliau, serta mengatur kembali pajak perdagangan (pada saat itu terdapat banyak sekali pedagang yang berasal dari luar asia yaitu pedagang dari inggris dan belanda) serta pengaturan terhadap harta kapal yang karam dikawasan perairan Negara Kerajaan Aceh Raya Darusslam.
Dalam hal kemiliteran Iskandar Muda membangun angkatan perang yang sangat kuat, salah seorang peneliti/saudagar yang berada di Kerajaan Aceh Raya Darussalam Beaulieu pada masa itu membuat catatan bahwa dalam hal kemiliteran terdapat beberapa kelompok pasukan yang dibagi menjadi, pasukan darat (angkatan Darat) yang memiliki 40 ribu personel bala tentara, Armada Laut (angkatan Laut) diperkirakan memiliki 100-200 kapal. Diantaranya:Kapal yang berdiameter 30 meter dengan kapasitas awak kapal 300-600 penumpang dengan dilengkapi 3 meriam
Bukan hanya itu saja Sultan Iskandar Muda juga mempekerjakan seorang yang berasal dari negeri belanda sebagai penasihat perang Kerajaan Aceh Raya Darussalam mahir dalam taktik peperangan ala negeri belanda dan perancis, Iskandar Muda sangat perhatian terhadap kemiliteran Negara KerajaanAaceh Raya Darussalam sehingga pasukan militer banyak kemajuan dan keberhasilan menaklukkan beberapa kerajaan diantaranya, Kerajaan Johor (1613), Kerajaan Pahang (1618), Kerajaan Kedah (1619) dan Kerajaan Tuah (1620).
Bangunan peninggalan bangsa Portugis adalah fakta sejarah kerja sama antara kerajaan Aceh Raya Darussalam dalam hal keselamatan dunia pelayaran kini terlantar, padahal semestinya menjadi asset daerah sebagai salah tujuan wisata kini, dan disekitar situ telah berdiri pula Menara Suar buatan bangsa Belanda yang terbuat dari Beton dengan ketinggia 40 meter yang dibuat masa Belanda menduduki Aceh tahun 1875 (perang Aceh 1873) yang kini dijagga oleh Penjaga Menara Suar dari Distrik Navigasi Kelas II Sabang Direktorat Jenderal Perhubungan Laut dari Kementrian Perhubungan.
Semestinya Pemerintahan Aceh melalui Dinas Parawisata dan Instansi yang mengurusi tentang sejarah Aceh masa silam telah dari dulu mendatangi lokasi tersebut untuk merawat dan mendokumentasikannya sebagai salah satu daerah tujuan wisata andalan dari Kabupaten Aceh Besar.
Tetapi fakta yang didapati saat Wartawan mendatangi kelokasi tersebut, bangunan portugis hanya tinggal puing dan tidak pernah ada perawatan dari Pemda baik tingkat I maupun Tingkat
II, dari pantauan kami bangunan tersebut telah ditumbuhi oleh tumbuhan yang melekat pada dinding bangunan dan diperkirakan telah berumur puluhan tahun.
Menurut keterangan Penjaga Menara Suar, bangunan Portugis itu telah kelihatan menjadi seram dan membuat bulu kuduk merinding apalagi bila malam hari saat-saat jaga malam menjaga Lampu Menara peninggalan Belanda, kami yang Cuma 5 orang bertugas disini menjaga menara ditugaskan dari Distrik Navigasi Kelas II Sabang belum pernah ada didatangi oleh tamu dari Pejabat Propinsi maupun Kabupaten untuk melihat fakta sejarah ini, tandasnya.
Kalau tentang perawatan bagunan kami tidak dapat melakukannya tetapi kalau hanya membabat hutan disekitar jalan dari bawah dermaga hingga naik keatas ini sekitar 5 kiloan meter sudah menjadi kegiatan rutin kami selaku penjaga menara, padahal bangunan menara suar yang kami jaga saja umurnya telah ratusan tahun, bayangkan dibagun tahun 1875 namun hingga kini masih dapat diaktifkan, jadi kami tidak mampu untuk merawat dan memelihara bagunan portugis tersebut, ujarnya.
Harapan kami selaku penjaga menara kiranya Pemerintahan Aceh dapat memelihara bangunan fakta sejarah tersebut, jangan sampai terlindas dengan pembagunan yang telah direncanakan oleh BPKS sebab Pulau Breueh adalah bagian dari Free Port Sabang yang tertuamg dalam UU. No. 11 Tentang Pemerintahan Aceh.
Ujung Pineng Pulau Breueh Kecamatan Pulau Aceh merupakan daerah Kepulauan yang telah cukup tua dan pernah mengalami pembagunan di abad ke 17, namun kini bila dibandingkan dengan daerah lainnya yang ada di Aceh sangat merosot baik dalam hal pemabangunan maupun dunia pendidikan, ujar penjaga menara.
SEJARAH KEBUDAYAAN ACEH
Indonesia adalah salah satu negara yang memiliki suku dan budaya yang beraneka
ragam. Masing-masing budaya daerah saling mempengaruhi dan dipengaruhi oleh kebudayaan
daerah lain maupun kebudayaan yang berasal dari luar Indonesia. Salah satu kebudayaan tersebut
adalah kebudayaan Aceh. Sejarah dan perkembangan suku bangsa Aceh juga menarik perhatian
para antropolog seperti Snouck Hurgronje. Dilihat dari sisi kebudayaannya, Aceh memiliki
budaya yang unik dan beraneka ragam. Kebudayaan Aceh ini banyak dipengaruhi oleh budaya-
budaya melayu, karena letak Aceh yang strategis karena merupakan jalur perdagangan maka
masuklah kebudayaan Timur Tengah. Beberapa budaya yang ada sekarang adalah hasil dari
akulturasi antara budaya melayu, Timur Tengah dan Aceh sendiri.
Suku bangsa yang mendiami Aceh merupakan keturunan orang-orang melayu dan
Timur Tengah hal ini menyebabkan wajah-wajah orang Aceh berbeda dengan orang Indonesia
yang berada di lain wilayah. Sistem kemasyarakatan suku bangsa Aceh, mata pencaharian
sebagian besar masyarakat Aceh adalah bertani namun tidak sedikit juga yang berdagang. Sistem
kekerabatan masyarakat Aceh mengenal Wali, Karong dan Kaom yang merupakan bagian dari
sistem kekerabatan.
Agama Islam adalah agama yang paling mendominasi di Aceh oleh karena itu Aceh
mendapat julukan ”Serambi Mekah”. Dari struktur masyarakat Aceh dikenal gampong, mukim,
nanggroe dan sebagainya. Tetapi pada saat-saat sekarang ini upacara ceremonial yang besar-
besaran hanya sebagai simbol sehingga inti dari upacara tersebut tidak tercapai. Pergeseran nilai
kebudayaan tersebut terjadi karena penjajahan dan fakttor lainnya.
Dari hal-hal yang telah diuraikan diatas menurut saya menarik, maka saya mengangkat
makalah ini dengan judul ”Kebudayaan Suku Aceh”.
A. LETAK
Kelompok etnik Aceh adalah salah satu kelompok "asal" di daerah Aceh yang kini
merupakan Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Orang Aceh yang biasa menyebut dirinya
Ureueng Aceh, menurut sensus penduduk tahun 1990 mencatat jumlah sebesar 3.415.393 jiwa,
dimana orang Aceh tentunya merupakan kelompok mayoritas. Orang Aceh merupakan penduduk
asli yang tersebar populasinya di Daerah Istimewa Aceh. Mereka mendiami daerah-daerah
Kotamadya Sabang, Banda Aceh, Kabupaten Aceh Besar, Pidie, Aceh Utara, Aceh Timur, Aceh
Selatan, dan Aceh Barat. Bahasa yang digunakan orang Aceh termasuk dalam rumpun bahasa
Austronesia yang terdiri dari beberapa dialek, antara lain dialek Pidie, Aceh Besar, Meulaboh,
serta Matang. Di Propinsi D.I. Aceh terdapat pula sedikitnya tujuh sukubangsa lainnya, yaitu :
Gayo, Alas, Tamiang, Aneuk Jamee, Simeuleu, Kluet, dan Gumbok Cadek. Identitas bersama
berdasarkan ikatan kebudayaan dan agama mencerminkan kesatuan suku-suku bangsa di propinsi
ini. Dalam pergaulan antarsuku bangsa jarang sekali penduduk asli Aceh menyebut dirinya orang
Gayo, Alas, Tamiang, dan seterusnya. Mereka lebih suka menyebut diri sebagai "Orang Aceh",
sehingga Aceh patut dipandang sebagai suatu sukubangsa besar yang didukung oleh sejumlah
sub-sukubangsa dengan identitas masing-masing. Ciri-ciri ini pula yang mengukuhkan propinsi
Aceh sebagai Daerah Istimewa.
B. KEHIDUPAN MASYARAKAT
1. Mata Pencaharian
Mata pencaharian pokok orang Aceh adalah bertani di sawah dan ladang, dengan
tanaman pokok berupa padi, cengkeh, lada, pala, kelapa, dan lain-lain. Masyarakat yang
bermukim_ di sepanjang pantai pada umumnya menjadi nelayan.
Sebagian besar orang Alas hidup dari pertanian di sawah atau ladang, terutama yang
bermukim di kampung (kute). Tanam Alas merupakan lumbung padi di Daerah Istimewa Aceh.
Di samping itu penduduk beternak kuda, kerbau, sapi, dan kambing, untuk dijual atau
dipekerjakan di sawah.
Mata pencaharian utama orang Aneuk Jamee adalah bersawah, berkebun, dan berladang,
serta mencari ikan bagi penduduk yang tinggal di daerah pantai. Di samping itu ada yang
melakukan kegiatan berdagang secara tetap (baniago), salah satunya dengan cara menjajakan
barang dagangan dari kampung ke kampung (penggaleh). Matapencaharian pada masyarakat
Gayo yang dominan adalah berkebun, terutama tanaman kopi.
Matapencaharian utama orang Tamiang adalah bercocok tanam padi di sawah atau di
ladang. Penduduk yang berdiam di daerah pantai menangkap ikan dan membuat aran dari pohon
bakau. Adapula yang menjadi buruh perkebunan atau pedagang.
2. Sistem Kekerabatan
Dalam sistem kekerabatan, bentuk kekerabatan yang terpenting adalah keluarga inti
dengan prinsip keturunan bilateral. Adat menetap sesudah menikah bersifat matrilokal, yaitu
tinggal di rumah orangtua istri selama beberapa waktu. Sedangkan anak merupakan tanggung
jawab ayah sepenuhnya.
Pada orang Alas garis keturunan ditarik berdasarkan prinsip patrilineal atau menurut garis
keturunan laki-laki. Sistem perkawinan yang berlaku adalah eksogami merge, yaitu mencari
jodoh dari luar merge sendiri. Adat menetap sesudah menikah yang berlaku bersifat virilokal,
yang terpusat di kediaman keluarga pihak laki-laki. Gabungan dari beberapa keluarga luas
disebut tumpuk. Kemudian beberapa tumpuk bergabung membentuk suatu federasi adat yang
disebut belah (paroh masyarakat).
Dalam sistem kekerabatan tampaknya terdapat kombinasi antara budaya Minangkabau
dan Aceh. Garis keturunan diperhitungkan berdasarkan prinsip bilateral, sedangkan adat menetap
sesudah nikah adalah uxorilikal (tinggal dalam lingkungan keluarga pihak wanita). Kerabat pihak
ayah mempunyai kedudukan yang kuat dalam hal pewarisan dan perwalian, sedangkan ninik
mamak berasal dari kerabat pihak ibu. Kelompok kekerabatan yang terkecil adalah keluarga inti
yang disebut rumah tanggo. Ayah berperan sebagai kepala keluarga yang mempunyai kewajiban
memenuhi kebutuhan keluarganya. Tanggung jawab seorang ibu yang utama adalah mengasuh
anak dan mengatur rumah tangga.
Pada masyarakat gayo, garis keturunan ditarik berdasarkan prinsip patrilineal. Sistem
perkawinan yang berlaku berdasarkan tradisi adalah eksogami belah, dengan adat menetap
sesudah nikah yang patrilokal (juelen) atau matriokal (angkap). Kelompok kekerabatan terkecil
disebut saraine (keluarga inti). Kesatuan beberapa keluarga inti disebut sara dapur. Pada masa
lalu beberapa sara dapur tinggal bersama dalam sebuah rumah panjang, sehingga disebut sara
umah. Beberapa buah rumah panjang bergabung ke dalam satu belah (klen).
Dalam sistem kekerabatan masyarakat Tamiang digunakan prinsip patrilineal, yaitu
menarik garis keturunan berdasarkan garislaki-laki. Adat menetap sesudah nikah yang umum
dilakukan adalah adat matrilokal, yaitu bertempat tinggal di lingkungan kerabat wanita.
3. Sistem Pelapisan Sosial
Pada masa lalu masyarakat Aceh mengenal beberapa lapisan sosial. Di antaranya ada
empat golongan masyarakat, yaitu golongan keluarga sultan, golongan uleebalang, golongan
ulama, dan golongan rakyat biasa. Golongan keluarga sultan merupakan keturunan bekas sultan-
sultan yang pernah berkuasa. Panggilan yang lazim untuk keturunan sultan ini adalah ampon
untuk laki-laki, dan cut untuk perempuan. Golongan uleebalang adalah orang-orang keturunan
bawahan para sultan yang menguasai daerah-daerah kecil di bawah kerajaan. Biasanya mereka
bergelar Teuku. Sedangkan para ulama atau pemuka agama lazim disebut Teungku atau Tengku.
Pada masa lalu orang Aneuk Jamee dibedakan atas tiga lapisan masyarakat, yaitu
golongan datuk sebagai lapisan atas; golongan hulubalang dan ulama, yang terdiri atas tuangku,
imam, dan kadi sebagai lapisan menengah; dan rakyat biasa sebagai lapisan bawah. Sekarang ini
sistem pelapisan sosial tersebut sudah tidak diberlakukan lagi dalam masyarakat. Yang kini
dianggap sebagai orang terpandang adalah orang kaya, terdidik, dan pemegang kekuasaan.
Pada masa masyarakat Tamiang dikenal penggolongan masyarakat atas tiga lapisan
sosial, yakni ughang bangsawan, ughang patoot, dan ughang bepake. Golongan pertama terdiri
atas raja beserta keturunannya. yang menggunakan gelar Tengku untuk laki-laki dan Wan untuk
perempuan; golongan kedua adalah orangÂorang yang memperoleh hak dan kekuasaan tertentu
dari raja, yang memperoleh gelar Orang (Kaya); dan golongan ketiga merupakan golongan orang
kebanyakan.
C. SISTEM KEMASYARAKATAN
Bentuk kesatuan hidup setempat yang terkecil disebut gampong (kampung atau desa)
yang dikepalai oleh seorang geucik atau kecik. Dalam setiap gampong ada sebuah meunasah
(madrasah) yang dipimpin seorang imeum meunasah. Kumpulan dari beberapa gampong disebut
mukim yang dipimpin oleh seorang uleebalang, yaitu para panglima yang berjasa kepada sultan.
Kehidupan sosial dan keagamaan di setiap gampong dipimpin oleh pemuka-pemuka adat dan
agama, seperti imeum meunasah, teungku khatib, tengku bile, dan tuha peut (penasehat adat).
Pada masa lalu Tanah Alas terbagi atas dua daerah kekuasaan yang dipimpin oleh dua
orang kejerun, yaitu daerah Kejerun Batu Mbulan dan daerah Kejerun Bambel. Kejerun dibantu
oleh seorang wakil yang disebut Raje Mude, dan empat unsur pimpinan yang disebut Raje
Berempat. Setiap unsur pimpinan Raje Berempat membawahi beberapa kampung atau desa
(Kute), sedangkan masing-masing kute dipimpin oleh seorang Pengulu. Suatu kute biasanya
dihuni oleh satu atau beberapa klen (merge). Masing-masing keluarga luas menghuni sebuah
rumah panjanga.
Masyarakat Gayo hidup dalam komuniti kecil yang disebut kampong. Setiap kampong
dikepalai oleh seorang gecik. Kumpulan beberapa kampung disebut kemukiman, yang dipimpin
oleh mukim. Sistem pemerintahan tradisional berupa unsur kepemimpinan yang disebut sarak
opat, terdiri dari : reje, petue, imeum, dan sawudere. Pada masa sekarang beberapa buah
kemukiman merupakan bagian dari kecamatan, dengan unsur-unsur kepemimpinan terdiri atas:
gecik, wakil gecik, imeum, dan cerdik pandai yang mewakili rakyat.
D. RELIGI
Aceh termasuk salah satu daerah yang paling awal menerima agama Islam. Oleh sebab
itu propinsi ini dikenal dengan sebutan "Serambi Mekah", maksudnya "pintu gerbang" yang
paling dekat antara Indonesia dengan tempat dari mana agama tersebut berasal. Meskipun
demikian kebudayaan asli Aceh tidak hilang begitu saja, sebaliknya beberapa unsur kebudayaan
setempat mendapat pengaruh dan berbaur dengan kebudayaan Islam. Dengan demikian
kebudayaan hasil akulturasi tersebut melahirkan corak kebudayaan Islam-Aceh yang khas. Di
dalam kebudayaan tersebut masih terdapat sisa-sisa kepercayaan animisme dan dinamisme.
E. BAHASA
Bahasa yang digunakan orang Aceh termasuk dalam rumpun bahasa Austronesia yang
terdiri dari beberapa dialek, antara lain dialek Pidie, Aceh Besar, Meulaboh, serta Matang.
Sebagai alat komunikasi sehari-hari orang Alas menggunakan bahasa sendiri, yaitu
bahasa Alas. Penggunaan bahasa ini dibedakan atas beberapa dialek, seperti dialek Hulu, dialek
Tengah, dan dialek Hilir. Dengan demikian orang Alas dibedakan berdasarkan penggunaan
dialek bahasa tersebut.
Dilihat dari segi bahasa, kosa kata bahasa Aneuk Jamee yang berasal dari bahasa
Minangkabau lebih dominasi daripada kosa kata bahasa Aceh. Penggunaan bahasa Aneuk Jamee
dibedakan atas beberapa dialek, antara lain dialek Samadua dan dialek Tapak Tuan.
Bahasa Gayo digunakan dalam percakapaan sehari-hari. Penggunaan bahasa Gayo
dibedakan atas beberapa dialek, seperti dialek Gayo Laut yang terbagi lagi menjadi sub-dialek
Lut dan Deret, dan dialek Gayo Luwes yang meliputi sub-dialek Luwes, Kalul, dan Serbejadi.
Orang Tamiang memiliki bahasa sendiri, yaitu bahasa Tamiang, yang kebanyakan kosa
katanya mirip dengan bahasa melayu. Bahkan ada yang mengatakan, bahwa bahasa Tamiang
merupakan salah satu dialek dari bahasa Melayu. Bahasa Tamiang ditandai oleh mengucapkan
huruf r menjadi gh, misalnya kata "orang" dibaca menjadi oghang. Sementara itu huruf t sering c,
misalnya kata "tiada" dibaca "ciade".
F. KESENIAN
Corak kesenian Aceh memang banyak dipengaruhi oleh kebudayaan Islam, namun telah
diolah dan disesuaikan dengan nilai-nilai budaya yang berlaku. Seni tari yang terkenal dari Aceh
antara lain seudati, seudati inong, dan seudati tunang. Seni lain yang dikembangkan adalah seni
kaligrafi Arab, seperti yang banyak terlihat pada berbagai ukiran mesjid, rumah adat, alat
upacara, perhiasan, dan sebagainnya. Selain itu berkembang seni sastra dalam bentuk hikayat
yang bernafaskan Islam, seperti Hikayat Perang Sabil.
Bentuk-bentuk kesenian Aneuk Jamee berasal dari dua budaya yang berasimilasi.. Orang
Aneuk Jamee mengenal kesenian seudati, dabus (dabuih), dan ratoh yang memadukan unsur tari,
musik, dan seni suara. Selain itu dikenal kaba, yaitu seni bercerita tentang seorang tokoh yang
dibumbui dengan dongeng.
Suatu unsur budaya yang tidak pernah lesu di kalangan masyarakat Gayo adalah
kesenian, yang hampir tidak pernah mengalami kemandekan bahkan cenderung berkembang.
Bentuk kesenian Gayo yang terkenal, antara lain tan saman dan seni teater yang disebut didong.
Selain untuk hiburan dan rekreasi, bentuk-bentuk kesenian ini mempunyai fungsi ritual,
pendidikan, penerangan, sekaligus sebagai sarana untuk mempertahankan keseimbangan dan
struktur sosial masyarakat. Di samping itu ada pula bentuk kesenian bines, guru didong, dan
melengkap (seni berpidato berdasarkan adat), yang juga tidak terlupakan dari masa ke masa.
HUBUNGAN SEJARAH ACEH & TIONGKOK
Pembangunan Masjid Raya Baiturrahman dilaksanakan oleh seorang pemborong atau
kontraktor Tionghoa yang bernama Lie A Sie Catatan sejarah tertua dan yang pertama mengenai
kerajaan kerajaan di Aceh, didapati dari sumber-sumber tulisan sejarah Tiongkok. Dalam catatan
sejarah dinasti Liang (506-556), disebutkan adanya suatu kerajaan yang terletak di Sumatra
Utara pada abad ke-6 yang dinamakan Po-Li dan beragama Budha. Pada abad ke-13 teks-teks
Tiongkok (Zhao Ru-gua dalam bukunya Zhu-fan zhi) menyebutkan Lan-wu-li (Lamuri) di pantai
timur Aceh. Dan pada tahun 1282, diketahui bahwa raja Samudra-Pasai mengirim dua orang
(Sulaiman dan Shamsuddin) utusan ke Tiongkok. Didalam catatan Ma Huan (Ying-yai sheng-
lan) dalam pelayarannya bersama dengan Laksamana Cheng Ho, dicatat dengan lengkap
mengenai kota kota di Aceh seperti, A-lu (Aru), Su-men-da-la (Samudra), Lan-wu-li (Lamuri).
Dalam catatan Dong-xi-yang- kao (penelitian laut-laut timur dan barat) yang dikarang oleh
Zhang Xie pada tahun 1618, terdapat sebuah catatan terperinci mengenai Aceh modern.
Samudra-Pasai adalah sebuah kerajaan dan kota pelabuhan yang ramai dikunjungi oleh
para pedagang dari Timur Tengah, India sampai Tiongkok pada abad ke 13 -16. Samudra Pasai
ini terletak pada jalur sutera laut yang menghubungi Tiongkok dengan negara-negara Timur
Tengah, dimana para pedagang dari berbagai negara mampir dahulu /transit sebelum
melanjutkan pelayaran ke/dari Tiongkok atau Timur Tengah, India. Kota Pasai dan Perlak juga
pernah disinggahi oleh Marco Polo (abad 13) dan Ibnu Batuta (abad 14) dalam perjalanannya ke/
dari Tiongkok. Barang dagangan utama yang paling terkenal dari Pasai ini adalah lada dan
banyak diekspor ke Tiongkok, sebaliknya banyak barang-barang Tiongkok seperti Sutera,
Keramik, dll. diimpor ke Pasai ini. Pada abad ke 15, armada Cheng Ho juga mampir dalam
pelayarannya ke Pasai dan memberikan Lonceng besar yang tertanggal 1409 (Cakra Donya)
kepada raja Pasai pada waktu itu. Samudra Pasai juga dikenal sebagai salah satu pusat kerajaan
Islam (dan Perlak) yang pertama di Indonesia dan pusat penyebaraan Islam keseluruh Nusantara
pada waktu itu. Ajaran-ajaran Islam ini disebarkan oleh para pedagang dari Arab (Timur Tengah)
atau Gujarat (India), yang singgah atau menetap di Pasai. Dikota Samudra Pasai ini banyak
tinggal komunitas Tionghoa, seperti adanya "kampung Cina", seperti ditulis dalam Hikayat Raja-
raja Pasai. Jadi jauh sebelum kerajaan Aceh Darussalam berdiri,komunitas Tionghoa telah
berada di Aceh sejak abad ke-13. Karena Samudra Pasai ini terletak dalam jalur perdagangan dan
pelayaran internasional serta menjadi pusat perniagaan internasional, maka berbagai bangsa
asing lainnya menetap dan tinggal disana yang berkarakter kosmopolitan dan
H. SEJARAH
Dalam abad ke XVI, Aceh memegang peranan yang sangat penting sebagai daerah transit
barang-barang komoditi dari Timur ke Barat. Komoditi dagang dari nusantara seperti pala dan
rempah-rempah dari Pulau Banda, cengkeh dari Maluku, kapur barus dari Barus dan lada dari
Aceh dikumpul disini menunggu waktu untuk diberangkatkan ke luar negen. Aceh sebagai
bandar paling penting pada waktu itu yang ramai dikunjungi oleh para pedagang dari berbagai
negara.
Aceh juga dikenal dengan daerah pertama masuknya agama Islam ke nusantara. Para pedagang
dari Saudi Arabia, Turki, Gujarat dan India yang beragama Islam singgah di Aceh dalam
perjalanan mereka mencari berbagai komoditi dagang dari nusantara. Aceh yang terletak di jalur
pelayaran internasional merupakan daerah pertama yang mereka singgahi di Asia Tenggara.
Kemudian sekitar akhir abad ke XIII di Aceh telah berdiri sebuah kerajaan besar yaitu Kerajaan
Pasai yang bukan saja bandar paling penting bagi perdagangan, namun juga sebagai pusat
penyebaran agama Islam baik ke Nusantara maupun luar negeri.
Portugis pertama sekali mendarat di Aceh dalam tahun 1509 mengunjungi Kerajaan Pedir (Pidie)
dan Pasai untuk mencari sutra. Kemudian dalam tahun 1511 Portugis menaklukkan Malaka
(sekarang Malaysia) yang menyebabkan Sultan Aceh marah. Kerajaan Aceh kemudian mengirim
armadanya untuk membebaskan kembali Malaka dari tangan penjajah, namun tidak berhasil dan
banyak tentara Kerajaan Aceh yang gugur dan dikebumikan di sana. Menurut sumber yang dapat
dipercaya Syech Syamsuddin Assumatrani yaitu salah seorang ulama besar Aceh tewas dalam
suatu peperangan dengan Portugis di Malaka dan kuburannya ada disana. -
Kemudian pada masa Sultan Iskandar Muda (1607 - 1636), barulah Malaka bisa dibebaskan
kembali dari cengkraman Portugis dan jalur perdagangan di Selat Malaka kembali dikuasai oleh
Kerajaan Aceh Darussalam. Pada saat itu Aceh dan Turki telah menjalin hubungan yang erat
sehingga banyak ahli persenjataan dan perkapalan dari Turki datang serta menetap di Aceh.
Bukti sejarah yang masih tersisa adalah mesjid, tugu dan batu nisan orang Turki yang ada di desa
Bitai (± 3 km dari Banda Aceh).
Pada tanggal 21 Juni 1599 sebuah kapal dagang Belanda yang dipimpin oleh Cornelis De
Houteman dan adiknya Frederick De Houteman mendarat di Aceh. Namun karena orang Aceh
mengira bahwa Belanda tersebut Portugis mereka menyerang kapal itu dan membunuh Cornelis
De Houteman serta menawan Frederick De Houteman.
Selanjutnya tahun 1602 sebuah kapal dagang Belanda lain yang dipimpin oleh Gerald De Roy
dikirim ke Aceh oleh Prince Mounsts dalam usaha menjalin hubungan kerjasama dengan
Kerajaan Aceh. Utusan tersebut disambut balk oleh Sultan Aceh dan menanda tangani hubungan
kerjasama itu. Ketika Gerald De Roy kembali pulang ke Belanda, Sultan Aceh mengirim dua
orang duta ke Belanda. Salah satu dari duta tersebut yaitu Abdul Hamid (sumber lain
menyebutkan Abdul Zamat) meninggal di Belanda dan kuburannya ada di Middleburg, Belanda.
Pada awal Juni 1602 saudagar-saudagar Inggris dikirim ke Aceh oleh Ratu Elizabeth untuk
menjalin kerjasama dalam bidang perdagangan. Utusan tersebut juga disambut baik oleh sultan
dan menandatangani hubungan kerjasama. Hubungan ini terns berlanjut sampai bertahun-tahun
kemudian.
Namun demikian karena keserakahan V.O.C, Belanda memaklumkan perang atas Kerajaan Aceh
Darussalam dan menyerangnya pada tanggal 14 April 1873. Perang antara Belanda dan Aceh
merupakan yang terpanjang dalam sejarah dunia yaitu lebih kurang 69 tahun (1873 -1942) yang
telah menelan jutaan nyawa.
Pada tahun 1942 Jepang mendarat di Aceh dan disambut baik oleh orang Aceh karena pada
waktu itu antara Belanda dan Jepang sating bermusuhan, dan orang Aceh berharap kedatangan
Jepang akan membantu mengusir Belanda dari tanah Aceh. Namun kenyataannya sebaliknya
bahwa Jepang lebih ganas dari Belanda sehingga orang Aceh merasa ditipu oleh Jepang dan
mengangkat senjata memerangi Jepang.
Jepang berada di Aceh hanya 2,5 tahun, namun banyak pertempuran yang terjadi antara Aceh
dengan Jepang. Diantara sekian banyak perang yang terjadi, ada dua pertempuran yang sulit
untuk dilupakan karena banyaknya korban jiwa yang berjatuhan yaitu di Pandrah (Aceh Utara)
dan di Cot Plieng (Aceh Utara). Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17
Agustus 1945 sedikit banyaknya telah membebaskan Aceh dari belenggu perang yang
mengenaskan.
7 WANITA YANG BERPERANG MELAWAN BELANDA
. Laksamana Malahayati
Pada waktu Sultan Alaidin Riayat Syah A l Mukamil memerintah Kerajaan Aceh Darussalam (1589 - 1604 M) terjadilah pertempuran laut di Teluk Aru, antara armada Selat Malaka Aceh dengan armada Portugis. Pertempuran dipimpin oleh Sultan dengan dibantu dua orang Lakseumana. Pertempuran Teluk Aru berakhir dengan hancurnya armada Portugis, sementara sekitar 1000 orang prajurit dan dua orang laksamana Aceh mati syahid. Isteri dari salah seorang Lakseumana itu ialah Lakseumana Malahayati, yang pada waktu itu menjabat Komandan Protokol Istana Darud Dunia. Sekalipun kemenangan suatu pertempuran menimbulkan kegembiraan, namun bagi Malahayati, di samping kegembiraan, kehilangan suaminya adalah pula suatu kesedihan bercampur geram dan marah. Karena itu ia meminta kepada Sultan agar membentuk sebuah Armada Aceh yang prajuritnya seluruhnya terdiri dari para janda yang suaminya telah syahid dalam pertempuran Teluk Haru itu.
Permintaannya dikabulkan, dan terbentuklah Armada Inong Balee (Armada Wanita Janda) dengan Malahayati sebagai Panglimanya, dan mengambil Teluk Krueng Raya sebagaipangkalan armada tersebut. Ketika muda, Malahayati mendapat pendidikan militer pada Pusat Pendidikan tentera Aceh yang bernama Pusat Pendidikan Asykar Baital Makdis, yang dilatih oleh para perwira dari Turki, dalam rangka kerja sama antara Turki dengan kerajaan Aceh Darussalam. Darah pelaut telah tumbuh dalam dirinya dari ayahdan kakeknya. Dalam pendidikan itulah ia bertemu dengan suaminya, dan menikah. Setelah selesai pendidikan, suaminya terus mengembangkan karir di laut, sementara ia menjadi komandan protokol istana, sampai ia diangkat menjadi panglima armada Inong Balee.
Peristiwa Houtman bersaudara telah mengangkat derajat Laksamana Malahayati ke puncak kegemilangan. Armada Inong Balee yang diperlengkapi dengan 100 buah kapal perang dan meriam-meriam, pada waktu itu merupakan sebuah armada yang kuat di Samudera AsiaTenggara. Armada kapal perang Belanda yang menyamar sebagai armada dagang yang dipimpin oleh Houtman bersaudara (Cornelis dan Frederijk), yang memasuki pelabuhan Banda Aceh dan diterima bersahabat, ternyata berkhianat terhadap kepercayaan Sultan dengan membuat manipulasi dagang, mengadakan pengacauan, menghasut, dan sebagainya. Sultan memerintahkan Malahayati menyelesaikan persoalan itu. Dalam pertempuran dengan kapal perang Belanda, Cornelis de Houtman mati ditikam Malahayati dan Frederijk ditawan.
Laksamana Malahayati bukan saja seorang panglima armada perang, tetapi juga seorang negarawan. Ketika negeri Belanda berusaha memperbaiki hubungan dengan kerajaan Aceh, datanglah utusan Belanda dengan membawa surat istimewa dari Prins Maurits, pemimpin negeri Belanda pada waktu itu. Untuk melakukan perundingan ditunjuk Malahayati oleh Sultan, dan
ternyata memberikan hasil yang gemilang, antara lain dibukanya kedutaan Aceh di negeri Belanda dengan Duta Besar pertama Abdul Hamid. Demikianlah profil seorang wanita Aceh yang hidupn pada abad ke-17, di samping seorang panglima yang gagah berani, juga seorang diplomat yang cakap.
2. Teungku Fakinah
Selama perang Aceh melawan Belanda pada akhir abad ke-19 banyak sekali muncul pahlawan wanita, salah seorang di antaranya ialah Teungku Fakinah. Tetapi ia bukan hanya seorang pehlawan perang yang berani, melainkan juga seorang pendidik dan ulama. Sebelum Perang Teungku Fakinah membuka sebuah dayah (pesantren), ketika zaman perang ia tampil sebagai panglima perang yang disegani musuh, dan setelah kembali dari medan perang beliau kembali muncul sebagai ulama dan pendidik yang bekerja keras membangun kembali pendidikan pada pesantrennya yang porak poranda karena peperangan.
Ayah Teungku Fakinah adalah seorang pejabat tinggi kerajaan (umara) dan ibunya adalah anak seorang ulama besar, yang juga menjadi ulama. Karena itu tidak heran kalau Teungku Fakinah menjelma menjadi seorang panglima perang dan ulama besar. Ketika kecil dan remaja, Teungku Fakinah mendapat pendidikan Islam dan membaca Al-Qur'an dari ibunya, serta belajar kerajinan tangan dan ilmu-ilmu agama, ia juga pernah mendapat pendidikan militer menjelang pecahnya perang Aceh.
Setelah dewasa, Fakinah bersuamikan seorang perwira juga ulama bernama Teungku Ahmad, yang keduanya sebelum pecah perang mengajar pada Dayah Lampucok yang dibangun oleh ayah Fakinah. Teungku Ahmad, suami Fakinah, mati syahid dalam perang, dan sejak itu Teungku Fakinah berusaha untuk membentuk sebuah pasukan tentara setingkat Resimen (yang disebut Sukey).
Atas persetujuan Sultan terbentuklah Sukey Fakinah yang terdiri atas 4 batalyon (balang), dimana beliau sendiri menjadi panglimanya. Salah satu dari keempat batalyon dalam Sukey Fakinah itu, seluruh prajuritnya terdiri atas kaum wanita, sementara komandan-komandan kompi dan Regu pada batalyon-batalyon lain adalah juga dipimpin oleh wanita. Beliau ikut bertempur di berbagai medan perang dalam wilayah Aceh Besar, dan setelah lewat 10 tahun perang beliau turut bergerilya di pedalaman dengan beberapa pemimpin Aceh, termasuk bersama Sultan Muhammad Daud dan Tuangku Hasyim Banta Muda.
3. Cut Nyak Dhien
Cut Nyak Dhien adalah seorang wanita Aceh yang telah menjadi pahlawan Nasional, karena memang dalam tubuhnya bersemi semangat pahlawan yang luar biasa. Ketika masih bayi telah didendangkan ketelinganya dengan lagu-lagu yang dapat menanamkan semangat kepahlawanan. Ayahnya menceritakan kepadanya kehebatan para wanita Aceh di masa lalu, sehingga setelah ia tumbuh menjadi dewasa seperti telah ditakdirkan untuk menjadi srikandi, pahlawan bangsa.
Cut Nyak Dhien adalah puteri seorang uleebalang berdarah pahlawan, bernama Teuku Nanta Setia, penguasa VI Mukim Peukan Bada. Neneknya juga seorang bangsawan, Teuku Nanta Syekh, yang sangat dipercayai oleh Sultan Aceh! Suami Cut Nyak Dhien yang pertama ialah Teuku Ibrahim dari Lam Nga, Montasik, seorang pahlawan yang sangat ditakuti Belanda,
yang syahid pada tahun 1873 setelah hanya baru lima tahun menikah dengan Cut Nyak Dhien, dan meninggalkan seorang putri bernama Cutnyak Gambang.
Setelah beberapa tahun Cut Nyak Dhien menjanda, maka ia dipinang oleh seorang panglima muda, Teuku Umar, yang kebetulan cucu dari kakek Cut Nyak Dhien sendiri, TeukuNanta Syekh. Pada mulanya Cut Nyak Dhien menolak pinangan Teuku Umar, tetapi atas desakan keluarga ia bersedia menjadi isteri Teuku Umar dengan syarat bahwa ia tidak lagi menjadi isteri penjaga rumah, tetapi dibolehkan ikut perang bersama suaminya dan pejuang-pejuang lainnya, yang hal itu disetujui oleh Teuku Umar.
DemikianJah, semenjak setelah perkawinannya, Cut Nyak Dhien terus berada di medan perang, melawan musuh untuk mempertahankan tanah airnya. Setelah Teuku Umar mati syahid di Meulaboh, maka pimpinan perang diambil alih olehnya. Bertahun-tahun ia berjihad dalam hutan, berpindah dari satu lembah ke lembah yang lain, sampai kemudian matanya buta.
Akhirnya pada tanggal 4 Nopember 1905, Cut Nyak Dhien, ditawan oleh pasukan Belanda di bawah pimpinan Letnan Van Vuuren. Dalam keadaan tertawan dan buta Cut Nyak Dhien masih tetap mengomandokan perang dari kamp tawanan di Banda Aceh. Kemudian beliau diasingkan ke tanah Jawa, dan di Sumedang Jawa Barat beliau wafat pada tanggal 6 Nopember 1908. Perjuangan Cut Nyak Dhien telah diabadikan alam beberapa buku, dan dalam film kolosal berjudul namanya: Cut Nyak Dhien.
4. Cut Meutia
Seperti halnya Cut Nyak Dhien, pejuang wanita Aceh Cut Meutia adalah pahlawan nasional, yang telah ditetapkan oleh pemerintah karena perjuangannya yang luar biasa dalam mempertahankan tanah air dari penjajahan Belanda. Seperti halnya Cut Nyak dhien, Cut Meutia juga mempunyai dua suami yang keduanya mati syahid sebagai panglima perang. Bedanya ialah, kalau Cut Nyak Dhien ditawan Belandadan dibuang ke luar daerah, maka Cut Meutia mati syahid dalam medan perang dalam usia terlalu muda, 30 tahun (1880-1910 M).
Orang tua Cut Meutia adalah Teuku Ben Daud, dan darah bangsawan yang kesatria dan ulama yang bersemangat jihad telah mengalir dalam dirinya dari moyang Teuku Ben Daud sendiri yang hidup sekitar 400 tahun sebelum Cut Meutia lahir, yaitu seorang tokoh bangsawan yang ulama, yang erat hubungannya dengan istana Darud Dunia di Banda Aceh, yang bernama Tok Bineh Blang. Disamping itu Cut Meutia dilahirkan dalam suasana perang (7 tahun setelah pecah perang), dimana ibunya senantiasa mendendangkan lagu-lagu yang menggelorakan semangat.
Mula-mula ia dikawinkan dengan Teuku Syamsyarif yang tidak dicintainya dan yang segera bercerai. Kemudian menikah dengan Teuku Cut Muhammad yang juga seorang pejuang dan panglima perang. Setelah suaminya mati syahid, atas wasiat suaminya itu Cut Meutia kawin dengan Pang Nanggroe, seorang pahlawan yang menjadi wakil suaminya Teuku Cut Muhammad, dan terus melanjutkan perjuangan suaminya yang telah syahid itu. Akhirnya Cut Meutia menjadi janda untuk kedua kalinya, setelah Pang Nanggrou syahid pula pada 26 September 1910, dan sebulan kemudian, 25 Oktober 1910, Cut Meutia syahid pula. Cut Meutia meninggalkan seorang putra dari suaminya Teuku Cut Muhammad, yang diberi nama T. Raja Sabi.
5. Pocut Meurah Intan
Di Desa Tegal Sari, Blora, di bawah kesejukan pepohonan yang rimbun merindang, berbaringlah jasad seorang pahlawan wanita, Pocut Meurah Intan, yang ditawan Belanda dalam perang kolonial di Aceh. Bersama puteranya Tuanku Nurdin dan pembantunya Pang Mahmud, Pocut Meurah Intan yang tubuhnya telah dikoyak-koyak oleh peluru musuh, bersemedi di Tegal Sari, jauh dari bumi kelahirannya, sejak tanggal 28 September 1937 sebagaimana tertulis pada batu nisannya (menurut surat Gubernur Jawa Tengah kepada Gubernur Jenderal di Bogor, bahwa beliau meninggal pada tanggal 19 September 1937).
Pocut Meurah Intan adalah puteri seorang bangsawan yang turut berjuang melawan tentera kolonial Belanda. Suaminya seorang turunan Sultan Aceh, bernama Tuanku Abdul Majid bin Tuanku Abbas bin Sultan Alaidin Jauhar Syah Alam yang memerintah Aceh selama 28 tahun. Dari suaminya Pocut Meurah Intan mendapat putrera tiga orang, semuanya menjadi pahlawan perang Aceh, yaitu Tuanku Budiman, Tuanku Muhammad dan Tuanku Nurdin. Pocut Meurah Intan adalah "ibu tiri" dari permaisuri Sultan Alaidin Muhammad Daud Syah, Sultan terakhir dari kerajaan Aceh, yang setelah ditawan Belanda pada tahun 1903, lalu dibuang ke Ambon dan kemudian dipindahkan ke Batavia, dan meninggal disana.Tentang bagaimana keperkasaan dan semangat juang mempertahankan tanah air yang menggelora dalam tubuh pahlawan wanita Pocut Meurah Intan, dengan panjang lebar telah ditulis oleh seorang wartawan dan pengarang Belanda terkenal, H.C. Zentgraaff, dalam bukunya ATJEH. Pocut Baren
Dalam tahun-tahun Revolusi fisik 1945, di Aceh dibentuk satu lasykar rakyat yang sangat kuat persenjataannya dan amat tangguh organisasinya, bernama Divisi Rencong, di bawah pimpinan A . Hasjmy dan Nyak Neh Lhoknga. Dalam Divisi Rencong itu terdapat satu resimen Putri yang terdiri dari gadis remaja, bernama Resimen Pocut Baren, yang dibentuk pada tahun 1946, yang merupakan lasykar wanita pertama di Sumatera, dan mungkin di Indonesia.
Kepahlawanan Pocut Baren telah diangkat menjadi nama resimen tersebut. Pocut Baren adalah Puteri Teuku Cut Ahmad, Uleebalang Tungkop, lahir dalam kancah perang, tahun 1880. Darah kepahlawanan dari ayahnya mengalir ke dalam tubuh Pocut Baren. Dalam usia muda (7-14 tahun) ia selalu mengikuti ayahnya dalam berbagai medan perang di Aceh Barat, sehingga asap mesiu, dentuman meriam dan gemerincing keiewang tidaklah asing bagi remaja puteri itu.
Setelah berjihad sejak masih amat muda dengan tidak mengenai lelah, setelah ditawan sebagai orang yang tidak mempunyai kaki sebelah, dan setelah memimpin pemerintahan di Tungkop dan Geume dengan berhasil, maka pada tahun 1933, dalam usia 53 tahun, pahlawan wanita dari Aceh, Pocut Baren, meninggal dunia, dan meninggalkan nama yang harum sepanjang masa.
7. Teungku Fatimah
Seperti telah dikemukakan pada bagian terdahulu bahwa setelah Pang Nanggrou, suami Cut Meutia, mati syahid pada tanggal 24 September 1910, maka Cut Meutia melanjutkan perang grilya bersama putranya yang masih kecil, Teuku Raja Sabi. Namun Cut Meutia pun syahid sebulan kemudian, maka perjuangannya dilanjutkan oleh para panglima bawahannya, salah
seorang di antaranya ialah Teungku Cutpo Fatimah, yang berjuang bersama suaminya Teungku di Barat.
Teungku Fatimah adalah anak Teungku Khatim seorang ulama. Teungku Fatimah dan Teungku di Barat (suaminya) adalah sama-sama murid dari Teungku Khatim. Teungku di Barat dan Teungku Fatimah adalah Panglima-panglima dari pasukan Cut Meutia-Pang Nanggrou. Seperti pahlawan wanita lainnya yang telah dibicarakan, Teungku Fatimah pun berperang di medan laga dengan gagah berani, bahu membahu dengan suaminya dan pejuang yang lain.Pertempuran antara lain berlangsung di hutan Pasai, di mana di tempat itu di dalam suatu pertempuran yang sangat sengit, Teungku Fatimah dan suaminya teungku di Barat matisyahid bertindih mayat dengan disaksikan kayu-kayu perawan hutan Pasai dan diratapi kicauan burung-burung rimba. Itu terjadi pada tanggal 22 Pebruari 1912.
top related