pengalaman belajar lapangan chronic kidney...
Post on 02-Sep-2021
13 Views
Preview:
TRANSCRIPT
PENGALAMAN BELAJAR LAPANGAN
CHRONIC KIDNEY DISEASE
Oleh:
Putu Gupta Arya Gumilang (1902611065)
Pembimbing:
dr. I Gusti Ngurah Agung Tresna Erawan, M. Biomed., Sp. PD
DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA
BAGIAN/ SMF ILMU PENYAKIT DALAM
RUMAH SAKIT PUSAT SANGLAH DENPASAR
2019
i
PENGALAMAN BELAJAR LAPANGAN
CHRONIC KIDNEY DISEASE
Oleh:
Putu Gupta Arya Gumilang (1902611065)
Pembimbing:
dr. I Gusti Ngurah Agung Tresna Erawan, M. Biomed., Sp. PD
DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA
BAGIAN/ SMF ILMU PENYAKIT DALAM
RUMAH SAKIT PUSAT SANGLAH DENPASAR
2019
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa karena
atas karunia-Nya, Responsi yang berjudul “Chronic Kidney Disease” ini dapat
diselesaikan tepat pada waktunya. Pengalaman Belajar Lapangan ini disusun
dalam rangka mengikuti Kepaniteraan Klinik Madya di Bagian/SMF Ilmu
Penyakit Dalam RSUP Sanglah Denpasar.
Dalam penyusunan Pengalaman Belajar Lapangan ini, penulis banyak
memperoleh bimbingan, petunjuk serta bantuan dan dukungan dari berbagai
pihak. Melalui kesempatan ini, penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada yang terhormat:
1. Dr. dr. Ketut Suega, Sp.PD-KHOM selaku Kepala Bagian/SMF Ilmu Penyakit
Dalam FK UNUD/RSUP Sanglah Denpasar
2. dr. Made Susila Utama, Sp.PD-KPTI selaku Koordinator Pendidikan sekaligus
Pembimbing kami di Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam FK UNUD/RSUP
Sanglah Denpasar,
3. dr. I Gusti Ngurah Agung Tresna Erawan, M. Biomed., Sp. PD selaku
pembimbing.
4. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu atas dukungan dan
bantuan yang telah diberikan dalam penyelesaian laporan ini.
Penulis menyadari bahwa laporan ini jauh dari sempurna. Oleh karena itu,
kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan. Semoga
laporan ini dapat memberikan sumbangan ilmiah dalam masalah kesehatan.
Denpasar, 21 Oktober 2019
Penulis
iii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ............................................................................................................ i
KATA PENGANTAR ........................................................................................................ ii
DAFTAR ISI ...................................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................... 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................................... 4
2.1 Definisi CKD ....................................................................................................... 4
2.2 Klasifikasi CKD................................................................................................... 4
2.3 Epidemiologi CKD .............................................................................................. 6
2.4 Faktor Risiko CKD .............................................................................................. 7
2.5 Patofisiologi CKD ............................................................................................. 11
2.6 Manifestasi Klinis CKD .................................................................................... 12
2.7 Diagnosis ........................................................................................................... 13
2.8 Penatalaksanaan CKD ....................................................................................... 17
2.9 Prognosis CKD .................................................................................................. 25
BAB III LAPORAN KASUS............................................................................................ 27
BAB IV KUNJUNGAN LAPANGAN ............................................................................. 38
BAB V SIMPULAN ......................................................................................................... 52
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................... 53
LAMPIRAN FOTO KEGIATAN ..................................................................................... 54
2
BAB I
PENDAHULUAN
Chronic Kidney Disease atau Penyakit Ginjal Kronis (PGK) merupakan
proses patofisiologis dengan etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan
fungsi ginjal yang progresif, dan umumnya berakhir dengan gagal ginjal. 1,3
The
Kidney Disease Outcomes Quality Initiative (K/DOQI) of the National Kidney
Foundation (NKF) mendefinisikan Chronic Kidney Disease sebagai kerusakan
ginjal secara struktural atau fungsional yang berlangsung dalam waktu > 3 bulan,
atau tingkat penurunan Laju Filtrasi Glomerulus (LFG) kurang dari 60
mL/min/1.73 m2dalam waktu ≥3 bulan yang dengan atau tanpa kerusakan struktur
ginjal.2
Chronic Kidney Disease dipengaruhi oleh banyak faktor resiko dengan
patofisiologi yang masih belum dimengerti secara sempurna. Chronic Kidney
Disease merupakan faktor risiko independen untuk penyakit kardiovaskular
(CVD). Semua tahapan CKD dikaitkan dengan peningkatan risiko morbiditas
kardiovaskular, mortalitas dini, dan / atau penurunan kualitas hidup. Kebanyakan
penderita CKD tidak sampai pada tahap kegagalan ginjal, namun penderita akan
meninggal terlebih dahulu karena komplikasi dari penyakit kardiovaskular.1,3
Prevalensi CKD di negara maju mencapai 11-13% dari populasi. Di
negara barat CKD telah menjadi suatu permasalahan dengan angka peningkatan
kasus dialisis pertahun 6-8%. Dari suatu Systematic Review and Meta-Analysis
yang dilakukan oleh Oxford Univeristy didapatkan prevalensi CKD stadium 1 - 5
adalah 13,4% dan 10,6% stadium 3 – 5.3
Di Indonesia sendiri jumlah penderita
baru CKD semakin meningkat setiap tahunya. Menurut IRR, pada tahun 2014
tercatat penderita baru CKD sebanyak 17.193 dan khususnya untuk daerah Bali
sebanyak 1.258 pasien.4
Chronic Kidney Disease disebabkan oleh berbagai etiologi yang
mendasari, yang menyebabkan kerusakan massa ginjal dengan sklerosis yang
menetap dan hilangnya nefron akan mengarah ke penurunan progresifitas Laju
Filtrasi Glomerulus. Dalam menghadapi cedera, ginjal memiliki kemampuan
3
untuk mempertahankan Laju Filtrasi Glomerulus. Meskipun kerusakan nefron
terjadi secara progresif, Laju Filtrasi Glomerulus dipertahankan dengan
hiperfiltrasi dan kompensasi hipertrofi nefron sehat yang masih tersisa.
Kandungan toksin dalam plasma seperti urea dan kreatinin mulai menunjukkan
peningkatan yang signifikan hanya setelah total Laju Filtrasi Glomerulus
menurun hingga 50%, dimana ginjal sudah tidak mampu mengkompensasi lagi.5
Pada CKD, fungsi ekskresi dan sekresi ginjal menurun dan mengakibatkan
berbagai gejala secara sistemik. Pasien dengan penyakit gagal ginjal kronik
stadium 1-3 umumnya bersifat asimtomatik, sedangkan manifestasi klinis
biasanya muncul pada stadium 4-5. Manifestasi klinis yang timbul pada CKD
dapat sesuai dengan penyakit yang mendasari, karena adanya sindrom uremia,
maupun gejala dari komplikasi yang ditimbulkan.1
Modifikasi factor resiko CKD dilakukan pada hipertensi, obesitas,
sindroma metabolik, hiperkolesterolemia, anemia, dan rokok. Menurut KDIGO,
CKD dengan tanda-tanda kegagalan ginjal (serositis, gangguan keseimbangan
asam-basa atau elektrolit, pruritus), kegagalan pengontrolan volume dan tekanan
darah, gangguan status gizi yang refrakter, dan gangguan kognitif membutuhkan
terapi hemodialisis. Pada penderita yang sudah mencapai CKD stadium 4 juga
harus dimulai terapi hemodialisis.2
Hemodialisis adalah proses pertukaran zat terlarut dan produk sisa tubuh.
Zat sisa yang menumpuk pada pasien CKD ditarik dengan mekanisme difusi pasif
membran semipermiabel. Perpindahan produk sisa metabolik berlangsung
mengikuti penurunan gradien konsentrasi dari sirkulasi ke dalam dialisa. Dengan
metode tersebut diharapkan pengeluaran albumin yang terjadi pada pasien CKD
dapat diturunkan, gejala uremia berkurang, sehingga gambaran klinis pasien juga
dapat membaik.2
Penting untuk melakukan diagnosis dini, modifikasi pola hidup, dan
pengobatan penyakit yang mendasari. Penanganan CKD memerlukan kerjasama
tim medis, pasien, serta keluarga dan lingkungan. Edukasi terhadap pasien dan
keluarganya tentang penyakit dan komplikasi yang memungkinkan sangat
membantu memperbaiki hasil pengobatan. Meskipun CKD merupakan penyakit
4
yang ireversibel, akan tetapi dengan penangan yang baik dapat mengurangi gejala
yang muncul dan memperbaiki kualitas hidup penderitanya1
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Chronic Kidney Disease (CKD) atau Penyakit Ginjal Kronis (PGK) adalah
suatu proses patofisiologis dengan etiologi yang beragam, mengakibatkan
penurunan fungsi ginjal yang progresif, dan pada umumnya berakhir dengan gagal
ginjal. Gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan
fungsi ginjal yang ireversibel, pada suatu derajat yang memerlukan terapi
pengganti ginjal tetap, dapat berupa dialisis atau transplantasi ginjal.1 Kerusakan
ginjal mengacu pada berbagai macam kelainan yang ditemukan selama
pemeriksaan, yang bisa saja bersifat non-spesifik terhadap penyakit penyebabnya
tetapi dapat mengarah pada penurunan fungsi ginjal. Fungsi ekskresi, endokrin,
dan metabolik menurun secara bersamaan pada hampir semua kasus CKD.
Adapun yang termasuk kriteria CKD menurut KDIGO 2012 adalah sebagai
berikut2:
1. Kerusakan ginjal ≥ 3 bulan, berupa kelainan struktural atau fungional yang
dapat dideteksi melalui pemeriksaan laboratorium (albuminuria (AER ≥ 30
mg/24jam; ACR ≥ 30 mg/g [≥3 mg/mmol]), abnormalitas sedimen urin,
gangguan elektrolit atau yang lain oleh karena gangguan pada tubulus,
kelainan pada pemeriksaan histologi, kelainan struktural yang terdeteksi
melalui pemeriksaan radiologi, atau riwayat transplantasi ginjal.2
2. Penurunan Laju Filtrasi Glomerulus (LFG < 60 ml/menit/1,73 m2) dalam
waktu lebih dari 3 bulan, dengan atau tanpa kelainan struktural ginjal.2
2.2 Klasifikasi
Klasifikasi CKD didasarkan atas dua hal yaitu atas dasar derajat penyakit
dan atas dasar diagnosis etiologi. Klasifikasi atas dasar derajat penyakit, dibuat
atas dasar LFG yang dihitung dengan mempergunakan rumus Kockroft-Gault
sebagai berikut:
LFG (ml/menit/1,73m
2) = (140 – umur) x berat badan (kg)
72 x kreatinin plasma (mg/dl)
6
Pada perempuan, rumus tersebut dikalikan 0,85. Rumus Kockroft-Gault tidak
berlaku pada umur di bawah 18 tahun atau di atas 80 tahun, berat badan di bawah
40 kg atau di atas 100 kg, wanita hamil, pasien penderita Acute Kidney Injury
(AKI), kerusakan otot yang luas (crush syndrome, tetraparesis), atau ada anggota
tubuh yang tidak lengkap (amputasi).1 National Kidney Foundation
merekomendasikan menggunakan CKD-EPI dan MDRD yang terdiri atas
beberapa item yang harus diisi yaitu umur, jenis kelamin, ras dan serum kreatinin
kemudian akan dikalkulasikan sehingga didapatkan eGFR. 10
Klasifikasi atas dasar derajat penyakit dapat dilihat di tabel berikut:2
Tabel 1. Derajat Penyakit Berdasarkan LFG Dan Albumin
Kategori GFR
(ml/min/1.73m2)
Kategori Albumin Persistent
A1 A2 A3
Peningkatan
Normal
hingga sedang
Peningkatan
sedang
Peningkatan
berat
< 30 mg/g
<3mg/mmol
30-300mg/g
3-30mg/mmol
>300mg/g
>30mg/mmol
G1 Normal atau
high
>90
G2 Penurunan
ringan
60-89
G3a Penurunan
ringan samai
sedang
45-59
G3b Penurunan
sedang sampai
berat
30-44
G4 Penurunan
berat
16-29
G5 Gagal ginjal <15
7
Sedangkan klasifikasi atas dasar diagnosis etiologi dilihat di tabel berikut:1
Tabel 2. Klasifikasi Atas Dasar Diagnosis Etiologi
Penyakit Tipe mayor (contoh)
Penyakit ginjal diabetes Diabetes tipe 1 dan 2
Penyakit ginjal non diabetes Penyakit glomerular
(penyakit autoimun, infeksi sistemik,
obat, neoplasia)
Penyakit vaskular
(penyakit pembuluh darah besar,
hipertensi, mikroangiopati)
Penyakit tubulointerstitial
(pielonefritis kronik, batu, obstruksi,
keracunan obat)
Penyakit kistik (ginjal polikistik)
Penyakit pada transplantasi Rejeksi kronik
Keracunan obat (siklosporin
/takrolimus)
Penyakit recurrent (glomerular)
Transplant gromerulopathy
2.3 Epidemiologi
Chronic Kidney Diseasemerupakan penyakit yang sering dijumpai pada
praktek klinik sehari-hari. Prevalensinya di negara maju mencapai 10-13% dari
populasi. Di Australia pada tahun 2015 diperkirakan terdapat 1.7 juta pasien yang
menderita Chronic Kidney Disease, atau 1 dari 10 orang di Australia mengalami
8
Chronic Kidney Disease.7 Di negara-negara berkembang lainnya, insiden ini
diperkirakan sekitar 40-60 kasus per juta penduduk per tahun.1
Di Indonesia, populasi yang terdiagnosis CKD sebesar 0,2% yang lebih
rendah dari prevalensi CKD di negara-negara lain. Menurut data Indonesian
Renal Registry (IRR) tahun 2017 proporsi diagnosa utama pasien yang menjalani
hemodialisis adalah penyakit ginjal kronik (27637; 90%), gagal ginjal akut pada
gagal ginjal kronik (593; 2%) dan gagal ginjal akut (2375; 8%) .4
2.4 Faktor Resiko
Menurut data Indonesian Renal Registry (IRR) tahun 2017, hipertensi
muncul sebagai penyebab tertinggi. Dikelompokkan pada sebab lain diantaranya
nefritis lupus, nefropati urat, intoksikasi obat, penyakit ginjal bawaan, tumor
ginjal, dan penyebab yang tidak diketahui. 4
Tabel 3. Penyebab Gagal Ginjal yang Menjalani Hemodialisis di Indonesia Tahun
2017 4
Penyebab Jumlah
Penyakit ginjal hipertensi 36%
Nefropati diabetika 29%
Glomerulopati primer 12%
Pielonefritis kronis 7%
Nefropati urat 1%
Penyakit ginjal pilikistik 1%
Tidak diketahui 1%
Sebab lain 8%
2.4.1 Glomerulonefritis
Seluruh bentuk dari penyakit glomerulonephritis akut dapat menjadi
progresif dan menyebabkan perubahan menjadi glomerulonephritis kronik.
9
Kondisi ini dikarakteristikan sebagai ireversibilitas dan progresifitas glomerulus
dan fibrosis dari tubulointerstitial, yang menyebabkan terjadinya penurunan pada
laju filtrasi glomerulus (LFG) dan retensi terhadap racun uremia. Bila
progresifitas dari glomerulonephritis kronik tidak segera ditangani, maka
glomerulonephritis kronik dapat berubah menjadi CKD, penyakit gagal ginjal, dan
bahkan penyakit kardiovaskular.2
2.4.2 Diabetes Mellitus
Diabetes mellitus merupakan penyakit menahun yang akan diderita
seumur hidup. Diabetes dapat terjadi saat tubuh tidak memproduksi insulin yang
cukup atau tubuh tidak dapat menggunakan insulin yang sudah ada. Insulin
merupakan hormon yang sangat penting untuk mengatur kadar glukosa dalam
darah.8
Diabetes mellitus adalah epidemi yang berkembang dan merupakan
penyebab umum penyakit ginjal kronis (CKD) dan gagal ginjal. Nefropati
diabetik mempengaruhi kira-kira 20–40% orang yang menderita diabetes,
menjadikannya salah satu komplikasi diabetes paling umum. Skrining untuk
nefropati diabetik bersama dengan intervensi awal merupakan hal mendasar untuk
menunda perkembangan penyakit bersamaan dengan penyediaan yang tepat
terhadap kontrol glikemik. Mengingat pertumbuhan populasi sekarang yang
terkena diabetes semakin banyak, pengetahuan mengenai keamanan penggunaan
berbagai anti-hiperglikemik agen pada mereka dengan nefropati sangat penting.
Secara keseluruhan, diperlukan pengetahuan tentang pencegahan dan manajemen
diabetes nefropati serta perawatan yang komprehensif setiap pasien dengan
diabetes.8
Diabetes dapat merusak ginjal dengan memberikan gangguan pada aliran
darah yang melewati ginjal. Sistem filtrasi pada ginjal dipenuhi oleh pembuluh
darah yang sangat kecil. Seiring waktu, tingginya kadar gula dalam darah dapat
menyebabkan pembuluh darah tersebut menjadi sempit dan terhambat. Tanpa
darah yang cukup, kerusakan dapat terjadi pada ginjal dan albumin dapat
melewati sistem filtrasi tersebut dan akan didapatkan pada urin, dimana hal
tersebut tidak seharusnya terjadi.6
10
Rekomendasi untuk skrining nefropati pada diabetes, pasien dengan
diabetes harus diskrining setiap tahun. Pada individu dengan diabetes tipe
1,skrining untuk nefropati harus dimulai 5 tahun setelahnyadiagnosis diabetes.
Biasanya dibutuhkan sekitar 5 tahun untuk terjadinya komplikasi mikrovaskular.
Pada pasien diabetestipe 2, skrining harus dimulai sejak diagnosis awal oleh
karena awitan diabetes yang tepat sering tidak diketahui. Nefropati diabetik dapat
dideteksi dengan pengukuran albumin urin atau kreatinin serum, dan keduanyates
harus dilakukan minimal setiap tahun, mereka yang memiliki level abnormal
harus melakukan tes ulanglebih cepat. Tahap pertama nefropati biasanya
timbulalbumin urin yang meningkat yang memprediksi perkembangan CKD dan
penurunan laju filtrasi glomerulus secara bertahap. Beberapa individu dengan
CKD, tidak terjadi peningkatan albumin urin meningkat diawalnya. Sehingga
penting untuk melakukan tes darah selain tes pengukuran albumin urin.
Disarankan untuk menggunakan kedua modalitas tes tersebut untuk
mengidentifikasi kasus nefropatidaripada menggunakan salah satu tes saja.8
Terdapat dua tipe dari diabetes mellitus:
2.4.2.1 Diabetes Mellitus Tipe 1
Diabetes mellitus tipe 1 merupakan penyakit kronik yang ditandai dengan
ketidakmampuan tubuh dalam memproduksi insulin karena proses penghancuran
sel β di pankreas oleh autoimun. Biasanya diabetes mellitus tipe 1 sudah dapat
ditemukan sejak anak-anak, namun penyakit ini juga dapat berkembang pada
dewasa dengan umur 30-40 tahun. 8
Tidak seperti pasien dengan diabetes mellitus tipe 2, pasien dengan
diabetes mellitus tipe 1 biasanya tidak mengalami obesitas dan biasanya muncul
diawali dengan diabetic ketoacidosis (DKA). Karakteristik yang terlihat pada
pasien dengan diabetes mellitus tipe 1 adalah, apabila pasien tersebut berhenti
menggunakan insulin, ketosis dan ketoasidosis juga akan muncul. Sehingga
pasien dengan diabetes mellitus tipe 1 bergantung dan diobati dengan exogenous
insulin yang digunakan sehari-hari disertai dengan diet makanan yang sudah
direncanakan.1,8
11
2.4.2.2 Diabetes Mellitus Tipe 2
Diabetes mellitus tipe 2 terdiri dari beberapa kelainan fungsi yang
dikarakteristikkan dengan hyperglikemia dan merupakan hasil kombinasi dari
resistensi terhadap kinerja insulin, sekresi insulin yang inadekuat, dan sekresi
glukagon yang berlebihan. Diabetes mellitus tipe 2 yang tidak di tangani dengan
baik akan menyebabkan komplikasi yang melibatkan gangguan pada sistem
mikrovaskular, makrovaskular, dan neuropatik.6,8
Komplikasi mikorvaskular meliputi penyakit pada retina, renal dan juga
neuropatik. Komplikasi makrovaskular yang dapat terjadi meliputi gangguan
arteri coroner dan penyakit pada pembuluh darah perifer. Sedangkan komplikasi
yang terjadi pada sistem neuropati dapat mempengaruhi sistem saraf autonomik
maupun perifer.8
2.4.3 Hipertensi
Hipertensi adalah tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg dan tekanan darah
diastolik ≥ 90 mmHg. Hipertensi dapat dibedakan menjadi primer/esensial dan
sekunder berdasarkan penyebabnya. Hipertensi primer/esensial apabila tidak
diketahui penyebabnya dan hipertensi sekunder apabila diketahui penyakit pada
ginjalnya atau disebut juga hipertensi renal. Penyakit ginjal hipertensif merupakan
salah satu penyebab CKD.8
Hipertensi secara kuat terkait dengan CKD. Beberapa penelitian prospektif
besar telah dilakukan pada populasi umum ditemukan bahwa hipertensi
merupakan fakor risiko independen yang kuat untuk terjadinya CKD. 6
Hipertensi dapat menimbulkan CKD melalui dua mekanisme, yang
pertama yaitu hipertensi kronik dapat mestimulasi terjadinya iskemia pada
glomerulus sehingga terjadi penyempitan pembuluh darah kapiler didalam
glomerulus dan menurunkan aliran darah ke dalam glomerulus.
Pada pasien dengan CKD terjadi gangguan pada pengaturan natrium ginjal
yang menimbulkan peningkatan tekanan darah. Awalnya terjadi peningkatan
volume cairan ekstraseluler, yang mengakibatkan peningkatan tekanan darah
meskipun terjadi penurunan resistensi perifer total. Pada tahap ini akan terjadi
12
peningkatan curah jantung yang memediasi terjadinya peningkatan tekanan darah
yang bermanifestasi sebagai hipertensi sistolik. 8
Namun, secara bertahap, akan terjadi normalisasi volume ECF dan curah
jantung. Peningkatan resistensi perifer menimbulkan terjadinya peningkatan
tekanan darah, dimana akan meningkatkan tekann darah diastolik. Selanjutnya,
aktivasi dari sistem renin-angiotensin dapat merangsang sistem saraf simpatik dan
berkontribusi terhadap hipertensi. Selain itu,beberapa faktor lain telah diusulkan
berkontribusi terhadap peningkatan resistensi pembuluh darah pada pasien dengan
CKD. 8
2.5 Patofisiologi
Chronic Kidney Disease disebabkan oleh adanya gangguan atau kerusakan
pada ginjal, terutama pada komponen filtrasi ginjal seperti membran basal
glomerulus, sel endotel, dan sel podosit. Kerusakan komponen ini dapat
disebabkan secara langsung oleh kompleks imun, mediator inflamasi, atau toksin.
Selain itu, dapat pula disebabkan oleh mekanisme progresif yang berlangsung
dalam jangka panjang. Berbagai sitokin dan growth factor berperan dalam
menyebabkan kerusakan ginjal.9
Patofisiologi CKD pada awalnya tergantung pada penyakit yang
mendasarinya, tapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang terjadi kurang
lebih sama. Pengurangan massa ginjal mengakibatkan hipertrofi struktural dan
fungsional nefron yang masih tersisa (surviving nephrons) sebagai upaya
kompensasi, yang diperantarai oleh molekul vasoaktif seperti sitokin dan growth
factors. Hal ini mengakibatkan terjadinya hiperfiltrasi, yang diikuti oleh
peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus. Proses adaptasi ini
berlangsung singkat, akhirnya diikuti oleh proses maladaptasi berupa sklerosis
nefron yang masih tersisa. Proses ini akhirnya diikuti dengan penurunan fungsi
nefron yang progresif, walapun penyakit dasarnya sudak tidak aktif lagi. Adanya
peningkatan aktivitas aksis rennin-angiotensin-aldosteron intrarenal ikut
memberikan kontribusi terhadap terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis, dan
progresifitas tersebut. Aktivasi jangka panjang aksis renin-angiotensin-aldosteron
sebagian diperantarai oleh growth factor seperti transforming growth factor β
(TGF-β). Beberapa hal yang juga dianggap berperan terhadap terjadinya
13
progresifitas CKD adalah albuminuria, hipertensi, hiperglikemia, dislipidemia.
Terdapat variabilitas interindividual untuk terjadinya sklerosis dan fibrosis
glomerulus maupun tubulointerstitial.1
Gambar 1. Patogenesis CKD1
Sumber : N Engl J Med.2004
2.6 Manifestasi Klinis
Pasien dengan CKD derajat 1 hingga 3 dengan LFG >30 mL/menit/1,73
m2 sering asimptomatik atau tidak menunjukkan gejala, yang artinya pasien belum
mengalami gejala yang terdapat pada gangguan keseimbangan air ataupun
elektrolit, atau kekacauan dari sistem endokrin dan sistem metabolik.2
14
Gejala lebih sering muncul pada pasien dengan CKD derajat 4 hingga 5
dengan LFG < 30 mL/menit/1,73 m2. Pasien dengan gangguan pada
tubulointerstitial, cystic, sindroma nefrotik, dan kondisi lainnya yang sering
disebut dengan gejala positif seperti poliuri, hematuria, edema, lebih sering
memperlihatkan tanda-tanda penyakit pada derajat yang lebih awal.2
Manifestasi klinis berupa sindrom uremik pada pasien dengan CKD
derajat 5 biasanya terjadi oleh akibat dari akumulasi dari berbagai racun dengan
jenis yang belum diketahui. Asidosis metabolik pada CKD derajat 5 akan
termanifestasi sebagai malnutrisi energi dan protein, kehilangan massa tubuh, dan
kelemahan otot. Peningkatan kadar garam dan cairan yang di hadapi oleh ginjal
pada CKD dapat menyebabkan terjadinya edema perifer dan tidak jarang hingga
menjadi edema paru dan hipertensi.2
Anemia pada CKD terjadi akibat penurunan sintesis eritropoietin oleh
ginjal, yang akhirnya akan menimbulkan gejala seperti lemas, penurunan
kemampuan dalam berkegiatan, penurunan kesadaran dan fungsi imun, dan
penurunan kualitas hidup. Anemia juga berhubungan dengan munculnya penyakit
kardiovaskular, kejadian baru dari gagal jantung ataupun perburukan dari penyakit
gagal jantung, hingga peningkatan kematian yang disebabkan oleh sistem
kardiovaskular.2
Manifestasi klinis uremia lainnya yang dapat muncul pada derajat akhir
dari CKD, utamanya pada pasien yang tidak menjalani proses dialisa dengan
adekuat, diuraikan sebagai berikut: 10
- Perikarditis, yang didapatkan oleh karena komplikasi dari tamponade jantung,
yang dapat menyebabkan kematian.
- Ensepalopati yang dapat menyebabkan koma hingga kematian
- Neuropati perifer
- Restless Leg Syndrome
- Gejala gastrointestinal seperti anoreksia, mual, muntah, diare
- Manifestasi pada kulit seperti kulit kering, pruritus, ekimosis
- Lemas, malnutrisi
- Disfungsi ereksi, penurunan libido, amenorea
15
- Disfungsi platelet dengan peningkatan kemungkinan untuk perdarahan.
2.7 Diagnosis
Diagnosis pasti sering memerlukan biopsi ginjal yang meskipun sangat
jarang dilakukan karena dapat menimbulkan komplikasi. Oleh karena itu, biopsi
ginjal dilakukan pada pasien tertentu yang diagnosis pastinya hanya dapat
ditegakkan dengan biopsi ginjal atau jika diagnosis pasti tersebut akan merubah
baik pengobatan maupun prognosis. Pada sebagian pasien diagnosis ditegakkan
berdasarkan gambaran klinik yang lengkap dan faktor penyebab yang didapat dari
evaluasi klinik dan pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan laboratorium dan
pencitraan ginjal.1
2.7.1 Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis pasien CKD meliputi:1
1. Sesuai dengan penyakit yang mendasari seperti diabetes mellitus, infeksi
traktus urinarius, batu traktus urinarius, hipertensi, hiperurikemi, Lupus
Eritematosus Sistemik dan lain sebagainya.
2. Sindrom uremia yang terdiri dari lemah, letargi, anoreksia, mual muntah,
nokturia, kelebihan volume cairan (volume overloaded), neuropati perifer,
pruritus, uremic frost, perikarditis, kejang-kejang sampai koma.
3. Gejala komplikasinya antara lain, hipertensi, anemia, osteodistrofi renal,
payah jantung, asidosis metabolik, dan gangguan keseimbangan elektrolit
(sodium, kalium, klorida).
2.7.2 Gambaran Laboratorium
Gambaran laboratorium CKD meliputi:1
1. Sesuai dengan penyakit yang mendasarinya
2. Penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan kadar ureum dan kreatinin
serum, dan penurunan LFG yang dihitung mempergunakan rumus
Kockcroft-Gault. Kadar kreatinin serum saja tidak bisa dipergunakan
untuk memperkirakan fungsi ginjal.
3. Kelainan biokimiawi darah meliputi penurunan kadar hemoglobin,
peningkatan kadar asam urat, hiper atau hipokalemia, hiponatremia, hiper
atau hipokloremia, hiperfosfatemia, hipokalemia, asidosis metabolik.
16
4. Kelainan urinalisis meliputi proteinuria, hematuri, leukosuria, cast,
isostenuria.
2.7.3 Gambaran Radiologis
Pemeriksaan radiologis CKD meliputi:1
1. Foto polos abdomen, bisa tampak batu radio-opak
2. Pielografi intravena jarang dikerjakan karena kontras sering tidak bisa
melewati filter glomerulus, di samping kekhawatiran terjadinya pengaruh
toksik oleh kontras terhadap ginjal yang sudah mengalami kerusakan
3. Pielografi antegrad atau retrograd dilakukan sesuai indikasi
4. Ultrasonografi ginjal bisa memperlihatkan ukuran ginjal yang mengecil,
korteks yang menipis, adanya hidronefrosis atau batu ginjal, kista, massa,
kalsifikasi
5. Pemeriksaan pemindaian ginjal atau renografi dikerjakan bila ada indikasi.
2.7.4 Biopsi dan Pemeriksaan Histopatologi Ginjal
Biopsi dan pemeriksaan histopatologi ginjal dilakukan pada pasien dengan
ukuran ginjal yang masih mendekati normal, dimana diagnosis secara noninvasive
tidak bisa ditegakkan. Pemeriksaan histopatologi ini bertujuan untuk mengetahui
etiologi, menetapkan terapi, prognosis, dan mengevaluasi hasil terapi yang telah
diberikan. Kontra indikasi biopsi ginjal pada keadaan dimana ukuran ginjal sudah
mengecil (cintracted kidney), ginjal polikistik, hipertensi yang tidak terkendali,
infeksi perinefrik, gangguan pembekuan darah, gagal nafas, dan obesitas.1
2.8 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan CKD meliputi1:
1. Terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya
2. Pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid (comorbid condition)
3. Memperlambat pemburukan (progression) fungsi ginjal
4. Pencegahan dan terapi terhadap komplikasi
5. Terapi pengganti ginjal berupa dialisis atau transplantasi ginjal
17
Perencanaan tatalaksana (action plan) CKD sesuai dengan derajatnya dapat dilihat
pada tabel berikut.1
Tabel 4. Rencana Tatalaksana CKD Sesuai dengan Derajatnya1
Derajat LFG(mL/menit/1,73 m2) Rencana Tatalaksana
1
≥ 90 Terapi penyakit dasar, kondisi komorbid,
evaluasi pemburukan (progression)
fungsi ginjal, memperkecil risiko
kardiovaskular
2 60-89 Menghambat pemburukan (progression)
fungsi ginjal
3 30-59 Evaluasi dan terapi komplikasi
4 15-29 Persiapan untuk terapi pengganti ginjal
5 < 15 Dialisis atau terapi pengganti ginjal
2.8.1 Terapi Spesifik Terhadap Penyakit Dasarnya
Waktu yang paling tepat untuk terapi penyakit dasarnya adalah sebelum
terjadinya penurunan LFG, sehingga perburukan fungsi ginjal tidak terjadi. Pada
ukuran ginjal yang masih normal secara USG, biopsy, dan pemeriksaan
histopatologi ginjal dapat menetukan indikasi yang tepat terhadap terapi spesifik.
Sebaliknya, bila LFG sudah menurun sampai 20-30% dari normal, terapi terhadap
penyakit dasar sudah tidak banyak bermanfaat.1,2
2.8.2 Pencegahan dan Terapi Terhadap Kondisi Komorbid
Penting sekali mengikuti kecepatan penurunan LFG pada pasien CKD. Hal
ini untuk mengetahui kondisi komorbid yang dapat memperburuk keadaan pasien.
18
Faktor komorbid tersebut antara lain gangguan keseimbangan cairan, hipertensi
yang tidak terkontrol, infeksi traktus urinarius, obat-obat nefrotoksik, bahan
radiokontras atau peningkatan aktivitas penyakit dasarnya.1,2
2.8.3 Memperlambat Perburukan (Progression) Fungsi Ginjal
Faktor utama penyebab perburukan fungsi ginjal adalah hiperfiltrasi
glomerulus. Cara penting untuk mengurangi hiperfiltrasi glomerulus adalah:1
2.8.3.1 Restriksi Protein.
Pembatasan protein mulai dilakukan pada LFG< 60 ml/mnt, sedangkan
diatas nilai tersebut, pembatasan asupan protein tidak selalu dianjurkan. Pada
penderita CKD konsumsi protein yang direkomendasikan adalah 0,8 gr/kgBB/hari
(50% protein dianjurkan yang mempunyai nilai biologi tinggi) dengan kalori 30-
35 kkal/kgBB/hari. Sebab kelebihan protein tidak disimpan dalam tubuh tapi
dipecah menjadi urea dan substansi nitrogen lain yang terutama diekskresikan
melalui ginjal. Oleh karena itu, diet tinggi protein pada pasien CKD akan
mengakibatkan penimbunan substansi nitrogen dan ion anoganik lain dan
mengakibatkan gangguan klinis dan metabolik yang disebut uremia. Selain itu,
asupan protein berlebih akan mengakibatkan perubahan hemodinamik ginjal
berupa peningkatan aliran darah dan tekanan intraglomerulus yang akan
meningkatkan perburukan fungsi ginjal. Pembatasan asupan protein juga
berkaitan dengan pembatasan asupan fosfat, karena protein dan fosfat selalu
berasal dari sumber yang sama. Dibutuhkan pemantauan yang teratur terhadap
status nutrisi pasien. Jika terjadi malnutrisi, jumlah asupan protein dan kalori
dapat ditingkatkan.1
Pada pasien dengan terapi hemodialisis (HD), untuk mempertahankan
keadaan klinik stabil, protein yang dianjurkan adalah 1.2 gr/kgBB/hari karena
pada pasien HD kronik sering mengalami malnutrisi. Malnutrisi pada pasien HD
kronik disebabkan oleh intake protein yang tidak adekuat, proses inflamasi kronik
dalam proses dialisis, dialysis reuse, adanya penyakit komorbid, gangguan
19
gastrointestinal, post dialysis fatigue, dialisis yang tidak adekuat, overhidrasi
interdialitik.1
2.8.3.2 Terapi Farmakologis
Pemakaian obat antihipertensi, disamping bermanfaat untuk memperkecil
risiko kardiovaskular juga sangat penting untuk menghambat perburukan
kerusakan nefron dengan mengurangi hipertensi intraglomerulus dan hipertrofi
glomerulus. Di samping itu, sasaran terapi farmakologis sangat terkait dengan
derajat proteinuria. Proteinuria merupakan faktor resiko terjadinya perburukan
fungsi ginjal. Beberapa obat antihipertensi terutama penghambat enzim yang
merubah angiotensin (ACE inhibitor) melalui berbagai studi dapat memperlambat
proses perburukan fungsi ginjal lewat mekanismenya sebagai antihipertensi dan
antiproteinuria.1
2.8.3.3 Pencegahan dan Terapi Terhadap Penyakit Kardiovaskular
Hal-hal yang termasuk dalam pencegahan dan terapi terhadap penyakit
kardiovaskular adalah pengendalian diabetes, hipertensi, dislipidemia, anemia,
hiperfosfatemia, dan terapi terhadap kelebihan cairan dan gangguan keseimbangan
elektrolit. Semua ini terkait dengan pencegahan dan terapi terhadap komplikasi
CKD secara keseluruhan.1
a. Diabetes Mellitus
Pada pasien DM, kontrol gula darah, hindari pemakaian metformin dan
obat-obat sulfonilurea dengan masa kerja panjang. Target HbA1C untuk pasien
diabetes mellitus adalah 7% untuk mencegah atau memperlambat komplikasi
mikrovaksular. Tidak direkomendasikan untuk target HbA1c <7% pada pasien
dengan risiko hiperglikemia.2
b. Hipertensi
Pasien dengan diabetes maupun non-diabetes dengan CKD dan albumin
excretion rate (AER) <30 mg/24 jam dengan tekanan darah sistolik >140 mm Hg
dan diastolik >90 mm Hg direkomendasikan untuk target tekanan darah adalah
<140/90mmHg. Pada pasien dengan albumin excretion rate >30mg/24 jam
dengan tekanan darah >130/80mmHg direkomendasikan untuk menurunkan
20
tekanan darah dengan target ≤130/80mmHg. Penghambat perubahan enzim
angiotensin (Angiotensin Converting Enzyme/ ACE inhibitor) atau antagonis
reseptor Angiotensin II → evaluasi kreatinin dan kalium serum, bila terdapat
peningkatan kreatinin > 35% atau timbul hiperkalemia harus dihentikan.2
Penghambat kalsium, diuretic, beberapa obat antihipertensi, terutama
penghambat enzim converting angotensin (ACE inhibitor) dan angiotensin
reseptor bloker melalui berbagai studi terbukti dapat memperlambat proses
perburukan fungsi ginjal, hal ini terjadi lewat mekanisme kerjanya sebagai
antihipertensi dan antiproteinuria. Jika terjadi kontraindikasi atau terjadi efek
samping terhadap obat-obat tersebut dapat diberikan calcium channel bloker,
seperti verapamil dan diltiazem.1
c. Dislipidemia
Kontrol dislipidemia dengan target LDL,100 mg/dl dianjurkan golongan
statin.1
d. Anemia
Koreksi anemia dengan target Hb 11-12 g/dl. Anemia pada CKD terutama
disebabkan oleh defisiensi eritropoetin. Hal-hal lain yang ikut berperan dalam
terjadinya anemia, yaitu defisiensi asam besi, kehilangan darah (perdarahan
saluran cerna, hematuria), masa hidup eritrosit yang pendek akibat hemolisis,
defisiensi asam folat, penekanan pada sumsum tulang, proses inflamasi akut
maupun kronik. Evaluasi terhadap anemia dimulai saat kada Hb ≤ 10 g/dL atau
Hct ≤ 30%, meliputi evaluasi terhadap status besi, mencari sumber perdarahan,
morfologi eritrosit, kemungkinan adanya hemolisis. Pemberian transfusi pada
CKD harus dilakukan secara hati-hati, berdasarkan indikasi yang tepat dan
pemantauan yang cermat. Transfusi darah yang dilakukan secara tidak cermat
dapat mengakibatkan kelebihan cairan tubuh, hiperkalemia, dan pemburukan
fungsi ginjal.1
e. Hiperfosfatenemia
Pemberian diet rendah fosfat sejalan dengan diet pada pasien CKD secara
umum, yaitu tinggi kalori, rendah protein, dan rendah garam, karena fosfat
sebagian besar terkandung dalam daging dan produk hewan, seperti susu dan
telor. Asupan fosfat dibatasi 600-800 mg/hari. Pembatasan asupan fosfat yang
21
terlalu ketat tidak dianjurkan, untuk mencegah terjadinya malnutrisi. Pemberian
pengikat fosfat dapat pula diberikan pada pasien CKD dengan hiperfosfatemia.
Pengikat fosfat yang banyak dipakai, adalah garam kalium, aluminium hidroksida,
garam magnesium. Garam-garam ini diberikan secara oral, untuk menghambat
absorbs fosfat yang berasal dari makanan. Garam kalsium yang banyak dipakai
adalah kalsium karbonat (CaCO3) dan kalsium asetat. Pemberian bahan kalsium
mimetic (calcium mimetic agent). Akhir-akhir ini dikembangkan sejenis obat yang
dapat menghambat reseptor Ca pada kalenjar paratiroid, dengan nama sevelamer
hidrokhlorida. Obat ini disebut juga calcium mimetic agent.1
f. Kelebihan Cairan
Pembatasan cairan dan elektrolit bertujuan mencegah terjadinya edema
dan komplikasi kardiovaskular. Air yang masuk ke dalam tubuh dibuat seimbang
dengan air yang keluar dengan asumsi bahwa air keluar melalui insensible water
loss antara 500- 800 ml/hari, maka air yang dianjurkan masuk 500-800 ml
ditambah jumlah urin. Elektrolit yang harus diawasi adalah Na dan K sebab
hiperkalemia dapat mengakibatkan aritmia jantung yang fatal dan hipernatremia
dapat mengakibatkan hipertensi dan edema. Oleh karena itu pemberian obat-
obatan yang mengandung kalium dan makanan yang tinggi kalium seperti sayur
dan buah harus dibatasi. Kadar kalium darah dianjurkan 3.5-5.5 mEq/lt .1
g. Keseimbangan Asam Basa
Gangguan keseimbangan elektrolit utama pada CKD adalah hyperkalemia
dan asidosis. Hiperkalemia dapat tetap asimptomatis walaupun telah mengancam
jiwa. Perubahan gambaran EKG kadang baru terlihat setelah hyperkalemia
membahayakan jiwa. Pencegahan meliputi:1
- Diet rendah kalium, menghindari buah (pisang, jeruk, tomat) serta sayuran
rendah kalium;
- Menghindari pemakaian diuretika K-sparring.
Pengobatan hiperkalemia tergantung derajat kegawatannya, yaitu:1,2
- Gluconas calcicus IV (10 - 20 ml 10% Ca gluconate)
- Glukosa IV (25-50 ml glukosa 50%)
- Insulin-dextrose IV dengan dosis 2-4 unit aktrapid tiap 10 gram glukosa
22
- Natrium bikarbonat IV (25-100 ml 8,4% NaHCO3)
h. Koreksi asidosis metabolik dengan target HCO3 20-22 mEq/l
Asidosis menyebabkan keluhan mual, lemah, air hunger dan drowsiness.
Pengobatan intravena dengan NaHCO3 hanya diberikan pada asidosis berat,
sedangkan jika tidak gawat dapat diberikan secara peroral.5
2.8.4 Pencegahan dan Terapi Terhadap Komplikasi
2.8.4.1 Anemia
Penyebab utama terjadinya anemia pada pasien CKD adalah penurunan
produksi eritropoetin oleh ginjal. Disamping itu faktor non renal yang juga ikut
berkontribusi antara lain infeksi, inflamasi, masa hidup sel darah merah yang
pendek pada CKD dan faktor yang berpotensi menurunkan fungsi sumsum tulang
seperti defisiensi besi, defisiensi asam folat dan toksisitas aluminium. Selain itu
adanya perdarahan saluran cerna tersembunyi dan malnutrisi dapat menambah
beratnya keadaan anemia.1
Pemberian eritropoetin (EPO) merupakan hal yang dianjurkan dan status
besi harus diperhatikan karena EPO memerlukan besi dalam mekanisme kerjanya.
Tujuan pemberian EPO adalah untuk mengoreksi anemia renal sampai target Hb =
10g/dL. Target pencapaian Hb dengan transfusi darah adalah 7-9g/dL. Pemberian
transfusi darah pada pasien CKD harus hati-hati dan hanya diberikan pada
keadaan khusus yaitu:1
- Perdarahan akut dengan gejala gangguan hemodinamik
- Hb < 7g/dL dan tidak memungkinkan menggunakan EPO
- Hb < 8g/dL dengan gangguan hemodinamik
Pasien dengan defisiensi besi yang akan diprogram dengan EPO ataupun
yang telah mendapat EPO namun respon tidak adekuat, diberi preparat besi
intravena.1
23
2.8.4.2 Osteodistrofi Renal
Merupakan istilah yang menggambarkan secara umum semua kelainan
tulang akibat gangguan metabolisme Ca karena terjadinya penurunan fungsi
ginjal. Penatalaksanaannya dilakukan dengan cara mengatasi hiperfosfatemia dan
pemberian hormon kalsitriol. Hiperfosfatemia diatasi dengan pembatasan asupan
fosfat 600-800mg/hari, pemberian pengikat fosfat seperti kalsium karbonat
(CaCO3) dan kalsium asetat serta pemberian bahan kalsium mimetik yang dapat
menghambat reseptor Ca pada kelenjar paratiroid dengan nama sevelamer
hidroklorida. Dialisis yang dilakukan pada pasien dengan gagal ginjal juga
berperan dalam mengatasi hiperfosfatemia.1,6
Pemberian kalsitriol dibatasi pada pasien dengan kadar fosfat darah
normal dan kadar hormon PTH > 2,5 kali normal karena pemakaian kalsitriol
pada kadar fosfat darah yang tinggi dapat menyebabkan terbentuk garam fosfat
yang mengendap di jaringan lunak dan dinding pembuluh darah (kalsifikasi
metastatik).1,6
Selain itu pemberian kalsitriol juga dapat mengakibatkan penekanan
berlebihan terhadap kelenjar paratiroid.1,6
2.8.5 Terapi Pengganti Ginjal berupa Dialisis atau Transplantasi Ginjal
Dilakukan pada CKD stadium 5, yaitu pada LFG kurang dari 15 ml/mnt.
Terapi tersebut dapat berupa hemodialisis, peritoneal dialisis atau transplantasi
ginjal.5
Pembuatan akses vaskular sebaiknya sudah dikerjakan sebelum klirens
kreatinin dibawah 15 ml/menit. Dianjurkan pembuatan akses vaskular jika klirens
kreatinin telah dibawah 20 ml/menit. 5
Hemodialisis adalah proses pembuangan zat-zat sisa metabolisme, zat
toksis lainnya melalui mebran semipermiabel sebagai pemisah antara darah dan
cairan dialisat (suatu cairan khusus untuk dialisis) yang sengaja dibuat dalam
dialiser. Di dalam mesin dialiser darah dibersihkan dari zat-zat racun melalui
proses difusi dan ultrafiltrasi oleh dialisat, lalu dialirkan kembali dalam tubuh.
Proses hemodialisa dilakukan 1-3 kali seminggi dirumah sakit dan setiap kalinya
24
membutuhkan waktu sekitar 2-4 jam. Tujuan dilakukannya hemodialisis adalah
membuang produk metabolisme protein seperti urea, kreatinin, dan asam urat,
membuang kelebihan air, mempertahankan atau mengembalikan sistem buffer
tubuh, mempertahankan atau mengembalikan kadar elektrolit tubuh, memperbaiki
status kesehatan penderita.2
Indikasi hemodialisis dibedakan menjadi 2 yaitu : hemodialisis emergency
atau hemodialisis segera dan hemodialisis kronik. Keadaan akut tindakan dialisis
dilakukan pada : Kegawatan ginjal dengan keadaan klinis uremik berat,
overhidrasi, oliguria (produksi urine <200 ml/12 jam), anuria (produksi urine <50
ml/12 jam), hiperkalemia (terutama jika terjadi perubahan EKG, biasanya K >6,5
mmol/I), asidosis berat (PH <7,1 atau bikarbonat <12 meq/I), uremia (BUN >150
mg/dL), ensefalopati uremikum, neuropati/miopati uremikum, perikarditis
uremikum, disnatremia berat (Na>160 atau <115 mmol/I), hipertermia, keracunan
akut (alkohol, obat-obatan) yang bisa melewati membran dialisis.11
Indikasi hemodialisis kronis adalah hemodialisis yang dilakukan
berkelanjutan seumur hidup penderita dengan menggunakan mesin hemodialisis,
dialisis dimulai jika GFR <15 ml/mnt, keadaan pasien yang mempunyai GFR <15
ml/mnt tidak selalu sama, sehingga dialisis dianggap baru perlu dimulai jika
dijumpai salah satu dari : 1) GFR <15 ml/mnt, tergantung gejala klinis, 2) gejala
uremia meliputi: lethargi, anoreksia, nausea dan muntah, 3) adanya malnutrisi
atau hilangnya massa otot, 4) hipertensi yang sulit dikontrol dan adanya kelebihan
cairan, 5) komplikasi metabolik yang refrakter. 11
Tindakan hemodialisis saat ini mengalami perkembangan yang cukup
pesat, namun masih banyak penderita yang mengalami masalah medis saat
menjalani hemodialisis. Komplikasi yang sering terjadi pada penderita yang
menjalani hemodialisis adalah gangguan hemodinamik. Tekanan darah umumnya
menurun dengan dilakukannya ultrafiltrasi atau penarikan cairan saat
hemodialisis. Hipotensi intradialitik terjadi pada 5-40% penderita yang menjalani
hemodialisis regular, namun sekitar 5-15% dari pasien hemodialisis tekanan
darahnya justru meningkat. Kondisi ini disebut hipertensi intradialitik atau
intradialytic hypertension. Komplikasi akut hemodialisis adalah komplikasi yang
25
terjadi selama hemodialisis berlangsung. Komplikasi yang sering terjadi
diantaranya adalah hipotensi, kram otot, mual dan muntah, sakit kepala, sakit
dada, sakit punggung, gatal, demam, dan menggigil. Komplikasi kronik yang
terjadi pada pasien hemodialisis yaitu penyakit jantung, malnutrisi,
hipertensi/volume excess, anemia, Renal osteodystrophy, Neurophaty,disfungsi
reproduksi, komplikasi pada akses, gangguan perdarahan, infeksi, amiloidosis,
dan Acquired cystic kidney disease. 11
2.8.6 Terapi nutrisi pada Pasien Chronic Kidney Disease
Seperti telah dibahas pada CKD dikelompokkan menurut stadium, yaitu
stadium I, II, III, dan IV. Pada stasium IV dimana terjadi penurunan fungsi ginjal
yang berat tetapi belum menjalani terapi pengganti dialisis biasa disebut kondisi
pre dialisis. Umumnya pasien diberikan terapi konservatif yang meliputi terapi
diet dan medikamentosa dengan tujuan mempertahankan sisa fungsi ginjal yang
secara perlahan akan masuk ke stadium V atau fase gagal ginjal. Status gizi
kurang masih banyak dialami pasien dengan CKD.12
Faktor penyebab gizi kurang antara lain adalah asupan makanan yang
kurang sebagai akibat dari tidak nafsu makan, mual dan muntah. Untuk mencegah
penurunan dan mempertahankan status gizi, perlu perhatian melalui monitoring
dan evaluasi status kesehatan serta asupan makanan oleh tim kesehatan. Pada
dasaranya pelayanan dari suatu tim terpadu yang terdiri dari dokter, perawat, ahli
gizi serta petugas kesehatan lain diperlukan agar terapi yang diperlukan kepada
pasien optimal. Asuhan gizi (Nutrition Care) betujuan untuk memenuhi
kebutuhan zat gizi agar mencapai status gizi optimal, pasien dapat beraktivitas
normal, menjaga keseimbangn cairan dan elektrolit, yang pada akhirnya
mempunyai kualitas hidup yang cukup baik.12
Terapi Nutrisi pada Pasien CKD:12
1. Pengaturan asupan protein : 0,8 mg/kgBB (pasien non hemodialisis), 1,2
mg/kgBB (pasien hemodialisis).
26
2. Pengaturan asupan kalori: 35 kal/kgBB ideal/hari
3. Pengaturan asupan lemak: 30-40% dari kalori total dan mengandung jumlah
yang sama antara asam lemak bebas jenuh dan tidak jenuh
4. Pengaturan asupan karbohidrat: 50-60% dari kalori total
5. Garam (NaCl): 2-3 gram/hari
6. Kalium: 40-70 mEq/kgBB/hari
7. Fosfor: 5-10 mg/kgBB/hari. Pasien HD :17 mg/hari
8. Kalsium: 1400-1600 mg/hari
9. Besi: 10-18mg/hari
10. Magnesium: 200-300 mg/hari
11. Asam folat pasien HD: 5mg
12. Air: jumlah urin 24 jam + 500ml (insensible water loss)
2.9 Prognosis
Pasien dengan CKD secara keseluruhan memiliki kemungkinan untuk
mengalami kerusakan yang progresif dari fungsi ginjal, dan menjadi faktor risiko
untuk menjadi derajat akhir dari penyakit ginjal. Tingkat progresifitas tersebut
bergantung pada umur, penyebab dasar, dan kesuksesan implementasi pada
pencegahan sekunder dan individu dari pasien itu sendiri. Pengobatan yang
dilakukan pada CKD pada umumnya adalah untuk mencegah terjadinya
komplikasi akibat uremia yang dapat menyebabkan morbiditas dan kematian. 6,10
Secara garis besar prognosis dari CKD yang tidak ditangani adalah buruk.
Mortality rate untuk pasien yang menjalani dialisis adalah sebesar 20%. Apalagi
jika disertai dengan gangguan kardiovaskular, mortality rate dapat meningkat
30%. Prediksi prognosis dapat dilihat melalui beberapa parameter seperti
penyebab CKD, kategori LFG, kategori albuminuria dan faktor resiko serta
komplikasi yang sudah terjadi.2
Prognosis berdasarkan LFG dan kategori albuminurianya sebagai berikut.
27
Pasien dengan CKD lebih banyak akan meninggal dengan komplikasi
penyakit kardiovaskuler, infeksi, atau jika dialisis tidak tersedia maka akan terjadi
sindrom uremia yang progresif (hiperkalemia, asidosis, malnutrisi, perubahan
fungsi mental). Diantara pasien yang menjalani terapi pengganti ginjal, penyakit
kardiovaskuler merupakan penyebab mortalitas tersering kira-kira 40% dari
populasi. Volume ekstraseluler yang overload dan hipertensi diketahui sebagai
faktor prediktor terjadinya hipertropi ventrikular kiri dan peningkatan risiko
mortalitas akibat penyakit kardiovaskuler di populasi. Setelah disesuaikan dengan
umur, ras, jenis kelamin, dan etnik, dan keberadaan diabetes, risiko penyakit
kardiovaskuler tetap menjadi penyebab kematian tertinggi terutama pada pasien
muda.2
28
BAB III
LAPORAN KASUS
3.1. IDENTITAS PASIEN
a. Nama : INW
b. Jenis Kelamin : Laki - laki
c. Umur : 56 tahun
d. Alamat : Jalan Gunung Andakasa Gg. Melati no. 1
Denpasar
e. Pekerjaan : Guru
f. Pendidikan : S1
g. Status Perkawinan : Menikah
h. Agama : Hindu
i. Suku/ Bangsa : Bali
j. No. Rekam Medis : 01134661
k. Tanggal Kunjungan : 26 September 2019
3.2. ANAMNESIS
Keluhan Utama
Sesak napas
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD RSUP Sanglah hari Kamis tanggal 29
Agustus 2019 pukul 18.00 WITA dengan diantar oleh keluarganya dengan
keluhan sesak napas. Sesak napas mulai dikeluhkan sejak pagi hari
sebelum masuk rumah sakit. Sesak dikatakan sampai menggangu aktivitas
pasien, tanpa suara ngik-ngik atau grok-grok. Sesak dikatakan tidak
membaik dengan istirahat. Selain sesak, pasien juga mengeluhkan batuk,
batuk dikatakan muncul sejak timbulnya sesak dan hilang-timbul. Batuk
disertai dengan dahak berwarna putih tanpa adanya darah. Pasien juga
mengeluh mual, mual dikatakan timbul sejak kemarin malam sebelum
masuk rumah sakit, mual dikatakan sampai pasien muntah, muntah berisi
29
makanan dan minuman yang telah dikonsumsi dengan volume kurang
lebih 100 ml. Pasien juga
30
mengeluh bengkak pada kaki sejak pagi hari sebelum masuk rumah sakit.
Pasien mengatakan belum mengkonsumsi obat-obatan untuk mengurangi
keluhannya
Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien memiliki riwayat terdapat batu pada kedua ginjalnya pada
saat pasien muda. Pasien mengaku hanya melakukan pengobatan
konvensional yaitu ‘diurut’ saja. Setelah diurut beberapa kali dikatakan
batu tersebut keluar bersamaan dengan kencing namun hanya 1 batu yang
keluar. Pasien mengatakan keluhannya berkurang namun beberapa hari
kemudian keluhan kembali muncul dan pasien tidak membawa ke dokter.
Pasien memiliki riwayat Penyakit Ginjal Kronik yang sudah tegak
sejak tahun 2008. Pasien mengatakan bahwa saat itu pasien datang ke
RSUD Wangaya dengan keluhan mual dan muntah dan dirujuk ke RSUP
Sanglah untuk cuci darah. Pasien melakukan cuci darah sebanyak 3 kali.
Pasien tidak pernah melakukan cuci darah selama 4 tahun sejak
tahun 2008 tersebut. Pada tahun 2012, pasien mengeluhkan sesak napas
yang disertai dengan mual dan muntah. Pada saat dilakukan pemeriksaan,
batu pada ginjal pasien semakin banyak sehingga dilanjutkan dengan
CAPD selama 6 tahun sejak tahun 2012. Pada tahun 2018 pasien tidak lagi
menjalani CAPD dan kembali ke hemodialisa.
Pasien memiliki riwayat operasi hernia pada perutnya tahun 2017.
Pasien memliki riwayat hipertensi sejak tahun 2008. Selama ini pasien
telah mengkonsumsi obat untuk mengontrol penyakitnya, namun tidak
teratur. Pasien mengatakan jenuh mengkonsumsi obat dalam jumlah
banyak.
Riwayat Keluarga
Keluarga pasien yaitu ayah, dan saudara kandung pasien memiliki
riwayat batu pada ginjal. Ayah pasien telah menjalani operasi
pengangkatan 1 ginjal, sedangkan saudara kandung pasien tidak
31
melakukan operasi pengangkatan atau laser batu. Riwayat penyakit
jantung, diabetes mellitus, hipertensi disangkal oleh pasien.
Riwayat Sosial dan Lingkungan
Pasien tinggal bersama istri dan anak angkat di Jalan Gunung
Andakasa Gg. Melati no. 1 Denpasar. Keseharian pasien sebelum sakit
adalah mengajar mata pelajaran Agama Hindu di sebuah SD di
Kerobokan. Istri pasien juga seorang Guru yang mengajar di SD 1
Padangsambian, sedangkan anak pasien merupakan seorang guru honorer
di salah satu sekolah. Pada saat ini, pasien cuti dari pekerjaannya.
Kegiatan pasien di rumah hanya istirahat, berbaring di kasur. Pasien
tinggal di rumah permanen dengan ventilasi yang cukup baaik. Pasien
tidak memiliki riwayat merokok maupun alcohol. Saat ini pasien masih
dapat berkomunikasi dengan baik, penglihatan dan pendengarannya masih
baik.
Kepatuhan pasien untuk berobat sangat kurang, istri pasien dalam
hal ini mendukung pasien untuk berobat namun pasien sendiri yang
menolak dan sering bersikap emosional. Anak pasien dikatakan kurang
peduli dengan pengobatan pasien.
3.3. Pemeriksaan fisik (26 September 2019)
Status Present
Keadaan umum : Baik
Kesadaran : Compos mentis (E4V5M6)
Tekanan darah : 120/70 mmHg (Riwayat 100/60 mmHg saat di
IGD)
Laju nadi : 83 kali/menit, reguler, isi cukup (Riwayat 90 kali/
menit saat di IGD)
Laju napas : 20 kali/menit, (Riwayat 20x/menit saat di IGD)
Saturasi oksigen : 98% udara ruangan
Suhu aksila : 36,3°C
Skala nyeri VAS : 0/10
Berat badan : 53 kg
32
Estimasi tinggi badan : 170 cm
Indeks Massa Tubuh : 18,30 kg/m2
Status General
Mata : Konjungtiva anemis -/-, Ikterus -/-, Reflek pupil
+/+ 2/2mm isokor, Edema palpebra -/-
Telinga : Daun telinga N/N, Sekret (-), Pendengaran normal
Hidung : Napas cuping hidung (-), Epistaksis (-)
Mulut : Sianosis (-)
Leher : JVP PR+0 cmH2O, pembesaran kelenjar getah
bening (-)
Thoraks
Cor
Inspeksi : iktus kordis tidak tampak
Palpasi : iktus kordis tidak teraba, thrill (-)
Perkusi : Batas kanan jantung: parasternal line dekstra
Batas kiri jantung: anterior axillary line sinistra
ICSVI
Batas atas jantung: setinggi ICS II
Batas bawah jantung: setinggi ICS V
Auskultasi : S1S2 tunggal, reguler, murmur (-)
Pulmo
Inspeksi : Asimetris saat statis dan dinamis, retraksi (-/-)
Palpasi : vokal fremitus normal
Perkusi : sonor | sonor
sonor | sonor
sonor | sonor
Riwayat redup di basal paru bilateral
Auskultasi : vesikuler , ronki , wheezing
Abdomen
33
Inspeksi : distensi (-)
Auskultasi : bising usus (+) normal
Palpasi : nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba
Perkusi : timpani (+), nyeri ketok CVA (-)
Extremitas : akral hangat + | + , edema - | - , CRT < 2
detik
+ | + + | +
Kulit : sianosis (-), turgor kembali cepat
3.4. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Darah Lengkap
Parameter Hasil
29/09/19
Hasil
03/09/19
Satuan Nilai
Rujukan
Keterangan
WBC 9,17 6,26 103/µL 4.1`-11.0
Neu% 73,05 64,57 % 47 – 80
Ly% 15.94 15,07 % 13 – 40
Mo% 7,18 13,35 % 2.0 – 11.0 Tinggi
Eo% 2,21 5,02 % 0.0 – 5.0 Tinggi
Ba% 1,61 2,00 % 0.0 – 2.0
Neu# 6,70 4,04 103/µL 2.50 –
7.50
Ly# 1.46 0,94 103/µL 1.00 –
4.00
Rendah
Mo# 0,66 0,84 103/µL 0.10 –
1.20
34
Eo# 0.20 0,31 103/µL 0.00 –
0.50
Ba# 0.15 0,13 103/µL 0.0 – 0.1 Tinggi
RBC 3,35 3,15 103/µL 4.5 – 5.9 Rendah
HGB 9,96 9,38 106/µL 13.5 –
17.5
Rendah
HCT 31,88 29,92 g/dL 41.0 –
53.0
Rendah
MCV 95,31 94,90 % 80 – 100.0
MCH 29,78 29,75 Pg 26.0 –
34.0
MCHC 31,24 31,34 fL 31 – 36
RDW 14,32 15,00 pg 11.6 –
14.8
Tinggi
PLT 268,30 218,30 g/dL 150 – 440
MPV 7,19 6,79 % 6.80 –
10.0
Rendah
b. Kimia Darah, Analisis Gas Darah dan Elektrolit
Paramete
r
Hasil
29/08/1
9
Hasil
1/09/1
9
Hasil
3/09/1
9
Hasil
4/09/1
9
Satua
n
Nilai
Rujuka
n
Keteranga
n
SGOT 20,1 - - - U/L 11,00 –
33,00
SGPT 17,00 - - - U/L 11,00 –
50,00
BS Acak 85 - - - mg/dL 70 - 140
35
BUN 99,00 49,10 38,70 31,40 mg/dL 8.00 –
23.00
Tinggi
Kreatinin 14,56 7,78 6,92 6,02 mg/dL 0.70 –
1.20
Tinggi
e- LFG 3,29 7,01 8,08 9,56 >= 90 Rendah
pH 7,46 7,45 7,49 - 7,35 –
7,45
Rendah
pCO2 24,4 38,7 33,8 - mmHg 35,00 –
45,00
Tinggi
pO2 147,30 91,90 104,30 - mmHg 80,00 –
100,00
Rendah
BEecf -6,8 2,0 2,0 - mmol/
L
-2 – 2
HCO3- 17,00 26,00 25,30 - mmol/
L
22,00 –
26,00
Tinggi
SO2C 99,0 97,3 98,2 - % 95% -
100%
TCO2 17,70 27,20 26,40 - mmol/
L
24,00 –
30,00
Tinggi
Kalium 4,86 3,67 3,78 3,88 mmol/
L
3.50 –
5.10
Natrium 136 136 140 141 mmol/
L
136 -
145
Klorida 103 103 108 - mmol/
L
96 - 108
Albumin 3,40 - - - g/dL 3,40 –
4,80
36
LFG (29 September 2019) yang dihitung dengan mempergunakan rumus
Kockroft-Gault sebagai berikut:
c. EKG (29 Agustus 2019)
d. Foto Thorax
LFG (ml/menit/1,73m2) = (140 – umur) x berat badan (kg)
72 x kreatinin plasma (mg/dl)
37
Foto Thorax PA (29 Agustus 2019)
Hasil :
Cor : tampak membesar CTR 77% dengan kalsifikasi aortc knob (+)
Pulmo : tampak infiltrate pada suprahilar kiri dan parahilar kanan.
Corakan bronkovaskulaer meningkat, cephalisasi (+)
Sinus pleura kanan tajam, kiri tumpul
Diafragma kanan dan kiri normal
Tulang – tulang : tampak osteotyphyte pada corpus vertebrae thoracalis
Kesan:
Cardiomegaly dengan aortosklerosis (ASHD)
Congestif pulmonum
Suspek Pneumonia
Efusi pleura kiri minimal
Spondylosis thoracalis
3.5. DIAGNOSIS
a. Choric Kidney Disease Stage V Suspek PNC on HD Reguler 3
kali/ minggu + CAPD
38
i. Edema paru (membaik)
ii. Hiperurisemia
iii. Anemia ringan
b. CHF functional class III et causa CAD
i. Complete RBBB
ii. Hipertensi tidak terkontrol
c. HAP late onset
3.6. TATALAKSANA
IVFD 0,9% 8 tpm
Diet CKD 2000 kkal + 68,4 gram protein/hari
Hemodialisa 3x/ minggu
Valsartan 160mg tiap 24 jam oral
Allopurinol 100mg tiap 24 jam oral
Asam folat 2 mg tiap 12 jam oral
Cefoperazone 1 gram tiap 12 jam intravena (selama 7 hari)
Ciprofloxacin 400mg tiap 12 jam intravena (selama 7 hari)
Monitoring
Keluhan
Tanda Vital
3.7. PROGNOSIS
a. Ad vitam : dubious ad bonam
b. Ad functionam : dubious ad bonam
c. Ad sanationam : dubious ad bonam
3.8. KIE
a. Memberikan informasi tentang penyakit dan kondisi pasien pada
pasien dan keluarganya secara lengkap.
b. Memberikan edukasi tentang obat yang diminum kepada pasien
dan keluarga pasien.
39
c. Mengedukasi keluarga pasien untuk menjaga higienitas pasien dan
lingkungan rumah.
d. Mengedukasi keluarga untuk terus memberi semangat dan kasih
sayang kepada pasien sehingga terus berjuang menghadapi
penyakitnya.
e. Mengingatkan pasien untuk senantiasa berdoa untuk menjaga
kesehatan pikiran dan memberi motivasi pada pasien untuk
menghadapi penyakitnya dengan ikhlas.
40
BAB IV
KUNJUNGAN LAPANGAN
4.1. ALUR KUNJUNGAN LAPANGAN
Kunjungan pasien dilakukan pada Hari Rabu, 11 September 2019 pukul
18.00 WITA ke rumah pasien yang beralamat di Jalan Gunung Andakasa Gang
Melati III No. I Penamparan Padangsambian, Denpasar Barat. Kedatangan kami
disambut baik oleh pasien beserta keluarganya.
Dalam penatalaksanaan pasien dengan CKD, tidak cukup hanya pada
pemberian terapi farmakologis saja, tetapi diperlukan juga terapi non-
farmakologis berupa pendekatan lain yaitu pendekatan bio-psiko-sosial. Oleh
karena itu, tujuan dari dilakukannya kunjungan lapangan ini adalah untuk
mengidentifikasi masalah dengan pengamatan langsung ke rumah pasien
mengenai kondisi pasien, kemudian menemukan permasalahan yang ada, dan
mencari solusi dari permasalahan tersebut. Kunjungan lapangan ini juga bertujuan
untuk memberikan edukasi mengenai penyakit pasien, pengendalian faktor risiko
penyakit, serta motivasi kepada keluarga pasien dalam melakukan pendampingan
kepada pasien selama masa pengobatan. Adapun intervensi yang dilakukan yaitu:
1. Edukasi untuk meningkatkan pengetahuan dan pemahaman keluarga
serta pasien mengenai CKD.
2. Edukasi kepada keluarga dan pasien untuk selalu berperilaku hidup
sehat, dengan menjaga asupan nutrisi, istirahat yang cukup,
beraktivitas sesuai kebutuhan, dan senantiasa untuk kontrol kesehatan
rutin ke faskes terdekat atau faskes rujukan sesuai dengan anjuran
dokter.
4.2. IDENTIFIKASI MASALAH
Selama melakukan kunjungan ke rumah pasien, kami dapatkan sejumlah
permasalahan di beberapa bidang yang masih menjadi kendala pasien dalam
menghadapi penyakitnya:
1. Ekonomi
41
Pasien dalam menjalani terapi untuk penyakit ginjal yang
dideritanya sejak tahun 2008, baik itu saat rawat inap, kebutuhan
cairan dialisat untuk CAPD maupun hemodialisis regular ditanggung
dengan BPJS. Hanya saja terkadang saat pasien mengeluhkan keluhan
baru, keluarga sering mengajak pasien langsung ke praktek pribadi
dokter spesialis dengan jalur umum, dengan alasan agar cepat
mendapatkan penanganan. Saat melakukan pemeriksaan ke prakter
pribadi dokter spesialis, istri pasien mengatakan sekali periksa
menghabiskan minimal Rp.400.000 sudah termasuk dengan obat.
Jumlah itu dikatakan cukup memberatkan terlebih pasien sering
mengeluhkan keluhan baru akhir-akhir ini.
2. Lingkungan
Pasien dan keluarga tinggal di tanah seluas 1,5 are dengan
bangunan rumah yang berukuran 6m x 10m yang terdiri dari 1 ruang
tamu, 1 ruang keluarga, dan 3 kamar tidur, bangunan 2m x 4m yang
terdiri dari 1 dapur, 2 kamar mandi luar, serta 4m x 4m sebagai area
pura keluarga. Pasien tinggal bersama istri dan 1 orang anak. Kondisi
rumah termasuk dalam kategori cukup rapi. Kotak-kotak tempat
cairan dialisat yang dulunya digunakan untuk CAPD tersusun rapi di
sekitar ruang tamu dan ruang keluarga. Kamar pasien beukuran 3m x
3m terkesan cukup rapi dan bersih, namun ada masih ada beberapa
pakaian dan selimut yang terlipat dan tersimpan kurang rapi. Dapur
dan kamar mandi yang berada diluar bangunan utama mempersulit
pasien dalam melakukan aktivitas rutin seperti makan, mandi, BAB,
dan BAK secara mandiri, sehingga harus ditemani oleh istri pasien
atau semua kegiatan tersebut dilakukan di dalam kamar tidur. Didepan
bangunan kamar mandi dan dapur diperuntukkan sebagai tempat
menjemur pakaian basah, hal ini sedikit banyak mengurangi akses
pasien untuk ke kamar mandi dari bangunan utama. Sehari-hari
pasien menggunakan PDAM sebagai sumber air untuk kegiatan
sehari-hari seperti mandi, mencuci pakaian, dan keperluan air minum.
3. Akses ke Layanan Kesehatan
42
Pasien kontrol dan berobat rutin ke RSUP Sanglah dan praktek
pribadi dokter spesialis. Jarak terdekat rumah pasien dengan faskes
yang rutin dikunjungi adalah 3km, sedangkan jarak terjauh yaitu ke
RSUP Sanglah yaitu 15km. Pasien biasanya diantar oleh keluarga
untuk periksa ke dokter bila ada keluhan baru maupun untuk
hemodialisis yang dilakukan 2 kali seminggu setiap Hari Rabu dan
Sabtu yang berlangsung selama 4-5 jam.
4. Aktivitas Fisik
Pasien sehari-hari berprofesi sebagai guru agama yang mengajar
di sekolah dasar. Kelas yang diajar oleh pasien dikatakan dominan
berada di lantai 3. Sehari-hari pasien berangkat ke sekolah awalnya
bisa berangkat sendiri, namun beberapa bulan terakhir pasien selalu
diantar istri atau anak pasien untuk berangkat ke sekolah. Sejak
beberapa bulan terakhir, pasien sudah jarang pergi ke sekolah untuk
mengajar. Pasien mengatakan akhir-akhir ini pasien sangat mudah
lelah. Pasien mengalami kesulitan berjalan selain karena lemas, tetapi
juga karena kaki yang terkadang bengkak. Untuk BAB dan mandi
pasien masih bisa sendiri hanya terkadang perlu ditemani. Untuk BAK
pasien terkadang menggunakan pispot jika pasien merasa sangat lemas
untuk berjalan ke kamar mandi, mengingat kamar mandi pasien
berada di luar bangunan utama. Keluhan utama pasien saat ini adalah
lemas, yang disertai dengan penurunan nafsu makan dan bengkak
pada kaki.
5. Nutrisi
Pasien mengalami penurunan nafsu makan yang dirasakan
beberapa bulan terakhir, terutama saat sebelum rawat inap terakhir dan
setelah rawat inap terakhir. Menu makanan pasien sehari-hari adalah
makanan yang dimasak oleh istri pasien setiap harinya. Menu
makanan pasien tersering adalah nasi dengan tahu tempe rebus dan
sayur sup. Terkadang pasien makan bubur jika pasien merasakan
mual. Pasien hanya minum sedikit sesuai anjuran dokter mengingat
pasien memiliki penyakit ginjal kronis. Dilihat dari status gizi, pasien
43
termasuk ke dalam status gizi kurang dengan indeks massa tubuh
18,30 kg/m2.
6. Kepatuhan Pengobatan
Saat ini pasien rutin dalam menjalani hemodialsis dan kontrol
berkala ke rumah sakit atau prakter dokter pribadi ditemani oleh istri
pasien. Hanya saja yang menjadi masalah adalah pasien tidak teratur
minum obat di rumah yang diberikan oleh dokter. Istri dan anak
pasien juga jarang dalam mengingatkan jadwal minum obat. Untuk
keteraturan minum obat pasien, istri pasien mengatakan bahwa
sepenuhnya diserahkan ke pasien karena pada akhir-akhir ini pasien
dirasakan sangat keras kepala dan tidak mau minum obat teratur.
7. Spriritual
Semenjak sakit dan mengalami keterbatasan dalam beraktivitas,
pasien dikatakan sudah jarang untuk sembahyang. Sudah beberapa
tahun terakhir pasien sudah tidak pulang kampung untuk melakukan
persembahyangan pada hari-hari besar keagamaan. Pasien hanya
mampu sesekali sembahyang ke pura keluarga yang di ada di
rumahnya.
8. Sosial/Psikologis
Pasien merasakan sudah sangat jenuh dan bosan menjalani
semua rangkaian pengobatan untuk penyakit yang dideritanya sejak
tahun 2008. Terlihat dari pasien mulai malas untuk minum obat teratur
akhir-akhir ini. Pasien sekarang menjadi lebih pasif dibandingkan
sebelum sakit atau pada tahun awal pasien divonis sakit ginjal. Pasien
yang dulunya sering jalan-jalan pagi sambil bertegur sapa dengan
tetangga sekitar rumah pasien, namun saat ini sudah tidak pernah
seperti itu karena keterbatasan pasien yang sulit untuk berjalan.
Pasien memiliki satu anak, anak pasien sangat jarang ada di
rumah. Dikatakan anak pasien sangat jarang memperhatikan pasien.
Hanya istri pasien yang senantiasa mengantarkan pasien kontrol
44
kesehatan dan membantu berbagai kegiatan sehari-hari pasien seperti
membantu berjalan saat ingin BAK, BAB, dan mandi.
4.3. ANALISIS KEBUTUHAN PASIEN
a. Kebutuhan Fisik-Biomedik
1. Kecukupan Gizi
Sehari-hari makanan pasien disiapkan oleh istri pasien. Istri pasien
senantiasa menanyakan kepada pasien sehari sebelumnya untuk
dimasakkan apa pada keesokan harinya. Istri pasien selalu
memasakkan makanan sesuai yang diinginkan pasien, namun tetap
memperhatikan apa yang menjadi pantangan pasien berkaitan dengan
penyakit ginjal yang dialami pasien. Menu paling sering yang pasien
makan adalah nasi dengan tahu tempe rebus dan sayur sup, sesekali
pasien makan daging ayam rebus sebagai lauk makan. Jika pasien
mual, nasi digantikan dengan bubur. Semua makanan yang disajikan
untuk pasien tanpa garam. Pasien juga terkadang diberikan buah-
buahan yang paling sering adalah buah papaya. Makanan yang sehari-
hari pasien dapat masih belum mencukupi kebutuhan nutrisi yang
seharusnya didapatkan. Pasien memerlukan lebih banyak asupan
kalori dalam makanan, namun tetap mengurangi diet yang banyak
mengandung kolesterol, lemak jenuh, dan garam.
Akhir-akhir ini pasien mengalami penurunan nafsu makan. Pasien
mengatakan sudah sangat bosan dengan menu makan yang itu-itu saja.
Pasien juga mengatakan sangat jenuh dengan semua pantangan yang
harus dia jalani karena sakitnya. Dari hal tersebut dapat kami lihat
bahwa pasien memerlukan semangat dari keluarga dan orang sekitar
agar pasien tetap kuat dan disiplin dengan semua anjuran dokter
terutama untuk masalah asupan nutrisi sehari-hari pasien.
Perhitungan kebutuhan kalori pada pasien:
a. Berat badan ideal = (TB cm – 100) x 90%
45
= (170 – 100) x 90%
= 70 x 0,9
= 63 kg
b. Jumlah kebutuhan kalori per hari
Kebutuhan kalori basal
= BB ideal x 30 kalori (laki-laki)
= 63 x 30
= 1890 kalori
Kebutuhan kalori aktivitas ringan
= 20% x kebutuhan kalori basal
= 378 kalori
Jadi total kebutuhan kalori perhari untuk penderita adalah 1890 +
378 = 2268 kalori
Distribusi makanan:
- Karbohidrat 65% = 65% x 2268 = 1474,2 kalori dari
karbohidrat.
- Protein 15% = 15% x 2268 = 340,2 kalori dari protein
- Lemak 20% = 20% x 2268 = 453,6 kalori dari lemak
2. Kegiatan Fisik
Pasien adalah guru agama pada sekolah dasar yang kesehariannya
aktif mengajar di sekolah. Namun beberapa bulan terakhir pasien
jarang pergi mengajar karena rasa lemas dan kesulitan berjalan akibat
bengkak pada kaki yang hilang timbul. Sehingga sehari-hari pasien
hanya menghabiskan sebagian besar waktunya di dalam rumah. Pasien
lebih banyak ada di dalam kamar. Pasien hanya keluar saat ingin
makan, mandi, BAK, BAB, dan sesekali menonton TV jika pasien
sudah bosan di dalam kamar. Saat ini pasien disarankan untuk lebih
sering beraktivitas ringan diluar rumah seperti jalan-jalan jika tidak
ada keluhan, guna mencegah hilangnya massa otot, mengkompensasi
pengeroposan tulang, dan menjaga kekuatan tulang. Namun tetap
46
untuk tidak memaksakan diri agar terhindar dari kelelahan, risiko
jatuh, dan perburukan kondisi berkaitan dengan sakitnya.
3. Akses ke Tempat Pelayanan Kesehatan.
Tempat pelayanan kesehatan terdekat dari rumah pasien adalah
Klinik Rama. Jarak klinik dari rumah pasien kurang lebih 1 km.
Namun pasien lebih sering datang kontrol ke praktek dokter pribadi
yang telah merawat pasien sejak awal berkaitan dengan sakit
ginjalnya. Jarak rumah dengan tempat praktek dokter sekitar 2 km.
Pasien biasanya kontrol jika ada keluhan baru. Dalam keadaan darurat
atau hemodialisis rutin, pasien dibawa ke RSUP Sanglah. Jarak
rumah pasien dengan RSUP Sanglah kurang lebih 15km dengan jarak
tempuh menggunakan mobil selama 45 menit.
4. Lingkungan
Pasien tinggal di lingkungan padat penduduk yang beralamat di
Jalan Gunung Andakasa, Gang Melati III No. I Penamparan
Padangsambian, Denpasar Barat. Pasien tinggal di rumah dengan luas
60 m2 diatas tanah seluas 1,5 are. Pasien tinggal dengan istri dan
anaknya. Dalam lingkungan rumah, terdiri dari 3 bangunan. Bangunan
utama terdiri dari 1 ruang tamu dengan kondisi yang cukup rapi
dengan susunan kursi tamu yang berjumlah 2 buah berjejer, 1 buah
meja di didepannya, 1 buah lemari yang digunakan untuk menyimpan
perabotan keluarga, dan 1 buah TV yang ada di atas lemari. Dalam
ruang keluarga berisi banyak kotak dus tersusun rapi yang berisi
cairan dialisat untuk keperluan CAPD pasien dari tahun 2012 sampai
dengan tahun 2018. Ruang keluarga ini dalam keadaan tersekat
sehingga berbentuk seperti ruangan yang tidak tembus langsung dari
ruang tamu. Ruang keluarga ini disekat karena dulunya ruang keluarga
dipergunakan sebagai ruangan untuk melakukan penggantian cairan
dialisat CAPD pasien setiap harinya. Dalam 3 kamar tidur terdiri dari
kamar pasien beserta istri, kamar anak, dan kamar yang diperuntukkan
untuk tamu. Setiap kamar tidur berukuran 3m x 3m dilengkapi dengan
1 pintu masuk dan jendela. Secara umum keadaan kamar pasien cukup
47
rapi yang terdiri dari 1 buah tempat tidur berukuran 160cm x 200 cm,
1 buah meja, dan 2 buah lemari yang digunakan untuk menyimpan
pakaian dan beberapa perabotan keluarga lainnya. Bangunan kedua
terdiri dari dapur yang sehari-hari dipergunakan sebagai tempat
memasak, berisikan wastafel, tempat menaruh peralatan dapur,
kompor gas serta tabung gas LPG. Dapur terkesan rapi dan bersih,
barang-barang tersusun rapi dan tidak ada sudut ruangan yang
terkesan lembab. Bangunan kedua juga terdapat kamar mandi
sebanyak 2 kamar. Kamar mandi terletak di samping dapur. Di dalam
kamar mandi menggunakan kloset jongkok dengan bak mandi yang
menggunakan ember. Secara umum kamar mandi terkesan cukup
bersih. Jarak kamar mandi dari bangunan utama terutama kamar
pasien yang cukup jauh menyebabkan pasien rawan jatuh mengingat
saat ini pasien memiliki keterbatasan dalam berjalan. Di depan
bangunan kedua terdapat sumur namun sudah tidak digunakan lagi
sebagai sumber air sehari-hari. Dan bangunan terakhir adalah area
pura keluarga.
Seluruh ruangan pada bangunan rumah pasien beralaskan keramik,
dengan tembok tersusun dari bata yang diplester dan dilapisi dengan
cat, serta atap yang berbahan genteng. Sirkulasi udara dan ventilasi di
rumah pasien sudah baik. Pada pagi hingga sore hari semua jendela
dan pintu rumah pasien dibiarkan dalam kondisi terbuka yang
memungkinkan terjadinya sirkulasi udara yang sangat baik dan tidak
ada sudut rumah yang gelap dan terkesan lembab. Saat ini pasien
menggunakan sumber air dari PDAM untuk semua keperluan sehari-
hari seperti minum, masak, mandi, mencuci, menyiram, dan
sebagainya. Pasien tinggal di wilayah pemukiman yang cukup padat,
warga sekitar rumah pasien cukup ramah, namun karena sakit pasien
akhir-akhir ini menjadi jarang berinteraksi dengan tetangganya.
b. Kebutuhan Bio-Psikosial
1. Lingkungan Biologis
48
Kondisi rumah pasien dari segi kerapian, kebersihan, dan
kecukupan ventilasi sudah sangat layak ditempati. Keluarga pasien
yang terdiri dari istri dan seorang anak memiliki hubungan yang
cukup dekat. Hanya saja anak pasien adalah anak yang sangat cuek
dengan kesehatan orang tuanya. Selama ini yang memperhatikan
pasien hanyalah istri pasien. Anak pasien sering tidak ada di rumah,
selain karena bekerja pada pagi hingga sore hari, pada malam hari
anak pasien sering pergi keluar rumah bersama teman-temannya dan
pulang larut malam. Bila pasien kontrol kesehatan atau cuci darah ke
rumah sakit, anak pasien sangat jarang untuk mau mengantarkan
pasien, sehingga istri pasien lebih sering meminta tolong dengan
keponakan pasien yang tinggal tidak jauh dari rumah pasien untuk
mengantarkan pasien. Pasien tinggal di kawasan pemukiman padat
penduduk. Hubungan pasien dengan tetangga baik, namun akhir-akhir
ini jarang berinteraksi karena sakit.
Di dalam lingkungan biologis, keluarga pasien yang terdiri dari
istri dan seorang anak tidak ada yang memiliki keluhan serupa dengan
pasien. Namun, saudara-saudara pasien yang terdiri dari kakak dan
adik pasien namun tidak tinggal serumah dengan pasien saat ini,
memiliki riwayat batu ginjal sejak muda. Pada saat kunjungan, pasien
dalam kondisi tidur dan saat dibangunkan oleh istri pasien kemudian
bangun dari tempat tidur, pasien terlihat lemas dengan susah saat
berjalan dan kedua kaki pasien dalam keadaan bengkak. Sejak muda
pasien memiliki riwayat batu ginjal tanpa mendapat terapi medis
sampai akhirnya menjalani hemodialisis untuk pertama kalinya pada
tahun 2008.
2. Spiritual
Pasien dalam beberapa tahun ini sudah tidak pernah lagi bisa
pulang kampung bila ada upacara besar keagamaan. Menurut istri
pasien, pasien dikatakan mudah lelah bila bepergian jauh dan sangat
mudah jatuh sakit bila sudah dalam kondisi yang sangat lelah. Akhir-
akhir ini pasien juga kesulitan untuk sembahyang di pura keluarga
49
yang ada di rumahnya karena kesulitan berjalan. Sehingga pasien
lebih banyak sembahyang dari dalam kamar. Pendekatan spiritual
sangatlah penting untuk proses pengobatan, agar pasien dapat
mendekatkan diri kepada Tuhan dan untuk lebih mudah mendapatkan
ketenangan hati dan pikiran sehingga proses pengobatan lebih mudah
dijalani.
3. Faktor Psikososial
Pasien yang dalam kondisi sakit lama sangat membutuhkan
dukungan dan peran serta keluarga dalam membantu pasien untuk
menjalani terapi jangka panjang yang mungkin dalam perjalanannya
akan minimbulkan rasa bosan, jenuh, perasaan sia-sia, dan putus asa
dari dalam diri pasien. Saat ini pasien sangat beruntung memiliki istri
yang sangat sabar dan setia dalam mendukung segala bentuk
pengobatan pasien baik dari kontrol kesehatan rutin, penggantian
cairan dialisat CAPD, hingga hemodialisis rutin yang dilakukan 2 kali
seminggu. Istri pasien sangat memperhatikan perkembangan kondisi
pasien, mengingatkan keteraturan minum obat walaupun pada
beberapa bulan terakhir pasien dikatakan sangat keras kepala dan
berubah menjadi pemalas untuk konsumsi obat rutin setiap harinya.
Keluarga pasien sangat terbuka menerima kunjungan kami karena
mereka mengerti bahwa kunjungan ini adalah salah satu bentuk
dukungan tenaga kesehatan untuk pemberian edukasi serta solusi dari
masalah-masalah yang ada berkaitan dengan pemulihan kondisi dan
peningkatan kualitas hidup pasien.
Menurut istri pasien, saat ini pasien sudah merasa bosan dan sangat
jenuh menjalani semua bentuk terapi pengobatan untuk penyakitnya,
terlihat dari ketidakmauan pasien untuk mengonsumsi obat rutin
akhir-akhir ini. Pasien sangat membutuhkan perhatian dan dukungan
keluarga agar senantiasa mengingatkan dan mengawasi kondisi
kesehatan pasien, kedisiplinan terapi, pola makan dan minum, serta
menghindari faktor-faktor yang memperburuk kondisi kesehatan
pasien.
50
4.4. PEMECAHAN MASALAH, SARAN, DAN KIE
Dari beberapa permasalahan yang kami dapat selama melakukan
kunjungan, kami mengusulkan solusi pemecahan dari masalah tersebut
sebagai berikut:
1. Edukasi pasien dan keluarga mengenai penyakit pasien.
Pasien beserta keluarga terutama istri pasien dijelaskan mengenai apa
itu penyakit CKD yang diderita pasien, mulai dari pengertiannya yaitu
suatu penyakit ginjal kronik dan progresif akibat dari adanya gangguan
struktur dan fungsi ginjal untuk eksresi zat sisa metabolik yang tidak
dapat kembali menjadi normal. Pasien dan keluarga juga diedukasi
mengenai faktor risiko yang harus dihindari untuk mencegah perburukan
penyakit, kekambuhan (eksaserbasi akut) seperti hipertensi yang tidak
terkontrol (tidak rutin minum obat) dan minum air yang berlebih.
Sehingga pasien kami sarankan untuk disiplin dalam minum obat
antihipertensi secara rutin, pihak keluarga terutama istri juga diharapkan
senantiasa mengingatkan pasien untuk minum obat teratur, bila perlu
disediakan catatan khusus yang berisi daftar obat serta jadwal minum obat
pasien. Dengan begitu akan mempermudah pasien dan dokter yang
merawat dalam merencanakan terapi lanjutin berkaitan dengan penyakit
ginjal pasien. Istri pasien juga diharapkan ikut mengontrol jumlah cairan
yang masuk melalui minum pasien, mengingat pasien sering merasakan
haus agar jumlah air yang masuk tidak berlebihan. Menyarankan pasien
dan keluarga agar segera membawa pasien ke fasilitas kesehatan untuk
berkonsultasi bila ada keluhan kesehatan muncul, sehingga komplikasi
yang lebih lanjut dapat dihindari. Pasien dan keluarganya juga diedukasi
bahwa dalam pengendalian penyakit ginjal yang diderita pasien,
diperlukan kombinasi dari berbagai hal seperti medis, gizi, serta
psikologis. Pasien juga disarankan untuk lebih aktif bergerak jika keluhan
sakit pada kaki sudah tidak ada, guna menjaga massa otot. Namun tentu
aktivitas yang tidak berlebihan dan tidak dipaksakan agar tidak
memperburuk kondisi dan mengurangi risiko jatuh dari pasien.
51
2. Edukasi pasien dan keluarga tentang kontrol kesehatan
Pasien dan keluarga diharapkan untuk selalu kontrol kesehatan rutin
bila terdapat keluhan baru berkaitan dengan penyakitnya. Pasien juga
disarankan untuk selalu disiplin mengenai jadwal hemodialisis yang
dilakukan 2 kali seminggu, jangan sampai terlambat. Keluarga pasien
terutama istri pasien kami sarankan untuk membuat catatan khusus untuk
pasien mengenai daftar obat, jadwal minum obat, serta jadwal kontrol
yang harus dijalani pasien. Catatan itu dikira perlu mengingat pasien yang
akhir-akhir ini sangat keras kepala saat diingatkan untuk minum obat dan
kesibukan istri juga yang harus mengajar ke sekolah sebagai guru di
sekolah dasar, jadi untuk menghindari lupa terutama mengenai jadwal
minum obat pasien.
3. Dukungan Keluarga
Keluarga pasien, baik istri ataupun anak pasien diharapkan untuk
senantiasa memberikan dukungan moril kepada pasien dan selalu setia
menemani terapi yang dijalani pasien. Hal ini sangat penting mengingat
pasien yang akhir-akhir ini sudah merasa sangat jenuh dengan segala
bentuk pengobatan yang diterimanya sejak tahun 2008 silam. Dukungan
emosional dari istri dan anak pasien juga sangat dibutuhkan, terutama
anak pasien yang sangat jarang ada disamping pasien dalam menjalani
sakitnya. Diusahakan agar pasien tidak merasa kesepian karena hal
tersebut sangat berpengaruh kepada semangat pasien itu sendiri dalam
menjalani terapi.
Pasien juga disarankan untuk selalu terbuka mengenai apa yang
menjadi keluhannya sehari-hari. Dengan begitu keluarga akan bisa
mencatat dan segera dibawa ke dokter untuk kontrol kesehatan. Pasien
akan terbuka dengan orang-orang disekitarnya jika pasien merasa
mendapat dukungan penuh untuk berobat dan sembuh dari sakitnya.
4. Pola makan dengan gizi seimbang
Pasien diberikan edukasi mengenai pola makan yang baik berkaitan
dengan kondisi pasien ini. Asupan yang didapat pasien harus seimbang
dari karbohidrat, lemak, dan protein. Menu makan yang disajikan oleh
52
istri pasien boleh divariasikan namun harus tetap rendah kolesterol, asam
lemak jenuh, dan garam. Asupan protein bisa ditingkatkan karena pasien
dengan CKD stage V dapat kehilangan protein setiap kali hemodialisis.
Kebutuhan cairan juga harus dikontrol ketat, dengan cairan masuk tidak
berlebihan agar tidak terjadi bengkak akibat kelebihan cairan atau keluhan
lain yang berkaitan dengan fungsi ginjal pasien. Asupan buah dan sayur
juga sangat penting bagi pasien untuk kebutuhan vitamin dan mineralnya,
namun pasien harus menghindari buah dan sayur yang tinggi kalium
seperti pisang karena pasien dengan CKD biasanya kadar kalium dalam
darah sudah tinggi. Bila pasien merasa mual, diberikan pola makan sedikit
namun sering untuk menjaga nutrisi pasien tetap tercukupi, mengingat
status gizi pasien masuk dalam kategori gizi kurang.
Menu makan setiap harinya diharapkan dibuat di rumah oleh istri
pasien agar lebih terkontrol, karena makan pasien harus terhindar dari
bahan pengawet, rendah kolesterol, dan menghindari penggunaan garam
yang berlebih. Pengaturan diet tiap harinya sangat penting untuk
membantu keberhasilan terapi pasien dan mempertahankan kondisi
optimal dari pasien sehingga mengurangi risiko eksaserbasi akut dan
komplikasi berkaitan dengan penyakit ginjalnya. Pihak keluarga harus
selalu memperhatikan gizi pasien, mengingat status gizi pasien masuk
dalam kategori kurang dan berat badan pasien dikatakan semakin turun
sejak beberapa bulan terkahir.
5. Lingkungan rumah
Rumah pasien secara umum termasuk rumah yang bersih dan sangat
layak huni. Yang menjadi masalah adalah letak kamar mandi yang berada
di luar bangunan utama, bagi pasien jarak kamar mandi dari kamar tidur
pasien cukup jauh yang menyulitkan pasien untuk beraktivitas seperti
mandi, BAB, dan BAK secara mandiri. Sehingga kami menyarankan agar
keluarga terutama istri pasien untuk selalu menemani pasien jika ingin ke
kamar mandi, atau jika pasien hanya sendiri di rumah disarankan untuk
menyediakan pispot di dalam kamar untuk BAK pasien. Lantai di kamar
mandi juga agar selalu dijaga kebersihannya agar tidak licin, tempat
53
menjemur pakaian yang biasanya di taruh di depan bangunan kamar
mandi dan dapur agar diletakkan lebih pinggir untuk memperlebar akses
jalan ke kamar mandi, hal itu dilakukan untuk mengurangi risiko jatuh
dari pasien mengingat pasien akhir-akhir ini sering lemas dan kesulitan
dalam berjalan.
6. Optimis dan selalu mendekatkan diri kepada Tuhan
Selalu berpikir positif dan optimis dalam setiap terapi yang dijalani
berkaitan dengan penyakit diderita adalah salah satu cara untuk
mempermudah keberhasilan terapi. Tidak pernah bersosialisasi atau
bahkan menarik diri dari kehidupan sosial bukanlah cara yang tepat untuk
dilakukan ditengah sakit yang dialami. Memberikan edukasi kepada
pasien untuk menghindari rasa khawatir yang berlebih dengan cara
senantiasa mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan rutin
beribadah sesuai dengan keyakinan yang dianutnya, niscaya akan
memberikan ketenangan emosional yang tentunya akan mempermudah
keberhasil terapi. Pihak keluarga harus selalu membangkitkan semangat
pasien dalam menjalani hari-harinya dengan selalu berada di dekat pasien
dan berusaha untuk selalu ada saat pasien membutuhkan bantuan dalam
menjalani suatu aktivitas, dengan begitu pasien akan merasa tidak sendiri
dan selalu diperhatikan oleh orang-orang terkasih.
4.5. DENAH RUMAH PASIEN
1
2
3
5
8
6
9
4
7 7
Utara
54
Keterangan:
1: kamar tidur anak
2: tempat menjemur pakaian
3: kamar tidur pasien dan istri
4: ruang keluarga
5: ruang tamu
6: dapur
7: kamar mandi
8: area pura keluarga
9: gerbang masuk
55
SIMPULAN
Penyakit Ginjal Kronis atau Chronic Kidney Disease (CKD) merupakan
penyakit ginjal yang ditandai adanya kerusakan dari struktur ginjal lebih dari 3
bulan yang dengan atau tanpa penurunan GFR < 60 mL/min/1,73m2 yang
bersifat progresif dan irreversible.
Adapun gejala klasik CKD diantaranya adalah edema, hipertensi dan
anemia. Berdasarkan derajat penyakitnya CKD dibagi menjadi 5 stage yang
dinilai dari GFR. Gejala klinis CKD meliputi gejala penyakit dasar, gejala
sindrom uremikum serta gejala komplikasi CKD. Penatalaksanaan CKD
disesuaikan dengan derajat kerusakan fungsi ginjal.
Pada kasus, pasien didiagnosis dengan CKD stage V,
sehingga penatalaksanaan utama pada pasien ini ialah terapi pengganti ginjal
berupa hemodialisis. Disamping itu pada pasien ini juga diberikan beberapa terapi
penunjang lainnya yang disesuaikan dengan manifestasi klinis yang muncul.
Dalam penatalaksanaan pasien dengan CKD, tidak cukup hanya pada pemberian
terapi farmakologis saja, tetapi diperlukan juga terapi non-farmakologis berupa
pendekatan lain yaitu pendekatan bio-psiko-sosial.
Penanganan etiologi, gejala dan komplikasi penyakit dengan tepat,
serta perubahan pola diet yang disesuaikan dengan fungsi ginjal diharapkan dapat
membantu mencegah perburukan kondisi ginjal sehingga meningkatkan kualitas
hidup pasien.
56
DAFTAR PUSTAKA
1. Suwitra K. Penyakit Ginjal Kronik. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II
Edisi VI. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI;
2159. 2014.
2. KDIGO CKD Work Group. KDIGO 2012 clinical practice guideline for the
evaluation and management of chronic kidney disease. Kidney Int Suppl
2013; 3: 1–150.
3. Nathan R. H, Samuel T. F, Jason L. O, Jennifer A. H, ChristopherA. O’C,
Daniel S. L. Global Prevalence of Chronic Kidney Disease – A Systematic
Review and Meta-Analysis. Oxford Biomedical Research Centre. 2016 (6).
4. Indonesian Renal Registry (IRR). 10th Report Of Indonesian Renal Registry.
2017. Terdapat di: http://www.indonesianrenalregistry.org/
5. Mardiana N dan Aditiawardana. Penyakit Ginjal Kronik. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Edisi II. Surabaya: Pusat Penerbitan dan Percetakan UNAIR;
2015. 486.
6. Kerr M, Bray B, Medcalf J. Chronic Kidney Disease in Adults: Assestment
and Management. England: National Institute for Health and Care Excellence;
2014. hal 1-63.
7. Suhardjono. Penyakit ginjal kronik, suatu epidemiologi global baru: protect
your kidney save your heart. Perhimpunan Nefrologi Indonesia (PERNEFRI);
2010.
8. Abraham G dkk. Management of Hypertension in Chronic Kidney Disease:
Consensus Statement by an Expert Panel of Indian Nephrologists. 2017.
9. Wheeler DC. Clinical evaluation and management of chronic kidney disease.
Dalam: Feehaly J, Floege J, Johnson RJ, penyunting. Comprehensice clinical
nephrology. St. Loius: Elsevier Saunders; 2010
10. National Kidney Foundation. Diabetes and Chronic Kidney Disease Stage 5.
New York. 2012.Terdapat di: www.kidney.org
11. Bieber, S.D. & Himmelfarb, J. Hemodialysis. In : Schrier’s Disease of the
Kidney. 9th
edition. Coffman, T.M, Falk, R.J., Molitoris, B.A., Neilson, E.C.,
Schrier, R.W. editors. Lippincott Williams & Wilkins. Philadelphia: 2013, hal
2473-505.
57
12. Wheeler DC. Clinical evaluation and management of chronic kidney disease.
Dalam: Feehaly J, Floege J, Johnson RJ. Comprehensice clinical nephrology.
St. Loius: Elsevier Saunders; 2010.
58
LAMPIRAN FOTO KEGIATAN
Tempat menjemur pakaian
Foto bersama Dapur
Kamar tidur Area depan kamar mandi
Kamar mandi
top related