laporan kba piperin print
Post on 28-Dec-2015
96 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
LAPORAN AKHIR PRAKTIKUM
KIMIA BAHAN ALAM II
ISOLASI ALKALOID DARI BUAH LADA HITAM
(Piper nigrum L. )
OLEH :
SHERLY VERONICA
1211012012
JUMAT SIANG
LABORATORIUM KIMIA BAHAN ALAM
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG
2014
BAB I
TINJAUAN PUSTAKA
Gambar 1. Tumbuhan Piper nigrum L (Vengolis, 2012)
1.1 Klasifikasi
Kingdom : Plantae (tumbuh-tumbuhan)
Divisi : Spermatophyta (tumbuhan berbiji)
Subdivisi : Angiospermae (berbiji tertutup)
Kelas : Monocotyledonae (biji berkeping satu)
Ordo : Piperales
Famili : Piperaceae
Genus : Piper
Spesies : Piper nigrum L.
(Rahmat Rukmana, 2003)
1.2 Morfologi
1.2.1 Akar
Akar tanaman lada terdiri atas akar yang terdapat di atas permukaan tanah
dan akar yang berada di dalam tanah.
a. Akar di permukaan tanah
Akar lada yang tumbuh di atas permukaan tanah disebut juga dengan
akar panjat atau akar lekat karena fungsinya untuk melekatkan batang
tanaman. Akar lekat ini hanya tumbuh di buku-buku batang utama dan
cabang ortotrop.
b. Akar di dalam tanah
Akar lada yang tumbuh di dalam tanah biasa disebut akar utama,
muncul di buku-buku batang utama baik di dalam tanah maupun dekat
pangkal tanaman (Sutarno dan Agus Handoko, 2005).
1.2.2 Batang
Batang tanaman lada biasa disebut dengan stolon, yaitu batang pokok yang
tumbuh ke atas dan dari batang akan tumbuh cabang-cabang ortotrop dan cabang
plagiotrop. Batang lada berbentuk agak pipih dan beruas-ruas dengan panjang
setiap ruas 7-12 cm (Sutarno dan Agus Handoko, 2005).
1.2.3 Daun
Daun tanaman lada merupakan daun tunggal dengan panjang 12-18 cm,
dan lebar sekitar 3 cm dengan tangkai sepanjang 4 cm. Permukaan daun bagian
atas berwarna hijau tua mengilat dan bagian bawah berwarna hijau pucat tidak
mengilat (Sutarno dan Agus Handoko, 2005).
1.2.4 Bunga
Umumnya bunga lada muncul awal musim hujan, yakni sekitar bulan
Desember hingga Januari, dan merupakan bunga majemuk yang tumbuh
mengelilingi malai bunga. Setiap malai bunga terdiri dari 100-150 bunga yang
kelak akan menjadi buah (Sutarno dan Agus Handoko, 2005).
1.2.5 Buah
Buah lada berbentuk bulat dengan biji lunak dan berkulit keras. Saat masih
muda, kulit buah lada berwarna hijau tua, kemudian berangsur-angsur menguning
dan berwarna merah cerah. Buah lada terdiri dari biji yang berkulit keras dengan
diameter 3-4 mm dan dilindungi oleh daging buah yang tebalnya sekitar 2 mm
(Sutarno dan Agus Handoko, 2005).
1.3 Nama
1.3.1 Nama daerah
pedes (Sunda), merica (Jawa), lada kecik (Bengkulu), lado ketek
(Minangkabau), marica (Makasar), rica jawa (Ternate), dan malita
lodawa (Gorontalo)
1.3.2 Nama luar negeri
black pepper (Inggris), hu zhiau (Cina) (Arief Hariana, 2005).
1.4 Kandungan Kimia
Bahan kimia yang terkandung dalam lada diantaranya kamfena, boron,
calamene, calamenene, carvacrol chavicine, bisabolene, camphene, β-
caryophyllene, terpen, sesquiterpen, alkaloid (piperin; piperilin; piperolein a,b dan
c; piperanine; serta piperonal), protein dan sejumlah kecil mineral, saponin,
flavonoid, minyak atsiri, kavisin, dan resin (Rahmat Rukmana, 2003).
Piperin berupa kristal berbentuk jarum berwarna kuning, tidak berbau, bila
dikecap mula-mula tidak berasa, lama-lama terasa pedas, larut dalam etanol,
benzen, dan kloroform dengan titik lebur 125-126oC. Piperin termasuk golongan
alkaloid yang merupakan senyawa amida basa lemah yang dapat membentuk
garam dengan asam mineral kuat. Piperin bila dihidrolisis dengan KOH-etanolik
yang berlebihan dan dalam keadaan panas menyebabkan piperin terhidrolisis dan
membentuk kalium piperinat dan piperidin (Eatin Septiatin, 2008).
Rasa pedas dari buah lada hitam, 90-95% disebabkan oleh adanya
komponen trans-piperin yang ada dalam buah kering kadarnya 2-5% dan terdiri
atas senyawa asam amida piperin dan asam piperinat. Rasa pedas piperin masih
ada walaupun diencerkan 1:200000. Rasa pedas juga disebabkan oleh adanya
kavisin yang merupakan isomer basa piperin (Depkes dan kesejahteraan RI, 2001)
Gambar 2. Struktur Piperine (id.wikipedia.org)
1.5 Manfaat
Suatu hasil penelitian menunjukkan bahwa mengkonsumsi lada hitam
dapat membantu mengontrol lemak dalam darah. Kandungan piperin dalam lada
hitam dapat memblokir pembentukan sel-sel lemak baru. Piperin berguna untuk
mengganggu aktivitas gen yang mengontrol pembentukan sel lemak baru. Piperin
memicu reaksi metabolisme berantai yang membantu menjaga lemak, dan dapat
dimanfaatkan untuk pengobatan obesitas.
Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa ekstrak lada hitam secara
signifikan meningkatkan aktivitas sitotoksik sel pembunuh alami, yang
menunjukkan potensinya sebagai anti kanker. Efek anti kanker tersebut karena
aktivitas dari senyawa alkaloid piperin yang terdapat di dalam lada. Peran
imunomodulator dan aktivitas antitumor dari ekstrak lada hitam tersebut, dapat
dipromosikan dalam pemanfaatan lada sebagai agen alami untuk pemeliharaan
sistem kekebalan tubuh.
Manfaat lainnya, lada dipercaya dapat menekan pertumbuhan bakteri
terutama pada saluran usus. Hasil percobaan pada tikus dilaporkan bahwa lada
hitam dan piperin dapat merangsang enzim pencernaan, memodifikasi sekresi
perut, mengubah makanan gastrointestinal transit, dan menghambat diare. Efek
akut dari lada hitam di dalam perut manusia tampaknya serupa dengan aspirin,
meskipun pengaruh jangka panjang dari lada hitam di dalam perut belum
diketahui. Piperin sebagai komponen utama alkaloid yang terkandung di dalam
lada, selain berperan sebagai antioksidan juga memiliki antivitas anti hipertensi
(Risfaheri, 2012).
1.6 Teori Tambahan
1.6.1 Ekstraksi
Pemilihan metode ekstraksi tergantung pada tekstur, kandungan air dan
jenis senyawa kimia yang di isolasi dari suatu tumbuhan, sehingga senyawa kimia
yang diekstraksi dapat tertarik sempurna tanpa mengalami perubahan sifat dan
strukturnya. Ekstraksi tumbuhan dilakukan dengan menggunakan pelarut yang
sesuai. Untuk memilih pelarut yang akan dipakai dalam ekstraksi harus diketahui
sifat kandungan kimia metabolit sekunder yang akan diisolasi. Senyawa polar
lebih mudah larut dalam pelarut polar dan senyawa non polar mudah larut dalam
pelarut non polar (Harborne, 1991).
Salah satu metoda ekstraksi adalah maserasi. Maserasi merupakan cara
penyarian yang sederhana. Maserasi dilakukan dengan cara merendam serbuk
simplisia dalam cairan penyari. Cairan penyari akan menembus dinding sel dan
masuk ke dalam rongga sel yang mengandung zat aktif, zat aktif akan larut dan
nkarena adanya perbedaan konsentrasi antara larutan zat aktif di dalam sel dengan
yang diluar sel, maka larutan yang terpekat didesak keluar. Peristiwa tersebut
berulang sehingga terjadi keseimbangan konsentrasi antara larutan di luar sel dan
di dalam sel (Depkes RI, 1986).
1.6.2 Rekristalisasi
Rekristalisasi merupakan salah satu cara pemurnian zat padat yang banyak
digunakan, dimana zat-zat tersebut atau zat-zat padat tersebut dilarutkan dalam
suatu pelarut kemudian dikristalkan kembali. Cara ini bergantung pada kelarutan
zat dalam pelarut tertentu saat suhu diperbesar (Arsyad, 2001).
Rekristalisasi merupakan metode yang sangat penting untuk pemurnian
komponen larutan organik. Tujuh metode dalam rekristalisasi yaitu: memilih
pelarut, melarutkan zat terlarut, menghilangkan warna larutan, memindahkan zat
padat, mengkristalkan larutan, mengumpul dan mencuci kristal, mengeringkan
produknya (hasil) (Williamson, 1999). Rekristalisasi adalah pemurnian suatu zat
padat dari campuran atau pengotornya yang dilakukan dengan cara
mengkristalkan kembali zat tersebut setelah dilarutkan dalam pelarut (solven)
yang sesuai atau cocok (Agustina Leokristi, 2013)
1.6.3 KLT
KLT dapat digunakan untuk memisahkan berbagai senyawa seperti ion ion
anorganik, kompleks senyawa senyawa organik dengan anorganik, dan senyawa
senyawa organik baik yang terdapat di alam dan senyawa senyawa organik
sintetik. Kelebihan penggunaan kromatografi lapis tipis dibandingkan dengan
kromatografi kertas ialah karena dapat dihasilkannya pemisahan yang lebih
sempurna, kepekaan yang lebih tinggi, dan dapat dilaksanakan dengan lebih cepat.
Banyak pemisahan yang memakan waktu berjam jam bila dikerjakan dengan
kromatografi kertas, tetapi dapat dilaksanakan hanya beberapa menit saja bila
dikerjakan dengan KLT.
Empat macam adsorben yang umum dipakai ialah silika gel, alumina,
kieselguhr, dan selulosa. Sampel yang merupakan campuran senyawa yang akan
dipisahkan, dilarutkan dalam zat pelarut yang mudah menguap, misalnya
kloroform atau zat pelarut lain yang serupa, yang mempunyai titik didih antara
50-1000C. Tetesan sampel harus di usahakan sekecil mungkin dengan meneteskan
berulang kali, dengan dibiarkan mengering sebelum tetesan berikutnya dikerjakan.
Pemilihan sistem pelarut yang dipakai didasarkan atas prinsip like dissolves like,
tetapi akan lebih cepat.
Pemilihan sistem pelarut atas dasar like dissolves like berarti untuk
memisahkan sampel yang bersifat non polar digunakan sistem pelarut yang
bersifat non polar juga. Dengan menempatkan plat yang telah dikeringkan dalam
ruangan yang mengandung uap iodium, komponen penyusun dalam bentuk bercak
(spot) akan berwarna coklat dengan dasar putih. Penggunaan sinar ultraviolet
dapat memberikan fluoresensi pada plat yang mengandung unsur fosfor
(Muhammad Adnan, 1997).
BAB II
PROSEDUR PERCOBAAN
2.1 Alat dan Bahan
2.1.1 Alat
Wadah untuk maserasi, seperangkat alat rotary evaporator, pipet tetes,
chamber, penotol, vial, corong, spatel.
2.1.2 Bahan
Buah lada hitam (Piper nigrum) 10 g, metanol, KOH 10%, etil asetat,
kapas/kertas saring, plat KLT.
2.2 Cara Kerja
1. Lada hitam sebanyak 10 g dihaluskan dan dimaserasi dengan 100 ml
metanol dan diamkan selama 3 hari, disertai pengocokan sesekali.
2. Setelah dimaserasi, kemudian saring. Diuapkan dengan rotary evaporator,
setelah diuapkan akan didapatkan maserat kental. Maserat kental tersebut
ditambah dengan 10 mL KOH 10%. Kemudian saring dan hasil saringan
masukkan ke dalam botol vial, tutup dengan aluminium foil dan tusuk-
tusuk dengan jarum.
3. Sampel dalam vial yang telah didiamkan selama 1 hari akan terbentuk
endapan dalam larutan hijau. Kemudian endapan tersebut dipisahkan.
4. Endapan diberi etil asetat melalui dinding vial dan panaskan pada
waterbath sampai larut, dan beri n-heksan sehingga terbentuk kabut
dengan larutan hitam didasarnya. Kabut tersebut dipisahkan dan
dimasukkan ke vial lain dan beri lagi etil asetat + n-heksan. Dan tutp
dengan foil yang telah dilubangi. Hari berikutnya dilakukan rekristalisasi.
Hitung massa kristal yang terbentuk.
5. Kristal yang terbentuk dilarutkan dengan etil asetat untuk melakukan
pengecekan KLT. Kemudian buat fase gerak n-heksan : etil asetat (2:3)
dan masukkan ke dalam chamber dan beri kertas saring untuk membantu
penjenuhan.
6. Totolkan kristal yang telah dilarutkan di plat KLT, masukkan pada
chamber, tutup rapat dan tunggu sampai eluen naik ke batas atas.
7. Lihat noda dibawah sinar UV λ254 dan hitung Rf.
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Hasil
3.1.1 Jumlah Sampel
10 g
3.1.2 Jumlah Senyawa Isolat
0,0814 g
3.1.3 Rendemen
= x 100 %
= x 100 %
= 0,814 %
3.1.4 Kelarutan
Larut dalam etil asetat
3.1.5 Pola KLT
3.1.6 Rf
=
=
= 0,46
3..2 Pembahasan
Sampel yang digunakan untuk mengisolasi piperin pada praktikum ini
adalah Piper nigrum. Bagian tanaman yang diambil adalah bagian bijinya.
Sebelum dilakukan maserasi, biji lada ini terlebih dahulu dihaluskan. Hal ini
bertujuan untuk memperluas bidang permukaan sampel sehingga memperluas
kontak dengan pelarut ke dalam membran sel.
Metoda ekstraksi dilakukan dengan cara ekstraksi dingin yaitu maserasi.
Maserasi adalah ekstraksi dengan cara perendaman sampel dengan pelarut. Pelarut
(cairan penyari) akan masuk ke dalam sel melewati dinding sel. Isi sel akan
larut karena adanya perbedaan konsentrasi antara larutan di dalam sel dengan di
luar sel. Larutan yang konsentrasinya tinggi akan terdesak keluar dan diganti oleh
cairan penyari dengan konsentrasi rendah (proses difusi), peristiwa tersebut
berulang sampai terjadi keseimbangan konsentrasi antara larutan di luar sel dan di
dalam sel. Selama proses maserasi dilakukan pengadukan agar meratakan
konsentrasi larutan di luar butir serbuk simplisia sehingga tetap terjaga adanya
derajat konsentrasi yang sekecil-kecilnya antara larutan di dalam sel dengan
larutan di luar sel.
Pemilihan metode maserasi karena jumlah sampel dan pelarut yang
digunakan sedikit serta pengerjaannya lebih sederhana. Selain itu, pemilihan
metoda maserasi dilakukan untuk senyawa- senyawa yang tidak tahan panas.
Maserasi dilakukan dengan pelarut metanol karena merupakan pelarut universal
yang dapat melarutkan semua senyawa. Metanol juga memiliki titik didih yang
rendah (780C) sehingga mudah diuapkan.
Ekstrak kental yang diperoleh setelah diuapkan kemudian ditambah
dengan KOH 10%. KOH ini berfungsi untuk menarik basa dari piperin. Karena
sampel yang digunakan adalah sampel segar (mengandung air) , maka KOH yang
ditambahkan jangan terlalu banyak. Karena jika KOH yang ditambahkan berlebih
maka akan terbentuk asam piperat dan piperidin. Setelah itu ditambahkan etil
asetat dan n-heksan yang bertujuan untuk mendesak pembentukan kristal.
Kemudian dilakukan rekristalisasi untuk menghilangkan zat-zat pengotor yang
masih ada pada kristal.
Pada literatur kandungan piperin dalam P. nigrum sebanyak 8,13 % (K.
Vasavirama, 2014) namun hasil rendemen yang didapatkan pada praktikum ini
hanya 0,814 %. Hal ini dapat terjadi karena perbedaan cara ekstraksi. Dimana
pada literatur menggunakan ekstraksi cara soxhlet, berbeda dengan saat percobaan
yang mengguanakan metoda maserasi. Jika dilihat secara organoleptis, kristal
piperin yang didapatkan sesuai dengan literatur yaitu berwarna kuning dan berasa
pedas. (Eatin Septiatin, 2008)
Berdasarkan literatur, standar Rf piperin dari P. nigrum adalah 0,42
(Manisha N. Trivedi, 2011). Setelah dilakukan cek KLT didapatkan Rf nya 0,46.
Dapat dilihat bahwa nilai Rf yang didapatkan saat percobaan tidak jauh berbeda
dengan literatur, dan dapat disimpulkan bahwa senyawa yang diisolasi memang
benar adalah piperin. Perbedaan Rf ini dapat disebabkan oleh berbagai faktor,
diantaranya adalah: kemiringan plat KLT dalam chamber, panjang plat KLT,
ukuran chamber, teknik percobaan, suhu, dan kesetimbangan.
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
4.1 Kesimpulan
Dari hasil percobaan isolasi piperin dari Piper nigrum didapatkan senyawa
piperin dengan:
Rendemen 0,814 %, dimana hasil rendemen yang didapatkan ini kurang
dari hasil rendemen yang ada pada literatur.
Rf 0,46 dan hampir mendekati Rf yang didasarkan pada literatur.
4.2 Saran
Teliti, hati-hati dan serius dalam melaksanakan percobaan.
Lakukan percobaan dalam lemari asam bila menggunakan zat-zat atau
reagen yang asam dan berbahaya seperti larutan H2SO4 pekat, HCl pekat,
dan lainnya.
Pergunakan alat seperti vial, botol infus atau pipet tetes yang benar-benar
bersih dan kering.
Sebelum dilakukan uji KLT pastikan dahulu kristal yang diperoleh sudah
bebas dari pengotor agar hasil KLT lebih baik dan nilai Rf nya sama
dengan literatur.
DAFTAR PUSTAKA
Adnan, Muhammad. 1997. Teknik Kromatografi. Yogyakarta: Andi Offset.
Arsyad. 2001. Kamus Kimia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka utama.
Departemen Kesehatan RI. 1986. Sediaan Galenik. Jakarta: Depkes RI.
Depkes dan kesejahteraan RI. 2001. Inventaris Tanaman Obat Indonesia (I) jilid
2. Jakarta
Hariana, A. 2005. Tumbuhan Obat dan Khasiatnya: Seri 2. Jakarta: Penebar
Swadaya.
Harborne, J.B. 1991. Metode Fitokimia, Edisi 2, Diterjemahkan oleh Kosasih
Padmawinata dan Iwang Soediro, Bandung: ITB.
Risfaheri. 2012. Diversifikasi Produk Lada (Piper nigrum) untuk Peningkatan
Nilai Tambah. Buletin Teknologi Pascananen Pertanian. Vol 8 (1).
Rositawati, Agustina Leokristi dkk. 2013. Rekristalisasi Garam Rakyat dari
Daerah Demak untuk Mencapai SNI Garam Industri. Jurnal Teknologi
Kimia dan Industri. Vol. 2, No. 4, Hal 217-225.
Rukmana, H. Rahmat. 2003. Usaha Tani Lada Perdu. Yogyakarta: Kanisius.
Septiatin, Eatin. 2008. Apotek Hidup dari Rempah-Rempah, Tanaman Hias, dan
Tanaman Liar. Bandung: CV.Yrama Widya.
Sutarno, dan Agus Andoko. 2005. Budi Daya Lada : si Raja Rempah-Rempah.
Jakarta: Agromedia Pustaka.
Trivedi, Manisha N. 2011. Pharmacognostic, Phytochemical Analysis and
Antimicrobial Activity of Two Piper Species. Pharmacie Global International
Journal Of Comprehensive Pharmacy. Vol. 02, Issue 07.
Vasavirama K. dan Mahesh Upender. 2014. Piperine : A Valuable Alkaloid From
Piper Species. International Journal of Pharmacy and Pharmaceutical
Sciences. Vol 6, Issue 4.
LAPORAN AKHIR PRAKTIKUM
KIMIA BAHAN ALAM II
ISOLASI FLAVONOID DARI PAKU RESAM
(Gleichenia linearis [Burm.] Clarke)
OLEH :
SHERLY VERONICA
1211012012
JUMAT SIANG
LABORATORIUM KIMIA BAHAN ALAM
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG
2014
BAB I
TINJAUAN PUSTAKA
Gambar 1. Tumbuhan Gleichenia linearis (Burm.) Clarke (id.wikipedia.org)
1.1 Klasifikasi
Kingdom : Plantae (tumbuh-tumbuhan)
Divisi : Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh)
Subdivisi : Pteridophyta (paku-pakuan)
Kelas : Filiacinea
Ordo : Filicinalis
Famili : Gleicheniaceae
Genus : Gleichenia
Spesies : Gleichenia linearis (Burm.) Clarke
(Arthur, 1979)
1.2 Morfologi
Paku resam merupakan jenis Pteridophyta (paku-pakuan) besar yang biasa
tumbuh pada tebing-tebing di tepi jalan di pegunungan. Paku resam banyak
tumbuh di tempat-tempat teduh, lembab, dan subur di daerah tropis dan subtropis.
Di Indonesia, paku resam sering dijumpai di tebing-tebing di sekitar Sumatera dan
Kalimantan dengan ketinggian hingga 2.800 mdpl. Tingginya dapat mencapai 3 –
10 kaki. Ada pula paku resam yang tumbuh subur dan lebat di hutan-hutan
Hawaii.
Paku-pakuan ini tumbuh melilit dan bercabang seperti garpu. Akar
rimpangnya tumbuh di dekat permukaan tanah dan keluar batang keras yang
tumbuh keatas. Tumbuhan ini mudah dikenal karena peletakan daunnya yang
menyirip berjajar dua dan tangkainya bercabang mendua (dikotom). Pada
permukaan bawah daunnya terdapat stomata atau bintil-bintil yang berfungsi
sebagai alat pernapasan.
Paku resam ternyata masuk dalam jenis gulma (tanaman pengganggu),
karena kehadirannya di beberapa tempat sering mendominasi permukaan tanah
sehingga tumbuhan lain yang berada di dekatnya menjadi terhambat
pertumbuhannya (Anne Ahira, http://www.anneahira.com/resam.htm).
1.3 Nama
1.3.1 Nama daerah
Paku resam, paku andam (J. Jubahar, 2000).
1.3.2 Nama luar negeri
-
1.4 Kandungan Kimia
Gleichenia linearis mengandung senyawa flavonoid kaempferol 3-O-
glukopiranosil 7-O-NaSO4 dan kaempferol 3-O-glikosida. Kaempferol banyak
tersebar pada tanaman, pada umumnya kaempferol yang terdapat pada tanaman
ini adalah dalam bentuk glikosidanya. Glikosida kaempferol yang sudah diketahui
saat ini ± 30 jenis. Beberapa famili tanaman yang banyak mengandung
kaempferol adalah Apocynaceae, Cruciferae, Dilleniaceae, Ranunculaceae.
Kaempferol merupakan serbuk berwarna kuning, sedikit larut dalam air
dan larut baik dalam dietil eter, DMSO (25 mg/ mL) dan etanol panas.
Kaempferol merupakan senyawa yang reaktif dengan senyawa yang
mengoksidasi. Kaempferol dan enzimnya stabil pada pH 7 pada suhu 25 0C.
Pengukuran pengaruh oksidasi terhadap struktur kaempferol juga dilakukan pada
pH 7 yang relevan dengan keadaan fisiologi tubuh. Jarak pH stabilitasnya yaitu 5
– 8,5 dengan pH optimum 6,9.
Dikehidupan sehari-hari kaempferol sering dikonsumsi terutama yang
terdapat dalam sayur-sayuran dan buah-buahan seperti kulit apel merah, anggur,
jeruk, frambus, bawang merah, dan daun bawang (Harborne, 1999).
Gambar 2. Struktur kaempferol (Yikrazuul, 2008)
1.5 Manfaat
Kaempferol merupakan senyawa antioksidan kuat yang dapat mencegah
bahaya oksidasi sel, lipid dan DNA. Selain itu, senyawa ini dapat mencegah
arterosklerosis dengan menghambat oksidasi LDL (Low Density Lipoprotein) dan
platelet pada darah. Kaempferol menghambat monosit kemoatraktan protein
(MCP_1). (MCP_1) ini berperan dalam pembentukan awal plak pada
arteherosklerosis.
Sebagai senyawa yang potensial untuk anti kanker, kaempferol dapat
menghambat pembentukan sel kanker. Hasil penelitian menyatakan bahwa
kaempferol dapat mengurangi kanker payudara, kanker paru dan kanker rahim
(Nova Syafni, 2007).
1.6 Teori Tambahan
1.6.1 Ekstraksi
Pemilihan metode ekstraksi tergantung pada tekstur, kandungan air dan
jenis senyawa kimia yang di isolasi dari suatu tumbuhan, sehingga senyawa kimia
yang diekstraksi dapat tertarik sempurna tanpa mengalami perubahan sifat dan
strukturnya. Ekstraksi tumbuhan dilakukan dengan menggunakan pelarut yang
sesuai. Untuk memilih pelarut yang akan dipakai dalam ekstraksi harus diketahui
sifat kandungan kimia metabolit sekunder yang akan diisolasi. Senyawa polar
lebih mudah larut dalam pelarut polar dan senyawa non polar mudah larut dalam
pelarut non polar (Harborne, 1991).
Teknik ekstraksi sangat berguna untuk memisahkan secara cepat dan
bersih baik untuk zat organik maupun zat anorganik. Cara ini dapat digunakan
untuk analisis makro dan mikro. Secara umum, ekstraksi adalah proses penarikan
suatu zat terlarut dari larutannya di dalam air oleh suatu pelarut lain yang tidak
dapat bercampur dengan air (fasa air) ( Purwani dkk, 2008).
1.6.2 Fraksinasi
Fraksinasi adalah proses pemisahan suatu kuantitas tertentu dari campuran
(padat, cair, terlarut, suspensi atau isotop) dibagi dalam beberapa jumlah kecil
(fraksi) komposisi perubahan menurut kelandaian. Pembagian atau pemisahan ini
didasarkan pada bobot dari tiap fraksi, fraksi yang lebih berat akan berada paling
dasar sedang fraksi yang lebih ringan akan berada diatas. Fraksinasi bertingkat
biasanya menggunakan pelarut organik seperti eter, aseton, benzen, etanol,
diklorometana, atau campuran pelarut tersebut. Asam lemak, asam resin, lilin,
tanin, dan zat warna adalah bahan yang penting dan dapat diekstraksi dengan
pelarut organik (Adijuwana dan Nur 1989).
1.6.3 KLT
KLT dapat digunakan untuk memisahkan berbagai senyawa seperti ion ion
anorganik, kompleks senyawa senyawa organik dengan anorganik, dan senyawa
senyawa organik baik yang terdapat di alam dan senyawa senyawa organik
sintetik. Kelebihan penggunaan kromatografi lapis tipis dibandingkan dengan
kromatografi kertas ialah karena dapat dihasilkannya pemisahan yang lebih
sempurna, kepekaan yang lebih tinggi, dan dapat dilaksanakan dengan lebih cepat.
Banyak pemisahan yang memakan waktu berjam jam bila dikerjakan dengan
kromatografi kertas, tetapi dapat dilaksanakan hanya beberapa menit saja bila
dikerjakan dengan KLT.
Empat macam adsorben yang umum dipakai ialah silika gel, alumina,
kieselguhr, dan selulosa. Sampel yang merupakan campuran senyawa yang akan
dipisahkan, dilarutkan dalam zat pelarut yang mudah menguap, misalnya
kloroform atau zat pelarut lain yang serupa, yang mempunyai titik didih antara
50-1000C. Tetesan sampel harus di usahakan sekecil mungkin dengan meneteskan
berulang kali, dengan dibiarkan mengering sebelum tetesan berikutnya dikerjakan.
Pemilihan sistem pelarut yang dipakai didasarkan atas prinsip like dissolves like,
tetapi akan lebih cepat.
Pemilihan sistem pelarut atas dasar like dissolves like berarti untuk
memisahkan sampel yang bersifat non polar digunakan sistem pelarut yang
bersifat non polar juga. Dengan menempatkan plat yang telah dikeringkan dalam
ruangan yang mengandung uap iodium, komponen penyusun dalam bentuk bercak
(spot) akan berwarna coklat dengan dasar putih. Penggunaan sinar ultraviolet
dapat memberikan fluoresensi pada plat yang mengandung unsur fosfor
(Muhammad Adnan, 1997).
BAB II
PROSEDUR PERCOBAAN
2.3 Alat dan Bahan
2.3.1 Alat
Boiler, steamer, kempa hidrolik, wadah penampung, erlenmeyer/beker
glass, seperangkat alat rotary evaporator, corong, kain penyaring.
2.3.2 Bahan
Paku resam (25 Kg), metanol, etil asetat, n-heksan, HCl 2N, penampak
noda untuk flavonoid, kertas saring.
2.4 Cara Kerja
1. Paku resam (25 Kg) dikukus selama 1 jam di dalam steamer. Kemudian
dikempa dengan pompa hidrolik dan tampung airnya. Hasil kempa
dimasukkan ke dalam ember dan biarkan selama 3 hari.
2. Ambi air yang diendapkan sebanyak 100 mL, hidrolisis dengan
menambahkan HCl 2N 100 mL kemudian panaskan di water bath selama
1 jam sambil sesekali diaduk.
3. Hasil hidrolisis dilakukan fraksinasi dengan etil asetat 5 x 70 mL, ambil
fraksi etil. Fraksi etil dicuci dengan aquadest 70 mL sampai pH nya netral.
Karena ada banyak emulsi, maka ditambahkan metanol untuk memecah
emulsi tersebut.
4. Fraksi etil diuapkan dengan rotary evaporator dan didapatkan maserat
kental. Maserat kental tersebut ditambah n-heksan sedikit demi sedikit dan
timbul endapan kuning. Endapan dipisahkan dan dilarutkan dengan etil
asetat disertai dengan pemanasan dan tambahkan lagi n-heksan sehingga
endapan akan terbentuk lagi. Lakukan rekristalisasi seperti tadi sampai
larutan menjadi kuning bersih.
5. Larutan yang ada endapan yang telah direkristalisasi disaring dengan
kertas saring. Endapan yang ada di kertas saring dimasukkan ke botol dan
larutkan dengan etil asetat, tunggu sampai terbentuk amorf.
6. Amorf yang terbentuk dilarutkan dengan etil asetat untuk melakukan
pengecekan KLT. Kemudian buat fase gerak n-heksan : etil asetat (1:4)
dan masukkan ke dalam chamber dan beri kertas saring untuk membantu
penjenuhan.
7. Totolkan amorf yang telah dilarutkan di plat KLT, masukkan pada
chamber, tutup rapat dan tunggu sampai eluen naik ke batas atas.
8. Lihat noda dibawah sinar UV λ365 dan hitung Rf
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Hasil
3.1.1 Jumlah Sampel
100 mL
3.1.2 Jumlah Senyawa Isolat
0,0827 g
3.1.3 Rendemen
= x 100 %
= x 100 %
= 0,0827 % b/v
3.1.4 Kelarutan
Larut dalam metanol
3.1.5 Pola KLT
3.1.6 Rf
=
=
= 0,6
3.2 Pembahasan
Sampel yang digunakan untuk mengisolasi flavonoid pada praktikum ini
adalah Gleichenia linearis. Bagian tanaman yang diambil adalah bagian herbanya.
Metoda ekstraksi yang dilakukan untuk G. linearis ini dilakukan dengan cara
ekstraksi panas dengan cara dikukus. Pemilihan metoda ini karena senyawa yang
diisolasi tahan terhadap panas dan cara ekstraksi ini lebih cepat dibanding
ekstraksi dingin. Selain itu, senyawa yang diekstraksi tidak langsung kontak
dengan pelarut. Setelah dikukus, G. Linearis dikempa dengan pompa hidrolik
untuk mendapatkan ekstrak dari tumbuhan ini yang kemudian akan terbentuk
endapan setelah didiamkan beberapa hari.
Endapan hasil rebusan G. Linearis ini dihidrolisis dengan HCl 2N. Tujuan
hidrolisis ini adalah untuk membedakan berbagai jenis glikosida dan bila terjadi
pemutusan, gula, aglikon, gugus asil dan lain-lain dapat dipisahkan. Hasil
hidrolisis di fraksinasi dengan etil asetat dan dicuci dengan aquadest untuk
menghilangkan sisa HCl yang terdapat dalam fraksi tersebut.
Saat difraksinasi senyawa yang larut didalam air, akan masuk ke fraksi air.
Senyawa yang larut etil asetat atau senyawa semi polar, akan masuk ke fraksi etil
asetat. Dan selanjutnya, senyawa yang tidak larut keduanya akan berada didalam
fraksi sisa. Maka, akan didapatkan 3 fraksi yaitu fraksi etil asetat, fraksi air, dan
fraksi sisa. Senyawa hasil setelah diuapkan ditambah n-heksan untuk mendesak
terbentuknya endapan.
Menurut literatur, rendemen yang didapatkan berkisar 0,0029- 0,0235 %
(Nova Syafni, 2007). Namun, hasil yang didapatkan saat praktikum lebih besar
yaitu 0,0827. Hal ini dapat terjadi karena perbedaan cara ekstraksi saat praktikum
dengan ekstraksi pada literatur. Dimana cara ekstraksi pada literatur adalah
dengan merebus G. Linearisini, sedangkan pada saat praktikum dilakukan dengan
cara mengukusnya. Jadi, dapat disimpulkan cara isolasi kaempferol dengan
mengukus lebih baik dari pada merebusnya karena rendemen kaempferol yang
didapatkan dengan mengukus lebih banyak.
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
4.1 Kesimpulan
Dari hasil percobaan isolasi flavonoid dari Gleichenia linearis didapatkan
senyawa kaempferol dengan:
Rendemen 0,0827 %, dimana hasil rendemen ini lebih banyak
dibandingkan dengan rendemen literatur.
Rf 0,6 dengan menggunakan eluen n-heksan : etil asetat (1:4).
4.2 Saran
Teliti, hati-hati dan serius dalam melaksanakan percobaan.
Lakukan percobaan dalam lemari asam bila menggunakan zat-zat atau
reagen yang asam dan berbahaya seperti larutan H2SO4 pekat, HCl
pekat, dan lainnya.
Pergunakan alat seperti vial, botol infus atau pipet tetes yang benar-
benar bersih dan kering.
Sebelum dilakukan uji KLT pastikan dahulu kristal yang diperoleh
sudah bebas dari pengotor agar hasil KLT lebih baik dan nilai Rf nya
sama dengan literatur.
DAFTAR PUSTAKA
Adijuwana, dan Nur M.A. 1989. Teknik Spektroskopi dalam Analisis Biologi.
Bogor: Pusat Antar Universitas IPB.
Ahira, Anne. 2011. Isolasi Paku Resam (Gleichenia linearis).
http://www.anneahira.com/resam.htm (Diakses tanggal 27 Mei 2014).
Arsyad. 2001. Kamus Kimia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka utama.
Arthur, J. R. 1979. Morphology of Vascular Plant, Lower Groups (Psilophylatus
to Filicales. New Delhi: Me Grow Hill Publishing Company Ltd.
Harborne, J.B. 1993. The Flavonoids. London, New York: Chapman and Hall.
Jubahar, J. 2000. Isolasi Flavonoid dari Paku Resam (Gleichenia linearis (Burm.)
Clarke). Padang : FMIPA UNAND
Syafni, Nova. 2007. Optimasi Isolasi Kaempferol dari Paku Resam (Gleichenia
linearis (burm.) Clarke). Padang : FMIPA UNAND
LAPORAN AKHIR PRAKTIKUM
KIMIA BAHAN ALAM II
ISOLASI TRITERPENOID DARI PEGAGAN
(Centella asiatica L.)
OLEH :
SHERLY VERONICA
1211012012
JUMAT SIANG
LABORATORIUM KIMIA BAHAN ALAM
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG
2014
BAB I
TINJAUAN PUSTAKA
Gambar 1. Tumbuhan Centella asistica L (Setiawan Dalimartha, 2006)
1.1 Klasifikasi
Kingdom : Plantae (tumbuh-tumbuhan)
Divisi : Spermatophyta (tumbuhan berbiji)
Subdivisi : Magnoliophyta (tumbuhan berbunga)
Kelas : Dicotyledonae (berkeping dua)
Ordo : Umbillales
Famili : Umbilliferae (apiaceae)
Genus : Centella
Spesies : Centella asiatica L. Urban
(Hardi Sunanto, 2009)
1.2 Morfologi
1.2.1 Habitus
Habitus berupa terna atau herba tahunan, tanpa batang tetapi dengan
rimpang pendek dan stolon-stolon yang melata, panjang 10-80 cm. Pegagan
tumbuh secara liar di tempat-tempat yang tanahnya agak lembab dan cukup
mendapat sinar matahari (Badan POM RI, 2008).
1.2.2 Daun
Daun tunggal, bertangkai panjang, tersusun dalam roset akar yang terdiri
dari 2-10 helai daun. Helaian daun berbentuk ginjal, tepi bergerigi dengan
diameter 1-7 cm (Setiawan Dalimartha, 2006).
1.2.3 Bunga
Bunga tersusun dalam karangan berupa payung, tunggal atau 3-5 bunga
bersama-sama keluar dari ketiak daun, berwarna merah muda atau putih (Setiawan
Dalimartha, 2006).
1.2.4 Buah
Buah kecil, bergantung, berbentuk lonjong, pipih, panjang 2-2,5 mm,
baunya wangi, dan rasanya pahit (Setiawan Dalimartha, 2006).
1.3 Nama
1.3.1 Nama daerah
Daun kaki kuda, daun penggaga, pegagan, pegaga, rumput kaki kuda
(Sumatera), antanan gede (Sunda), calingan rambat (Jawa), kos-tekosan
(Madura), pagaga (Makasar), dau tungke-tungke (Bugis), kori-kori
(Halmahera), kolotidi menora (Ternate), dogouke (Irian).
1.3.2 Nama luar negeri
Ji xue cao (Cina), gotu kola (Hindi), indian penyworth (India), indische
waternavel, paardevoet (Belanda) (Setiawan Dalimartha, 2006).
1.4 Kandungan Kimia
Zat kimia yang terdapat dalam pegagan antara lain asiatikosida, asam
asiatat, madekasat dan madekasosid, sitosterol dan stigmasterol dari golongan
steroid, vallerin, brahmosida, brahminosida dari golongan saponin (Perry, 1980).
Kandungan ekstrak pegagan adalah triterpenoid dengan komposisi utama
asiatikosida, asam asiatat, dan asam madekasat. Komponen relatif triterpenoid
total bervariasi sesuai dengan tempat tumbuh. Rendemen triterpenoid total pada
tanaman pegagan dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain umur tanaman,
kesuburan tanah, ketinggian tempat tumbuh dari permukaan laut, tingkat naungan
atau sumber cahaya matahari (Shobi, 2007; Mann, 1994).
Struktur terpenoid yang bermacam ragam timbul sebagai akibat dari
reaksi-reaksi sekunder berikutnya seperti hidrolisa, isomerisasi, oksidasi, reduksi
dan siklisasi atas geranil-, farnesil- dan geranil-geranil pirofosfat. Lebih dari 4000
jenis triterpenoid telah diisolasi dengan lebih dari 40 jenis kerangka dasar yang
sudah dikenal dan pada prinsipnya merupakan proses siklisasi dari skualen.
Struktur kimia dari triterpen pentasiklik, R1 = H (asiatikosida) atau OH (untuk
madekassosida), R2= glucose-glukose-rhamnose (Aziz dkk, 2007).
Gambar 2. Struktur triterpenoid (Intisari Edisi Mei, 2001)
Asiatikosida : R=H; R1=glc-glc-rhm (BM: 959,122)
Madekasat : R=OH; R1=glc-glc-rhm
Asam Asiatat : R=H; R1=H
Diantara kandungan bioaktif triterpenoid C. asiatica, asam madekasat
adalah yang tertinggi (Munduvelil dkk, 2010; Zhang dkk, 2007). Asam asiatat
(C30H48O5) memiliki karakteristik triterpenoid yang terdapat juga dalam pegagan.
Kandungan bahan aktif masih cukup baik jika diproses dalam keadaan segar atau
kering segar (Intisari Edisi Mei, 2001).
1.5 Manfaat
Tanaman ini berkhasiat sebagai antirematik, antitoksik, pembersih darah,
penghenti pendarahan atau hemostatis, peluruh kencing atau diuretik ringan, dan
penenang atau sedatif, memperbanyak pengeluaran empedu, pereda demam
(antipiretik), mempercepat penyembuhan luka (Setiawan Dalimartha, 2006).
Diduga senyawa glikosida triterpenoid yang disebut asiatikosida berperan
dalam berbagai aktifitas penyembuhan penyakit. Asiatikosida dan senyawa sejenis
juga berkhasiat anti lepra (kusta). Secara umum, pegagan berkhasiat sebagai
heparoprotektor yaitu melindungi sel hati dari berbagai kerusakan akibat racun
dan zat berbahaya (Iftah Fahilah, 2013).
Menurut Prabowo (2002), pegagan mengandung triterpenoid yang
merupakan senyawa aktif yang paling penting dari tanaman ini. Kandungan
triterpenoid pegagan ini dapat merevitalisasi pembuluh darah sehingga peredaran
darah ke otak menjadi lancar, memberikan efek menenangkan dan meningkatkan
fungsi mental menjadi yang lebih baik (Ina Siska Devi F, 2013).
Penelitian secara in vitro membuktikan, kandungan asiatikosida, asam
asiatat, dan asam madekasat bisa menstimulasi pembentukan kolagen, suatu
protein yang terlibat dalam proses penyembuhan luka pada manusia. Sementara
kandungan asiatikosida mempercepat penyembuhan tukak dengan mempercepat
kerja sikatrisial (penggantian jaringan parenkim yang rusak dengan jaringan ikat)
(Hargono, 2003).
1.6 Teori Tambahan
1.6.1 Ekstraksi
Teknik ekstraksi sangat berguna untuk memisahkan secara cepat dan
bersih baik untuk zat organik maupun zat anorganik. Cara ini dapat digunakan
untuk analisis makro dan mikro. Secara umum, ekstraksi adalah proses penarikan
suatu zat terlarut dari larutannya di dalam air oleh suatu pelarut lain yang tidak
dapat bercampur dengan air (fasa air) ( Purwani dkk, 2008).
Salah satu metoda ekstraksi adalah maserasi. Maserasi merupakan cara
penyarian yang sederhana. Maserasi dilakukan dengan cara merendam serbuk
simplisia dalam cairan penyari. Cairan penyari akan menembus dinding sel dan
masuk ke dalam rongga sel yang mengandung zat aktif, zat aktif akan larut dan
nkarena adanya perbedaan konsentrasi antara larutan zat aktif di dalam sel dengan
yang diluar sel, maka larutan yang terpekat didesak keluar. Peristiwa tersebut
berulang sehingga terjadi keseimbangan konsentrasi antara larutan di luar sel dan
di dalam sel (Depkes RI, 1986).
1.6.2 Fraksinasi
Fraksinasi adalah proses pemisahan suatu kuantitas tertentu dari campuran
(padat, cair, terlarut, suspensi atau isotop) dibagi dalam beberapa jumlah kecil
(fraksi) komposisi perubahan menurut kelandaian. Pembagian atau pemisahan ini
didasarkan pada bobot dari tiap fraksi, fraksi yang lebih berat akan berada paling
dasar sedang fraksi yang lebih ringan akan berada diatas. Fraksinasi bertingkat
biasanya menggunakan pelarut organik seperti eter, aseton, benzen, etanol,
diklorometana, atau campuran pelarut tersebut. Asam lemak, asam resin, lilin,
tanin, dan zat warna adalah bahan yang penting dan dapat diekstraksi dengan
pelarut organik (Adijuwana dan Nur 1989).
1.6.3 KLT
KLT dapat digunakan untuk memisahkan berbagai senyawa seperti ion ion
anorganik, kompleks senyawa senyawa organik dengan anorganik, dan senyawa
senyawa organik baik yang terdapat di alam dan senyawa senyawa organik
sintetik. Kelebihan penggunaan kromatografi lapis tipis dibandingkan dengan
kromatografi kertas ialah karena dapat dihasilkannya pemisahan yang lebih
sempurna, kepekaan yang lebih tinggi, dan dapat dilaksanakan dengan lebih cepat.
Banyak pemisahan yang memakan waktu berjam jam bila dikerjakan dengan
kromatografi kertas, tetapi dapat dilaksanakan hanya beberapa menit saja bila
dikerjakan dengan KLT.
Empat macam adsorben yang umum dipakai ialah silika gel, alumina,
kieselguhr, dan selulosa. Sampel yang merupakan campuran senyawa yang akan
dipisahkan, dilarutkan dalam zat pelarut yang mudah menguap, misalnya
kloroform atau zat pelarut lain yang serupa, yang mempunyai titik didih antara
50-100 C. Tetesan sampel harus di usahakan sekecil mungkin dengan meneteskan
berulang kali, dengan dibiarkan mengering sebelum tetesan berikutnya dikerjakan.
Pemilihan sistem pelarut yang dipakai didasarkan atas prinsip like dissolves like,
tetapi akan lebih cepat.
Pemilihan sistem pelarut atas dasar like dissolves like berarti untuk
memisahkan sampel yang bersifat non polar digunakan sistem pelarut yang
bersifat non polar juga. Dengan menempatkan plat yang telah dikeringkan dalam
ruangan yang mengandung uap iodium, komponen penyusun dalam bentuk bercak
(spot) akan berwarna coklat dengan dasar putih. Penggunaan sinar ultraviolet
dapat memberikan fluoresensi pada plat yang mengandung unsur fosfor
(Muhammad Adnan, 1997).
BAB II
PROSEDUR PERCOBAAN
2.1 Alat dan Bahan
2.1.1 Alat
Wadah untuk maserasi, kolom kromatografi, corong, botol 100 mL,
vial, pipet tetes, seperangkat alat rotary evaporator, chamber, penotol.
2.1.2 Bahan
Daun pegagan kering (100 g), metanol, etil asetat, plat KLT, kapas,
norit, penampak noda untuk triterpenoid.
2.2 Cara Kerja
1. Pegagan (100 g) yang telah digirinder dimaserasi dengan metanol di
dalam 3 botol selama 3 hari disertai pengocokan sesekali.
2. Setelah 3 hari dimaserasi, saring. Ambil 200 g norit dan masukkan
dalam kolom, lewatkan metanol 250 mL pada norit tersebut, tunggu
sampai metanol keluar dari kolom.
3. Masukkan maserat yang telah disaring ke dalam kolom yang berisi
norit, tunggu sampai larutan bening keluar dari kolom. Setelah
dilewatkan 2x di norit, larutan bening berubah menjadi larutan kuning
bening dan uapkan dengan rotary evaporator.
4. Maserat yang telah diupkan dilakukan defatting untuk menghilangkan
lemak dengan cara maserat dimasukkan dalam corong pisah dan
tambahkan n-heksan, dikocok minimal 2x, maka akan terbagi 2
lapisan.
5. Eluat yang berada di lapisan bawah diuapkan kembali sampai kental,
kemudian tambah aquadest dan masukkan ke dalam lemari pendingin
selama 1 hari. Akan terbentuk endapan.
6. Endapan tersebut disaring dengan kertas saring dan dibiarkan kering.
Eluat kering dimasukkan ke dalam vial yang sebelumnya telah
ditimbang. Tambahkan etil asetat, larutkan.
7. Untuk cek KLT gunakan fase gerak etil asetat : metanol : aquadest
(4:1:0,5) dan totolkan pada plat dan masukkan pada eluen. Tunggu
sampai eluen naik sampai tanda batas atas. Kemudian oleskan vanilin
(sebagai penampak noda). Didapatkan 1 noda pada plat KLT.
BAB II
HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Hasil
3.1.1 Jumlah Sampel
100 g
3.1.2 Jumlah Senyawa Isolat
0,114 g
3.1.3 Rendemen
= x 100 %
= x 100 %
= 0,114 %
3.1.4 Kelarutan
Larut dalam etil asetat
3.1.5 Pola KLT
3.1.6 Rf
=
=
= 0,87
3.2 Pembahasan
Pada percobaan ini, isolasi triterpenoid dilakukan dari tumbuhan Centella
asiatica dengan cara metoda maserasi. Sebelum dilakukan maserasi, daun
pegagan ini terlebih dahulu dihaluskan. Hal ini bertujuan untuk memperluas
bidang permukaan sampel sehingga memperluas kontak dengan pelarut ke dalam
membran sel.
Metoda ekstraksi dilakukan dengan cara ekstraksi dingin yaitu maserasi.
Maserasi adalah ekstraksi dengna cara perendaman sampel dengan pelarut. Pelarut
(cairan penyari) akan masuk ke dalam sel melewati dinding sel. Isi sel akan
larut karena adanya perbedaan konsentrasi antara larutan di dalam sel dengan di
luar sel. Larutan yang konsentrasinya tinggi akan terdesak keluar dan diganti oleh
cairan penyari dengan konsentrasi rendah ( proses difusi), peristiwa tersebut
berulang sampai terjadi keseimbangan konsentrasi antara larutan di luar sel dan di
dalam sel. Selama proses maserasi dilakukan pengadukan agar meratakan
konsentrasi larutan di luar butir serbuk simplisia sehingga tetap terjaga adanya
derajat konsentrasi yang sekecil-kecilnya antara larutan di dalam sel dengan
larutan di luar sel.
Pemilihan metode maserasi karena jumlah sampel dan pelarut yang
digunakan sedikit serta pengerjaannya lebih sederhana. Selain itu, pemilihan
metoda maserasi dilakukan untuk senyawa- senyawa yang tidak tahan panas.
Maserasi dilakukan dengan pelarut metanol karena merupakan pelarut universal
yang dapat melarutkan semua senyawa. Metanol juga memiliki titik didih yang
rendah (780C) sehingga mudah diuapkan.
Pada percobaan ini digunakan norit yang sebelum digunakan dilakukan
pelewatan asam dengan mengalirinya dengan metanol. Ini bertujuan untuk
menghilangkan garam dari norit sehingga permukaan norit menjadi rata dan aktif
sebagai adsorben. Sampel yang telah dimaserasi dilewatkan pada norit untuk
menghilangkan pengotor yang masih terdapat dalam ekstrak dan menarik klorofil
yang ada.
Kandungan triterpenoid dalam Centella asiatica adalah 20,66 %
(Harwoko, 2014). Namun saat percobaan, triterpenoid yang didapatkan dari
pegagan hanya 0,114 %, hal ini dapat terjadi karena perbedaan cara ekstraksi pada
literatur dengan yang dilakukan saat percobaan. Pada literatur Centella asiatica di
maserasi dengan etanol 70 % selama 24 jam, kemudian dimaserasi kembali
dengan beberapa pelarut sebanyak 4 kali. Sedangkan saat percobaan hanya
dilakukan 1 kali maserasi dengan metanol. Selain itu, hasil rendemen juga
dipengaruhi oleh umur tanaman, kesuburan tanah, ketinggian tempat tumbuh dari
permukaan laut, tingkat naungan atau sumber cahaya matahari.
Menurut literatur, Rf standar triterpenoid dari C. Asiatica adalah
asiaticosida, Rf 0.55; asam madekasat, Rf 0.94; dan asam asietat, Rf 0.97(Jacinda
James dan Ian Dubery, 2011). Setelah dilakukan uji KLT, didapatkan 1 noda
dengan Rf 0,87. Berdasarkan Rf yang didapatkan dapat diindikasikan bahwa
senyawa triterpenoid yang diisolasi adalah asam madekasat. Saat dilakukan uji
KLT noda yang didapatkan seharusnya 3 noda, namun saat percobaan hanya
didapatkan 1 noda. Hal ini terjadi karena kesalahan dalam praktikum seperti cara
penotolan senyawa pada plat KLT yang kurang tebal.
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
4.1 Kesimpulan
Dari hasil percobaan isolasi triterpenoid dari Centella asiatica didapatkan
senyawa golongan triterpenoid dengan:
Rendemen 0,114%, dimana hasil yang didapatkan ini sangat sedikit
jika dibandingkan dengan literatur.
Rf 0,87; dimana menurut literatur standar Rf asiatikosida, Rf 0.55;
asam madekasat, Rf 0.94; dan asam asietat, Rf 0.97. Sehingga dapat
diimpulkan bahwa senyawa yang didapatkan dari hasil isolasi adalah
asam madekasat.
4.2 Saran
Teliti, hati-hati dan serius dalam melaksanakan percobaan.
Lakukan percobaan dalam lemari asam bila menggunakan zat-zat atau
reagen yang asam dan berbahaya seperti larutan H2SO4 pekat, HCl
pekat, dan lainnya.
Pergunakan alat seperti vial, botol infus atau pipet tetes yang benar-
benar bersih dan kering.
Sebelum dilakukan uji KLT pastikan dahulu kristal yang diperoleh
sudah bebas dari pengotor agar hasil KLT lebih baik dan nilai Rf nya
sama dengan literatur.
DAFTAR PUSTAKA
Adijuwana, dan Nur M.A. 1989. Teknik Spektroskopi dalam Analisis Biologi.
Bogor: Pusat Antar Universitas IPB.
Adnan, Muhammad. 1997. Teknik Kromatografi. Yogyakarta: Andi Offset.
Badan POM RI. 2008. Direktorat Obat Asli Indonesia. Jakarta: Badan Pengawas
Obat dan Makanan Republik Indonesia.
Dalimartha, Setiawan. 2006. Atlas Tumbuhan Obat Indonesia. Jakarta: Puspa
Swara.
Departemen Kesehatan RI. 1986. Sediaan Galenik. Jakarta: Depkes RI.
Fatmiah, Ina Siska Devi. 2013. Kualitas Ekstrak Pegagan (Centella asiatica)
Terenkapsulasi dengan Perbedaan Level Gelatin sebagai Bahan
Enkapsulan. Fakultas Peternakan, Universitas Brawijaya.
Harwoko, S. Pramono, dan A. Nugroho. 2014. Triterpenoid-Rich Fraction of
Centella Asiatica Leaves and In Vivo Antihypertensive Activity.
International Food Research Journal 21(1): 149-154.
James, Jacinda dan Ian Dubery. 2011. Identification and Quantification of
Triterpenoid Centelloids in Centella asiatica (L.) Urban by Densitometric
TLC. Journal of Planar Chromatography. 24 (2011) 1.
Sunanto, Hardi. 2009. 100 Resep Sembuhkan Hipertensi, Asam Urat, Dan
Obesitas. Jakarta: PT Elex Media Komputindo.
LAPORAN AKHIR PRAKTIKUM
KIMIA BAHAN ALAM II
ISOLASI SENYAWA FENOLIK DARI KULIT BUAH MANGGIS
(Garcinia mangostana L.)
OLEH :
SHERLY VERONICA
1211012012
JUMAT SIANG
LABORATORIUM KIMIA BAHAN ALAM
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG
2014
BAB I
TINJAUAN PUSTAKA
Gambar 1. Tumbuhan Garcinia mangostana (id.wikipedia.org)
1.1 Klasifikasi
Kingdom : Plantae (tumbuh-tumbuhan)
Divisi : Spermatophyta (tumbuhan berbiji)
Subdivisi : Angiospermae (berbiji tertutup)
Kelas : Dicotyledonae (biji berkeping dua)
Ordo : Guttifernales
Famili : Guttiferae
Genus : Garcinia
Spesies : Garcinia mangostana
(Rahmat Rukmana, 2003)
1.2 Morfologi
1.2.1 Buah
Daging buah manggis bersegmen-segmen yang jumlahnya berkisar antara
5-8 segmen. Daging buah manggis berwarna putih dan bertekstur halus. Setiap
segmen daging buah mengandung biji yang berukuran besar. Buah manggis
memiliki kulit buah tebal, yakni sekitar 0,5 cm atau lebih. Di dalam kulit buah
terdapat zat pektin, tannin, katekin, rosin, zat warna, dan getah berwarna kuning
(Cahyono, 2011).
Benang sari mandul (staminodia) biasanya dalam tukal (kelopak). Bakal
buah beruang 4-8, kepala putik berjari-jari 5-6. Buah menggis berbentuk bola
dengan garis tengah 3,5-7 cm, ungu tua, dengan kepala putik duduk (tetap),
dinding buah tebal, berdaging ungu, dengan getah kuning. Biji 1-3, diselimuti
oleh selaput biji yang tebal berair, putih, dapat dimakan (termasuk biji yang gagal
tumbuh sempurna) (Rukmana, 1995).
1.2.2 Batang
Manggis merupakan tanaman tahunan yang masa hidupnya dapat
mencapai puluhan tahun. Pohon manggis selalu hijau dengan tinggi 6-20 meter.
Manggis mempunyai batang tegak, batang pohon jelas, kulit batang coklat, dan
memiliki getah kuning. Daun manggis tunggal, duduk daun berhadapan atau
bersilang berhadapan (Rukmana, 1995).
1.2.3 Bunga
Manggis mempunyai bunga betina 1-3 di ujung batang, susunan
menggarpu, dan garis tengah 5-6 cm. Kelopak daun manggis dengan daun
kelopak terluar hijau kuning, dua yang terdalam lebih kecil, bertepi merah,
melengkung kuat. Manggis mempunyai waktu berbunga antara bula Mei –
Januari. Menggis mempunyai 4 daun mahkota, bentuk telur terbalik, berdaging
tebal, hijau kuning, tepi merah atau hampir semua merah (Rukmana, 1995).
1.3 Nama
1.3.1 Nama daerah
manggoita (Aceh), manggu (Jawa Barat), manggus (Lampung),
manggusto (Sulawesi Utara), manggista (Sumatera Barat), dan
manggustan (Maluku) (Mardiana, 2011).
1.3.2 Nama luar negeri
Manggistan (Belanda), Manggosteen (Inggris), Mangastane (Jerman),
Mangostao (Portugis), Mangustan (Hindi), Mengop/Mengut (Burma),
Mangostan (Perancis), Mangusta (Malaysia) ( Emilan dkk, 2011).
1.4 Kandungan Kimia
Kulit buah manggis mengandung senyawa xanton yang meliputi
mangostin, mangostenol, mangostinon A, mangostinon B, trapezifolixanton,
tovophyllin B, α-mangostin, β-mangostin, garcinon B, mangostanol, flavonnoid
epicatechin dan gartanin (Hartanto, 2011).
Beberapa senyawa utama kandungan kulit manggis yang dilaporkan
bertanggung jawab atas beberapa aktivitas farmakologi adalah golongan xanton.
Senyawa xanton yang telah teridentifikasi, diantaranya adalah 1,3,6-trihidoksi-7-
metoksi-2,8-bis(3-metil-2-butenil)-9H-xanten-9-on dan 1,3,6,7-tetrahidroksi-2,8-
bis(3-metil-2-butenil)-9H-xanten-9-on (Jinsart dkk, 1992: 3711). Keduanya lebih
dikenal dengan nama α-mangostin dan γ-mangostin (Sylvia Aulia Rahmah dkk,
2013).
α-mangostin merupakan senyawa turunan xanthone yang paling banyak
terdapat pada kulit manggis dan diketahui memiliki aktivitas fikokimia yang baik.
Yu dkk, melaporkan bahwa kapasitas antioksidan α-mangostin mencapai rata-rata
53,5% (Asep W Permana, 2012).
Gambar 2. Struktur α-mangostin (Nugroho, 2008)
1.5 Manfaat
Secara empirik buah manggis digunakan untuk mengobati diare, radang
amandel, keputihan, disentri, wasir, borok, disamping itu digunakan sebagai
peluruh dahak, dan juga untuk sakit gigi. Kulit buah digunakan untuk mengobati
sariawan, disentri, nyeri urat, sembelit. Kulit batang digunakan untuk mengatasi
nyeri perut. Akar untuk mengatasi haid yang tidak teratur. Dari segi flavor, buah
manggis cukup potensial untuk dibuat sari buah (Sudarsono dkk, 2002).
α-mangostin yang terdapat pada kulit manggis memiliki aktivitas
antioksidan dan penangkal radikal bebas. Berkaitan dengan fakta tersebut, α-
mangostin mampu menghambat proses oksidasi lipoprotein densitas rendah
(LDL) yang sangat berperan dalam aterosklerosis (Agung Endro Nugroho, 2008).
Efek farmakologi dari kulit buah manggis.
Aktivitas antihistamin
Dalam reaksi alergi, komponen utama yang mengambil peran penting
adalah sel mast, beserta mediator-mediator yang dilepaskannya yaitu histamin dan
serotonin. Alergi disebabkan oleh respon imunitas terhadap suatu antigen ataupun
alergen yang berinteraksi dengan limfosit B yang dapat memproduksi
imunoglobulin E (IgE). Imunoglubulin E yang diproduksi kemudian menempel
pada reseptor FcεRI pada permukaan membran sel mast. Setelah adanya interaksi
kembali antara antigen-antibodi, akan merangsang sel mast untuk melepaskan
histamin (Kresno, 2001; Subowo, 1993).
Berhubungan dengan reaksi alergi atau pelepasan histamin tersebut,
Chairungsrilerd dkk (1996a, 1996b, 1998) melakukan pengujian ekstrak metanol
kulit buah manggis terhadap kontraksi aorta dada kelinci terisolasi yang diinduksi
oleh histamin maupun serotonin. Dari analisa komponen-komponen aktif dari
fraksi lanjutan hasil dari kromatografi gel silika, mengindikasikan bahwa senyawa
aktifnya adalah α-mangostin dan γ-mangostin. α-mangostin sendiri mampu
menunjukkan aktivitas penghambatan kontraksi trakea marmut terisolasi dan aorta
torak kelinci terisolasi, yang diinduksi simetidin, antagonis reseptor histamin H2.
α-mangostin juga mampu menghambat ikatan [3H] mepiramin terhadap
sel otot polos arta tikus. Senyawa terakhir tersebut merupakan antagonis spesifik
bagi reseptor histamin H1. Dari penelitian ini disimpulkan bahwa α-mangostin
tersebut dikategorikan sebagai pengeblok reseptor histaminergik khususnya H1
(Agung Endro Nugroho, 2008).
Antioksidan
Jung dkk, (2006) melakukan penelitian aktivitas antioksidan. Dari hasil
skrining aktivitas antioksidan, yang menunjukkan aktivitas poten adalah : 8-
hidroksikudraxanton, gartanin, α-mangostin, γ-mangostin dan smeathxanton A
(Agung Endro Nugroho, 2008).
Antikanker
Matsumoto (2003) melakukan uji aktivitas antiproliferatif dan apoptosis
pada pertumbuhan sel leukimia manusia HL60. Berbeda dengan hasil penelitian
sebelumnya, α-mangostin menunjukkan aktivitas anti-proliferasi dan apoptosis
terpoten diantara senyawa xanton lainnya. Pada tahun 2004, Matsumoto
melanjutkan penelitian tersebut untuk mempelajari mekanisme apoptosis dari α-
mangostin.
Senyawa tersebut mampu mengaktivasi enzim apoptosis caspase-3 dan -9,
namun tidak pada caspase-8. α-mangostin diduga kuat memperantarai apoptosis
jalur mitokondria, ini didasari oleh perubahan mitokondria setelah perlakuan
senyawa tersebut selama 1-2 jam. Perubahan mitokondria tersebut meliputi :
pembengkakan sel, berkurangnya potensial membran, penurunan ATP
intraseluler, akumulasi senyawa oksigen reaktif (ROS), dan pelepasan c/AIF
sitokrom sel.
Namun, α-mangostin tidak mempengaruhi ekspresi protein famili bcl-2
dan aktivasi MAP kinase. Hasil penelitian tersebut mengindikasikan bahwa target
aksi α-mangostin adalah mitokondria pada fase awal sehingga menghasilkan
apoptosis pada sel line leukimia manusia. Dari studi hubungan struktur aktivitas,
gugus hidroksi mempunyai kontribusi besar terhadap aktivitas apoptosis tersebut
(Agung Endro Nugroho, 2008).
Antimikroorganisme
Peneliti asal Osaka Jepang, Sakagami (2005) fokus pada α-mangostin, kali
ini senyawa tersebut diisolasi dari kulit batang pohon untuk memperoleh jumlah
yang besar, α-mangostin aktif terhadap bakteri Enterococci dan Staphylococcus
aureus yang masing-masing resisten terhadap vancomisin dan metisilin. Ini
diperkuat dengan aktivitas sinergisme dengan beberapa antibiotika (gentamisin
dan vancomisin) terhadap kedua bakteri tersebut (Agung Endro Nugroho, 2008).
Aktivitas lainnya
α-mangostin mampu menghambat proses oksidasi lipoprotein densitas
rendah (LDL) yang sangat berperan dalam aterosklerosis (Agung Endro Nugroho,
2008).
1.6 Teori Tambahan
1.6.1 Ekstraksi
Pemilihan metode ekstraksi tergantung pada tekstur, kandungan air dan
jenis senyawa kimia yang di isolasi dari suatu tumbuhan, sehingga senyawa kimia
yang diekstraksi dapat tertarik sempurna tanpa mengalami perubahan sifat dan
strukturnya. Ekstraksi tumbuhan dilakukan dengan menggunakan pelarut yang
sesuai. Untuk memilih pelarut yang akan dipakai dalam ekstraksi harus diketahui
sifat kandungan kimia metabolit sekunder yang akan diisolasi. Senyawa polar
lebih mudah larut dalam pelarut polar dan senyawa non polar mudah larut dalam
pelarut non polar (Harborne, 1991).
Salah satu metoda ekstraksi adalah maserasi. Maserasi merupakan cara
penyarian yang sederhana. Maserasi dilakukan dengan cara merendam serbuk
simplisia dalam cairan penyari. Cairan penyari akan menembus dinding sel dan
masuk ke dalam rongga sel yang mengandung zat aktif, zat aktif akan larut dan
nkarena adanya perbedaan konsentrasi antara larutan zat aktif di dalam sel dengan
yang diluar sel, maka larutan yang terpekat didesak keluar. Peristiwa tersebut
berulang sehingga terjadi keseimbangan konsentrasi antara larutan di luar sel dan
di dalam sel (Depkes RI, 1986).
1.6.2 Rekristalisasi
Rekristalisasi merupakan salah satu cara pemurnian zat padat yang banyak
digunakan, dimana zat-zat tersebut atau zat-zat padat tersebut dilarutkan dalam
suatu pelarut kemudian dikristalkan kembali. Cara ini bergantung pada kelarutan
zat dalam pelarut tertentu di kala suhu diperbesar. Karena konsentrasi total
impuriti biasanya lebih kecil dari konsentrasi zat yang dimurnikan, bila dingin,
maka konsentrasi impuriti yang rendah tetapi dalam larutan sementara produk
yang berkonsentrasi tinggi akan mengendap (Arsyad, 2001).
Rekristalisasi merupakan metode yang sangat penting untuk pemurnian
komponen larutan organik. Ada tujuh metode dalam rekristalisasi yaitu: memilih
pelarut, melarutkan zat terlarut, menghilangkan warna larutan, memindahkan zat
padat, mengkristalkan larutan, mengumpul dan mencuci kristal, mengeringkan
produknya (hasil) (Williamson, 1999). Rekristalisasi adalah pemurnian suatu zat
padat dari campuran atau pengotornya yang dilakukan dengan cara
mengkristalkan kembali zat tersebut setelah dilarutkan dalam pelarut (solven)
yang sesuai atau cocok (Agustina Leokristi, 2013).
1.6.3 KLT
KLT dapat digunakan untuk memisahkan berbagai senyawa seperti ion ion
anorganik, kompleks senyawa senyawa organik dengan anorganik, dan senyawa
senyawa organik baik yang terdapat di alam dan senyawa senyawa organik
sintetik. Kelebihan penggunaan kromatografi lapis tipis dibandingkan dengan
kromatografi kertas ialah karena dapat dihasilkannya pemisahan yang lebih
sempurna, kepekaan yang lebih tinggi, dan dapat dilaksanakan dengan lebih cepat.
Banyak pemisahan yang memakan waktu berjam jam bila dikerjakan dengan
kromatografi kertas, tetapi dapat dilaksanakan hanya beberapa menit saja bila
dikerjakan dengan KLT.
Empat macam adsorben yang umum dipakai ialah silika gel, alumina,
kieselguhr, dan selulosa. Sampel yang merupakan campuran senyawa yang akan
dipisahkan, dilarutkan dalam zat pelarut yang mudah menguap, misalnya
kloroform atau zat pelarut lain yang serupa, yang mempunyai titik didih antara
50-1000C. Tetesan sampel harus di usahakan sekecil mungkin dengan meneteskan
berulang kali, dengan dibiarkan mengering sebelum tetesan berikutnya dikerjakan.
Pemilihan sistem pelarut yang dipakai didasarkan atas prinsip like dissolves like,
tetapi akan lebih cepat.
Pemilihan sistem pelarut atas dasar like dissolves like berarti untuk
memisahkan sampel yang bersifat non polar digunakan sistem pelarut yang
bersifat non polar juga. Dengan menempatkan plat yang telah dikeringkan dalam
ruangan yang mengandung uap iodium, komponen penyusun dalam bentuk bercak
(spot) akan berwarna coklat dengan dasar putih. Penggunaan sinar ultraviolet
dapat memberikan fluoresensi pada plat yang mengandung unsur fosfor
(Muhammad Adnan, 1997).
BAB II
PROSEDUR PERCOBAAN
2.1 Alat dan Bahan
2.1.1 Alat
Wadah untuk maserasi, corong, botol 500 mL, botol 100 mL, vial,
pipet tetes, seperangkat alat rotary evaporator, chamber, penotol.
2.1.2 Bahan
Kulit buah manggis kering (100 g), n-heksan, etil asetat, metanol,
penampak noda senyawa golongan fenolik (FeCl3 1%), kapas, plat
KLT
2.2 Cara Kerja
1. Kulit buah manggis kering (100 g) yang telah digirinder dimaserasi
dengan n-heksan selama 2 hari. Botol I (50 g kulit buah manggis, 450
mL n-heksan) dan botol II (50 g kulit buah manggis, 400 mL n-
heksan).
2. Setelah 2 hari dimaserasi, sampel disaring dan ampasnya dimaserasi
lagi dengan etil asetat selama 3 hari. Setelah itu disaring dan maserat
yang didapatkan diuapkan dengan menggunakan rotary evaporator.
3. Hasil penguapan didapatkan larutan kental. Larutan kental tersebut
ditambah dengan n-heksan dan diuapkan lagi untuk mendapatkan
kristal dan diamkan selama 1 hari.
4. Larutan yang didiamkan menghasilkan endapan. Larutan diatasnya
dipisahkan dan endapan dibiarkan kering. Setelah kering, endapan
berbentuk kristal. Kemudian lakukan uji KLT
5. Untuk cek KLT gunakan fase gerak etil asetat : n-heksan (2 : 3) dan
totolkan sampel pada plat dan masukkan pada eluen. Tunggu sampai
eluen naik sampai tanda batas atas. Kemudian lihat di bawah sinar UV
λ254 dan didapatkan 1 noda.
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Hasil
.3.1.1 Jumlah Sampel
100 g
3.1.2 Jumlah Senyawa Isolat
0,3663 g
3.1.3 Rendemen
= x 100 %
= x 100 %
= 0,3663 %
3.1.4 Kelarutan
Larut dalam etil asetat
3.1.5 Pola KLT
3.1.7 Rf
=
=
= 0,4
3.2 Pembahasan
Pada percobaan ini, isolasi fenolik dilakukan dari tumbuhan Garcinia
mangostana dengan cara metoda maserasi. Sebelum dilakukan maserasi, kulit
buah manggis yang telah kering terlebih dahulu dihaluskan. Hal ini bertujuan
untuk memperluas bidang permukaan sampel sehingga memperluas kontak
dengan pelarut ke dalam membran sel.
Metoda ekstraksi dilakukan dengan cara ekstraksi dingin yaitu maserasi.
Maserasi adalah ekstraksi dengan cara perendaman sampel dengan pelarut. Pelarut
(cairan penyari) akan masuk ke dalam sel melewati dinding sel. Isi sel akan
larut karena adanya perbedaan konsentrasi antara larutan di dalam sel dengan di
luar sel. Larutan yang konsentrasinya tinggi akan terdesak keluar dan diganti oleh
cairan penyari dengan konsentrasi rendah (proses difusi), peristiwa tersebut
berulang sampai terjadi keseimbangan konsentrasi antara larutan di luar sel dan di
dalam sel. Selama proses maserasi dilakukan pengadukan agar meratakan
konsentrasi larutan di luar butir serbuk simplisia sehingga tetap terjaga adanya
derajat konsentrasi yang sekecil-kecilnya antara larutan di dalam sel dengan
larutan di luar sel.
Pemilihan metode maserasi karena jumlah sampel dan pelarut yang
digunakan sedikit serta pengerjaannya lebih sederhana. Selain itu, pemilihan
metoda maserasi dilakukan untuk senyawa- senyawa yang tidak tahan panas. Pada
percobaan ini perendaman sampel dilakukan 2 kali. Maserasi pertama dilakukan
dengan n-heksan. Hal ini bertujuan untuk menghilangkan lemak yang ada pada
kulit buah manggis tersebut, setelah itu baru dilakukan maserasi kembali dengan
etil asetat.
Dilakukannya rekristalisasi saat percobaan agar kristal senyawa yang
didapatkan bebas dari pengotor yang masih ada di dalam kristal tersebut.
Rekristalisasi ini menggunakan 2 pelarut yang saling bercampur. Hasil uji
organoleptis kristal ini didapatkan bahwa serbuk senyawa bewarna kuning dengan
bau yang khas. Hal ini pun sesuai dengan organoleptis α-mangostin menurut
literatur yaitu berbentuk serbuk amorf berwarna kuning (Obolskiy, 2009).
Menurut literatur, rendemen α-mangostin sebesar 12,204% (Sylvia Aulia
Rahmah, 2013). Namun pada saat percobaan rendemen α-mangostin yang
didapatkan hanya 0,3663%. Perbedaan ini dapat terjadi karena perbedaan cara
kerja, dimana pada literatur tersebut maserasi dilakukan secara berulang-ulang
sebayak 3 kali pengulangan sedangkan pada saat praktikum hanya dilakukan 1
kali saja. Selain itu, pada literatur tersebut maserasi dilakukan dengan
menggunakan etanol 70% sedangkan pada saat percobaan menggunakan etil
asetat.
Menurut literatur Rf α-mangostin adalah sebesar 0,46 (Himanshu Misra
dkk, 2009) sedangkan pada saat praktikum Rf yang didapatkan adalah 0,4. Jadi ini
dapat disimpulkan bahwa senyawa yang diisolasi pada saat praktikum adalah α-
mangostin karena nilai Rf yang tidak jauh berbeda. Perbedaan nilai Rf ini dapat
disebabkan karena kemiringan plat KLT dalam chamber, panjang plat KLT,
ukuran chamber, teknik percobaan, suhu, dan kesetimbangan.
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
4.1 Kesimpulan
Dari hasil percobaan isolasi golongan fenolik dari Garcinia mangostana
didapatkan senyawa α-mangostin dengan:
Rendemen 0,3663%, dimana hasil yang didapatkan kurang dari
rendemen yang ada pada literatur.
Rf 0,4; dimana hasil Rf yang didapatkan tidak jauh berbeda dengan
literatur.
4.2 Saran
Teliti, hati-hati dan serius dalam melaksanakan percobaan.
Lakukan percobaan dalam lemari asam bila menggunakan zat-zat atau
reagen yang asam dan berbahaya seperti larutan H2SO4 pekat, HCl
pekat, dan lainnya.
Pergunakan alat seperti vial, botol infus atau pipet tetes yang benar-
benar bersih dan kering.
Sebelum dilakukan uji KLT pastikan dahulu kristal yang diperoleh
sudah bebas dari pengotor agar hasil KLT lebih baik dan nilai Rf nya
sama dengan literatur.
DAFTAR PUSTAKA
Cahyono, F. 2011. Budidaya Manggis. Surabaya: Grafindo.
Emilan, Tommy, dkk. 2011. Manggis (Garcinia mangostana). Program Magister
Ilmu Herbal Departemen Farmasi Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam Universitas Indonesia.
Fransiska, Andre. 2013. Karakteristik Fisiologi Manggis (Garcinia mangostana
L.) dalam Penyimpanan Atmosfer Termodifikasi. Jurnal Teknik Pertanian
Lampung– Vol. 2, No. 1, Feb-Mei: 1 – 6.
Nugroho, Agung Endro. 2008. Manggis (Garcinia Mangostana L.): dari Kulit
Buah yang Terbuang. Laboratorium Farmakologi dan Toksikologi, Bagian
Farmakologi dan Farmasi Klinik, Fakultas Farmasi, Universitas Gadjah
Mada.
Obolskiy, D., Pischel, dan Siriwatanametanon. 2009. Garcinia mangostana L.: A
Phytochemical and Pharmacological Review. Phytoterapy Research. Vol 23
(8), hal 1047-1065.
Permana, Asep W dkk. 2012. Sifat Antioksidan Bubuk Kulit Buah Manggis
(Garcinia Mangostana L.) Instan Dan Aplikasinya Untuk Minuman
Fungsional Berkarbonasi. Penelitian dan Pengembangan Pascapanen
Pertanian. 9(2) 2012: 88 - 95
Rahmah, Sylvia Aulia. 2013. Uji Antibakteri dan Daya Inhibisi Ekstrak Kulit
Manggis (Garcinia Mangostana L.) terhadap Aktivitas Xantin Oksidase
yang Diisolasi dari Air Susu Sapi Segar. Universitas Negeri Malang
Rukmana, Rahmat. 2003. Budidaya Manggis. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
top related