kali pepe: halaman belakang kehidupan kota solo …
Post on 16-Nov-2021
10 Views
Preview:
TRANSCRIPT
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
KALI PEPE: HALAMAN BELAKANG KEHIDUPAN KOTA SOLO
(Studi Perubahan Tindakan Masyarakat Kampung Bantaran Kali Pepe) Aghniyar Rohmi Kayyisa
Program Studi Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Sebelas Maret
Email: ar.kayyisa@gmail.com
Penelitan ini bertujuan memahami perubahan di kampung-kampung bantaran Kali Pepe.
Perubahan diidentifikasi dengan mengkomparasi narasi historis dengan tindakan keseharian
masyarakat saat ini. Perubahan dianalisis melalui aset fisik dan aset non-fisik yang ada. Grounded
theory sebagai metode yang menuntut peneliti membangun teori berbasis data. Pengambilan data dan
penyampelan dilakukan terus menerus, sehingga jumlah sampel bisa bertambah, dan akan berhenti
jika data yang diperoleh telah mampu menjawab seluruh rumusan masalah. Teknik pengumpulan
data dilakukan melalui observasi, wawancara, dan catatan harian (memo) peneliti. Hasil penelitian
menemukan bahwa narasi historis memaparkan dahulunya sungai berkontribusi sebagai faktor
penentu pembentukan tata ruang kota. Sungai digunakan sebagai jalur transportasi air penghubung
antar wilayah. Seiring waktu, perubahan terjadi. Pemantik terjadinya perubahan adalah keberadaan
pemukiman bantaran Kali Pepe yang dibangun pasca kemerdekaan, pada saat itu dinamika
perekonomian di kota mulai stabil. Sehingga, orang-orang melakukan urbanisasi. Kini, komposisi
demografi di kampung bantaran Kali Pepe sangat plural karena terdiri dari beragam etnis dan
agama. Pada saat yang bersamaan, modernitas yang mewujud dengan teknologi juga mempengaruhi
terjadinya perubahan. Orang-orang mulai meninggalkan cara-cara lama akibat adanya kemudahan
teknologi dari berbagai aspek. Oleh karenanya, perubahan yang terjadi cenderung bersifat regress
(kemunduran). Muncul permasalahan krisis lingkungan sebagai konsekuensi dari gencarnya
kehadiran teknologi dan pertumbuhan kota.
Kata Kunci : Kota, Kampung, Sungai, Perubahan
Sungai merupakan sumber
kehidupan manusia. Secara historis,
peradaban manusia banyak dibangun di
pinggiran sungai. Hal ini dipantik oleh
kecenderungan manusia dalam mencari
tempat tinggal yang relatif dekat dengan
sumber air. Lebih komplek dari itu, bahkan
keberadaan sungai juga menjadikan faktor
penentu dalam pembentukan tata ruang
kota. Sesuai dengan yang dituliskan oleh
Pande Made Kutanegara bahwa sungai dan
air sebagai sumber kehidupan merupakan
pusat orientasi dan sangat penting dalam
pembangunan sebuah negara (Kutanegara,
2014: 3). Kota Solo memiliki sungai
terpanjang di pulau Jawa. Adalah sungai
Bengawan Solo yang bagi masyarakatnya
merupakan sungai legendaris. Hal ini
dikarenakan sejak masa lampau,
keberadaan sungai ikut berkontribusi besar
terhadap dinamika dan perkembangan
kota. Praktis, sungai tidak hanya hadir
sebagai bentuk aset fisik kota saja. Tak
luput pula dengan keramaian yang tidak
hanya berpusat di sepanjang sungai
Bengawan Solo saja, tetapi juga di anak-
anak sungainya yang memang dilalui oleh
kapal-kapal kecil. Salah satu anak
sungainya adalah Kali Pepe sebagai bandar
Pecinan. Sehingga, pada saat itu (tepatnya
pada abad XVI), sungai menjadi jalur
transportasi air terpenting. Seperti
penelitian yang telah dilakukan oleh tim
ekspedisi Kompas bahwa dahulunya,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
perahu-perahu kerajaan bersandar pada
dermaga Langen Harjo, sementara perahu
para pedagang berlabuh di dermaga
Nusupan yang lokasinya dekat dengan
jembatan Semanggi. Pelabuhan-pelabuhan
sungai ini pada masa lalu memainkan
peran penting bagi perniagaan di
Surakarta. Bahkan, lewat Kali Pepe yang
merupakan anak Bengawan Solo, sampan-
sampan pengangkut barang dagangan
menelusur ke pusat kota hingga mencapai
Pecinan di dekat Pasar Gede (Tjahjono,
2009: 64).
Menjadi satu hal yang kemudian
menarik untuk dikaji ketika muncul
ketimpangan pada sungai yang dahulunya
sangat berkontribusi besar dalam
pembentukan kota, kini justru mengalami
krisis. Air Kali Pepe yang menghitam dan
pekat karena telah tercemar dengan aliran
limbah industri sekitar, beragam jenis
sampah yang menyumbat dan hampir
ditemui di sepanjang sungai. Artinya,
sungai yang dahulunya pernah menjadi
awal pembentukan kota dan sumber
kehidupan masyarakat, kini telah berubah
menjadi tempat pembuangan sampah
rumah tangga dan limbah industri yang
efektif. Tindakan semacam inilah yang
menjadikan Kali Pepe kian mengalami
degradasi, baik dari segi kualitas maupun
kuantitas. Maka, berbasis pada
kepentingan dalam menjelaskan perubahan
atas Kali Pepe, peneliti membatasi lokasi
penelitian di Kelurahan Gandekan,
Kelurahan Sudiroprajan, Kelurahan
Sangkrah, dan Kelurahan Kedung Lumbu
dengan subjek penelitian yaitu mereka
para warga asli yang tinggal tepat di
samping Kali Pepe. Penelitian ini diawali
dengan kerangka berpikir yang dimulai
dari sejarah mengenai kontribusi sungai
atas pembentukan Kota Solo, yang kini
seiring perkembangan era mengalami
perubahan yang cukup signifikan, di mana
perubahan tersebut tak lepas pula dari
tindakan – khususnya para masyarakat
kota dan pihak pemerintah. Meminjam dari
pemikiran Max Weber yang memaparkan
bahwa tindakan manusia dipengaruhi oleh
banyak hal, salah satunya adalah
dipengaruhi oleh pemahaman atau yang
disebut Weber dengan verstehen
(pemahaman). Penelitian ini akan
mengkorelasikan antara kedua hal tersebut.
Oleh karena penelitian ini menggunakan
grounded theory sebagai pendekatan,
maka teori yang digunakan adalah teori
yang dikonstruksi peneliti berlandaskan
pada data.
Pembentukan Kota
Narasi historis memaparkan bahwa
kota terbentuk atas beragam hal. Selama
prosesnya, kota senantiasa tumbuh dan
berubah. Kota telah ada di permukaan
bumi ini sejak awal sejarah. Kota sekaligus
sangat tua dan sangat muda, bersifat
evolusioner maupun revolusioner. Kota-
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
kota yang muncul di lembah sungai Eufrat
dan Tigris yang makmur tersebut lebih dari
5000 tahun yang lampau dihubung-
hubungkan dengan modernisasi pada masa
itu, dan kota-kota di zaman kita sekarang
dihubungkan dengan modernisasi masa
kini. Modernisasi adalah suatu gejala yang
terdapat dalam setiap zaman; demikian
pula pertumbuhan kota. Wajarlah apabila
disebut bahwa setiap perubahan besar
dalam sejarah (berlainan dengan pra-
sejarah) bergerak ke arah penggunaan
yang lebih rasionil dari kekayaan alam, ke
arah peningkatan efisiensi produksi
barang-barang dan jasa-jasa, dan
peningkatan interaksi spasial yang selalu
dihubungkan dengan urbanisasi, yaitu
pertumbuhan kota-kota dan dalam suatu
masyarakat tertentu.
Sejarah Kota Solo
Terdapat dualitas nama yang
digunakan dalam penyebutannya, yaitu
Kota Solo dan Kota Surakarta. Dari
perspektif sejarah, Solo terbentuk sebagai
kota tepian sungai, yaitu Bengawan Solo,
di mana pada masa lampau terdapat
banyak pemukiman di tepian sungai yang
dihuni oleh para pimpinan kuli. Hal ini
berkaitan pula dengan adanya dua istilah,
yaitu Solo dan Surakarta. Jika ditelusuri,
sebenarnya terdapat beberapa versi
mengenai penyebutan nama Kota Solo.
Salah satunya ditulis oleh Arswendo
Atmowiloto bahwa dahulunya ada
penduduk awal bernama Ki, atau Kiai
(yang dilafalkan dengan huruf kental,
menjadi Kiyai Solo, atau Ki Ageng Solo.
Nama inilah yang kemudian dipakai
sampai sekarang. Sesuatu yang masuk akal
dan ada jejak makam Ki Ageng Solo
(Atmowiloto, 2009: 33). Sedangkan istilah
Surakarta sebenarnya lebih berkaitan
dengan perpindahan kekuasaan dari
Kerajaan Mataram Islam yang pada
mulanya bertempat di Kotagede, berpindah
di Sala kemudian menjadi kerajaan Pajang
di Kartasura pada tahun 1745. Tidak lama
kemudian, Keraton Kartasura mengalami
kehancuran karena terjadi Geger Pecinan.
Sehingga, demi mempertahankan
kestabilan politik, maka dengan berbagai
pertimbangan, akhirnya pusat
Pemerintahan berpindah di Surakarta.
Penyebutan Surakarta pun bersumber dari
Karta-sura yang dibalik menjadi Sura-
karta. Perlu diketahui secara bersama,
bahwa kolonial Belanda mulai masuk ke
Surakarta pada kurun waktu antara 1745-
1821. Sehingga, perpindahan ini juga atas
izin dari pihak kolonial Belanda.
Kampung-kampung di Kota Solo
Dualitas kepemimpinan – Keraton
Surakarta dan kolonial Belanda yang
terjadi dalam kurun waktu cukup lama,
turut memberikan pengaruh terhadap
perubahan wilayah di Solo. Salah satunya
adalah munculnya distrik bentukan
Keraton Surakarta. Artinya, Keraton
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Surakarta menerapkan kebijakan untuk
mengelompokkan tempat tinggal
penduduk berdasarkan jenis pekerjaannya
– yang tentu saja ini merupakan
kesepakatan dengan pihak kolonial
Belanda. Seturut dengan pemaparan
Nurhajarani dalam bukunya yang
menjelaskan bahwa adanya reorganisasi
peradilan 1903 menimbulkan perubahan
teritorial di daerah-daerah. Perubahan
tersebut dengan alasan untuk
mempermudah pekerjaan pegawai
Gubernemen dalam mengontrol wilayah
jajahannya. Sehingga, mulai tahun 1919
distrik Kota Surakarta dibagi menjadi
enam distrik pembantu, yaitu Surakarta,
Serengan, Gading, Gandekan, Laweyan,
dan Jebres (Nurhajarani, 1999: 169).
Gandekan
Secara historis, tidak jauh berbeda
dengan kampung perkotaan lainnya di
Indonesia, bahwa kehidupan kampung
berkembang karena beragam faktor, salah
satunya oleh letak geografis di mana
kampung tersebut sengaja dibentuk
sebagai kawasan pemukiman karena
letaknya berdekatan dengan pusat
pemerintahan tradisional – pada saat itu
yang berkuasa adalah Keraton Surakarta di
masa Kerajaan Mataram Islam. Pun
demikian dengan Gandekan, sebagai salah
satu wilayah pemberian dari Keraton yang
terbagi menjadi dua; yaitu Gandekan Kiwo
(Jawa: kiri) menjadi wilayah bagian dari
Kelurahan Sriwedari dan Gandekan
Tengen (Jawa: kanan) menjadi wilayah
bagian di Kecamatan Jebres. Dipahami
secara harfiah, nama Gandekan berasal
dari kata “gandik” yang merupakan
sebutan untuk orang kepercayaan atau duta
besar Keraton Surakarta. Oleh karena
keberadaan seorang Gandik di wilayah
tersebut, inilah yang kemudian menjadikan
kata “gandik” diadopsi sebagai nama
sebuah distrik, yang kini lebih dikenal
dengan Kelurahan Gandekan. Hingga kini,
masih ada bukti fisik berupa artefak
sebagai tempat untuk sebo – walaupun,
saat ini telah beralih fungsi sebagai rumah
tinggal atau hunian biasa dari trah gandik
tersebut. Pasca periode pemerintahan
Keraton hingga peralihan menjadi
pemerintahan bersistem politik modern
seperti saat ini, Surakarta tumbuh dan
berkembang menjadi kota modern hingga
mulai dilirik oleh banyak orang-orang
sekitar untuk dijadikan sebagai tempat
berdomisili. Sehingga kini, terjadi
pluralitas pada kampung-kampung di
Gandekan, baik dari sisi agama maupun
etnis.
Kalirahman
Sebenarnya, menjadi hal yang
cukup sulit untuk menemukan kebenaran
mengenai penjelasan dari asal mula
penamaan kampung ini. Hal ini
dikarenakan tidak adanya akses yang
akurat dan memadai untuk memaparkan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
sejarahnya. Tetapi, secara garis besar,
cerita sejarah dapat ditelusuri melalui
wawancara dengan salah satu Ketua RW
sekaligus sesepuh di kampung ini. Secara
harfiah, nama kampung ini terdiri dari dua
kata, yaitu: “kali” dan “rahman”. Dalam
bahasa Jawa, kali bermakna sungai,
sedangkan rahman bermakna kasih;
kebaikan. Praktis, pemahaman tersebut
memberikan bukti bahwa dahulunya,
sungai atau kali memang turut serta
berperan dalam pembentukan peradaban
kehidupan manusia.
Kebonan
Nama Kebonan diambil dari kata
Kebon (bahasa Jawa) yang bermakna
ladang luas, yang memang kebon tersebut
ada pada saat gandik keraton tinggal di
wilayah Gandekan. Pada saat itu,
keseluruhan pemilik lahan Gandekan
adalah seorang gandik Keraton, yang oleh
karena desakan kebutuhan ekonomi,
gandik tersebut menjual satu per satu lahan
kebon-nya kepada orang lain, hingga
kemudian berkembang sampai seperti saat
ini yang telah dihuni kurang lebih sekitar
250 jiwa. Namun kini, meski namanya
adalah Kampung Kebonan, tetapi sepetak
kebon atau kebun pun tidak dapat ditemui
di sana lantaran hampir seluruhnya telah
beralih menjadi pemukiman. Hal tersebut
merupakan jawaban atas fenomena
pertumbuhan penduduk yang meningkat
secara signifikan tanpa diimbangi dengan
penyediaan lahan sebagai tempat tinggal,
dan urbanisasi pun menjadi salah satu hal
yang sulit dikendalikan.
Sudiroprajan
Telah diketahui bersama bahwa
secara geografis, Sudiroprajan letaknya
relatif dekat dengan Pasar Gede yang
notabene adalah pasar tradisional terbesar
di Kota Solo. Para pedagang di Pasar Gede
didominasi oleh etnis China, di mana
tempat tinggal mereka berada di
Sudiroprajan. Ditelusuri sejarahnya,
keberadaan etnis China di Sudiroprajan
bermula dari kedatangan para pedagang
China yang bertujuan menjual
dagangannya ke Pasar Gede. Di masa
lampau, untuk menuju Pasar Gede, para
pedagang China melewati Kali Pepe
sebagai jalur transportasi. Seperti
pernyataan pada umumnya, orang-orang
dari etnis China memiliki etos kerja yang
tinggi dan sangat disiplin.Hal inilah yang
menjadikan perdagangan tersebut kian
meluas dan berkembang. Oleh karenanya,
secara perlahan, para pedagang etnis China
tersebut mulai tinggal dan menetap di
sekitar Pasar Gede, dan Sudiroprajan
adalah pilihan yang digunakan sebagai
tempat berdomisili.
Sangkrah
Sangkrah merupakan sebutan lain
dari angkrah-angkrah (sampah), sampah
pating bekakrah (sampah
berserakan), sampah ting
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
slengkrah (sampah berserakan).
Munculnya istilah-istilah tersebut
disebabkan karena letak Sangkrah yang
dilintasi empat sungai, yaitu Sungai Jenes,
Sungai Pepe, Sungai Tegal Konas, dan
Sungai Bengawan Solo. Dengan
dilintasinya empat sungai tersebut
sehingga setiap musim penghujan tiba,
Sangkrah rawan terkena banjir dan banyak
sampah yang tersangkut di daerah
Sangkrah. Menurut cerita dari Bapak
Mahendra W, yang merupakan mantan
lurah Sangkrah, Sangkrah berasal dari
kata angkrah-angkrah (sampah yang
hanyut di sungai)
atau bekakrah (berserakan). Sangkrah
merupakan tempat berhentinya sampah-
sampah yang hanyut dari keempat sungai
yang mengelilingi Sangkrah yaitu Sungai
Jenes, Sungai Pepe, Sungai Tegal Konas,
dan Sungai Bengawan Solo saat musim
penghujan.
(http://kampungnesia.org/berita-sangkrah-
kampung-sebelah-sungai.html diunduh dan
diakses pada Senin 7 Maret 2016 pukul
11:39 WIB)
Secara administratif, tercatat
sebanyak ± 3.691 KK yang tersebar di 13
RW dan 58 RT. Dengan angka tersebut,
artinya, Kampung Sangkrah memang
dikategorikan sebagai kampung dengan
penduduk yang padat. Salah satu hal yang
memicu kepadatan tersebut adalah pola
yang terjadi hampir di setiap keluarga yang
ketika beberapa anaknya telah menikah,
dan masih tinggal dan menetap bersama
orang tuanya di Kampung Sangkrah.
Sehingga, dalam satu rumah, rata-rata
biasa dihuni oleh 5 hingga 9 orang –
termasuk anak, menantu, dan cucunya.
Rumah-rumah yang kini ditinggali adalah
rumah milik orang tuanya – dan biasanya
hanya dipisah oleh sekat berupa triplek
kayu dan sejenisnya.
Kedung Lumbu
Secara administratif, Kedung
Lumbu termasuk dalam bagian dari
Kecamatan Pasar Kliwon dengan meliputi
cakupan wilayah sebanyak 7 RW. Seperti
yang telah diketahui secara bersama, Pasar
Kliwon merupakan wilayah yang terkenal
dengan keberadaan etnis Arab – meski
dalam kenyataannya, tidak sedikit pula
masyarakat berasal dari etnis China dan
Jawa. Pun demikian dengan Kedung
Lumbu yang memiliki komposisi
demografi dari ketiga etnis tersebut di atas.
Situasi yang hampir sama dengan
kampung-kampung lain pada pemaparan
sebelumnya, bahwa etnis China dan etnis
Arab mayoritas berdomisili di tengah-
tengah kampung. Sedangkan di kampung-
kampung bantaran Kali Pepe lebih banyak
didominasi oleh etnis Jawa. Sehingga, kata
“kemiskinan” sangatlah identik kampung-
kampung bantaran Kali Pepe. Mayoritas
dari masyarakatnya bekerja wiraswasta
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
dengan beragam jenis, dari karyawan
hingga pemulung.
Perubahan atas Sungai dan Kampung
Perubahan tindakan manusia dapat
diidentifikasi dari berbagai hal. Selain
dengan mengkomparasikan antara narasi
historis masa lampau dengan kondisi yang
ada saat ini, perubahan dapat dilihat
dengan mengeksplorasi aset fisik dan aset
non-fisik yang terdapat di kampung-
kampung bantaran Kali Pepe. Hingga
kemudian hasil dari identifikasi tersebut
menemukan adanya beragam perubahan.
Kali Pepe, Sungai yang Ditinggali dan
Dikotori
Sebagai pemukiman yang berada di
bantarannya, sungai merupakan aset fisik
yang pertama kali perlu diidentifikasi.
Agaknya, perpindahan Keraton Kartasura
ke Keraton Kasunanan Surakarta dan
menjadikan desa Sala sebagai ibukota pada
kisaran abad 19 adalah pemantik dari
pertumbuhan Kota Solo di kemudian hari.
Sebagai ibukota, beragam kegiatan
menjadi terpusat di desa Sala.
Implikasinya, daya tarik orang-orang
sekitar untuk berdomisili di kota kian
meningkat. Fenomena tersebut terus terjadi
hingga pasca kemerdekaan Indonesia,
mobilitas masyarakat kian komplek.
Urbanisasi di bantaran Kali Pepe mulai
terjadi pada kisaran tahun 1950 hingga
1970-an. Pada tahun-tahun tersebut, peran
sungai sudah tidak lagi digunakan sebagai
jalur transportasi, tetapi digunakan sebagai
tempat atau sumber daya alam untuk
dieksplorasi. Oleh karena pada tahun-
tahun tersebut pemukiman di bantaran Kali
Pepe baru saja terbentuk, maka yang
terjadi adalah penambangan pasir sungai
untuk kemudian pasir tersebut digunakan
sebagai material dalam membangun
hunian mereka.
Narasi yang berbeda diperoleh dari
Kampung Kedung Lumbu dan Kampung
Sangkrah, yang sekaligus bisa menjadi
representasi mengenai kampung-kampung
lain karena memiliki narasi yang sama.
Bahwa awal mula keberadaan pemukiman
di bantaran Kali Pepe dikarenakan mereka
adalah masyarakat asli yang sejak lahir dan
hingga kini menempati kampung tersebut.
Hal ini dikarenakan rumah yang kini
ditinggali adalah warisan dari mendiang
kedua orang tuanya. Konon, seturut dari
cerita sejarah yang diperoleh, orang tuanya
termasuk tokoh yang mbabat alas (turut
membuka lahan atas suatu wilayah) karena
pada masa itu, situasi kampung belum
seramai dan sepadat seperti yang terjadi
saat ini. Jumlah penduduk dan
pemukimannya belum sebanyak sekarang.
Bahkan, di beberapa kampung (seperti di
Kampung Sangkrah dan Kampung
Kebonan belum teraliri listrik dan akses
jalan yang memadai).
Meski pada saat yang bersamaan,
kini dalam kesehariannya, interaksi antara
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
masyarakat bantaran dengan Kali Pepe
terjadi dalam bentuk kegiatan memancing.
Sepanjang aliran Kali Pepe di depan rumah
mereka, hanya beberapa titik tertentu yang
dapat digunakan sebagai area memancing.
Di antaranya yaitu di Sudiroprajan dan
Kampung Kebonan saja. Sedangkan, di
titik lain seperti di Kampung Kalirahman,
Kampung Sangkrah, dan Kampung
Kedung Lumbu tidak dapat digunakan
sebagai area memancing karena di titik
tersebut banyak timbunan sampah dan
aliran air yang menyurut. Kegiatan
memancing biasanya dilaksanakan pada
waktu libur seperti hari Minggu pagi
hingga siang dan ketika sore hari yang
banyak didominasi oleh pemuda dan
bapak-bapak. Biasanya, jenis ikan yang
diperoleh adalah ikan lele dengan ukuran
cukup besar. Sedangkan, anak-anak kecil,
oleh karena di kampung-kampung tersebut
minim ruang publik, sehingga mereka juga
turut memancing di sungai. Tetapi,
lantaran rata-rata mereka belum mampu
mengoperasikan alat pancing secara benar,
sehingga yang digunakan adalah jala
berukuran kecil. Jenis ikan yang didapat
pun adalah ikan-ikan berukuran kecil.
Ketika Kali Pepe digunakan
sebagai area memancing, pada saat yang
bersamaan, Kali Pepe juga digunakan
sebagai tempat pembuangan limbah –
utamanya adalah limbah rumah tangga.
Terdapat beragam jenis sampah yang
mengalir dan menggenang di sepanjang
Kali Pepe, tetapi secara garis besar,
sampah-sampah tersebut adalah sampah
rumah tangga seperti plastik bekas
pembungkus makanan dan dedaunan
kering yang menyangkut di beberapa titik
aliran. Beberapa kampung yang aliran
sungainya cukup banyak adalah di
Kampung Kebonan, Kampung Kalirahman
dan Kampung Kedung Lumbu. Dalam hal
ini, seperti kampung-kampung pada
umumnya, di masing-masing kampung
bantaran Kali Pepe sebenarnya telah
terdapat petugas yang dalam
kesehariannya mengambil sampah-sampah
di depan rumah para warga pada pagi hari
untuk kemudian diangkut menggunakan
gerobak. Masalah kemudian muncul ketika
masyarakat kampung bantaran Kali Pepe
telah disiplin untuk tidak membuang
sampah ke sungai, tetapi justru masyarakat
lain yang secara langsung membuang
sampah ke sungai.
Tidak hanya berhenti pada kasus di
atas, ditelusuri lebih detil lagi, kemudian
ditemukan bahwa hampir di seluruh
pemukiman kampung bantaran Kali Pepe
tidak menggunakan IPAL ataupun septic
tank. Dalam kesehariannya, limbah MCK,
mandi, masak, dan sebagainya secara
langsung mengalir ke sungai.Seturut
dengan penjelasan beberapa informan, hal
ini telah dilakukan sejak lama lantaran
IPAL dan septic tank yang ada kini tidak
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
berfungsi sebagaimana mestinya. Praktis,
di beberapa titik dari aliran Kali Pepe,
sering tercium bau menyengat yang
asalnya dari badan sungai itu sendiri. Pada
mulanya masyarakat setempat merasa
kurang nyaman dengan bau tersebut.
Tetapi pada akhirnya, mereka hanya
berpasrah dan menjadikan hal tersebut
sebagai sesuatu yang biasa dalam
kesehariannya.
Merujuk pada Perda yang berlaku,
jika dianalisis lebih jauh, sebenarnya
membuang sampah dan mengalirkan
limbah ke sungai adalah hal yang tidak
dibenarkan. Mengacu pada Perda Kota
Solo Nomor 2 Tahun 2009 Pasal 57 Huruf
B yang berbunyi:
“Pembuangan sampah atau limbah padat
pada sumber perairan (sungai kanal,
danau, selokan dan sistem drainase kota)
berpotensi mempercepat pendangkalan /
sedimentasi dan menyumbat aliran air
menyebabkan berkurangnya daya tampung
air sehingga mengakibatkan banjir.
Pembuangan sampah atau limbah padat
pada sumber air dan tempat-tempat yang
tidak diperuntukkan sebagai tempat
pembuangan sampah dapat menimbulkan
dampak lingkungan seperti: menjadikan
media berkembangnya penyakit termasuk
serangga ataupun binatang lainnya yang
menjadi vektor penyakit, menimbulkan
bau, mengganggu kebersihan dan estetika
lingkungan.”
Perubahan tindakan semacam ini
telah banyak terjadi hampir di setiap kota
dan sungai-sungai di Indonesia. Bahkan,
Pande Made Kutanegara dalam bukunya
berlatar Sungai Code – Yogyakarta juga
telah memaparkan bahwa masyarakat
urban melupakan arti pentingnya sungai
yang tidak hanya penting bagi kebudayaan
agraris. Sempadan dan bantaran sungai
telah terdesak oleh pemukiman warga
urban yang sebagian besar berstatus
ekonomi miskin, yang sebenarnya juga
berbasis kebudayaan agraris, tetapi telah
berubah menjadi masyarakat urban yang
tidak memiliki kepedulian adaptif terhadap
ekologi sungai (Kutanegara, 2014: 15).
Bencana dan Wisata Air Kali Pepe
Dari sisi geografis, Solo adalah
wilayah rawa-rawa yang terletak di antara
beberapa pegunungan. Juga dilewati oleh
aliran Bengawan Solo berikut anak-anak
sungainya yang melintas di tengah-tengah
kota, menjadikan Solo tergolong sebagai
wilayah dataran rendah, atau diibaratkan
dengan “mangkuk” karena sangat rawan
akan terjadinya bencana banjir. Atas dasar
itulah, sejarah mencatat bahwa Solo
pernah beberapa kali mengalami banjir
besar, di antaranya adalah banjir yang
terjadi pada tahun 1918 (pada literatur lain
ada pula yang menyebut banjir tersebut
terjadi pada tahun 1915) di mana banjir
tersebut menggenangi Kota Solo hingga
setinggi lutut orang dewasa. Pada saat itu,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
banjir terjadi dikarenakan sungai di Kota
Solo belum memiliki tanggul. Sehingga,
aliran air masuk ke tengah kota lantaran
tidak adanya penahan.
Pasca banjir di tahun tersebut,
secara serentak Pemerintah mulai berbenah
dengan membangun tanggul-tanggul di
beberapa sungai di Kota Solo. Proyek
pembangunan tanggul-tanggul tersebut
dibiayai atas dana dari Pemerintah Istana
Surakarta, Mangkunegaran, serta bantuan
dari Pemerintah Kolonial Belanda.
Pembangunan tanggul tersebut memang
dilaksanakan karena terjadinya perubahan
ekologi di sungai Bengawan Solo. Pada
saat yang bersamaan, pemerintah kolonial
Belanda juga menerapkan sistem tanam
paksa yang mengharuskan penanaman
dilaksanakan di wilayah hinterland.
Kebijakan tersebut mengakibatkan
terjadinya penggundulan hutan sekaligus
tanah-tanah melongsor, serta pendangkalan
sungai, termasuk sungai Bengawan Solo.
Pendangkalan sungai Bengawan Solo
tersebut merupakan salah satu hal yang
menyebabkan terjadinya banjir di Kota
Solo. Maka yang kemudian terjadi, setelah
tahun 1918, Solo kembali tertimpa banjir
bandang. Sehingga pembeda antara kedua
banjir tersebut adalah banjir 1918 terjadi
disebabkan Kota Solo belum memiliki
tanggul-tanggul sungai, sedangkan banjir
1966 terjadi disebabkan oleh beberapa hal,
di antaranya: 1) curah hujan tinggi pada
hari-hari tersebut; 2) rusaknya beberapa
tanggul-tanggul sungai; 3) terjadinya
pendangkalan sungai akibat penerapan
sistem tanam paksa (Ridha Taqabalallah,
“Banjir Bengawan Solo Tahun 1966:
Dampak dan Respons Masyarakat Kota
Solo, Skripsi, FSSR UNS, 2009, hal.
xviii).
Pada tahun 2007, Solo kembali
mengalami banjir dahsyat, di mana salah
satu lokasi banjir tersebut berasal dari
luapan air Kali Pepe. Banjir tersebut
tergolong cukup besar dengan ketinggian
hampir 2 meter. Bahkan, pada saat itu
masyarakat setempat harus mengungsi ke
Balaikota selama berhari-hari. Pasca
banjir, Pemerintah Kota mulai berbenah
secara serius dalam menangani sungai,
bantaran, dan banjir. Beragam upaya mulai
dilakukan, pola pemukiman yang
dahulunya berhadapan satu sama lain
(membelakangi sungai), secara perlahan
mulai direlokasi ke wilayah lain. Juga
yang dahulunya belum terdapat pembatas
yang jelas antara pemukiman dengan
sungai, pasca banjir mulai dibangun pagar
di tepian sungai. Berikut dengan perbaikan
jalan kampung dan pengadaan kamar
mandi komunal di setiap kampung.
Secara geografis, kampung-
kampung bantaran Kali Pepe memang
termasuk sebagai kawasan yang rawan
terjadi banjir. Selain karena Kota Solo
berada pada dataran rendah, juga
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
dikarenakan oleh kelurahan-kelurahan di
Kota Solo yang dilewati oleh sungai-
sungai – termasuk Kali Pepe dan
kampung-kampung di sampingnya. Secara
parsial, pembangunan fisik sungai
memang turut berperan atas terjadinya
banjir ataukah tidak. Pentalutan, pelurusan
alur sungai, misalnya, merupakan upaya
parsial yang jika dikaji lebih jauh, ternyata
pembangunan tersebut bukanlah hal yang
solutif. Sebaliknya, dalam waktu jangka
panjang, pembangunan sungai tersebut
justru menghadirkan konsekuensi negatif.
Agus Maryono dalam bukunya
memaparkan bahwa akibat negatif dari
pembangunan sungai abad 16 sampai
pertengahan abad 20 sangatlah besar, baik
ditinjau dari sisi hidraulik seperti banjir,
sedimentasi, dan erosi, maupun dari sisi
ekologi-lingkungan. Metode pembangunan
tersebut telah merubah tampang natural
dan alur natural sungai menjadi tampang
buatan berbentuk trapesium dengan alur
relatif lurus. Sebagian besar tebing sungai
dan daerah bantaran atau sempadan sungai
hilang karena pelurusan, sudetan,
pembuatan tanggul, dan pentalutan
(Maryono, 2015: 34).
Perubahan fisik sungai pun mulai
terjadi di Kali Pepe, tepatnya di aliran
Sudiroprajan, di mana sebagai lokasi
kegiatan wisata air, dalam upaya
merealisasikan kegiatan tersebut, dalam
prosesnya dilakukan beragam persiapan.
Salah satu perubahan fisik yang dilakukan
adalah pengerukan tanah di sungai.
Pengerukan (escavating) adalah rekayasa
sungai yang dilakukan untuk memperbaiki
alur dan tampang melintang sungai untuk
pelayaran. Cara yang digunakan adalah
dengan mengadakan pengerukan sungai
sehingga alur tersebut secara teknis dapat
dipakai untuk pelayaran. Pengerukan
biasanya dilakukan jika di tengah sungai
ada pulau (islands), gundukan pasir (bars),
dan elemen sungai lainnya, termasuk
vegetasi sungai. Indikasi dampak
pengerukan sungai ini adalah penurunan
resistensi alur sungai serta kerusakan
habitat dasar sungai, di samping dampak
positif mempermudah navigasi kapal
(Maryono, 2015: 56).
Maka sangatlah jelas bahwa
pengerukan sungai merupakan upaya
Pemerintah Kota agar aliran air sungai
yang tenang sekaligus terbebas dari
timbunan sampah tersebut pada akhirnya
terwujud. Tetapi, tanpa disadari,
pengerukan sungai sebenarnya kurang
solutif. Sungai bisa dikatakan sebagai
sungai yang ideal jika di tengah-tengahnya
terdapat delta sungai (tanah yang di
atasnya terdapat tanaman yang tumbuh di
atas tanah tersebut). Bentuk lain dari
sungai ideal adalah jika di tengah-tengah
aliran air terdapat beberapa bebatuan
berukuran cukup besar. Hal ini diperlukan
sebagai penahan jika sewaktu-waktu
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
terjadi aliran air yang lebih deras dari
biasanya – seperti ketika terjadi hujan,
misalnya. Sehingga, air sungai tidak
sampai meluap ke daratan dan menuju
pemukiman warga.
Tetapi, nampaknya hal ini belum
disadari oleh kebanyakan orang. Karena
warga sendiri pun telah terkonstruksi
bahwa pengerukan sungai adalah upaya
yang cukup solutif. Membaca situasi yang
demikian, Pande Made Kutanegara
berpendapat bahwa gejala pergeseran ini
sebagai penuruna kualitas hidup manusia
yang diikuti dengan penurunan peran-
peran institusi-institusi sosial masyarakat
dalam struktur kehidupan sosialnya
(Kutanegara, 2014: 10).
Pemukiman yang Berimpit dan Ruang
Publik Kampung
Oleh karena pada masa lampau
keberadaan sungai memberikan peran
besar terhadap kelangsungan hidup
manusia, maka secara historis, jika
ditelusuri, pola pemukiman di bantaran
sungai sebenarnya telah terbentuk dari
dulu hingga kini. Di masa lampau, secara
langsung orang-orang banyak
menggantungkan keberlangsungan
hidupnya dengan alam. Kejernihan aliran
air menjadikan sungai digunakan sebagai
sumber dari pemenuhan kebutuhan air –
mandi, mencuci, kakus, ruang publik, dan
lain sebagainya. Perubahan terjadi karena
implikasi dari hadirnya kemajuan
teknologi dan perkembangan zaman. Kali
Pepe yang dahulunya sebagai sumber
kehidupan, kini mengalami kemerosotan
nilai. Pergeseran pola adaptasi tersebut
ditunjukkan dengan peran sungai yang kini
tidak lebih hanya digunakan sebagai
bagian dari sistem drainase dan sanitasi
yang mengendali siklus air se-kota Solo.
Dalam bukunya, Pande Made
Kutanegara memberikan ulasan bahwa air
dan sungai lebih dimaknai sebagai pusat
pembuangan sampah-sampah produksi
sektor industri dan sektor informal kota
ketimbang sebagai sumber kehidupan.
Pemenuhan kebutuhan air dalam dunia
modern secara langsung tidak lagi
memerlukan peran sungai karena
kebutuhannya telah dipenuhi dengan air
sumur, terlebih dengan piranti dunia
modern, yakni suplai air minum PDAM
dan air minum kemasan (Kutanegara,
2014: 9).
Kemerosotan nilai sungai di
perkotaan pada akhirnya mengkonstruksi
pemahaman masyarakat mengenai
kehidupan di bantaran sebagai wilayah
marginal yang tergolong pada kelompok
miskin kota. Dapat dikatakan demikian
karena hal tersebut diidentifikasi dari pola
pemukiman yang kini terbangun di
bantaran Kali Pepe. Sebagai pemukiman
yang padat penduduk dengan lahan
terbatas, kampung-kampung bantaran Kali
Pepe tumbuh dengan bentuk rumah yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
sempit dan saling berhimpit. Secara
spesifik, terdapat pola pemukiman yang
sama antara satu rumah dengan yang lain,
di mana beberapa ciri yang paling
mencolok adalah dapur dan kamar mandi
letaknya terpisah dengan rumah – bahkan
di beberapa rumah, ada pula yang tidak
memiliki kamar mandi. Sehingga, banyak
ditemui jika perabotan dapur banyak yang
disandarkan di tembok samping atau depan
rumah. Bahkan, ditemui di beberapa titik
bahwa dapur di depan rumah tersebut
kemudian “disulap” sekaligus digunakan
sebagai warung kecil-kecilan yang menjual
makanan ringan dan lain sebagainya.
Keterbatasan lahan karena sebagian
besar lahan yang ada telah digunakan
sebagai pemukiman menjadikan ruang
publik yang banyak dimanfaatkan adalah
jalan-jalan di depan rumah mereka, juga
beberapa titik (tikungan gang) yang
dijadikan sebagai warung kecil untuk
kemudian digunakan sebagai tempat
berbincang antar tetangga. Pun demikian
dengan keberadaan mushola kampung
yang sekaligus digunakan sebagai ruang
publik oleh masyarakat setempat. Pada
penelitian ini, di Kampung Kebonan,
hanya terdapat satu mushola yang letaknya
berada di tengah-tengah kampung –
tepatnya berbatasan dengan Kampung
Kalirahman. Adalah Mushola Al-Hikmah
yang dalam kesehariannya, selain
digunakan untuk sholat, juga digunakan
sebagai tempat menggelar pengajian rutin
warga yang dilaksanakan seminggu sekali.
Di sore harinya, mushola juga digunakan
untuk TPA (Taman Pendidikan Al-Qur’an)
yang digelar seminggu tiga kali.
Sedangkan, pada Hari Raya, di setiap
tahunnya masyarakat melaksanakan sholat
di Kampung Kalirahman, tepatnya di
halaman rumah Dalem Joyomartanan –
satu-satunya rumah warga Kampung
Kalirahman yang memiliki ukuran besar di
mana rumah tersebut sering digunakan
sebagai tempat untuk menyelenggarakan
beragam kegiatan masyarakat kampung.
Barangkali minimnya lahan dan
ruang publik memang telah menjadi ciri
khas dari kehidupan kampung di
perkotaan. Maka menjadi hal yang wajar
jika pada akhirnya pakar perkotaan, Eko
Budiharjo menyimpulkan bahwa kampung
sebagai pemukiman marginal, sebagai
salah satu elemen pembentuk marginalitas
perkotaan. Marginalitas tumbuh dan
berkembang tanpa standar norma yang
berlaku (normatif). Kampung tumbuh
secara organik, di lingkungan masyarakat
mapan yang berpenghasilan rendah dan
menengah, dengan sarana-prasarana
seadanya (Wijono, 2013: 6).
Pemukiman bantaran, Legalitas dan
Ancaman
Perlu diketahui secara bersama,
bahwa setiap rumah di kampung bantaran
Kali Pepe adalah rumah permanen dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
secara hukum, rumah tersebut telah
bersertifikat hak milik. Hal inilah yang
menjadikan menjadikan kampung bantaran
Kali Pepe termasuk sebagai kawasan slum
area, yang secara definitif dikutip dari
pemaparan dari Herlianto bahwa slum area
adalah daerah hunian yang legal (status
hukumnya jelas) yang kondisinya sudah
sangat merosot (Herlianto, 1986: 45).
Adalah menjadi yang dilematis dan
komplek ketika memaparkan mengenai
keberadaan pemukiman di bantaran Kali
Pepe. Dari perspektif hukum, telah diatur
dalam Undang-Undang No. 38 Pasal 9
Tahun 2011 yang menyatakan bahwa:
Garis sempadan pada sungai tidak
bertanggul di dalam kawasan perkotaan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat
(2) huruf a ditentukan:
a. paling sedikit berjarak 10 m
(sepuluh meter) dari tepi kiri dan
kanan palung sungai sepanjang alur
sungai, dalam hal kedalaman
sungai kurang dari atau sama
dengan 3 m (tiga meter);
b. paling sedikit berjarak 15 m (lima
belas meter) dari tepi kiri dan
kanan palung sungai sepanjang alur
sungai, dalam hal kedalaman
sungai lebih dari 3 m (tiga meter)
sampai dengan 20 m (dua puluh
meter); dan
c. paling sedikit berjarak 30 m (tiga
puluh meter) dari tepi kiri dan
kanan palung sungai sepanjang alur
sungai, dalam hal kedalaman
sungai lebih dari 20 m (dua puluh
meter).
Terlepas dari ketidakmampuan
masyarakat untuk berpindah, satu-satunya
alasan yang menjadikan masyarakat
setempat tetap bertahan dan tinggal di
bantaran Kali Pepe adalah lokasinya yang
sangat strategis di tengah-tengah kota.
Selain karena rumah-rumah yang kini
dihuni adalah warisan dari para orang tua,
alasan mereka tinggal di kawasan tersebut
adalah karena secara geografis letaknya
sangat strategis. Berada dekat dengan
pusat perekonomian seperti Pasar Gede,
Pasar Klewer, Beteng Trade Center
(BTC), dan Pusat Grosir Solo (PGS); juga
tempat hiburan seperti Alun-Alun Lor dan
Kidul; dan pusat Pemerintahan, yaitu
Keraton Surakarta dan Balaikota
Surakarta.
Ancaman Relokasi
Di kota-kota besar terutama negara
berkembang seperti Indonesia, relokasi
merupakan ancaman paling mutlak dialami
oleh para masyarakat urban, terlebih jika
relokasi tersebut terkait dengan perebutan
legalitas lahan. Pada dasarnya, relokasi
adalah salah satu upaya Pemerintah Kota
dalam hal penataan ulang tata ruang kota.
Tujuan utama Pemerintah Kota adalah
mengembalikan lahan-lahan untuk
dipergunakan sebagaimana idealnya. Maka
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
wajar jika relokasi banyak terjadi pada
pemukiman-pemukiman ilegal (atau
bahkan sengketa) yang biasanya letaknya
tak jauh dengan pusat kota.
Tak luput pula dengan pemukiman
di bantaran Kali Pepe. Seperti yang
dipaparkan pada sub-bab sebelumnya,
bahwa awal mula keberadaan pemukiman
tersebut telah ada sejak tahun 1960-an.
Ironisnya, pemukiman yang mayoritas
telah bersertifikat hak milik tersebut
berdiri di atas zona merah yang semestinya
tidak digunakan – apalagi untuk tempat
bermukim. Sedangkan, telah ditelusuri,
tidak ada yang tahu-menahu mengenai
awal mula proses kepemilikan rumah dan
tanah tersebut seperti apa.
Maka dalam konteks ini, relokasi
merupakan ancaman yang mutlak dihadapi
oleh seluruh masyarakat setempat. Diakui
oleh para informan di setiap kampung
bantaran Kali Pepe, bahwa relokasi
pemukiman adalah wacana yang bergulir
dari waktu ke waktu. Di Kampung
Kebonan, misalnya, telah beberapa kali di-
survey dan diukur (ukuran rumahnya) oleh
petugas terkait, dengan tujuan untuk
merealisasikan wacana relokasi
pemukiman tersebut.
Diungkapkan oleh Yustina bahwa
sebenarnya jika pelebaran jalan kampung
memang benar akan dilakukan, hal ini
bukan menjadi masalah. Nantinya, letak
rumah akan mundur atau ditinggikan
menjadi dua lantai bangunan bertingkat.
Tetapi, jika isu relokasi yang dimaksudkan
Pemerintah adalah relokasi untuk
berpindah ke Rusunawa ataupun wilayah
lain, inilah hal yang memberatkan bagi
seluruh masyarakat kampung bantaran
Kali Pepe.
Sebagai pemukiman yang telah ada
dari tahun 1960-an, tentunya kini di
kampung bantaran Kali Pepe juga ada para
lansia. Bahwa para lansia tersebut sebagian
besar masih bekerja di luar rumah.
Beberapa orang di antaranya bekerja
sebagai pedagang kecil-kecilan di Pasar
Gede, sedangkan beberapa yang lain
bekerja sebagai tukang cuci atau pembantu
ke “rumah-rumah berpagar” di luar
kampung bantaran sungai. Pemilihan
pekerjaan tersebut berdasarkan jarak dan
letak yang memang mudah diakses oleh
para lansia tersebut.
Dikaji lebih lanjut, pada dasarmya
perubahan gaya hidup masyarakat kota
dari yang awal mulanya tinggal di rumah
secara horizontal ke bangunan vertikal
sebenarnya adalah hal yang cukup umum
ditempuh dalam upayanya mengatasi
masalah pemukiman di perkotaan.
Utamanya di negara-negara maju, tinggal
di flat atau rumah bertingkat bukanlah
menjadi suatu masalah. Tetapi akan
menjadi berbeda dengan situasi di negara
berkembang. Berpindah dan menetap di
rumah bertingkat atau flat atau rusunawa
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
akan mengubah pola hubungan
kebertetanggaan yang sebelumnya intim,
kemudian menjadi tidak intim lantaran
konstruksi bangunan bertingkat yang tidak
menunjang adanya interaksi antar
tetangga. Sedangkan, manusia Indonesia
tidaklah demikian, karena masih memiliki
sifat kebersamaan yang erat
(gemeinschaft).
Kesimpulan
Telah diketahui secara bersama
bahwa keberadaan pemukiman di sekitar
sungai memang sudah ada sejak Kota Solo
berada pada masa tahun 1821. Alasannya
cukup jelas, yaitu agar dekat dengan
sumber air. Pada masa itu, sungai juga
berkontribusi besar terhadap kegiatan
sehari-hari manusia. Di antaranya adalah
sebagai jalur transportasi air. Di Solo,
sungai yang digunakan sebagai jalur
transportasi adalah sungai Bengawan Solo,
berikut anak-anak sungainya – salah
satunya adalah Kali Pepe yang pada saat
itu terdapat bandar-bandar kecil menuju
Pasar Gede dan wilayah-wilayah lainnya.
Selain sebagai jalur transportasi,
keramaian kehidupan di sungai juga
ditandai dengan digunakannya sebagai
ruang publik oleh masyarakat luas. Di
antaranya adalah untuk memancing,
karena kondisi sungai pada saat itu masih
jernih dengan debit air yang relatif deras.
Tidak hanya digunakan di badan
sungainya, bantaran Kali Pepe yang
dulunya masih berupa kebun dan rawa-
rawa tersebut juga digunakan oleh
masyarakat sebagai ruang publik untuk
mereka srawung dengan para tetangga
yang lain.
Dalam hal ini, bentuk riil atas
perubahan fungsi Kali Pepe adalah dari
fungsinya yang semula digunakan sebagai
salah satu aspek fisik terbentuknya Kota
Solo, hingga kemudian kini mengalami
pergeseran atau penurunan fungsi yaitu
sebagai salah satu bagian dari sistem
drainase Kota Solo. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa kondisi fisik Kali
Pepe dahulunya memang jernih, sehingga
oleh banyak masyarakat kemudian
difungsikan untuk beragam hal. Untuk
keperluan mandi dan berenang,
memancing ikan, atau bahkan sekedar
untuk duduk-duduk di bantaran sungai di
sore hari. Kini, dengan kondisi air Kali
Pepe yang menghitam oleh karena
digunakan sebagai aliran limbah dan
hanyutan sampah, menjadikan Kali Pepe
berbau menyengat. Sehingga untuk
sekedar duduk-duduk pun, sebenarnya
masyarakat setempat merasa terganggu.
Dahulu, kejernihan kali Pepe dapat
difungsikan sebagai tempat bermain bagi
anak-anak, dalam kesehariannya juga
digunakan sebagai tempat memancing
karena pada saat itu ekosistem di dalam
sungai masih hidup ideal. Secara fisik pun,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
pinggiran Kali Pepe masih rindang dan asri
karena terdapat pepohonan dan rerumputan
di pinggiran sungai. sehingga, dahulunya
bantaran Kali Pepe dapat berfungsi sebagai
ruang publik bagi masyarakat luas.
Kini, fungsi Kali Pepe mengalami
perubahan, di mana Kali Pepe tidak dapat
digunakan untuk mandi dan bermain oleh
anak-anak karena kualitas dan kuantitas air
sungai telah mengalami penurunan. Selain
itu, meski rutinitas memancing masih
berlaku bagi sebagian orang, tetapi
kegiatan memancing tersebut hanya
sebagai kegiatan untuk mengisi waktu
luang saja – bukan sebagai rutinitas
keseharian seperti dahulu. Hal ini terkait
erat dengan kondisi air sungai yang
berwarna hitam pekat dan tergenang
sampah. Secara fisik, pinggiran Kali Pepe
pun kini telah kering dan panas karena
terdapat pembatas berupa pagar
bertembok. Bantaran sungai pun sudah
tidak ada lagi dan berganti dengan
pemukiman masyarakat kampung.
Dalam hal ini, empat jenis tindakan
manusia yang dikemukakan oleh Max
Weber tidak lagi berlaku sebagai landasan
utama. Artinya, dalam penelitian ini teori
tersebut telah gugur. Weber menyatakan
bahwa salah satu jenis tindakan manusia
adalah tindakan rasional (zweckrational) di
mana tindakan tersebut dilakukan
berdasarkan pada perhitungan dan
pertimbangan yang tepat.
Pun demikian dengan jenis
tindakan rasional-nilai (wertrational) yang
berorientasi pada nilai-nilai tertentu seperti
nilai keindahan; nilai politis; dan nilai
keagamaan. Narasi historis menunjukkan
bahwa di masa lampau Kali Pepe
dipercaya memiliki kekuatan magis yang
bahkan mampu menjadi pertimbangan
hingga desa Sala dijadikan sebagai ibukota
pada saat itu. Kini, tindakan semacam itu
mulai banyak ditinggalkan masyarakat
bantaran Kali Pepe tidak memiliki
tindakan rasional-nilai dalam
kesehariannya.
Sehingga, perubahan tindakan
manusia adalah hal yang paling
mendominasi atas terjadinya pembentukan
dan pertumbuhan suatu kota. Kota akan
mengalami perubahan yang signifikan jika
masyarakat di dalamnya melakukan
perubahan secara besar-besaran.
Sedangkan, telah kita ketahui bersama
bahwa perubahan yang terjadi justru
sebenarnya adalah hal yang tidak
diinginkan oleh masyarakat. Artinya,
perubahan masyarakat bersifat regress
(kemunduran). Di beberapa situasi
tertentu, perubahan dianggap sebagai
konsekuensi yang harus diterima oleh
masyarakat. Dalam konteks ini, perubahan
signifikan yang terjadi adalah adanya
ketidakpedulian masyarakat kota terhadap
kondisi dan kualitas lingkungan alam –
sedangkan, keberlangsungan hidup
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
manusia sangat bergantung dengan kondisi
alam. Masyarakat kota dianggap
menafikkan keberadaan lingkungan alam.
Atau dalam istilah lain, kota, kampung,
dan sungai adalah wilayah yang ditinggali
sekaligus dikotori. Sehingga, situasi yang
terjadi saat ini, keberadaan sungai semakin
ditinggalkan seiring dengan gencarnya
pembangunan kota. Sungai kini dimaknai
sebagai sisa-sisa simbol kehidupan
modernitas kota.
DAFTAR PUSTAKA
BUKU:
Atmowiloto, Arswendo. 2009. Kitab Solo.
Surakarta: Pemerintah Kota
Surakarta Dinas Kebudayaan dan
Pariwisata
Herlianto. 1986. Urbanisasi dan
Pembangunan Kota. Bandung: Penerbit
Alumni
Kutanegara, Pande Made. 2014. Manusia,
Lingkungan, dan Sungai:
Transformasi Sosial Kehidupan
Masyarakat Sempadan Sungai Code.
Yogyakarta: Penerbit Ombak
Maryono, Agus. 2015. Restorasi Sungai.
Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press
Nurhajarani, Dwi Ratna. Dkk. 1999.
Sejarah Kerajaan Tradisional
Surakarta. Jakarta: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan RI
Tjahjono, Subur. Ed. 2009. Ekspedisi
Bengawan Solo; Laporan Jurnalistik
KOMPAS Kehancuran Peradaban
Sungai Besar. Jakarta: PT. Kompas
Media Nusantara
Wijono, Radjimo Sastro. 2013. Modernitas
dalam Kampung; Pengaruh
Kompleks Perumahan Sompok
terhadap Pemukiman Rakyat di
Semarang Abad ke-20. Jakarta: LIPI
Press
JURNAL:
Taqabalallah, Ridha. 2009. Banjir
Bengawan Solo Tahun 1966:
Dampak dan Respons Masyarakat
Kota Solo, Skripsi Fakultas Sastra
dan Seni Rupa Universitas Sebelas
Maret
PERATURAN HUKUM:
Perda Kota Solo Nomor 2 Tahun 2009
Pasal 57 Huruf B tentang Larangan
Pembuangan Sampah ke Sungai
Undang-Undang Nomor 38 Pasal 9 Tahun
2011 tentang Jarak Pemukiman dan
Badan Sungai
WEBSITE:
http://kampungnesia.org/berita-sangkrah-
kampung-sebelah-sungai.html (diunduh
dan diakses pada Senin 7 Maret 2016
pukul 11:39 WIB)
http://ngreksolepenmangkukeprabon.blogs
pot.co.id/2013/06/impian-wisata-air-kali-
pepe-di-kota.html (diakses dan diunduh
pada 22 April 2016 pukul 14:39 WIB)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
http://news.okezone.com/read/2007/12/26/
1/70585/banjir-solo-capai-3-meter-ribuan-
warga-ngungsi - (diakses dan diunduh
pada Jumat, 20 Mei 2016 pukul 14: 47
WIB)
http://koempoelanbarangdjadoel.blogspot.c
o.id/2011/11/kb-380-foto-solo-banjir-
tahoen-1966.html (diunduh dan diakses
pada Rabu, 22 Juni 2016 pukul 13.35
WIB)
top related