kadah taqlid
Post on 14-Apr-2018
273 Views
Preview:
TRANSCRIPT
-
7/29/2019 kadah taqlid
1/127
i
Syamsuddin Ramadlan al-Nawiy
KAEDAH-KAEDAH TAQLIDTuntunan Islam Dalam Memilih dan Mengikuti Pendapat
-
7/29/2019 kadah taqlid
2/127
ii
MEMAHAMI KONSEP IJTIHAD DAN TAQLID
DENGAN BENAROleh : KH. M. Shiddiq al-Jawi
asalah ijtihad dan taqlid, merupakan salah satu isu besar
yang direspons dengan antusiasme sangat tinggi di
kalangan umat Islam. Betapa tidak, seluruh intelektual
muslim terkemuka sejak abad ke-18 hingga ke-20 M, baik ulama
reformis dan revivalis yang berideologi Islam, seperti Syah Waliyullah
al-Dahlawi (1702-1762), maupun intelektual modernis berideologi
sekuler, seperti Sayyid Ahmad Khan (1817-1898), senantiasa
mendorong ijtihad di tengah umat dan bahkan mempraktikkannya.
Semuanya sepakat ingin membuka dan bahkan mendobrak pintu
ijtihad untuk mengatasi kemerosotan berpikir umat Islam yang telah
berlangsung lama sejak ditutupnya pintu ijtihad pada abad ke-4 H.
Namun sejauh ini usaha itu nampaknya belum berhasil secaragemilang. Buktinya, secara kuantitas, praktik ijtihad masih langka.
Mujtahid masih sangat sedikit di tengah-tengah umat. Secara kualitas
pun, konsep ijtihad itu sendiri kadang dipahami secara kurang tepat
dan bahkan dipahami secara salah.
Tentang langkanya mujtahid, hal ini sangat jelas. Coba, apakah Anda
tahu, siapa mujtahid yang ada di negeri Anda sekarang ini? Bahkan
bukan hanya sekarang, sejak jaman keemasan Islam pun, jumlahmujtahid memang relatif sangat sedikit dibandingkan dengan jumlah
ulama di bidang lainnya (hadits, tafsir, dan sebagainya). Hal ini wajar,
sebab untuk menjadi seorang faqih (mujtahid) ilmu-ilmu yang harus
dikuasainya sangat banyak sehingga tak banyak orang yang mau
mencurahkan seluruh waktu hidupnya untuk menguasai ilmu-ilmu
itu. Di masa kejayaan Islam itu, jumlah mujtahid kira-kira 10 % saja
dari jumlah ulama di bidang-bidang ilmu keislaman lainnya. Abu
M
-
7/29/2019 kadah taqlid
3/127
iii
Muhammad ar-Ramahurmuzy dalam kitab al-Fashil meriwayatkan
dari Asyat bin Anas bin Sirin,"Aku telah mendatangi kota Kufah maka
aku lihat di dalamnya ada 4000 orang yang sedang mempelajarihadis, dan ada 400 orang yang menjadi faqih [mujtahid]." (Fathi
Muhammad Salim, al-Istidlal bi azh-Zhanni fi al-Aqidah, Beirut :
Darul Bayariq, 1994, hal. 32).
Tentang konsep ijtihad itu sendiri, kadang-kadang ia dipahami secara
kurang tepat, sehingga malah menjadi kontraproduktif dengan upaya
menggalakkan ijtihad di tengah umat. Pada masa Imam Suyuthi (849-
911 H), berkembang pesat paham yang mengatakan bolehnya zuatu
zaman kosong dari adanya mujtahid. Maka dari itu, ketika Imam
Suyuthi memproklamirkan kepada publik bahwa dirinya adalah
seorang mujtahid, masyarakat awam pun tidak percaya dan bahkan
mengecam beliau dengan keras. Imam Suyuthi pernah
mengumumkan,"Sungguh telah sempurna padaku alat-alat untuk
berijtihad, alhamdu lillah. Kalau Anda menginginkan aku untuk
menulis sebuah kitab untuk setiap masalah, lengkap dengan dalil-
dalil naqli dan qiyasnya, disertai dasar-dasarnya, bantahan-
bantahannya, jawaban-jawabannya, serta perbandingan pendapat di
antara berbagai mazhab pada masalah itu, niscaya aku mampu untuk
melakukannya, alhamdu lillah." (Imam Suyuthi, Husnul Muhadharah,
Juz I hal. 339).
Imam Suyuthi pun kemudian meluruskan paham yang kurang tepat
mengenai ijtihad tersebut dengan menjelaskan tidak bolehnya suatuzaman kosong dari mujtahid. Mujtahid wajib ada pada setiap masa.
Beliau menulis kitab al-Radd Ala Man Akhlada ila al-Ardh wa Jahila
anna al-Ijtihad Fardhun fi Kulli Ashrin (Bantahan Kepada Orang Yang
Ingin Hidup Kekal di Bumi dan Tidak Tahu Bahwa Ijtihad Itu Fardhu
Untuk Setiap Masa). Imam Suyuthi juga menulis kitab Taysir al-Ijtihad
(Memudahkan Ijtihad), yang dimaksudkan agar umat tidak
menganggap ijtihad sebagai hal yang super sulit, namun suatu hal
-
7/29/2019 kadah taqlid
4/127
iv
yang mudah dan mungkin, selama syarat-syaratnya terpenuhi dengan
sempurna.
Dalam kitab Taysir al-Ijtihadini, Imam Suyuthi menukilkan beberapa
riwayat yang menggugah. Antara lain beliau menukilkan perkataan
Syaikh Muhibuddin --ayah Syaikh Taqiyuddin Ibnu Daqiqil Ied--
dalam kitabnya Talqih Al-Afham yang berkata,"Menjadi mujtahid
telah dianggap berat pada masa sekarang ini. Hal itu bukanlah karena
sulitnya mencari alat-alat ijtihad, melainkan karena berpalingnya
manusia dari kesibukan yang akan menghantarkan mereka pada
ijtihad." Imam Suyuthi juga menukilkan pendapat sebagian ulama
yang menegaskan,"Ijtihad pada zaman ini (zaman Imam Suyuthi, red),
lebih mudah daripada zaman permulaan Islam, sebab alat-alat ijtihad
berupa hadits-hadits dan lain-lain telah dibukukan dan mudah untuk
dirujuk. Ini beda dengan zaman permulaan Islam, sebab saat itu tak
ada satu pun alat-alat ijtihad yang terbukukan." (Imam Suyuthi,
Taysir al-Ijtihad, Makkah : Maktabah Tijariyah, hal. 28).
Pada masa sekarang, kesalahpahaman tentang ijtihad lebih gila lagi.
Kini ada kesalahpahaman ekstrem tentang ijtihad yang
didemostrasikan sangat gamblang oleh kelompok Islam liberal
(sekuler). Ini menjadi bukti lain belum berhasilnya upaya melahirkan
ijtihad yang sahih di tengah-tengah umat. Kesalahan ekstrem ini jelas
hanya akan menyesatkan umat dari hakikat ijtihad yang sebenarnya.
Menurut kaum liberal, ijtihad bukan dipahami sebagai usahasungguh-sungguh untuk mengistinbath hukum syariah dari dalil-dalil
syariah, melainkan sebagai upaya untuk menyesuaikan hukum Islam
dengan realitas masyarakat yang telah diformat dalam citra ideologi
kontemporer (kapitalisme-sekuler). Taufik Adnan Kamal dan Samsu
Rizal Panggabean mengatakan,"Dalam debat-debat modern,
pentingnya aplikasi ijtihad dikaitkan dengan kemungkinan yang
diberikannya untuk menyegarkan pemahaman Islam dan hukum
-
7/29/2019 kadah taqlid
5/127
v
Islam selaras dengan kondisi masyarakat kontemporer." (Politik
Syariat Islam dari Indonesia Hingga Nigeria, Jakarta : Pustaka
Alvabet,2004, hal. 196).
Benar bahwa ijtihad memang dimaksudkan untuk menghadapi
tantangan zaman kekinian. Tapi bagi kaum liberal, ijtihad bukan
dipahami sebagai upaya menghukumi realitas kontemporer dengan
hukum Islam, melainkan upaya mengubah dan menyesuaikan hukum
Islam agar cocok dengan realitas kontemporer. Dalam konsep ijtihad
yang sahih, realitas tidak diasumsikan sebagai standar yang selalu
dianggap benar. Sebab realitas itu bukanlah wahyu yang pasti benar,
melainkan fakta yang tengah terjadi, yang bisa benar (sesuai wahyu)
dan bisa juga tidak benar (menyimpang dari wahyu). Sebaliknya
dalam benak kaum liberal, realitas telah dijadikan standar dan
dianggap sebagai kebenaran mutlak, sedangkan wahyu diasumsikan
sebagai sesuatu yang relatif dan harus mengikuti serta tunduk pada
realitas itu.
Bukti yang jelas untuk cara berpikir merusak itu adalah adanya draft
CLD KHI (Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam) yang
dimaksudkan sebagai usulan RUU alternatif untuk mengganti
Kompilasi Hukum Islam yang berlaku di lingkungan Peradilan Agama.
Tapi alhamdulillah draft itu sudah dibatalkan oleh Menteri Agama
Maftuh Basyuni.
Namun yang menyedihkan, Ketua Tim Pengarusutamaan GenderDepag, Dr Siti Musdah Mulia, yang memimpin penyusunan draft itu
tanpa malu-malu berani mengklaim bahwa draft CLD KHI itu adalah
hasil ijtihad. (Tempo, 7 Nopember 2004, hal. 47).
Padahal draft tersebut telah melahirkan sejumlah pasal yang
menyeleweng jauh sekali dari Islam. Misalnya, mengharamkan
poligami (pasal 3 ayat 2), menyamakan bagian waris pria dan wanita
-
7/29/2019 kadah taqlid
6/127
vi
(pasal 8 ayat 3), menghalalkan perkawinan dalam jangka waktu
tertentu (pasal 28), menghalalkan perkawinan antar agama secara
bebas (pasal 54), dan sebagainya. Ini semua terjadi karena parapenyusun CLD KHI telah menundukkan hukum Islam di bawah realitas
kontemporer yang dibentuk oleh nilai-nilai peradaban Barat, yaitu
nilai-nilai gender, pluralisme, hak asasi manusia, dan demokrasi.
Dengan kata lain, draft itu lahir sebagai hasil kesalahpahaman
ekstrem dalam memahami hakikat makna ijtihad.
Senapas dengan konsep ijtihad di atas, konsep taqlid juga tak jarang
kurang dipahami dengan baik oleh umat Islam. Tak jarang ulama
memilih pendapat secara seenaknya tanpa kaedah dan tanpa
standar. Fatwa ulama akhirnya ditundukkan kepada kepentingan dan
hawa nafsu manusia. Kita masih ingat, pada pertengahan tahun 80-
an, Prof KH Ibrahim Hosen LML (Komisi Fatwa MUI saat itu)
mengeluarkan fatwa bolehnya judi undian PORKAS. Fatwa itu
dimaksudkan untuk menyukseskan pembangunan, khususnya bidang
olah raga. Padahal PORKAS jelas-jelas merupakan judi (maysir) yang
haram hukumnya.
Selain itu, paham relativisme yang banyak bercokol di benak kaum
liberal, menambah parah kesalahpahaman seputar taqlid ini."Semua
adalah relatif (All is relative)," begitulah slogan mereka. Padahal
slogan ini bukan dari ulama apalagi dari Al-Qur`an dan As-Sunnah,
melainkan dari Michael Fackerrell, seorang missionaris Kristen asal
Amerika Serikat (Hamid Fahmi Zarkasyi, "Kebenaran", MajalahIslamia, Vol III, No. 1, Th 2006).
Yang repot, paham relativisme Kristiani itu akhirnya dimasukkan ke
dalam wacana keislaman, lalu dihasilkan dikotomi begini : yang
berasal dari Tuhan, absolut kebenarannya. Sedang kalau dari
manusia, sifatnya relatif, siapa pun juga manusia itu. Maka
pemahaman Imam Syafii, Imam Maliki, atau imam siapa pun, semua
-
7/29/2019 kadah taqlid
7/127
vii
relatif. Dan karena semuanya relatif, kita boleh memilih atau bahkan
membuang pendapat mereka dengan bebas.
Berangkat dari dikotomi yang absurd itu, kaum liberal akhirnya
memasukkan "fatwa-fatwa" mereka agar dianggap bagian dari
pendapat ulama yang boleh untuk ditaqlidi umat Islam. Hmm, enak
benar,ya? Buku Fiqih Lintas Agama (2004) yang ditulis Nurcholish
Madjid dkk (kaum sekuler) dan disponsori Yayasan Asia Foundation
(dari Amerika) merupakan contoh upaya menjajakan "fatwa-fatwa"
liberal dalam naungan konsep relativisme agama tersebut.
Tentu saja kaedah taqlid gaya liberal dengan dikotomi absolut-relatif
itu tidaklah benar. Sebab bahwasanya Tuhan itu Maha Mengetahui
dan pengetahuan-Nya absolut benar, itu sudah jelas. Maka tak perlu
dimasukkan dalam dikotomi. Sebab dikotomi yang seharusnya kita
miliki adalah dikotomi untuk pendapat di antara manusia, bukan
antara "pendapat" Tuhan dan pendapat manusia. Selain itu, dikotomi
sebelumnya itu sungguh tidak adil, karena meletakkan semua
pendapat manusia dalam posisi yang sama (sama-sama relatif).
Samakah pendapat orang berilmu dengan pendapat orang tak
berilmu? Samakah ulama dengan juhala (orang bodoh)? Maka,
dikotomi yang benar adalah, ada pendapat ulama yang benar dan
kuat (yang layak ditaqlidi), dan ada pendapat ulama yang salah atau
lemah (yang tidak layak ditaqlidi). Itulah dikotomi yang benar.
Nah, berkaitan dengan dikotomi itu, kehadiran buku Kaedah TaqlidTuntunan Islam Dalam Mengikuti dan Memilih Suatu Pendapat, karya
sahabat kami A. Said 'Aqil Humam 'Abdurrahman, patutlah disambut
dengan gembira. Buku ini dengan tepat memberikan pencerahan
mengenai kaedah-kaedah mengenai taqlid untuk membedakan mana
pendapat ulama yang layak diikuti dan mana yang tidak. Selain itu,
buku ini juga ingin berkontribusi dalam menjelaskan konsep ijtihad
secara benar.
-
7/29/2019 kadah taqlid
8/127
viii
Semuanya bermuara pada satu keinginan besar untuk mengentaskan
umat Islam dari kemerosotan berpikirnya yang sangat dahsyat,
khususnya perihal aktivitas ijtihad dan taqlid. Buku ini kiranya sudahbisa dianggap berhasil, jika bisa menghasilkan para muqallid yang
baik, bukan lagi muqallid bermasalah. Syukur-syukur bisa melahirkan
para mujtahid yang cemerlang di kemudian hari. Insya Allah.
Semoga tujuan mulia ini, tercapai pula adanya. Amin Ya Mujibas
Sailin.
Yogyakarta, 21 Mei 2006
Al-Faqir ila Rabbihi,
KH. Muhammad Shiddiq al-Jawi
-
7/29/2019 kadah taqlid
9/127
ix
KATA PENGANTAR
Ketidaktahuan sebagian besar kaum Muslim terhadap kaedah taqlid
(mengikuti suatu pendapat) telah mengantarkan mereka mengikuti
pendapat secara serampangan dan asal-asalan. Sebagian mereka ada
yang mengikuti pendapat-pendapat pribadi ulama, bukan mengikuti
hukum syariat yang digali oleh 'ulama berdasarkan kaedah-kaedah
ijtihad. Sebagian lagi ada yang mengambil pendapat ulama hanyauntuk memenuhi kepentingan-kepentingan dunianya. Jika ia
menginginkan "hukum mubah"; ia akan bertaqlid kepada 'ulama yang
mengeluarkan fatwa mubah. Jika ia menginginkan "hukum wajib", ia
akan mengikuti 'ulama yang mewajibkan, dan seterusnya. Padahal,
perbuatan semacam ini sama artinya telah menundukkan hukum
syariat di bawah hawa nafsu dan kepentingannya. Mestinya, hawa
nafsu dan keinginan-keinginannya harus tunduk di bawah al-Quran
dan Sunnah, bukan sebaliknya.
Kadang-kadang, seorang Muslim dihadapkan pada ragam pendapat
dalam satu kasus. Sebagian ulama berpendapat boleh, sebagian lagi
tidak boleh, sebagian lagi sunnah, sebagian lagi makruh, dan
sebagian lagi haram. Lantas, ia harus mengikuti dan memilih yang
mana? Bagaimana tata cara memilih satu pendapat diantara
pendapat-pendapat itu?
Sebagian lagi menghukumi satu perbuatan dengan banyak hukum,
dan berpindah-pindah dari satu pendapat menuju pendapat yang
lain. Kadang-kadang ia sholat dengan tata cara madzhab Imam
Syafi'iy, kadang-kadang dengan madzhab Hanafiy, dan sebagainya.
Lebih ironis lagi, sebagian lagi tidak mengetahui kepada dan dengan
siapa ia bertaqlid? Apakah ia taqlid kepada hukum Syariat ataukah
-
7/29/2019 kadah taqlid
10/127
x
taqlid kepada pendapat manusia? Padahal, Islam telah mengatur
kaedah-kaedah taqlid yang ditujukan agar kaum Muslim yang tidak
mampu melakukan ijtihad tetap bertaqlid kepada hukum-hukumAllah swt, bukan taqlid kepada hawa nafsu maupun keinginan-
keinginannya.
Untuk itu, harus ada penjelasan yang gamblang mengenai masalah ini
(taqlid), agar seorang muqallid benar-benar memahami ketentuan
Islam dalam memilih pendapat diantara banyaknya pendapat.
Dengan kata lain, harus ada buku panduan yang mampu menuntun
mereka agar tidak terjatuh pada taqlid buta, dan taqlid-taqlid yang
ditujukan untuk memenuhi kepentingan hawa nafsu yang bersifat
sesaat.
Buku yang ada di tangan Anda ini merupakan panduan agar taqlid
kita tidak menyimpang dari tuntunan Islam. Lebih dari itu, buku ini
juga ditujukan agar kita tetap mengikuti hukum Syariat, bukan
mengikuti pendapat pribadi ulama, hawa nafsu, dan kepentingan-
kepentingan dunia; selalu mengikuti Allah swt dan RasulNya, dan
bukan mengikuti setan yang akan menjerumuskan kita ke neraka.
Wallahu A'lam bi al-Shawab
Penulis
-
7/29/2019 kadah taqlid
11/127
-
7/29/2019 kadah taqlid
12/127
xii
Sikap Seorang Muqallid Jika Mujtahid Mengubah Pendapatnya
.................................................................................................. 48Hukum Muqallid Yang Sembrono.............................................. 49
BAB VI IMPLIKASI-IMPLIKASI TAQLID BAGI KAUM MUSLIM ............. 50Taqlid dan Implikasinya Bagi Kemunduran Berfikir Umat Islam 52
BAB VII TARJIH DAN KETENTUANNYA ............................................... 56Definisi Tarjih ............................................................................ 56Beramal Dengan Dalil Yang Rajih .............................................. 57Hakekat Pertentangan dan Mendahulukan Kompromi ............. 59
BAB VIII MEMAHAMI IJTIHAD............................................................ 68Definisi Ijtihad ........................................................................... 68Lingkup Ijtihad........................................................................... 71Syarat-syarat Mujtahid.............................................................. 72Kesalahan Persepsi Seputar Ijtihad ........................................... 73
BAB IX RASULULLAH SAW BUKAN SEORANG MUJTAHID.................. 77Memilih Pendapat Yang Terkuat ............................................... 78Penjelasan Mengenai Ayat-Ayat Yang Digunakan Sandaran
Bolehnya Rasulullah saw Melakukan Ijtihad ............................. 87Surat al-Anfaal Ayat 67 ....................................................... 90Surat al-Taubah Ayat 43...................................................... 95Surat al-Taubah Ayat 84...................................................... 97Surat 'Abasa Ayat 1 3 ..................................................... 100
DAFTAR PUSTAKA............................................................................ 103
-
7/29/2019 kadah taqlid
13/127
1
BAB I
MENGAPA HARUS
MEMAHAMI KAEDAH TAQLID?
Urgensi Kaedah Taqlid Bagi Seorang
Muqallid
ada dasarnya, terikat dengan syariat Islam merupakan
kewajiban asasi seorang Muslim. Sebab, ketundukan dan
kepatuhan terhadap syariat Islam merupakan bukti keimanan
seorang Muslim kepada Allah swt dan RasulNya. Seseorang tidak
disebut Mukmin sejati jika ia tidak menerima hukum-hukum Allah
swt dengan penuh kerelaan dan keridloan. Seorang Mukmin mesti
menundukkan diri dan menerima hukum-hukum Allah swt tanpa ada
pilihan lagi.i
Selain itu, berbuat sesuai dengan hukum syariat merupakan salah
satu syarat agar amal perbuatan seseorang diterima oleh Allah swtii.
Perbuatan apapun tidak akan pernah diterima Allah swt, jika tidak
sejalan dengan syariat Allah swt. Al-Quran telah menyatakan masalah
ini dengan sangat jelas. Allah swt berfirman:
P
-
7/29/2019 kadah taqlid
14/127
2
"Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia.
Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah.[al-
Hasyr:7]
Ayat ini dengan sangat jelas menunjukkan, bahwa perbuatan seorang
muslim tidak akan diterima oleh Allah swt, bila tidak sesuai dengan
tuntunan hukum syariat. Dalam hadits shahih disebutkan:
"Nabi saw bersabda, "Orang yang melakukan penipuan akan
dimasukkan ke dalam api neraka, dan barangsiapa
mengerjakan suatu perbuatan yang tidak diperintahkan
kami, maka perbuatan itu tertolak."[HR. Bukhari]
"Dari 'Aisyah ra, ia berkata, bahwasanya Rasulullah saw
bersabda," Siapa saja yang membuat-buat perkara baru
dalam urusan kami, padahal urusan itu tidak diperintahkan,
maka perkara itu tertolak." [HR. Bukhari; hadits ini
diriwayatkan oleh 'Abdullah bin Ja'far al-Makhramiy, 'Abdul
Wahid bin Abi Aun, dari Sa'id bin Ibrahim]; dan masih banyak
hadits-hadits lain yang menerangkan masalah ini.
-
7/29/2019 kadah taqlid
15/127
-
7/29/2019 kadah taqlid
16/127
4
Akan tetapi, taqlid pun memiliki syarat-syarat dan kaedah-kaedah
yang mesti diikuti dan dipatuhi, sebagaimana ijtihad. Sebab, taqlid
adalah bagian dari perbuatan yang mesti didasarkan pada tuntunansyariat. Taqlid tidak boleh dilakukan dengan cara semena-mena dan
asal-asalan. Jika seseorang bertaqlid tanpa mengikuti kaedah-kaedah
yang benar, bisa dipastikan taqlidnya didasarkan pada hawa nafsu.
Tidak hanya itu saja, seringkali seorang muqallid terjatuh dengan
taqlid yang membabi buta, atau memilih pendapat yang kira-kira bisa
sejalan dengan keinginan dan hawa nafsunya. Akhirnya, mereka
memilih suatu pendapat bukan untuk terikat dengan syariat Allah,
akan tetapi untuk memenuhi kepentingan-kepentingan dan
keinginan-keinginan mereka. Dalam kondisi semacam ini, orang
tersebut telah menundukkan hukum syariat di bawah hawa nafsunya,
bukan menundukkan hawa nafsunya di bawah ketentuan al-Quran
dan Sunnah. Jika suatu hukum sejalan dengan keinginan dan
kepentingannya; ia ambil hukum tersebut dan mengesampingkan
yang lain..
Sesungguhnya, ketidaktahuan seseorang terhadap kaedah taqlid
akan menjatuhkan seseorang pada plin-plan dalam berpendapat.
Kadang-kadang, untuk menghukumi satu perbuatan, ia memilih
pendapat madzhab ini, kadang-kadang ia memilih pendapat madzhab
yang lain lagi. Lebih buruk lagi, mereka malah pasrah dengan apa
yang dikatakan oleh pemimpin-pemimpinnya. Apa yang dikatakan
pemimpinnya harus ditaqlidi (diikuti), dan dianggap kebenaran
mutlak. Padahal pendapat para pemimpinnya sama sekali tidakdidasarkan pada al-Quran dan Sunnah. Bahkan, pendapat-pendapat
mereka telah menyimpang jauh dari tuntunan Islam. Lebih ironis lagi,
pemimpin-pemimpinnya juga terkenal fasik dan ahli bid'ah yang
seharusnya tidak boleh diikuti.
Jika keadaan ini dibiarkan terus berlanjut, tentunya kaum Muslim
akan semakin terjatuh pada taqlid yang didasarkan hawa nafsu,
-
7/29/2019 kadah taqlid
17/127
5
bukan didasarkan ketentuan syariat Islam. Oleh karena itu,
memahami kaedah taqlid merupakan satu-satunya jalan agar kita
benar-benar mengikuti Allah dan RasulNya bukan malah mengikutihawa nafsu dan setan yang akan menceburkan kita ke dalam
kehinaan dan kenistaan. Allah swt telah menyindir masalah ini di
dalam sebuah firmanNya;
(.) (.)
"Pada hari ketika muka mereka dibolak-balikkan dalam
neraka, mereka berkata: "Alangkah baiknya, andaikata kami
ta`at kepada Allah dan ta`at (pula) kepada Rasul". Dan
mereka berkata: "Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah
menta`ati pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar
kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan (yang benar).
Ya Tuhan kami, timpakanlah kepada mereka azab dua kali
lipat dan kutuklah mereka dengan kutukan yang besar". [al-
Ahzab: 66- 68[
Dari sini kita bisa memahami, bahwa memahami kaedah taqlid
menjadi sangat penting. Sebab, seorang Muslim yang tidak mampu
melakukan ijtihad; ia diwajibkan taqlid (mengikuti) seorang mujtahidagar dirinya memahami hukum syariat. Hanya saja, seorang muqallid
harus memahami kaedah taqlid terlebih dahulu, sebelum memilih
dan mengambil suatu pendapat. Bila seorang muqallid tidak
memahami kaedah taqlid, bisa dipastikan ia akan memilih suatu
pendapat berdasarkan hawa nafsu belaka. Lebih dari itu,
ketidaktahuan seorang Muslim akan kaedah taqlid, akan
menjatuhkan dirinya ke dalam taqlid-taqlid yang menyimpang atau
-
7/29/2019 kadah taqlid
18/127
6
tidak sejalan dengan tuntunan syariat. Misalnya, taqlid kepada
pendapat orang-orang tertentu; atau taqlid kepada orang-orang yang
terkenal fasiq dan suka melanggar hukum syariat .
Untuk itu, "kaedah taqlid" ini harus dihadirkan kembali di tengah-
tengah kaum Muslim, agar kaum Muslim yang terus terpuruk ke
dalam kemunduran ini tidak semakin hancur dan binasa akibat
ketidaktahuan mereka terhadap ketentuan memilih dan mengambil
pendapat .
-
7/29/2019 kadah taqlid
19/127
7
BAB II
KETENTUAN UMUM
MENGENAI TAQLID
Definisi Taqlid
ecara literal, taqlid diambil dari kata al-qaladzah allatiyyuqallidu ghairahu bihaa." (kalung yang dikenakan kepada
orang lain).5FviSedangkan menurut istilah, taqlid adalah 'amal
biqauli al-ghairi min ghair hujjah mulzimah." (beramal dengan
mengikuti pendapat orang lain tanpa ada hujjah (dalil) yang bersifat
mengikat).6Fvii
" Misalnya, orang awam yang mengikuti pendapat orang
awam lainnya, atau seorang mujtahid yang mengikuti pendapat
mujtahid lainnya.
Menurut al-Amidiy, merujuknya seseorang kepada sabda Nabi saw,
atau ijma' Mujtahid di suatu masa, vonisnya seorang qadliy
berdasarkan kesaksian seorang yang adil, dan merujuknya seorang
muqallid kepada seorang mufti (pemberi fatwa) tidak terkategori
sebagai taqliid; dikarenakan tidak adanya hujjah lazim yang bisa
dijadikan pegangan.7 F
viii
S
-
7/29/2019 kadah taqlid
20/127
8
Sedangkan menerima semua sabda Rasulullah saw yang
menunjukkan wajibnya menyakini kemukjizatan Rasul, wajibnya
menerima ijma' mengenai kewajiban menerima perkataan Rasulullahsaw, wajibnya menerima pendapat seorang mufti atau para saksi;
semua ini disebut dengan taqlidmenurut 'urf(kebiasaan) pengguna
bahasa8Fix.
Ibnu Hammam dalam al-Tahriirmengatakan, "Taqlid adalah berbuat
berdasarkan pendapat orang yang tidak memiliki hujjah, tanpa ada
alasan".9 F
x
Al-Qaffaal menyatakan, "Taqlid adalah mengikuti pendapat orang
yang anda sendiri tidak tahu dari mana pendapat itu berasal.10 F xi"
Syaikh Abu Hamid dan Abu Manshur berpendapat, "Taqlid adalah
menerima pendapat orang lain tanpa ada hujjah atas pendapat
tersebut".11 F
xii
Larangan Bertaqlid Dalam Masalah
Aqidah
Seorang muslim dilarang (diharamkan) taqlid dalam masalah-masalah
'aqidah. Mayoritas 'ulama telah sepakat bahwa hukum bertaqlid
dalam masalah 'aqidah adalah haram. Hanya sebagian kecil ulama
yang membolehkan taqlid dalam masalah 'aqidah, yaitu, 'Ubaidullah
bin al-Hasan al-'Anbariy, kelompok Hasyawiyah, dan Ta'limiyyah. 12Fxiii
Sebagian yang lain malah berpendapat, wajibnya bertaqlid dalam
masalah 'aqidah. Menurut mereka al-nadhr(pengamatan) dan ijtihad
dalam masalah 'aqidah adalah haram .
-
7/29/2019 kadah taqlid
21/127
9
Imam al-Raziy dalam kitab al-Mahshuul dari mayoritas fuqaha
menyatakan, bahwa taqlid dalam masalah 'aqidah adalah boleh.
Namun, Ibnu Hajib tidak menuturkan pendapat ini kecuali dari al-'Anbariy saja.
Sedangkan jumhur 'ulama berpendapat, bahwa taqlid dalam masalah
aqidah adalah haram. Abu Ishaq dalam Syarah al-Tartiib menuturkan
tentang kesepakatan para ahli ilmu dari berbagai golongan mengenai
haramnya taqlid dalam masalah 'aqidah. Abu al-Husain bin al-
Qaththaan menyatakan, "Kami tidak melihat adanya iktilaf dalam hal
haramnya taqlid dalam masalah tauhid." Ibnu al-Sam'aniy
menuturkan, bahwa seluruh ahli ilmu kalam dan sekelompok fuqaha
telah sepakat mengenai haramnya taqlid dalam masalah 'aqidah.
Menurut Imam al-Haramain, dalam al-Syaamil, tak seorangpun yang
berpendapat bolehnya taqlid dalam masalah 'aqidah kecuali
kelompok Hanabilah. Sedangkan menurut Imam al-Isyfirainiy, yang
berpendapat bolehnya taqlid dalam masalah 'aqidah hanyalah ahli
dzahir.13 F
xiv
Menurut Imam al-Amidiy pendapat yang terkuat adalah pendapat
yang melarang taqlid dalam masalah 'aqidah. Pendapat ini juga dipilih
oleh Imam Syafi'iy, Imam Malik, Imam Abu Hanifah, dan Imam
Hanbal.
Adapun alasan-alasan yang melarang taqlid dalam masalah 'aqidah
adalah sebagai berikut;
Pertama, sesungguhnya pengamatan adalah wajib, sedangkan taqlid
telah meniadakan kewajiban untuk melakukan pengamatan dan
penelitian. Padahal hal semacam ini meninggalkan pengamatan dan
penelitian -- adalah perbuatan haram. Sebab, ia telah meninggalkan
-
7/29/2019 kadah taqlid
22/127
10
kewajiban. Dalil wajibnya melakukan pengamatan adalah firman
Allah swt,
"Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih
bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut
membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang
Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia
hidupkan bumi sesudah matinya dan Dia sebarkan di bumi itu
segala jenis hewan dan pengisaran angin dan awan yang
dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh terdapattanda-tanda keesaan dan kebesaran Allah bagi kaum yang
memikirkan."[al-Baqarah:12]
Rasulullah saw bersabda, "Celakalah bagi siapa saja yang membaca
ayat ini, namun tidak pernah memikirkan isinya.". Hadits ini
merupakan ancaman bagi siapa yang meninggalkan pengamatan dan
pengkajian. Walhasil, hukum pengamatan dan pengkajian adalah
wajib.14 Fxv
Kedua; menurut Imam al-Amidiy, para ulama salaf berkonsensus
mengenai wajibnya makrifat kepada Allah swt, baik dalam hal yang
boleh bagi Allah dan apa yang tidak boleh bagi Allah swt. Barangkali
ada yang mengatakan, bahwa makrifat kepada Allah juga bisa
ditempuh dengan taqlid. Pendapat ini tertolak karena alasan-alasan
berikut ini; (1) orang yang memberikan fatwa dalam masalah 'aqidah
tidaklah maksum, dan tidak boleh dianggap maksum. Karena ia tidak
maksum, maka berita yang disampaikannya tidak wajib untuk
diimani. Jika berita yang disampaikannya tidak wajib diimani, berarti
berita yang disampaikannya tidak berfaedah kepada ilmu
(keyakinan). (2) sekiranya taqlid itu menghasilkan ilmu (keyakinan),
tentunya bagi orang yang mengikuti pendapat bahwa alam semesta
itu huduts (baru atau diciptakan) akan memperoleh keyakinan sama
-
7/29/2019 kadah taqlid
23/127
11
seperti orang yang mengikuti pendapat bahwa alam semesta itu
qadam (awal atau pertama kali). Padahal hal semacam ini adalah
sesuatu yang mustahil; sebab dua keyakinan semacam ini tidakmungkin dikompromikan. (3) sekiranya taqlid itu menghasilkan ilmu
(keyakinan), padahal keyakinan dalam masalah seperti itu kadang-
kadang bersifat dlaruriy atau nadzariy: tentunya keyakinan (ilmu)
tersebut tidak boleh bersifat dlaruriy. Jika tidak bersifat dlaruriy,
tentunya akan terjadi perbedaan di kalangan manusia. Padahal dalam
masalah 'aqidah tidak boleh ada perbedaan.
Ketiga, al-Quran telah mencela taqlid dalam masalah 'aqidah, namun
tidak dalam masalah syariat. Adapun nash yang melarang taqlid
dalam masalah 'aqidah adalah sebagai berikut;
(.)
(.)
"Bahkan mereka berkata, "Sesungguhnya kami mendapati
pada bapak kami menganut suatu agama dan sesungguhnya
kami adalah orang-orang yang mendapatkan petunjuk
dengan mengikuti jejak mereka. Dan demikianlah bahwaKami tidak mengutus sebelum kamu seorang pemberi
peringatanpun di suatu negeri, melainkan orang-orang yang
hidup mewah di negeri itu berkata, "Sesungguhnya kami
mendapati pada bapak kami menganut suatu agama, dan
sesungguhnya kami adalah pengikut jejak-jejak mereka.
(Rasul itu) berkata, : Apakah (kamu akan mengikutinya juga),
sekalipun aku membawa untukmu (agama) yang lebih
-
7/29/2019 kadah taqlid
24/127
12
(nyata) memberi petunjuk daripada apa yang kami dapati
yang dianut oleh bapak-bapak kalian"?15 Fxvi
Ayat ini jelas-jelas mencela orang-orang yang bertaqlid dalam
masalah keyakinan; dan masih banyak ayat-ayat lain yang mencela
kaum Muslim taqlid dalam masalah 'aqidah.
Selain itu, berpikir menyangkut masalah aqidah adalah mudah,
sebab, dalil-dalil yang berkenaan dengan aqidah sangat jelas (tidak
perlu ijtihad). 16Fxvii
Imam Ahmad menyatakan, "Tanda yang
menunjukkan dangkalnya ilmu seseorang, bahwa ia bertaqlid kepada
orang lain dalam masalah aqidah". 17Fxviii
Menurut Abu Manshur, para 'ulama berbeda pendapat mengenai
orang yang beraqidah dengan jalan taqlid, atau tidak memahami
dalil-dalilnya. Mayoritas 'ulama berpendapat, mereka tetap Mukmin
yang akan mendapatkan syafa'at, namun berpredikat fasiq,
dikarenakan meninggalkan istidlal (proses berdalil). Pendapatsemacam ini dipegang oleh mayoritas ulama hadits. Imam al-Asy'ariy
dan mayoritas Mu'tazilah menyatakan: seseorang tidak akan
mendapat predikat Mukmin hingga ia meninggalkan taqlid.18Fxix
Namun, Imam Syaukani membantah pendapat itu dengan
menyatakan, bahwa mereka tetap Mukmin dan tidak boleh digelari
dengan gelar fasiq. Sebab, syariat tidak membebani seseorang
dengan sesuatu yang tidak sanggup dipikulnya19Fxx.
Bolehnya Taqlid Dalam Masalah Hukum
Syariat
Di dalam kitab Irsyaad al-Fuhuul, Imam Syaukani menyatakan, bahwa
para 'ulama berbeda pendapat mengenai bolehnya taqlid dalam
-
7/29/2019 kadah taqlid
25/127
13
masalah syariat. Jumhur ahli ilmu berpendapat, bahwa taqlid dalam
masalah syariat dilarang secara mutlak. Imam al-Qarafiy menuturkan:
madzhab Malikiyyah dan mayoritas ulama menyatakan wajibnyaijtihad dan membatilkan taqlid. Imam Ibnu Hazm menyatakan
konsensus para ulama untuk menolak taqlid dalam masalah syariat.20 F xxi
Imam al-Amidiy memilih pendapat yang membolehkan seseorang
bertaqlid kepada seorang mujtahid. Beliau menyatakan, "Masyarakat
awam dan orang-orang yang tidak memiliki keahlian untuk
berijtihad, meskipun ia memiliki sebagian ilmu yang bisa digunakan
untuk berijtihad, wajib mengikuti pendapat para mujtahid, dan
mengambil fatwanya. Ini adalah pendapat yang dipegang oleh ahli
pentahqiq dalam masalah ushul.21F
xxiiMenurutnya, pendapat ini
didukung oleh nash, ijma' dan akal pikiran .
Adapun alasan-alasan yang membolehkan taqlid dalam masalah
syariat adalah sebagai berikut:
Pertama, Allah swt telah berfirman:
"Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-
orang lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka, maka
bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan,
jika kamu tidak mengetahui."[al-Nahl:4]
Ayat ini berlaku umum untuk setiap mukhaatib; sekaligus berisi
perintah untuk bertanya atas sesuatu yang tidak diketahui22F
xxiii.
Meskipun konteks ayat ini berbicara mengenai penolakan terhadap
orang-orang Musyrik saat mereka mengingkari keberadaan Rasul
sebagai manusia biasa, akan tetapi lafadz yang terkan0dung di
dalamnya bersifat umum. Dalam kondisi semacam ini, tafsir ayat ini
harus dikembalikan pada kaedah "al-'ibrah bi 'umuum al-lafdz laisa bi
-
7/29/2019 kadah taqlid
26/127
14
khushuush al-sabab"; perngertian itu didasarkan pada keumuman
lafadz bukan didasarkan pada khususnya sebab. Dengan kata lain,
yang dijadikan dasar adalah keumuman lafadznya, bukan kekhususansebabnya. Oleh karena itu, tidak bisa dinyatakan, bahwa ayat ini
hanya berhubungan dengan perintah kepada orang Musyrik untuk
bertanya kepada ahlul kitab agar mereka mengetahui bahwa Allah
swt tidak pernah mengutus seorang Rasul kepada umat manusia
kecuali dari kalangan manusia. Dengan demikian, ayat ini merupakan
perintah kepada orang-orang Musyrik untuk bertanya mengenai
masalah yang tidak diketahuinya kepada ahlu dzikr.23 Fxxiv
Frase "fas- aluu" di sini datang dalam bentuk umum; maknanya
adalah, "bertanyalah kalian agar kalian mengetahui, bahwa Allah
tidak pernah mengutus Rasul kepada umat-umat sebelumnya, kecuali
dari kaum laki-laki (manusia biasa)." Dari sini bisa dilihat, bahwa
pertanyaan tersebut berhubungan dengan masalah pengetahuan
(makrifat), tidak berkaitan dengan masalah "keimanan" ('aqidah).
Sedangkan kata "ahlu al-dzikr", meskipun "musyar ilaihi (orang yangdisebutkan)" adalah ahlul kitab, akan tetapi sighatnya dalam bentuk
umum. Oleh karena itu, frasa "ahlu al-dzikr" di sini berlaku umum
untuk seluruh ahlu al-dzikr, dan tidak hanya berlaku untuk ahlul kitab
saja.24Fxxv
Kaum Muslim sendiri termasuk ahlu al-dzikr. Hal semacam ini telah
disebutkian di dalam al-Quran;
"Dan Kami turunkan kepadamu al-Quran, agar kamu
menerangkan kepada umat manusia apa yang telah
diturunkan kepada mereka."[al-Nahl:44]
Walhasil, orang-orang yang memahami hukum-hukum syara'
tergolong ahlu al-dzikr; baik yang memiliki ilmu ijtihadmaupun ilmu
talaqqin. Faktanya, seorang muqallid biasa bertanya mengenai
-
7/29/2019 kadah taqlid
27/127
15
hukum-hukum Allah dalam satu atau beberapa masalah. Oleh karena
itu, ayat ini menunjukkan dengan jelas kebolehan taqlid dalam
masalah syariat.xxvi
Selain itu, kebolehan taqlid juga ditunjukkan di dalam sunnah.
Diriwayatkan dari Jabir ra; ada seorang laki-laki tertimpa batu hingga
kepalanya retak, lalu bermimpi junub. Kemudian, ia bertanya kepada
para sahabatnya, Apakah kalian mendapatkan untukku rukhshah
(keringanan) untuk bertayamum? Mereka menjawab, Kami tidak
mendapatkan untukmu rukhshah sementara engkau mampu
menggunakan air. Laki-laki itu mandi, tetapi setelah itu meninggal
dunia. Nabi saw berkata: "Adalah cukup baginya bertayamum dan
membalut kepalanya dengan kain, lalu menyapukan (debu) diatasnya
dan membasuh seluruh badannya." Beliau bersabda,"Mengapa
mereka tidak bertanya terlebih dahulu, jika tidak tahu.
Sesungguhnya, obat ketidaktahuan hanyalah bertanya."
Hadits ini menunjukkan, bahwa Rasulullah menganjurkan para
shahabat untuk bertanya mengenai hukum syara. Benarlah kata al--
Syabi: Ada enam orang sahabat Rasulullah saw yang biasa
memberikan fatwa kepada orang-orang; yaitu Ibnu Masud, Umar
bin al-Khattab, Ali bin Abi Thalib, Zaid bin Tsabit, Ubay bin Kaab dan
Abu Musa al-Asyari ra. Biasanya, tiga orang meninggalkan pendapat
mereka dan mengikuti tiga orang yang lain; yaitu Abdullah
meninggalkan pendapatnya dan mengikuti pendapat Umar, Abu
Musa meninggalkan pendapatnya dan ikut pendapat Ali, dan Zaidmeninggalkan pendapatnya dan ikut pendapat Ubay bin Kaab. Ini
menunjukkan bahwa para sahabat menjadi rujukan kaum Muslim,
dan sebagian mereka bertaqlid kepada sebagian yang lain.
Adapun celaan taqlid yang terdapat di dalam al-Quran al-Karim,
hanyalah berhubungan dengan perkara keimanan bukan dalam
masalah hukum-hukum syara. Sebab, ayat-ayat tersebut hanya
-
7/29/2019 kadah taqlid
28/127
16
berbicara pada konteks keimanan dan nashnya khusus membahas
masalah keimanan. Lagi pula ayat-ayat tersebut tidak bisa dicari-cari
illatnya. Firman Allah Swt:
"Dan demikianlah, Kami tidak mengutus sebelum kamu
seorang pemberi peringatan pun dalam suatu negeri,
melainkan orang-orang yang hidup mewah dinegeri itu
berkarta: Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami
menganut suatu agama dan sesungguhnya kami adalah
pengikut jejak mereka. (Rasul itu) berkata: Apakah (kamu
akan mengikutinya juga) sekalipun aku membawa untukmu
(agama) yang lebih (nyata) memberi petunjuk dari pada apa
yang kamu dapati bapak-bapakmu menganutnya? [al-
Zukhruf: 23-24]
"(Yaitu) ketika orang-orang yang diikuti itu berlepas diri dari
orang-orang yang mengikutinya, dan mereka melihat siksa,
dan ketika segala hubungan antara mereka terputus sama
sekali. Dan berkatalah orang-orang yang mengikuti:
Seandainya kami dapat kembali (kedunia) pasti kami akan
berlepas diri dari mereka, sebagaimana mereka berlepas diri
dari kami. Demikianlah Allah memperlihatkan kepada
mereka amal perbuatannya menjadi sesalan bagi mereka,
dan sekali-kali mereka tidak keluar dari api neraka." [al-
Baqarah : 166-167]
"Patung-patung apakah ini yang kamu tekun beribadat
kepadanya? Mereka menjawab: Kami mendapati bapak-
bapak kami menyembahnya."[Al-Anbiya: 52-53]
Konteks pembicaraan (maudlu') ayat-ayat ini hanya berkaitan dengan
keimanan dan kekufuran saja. Keumumannya hanya meliputi
masalah keimanan dan kekufuran saja, dan tidak umum untuk segala
-
7/29/2019 kadah taqlid
29/127
17
sesuatu. Nash-nash ini juga tidak mengandung illatdan tidak boleh
dicara-cari 'illatnya. Tidak bisa dikatakan bahwa yang dijadikan acuan
adalah umumnya lafadz bukan khususnya sebab. Kaedah ini bisaditerapkan jika ayat-ayat tersebut dikaitkan dengan sebab nuzul,
yaitu kejadian yang menjadi penyebab turunnya ayat. Namun,
pernyataan itu tidak benar jika dikaitkan dengan maudlu (konteks
pembicaraan) ayat. Pada dasarnya, yang jadi acuan adalah konteks
pembicaraan ayat tersebut, sedangkan keumumannya terbatas pada
konteks pembicaraan ayat itu saja, dan tidak umum meliputi segala
hal yang tidak tercakup dalam konteks pembicaraannya. Juga tidak
bisa dinyatakan, bahwa ayat tersebut konteks pembicarannya
berkaitan dengan keimanan dan kekufuran, akan tetapi
penafsirannya juga berlaku untuk para muqallid; dengan asumsi
bahwa hukum itu beredar sesuai dengan ada atau tidak adanya 'illat.
Sebab, ayat-ayat tersebut tidak mengandung illat dan tidak boleh
dicari-cari 'illatnya; baik nash-nash yang berasal dari al-Quran
maupun Sunnah. Oleh karena itu, tidak ada satu nash pun yang
melarang taqlid dalam masalah syariat. Nash-nash maupun realita
kaum Muslim pada masa Rasulullah dan para shahabat malah
menunjukkan bolehnya taqlid .26 F
xxvii
Taqlid bisa saja terjadi pada muttabi'maupun 'aamiy.Ini disebabkan
karena, Allah swt menamakan taqlid dengan ittibaa'. Allah swt
berfirman;
"(Yaitu) ketika orang-orang yang diikuti itu berlepas diri dari
orang-orang yang mengikutinya, dan mereka melihat siksa;
dan (ketika) segala hubungan antara mereka terputus sama
sekali."[al-Baqarah:166]
Selain itu, hukum syariat yang diadopsi seseorang kadang-kadang
diistinbathkan sendiri (mujtahid), atau kadang-kadang diistinbathkan
-
7/29/2019 kadah taqlid
30/127
18
oleh orang lain, kemudian ia mengikuti pendapat orang lain itu
(muqallid). Sedangkan mengikuti pendapat orang lain adalah taqlid,
baik dengan hujjah yang bersifat mengikat, maupun tanpa hujjah.Dengan demikian, muttabi' termasuk muqallid. Selain itu, ittibaa'
adalah mengkaji pendapat seorang mujtahid yang meliputi kajian
terhadap dalil-dalil yang digunakan istinbath oleh mujtahid tersebut
tanpa harus memberikan justifikasi terhadap dalil-dalil tersebut, atau
tanpa harus terikat dengan dalil-dalil tersebut27Fxxviii.
Akan tetapi, jika anda telah memberikan justifikasi terhadap dalil
tersebut, atau terikat dengan dalil tersebut; memahami arah
istinbath dari hukum tersebut, dan anda sepakat terhadap istinbath
hukum tersebut, maka anda harus terikat dengan hujjah yang
membangun hukum tersebut. Walhasil, pendapat anda tak ubahnya
pendapat seorang mujtahid. Dalam kondisi semacam ini, anda adalah
seorang mujtahid, bukan seorang muttabi'. Atas dasar itu, ittibaa'
terkategori taqlid, sedangkan muttabi' (orang yang melakukan kajian)
termasuk seorang muqallid, meskipun ia memahami dalil28F
xxix
.
Orang Awam ('Amiy) Wajib Meminta Fatwa
dan Mengikuti 'Ulama
Hujjatul Islam Imam al-Ghazali, dalam kitab al-Mustashfa fi 'Ilm Ushul
menyatakan, bahwa para shahabat telah terbiasa memberikan fatwa
kepada orang-orang awam, dan tidak pernah menyuruh orang-orangawam untuk meraih derajat mujtahid. Keadaan ini telah dimaklumi
dan dituturkan berdasarkan riwayat-riwayat mutawatir dari kalangan
'ulama maupun awam. Ini menunjukkan, bahwa taqlid telah dikenal
dan terjadi baik pada masa shahabat maupun masa-masa
berikutnya.29 F xxx
-
7/29/2019 kadah taqlid
31/127
19
Semua orang telah sepakat mengenai wajibnya orang awam memikul
taklif-taklif syariat. Sedangkan mewajibkan mereka meraih
kemampuan seperti seorang mujtahid adalah kemustahilan. Sebab,hal ini pasti akan menyebabkan terputusnya kegiatan pertanian,
perindustrian, dan lain-lain dikarenakan kesibukan untuk menuntut
ilmu hingga meraih derajat mujtahid. Lebih dari itu, keadaan ini
justru akan menghancurkan kehidupan para ulama itu sendiri. Oleh
karena itu, tidak ada jalan lain bagi mereka (orang awam) selain
taqlid dalam masalah hukum syariat.30F
xxxiLebih lanjut Imam Ghazali
menyatakan,"Taqlid adalah menerima pendapat tanpa hujjah.
Sedangkan mereka (orang awam) wajib menerima pendapat yang
difatwakan. Ketentuan ini didasarkan pada ijma', sebagaimana
wajibnya seorang hakim menerima kesaksian, atau wajibnya kita
menerima khabar ahad".31 Fxxxii
Seorang Muqallid 'Amiy Tidak Boleh
Meminta Fatwa Kecuali Kepada Orang
Yang Keilmuan dan Keadilannya Telah Ia
Ketahui
Pada dasarnya, seorang muqallid 'amiy wajib meminta fatwa kepada
orang-orang yang ia ketahui berilmu dan memiliki keadilan 32Fxxxiii
. Ia
tidak boleh meminta fatwa kepada orang yang keilmuan dan
keadilannya tidak ia ketahui. Sebab, setiap orang yang diwajibkan
untuk mengikuti pendapat orang lain (muqallid), maka ia juga
diwajibkan untuk mengetahui keadaan orang yang diikutinya;
sebagaimana wajibnya umat Islam mengetahui dengan dirinya
sendiri, kemukjizatan Rasulullah. Seseorang tidak boleh menyakini
begitu saja, orang yang mengaku dirinya Rasulullah sementara itu,
orang tersebut tidak pernah dikenalnya. Seorang hakim juga wajib
mengetahui kondisi saksi, apakah ia adil atau tidak, sebelum
-
7/29/2019 kadah taqlid
32/127
20
memutuskan untuk menerima atau menolak kesaksiannya. Dan
seorang Mujtahid wajib mengetahui kondisi perawi hadits sebelum ia
menerima khabarnya. Atas dasar itu, orang awam wajib mengetahuikondisi orang yang hendak ditanyai pendapatnya 33F
xxxiv.
Lalu, jika keadilan seorang mujtahid tidak diketahui, apakah
seseorang dituntut untuk menelitinya? Menurut Imam al-Ghazali,
seorang awam tidak dituntut untuk meneliti keadilan seorang
Mujtahid yang tidak dikenalnya. Sebab, fakta menunjukkan, jika
seorang masuk ke sebuah negeri, ia hanya wajib bertanya siapa orang
alim di negeri itu, dan tidak dituntut untuk membuktikan
keadilannya. Demikian juga jika orang awam tidak tahu keilmuan
Mujtahid, ia tidak dituntut untuk menelitinya. Sebab, orang alim yang
sudah terkenal di suatu negeri, dan dikenal oleh masyarakat
setempat, maka keadilan dan keilmuannya bisa
dipertanggungjawabkan, dan orang awam tidak perlu melakukan
kajian secara lebih mendalam mengenai keilmuan dan
keadilannya34F
xxxv
.
Jika seorang diketahui kefasikannya, ia tidak boleh ditanyai
pendapatnya. Sebaliknya, jika seorang mufti diketahui keadilannya,
maka seorang awam baru boleh bertanya meminta fatwanya 35Fxxxvi.
Jika seorang awam tidak mengetahui hal ihwal mufti (yang hendak
dimintai fatwanya), ia tidak perlu menolaknya, akan tetapi ia harus
bertanya terlebih dahulu mengenai keadilannya. Ini ditujukan agar ia
terhindar dari kedustaan dan kejahatan dari mufti tersebut.
Sesungguhnya, jiwa seorang mufti sudah terkenal memberikan fatwa
di suatu negeri, maka biasanya ia juga terkenal memiliki keadilan.
Sedangkan untuk menetapkan keadilan dan keilmuan seorang mufti,
seorang awam cukup menyandarkan kepada persangkaan kuatnya
(ghalabat al-dzan) yang didasarkan pada perkataan satu atau dua
-
7/29/2019 kadah taqlid
33/127
21
orang adil, dan tidak harus bersandar pada bukti yang menyakinkan
(qath'iy). Jika ada satu atau dua orang adil mengatakan bahwa mufti
ini adil, maka seorang awam boleh mengambil fatwa dari orangtersebut .36 F xxxvii
Jika Di Sebuah Negeri Hanya Ada Seorang
Mufti Saja
Jika di sebuah negeri hanya ada seorang mufti saja, seorang awam
wajib merujuk kepada mufti tersebut. Namun, jika di sebuah negeri
terdapat banyak mufti, maka ia bisa bertanya kepada siapa saja, dan
tidak wajib hanya merujuk kepada salah satu mufti saja; seperti
halnya pada masa shahabat ra. Ada sebagian orang yang
berpendapat, bahwa seorang awam wajib mengikuti mufti yang
paling utama (afdlal). Jika orang-orang awam hendak meminta fatwa,
maka mereka memilih salah satu diantara mufti-mufti itu. Menurut
al-Ghazali, pendapat semacam ini bertentangan dengan ijma'
shahabat. Sebab, shahabat-shahabat yang paling utama dan kesohor
tidak pernah menghalang-halangi orang awam untuk meminta fatwa
kepada shahabat-shahabat lain yang keutamaan lebih rendah.
Sesungguhnya, orang-orang awam hanya diwajibkan merujuk kepada
mufti yang diketahui adil dan memiliki ilmu. Seluruh shahabat telah
memahami masalah ini.37 F
xxxviii
Namun demikian, jika dua orang mufti memfatwakan hukum yangberbeda, maka; jika kedua orang mufti itu diketahui sama-sama adil
dan alim, maka orang awam boleh memilih salah satu diantara dua
mufti tersebut. Namun, jika diketahui bahwa salah seorang diantara
mufti-mufti tersebut adalah yang lebih adil dan alim, maka ia wajib
mengikuti mufti yang diyakininya lebih adil dan alim tersebut.
Misalnya, jika seseorang menyakini bahwa Imam Syafi'iy lebih alim
dibandingkan imam-imam yang lain, maka ia wajib mengikuti
-
7/29/2019 kadah taqlid
34/127
22
pendapat Imam Syafi'iy dan dilarang mengambil pendapat imam lain
yang bertentangan dengan pendapat Imam Syafi'iy38Fxxxix
, hanya karena
ingin mengikuti hawa nafsunya. Keadaan ini mirip dengan seorangmufti yang harus melakukan tarjih diantara dua dalil yang
bertentangan. Sedangkan tarjih yang bisa dilakukan oleh kalangan
awam adalah mengikuti pendapat mufti yang dianggapnya lebih alim
dan adil.39F
xlAkan tetapi, bukan berarti seorang awam mesti harus
selalu merujuk kepada seorang Mujtahid saja. Seorang muqallidsah-
sah saja mengikuti seorang mujtahid untuk satu kasus, dan mengikuti
mujtahid yang lain untuk kasus yang berbeda. Akan tetapi, seorang
awam tidak diperbolehkan mengikuti pendapat dua orang mujtahid
untuk satu kasus yang sama. Sebab, hukum syara' atas satu
perbuatan harus berjumlah satu dan tidak boleh berbilang.40 Fxli
Jika seseorang telah berbulat tekad dan mengambil keputusan untuk
mengikuti satu madzhab tertentu, maka ia tidak boleh mengambil
pendapat selain pendapat madzhab yang dipilihnya itu. Namun
demikian, ada pula yang berpendapat diperbolehkan dirinyamengambil pendapat mujtahid lainnya, sekiranya pendapat mujtahid
lain tersebut lebih kuat dibandingkan pendapat imam madzhabnya.41 F xlii
-
7/29/2019 kadah taqlid
35/127
23
BAB III
REALITAS TAQLID
ada dasarnya, taqlid adalah mengikuti pendapat orang lain
tanpa hujjah yang bersifat mengikat. Oleh karena itu, sisi yang
dipentingkan dalam taqlid adalah mengikuti pendapat orang
lain; tanpa memandang lagi siapa yang melakukan taqlid; apakah
seorang mujtahid atau muqallid. Sebab, seorang mujtahiddiperbolehkan mengikuti pendapat mujtahid lain dalam satu
masalah, meskipun ia sendiri ahli dalam berijtihad. Benar, pada
konteks awalnya, seorang mujtahid jika telah berijtihad hingga
melahirkan sebuah hukum; dia dilarang mengikuti pendapat
Mujtahid lain. Namun, jika ia tidak melakukan ijtihad dalam suatu
masalah maka ia diperbolehkan taqlid kepada mujtahid yang lain.42F
xliii
Dalam kondisi semacam ini, mujtahid tersebut disebut muqallid
dalam satu masalah itu saja. Ini menunjukkan, bahwa suatu pendapatyang digali oleh seorang mujtahid kadang-kadang diikuti oleh seorang
mujtahid lain, atau diikuti oleh seorang muqallid.
Adapun realitas taqlidnya seorang mujtahid dan muqallid dapat
diperinci sebagai berikut.
P
-
7/29/2019 kadah taqlid
36/127
24
Fakta "Taqlidnya Seorang Mujtahid"
Seorang mujtahid yang memiliki kemampuan dan keahlian ijtihad
dalam suatu masalah, atau semua hal, jika ia berijtihad hingga
melahirkan suatu hukum syariat; ia tidak boleh bertaqlid kepada
mujtahid lainnya.43Fxliv
Ia juga tidak diperbolehkan meninggalkan hasil
ijtihadnya, kecuali karena empat sebab;
a. Ijtihadnya Terbukti LemahTerbukti dengan sangat jelas, bahwa dalil-dalil yang dijadikan
sandaran pendapatnya lemah, sedangkan dalil yang
diketengahkan oleh mujtahid lain lebih kuat. Dalam kondisi
semacam ini, seorang mujtahid wajib meninggalkan pendapatnya
dan mengikuti dalil yang lebih kuat. Haram baginya tetap
bersikukuh dengan pendapatnya yang telah terbukti lemah.44F
xlvIa
tidak boleh menolak untuk mengambil hukum baru yang digali
oleh mujtahid baru, atau hukum yang belum pernah dinyatakanoleh para mujtahid sebelumnya. Sebab, yang jadi patokan adalah
kekuatan dalilnya, bukan banyaknya orang yang menyatakan
pendapat itu, atau pendapat itu telah dikemukan ulama-ulama
dahulu. Selain itu, berpendapat dan beramal dengan pendapat
yang lebih rajih adalah wajib. Para shahabat ra bersepakat
memilih pendapat yang lebih rajih dalam berbagai masalah
hukum yang bertentangan. Oleh karena itu, kewajiban untuk
berpendapat dan beramal dengan pendapat yang rajih
didasarkan pada ijma' shahabat. Contohnya, para shahabat lebih
memilih khabar dari 'Aisyah ra daripada khabarnya Abu Hurairah,
mengenai masalah puasanya orang junub. Sebab, mereka
memahami, bahwa 'Aisyah lebih memahami Rasulullah saw
daripada Abu Hurairah ra45Fxlvi
. Selain itu, betapa banyak ijtihad
para shahabat yang terbukti kelemahannya di masa berikutnya.
-
7/29/2019 kadah taqlid
37/127
25
Jika seorang mujtahid menyadari kelemahan dalilnya, sedangkan
dalil mujtahid lain lebih kuat berdasarkan tarjih yang ia lakukan
terhadap sebagian dalil, maka dalam kondisi semacam inimujtahid tersebut adalah seorang muqallid. Sebab, keadaan
mujtahid tersebut seperti halnya seorang muqallid yang
mentarjih atas suatu pendapat. Namun, jika ia menyadari
kelemahan dalilnya dan dalil mujtahid lain jelas-jelas lebih kuat
berdasarkan penelitian dan istinbathnya terhadap dalil, hingga
melahirkan suatu kesimpulan seperti kesimpulan mujtahid
lainnya itu, maka dalam kondisi semacam ini ia bukanlah seorang
muqallid, akan tetapi, ia tetap dianggap seorang mujtahid yang
telah menyadari kesalahan ijtihadnya yang pertama (qaul qadim),
kemudian ia mengadopsi ijtihadnya yang baru (qaul jadid). Hal
semacam ini seringkali dilakukan oleh Imam Syafi'iy ra.xlvii
b. Meyakini Mujtahid Lain Lebih MumpuniJika seorang mujtahid memandang mujtahid lain lebih mumpuni
dan lebih ahli dalam suatu masalah; lebih banyak menguasai
dalil-dalil sam'iyyah, lebih kuat dalam memahami dalil-dalil
syara', dan lain sebagainya. Lalu, ia melakukan tarjih dengan
sebuah keyakinan bahwa mujtahid tersebut lebih dekat dengan
kebenaran dalam masalah tertentu, maka, dalam kondisi
semacam ini, ia boleh meninggalkan pendapatnya, dan mengikuti
pendapat mujtahid lain yang dianggapnya lebih paham dan lebih
menguasai bidang tersebut. Imam al-Sya'biy menuturkan, bahwaAbu Musa pernah meninggalkan pendapatnya karena mendengar
pendapat Ali ra; Zaid juga meninggalkan pendapatnya dan
mengikuti pendapatnya Ubay bin Ka'ab, 'Abdullah bin Umar
meninggalkan pendapatnya dan mengikuti pendapat Umar bin
Khaththab. Juga dituturkan dalam sebuah hadits, bahwa Abu
Bakar dan Umar meninggalkan pendapatnya, dan mengikuti
pendapat Ali ra. Ini menunjukkan, bahwa seorang mujtahid bisa
-
7/29/2019 kadah taqlid
38/127
26
saja mengikuti pendapat mujtahid lain didasarkan pada
ketsiqahannya (kepercayaannya) kepada mujtahid yang lain itu.
Akan tetapi, hal ini hukumnya hanyalah mubah bagi seorangmujtahid, dan tidak wajib.
xlviii
c. Jika Kepala Negara Telah Melegalisasi Hukum TertentuJika kepala negara memutuskan untuk melegalisasi sebuah
hukum yang digali oleh mujtahid lain. Dalam kondisi semacam
ini, ketetapan kepala negara wajib untuk diikuti dan dilaksanakan
oleh seorang mujtahid, meskipun pendapat tersebut
bertentangan dengan pendapatnya. Ia mesti beramal dengan
pendapat yang dilegalisasi kepala negara, bukan pendapat
dirinya sendiri. Imam al-Amidiy menuturkan, bahwa para 'ulama
telah sepakat mengenai tidak bisa dihapuskannya ketetapan
penguasa dalam masalah-masalah ijtihadiyyah demi
kemaslahatan hukum. Namun, ketetapan penguasa bisa saja
dihapus jika bertentangan dengan nash-nash qath'iy. Jika
ketetapan penguasa (khalifah) bertentangan dengan dalil-dalil
dzanniy, maka ketetapannya tidak bisa dihapus.xlix
Masih menurut Imam al-Amidiy, para 'ulama telah sepakat
mengenai ketidakbolehan seorang khalifah melegalisasi hukum
yang bertentangan dengan hasil ijtihadnya dan taqlid kepada
mujtahid lain. Dalam kondisi semacam ini ketetapan hukum
khalifah bisa batal. Ini jika khalifah tersebut seorang mujtahid.Jika seorang khalifah taqlid kepada seorang imam, kemudian ia
mengadopsi hukum yang bertentangan dengan pendapat
imamnya; hal ini harus dilihat dahulu. Jika ia berpendapat boleh
taqlid kepada imam yang lain, maka ketetapannya tidak batal.
Jika ia berpendapat tidak boleh taqlid kepada imam yang lain,
maka keputusannya bisa dihapuskan.l
-
7/29/2019 kadah taqlid
39/127
27
d. Menjaga Kesatuan dan Persatuan Kaum MuslimJika dalam kondisi tertentu, kaum Muslim harus berbulatpendapat demi menjaga kepentingan bersama dan demi utuhnya
persatuan dan kesatuan kaum Muslim, maka seorang mujtahid
bisa saja meninggalkan pendapatnya demi tujuan-tujuan
tersebut. Dalilnya adalah ijma' shahabat ra saat membai'at
'Abdurrahman bin 'Auf. Diriwayatkan, bahwa 'Abdurrahman bin
'Auf setelah bertanya kepada masyarakat baik secara terang-
terangan maupun rahasia, beliau lantas mengumpulkan
masyarakat di dalam masjid. Ia naik mimbar dan memanjatkan
doa panjang sekali. Setelah itu ia memanggil 'Ali bin Abi Thalib
seraya menggenggam tangannya. 'Abdurrahman bertanya
kepada 'Ali ra, "Apakah anda bersedia membai'atku untuk
memerintah sesuai dengan Kitabullah, Sunnah RasulNya, serta
ijtihadnya Abu Bakar dan Umar? Ali menjawab, "Aku akan
membaitmu atas dasar Kitabullah, Sunnah RasulNya, dan
ijtihadku." 'Abdurrahman bin 'Auf melepaskan tangannya.
Kemudian ia memanggil 'Utsman bin 'Affan, dan bertanya,
"Apakah anda bersedia membai'atku berdasarkan Kitabullah,
Sunnah RasulNya, dan ijtihadnya Abu Bakar dan 'Umar? 'Utsman
menjawab, "Allaahumma, bersedia." 'Abdurrahman
mendongakkan kepalanya ke atas masjid, sedangkan tangannya
masih memegang tangan 'Utsman bin 'Affan; dan berkata tiga
kali, "Ya Allah, dengarkanlah dan saksikanlah." Lalu, ia membaiat
'Utsman bin 'Affan, dan seluruh yang ada di masjid membaiat'Utsman bin 'Affan.
li
Dari kisah di atas terlihat dengan jelas, bahwa 'Abdurrahman
telah meminta seorang mujtahid, yakni 'Ali bin Abi Thalib untuk
meninggalkan ijtihadnya dan mengikuti ijtihadnya Abu Bakar dan
Umar ra dalam seluruh masalah. Para shahabat pun menyetujui
tindakan 'Abdurrahman bin 'Auf dan kemudian membaiat
-
7/29/2019 kadah taqlid
40/127
28
'Utsman bin 'Affan. Bahkan, Ali yang menolak untuk
meninggalkan ijtihadnya juga turut membaiat 'Utsman bin 'Affan.
Akan tetapi, ketentuan semacam ini tidaklah wajib bagi seorangmujtahid. Buktinya, 'Ali ra tidak bersedia meninggalkan
ijtihadnya. Tindakan 'Ali ini juga tidak diingkari oleh satupun
shahabat; ini berarti menunjukkan kemubahan (jaiz), bukan
kewajiban.lii
Inilah beberapa fakta taqlidnya seorang mujtahid kepada mujtahid
lain karena sebab-sebab tertentu.
Namun demikian, jika seorang mujtahid belum berijtihad untuk suatu
masalah, maka ia diperbolehkan taqlid kepada mujtahid lain, dan
tidak melakukan ijtihad dalam masalah itu. Sebab, hukum ijtihad
adalah fardlu kifayah, bukan fardlu 'ain. Jika seorang mujtahid
dihadapkan pada suatu masalah baru, maka ia tidak wajib melakukan
ijtihad dalam masalah tersebut. Akan tetapi, ia boleh saja berijtihad
maupun taqlid kepada mujtahid lain dalam masalah tersebut. Dalam
sebuah riwayat dituturkan, bahwa 'Umar pernah berkata kepada Abu
Bakar, "Lebih baik kami mengikuti pendapat anda." Dituturkan juga,
bahwa Ibnu Mas'ud pernah mengambil pendapat 'Umar bin
Khaththab. Perkara ini telah masyhur dan disaksikan oleh para
shahabat, dan mereka tidak pernah mengingkari perbuatan Umar
maupun Ibnu Ma'sud. Walhasil, bolehnya seorang mujtahid taqlid
kepada mujtahid lain merupakan konsensus para shahabat (ijma'
sukutiy). Sedangkan ijma' shahabat absah digunakan sebagai dalilsyara'
liii.
Taqlidnya Seorang Muqallid
Adapun taqlidnya seseorang yang bukan mujtahid, baik muqallid
mutabbi' dan 'amiy dapat dirinci sebagai berikut. Pada dasarnya, jika
seorang muqallid di hadapkan pada satu masalah, ia wajib bertanya
-
7/29/2019 kadah taqlid
41/127
29
kepada orang yang ia ketahui alim dan adil mengenai hukum atas
masalah tersebutliv
. Sebab, Allah swt tidak akan menerima ibadah
yang didasarkan pada ketidaktahuan atau kebodohan. Ibadah harusdidasarkan pada ilmu. Allah swt berfirman;
"Dan bertaqwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan
Allah Maha Mengetahui segala sesuatu."[al-Baqarah:282].
Maknanya, Allah swt telah mengajarkan segala sesuatu kepada kamu
sekalian. Dengan demikian, ilmu itu sebelum taqwa. Sebab, perintah
untuk bertaqwa kepada Allah hanya akan tercapai jika ia telah diajari
dengan ilmu pengetahuan.
Di sisi yang lain, salah satu syarat agar amal perbuatan seseorang
diterima Allah swt adalah benar (shawab) sesuai dengan tuntunan
syariat Islam. Imam Fudlail bin Iyadl tatkala ditanya tentang ihsaan
al-amal, beliau menyatakan, "Sebuah amal baru bisa dikatakan
sebagai amal yang ihsan, tatkala amal tersebut memenuhi dua
prasyarat. Pertama, ikhlash. Kedua,benar.
Pertama, ikhlash. Ikhlash adalah, berbuat semata-mata mencari ridla
Allah swt. Banyak ayat yang memerintahkan seorang Muslim untuk
berbuat hanya untuk mendapatkan ridlo Allah swt, alias ikhlash.
Diantaranya adalah firman Allah swt, sebagai berikut:
"Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah
Allah dengan memurnikan keta`atan kepada-Nya dalam
(menjalankan) agama dengan lurus, dan supaya mereka
-
7/29/2019 kadah taqlid
42/127
30
mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian
itulah agama yang lurus". [al-Bayyinah:5]
Rasulullah saw bersabda, artinya, Sesunggguhnya amal itu
tergantung dengan niatnya.[muttafaq alaih].
Kedua,benar. Prasyarat berikutnya adalah benar. Imam Fudlail bin
Iyyadl menyatakan bahwa benar di sini adalah berbuat sesuai
dengan al-Quran dan Sunnah. Allah swt berfirman:
"Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia.
Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah.[al-
Hasyr:7]
Perbuatan seorang muslim tidak akan diterima oleh Allah swt, bila
tidak memenuhi dua prasyarat di atas. Kedua-duanya harus adatatkala seseorang mengerjakan sebuah amal. Meskipun seorang
muslim ikhlash dalam beramal, akan tetapi amalnya tersebut tidak
sesuai dengan hukum-hukum Islam, maka amal tersebut tertolak.
Sebaliknya, meskipun amal perbuatannya sesuai dengan al-Quran
dan Sunnah, namun tidak dilandasi dengan keikhlasan kepada Allah,
maka perbuatannya juga tertolak.
Dalam sebuah hadits shahih disebutkan:
-
7/29/2019 kadah taqlid
43/127
31
"Nabi saw bersabda, "Orang yang melakukan penipuan akan
dimasukkan ke dalam api neraka, dan barangsiapa
mengerjakan suatu perbuatan yang tidak diperintahkankami, maka perbuatan itu tertolak."[HR. Bukhari]
Di dalam riwayat lain, juga dituturkan:
"Dari 'Aisyah ra, ia berkata, bahwasanya Rasulullah saw
bersabda," Siapa saja yang membuat-buat perkara baru
dalam urusan kami, padahal urusan itu tidak diperintahkan,
maka perkara itu tertolak." [HR. Bukhari; hadits ini
diriwayatkan oleh 'Abdullah bin Ja'far al-Makhramiy, 'Abdul
Wahid bin Abi Aun, dari Sa'id bin Ibrahim]; dan masih banyak
hadits-hadits lain yang menerangkan masalah ini.
Agar perbuatan memenuhi syarat yang kedua, yakni benar, maka
sudah seharusnya bagi seorang Muslim belajar dan memahami
ketentuan-ketentuan Allah swt (syariat Allah). Tanpa memahami
ketentuan Allah swt, seorang Muslim mustahil bisa berbuat sesuai
dengan tuntunan Allah dan RasulNya. Dari sini bisa disimpulkan,
bahwa memahami syariat Islam yang berhubungan erat dengan amal
perbuatan, adalah aktivitas yang sangat urgen. Tanpa belajar hukum
syariat, kita tidak bisa menilai apakah perbuatan yang kita lakukan
telah sesuai dengan syariat atau belum. Padahal, benar dalam
beramal sesuai dengan tuntunan al-Quran dan Sunnah
merupakan salah satu syarat agar amal kita diterima oleh Allah swt.
-
7/29/2019 kadah taqlid
44/127
32
Zaid bin Zubeir berkata, "Tidaklah diterima suatu perkataan
melainkan diiringi dengan perbuatan, dan tidak akan diterima
perkataan dan amal kecuali dengan niat; dan tidak akan diterimaperkataan, amal, dan niat kecuali sesuai dengan sunnah Nabi saw."
lv
Imam Malik pernah berkata, "Sunnah adalah perahu Nabi Nuh.
Barangsiapa yang menumpanginya, maka ia akan selamat, dan
barangsiapa yang tidak menumpanginya akan tenggelam."lvi
Dengan demikian, seorang Muslim wajib memahami hukum syariat
sebelum melaksanakan suatu perbuatan. Sebab, ia diperintahkan
untuk beribadah kepada Allah dengan ilmu dan pengetahuan.
Bagi orang yang tidak bisa menggali hukum syariat langsung dari
dalil-dalil syariat; atau tidak bisa melakukan ijtihad; satu-satunya
jalan untuk memahami hukum syariat adalah bertanya kepada orang
paham syariat. Dengan kata lain, seorang muqallid wajib bertanya
mengenai hukum syariat kepada orang yang paham syariat sebelum
ia melaksanakan suatu perbuatan. Orang-orang awam di masa
shahabat ra tak henti-hentinya meminta fatwa kepada para mujtahid,
dan taqlid kepada mereka dalam masalah hukum syariat. Bahkan,
hampir-hampir mereka hanya bertanya mengenai status hukumnya
saja, tanpa pernah bertanya dalil-dalil yang digunakan istinbath oleh
para mujtahid yang mereka ikuti. Namun, para shahabat tidak pernah
melarang mereka, dan tidak seorangpun shahabat yang mengingkari
praktek demikian. Ini menunjukkan, bahwa taqlidnya orang awamkepada orang alim telah menjadi ijma para shahabat.
lvii
-
7/29/2019 kadah taqlid
45/127
33
Seorang Muqallid Boleh Mengajarkan
Ilmu Yang Ia KetahuiSeorang muqallid, selain boleh bertanya, atau taqlid terhadap
seorang mujtahid dalam masalah-masalah tertentu, ia juga
diperbolehkan belajar, dan mengajarkan ilmu tersebut kepada orang
lain. Tidak ada larangan baginya untuk mengajarkan hukum syariat
yang telah diketahuinya kepada orang lain.lviii
Jika seorang muqallid telah mengadopsi hukum syariat yangdiistinbathkan oleh seorang mujtahid, menyakini kebenarannya, dan
menjadikannya sebagai hukum syariat atas dirinya, maka ia wajib
beramal sesuai dengan hukum syariat tersebut. Ia dilarang beramal
dengan hukum syariat lain yang diistinbathkan oleh mujtahid lain.
Sebab, hukum syariat bagi dirinya adalah hukum syariat yang telah ia
tetapkan dan ia yakini kebenarannya. Sedangkan hukum syariat yang
berbeda dengan hukum syariat yang diadopsinya, bukanlah hukum
syariat (hukum Allah) bagi dirinya. Oleh karena itu, seorang muqallid
tidak boleh mengajarkan kepada orang lain, hukum syariat yang
berbeda dengan apa yang telah diadopsinya agar orang lain tersebut
beramal dengan pendapat itu. Bahkan, ia tidak boleh menyatakan,
bahwa pendapat tersebut adalah pendapat dirinya. Sebab, hukum
syariat yang tidak ia yakini kebenarannya bukanlah hukum syariat
bagi dirinya.lix
Hanya saja, seorang muqallid yang telah mengetahui
suatu hukum, maka ia wajib mengajarkannya kepada orang lain. Ia
boleh mengajarkan apa saja yang ia ketahui kepada orang lain,
namun, ia tidak boleh memerintahkan orang lain untuk beramal
dengan hukum yang tidak diadopsi menjadi pendapatnya. Ia hanya
boleh mengatakan, bahwa hukum ini menurut 'ulama ini adalah
begini, sedangkan yang lain adalah begini; sedangkan menurut saya
yang benar adalah pendapat ulama ini.lx
Sebab, jika ia
memerintahkan seseorang beramal dengan hukum yang tidak
-
7/29/2019 kadah taqlid
46/127
34
diadopsinya, sama artinya ia memerintahkan seseorang untuk
beramal tidak dengan syariat Allah atas hak dirinya.lxi
Misalnya, seorang muqallid telah mengadopsi pendapat; nikah tanpa
wali adalah sah. Berarti, hukum syariat bagi dirinya adalah nikah
tanpa wali sah. Tatkala dirinya telah mengadopsi hukum ini, berarti,
ia wajib beramal dengan hukum tersebut, dan tidak boleh beramal
dengan hukum lain; misalnya nikah sah tanpa wali. Ia juga tidak boleh
mengajarkan "hukum nikah tanpa wali tidak sah"kepada orang lain,
agar orang lain itu beramal dengan hukum tersebut. Sebab, "hukum
nikah tanpa wali tidak sah"bukanlah hukum syariat bagi dirinya. Jika
ia menyuruh orang untuk beramal dengan hukum ini, sama artinya ia
menyuruh orang lain untuk berbuat tidak dengan hukum Allah atas
hak dirinya.
Benar, seorang muqallid wajib menyampaikan semua hukum yang ia
ketahui kepada orang lain. Ia dilarang menyembunyikan atau
merahasiakan ilmu kepada orang lain. Dalam satu hadits dituturkan,
bahwa Rasulullah saw bersabda, "
"Siapa saja yang ditanya tentang suatu ilmu yang
diketahuinya, kemudian ia menyembunyikan ilmu tersebut,
maka ia akan diberi tali kendali pada hari kiamat dengan tali
kendali dari api". [HR. Turmidziy]
Kata "ilmu" di sini bersifat umum, mencakup semua ilmu yang ia
ketahui, baik sedikit maupun banyak. Seorang Muslim dilarang
menyembunyikan ilmu yang ia ketahui kepada orang lain.
-
7/29/2019 kadah taqlid
47/127
35
Hanya saja, orang yang belajar kepada pengajar tidak dianggap taqlid
kepada pengajar itu; namun, ia tetap muqallid kepada mujtahid yang
menggali hukum syariat yang diajarkan oleh pengajar tersebut.Pengajar tersebut hanya berkedudukan sebagai pengajar saja, tidak
lebih. Sebab, taqlid tidak pernah terjadi kecuali kepada seorang
mujtahid. Walaupun pengajar tersebut memiliki kemampuan ilmu
yang luar biasa, bahkan disebut 'ulama, akan tetapi orang yang diajari
tetap tidak boleh taqlid kepada sang pengajar itu. Orang yang diajari
hanya boleh belajar kepada sang pengajar, tapi tidak boleh taqlid
kepadanya.lxii
Ketentuan Seorang Muqallid Di Hadapan
Dua Pendapat
Seorang muqallid tidak boleh memilih begitu saja dua pendapat yang
bertentangan; seperti halnya jika para mujtahid berbeda pendapat
dalam satu masalah. Bila seorang muqallid dihadapkan pada dua
hukum syariat yang berbeda ia diwajibkan untuk mentarjih salah satu
pendapat diantara dua pendapat tersebut. Seorang muqallid tidak
boleh menganggap, bahwa dua hukum syariat yang berbeda itu, jika
dinisbahkan kepada dirinya, adalah satu hukum syariat bagi dirinya;
sehingga ia boleh memilih begitu saja dua pendapat tersebut.
Akibatnya, ia memilih hukum syariat berdasarkan keinginan hawa
nafsunya. Kadang-kadang ia memilih pendapat mujtahid ini, kadang-
kadang memilih pendapat mujtahid lainnya untuk memenuhi
keinginan-keinginannya yang terus berubah. Jika ia menginginkan
hukum mubah, ia ikuti mujtahid yang mengeluarkan pendapat
mubah. Jika ia ingin hukum haram, ia ikuti mujtahid yang
mengharamkan dan seterusnyalxiii
.
-
7/29/2019 kadah taqlid
48/127
36
Padahal, hal semacam ini jelas-jelas dilarang di dalam Islam. Sebab,
Allah swt melarang kaum Muslim berhukum berdasarkan
kepentingan hawa nafsu. Alloah swt berfirman,"
"Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin
menyimpang dari kebenaran."[al-Nisaa':135]
Selain itu, hukum syariat bagi seorang Mukmin hanyalah satu, tidak
boleh berbilang. Jika ia telah mengadopsi suatu hukum, maka hukum
tersebut adalah hukum Allah bagi dirinya, sedangkan yang lain,
bukanlah hukum syariat bagi dirinya. Dalam keadaan semacam ini, ia
tidak boleh memilih dan berbuat dengan dua hukum syariat; atau
berhukum dengan syariat yang tidak diadopsinya.lxiv
Jika seorang muqallid dihadapkan pada berbagai pendapat (hukum
syariat) yang dikeluarkan oleh seorang mujtahid, ia wajib melakukan
tarjih hingga menetapi satu hukum syariat. Bagi seorang muqallid,
kedudukan dua orang mujtahid yang mengeluarkan pendapat
(hukum syariat) yang bertentangan, tak ubahnya dengan seorang
mujtahid yang menghadapi dua dalil yang bertentangan. Seperti
halnya seorang mujtahid yang harus mentarjih dua dalil yang
bertentangan tersebut, seorang muqallid juga wajib mentarjih dua
pendapat yang dikeluarkan oleh dua orang mujtahid. Seorang
muqallid dilarang memilih salah satu pendapat diantara pendapat-
pendapat yang ada menurut kehendak dan hawa nafsunya. Sebab,
jika hal semacam ini diperbolehkan bagi seorang muqallid, tentunyaseorang penguasa atau hakim juga boleh memutuskan suatu perkara
berdasarkan kehendak dan hawa nafsunya. Padahal, hal ini jelas-jelas
bertentangan dengan ijma' shahabat dan nash yang sharih.lxv
Allah
swt berfirman, "
"maka, putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah
turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka
-
7/29/2019 kadah taqlid
49/127
37
dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang
kepadamu."[al-Maidah:49]
Atas dasar itu, jika seorang muqallid dihadapkan pada perbedaan dan
perselisihan pendapat antara dua orang mujtahid; ia wajib
mengembalikan perselisihan dan perbedaan pendapat itu kepada
Allah dan RasulNya; yakni merujuk kepada pendapat yang lebih rajih
(kuat). Sesungguhnya, mengembalikan perselisihan dan perbedaan
pendapat kepada Allah swt dan RasulNya akan menjauhkan seorang
muqallid dari mengikuti hawa nafsu dan syahwat. Walhasil, seorang
muqallid wajib melakukan tarjih jika dihadapkan pada dua pendapat
yang bertentangan. Dengan kata lain, ia wajib memilih satu pendapat
berdasarkan kaedah tarjih yang diridloi Allah swt dan RasulNya
lxvii
lxvi.
Sebab, ia tidak mungkin beramal dengan dua hukum yang saling
bertentangan, tanpa melakukan tarjih terlebih dahulu .
Adapun mengenai cara-cara muqallid melakukan tarjih diterangkan
pada bab berikutnya.
-
7/29/2019 kadah taqlid
50/127
38
BAB IV
TARJIHNYA SEORANG MUQALLID
Tarjihnya Seorang Muqallid
eringkali seorang muqallid harus mentarjih seorang mujtahid
atas mujtahid yang lain, atau satu hukum atas hukum yang lain.
Ini didasarkan kenyataan, bahwa seorang Muslim; baikmujtahid maupun muqallid, wajib beramal dengan satu hukum saja.
Ia dilarang beramal dengan dua hukum yang bertentangan. Dalam
kondisi semacam ini, seorang seorang Muslim diwajibkan untuk
melakukan tarjih atas pendapat-pendapat yang ada.lxviii
Adapun tarjih yang lazim dilakukan seorang muqallid sebelum
menetapi suatu pendapat --baik tarjih terhadap seorang mujtahid
atas mujtahid lainnya, maupun sebuah hukum syariat atas hukum
syariat yang lain--, adalah a'lamiyyah dan al-fahmulxix
. Qadli al-
Nabhani menuturkan sebuah riwayat dari Ibnu Mas'ud, bahwasanya
beliau ra pernah ditanya oleh Rasulullah saw, "Wahai 'Abdullah bin
Mas'ud!" Saya menjawab, "Ada apa yang Rasulullah?" Rasulullah
saw melanjutkan, "Tahukan engkau siapakah manusia yang paling
paham? Saya menjawab, "Allah dan RasulNya lebih memahami."
S
-
7/29/2019 kadah taqlid
51/127
39
Rasulullah saw bersabda, "Manusia yang paling paham adalah orang
yang paling mengerti kebenaran ketika manusia berselisih paham;
meskipun ia sedikit amalnya dan berjalan merayap denganpantatnya."
lxx.
Atas dasar itu, muqallid harus mentarjih (menguatkan) orang-orang
yang ia ketahui keilmuan dan keadilannya. Ini didasarkan kenyataan,
bahwa keadilan adalah syarat diterimanya kesaksian dari seorang
saksi.
lxxii
lxxiii
lxxiJika orang yang bersaksi tidak adil, maka kesaksian dan
beritanya harus ditolak. Oleh karena itu, seorang peneliti hadits
hanya akan menerima riwayat-riwayat yang dituturkan oleh perawi-
perawi yang adil. Begitu pula seorang muqallid, ia mesti mengetahui
bahwa orang yang menyampaikan suatu hukum syariat kepadanya
adalah orang-orang yang keadilannya tidak perlu dipertanyakan.
Seorang muqallid dilarang bertanya atau meminta fatwa dari orang-
orang fasiq . Atas dasar itu, keadilan merupakan patokan dasar bagi
seorang muqalliduntuk menerima pendapat dari seorang mufti. Jika
orang yang menyampaikan hukum syariat kepadanya adalah orang
yang adil, baik mujtahidmaupun seorang mu'allim (pengajar); maka
ia wajib menerima hukum syariat tersebut; sebagaimana wajibnya
seorang Muslim menerima khabar ahad yang shahih .
Sedangkan ilmu (al-fahmu) adalah murajih (orang yang dikuatkan).
Misalnya, jika seorang muqallid dihadapkan pada dua pendapat;
misalnya pendapat Imam Syafi'iy dan Imam Maliki, maka, bila dirinya
menyakini bahwa Imam Syafi'iy lebih paham dan lebih benarpendapatnya dibandingkan Imam Malikiy, ia harus memilih pendapat
Imam Syafi'iy. Ia dilarang beramal dengan pendapat yang
bertentangan dengan pendapat Imam Syafi'iylxxiv
, hanya karena
mengikuti kehendak dan hawa nafsunya. Akan tetapi, seorang
muqallid wajib meninggalkan pendapat imamnya, dan mengikuti
pendapat imam yang lain, jika pendapat imam yang lain itu lebih
kuat, sedangkan pendapat imamnya terbukti lemah.
-
7/29/2019 kadah taqlid
52/127
40
Seorang muqallid tidak harus terikat dengan pendapat madzhab
tertentu dalam semua masalah. Dalam masalah yang berbeda ia
boleh merujuk kepada imam madzhab yang lain. Misalnya, seorangmuqallid merujuk merujuk kepada pendapat imam Malik dalam
masalah puasa, sedangkan untuk masalah zakat merujuk kepada
imam Syafi'iy. Yang tidak diperbolehkan adalah, dalam satu masalah
mengikuti dua pendapat imam madzhab. Contohnya, seorang
muqallid merujuk kepada imam Malik dan Syafi'iy dalam masalah
yang sama, sholat misalnya. lxxv
Walhasil, obyek yang ditarjih dalam taqlid ada dua macam. Pertama,
obyek tarjih yang bersifat umum (murajjih al-'aam); yakni tarjih yang
berkaitan dengan orang yang hendak diikuti oleh seorang muqallid;
misalnya apakah ia hendak memilih Imam Malik atau Imam Syafi'iy.
Kedua, obyek tarjih yang bersifat khusus (murajjih khaash); yakni
tarjih yang berhubungan hukum syariat yang hendak diikutinya.
Kedua obyek yang hendak ditarjih ini, baik umum maupun khusus,
bisa didekati dengan a'lamiyyah. Untuk masalah-masalah dan
kejadian-kejadian yang terjadi di Madinah di era Imam Malik, maka
Imam Malik dianggap lebih memahami daripada Abu Yusuf.
Sedangkan masalah-masalah dan kejadian-kejadian yang terjadi di
Kufah di era Imam Ja'far, maka beliau dianggap lebih memahami
kejadian dan masalah tersebut dibandingkan Imam Ibnu Hanbal. Ini
jika ditinjau dari sisi masalah-masalah maupun kejadian-kejadian
yang terjadi. Adapun bila ditinjau dari sisi orang yang hendak diikuti,
maka semuanya dikembalikan kepada maklumat-maklumat yangsampai ke telinga seorang muqalliddari seorang mujtahid.
Akan tetapi, a'lamiyyah bukan satu-satunya metode untuk
melakukan tarjih dalam masalah taqlid. Bahkan, a'lamiyyah tidak bisa
disebut sebagai tarjih hakiki (tarjih sebenarnya) jika ditinjau dari sisi
tarjih itu sendiri. A'lamiyyah adalah cara tarjih kepada orang yang
hendak diikuti (ditaqlidi) secara global. Adapun tarjih hakiki (tarjih
-
7/29/2019 kadah taqlid
53/127
41
yang asli atau sebenarnya) adalah tarjih yang dinisbahkan kepada
hukum syariatnya, yakni kekuatan dalil yang menyangga hukum
syariat itu. Namun, karena muqallid tidak mengetahui danmemahami dalil, tentunya, ia akan mentarjih pendapat dengan
metode a'lamiyyah.lxxvi
Muqallid 'Amiy dan Muqallid Muttabi'
Seorang muqallid, baik 'amiy maupun muttabi', boleh saja mengambil
pendapat dari seorang mujtahid jika telah terbukti bahwa pendapattersebut adalah hasil ijtihad; meskipun pembuktiannya berdasarkan
khabar ahad. Jika seorang muqallid menghadapi suatu masalah, dan
ia hanya mengetahui satu pendapat dari seorang mujtahid saja,
sedangkan pendapat-pendapat mujtahid lain dalam masalah itu tidak
ia ketahui; maka ia boleh mengambil hukum dari mujtahid yang ia
ketahui tersebut.lxxvii
lxxviii
Sebab, ia hanya dituntut untuk mengetahui
hukum syariat, bukan mengkaji pendapat para mujtahid. Dalam
kondisi semacam ini, ia tidak dituntut untuk melakukan tarjih. Jikaseorang muqallid mengetahui ragam pendapat dari para mujtahid,
dan hendak mengambil salah satu pendapat diantara pendapat-
pendapat tersebut, maka ia wajib melakukan tarjih. Hanya saja, ia
tidak boleh mengambil salah satu pendapat, atau melakukan tarjih
berdasarkan kehendak hawa nafsunya dan kepentingan-
kepentingannya. Sebab, tujuan diturunkannya syariat adalah agar
manusia tidak berhukum kepada hawa nafsu dan kepentingan-
kepentingannya; sehingga, ia benar-benar beribadah kepada Allahdengan tulus dan ikhlash. Dengan kata lain, ia harus melakukan tarjih
yang syar'iy, bukan tarjih yang ditujukan untuk memperturutkan
kepentingan dan hawa nafsu.
Dari sini bisa dipahami, bahwa tarjih yang dilakukan oleh seorang
muqallid sangatlah beragam, tergantung dari kondisi muqallid itu
sendiri. Benar, a'lamiyyah adalah cara yang lazim digunakan oleh
-
7/29/2019 kadah taqlid
54/127
42
hampir seluruh muqallid untuk mentarjih atau mengikuti suatu
pendapat. Akan tetapi, ada juga cara tarjih yang tidak ditempuh
dengan cara a'lamiyyah.
Biasanya, seorang muqallid 'amiy mengikuti pendapat seorang
mujtahid berdasarkan dua cara.
Pertama, seorang muqallid mengikuti pendapat seorang mujtahid
atau 'ulama berdasarkan kepercayaan dirinya terhadap keilmuan dan
ketaqwaan orang yang diikutinya, seperti kepercayaannya kepada
bapaknya, atau seorang alim ulama. Setelah ia mengetahui keilmuan
dan ketaqwaan orang yang diikutinya, selanjutnya ia taqlid kepada
orang tersebut. Sesungguhnya, tarjih semacam ini tetap bertumpu
pada agama (syariat Islam), bukan bertumpu atau berdasarkan hawa
nafsu.
Kedua, kadang-kadang ada muqallid 'amiy yang mengetahui hukum
syariat dan dalil-dalil mengenai wajibnya belajar fikih, hadits dan
sebagainya. Kemudian, ia mampu membedakan hukum syariat
beserta dalil-dalilnya, mengambil hukum syariat jika didasarkan pada
dalil-dalil syariat, dan ia tidak mengambil hukum syariat yang tidak
disertai dalilnya. Dalam kondisi semacam ini, seorang muqallid 'amiy
tidak boleh mengambil pendapat berdasarkan kepercayaannya
kepada mujtahid, akan tetapi ia harus mengambil hukum syariat
berdasarkan dalil. Dua cara ini lazim dilakukan oleh muqallid 'amiy;
yakni seorang muqallid yang tidak memiliki sebagian pengetahuanyang lazim digunakan untuk ijtihad. Jika muqallid 'amiy berada dalam
dua kondisi ini telah mengetahui dalil, maka ia wajib meninggalkan
pendapat yang didasarkan pada ketsiqahannya (kepercayaannya)
kepada seorang mujtahid. Ia wajib mengambil pendapat berdasarkan
dalil syariat, bukan berdasarkan kepercayaannya terhadap seorang
mujtahid atau ulama. Oleh karena itu, jika seorang muqallid
menyakini bahwa dalil yang dijadikan sandaran mujtahid yang tidak
-
7/29/2019 kadah taqlid
55/127
43
diikutinya lebih kuat, maka ia wajib meninggalkan pendapatnya dan
mengikuti pendapat mujtahid lain itu.lxxix
Namun, jika ia tidak yakin
dengan kekuatan dalil mujtahid yang tidak diikutinya, maka ia tidakharus meninggalkan pendapatnya, dan mengikuti mujtahid lain itu.
Sebab, ia tidak menemukan dalil yang lebih kuat.
Atas dasar itu, seorang muqallid 'amiytidak boleh memilih-milih dan
mengikuti banyak madzhab berdasarkan hawa nafsu dengan
keinginannya. Ia tidak bisa dengan mudah mengambil pendapat dari
madzhab-madzhab yang berbeda untuk setiap masalah yang
dihadapinya. Akan tetapi, ia harus melakukan tarjih bila dihadapkan
banyak pendapat dan madzhab.lxxx
-
7/29/2019 kadah taqlid
56/127
44
BAB V
PINDAH MADZHAB
Ijtihad Mujtahid Adalah Hukum Syariat
Bagi Muqallid
ada dasarnya, Allah swt tidak memerintahkan kaum Muslim
untuk mengikuti pendapat seorang mujtahid. Akan tetapi, Dia
hanya memerintahkan kaum Muslim untuk memahami dan
mengambil hukum syariat, bukan yang lain. Allah swt juga
memerintahkan kita untuk mengambil semua ketentuan yang telah
diturunkan kepada Nabi Mohammad sawlxxxi
. Allah swt telah
berfirman;
"Dan apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalahdia, dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah;
dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat
keras hukumanNya."[al-Hasyr:7]
Berdasarkan ayat ini; seorang Muslim tidak diperbolehkan secara
syar'iy mengikuti seseorang selain Rasulullah saw. Namun demikian,
fakta taqlidtelah menjadikan kaum Muslim mengikuti hukum syariat
P
-
7/29/2019 kadah taqlid
57/127
45
yang digali oleh seorang mujtahid, menjadikannya sebagai imam
mereka; merujuk pendapat-pendapatnya; bahkan menjadikan
mereka sebagai imam madzhab. Semua ini semata-mata dilakukankarena keterbatasan dan ketidakmampuan mereka dalam menggali
hukum syariat langsung dari dalil-dalil syariat. Akibatnya, kita
mengenal pengikut Imam Syafi'iy (Syafi'iyyah), Imam Abu Hanifah
(Hanafiyah), Imam Malik (Malikiyyah), Imam Ibnu Hanbal
(Hanabilah), Zaidiyyah, dan lain sebagainya. Orang-orang ini,
sesungguhnya bukan mengikuti Imam-imam Madzhab tersebut
maupun pendapat pribadi mereka, akan tetapi, mereka mengikuti
hukum syariat yang digali oleh Imam-imam Madzhab tersebut. Oleh
karena itu, apa yang mereka lakukan i
top related