fanatisme mazhab dalam tafsir...

175
FANATISME MAZHAB DALAM TAFSIR HUKUM STUDI TAFSIR AHKÂM AL-QUR’ÂN AL-JASSAS Muqthi Ali, SH., M.Ag

Upload: others

Post on 11-Mar-2020

36 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

FANATISME MAZHAB

DALAM TAFSIR HUKUM STUDI TAFSIR AHKÂM AL-QUR’ÂN AL-JASSAS

Muqthi Ali, SH., M.Ag

FANATISME MAZHAB DALAM TAFSIR HUKUM:

STUDI TAFSIR AHKÂM AL-QUR’ÂN AL-JASSAS

Penulis : Muqthi Ali, SH., M.Ag

Desain Cover : Dicky Hasbi

Tata Letak : Nurkholis Sofwan

Cetakan : Pertama, Agustus 2019

Ukr. 14,5 x 21 cm --- xiv + 163 Hal

ISBN : 978-602-5707-24-7

Diterbitkan Oleh:

Gaung Persada Press

Ciputat Mega Mall Blok C/15

Jl. Ir. H. Juanda No. 34 Ciputat – Tangerang Selatan

Telp. 021 747 075 60, Hp. 081510020395

Email: [email protected]

ANGGOTA IKAPI

© Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

(All Right Reserved)

iii

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah

Swt yang telah memberikan hidayah, rahmat dan ilmu-Nya

kepada penulis, serta berkat-Nya lah penulisan Tesis ini dapat

terselesaikan dengan baik. Salawat dan salam semoga

senantiasa terlimpahcurahkan kepada Nabi Muhammad Saw,

yang telah membina umat manusia menuju jalan yang diriḍai

Allah Swt, dan semoga kita menjadi salah satu umat yang

mendapatkan syafaatnya di akhirat kelak. Amiin

Dalam menyelesaikan Tesis yang berjudul “Fanatisme

Mazhab Dalam Tafsir Hukum (Studi Tafsir Ahkâm Al-Qur’ân

Al-Jassas)” ini tentunya banyak melibatkan berbagai pihak,

maka dari itu penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-

besarnya kepada:

1. Prof. Dr. Hj. Amany Burhanudin Umar Lubis, Lc., M.A.

selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Dr. Yusuf Rahman, M.A, selaku Dekan Fakultas

Ushuluddin, beserta para Wakil Dekan Fakultas

Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Dr. Bustamin, M.Si, selaku Ketua Program Magister

Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin, dan Dr. Fudhoili,

M.Ag, selaku Sekretaris Program Magister Tafsir Hadis

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

4. Dr. Lilik Ummi Kultsum M.Ag dan Dr. Ahsin Sakho

Muhammad selaku Pembimbing I dan II,

5. Segenap dosen civitas akademika Program Magister

Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,

khususnya Program Magister Tafsir Hadis yang tidak

dapat penulis sebutkan satu persatu, atas ilmu dan

motivasi yang telah diberikan selama penulis menempuh

studi di kampus kebanggaan ini.

6. Kedua orang tua penulis, atas didikan, bimbingan,

motivasi, dukungan, semangat dan do‟a restunya kepada

penulis selama ini. Semoga Allah Swt senantiasa

iv

memberikan rahmat, kesehatan dan keselamatan kepada

keduanya di dunia dan akhirat. Amiin. Selanjutnya

kepada istri tercinta penulis (Misra Dewita, S.H., M.H)

atas bantuan, dukungan, dan do‟anya untuk penulis.

7. Kawan-kawan Program Magister Tafsir Hadis angkatan

2015, atas perjuangan dan semangatnya selama di kampus

tercinta ini.

Penulis mengharapkan ridha Allah Swt, semoga pihak-

pihak yang telah membantu dalam penyelesaian Tesis ini dinilai

sebagai amal ibadah yang terus mengalir sepanjang hayat.

Akhir kata, semoga tulisan ini bermanfaat bagi para pembaca

sekalian, dan menjadi bahan evaluasi bagi penulis pada

penelitian selanjutnya.

Ciputat, 13 Juni 2019

Muqthi Ali

v

PEDOMAN TRANSLITERASI (ARAB-LATIN)

Tesis ini menggunakan Pedoman Transliterasi Arab-Latin

sebagai berikut:

A. Padanan Aksara

Huruf Arab Huruf Latin Keterangan

Tidak dilambangkan ا

B Be ب

T Te ت

Ts Te dan Es ث

J Je ج

H Ha dengan garis di bawah ح

Kh Ka dan Ha خ

D De د

Dz De dan Zet ذ

R Er ر

Z Zet ز

S Es س

Sy Es dan Ye ش

S Es dengan garis di bawah ص

D De dengan garis di bawah ض

T Te dengan garis di bawah ط

vi

Z Zet dengan garis di bawah ظ

„ عKoma terbalik di atas hadap

kanan

Gh Ge dan Ha غ

F Ef ف

Q Ki ق

K Ka ك

L El ل

M Em م

N En ن

W We و

H Ha ه

Apostrof ` ء

Y Ye ى

B. Vokal

Vokal dalam bahasa Arab, seperti vokal bahasa

Indonesia, terdiri dari vokal tunggal (monoftong) dan vokal

rangkap (diftong).

Untuk vokal tunggal, ketentuan alih aksaranya adalah

sebagai berikut:

vii

Tanda Vokal

Arab

Tanda Vokal

Latin Keterangan

--- A Fathah

--- I Kasra

--- U Dammah

C. Vokal Rangkap (Madd)/Diftong

Arab Nama Latin Keterangan

ي--- Fathah dan Ya Ai a dan i

و--- Fathah dan Waw Au a dan u

D. Vokal Panjang (Madd)

Arab Nama Latin Keterangan

ى---ا--- Fathah diikuti oleh

alif atau ya Â

a dengan tanda

di atas

و--- Dlammah diikuti

oleh waw Û

u dengan tanda

di atas

ي--- Kasrah diikuti ya Î i dengan tanda

di atas

E. Kata Sandang

Kata sandang yang dalam aksara Arab dilambangkan

dengan ال ditransliterasikan menjadi -al- baik diikuti oleh huruf

viii

syamsiyyah, maupun huruf qamariyyah. Misalnya الفيل (al-fîl)

dan الشمس (al-Syams bukan asy-Syams), al-Rijâl bukan ar-

Rijâl, al-Diwân bukan aḍ-Diwân.

F. Syaddah (Tasydīd)

Syaddah atau tasydîd yang dalam sistem tulisan Arab

yang dilambangkan dengan sebuah tanda ( ___ (, dalam

transliterasi ini dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan

menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan

tetapi, hal ini tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda

syaddah itu terletak setelah kata sandang yang diikuti oleh

huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya, kata ة ور ر -tidak ditulis aḍ الض

Darûrah, melainkan al-Darûrah, demikian seterusnya.

G. Ta Marbûṭah

Berkaitan dengan transliterasi ini, jika huruf ta marbûṭah

terdapat pada kata yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut

dialihaksarakan menjadi huruf /h/ (lihat contoh no.1 di bawah).

Hal yang sama juga berlaku jika ta marbûṭah tersebut diikuti

oleh kata sifat (naʻt) (lihat contoh no.2). Namun, jika huruf ta

marbūṭah tersebut diikuti kata benda (ism), maka huruf tersebut

dialihaksarakan menjadi huruf /t/ (lihat contoh no.3).

Contoh:

No. Kata Arab Transliterasi

ṭarîqah طريقة 1

2

-al-Jâmiʻah al الجامعة اإلسالمية

Islâmiyyah

waḥdat al-Wujûd وحدة الوجود 3

ix

H. Huruf Kapital

Meskipun dalam sistem tulisan Arab huruf kapital

dikenal, dalam transliterasi ini huruf kapital ini juga digunakan,

dengan mengikuti ketentuan yang berlaku dalam Ejaan Yang

Disempurnakan (EYD) bahasa Indonesia, antara lain untuk

menuliskan permulaan kalimat, huruf awal nama tempat, nama

bulan, nama diri dan lain-lain. Penting diperhatikan, jika nama

diri didahului oleh kata sandang, maka yang ditulis dengan

huruf kapital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf

awal atau kata sandangnya. Contoh: Abû Hâmid al-Ghazâlî,

bukan Abû Hâmid Al-Ghazâlî, al-Kindi bukan Al-Kindi.

x

xi

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR_iii

PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN_v

DAFTAR ISI _xi

BAB I: PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah_1

B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah_9

C. Tujuan Penelitian_12

D. Manfaat Penelitian_12

E. Tinjauan Pustaka_13

F. Metodologi Penelitian_15

G. Sistematika Penulisan_19

BAB II: KONSEP DAN METODOLOGI TAFSIR

HUKUM SERTA RELEVANSINYA TERHADAP

FANATISME MAZHAB

A. Konsep dan Metodologi Penulisan Tafsir Hukum_25

1. Terminologi Tafsir Hukum_25

2. Metodologi Penulisan Tafsir Hukum_29

B. Al-Qur’ân sebagai Sumber Hukum_31

1. Hukum dalam Perspektif al-Qur’ân_37

2. Kandungan Ahkâm di dalam al-Qur’ân_41

3. Al-Qur’ân sebagai Dokumen Hukum_46

4. Al-Qur’an dan Perubahan Sosial_49

C. Periodisasi Perkembangan Tafsir Hukum_52

1. Sejarah Perkembangan Tafsir Hukum pada Masa

Rasûlullâh_52

2. Sejarah Perkembangan Tafsir Hukum Pada Masa

Sahabat dan Tabi’ȋn_56

3. Sejarah Perkembangan Tafsir Hukum Pada Masa

Berkembangnya Mazhab-Mazhab Fikih_ 62

xii

4. Sejarah Perkembangan Tafsir Hukum Pada Masa

Berkembangnya Taqlid dan Fanatisme

Mazhab_67

D. Perkembangan Mazhab-Mazhab dan Pengaruhnya

pada Polarisasi Kajian Tafsir Hukum_72

1. Penyebab Perbedaan Pendapat di kalangan Ahli

Hukum Islam _73

2. Proses Pembentukan Mazhab Hukum Islam_77

3. Perkembangan Polarisasi Mazhab Hukum

Islam_80

4. Polarisasi Mazhab dan Relevansinya dengan

Fanatisme Mazhab pada Produk Tafsir

Hukum_84

BAB III: KONSEP DAN METODOLOGI TAFSIR

AHKÂM AL- QUR’ÂN KARYA AL-JASSAS

A. Al-Jassas dan Pemikiran Tafsirnya_89

1. Biografi Singkat al-Jassas_89

2. Karya Ilmiah al-Jassas_92

3. Corak Penafsiran dan Kecendrungan Mazhab

dalam Tafsir Ahkâm al-Qur’ân_93

B. Aspek Metodologis dalam Tafsir Ahkâm al-Qur’ân

Karya al-Jassas_97

1. Metode Tahlîly dalam Penulisan Tafsir Ahkâm

al-Qur’ân_98

2. Tematisasi Ayat-ayat dalam Tafsîr Ahkâm al-

Qur’ân _100

3. Penggunaan Sumber Tafsîr bi al-Ma’tsûr dalam

Tafsir Ahkâm al-Qur’ân_104

4. Penggunaan Sumber Tafsîr bi al-Ra’yî dalam

Tafsir Ahkâm al-Qur’ân_107

C. Pokok-Pokok Pembahasan dalam Penulisan Ahkâm

al-Qur’ân 110

1. Mekanisme Pembahasan Hukum Tafsir Ahkâm

al-Qur’ân_111

xiii

2. Pembahasan Perkara Aqidah pada Tafsir Ahkâm

al-Qur’ân_115

3. Sikap al-Jassas dalam Menyikapi Perbedaan

Pendapat dalam Tafsir Ahkâm al-Qur’ân_122

BAB IV: REALITAS FANATISME MAZHAB DALAM

TAFSÎR AHKÂM AL-QUR’ÂN KARYA AL-JASSAS A. Bukti-bukti Fanatisme Mazhab dalam Penafsiran

Ahkâm al-Qur’ân Karya al-Jassas_125

1. Legitimasi Nikah Tanpa Wali pada

Qs. al-Baqârah [2]: 232_126

2. Hukum Khamr pada Qs. al-Baqârah [2]:

219_132

B. Fanatisme dan Keterpengaruhan Mazhab Hanafi

dalam Penafsiran Ahkâm al-Qur’ân Karya al-

Jassas_139

1. Pembelaan Berlebihan terhadap Mazhab

Hanafi_140

2. Pengaruh Mazhab Hanafi dalam metode

Istinbath Hukum_148

C. Penilaian terhadap Ahkâm al-Qur’ân Karya al-

Jassas_150

1. Tingginya Subjektifitas Tafsir al-Jassas_151

2. Komentar para Ulama terhadap Fanatisme al-

Jassas_153

BAB V: PENUTUP

A. Kesimpulan_157

B. Rekomendasi_157

DAFTAR PUSTAKA_159

IDENTITAS PENULIS_163

xiv

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kelahiran ilmu tafsir sangat erat kaitannya dengan

bagaimana cara para ulama merespon kemukjizatan Al-Qur’ân1.

Mukjizat yang luar biasa dari al-Qur’ân memerlukan

pemahaman yang lebih komprehensif baik pemahaman tekstual

maupun kontekstual. Corak penafsiran pun dalam perkem-

bangannya melahirkan aneka metode yang beraneka ragam.

Jika dilihat berdasarkan metodologi penulisannya, maka dikenal

metodologi penulisan tafsir Tahlȋly,2 Ijmâly

3, Muqârin

4 serta

1 Fahmi Salim, Kritik Terhadap Studi Al-Quran Kaum Liberal,

(Jakarta:Perspektif, 2010), h. 81.

2 Tafsir Tahlȋly adalah metode penafsiran yang berusaha

menjelaskan kandungan ayat-ayat al-Qur’an dari berbagai seginya, sesuai

dengan pandangan, kecendrungan, dan keinginan mufassirnya yang

dihidangkan secara runtut sesuai dengan urutan ayat-ayat dalam mushaf.

Penekanan pembahasan dengan metode tahlily biasanya mencakup

pengertian umum kosakata ayat, Munasabah/hubungan ayat dengan makna

sebelumnya, sabab al-Nuzul (jika ada), makna global ayat, hukum yang

dapat ditarik, yang di dalamnya merangkum berbagai macam pendapat para

ulama mazhab. Selain itu, ada juga mufassir yang melengkapi kajian tafsir

tahlily dengan menyertakan uraian tentang qiraat, i’rab ayat-ayat yang

ditafsirkan, serta keistimewaan susunan kata-katanya. M. Quraish Shihab,

Kaidah Tafsir: Syarat, Ketentuan, dan Aturan yang Patut anda Ketahui

dalam Memahami Ayat-ayat al-Qur’an, (Ciputat: Lentera Hati, 2013) h. 378.

3 Tafsir Ijmâly adalah metode penafsiran yang hanya berusaha

menguraikan makna-makna umum yang dikandung oleh ayat yang

ditafsirkan, namun sang penafsir diharapkan dapat menyajikan makna-

makna dalam bingkai suasana Qur’ani. M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, h.

381.

4 Tafsir Muqârin adalah metode penafsiran yang berupaya

melakukan pembandingan terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang dilihat dari

beberap segi yaitu:

a. Ayat-ayat al-Qur’an yang berbeda redaksinya satu dengan yang

lain, padahal sepintas terlihat bahwa ayat-ayat tersebut berbicara

tentang persoalan yang sama;

2

Maudhu’ȋ5. Sedangkan jika melihat dari sumber-sumber

penulisannya maka tafsir dapat digolongkan menjadi tafsȋr bi

al-Ma’tsur6, tafsȋr bi al-Ra’yȋ

7 dan tafsȋr Isyarȋ

8. Para ulama

juga menambahkan satu model penafsiran lagi yaitu tafsir

b. Ayat yang berbeda kandungan informasinya dengan hadits nabi

shallallahu alaihi wassalam, dan

c. Perbedaan pendapat ulama menyangkut penafsiran ayat yang sama.

5 Tafsîr Maudû’i adalalah metode penafsiran yang mengarahkan

pandangan kepada satu tema tertentu, lalu mencari pandangan al-Qur’an

tentang tema tersebut dengan jalan menghimpun semua ayat yang

membicarakannya, menganalisis, dan memahaminya ayat demi ayat, lalu

menghimpunnya dalam benak ayat yang bersifat umum dikaitkan dengan

yang khusus, yang muthlaq digandengkan dengan yang muqayyad, dan lain-

lain, sambil memperkaya uraian dengan hadits-hadits yang berkaitan

kemudian disimpulkan dalam satu tulisan pandangan yang menyeluruh dan

tuntas yang menyangkut tema yang di bahas tersebut. M. Quraish Shihab,

Kaidah Tafsir., h. 385.

6 Tafsîr bi al-Ma’tsûr adalah tafsir yang berdasarkan pada al-Qur’an

atau riwayat yang shahih sesuai urutan-urutan yaitu melakukan upaya

penafsiran al-Qur’an dengan al-Qur’an (ayat dengan ayat), al- Qur’an

dengan sunnah, perkataan sahabat karena merekalah yang paling mengetahui

Kitabullah, atau dengan pendapat tokoh-tokoh besar tabi’in yang pada

umumnya mereka menerima periwayatannya dari para Sahabat. Manna al-

Qaththan, Pengantar Studi Ilmu al-Qur’an, Penterjemah Ainul Rafiq El-

Mazni, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2015), h. 434.

7 Tafsir bi al-Ra’yi adalah tafsir yang di dalam menjelaskan

maknanya atau maksudnya. Mufassir hanya berpegang pada pemahamannya

sendiri, pengambilan kesimpulan (istinbath) pun didasarkan pada logikanya

semata. M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, h. 440.

8 Tafsir Isyari dikenal juga dengan tafsir sufi. Jenis tafsir ini

berupaya melakukan penafsiran terhadap ayat-ayat al-Qur’an dengan

berupaya menyingkap makna-makna lahir maupun bathin dari teks-teks al-

Qur’an. Makna lahir adalah apa yang segera mudah dipahami akal pikiran

sedangkan makna bathin adalah isyarat-isyarat yang tersembunyi di balik

ayat-ayat al-Qur’an yang hanya dapat dilihat oleh ahli suluk. Menurut kaum

sufi, riyadah ruhani atau spiritual yang dilakukan seorang sufi untuk dirinya

akan mengantarkan kepada suatu tingkatan dimana ia dapat menyingkap

isyarat-isyarat kudus yang terdapat di balik ungkapan-ungkapan al-Qur’an.

M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, h. 447.

3

batinȋ9. Masing – masing jenis tafsir tersebut memiliki metode

dan keunikan tersendiri.

Pada prinsipnya tidak ada batasan yang baku tentang

bagaimana seorang mufassir melakukan penulisan tafsir

meskipun tendensi corak penulisan tafsir dapat dilihat dari

bagaimana fokus isi dari tafsir tersebut. Corak dan isi penulisan

tafsir pun tidak dapat melepaskan diri dari latar belakang

seorang mufassir. Mufassir yang mempunyai latar belakang

sastra atau ilmu nahwu akan cenderung menulis tafsir yang

kental dengan pembahasan sastra. Mufassir yang mempunyai

latar belakang ilmu hadis akan menulis tafsir yang kental

dengan penafsiran ayat-ayat berdasarkan hadist-hadits yang

diketahuinya. Singkatnya, latar belakang dan subjektifitas

seorang penafsir mempunyai pengaruh yang besar terhadap

karya-karya tafsir yang dihasilkan oleh mufassir.

Untuk menghindari penyimpangan-penyimpangan

dalam penafsiran dan untuk meningkatkan objektifitas

penafsiran, para ulama berupaya memberikan syarat-syarat

yang ketat bagi penafsir sehingga kualitas penafsirannya dapat

diterima oleh masyarakat terlepas dari metode yang digunakan

dalam penafsirannya. Imam Suyuti dalam kitabnya al-Itqan fȋ

al-Ulûm al-Qur’ân mengungkapkan tidak kurang dari 15 syarat

untuk menjadi seorang mufassir. Seluruh syarat-syarat tersebut

adalah penguasaan yang mumpuni dalam berbagai cabang ilmu

seperti bahasa dan sastra, logika, ilmu usul fiqh, mustalah

hadȋts dan ilmu-ilmu lainnya10

. Selain syarat-syarat penafsiran,

9 Tafsir bâtini adalah upaya melakukan penafsiran yang melampaui

makna zhahir dari suatu ungkapan ayat dan menganggap bahwa makna

isyaratlah yang dimaksud oleh ayat tersebut. Penafsiran dengan metode ini

juga bisa menganggap bahwa makna lahiriah lafadz itu adalah buat orang-

orang awam, sedang makna batinnya untuk orang-orang khusus. M. Quraish

Shihab, Kaidah Tafsir, h. 373.

10

Jalalluddin al-Suyuti, Al-Itqan fi al-Ulûm al-Qur’an, (Beirut:

Daar al-Kutub al-Alamiyah, 2015) h. 597.

4

para ulama juga menetapkan adab-adab yang harus dipegang

oleh penafsir dalam menafsirkan al-Qur’ân11

.

Syarat yang diajukan oleh Imam Suyûti memang

teramat berat bahkan terkesan menakutkan sehingga para calon

mufassir merasa tidak layak dan mundur secara teratur untuk

melakukan penafsiran terhadap teks-teks suci al-Qur’ân. Namun

sebagian ada juga yang tampil dan tidak memperdulikan syarat-

syarat tersebut lalu dengan segala kemampuan yang ada

mencoba melakukan tafsir terhadap pesan-pesan ilahiah yang

tertuang di dalam al-Qur’ân12

.

Namun begitu ada yang perlu dicermati dari

persyaratan-persyaratan tersebut sehingga minimal apa yang

diutarakan oleh Imam Suyuti dapat dipenuhi sebagai syarat

dalam penafsiran yaitu, Pertama, Syarat yang diajukan oleh

Imam Suyuti adalah syarat bagi para mufassir yang akan

mengemukakan pendapat-pendapat yang baru yang belum

pernah diungkapkan oleh penafsir-penafsir sebelumnya. Kedua,

Syarat-syarat tersebut hanya berlaku untuk mufassir yang akan

melakukan penafsiran ayat al-Qur’an secara komprehensif.

Artinya penafsiran dilakukan terhadap keseluruhan ayat-ayat al-

Quran. Oleh karenanya syarat-syarat yang diajukan oleh Imam

Suyuti tidak berlaku keseluruhan bagi penafsir yang hanya

11 Manna al-Qattan juga mensyaratkan sebanyak sembilan syarat

bagi seseorang sehingga ia layak untuk melakukan penafsiran al-Qur’an.

Selain aspek pengetahuan yang mendalam terhadap ilmu-ilmu yang terkait

dengan al-Qur’an, beliau juga menekankan pada kelurusan aqidah dan

kebersihan seorang mufassir dari hawa nafsu yang dapat mendorong seorang

mufassir untuk membela kepentingan mazhabnya atau melandasi

penafsirannya dengan fanatisme terhadap golongannya. Beliau juga

menetapkan tidak kurang dari sebelas adab yang harus dipegang oleh

seseorang sehingga ia layak disebut sebagai seorang mufassir. Adab-adab

tersebut adalah pada prinsipnya adalah akhlak yang baik dan metodologi

yang dapat dipertanggungjawabkan dalam melakukan penafsiran ayat-ayat

al-Qur’an. Lihat. Manna al-Qattan, Pengantar Studi Ilmu al-Qur’an, h. 416-

417.

12

M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, h.497.

5

melakukan kajian tafsir ayat-ayat al-Quran secara parsial atau

dikenal dengan tafsir Maudu,î.

Ketiga, Persyaratan tentang lurusnya akidah penafsir

perlu direvisi atau diberi pemaknaan yang berbeda. Jika syarat

ini menjadi mutlak maka para orientalis atau non muslim sama

sekali tidak dapat diterima penafsirannya. Syarat ini dapat

diubah pemaknaannya menjadi obyektivitas penafsiran. Maka

siapapun yang objektif maka dapat melakukan penafsiran al-

Quran dengan baik selama syarat minimal sebagai seorang

penafsir telah terpenuhi. Keempat, syarat yang terakhir adalah

diperlukannya pengetahuan terhadap obyek penafsiran. Al-

Quran memiliki banyak ayat-ayat kauniyah yang dapat

menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi di muka bumi itu baik

itu aspek fisik maupun metafisik. Oleh karenanya kemampuan

yang mumpuni dalam bidang ilmu-ilmu tertentu akan sangat

membantu dalam melakukan penafsiran terhadap al-Quran13

.

Meskipun syarat-syarat yang ketat telah diungkapkan

oleh para ulama namun celah-celah kesalahan atau subjektifitas

memang tidak dapat dihindarkan. Minimal dengan syarat-

syarat yang ketat dan metode penafsiran yang benar maka

kesalahan atau penyimpangan dalam penafsiran dapat

diminimalisir.

Celah-celah subyektifitas atau penyimpangan-penyim-

pangan dalam penafsiran al-Qur’an sesungguhnya menjadi

obyek perdebatan para ulama dalam menyikapi keaneka-

ragaman ide-ide atau takwil yang hadir dalam kitab tafsir.

Gejala ini dapat dipahami karena meskipun ada beberapa

metode tafsȋr sebagaimana penulis uraikan di atas namun pada

akhirnya metode tersebut akan tetap memaksimalkan potensi

akal yang diberikan oleh Allâh subhanahu wa ta’ala. Penafsir

akan tetap melakukan ijtihad terhadap teks-teks yang coba ia

uraikan makna-maknanya. Ijtihad dalam penafsiran ini memang

harus dilakukan mengingat manusia harus memaksimalkan

13M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, h. 397.

6

potensi yang ada dalam dirinya. Bahkan Allah mengecam bagi

siapa saja hambanya yang tidak memaksimalkan potensinya14

.

Bedanya pada tafsir bi al-ma’tsur kita wajib percaya bahwa

Rasulullah dan para sahabat diberikan keistimewaan untuk

menafsirkan al-Qur’ân dan kita mengikuti pendapat mereka

sebagai salaf al-salȋh yang diberikan keistimewaan tersebut.

Celah-celah penyimpangan dalam penafsiran al-Quran,

seiring dengan perkembangan zaman semakin meningkat dan

beragam. Penyimpangan-penyimpangan dan pengaruh negatif

yang merusak validitas penafsiran al-Quran menjadi objek

pembahasan tersendiri dalam studi ulûm al-Qur’ân.

Pembahasan tentang penyimpangan atau pengaruh negatif

dalam konten tafsir dikenal dengan al-Dakhîl atau al-Dakhîl fî

ulûm al-Qur’ân. al-Dakhîl menurut bahasa dapat berarti

kerusakan, aib atau penyimpangan sedangkan secara istilah al-

Dakhîl di anggap sebagai suatu bentuk penafsiran al-Qur’ân

dengan metode dan/atau dengan cara yang bukan dari Islam

atau penafsiran yang tidak memiliki orisinalitas agama dari sisi

pemaknaan karena ada unsur kecacatan dalam penafsiran al-

Qur’ân yang ditafsiri secara tiba-tiba (kesengajaan), lalai atau

kontemporisasi penafsiran yang disesuaikan dengan situasi

kondisi kejadian setelah wafatnya nabi Muhammad Saw15

.

Kajian al-Dakhîl dalam disiplin ulûm al-Qur’ân

merupakan konsekuensi logis dari upaya yang berkesinam-

bungan untuk melakukan upaya pen-tanqīh-an atau pember-

sihan tafsîr al-Qur’ân. Upaya ini dilakukan untuk mencegah

segala sesuatu yang menjadikan eksistensi tafsīr al-Qur’ân

menjadi tidak legitimate secara nalar keIslaman karena adanya

faktor-faktor yang mempengaruhinya dan menginternalisasi ke

dalamnya secara destruktif. Urgensi dari upaya tersebut pada

akhirnya terformulasikan dalam satu studi mandiri yang disebut

dengan istilah studi al-Dakhīl.

14 M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, h. 362.

15

Jum’ah Ali Abdul Qadir, al-Dakhil Fi al-Dirasah al-Manhajiyah

wa al-Namadij al-Tatbiqiyah (Kairo:Al Azhar Press, 2006), h. 15.

7

Adanya pengaruh yang destruktif terhadap perkem-

bangan tafsir disebabkan karena tidak adanya pedoman yang

rigid dan metode komprehensif serta terstruktur yang dapat

digunakaan sebagai alat kritik metodologis terhadap tafsir-tafsir

yang ada dan berkembang di masyarakat. Ketiadaan metode

kritik ini membuat ijtihad yang berkembang dalam ranah tafsir

menjadi liar dan tidak terkendali. Kondisi ini berbeda dengan

masa rasulullah, karena pada masa itu pendapat rasulullah atau

tafsir al-Qur’ân yang disampaikan oleh rasulullah juga diyakini

sebagai wahyu dari Allah Subhanahu wata’ala. Pada era ini

tidak terjadi perselisihan yang mencolok walaupun perbedaan

juga tidak dapat dihindari dalam upaya memahami kandungan

makna ayat Al-Qur’ān tersebut, hal itu karena marāji’ utama

sebagai penjelasnya masih hidup sehingga para sahabat dapat

bertanya langsung kepada Rasūlullah sallallahu ‘alaihi

wasallam16

.

Setelah Rasūlullah wafat perbedaan penafsiran yang

berakibat pada perselisihan mulai muncul, dan terus

berkembang seiring rentang waktu yang menjauh dari masa

Rasūlullah. Hal ini dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti

perkembangan ilmu pengetahuan, kebudayaan, kondisi sosial,

kapabilitas mufassir, dan berbagai hal lainnya yang menyangkut

perbedaan metodologi penafsiran yang terdapat dalam banyak

literatur Ulûm al-Qur’ân. Pada akhirnya, wujud perkembangan

penafsiran menjadi sangat kompleks dengan berbagai inovasi

progresif yang menyertainya17

.

Salah satu aspek sosial yang menyebabkan terjadinya

perbedaan tajam dan semakin meruncing dalam penafsiran al-

Quran adalah berkembangnya aliran-aliran atau mazhab-

mazhab di dalam Islam sehingga memunculkan fanatisme di

antara pengikutnya. Fanatisme ini kemudian merambah pada

16

Muhammad Husein al-Ẓahabi, al-Tafsīr wa al-

Mufassirūn (Kairo: Dār Al-Ḥadīṡ, 2005), h. 46-47.

17

Umar Shihab, Kontekstualitas Al-Qur’ān, Kajian Tematik atas

Ayat-Ayat Hukum dalam Al-Qur’ān (Jakarta: Penamadani, 2003), h.3.

8

perbedaan pandangan dalam berbagai aspek kehidupan seperti

sosial, politik, ekonomi bahkan pandangan hukum. Perbedaan

pandangan yang disertai dengan fanatisme menjadi sangat

berbahaya ketika fanatisme tersebut turut mempengaruhi ijtihad

para ulama dan masuk dalam ranah kajian atau penafsiran al-

Qur’ân.

Penulis berminat untuk melakukan kajian lebih

mendalam tentang realitas fanatisme mazhab yang berkembang

di dalam masyarakat Islam terhadap penafsiran al-Qur’ân

terutama penafsiran ayat-ayat hukum yang dilakukan oleh para

fuqaha. Penulis akan secara khusus melakukan kajian terhadap

tafsir hukum yang berjudul Ahkâm al-Qur’ân karya al-Jassas.

Beliau adalah salah seorang tokoh fuqaha yang sangat dikagumi

dari mazhab hanafi.

Tafsir ini menarik untuk dibahas karena isinya mengirim

pesan fanatisme yang sangat kuat sehingga rentan kualitas

objektifitasnya karena sangat bias mazhab. Al-Jassas

memberikan pembelaan yang sangat keras terhadap mazhabnya

dan memberikan respon yang berlebihan terhadap pendapat-

pendapat yang berbeda atau bertentangan dengan mazhabnya18

.

Kuatnya kesan fanatisme yang berlatar belakang mazhab

terhadap tafsir yang disusun oleh al-Jassas membuat tafsirnya

sangat bercorak fiqih bahkan tafsirnya dianggap lebih tepat

dikatakan sebagai kitab fiqih dibanding kitab tafsir. Kesan

pembelaan yang berlebihan terhadap mazhabnya dalam

berbagai kesempatan pembahasan hukum juga membuat

pembaca seperti enggan untuk membaca tafsir beliau yang

berisi kata-kata keras terhadap siapapun yang mempunyai

pendapat berbeda dengan mazhab hanafi19

.

Melalui penelitian ini, penulis berharap dapat

menemukan suatu hubungan pengaruh yang legitimate tentang

realitas fanatisme terhadap kandungan tafsir yang secara khusus

membahas tentang hukum. Penelitian ini juga diharapkan dapat

18

Manna al-Qattan, Pengantar studi ilmu al-Qur’ân, h. 469. 19

Manna al-Qattan, Pengantar studi ilmu al-Qur’ân, h. 469

9

berkembang menjadi sebuah ide terhadap metode kritik tafsir

dengan mengembangkan konsep al-Dakhîl yang menjadikan

aspek fanatisme sebagai bahan dalam melakukan kajian kritik

dengan metode al-Dakhil. Ke depan akan ada suatu konsep

metode kritik tafsir yang lebih komprehensif dan terstruktur

serta obyektif sehingga aturan yang rigid mengenai metode

kritik tafsir dapat menjadi pedoman atau menjadi batasan-

batasan yang jelas dalam melakukan penafsiran terhadap teks-

teks al-Qur’ân.

B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah

1. Identifikasi Masalah

Berdasarkan uraian pada bagian latar belakang di atas,

dapat ditemukan beberapa hal yang dapat diidentifikasi sebagai

permasalahan-permasalahan yang dapat diuraikan secara

mendalam melalui penelitian ini, yaitu:

1) Setiap penulisan tafsir pasti memiliki metode yang

berbeda-beda yang disebabkan perbedaan latar belakang

penafsiran baik dari segi latar belakang keilmuan atau

perbedaan latar belakang lainnya seperti sosial, budaya,

politik ekonomi dan faktor-faktor lainnya. Perbedaan-

perbedaan ini menghasilkan kreasi tafsir yang beragam

pada satu sisi namun juga memiliki potensi destruktif

jika dasar perbedaan dalam penafsiran tersebut

berkembang menjadi sebuah fanatisme.

2) Aneka ragam metodologi dan jenis penafsiran pada

hakikatnya tidak dapat membendung kreativitas para

mufassir yang berupaya menyibak makna terdalam dari

ungkapan-ungkapan al-Qur’an dengan segala latar

belakang keilmuan yang dimiliki. Oleh karenanya perlu

dibuat suatu konsep yang dapat memberikan batasan-

batasan yang rasional sehingga penafsiran yang

dihasilkan akan menjadi lebih obyektif meskipun

landasan berpikir yag digunakan oleh masing-masing

mufassir adalah berbeda.

10

3) Salah satu permasalahan yang mengemuka dengan

berbagai macam metodologi penafsiran yang adalah

munculnya sikap fanatisme dalam melakukan penafsiran

karena perbedaan mazhab dari para mufassir. Perbedaan

mazhab ini berpotensi untuk mempengaruhi alam

pikiran mufassir yang menyebabkan kesimpulan-

kesimpulan penafsiran menjadi bias. Permasalahan ini

menjadi penting untuk dibahas karena seharusnya

penafsiran harus objektif dan tidak bias hanya pada

mazhab tertentu.

4) Perbedaan penafsiran dalam menyibak ayat-ayat hukum

merupakan konsekuensi yang wajar dari beragamnya

alternatif metodologi penafsiran yang ada. Secara

khusus pada penafsiran yang fokus pada ayat-ayat

hukum, para ulama telah menghasilkan karya-karya

yang luar biasa di bidang ini. Tafsir-tafsir yang fokus

pada ayat-ayat hukum seperti tafsir Ahkâm al-Qur’ân

oleh al-Jassas, Ahkâm al-Qur’ân oleh al-Kiyâ’ Harrasi,

Ahkâm al-Qur’ân oleh Ibnu al-‘Arabi, Jami’ li al-

Ahkâm al-Qur’ân oleh al-Qurthubi, tafsir al-Âyât al-

Ahkâm oleh Syaikh Muhammad al-Sayis, tafsir al-Âyât

al-Ahkâm oleh Syaikh Manna al-Qattan serta beragam

tafsir lainnya yang fokus pada penafsiran ayat-ayat

hukum. Sebagian tetap mempertahankan objektifitasnya

dan tidak terpengaruh secara dominan oleh suatu

mazhab namun sebagian lainnya tidak dapat melepaskan

pengaruh dominan dari mazhab tertentu bahkan dengan

tegas menyatakan pembelaannya terhadap suatu mazhab

sehingga objektifitas tafsirnya menjadi berkurang.

5) Salah satu tafsir hukum yang dengan tegas menyatakan

keberpihakan terhadap suatu mazhab serta melakukan

pembelaan yang keras terhadap pendapat mazhabnya

adalah tafsir Ahkâm al-Qur’ân oleh al-Jassas. Hal ini

menjadi permasalahan yang menarik untuk dilakukan

penelitian yang lebih komprehensif sehingga dapat

11

dilakukan pengkajian apakah dominansi mazhab tertentu

mempengaruhi metodologi serta isi dari tafsir yang

dihasilkan. Identifikasi masalah selanjutnya adalah

apakah hasil dari penulisan tafsir tersebut menjadi

sangat subjektif dan mengandung sikap fanatisme yang

berlebihan dalam mengusung pemahaman mazhabnya.

2. Pembatasan Masalah

Berdasarkan latar belakang serta identifikasi masalah

yang telah penulis uraikan di atas, penulis akan memberikan

pembatasan masalah yang akan dibahas dalam penulisan

penelitian ini, yaitu :

a. Penulis akan memfokuskan penelitian terhadap realitas

fanatisme mazhab hukum yang ada pada penafsiran al-

Qur’ân.

b. Penulis akan membatasi pembahasan realitas fanatisme

mazhab dalam penafsiran al-Qur’ân dengan melakukan

kajian secara khusus pada tafsir Ahkam al-Qur’ân karya

al-Jassas.

c. Penulis membatasi kajian tafsir Ahkam al-Qur’ân karya

al-Jassas yang menjadi bukti fanatisme mazhab pada Qs.

al-Baqârah [2]: 232 tentang legitimasi nikah tanpa wali

dan Qs. al-Baqârah [2]: 219 tentang hukum Khamr.

3. Perumusan Masalah

Rumusan masalah penelitian ini adalah bagaimana

bentuk fanatisme mazhab dalam penafsiran al-Qur’ân dalam

tafsir Ahkâm al-Qur’ân karya al-Jassas?

Rumusan masalah ini bertujuan untuk lebih memfokus-

kan penelitian penulis tentang aspek-aspek fanatisme mazhab

yang dibahas dalam penafsiran ayat-ayat hukum di dalam tafsir

Ahkam al-Qur’ân karya al-Jassas yang turut mempengaruhi

objektifitas penulisan tafsir.

12

C. Tujuan Penelitian

Ada beberapa hal yang penulis dapat uraikan sehubungan

dengan tujuan-tujuan dari penulisan penelitian ini yaitu:

1. Menguraikan secara komprehensif konsep penafsiran

para mufassir yang berfokus pada ayat-ayat hukum

sehingga dapat diambil dalil-dalil sebagai dasar

pembentukan hukum di dalam Islam atau dapat diambil

dalil-dalil sebagai dasar pelaksanaan syariat Islam baik

yang bersifat ibadah maupun muamalah.

2. Menjelaskan hubungan yang erat antara penafsiran yang

fokus pada ayat-ayat hukum dengan latar belakang

mazhab seorang mufassir sehingga dapat terjawab

sejauh mana latar belakang seorang mufassir yang

menganut mazhab tertentu terhadap obektifutas

penafsirannya.

3. Menguji dan membuktikan pengaruh fanatisme mazhab

terhadap objektifitas suatu penafsiran melalui kajian

mendalam terhadap tafsir ulama mazhab dalam hal ini

tafsir Ahkâm al-Qur’ân karya al-Jassas yang merupakan

ulama mazhab dari mazhab hanafi.

4. Untuk mendapatkan gelar magister agama pada Fakultas

Ushuluddin Universitas Islam Negeri Jakarta

D. Manfaat Penelitian

Penulis mempunyai harapan besar bahwa penelitian ini

dapat bermanfaat untuk perkembangan studi Ulûm al-Qur’ân

sehingga pembahasan tentang objektifitas dalam suatu

penafsiran dapat berkembang. Penafsiran yang dilandasi dengan

fanatisme dapat dianggap sebagai suatu komponen yang

merusak objektifitas sebuah penafsiran sehingga istinbath

hukum yang didapat dari sebuah penafsiran yang dilandasi oleh

bias fanatisme dapat ditolak. Fanatisme dalam penafsiran juga

dapat dijadikan sebagai bagian dari kerusakan atau aib dalam

penafsiran sebagaimana dipahami dalam konsep al-Dakhîl. Ke

depannya kajian fanatisme dalam penafsiran dapat menjadi

13

suatu konsep yang komprehensif yang dapat digunakan oleh

para mufassir sebagai suatu pedoman dalam penulisan tafsir.

Penulisan tafsir yang berpedoman pada konsep al-Dakhîl dapat

meminimalisir kesalahan atau resiko subjektifitas penafsir

sehingga kualitas penafsiran dapat dipertanggungjawabkan.

Penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi inspirasi bagi para

mufassir untuk lebih objektif dalam melakukan penafsiran

sehingga nuansa fanatisme yang didasari oleh mazhab,

sektarian atau bahkan primordial dapat dihindari.

E. Tinjauan Pustaka

Penelitian yang memfokuskan pada pengaruh latar

belakang sang mufassir yang turut mempengaruhi hasil

penulisan tafsirnya sudah dibahas oleh beberapa penulis

maupun peneliti. Penulisan tersebut fokus pada beberapa hal

seperti latar belakang pemahaman berdasarkan ideologi, aqidah,

ilmu kalam atau latar belakang lainnya yang dirangkum dalam

satu hasil karya ilmiah. Hasil penelitian tersebut turut menjadi

bagian tinjauan pustaka dalam penulisan Tesis ini.

Selain penelitian yang mengetengahkan pengaruh latar

belakang penulis serta keilmuan yang turut mempengaruhi hasil

pemikiran tafsir para mufassir, penulis juga akan menyajikan

beberapa tinjauan pustaka yang terkait dengan permasalahan

hukum atau fiqih karena aspek fanatisme yang disajikan dalam

penelitian ini adalah fanatisme mazhab di dalam mazhab hukum

atau fiqih.

Beberapa sumber tinjauan pustaka yang akan digunakan

sebagai sumber dalam penulisan karya ilmiah ini adalah sebagai

berikut:

1. al-Ittijahât al-Munharifat fî Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm:

awâfiuha wa dafâuha. Buku ini adalah salah satu sumber

kepustakaan yang menjadi inspirasi dalam penulisan

penelitian ini. Buku ini adalah hasil karya seorang ahli tafsir

dan Ulûm al-Qur’ân asal Mesir yaitu Muhammad Hussein

al-Dzahabi. Kitab ini menyoroti tentang kecendrungan-

14

kecendrungan penyimpangan dalam penulisan tafsir al-

Qur’ân yang disebabkan oleh fanatisme mazhab dan/atau

sektarianisme. Di dalamnya, beliau banyak menyinggung

penafsiran-penafsiran yang dilakukan oleh para pemuka

mazhab atau sekte yang isinya cenderung dilatarbelakangi

oleh fanatisme dan sektarianisme. Kitab beliau yang juga

menjadi bahan penting dalam penulisan ini berjudul al-

Tafsȋr wa al-mufassirûn serta Al- Isrâiliyyât fî al-Tafsîr wa

al-Hadîts.

2. Tafsir al-Qur’ân bi al-Qur’ân: Sectarian Tendencies in al-

Tabâtabâ’î al-Mîzân and al-shanqîtî’s Adwâ al-Bayân.

Sumber kepustakaan ini menjadi salah satu sumber inspirasi

dalam penulisam penelitian ini. Pustaka ini adalah sebuah

disertasi yang ditulis dalam bahasa Inggris oleh DR. Izza

Rohman. Penelitian dalam disertasi ini membuktikan

adanya kaitan yang sangat kuat antara isu sektarianisme

dalam tafsir yang metodologi penulisannya dilakukan

dengan metodologi bi al-Ma’tsur dengan mengutamakan

sumber ayat-ayat di dalam al-Qur’ân untuk menafsirkan

ayat-ayat lainnya.

3. Tafsir Ahkâm al-Qur’ân karya al-Jassas. Kitab ini penulis

pilih sebagai objek penelitian karena isinya mengandung

konten yang sangat bias mazhab yaitu mazhab yang dianut

oleh penulisnya. Penulisnya sendiri telah mengakui pilihan

mazhabnya dalam penulisan tafsir ini.

4. Al-Imâm Abu Bakr al-Rôzi al-Jassas: wa manhajuhu fi al-

tafsîr. Kitab ini merupakan disertasi hasil karya DR.

Shafwat Musthofa Kholilufitis. Kitab ini secara kompre-

hensif membahas tentang manhaj yang dipilih oleh al-Jassas

dalam melakukan penulisan tafsir. Di dalamnya diberikan

penjelasan secara gamblang dan jelas berbagai hal terkait

metodologi, fokus pembahasan tafsir, pendapat-pendapat

yang digunakan serta kecendrungan-kecendrungan yang

mempengaruhi penulisan tafsir oleh al-Jassas.

15

5. Tarikh al-Tasyri’ al-Islamî. Buku ini merupakan hasil karya

dari Manna al-Qattan yang memberikan penjelasan secara

komprehensif tentang sejarah dalam legislasi Islam mulai

dari periode rasulullah hingga periode kekinian. Buku ini

juga membahas tentang realitas hukum Islam dan upaya

pembaharuannya pada masa kini. Buku ini penting menjadi

salah satu sumber dalam penulisan ini karena penulisan

tafsir-tafsir yang fokus terhadap hukum dan mazhab tertentu

tidak lepas dari sejarah pembentukan legislasi hukum yang

memang di dalamnya terdapat dinamika-dinamika

khilafiyah atau perbedaan-perbedaan yang mengkristal

dengan terbentuknya mazhab-mazhab fikih atau hukum

dalam melakukan legislasi Islam yang bersumber pada al-

Qur’an.

F. Metode Penelitian

1. Sifat dan Pendekatan Penelitian

Penelitian yang penulis lakukan dikategorikan sebagai

penelitian kualitatif karena karakteristik penelitian yang akan

dilakukan memenuhi segala instrument yang harus dipenuhi

oleh suatu penelitian yang bersifat kualitatif20

. Instrumen

tersebut adalah (1) data adalah berupa dokumen yang bersifat

alamiah (natural setting), (2) pengambilan sampel ditetapkan

secara purposive (3) peneliti menjadi insrumen kunci dalam

mengumpulkan dan menginterpretasikan data, (4) analisis data

secara induktif, dan (5) makna merupakan hal yang sangat

esensial21

.

20 Penelitian kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasil-

kan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan. Lihat Lexi L.

Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung:Rosda Karya, 1997),

Cet. VIII, h. 6.

21

Robert C. Bogdan & Sari Knopp Biklenn, Qualitative Research

for Education: An Introduction to Theory and Methode, (London: Allyn and

Bacon, Inc, 1982), h. 10.

16

2. Sumber dan Teknik Pengumpulan Data Penelitian

Sumber data dalam penelitian ini fokus kepada data

kepustakaan (library research). Penelitian dengan sumber data

kepustakaan akan menghadapkan penulis pada sumber-sumber

data berupa literature-literatur yang dapat diambil dari buku-

buku, dokumen, maupun artikel.22

Oleh karena itu, teknik pe-

ngumpulan data kepustakan meliputi sumber-sumber primer

dan sekunder.

Sumber data primer dalam penelitian ini adalah kitab

tafsir Ahkam al-Qur’ân karya Abi Bakar Ahmad ibn ‘Ali al-

Razi atau al-Jassas yang diterbitkan oleh Daar al-Ihya al-Turats

al-Arabî pada tahun 1996. Data-data sekunder akan meliputi

buku-buku kajian yang mendukung tentang pembahasan tafsir

yang berfokus pada kecendrungan-kecendrungan yang mempe-

ngaruhi gaya penulisan tafsir serta buku-buku yang mengkaji

tentang pembentukan hukum Islam terutama penafsiran-

penafsiran yang berfokus pada tafsir hukum.

3. Teknik Analisa Data

Berpegang pada sifat penelitian ini, maka teknik analisis

data yang digunakan adalah teknik analisa data kualitatif.

Model analisis data yang akan digunakan dalam penelitian ini

adalah model analisis isi (content analysis)23

. Metode ini adalah

22

Hadari Nawawi, Metodologi Penelitian Bidang Sosial

(Yogyakarta: Gajah Mada Universy Press, 1991), h. 95.

23

Analisis isi adalah mengklasifikasikan kata-kata ke dalam

kategori-kategori yang lebih kecil. Setiap kategori itu dibuat berdasarkan

kesamaan makna kata, atau berdasarkan kemiripan makna kata dari setiap

teks atau pembicaraan. Dengan asumsi itu, pembaca akan dapat mengetahui

fokus atau pesan dari pengarang, pembuat teks, atau pembicara dengan

menghitung jumlah kategori yang ada dalam teks tersebut. Menurut

Krippendorf, setidaknya ada empat jenis analisi isi yaitu, analisis wacana

(discourse analysis), analisis retorika (rhetoric analysis), analisis isi

etnografis (ethnographic content analysis), dan analysis percakapan

(conversation analysis). Klaus Krippendorf, Content Analysis: An

Introduction to its Methodology , (California: Sage Publication, 2004), h. 17.

17

metode analisis data yang fokus pada isi suatu informasi yang

tertulis atau tercetak dalam teks. Secara umum analisis isi ini

diartikan sebagai metode yang meliputi semua analisis isi teks,

tetapi di sisi lain analisis ini juga digunakan untuk mendes-

kripsikan pendekatan lain yang khusus. Prosedur analisis data

model analisis isi ini mengadaptasi dari Klaus Krippendorff.

Oleh sebab itu maka langkah-langkah yang akan penulis

lakukan dalam menganalisa data-data yang tersajikan dalam

penelitian ini adalah:

a. Membaca secara mendalam sumber studi kasus kitab

Ahkâm al-Qur’ân karya al-Jassas serta buku-buku yang

terkait pembahasan tafsir yang menyoroti pengaruh latar

belakang penafsir dengan hasil penafsiran yang dilakukan.

Kajian-kajian hukum Islam berdasarkan pendapat beberapa

mazhab yang berbeda dapat dijadikan sumber sebagai

aspek komparasi riil terjadinya perbedaan pendapat diatara

mufassir yang fokus pada pembahasan hukum;

b. Melakukan unitizing yaitu proses untuk mengambil data

yang tepat dengan kepentingan penelitian yang mencakup

teks, gambar, suara, dan data-data lain yang dapat

diobservasi lebih lanjut. Dalam analisis penelitian ini

peneliti hanya akan fokus pada data berupa teks yang

bersumber pada data kepustakaan baik primer maupun

sekunder. Unit itu sendiri adalah keseluruhan yang

dianggap istimewa dan menarik oleh peneliti atau analis

yang merupakan elemen independen. Unit adalah objek

penelitian yang dapat diukur dan dinilai dengan jelas, oleh

karenanya harus memilah sesuai pertanyaan penelitian

yang telah dibuat. Dalam penelitian ini proses unitizing ini

akan mengambil data-data yang dapat diobservasi dari

sumber objek penelitian kitab Ahkam al-Qur’ân karya al-

Jassas;

c. Melakukan Sampling yaitu suatu cara analisis untuk dapat

menyederhanakan penelitian dengan membatasi observasi

semua jenis unit yang ada. Dengan demikian terkumpullah

18

unit-unit yang memiliki tema/karaktek yang sama. Pada

tahapan ini proses sampling dilakukan dengan yaitu

menetapkan data-data yang sudah diverifikasi menjadi

objek analisis data.

d. Melakukan recording (perekaman/catatan) terhadap data

yang sudah ditetapkan untuk dianalisa

e. Melakukan reduksi data dengan melakukan verifikasi lebih

mendalam sehingga data-data yang ada akan benar-benar

valid untuk mendukung penelitian yang dilakukan

f. Melakukan inferensi data yaitu dengan melakukan analisis

yang lebih mendalam terhadap data-data yang telah

ditetapkan dan direduksi sehingga data yang ada

tervirifikasi dengan baik. Tahapan ini tidak hanya berarti

induktif atau deduktif saja, namun mencoba mengungkap

konteks yang ada menggunakan konstruksi analitis

(analytical construct). Konstruksi analisis ini berfungsi

untuk memberikan model hubungan antara teks dan

kesimpulan yang akan dituju.

g. Tahapan akhir dari teknik analisis data ini adalah

menarasikan (narrating) hasil analisis data yang dilakukan

dengan tahapan-tahapan proses yang runut di atas. Narasi

ini akan memberikan jawaban terhadp pokok permasalahan

penelitian yang diajukan. Narasi ini pada umumnya adalah

kesimpulan dalam penelitian yang akan memberikan

informasi penting terkait dengan hasil penelitian baik bagi

peneliti maupun bagi pembaca atau pengguna penelitian

sehingga dapat digunakan sebagai bahan untuk mengambil

keputusan atau kesimpulan suatu permasalahan yang

dihadapi.

4. Teknik Penulisan

Adapun teknik penulisan tesis ini mengacu pada buku

Pedoman Akademik Program Magister Fakultas Ushuluddin

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2012. Sedangkan

transliterasi pada tesis ini menggunakan Pedoman Transliterasi

19

Arab-Latin keputusan bersama Menteri Agama dan Menteri

Pendidikan dan Kebudayaan RI Nomor: 158 Tahun 1987 –

Nomor: 0543b/u/1987.

G. Sistimatika Penulisan

Tesis ini disusun menjadi lima Bab. Satu bab adalah

bagian pendahuluan, tiga bab bagian pembahasan dan satu bab

terakhir sebagai bagian penutup. Bagian penutup akan

mengetengahkan kesimpulan dan saran terhadap hasil

pembahasan yang dilakukan pada bab-bab sebelumnya.

Penelitian ini akan mencoba melakukan pembahasan teoritis

terhadap suatu persoalan yang ada lalu mencoba membuktikan

kebenaran pembahasan teori teori tersebut.

Bagian pembahasan pada penelitian ini terdiri dari tiga

bab yaitu bab dua sampai dengan bab empat. Pada bab kedua

penulis akan membahas tuntas landasan teoritis terhadap

persoalan yang ada. Bab ketiga penulis akan membahas latas

belakang objek yang akan menjadi studi kasus dari penelitian

ini dan pada bab keempat penulis akan melakukan elaborasi

terhadap landasan teoritis yang telah dibahas sebelumnya

dengan obyek studi kasus penelitian. Bab terakhir akan

menyimpulkan apakah persoalan yang diangkat dalam

penelitian ini terbukti adanya dan apa saran yang dapat

diberikan terhadap hasil penelitian yang dilakukan. Berikut

adalah sistimatika penulisan penelitian ini.

Bab pertama adalah Latar belakang masalah,

identifikasi, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan

penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, metodologi

penelitian serta sistematika penulisan. Bab ini akan membahas

dua hal yang prinsipil yaitu pertama membahas dan

mengelaborasi latar belakang permasalahan tentang kajian

metologi tafsir serta faktor-faktor yang mempengaruhi

perbedaan-perbedaan jenis penafsiran dan kualitas penafsiran.

Pembahasan akan diawali dengan mengetengahkan metodologi

populer yang dilakukan para ulama tafsir dalam menyusun

20

penafsiran yaitu metode bi al-ma’tsur, metode bi al-ra’yi dan

metode bi al-isyari.

Selanjutnya penulis akan mengelaborasi metode ini

dengan menyampaikan kelemahan yang mungkin dialami oleh

metode ini sehingga kualitas penafsiran menjadi bias atau

bahkan tidak objektif sehingga hasilnya tidak sesuai dengan

maksud dan pesan-pesan al-Qur’ân. Bias tafsir dan ketidak

objektifan dalam penafsiran merupakan pintu masuk penulis

untuk mengintrodusir adanya indikasi atau kecendrungan

fanatisme yang dapat muncul dalam penulisan tafsir. Pada

bagian akhir latar belakang bab ini penulis akan memberikan

penjelasan mengapa penulis memilih tafsir hukum karangan al-

Jassas sebagai objek studi lapangan dalam penelitian ini.

Bagian kedua pada bab pertama akan fokus pada

mengurai pada struktur dan metode penulisan yang terdiri dari

identifikasi, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan

penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, metodologi

penelitian serta sistematika penulisan

Bab kedua berisi tentang perkembangan tafsir yang

memiliki corak fokus pada penafsiran ayat-ayat hukum. Sejarah

perkembangan tafsir hukum akan dimulai sejak zaman

Rasulullah hingga pada zaman tabi’în. Selanjutnya menulis

akan membahas tentang metodologi dan perkembangan tafsir

hukum yang dikolaborasikan dengan berkembangnya mazhab-

mazhab hukum seiring dengan perkembangan penafsiran yang

fokus pada penafsiran ayat-ayat hukum. Perkembangan

mazhab-mazhab yang fokus terhadap penafsiran ayat-ayat

hukum didukung dengan pembahasan adanya polarisasi

mazhab-mazhab tertentu dalam melakukan penafsiran hukum

sehingga menambah dinamika positif dalam pengembangan

hukum Islam.

Selain dinamika positif karena adanya fokus dari

berbagai mazhab dalam melakukan pengkajian ayat-ayat al-

Qur’an dari segi hukum, akan dibahas juga kecendrungan

fenomena taklid dan fanatisme dalam menyikapi hasil

21

penggalian hukum yang dilakukan para mufassir atau imam

mazhab. Fenomena taklid dan fanatisme ini akan menjadi

bagian penting pembahasan penelitian ini karena fokusnya

adalah menemukan realitas fanatisme yang dilandasi oleh

pemahaman mazhab tertentu dalam suatu hasil karya kitab tafsir

atau penafsiran ayat-ayat hukum.

Bab ketiga akan fokus membahas tentang objek studi

penelitian ini yaitu Abu Bakar Ahmad bin al-Râzi atau yang

dikenal dengan nama al-Jassas serta kitab karangannya al-

Ahkam al-Qur’ân. Bab ini akan menjelaskan biografi singkat al-

Jassas serta mazhab yang dianutnya yang turut mempengaruhi

corak dan manhaj penulisan tafsirnya. Pada pembahasan

tentang kitab al-Ahkam al-Qur’an karya al-Jassas, penulis akan

berupaya memberikan gambaran yang utuh tentang aspek

metodologis dalam penyusunan tafsir Ahkâm al-Qur’an yang

terdiri dari pembahasan corak, struktur dan format penulisan

tafsir, sumber-sumber penulisan tafsir, fokus permasalahan

yang dibahas dalam tafsir dan yang paling penting adalah

deskripsi tentang bias mazhab yang dipengaruhi oleh fanatisme

penyusun tafsir terhadap mazhab yang dianutnya.

Bab keempat penulis akan berupaya melakukan

elaborasi tentang latar belakang terjadinya fenomena fanatisme

terhadap mazhab dalam penulisan tafsir hukum. Pembahasan

pada bab ini akan menganalisa secara langsung tentang

fenomena fanatisme mazhab dalam penulisan tafsir dengan

membedah isi dari kitab tafsir yang fokus pada pembahasan

kajian hukum yaitu tafsir Ahkâm al-Qur’ân karya al-Jassas.

Pembahasan akan dilakukan juga pada aspek pengaruh mazhab

yang dianut oleh sang mufassir terutama mazhab fiqih yaitu

mazhab hanafi serta bagaimana penilaian para ulama tentang

fanatisme al-Jassas dalam penulisan tafsirnya.

Pembahasan akan memberikan beberapa contoh-contoh

pengaruh fanatisme mazhab yang turut mempengaruhi mufassir

dalam menafsirkan ayat-ayat hukum yang terefleksi dalam

tulisannya. Pembahasan juga akan melakukan kajian terhadap

22

kuatnya pembelaan terhadap mazhab yang dianut oleh sang

mufassir sehingga output yang dihasilkan dalam penafsiran

tersebut tidak objektif bahkan merendahkan pendapat lain yang

berbeda. Untuk memperjelas pembahasan penulis akan

menyajikan bentuk-bentuk penafsiran yang tendensius sehingga

terlihat sangat bias fanatisme mazhab.

Bab kelima adalah bab penutup, berisi kesimpulan dari

pembahasan yang dilakukan berdasarkan perumusan masalah

yang penulis sampaikan pada bab pertama penelitian ini. Bab

ini juga akan memberikan saran-saran yang terkait dengan

penulisan penelitian ini baik yang ditujukan untuk penulis

sendiri maupun masyarakat umum agar penelitian yang penulis

lakukan tidak berhenti disini namun ada kelanjutan yang

berkesinambungan. Tujuan utamanya adalah dapat

terbentuknya suatu kajian yang lebih komprehensif tentang

objektifitas tafsir dan membahas sudut fanatisme mazhab

sebagai bagian yang turut mempengaruhi validitas penulisam

sebuah tafsir.

25

BAB II

KONSEP DAN METODOLOGI TAFSIR HUKUM SERTA

RELEVANSINYA TERHADAP FANATISME DALAM

MAZHAB HUKUM

A. Konsep dan Metodologi Tafsir Hukum

Pada bab ini penulis akan fokus pada konsep dan

definisi terminologi tafsir hukum serta bagaimana metodologi

penulisan tafsir hukum secara umum. Pembahasan ini menjadi

sangat penting untuk memberikan gambaran tentang corak tafsir

hukum yang dilakukan oleh para ulama yang bergelut dibidang

hukum. Pembahasan ini juga akan mencoba memberikan

analisis tentang metodologi-metodologi yang secara umum

digunakan oleh para mufassir dalam melakukan penafsiran yang

fokus pada ayat-ayat hukum. Corak tafsir hukum tentunya

bersifat unik di bandingkan dengan tafsir-tafsir yang ada yang

terikat pada pakem metodologi penafsiran tertentu.

Sebagaimana diketahui ada beberapa metodologi

penafsiran misalnya metode Tahlĭly, metode ijmaly, metode

muqârrin dan metode maudhû‟i. Setiap metode ini akan kami

coba sandingkan dengan tafsir hukum yang ada dan bagaimana

metode tersebut digunakan oleh mufassir untuk menjelaskan

tafsir dengan corak pendekatan hukum.

1. Terminologi Tafsir Hukum

Sebelum memberikan definisi tentang tafsir hukum,

penulis lebih dahulu mencoba memberikan gambaran kenapa

istilah tafsir hukum digunakan di bandingkan dengan tafsir fikih

atau penggunaan istilah lainnya misalkan tafsir syar‟i. Ketiga

istilah yaitu syari‟at Islam, fikih dan hukum Islam sering

dipersamakan satu sama lain. Ketiganya memang merupakan

jalan yang berasal dari Allah, tetapi dari perkembangan sejarah

Islam, ketiganya telah mengalami differensiasi makna1.

1 Rifyal Ka‟bah, “Islamic Law”, dalam majalah triwulan Muslim

Executive & Expatriate, Jakarta, Muharram 1, 1420 H, h. 19

26

Syari‟at Islam secara umum adalah keseluruhan teks al-

Qur‟ân dan al-Sunnah sebagai ketentuan Allah yang seharusnya

menjadi pegangan hidup manusia. Syari‟at yang terkandung di

dalam al-Qur‟ân dalam konteks ini menyangkut hubungan

khusus antara individu dengan Allah dan sebagian yang lain

menyangkut antara hubungan antar individu dalam kehidupan

masyarakat2.

Pesan-pesan syari‟at yang ada di dalam al-Qur‟ân dan

al-Sunnah memerlukan berbagai macam penjelasan. Penjelasan

tersebut bisa datang dari al-Qur‟ân itu sendiri misalnya melalui

penjelasan antar ayat dengan ayat atau melalui penjelasan al-

Sunnah. Sebagian penjelasan teks-teks al-Qur‟ân atau al-

Sunnah bisa jadi tidak ditemukan penjelasannya dalam teks

yang lain. Oleh karena itu teks-teks tersebut memerlukan

penjelasan dan pemahaman lebih lanjut agar dapat diaplikasikan

dalam kehidupan sehari-hari. Para penafsir atau fuqaha telah

berusaha semaksimal mungkin untuk melakukan menafsirkan

sendiri teks-teks agama tersebut dan membuat formulasi baru

sesuai dengan apa yang dimaksud oleh syari‟at (maqâsid al-

syari‟ah)3. Selain penjelasan tentang teks-teks yang ada di al-

Qur‟ân dan al-Sunnah, para ulama juga berusaha untuk

menetapkan formulasi hukum yang belum ditetapkan secara

rinci dan jelas oleh teks-teks al-Qur‟ân dan al-Sunnah untuk

2 Rifyal Ka‟bah, Penegakan Syariat Islam di Indonesia, (Jakarta:

Khairul Bayan, 2004), h. 4. 3 Maksud-maksud syariat atau maqâsid al-syari‟ah adalah tujuan

yang menjadi target teks dan hukum-hukum particular untuk direalisasikan

dalam kehidupan manusia. Baik berupa perintah, larangan, dan mubah.

Untuk individu, keluarga, jamaah, dan ummat. Maqâsid al-syari‟ah juga

bisa berarti hikmah-hikmah yang menjadi tujuan ditetapkannya hukum. Baik

yang diharuskan ataupun tidak. Karena, dalam setiap hukum yang

disyariatkan oleh Allah untuk hamba-Nya pasti terdapat hikmah. Ia bisa

diketahui oleh orang yang mengetahuinya dan tidak diketahui oleh orang-

orang yang tidak mengetahuinya. Karena, Allah suci untuk membuat syariah

yang sewenang-wenang, sia-sia, atau kontradiksi dengan sebuah hikmah.

Yusuf al-Qaradâwi, Fiqih Maqashid Syariah., Penerjemah Arif Munandar

Riswanto (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2006), h. 18.

27

memastikan pandangan Islam mengenai hal ini. Konsep inilah

yang dimaksudkan dengan fiqh. Sedangkan hukum Islam dapat

disimpulkan sebagai pemahaman syari‟at yang telah

diformulasikan dalam bentuk teks hukum berupa konstitusi,

undang-undang dan peraturan yang mengikat warga negara.

Hukum Islam dianggap sebagai hukum suatu negara atau

bagian dari hukum negara4.

Tafsir hukum dibentuk dari dua kata yaitu tafsir dan

hukum. Kata tafsir pada mulanya berarti penjelasan, atau

penampakan makna. Patron kata tafsir yang terambil dari kata

fasara mengandung makna kesungguhan membuka atau

keberulang-ulangan melakukan upaya membuka, sehingga itu

berarti kesungguhan dan berulang-ulangnya upaya untuk

membuka apa yang tertutup/menjelaskan apa yang musykil/sulit

dari makna sesuatu, antara lain kosakata. Jika dihubungkan

dengan konteks al-Qur‟an maka tafsir dapat didefinisikan

sebagai penjelasan tentang firman-firman Allah sesuai dengan

kemampuan manusia5.

Sebagai sebuah kosakata dalam Bahasa Indonesia, kata

“hukum” sebenarnya berasal dari Bahasa Arab yaitu berasal

dari kata hukm yang berarti “putusan” (judgement, verdict,

decision), “ketetapan” (provision), “perintah” (command),

“pemerintahan” (government), “kekuasaan” (authority, power),

“hukuman”, (sentence) dan makna-makana lainnya6. Kata kerja

yang terbentuk dari kata hukm ini yaitu hakama, yahkumu yang

dapat berarti “memutuskan”, “mengadili”, “menetapkan”,

“menghukum”, “memerintahkan” serta makna-makna lainnya.

Asal usul kata hakama berarti mengendalikan dengan satu

pengendalian7.

4 Rifyal, Penegakan Syariat Islam, h. 5.

5 M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, h. 9.

6 Hans Wehr, A Dictionary of Modern Written Arabic (London:

Macdonald &Evans Ltd., 1980), h. 196. 7 al-Râghib al-Asfahânî, Mu‟jam Mufradât Alfâzh al-Qur‟ân

(Beirut Dâr al-Fikr. T.t) h. 126.

28

Bila seseorang dapat mengendalikan sebuah sampan

dengan bijak (hikmah), ia dikatakan hakama al-safinah. Kata

“hikmah” (kebijakan) juga berasal dari kata hukm. Hukum itu

berhubungan dengan perintah yang bijak. Dengan demikian,

hukum juga dapat berarti kebijakan atau policy. Sedangkan

pengertian hukm yang lebih umum secara bahasa adalah bila

“anda memutuskan sesuatu dengan begitu atau begini, baik

keputusan tersebut mengikat orang lain selain anda atau tidak

mengikat”8.Jika digabung pengertian terminologis antara tafsir

dan hukum maka tafsir hukum adalah penjelasan tentang

firman-firman Allah yang berkaitan dengan aspek perintah,

larangan atau keputusan-keputusan yang dapat mengikat atau

tidak mengikat sesuai dengan kemampuan manusia.

Istilah tafsir hukum atau ahkâm al-Qur‟ân lebih sering

digunakan oleh mufassir ketimbang istilah tafsir fiqh. Jika

melihat uraian tentang perbedaan pengertian fiqh, syariat Islam

dan hukum Islam, penggunaan kata hukum untuk menjelaskan

tentang tafsir ayat-ayat hukum dianggap lebih tepat karena

hukum bisa bersifat komprehensif yang dapat mengakomodir

istilah syariat, fiqh maupun istilah hukum Islam itu sendiri. Para

mufassir berusaha menjelaskan firman-firman Allah yang

berkaitan dengan segala aspek perintah, larangan atau

keputusan-keputusan baik yang mengikat atau yang tidak

mengikat sesuai dengan kemampuannya. Meskipun begitu,

terminologi tafsir fiqh juga digunakan oleh sebagian ulama.

Istilah tafsir fiqh misalnya digunakan oleh Muhammad Husein

al-Dzahabi dalam karyanya al-Tafsîr wa al-Mufassirûn. Istilah

ini juga digunakan oleh Muhammad Ali al-Iyaziy dalam

karyanya yang berjudul al-Mufassirûn: Hayâtuhum wa manhâ-

juhum.

Para mufassir sendiri tidak menyampaikan definisi

apapun tentang makna ayat hukum ini. Alasan yang

memungkinkan tidak adanya komentar tentang definisi ayat

8 al-Asfahânî, Mu‟jam Mufradât Alfâzh al-Qur‟ân, h. 126.

29

hukum karena untuk sampai pada arti yang dimaksudkan

haruslah merujuk kepada urf al-Qur‟ân dan tabadur (yang

tercepat dipahami) dan tidak perlu kepada hal-hal lain lagi.

Ketiadaan definisi juga dianggap karena begitu jelasnya makna

“ayat hukum” tersebut9.

Namun begitu, Muhammad Fakir al-Mubadi berupaya

memberikan definisi terhadap ayat-ayat hukum di dalam

bukunya yang berjudul Ayat al-ahkâm Tathbiqi: Fiqh al-

Qur‟ân. Menurutnya ayat-ayat hukum adalah ayat-ayat yang

mengandung hukum-hukum taklifi (penjelasan hukum yang

berkaitan dan mengarah secara langsung kepada perbuatan

manusia yaitu wajib, Sunnah, haram, makruh dan mubah) atau

hukum wadh‟I (penjelasan hukum yang tidak berkakitan dan

mengarah secara langsung dengan perbuatan manusia, seperti

sah dan tidak sahnya suatu perbuatan)10

. Definisi ini kental

sekali dengan nuansa fiqh yang tidak membedakan apa itu fiqh,

syariat Islam dan hukum Islam.

2. Metodologi Penulisan Tafsir Hukum.

Tafsir hukum merupakan salah satu corak dalam

penulisan tafsir yang fokus pada pembahasan aspek-aspek

hukum di dalam al-Qur‟an. Di dalam penyajiannya, para

mufassir di bidang ini pada umumnya melakukan pembahasan

tafsir dengan cara-cara sebagai berikut: Pertama, Sang mufassir

tidak melakukan penafsiran ayat per ayat, atau surat per surat

secara berurutan namun mufassir terlebih dahulu menentukan

tema-tema khusus sesuai dengan bab-bab pembahasan yang

biasa dilakukan pada penulisan kitab fiqh.

Tema-tema tersebut misalnya tentang thaharah, shalat,

puasa, zakat, munakahât (perkawinan) serta tema-tema lainnya

9 Lilik Ummi Kultsum dan Abd. Moqsith Ghazali, Tafsir Ayat-ayat

Ahkam, (Ciputat: UIN Press, 2015), h.11. 10

Muhammad Fakir Mibadi, Ayat-ayat Hukum dalam Pandangan

Imamiyah dan Ahlusunnah, Penerjemah Sirojudin (Jakarta: Nur Huda,

2014), h.12.

30

yang biasa dibahas dalam kitab-kitab fiqh. Setelah tema-tema

tersebut ditentukan, mufassir akan mencari ayat-ayat yang

membahas tentang tema-tema tersebut secara komprehensif.

Sumber-sumber penafsiran dari ayat-ayat yang telah dipisahkan

tersebut bisa dalam bentuk tafsir bi al-Ma‟tsur atau tafsir bi al-

ra‟yi11

. Setelah penjelasan tema-tema tersebut secara normatif

baik dengan menggunakan konsep bi al-ma‟tsur atau bi al-

ra‟yi, mufassir dapat melakukan kontekstualisasi ayat-ayat

hukum ini yang dihubungkan dengan problematika

kontemporer pada saat itu12

. Problematika kontemporer tersebut

misalnya wacana penggabungan zakat dengan pajak, posisi

hukum ahlu al-dzimmah dalam konteks negara modern dan

tema-tema kontemporer lain yang memungkinkan untuk

dibahas sesuai dengan perkembangan zaman.

Kedua, sang mufassir melakukan penafsiran secara

tahlîly dimana penafsir melakukan upaya penafsiran dengan

menjelaskan kandungan ayat-ayat al-Qur‟ân dari segi hukum

yang disajikan secara runtut sesuai dengan perurutan ayat dan

surat di dalam al-Qur‟ân. Dengan cara ini, mufassir memulai

penafsirannya dari awal surat di dalam al-Qur‟ân hingga akhir.

Mufassir lalu membahas ayat demi ayat, surat demi surat

dengan penekanan kajian pada bidang hukum.

Meskipun belum komprehensif, kedua metode penulisan

tersebut dapat dikategorikan sebagai metode penafsiran tematik.

Metode ini mengarahkan pandangan kepada satu tema tertentu,

lalu mencari pandangan al-Qur‟ân tentang tema tersebut dengan

jalan menghimpun semua ayat yang membicarakannya,

menganalisis, dan memahaminya ayat demi ayat, lalu

menghimpunnya dalam benak ayat yang bersifat umum

dikaitkan dengan yang khusus, yang mutlaq digandengkan

11

Muhammad Ali Iyaziy, al-Mufassirûn: Hayâtuhum wa

manhâjuhum (Teheran: Kementrian Pendidikan dan Kebudayaaan Islam,

1386 H) Jilid 1 h. 119. 12

Lilik Ummi Kaltsum dan Abd. Moqsith Ghazali, Tafsir Ayat-ayat

Ahkam, h.11.

31

dengan yang muqayyad, dan lain-lain sambal memperkaya

uraian dengan hadits-hadits yang berkaitan untuk kemudian

disimpulkan dalam suatu tulisan pandangan yang menyeluruh

dan tuntas menyangkut tema yang dibahas itu13

.

B. Al-Qur’ân sebagai Sumber Hukum

Al-Qur‟ân sebagai sebuah kitab suci bagi umat Islam

dianggap merupakan suatu pedoman yang sangat sempurna

yang mencakup berbagai aspek kehidupan. Hal ini sebagaimana

ditegaskan oleh al-Qur‟ân sendiri dalam ayat terakhir yang

diturunkan oleh Allah SWT yaitu al-Qur‟ân surat al-Mâidah

ayat (3)14

.

13

M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, h.385. 14

Para ulama berbeda pendapat tentang ayat terakhir yang

diturunkan. Syaikh Manna al-Qaththan bahkan merangkum 10 (sepuluh)

pendapat yang mengemukakan tentang ayat terakhir yang diturunkan. Di

antara ayat-ayat yang disinyalir sebagai ayat-ayat yang terakhir diturunkan

adalah:

1. al-Qur‟ân Surat al-Baqarah ayat 278

2. al-Qur‟ân Surat al-Baqarah ayat 281

3. al-Qur‟ân Surat al-Baqarah ayat 286

4. al-Qur‟ân Surat al-Nisa ayat 176

5. al-Qur‟ân Surat al-Taubah ayat 128

6. al-Qur‟ân Surat al-Maidah

7. al-Qur‟ân Ali Imran ayat 195

8. al-Qur‟ân Surat al-Nisa ayat 93

9. al-Qur‟ân Surat al-Nasr

10. al-Qur‟ân Surat al-Maidah ayat 3

Menurut Syaikh Manna al-Qaththan, semula pendapat terkait ayat

terakhir yang diturunkan tidak disandarkan kepada Nabi. Masing-masing

hanyalah ijtihad dan dugaan. Ada kemungkinan pula bahwa masing-masing

mereka itu memberitahukan apa yang terakhir didengarnya dari Rasulullah.

Atau mungkin juga masing-masing mengatakan hal itu berdasar apa yang

terakhir diturunkan dalam hal perundang-undangan tertentu. Terkait dengan

pendapat yang mengatakan bahwa ayat yang terakhir diturunkan adalah

Surat al-Maidah ayat 3 maka secara teks, menunjukkan penyempurnaan

kewajiban dan hukum. Oleh karena itu, ulama menyatakan kesempurnaan

agama di dalam ayat ini. Allah telah mencukupkan Nikmat-Nya kepada

mereka dengan menempatkan mereka di negeri suci dan membersihkan

32

ٱليوم أكملت لكن دينكن وأتممت عليكن نعمتي ورضيت لكن ٱإلسلن دينا

“…Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu,

dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-

ridhai Islam itu jadi agama bagimu...” (QS. Al-Maidah:3).

Ayat ini menegaskan bahwa Islam merupakan agama

yang telah sempurna karena Allah melalui firman-Nya

menegaskan kesempurnaan agama ini. Bentuk kesempurnaan

yang di maksud Allah SWT dalam ayat ini bukanlah berarti

bahwa sebelum ayat ini turun, agama Islam belum sempurna

dan masih kurang kemudian Allah menyempurnakannya.

Namun maksud dari ayat ini adalah hukum-hukum yang ada

sudah final dan tidak lagi menerima pe-nasakh-an, serta tetap

berlaku selama-lamanya, layak dan sesuai untuk setiap ruang

dan waktu15

.

Penyempurnaan yang dimaksud dalam al-Maidah ayat

(3) tersebut adalah penyempurnaan pada aspek agama itu

sendiri dan penyempurnaan pada aspek eksistensinya.

Penyempurnaan pada aspek agama adalah penyempurnaan

kandungan isinya yang mencakup kewajiban-kewajiban, halal

dan haram, serta menegaskan secara eksplisit pokok-pokok

aqidah, asas-asas legislasi serta aturan dan kaidah ijtihad.

Sedangkan penyempurnaan pada aspek eksistensinya adalah

dengan meluhurkan kalimatnya, keunggulan atas semua agama

yang lain, senantiasa sesuai dengan kemaslahatan-kemaslahatan

umum, senantiasa selaras dengan perkembangan, moderat, dan

orang-orang yang musyrik daripadanya serta menghajikan mereka di rumah

suci tanpa disertai oleh seorang musyrik pun, padahal sebelumnya orang-

orang musyrik juga berhaji dengan mereka. Yang demikian termasuk nikmat

yang sempurna. Syaikh Manna al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu al-

Qur‟ân, h. 83 – 87. 15

Wahbah al-Zuhaili, Tafsir al-Munir: Aqidah, Syari‟ah, dan

Manhaj Jilid 3. Penerjemah Abdul Hayyie al Kattani dkk (Jakarta: Gema

Insani Press, 2005), h. 416.

33

keseimbangan antara kemaslahatan-kemaslahatan khusus dan

kemaslahatan umum di dalamnya16

.

Penekanan penyempurnaan hukum dan legislasi yang di

kandung dalam ayat ini memberikan suatu informasi yang kuat

bahwa al-Qur‟ân sebagai sebuah kitab suci yang isinya

mencakup berbagai aspek kehidupan juga mencakup pada

penyempurnaan di bidang hukum. Dengan kata lain, al-Qur‟an

memberikan informasi tentang hukum dan legislasi serta patut

dijadikan sebagai sumber hukum dan legislasi itu sendiri.

Ketika berbicara tentang sumber hukum, al-Qur‟ân

menegaskan bahwa sumber hukum yang paling utama

bersumber dari Allah, dari Rasul-Nya serta dari para ulil Amri.

Hal ini sebagaimana tersurat di dalam al-Qur‟ân surat yaitu

Surat al-Nisa ayat (59) dan Surah al-Mâidah ayat (49).

يا أي ها ٱلذين آمنوا أطيعوا ٱللو وأطيعوا ٱلرسول وأول ٱألمر منكم فإن ت نازعتم ف شيء ف ردوه إل ٱللو وٱلرسول إن كنتم ت ؤمنون بٱللو وٱلي وم

ر وأحسن تأ ويل ٱآلخر ذلك خي “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah

Rasulnya dan ulil Amri di antara kamu. Kemudian jika kamu

berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia

kepada Allah dan rasulnya, jika kamu benar-benar beriman

kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih baik

bagimu dan lebih baik akibatnya”. (Q.S. Al-Nisa:4 [59])

ن هم بآ أنزل ٱللو وال ت تبع أىوآءىم وٱحذرىم أن ي فتنوك عن وأن ٱحكم ب ي ا يريد ٱللو أن يصيب هم بب عض ب ع ض مآ أنزل ٱللو إليك فإن ت ولوا فٱعلم أن

ذنوبم وإن كثريا من ٱلناس لفاسقون

16

al-Zuhaili, Tafsir al-Munir: Aqidah, Syari‟ah, dan Manhaj, Jilid

3. h. 417.

34

“Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka

menurut apa yang diturunkan Allah dan janganlah kamu

mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu

terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari

sebagian kamu dari sebagian apa yang telah diturunkan Allah

kepadamu. Jika mereka berpaling dari hukum yang telah

diturunkan Allah, maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah

menghendaki akan menimpakan musbah kepada mereka

disebabkan sebagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya

kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik” (Q.S. Al-

Mâidah:5[49])

Berdasarkan kedua ayat di atas, al-Qur‟ân mencoba

menegaskan tentang sumber-sumber-sumber hukum dan

kewajiban untuk mematuhi hukum yang telah ditetapkan oleh

Allah SWT melalui al-Qur‟ân. Secara eksplisit perintah

kepatuhan kepada Allah, Rasulnya adalah bentuk simbolik

suatu legislasi yang bersumber dari Allah yang termanifes-

tasikan melalui al-Qur‟ân, sumber hukum dari Rasulullah

termanifestasikan dalam hadits atau al-sunnah dan ulil amri

termanifestasikan dalam legislasi yang dibuat oleh manusia

dengan mekanisme dan sistem yang beranekan ragam.

Penekanan al-Qur‟ân untuk dijadikan sebagai sumber

hukum bagi umat Islam juga dinyatakan secara beruntun dalam

al-Qur‟ân Surat al-Mâidah ayat (44), (45) dan (47) yang

dilakukan dengan menggunakan teks sama namun diakhiri

dengan suatu ancaman atau bentuk ketegasan. Dalam al-Qur‟ân

Surat al-Mâidah ayat (44) penegasan terhadap siapa-siapa yang

tidak berhukum dengan hukum Allah maka mereka termasuk

orang-orang kafir17

. Pada ayat selanjutnya yaitu al-Qur‟ân Surat

17

Allah menyebut orang-orang yang mendustakan hukum Allah

dengan sebutan angkuh dan keras kepala dalam kekafiran sehingga

menimbulkan perbedaan pendapat di kalangan para ulama apakah orang-

orang yang tidak menjalankan hukum Allah maka otomatis jatuh kepada

35

al-Mâidah ayat (45) ancaman bagi yang tidak berhukum dengan

hukum Allah adalah dimasukkan sebagai orang-orang yang

zalim. Sedangkan ayat selanjutnya, yaitu al-Qur‟ân Surat al-

Mâidah ayat (47) menyatakan bahwa orang-orang yang tidak

berhukum dengan hukum Allah adalah termasuk orang-orang

yang fasik.

Klaim al-Qur‟ân sebagai sumber hukum Islam diperkuat

dengan banyaknya kandungan al-Qur‟ân yang justru berbicara

tentang hukum baik kandungan gramatikal atau kandungan

yang menggambarkan bentuk informasi atau perintah yang

berfungsi sebagai hukum bagi yang mengimaninya. Meskipun

begitu, al-Qur‟ân harus dipahami sebagai sebuah kitab suci

yang tidak mungkin mencakup semua materi ilmu pengetahuan.

Keberadaan sumber-sumber keilmuan termasuk di dalamnya

sumber hukum memberikan gambaran bahwa al-Qur‟ân dapat

dijadikan pedoman umat manusia dalam kehidupan sosialnya.

Adapun pemahaman komprehensif terhadap suatu bidang ilmu

pengetahuan yang dibahas di dalam al-Qur‟ân dapat digali

dengan memaksimalkan potensi akal pikiran yang diberikan

oleh Allah kepada manusia.

kekafiran. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa label orang-orang kafir,

orang-orang zalim dan orang-orang fasik dalam ayat-ayat tersebut adalah

label yang ditujukan kepada ahli kitab. Hal ini didukung oleh pendapat al-

thabari yang menyatakan bahwa tiga ayat dalam tersebut sama sekali tidak

berbicara tentang umat Islam, tetapi ayat-ayat tersebut menyangkut orang-

orang kafir. Pendapat di atas di tolak oleh al-Râzi. Ia mengatakan bahwa

pandangan di atas adalah lemah. Hal ini didasarkan pada keumuman redaksi,

bukan kekhususan sebab. Menurut al-Râzi ayat-ayat tersebut sesungguhnya

mencakup orang-orang yang mengingkari dengan hatinya dan menolak

dengan lisannya. Adapun orang-orang yang mengakui dengan hatinya bahwa

itu adalah hukum Allah lalu menyatakan dan mengikrarkan dengan lisannya

bahwa itu adalah hukum Allah hanya saja ia mengambil langkah yang tidak

sesuai dengan itu, ia tetap dianggap sebagai orang yang menetapkan apa

yang diturunkan oleh Allah. Namun pada waktu yang sama, ia adalah orang

yang meninggalkannya, sehingga ia tidak mesti masuk ke dalam cakupan

ayat ini. al-Zuhaili, Tafsir al-Munir: Aqidah, Syari‟ah, dan Manhaj, Jilid 3.

h. 168.

36

H.A.R Gibb seorang orientalis yang mumpuni dalam bidang

pemikiran dan hukum Islam mengatakan bahwa aktivitas

pemikiran yang menonjol pada masa awal permulaan Islam

adalah bidang hukum dan bukan bidang pemikiran. Menurutnya

ada beberapa hal yang mempengaruhi mengapa posisi hukum

dalam Islam menjadi begitu penting. Pertama, kebutuhan-

kebutuhan praktis masyarakat Islam yang sedang tumbuh

menghendaki proses hukum yang stabil dan standar sebelum

umat Islam mempunyai kesempatan untuk memikirkan

masalah-masalah filsafat. Kedua, Hukum Romawi yang

ditemukan umat Islam di Mesir, Suriah, dan Irak mendorong

mereka untuk mengkonstruksi sistem hukum mereka sendiri

sebelum kontroversi pemikiran asing mempengaruhi mereka18

.

Boleh jadi perkembangan hukum Islam beserta

pengorganisasian yang telah berlangsung lama dipengaruhi oleh

faktor-faktor di atas, namun inspirasi utama sebagai sumber

hukum dan perkembangannya adalah al-Qur‟an dan Sunnah.

Bagi para pemikir muslim, hukum bukanlah sebuah

bentuk pengkajian yang independen dan empiris, melainkan

melalui proses dakwah atau wahyu yang turun melalui

Rasulullah Sallallahu alaihi wasallam. Pada generasi awal

sebenarnya hampir-hampir tidak dapat dibedakan mana hal-hal

yang merupakan sesuatu yang bersifat legal dan mana yang

bersifat keagamaan. Dalam al-Qur‟an dan Sunnah, kedua hal ini

saling terkait dan berhubungan, karena baik hal-hal yang

bersifat legal atau keagamaan, segalanya bersumber pada al-

Qur‟ân dan Sunnah.

Di sinilah sebenarnya klaim al-Qur‟ân sebagai sumber

hukum bagi Umat Islam tidak dapat terbantahkan. Dengan

memperhatikan substansi hukum dalam konteks al-Qur‟ân,

maka hukum sebenarnya adalah ketetapan, keputusan, perintah,

kebijakan, dan pemerintahan. Allah dan Rasul menetapkan

sesuatu sebagai keputusan dan perintah yang harus dijadikan

18

Rifyal Ka‟bah, Hukum Islam di Indonesia Perspektif

Muhammadiyah dan NU, (Jakarta:Universitas Yarsi,1999). h.34.

37

pegangan dalam mengambil kebijakan dalam hidup dan

menjalankan pemerintahan. Sebagiannya merupakan ketetapan

langsung dari Allah dan sebagian lagi merupakan ketetapan

yang keluar dari kebijakan manusia berdasarkan rasa keadilan

yang ditanamkan Allah dalam dirinya19

.

Al-Qur‟ân adalah sebuah kitab suci bagi umat Islam.

Keberadaannya yang dianggap sempurna harus dipahami

sebagai sebuah pedoman umum dalam konteks keberagamaan

termasuk di dalamnya hukum-hukum yang terkandung di

dalamnya. Sebagai suatu sumber hukum yang merupakan

norma tertinggi dari suatu legislasi, al-Qur‟ân tidak bisa

dipaksakan untuk memberikan aturan-aturan konkrit dan

mendetail tentang kehidupan manusia dari segala latar beakang

dan perbedaan zaman. Oleh karenanya sebagai sumber hukum,

al-Qur‟ân hanya memberikan pedoman-pedoman umum

legislasi yang harus dikembangkan lagi oleh manusia.

Kandungan isi al-Qur‟ân yang sangat beragam termasuk

sebagai sumber hukum memang tidak memungkinkan untuk

mencakup segala aspek kehidupan. Al-Qur‟ân telah secara tegas

menyatakan sendiri bahwa ia adalah sumber hukum dan

legislasi. Namun bagaimana perspektif al-Qur‟ân tentang

hukum itu sendiri adalah hal yang juga menarik untuk dikaji.

1. Hukum dalam Perspektif al-Qur’ân.

Kata-kata hukum dalam perspektif al-Qur‟an sangat

terhubung erat dengan kata-kata adil atau keadilan. Hal ini

mengingat al-Qur‟ân juga banyak membahas tentang keadilan

yang terkait dengan hukum. Hukum dalam perspektif al-Qur‟ân

yang memiliki makna keputusan harus memiliki tujuan keadilan

dalam pelaksanaanya. Oleh karenanya al-Qur‟ân ketika

menyikapi setiap perbedaan yang mengharuskan diambil suatu

keputusan maka hendaknya keputusan tersebut diambil

berdasarkan keadilan. Perintah untuk senantiasa adil dalam

19

Rifyal Ka‟bah, Penegakan Syariat Islam di Indonesia,

(Jakarta:Khairul Bayan, 2004), h. 20.

38

bermuamalah atau pergaulan sosial juga dianggap sebagai suatu

perbuatan yang lebih mendekatkan manuasia kepada

ketakwaan20

.

Keadilan yang mempunyai hubungan yang kuat dengan

aspek hukum di dalam al-Qur‟ân memiliki beberapa makna.

Jika ditinjau secara bahasa maka adil bermakna meletakkan

sesuatu pada tempatnya (Wad‟u al-Syai‟ fî Mahallih).

Sedangkan pengertian pokok keadilan adalah sebagai berikut:

1. Perimbangan atau keadaan seimbang (mauzuni). Dalam

makna ini, keadilan anonim dengan kekacauan atau

ketidakadilan (al-tanasub).

2. Persamaan (musawah) atau ketidakadaan diskriminasi

dalam bentuk apapun. Hal ini berdasarkan pada prinsip

demokrasi dan Universal Declaration of Human Right yang

di bangun atas dasar persamaan.

3. Penunaian hak sesuai dengan kewajiban yang diemban.

Keadilan dalam arti hampir sama dengan keadilan distributif

(imbalan sesuai jasa) dan keadilan komutatif (imbalan

secara merata tanpa memperhatikan perbedaan tingkat

tanggung jawab) seperti yang dijelaskan oleh filosof

Aristoteles.

4. Keadilan Allah, yaitu kemurahan-Nya dalam melimpahkan

rahmat kepada seseorang sesuai dengan tingkat kesedian

yang dimilikinya.

Dalam beberapa ayat al-Qur‟ân dapat dijumpai perintah

untuk berlaku adil, di antaranya sebagai berikut: “berlaku

20

أال يا أي هآ ٱلذين آمنوا كونوا ق وامني للو شهدآء بٱلقسط وال يرمنكم شنآن ق وم على ت عدلوا ٱعدلوا ىو أق رب للت قوى وٱت قوا ٱللو إن ٱللو خبري با ت عملون “Hai orang-orang yang beriman, jadilah kamu sebagai penegak keadilan

karena Allah, (ketika) menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah

kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak

adil. Berlaku adillah. Karena (adil) itu lebih dekat kepada takwa. Dan

Bertakwalah kepada Allah, sungguh, Allah Maha Teliti terhadap apa yang

kamu kerjakan”.

39

adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa…” (Q.S. al-

Mâ‟idah [5]:8); “Sesungguhnya Allah memerintahkan kamu

menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan

(menyuruh kamu), apabila menetapkan hukum di antara

manusia, supaya menetapkan dengan adil…” (Q.S. al-Nisa [4];

58); “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu berlaku adil dan

berbuat kebajikan….” (Q.S. al-Nahl [16]: 90) dan “…Maka

damaikanlah antara keduanya dengan adil dan berlaku adillah.

Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.”

(Q.S al-Hujurat [49]:9).

Jika dihubungkan dengan aspek keadilan, maka dapat

diberikan suatu kesimpulan bahwa dalam perspektif al-Qur‟ân,

hukum adalah suatu ketetapan, keputusan dan perintah yang

berasal dari Allah dan legislasi manusia yang bertujuan untuk

menegakkan keadilan dalam kehidupan pribadi, masyarakat dan

negara. Sebagai ketetapan yang beras al dari perintah Allah

yang Maha Adil, Maha Benar dan Maha Tahu kemaslahatan

hamba-Nya, hukum ilahi berisikan keadilan seluruhnya.

Sebagai ketetapan yang berasal dari legislasi manusia, hukum

manusia harus berdasarkan kepada hukum ilahi dan rasa

keadilan yang paling tinggi

Kata hukm dengan berbagai variasinya juga ditemukan

sebanyak 30 kali di dalam al-Qur‟an. Jika dilihat dengan segala

variasi dan turunannya, maka kata hukm terulang sebanyak 210

kali. Hal ini membuktikan bahwa concern al-Qur‟an sebagai

firman Allah terhadap perkara hukum dengan berbagai

maknanya juga sangat besar21

.

Ayat-ayat dalam al-Qur‟ân yang menyangkut hukum

secara garis besar dibagi menjadi dua bagian. Bagian yang

pertama menyangkut hukum yang terkait dengan perbuatan

Allah yaitu keputusan yang akan Ia berikan di hari akhirat

terhadap permasalahan yang diperdebatkan di kalangan

21

Mu‟jam Ma‟aniy al-Qur‟ân al-Karîm

40

manusia. Bagian yang kedua adalah hukum yang menyangkut

perbuatan manusia yaitu hukum sebagai perintah dari Allah

supaya memutuskan perkara atau urusan (baik di dalam maupun

di luar pengadilan, dan dalam masyarakat pada tingkat

kehidupan orang perorang atau pemerintahan pada tingkat

kehidupan bernegara) berdasarkan keadilan [al-Mâ‟idah 5:5, an-

Nisâ 4:58] dan sesuai dengan yang diperintahkan oleh Allah

[an-Nisâ 4:105].

Adapun ayat-ayat hukum yang menyangkut perbuatan

Allah adalah keputusan menyangkut perselisihan antara ummat

Kristen dan ummat Yahudi [al-Baqarah 2:113], keputusan

sengketa antara sesame pengikut nabi „Isa tentang status

kematian beliau [al-„Imrân 3:55], keputusan antara umat nabi

Syu‟aib yang beriman dan yang tidak beriman [al-A‟raf 7:87],

keputusan antara orang munafik dan orang yang tidak beriman

[al-Nisa 4 : 141], keputusan antara sesame umat Yahudi

menngenai masalah sabath [Al-Nahl 16:124], keputusan antara

sesama umat manusia [al-Hajj 22:56] keputusan antara umat

manusia mengenai perkara ibadah [al-Hajj 22:69], keputusan

antara sesame orang musyrik [al-Zumar 39:3] dan keputusan-

keputusan lainnya yang menyangkut perbuatan Allah di akhirat.

Keputusan atau ketetapan Allah memang berlaku di dunia dan

di Akhirat dan tidak ada yang dapat menghalangi keputusan-

Nya atau meminta pertanggungjawaban-Nya. Namun keputusan

Allah di akhirat kelak tidak lagi memperhatikan wilayah

keputusan atau ketetapan manusia yang pada saat itu wilayah

keputusan dan ketetapan ada sepenuhnya di tangan Allah.

Berbeda dengan di dunia, di akhirat manusia tidak lagi dapat

menyanggah keputusan Allah. Bila semasa kehidupan di dunia

ada keputusan hukum yang dijatuhkan tidak berdasarkan fakta

yang sebenarnya, keputusan hukum dalam kehidupan di akhirat

betul-betul berdasaran fakta sesungguhnya. Kebaikan akan

dibalas dengan kebaikan dan keburukan akan dibalas dengan

keburukan. Disinilah ada kaitan yang erat antara hukum dan

41

konsep Jaza‟ (pembalasan, sanksi) dari satu sisi, dan antara

hukum dan keadilan dari sisi lain.

2. Kandungan ayat-ayat hukum di dalam al-Qur’ân

Sesuai dengan apa yang telah penulis sampaikan bahwa

al-Qur‟ân adalah sumber hukum utama bagi umat Islam. Meski

harus diakui bahwa al-Qur‟ân adalah kitab suci dan bukan kitab

undang-undang, maka harus dipahami pula bahwa konten

kandungan ayat-ayat hukum di dalam al-Qur‟an bersifat global

dan tidak membahas secara detail aturan-aturan khusus legislasi

mengenai berbagai permasalahan hukum. Fungsinya sebagai

petunjuk atau dalil bagi manusia atau sebagai istinbath dalam

melakukan legislasi yang lebih terperinci dalam kehidupan

sosial.

Kandungan ahkam di dalam al-Qur‟an menurut „Abd al-

Wahhab Khallaf mencakup tiga hal utama yaitu:

a. Hukum keyakinan (ahkam al-I‟tiqodiyyah), yaitu

kewajiban-kewajiban bagi mukallaf untuk percaya pada

Allah, malaikat, kitab-kitab-Nya para rasul, dan hari kiamat.

b. Hukum akhlak, (ahkam al-khuluqiyyah), yaitu kewajiban

bagi mukallaf untuk berbuat kebaikan sebanyak-banyaknya

dan menjauhkan diri dari kejelekan.

c. Hukum amaliah (ahkam al-„amaliyyah), yaitu kewajiban-

kewajiban bagi mukallaf, baik dalam perkataan, perbuatan

maupun dalam tasharrufat. Secara umum inilah apa yang

disebut oleh „Abd Wahhab Khallaf sebagai fiqh al-

Qur‟ân.22

Secara umum kandungan hukum yang terkandung di

dalam al-Qur‟ân dapat dibagi menjadi dua bagian utama yaitu

aspek hukum ibadah dan aspek hukum muamalah. Yang

termasuk dalam aspek hukum ibadah ayat-ayat yang

menyangkut shalat, puasa, haji, dan nazar. Ayat-ayat yang

22

Jaih Mubarok, Sejarah dan perkembangan Hukum Islam,

(Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2000), h. 24.

42

menyangkut hukum ibadah berjumlah sekitar 140 ayat. Adapun

ayat-ayat yang terkait dengan aspek hukum mumalah adalah

ayat-ayat yang bertujuan untuk membangun keselarasn

hubungan antar manusia (hablu min al-nas). Cakupan

muamalah, dalam pandangan „Abd al-Wahhab Khallaf dan

Kamil Musa, adalah sebagai berikut23

:

a. Hukum keluarga (al-ahwâl al-syakhsiyyah), yaitu hukum

yang mengatur hubungan individu dengan individu dalam

keluarga dan kekerabatan. Jumlah ayatnya sekitar 70 ayat.

b. Hukum kebendaan (ahkam madaniyyah), yaitu hukum yang

mengatur tukar menukar harta seperti ijarah, rahn, kafalah,

dan syirkah dan syirkah. Dalam al-Qur‟an terdapat aturan

tentang hukum kebendaan sebanyak sekitar 70 ayat.

c. Hukum Jinayah (ahkam Jina‟iyyah), yaitu hukum yang

mengatur pelanggaran dan sanksi yang dilakukan oleh

mukallaf. Tujuannya adalah menjaga hidup manusia dan

hartanya. Di dalam al-Qur‟ân, hukum terkait dengan jinayah

berjumlah sekitar 30 ayat.

d. Lembaga peradilan (ahkam murafa‟at), yaitu hukum yang

mengatur syarat-syarat hakim, saksi, dan sumpah. Dalam al-

Qur‟ân ayat-ayat yang mengatur tentang ahkam murafa‟at

ini berjumlah sekitar 10 ayat.

e. Hukum dusturi (al-ahkam al-dusturiyyah), yaitu hukum

yang berhubungan dengan interaksi antara pemimpin

dengan rakyat. Dalam al-Qur‟ân, ayat-ayat yang

mengandung tentang hubungan ini berjumlah sekitar 10

ayat.

f. Hukum negara (al-ahkam al-dauliyyah), yaitu hukum yang

mengatur hubungan kenegaraan, hubungan antar negara

(regional dan internasional). Dalam al-Qur‟ân terdapat

tentang aturan al-ahkam al-dauliyyah berjumlah sekitar 25

ayat.

23

Mubarok, Sejarah dan perkembangan Hukum Islam, h. 24

43

g. Hukum ekonomi, (al-ahkam al-iqtishadiyyah wa al-

maliyyah), yaitu hukum yang berhubungan antara kaya dan

miskin dan antara individu dan kelompok. Dalam al-Qur‟ân

terdapat aturan tentang al-ahkam al-iqtishadiyyah sekitar 10

ayat.

h. Hukum yang mengatur hubungan antara Islam dengan

bukan Islam. Jumlah ayat yang mengatur hukum ini

sebanyak 25 ayat.

Secara sederhana, pembagian kategorisasi ayat-ayat

hukum yang dijelaskan di atas dapat dilihat pada table dibawah

ini.

No Bidang Jumlah

ayat

1. Ibadah 140

2. Al-ahwal al-syakhsiyyah (Kawin, talak,

waris dan wasiat) 70

3. Muamalah (Jual beli, sewa, pinjam, gadai,

perseroan dan kontrak) 70

4. Kriminal (Jinayah) 30

5. Peradilan 13

6. Hubungan kaya dan miskin 10

7. Kenegaraan 10

8. Hubungan Islam dengan bukan Islam 25

Jumlah 368

Pada saat al-Qur‟ân datang, maka al-Qur‟ân menjadi

sumber-sumber hukum bagi umat Islam dan mengatur

hubungan Islam dengan umat dan golongan lain ketika itu

seperti Yahudi, Nasrani bahkan orang-orang Majusi.

Sebagaimana al-Qur‟ân menetapkan hukum-hukum baru

terhadap umat Islam dan umat lainnya, al-Qur‟ân beserta al-

Sunnah yang bersumber pada hadits Rasulullah sallallahu

„alaihi wasallam juga menghapus hukum-hukum jahiliyah

yang sudah ada yang dianggap bertentangan dengan al-Qur‟ân

dan al-Sunnah atau hukum-hukum tersebut dianggap

44

berbahaya dan merusak. Di antara perkara-perkara yang

dihapuskan adalah sebagai berikut, yaitu24

:

a. Keyakinan paganisme dan indikasi kesyirikan, seperti

menyatakan bahwa penyebab kebinasaan adalah waktu,

mengingkari ayat-ayat Allah dan pertemuan dengan-Nya,

mengingkari kebangkitan setelah kematian, keyakinan

bahwa para malaikat adalah anak perempuan dari Allah,

mengkhususkan hewan ternak dan tanaman untuk

sesembahan, dan keyakinan khusus mereka terhadap

bahirah25

, sa‟ibah26

, Washilah27

, dan ham28

.

b. Perilaku-perilaku buruk seperti membunuh anak kandung

karena khawatir kemiskinan, dan mengubur bayi perempuan

dalam kondisi hidup karena khaawatir celaan.

c. Pernikahan-pernikahan jahiliyah, seperti berkumpulnya

beberapa orang untuk menggauli seorang wanita. Jika

wanita tersebut hamil dan ia melahirkan lalu ia membawa

bayi tersebut kepada salah satu dari pelaku maka ia tidak

boleh menolaknya.

d. Adopsi anak. Praktek ini sudah berlaku beberapa waktu

sejak awal masa Islam diturunkan hingga turunnya firman

Allah yang menunjukkan larangan atasnya:

24

Manna‟ al-Qatthan, Sejarah Legislasi Hukum Islam, Penerjemah

Habibussalam (Jakarta:Ummul Qura, 2018), h. 209. 25

Bahirah adalah onta betina yang telah beranak lima kali dan

anakk yang kelima itu jantan, lalu onta betina itu dibelah telinganya,

dilepaskan, tidak boleh ditunggangi lagi dan tidak boleh diambil susunya. 26

Sa‟ibah adalah onta betina yang dibiarkan pergi kemana saja

lantaran sesuatu nazar. seperti, jika seorang Arab Jahiliah akan melakukan

perjalanan yang berat, maka ia akan bernazar dan menjadikan ontanya itu

Sa‟ibah bila maksud dari perjalanannya itu berhasil atau terkabul. 27

Washillah adalah seekor domba betina yang melahirkan anak

kembar yang terdiri dari satu jantan dan satu betina, maka yang jantan

disebut Washilah, tidak boeh disembelih dan dipersebahkan untuk berhala. 28

Hâm adalah onta jantan yang tidak boleh diganggu gugat lagi,

karena telah dapat membuntingkan onta betina sepuluh kali.

45

لكم ق ولكم بأف واىكم وٱللو ي قول ٱلق وما جعل أدعيآءكم أب نآءكم ذٱدعوىم آلبآئهم ىو أقسط عند ٱللو فإن ل ت علمو ا وىو ي هدي ٱلسبيل

ين ومواليكم آباءىم فإخوانكم ف ٱلد

“Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak

kandungmu (sendiri). Yang demikian itu hanyalah

perkataan dimulutmu saja. Dan Allah mengatakan yang

sebenarnya dan dia menunjukkan jalan (yang benar).

Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan

(memakai) nama bapak-bapak mereka; itulah yang lebiha

adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-

bapak mereka, maka (panggillah mereka sebagai)

saudara-saudara seagama dan maula-maulamu…” (al-

Ahzab:4-5

e. Minuman keras, perjudian, berhala, dan mengundi nasib

dengan anak panah. Meskipun pada hakikatnya minuman

keras diharamkan secara berangsur-angsur.

f. Sebagian kabilah meremehkan kabilah lainnya dalam

urusan qisas dan diyat (tebusan). Mereka menjadikan qishas

dan tebusan mereka beberapa kali lipat dari qishas dan

tebusan milik lawannya. Dan terkadang mereka menambah

dan mempersulitnya. Mereka meminta qishas atas satu

orang dengan beberapa jumlah orang atau meng-qishas

orang yang tidak menjadi pelaku pembunuhan. Atau mereka

meng-qishas orang yang merdeka atas budak. Hingga

turunlah ayat yang berbicara tentang qisas.

g. Pada awalnya, zihar sama dengan perceraian. Hingga

terjadilah zihar dari Aus bin Shamit kepada istrinya yang

bernama Khaulah binti Tsa‟labah. Kemudian istrinya

mengadukan kepada Rasulullah shallallahu alaihi

wasallam.

h. Ila, pada masa jahiliyah jangka waktunya adalah satu tahun

sampai dua tahun dan bahkan lebih dari itu. Kemudian

46

Allah membatasi waktu tersebut menjadi empat bulan dan

apabila suami kembali kepada istrinya maka hendaknya ia

membayar kaffarah atas sumpahnya. Tetapi jika suami

belum juga kembali kepada istrinya setelah berlalu waktu

tersebut maka sang hakim berhak memberikan pilihan

kepadanya; kembali kepada istrinya atau menceraikannya.

i. Kaum kafir Quraisy dan orang yang seakidah dengan

mereka melakukan wukuf di Muzdalifah, dan mereka

menamakannya (Muzdalifah) dengan Hums. Sementara

orang-orang Arab secara umum melakukan wukuf di

padang Arafah. Kemudian ketika Islam datang, Allah

memerintahkan Nabi-Nya untuk mendatangi Arafah dan

berwukuf di sana kemudian bertolak darinya. Inilah

kandungan firman Allah:

ث أفيضوا من حيث أفاض ٱلناس “Kemudian bertolaklah kamu dari tempat bertolaknya

orang-orang…” (al-Baqârah:199)

j. Dahulu mereka memperbolehkan transaksi riba berlipat-

lipat ganda. Apabila salah seorang dari mereka berutang

kepada orang lain dan tiba waktu pengembalian utang

tersebut, pemilik harta berkata kepada pengutang “Engkau

bayar atau (harta tersebut) akan dikembangkan?” Apabila

pengutang tidak membayar utang, maka pemilik harta

menambah jumlah utang tersebut dan pengutang menambah

jangka waktu pengembaliannya. Hingga akhirnya turunlah

pengharaman transaksi riba.

3. Al-Qur’ân sebagai Dokumen Hukum

Fazlur Rahman, salah seorang pemikir Islam setuju

bahwa legislasi adalah salah satu aspek penting yang

dinyatakan di dalam al-Qur‟ân. Dua hal lain yang merupakan

hal mendasar dari al-Qur‟ân adalah fungsi dan hakikat al-

Qur‟ân. Menurutnya yang dimaksud legislasi al-Qur‟ân adalah

pernyataan-pernyataan al-Qur‟ân yang bermuatan hukum.

Muatan pernyataan hukum yang ada di dalam al-Qur‟ân hampir

47

seluruhnya turun pada periode Madinah. Hal ini disebabkan

pada masa itulah Rasulullah telah mempunyai kewenangan

administratif dan politik, dan oleh karena itulah Rasulullah

memiliki kesempatan untuk menetapkan aturan-aturan yang

bersifat hukum29

.

Namun, Fazlur Rahman menekankan bahwa meskipun

al-Qur‟ân mengandung beberapa pernyataan aturan hukum

yang sangat penting, tapi apa yang terkandung di dalam al-

Qur‟ân itu pada dasarnya adalah prinsip-prinsip dan seruan-

seruan moral; al-Qur‟ân dalam konteks ini bukanlah sebuah

kitab dokumen hukum. Hal ini menyebabkan legislasi yang ada

dalam al-Qur‟an dapat diamati secara jelas menuju kepada

prinsip-prinsip atau seruan-seruan moral. Tujuan dari seruan

moral ini adalah terciptanya keadilan sosial yang tidak

dimaksudkan untuk kepentingan legislasi semata30

.

Fazlur Rahman mencoba memberikan contoh tentang

apa yang ia maksud kandungan hukum al-Qur‟ân sebagai

seruan-seruan moral menuju terciptanya keadilan sosial bagi

umat manusia. Aturan-aturan legislasi hukum yang ada dalam

al-Qur‟ân seperti perkara-perkara waris, pernikahan, riba, zakat,

perbudakan, poligami, perceraian dan aturan-aturan lainnya di

dalam al-Qur‟ân yang bertujuan mengangkat derajat kedudukan

masyarakat kelas dua seperti wanita, anak-anak yatim, fakir

miskin dan budak menuju terwujudnya keadilan sosial dan

persamaan esensial derajat manusia. Kebijakan moral yang

hendak di capai melalui legislasi al-Qur‟ân tersebut semakin

jelas terlihat jika di pandang dari konteks dan latar belakang

sosiologis masyarakat arab ketika masa turun wahyu yang mana

kehidupan mereka diwarnai kesenjangan pola hubungan dan

29

Ghufron A. Mas‟adi, Pemikiran Fazlur Rahman tentang

Metodologi Pembaharuan Hukum Islam (Jakarta: Rajawali Press, 1997), hal.

121. 30

Mas‟adi, Pemikiran Fazlur Rahman tentang Metodologi

Pembaharuan Hukum Islam, h. 122

48

eksploitasi masyarakat kelas satu terhadap kelompok

masyarakat kelas dua31

.

Pernyataan Fazlur Rahman bahwa al-Qur‟ân bukanlah

suatu dokumen hukum berbeda dengan apa yang dikatakan oleh

Wael B. Hallaq yang secara tegas menyatakan bahwa al-Qur‟ân

jelas merupakan dokumen hukum. Di dalamnya terkandung

ratusan ayat-ayat hukum yang dijadikan sandaran dalam

menetapkan hukum dalam kehidupan sosial umat Islam. Hallaq

tidak menyangkal bahwa memang al-Qur‟ân adalah kitab

agama dan ajaran moral, namun tidak diragukan ia memuat

unsur-unsur legislasi. Di antara sekian banyak nasihat dan

ajaran al-Qur‟ân terdapat ketentuan-ketentuan legal dan quasi-

legal. Misalnya, hukum diperkenalkan dalam hal-hal tertentu

misalnya ritual, zakat, pajak, properti, perilaku terhadap anak

yatim, warisan, riba, pemakaian alcohol, perkawinan,

perceraian, persetubuhan, pencurian, pembunuhan dan

ketentuan-ketentuan lainnya yang bersifat legislasi.

Kandungan ayat-ayat hukum yang sedikit di bandingkan

keseluruhan ayat al-Qur‟ân memberikan kesan yang salah

bahwa al-Qur‟ân memperhatikan aspek-aspek hukum secara

kebetulan belaka. Padahal fakta-fakta di dalam al-Qur‟ân

sendiri menyebutkan ada penekanan yang cukup kuat untuk

mengimplementasikan hukum. Ayat-ayat hukum juga jika

dikaji lebih mendalam rata-rata lebih panjang daripada ayat-

ayat non hukum. Ini adalah salah satu bentuk penekanan al-

Qur‟ân agar legislasi menjadi lebih jelas dan manusia

memaksimalkan akal pikirannya untuk mengambil istinbath

sehingga penjelasan hukum pada tatanan praktis menjadi lebih

komprehensif32

.

31

Mas‟adi, Pemikiran Fazlur Rahman tentang Metodologi

Pembaharuan Hukum Islam, h.122. 32

Wael B. Hallaq, Sejarah Teori Hukum Islam: Pengantar untuk

Ushul Fiqh dan Mazhab Sunni, Penerjemah E. Kusnadiningrat, Abdul Haris

bin Wahid (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2000), h. 5.

49

4. Al-Qur’ân dan Perubahan Sosial

Hukum sebagai sebuah instrument dalam perubahan

sosial mengenal konsep perubahan sesuai dengan konteks

waktu, tempat dan kondisi tertentu. Namun para ulama

menegaskan bahwa perubahan hukum yang disebabkan oleh

pergeseran waktu dan tempat atau kondisi tertentu hanyalah

hukum-hukum yang memang terbangun melalui pondasi adat

istiadat. Artinya bukan semua hukum syariat dapat dianulir

akibat pergeseran waktu maupun peredaran masa. Perubahan ini

didasarkan pada sebuah kaidah yang lazim di kalangan ulama

yaitu Lâ yunkaru taghayyur al-ahkâm bi taghayyur al-azmân

yang maksudnya adalah perubahan akibat bergesernya waktu

dan zaman adalah perubahan yang tak perlu diingkari.

Dalam konteks al-Qur‟ân sebagai pedoman legislasi dan

dokumen hukum, apakah perubahan itu dimungkinkan.

Pertanyaan ini sangat berkaitan dengan konsep diturunkannya

al-Qur‟ân apakah disesuaikan dengan situasi dan kondisi sosial

pada masa waktu itu atau al-Qur‟ân diturunkan sebagai jawaban

untuk merespon pertanyaan yang diajukan para sahabat kepada

nabi dan jawaban dari kondisi socio-kultural yang ada saat ini

ataukah sebaliknya, diturunkannya al-Qur‟ân tidak untuk

merespon kondisi sosio-kultural yang ada, melainkan telah ada

jauh sebelum manusia itu ada (sejak zaman azali di lauh

mahfud).33

Sesungguhnya ada dua kubu utama yang mencoba

memberikan jawaban terhadap perubahan sosial dan hukum

dalam konteks al-Qur‟ân sebagai sumber hukum dan dokumen

hukum. Kubu pertama meyakini bahwa kehadiran al-Qur‟ân

memang sebagai bentuk respon terhadap situasi dan kondisi

sosial pada waktu atau al-Qur‟an diturunkan untuk menjawab

permasalahan-permasalahan yang ada ketika itu dan menjawab

permasalahan-permasalahan yang ditanyakan oleh para sahabat.

Kubu yang lain menganggap bahwa al-Qur‟ân bersifat azali,

33

Yayan Sopyan, Tarikh Tasyri‟: Sejarah Pembentukan Hukum

Islam, (Depok: Gramata Publishing, 2010), h. 76.

50

artinya al-Qur‟ân hadir bukan untuk merespon kondisi sosial

yang ada, melainkan al-Qur‟ân memang telah ada jauh sebelum

manusia ada. Dengan pemamhaman ini secara sosio-kultural

(perilaku dan budaya manusia) yang harus menyesuaikan dan

menyelaraskan kepada al-Qur‟ân. Artinya, kata-kata yang ada

dalam nash al-Qur‟ân merupakan teks yang harus dipertahankan

(maknanya secara literal) apa adanya, tidak boleh berubah,

sehingga dalam memperlakukan al-Qur‟ân itu harus sami‟nâ wa

ata‟na

Dari perbedaan pendapat di atas dapat dikemukakan

bahwa turunnya al-Qur‟ân ketika itu memang cukup responsif

terhadap kondisi sosio-kultural pada saat itu. Ada beberapa

fakta yang dapat mendukung pernyataan tersebut antara lain:34

a. Adanya ayat-ayat yang diturunkan dengan didahului kata

“yas‟alûnaka…” yang berarti al-Qur‟ân mencoba

memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang

muncul yang diajukan oleh para sahabat kepada Rasûlullah

sallallâhu „alaihi wasallam, dan beliau menunggu jawaban

dari Allah Subhânahu Wata‟ala melalui wahyu. Sebagai

jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini, maka turunlah

ayat-ayat sejenis di atas dan setidaknya menjadi petunjuk

bahwa al-Qur‟ân responsif terhadap permasalahan yang

sedang berlangsung. Contoh ayat-ayat yang terkait dengan

konteks ini adalah Surat al-Isrâ [17]:85, Surat al-Baqârah

[2]:217, Surat al-Baqârah [2]: 220, Surat al-Mâ‟idah [5]:4.

b. Ada ayat-ayat yang turun berdasarkan permintaan, do‟a

dan/atau sikap dan keinginan Nabi. Seperti turunnya Surat

al-Baqârah [2]:144. Pada masa awal periode Madinah, Nabi

sangat menginginkan dan lebih suka ketika shalat

menghadap ke Ka‟bah tidak ke Baitul Maqdis maka

turunlah ayat ini.

c. Adanya konsep Nasakh dan Mansukh di dalam al-Qur‟ân.

Konsep nasakh dan Mansukh ini sebagai bukti bahwa al-

34

Sopyan, Tarikh Tasyri‟: Sejarah Pembentukan Hukum Islam, h.

77-79.

51

Qur‟ân memang responsif terhadap perubahahn oleh

karenanya ada ayat-ayat yang dihapus keberlakuan

hukumnya namun tulisannya masih ada atau dihapus

tulisannya namun hukumnya masih berlaku.

Meski demikian penulis melihat bahwa penggambaran

perbedaan dalam menyikapi perubahan sosial dan hukum dalam

konteks al-Qur‟ân tidak setajam itu. Penulis menyetujui bahwa

al-Qur‟ân bersifat azali, namun perubahan sosial dan hukum

tetap dapat terakomodir di dalam al-Qur‟ân. Al-Qu‟ân beserta

hukum yang dibawanya tetap bersifat azali dan tidak berubah

namun perubahan hukum yang terjadi lebih disebabkan karena

perbedaan waktu dan tempat, bukan karena perbedaan hujjah

atau dalil yang ada dalam al-Qur‟ân. Sifat hukum memang

berubah sesuai illatnya. Baik illat waktu, tempat maupun

kondisinya. Artinya perbedaan implementasi dari dalil-dalil

yang ada di al-Qur‟ân bukan karena dalil atau hukum itu sendiri

yang berubah, melainkan sekedar perubahan desain hukum dan

dialektika pergeseran momentum sejarah35

.

Contoh nyata perubahan hukum karena adanya

perubahan zaman dan kondisi sosial adalah penggunaan alat

tukar dalam kehidupan manusia. Pada awal perkembangannya,

manusia banyak menggunakan emas dan perak sebagai alat

tukar dan hal ini tidak ada larangannya di dalam kehidupan

sosial pada masa Rasûlullah baik dalam al-Qur‟ân maupun

hadits. Namun dalam perkembangannya alat tukar ini

berkembang menjadi bentuk lain menjadi uang logam atau

kertas, bahkan pada saat ini menjadi alat tukar elektronik. Ada

batasan-batasan yang berasal dari hukum al-Qur‟ân namun

senyatanya dalil-dalinya tidak berubah, yang berubah adalah

kondisi sosial dan waktunya sehingga perubahan hukum tidak

dapat dihindari.

35

Abdul Haq, dkk., Formulasi Nalar Fiqh: Telaah Kaidah Fiqh

Konseptual, h. 307.

52

C. Periodisasi Perkembangan Tafsir Hukum

Sebagai sebuah cabang dari ilmu pengetahuan, tafsir

tentunya melalui proses perkembangan sehingga ia menjadi

mapan disebut sebagai ilmu pengetahuan. Terlebih lagi tafsir

hukum yang merupakan bagian yang lebih kecil dari

pembahasan ilmu tafsir. Tafsir hukum juga mempunyai latar

belakang sejarah jauh sejak al-Qur‟ân mulai diturunkan kepada

Rasûlullah sallallahu „alaihi wasallam. Keberadaan tafsir

hukum senyatanya merupakan realitas kebutuhan bagi umat

Islam untuk melakukan penggalian yang mendalam dalam

rangka mengembangkan sebuah sistem sosial dan norma yang

dapat mengatur kehidupan manusia pada umumnya berdasarkan

kaidah dan sumber hukum yang komprehensif dan valid.

Perkembangan tafsir hukum sejak zaman kenabian

hingga saat ini mempunyai beragam konteks yang berbeda-beda

yang dipengaruhi oleh periodisasi dakwah Islam dan

perkembangan kehidupan sosial umat Islam. Berikut adalah

periodisasi tafsir hukum sejak zaman kenabian hingga

berkembangnya mazhab-mazhab hukum saat ini yang memberi

andil terhadap maraknya pembahasan tafsir hukum dari segala

aspek pemahaman hukum.

1. Sejarah Perkembangan Tafsir Hukum pada Masa

Rasûlullah.

Allah memang memberikan jaminan kepada Rasûlullah

bahwa Dialah yang bertanggung jawab melindungi al-Qur‟ân

dan menjelaskannya. Hal ini sesuai dengan firman Allah

Subhanahu wa ta‟ala pada Surat al-Qiyâmah ayat (17) – (19)

yang menyatakan bahwa “Sesungguhnya atas tanggungan

Kamilah menghimpunnya (di dadamu) dan (membuatmu

pandai) membacanya. Apabila kami telah selesai

membacakannya maka ikutilah bacaannya itu. Kemudian

sesungguhnya atas tanggungan Kamilah penjelasannya”.

53

Pada ayat lain Allah juga memberikan penjelasan bahwa

Rasûlullah diberikan tugas untuk memberikan penjelasan

kepada umatnya tentang isi al-Qur‟ân. Allah berfirman:

للناس ما ن زل إليهم ولعلهم ي ت فكرون وأن زلنا إليك ٱلذكر لتب ني“…Dan kami turunkan kepadamu al-dzikr, agar kamu

menerangkan kepada umat manusia apa yang telah

diturunkan kepada mereka supaya mereka

memikirkannya” (al-Nahl:44)

Berdasarkan kedua ayat di atas dapat dipahami bahwa

Rasûlullah sebagai seorang nabi juga mempunyai tanggung

jawab untuk memberikan penjelasan tentang al-Qur‟ân.

Rasûlullah diberikan kemampuan istimewa untuk memberikan

penjelasan tentang tafsir al- Qur‟ân. Apa yang diucapkan oleh

beliau merupakan wahyu dari Allah Subhanahu wa ta‟ala36

.

Tidak dapat dipungkiri bahwa al-Qur‟ân memang

diturunkan kepada manusia melalui Rasûlullah mengandung

ayat-ayat hukum yang berhubungan dengan maslahat-maslahat

manusia baik untuk kepentingan dunia maupun akhirat37

. Umat

Islam pada masa Rasûlullah memahami al-Qur‟ân melalui

insting kearaban mereka. Jika terjadi kesulitan dalam

memahami sesuatu ayat maka mereka akan bertanya langsung

kepada Rasûlullah sallallahu „alaihi wasallam38

.

Rasûlullah sallallahu „alaihi wasallam dalam beberapa

kesempatan melakukan penafsiran terhadap ayat al-Qur‟ân.

Seperti pada saat Rasûlullah sallallahu „alaihi wasallam

menafsirkan kata-kata zulmun pada al-Qur‟ân Surat al-An‟am

36

Allah menjelaskan ini dalam firmannya Qs. al-Najm: 3

وما ينطق عن ٱلوى * إن ىو إال وحي يوحى yang berarti bahwa segala sesuatu yang keluar dari lisan Rasûlullah adalah

wahyu yang memang diberikan oleh Allah kepada beliau. 37

Muhammad Husein al-Dzahabi, Al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, Jilid

II, h. 379. 38

al-Dzahabi, Al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, h. 379.

54

ayat (82). Pada kesempatan ini Rasûlullah melakukan

penafsiran bi al-ma‟tsur dengan membandingkan antara ayat

yang satu dengan ayat yang lainnya. Rasûlullah sallallahu

„alaihi wasallam menafsirkan bahwa kata zulmun yang

bermakna penganiayaan di sini berarti adalah kemusyrikan

sebagaimana firman Allah dalam Surat Luqman ayat 13.

Rasûlullah sallallahu „alaihi wasallam juga menafsirkan

tentang arti quwwah pada Surat al-Anfal ayat (60) dengan arti

“memanah”.39

.

Penafsiran-penafsiran Rasûlullah sallallahu „alaihi

wasallam terkait dengan hukum atau tata acara ibadah pada

umumnya dilakukan dengan pengamalan atau memberikan

contoh. Misalnya ayat-ayat yang berkaitan dengan shalat, haji,

puasa atau ibadah lainnya. Beliau menjelaskan hal ini melalui

hadits misalnya: “Shalatlah sebagaimana kalian melihat aku

shalat,” dan “Ambillah dariku (teladanilah aku) menyangkut

tata cara ibadah haji kamu,”. Sedangkan penafsiran-penafsiran

beliau dengan ucapan amat beragam dan dapat dikategorikan

antara lain dalam bentuk:

a. Ta‟rif/penegasan makna, seperti penjelasa Rasûlullah

sallallahu „alaihi wasallam tentang arti al-Khaith al-

Abyadh min al-Khaith al-Aswad/tali putih dari tali

hitam (QS. al-Baqârah [2]:187) yakni cahaya siang/fajar

dan kegelapan malam.

b. Tafshil/rincian, seperti penafsiran tentang al-Qur‟an

Surat al-Baqârah ayat (196), yang berbicara tentang

fidyah dalam bentuk puasa, sedekah, dan Nusuk. Kata-

kata tersebut memerlukan penjelasan dan itu beliau

lakukan dengen merincinya, yakni berpuasa tiga hari,

memberi makan enam orang miskin, atau menyembelih

seekor kambing.

c. Tathâbuq/kesamaan/kesesuaian, seperti sabda

Rasûlullah sallallahu „alaihi wasallam dalam

39

M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, h. 350.

55

peperangan Ahzab, bahwa perang itu menyibukkan kita

sehingga kita tidak dapat melaksanakan shalat al-

Wustha (shalat ashar) pada waktunya. Sabda ini

menjelaskan secara jelas dan sesuai dengan QS. al-

Baqarah [2]:238 atau sabda Rasûlullah sallallahu „alaihi

wasallam menjelaskan QS. al-Taubah [9]:36, yang

menyatakan bahwa bilangan bulan dalam setahun ada

dua belas, empat di antaranya haram (amat

terhormat/terlarang peperangan). Rasûlullah sallallahu

„alaihi wasallam menyebut keempat bilan itu, yakni

Dzulqa‟dah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab.

d. Talâzum/hubungan keharusan, seperti sabda Rasûlullah

sallallahu „alaihi wasallam yang menjelaskan “Doa

adalah intisari ibadah.” Lalu beliau membaca QS. Ghâfir

[40]:60, “Berdoalah kepada-Ku niscaya Ku-

perkenankan untuk kamu, sesungguhnya orang-orang

yang angkuh sehingga enggan beribadah kepada-Ku

akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan terhina”.

e. Tadhammun/Cakupan, yakni penjelasan Rasûlullah

sallallahu „alaihi wasallam adalah bagian dari

kandungan makna yang ditafsirkan, seperti penafsiran

beliau menyangkut QS. Ibrahîm [14]:27 “Allah

mengukuhkan orang-orang beriman dengan ucapan

yang kukuh dalam kehidupan dunia dan akhirat…”.

Maksud dari kehidupan akhirat disini dijelaskna oleh

Rasûlullah sallallahu „alaihi wasallam bahwa itu terjadi

sesaat setelah seseorang itu dikuburkan dan dia ditanyai

malaikat, lalu dia menjawab dengan benar dan baik.

f. Takhshîsh, seperti mengecualikan firman Allah yang

mengharamkan memakan bangkai (QS. al-Baqârah

[2]:173), dan al-Mâidah [5]:3, dengan sabdanya:

“dihalalkan untuk kita dua bangkai, yaitu bangkai ikan

dan belalang.”

g. Tamtsil/contoh, antara lain yang diangkat dari

masyarakat yang beliau temui, seperti menjelaskan

56

tentang siapa yang dimurkai dan siapa yag sesat pada

QS. al-Fâtihah[1]:7, bahwa yang dimurkai adalah

orang-orang yahudi dan yang sesat adalah orang-orang

nasrani, atau menafsirkan maksud Quwwah dalam QS.

al-Anfâl [6]:60 dengan artian “memanah”.

Jika dilihat dari berbagai metode yang digunakan oleh

Rasûlullah sallallahu „alaihi wasallam dalam menjelaskan atau

menafsirkan al-Qur‟ân maka dapat dilihat bahwa peran

Rasûlullah sallallahu „alaihi wasallam sebagai pembawa

risalah Islam juga mempunyai peran sebagai mufti yang

memberikan fatwa atau penjelasan tentang hukum-hukum yang

dibawa oleh al-Qur‟ân. Dengan adanya Rasûlullah sallallahu

„alaihi wasallam maka perbedaan pendapat mengenai hukum

yang dikandung oleh al-Qur‟ân nyaris tidak pernah terjadi.

Adapun jika terjadi perbedaan pendapat tentang kandungan al-

Qur‟ân, para Sahabat dapat langsung bertanya dan

mengkonfirmasikan langsung kepada Rasûlullah sallallahu

„alaihi wasallam.

2. Sejarah Perkembangan Tafsir Hukum Pada Masa

Sahabat dan Tabi’ȋn

Pada masa Sahabat dan Tabi‟in perkembangan tafsir

hukum sepeninggal Rasûlullah sallallahu „alaihi wasallam

berkembang sangat pesat. Pada masa Sahabat mulai terjadi

perbedaan-perbedaan pendapat mengenai hukum tertentu yang

bersumber dari al-Qur‟ân. Perbedaan pendapat seperti ini

pernah terjadi antara Sahabat Umar bin Khattab dengan Ali bin

Abi Thalib tentang lamanya masa iddah seorang perempuan

yang ditinggal mati oleh suaminya. Sahabat Umar bin Khattab

mengatakan bahwa masa iddahnya berakhir ketika perempuan

tersebut melahirkan sedangkan Sahabat Ali bin Abi Thalib

mengatakan bahwa iddahnya perempuan yang ditinggal mati itu

adalah setelah melahirkan ditambah empat bulan sepuluh hari.

57

Sahabat Umar bin khattab berpegang pada kemutlakan

ayat al-Qur‟ân bahwa orang yang hamil iddahnya adalah setelah

ia melahirkan sedangkan Sahabat Ali bin Abi Thalib

menggabungkan dua dalil perempuan yang hamil iddanya

adalah sampai ia melahirkan sedangkan perempuan yang

ditinggal mati oleh suaminya maka iddahnya adalah empat

bilan sepuluh hari. Perbedaan-perbedaan pendapat seperti ini

tentu tidak dapat dihindarkan. Selain karena kemutlakan di

dalam teks al-Qur‟ân, Rasûlullah sallallahu „alaihi wasallam

yang merupakan sosok yang paling otoritatif untuk memberikan

penjelasan tentang kandungan al-Qur‟ân sudah tiada. Selain

karena ketiadaan sosok otoritatif seperti Rasûlullah sallallahu

„alaihi wasallam untuk menanyakan tentang tafsir al-Qur‟ân,

perbedaan-perbedaan yang muncul di antara para sahabat

Rasûlullah sallallahu „alaihi wasallam disebabkan oleh hal-hal

sebagai berikut40

:

a) Adanya lafadz zanni di dalam al-Qur‟ân sehingga para

sahabat berbeda pendapat ketika menafsirkan atau

menentukan makna yang cocok dengan permasalahan

yang ada. Contoh pada hal ini terjadi ketika sahabat

menetapkan kalimat musytarak, tsalasatu quru‟. Umar

dan Ibnu Mas‟ud memaknainya dengan haid dan zaid

bim tsabit memaknainya dengan suci.

b) Ada dua hukum yang berbeda dalam dua persoalan,

yang diduga salah satunya mencakup sebagian yang

terkandung oleh sebagian itu, sehingga seolah-olah ada

perlawanan. Seperti tentang iddah perempuan hamil

yang ditinggal mati oleh suaminya, yakni antara ayat

yang menerangkan tentang iddah wafat (4 bulan 10 hari)

dan iddah hamil samspai melahirkan anaknya.

c) Adanya perbedaan pengetahuan tentang Sunnah, seperti

warisan seorang nenek yang mendapat 1/6 (pada zaman

Abu Bakar) dan apabila telah mengucap salam tiga kali,

40

Yayan Sopyan, Tarikh Tasyri‟, h. 97.

58

tapi tidak ada jawaban, maka tamu harus pulang (pada

zaman Umar).

d) Karena memang ada perbedaan pendapat di antara para

sahabat, misalnya tentang saluran air yang dibuat

Dhahhak bin Khalifah yang melewati tanah Muammad

bin Maslamah, tapi Maslamah enggan memberikan

tanahnya untuk dilewati air, maka Umar memerintahkan

untuk membuat saluran itu meskipun harus melewati

perut Maslamah.

e) Adanya perbedaan dalam melihat kekuatan (shahihnya)

sebuah hadits.

f) Perbedaan dalam menggunakan akal pikiran (ra‟yu).

g) Berbeda dalam mengqiyaskan sesuatu hukum yang

ashli

Contoh dan penyebab banyaknya perbedaan-perbedaan

pendapat yang terjadi di antara para Sahabat menyebabkan

terjadinya perbedaan produk hukum yang bersumber pada teks

yang sama yaitu al-Qur‟ân41

.

Perbedaan pendapat pada masa Thabi‟in justru lebih

luas lagi. Selain karena berkembangnya ilmu pengetahuan, para

Thabi‟in juga mulai tersebar diberbagai daerah yang telah

ditaklukkan oleh Islam. Karena luasnya wilayah Islam, dan

kebutuhan akan penegetahuan hukum untuk memecahkan

berbagai masalah umat yang ada, pada masa Thabi‟in mulai

berkembang mazhab-mazhab dan perguruan-perguruan yang

khusus mengkaji tentang tafsir.

Di Makkah, berdiri perguruan Ibnu Abbas, di antara

muridnya yang terkenal adalah Sa‟id bin Jubair, Mujahid,

„Ikrimah maula Ibnu Abbas, Thawus bin Kissan al-Yamani dan

Atha‟ bin Abi Rabah. Mereka ini semuanya adalah dari

golongan maula (budak yang telah dibebaskan). Di Madinah,

Ubay bin Ka‟ab dikenal sebagai orang yang mengembangkan

41

Muhammad Husein al-Dzahabi, Al-Tafsîr wa al-Mufassirûn,

(Darul Hadits: Mesir, 2005), Juz 2, h. 378.

59

ilmu tafsir. Pendapat-pendapatnya banyak dinukil oleh generasi

setelahnya dari kalangan Thabi‟in. Di antara murid-murudnya

dari kalangan Thabi‟in adalah Zaid bin Aslam, Abu „Aliyah dan

Muhammad bin Ka‟ab al-Qurazhi42

.

Perkembangan perguruan tafsir juga berkembang hingga

ke Irak. Disinilah berkembang perguruan ilmu tafsir yang

didirikan oleh Ibnu Mas‟ud. Beliau adalah salah seorang

sahabat Rasûlullah sallallahu „alaihi wasallam yang dipandang

sebagai pelopor berkembangnya mazhab ahli ra‟yi yang

kemudian berkembang menjadi mazhab hanafiah. Dari

perguruan ilmu tafsir yang didirikan oleh Ibnu Mas‟ud

melahirkan banyak para ahli tafsir dari kalangan Thabi‟in yang

terkenal di antaranya „Alqamah bin Qais, Masruq, al-Aswad bin

Yazid, Murrah al-Hazani, „Amir al-Sya‟bi, Hasan al-Basri, dan

Qatadah bin Di‟amah Al-Sadusi43

.

Di dalam melakukan penafsiran baik para Sahabat

maupun Thabi‟in berpegang pada:

(1) Al-Qur’an al-Karîm.

Metode penafsiran seperti inilah yang dimaksud

penafsiran al-Qur‟ân dengan al-Qur‟ân. Penafsiran dengan

metode ini diklaim sebagai metode penafsiran yang paling

valid. Metode penafsiran ini dianggap sebagai metode utama

yang harus dipilih dalam penafsiran al-Qur‟ân di bandingkan

dengan metode-metode lainnya44

. Penafsiran dengan metode ini

banyak dijumpai di dalam al-Qur‟ân, misalnya kisah-kisah

dalam al-Qur‟ân yang ditampilkan secara ringkas di beberapa

tempat, kemudian ditempat lain datang uraiannya yang panjang

lebar. Misalnya pada Surat al-Mâidah [5]:1 dijelaskan tentang

keharaman binatang ternak lalu pada Surat al-Mâidah [5]:1

42

Manna al-Qattan, Pengantar Studi Ilmu al-Qur‟ân, h. 426. 43

Manna al-Qattan, Pengantar Studi Ilmu al-Qur‟ân, h. 427. 44

Izza Rohman, Tafsîr al-Qur‟ân bi al-Qur‟ân: Sectraian

Tendencies in al-Tabatba‟î‟s al-Mîzân and al-Shanqîtî‟s Adwâ‟ al-Bayân,

(Ciputat: Al-Wasat Publishing House, 2016) h. 1.

60

dijelaskan tentang keharaman memakan bangkai. Contoh lain

adalah Surat al-An‟am [6]:103 yang berbunyi “Dia tidak dapat

dicapai oleh penglihatan…” lalu dijelaskan oleh Surat al-

Qiyâmah [75]:23 yang berbunyi “Kepada Tuhannyalah mereka

melihat”.

(2) Hadits Rasûlullah sallallahu ‘alaihi wasallam.

Penafsiran yang bersumber dari Rasûlullah sallallahu

„alaihi wasallam menempati posisi kedua sebagai bentuk tafsir

yang paling otoritatif setelah al-Qur‟ân itu sendiri. Hal ini

disebabkan karena Rasûlullah sallallahu „alaihi wasallam

memang diberikan kewenanangan oleh Allah Subhanahu wa

ta‟âla untuk memberikan penjelasan tentang al-Qur‟ân. Hal ini

sebagaimana ditegaskan oleh Allah dalam QS. al-Qiyâmah

[75]: 17 – 18. Otoritas yang diberikan kepada Rasûlullah

sallallahu „alaihi wasallam juga ditegaskan oleh Allah dalam

QS. al-Najm []:3 yang menegaskan bahwa apa yang

disampaikan oleh Rasûlullah sallallahu „alaihi wasallam adalah

juga merupakan wahyu dari Allah bukan dari hawa nafsu

beliau45

.

Contoh menarik bahwa Rasûlullah sallallahu „alaihi

wasallam sebagai orang yang mempunyai otoritas terhadap

tafsir adl-Qur‟ân adalah ketika turun al-Qur‟ân surat al-An‟am

ayat 82 yang di situ menyatakan bahwa „orang-orang yang

beriman dan tidak mencampuradukkan imannya dengan

kezhaliman, mereka itulah orang-orang yang mendapat

keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat

petunjuk. Ayat ini menimbulkan keresahan di kalangan sahabat

terutama terkait apa yang dimaksud dengan kata-kata zalim di

situ. Diriwayatkan dari Ibnu Mas‟ud bahwa para sahabat

bertanya “wahai Rasûlullah sallallahu „alaihi wasallam,

siapakan di antara kita yang tidak berbuat zalim terhadap

dirinya?” kezaliman di sini bukan seperti yang kalian pahami.

45

Manna al-Qattan, Pengantar Studi Ilmu al-Qur‟ân, h. 423.

61

Lalu Rasûlullah sallallahu „alaihi wasallam mengatakan

“Tidakkah kamu mendengar apa yang dikatakan seorang hamba

yang saleh (Luqman). Kemudian beliau membacakan QS.

Luqman [31]: 13

ال تشرك بٱللو إن ٱلشرك لظلم عظيم

“…Janganlah kamu berbuat syirik, sesungguhnya Syirik

itu adalah kezaliman yang besar.” (QS. Luqman [31]:

13)

Berdasarkan penjelasan ini maka para sahabat menjadi

tenang kembali karena yang dimaksud oleh Allah dengan

kezaliman pada al-Qur‟ân surat al-An‟am ayat 82 adalah

perbuatan syirik46

.

Di antara kandungan ayat-ayat al-Qur‟ân terdapat ayat-

ayat atau surat yang tidak dapat diketahui penjelasan atau

takwilnya kecuali merujuk kepada penjelasan dari Rasûlullah

sallallahu „alaihi wasallam. Misalnya ayat-ayat yang terkait

tentang perintah dan larangan atau ketentuan mengenai hukum-

hukum yang difardukan. Inilah apa yang dimaksudkan oleh

Allah dalam QS. al-Nahl [16]:64 yaitu:

لم ٱلذي ٱخت لفوا فيو وىدى ومآ أن زلنا عليك ٱلكتاب إال لتب ني ورحة لقوم ي ؤمنون

“Dan kami tidaklah menurunkan kepadamu Kitab,

melainkan agar kamu menjelaskkan kepada mereka apa

yang mereka perselisihkan dan menjadi petunjuk dan

rahmat bagi kaum yang beriman” (QS. al-Nahl [16]:64).

46

Manna al-Qattan, Pengantar Studi Ilmu al-Qur‟ân, h.. 424

62

(3) Pemahaman dan Ijtihad.

Baik para sahabat maupun thabi‟in apabila tidak

mendapatkan penjelasan tafsir dari al-Qur‟ân atau dari

Rasûlullah sallallahu „alaihi wasallam maka mereka akan

menempuh jalan ijtihad yang didasarkan atas pemaham mereka

yang sangat baik terhadap Bahasa arab serta aspek-aspek lain

pendukung Bahasa arab seperti ilmu balaghah, syair-syair dan

ilmu-ilmu lainnya.

Penafsiran sahabat masih dianggap sebagai tafsir bi al-

ma‟tsur dan mempunyai nilai tersendiri bagi para ulama.

Jumhur ulama berpendapat bahwa tafsir sahabat mempunyai

status hukum marfu‟ (disandarkan kepada Rasûlullah sallallahu

„alaihi wasallam) bila berkenaan dengan asbâb al-nuzul dan

semua hal yang tidak mungkin dimasuki ra‟yu. Sedangkan hal

yang memmungkinkan dimasuki ra‟yu maka statusnya adalah

mauquf (terhenti) pada sahabat selama tidak disandarkan

kepada Rasûlullah sallallahu „alaihi wasallam47

.

3. Sejarah Berkembangnya Tafsir Hukum pada Masa

Berkembangnya Mazhab-Mazhab Fikih

Dengan berkembangnya Islam keseluruh jazirah arab

pasca kepemimpinan Khulafu al-Râsyidîn, berkembang pula

pengaruh hukum Islam dan pengetahuan keIslaman keseluruh

pelosok-pelosok jazirah arab. Hukum Islam memang tidak

berada di ruang yang kosong. Ia senantiasa bergerak dan

menyesuaikan dengan peradaban. Ia terus melaju secara

berkesinambungan dan berubah sesuai dengan kondisi zaman.

Perkembangan hukum Islam yang cukup menggembirakan

didorong oleh faktor-faktor di bawah ini:

a) Makin luasnya wilayah Islam, upaya ekspansi ini

dimulai sejak zaman Umar bin Khattab, Mu‟awiyah, dan

penerusnya sampai ke Tunisia, Aljazair, Maroko sampai

Samudera Atlantik. Penaklukan Andalusia dilakukan

47

Manna al-Qattan, Pengantar Studi Ilmu al-Qur‟ân, h.. 424.

63

tahun 705 – 715 pada masa pemerintahan Walid bin

Abdul Malik. Di sebelah utara daerah Transoxiania

(Uzbekistan), Sind, sekitar Sungai Syir Darya, dan

Sungai Indus menjadi batas kerajaan Islam. Perlu dicatat

pula, Muawiyah memindahkan ibukota dari Madinah ke

Damaskus dengan alasan karena di Damaskuslah para

pendukungnya tinggal. Orang yang masuk Islam

meliputi bermacam bangsa dengan berbagai tradisi dan

strata sosial, serta kepentingan yang berbeda-beda48

.

b) Ketika menduduki suatu daerah tentu saja penduduk dari

daerah yang ditaklukkan itu ada yang belum beragama

dan ada juga yang telah memeluk agama, kemudian

secara berangsur-angsur mereka – baik yang belum

mempunyai agama atau yang sudah beragama – banyak

yang akhirnya memeluk Islam. Dengan banyaknya

penduduk yang beragama Islam, banyak persoalan yang

timbul dan memerlukan pemecahan masalah (jawaban).

Sebagian dari para muallaf itu ada yang sangat serius

terhadap pemikiran Islam dan tidak sedikit dari mereka

– khususnya dari kalangan ahli kitab baik Nasrani

maupun Yahudi – yang menjadi tokoh penting dalam

khasanah pemikiran Islam.

c) Lahirnya dua mazhab pemikiran fikih, yakni ahli hadis

yang berpusat di Madinah dan ahli ra‟yu yang berpusat

di Kufah. Ahli hadis adalah ulama yang lebih banyak

menggunakan hadis dan sangat hati-hati serta selektif

dalam menggunakan ra‟yu, sedangkan ahli ra‟yu adalah

ulama yang banyak menggunakan nalar pikiran di

bandingkan dengan hadis. Munculnya dua kelompok ini

memicu perbedaan pendapat di kalangan para ulama dan

secara signifikan mendorong laju nya perkembangan

fikih.

48

Philip K. Hitti, History of Arab. H. 258

64

Dengan berkembangnya hukum Islam yang ditandai

dengan adanya dua arus utama dalam pemikiran Islam, maka

bermunculanlah kelompok-kelompok pemikiran hukum yang

terdiri dari beberapa imam mazhab fikih. Sejarah mencatat

bahwa mazhab fikih Islam yang muncul setelah sahabat dan

kibar al-tabi‟in berjumlah 13 aliran49

. Ketiga belas aliran ini

berafiliasi dengan aliran ahlu Sunnah. Namun, tidak semua

aliran itu dapat diketahui dasar-dasar dan metode istinbathnya.

Adapun pendiri aliran-aliran tersebut adalah:

a) Abu Sa‟id al-Hasan Ibn yasar al-Bashri (w. 110 H)

b) Abu Hanifah al-Nu‟man Ibn Tsabit ibn Zuthi (w. 150 H)

c) Al-Auza‟I Abu „Amr „Abd al-Rahman Ibn „Amr Ibn

Muhammad (w. 157 H)

d) Sufyan ibn Sa‟id Ibn Masruq al-Tsauri (w.160 H).

e) Al-Laits ibn Sa‟d 9w. 175 H)

f) Malik ibn Anas al-Bahi (w. 179 H)

g) Sufyan Ibn Uyainah (w. 198 H)

h) Muhammad Ibn Idris al-Syafi‟î ( w. 204 H)

i) Ahmad Ibn Muhammad Ibn Hanbal (w. 241 H)

j) Daud Ibn „Ali Ashbahani al-Baghdadi (w. 270 H)

k) Ishaq Ibn Rahawaih (w. 238 H)

l) Abu Tsaur Ibrahim Ibn Khalid al-Kalabi (w. 240 H)50

Dari sekian banyak mazhab hukum yang lahir pada

masa ini yang bertahan hingga sekarang hanyalah 4 mazhab

utama yaitu, di antaranya mazhab Hanafiah yang didirikan oleh

Abu Hanifah al-Nu‟man Ibn Tsabit ibn Zuthi (w. 150 H),

mazhab Malikiah yang didirikan oleh Malik ibn Anas al-Bahi

(w. 179 H), mazhab syafi‟iyah yang didirikan oleh Muhammad

Ibn Idris al-Syafi‟î ( w.204 H), dan mazhab Hanabillah yang

didirikan oleh Ahmad Ibn Muhammad Ibn Hanbal (w. 241 H).

49

Thaha Jabir Fayadl al-„Ulwani, 1987. Adab al-Ikhtilaf fi al-

Islam. Washington: The International Institute of Islamic Thought. 50

Yayah Sopyan, Tarikh Tasyri‟, h. 119.

65

Masa ini bisa dikatakan sebagai masa keemasan Islam

(The golden age of Islam) karena pesatnya perkembangan

pemikiran Islam, penulisan karya-karya ilmiah berupa kitab-

kitab dari berbagai aspek keilmuan serta hadirnya dialektika di

antara para imam mazhab dan pengikutnya untuk mencari

solusi terbaik terhadap berbagai masalah hukum yang terjadi.

Di bidang ilmu-ilmu al-Qur‟an juga mulai ada kesadaran untuk

melakukan pelestarian tidak hanya melalui hapalan tapi juga

terkait aspek pembacaannya. Dari sinilah berkembang metode

pembacaan al-Qur‟ân dan mulai dibedakan mana bacaan yang

sahih dan mana bacaan yang syadz. Adanya perbedaan bacaan,

berimplikasi pada perbedaan makna dan berbeda pula dalam

istinbath ahkam51

.

Pada awal zaman keemasan Islam ini para ulama

berlomba-lomba untuk menghasilkan karya-karya yang dapat

memberikan sumbangsih pada kebutuhan akan keilmuan Islam.

Hal ini adalah konsekuensi dari berkembangnya Islam hingga

ke berbagai pelosok jazirah Arab bahkan mulai melakukan

ekspansi ke wilayah-wilayah yang awalnya dikuasai oleh dua

imperium besar yaitu Romawi dan Persia. Hal positif yang

dapat dilihat dari dialektika perkembangan ilmu pengetahuan

pada saat itu adalah para ulama bersemangat untuk mencari

kebenaran yang sahih pada setiap permasalahan yang ada dan

tidak mengedepankan fanatisme terhadap bidang-bidang ilmu

tertentu atau mazhab-mazhab tertentu. Apabila mereka temukan

kebenaran yang jelas dari sisi orang-orang yang menyelisihi

mereka, maka mereka akan berpegang kepada kebenaran itu.

Imam Syafi‟I pernah mengatakan bahwa jika ada hadis

yang sahih maka itu adalah mazhabku. Pada kesempatan lain

juga ia berkata terhadap Imam Abu hanifah bahwa manusia itu

berkeluarga pada masalah fikih. Ia juga berkata kepada Imam

Ahmad Ibn Hanbal yang merupakan muridnya pada bidang

fikih bahwa jika ada hâdits yang sahih di sisi engkau maka

51

Yayan Sopyan, Tarikh Tasyri‟, h. 118.

66

beritahukanlah kepadaku tentang hal itu. Imam syafi‟I juga

berkata terhadap Imam Malik yang merupakan gurunya di

bidang ilmu fikih bahwa Imam Malik bagaikan bintang yang

bersinar terang. Hal ini menandakan betapa tingginya adab para

ulama di antara ulama lainnya dan besarnya rasa sayang di

antara mereka. Tidak terlihat fanatisme atau pemaksaan

keilmuan di antara mereka52

.

Di sisi perkembangan ilmu tafsir, terjadi perkembangan

yang sangat pesat dengan pendekatan atau metodologi tafsir

yang beraneka ragam. Pendekatan-pendekatan dalam penafsiran

seperti pendekatan kebahasaan dan riwayat sebagaimana

dikembangkan oleh Ibn Jarir al-Thabari dengan hasil karyanya

Jami‟ al Bayân Fi Tafsîr al-Qur‟ân. Ada juga tafsir yang

menggunakan pendekatan filsafat seperti yang dilakukan oleh

Zamakhsyari dengan tafsirnya yang berjudul al-Kasysyaf „an

haqâiq al-tanzîl wa „uyûn al-ta‟wîl fî wujûhi al-ta‟wîl. Untuk

tafsir-tafsir yang bercorak tafsir hukum adalah sebagaimana

ditulis oleh Imam Syafi‟i yaitu Ahkâm al-Qur‟ân. Kitab tafsir

ini belum secara khusus tersusun selayaknya sebuah kitab tafsir

namun lebih merupakan pembahasan-pembahasan hukum-

hukum fikih yang sumbernya diambil dari al-Qur‟ân. Pada

tahun 458 H, karya Imam Syafi‟I ini dikumpulkan dan disusun

secara teratur dengan penulisan berdasarkan bab-bab yang

sangat kental corak fikihnya oleh Abu Bakar al-Baihaqi al-

Syafi‟I.

Pada penghujung zaman keemasan Islam, Abu Bakr al

Râzi atau yang lebih dikenal dengan al-Jassas sebuah kitab

tafsir yang bercorak tafsir hukum yang berjudul ahkâm al-

Qur‟ân. Tafsir ini merupakan tafsir yang bercorak hukum dan

isinya sangat kental dengan pemikiran mazhab Hanafiah.

52

Muhammad Husein al-Zahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirûn, jilid 2,

h.381.

67

4. Sejarah Perkembangan Tafsir Hukum pada saat

Berkembangnya Taqlid dan Fanatisme Mazhab.

Menurut sebagian sejarahwan Islam masa-masa

kemunduran Islam di mulai ketika kegiatan ijtihad mulai

mengalami penurunan, terutama setelah Ibnu Jarir al-Thabari

meninggal dunia pada tahun 310 H53

. Kemunduran dunia Islam

dari sisi perkembangan ilmu pengetahuan juga dimulai sejak

berakhirnya kekuasaan Bani Abbas sampai ke abad 19. Periode

ini ditandai dengan menyebarnya pusat-pusat kekuasaan Islam

di beberapa wilayah, sehingga umat Islam sendiri dapat

dikatakan dalam kondisi yang lemah dan berada dalam

kegetiran. Dalam kondisi tersebut, jika keadaan negara (daulah)

lemah, maka akan muncul banyak fitnah dan mihnah, sehingga

hilanglah persaudaraan dan persatuan di kalangan umat Islam

dan yang akan timbul justru adalah perpecahan dan

permusuhan54

.

Pada masa ini hukum Islam mulai mengalami stagnasi

(jumud). Hukum tidak lagi digali dari sumber utamanya yaitu

al-Qur‟ân dan al-Hadits. Para ulama di masa ini memandang

cukup untuk merujuk pendapat imam mazhabnya tanpa perlu

melakukan ijtihad kembali. Pada masa ini mulai terlihat adanya

kecendrungan baru, yakni mempertahankan kebenaran

mazhabnya dengan mengabaikan mazhab lain, seolah-olah

kebenaran merupakan hak prerogatif mazhab yang dianutnya.

Pada fase ini dinilai telah terjadi pergeseran orientasi dari al-

Qur‟ân dan al-Hadits menjadi orientasi kepada pendapat ulama.

Suasana kejumudan yang terjadi pada umat Islam di fase ini

juga menimbulkan suasana fanatisme terhadap masing-masing

mazhab yang ada55

. Pergeseran orientasi sumber-sumber

penggalian hukum adalah contoh konkretnya.

Para ahli banyak melakukan analisis mengapa

kemunduran dan kejumudan ilmu pengetahuan dapat terjadi

53

Jaih Mubarok, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, h. 137 54

Yayan Sopyan, Tarikh Tasyri‟, h. 136. 55

Yayan Sopyan, Tarikh Tasyri‟, h. 137

68

pada masa ini. Menurut Mun‟im A. Sirry, secara umum

terjadinya kemunduran penggalian hukum dan ijtihad banyak

disebabkan oleh adanya keterpakuan tekstual yang

membelenggu akal pikiran sebagai akibat hilangnya kebebasan

berpikir. Menurut Farouk Abu Zaid, kebebasan berpikir ini

hilang karena adanya pemaksaan penggunaan aliran mazzhab

tertentu oleh penguasa pada saat itu seperti yang terjadi pada

masa Khalifah al-Makmun dan al-Mu‟tashim dan al-Watsiq

yang memaksakan doktrin Mazhab Muktazilah kepada para

ulama56

.

Keterbelengguan akal pikiran ini menjalar secara akut

hingga menyebabkan fanatisme terhadap kelompok atau

mazhabnya sendiri. Saling klaim yang menjunjung tinggi

mazhabnya serta merendahkan mazhab lain menjadi hal yang

biasa bahkan menjadi semacam ciri khas yang ada pada karya-

karya para ulama pada saat itu. Ulama pada saat itu mulai

melabeli atau membatasi kajian ilmiahnya pada kajian mazhab

tertentu atau bahkan kajian-kajian yang dilakukan justru untuk

mempertahankan orisinalitas mazhab mereka sendiri. Saking

kuatnya berpegangan dengan pendapat imam mazhabnya para

ulama terjebak dalam kebelengguan akal pikiran dan klaim-

klaim berlebihan yang jauh dari sifat objektif.

Para ulama pada saat itu sudah sampai pada tahap

memandang bahwa pendapat para imam mazhab sepadan

dengan nash al-Qur‟ân dan Sunnah yang tidak dapat diubah,

digugat atau diganti. Umpamanya adalah Ubaid Allah al-

Karkhi, salah seorang ulama dari mazhab Hanafi yang

mengatakan bahwa al-Qur‟ân dan al-Hadits yang bertentangan

dengan mazhab Hanafi dapat ditakwilkan atau dapat di nasakh.

Imam Iyadi juga pernah mengatakan bahwa bagi yang taklid,

kedudukan pendapat imam mazhabnya dinilai sejajar dengan al-

Qur‟ân dan hadits57

.

56

Mun‟im A. Sirry, Sejarah Fiqih Islam : Sebuah Pengantar,

(Surabaya: Risalah Gusti, 1995) h. 128 57

Sirry, Sejarah Fiqih Islam : Sebuah Pengantar h. 129.

69

Itulah sebab-sebab umum yang memunculkan taklid

sehingga masa keemasan Islam berakhir dan munculnya

kejumudan dan fanatisme umat Islam pada masa itu. Secara

lebih rinci penyebab munculnya taqlid adalah sebagai berikut58

:

a) Adanya penghargaan yang berlebihan kepada guru. Hal

itu tercermin dalam anggapan bahwa, pertama, setiap

orang dewasa diawajibkan menganut salah satu mazhab

dan diharamkan keluar dari mazhab yang dianutnya itu;

kedua, mengambil pendapat kepada selain pendapat

imam yang dianutnya adalah haram; dan ketiga, guru

yang terdahulu lebih mengetahui makna nash daripada

kita.

b) Berkembang serta meluas khurafat, takhayul, dan mistik

di kalangan masyarakat Islam yang merusak kemurnian

tauhid.

c) Munculnya kejumudan berpikir karena hilangnya

semangat untuk melakukan ijtihad. Ulama mengalami

frigiditas akibat kelesuan berpikir sehingga tidak lagi

mampu menghadapi perkembangan zaman dengan

menggunakan akal pikiran yang sehat dan merdeka serta

bertanggung jawab.

d) Para ulama terdahulu (pendiri mazhab dan pengikutnya)

sangat produktif dan kreatif, hampir seluruh lapangan

ijtihad dijajaki sehingga seolah-olah tidak memberikan

sisa untuk melakukan ijtihad untuk ulama sesudahnya,

bahkan ijtihad mereka sudah sampai kepada hal-hal

yang belum ada dan belum terjadi.

e) Munculnya ulama-ulama yang tidak mempunya

kecakapan yang mumpuni, yakni orang-orang yang

sebenernya tidak mempunyai kelayakan untuk

berijtihad, namun ia memaksakan diri untuk melakukan

ijtihad dan mengeluarkan produk hukum dalam bentuk

fatwa yang membingungkan masyarakat.

58

Yayan Sopyan, Tarikh Tasyri‟, h.138.

70

f) Adanya intervensi kekuasaan (sultan/khalifah) yang

menganjurkan agar mengikuti mazhab yang dianutnya.

Hal ini sangat besar pengaruhnya terhadap taklid.

Disamping itu, sultan hanya akan mengangkat qadhi dan

mufti yang semazhab dengannya.

g) Secara umum, pemerintah sudah tidak memperhatikan

lagi perkembangan ilmu pengetahuan, seperti perhatian

yang pernah diberikan oleh masa Abbasiyah awal

(Harun al-Rasyid, al-Amiin dan khalifah lainnya).

Khalifah lebih banyak menghambur-hamburkan

hartanya untuk berpesta pora dan maksiat.

h) Kesatuan dan keutuhan pemerintah Islan telah pecah, hal

ini menyebabkan menurunnya kewibawaan

pengendalian perkembangan hukum. Bukan hanya di

kalangan penguasa pemerintahan, ternyata antar ulama

pun terjadi persaingan yang tidak sehat yang

menyebabkan diantata mereka saling menghasut.

i) Adanya fatwa bahwa pintu ijtihad telah tertutup, dan

cukuplah berpegah teguh pada ijtihad-ijtihad yang telah

dilakukan oleh ulama terdahulu.

j) Munculnya kesenangan pada harta secara berlebihan.

k) Munculnya saling curiga antar pengikut mazhab, bahkan

saling menghina yang tujuanya untuk meninggikan

mazhab yang dianutnya dan merendahkan mazhab lain.

Selain faktor-faktor yang telah disebutkan di atas, ada

juga faktor eksternal yang juga turut menyebabkan redupnya

era keemasn Islam dan tumbuh suburnya kejumudan di antara

kaum muslimin yaitu59

:

a) Bangkitnya kalangan Kristen Eropa (Renaissance) yang

menyebabkan pesatnya perkembangan ilmu pengeta-

huan di kalangan mereka

59

Yayan Sopyan, Tarikh Tasyri‟, h. 139

71

b) Adanya serbuan bangsa Mongol yang melululantahkan

peradaban Islam, yang telah berabad-abad lamanya

dibangun.

c) Munculnya beberapa negara baru, baik di Eropa maupun

di belahan dunia lain, seperti Afrika, Timur Tengah, dan

Asia. Keadaan demikian membawa kepadaa ketidak-

stabilan politik yang berpengaruh pada perkembangan

pemikiran.

Pada masa berkembangnya taklid dan fanatisme

mazhab, kajian-kajian keilmuan yang melibatkan ijtihad

memang berkurang, namun produktivitas para ulama dalam

menghasilkan karya-karya ilmiah tidak berkurang. Hanya saja

karya-karya mereka cenderung hanya sebagai penjelas (syarah)

atau sebagai ringkasan (mukhtasar) terhadap karya-karya ulama

mazhab. Di bidang penulisan tafsir terutama yang bercorak

tafsir hukum hampir keseluruhan karya-karya yang telah

tersusun dalam sebuah kitab yang paripurna justru dibuat

setelah pasca zaman keemasan Islam. Artinya penyusunan atau

penngumpulan karya-karya tafsir hukum justru banyak terjadi

pada masa kemunduran atau masa taklid. Karya Imam syafi‟I

misalnya yang berjudul Ahkam al-Qur‟ân. Kitab ini baru terbit

setelah teks-teks yang berasal dari Imam Syafi‟I dikumpulkan

oleh al-Baihaqi yang lahir sekitar tahun 380 H.

Karya-karya para ulama pada masa taqlid di bidang tasir

hukum adalah seperti Ahkâm al-Qur‟ân yang ditulis oleh Imam

Abu bakar al-Râzi al-Hanafî atau lebih dikenal dengan al-Jassas

(w. 370) yang merupakan objek kajian dalam penulisan tesis

ini. Ahkâm al-Qur‟ân yang ditulis oleh Imam Abu Bakar Ibn al-

Arabi al-Mâliki (w.543 H)60

, Ahkâm al-Qur‟ân karya „Imad al-

din ibn Muhammad al-Thabari atau yang lebih dikenal dengan

Kiya al-Harrassi (w.504H), al-Jami‟ li Ahkâm al-Qur‟ân karya

Abdullah Muhammad bin Ahmad bin Abu Bakar bin Farh al-

60

Yusuf al-Qaradâwi, Fiqih Maqashid Syariah., Penerjemah Arif

Munandar Riswanto (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2006), h. 16.

72

Anshari al-Khazraji al-Andalusi atau yang lebih dikenal dengan

al-Qurthubi61

.

D. Perkembangan Mazhab-mazhab Hukum dan

Pengaruhnya pada Polarisasi kajian Tafsir Hukum

Sepeninggal Rasûlullah sallallahu „alaihi wasallam,

tongkat estafet kepemimpinan Islam dipegang oleh khulafu al-

râsyidîn. Pada masa ini kekuasaan Islam mulai menyebar

keseantaro jazirah arab dan berhasil melakukan ekspansi ke

daerah-daerah yang dikuasai oleh dua kekuasaan besar pada

saat itu yaitu Persia dan Romawi. Tidak berhenti pada fase

khulafu al-râsyidîn, ekspansi terus dilakukan pada masa

kekuasaan Bani Umayyah dan Bani Abbasiyah. Pada saat itu

kekuasaan Islam sudah berhasil menembus eropa dan afrika.

Luasnya ekspansi kekuasaaan ini menimbulkan perubahan-

perubahan baru di bidang keagamaan dan ilmu pengetahuan

baik terkait aspek ibadah maupun muamalah. Kondisi ini

diperparah dengan tidak adanya lagi sosok yang paling otoritatif

yang dapat memberikan informasi valid terhadap aspek ibadah

dan muamalah dalam kehidupaan keberagamaan umat Islam

yaitu Rasûlullah sallallahu „alaihi wasallam.

Kondisi ini membuat para sahabat, tabi‟in atau para

ulama melakukan pencarian hukum dengan melakukan ijtihad

sebagai respon terhadap kebutuhan umat Islam yang sangat

mendesak. Perkembangan dinamika ijtihad di antara para ulama

pada saat itu juga menimbulkan dialektika dan perbedaan-

perbedaan yang cukup tajam di antara para ulama. Puncaknya

pada masa keemasan Islam (the golden age of Islam) dimana

berkembang dua arus pemikiran utama di dalam Islam yaitu

mazhab ahli ra‟yi dan mazhab ahli hadits. Perkembangan inilah

yang menjadi cikal bakal berkembangnya mazhab-mazhab

hukum serta berbagai macam bidang pemikiran Islam62

.

61

Manna al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu alQur‟ân, h.468. 62

Jaih Mubarok, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, h. 55.

73

1. Penyebab Perbedaan Pendapat di Kalangan Ahli

Hukum Islam

Ahli ra‟yi atau disebut juga madrasah al-ra‟yu atau

madrasah al-kûfah adalah para ulama ahli hukum yang

mewakili golongan ulama yang berfokus pada penggunaan akal

dalam melakukan pengembangan hukum Islam sedangkan ahli

hadits atau madrasah al-hadits adalah golongan ulama yang

fokus pada penggunaan hadits dalam pengembangan hukum

Islam. Dua kelompok ini menjadi pionir dalam berkembangnya

hukum Islam dan pemikiran Islam hingga Islam mencapai

zaman keemasannya. Dialektika dan perbedaan di antara

mereka menghasilkan dua corak hukum yang unik sehingga

hukum Islam menjadi berkembang dan produktif dalam

menghasilkan karya-karya ilmiah.

Dua corak utama madrasah al-hadits dan madrasah al-

ra‟yu adalah faktor utama yang membuat terjadinya perbedaan-

perbedaan pemikiran dan produk hukum di antara ahli hukum

(fuqaha) pada saat itu. Selanjutnya perbedaan-perbedaan-

perbedaan di antara mereka juga disebabkan oleh hal-hal

sebagai berikut63

:

a. Perbedaan bacaan. Dalam riwayat, ada beberapa qira‟at

yang dianggap benar (mu‟tabar) dan ada pula yang

diperselisihkan. Hal itu, menhyebabkan perbedaan

pendapat dalam menetapkan hukum.

b. Tidak meratanya pengetahuan tentang hadits, sehingga

pemahaman sahabat tentang hadits tidak sama. Sebagian

sahabat mendengar banyak hadits sedangkan sebagian

yang lain hanya mengetahui sedikit saja. Hal ini

disebabkan karena intensitas pertemuan sahabat-sahabat

dengan nabi berbeda-beda. Sehingga materi hadits yang

tersampaikan kepad para sahabat juga berbeda-beda.

c. Perbedaan pendapat dalam memahami hadits. Contoh

kasus ini adalah berkaitan dengan nafkah dan tempat

63

Yayan Sopyan, Tarikh Tasyri‟, h. 125-126

74

tinggal bagi perempuan yang ditalak bain oleh

suaminya. Umar berpegang pada surat al-Talaq ayat 11

yang mewajibkan suami untuk memberikan nafkah dan

tempat tinggal selama masa iddah, baik talaq raj‟i

maupun talaq ba‟in sementara Fatimah binti Qais

meriwayatkan bahwa dirinya ditalak oleh suaminya dan

Rasulullah memutuskan bahwa dia tidak berhak atas

nafkah maupun tempat tinggal. Umar belum meyakini

kebenaran tentang hadits ini, dan ia memberikan

komentar: “kami tidak akan meninggalkan kitab Allah

dan Sunnah Nabi-nya karena pernyataan seorang

perempuan yang kami tidak tahu apakah dia hafal atau

lupa.

d. Perbedaan dalam memahami dan menafsirkan Nash.

Contohnya dalam pembagian tanah rampasan perang

(QS. al-Anfâl[8]:41), Umar berpendapat bahwa harta

rampasan yang dibagikan kepada tentara yang ikut

berperang itu adalah benda bergerak saja, namun Zaid bi

Tsabit dan Bilal bin Rabah berpendapat bahwa harta

yang harus dibagikan adalah harta yang bergerak

maupun yang tidak bergerak.

e. Adanya lafadz yang Musytaraq (mempunyai banyak

arti). Lafadz seperti ini banyak membuka peluang bagi

para ulama untuk berbeda pendapat. Contohnya adalah

perbedaan dalam memaknakan quru‟. Zaid bin Tsabit

berpendapat bahwa quru‟ artinya suci sedangkan Abu

Bakar, Usman dan Ali berpendapat bahwa quru‟ itu

artinya haid.

f. Dalil-dalil yang “tampaknya kontradiksi” antara satu

dengan yang lainnya. Yang menjadi masalah adalah

maknanya yang bertentangan. Contohnya adalah

keabsahan nikah orang yang sedang berihram haji atau

umrah. Menurut Imam Malik, Imam Syafi‟i d an Imam

Ahmad adalah tidak sah karena ada hadits yang

menyatakan “laa yankihuu al-muhrimu wa la yunkihu”

75

(HR. Muslim). Sedangkan menurut Imam Abu Hanifah

adalah sah orang nikah dalam keadaan berihram.

Perbedaan-perbedaab lain misalnya terkat batas minimal

mahar, kebatalan wudhu karena menyentuh kemaluan

atau perbedaan-perbedaan lain karena adanya

kontradiksi dari dalil-dalil yang ada.

Secara teknis proses istinbath hukum, alasan-alasan di

atas memang sangat tepat dan mungkin terjadi di antara para

ahli hukum Islam. Namun secara umum perbedaan perbedaan

yang terjadi di antara mereka menurut Muhammad Zuhri dalam

buku Hukum Islam dalam lintasan Sejarah adalah berfokus

pada tiga hal pokok, yaitu64

a. Perbedaan terkait sumber hukum. Adanya perbedaan

kualitas sumber hukum menimbulkan banyaknya

perbedaan hasil istinbath hukum para ulama. Jika

dilihat dari kualitasnya maka sumber hukum itu ada

yang bersifat qath‟i al-Wurûd dan ada yang bersifat

zanni al-wurûd. Ada juga yang bersifat qat‟i al-dalalah

dan zanni al-dalalah. Qath‟i al-Wurûd adalah nash yang

disepakati oleh para ahli hukum sebagai sumber hukum

Islam karena diriwayatkan secara mutawatir. Dalam

nash yang qath‟i al-Wurûd ini para ulama tidak

berselisih pendapat atau sepakat untuk menggunakan

dalil ini. Sementara yang zanni al-wurûd, ulama tidak

sepakat dijadikan sebagai sumber hukum Islam,

sehingga mereka berbeda pendapat dalam berbagai

persoalan.

b. Perbedaan terkait metode ijtihad. Ada banyak perbedaan

metode ijtihad yang membuat terjadinya perbedaan

pendapat di kalangan para ulama. Perbedaan metode

ijtihad itu juga muncul karena adanya perbedaan dalam

melihat suatu fakta dan alasan suatu hukum diterapkan.

64

Muhammad Zuhri, Hukum Islam dalam Lintasan Sejarah,

(Jakarta: Rajawali Press, 1997), h. 73-74.

76

Terkait metode Ijtihad ada beberapa teori yang dianggap

berperan sehingga perbedaan itu menjadi lazim di

kalangan para ulama:

i. Teori tahsin dan taqbih (teori baik-buruk). Teori ini

ada dalam konteks pembahasan teologi yang

mempertanyakan sifat baik dan buruknya yang

karena syariat menyuruh atau melarang orang

berbuat sesuatu, apakah salat mengandung

kebaikan, sehingga kita diperintahkan untuk

mendirikannya, dan apakah daging babi

mengandung keburukan atau bahaya, sehingga

Tuhan melarang memakannya. Dalam hal ini, ada

tiga pendapat yakni:

1) Munculnya perintah dan larangan Tuhan

disebabkan adanya hubungan klausa antara sifat

baik/buruk dengan perilaku orang. Artinya

perbuatan baik dan buruk itu dapat dijangkau

oleh akal dan pikiran. Oleh karena itu, kasus-

kasus yang tidak manshush dapat dijawab

dengan kesanggupan akal melalui

penemuannya tentang baik dan buruk yang

melekat pada perbuatan.

2) Pihak lain mengatakan bahwa baik dan buruk

itu bukan persoalan akal pikiran, sesuatu yang

dipandang baik karena Allah mengatakannya

baik, sedangkan sesuatu yang dianggap buruk

karena Allah mengatakan hal itu buruk.

3) Pihak ketiga menjembatani perbedaan pendapat

ini dengan mengatakan bahwa persoalan ibadah

akal tidak dapat menjangkau baik dan buruk,

sedangkan untuk persoalan non ibadah

(muamalah) akal mempunyai peran dalam

menentukan baik dan buruk.

ii. Perbedaan terkait tema-tema kebahasaan.

Misalnya dalam Ulûm al-Qur‟ân dikenal dengan

77

istilah hakikat-majaz, muhkam-mutasyabih,

musytraka, mutlaq-muqayyad, „am-khas. Tema-

tema kebahasaan yang memicu perbedaan juga

dapat dilihat dari aspek ilmu nahwu, ushul fiqh

dan lainnya.

c. Perbedaan-perbedaan latar belakang adat istiadat di

berbagai tempat yang berbeda.

Demikianlah bahwa banyak faktor yang menyebabkan

perbedaan di antara para ahli hukum atau ulama sehingga

lazimnya terjadi perbedaan produk hukum yang dihasilkan.

Secara garis besar perbedaan yang terjadi di antara para ulama

menurut yusuf al-Qaradawi itu karena adanya perbedaan yang

disebabkan oleh faktor akhlak dan perbedaan faktor pemikiran.

Perbedaan yang merupakan faktor ahlak banyak disebabkan

karena adanya berbagai macam motivasi dari berbagai macam

sikap dan peristiwa. Hal tersebut biasa dipengaruhi oleh sikap-

sikap yang arogan, buruk sangka ataupun fanatisme yang

berlebihan terhadap kelompoknya. Sedangkan perbedaan

pemikiran timbul karena perbedaana sudut pandang mengenai

suatu masalah, baik masalah ilmiah maupun masalah „amaliah.

Masalah ilmiah adalah perbedaan menyangkut cabang-cabang

syariat dan beberapa masalah aqidah yang tidak menyentuh

prinsip-prinsip yang pasti. Sedangkan masalah amaliah adalah

perbedaan mengenai sikap-sikap politik dan pengambilan

keputusan atau berbagai masalah, akibat perbedaan sudut

pandang, kelengkapan data dan informasi, pengaruh-pengaruh

lingkungan dan zaman65

.

2. Proses Pembentukan Mazhab-mazhab Hukum

Terbentuknya mazhab-mazhab hukum tidak terlepas

dari berkembangnya kajian hukum Islam serta ekspansi wilayah

Islam ke seantaro penjuru dunia. Pada awalnya otoritas hukum

65

Yusuf Qaradhawi, Fiqh Perbedaan Pendapat, h. 17-18.

78

ada pada pembawa wahyu yang disampaikan melalui al-Qur‟an

dan al-sunnah. Setelah Rasulullah wafat, otoritas hukum dan

kajian hukum diteruskan oleh sahabat, thabi‟in dan para ulama.

Generasi awal setelah Rasulullah sangat baik dalam

memberikan teladan untuk melanjutkan estafet pengembangan

hukum Islam. Dengan berkembang pesatnya ilmu pengetahuan

termasuk hukum Islam, umat Islam mencapai kejayaannya di

bidang ilmu pengetahuan hingga tercapailah apa yang disebut

masa kejayaan Islam (the golden age of Islam).

Pada awal masa kejayaan Islam mulailah terbentuk apa

yang dinamakan dengan Madrasah al-Ra‟yi dan Madrasah al-

Hadits. Dua mazhab inilah yang menjadi cikal bakal lahirnya

cabang-cabang mazhab pemikiran di bidang hukum Islam.

Madrasah al-Ra‟yi adalah sekelompok ulama yang tinggal di

Kufah yang lebih banyak menggunakan ra‟yu di banding

dengan ulama madrasatul hadits. Karena letak geografis para

ulama ini banyak tinggal di Kufah maka kelompok ini sering

juga disebut juga dengan kelompok Madrasah al-Kûfah66

.

Kelompok Madrasah al-Hadits adalah para ulama yang

banyak berpegang teguh pada Sunnah dan kaya dalam

pemeliharaan Sunnah. Secara geografis para ulama yang

tergabung dalam kelompok ini banyak tinggal di kota Madinah,

oleh karenanya kelompok ini di sebut juga Madrasah al-

Madinah. Oleh karena letak mereka di Madinah, salah seorang

Imam dalam kelompok ini, yaitu Imam Malik berpendapat

bahwa Ijma‟ penduduk Madinah adalah hujjah yang wajib

diikuti.67

Para ulama yang tergabung dalam Madrasah al-

Madinah banyak menetap di Madinah dan mengembangkan

ajaran mereka di sana. Sedangkan para ulama yang berada di

Kufah juga mengembangkan ajaran mereka di kota Kufah.

Madrasah al-Madinah terkenal dengan fokus mereka pada

66

Jaih Mubarok, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, h. 56-

57. 67

Jaih Mubarok, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, h. 57.

79

sumber hukum hadits atau Sunnah dalam mengembangkan

pemikiran mereka dan cenderung sangat berhati-hati dalam

menggunakan ra‟yi, sedangkan ulama Kufah relatif lebih

fleksibel dan longgar dalam menggunakan ra‟yi. Baik

Madrasah al-Madinah maupun Madrasah al-Ra‟yi mempunyai

pemikiran dan corak berpikir sendiri-sendiri hal mana ini diikuti

oleh murid-murid mereka masing-masing yang akhirnya dua

corak pemikiran ini berkembang keberbagai wilayah kekuasan

Islam di Jazirah Arab, Asia, Afrika bahkan sebagian kecil

eropa68

.

Selain dua kelompok yang telah penulis sebutkan,

adalagi kelompok yang pada awalnya adalah kelompok dalam

bidang politik dan ilmu kalam namun mempunyai pengaruh

dalam terbentuknya mazhab-mazhab hukum dalam hukum

Islam. Kelompok ini adalah Khawarij, Syiah dan Jumhur. Tiga

kelompok ini pada awal terbentuknya merupakan aliran politik,

karena sumber perbedaan pemikiran di antara mereka adalah

pemikiran yang bersifat politik yaitu masalah kepemimpinan

umat Islam. Dalam perjalanannya, Khawarij berubah menjadi

aliran kalam, sedangkan syi‟ah memperkuat eksistensinya

dalam aliran politik dengan membangun doktrin dan ajaranya

sedangkan jumhur tetap setia mendukung pemerintahan

Quraisy69

. Jumhur inilah yang dikenal dengan golongan Sunni.

Dua model pengembangan kelompok-kelompok yang

membentuk corak hukum Islam di atas merupakan bukti bahwa

dalam Islam terdapat kebebasan berpikir dan masing-masing

saling menghargai sehingga perbedaan di antara mereka tidak

menjadi penghalang untuk masing-masing mengembangkan

corak hukum Islam sesuai dengan pondasi pemikiran mereka

masing-masing. Bagi corak pemikiran hukum Islam yang

diawali oleh perbedaan aliran politik karena ada perbedaan

pondasi pemikiran tentang pemilihan pemimpin umat memang

ada gejolak di antara mereka namun justru dari gejolak itulah

68

Jaih Mubarok, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, h. 157 69

Jaih Mubarok, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, h. 157

80

ada dinamika positif sehingga penggalian sumber hukum dan

penciptaan produk hukum Islam menjadi lebih kaya karena

pondasi pemikiran hukum mereka sangat dipengaruhi oleh

pemahaman mereka di bidang politik dan kepemimpinan.

3. Perkembangan Polarisasi Mazhab Hukum Islam

Perkembangan mazhab hukum yang diawali dengan

terbentuknya kelompok Madrasah al-hadist dan kelompok

Madrasah al-ra‟yu terus berlanjut seiring dengan semakin

berkembangnya syi‟ar Islam dan kekuasaan Islam. Tolok ukur

pengembangan hukum yang didasarkan pada pemikiran dua

kelompok ini menyebar dengan pesat seiring kebutuhan umat

Islam terhadap produk hukum. Perkembangan ini terus melaju

seiring dengan berkembangnya fase zaman keemasan Islam.

Fase ini disebut juga fase kemandirian bagi ilmu hukum

menjadi ilmu yang mandiri atau fase kesempurnaan70

.

Perkembangan ilmu pengetahuan tidak hanya bersumber

pada umat Islam sendiri tapi mulai digalakkan penterjemahan-

penterjemahan buku-buku yang berasal dari Yunani. Pada masa

kekhilafahan Harun al-Rasyid banyak ulama-ulama yang

dikirim ke eropa untuk mengumpulkan manuskrip-manuskrip

untuk diterjemahkan ke dalam Bahasa Arab. Pada awalnya

upaya penterjemahan diutamakan pada buku-buku yang

membahas tentang kedokteran, tetapi kemudian dipelajari pula

buku-buku ilmu pengetahuan dan filsafat. Melalui gerakan

penterjemahan ini, karya-karya para filsuf Yunani semisal

Aristoteles, Plato dan Galen dalam bidang filsafat, kedokteran,

dan ilmu pengetahuan lainnya dapat di baca oleh umat Islam71

.

Laju perkembangan ilmu pengetahuan juga membawa

pengaruh terhadap polarisasi kelompok ilmu pengetahuan. Di

70

T.M Hashbi Ash-Shiddiqi, Pokok-pokok Pegangan Imam-imam

Madzhab dalam Membina Hukum Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), h.

31. 71

Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme Islam, (Jakarta: UI-

Press, 1973), h. 11.

81

bidang hukum polarisasi ini dinamakan dengan mazhab atau

Madrasah. Dalam Bahasa inggris istilah mazhab ini biasa

diterjemahkan dengan istilah school karena mengambil dari

istilah Madrasah. Sebagaimana pendahuluan bab ini bahwa

polarisasi mazhab ilmu hukum mulai terbentuk dengan

terbentuknya Madrasah al-Hadits dan Madrasah al-Ra‟yu. Dari

sinilah mulai berkembang mazhab-mazhab yang terpolarisasi

pada dua inti fokus Madrasah ini. Satu kelompok berfokus pada

sumber hukum al-hadits dan satu lagi fokus pada

pengembangan rasionalitas.

Catatan sejarah menuliskan banyak sekali mazhab-

mazhab yang terbentuk sebagai hasil perkembangan ilmu

pengetahuan dan polarisasi yang terjadi seiring berkembangnya

ilmu pengetahuan. Mazhab-mazhab yang terbentuk ini

merupakan hasil dari adanya polarisasi antara Madrasah al-

Hadits dan Madrasah al-Ra‟yu. Perbedaan pemahaman dan

cara berpikir dari dua kelompok besar ini semakin lama

semakin mengkristal sehingga berakibat pada menguatnya

sentiment kelompok dan memecah berbagai macam perbedaan-

perbedaan yang ada menjadi bagian-bagian yang lebih kecil lagi

yaitu mazhab-mazhab72

.

72

Mazhab-mazhab tersebut adalah sebagai berikut:

a. Ja‟far al-Shiddiq (80 H)

b. Abu Said Hasan Ibn Yasar al-Basri (110 H)

c. Abu Hanifah al-Nu‟man (150 H)

d. Al-Auzai Abu Amar Abd Rahman (157 H)

e. Sufyan Ibn Said al-Tsauri (160 H)

f. Al-Laits Ibn Sa‟id (175 H)

g. Malik bin Anas (179 H)

h. Sufyan bin Uyainah (198 H)

i. Muhammad Idris l-Syafi‟i (204 H)

j. Ahmad bin Muhammad bin Hanbal (241 H)

k. Daud ibn Ali Ashabahani al-Dzahiri (270 H)

l. Ishaq ibn Rahawaih (238 H)

m. Abu Tsaur Ibrahim bin Khalid al-Kalabi (240 H)

Lihat. Yayah Sopyan, Tarikh Tasyri‟, h. 119.

82

Dari sekian banyak mazhab-mazhab yang terbentuk

pada saat itu hanya sedikit yang bertahan hingga sekarang,

sementara yang sebagian lain sudah hilang atau berkurang

pengaruhnya. Mazhab hukum yang berkembang hingga saat ini

di antaranya adalah Mazhab ja‟fari (dari kalangan Syiah),

mazhab Hanafiah yang didirikan oleh Abu Hanifah al-Nu‟man

Ibn Tsabit ibn Zutha (w. 150 H), mazhab Malikiah yang

didirikan oleh Malik ibn Anas al-Bahi (w.179 H), mazhab

syafi‟iyah yang didirikan oleh Muhammad Ibn Idris al-Syafi‟î (

w. 204 H), dan mazhab Hanabillah yang didirikan oleh Ahmad

Ibn Muhammad Ibn Hanbal (w. 241 H)73

.

Jika ditinjau dari segi polarisasi antara madrasah al-

ra‟yu dan madrasah al-hadits maka masing-masing imam

mazhab tersebut memiliki dominansi yang berbeda-beda.

Mazhab ja‟fariyah mengambil sumber hukum berdasarkan al-

Qur‟an, Sunnah, Ijma‟ dan akal. Namun, berdasarkan mazhab

ini orang yang dapat meriwayatkan Sunnah hanya terbatas pada

periwayatan yang dilakukan oleh ahlu al-bait saja. Sedangkan

yang menjadi objek Sunnah adalah diri nabi dan para Imam

mereka. Sedangkan yang dimaksud dengan ijma adalah ijma di

kalangan mereka sendiri74

.

Mazhab Hanafiyah didirikan oleh Abu Hanifah al-

Nu‟man bin Tsabit bin Zutha berasal dari Kufah (Irak) yang

merupakan pusat perkembangan madrasah al-ra‟yu. Dalam

mengistinbatkan hukum, mazhab ini berpegang pada al-Qur‟an

dan sangat hati-hati dalam menggunakan Sunnah. Imam Abu

Hanifah banyak belajar fikih kepada ulama Kufah yang

beraliran Madrasah al-Ra‟yu. Sumber-sumber keilmuan Imam

Abu Hanifah yang banyak mengambil dari guru-gurunya yang

merupakan Ahlu al-Ra‟yu membuat beliau menjadi representasi

dari golongan mazhab yang mengembangkan aliran ra‟yu75

.

73

Jaih Mubarok, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, h. 119. 74

Jaih Mubarok, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, h. 120. 75

Jaih Mubarok, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, h. 121.

83

Mazhab Malikiyah didirikan oleh Imam Malik bin Anas.

Sejak kecil Imam Malik hampir tidak pernah meninggalkan

Madinah. Beliau banyak mengambil ilmu langsung dari para

Sahabat dan para thabi‟in. Guru yang dianggapnya paling

berpengaruh adalah Abdullah ibn yazid ibn Hurmuz, seorang

tabi‟in. Imam Malik adalah salah satu pelopor Madrasah al-

hadits. Dia adalah seorang Imam di bidang hadits dan hasil

karyanya yang terkenal di bidang hadits adalah kitab al-

Muwatta. Kitab ini pernah diminta oleh Harun al-Rasyid,

seorang khalifah dari bani Umayyah pada saat itu untuk

dijadikan kitab panduan dan rujukan resmi mazhab hukum pada

saat itu namun permintaan tersebut ditolak oleh Imam Malik.

Dalam mengembangkan mazhabnya Imam Malik mengambil

sumber-sumber hukum dari al-Qur‟an, hadits, ijma ahli

Madinah, fatwa sahabat, qiyas, maslahah mursalah, khabar

ahad, istihsan, sadd zara‟i, mura‟at al-khilaf mujtahidin,

istishab, dan syar‟ man qablana76

.

Mazhab Syafiiyah didirikan oleh Muhammad bin Idris

al-Syafi‟i. Beliau lahir di Gaza, bertepatan dengan

meninggalnya Imam Abu Hanifah. Imam syafi‟i dianggap

merupakan sintesa dari polarisasi antara kubu Madrasah al-

ra‟yu dengan madrasah al-hadits. Imam Syafi‟I merupakan

ulama yang sangat produktif dan banyak mengembangkan ilmu-

ilmu ushul di bidang fiqih dan hadits. Oleh Karena itulah

pemikirian Imam Syafi‟I dianggap merupakan perpaduan yang

sempurna antara rasionalitas dan Sunnah. Di bidang ushul fiqh

beliau berjasa dalam menancapkan dasar-dasar ilmu ushul.

Kitabnya yang terkenal adalah al-Risalah. Di bidang ilmu hadits

beliau dijuluki sebagai Nâshiru al-sunnah, karena pembelaan

beliau yang luar biasa terhadap hadits dan ilmu hadits. Di dalam

berijtihad sumbe hukum yang menjadi pegangan mazhab

Syafi‟i ini adalah al-Qur‟an, Sunnah, ijma, qiyas77

.

76

Jaih Mubarok, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, h. 121-

122. 77

Jaih Mubarok, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, h. 122.

84

Mazhab Hanabillah didirikan oleh Abu Abdullah

Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilal al-Syaibani atau

biasa disebut Imam Ahmad bin Hanbal. Beliau adalah salah

satu murid dari Imam Syafi‟i. Beliau lahir di Baghdad dan

sudah menjadi yatim sejak kecil. Meskipun lahir di Baghdad,

yang merupakan bagian dari Madrasah al-ra‟yu namun

pengembaraan beliau untuk berguru ke banyak tempat

mengantarkan beliau kepada kecendrungan pemikiran madrasah

al-hadits. Kepedulian beliau terhadap hadits dibuktikan dengan

karya ilmiah beliau yang sangat terkenal dalam mengumpulkan

hadits-hadits dalam Musnad Ahmad bin Hanbal. Dasar

pengambilan hukum dalam mazhab ini adalah al-Qur‟an, hadits

shahih, fatwa sahabat, hadits hasan atau dhaif dan qiyas78

.

4. Polarisasi Mazhab Hukum dan Relevansinya terhadap

Fanatisme Produk Tafsir Hukum

Dengan berkembangnya mazhab-mazhab hukum di

dalam Islam para ulama mulai terpolarisasi kelompoknya

menjadi bagian dari mazhab-mazhab hukum tertentu. Polarisasi

mazhab ini juga berpengaruh pada metode kajian dan pemikiran

para ulama. Pada kesempatan ini para ulama mulai terserang

penyakit fanatisme dan menjadi muqollid sejati serta berdiri

dibelakang pemikiran imam Mazhab. Kajian-kajian pemikiran

yang terbuka dan ide-ide segar pemikiran hukum Islam mulai

melemah. Produk-produk ilmiah yang dihasilkan para ulama

pada era mazhab mulai mengkrucut menjadi kajian-kajian yang

hanya membahas lebih dalam kitab-kitab mazhabnya masing-

masing dengan men-syarah-kan atau meringkas (Mukhtasor)

kitab-kitab ulama mazhab.

Polarisasi mazhab hukum pada saat itu yang didukung

oleh fanatisme dan taklid yang berlebihan yang membuat para

ulama cenderung menjadi muqallid dan fanatik terhadap

mazhabnya masing-masing. Jika ada suatu ayat-ayat hukum

78

Jaih Mubarok, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, h. 123.

85

atau permasalahan hukum maka para ulama mencoba

melakukan pembahasan dengan pendekatan menurut

mazhabnya masing-masing. Bahkan apabila ditemui ayat-ayat

hukum yang bertentangan dengan pendapat imam mazhabnya

sedapat mungkin pemahaman ayat tersebut dita‟wîl sesuai

dengan pendapat imam-imam mereka. Apabila tidak

dimungkinkan melakukan ta‟wîl maka ayat-ayat hukum

tersebut dapat di takhsîs atau di nasakh agar sesuai dengan

pendapat imam-imam mereka. Abdullah al-Karakhî, seorang

ulama pengikut mazhab Hananfi bahkan pernah mengatakan

setiap ayat atau hadits yang menyalahi pendapat sahabat-

sahabat kami maka ayat tersebut harus di ta‟wil atau di

nasakh.79

Bukti nyata berkembangnya pemikiran taklid dan

fanatisme terhadap mazhab pada saat itu adalah lahirnya banyak

produk-produk tafsir hukum yang fokus melakukan kajian tafsir

dari segi hukum namun didasarkan pada kajian-kajian tafsir

hukum berdasarkan mazhab hukumnya masing-masing. Tidak

jarang juga ditemukan kajian tafsir hukum tersebut digunakan

sebagai wahana untuk mempertahankan atau melemahkan

pendapat para imam-imam mazhab. Meskipun begitu tetap ada

ulama-ulama yang menulis tafsir hukum yang sangat

dipengaruhi oleh pemikiran mazhabnya namun tetap dapat

berlaku adil terhadap pendapat ulama-ulama mazhab lain

dengan menyitir pendapat-pendapat ulama-ulama yang berbeda

mazhab lalu memilih pendapat-pendapat terbaik dari ulama-

ulama tersebut. Berikut adalah polarisasi produk-produk tafsir

hukum berdasarkan mazhab hukum masing-masing.

a. Mazhab Hanafiyah

Abu Bakr al-Razy yang lebih dikenal dengan al-Jassas

menulis sebuah kitab tafsir hukum yang berjudul Ahkâm al-

Qur‟ân. Beliau adalah ulama dari kalangan mazhab Hanafiyah

79

Muhammad Husein al-Dzahabi, Al-Tafsîr wa al-Mufassirûn,

(Darul Hadits: Mesir, 2005), Juz 2, h. 381.

86

dalam bidang hukum atau fikih dan beraliran muktazilah dalam

bidang ilmu kalam80

. Kitab tafsir ini sangat bernuansa kajian

hukum yang sangat penting dan menjadi panduan di kalangan

mazhab hanafiyah. Penulis memang berupaya menjelaskan

kajian-kajian hukum dari berbagai sumber namun jelas sekali

keberpihakannya pada pendapat-pendapat mazhab hanafiyah.

Selain itu ada juga kitab tafsir ayat-ayat hukum dari kalangan

Hanafiyah yang ditulis oleh Abi Sa‟îd yang dikenal dengan

Mulla Juyuuni yang berjudul al-Tafsîrât al-ahmâdîyyah al-Ăyât

al-Syar‟iyyah. Kitab ini belum diterbitkan dan masih dalam

bentuk manuskrip dan tersimpan dalam perpustakaan

universitas al-Azhar al-Syarîf81

.

b. Mazhab Malikiyah

Abu Bakr Muhammad bin Abdullah bin Muhammad bin

Abdullah bin Ahmad al-Ma‟araffi al-Andalusi al-Isybilli atau

yang lebih dikenal Ibn al-„Arabî yang wafat pada tahun 453 H

menulis kitan tafsir hukum yang berjudul Ahkam al-Qur‟ân.

Tafsirnya merupakan rujukan utama di kalangan mazhab

maliki. Meskipun menulis tafsir hukum dengan nuansa mazhab

maliki namun ia dianggap sebagai ulama yang moderat dalam

tafsirnya. Ibn al-„Arabî tidak fanatik mazhab, cukup halus

dalam membantah lawan-lawan pendapatnya. Dalam

menafsirkan ayat, Ibn al-„Arabî mengemukakan berbagai

pendapat ulama, tetapi yang masih memiliki kaitan dengan

ayat-ayat hukum, kemudian memaparkan berbagai

kemungkinan makna ayat bagi mazhab lain selain maliki82

.

Selain Ibn al-„Arabî, dari kalangan Malikiah ada juga

Abdullah bin Muhammad bin Ahmad bin Abu Bakar bin Farh

80

Muhammad Fakir Mibadi, Ayat-ayat Hukum dalam Pandangan

Imamiyah dan Ahlusunnah, Penerjemah Sirojudin (Jakarta: Nur Huda,

2014), h. 4. 81

Mibadi, Ayat-ayat Hukum dalam Pandangan Imamiyah dan

Ahlusunnah, h. 373. 82

Manna al-Qattan, Pengantar Studi Ilmu al-Qur‟ân, h. 470.

87

al-Anshari al-khazraji al-Andalusi atau juga dikenal dengan

nama al-Qurthubi. Beliau menulis kitab tafsir yang berjudul al-

Jami‟ li al-Ahkam al-Qur‟ân. Meskipun fokus pada ayat-ayat

hukum namun al-Qurthubi tidak membatasi kajian tasirnya

hanya pada ayat-ayat hukum saja tetapi bersifat komprehensif.

Al-Qurthubi sasngat luas dalam mengkaji ayat-ayat hukum. Ia

mengetengahkan masalah-masalah khilafiah, hujjah bagi setiap

pendapat lalu mengomentarinya. Dalam menulis tafsirnya al-

Qurtubi tidak fanatic terhadap mazhabnya namun memilih

berlaku adil terhadap mazhab-mazhab yang lain83

.

c. Mazhab Syafi’iyah

„Imad al-Din Muhammad al-Tabari atau dikenal dengan

nama Alkiya Harrâssy menulis kitab tafsir hukum dari kalangan

Syafi‟iyyah yang berjudul Ahkâm al-Qur‟ân. Dalam penulisan

tafsirnya, Alkiya Harrassy termasuk ulama syafi‟iyyah yang

sangat fanatik. Beliau sangat mengagung-agungkan pendapat

Imam Syafi‟I dan ulama-ulama dari mazhab syafi‟i. Beliau

menentang keras pendapat-pendapat ulama-ulama yang

berlawanan dengan mazhab syafi‟i dan secara khusus

membantah pendapat-pendapat al-Jassas yang dalam tafsirnya

bertentangan dengan pendapat mazhab Syafi‟I atau bahkan

bertentangan dengan pendapat Mazhab Syafi‟i84

.

Selain itu ada beberapa tafsir hukum yang juga ditulis

oleh para ulama dari kalangan Mazhab Syafi‟iyah di antaranya

Kitab tafsir hukum yang berjudul Ahkâm al-Kitâb al-Mubîn.

Beliau adalah ulama al-Qur‟ân pada abad ke-9 hijriyah. Selain

itu ada juga kitab tafsir hukum yang berjudul al-iklîl fî Istinbâti

al-Tanzîl yang ditulis oleh ulama terkenal dari kalangan

syafi‟iyyah yaitu Jalaluddin al-Suyuthi atau dikenal dengan

Imam Suyuthi85

83

Manna al-Qattan, Pengantar Studi Ilmu al-Qur‟ân, h. 470. 84

Muhammad Husein al-Dzahabi, Al-Tafsîr wa al-Mufassirûn,

(Darul Hadits: Mesir, 2005), Juz 2, h. 390-391. 85

al-Dzahabi, Al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, h. 391.

91

didapatnya dari Abi „Alî al-Fârisi, Abi Umar Ghulam Tsa‟lab

al-Nahwi dan Abî Sahl al-Zujâjî7.

Setelah beberapa kurun waktu, al-Jassas pulang dari

Naisaburi ke Baghdad pada tahun 344 H, dan tidak diduga

gurunya Abu Hasan al-Karakhi meninggal dunia. Sepeninggal

Abu Hasan al-Karakhi pada 340 H / 952 M, ia kemudian

digantikan oleh Abu 'Ali Ahmad bin Muhammad al-Shashi.

Namun, pada tahun 344 H / 956 M, al-Shashi jatuh sakit parah,

maka kemudian al-Jassas

92

ilmunya, al-Jassas pernah dua kali ditawari untuk menjadi

seorang hakim (Qadhi), namun beliau menolak dua kali

permintaan itu. Penolakannya ini sangat dimungkinkan karena

ia tidak ingin diasosiasikan sebagai Syi‟ah yang pada saat itu

sedang memegang tampuk kekuasaan10

.

Sebagai salah seorang pemuka mazhab Hanafi pada masa

itu, al-Jassas, termasuk ulama yang sangat produktif. Beliau

dianggap sebagai ulama generasi keempat dalam lingkup

mazhab Hanafiyah. Oleh karenanya beliau bukan lagi seorang

mujtahid mutlak namun lebih merupakan ulama yang

memberikan penjelasan yang lebih rinci terhadap hasil karya

ulama-ulama pendahulunya. Ijtihad dan pendapat beliau diambil

dari ulama-ulama generasi sebelumnya seperti mengambil

pendapat dari gurunya, al-Karakhi11

.

2. Karya Ilmiah al-Jassas

Di antara karya-karya al-Jassas adalah al-Fushûl fi al-

ushûl, dikenal sebagai Ushûl al-Jassas. Kitab ini merupakan

upaya beliau untuk membuat sistem yang komprehensif dan

sistematis dalam memperlakukan prinsip-prinsip hukum yang

diajarkan oleh Imam Hanafi. Salah satu karya terpenting al-

Jassas adalah Ahkâm al-Qur‟ân karena kitab ini meliputi dua

keilmuan penting yaitu tafsir dan hukum. Kitab ini ditulis dalam

3 jilid besar dan memuat hingga 105 bab12

.

Adapun karya ilmiah lain yang dihasilkan oleh al-Jassas

adalah Syarh Mukhtasar al-Karakhy, Syarh Mukhtasar al-

Thahawy, Syarh al-Jami‟ li Muhammad Ibn Hasan, Syarh al-

10

Khalilupethes, Al-Imam Abu bakar al-Râzî al-Jassas wa

Manhajuhu fî al-Tafsîr, h.33-34. 11

Khalilupethes, Al-Imam Abu bakar al-Râzî al-Jassas wa

Manhajuhu fî al-Tafsîr, h. 80. 12

Saeedullah, Life and Works of Abu Bakr al-Razi al-Jassas, hlm.

135.

93

Asma al-Husna, Adab al-Qadha‟, ushul al-Fiqh dan al-

Asyrabah13

.

3. Corak Penafsiran dan Kecendrungan Mazhab dalam

Tafsir Ahkâm al-Qur’ân

Kitab tafsir Ahkâm al-Qur‟ân karya al-Jassas

merupakan kitab tafsir yang sangat kental dengan corak fikih

bahkan dikatakan kitab ini lebih merupakan kitab fikih

ketimbang kitab tafsir mengingat pembahasan di dalamnya

sangat kental nuansa fikihnya dengan bab-bab dan sub bab yang

disusun sedemikian rupa sesuai dengan kaidah penulisan fikih.

al-Jassas juga menyajikan berbagai macam diskusi dan

perbandingan fikih di dalam tafsirnya sehingga kajian tafsirnya

sangat menyerupai kajian perbandingan fikih (fiqh muqarran)14

.

Tidak jarang perbandingan itu dilakukan untuk menguatkan

atau membela pendapat fikih dari mazhab yang dianutnya.

Tafsir semacam ini seakan-akan melihat al-Qur‟ân sebagai kitab

suci yang berisi ketentuan-ketentuan hukum dan perundang-

undangan atau menganggap al-Qur‟ân sebagai kitab hukum15

.

Penafsiran yang dilakukan oleh al-Jassas juga dinilai

terlalu berlebihan dalam membahas masalah hukum, karena ia

memasukkan masalah-masalah fikih yang seharusnya tidak

perlu dibahas dalam sebuah kitab tafsir, termasuk juga

perbedaan-perbedaan pendapat yang ada pada kalangan ulama

fikih. Ia juga menghidangkan perbedaan-perbedaan pendapat

ulama fikih lalu membandingkan masing-masing pendapat itu

selayaknya pembahasan dalam perbandingan fikih. Bahkan

adakalanya pembahasan fikih yang dibahas oleh al-Jassas sama

sekali tidak berhubungan dengan ayat yang sedang dibahasnya.

Dalam hal ini menjadi wajar apabila al-Dzahabi dalam kitabnya

al-Tafsîr wa al-Mufassirûn mengomentari tafsirnya sebagai

13

Iyaziy, Al-Mufassirûn Hayâtuhum wa Manhâjuhum, h. 110. 14

Al-Dzahabi, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, Jilid 2, h. 324. 15

Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, (Yogyakarta:

Pustaka Pelajar, 2011), h. 419

94

sebuah tafsir yang lebih mirip dengan buku-buku fikih

perbandingan (fiqh muqarran) ketimbang kitab tafsir16

.

Sebagai sebuah kitab tafsir yang fokus pada pembahasan

fikih, al-Jassas membekali penulisan tafsirnya dengan beragam

sumber bacaan yang berasal dari berbagai macam bidang ilmu

baik itu sumber-sumber ilmu tafsir, ilmu ushul, ilmu fikih serta

ilmu hadits. Ilmu bahasa dan serta ilmu sejarah. Sumber-sumber

kitab tafsir yang digunakan oleh al-Jassas adalah di antaranya

kitab Tafsîr al-Qur‟ân karya Imam Abdul al-Razaq al-Shan‟ânî,

kitab Jami‟ al-Bayân „an Ta‟wîl Ai al-Qur‟ân karya Imam

Muhammad Ibn Jarîr al-Thabari, kitab Ahkâm al-Qur‟ân karya

Imam Syafi‟i, Ahkâm al-Qur‟ân karya Abî Hasan „Ali Ibn

Hajar al-Sa‟dî, kitab Ahkâm al-Qur‟ân karya Abî Hasan „Alî

Ibn Mûsa al-Qummî17

.

Penulisan Ahkâm al-Qur‟ân karya al-Jassas juga

dihasilkan dari sumber-sumber kitab hadits. Al-Jassas mengutip

penulisan tafsirnya dari sumber-sumber kitab hadits yang

mashur seperti kitab-kitab yang dikenal dengan Kutub al-Sittah,

terutama berasal dari kitab Sunan Abu Daud18

. Selain

menggunakan sumber-sumber hadits dari kitab-kitab hadits

yang sudah ada, al-Jassas juga menggunakan dalil-dalil hadits

yang ia riwayatkan sendiri dengan sanad yang bersambung

kepada guru-gurunya. Adapun dua orang guru yang ia

riwayatkan hadits dari mereka adalah Abdul al-Baqi ibn Qâni‟

dan Muhammad ibn Bakr al-Bashori19

.

Di bidang bahasa dan sastra, al-Jassas banyak

mengambil faidah langsung dari guru-gurunya di bidang Bahasa

dan sastra. Di antara mereka adalah Abu „Alî al-Fârisi dan Abu

16

Al-Dzahabi, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, Jilid 2, h. 324 17

Khalilupethes, al-Imam Abu bakar al-Râzî al-Jassas wa

Manhajuhu fî al-Tafsîr, h.173. 18

Khalilupethes, al-Imam Abu bakar al-Râzî al-Jassas wa

Manhajuhu fî al-Tafsîr, h.203 19

Khalilupethes, al-Imam Abu bakar al-Râzî al-Jassas wa

Manhajuhu fî al-Tafsîr, h. 203

95

Umar Ghulam Tsa‟lab, Tsa‟lab al-Nahwî dan Ibnu Ărabi. al-

Jassas banyak juga menyebut dalam tafsirnya para ulama yang

mashur dalam bidang bahasa di antaranya Qutrûb yang

merupakan murid dari Imam Sibawaih, al-Asma‟î, al-Kisa‟î dan

Ibnu Qutaibah20

.

Di bidang fiqh dan ushul fiqh, al-Jassas mengutip dari

beberapa ulama yaitu di antaranya Kitab al-Siyar al-Kabîr

karya Imam Muhammad Ibn al-Hasan al-Syaibani, Kitab al-

Ziyadâts karya Imam Muhammad ibn al-Hasan, Kitab al-„Amali

fi al-Fiqh dan al-Nawâdir karya Imam Abi Yûsuf. al-Jassas

juga mengambil manfaat untuk penulisan tafsirnya dari kitab

yang dikarang oleh ulama mazhab Syafi‟i yaitu kitab al-Risâlah

yang dikarang oleh Imam al-Syafi‟î, kitab al-Mukhtashor karya

al-Buwaitî dan al-Muzanî.

Bidang lain yang juga tak luput diambil faidahnya oleh

al-Jassas untuk melengkapi sumber-sumber penulisan karya

tafsirnya adalah bidang sejarah, terutama terkait dengan sejarah

kenabian (Sîrât al-Nabâwiyyah). al-Jassas mengutip dari

beberapa sumber yaitu dari Muhammad Ibn al-Ishaq pengarang

kitab al-Sîrât al-Nabâwiyyah, al-Wâqidi pengarang kitab al-

Maghâzî al-Nabâwiyyah. al-Jassas juga mengutip penulisan

tafsirnya dari kitab Sîrât al-Nabâwiyyah yang sangat terkenal

karya Ibn Hisyam yaitu Kitab Sirâh Ibn Hisyam21

.

Pada kurun abad ke-4 Hijriah, produktivitas ulama

dalam menulis kitab memang lebih difokuskan kepada

penulisan-penulisan karya-karya ilmiah untuk mengembangkan

doktrin-doktrin pada mazhabnya mazing-masing. Pada saat itu

pula mulai berkembang penulisan teks kitab-kitab fikih dan

ushûl fiqh yang mengenalkan sistem dan doktrin mazhab

masing-masing pengikutnya. Perdebatan antara kaum rasional

dan kaum rasional (ahlu al-Ra‟yî dan ahlu al-hadits) sudah

20

Khalilupethes, al-Imam Abu bakar al-Râzî al-Jassas wa

Manhajuhu fî al-Tafsîr, h.209-210. 21

Khalilupethes, al-Imam Abu bakar al-Râzî al-Jassas wa

Manhajuhu fî al-Tafsîr, h. 218.

96

mendekati babak akhir karena mulai terwujudnya konsensus

keilmuan di antara kaum sunni pada saat itu.

Pada masa inilah awal-awal masa zaman keemasan

Islam mulai mengalami masa kemunduran. Akhir zaman

keemasan fikih ditandai dengan tidak ada lagi kemunculan

mujtahid mutlak yang mampu membangun cara dan mekanisme

berpikir hingga tidak ada lagi mujtahid pendiri mazhab. Akhir

zaman keemasan benar-benar berakhir ketika ijtihad ditutup

sehingga ulama tidak lagi berijtihad kecuali ijtihad dengan

mengikatkan diri pada aliran fikih tertentu22

.

Al-Jassas sendiri dilahirkan pada tahun 305 Hijriah.

Waktu dimana awal-awal jaman keemasan Islam mulai pudar23

.

al-Jassas sendiri dalam mazhab hanafiah digolongkan sebagai

generasi keempat ulama mazhab, generasi dimana era keemasan

Islam mulai redup. Pada saat ini produktivitas para ulama bukan

lagi pada ide-ide orisinal dan menggariskan metode berpikir

serta konsep pijakan ilmiah sebagaimana dilakukan oleh

pendahulunya para Imam Mazhab seperti Imam Abu Hanifah

atau Imam Syafi‟i. Produktivitas mereka memang tidak

berkurang namun bentuknya lebih pada merinci, menjelaskan

atau bahkan meringkas apa yang sudah dibuat para ulama

sebelumnya.

Kecendrungan karya-karya yang dibuat juga lebih pada

melestarikan mazhab-mazhab mereka masing-masing. Kondisi

inilah yang membuat mazhab-mazhab dalam bidang hukum

22

Mubarok, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, h. 133. 23

Para sejarahwan Islam sepakat bahwa tanda-tanda kemunduran

Islam di mulai pada abad ke-4 Hijriah. Kemunduran ini ditandai dengan

mulai menurunnya ijtihad di antara para ulama. Sebagian ulama memandang

cukup untuk merujuk pendapat imam mazhabnya masing-masing tanpa

melakukan ijtihad kembali. Pada fase ini terjadi perubahan orientasi dimana

sebelumnya banyak para ulama langsung merujuk kepada al-Qur‟an dan

Sunnah namun pada fase ini cukup dengan merujuk kitab-kitab fikih yang

disusun oleh para imam mazhab yang dianggap lebih kompeten. Lihat.,

Mubarok, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, h. 137.

97

berkembang pesat. Ditambah lagi dengan tumpulnya ide-ide

yang orisinil, taklid buta dan wacana tertutupnya ijtihad maka

timbullah pelestarian mazhab yang bertendensi pada

fanatisme24

.

B. Aspek Metodologis dalam Tafsir Ahkâm al-Qur’ân Karya

al-Jassas

Ada dua aspek penting yang akan penulis bahas

sehubungan dengan aspek metodologis dalam tafsir Ahkâm al-

Qur‟ân karya al-Jassas. Pertama, penulis akan membahas

bagaimana al-Jassas berusaha memahami pesan-pesan al-

Qur‟an dengan cara-cara yang populer digunakan oleh para

ulama dalam melakukan penafsiran al-Qur‟ân. Metode popular

itu merujuk kepada riwayat atau tafsîr bi al-Ma‟tsur dan

menggunakan nalar atau tafsîr bi al-Ra‟yî. Kedua, penulis akan

memberikan analisis metodologis terkait bagaimana al-Jassas

menyajikan hidangan tafsirnya. Cara penyajian atau bagaimana

cara al-Jassas memberikan penjelasan tafsirnya itu akan

dianalisis sesuai dengan metode-metode yang ia gunakan.

Metode-metode tersebut adalah metode Tahlîly dan metode

Maudhû‟î.

Untuk memberikan analisis yang jelas dan

komprehensif, penulis akan memberikan contoh-contoh aspek

24

Beberapa peneliti berkesimpulan bahwa pendapat tentang

tertutupnya Ijtihad merupakan bagian dari meredupnya era keemasan Islam.

Era ini dimulai pada abad ke-4 Hijriah. Menurut „Ali al-Sayyis, dalam kitab

Nasy‟at al-Fiqh al-Ijtihâdi wa atwârûh, setelah Ibnu Jarir al-Tabari (w.310

H) tidak terdapat lagi mujtahid mutlak. Wael B. Hallaq menyatakan bahwa

ketertutupan Ijtihad muncul karena diskusi antara Ibnu „Aqil (w. 513 H)

penganut mazhab Hambali, dengan seorang penganut mazhab Hanafi yang

namanya tidak diketahui. Dalam diskusi tersebut, Ibnu „Aqil menolak

pendapat rekan diskusinya yang menyatakan bahawa ijtihad telah tertutup.

Menurut „Abd. Wahab Khallaf, pendapat tentang ijtihad telah ditutup

muncul sejak abad IV H. J. Coluson dan Joseph Schacht setuju dengan

pendapat ini. Lihat. Mubarok, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam,

h.133 – 134.

98

metodologis yang digunakan oleh al-Jassas di dalam tafsirnya

baik terkait dengan cara memahami ayat-ayat al-Qur‟an melalui

sumber-sumber yang popular digunakan oleh para ulama

ataupun mekanisme yang digunakan dalam menyajikan

penjelasan tafsir.

1. Metode Tahlîly dalam Penulisan Tafsir Ahkâm al-

Qur’ân

Jika kembali kepada pemahaman tentang definisi tafsir

maka akan didapati penjelasan bahwa tafsir adalah penjelasan

tentang maksud-maksud Allah dalam firman-Nya sesuai dengan

kemampuan manusia.25

Dari penjelasan ini ada makna tersirat

dari kata penjelasan bahwa ada sesuatu yang disajikan sebagai

sesuatu penjelasan dan ada mekanisme khusus bagaimana al-

Qur‟an itu dijelaskan. Berdasarkan pemikiran inilah suatu tafsir

pasti memiliki aspek metodologis dalam penyajiannya tidak

terkecuali dengan tafsir yang disajikan oleh al-Jassas. Layaknya

sebuah tafsir, ia memiliki aspek metodologis penyajian agar

runtutan penjelasan yang dilakukan dapat dengan nikmat

disantap oleh pembacanya.

Dalam tafsirnya, secara umum al-Jassas menggunakan

metode Tahlîly dengan melakukan analisis ayat-ayat al-Qur‟ân

dengan memaparkan kandungan ayat-ayat al-Qur‟ân sesuai

dengan pandangan, kecendrungan, keahlian dan keinginan

mufassirnya yang dihidangkan secara runtut sesuai dengan

penurunan ayat-ayat dalam mushaf. al-Jassas banyak memulai

penafsirannya dengan terlebih dahulu membahas pengertian

umum dari kosakata ayat, perbedaan-perbedaan pendapat

tentang pemahaman suatu ayat yang dihidangkan dengan

menyajikan berbagai macam pendapat ulama mazhab lalu ia

mengambil kesimpulan dengan mengambil hukum apa yang

dapat diambil dari pemahaman terhadap ayat tersebut.

25

M. Quraish Shihab, Kaidah al-Qur‟an, h. 377.

99

Ia juga membahas qira‟at atau I‟rab ayat-ayat yang ia

tafsirkan serta keistimewaan-keistimewaan susunan kata-

katanya. al-Jassas banyak mencantumkan kutipan-kutipan

pendapat ahli fikih mulai dari kalangan sahabat, tabi‟in dan

generasi sesudah mereka. Dalam kondisi tertentu, al-Jassas

seperti tidak terlihat untuk memberikan kesimpulan atau

penekanan kepada pembaca, melainkan ia membiarkan begitu

saja pendapatnya tanpa ada tendesi kearah kesimpulan atau

penguatan salah satu dari pendapat yang dinukil atau

dikumpulkannya.26

Metode Tahlîly dapat terlihat dengan jelas ketika ia

menafsirkan lafadz basmallah sebagai awal objek tafsir dalam

al-Qur‟an. Di situ ia membahas secara komprehensif tentang

lafadz basmallah mulai dari pemahaman gramatikal

kosakatanya, I‟rabnya serta perbedaan-perbedaan pendapat

ulama mazhab di dalamnya disertai dalil-dalil yang

mendukungnya. al-Jassas membagi penjelasan tentang kata

basmallah hingga menjadi sembilan pembahasan yaitu pertama,

tentang makna dhamir yang ada di dalamnya, kedua, apakah

lafadz Basmallah itu adalah bagian dari ayat al-Qur‟ân pada

pembukaannya, ketiga, apakah lafadz basmallah merupakan

bagian dari ayat al-Fâtihah, Keempat, apakah ia merupakan

ayat pada setiap awal surat, kelima, apakah ia merupakan satu

ayat yang sempurna atau bukan, keenam, hukum membacanya

dalam shalat, ketujuh, hukum pengulangannya dalam setiap

awal surat dalam shalat, kedelapan, Hukum membaca zahar

(keras), kesembilan, perincian pembahasan tentang

keistimewaan lafadz Basmallah ditinjau dari berbagai segi.27

Melihat bagaimana al-Jassas melakukan penafsiran

terhadap lafadz basmallah maka sangatlah jelas bahwa al-Jassas

26

Moh. Sabiq dan Dyah Ayu Fitriani, “Kajian Kritis Atas Ahkâm

al-Qur‟ân Karya al-Jassas” (W.370 H.), Program Studi Ilmu al-Qur‟an dan

Tafsir, Sekolah Tinggi Agama Islam Sunan Pendanaran. 27

Abu Bakr Ahmad Ibn „Alî al-Râzî al-Jassas, Ahkâm al-Qur‟ân,

(Beirut: Al-Ihya al-Turats al-„Arabi‟), 1992), Jilid 1, h. 5.

100

memberikan penekanan khusus pada aspek hukum dari lafadz

Basmallah baik terkait eksistensinya sebagai ayat al-Qur‟ân

ataupun bagaimana hukum membacanya di dalam shalat.

Metode ini merupakan metode yang khas digunakan dalam

penulisan al-Qur‟ân dengan metode Tahlîly. Metode Tahlîly

yang digunakan oleh para mufassir yang menekankan pada

aspek hukum banyak dikritik oleh para ahli karena penulisnya

terlalu menekankan pandangan mazhabnya, sehingga mazhab

seakan menjadi dasar dan al-Qur‟ân digunakan untuk

mendukungnya. Dengan kata lain, al-Qur‟ân dijadikan

pembenaran mazhab dan tidak dijadikan petunjuk untuk

memperoleh kebenaran28

.

Metode Tahlîly yang digunakan oleh al-Jassas oleh para

pakar bahasa dianggap bisa memberikan kelebihan pemahaman

karena bisa menyajikan makna-makna kosakata dalam al-

Qur‟ân29

yang bisa dijadikan dasar dalam pengambilan dalil

hukum. Namun kritik juga disampaikan bahwa secara bahasa,

mufassir yang menggunakan metode ini tidak jarang dianggap

berlebihan atau berkurang dalam memberikan penjelasan

terhadap suatu kosakata yang ada dalam al-Qur‟ân30

. Perhatian

yang diberikan para ulama yang mengkritik penggunaan metode

ini jelas dapat terlihat dalam tafsîr al-Jassas bahkan pada

pembukaan tafsirnya pada saat al-Jassas membahas lafadz

basmallah31

.

2. Tematisasi Ayat-ayat dalam Tafsir Ahkâm al-Qur’ân

Tahap awal berkembangnya metode ini sesungguhnya

sudah dimulai ketika Rasûlullah sallallahu „alaihi wasallam

seringkali menafsirkan ayat dengan ayat yang lain. Salah satu

28

M. Quraish Shihab, Kaidah al-Qur‟ân, h. 379. 29

M. Quraish Shihab, Kaidah al-Qur‟ân, h. 378. 30

M. Quraish Shihab, Kaidah al-Qur‟ân, h. 379. 31

al-Jassas, Ahkâm al-Qur‟ân, Jilid 1, h. 5-28.

101

contohnya adalah ketika beliau menjelaskan arti lafadz Zhulm

yang terdapat pada Qs. al-An‟am [6]: 8232

.

ئك لهم ٱألمن ٱلذين آمنىا ولم يلبسىا إيمبنه ـ هتدون م بظلم أول وىم م

“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampur-

adukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka

itulah orang-orang yang yang mendapat keamanan dan

mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk”

(Qs. al-An‟am [6]: 82)

Rasûlullah sallallahu „alaihi wasallam mengatakan

bahwa kata Zhulm pada ayat ini sesungguhnya bermakna syirik

sebagaimana yang dijelaskan pada Qs. Luqmân [31]:13.

رك لظلم عظي م إن ٱلش “Sesungguhnya syirik itu adalah “Zhulm”

(Penganiayaan) yang besar. (Qs. Luqmân [31]:13)

Benih penafsiran ayat dengan ayat yang dilakukan oleh

Rasûlullah sallallahu „alaihi wasallam ini tumbuh subur di

kalangan para mufassir sehingga berkembanglah kitab-kitab

yang secara tematik melakukan penafsiran ayat dengan ayat.

Tafsir Thabari adalah salah satu tafsir pertama yang dianggap

fokus melakukan penafsiran ayat dengan ayat. Semakin kesini

berkembanglah pemikiran penafsiran tematik bukan hanya

penafsiran ayat dengan ayat namun secara khusus lebih fokus

pada penafsiran ayat yang bertema hukum seperti apa yang

dilakukan oleh al-Jassas. Meskipun begitu, apa yang dilakukan

al-Jassas, menurut Quraisy Shihab belum bisa dikatakan

sebagai Tafsir Maudhû‟î yang berdiri sendiri, antara lain karena

belum menggunakan metode-metode yang secara khusus

diperkenalkan sebagai metode Maudhû‟î.

32

M. Quraish Shihab, Kaidah al-Qur‟ân, h. 385.

102

Dari beberapa pendapat tentang definisi metode

Maudhû‟î, Dr. Musthafa Muslim dalam kitabnya Mabâhits fî al-

Tafsîr al-Maudhû‟î mengatakan bahwa menggabung ayat-ayat

yang berbeda di dalam al-Qur‟ân, yang saling berkaitan dengan

tema yang satu, baik dalam konteks lafadz atau hukum, dan

penafsirannya sesuai dengan maksud-maksud al-Qur‟ân33

.

Pendapat lain mengatakan bahwa metode Maudhû‟î adalah

metode yang mengarahkan pandangan kepada satu tema

tertentu, lalu mencari pandangan al-Qur‟ân tentang tema

tersebut dengan jalan menghimpun semua ayat yang

membicarakannya, menganalisis, dan memahaminya ayat demi

ayat,lalu menghimpunnya dalam benak ayat yang bersifat

umum dikaitkan dengan yang khusus, yang muthlaq

digandengkan dengan yang muqayyad, dan lain-lain sambil

memperkaya uraian dengan hadits-hadits yang berkaitan untuk

kemudian disimpulkan dalam satu tulisan pandangan

menyeluruh dan tuntas menyangkut tema yang dibahas itu34

.

Sebagaimana penulis sampaikan sebelumnya bahwa

penulisan tafsir dengan penekanan pada pembahasan aspek

hukum di dalam al-Qur‟ân atau corak hukum saja merupakan

salah satu pionir dalam perkembangan penulisan tafsir

Maudhû‟î. Oleh karenanya apa yang dilakukan oleh al-Jassas

dengan memfokuskan pada corak penulisan tafsir hukum

sesungguhnya sudah masuk dalam kategori tematik namun

belum secara komprehensif dianggap sebagai tafsir Maudhû‟î.

Jika ditelisik lebih dalam berdasarkan kriteria definisi tafsir

Maudhû‟î, sesungguhnya akan banyak ditemui penafsiran

dengan metode ini pada tafsir al-Jassas. Bahkan jika dilihat dari

judul-judul bab yang disajikan oleh al-Jassas dapat dilihat

secara jelas bahwa al-Jassas selalu berupaya menyajikan tema-

tema khusus (tematik) yang fokus pada bidang hukum

meskipun runtutannya didasarkan pada metode Tahlîly. Namun

33

Shalah Abd al-Fattah al-Khâlidi, al-Tafsîr al-Maudhû‟î Baina al-

Zurriyah wa al-Tatbîq, (Dâr al-Nafâis, 1997) h. 30. 34

M. Quraish Shihab, Kaidah al-Qur‟ân, h. 385.

103

uniknya al-Jassas dapat menyajikan tema-tema khusus dengan

memberikan judul-judul bab pada beberapa ayat atau surat yang

akan dibahasnya dengan tema-tema khusus yang telah

ditentukan dalam bab-bab tertentu lalu tema-tema tersebut akan

dibahas secara komprehensif dengan metode bi al-ma‟tsur.

Adakalanya juga pada sebagian pembahasan al-Jassas

tidak memberikan judul berupa bab atau pasal tertentu tentang

pembahasan itu namun jika dilihat dari pembahasan ayat itu

lebih dalam dapat dipahami bahwa al-Jassas sedang berusaha

menjelaskan ayat tersebut secara tematik dan ia menghimpun

beberapa ayat untuk menjelaskan kandungan ayat yang sedang

dibahasnya. Untuk memperkuat dalil dari penghimpunan ayat

tersebut al-Jassas juga menyajikan dukungan dalil hadits atau

pendapat para ulama. Satu contoh yang dapat diambil adalah

pada saat ia menjelaskan tentang larangan berwali atau

mengambil pemimpin kafir.

Pada saat menjelaskan Qs. al-„Imrân [3]:28 tentang

larangan berwali atau mengambil pemimpin orang kafir, al-

Jassas berupaya mengumpulkan ayat-ayat serupa yang

mengatur hal yang sama pada beberapa surat di dalam al-

Qur‟ân.

ال ي تخذ ٱلمؤمنون ٱلكافرين أوليآء من دون ٱلمؤمنني ومن ي فعل ذلك ركم ٱللو ن فسو ف ل هم ت ق ة ويذ قوا من يس من ٱللو ف شيء إال أن ت ت

وإل ٱللو ٱلمصي

“Janganlah orang-orang beriman menjadikan orang

kafir sebagai pemimpin, melainkan orang-orang yang

beriman. Barang siapa berbuat demikian, niscaya dia

tidak akan memperoleh apapun dari Allah, kecuali karena

(siasat) menjaga diri dari sesuatu yang kamu takuti dari

mereka. Dan Allah memperingatkan kamu akan diri

104

(siksa-Nya), dan hanya kepada Allah tempat kembali”.

(Qs. al-„Imrân [3]:28).

Al-Jassas di antaranya mengutip Qs. al-Imrân [3]:118,

Qs. al-Mujâdalah [58]:22, Qs. al-An‟âm [6]:68, Qs. al-Nisâ

[4]:140, Qs. Huud [11]:113, Qs. al-Najm [53]:29, Qs. al-A‟raf

[7]: 199 dan Qs. al-Taubah [9]:73. Lebih dari itu al-Jassas juga

menyajikan beberapa dalil-dalil hadits yang pada intinya

menjelaskan tentang keharaman mengambil pemimpin kafir.

Selain itu al-Jassas juga mengutip pendapat Ibnu Abbas tentang

larangan mengambil pemimpin kafir sesuai dengan pesan awal

ayat al-Qur‟ân Qs. al-„Imrân [3]: 2835

. Berdasarkan ayat-ayat,

hadits-hadits serta pendapat ulama yang telah dikumpulkannya,

lalu al-Jassas menarik sebuah kesimpulan yang menyeluruh

sesuai dengan tema awal yang diangkatnya.

3. Penggunaan Metode Tafsîr bi al-Ma’tsûr dalam

Penulisan Tafsir Ahkâm al-Qur’ân

Salah satu cara popular dalam penafsiran al-Qur‟ân

adalah penafsiran bi al-Ma‟tsûr. Cara ini merujuk penafsiran al-

Qur‟ân kepada riwayat. Definisi dari penafsiran bi al-Ma‟tsûr

adalah penafsiran yang dilakukan melalui jalur riwayat,

meliputi periwayatan yang ada dalam al-Qur‟ân sendiri yang

didapat melalui penjelasan dan perincian sebagian ayat-ayat

atau lafadz-lafadznya, atau apa yang diriwayatkan dari Nabi

Muhammad Sallallahu „alaihi Wasallam, atau perkataan para

Sahabat yang dijelaskan oleh para ulama atau perkataan para

tabi‟in36

.

Berdasarkan penjelasan dari definisi di atas ada 4 cara

penafsiran Tafsîr bi al-Ma‟tsûr yaitu pertama penafsiran ayat

al-Qur‟an dengan ayat al-Qur‟ân yang lain. Kedua, penafsiran

35

Al-Jassas, Ahkâm al-Qur‟ân, h. 288-289.

36

Dzahabi, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, Jilid 1, h. 137.

105

ayat dengan keterangan Rasulullah Sallallahu „alaihi Wasallam.

Ketiga, penafsiran ayat dengan keterangan sahabat-sahabat

Rasulullah Sallallahu „alaihi Wasallam. Keempat¸penafsiran

ayat berdasarkan penjelasan dari tabi‟in, yaitu generasi setelah

sahabat-sahabat Rasulullah Sallallahu „alaihi Wasallam37

.

Dalam menulis tafsirnya, al-Jassas terlihat sangat peduli

terhadap kekuatan dan validitas dalil untuk mendukung

penjelasan ayat-ayat yang ia tafsirkan. Penggunaan dalil yang

digunakan tidak hanya terbatas pada penjelasan ayat dengan

ayat, tetapi juga merujuk pada penjelasan Rasulullah Sallallahu

„alaihi Wasallam, keterangan yang didapat dari para sahabat

Rasulullah Sallallahu „alaihi Wasallam atau bahkan sampai

pada pendapat para tabi‟in. Penggunaan metode bi al-Ma‟tsûr

tidak terbatas pada ayat-ayat hukum saja namun juga pada

penafsiran ayat yag bersifat umum.

Contoh penggunaan tafsîr bi al-ma‟tsûr pada tafsir

Ahkâm al-Qur‟ân adalah ketika al-Jassas menafsirkan Qs. al-

Baqârah [2]:234 yang berkaitan dengan iddah perempuan yang

ditinggal mati oleh suaminya.

وٱلذين ي ت وف ون منكم ويذرون أزواجا ي ت ربصن بأن فسهن أرب عة أشهر وعشرا

“Dan orang-orang yang mati di antara kamu serta

meninggalkan istri-istri hendaklah mereka (istri-istri)

menunggu empat bulan sepuluh hari...” (Qs. al-Baqârah

[2]:234)

Al-Jassas memulai penafsiran ini dengan

mengumpulkan beberapa ayat yang serupa yang juga

memberikan penjelasan tentang masa menunggu (iddah). Ayat-

ayat al-Qur‟ân yang dikumpulkan oleh al-Jassas pada umumnya

menjelaskan juga tentang masalah yang dimaksud pada Qs. al-

37

M. Quraish Shihab, Kaedah al-Qur‟ân, h. 349-351.

106

Baqârah [2]:234. Ayat-ayat yang dikumpulkan di antaranya Qs.

al-Mu‟minûn [23]:25,38

Qs. al-Taubah [9]:98,39

Qs. al-Baqârah

[2]:240,40

dan Qs. al-Tûr [52]:3041

. Al-Jassas mengambil

kesimpulan hukum dari kandungan Qs. al-Baqârah [2]:234

setelah melakukan penelusuran ayat-ayat yang turut

menjelaskan masalah yang sama yang dikandung oleh Qs. al-

Baqârah [2]:23442

.

Apa yang dilakukan oleh al-Jassas dalam menjelaskan

Qs. al-Baqârah [2]:234 adalah bentuk metode penafsiran bi al-

Ma‟tsûr karena ia menjelaskan suatu ayat berdasarkan

kandungan ayat-ayat lain di dalam al-Qur‟ân. al-Jassas juga

menguatkan penjelasan bi al-Ma‟tsûr ayat dengan ayat dengan

juga mengutip penjelasan hadits tentang perkara iddah wanita

yang ditinggal oleh suaminya yang masih terkait dengan

kandungan Qs. al-Baqârah [2]:23443

. Pada perkara yang lain, al-

Jassas juga turut menelusuri pendapat-pendapat sahabat atau

tabi‟în sebagai bentuk lain dari tafsîr bi al-Ma‟tsûr. Contohnya

pada saat menjelaskan Qs. al-Nisâ [4]:11944

atau juga pada saat

menjelaskan Qs. al-Imron [3]:15945

.

38

حني ف ت ربصوا بو حت , Ayat ini mengandung lafadz yang serupa akar

katanya dengan kata-kata yatarabbasna ( يتربصن) yang

terkandung pada Qs. al-Baqarah [2]: 234 yang memiliki arti

“menunggu”. 39

وء وٱ وائر عليهم دآئرة ٱلس للو ومن ٱألعراب من ي تخذ ما ينفق مغرما وي ت ربص بكم ٱلديع عليم س

40ر إخراج تاعا إل ٱلول غي وٱلذين ي ت وف ون منكم ويذرون أزواجا وصية ألزواجهم م

41ن ت ربص بو ريب ٱلمنون شاعر أم ي قولون

42al-Jassas, Ahkâm al-Qur‟ân, Jilid 2, h. 118 - 119

43al-Jassas, Ahkâm al-Qur‟ân, Jilid 2, h.119-120.

وألمرن هم ف لي غي رن خلق ٱللو44

45وشاورىم ف ٱألمر

107

4. Penggunaan Metode Tafsîr bi al-Ra’yî dalam

Penulisan Tafsir Ahkâm al-Qur’ân

Tafsir pada hakikatnya adalah upaya untuk memahami

pesan-pesan Allah yang ada dalam al-Qur‟ân46

. Untuk

memahaminya Allah menganugerahi manusia potensi untuk

berpikir. Allah mengecam manusia yang tidak menggunakan

potensinya ini47

. Bahkan al-Qur‟an sebagai kitabullah dalam

berbagai kesempatan seringkali mengajak manusia untuk

berpikir baik melalui kandungan ayat-ayatnya atau kosakata

yang terkandung di dalamnya48

. Di sisi lain, sekian banyak

problema baru bermunculan dari saat waktu ke waktu yang

memerlukan jawaban dan bimbingan, sedang hal tersebut tidak

ditemukan penjelasannya dari al-Qur‟ân dan Sunnah. Dari sini

lahirlah upaya untuk menafsirkan/memahami al-Qur‟ân dan

sejak saat itulah metode tafsîr bi al-ra‟yi lahir.

Penafsiran dengan menggunakan kemampuan berpikir

manusia sangat dibolehkan untuk membuka tabir dan ta‟wil

pengetahuan yang ada dalam al-Qur‟ân. Apabila penafsiran al-

Qur‟ân dengan menggunakan potensi berpikir yang dimiliki

oleh manusia itu dilarang maka akan luputlah segala macam

informasi yang terkandung di dalam al-Qur‟ân seperti hukum,

adab dan aneka ragam informasi lain yang tidak selalu secara

46

Iyaziy, al-Mufassirûn: Hayâtuhum wa manhâjuhum, h. 39. 47

Lihat Qs. al-A‟raf [7]:179,

ن ٱلن وٱإلنس لم ق لوب ال ي فقهون ب ا ولم أعني ال ي صصرون با ولقد ذرأنا لهنم كثيا م ولم آذان ال يسمعون بآ أول ئك كٱألن عام بل ىم أضل أول ئك ىم ٱلغافلون

“Dan Sungguh, akan kami isi neraka Jahannam banyak dari

kalangan jin dan manusia. Mereka memiliki hati, tetapi tidak

dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka

memiliki mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat

(tanda-tanda kekeuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga

(tetapi) tidak dipergunakan untuk mendengarkan (ayat-ayat

Allah). Mereka seperti hewan ternah bahkan lebih buruk lagi,

Merekalah orang-orang yang lengah”. 48

M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, h. 362.

108

jelas diterangkan oleh al-Qur‟ân. Pertimbangan lain adalah

sedikitnya riwayat-riwayat yang berasal dari Rasulullah tentang

penjelasan al-Qur‟ân di bandingkan dengan yang belum

diriwayatkan jika dilihat dari keseluruhan isi al-Qur‟ân. Begitu

pula sedikitnya perkataan Sahabat dan tâbi‟în yang

menjelaskan perihal penafsiran ayat-ayat al-Qur‟an terutama

terkait dengan penjelasan ayat-ayat kauniyyah hal mana

senantiasa diperbaharui keilmuan di bidang itu dari zaman ke

zaman49

. Oleh karena itu penafsiran dengan menggunakan

Ra‟yu sangat penting untuk membuka tabir kandungan isi al-

Qur‟an. Jika tidak maka banyak hal akan terpendam di dalam

al-Qur‟an tanpa diketahui maknanya dan tidak dipahami

maksudnya. Hal ini tentunya menegasikan peran al-Qur‟ân

sebagai Kitab petunjuk yang sangat mulia, serta pembimbing

manusia di segala zaman50

.

Meskipun begitu, para ulama memang berbeda pendapat

tentang kebolehan melakukan penafsiran bi al-Ra‟yi. Ada

sebagian ulama yang membolehkan secara mutlak penafsiran bi

al-Ra‟yi dan ada sebagian lain yang membolehkannya. Ulama

membagi penafsiran bi al-ra‟yi ini kepada dua hal yaitu

penafsiran bi al-ra‟yi al-Mahmûd yaitu penafsiran dengan

menggunakan nalar yang terpuji, dan penafsiran bi al-ra‟yi al-

Mazmûm yaitu penafsiran berdasar nalar yang tercela.

Pembagian ini mengindikasikan memang ada penafsir-penafsir

yang berusaha menafsirkan al-Qur‟ân untuk mendukung

pendapat/mazhab yang dianutnya, sehingga menjadikan al-

Qur‟an mengikuti pendapatnya, bukan menjadikan al-Qur‟ân

sebagai dasar dan pendapatnya mengikuti tuntunan al-Qur‟ân.

Mereka inilah penafsir yang mencari pembenaran bukan

kebenaran51

.

49

Muhammad Ibn Muhammad Abu Suhbah, al-Isrâîliyyât wa al-

Maudûât fî kutub al-Tafsîr, (Mesir: Dâr al-Sunnah, 1408 H), h. 81. 50

Abu Suhbah, al-Isrâîliyyât wa al-Maudûât fî kutub al-Tafsîr, h.

82. 51

M. Quraish Shihab, Kaidah al-Qur‟ân, h. 368.

109

Al-Jassas sejak awal dikenal sebagai ulama yang lahir

dalam atmosfer aliran madrasah ahlu al-ra‟yi di pusat kotanya

yaitu Baghdad. Ia juga dikenal sebagai ulama besar mazhab

hanafiah. Oleh karenanya metode penafsiran bi al-Ra‟yi

bukanlah sesuatu yang asing bagi al-Jassas. Di dalam penulisan

tafsirnya, al-Jassas memang mengklaim bahwa ia

menggunakan akal dan pikirannya untuk menganalisa dan

berijtihad seputar penafsiran al-Qur‟ân untuk mengetahui

makna-makna dan hukum-hukumnya.

Sebagaimana al-Jassas telah mengklaim menggunakan

akal pikirannya untuk menafsirkan ayat-ayat al-Qurân dan apa

yang terkandung di dalamnya yang belum dijelaskan atau

belum disepakati oleh para ulama, maka al-Jassas dalam banyak

kesempatan di dalam tafsirnya seringkali menggunakan

ungkapan-ungkapan yang menunjukkan bahwa ia berupaya

keras untuk menemukan hukum yang terkandung dalam ayat-

ayat al-Qur‟an dengan penyimpulan-penyimpulan yang

didasarkan pada penafsiran bi al-Ra‟yî yang berdasarkan

hubungan antara satu ayat dengan ayat lainnya, ayat dengan

hadits atau pendapat para sahabat.

Ungkapan-ungkapan itu misalnya, “pada ayat tersebut

menunjukkan bahwa…52

” atau setelah menyebutkan beberapa

ayat sebagai penafsir untuk ayat yang lain lalu dia berkata

“Ayat-ayat ini seluruhnya adalah dalil…” atau ia berkata

“ayat-ayat tersebut menunjukkan bahwa…” atau “yang

dikehendaki oleh ayat-ayat tersebut adalah”53

. Ungkapan-

ungkapan yang serupa sering digunakan oleh al-Jassas terhadap

beragam permasalahan yang ia temukan ketika ia menganalisis

ayat-ayat al-Qur‟ân untuk kemudian mengambil kesimpulan

hukum.

Selain ungkapan-ungkapan yang digunakan oleh al-

Jassas dalam memberikan kesimpulan analisisnya terhadap

ayat-ayat al-Qur‟ân yang menjadi bukti kuatnya penggunaan

52

Al-Jassas, Ahkâm al-Qur‟ân, Jilid. h.151. 53

Al-Jassas, Ahkâm al-Qur‟ân, Jilid 1. h. 195

110

tafsîr bi al-Ra‟yî dalam uraian Ahkâm al-Qur‟ân, maka runtutan

judul-judul dan penamaan bab-bab dalam kajian tafsirnya juga

menunjukkan bahwa al-Jassas menggunakan rasionalitasnya

yang unik dan keahliannya di bidang ilmu fikih untuk

mengambil al-Qur‟an sebagai dalil-dalil dalam wacana

pemikiran hukum. Hal ini merupakan keunggulan al-Jassas

dalam memaksimalkan potensi yang ia miliki dalam bidang

ilmu fikih dan ilmu-ilmu yang terkait untuk menafsirkan al-

Qur‟ân.

Oleh karena itulah maka apabila membaca Ahkâm al-

Qur‟ân maka pembaca akan merasakan sensasi kentalnya aspek

fikih dan hukum dalam tafsirnya. Bahkan Muhammad Hussein

al-Dzahabi dalam kitabnya al-Tafsîr wa al-Mufassirûn

berkomentar bahwa Ahkâm al-Qur‟ân lebih pantas disebut kitab

fikih ketimbang kitab tafsir54

. Namun begitu, inilah kelebihan

dari al-Jassas yang telah berhasil membuat suatu tafsir dengan

corak hukum yang sangat kental yang diakui oleh para ulama di

zamannya dan setelahnya.

C. Pokok-Pokok Pembahasan dalam Penulisan Ahkâm al-

Qur’ân

Tafsir ahkâm al-Qur‟ân karya al-Jassas dikenal sebagai

tafsir yang kental dengan corak tafsir hukum yang memuat

aneka ragam pembahasan fikih. Pernyataan bahwa materi

penafsiran dari Tafsir ahkâm al-Qur‟ân karya al-Jassas

dipenuhi dengan materi hukum tergambar jelas pada

pembukaan kitabnya. al-Jassas mengatakan dalam pembukaan

kitabnya bahwa ia akan mengisi penafsirannya dengan hukum-

hukum al-Qur‟an dan dalil-dalinya serta hukum-hukum yang

ada pada lafadz-lafadznya dan apa yang terkait dengan aspek

bahasa serta ibarat-ibarat syar‟i yang terdapat di dalamnya55

.

Oleh karenanya penulis pada bab ini akan membahas

tentang aspek-aspek pembahasan hukum dalam tafsir ahkâm al-

54

Al-Dzahabi, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, Jilid 2, h. 386. 55

Al-Jassas, Ahkâm al-Qur‟ân, Jilid 1, h. 5.

111

Qur‟ân karya al-Jassas. Pembahasan akan fokus pada beberapa

hal yang penting terkait pembahasan hukum dan fikih dalam

ahkâm al-Qur‟ân karya al-Jassas. Pembahasan tersebut antara

lain tentang apa saja materi yang dibahas yang terkait dengan

hukum dan fikih, cara atau metodologi al-Jassas dalam

melakukan istinbath hukum dalam penulisan tafsir serta

bagaimana al-Jassas menyikapi perbedaan-perbedaan yang

muncul dari penulisan tafsirnya. Sikap al-Jassas dalam

menghadapi perbedaan akan turut mempengaruhi objektifitas

penulisan tafsirnya. Hal in juga dapat menjadi bahan penting

untuk penulis apakah perbedaan istinbath atau produk hukum

yang dihasilkan oleh al-Jassas menjadi sebab dari fanatisme

yang mungkin muncul akibat perbedaan mazhab.

1. Mekanisme Pembahasan Hukum Tafsir Ahkâm al-

Qur’ân

Jika diperhatikan secara umum mekanisme penulisan

tafsir Ahkâm al-Qur‟ân yang dapat dilihat dari judul-judul

pembahasan tafsirnya yang memuat berbagai macam bab-bab

atau permasalahan hukum berdasarkan teks-teks al-Qur‟an yang

ada56

, maka didapati bahwa al-Jassas terlebih dahulu melakukan

pengumpulan berbagai pendapat atau dalil-dalil yang bersumber

dari al-Qur‟an itu sendiri, hadits nabi, perkataan sahabat atau

56

Maksud dari pernyataan ini adalah al-Jassas memberikan judul

bab-bab atau permasalahan hukum yang ia bahas berdasarkan teks-teks yang

ia temui dalam surat-surat yang ditafsirkan. Contohnya adalah ketika

menemui teks basmallah pada permulaan al-Qur‟ân lalu al-Jassas

membeikan judul pada pembahasan tafsirnya berkaitan dengan fikih

basmallah atau pembahasan hukum tentang basmallah. Misalnya ia memberi

judul pembahasan tentang basmallah menjadi, “Bab tentang perkataan

Bismillahirrahmanirrahim”, pada kesempatan yang lain ia juga memberi

judul babnya, “Bab tentang pembahasan basmallah sebagai bagian dari al-

Qur‟an”. Lihat al-Jassas, Ahkâm al-Qur‟ân, Jilid 1, h. 5-7.

112

tâbi,în dan jika ada pendapat-pendapat para ulama yang

berkaitan dengan masalah hukum yang sedang dibahasnya57

.

Setelah mendapati seluruh pandangan-pandangan dan

dalil-dalil yang terkait dengan masalah fikih yang sesuai dengan

ayat yang akan dibahasnya maka al-Jassas akan memperhatikan

dan mengevaluasi kembali sumber-sumber tersebut. Al-Jassas

kemudian akan memilah-milah pendapat dan pandangan yang

telah ia dapatkan untuk kemudian akan ditarjih olehnya untuk

digunakan sebagai dalil dalam penafsiran dalam tafsirnya. al-

Jassas juga akan melihat apakah pandangan dan pendapat yang

ada tersebut sesuai dengan pendapat mazhab Hanafi atau

pendapat-pendapat tersebut ia kuatkan yang pada umumnya

mendukung pendapat dari mazhab hanafiah.

Pada kesempatan tertentu al-Jassas juga akan turut

berpendapat tentang permasalahan penafsiran yang sedang

dihadapinya. Pendapat tersebut adakalanya sebagai kesimpulan

dari pendapat-pendapat serta dalil-dalil yang ia kumpulkan atau

pendapat tersebut merupakan bagian dari perbedaan-perbedaan

pandangan yang ada sebelum ia menyimpulkan secara

komprehensif suatu permasalahan tafsir yang sedang dibahas58

.

Jika dirinci contoh proses pembahasan hukum pada

tafsir Ahkâm al-Qur‟ân, maka akan didapati beberapa langkah

sebagai berikut: Pertama, al-Jassas akan mengemukakan

penafsiran ayat dimulai dengan menyampaikan perkataan-

perkataan yang ma‟tsur dari para ahli fikih dari kalangan

sahabat dan tabi‟în. Sebagai contoh pada saat menafsirkan Qs.

al-Baqarah [2]:237.

57

Mekanisme seperti ini sesungguhnya adalah metodologi

penafsiran bi al-Ma‟tsur dimana penulis telah menjelaskan sebelumnya pada

pembahasan aspek metodologis tafsir ahkâm al-Qur‟ân. 58

al-Jassas terkadang langsung mengomentari dalil-dali yang ia

hadirkan dalam suatu pembahasan tafsir, misalnya dengan mengatakan

“dalla „alâ dzâlika” yang artinya al-Jassas ingin mengatakan secara

langsung bahwa ayat tersebut menunjuukkan suatu dalil terhadap keadaan

tertentu, Lihat. Al-Jassas, Ahkâm al-Qur‟ân, Jilid 1, h. 151.

113

وىن وقد ف رضتم لن فريضة فنصف وإن طلقتموىن من ق صل أن تسه عقدة ٱلنكاح وأن ت عفوا ما ف رضتم إال أن ي عفون أو ي عفوا ٱلذي بيد

نكم إن ٱللو با ت عملون بصي قوى وال تنسوا ٱلفضل ب ي أق رب للت “Dan jika kamu menceraikan mereka sebelum kamu

sentuh, padahal kamu sudah menentukan maharnya,

maka (bayarlah) seperdua dari yang telah kamu

tentukan, kecuali jika mereka (membebaskan) atau

dibebaskan oleh orang yang akad nikah ada

ditangannya. Pembebasan itu lebih dekat kepada takwa.

Dan jangankah kamu lupa kebaikan di antara kamu.

Sungguh, Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan”

(Qs. al-Baqarah [2]:237).

Al-Jassas menyajikan perbedaan pendapat yang terjadi

sehubungan dengan makna Qs. al-Baqarah [2]:237. Para ulama

berbeda pendapat tentang kalimat “an tamassuhunna”. Arti dari

kalimat ini apakah berarti persetubuhan atau makna lain seperti

khalwat. Pada langkah pertama ini al-Jassas menyampaikan

pendapat sahabat yang diriwayatkan oleh Ali dan Ibnu Umar

dan Zaid bin Tsabit, perkataan yang diriwiyatkan oleh tabi‟în

yang diriwayatkan oleh Sufyan al-tsauri dari Laits dari tawus

dari Ibn Abbas. al-Jassas juga menyampaikan perkataan-

perkataan lain baik dari sahabat maupun tabi‟în berkenaan

dengan ayat ini59

.

Kedua, Setelah meyampaikan pendapat-pendapat para

Sahabat dan tabi‟în, al-Jassas lalu membahas pendapat para

ulama mazhab Hanafiah yang terkait dengan perbedaan

penafsiran oleh para ulama tentang kata “‟an tamassuhunna”.

Pendapat ulama mazhab Hanafiah itu untuk menyikapi

pendapat dari para sahabat dan tabi‟în atau memang perbedaan

59

al-Jassas, Ahkâm al-Qur‟ân, Jilid 1, h. 147

114

pendapat mengenai permasalahan yang sedang dibahas60

.

Ulama-ulama mazhab Hanafi yang sering disebut oleh al-Jassas

dan dikutip dalam tafsirnya di antaranya adalah pendiri mazhab

Hanafi yaitu Imâm Abû Hanîfah, dan murid-murid seniornya

seperti Abû Yûsuf (Ya‟kub Ibn Ibrâhim), Muhammad Ibn al-

Hasan al-Syaibâni, dan Zufar. Ulama-ulama lain dari kalangan

mazhab Hanafi yang sering disebut oleh al-Jassas adalah Imam

Abû Za‟far al-Tahawi, Syaikh „Alî Ibn Mûsa al-Qummi, dan

guru dari al-Jassas yaitu Abu Hasan al-Karakhi.

Ketiga, Langkah berikutnya yang dilakukan oleh al-

Jassas setelah menyajikan pendapat para sahabat dan tabi‟în

serta para Imam mazhab dan ulama besar dari kalangan

Hanafiah, al-Jassas masuk kepada penyampaian pendapatnya

sendiri tentang permasalahan ayat yang sama namun dengan

perbedaan perspektif masalah yang diangkat oleh para sahabat,

tabi‟în dan para ulama mazhab Hanafiah. Seperti pada contoh

ini61

, al-Jassas menyajikan ayat lain yang bisa menjadi dalil

bagi ayat yang sedang ia tafsirkan. al-Jassas, seperti

kebiasaannya pada penafsiran ayat-ayat lain-, berusaha

menafsirkan ayat dengan menyajikan dalil dari ayat yang lain.

Untuk menafsirkan tentang kewajiban pemberian mahar pada

ayat ini al-Jassas menyandingkan beberapa ayat lain yang

terkait yaitu Qs. al-Nisâ [4]:4, Qs. al-Nisâ [4]:20-21 dan Qs. al-

Nisâ [4]: 24 dan 25. Setelah menampilkan ayat-ayat tersebut,

lalu al-Jassas menyampaikan kesimpulannnya62

.

Keempat, setelah berdalil dengan menggunakan teks-

teks al-Qur‟an, kemudian al-Jassas berdalil dengan

pemikirannya pada masalah yang sedang ia bahas ini

berdasarkan pada hadits nabi Muhammad Sallallahu „alaihi

wasalam. Pada kesempatan ini, al-Jassas berdalil dengan dua

hadits Nabi Muhammad Sallallahu „alaihi wasalam. Hadits

pertama merupakan hadits yang ia riwayatkan dari gurunya di

60

Al-Jassas, Ahkâm al-Qur‟ân, Jilid 1, h. 147-148. 61

Qs. al-Baqârah [2]: 237. 62

Al-Jassas, Ahkâm al-Qur‟ân, Jilid 1, h. 148

115

bidang hadits yaitu al-Hafidz al-Musnid „Abd al-Baqi‟ Ibn

Qâni‟ sedangkan hadits lainnya tanpa keterangan sanad.

Kelima, setelah ia berdalil dengan teks-teks yang

bersumber pada ayat-ayat al-Qur‟an dan hadits nabi

Muhammad Sallallahu „alaihi wasalam, lalu al-Jassas mencoba

menopang dalil-dalilnya tersebut dengan hujjah-hujjah yang

logis dan rasional. Kemudian ia menyajikan kaidah-kaidah yang

pendukung hujjah-hujjahnya tersebut yang berkaitan dengan

tafsir dan mekanisme mengambil kesimpulan hukum. Setelah

langkah-langkah tersebut dilakukan oleh al-Jassas, lalu pada

bagian akhir ia mengambil kesimpulan dari diskusi dan

perdebatan panjang dalil-dalil yang ia sajikan baik berdasarkan

pendapat ahli fikih dari kalangan Sahabat, tâbi‟în dan para

ulama mazhab dari kalangan Hanafiah serta dalil-dalil al-

Qur‟ân dan hadits serta dalil-dalil logis dan rasional63

.

Keenam, tahap terakhir dari pembahasan aspek hukum

ayat-ayat al-Qur‟an dalam tafsir Ahkâm al-Qur‟ân adalah al-

Jassas berupaya memberikan semacam penyangkalan atau kritik

terhadap kesimpulan yang telah diambil berdasarkan seluruh

dalil-dalil yang disampaikan jika ternyata kesimpulan tersebut

tidak benar. Artinya, al-Jassas mencoba memberikan satu

kemungkinan jawaban lain dari segala diskusi dan pembahasan

yang telah ia sampaikan dengan berdasar pada pembahasan

dalil-dalil yang komprehensif. Pada tahap terakhir ini ia

mendahului argumentasinya dengan menggunakan kata “Fa in

qîla”, yang berarti kemungkinan yang sedikit atau kecil

pembahasan ini dapat digunakan sebagai kesimpulan atau

sebagai dalil64

.

2. Pembahasan Perkara Aqidah dalam Tafsir Ahkâm

al-Qur’ân

Meskipun tafsir Ahkâm al-Qur‟ân sangat fokus pada

pembahasan hukum namun tidak dapat dipungkiri bahwa tafsir

63

Al-Jassas, Ahkâm al-Qur‟ân, Jilid 1, h. 148-149. 64

al-Jassas, Ahkâm al-Qur‟ân, Jilid 1, h. 150.

116

Ahkâm al-Qur‟ân juga mengandung pembahasan lain selain

kandungan ayat-ayat hukum yaitu perkara aqidah. Pembahasan

perkara aqidah ini merupakan salah satu fokus yang al-Jassas

sampaikan dalam muqaddimah tafsirnya. al-Jassas menyatakan

bahwa salah satu ilmu yang utama adalah mengenal Allah

Subhanahu wa ta‟âla dan menyucikannya dari

menyerupakannya dengan makhluk65

.

Pada sub bab ini akan dijelaskan lebih lanjut pokok-

pokok pembahasan dalam tafsir al-Jassas yang berkaitan dengan

aqidah. Hal-hal yang akan dibahas antara lain tentang, pertama,

tauhid kepada Allah Subhanahu wa ta‟âla dan larangan

menyekutukannya. Kedua, Dalil-dalil kebenaran tentang

Nubuwwah Nabi Muhammad Sallallahu „alaihi wasallam.

Ketiga, Penetapan tentang Siksa dan Nikmat Kubur, Keempat,

penolakannya terhadap agama Nasrani dan Yahudi,

a. Tauhid kepada Allah dan Larangan menyekutukan-

Nya

Sebagaimana telah disebutkan bahwa al-Jassas dalam

muqaddimah tafsirnya mengatakan bahwa ia akan sangat

memperhatikan atau mementingkan pembahasan perkara aqidah

khususnya yang berkaitan dengan tauhid dan penyucian Allah

Subhanahu wa ta‟âla dari penyerupaan kepada makhluknya

(syirik). Isi al-Qur‟ân dari awal hingga akhirnya pada intinya

merupakan ajakan kepada tauhid. Oleh karena itulah jika

diperhatikan dalam ulasan-ulasan yang ada dalam tafsir Ahkâm

al-Qur‟ân, al-Jassas sangat concern terhadap perkara tauhid ini.

Berdasarkan hal inilah akan banyak sekali pembahasan

tentang tauhid yang disajikan oleh al-Jassas dalam tafsirnya.

Salah satu pembahasan penting tentang tauhid ini, disajikan

oleh al-Jassas pada saat menafsirkan Qs. al-Baqârah [2]: 16366

.

وإل هكم إل و واحد ال إل و إال ىو ٱلرح ن ٱلرحيم

65al-Jassas, Ahkâm al-Qur‟ân, Jilid 1, h. 5

66al-Jassas, Ahkâm al-Qur‟ân, Jilid 1, h. 162.

117

“Dan Tuhan kamu adalah Tuhan Yang Maha Esa, tidak

ada Tuhan selain Dia, Yang Maha Pengasih, Maha

Penyayang”. Qs. al-Baqârah [2]: 163

Pada ayat ini al-Jassas mencoba mengemukakan bahwa

ayat ini adalah suatu bentuk pernyataan dari Allah Subhanahu

wa ta‟âla bahwa Dia menyifati diri-Nya sendiri dengan

bahwanya Dia adalah tunggal yang tersusun dengan makna-

makna yang dikehendaki oleh lafadz dalam ayat ini sebagai

berikut : Pertama, bahwa Allah Subhanahu wa ta‟âla adalah

tunggal yang tidak ada bandingan bagi-Nya, tidak ada yang

menyerupainya, tidak ada missal baginya, dan tidak ada yang

menyamai-Nya dalam segala hal, maka oleh karena itulah Allah

disifatkan sebagai sesuatu yang tunggal dan tidak ada yang

lainnya. Kedua, bahwa Allah adalah tunggal dan tidak bisa

dibagi-bagi, dan tidak boleh atas-Nya bagian-bagian, karena

siapapun yang masih terbagi-bagi maka dia bukanlah makna

tunggal yang hakiki.

Ketiga, Bahwa Allah adalah satu-satunya yang

memiliki hak untuk disembah dan Dialah satu-satunya yang

memiliki sifat ilahiah, tidak ada sekutunya selain Dia. Keempat,

bahwa Allah itu satu pada wujudnya yang qadim yang tidak ada

bersama-Nya wujud selain Dia.

Pada kesempatan lain, al-Jassas juga memberikan

perhatian terhadap ayat-ayat yang berbicara tentang sucinya

Allah dari penyerupaan kepada makhluknya. Ayat-ayat yang

dibahas berkaitan dengan hal tersebut di antaranya adalah Qs.

al-Imrân [3]:190, Qs. al-Baqarah [2]: 210, Qs. al-Imrân [3]:7,

Qs. al-An‟âm [6]:157, Qs. al-Syûra [42]:11 dan Qs. al-„An‟âm

[6]83.

b. Dalil-dalil kebenaran tentang Nubuwwah Nabi

Muhammad Sallallahu ‘alaihi wasallam.

Keimanan kepada nubuwwah Nabi Muhammad

Sallallahu „alaihi wasallam merupakan bagian dari rukun iman

118

di dalam Islam oleh karena itu persaksian setiap muslim di

dalam syahadat mencakup pada persaksian kepada Allah dan

kepada Rasul-Nya. Tidaklah seseorang diakui keIslamannya

kecuali telah bersaksi bahwa Allah adalah Tuhannya dan Nabi

Muhammad adalah Nabi yang diutus oleh Allah Subhanahu wa

ta‟âla. Oleh Karena hal inilah, al-Jassas secara khusus

melakukan pembahasan tentang kebenaran nubuwwah Nabi

Muhammad Sallallahu „alaihi wasallam.

Al-Jassas membahas tentang kebenaran Nubuwah

Rasulullah Sallallahu „alaihi wasallam pada beberapa ayat di

dalam tafsirnya yaitu ketika membahas Qs. al-Baqârah [2]:23.

ثلو وٱدعوا وإن كنتم ف ريب ما ن زلنا على ن م عصدنا فأتوا بسورة مدقني ن دون ٱللو إن كنتم ص شهدآءكم م

“Dan Jika kamu meragukan (al-Qur‟ân) yang Kami

turunkan kepada hamba Kami (Muhammad), maka

buatlah satu surah semisal dengannya, dan ajaklah

penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-

orang yang benar” (Qs. al-Baqârah [2]:23)

Ayat ini menjadi dalil kebenaran Nubuwwah Rasulullah

Sallallahu „alaihi wasallam karena pada ayat inilah terkandung

mukjizat yang terbesar yang dikaruniakan oleh Allah kepada

Rasullullah Sallallahu „alaihi wasallam67

.

Pada ayat ini Allah menantang orang-orang yang

meragukan apa yang diturunkan oleh Allah kepada Rasul-Nya.

Ayat ini juga menjadi bukti bahwa kelemahan manusia di

hadapan Allah SWT. Mukjizat yang Allah turunkan kepada

Rasul-Nya berupa al-Qur‟an adalah mukjizat terbesar bahkan

jika di bandingkan dengan mukjizat yang diberikan kepada

rasul-rasul yang lain. Mukjizat para rasul yang lain akan

67

al-Jassas, Ahkâm al-Qur‟ân, Jilid 1, h. 33.

119

berhenti dan selesai dengan berakhirnya masa kerasulan atau

kenabiannya namun mukjizat Rasullullah yang berupa al-

Qur‟an akan tetapi ada hingga akhir zaman.

Bukti kebenaran Nubuwwah Rasullullah Sallallahu

„alaihi wasallam yang juga disampaikan oleh al-Jassas adalah

ketika membahas Qs. al-Imrân [3]:23.

ن ٱلكتاب يدعون إل كتاب ٱللو أل ت ر إل ٱلذين أوتوا نصيصا معرضون هم وىم م ن فريق م ن هم ث ي ت ول ليحكم ب ي

“Tidakkah engkau memperhatikan orang-orang yang

telah diberi bagian Kitab (Taurat)? Mereka diajak

(berpegang) pada Kitab Allah untuk memutuskan

(Perkara) di antara mereka. Kemudian sebagian dari

mereka berpaling seraya menolak (kebenaran)”. (Qs.

al-Imrân [3]:23)

Ayat ini menjadi bukti Nubuwwah Rasullullah

Sallallahu „alaihi wasallam karena apabila para ahli kitab tidak

menolak kitab-kitab yang telah diturunkan kepada mereka maka

niscaya mereka akan temukan di dalam kitab mereka tentang

Nubuwwah Rasullullah Sallallahu „alaihi wasallam.

Ayat lain yang menjadi dalil kebenaran Nubuwwah

Rasullullah Sallallahu „alaihi wasallam yang disampaikan oleh

al-Jassas adalah Qs. al-Imrân [3]: 154.

ن نكم وطآئفة ث أنزل عليكم م ب عد ٱلغم أمنة ن عاسا ي غشى طآئفة مر ٱلق ظن ٱلهلية ي قولون ىل هم أن فسهم يظنون بٱللو غي قد أهت

ا لنا من ٱألمر من شيء قل إن ٱألمر كلو للو يفو ن ف أن فسهم مهنا قل ا قتلنا ى ال ي صدون لك ي قولون لو كان لنا من ٱألمر شيء ملو كنتم ف ب يوتكم لص رز ٱلذين كتب عليهم ٱلقتل إل مضاجعهم

120

ص ما ف ق لوبكم وٱللو عليم وليصتلي ٱللو ما ف صدور كم وليمح بذات ٱلصدور

“Kemudian setelah kamu ditimpa kesedihan, dia

menurunkan rasa aman kepadamu (berupa) kantuk yang

meliputi segolongan dari kamu. Sedangkan segolongan

lagi telah dicemaskan oleh diri mereka sendiri; mereka

menyangka yang tidak benar terhadap Allah seperti

sangkaan jahiliah. Mereka berkata “adakah sesuatu

yang dapat kita perbuat dalam urusan ini?” Katakanlah

(Muhammad) “Sesungguhnya segala urusan itu

ditangan Allah”. Mereka menyembunyikan di hati

mereka apa yang mereka tidak terangkan kepadamu.

Mereka berkata “sekiranya ada sesuatu yang bisa kita

perbuat dalam urusan ini, niscaya kita tidak akan

dibunuh (dikalahkan) disini”. Katakanlah (Muhammad)

“Meskipun kamu ada di rumahmu, niscaya orang yang

telah ditetapkan akan mati terbunuh itu akan keluar

(juga) ketempat mereka terbunuh”. Allah (berbuat

demikian) untuk menguji apa yang ada dalam dadamu

dan untuk membersihkan apa yang ada dalam hatimu.

Dan Allah Maha Mengetahui isi hati” Qs. al-Imrân [3]:

154

Ayat ini adalah bukti kelembutan Allah kepada para

pengikut Rasullullah Sallallahu „alaihi wasallam sekaligus

sebagai bentuk pemberitahuan akan kebenaran Nubuwwah

Rasullullah Sallallahu „alaihi wasallam.

c. Kepercayaan pada Siksa dan Nikmat Kubur

Al-Jassas pada kesempatan ini membantah orang-orang

yang ingkar kepada adanya siksa dan nikmat Kubur dengan

berdalil pada Qs. al-Baqârah [2]:154.

121

و أموات بل أحياء ولكن ال وال ت قولوا لمن ي قتل ف سصيل ٱلل تشعرون

“dan janganlah kamu mengatakan orang yang terbunuh

di jalan Allah (mereka) telah mati. Sebenarnya (mereka)

hidup tetapi kamu tidak menyadarinya” Qs. al-Baqârah

[2]:154.

Menurutnya ayat ini menjadi dalil bahwa siksa dan

nikmat kubur itu ada. Orang-orang mukmin yang mati di jalan

Allah masih hidup namun memang tidak bisa dirasakan karena

ketiadaan ilmu manusia untuk merasakan itu. Jika orang-orang

mukmin yang mati di jalan Allah masih hidup maka pasti

mereka akan merasakan nikmatnya alam kubur. Oleh karenanya

begitu juga orang-orang kafir maka mereka akan merasakan

pahitnya siksa kubur.

d. Penolakannya mengikuti Agama Nasrani dan

Yahudi

Penolakan al-Jassas terhadap Nasrani dan Yahudi

dibahas dalam beberapa kesempatan di dalam tafsirnya. Di

antara ayat-ayat yang ditampilkan oleh al-Jassas sehubungan

dengan penolakannya terhadap agama Nasrani dan Yahudi

adalah Qs. al-Mâ‟idah [6]:18, Qs. al-Mâ‟idah [6]: 82, Qs. al-

Mâ‟idah [6]: 13. Sementara itu al-Jassas juga menekankan

penolakannya pada aqidah Nasrani dan Yahudi yang dianggap

bathil. Ia sampaikan pandangannya tersebut melalui Qs. al-

Mâ‟idah [6]: 17, Qs. al-Mâ‟idah [6]: 75. Ayat-ayat ini adalah

bentuk pernyataan tegas Allah Subhanahu Wa ta‟âla tentang

kebathilan yang ditunjukkan oleh kaum nasrani yang percaya

bahwa nabi Isa adalah anak Tuhan. Orang-orang yang

mempercayai hal demikian adalah kafir.

122

3. Sikap al-Jassas dalam Menyikapi Perbedaan Pendapat

dalam Tafsir Ahkâm al-Qur’ân

Perbedaan pendapat adalah suatu kelaziman dalam

kehidupan sosial sedangkan perbedaan dalam perkara cabang-

cabang agama merupakan suatu keniscayaan68

. Dalam konteks

pemahaman fikih dan mazhab maka perbedaan itu menambah

kaya khasanah ilmu pengetahuan69

. Sulit terbantahkan bahwa

tafsir ahkâm al-Qur‟ân merupakan sebuah tafsir yang kental

dengan corak fikihnya. Sebagaimana sebuah kelaziman dalam

ilmu hukum dan fikih bahwa banyak sekali akan ditemui

perbedaan-perbedaan pendapat antara satu ulama dengan ulama

yang lain baik perbedaan itu dalam ranah internal mazhab atau

perbedaan lintas mazhab.

Oleh karenanya menarik untuk melihat bagaimana al-

Jassas merespon perbedaan-perbedaan pendapat yang ada

dalam pembahasan hukum-hukum di dalam tafsir ahkâm al-

Qur‟ân. Penulis pada kesempatan ini hanya memberikan

gambaran tentang perbedaan pendapat secara umum antara al-

Jassas dengan ulama-ulama lain mengenai pandangan mereka

terhadap keberlakuan suatu hukum atau bahkan perbedaan al-

Jassas dengan pandangan-pandangan umum yang berlaku pada

mazhabnya sendiri

Sebagaimana kebiasaan al-Jassas dalam melakukan

penafsiran, ia akan mengumpulkan berbagai pandangan tentang

suatu masalah baik itu pendapat-pendapat yang datang dari ahli

fikih dari kalangan sahabat atau tâbi‟în atau bahkan pendapat

para ulama mazhab baik dari kalangan internal mazhab Hanafi

atau lintas mazhab seperti mazhab Syafi‟î dan mazhab Hambali.

Terdapat beberapa perbedaan pandangan-pandangan terhadap

beberapa hal dan perbedaan sikap dalam menanggapi perbedaan

tersebut.

Meskipun al-Jassas sangat kental dan kuat dalam

berpegang teguh kepada mazhabnya namun sikap al-Jassas

68

Al-Qaradhawi, Fiqh Perbedaan Pendapat, h. 69. 69

Al-Qaradhawi, Fiqh Perbedaan Pendapat, h. 92.

123

tetap mempunyai independensi dalam berpikir sehingga ia pada

beberapa hal berbeda dengan pandangan mazhabnya.

Perbedaan-perbedaan tersebut menyangkut beberapa hal yaitu:

Pertama, Masalah kesaksian pada perkara hutang piutang,

Kedua, Masalah perintah yang bersifat mutlak, apakah dituntut

untuk menyegerakan atau mengakhirkan, Ketiga, Apakah orang

kafir juga menjadi objek (mukallaf) terhadap sebagian cabang-

cabang syariat.

Terkait dengan perbedaan lintas mazhab, al-Jassas pada

satu kesempatan sangat santun dan beradab dalam membantah

perbedaan-perbedaan pandangan terhadap suatu permsalahan

hukum. Ada beberapa perbedaan pandangan terhadap

permasalan fikih dan ada juga perbedaan pandangan mengenai

periwayatan hadits. Dalam beberapa perbedaan terkait

pandangan fikih, terutama yang terkait dengan pandangan dari

Mazhab Syafi‟I, al-Jassas menunjukkan pembelaan yang sangat

berlebih terhadap mazhabnya bahkan pada banyak kesempatan,

al-Jassas mengeluarkan kata-kata yang tidak santun yang tidak

pantas dinisbahkan kepada ulama dari kalangan mazhab

Syafi‟iyah atau bahkan terhadap pandangan dari Imam Syafi‟I

sendiri. Penulis akan mengurai lebih dalah terhadap sikap al-

Jassas dalam bersikap terhadap perbedaan pandangan fikih yang

menunjukkan fanatisme yang sangat berlebihan terhadap

mazhabnya pada bab selanjutnya.

124

125

BAB IV

REALITAS FANATISME MAZHAB DALAM TAFSÎR

AHKÂM AL-QUR’ÂN KARYA AL-JASSAS

Sebagaimana diketahui dari biografinya, al-Jassas

merupakan ulama yang menganut dan berpegang teguh pada

mazhab Hanafi. Keteguhannya dalam berpegang pada mazhab

Hanafi ini terlihat dari berbagai karya yang ia hasilkan. Salah

satu maha karya al-Jassas yang kental dengan nuansa mazhab

hanafi adalah tafsir ahkâm al-Qur‟ân yang merupakan objek

penelitian penulis. Oleh karenanya memasuki bab ke-4 dari

penulisan penelitian ini penulis akan fokus pada analisis dan

pembuktian aspek fanatisme dalam tafsir ahkâm al-Qur‟ân.

Bab ini akan memberikan analisis ayat-ayat yang

dianggap sebagai bentuk fanatisme mazhab yang ditampilkan

oleh al-Jassas dalam tafsirnya. Penulis juga akan membahas

faktor-faktor yang mempengaruhi al-Jassas sehingga

menyebabkan munculnya fanatisme mazhab dalam penulisan

tafsirnya. pada bagian akhir dari pembahasan, penulis juga akan

membahas tentang bagaimana penilaian para ulama terhadap al-

Jassas sehingga tafsir yang dibuatnya menjadi sangat kental

aspek fikihnya serta sangat berlebihan pembelaannya terhadap

mazhab Hanafi. Sikap ini mengindikasikan subjektifitas al-

Jassas yang turut menyebabkan munculnya penilaian fanatisme

mazhab pada hasil karyanya tersebut.

A. Bukti-bukti Fanatisme Mazhab dalam Penafsiran

Ahkâm Al-Qur’ân Karya al-Jassas

Pada bagian ini penulis akan memberikan beberapa

contoh dari ayat-ayat yang dibahas dalam tafsir Ahkâm Al-

Qur‟ân karya al-Jassas yang menunjukkan fanatisme al-Jassas

terhadap mazhab Hanafi sehingga pembahasan tafsirnya

menjadi tidak objektif dan berlebihan dalam pembelannya

terhadap pendapat mazhab Hanafi. Pembelaan yang dilakukan

126

oleh al-Jassas menjadikan ayat-ayat ini sebagai dalil terhadap

apa yang telah diyakini sebagai pendapat mazhabnya.

1. Legitimasi Nikah Tanpa Wali pada QS. Al-Baqârah

[2]: 232.

Al-Jassas memberikan judul pembahasan pada ayat ini

dengan judul “Bab Pernikahan Tanpa Wali”. Bunyi dari Qs. al-

Baqârah [2]: 232 adalah sebagai berikut :

وإذا طلقتم ٱلنسآء ف ب لغن أجلهن فال ت عضلوىن أن ينكحن ن هم بٱلمعروف ذلك يوعظ بو من كان منكم أزواجهن إذا ت راضوا ب ي

لكم وأطهر وٱللو ي علم وأ تم ا ي ؤمن بٱللو وٱلي وم ٱآل خر ذلكم أزك ت علمون

“Dan apabila kamu menceraikan istri-istri (kamu), lalu

sampai iddahnya, maka jangan halangi mereka menikah

(lagi) dengan calon suaminya, apabila telah terjadi

kecocokan di antara mereka dengan cara yang baik.

Itulah yang dinasihatkan kepada orang-orang di antara

kamu yang beriman kepada Allah dan hari akhir. Itu

lebih suci bagimu dan lebih bersih. Dan Allah

mengetahui sedangkan kamu tidak mengetahui” (Qs. al-

Baqârah [2]: 232)

Pada awal pembahasan tentang legitimasi nikah tanpa

wali ini, al-Jassas mengemukakan makna kata al-„Adlu (العضل)

yang berarti “mencegah” atau “menyempitkan”. Oleh karenanya

kata-kata “Falâ ta‟dulûhunna” ( فال تعضلىهه) pada ayat tersebut

berarti “janganlah larang mereka” atau “jangan persempit

mereka pada perkara perkawinan”. Berdasarkan pemahaman

al-Jassas, ayat ini bermakna kepada beberapa segi atas

kebolehan nikah yang terjadi kepada wanita tanpa adanya wali

dan tanpa izin dari walinya. Pertama adalah penyerahan otoritas

127

akad kepada wanita tanpa syarat harus izin kepada walinya.

Kedua, larangan terhadap para wali untuk mencegah putrinya

bila kedua calon mempelai sama-sama saling ridha1.

Untuk mendukung pendapatnya ini al-Jassas

membandingkan ayat ini dengan Qs. al-Baqârah [2]: 230.

ره فإن طلقها فال ت نكح زوجا غي ل لو من ب عد حت فإن طلقها فال تجناح عليهمآ أن ي ت راجعآ إن ظنآ أن يقيما حدود ٱللو وتلك حدود

ن ها لقوم ي علمون ٱللو ي ب ي

“Kemudian jika dia menceraikannya (setelah Talak yang

kedua), maka perempuam itu tidak halal baginya

sebelum dia menikah dengan suami yang lain.

Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya,

maka tidak ada dosa bagi keduanya (suami pertama dan

bekas istri) untuk menikah kembali. Jika keduanya

berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum

Allah. Itulah ketentuan-ketentuan Allah yang

diterangkan-Nya kepada orang-orang yang

berpengetahuan”. (Qs. al-Baqârah [2]: 230)

Pada ayat ini dikatakan bahwa Allah telah

menyandarkan pernikahan itu kepada wanita. Allah berfirman

yang berarti “hingga dia kawin dengan (حت ى تىكح زوجا غيري )

suami yang lain”, dan Allah tidak menyebut wali di sini. Selain

itu khitab dalam ayat ( ىهه تعضل ) ditujukan kepada suami, yakni

ia dilarang melakukan rujuk untuk menyengsarakan istri dan

menghalanginya untuk menikah dengan pria lain dengan

memanjangkan masa iddahnya. Alasan lainnya, karena firman

Allah ( إذا تراضىا بيىهم) menunjukkan bahwa laki-laki tidak

terlarang melamar perempuan kepada dirinya sendiri (tanpa

1al-Jassas, Ahkâm al-Qur‟ân, Jilid II, h. 100.

128

melalui perantara wali) dan bersepakat dengannya untuk

menikah.

Pendapat di atas dibantah sebaliknya oleh jumhur ulama

seperti Imam Syafi‟i, Imam Malik dan Imam Ahmad2. Ayat

yang disampaikan di atas justru menunjukkan bahwa nikah

tidak boleh dilaksanakan tanpa wali, dengan dalil bahwa sebab

turunnya ayat ini adalah tentang saudara perempuan Ma‟qîl bin

Yasar, yang merupakan seorang janda3. Imam Bukhari, Abu

Dawud dan Tirmidzi, dan lain-lain meriwayatakan dari Ma‟qil

bin Yasar bahwa ia dulu menikahkan saudara perempuannya

dengan seorang pria muslim. Setelah itu si suami menalak

istrinya dan tidak merujukinya sampai masa iddahnya habis,

Kemudian bekas suaminya itu ingin kembali kepada istrinya –

begitu juga sebaliknya- sehingga ia ikut melamarnya bersama

para pelamar yang lain. Namun Ma‟qil berkata kepadanya, “Hai

orang yang tercela!” Aku sudah memuliakanmu dengan

menikahkanmu dengan saudariku itu, tapi kau malah menalak

dia? Demi Allah, selamanya dia tidak akan kembali

kepadamu!”. Namun Allah mengetahui kebutuhan lelaki itu

kepada mantan istrinya dan kebutuhan mantan istri kepada

bekas suaminya, maka turunkan firmannya, “Apabila kamu

menalak istrimu…” sampai firman-Nya”…..sedang kamu tidak

mengetahui”. Setelah mendengar ayat ini, Ma‟qil berkata, “aku

patuh kepada perintah Tuhanku.” Lalu ia memanggil orang itu

dan berkata, “Aku nikahkan kau dengan saudara perempuanku

ini.”4

Urusan pernikahan itu memang seharusnya bukan

mutlak menjadi haknya perempuan tanpa perlu wali, karena

seandainya pernikahan itu mutlak menjadi urusan perempuan,

tentu ia sudah menikahkan dirinya sendiri dan tidak

membutuhkan walinya (yaitu Ma‟qil). Adapun Khitâb

2 al-Zuhaili, Tafsir al-Munir, Jilid I, h. 561.

3Jalaluddin al-Suyuthi, Sebab Turunnya Ayat al-Qur‟an. Penerjemah,

Tim Abdul Hayyie (Depok: Gema Insani Press, 2008), h. 102. 4 al-Zuhaili, Tafsir al-Munir, Jilid I, h. 561.

129

(pembicaraan) dalam ayat ( فال تعضلىهه) justru ditujukan kepada

para wali. Ayat inipun secara umum memang ditujukan kepada

Ma‟qil bin Yasar yang merupakan wali dari saudari

perempuannya. Urusan pernikahan dipegang oleh mereka atas

dasar kerelaan si wanita. Alasan lainnya adalah seandainya

wanita boleh menikah tanpa kerelaan walinya dan wali tidak

punya fungsi apa-apa, tentu tidak ada artinya bagi larangan para

wali untuk menghalangi wanita menikah. Inilah pendapat

jumhur ulama yaitu Syafi‟I, Malik dan Ahmad5.

Al-Jassas menolak dengan tegas hadis yang

menjelaskan asbab al-nuzûl Qs. al-Baqârah [2]: 232 yang

menyatakan bahwa turunnya ayat ini berkaitan dengan

seseorang bernama Ma‟qil bin Yasar yang mempunyai saudari

seorang perempuan yang telah menjadi janda. al-Jassas

menolak hadis tersebut karena ia menganggap bahwa hadis

tersebut tidak valid jika dilihat dari sisi ahlu al-naql karena di

dalam sanadnya terdapat rijâl hadis yang tidak diketahui yang

diriwayatkan dari Simâk6.

Al-Jassas juga menganggap hadis tersebut hasan mursal.

Padahal hadis ini adalah hadis sahih lagi Muttasil yang

dikeluarkan oleh Imam Bukhari di dalam sahihnya yang masuk

di dalam Kitab Nikah, Bab tentang Pernikahan Tanpa Wali7.

Menurut al-Jassas sekalipun seandainya hadis ini sahih namun

isinya tetap menunjukkan kebolehan akad tanpa wali karena

dilihat dari sisi Ma‟qil bin Yasar yang melarang saudarinya

untuk menikah lagi maka Allah mencegahnya dari perbuatan

tersebut maka batallah haknya untuk menghalangi pernikahan

tersebut (tanpa wali)8. Padahal yang dilarang itu adalah

menghalang-halangi wanita yang akan kembali kepada

5al-Zuhaili, Tafsir al-Munir, Jilid I, h. 563.

6al-Jassas, Ahkâm al-Qur‟ân, Jilid I, h. 103.

7Ahmad „Ali Ibn Hajar al-„Asqallâni, Fathu al-Bâri bi syarhi sahîh

al-Bukhâri, (Mesir: Dâr al-Hadis, 2004), h. 214. 8al-Jassas, Ahkâm al-Qur‟ân, Jilid II, h. 103.

130

suaminya setelah sebelumnya telah dicerai dan hal ini tidak ada

hubungannya dengan perwalian.

Sesungguhnya ada beberapa hadis lain yang

memerintahkan dengan jelas pernikahan wanita dengan

menggunakan wali dan melarang pernikahan tanpa wali dan

tanpa persetujuan dari Wali. Di antara hadis-hadis tersebut

adalah:

Hadis pertama,

ها فنكاحها باطل، فنكاحها كحت بغي إذن ولي ا امرأة باطل، أيفنكاحها باطل، فإن دخل با ف لها المهر با استحل من ف رجها، وإن

لطان ول من ا ول لا اشتجروا فالس“Wanita manapun yang menikah tanpa seizin walinya,

maka pernikahannya bathil, pernikahannya bathil,

pernikahannya bathil. Jika seseorang menggaulinya,

maka wanita itu berhak mendapatkan mahar, sehingga ia

dihalalkan terhadap kemaluannya. Jika mereka terlunta-

lunta (tidak mempunyai wali), maka penguasa adalah

wali bagi siapa (wanita) yang tidak mempunyai wali”.

Hadis kedua

كاح إا بول، وشاىدي عدل ا “Tidak sah nikah kecuali dengan keberadaan wali dan

dua saksi yang adil.”

Hadis ketiga

الزاية ىي الت ا ت زوج المرأة المرأة، وا ت زوج المرأة فسها، فإن .ت زوج فسها

“Wanita tidak boleh menikahkan wanita, dan tidak

boleh pula wanita menikahkan dirinya sendiri. Sebab,

hanya pezinalah yang menikahkan dirinya sendiri.

131

Al-Jassas menolak hadis yang pertama karena

menurutnya hadis tersebut tidaklah valid. al-Jassas berdalih

bahwa hadis ini ditujukan untuk budak yang menikahkan

dirinya sendiri tanpa seizin walinya9. Sedangkan untuk hadis

kedua bahwa tidak sah menikah tanpa adanya wali, al-Jassas

berpendapat bahwa pendapatnya tidak bertentangan dengan

hadis ini karena menurutnya di sini berarti nikah dengan Wali,

dan bahwasanya perempuan bisa menjadi wali bagi dirinya

sendiri, sebagaimana anak laki-laki mewalikan dirinya sendiri.

Menurutnya, Wali adalah orang yang memiliki otoritas

kewalian atas orang yang berwali atasnya, dan perempuan

memiliki otoritas dan kewenangan atas dirinya sendiri pada

hartanya maka begitu juga ia memiliki kewenangan pada

barang-barangnya10

.

Al-Jassas juga menolak hadis ketiga karena menurutnya

isi dari hadis tersebut bertendensi pada tidak disukainya

kehadiran budak di tempat para pemilik budak karena

diperintahkannya untuk mengumumkan perkawinan maka

dikumpulkanlah manusia, maka dibencilah kehadiran budak

pada majlis tersebut. al-Jassas juga menyatakan bahwa kata-

kata (ج وفسها اوية هي ال تي تسو salah secara Ijma kaum (فإن الس

muslimin. Karena kata-kata “Tuzawwizu Nafsaha” (ج وفسها (تسو

tidak berarti berzina dengan salah satu dari kaum muslimin

padahal kalimat “Wati” (الىطء) pun tidak disebutkan dalam

hadis itu11

.

Kukuhnya pendapat al-Jassas dalam menafsirkan ayat

ini sesungguhnya karena kefanatikan beliau dalam mengikuti

pendapat dari Imam Abu Hanifah yang membolehkan seorang

wanita menikahkan dirinya sendiri tanpa wali. Sebagaimana ia

kutip sendiri dalam tafsirnya bahwa Imam Abu Hanifah

membolehkan seorang wanita menikahkan dirinya sendiri jika

pasangan yang dinikahinya itu sepadan (sekufu) dan mampu

9al-Jassas, Ahkâm al-Qur‟ân, Jilid I, h. 103.

10al-Jassas, Ahkâm al-Qur‟ân, Jilid I, h. 103.

11al-Jassas, Ahkâm al-Qur‟ân, Jilid I, h. 103-104.

132

memberikan mahar mitsil. Adapun apabila pihak laki-lakinya

itu tidak sepadan (sekufu) maka pernikahannya tetap

dibolehkan. Di sinipun pendapat Imam Abu Hanifah

mengatakan bahwa pernikahan boleh dilakukan tanpa wali

dengan tidak ada pertentangan dari pihak Wali. Artinya apabila

ada masalah kekufuan, tetap pihak wali perempuan mempunyai

hak untuk menolak.12

Ukuran kesepadanan ini didasarkan

kepada kebiasaan yang berlaku di masyarakat yang sesuai

dengan norma syariat, tidak didasarkan kepada adat istiadat

yang tidak umum13

.

2. Hukum Khamr pada Qs. al-Baqârah [2]: 219

Al-Jassas memberi judul bab pada pembahasan ini

dengan “Bab tentang Pengharaman Khamr”14

. Ayat ini

berbunyi :

فع للناس وإثهمآ يسألوك عن ٱلمر وٱلميسر قل فيهمآ إث كبي ومن أكب ر من فعهما

12

Imam Abu Hanifah sendiri tidak mendasarkan dalil kebolehan

menikah tanpa wali tersebut berdasarkan ayat Qs. al-Baqârah [2]:232 ini.

Imam Abu Hanifah mendasarkan kebolehan menikah tanpa wanita

berdasarkan hadis Aisyah yang menikahkah Hafsah binti Abd al-Rahman

dimana pada saat pernikahan dilakukan. Abd al-Rahman tidak ada. Dari sini

diambil kesimpulan bahwa perempuan dapat menikah tanpa wali dan boleh

menikah tanpa harus izin dari wali. Lihat. Al-Jassas, Ahkâm al-Qur‟ân, Jilid

I h.101. Ayat inipun sebenarnya sama sekali tidak berbicara tentang masalah

perwalian namun berbicara tentang larangan yang dilakukan keluarga si

Perempuan (Ma‟qil ibn Yassar) untuk kembali kepada suaminya pada saat

iddahnya telah habis. Melalui ayat ini Allah melarang keluarga si perempuan

melarang wanita yang di bawah perwaliannya untuk kembali kepada

suaminya. Inilah yang dilarang oleh Allah kepada keluarga si Perempuan.

Namun al-Jassas karena mengikut pendapat Mazhab Abu Hanifah

mengambil ayat ini sebagai dalil kebolehan menikah tanpa wali dengan

alasan yang telah penulis sebutkan di atas. 13

al-Zuhaili, Tafsir al-Munir, Jilid I, h.564. 14

al-Jassas, Ahkâm al-Qur‟ân, Jilid II, h.3

133

“Mereka menanyakan kepadamu (Muhammad) tentang

Khamr, dan judi. Katakanlah, “pada keduanya terdapat

dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia. Tetapi

dosanya lebih besar dari manfaatnya”.(Qs. al-Baqârah

[2]: 219)

Al-Jassas mengawali pembahasan tentang khamr ini

dengan menegaskan keharaman khamr karena ayat tersebut

mengutip kata-kata “itsmun” (اثم) yang ia tafsirkan dengan

mengutip firman Allah pada Qs. al-A‟raf [7]:33.

ها وما بطن وٱإلث وٱلب غي بغي ا حرم رب ٱلفواحش ما ظهر من قل إنٱلق وأن تشركوا بٱللو ما ل ي ن زل بو سلطاا وأن ت قولوا عل ٱللو ما

علمون ا ت “Katakanlah (Muhammad), “Tuhanku hanya meng-

haramkan segala perbuatan keji yang terlihat dan yang

tersembunyi, perbuatan dosa, perbuatan dzalim tanpa

alasan yang benar, dan (mengharamkan) kamu

mempersekutukan Allah dengan sesuatu, sedang dia tidak

menurukan alasan untuk itu, dan (mengharamkan) kamu

membicarakan tentang Allah apa yang tidak kamu

ketahui”. (Qs. al-A‟raf [7]:33)

Ayat ini menegaskan bahwa perbuatan “itsmun” ( إثم)

adalah perbuatan yang haram. Meskipun Allah menyebut

kalimat “Manâfi‟u li al-Nass” ( فع للى اش namun itu berfungsi (ومى

untuk menguatkan bahaya yang timbulkan oleh khamr

ketimbang manfaatnya. Oleh karena itulah pada ayat

selanjutnya Allah menyebutkan bahwa dosa yang ditimbulkan

oleh Khamr jauh lebih besar dari manfaatnya15

.

Meskipun begitu, memang mengundang pertanyaan

mengapa Allah mengatakan ada beberapa manfaat dari khamr

15

al-Jassas, Ahkâm al-Qur‟ân, Jilid II, h.3

134

padahal jelas-jelas hanya membuang-buang harta dan merusak

akal. Ulama mencoba memberikan jawaban terhadap pernyata-

an ini dengan mengatakan bahwa yang dimaksud manfaat di

sini adalah manfaat dari sisi materiil yang dapat mereka peroleh

dengan memperdagangkannya, yakni mereka mengharapkan

dapat memperoleh keuntungan yang buruk seperti keuntungan

yang mereka peroleh ketika berjudi. Hal yang menunjukkan

bahwa manfaat pada khamr bersifat materiil adalah bahwa

Allah menyamakannya dengan judi. Hal ini dapat dilihat dari

ayat Qs. al-Baqârah [2]: 219 yang berarti“…..Mereka bertanya

kepadamu tentang khamr dan Judi…”, dan tidak diragukan lagi

bahwa manfaat judi adalah manfaat materiil bagi orang yang

menang, begitu juga dengan khamr.

Imam Qurthubi mengatakan bahwa, manfaat khamr

berupa keuntungan dalam memperjualbelikannya, karena

mereka mengimpor dari Syiria dengan harga yag murah, lalu

dijual di Hijaz dengan harga yang tinggi, sedangkan mereka

belum pandai dalam tawar menawar16

.

Sampai di sini apa yang disampaikan oleh al-Jassas

dalam memahami ayat tentang pengharaman khamr belum ada

hal yang kontroversial. Namun ketika al-Jassas menghadirkan

perbedaan pendapat tentang apa yang dimaksud dengan

meminum khamr, maka mulai terlihat ada tendensi pemahaman

yang berbeda tentang meminum khamr sebagaimana dipahami

oleh Jumhur. al-Jassas mengatakan bahwa ada perbedaan

pendapat di antara para ulama tentang pengertian meminum zat

khamr dari minuman. Menurutnya, “Jumhur al-a‟zam” dari

sebagian ulama mengatakan bahwa khamr pada hakikatnya

adalah minum dari air perasan anggur. Menurut al-Jassas, telah

mengklaim sebagian dari penduduk Madinah, dan sebagian dari

pengikut Imam Malik dan pengikut Imam Syafi‟i bahwa setiap

16

Muhammad Ali al-Shabuni, Tafsir Ayat-ayat Ahkâm, Cet. 1,

Penerjemah Ahmad Dzulfikar, dkk (Depok:Keira Publishinh, 2016), Jilid I,

h. 276.

135

yang banyaknya memabukkan dari minuman maka dia itu

adalah khamr.

al-Jassas tidak menyebutkan secara rinci siapa yang

dimaksud dengan Jumhur al-a‟zami dan siapa juga yang

dimaksud dengan sebagian penduduk Madinah, pengikut Imam

Syafi‟I serta sebagian pengikut Imam Malik17

. Hal ini bukanlah

kebiasaan al-Jassas jika sedang menyebutkan pendapat dari

ulama-ulama lain. Ia biasanya menyebutkan secara terperinci

siapa dan darimana ulama yang berpendapat demikian. Inilah

kecendrungan dari al-Jassas yang mengarahkan secara tidak

adil suatu pendapat agar sesuai dengan pendapat yang

dipegangnya. Padahal, Imam Malik, Imam Syafi‟I, Imam

Ahmad, ulama-ulama Hijaz dan jumhur ulama hadis (Jumhûr

al-Muhadditsĭn) mengatakan bahwa bahwa minuman yang

memabukkan itu berasal dari perasan anggur dan lainnya, maka

minuman yang memabukkan yang berasal dari perasan anggur,

gandum atau biji gandum adalah khamr18

. Hal ini menandakan

bahwa ulama dari kalangan syafiiyah dan Malikiyah tidak

membatasi jenis khamr hanya pada air perasan anggur.

Memang diketahui bahwa ulama-ulama kufah di

antaranya Imam Abu Hanifah, Ibrahim al-Nakho‟I, Sufyan al-

Tsauri dan Abi Laila dan Ibn Subarmah mengatakan bahwa

sesuatu yang memabukkan dari zat yang lainnya seperti

minuman dari perasan kurma maka tidak dinamakan sebagai

Khamr, tetapi dinamakan sebagai Nabiz19

. Sebagai seorang

17

Hal ini menunjukkan kecerobohan al-Jassas dalam mengajukan

dalil-dalil untuk menguatkan kebenaran pendapatnya. al-Jassas biasanya

sangat teliti dalam menyebutkan perbandingan-perbandingan dalam

perbedaan pendapat. Ada tendensi pembelaan yang berlebihan dari al-Jassas

sehingga ia tidak menyebutkan secara rinci siapa yang ia maksud dengan

Jumhûr al-A‟dzom demi melakukan pembelaan terhadap opini yang sedang

ia bangun demi mazhab yang ia anut. 18

Muhammad „Ali al-Sâyisi, Tafsĭr Ăyât al-Ahkâm, (T.tp.,T.Pn., T.t),

Jilid I, h. 121 19

Muhammad Ali al-Sayisi, Tafsĭr Ăyât al-Ahkâm, h. 121.

136

pengikut mazhab Hanafi al-Jassas berpegang teguh pada

pendapat ini.

Setidaknya ada dua alasan yang diungkapkan oleh al-

Jassas dan ulama-ulama kufah tentang definisi dari khamr yang

menafikan selain perasan anggur adalah khamr. Pertama, secara

bahasa mereka beralasan dengan ucapan Abu Aswad al-Du‟alli

yang pernah bersyair berikut ini20

:

ن ... المر تشرب ’ دع ها الغواة فايا بكانا رأيت أخاىا مغن

و...أخوىا ها فا فان ل تكنو أو يكن ذتو امو بلبنهاغ

Biarkanlah Khamr itu diminum oleh orang-orang yang

sesat

Sesungguhnya aku tahu saudaranya (peminum) itu

memuji ditempatnya

Jika khamr itu tidak dapat membentuknya atau dia tidak

dapat membentuk Khamr

Maka dia adalah saudaranya yang diberikan makanan

yang lezat oleh Ibunya dengan air susunya

Pada syair yang diucapkan oleh Abu al-Aswad al-Dualli

di atas terlihat bahwa sesuatu yang memabukkan yang terbuat

dari selain buah kurma murni atau buah Anggur murni tidak

dinarnakan khamr. Jenis minuman ini (nabidz) merupakan

saudara khamr. Hal ini diperkuat dengan ucapannya ر أ ي ت أ خ اه ا

اه او ك م ا ب ي ى غ م .21

Kedua, mereka beralasan berdasarkan hadis Nabi yang

diriwayatkan dari Sa‟id al-Khudri, ia berkata: Nisywan pernah

dibawa menghadap Rasulullah Sallallahu „alaihi wasallam, lalu

beliau bertanya kepadanya: „apakah engkau minum khamr?‟ ia

20

al-Jassas, Ahkâm al-Qur‟ân, Jilid II, h.8. 21

al-Jassas, Ahkâm al-Qur‟ân, Jilid II, h.8.

137

menjawab: “Aku sudah tak pernah meminumnya sejak

diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya.‟ Lalu Rasululllah

bertanya lagi:‟kemudian apa yang kamu minum?‟ Ia menjawab:

„Campuran dua macam‟. Abu Sa‟d berkata: „Lalu Rasulullah

Sallallahu „alaihi wasallam mengharamkan campuran dua

macam tersebut.

Pada hadis ini si peminum yang ditanya oleh Rasulullah

tidak menyebut Khamr bagi minuman yang terdiri dari dua

macam campuran di hadapan Rasulullah sedang beliau juga

tidak mengingkarinya. Di sini al-Jassas mengambil dalil bahwa

selain yang disebutkan oleh si peminum itu bukan khamr karena

ia tidak menyebutnya demikian dan Rasulullah juga tidak

mengingkarinya.

Dari uraian di atas al-Jassas setidaknya berargumen

kepada dua hal; Pertama, yang dimaksud dengan Khamr adalah

hanya air hasil dari perasan anggur, Kedua, segala sesuatu yang

banyaknya memabukkan adalah haram. Pemahaman seperti ini

tentunya berbeda dengan pemahaman pada umumnya yang

tidak membatasi khamr hanya sekedar perasan anggur dan

membatasi keharaman yang memabukkan pada kadar

banyaknya.

Berdasarkan ketentuan hadis yang sahih bahwa

Rasûlullah sallallahu „alaihi wasallam menyatakan bahwa

setiap yang memabukkan adalah khamr dan setiap khamr

adalah haram22

. Dalil hadis ini merupakan dalil yang sangat

jelas yang menjadi petunjuk bahwa setiap yang memabukkan,

-baik sedikit maupun banyaknya- maka dia adalah khamr yang

telah diharamkan oleh Allah melalui ayat-ayatnya di dalam al-

Qur‟ân. Ulama lain seperti al-Sabuni dan Muhammad Ali al-

Siyasi yang juga menulis kajian tafsir hukum melakukan tarjih

terhadap perkara ini dan mengatakan bahwa pendapat yang

paling kuat adalah pendapat mayoritas ulama Hijaz yang

menegaskan keharaman Khamr dan setiap yang memabukkan

22

.كل مسكر خر وكل خر حرام

138

disebut dengan khamr sebagaimana kata Umar Radiyallahu

anhu ketika para sahabat mendengar diharamkannya khamr,

mereka dengan spontan memahami bahwa Nabidz adalah

sejenis khamr, sedang mereka adalah orang-orang yang paling

mengerti tentang bahasa arab serta apa yang dimaksud oleh

Allah dan Rasul-Nya, dan Rasulullah telah mengharamkan

secara tegas, setiap yang memabukkan dan melemahkan23

.

Pada pembahasan tentang keharaman khamr ini, sangat

terlihat betapa al-Jassas berusaha keras untuk melakukan

penta‟wilan terhadap hadis ini sehingga menjadikannya tidak

layak untuk dijadikan dalil bagi orang-orang yang pada

umumnya berbeda dengannya, dengan menggunakan hukum

berdasarkan pengertian hakikat majaz atau makna dari Khamr.

Penta‟wilan terhadap teks hadis yang sangat jelas baik secara

makna maupun dalil yang dilakukan oleh al-Jassas dirasa

sangat berlebihan, hal mana pada kesimpulan akhirnya

mencoba mengatakan bahwa Khamr itu adalah apa yang

memabukkan akal dan sedikitnya zat lain yang tidak sampai

memabukkan itu tidak haram.

Maka apabila pendapat al-Jassas diterima begitu saja

sesuai dengan pemahaman yang ia maksud, maka pemahaman

ini tentu akan sangat berbahaya. Apalagi pada zaman sekarang

ini di mana banyak sekali jenis minuman yang memabukkan

yang bisa jadi apabila diminum sedikit tidak membuat mabuk.

Contohnya adalah bir dan berbagai minuman lainnya yang

bukan berasal dari perasan anggur yang apabila meminumnya

dengan takaran yang sedikit bisa tidak memabukkan. Padahal

sangat jelas bahwa minuman-minuman ini adalah memabukkan

dan setiap yang memabukkan adalah haram.

23

al-Shabuni, Tafsir Ayat-ayat Ahkâm, jilid I, h. 281, lihat juga

Muhammad „Ali al-Sâyisi, Tafsîr Ăyât al-Ahkâm, h. 123.

139

B. Fanatisme dan Keterpengaruhan Mazhab Hanafi

dalam Penafsiran Ahkâm al-Qur’ân Karya al-Jassas

Sebagaimana telah penulis uraikan sebelumnya bahwa

al-Jassas merupakan satu dari beberapa ulama mazhab dalam

khasanah fikih Hanafiah yang mempunyai peran yang sangat

besar dalam melestarikan dan membela eksistensi dari mazhab

Hanafi. Berbagai hasil karyanya di bidang fikih dan ushul fiqh

cenderung bernuansa fikih hanafiah. Oleh karenanya baik isi

maupun coraknya pun sangat terlihat identitas kemazhabannya

sebagai seorang pengikut mazhab Hanafi. Karya-karya ilmiah

itu bisa berupa syarh yang merinci tentang matan yang telah

ada yang merupakan karya ulama Mazhab Hanafi atau bisa juga

dalam bentuk Mukhtashor yang meringkas karya guru-gurunya

dari kalangan Hanafiah24

.

Tafsir Ahkâm al-Qur‟ân merupakan magnum opus dari

al-Jassas. Sebuah mahakarya tafsir yang disusun dengan corak

fikih yang sangat lengkap yang di susun dengan rincian bab-bab

dan penjelasan yang sangat mirip dengan kitab fikih. Karya ini

sangat memudahkan untuk dibaca namun mempunyai materi

yang sangat dalam karena di dalamnya banyak terdapat

perbandingan-perbandingan hukum berupa pandangan-

pandangan ulama dari berbagai mazhab dan generasi. Membaca

penafsiran yang dilakukan oleh al-Jassas seperti membaca fikih

muqarran (perbandingan) yang sangat komprehensif25

.

Namun begitu, sebagai sebuah hasil karya tidak terlepas

dari pengaruh sang penulisnya. al-Jassas dikenal sebagai salah

satu ulama yang mengkhidmatkan dirinya pada pelestarian

mazhab Hanafi. Oleh karena itulah karya-karyanya pun

24

Hal ini dapat dilihat dari kitab-kitabnya yang memang sangat kental

sekali tentang pembahasan fikih Hanafiah. Di antara kitab-kitabnya itu

adalah Syarh Mukhtasar al-Karakhy, Syarh Mukhtasar al-Thahawy, Syarh

al-Jami‟ li Muhammad Ibn Hasan, Syarh al-Asma al-Husna, Adab al-

Qadha‟, ushul al-Fiqh dan al-Asyrabah. 25

Uraian lebih lengkap tentang hal ini terdapat dalam Bab III tentang

corak tafsir al-Jassas tesis ini.

140

cenderung memberikan pembelaan terhadap konsep-konsep

yang telah digariskan oleh Imam Abu Hanifah selaku pendiri

mazhab Hanafi. Hal inilah yang mempengaruhi penulisan tafsir

al-Jassas, karena jika ditelisik lebih dalam maka akan terlihat

adanya pengaruh yang sangat kental bahkan cenderung

memunculkan fanatisme terhadap mazhab Hanafi sehingga

dalam berbagai aspek sangat teguh pegangannya serta

pembelaannya kepada Mazhab Hanafi. Berikut adalah bentuk-

bentuk keterpengaruhan al-Jassas terhadap mazhab Hanafi yang

memunculkan fanatisme mazhab.

1. Pembelaan Berlebihan terhadap Mazhab

Hanafi.

Memegang teguh sebuah mazhab fikih yang mu‟tabar

bagi seseorang merupakan hal yang dapat dimaklumi dan bukan

termasuk perbuatan yang tercela selama hal tersebut masih

dalam batas-batas toleransi. Perbedaan adalah hal yang lazim

terjadi dalam implementasi hukum selama masih bisa saling

menghormati pilihan mazhab lain dan memahaminya sebagai

sebuah dinamika di dalam kehidupan sosial dan agama. Dalam

hal terjadi perbedaan pendapat maka harus tetap saling

menghormati tanpa harus mencela atau menghina pendapat

pihak lain atau melakukan tindakan-tindakan yang

merendahkan dan melecehkan pihak lain. Tindakan pelecehan

dan pelemahan terhadap pihak lain merupakan tindakan yang

tidak dapat diterima dan cenderung menunjukkan sikap

fanatisme yang muncul dari sikap taklid terhadap mazhabnya.

Sebagai seorang yang dikenal fanatik terhadap

mazhabnya, al-Jassas dalam banyak kesempatan sering

menunjukkan pembelaan yang berlebihan terhadap mazhab

yang dianutnya. Pembelaan ini jelas merupakan tindakan yang

muncul dari fanatisme yang berlebihan. Salah satu bentuk

tindakan yang berlebihan yang dilakukan oleh al-Jassas sebagai

bentuk dari sikap fanatismenya adalah melakukan pembelaan

berlebihan terhadap hukum-hukum yang sudah ditetapkan

141

pendahulu mazhabnya dan kecendrungan negatif al-Jassas

dalam membela pemahaman mazhabnya dengan melecehkan

atau menghina pendapat dari ulama-ulama yang berbeda

dengannya.

Dalam berbagai kesempatan, al-Jassas menunjukkan

sikap yang berlebihan dalam melakukan pembelaan terhadap

mazhabnya serta melakukan tindakan yang tidak elegan

menyikapi perbedaan pendapat antar mazhab. Al-Jassas pada

beberapa kesempatan memunculkan kata-kata kasar dan

melecehkan pendapat ulama dari mazhab lain karena pendapat

ulama tersebut berbeda atau bertentangan dengan pendapat

mazhab Hanafi. Al-Jassas menyifati mereka dengan sifat yang

buruk dan ibarat-ibarat yang melampaui batas.

Di antara ulama-ulama tersebut adalah al-Qadhi Ismail

Ibn Ishaq al-Maliki. Beliau adalah salah satu pemuka mazhab

Maliki yang tinggal di Kota Basrah. Ia juga merupakan penulis

dari tafsir yang bercorak fikih yang kebetulan mempunyai judul

yang sama yaitu Ahkâm al-Qur‟ân. al-Jassas banyak mengutip

permasalahan-permasalah fikih dari kitab ini dan banyak ia

bahas terrutama pada hal-hal yang berbeda dengan pendapat

mazhab Hanafi. al-Jassas memberikan porsi pembahasan yang

komprehensif kepada setiap perbedaan pendapat yang

ditunjukan oleh Qadhi Ismail Ibn Ishaq al-Mâliki.

Pembelaan yang berlebihan ini ditunjukkan oleh al-

Jassas dengan menyifati Qadhi Ismâil Ibn Ishaq al-Mâliki

dengan sebutan yang buruk serta perkataan yang melampaui

batas. Di antara perkataan-perkataan al-Jassas setelah

mengomentari pendapat dari Qadhi Ismail Ibn Ishaq al-Mâliki

adalah: “Perkataannya adalah cacat dan jelas kerusakannya”

atau “Perkataannya kosong dan tidak memiliki arti sama

sekali” atau “Perkataan laki-laki yang tidak kuat dan tidak

mempunyai akibat hukum (ta‟wil)”.

al-Jassas mengomentari pendapat dari Qadhi Ismail Ibn

Ishaq al-Mâliki dalam tafsirnya sehubungan dengan Qs. al-

Baqarah [2]: 235.

142

أو أكننتم ف وا جناح عليكم فيما عرضتم بو من خطبة ٱلنسآء هن ول كن ا ت واعدوىن سرا إا أن كم ستذكرو أ فسكم علم ٱللو ألغ ٱلكتاب أجلو ي ب عروفا وا ت عزموا عقدة ٱلنكاح حت ت قولوا ق وا م

للو ي علم ما ف أ فسكم فٱحذروه وٱعلموا أن ٱللو غفور وٱعلموا أن ٱ حليم

“Dan tidak ada dosa bagimu meminang perempuan-

perempuan itu dengan sindirian atau kamu sembunyikan

(keinginanmu) dalam hati. Allah mengetahui bahwa

kamu akan menyebut-nyebut mereka. Tetapi janganlah

kamu membuat perjanjian untuk menikah dengan mereka

secara rahasia , kecuali sekedar mengucapkan kata-kata

yang baik. Dan janganlah kamu menetapkan akad nikah,

sebelum habis masa iddahnya. Ketahuilah bahwa Allah

mengetahui apa yang ada di dalam hatimu, maka

takutlah kepada-Nya. Dan ketahuilah bahwa Allah maha

Pengampun dan Maha Penyantun” (Qs. al-Baqarah [2]:

235)

Pada ayat ini, Qadi Isma‟îl Ibn Ishaq al-Mâliki

berpendapat bahwa ia berhujjah pada menafikan hukuman Had

bagi perbuatan Qazf dengan alasan bahwa Allah tidak

menjadikan ancaman tersebut pada ayat ini ancaman yang

jelas26

. al-Jassas lalu membahas secara rinci perbedaan

pendapat ini bahkan mengatakan bahwa pendapat yang

diungkapkan oleh Qadi Isma‟îl Ibn Ishaq al-Mâliki adalah jelas

kebatalannya dan mengandung kecacatan yang sangat jelas27

.

Setelah mengutip apa yang dikatakan oleh Qadi Isma‟îl Ibn

Ishaq al-Mâliki maka ia memberi komentar pedas kepada Qadi

Isma‟îl Ibn Ishaq al-Mâliki dengan berkata:

26

al-Jassas, Ahkâm al-Qur‟ân, Jilid II. h. 136. 27

al-Jassas, Ahkâm al-Qur‟ân, Jilid II. h. 136.

143

الة ل الذي حكاه عن خصمو ف الد قال اب و بكر : الكالم الوختالل واضح الفساد عريض صحيح و قضو ظاىر اا عل في بالت

Pada kesempatan lain, al-Jassas juga membahas dan

mengomentari pendapat Qadhi Ismail Ibn Ishaq al-Mâliki pada

Qs. al-Ra‟du [13]:8.

وما تغيض ٱلرحام وما ت زداد وكل شيء ٱللو ي علم ما تمل كل أثار عنده بقد

“Allah mengetahui apa yang dikandung oleh

perempuan, apa yang kurang sempurna, dan apa yang

bertambah dalam rahim, dan segala sesuatu ada ukuran

disisi-Nya” Qs. al-Ra‟du [13]:8

Pada ayat ini al-Jassas mengomentari pernyataan dari

Qadhi Ismail Ibn Ishaq al-Mâliki yang mengatakan bahwa

orang yang hamil itu juga bisa mendapat haid. Menurutnya

perkataan dari Qadhi Ismail Ibn Ishaq al-Mâliki ini tidak berarti

apa-apa. al-Jassas kemudian menjelaskan posisinya terkait

dengan pendapat dari Qadhi Ismail Ibn Ishaq al-Mâliki. Setelah

melengkapi semua argumennya terhadap apa yang diungkapkan

oleh Qadhi Ismail Ibn Ishaq al-Mâliki, al-Jassas kemudian

mengomentari Qadhi Ismail Ibn Ishaq al-Mâliki dengan

komentar yang pedas. Ia berkata dalam komentarnya28

:

م وىذا الذي ذكره )اي القضي اساعيل ليس بشئ، لن الدر ها الارج من الرحم قد يكون حيضا وفاسا وقد يكون غي

28

al-Jassas, Ahkâm al-Qur‟ân, Jilid IV, h. 397 – 398.

144

Meskipun memberikan pembelaan yang sangat

berlebihan terhadap perbedaan pendapat yang dinyatakan oleh

ulama Mazhab Maliki, namun terhadap pendapat Imam Maliki

sendiri, al-Jassas cenderung menunjukkan pendapat yang bisa

diterima dan tidak mengeluarkan komentar yang tidak layak

terhadap Imam Malik. al-Jassas sedikit berpendapat agak keras

kepada Imam Malik pada saat berkomentar tentang Qs. al-

Baqârah [2]:223. Pada ayat ini al-Jassas mengatakan bahwa

Imam Malik pernah membolehkan seseorang laki-laki men-

dukhul istrinya melalui duburnya namun pendapat ini bahkan

ditolak oleh sahabat-sahabat Imam Malik sendiri. Menurutnya

sebaiknya jangan mengatakan ini adalah pendapat Imam Malik

karena ini adalah perkara yang sangat buruk dan jelek29

.

Pembelaan berlebihan yang menunjukkan fanatisme al-

Jassas terhadap pendapatnya dan pendapat mazhabnya juga

ditujukan kepada Imam Syafi‟i. Imam Syafi‟I, selaku pendiri

mazhab Syafi‟iyah juga menjadi sasaran dari kefanatikan al-

Jassas. Berikut beberapa komentar pedas yang diungkapkan

oleh al-Jassas sebagai bentuk pembelaannya yang berlebih

terhadap mazhab yang dianutnya.

Pertama, al-Jassas memberikan pembelaan terhadap

pendapatnya dan memberikan komentar pedas terhadap

perbedaan yang ditunjukkan oleh Imam Syafi‟i pada saat

membahas Qs. al-Maidah [5]:5.

ٱلي وم أحل لكم ٱلطيب ت وطعام ٱلذين أوتوا ٱلكت ب حل لكم م وطعامكم حل ل

“Pada hari ini dihalalkan bagimu segala yang baik-baik.

Makanan (sembelihan) ahli kitab itu halal bagimu dan

29

Al-Jassas, Ahkâm al-Qur‟ân, Jilid II, h. 40.

145

makananmu halal bagi mereka…”.( Qs. al-Maidah

[5]:5).

Ayat ini membahas tentang memakan makanan yang

disembelih oleh ahli kitab. al-Jassas mengatakan bahwa ia tidak

pernah menemui suatu perbedaan pendapat manapun terkait

ayat ini dari para ulama baik ulama salaf maupun ulama kholaf

kecuali apa yang disampaikan oleh Imam Syafi‟i. Menurutnya,

Imam Syafi‟I telah menyendiri dalam perkataannya.

Menurutnya lagi, pendapat Imam syafi‟I telah keluar dari

perkataan-perkatan golongan ahli ilmu (ulama)30

. Perkataan ini

sangat pedas seakan-akan Imam syafi‟I bukanlah ulama yang

patut bagi orang-orang untuk mengambil ilmu darinya.

Kedua, Komentar berlebihan terhadap Imam Syafi‟I

juga ditunjukkan pada saat membahas Qs. al-Maidah [5]:6.

يا أي ها ٱلذين آمنوا إذا قمتم إل ٱلصلوة فٱغسلوا وجوىكم وأيديكم برؤوسكم وأرجلكم إل ٱلكعبني إل ٱلمرافق وٱمسحوا

“Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu

hendak melaksanakan salat, maka basuhlah wajahmu

dan tanganmu sampai ke siku, dan sapulah kepalamu

dan (basuh) kedua kakimu sampai kedua mata kaki…”.

(Qs. al-Maidah [5]:6)

Ayat ini terkait pembahasan tentang tertib pelaksanaan

wudhu atau rukun-rukun wudhu, di mana terjadi banyak

perbedaaan di antara para ulama. Pada saat menyebutkan

pendapat Imam Syafi‟I, al-Jassas menyelipkan sebuah komentar

yang pedas dengan menyatakan bahwa pendapat Imam Syafi‟i

telah keluar dari ijma para ahli fikih31

. Pandangan ini seakan-

akan menyatakan bahwa pandangan Imam Syafi‟i tidak berarti

30

al-Jassas, Ahkâm al-Qur‟ân, Jilid III, h. 321. 31

al-Jassas, Ahkâm al-Qur‟ân, Jilid III, h. 329 – 331.

146

apa-apa di mata al-Jassas sehingga sah-sah saja sebuah ijma

para ulama tanpa harus memperhatikan pendapat Imam Syafi‟i.

Contoh ketiga yang merendahkan Imam Syafi‟i dalam

dinamika pembahasan tafsir al-Jassas ketika ia membahas Qs.

al-Nisa [4]:23.

تكم تكم وب ن ه تكم وخالتكم وب نات حرمت عليكم أم تكم وعم وأخوعة ن ٱلرض تكم م تكم الت أرضعنكم وأخو ه ٱلخ وب نات ٱلخت وأمسآئكم ٱلت ن سآئكم وربائبكم ٱلت ف حجوركم م ت ه وأم

ئل تم بن دخل وا دخلتم بن فال جناح عليكم وحل فإن ل تكوبكم وأن تمعوا ب ني ٱلخت ني إا ما قد أب نائكم ٱلذين من أصل

سلف إن ٱللو كان غفورا رحيما

“Diharamkan atas kamu (menikahi) Ibu-ibumu, anak-

anakmu yang perempuan, saudara-saudaramu yang

perempuan, saudara-saudara ayahmu yang perempuan,

saudara-saudara ibumu yang perempuan, anak-anak

perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki,

anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang

perempuan, ibu-ibumu yang menyusuimu, saudara-

saudara perempuanmu sesusuan, Ibu-ibu istrimu

(mertua), anak-anak perempuan dari istrimu (anak tiri)

yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu

campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu

itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu

(menikahinya), (dan diharamkan bagimu) istri-istri anak

kandungmu (menantu) dan (diharamkan) mengumpulkan

(dalam pernikahan) dua perempuan yang bersaudara,

kecuali yang telah terjadi pada masa lampau. Sungguh

Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang”. (Qs. al-

Nisa [4]:23.)

147

Ayat ini membahas tentang wanita-wanita yang

diharamkan untuk dinikahi. Ayat ini memang banyak menuai

perbedaan antara mazhab Hanafi dan mazhab Syafi‟i. Namun

begitu penyikapan al-Jassas terhadap perbedaan tersebut

sungguh menunjukkan pembelaan yang berlebihan terhadap

mazhab yang dianutnya. Selain melakukan pembahasan yang

panjang lebar serta terperinci dengan menyandingkan

perbandingan-perbandingan pemahaman yang ada, al-Jassas

sangat berlebihan membela pendapat mazhabnya dan

merendahkan Imam Syafi‟i dengan kata-kata yang tidak layak,

menghina dan keji.

Setelah menguraikan perbedaan-perbedaan yang

terdapat dalam ayat tersebut dengan pendapat dari Imam

Syafi‟i, lalu keluarlah ucapan-ucapan yang tidak layak tersebut

seperti kata-kata “Maka sungguh jelas apa yang dikatakan oleh

al-Syafi‟i dan orang-orang yang menerima pernyataannya

tersebut suatu perkataan yang kosong yang tidak memiliki arti

apa-apa secara hukum”. Atau ia juga berkomentar “Sungguh

jelas butanya hati orang yang bertanya (kepada Imam Syafi‟i)

dan menerima segala pendapatnya dengan tanpa menuntut

dalil-dalil atas masalah yang ia sebutkan”32

. Ada juga

ungkapan-ungkapan lain yang sekiranya disampaikan sungguh

merupakan kata-kata yang tidak patut disampaikan hanya

karena adanya perbedaan pendapat yang memunculkan

fanatisme sehingga merendahkan ulama lain apalagi sekaliber

Imam Syafi‟i.

Komentar-komentar al-Jassas serta penyifatannya

dengan sifat yang buruk kepada Imam Syafi‟i sehubungan

dengan perbedaan pendapat yang lazim terjadi dalam sebuah

penafsiran sangat tidak pantas dan tidak dapat dimaklumi

sebagai perbuatan yang toleran terhadap perbedaan mazhab.

32

Al-Jassas, Ahkâm al-Qur‟ân, Jilid III, h. 65-69.

148

2. Pengaruh mazhab Hanafi terhadap Metode Istinbath

Hukum

Salah satu cara yang lazim digunakan oleh al-Jassas

dalam melakukan penafsiran adalah metode bi al-Ma‟tsur.

Sekilas metode ini adalah cara yang digunakan oleh mufassir

untuk melakukan penafsiran dengan merujuk pada riwayat

penafsiran yang dilakukan oleh ayat al-Qur‟an terhadap ayat

lainnya, penafsiran ayat dengan keterangan Rasul, Penafsiran

ayat dengan keterangan sahabat-sahabat Rasulullah serta

penafsiran para tabi‟in yakni generasi sesudah sahabat-sahabat

Nabi33

.

Dengan menyajikan pendapat yang ma‟tsur, tidak jarang

al-Jassas juga menampilkan pendapat-pendapat para ulama dari

berbagai mazhab baik yang hidup pada masanya maupun yang

telah mendahuluinya. Dengan menampilkan berbagai macam

pendapat, suasana penyajian tafsir yang dibuat oleh al-Jassas

terlihat seperti penulisan tafsir muqarran di mana penafsiran

tersebut mencoba membandingkan berbagai macam pendapat

lalu mengambil salah satu pendapat tersebut atau menguatkan

salah satu pendapat yang terbaik menurut pemahaman penulis.

Jika dilihat dari mekanisme istinbath hukum yang

dilakukan oleh al-Jassas tidak dapat dipungkiri bahwa

mengumpulkan berbagai macam pendapat dalam tafsirnya

adalah hal yang lazim dilakukan hampir pada semua ayat yang

ia bahas terlebih pada ayat-ayat yang berpotensi terjadinya

perbedaan pendapat di antara para ulama. Namun begitu jika

ditelisik lebih dalam, ada kebiasaan dari al-Jassas yang tidak

bisa ia lepaskan yaitu pengaruh yang sangat kuat dari mazhab

Hanafi. al-Jassas selalu menghadirkan pendapat-pendapat dari

kalangan Mazhab Hanafi atau bahkan pendapat Imam Hanafi

sendiri. Hal ini dapat dilihat dari sumber-sumber yang ia

gunakan dalam penulisan tafsirnya yang berasal dari ulama

33

M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, h. 349 – 351.

149

Hanafiah dan beberapa kitab tulisannya yang merupakan

ringkasan atau syarh kitab-kitab di kalangan mazhab Hanafi34

.

Setelah mengumpulkan segala perbedaan pendapat yang

diambil dari berbagai sumber, al-Jassas akan memberikan

komentar terhadap pendapat yang berbeda dan akan membahas

perbedaan tersebut dengan pembahasan yang panjang dan

terperinci. Pada akhirnya al-Jassas akan mengarahkan

kesimpulan akhir dari perdebatan tersebut kepada menguatkan

pendapat mazhabnya. Pengambilan kesimpulan hukum itu dapat

dilihat diberbagai tempat dalam tafsirnya.

Ada dua cara hal yang menunjukkan fanatisme al-Jassas

sehubungan dengan materi penafsiran yang sangat bernuansa

fikih Hanafiah. Pertama, al-Jassas cenderung berlebihan dalam

melakukan pembelaan terhadap mazhabnya apabila ditemui

adanya perbedaan pendapat di antara para ulama. al-Jassas

terkadang berusaha melakukan ta‟wil secara berlebihan

sehingga mendukung pendapatnya atau cenderung memaksakan

kehendak sesuai pendapat mazhabnya pada saat melakukan

penafsiran suatu dalil35

Kedua, al-Jassas menyerang pribadi

para ulama yang berbeda pendapat dengannya sehingga sangat

terkesan fanatismenya terhadap mazhab. Hal ini ia lakukan di

antaranya kepada Imam Syafi‟i dan Qadhi Ismail Ibn Ishaq al-

Mâliki36

.

34

Penulis telah menyebutkan pada sub bab sebelumnya tentang kitab-

kitab hasil karya dari al-Jassas serta kecendrungannya terhadap mazhab

Hanafi dalam karya-karyanya termasuk magnum opus -nya tafsir ahkâm al-

Qur‟ân. 35

al-Jassas melakukan ta‟wil terhadap Qs. Al-Baqarah [2]:232 di

mana ia menyimpulkan bahwa ayat ini bisa digunakan sebagai dalil

kebolehan bagi perempuan untuk menikahkan dirinya sendiri tanpa wali dan

tanpa memerlukan izin dari Wali. 36

Penulis telah uraikan perlakuan al-Jassas terhadap para ulama yang

berbeda pendapat dengannya pada sub bab sebelumnya terkait pembelaan

yang berlebihan terhadap mazhab Hanafi.

150

C. Penilaian para ulama terhadap fanatisme al-Jassas

dalam tafsir ‘Ahkâm al-Qur’ân.

Tafsir karya al-Jassas diakui sebagai tafsir yang cukup

kredibel di kalangan mazhab hanafi maupun di kalangan

pengkaji tafsir dan fikih pada umumnya. Pengakuan tersebut

memang pantas diberikan kepada al-Jassas karena hasil

karyanya ini memberikan sumbangsih yang sangat besar bagi

perkembangan pembahasan perbandingan mazhab dan tafsir

dengan corak fikih dan hukum.

Meskipun dapat menghadirkan sebuah karya yang

berkualitas, al-Jassas tidak bisa menghindarkan diri dari

subjektifitas tafsir yang tinggi. Subjektifitas ini terlihat dari

kentalnya pengaruh mazhab Hanafi dalam uraian-uraian

penafsirannya. Meskipun tetap berusaha objektif dengan

melakukan perbandingan-perbandingan (muqaranah) pada

setiap pembahasan hukum yang di dalamnya banyak terjadi

perbedaan pendapat, namun pada kesimpulan akhirnya al-Jassas

kerapkali mengunggulkan pendapat dari kalangan mazhab

Hanafi.

Mengasumsikan bahwa penulisan sebuah tafsir akan

steril dari subjektifitas atau kepentingan penulisnya adalah hal

yang hampir mustahil. Hal itu dikarenakan aktivitas penafsiran

berlangsung dalam kesadaran individual yang telah

terkondisikan oleh banyak faktor misalnya latar belakang, sosio

historis, pendidikan bahkan aliran atau mazhab tertentu baik

dalam konteks teologis atau pemahaman hukum (Mazhab).

Penafsir pada umunya telah memiliki motif-motif tertentu

dalam melakukan penafsiran yang mempengaruhi objektifitas

penafsirannya37

.

Contohnya para ahli hukum, di dalam alam bawah

sadarnya telah terbentuk pemahaman hukum tertentu sehingga

pada saar menafsirkan al-Qur‟an maka corak hukum pun akan

37

Wardani, “Obyektivitas dan Subyektivitas Tafsir Teologis:Dari

Metode Konvensional “Ulum al-Qur‟ân hingga Hermeneutika Nasr Hamid

Abu Zayd” Ilmu Ushuluddin, Vol. 6 No. 2, Juli 2007.

151

muncul. Dalam konteks yang paling subjektif, penafsir

menggunakan ayat-ayat al-Qur‟an untuk mendukung

pendapat/mazhab yang dianutnya, sehingga mereka menjadikan

al-Qur‟an mengikuti pendapatnya, bukannya menjadikan al-

Qur‟an sebagai dasar dan pendapatnya mengikuti tuntunan al-

Qur‟an38

.

1. Tingginya Subjektifitas Tafsir al-Jassas

Jika melihat subjektifitas tafsir yang dilakukan oleh al-

Jassas yang menyebabkan munculnya fanatisme dan taklid

maka ada dua aspek penting yang perlu dilihat yaitu Pertama

latar belakang kehidupan al-Jassas dan Kedua sumber-sumber

penulisan al-Jassas.

Aspek latar belakang al-Jassas telah penulis uraikan

secara komprehensif pada bab sebelumnya. al-Jassas dilahirkan

pada tahun 305 Hijriah. Pada masa perkembangan ilmu

pengetahuan keIslaman terutama ilmu hukum sudah

menunjukkan era yang cukup mapan. Sendi-sendi pembahasan

ilmu hukum telah diletakkan dengan kokoh oleh para ulama

pendiri mazhab. Para ulama pada saat ini tidak lagi berkutat

pada ide-ide baru dalam meletakkan sendi-sendi ilmu ushul

namun lebih pada melakukan pengembangan dan penyusunan

kaidah-kaidah yang telah ada. Para ulama banyak melakukan

penjelasan atau bahkan meringkas kitab-kitab hasil karya ulama

terdahulu. Pada masa ini justru tumbuh subur mazhab-mazhab

hukum yang diikuti oleh para ulama. Berkurangnya ide-ide baru

pengembangan ilmu pengetahuan cenderung membuat umat

Islam bertaklid pada apa yang sudah ada sehingga

memunculkan fanatisme antar mazhab terutama mazhab-

mazhab fikih.

Menurut para ahli sejarah hukum, masa kelahiran al-

Jassas adalah masa yang bertepatan pada penghujung akhir dari

era keemasan Islam39

. Era ini bukan ditandai dengan

38

M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, h. 368. 39

Jaih Mubarok, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, h. 132.

152

berkurangnya karya-karya para ulama dilihat dari segi penulisan

namun berkurangnya ide-ide segar penulisan karya ilmiah

sehingga yang disusun adalah penjelasan atau ringkasan karya

ulama terdahulu. al-Jassas melakukan hal yang sama

sebagaimana dilakukan oleh para ulama-ulama mazhab di

masanya. Mereka memberikan penjelasan-penjelasan terhadap

matan-matan yang dibuat oleh ulama-ulama terdahulu atau

meringkas kitab-kitab ulama terdahulu agar memudahkan untuk

dipahami oleh umat Islam pada masa itu.

Latar belakang al-Jassas yang sesuai dengan yang

digambarkan para ahli sejarah Islam membenarkan sikap

fanatisme yang mempengaruhi corak penafsirannya. Pada masa

al-Jassas telah terbentuk polarisasi mazhab-mazhab hukum

yang telah mapan sehingga masing-masing pendukung mazhab

telah memiliki pegangan dan ikatan yang kuat yang cenderung

memberikan pembelaan terhadap mazhabnya masing-masing.

Wujud pembelaannya ini dapat terlihat dari hasil karya-karya

yang telah terpolarisasi dalam karya-kaya fikih mazhab

termasuk juga pada penafsiran-penafsiran ayat-ayat hukum.

Pengaruh latar belakang al-Jassas adalah faktor penting

mengapa fanatisme itu ada dalam beberaapa aspek pembahasan

tafsirnya. Hal ini ia lakukan dengan memberikan pembelaan

berlebihan terhadap pendapat mazhab yang dianutnya,

melakukan ta‟wil terhadap dalil-dalil tertentu baik dalam nash

al-Qur‟an maupun hadis agar bisa digunakan sebagai penguat

pendapat mazhabnya atau untuk melemahkan pendapat mazhab

lain. al-Jassas juga dalam beberapa kesempatan melakukan

penyerangan kepada pribadi ulama lain ketika terjadi perbedaan

pendapat di antara mereka. Hal ini ia lakukan terhadap ulama

mazhab Maliki dan kepada Imam Syafi‟i.

Hal lain yang juga mempengaruhi tingginya subjektifitas

al-Jassas adalah sumber-sumber penulisan utama yang dikutip

oleh al-Jassas. Sebagai seorang ulama yang dikenal dalam

mazhab Hanafi. al-Jassas memang sangat mencolok dalam

memegang teguh mazhab Hanafi. Ini terbukti dalam buku-buku

153

karyanya yang sebagian besar berisi tentang aspek-aspek

hukum dalam corak mazhab Hanafi. Buku-buku yang sangat

mempengaruhi penulisan tafsir Ahkâm al-Qur‟ân yang

merupakan karyanya sendiri adalah Syarh Mukhtasar al-

Karakhy, Syarh Mukhtasar al-Thahawy, Syarh al-Jami‟ li

Muhammad Ibn Hasan, Syarh al-Asma al-Husna, Adab al-

Qadha‟, ushul al-Fiqh dan al-Asyrabah. Sedangkan guru-

gurunya dari kalangan Hanafiah yang juga sangat banyak

dikutip pendapatnya dalam berbagai kesempatan adalah Imam

al-Karakhi dalam bidang fikih dan ushul fiqh, Abdul Baqi ibn

Qani‟, al-Hafidz al-Thabrani, Abi Abbas al-Asom dan al-Hakim

dalam bidang hadis, Abi Ali al-Farisi, Abi Umar Ghulam

Tsa‟lab al-Nahwi dan Abi Sahl al-Djujaji dalam bidang bahasa.

Al-Karakhi, gurunya dalam bidang fikih dan ushul fiqh sangat

mempengaruhi pemikiran al-Jassas dan banyak disebut dalam

penafsirannya pada kitab Ahkâm al-Qur‟ân. Al-Karakhi ini

adalah salah satu ulama besar mazhab Hanafi yang sangat

fanatik. Dalam satu kesempatan, al-Karakhi pernah mengatakan

bahwa setiap ayat atau hadis yang menyalahi pendapat di

kalangan hanafiah maka ayat tersebut harus di ta‟wil atau di

nasakh40

.

2. Komentar para Ulama terhadap Fanatisme al-

Jassas

Tak ada gading yang tak retak. Begitulah mungkin

penggambaran yang cocok untuk sedikit cela yang ada pada

tafsir Ahkâm al-Qur‟ân. Terlepas dari kualitas yang dimiliki

oleh tafsir tersebut jika dilihat dari isinya yang menggambarkan

corak fikih yang komprehensif, Ahkâm al-Qur‟ân tidak bisa

melepaskan diri dari identitasnya sebagai sebuah tafsir yang

condong kepada mazhab Hanafiah. Keberpihakan pada mazhab

ini dapat banyak dilihat pada isi tafsirnya sebagaimana telah

penulis uraikan dan contohkan sebelumnya.

40

al-Dzahabi, Al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, Juz 2, h. 381

154

Para ulama pun mengomentari fanatisme yang kentara

pada tafsir ini. Di antara ulama yang berkomentar adanya

fanatisme dalam penulisan tafsir Ahkâm al-Qur‟ân ini adalah

Muhammad Hussein al-Dzahabi dalam bukunya yang menjadi

pedoman banyak penuntut ilmu di bidang ulûm al-Qur‟ân yaitu

kitab Tafsĭr wa al-Mufassirûn. al-Dzahabi memberikan

beberapa contoh-contoh penafsiran yang cenderung beraroma

fanatisme.

Contoh-contoh penafsiran yang cenderung beraroma

fanatisme adalah penafsiran Qs. Al-Baqarah [2]:186. Pada ayat

ini al-Jassas berusaha dengan keras menjadikan ayat ini sebagai

dalil bahwa orang-orang yang telah memulai puasa sunnah,

wajib untuk menyempurnakan puasanya hingga berbuka. Ayat

lain yang dicontohkan oleh al-Dzahabi adalah Qs. Al-Baqarah

[2]:232. Pada ayat ini al-Jassas berusaha berdalil dengan ayat

ini dari beberapa aspek bahwa pernikahan wanita yang juga

bisa dilakukan tanpa wali dan tanpa izin dari walinya. Ayat lain

yang menjadi contoh adalah Qs. Al-Nisa [4]: 2 dan 6 yang ia

jadikan dalil bagi mazhab Hanafi sebagai kewajiban

memberikan harta anak yatim apabila telah sampai umur 25

tahun41

.

Ulama lain yang berpendapat sama adalah Manna al-

Qattan. al-Qattan mengatakan bahwa al-Jassas memiliki

fanatisme yang kental terhadap mazhabnya sehingga berefek

pada penafsiran dan pentakwilan suatu ayat. Akibatnya,

penafsiran yang dilakukannya bias mazhab. al-Jassas dianggap

ekstrim dalam membantah pendapat-pendapat yang berbeda

dengannya. Beliau berpendapat bahwa al-Jassas terlalu keras

dalam memberikan bantahan-bantahan atau pembelaan

terhadap mazhab yang dia anut dalam tafsirnya. Orang-orang

yang membacanya pun akan merasa jengah dan enggan karena

terlalu kasar dan kerasnya pembelaan terhadap mazhab yang

dianutnya42

.

41

al-Dzahabi, Al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, Juz 2, h.386-387 42

al-Qattan, Pengantar Studi al-Qur‟ân, h. 469.

155

Sebagai respon dari pembelaan berlebihan yang

dilakukan oleh al-Jassas, ulama dari golongan syafi‟iyah yang

juga mengarang kitab tafsir dengan corak hukum mengecam

keras sikap permusuhan yang ditunjukkan oleh al-Jassas

terhadap pemahaman mazhab Syafi‟i dan kepada sang pendiri

mazhab Syafi‟i. Beliau adalah al-Kiyâ al-Harrasi. Al-Harrasi

juga merupakan ulama yang fanatik terhadap mazhabnya

sehingga merasa berkepentingan untuk menjawab tuduhan-

tuduhan dan klaim-klaim keras yang diberikan oleh al-Jassas

dalam penulisan tafsirnya. Kiya al-Harrassi membalas apa yang

dilakukan oleh al-Jassas terhadap Imam Syafi‟I melalui

tafsirnya sendiri yang juga bercorak hukum43

.

43

al-Kiyâ al-Harrâsi, Ahkâm al-Qur‟ân, (Lebanon: Maktabah al-

„Ilmiyah, 1983) h. 393.

156

157

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan penelitian yang telah penulis lakukan,

fanatisme mazhab dalam tafsir ahkâm al-Qur’ân karya al-Jassas

itu memang ada. Bentuk fanatisme dalam tafsir tersebut adalah

adanya pembelaan yang berlebihan sehingga mengurangi

objektifitas al-Jassas dalam melakukan istinbath hukum.

Pembelaan ini dilakukan oleh al-Jassas pada saat menguraikan

dalil-dalil hukum yang berbeda dengan pendapat mazhab-

mazhab lain. Fanatisme al-Jassas juga ditunjukkan dengan

melakukan tindakan yang merendahkan bahkan melecehkan

pendapat orang lain yang berbeda dengan kata-kata yang kasar

yang tidak mencerminkan toleransi terhadap perbedaan

pendapat yang terjadi di antara umat Islam.

Penelitian ini juga menemukan bahwa penafsiran-

penafsiran ayat-ayat hukum yang memiliki bias fanatisme akan

menyebabkan masuknya penafsiran-penafsiran yang mengan-

dung kecacatan atau penafsiran-penafsiran al-Dakhil.

B. Rekomendasi

Berdasarkan kesimpulan penelitian yang penulis

lakukan di atas, bias fanatisme sangat mungkin muncul dalam

sebuah penafsiran. Tafsir Ahkâm al-Qur’ân al-Jassas tidak

diragukan kualitas dan kredibilitasnya dan banyak digunakan

sebagai pedoman dalam ilmu fikih karena coraknya yang sangat

kental dengan aspek fikih. Namun begitu kitab ini tidak bisa

menghindar dari banyaknya konten fanatisme sehingga

mengurangi kualitas penulisan tafsir tersebut. Oleh karenanya

fakta bahwa adanya realitas fanatisme dalam penulisan sebuah

tafsir memunculkan pandangan bahwa diperlukannya suatu

mekanisme terperinci dan komprehensif agar ke depan dapat

disusun sebuah pedoman kritik tafsir yang dapat membantu

158

penafsir atau para pengkaji tafsir untuk menghasilkan kualitas

tafsir atau pembacaan tafsir yang lebih objektif.

Metode kritik tafsir ini bisa di susun dengan

memasukkan aspek fanatisme sebagai bagian dari konsep al-

Dakhil dalam al-Qur’ân dengan definisi dan batasan yang bisa

diterima secara objektif dan ilmiah. Dengan begitu para penafsir

dan pengkaji tafsir dapat berpedoman pada suatu konsep

metode kritik tafsir yang ilmiah sehingga dapat mencegah

penulisan tafsir yang bias fanatisme dan mengurangi resiko

penulisan tafsir yang subjektif dan parsial.

159

DAFTAR PUSTAKA

Abu Suhbah, Muhammad Ibn Muhammad, al-Isrâîliyyât wa al-

Maudûât fî kutub al-Tafsîr. Mesir: Dâr al-Sunnah, 1408

H.

al-Asfahânî, al-Râghib. Mu’jam Mufradât Alfâzh al-Qur’ân,

Beirut Dâr al-Fikr. T.t

Baidan, Nashruddin. Wawasan Baru Ilmu Tafsir, (Yogyakarta:

Pustaka Pelajar, 2011

Bogdan, Robert C. & Sari Knopp Biklenn. Qualitative Research

for Education: An Introduction to Theory and

Methode. London: Allyn and Bacon, Inc, 1982.

Al-Dzahabi, Muhammad Hussein. al-Isrâiliyyât fî al-Tafsîr wa

al-hadîs. Kairo:Maktabah al- Wahbah, t.t.

_______. al-Tafsȋr wa al-mufassirûn. Mesir, Daar al-

Hadits,2005. vol. 1

_______. al-ittijâhât al-munharifat fî al-Tafsîr al-Qur’ân al-

Karîm: Dawâfiuha wa Dafâuha. Kairo: M aktabah al-

Wahbah, 1986.

Hadi, Amirul & H. Haryono. Metodologi Penelitian

Pendidikan. Bandung: Pustaka Setia, 1998.

Hallaq, Wael B. Sejarah Teori Hukum Islam: Pengantar untuk

Ushul Fiqh dan Mazhab Sunni, Penerjemah E.

Kusnadiningrat, Abdul Haris bin Wahid Jakarta:

RajaGrafindo Persada, 2000.

Haq, Abdul, dkk. Formulasi Nalar Fiqh: Telaah Kaidah Fiqh

Konseptual, Cet. II, Surabaya: Khalista, 2006

Hitti, Philip K. History of Arab. Penerjemah R. Cecep Lukas

Yasin dan Dedi Slamet Riyadi. Jakarta: Serambi, 2008,

Cet. I

Iyaziy, Muhammad Ali. al-Mufassirûn: Hayâtuhum wa

manhâjuhum, Teheran: Kementrian Pendidikan dan

Kebudayaaan Islam, 1386 H.

160

al-Jassas, Abu Bakr Ahmad Ibn „Alî al-Râzî, Ahkâm al-Qur’ân.

Beirut: Al-Ihya al-Turats al-„Arabi‟. 1992.

Ka‟bah, Rifyal. Penegakan Syariat Islam di Indonesia, Jakarta:

Khairul Bayan, 2004.

_______. Hukum Islam di Indonesia Perspektif Muhammadiyah

dan NU, Jakarta: Universitas Yarsi, 1999.

Kultsum, Lilik Ummi dan Ghazali, Abd. Moqsith. Tafsir Ayat-

ayat Ahkam, Ciputat: UIN Press, 2015.

Khalilupethes, Shafwat Mustafa. Al-Imam Abu Bakar al-Râzî

al-Jassas wa Manhajuhu fî al-tafsîr. Kairo: Dâr al-

Salâm, 2008.

al-Khâlidi, Shalah Abd al-Fattah, al-Tafsîr al-Maudhû’î Baina

al-Zurriyah wa al-Tatbîq. Dâr al-Nafâis, 1997.

al-Kiyâ al-Harrâsi, Ahkâm al-Qur’ân, Lebanon: Maktabah al-

„Ilmiyah, 1983.

Krippendorf, Klaus. Content Analysis: An Introduction to its

Methodology. California: Sage Publication, 2004.

Mahmud, Mani‟Abd Halim. Metodologi Tafsir: Kajian

Komprehensif Metode Para Ahli Tafsir, terj. Syahdianor

dan Faisal Saleh. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2006.

Mas‟adi, Ghufron A. Pemikiran Fazlur Rahman tentang

Metodologi Pembaharuan Hukum Islam, Jakarta:

Rajawali Press, 1997.

Mibadi, Muhammad Fakir. Ayat-ayat Hukum dalam Pandangan

Imamiyah dan Ahlusunna., Penerjemah Sirojudin,

Jakarta: Nur Huda, 2014.

Mubarok, Jaih. Sejarah dan perkembangan Hukum Islam.

Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2000.

Nasution, Harun. Falsafat dan Mistisisme Islam. Jakarta: UI-

Press, 1973.

Nawawi, Hadari. Metodologi Penelitian Bidang Sosial.

Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1991.

161

Qadir, Jum‟ah Ali Abdul. al-Dakhîl Fi al-Dirasah al-

Manhajiyah wa al-Namadij al-Tatbiqiyah. Kairo:Al

Azhar Press, 2006.

al-Qaradâwi, Yusuf. Fiqih Maqashid Syariah. Penerjemah Arif

Munandar Riswanto. Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2006.

_______. Fiqh Perbedaan Pendapat. Penerjemah Aunur Rafiq

Shaleh Tamhid. Jakarta: Rabbani Press.1990.

al-Qattan, Manna. Pengantar Studi Ilmu al-Quran. Penerjemah

Aunur Rafiq el-Mazni. Jakarta: Pustaka al-Kautsar,

2006.

________. Sejarah Legislasi Hukum Islam. Penerjemah

Habibussalam. Jakarta:Ummul Qura, 2018.

Rohman, Izza. Tafsîr al-Qur’ân bi al-Qur’ân: Sectraian

Tendencies in al-Tabatba’î’s al-Mîzân and al-Shanqîtî’s

Adwâ’ al-Bayân. Ciputat: Al-Wasat Publishing House,

2016.

Sopyan, Yayan Tarikh Tasyri’: Sejarah Pembentukan Hukum

Islam, (Depok: Gramata Publishing, 2010.

Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam

Indonesia. Jakarta: Djambatan, 1992.

Wehr, Hans. A Dictionary of Modern Written Arabic, London:

Macdonald &Evans Ltd., 1980.

al-Suyuti, Jalalluddin. al-Itqan fi al-Ulûm al-Qur’an.

Beirut:Daar al-Kutub al-Alamiyah, 2015.

Shihab, M.Quraish. Kaidah Tafsir : Syarat, Ketentuan, dan

Aturan yang Patut Anda Ketahui dalam Memahami

Ayat-Ayat al-Qur’an. Tangerang:Lentera Hati, 2013.

Shihab, Umar. Kontekstualitas Al-Qur’ān, Kajian Tematik atas

Ayat-Ayat Hukum dalam Al-Qur’ān. Jakarta:

Penamadani, 2003.

al-Shiddiqi, T.M Hashbi. Pokok-pokok Pegangan Imam-imam

Madzhab dalam Membina Hukum Islam. Jakarta: Bulan

Bintang, 1973.

Syuhbah, Muhammad abu. al- Isrâiliyyât wa al-Maudu’at fî

Kutub al-Tafsîr. Kairo:Maktabah al-Sunnah, 1408 H.

162

Sirry, Mun‟im A. Sejarah Fiqih Islam : Sebuah Pengantar,

(Surabaya: Risalah Gusti, 1995.

al-„Ulwani, Thaha Jabir Fayadl 1987. Adab al-Ikhtilaf fi al-

Islam. Washington: The International Institute of

Islamic Thought.

al-Zuhaili, Wahbah. Tafsir al-Munir: Aqidah, Syari’ah, dan

Manhaj Jilid 3. Penerjemah Abdul Hayyie al Kattani

dkk (Jakarta: Gema Insani Press, 2005.

Zuhri, Muhammad. Hukum Islam dalam Lintasan Sejarah.

Jakarta: Rajawali Press. 1997.

Majalah Ka’bah,

Rifyal “Islamic Law”, dalam majalah triwulan Muslim

Executive & Expatriate, Jakarta, Muharram 1, 1420 H.

Artikel

Saeedullah, “Life and Works of Abu Bakr al-Razi al-Jassas”,

Islamic Studies, Vol. 16, No. 2, 1997.

Moh. Sabiq dan Dyah Ayu Fitriani, “Kajian Kritis Atas Ahkâm

al-Qur‟ân Karya al-Jassas” (W.370 H.), Program Studi

Ilmu al-Qur‟an dan Tafsir, Sekolah Tinggi Agama Islam

Sunan Pendanaran.

Wardani, “Obyektivitas dan Subyektivitas Tafsir Teologis:Dari

Metode Konvensional Ulum al-Qur’ân hingga

Hermeneutika Nasr Hamid Abu Zayd” Ilmu

Ushuluddin, Vol. 6 No. 2, Juli 2007.

163

IDENTITAS PENULIS

MUQTHI ALI, dilahirkan pada tanggal

24 Januri 1983. Beliau berhasil

mendapatkan gelar Sarjana dibidang

ilmu Hukum dari Fakultas Hukum

Universitas Indonesia Pada Tahun 2005

dan berhasil mendapatkan gelar

Magister Agama di bidang Ilmu al-

Qur’an dan Tafsir dari Fakultas

Ushuluddin Universitas Islam Negeri

Jakarta.

Pada saat ini beliau aktif sebagai

Advokat dan Konsultan Hukum pada

salah satu firma hukum terkemuka di Indonesia Umbra

Partnership. Beliau menunjukkan minat pada bidang ilmu

Hukum, Hukum Islam serta Ilmu al-Qur’an dan Tafsir.

Spesialisasi bidang hukumnya adalah Foreign Investment.

Beliau aktif sebagai penggiat Good Corporate Governance

serta tercatat sebagai Certified Sustainable Reporting Specialist

yang dikeluarkan oleh National Center for Sustainability

Reporting. Beliau memiliki pengalaman panjang dalam bidang

konsultasi GCG dan telah berkarier sebagai Executive Secretary

pada Forum for Corporate Governance in Indonesia selama

lebih dari 4 tahun.

Sebagai seorang profesional muda, Muqthi Ali telah

aktif terlibat dalam kegiatan pengembangan GCG baik yang

berskala nasional maupun internasional seperti Asean

Rountable on Corporate Governance dan OECD Network on

State Owned Enterprises. Muqthi Ali juga pernah menjabat

sebagai Legal Manager pada Lembaga Kamar Dagang Eropa

yaitu Belgium, Netherlands Luxemborg Charmber of Commerce

dan Legal Adviser pada PT Pertamina Patra Niaga.