fanatisme mazhab dalam tafsir...
TRANSCRIPT
FANATISME MAZHAB DALAM TAFSIR HUKUM:
STUDI TAFSIR AHKÂM AL-QUR’ÂN AL-JASSAS
Penulis : Muqthi Ali, SH., M.Ag
Desain Cover : Dicky Hasbi
Tata Letak : Nurkholis Sofwan
Cetakan : Pertama, Agustus 2019
Ukr. 14,5 x 21 cm --- xiv + 163 Hal
ISBN : 978-602-5707-24-7
Diterbitkan Oleh:
Gaung Persada Press
Ciputat Mega Mall Blok C/15
Jl. Ir. H. Juanda No. 34 Ciputat – Tangerang Selatan
Telp. 021 747 075 60, Hp. 081510020395
Email: [email protected]
ANGGOTA IKAPI
© Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
(All Right Reserved)
iii
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah
Swt yang telah memberikan hidayah, rahmat dan ilmu-Nya
kepada penulis, serta berkat-Nya lah penulisan Tesis ini dapat
terselesaikan dengan baik. Salawat dan salam semoga
senantiasa terlimpahcurahkan kepada Nabi Muhammad Saw,
yang telah membina umat manusia menuju jalan yang diriḍai
Allah Swt, dan semoga kita menjadi salah satu umat yang
mendapatkan syafaatnya di akhirat kelak. Amiin
Dalam menyelesaikan Tesis yang berjudul “Fanatisme
Mazhab Dalam Tafsir Hukum (Studi Tafsir Ahkâm Al-Qur’ân
Al-Jassas)” ini tentunya banyak melibatkan berbagai pihak,
maka dari itu penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada:
1. Prof. Dr. Hj. Amany Burhanudin Umar Lubis, Lc., M.A.
selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Yusuf Rahman, M.A, selaku Dekan Fakultas
Ushuluddin, beserta para Wakil Dekan Fakultas
Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Dr. Bustamin, M.Si, selaku Ketua Program Magister
Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin, dan Dr. Fudhoili,
M.Ag, selaku Sekretaris Program Magister Tafsir Hadis
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Dr. Lilik Ummi Kultsum M.Ag dan Dr. Ahsin Sakho
Muhammad selaku Pembimbing I dan II,
5. Segenap dosen civitas akademika Program Magister
Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
khususnya Program Magister Tafsir Hadis yang tidak
dapat penulis sebutkan satu persatu, atas ilmu dan
motivasi yang telah diberikan selama penulis menempuh
studi di kampus kebanggaan ini.
6. Kedua orang tua penulis, atas didikan, bimbingan,
motivasi, dukungan, semangat dan do‟a restunya kepada
penulis selama ini. Semoga Allah Swt senantiasa
iv
memberikan rahmat, kesehatan dan keselamatan kepada
keduanya di dunia dan akhirat. Amiin. Selanjutnya
kepada istri tercinta penulis (Misra Dewita, S.H., M.H)
atas bantuan, dukungan, dan do‟anya untuk penulis.
7. Kawan-kawan Program Magister Tafsir Hadis angkatan
2015, atas perjuangan dan semangatnya selama di kampus
tercinta ini.
Penulis mengharapkan ridha Allah Swt, semoga pihak-
pihak yang telah membantu dalam penyelesaian Tesis ini dinilai
sebagai amal ibadah yang terus mengalir sepanjang hayat.
Akhir kata, semoga tulisan ini bermanfaat bagi para pembaca
sekalian, dan menjadi bahan evaluasi bagi penulis pada
penelitian selanjutnya.
Ciputat, 13 Juni 2019
Muqthi Ali
v
PEDOMAN TRANSLITERASI (ARAB-LATIN)
Tesis ini menggunakan Pedoman Transliterasi Arab-Latin
sebagai berikut:
A. Padanan Aksara
Huruf Arab Huruf Latin Keterangan
Tidak dilambangkan ا
B Be ب
T Te ت
Ts Te dan Es ث
J Je ج
H Ha dengan garis di bawah ح
Kh Ka dan Ha خ
D De د
Dz De dan Zet ذ
R Er ر
Z Zet ز
S Es س
Sy Es dan Ye ش
S Es dengan garis di bawah ص
D De dengan garis di bawah ض
T Te dengan garis di bawah ط
vi
Z Zet dengan garis di bawah ظ
„ عKoma terbalik di atas hadap
kanan
Gh Ge dan Ha غ
F Ef ف
Q Ki ق
K Ka ك
L El ل
M Em م
N En ن
W We و
H Ha ه
Apostrof ` ء
Y Ye ى
B. Vokal
Vokal dalam bahasa Arab, seperti vokal bahasa
Indonesia, terdiri dari vokal tunggal (monoftong) dan vokal
rangkap (diftong).
Untuk vokal tunggal, ketentuan alih aksaranya adalah
sebagai berikut:
vii
Tanda Vokal
Arab
Tanda Vokal
Latin Keterangan
--- A Fathah
--- I Kasra
--- U Dammah
C. Vokal Rangkap (Madd)/Diftong
Arab Nama Latin Keterangan
ي--- Fathah dan Ya Ai a dan i
و--- Fathah dan Waw Au a dan u
D. Vokal Panjang (Madd)
Arab Nama Latin Keterangan
ى---ا--- Fathah diikuti oleh
alif atau ya Â
a dengan tanda
di atas
و--- Dlammah diikuti
oleh waw Û
u dengan tanda
di atas
ي--- Kasrah diikuti ya Î i dengan tanda
di atas
E. Kata Sandang
Kata sandang yang dalam aksara Arab dilambangkan
dengan ال ditransliterasikan menjadi -al- baik diikuti oleh huruf
viii
syamsiyyah, maupun huruf qamariyyah. Misalnya الفيل (al-fîl)
dan الشمس (al-Syams bukan asy-Syams), al-Rijâl bukan ar-
Rijâl, al-Diwân bukan aḍ-Diwân.
F. Syaddah (Tasydīd)
Syaddah atau tasydîd yang dalam sistem tulisan Arab
yang dilambangkan dengan sebuah tanda ( ___ (, dalam
transliterasi ini dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan
menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan
tetapi, hal ini tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda
syaddah itu terletak setelah kata sandang yang diikuti oleh
huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya, kata ة ور ر -tidak ditulis aḍ الض
Darûrah, melainkan al-Darûrah, demikian seterusnya.
G. Ta Marbûṭah
Berkaitan dengan transliterasi ini, jika huruf ta marbûṭah
terdapat pada kata yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut
dialihaksarakan menjadi huruf /h/ (lihat contoh no.1 di bawah).
Hal yang sama juga berlaku jika ta marbûṭah tersebut diikuti
oleh kata sifat (naʻt) (lihat contoh no.2). Namun, jika huruf ta
marbūṭah tersebut diikuti kata benda (ism), maka huruf tersebut
dialihaksarakan menjadi huruf /t/ (lihat contoh no.3).
Contoh:
No. Kata Arab Transliterasi
ṭarîqah طريقة 1
2
-al-Jâmiʻah al الجامعة اإلسالمية
Islâmiyyah
waḥdat al-Wujûd وحدة الوجود 3
ix
H. Huruf Kapital
Meskipun dalam sistem tulisan Arab huruf kapital
dikenal, dalam transliterasi ini huruf kapital ini juga digunakan,
dengan mengikuti ketentuan yang berlaku dalam Ejaan Yang
Disempurnakan (EYD) bahasa Indonesia, antara lain untuk
menuliskan permulaan kalimat, huruf awal nama tempat, nama
bulan, nama diri dan lain-lain. Penting diperhatikan, jika nama
diri didahului oleh kata sandang, maka yang ditulis dengan
huruf kapital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf
awal atau kata sandangnya. Contoh: Abû Hâmid al-Ghazâlî,
bukan Abû Hâmid Al-Ghazâlî, al-Kindi bukan Al-Kindi.
xi
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR_iii
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN_v
DAFTAR ISI _xi
BAB I: PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah_1
B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah_9
C. Tujuan Penelitian_12
D. Manfaat Penelitian_12
E. Tinjauan Pustaka_13
F. Metodologi Penelitian_15
G. Sistematika Penulisan_19
BAB II: KONSEP DAN METODOLOGI TAFSIR
HUKUM SERTA RELEVANSINYA TERHADAP
FANATISME MAZHAB
A. Konsep dan Metodologi Penulisan Tafsir Hukum_25
1. Terminologi Tafsir Hukum_25
2. Metodologi Penulisan Tafsir Hukum_29
B. Al-Qur’ân sebagai Sumber Hukum_31
1. Hukum dalam Perspektif al-Qur’ân_37
2. Kandungan Ahkâm di dalam al-Qur’ân_41
3. Al-Qur’ân sebagai Dokumen Hukum_46
4. Al-Qur’an dan Perubahan Sosial_49
C. Periodisasi Perkembangan Tafsir Hukum_52
1. Sejarah Perkembangan Tafsir Hukum pada Masa
Rasûlullâh_52
2. Sejarah Perkembangan Tafsir Hukum Pada Masa
Sahabat dan Tabi’ȋn_56
3. Sejarah Perkembangan Tafsir Hukum Pada Masa
Berkembangnya Mazhab-Mazhab Fikih_ 62
xii
4. Sejarah Perkembangan Tafsir Hukum Pada Masa
Berkembangnya Taqlid dan Fanatisme
Mazhab_67
D. Perkembangan Mazhab-Mazhab dan Pengaruhnya
pada Polarisasi Kajian Tafsir Hukum_72
1. Penyebab Perbedaan Pendapat di kalangan Ahli
Hukum Islam _73
2. Proses Pembentukan Mazhab Hukum Islam_77
3. Perkembangan Polarisasi Mazhab Hukum
Islam_80
4. Polarisasi Mazhab dan Relevansinya dengan
Fanatisme Mazhab pada Produk Tafsir
Hukum_84
BAB III: KONSEP DAN METODOLOGI TAFSIR
AHKÂM AL- QUR’ÂN KARYA AL-JASSAS
A. Al-Jassas dan Pemikiran Tafsirnya_89
1. Biografi Singkat al-Jassas_89
2. Karya Ilmiah al-Jassas_92
3. Corak Penafsiran dan Kecendrungan Mazhab
dalam Tafsir Ahkâm al-Qur’ân_93
B. Aspek Metodologis dalam Tafsir Ahkâm al-Qur’ân
Karya al-Jassas_97
1. Metode Tahlîly dalam Penulisan Tafsir Ahkâm
al-Qur’ân_98
2. Tematisasi Ayat-ayat dalam Tafsîr Ahkâm al-
Qur’ân _100
3. Penggunaan Sumber Tafsîr bi al-Ma’tsûr dalam
Tafsir Ahkâm al-Qur’ân_104
4. Penggunaan Sumber Tafsîr bi al-Ra’yî dalam
Tafsir Ahkâm al-Qur’ân_107
C. Pokok-Pokok Pembahasan dalam Penulisan Ahkâm
al-Qur’ân 110
1. Mekanisme Pembahasan Hukum Tafsir Ahkâm
al-Qur’ân_111
xiii
2. Pembahasan Perkara Aqidah pada Tafsir Ahkâm
al-Qur’ân_115
3. Sikap al-Jassas dalam Menyikapi Perbedaan
Pendapat dalam Tafsir Ahkâm al-Qur’ân_122
BAB IV: REALITAS FANATISME MAZHAB DALAM
TAFSÎR AHKÂM AL-QUR’ÂN KARYA AL-JASSAS A. Bukti-bukti Fanatisme Mazhab dalam Penafsiran
Ahkâm al-Qur’ân Karya al-Jassas_125
1. Legitimasi Nikah Tanpa Wali pada
Qs. al-Baqârah [2]: 232_126
2. Hukum Khamr pada Qs. al-Baqârah [2]:
219_132
B. Fanatisme dan Keterpengaruhan Mazhab Hanafi
dalam Penafsiran Ahkâm al-Qur’ân Karya al-
Jassas_139
1. Pembelaan Berlebihan terhadap Mazhab
Hanafi_140
2. Pengaruh Mazhab Hanafi dalam metode
Istinbath Hukum_148
C. Penilaian terhadap Ahkâm al-Qur’ân Karya al-
Jassas_150
1. Tingginya Subjektifitas Tafsir al-Jassas_151
2. Komentar para Ulama terhadap Fanatisme al-
Jassas_153
BAB V: PENUTUP
A. Kesimpulan_157
B. Rekomendasi_157
DAFTAR PUSTAKA_159
IDENTITAS PENULIS_163
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kelahiran ilmu tafsir sangat erat kaitannya dengan
bagaimana cara para ulama merespon kemukjizatan Al-Qur’ân1.
Mukjizat yang luar biasa dari al-Qur’ân memerlukan
pemahaman yang lebih komprehensif baik pemahaman tekstual
maupun kontekstual. Corak penafsiran pun dalam perkem-
bangannya melahirkan aneka metode yang beraneka ragam.
Jika dilihat berdasarkan metodologi penulisannya, maka dikenal
metodologi penulisan tafsir Tahlȋly,2 Ijmâly
3, Muqârin
4 serta
1 Fahmi Salim, Kritik Terhadap Studi Al-Quran Kaum Liberal,
(Jakarta:Perspektif, 2010), h. 81.
2 Tafsir Tahlȋly adalah metode penafsiran yang berusaha
menjelaskan kandungan ayat-ayat al-Qur’an dari berbagai seginya, sesuai
dengan pandangan, kecendrungan, dan keinginan mufassirnya yang
dihidangkan secara runtut sesuai dengan urutan ayat-ayat dalam mushaf.
Penekanan pembahasan dengan metode tahlily biasanya mencakup
pengertian umum kosakata ayat, Munasabah/hubungan ayat dengan makna
sebelumnya, sabab al-Nuzul (jika ada), makna global ayat, hukum yang
dapat ditarik, yang di dalamnya merangkum berbagai macam pendapat para
ulama mazhab. Selain itu, ada juga mufassir yang melengkapi kajian tafsir
tahlily dengan menyertakan uraian tentang qiraat, i’rab ayat-ayat yang
ditafsirkan, serta keistimewaan susunan kata-katanya. M. Quraish Shihab,
Kaidah Tafsir: Syarat, Ketentuan, dan Aturan yang Patut anda Ketahui
dalam Memahami Ayat-ayat al-Qur’an, (Ciputat: Lentera Hati, 2013) h. 378.
3 Tafsir Ijmâly adalah metode penafsiran yang hanya berusaha
menguraikan makna-makna umum yang dikandung oleh ayat yang
ditafsirkan, namun sang penafsir diharapkan dapat menyajikan makna-
makna dalam bingkai suasana Qur’ani. M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, h.
381.
4 Tafsir Muqârin adalah metode penafsiran yang berupaya
melakukan pembandingan terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang dilihat dari
beberap segi yaitu:
a. Ayat-ayat al-Qur’an yang berbeda redaksinya satu dengan yang
lain, padahal sepintas terlihat bahwa ayat-ayat tersebut berbicara
tentang persoalan yang sama;
2
Maudhu’ȋ5. Sedangkan jika melihat dari sumber-sumber
penulisannya maka tafsir dapat digolongkan menjadi tafsȋr bi
al-Ma’tsur6, tafsȋr bi al-Ra’yȋ
7 dan tafsȋr Isyarȋ
8. Para ulama
juga menambahkan satu model penafsiran lagi yaitu tafsir
b. Ayat yang berbeda kandungan informasinya dengan hadits nabi
shallallahu alaihi wassalam, dan
c. Perbedaan pendapat ulama menyangkut penafsiran ayat yang sama.
5 Tafsîr Maudû’i adalalah metode penafsiran yang mengarahkan
pandangan kepada satu tema tertentu, lalu mencari pandangan al-Qur’an
tentang tema tersebut dengan jalan menghimpun semua ayat yang
membicarakannya, menganalisis, dan memahaminya ayat demi ayat, lalu
menghimpunnya dalam benak ayat yang bersifat umum dikaitkan dengan
yang khusus, yang muthlaq digandengkan dengan yang muqayyad, dan lain-
lain, sambil memperkaya uraian dengan hadits-hadits yang berkaitan
kemudian disimpulkan dalam satu tulisan pandangan yang menyeluruh dan
tuntas yang menyangkut tema yang di bahas tersebut. M. Quraish Shihab,
Kaidah Tafsir., h. 385.
6 Tafsîr bi al-Ma’tsûr adalah tafsir yang berdasarkan pada al-Qur’an
atau riwayat yang shahih sesuai urutan-urutan yaitu melakukan upaya
penafsiran al-Qur’an dengan al-Qur’an (ayat dengan ayat), al- Qur’an
dengan sunnah, perkataan sahabat karena merekalah yang paling mengetahui
Kitabullah, atau dengan pendapat tokoh-tokoh besar tabi’in yang pada
umumnya mereka menerima periwayatannya dari para Sahabat. Manna al-
Qaththan, Pengantar Studi Ilmu al-Qur’an, Penterjemah Ainul Rafiq El-
Mazni, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2015), h. 434.
7 Tafsir bi al-Ra’yi adalah tafsir yang di dalam menjelaskan
maknanya atau maksudnya. Mufassir hanya berpegang pada pemahamannya
sendiri, pengambilan kesimpulan (istinbath) pun didasarkan pada logikanya
semata. M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, h. 440.
8 Tafsir Isyari dikenal juga dengan tafsir sufi. Jenis tafsir ini
berupaya melakukan penafsiran terhadap ayat-ayat al-Qur’an dengan
berupaya menyingkap makna-makna lahir maupun bathin dari teks-teks al-
Qur’an. Makna lahir adalah apa yang segera mudah dipahami akal pikiran
sedangkan makna bathin adalah isyarat-isyarat yang tersembunyi di balik
ayat-ayat al-Qur’an yang hanya dapat dilihat oleh ahli suluk. Menurut kaum
sufi, riyadah ruhani atau spiritual yang dilakukan seorang sufi untuk dirinya
akan mengantarkan kepada suatu tingkatan dimana ia dapat menyingkap
isyarat-isyarat kudus yang terdapat di balik ungkapan-ungkapan al-Qur’an.
M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, h. 447.
3
batinȋ9. Masing – masing jenis tafsir tersebut memiliki metode
dan keunikan tersendiri.
Pada prinsipnya tidak ada batasan yang baku tentang
bagaimana seorang mufassir melakukan penulisan tafsir
meskipun tendensi corak penulisan tafsir dapat dilihat dari
bagaimana fokus isi dari tafsir tersebut. Corak dan isi penulisan
tafsir pun tidak dapat melepaskan diri dari latar belakang
seorang mufassir. Mufassir yang mempunyai latar belakang
sastra atau ilmu nahwu akan cenderung menulis tafsir yang
kental dengan pembahasan sastra. Mufassir yang mempunyai
latar belakang ilmu hadis akan menulis tafsir yang kental
dengan penafsiran ayat-ayat berdasarkan hadist-hadits yang
diketahuinya. Singkatnya, latar belakang dan subjektifitas
seorang penafsir mempunyai pengaruh yang besar terhadap
karya-karya tafsir yang dihasilkan oleh mufassir.
Untuk menghindari penyimpangan-penyimpangan
dalam penafsiran dan untuk meningkatkan objektifitas
penafsiran, para ulama berupaya memberikan syarat-syarat
yang ketat bagi penafsir sehingga kualitas penafsirannya dapat
diterima oleh masyarakat terlepas dari metode yang digunakan
dalam penafsirannya. Imam Suyuti dalam kitabnya al-Itqan fȋ
al-Ulûm al-Qur’ân mengungkapkan tidak kurang dari 15 syarat
untuk menjadi seorang mufassir. Seluruh syarat-syarat tersebut
adalah penguasaan yang mumpuni dalam berbagai cabang ilmu
seperti bahasa dan sastra, logika, ilmu usul fiqh, mustalah
hadȋts dan ilmu-ilmu lainnya10
. Selain syarat-syarat penafsiran,
9 Tafsir bâtini adalah upaya melakukan penafsiran yang melampaui
makna zhahir dari suatu ungkapan ayat dan menganggap bahwa makna
isyaratlah yang dimaksud oleh ayat tersebut. Penafsiran dengan metode ini
juga bisa menganggap bahwa makna lahiriah lafadz itu adalah buat orang-
orang awam, sedang makna batinnya untuk orang-orang khusus. M. Quraish
Shihab, Kaidah Tafsir, h. 373.
10
Jalalluddin al-Suyuti, Al-Itqan fi al-Ulûm al-Qur’an, (Beirut:
Daar al-Kutub al-Alamiyah, 2015) h. 597.
4
para ulama juga menetapkan adab-adab yang harus dipegang
oleh penafsir dalam menafsirkan al-Qur’ân11
.
Syarat yang diajukan oleh Imam Suyûti memang
teramat berat bahkan terkesan menakutkan sehingga para calon
mufassir merasa tidak layak dan mundur secara teratur untuk
melakukan penafsiran terhadap teks-teks suci al-Qur’ân. Namun
sebagian ada juga yang tampil dan tidak memperdulikan syarat-
syarat tersebut lalu dengan segala kemampuan yang ada
mencoba melakukan tafsir terhadap pesan-pesan ilahiah yang
tertuang di dalam al-Qur’ân12
.
Namun begitu ada yang perlu dicermati dari
persyaratan-persyaratan tersebut sehingga minimal apa yang
diutarakan oleh Imam Suyuti dapat dipenuhi sebagai syarat
dalam penafsiran yaitu, Pertama, Syarat yang diajukan oleh
Imam Suyuti adalah syarat bagi para mufassir yang akan
mengemukakan pendapat-pendapat yang baru yang belum
pernah diungkapkan oleh penafsir-penafsir sebelumnya. Kedua,
Syarat-syarat tersebut hanya berlaku untuk mufassir yang akan
melakukan penafsiran ayat al-Qur’an secara komprehensif.
Artinya penafsiran dilakukan terhadap keseluruhan ayat-ayat al-
Quran. Oleh karenanya syarat-syarat yang diajukan oleh Imam
Suyuti tidak berlaku keseluruhan bagi penafsir yang hanya
11 Manna al-Qattan juga mensyaratkan sebanyak sembilan syarat
bagi seseorang sehingga ia layak untuk melakukan penafsiran al-Qur’an.
Selain aspek pengetahuan yang mendalam terhadap ilmu-ilmu yang terkait
dengan al-Qur’an, beliau juga menekankan pada kelurusan aqidah dan
kebersihan seorang mufassir dari hawa nafsu yang dapat mendorong seorang
mufassir untuk membela kepentingan mazhabnya atau melandasi
penafsirannya dengan fanatisme terhadap golongannya. Beliau juga
menetapkan tidak kurang dari sebelas adab yang harus dipegang oleh
seseorang sehingga ia layak disebut sebagai seorang mufassir. Adab-adab
tersebut adalah pada prinsipnya adalah akhlak yang baik dan metodologi
yang dapat dipertanggungjawabkan dalam melakukan penafsiran ayat-ayat
al-Qur’an. Lihat. Manna al-Qattan, Pengantar Studi Ilmu al-Qur’an, h. 416-
417.
12
M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, h.497.
5
melakukan kajian tafsir ayat-ayat al-Quran secara parsial atau
dikenal dengan tafsir Maudu,î.
Ketiga, Persyaratan tentang lurusnya akidah penafsir
perlu direvisi atau diberi pemaknaan yang berbeda. Jika syarat
ini menjadi mutlak maka para orientalis atau non muslim sama
sekali tidak dapat diterima penafsirannya. Syarat ini dapat
diubah pemaknaannya menjadi obyektivitas penafsiran. Maka
siapapun yang objektif maka dapat melakukan penafsiran al-
Quran dengan baik selama syarat minimal sebagai seorang
penafsir telah terpenuhi. Keempat, syarat yang terakhir adalah
diperlukannya pengetahuan terhadap obyek penafsiran. Al-
Quran memiliki banyak ayat-ayat kauniyah yang dapat
menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi di muka bumi itu baik
itu aspek fisik maupun metafisik. Oleh karenanya kemampuan
yang mumpuni dalam bidang ilmu-ilmu tertentu akan sangat
membantu dalam melakukan penafsiran terhadap al-Quran13
.
Meskipun syarat-syarat yang ketat telah diungkapkan
oleh para ulama namun celah-celah kesalahan atau subjektifitas
memang tidak dapat dihindarkan. Minimal dengan syarat-
syarat yang ketat dan metode penafsiran yang benar maka
kesalahan atau penyimpangan dalam penafsiran dapat
diminimalisir.
Celah-celah subyektifitas atau penyimpangan-penyim-
pangan dalam penafsiran al-Qur’an sesungguhnya menjadi
obyek perdebatan para ulama dalam menyikapi keaneka-
ragaman ide-ide atau takwil yang hadir dalam kitab tafsir.
Gejala ini dapat dipahami karena meskipun ada beberapa
metode tafsȋr sebagaimana penulis uraikan di atas namun pada
akhirnya metode tersebut akan tetap memaksimalkan potensi
akal yang diberikan oleh Allâh subhanahu wa ta’ala. Penafsir
akan tetap melakukan ijtihad terhadap teks-teks yang coba ia
uraikan makna-maknanya. Ijtihad dalam penafsiran ini memang
harus dilakukan mengingat manusia harus memaksimalkan
13M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, h. 397.
6
potensi yang ada dalam dirinya. Bahkan Allah mengecam bagi
siapa saja hambanya yang tidak memaksimalkan potensinya14
.
Bedanya pada tafsir bi al-ma’tsur kita wajib percaya bahwa
Rasulullah dan para sahabat diberikan keistimewaan untuk
menafsirkan al-Qur’ân dan kita mengikuti pendapat mereka
sebagai salaf al-salȋh yang diberikan keistimewaan tersebut.
Celah-celah penyimpangan dalam penafsiran al-Quran,
seiring dengan perkembangan zaman semakin meningkat dan
beragam. Penyimpangan-penyimpangan dan pengaruh negatif
yang merusak validitas penafsiran al-Quran menjadi objek
pembahasan tersendiri dalam studi ulûm al-Qur’ân.
Pembahasan tentang penyimpangan atau pengaruh negatif
dalam konten tafsir dikenal dengan al-Dakhîl atau al-Dakhîl fî
ulûm al-Qur’ân. al-Dakhîl menurut bahasa dapat berarti
kerusakan, aib atau penyimpangan sedangkan secara istilah al-
Dakhîl di anggap sebagai suatu bentuk penafsiran al-Qur’ân
dengan metode dan/atau dengan cara yang bukan dari Islam
atau penafsiran yang tidak memiliki orisinalitas agama dari sisi
pemaknaan karena ada unsur kecacatan dalam penafsiran al-
Qur’ân yang ditafsiri secara tiba-tiba (kesengajaan), lalai atau
kontemporisasi penafsiran yang disesuaikan dengan situasi
kondisi kejadian setelah wafatnya nabi Muhammad Saw15
.
Kajian al-Dakhîl dalam disiplin ulûm al-Qur’ân
merupakan konsekuensi logis dari upaya yang berkesinam-
bungan untuk melakukan upaya pen-tanqīh-an atau pember-
sihan tafsîr al-Qur’ân. Upaya ini dilakukan untuk mencegah
segala sesuatu yang menjadikan eksistensi tafsīr al-Qur’ân
menjadi tidak legitimate secara nalar keIslaman karena adanya
faktor-faktor yang mempengaruhinya dan menginternalisasi ke
dalamnya secara destruktif. Urgensi dari upaya tersebut pada
akhirnya terformulasikan dalam satu studi mandiri yang disebut
dengan istilah studi al-Dakhīl.
14 M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, h. 362.
15
Jum’ah Ali Abdul Qadir, al-Dakhil Fi al-Dirasah al-Manhajiyah
wa al-Namadij al-Tatbiqiyah (Kairo:Al Azhar Press, 2006), h. 15.
7
Adanya pengaruh yang destruktif terhadap perkem-
bangan tafsir disebabkan karena tidak adanya pedoman yang
rigid dan metode komprehensif serta terstruktur yang dapat
digunakaan sebagai alat kritik metodologis terhadap tafsir-tafsir
yang ada dan berkembang di masyarakat. Ketiadaan metode
kritik ini membuat ijtihad yang berkembang dalam ranah tafsir
menjadi liar dan tidak terkendali. Kondisi ini berbeda dengan
masa rasulullah, karena pada masa itu pendapat rasulullah atau
tafsir al-Qur’ân yang disampaikan oleh rasulullah juga diyakini
sebagai wahyu dari Allah Subhanahu wata’ala. Pada era ini
tidak terjadi perselisihan yang mencolok walaupun perbedaan
juga tidak dapat dihindari dalam upaya memahami kandungan
makna ayat Al-Qur’ān tersebut, hal itu karena marāji’ utama
sebagai penjelasnya masih hidup sehingga para sahabat dapat
bertanya langsung kepada Rasūlullah sallallahu ‘alaihi
wasallam16
.
Setelah Rasūlullah wafat perbedaan penafsiran yang
berakibat pada perselisihan mulai muncul, dan terus
berkembang seiring rentang waktu yang menjauh dari masa
Rasūlullah. Hal ini dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti
perkembangan ilmu pengetahuan, kebudayaan, kondisi sosial,
kapabilitas mufassir, dan berbagai hal lainnya yang menyangkut
perbedaan metodologi penafsiran yang terdapat dalam banyak
literatur Ulûm al-Qur’ân. Pada akhirnya, wujud perkembangan
penafsiran menjadi sangat kompleks dengan berbagai inovasi
progresif yang menyertainya17
.
Salah satu aspek sosial yang menyebabkan terjadinya
perbedaan tajam dan semakin meruncing dalam penafsiran al-
Quran adalah berkembangnya aliran-aliran atau mazhab-
mazhab di dalam Islam sehingga memunculkan fanatisme di
antara pengikutnya. Fanatisme ini kemudian merambah pada
16
Muhammad Husein al-Ẓahabi, al-Tafsīr wa al-
Mufassirūn (Kairo: Dār Al-Ḥadīṡ, 2005), h. 46-47.
17
Umar Shihab, Kontekstualitas Al-Qur’ān, Kajian Tematik atas
Ayat-Ayat Hukum dalam Al-Qur’ān (Jakarta: Penamadani, 2003), h.3.
8
perbedaan pandangan dalam berbagai aspek kehidupan seperti
sosial, politik, ekonomi bahkan pandangan hukum. Perbedaan
pandangan yang disertai dengan fanatisme menjadi sangat
berbahaya ketika fanatisme tersebut turut mempengaruhi ijtihad
para ulama dan masuk dalam ranah kajian atau penafsiran al-
Qur’ân.
Penulis berminat untuk melakukan kajian lebih
mendalam tentang realitas fanatisme mazhab yang berkembang
di dalam masyarakat Islam terhadap penafsiran al-Qur’ân
terutama penafsiran ayat-ayat hukum yang dilakukan oleh para
fuqaha. Penulis akan secara khusus melakukan kajian terhadap
tafsir hukum yang berjudul Ahkâm al-Qur’ân karya al-Jassas.
Beliau adalah salah seorang tokoh fuqaha yang sangat dikagumi
dari mazhab hanafi.
Tafsir ini menarik untuk dibahas karena isinya mengirim
pesan fanatisme yang sangat kuat sehingga rentan kualitas
objektifitasnya karena sangat bias mazhab. Al-Jassas
memberikan pembelaan yang sangat keras terhadap mazhabnya
dan memberikan respon yang berlebihan terhadap pendapat-
pendapat yang berbeda atau bertentangan dengan mazhabnya18
.
Kuatnya kesan fanatisme yang berlatar belakang mazhab
terhadap tafsir yang disusun oleh al-Jassas membuat tafsirnya
sangat bercorak fiqih bahkan tafsirnya dianggap lebih tepat
dikatakan sebagai kitab fiqih dibanding kitab tafsir. Kesan
pembelaan yang berlebihan terhadap mazhabnya dalam
berbagai kesempatan pembahasan hukum juga membuat
pembaca seperti enggan untuk membaca tafsir beliau yang
berisi kata-kata keras terhadap siapapun yang mempunyai
pendapat berbeda dengan mazhab hanafi19
.
Melalui penelitian ini, penulis berharap dapat
menemukan suatu hubungan pengaruh yang legitimate tentang
realitas fanatisme terhadap kandungan tafsir yang secara khusus
membahas tentang hukum. Penelitian ini juga diharapkan dapat
18
Manna al-Qattan, Pengantar studi ilmu al-Qur’ân, h. 469. 19
Manna al-Qattan, Pengantar studi ilmu al-Qur’ân, h. 469
9
berkembang menjadi sebuah ide terhadap metode kritik tafsir
dengan mengembangkan konsep al-Dakhîl yang menjadikan
aspek fanatisme sebagai bahan dalam melakukan kajian kritik
dengan metode al-Dakhil. Ke depan akan ada suatu konsep
metode kritik tafsir yang lebih komprehensif dan terstruktur
serta obyektif sehingga aturan yang rigid mengenai metode
kritik tafsir dapat menjadi pedoman atau menjadi batasan-
batasan yang jelas dalam melakukan penafsiran terhadap teks-
teks al-Qur’ân.
B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian pada bagian latar belakang di atas,
dapat ditemukan beberapa hal yang dapat diidentifikasi sebagai
permasalahan-permasalahan yang dapat diuraikan secara
mendalam melalui penelitian ini, yaitu:
1) Setiap penulisan tafsir pasti memiliki metode yang
berbeda-beda yang disebabkan perbedaan latar belakang
penafsiran baik dari segi latar belakang keilmuan atau
perbedaan latar belakang lainnya seperti sosial, budaya,
politik ekonomi dan faktor-faktor lainnya. Perbedaan-
perbedaan ini menghasilkan kreasi tafsir yang beragam
pada satu sisi namun juga memiliki potensi destruktif
jika dasar perbedaan dalam penafsiran tersebut
berkembang menjadi sebuah fanatisme.
2) Aneka ragam metodologi dan jenis penafsiran pada
hakikatnya tidak dapat membendung kreativitas para
mufassir yang berupaya menyibak makna terdalam dari
ungkapan-ungkapan al-Qur’an dengan segala latar
belakang keilmuan yang dimiliki. Oleh karenanya perlu
dibuat suatu konsep yang dapat memberikan batasan-
batasan yang rasional sehingga penafsiran yang
dihasilkan akan menjadi lebih obyektif meskipun
landasan berpikir yag digunakan oleh masing-masing
mufassir adalah berbeda.
10
3) Salah satu permasalahan yang mengemuka dengan
berbagai macam metodologi penafsiran yang adalah
munculnya sikap fanatisme dalam melakukan penafsiran
karena perbedaan mazhab dari para mufassir. Perbedaan
mazhab ini berpotensi untuk mempengaruhi alam
pikiran mufassir yang menyebabkan kesimpulan-
kesimpulan penafsiran menjadi bias. Permasalahan ini
menjadi penting untuk dibahas karena seharusnya
penafsiran harus objektif dan tidak bias hanya pada
mazhab tertentu.
4) Perbedaan penafsiran dalam menyibak ayat-ayat hukum
merupakan konsekuensi yang wajar dari beragamnya
alternatif metodologi penafsiran yang ada. Secara
khusus pada penafsiran yang fokus pada ayat-ayat
hukum, para ulama telah menghasilkan karya-karya
yang luar biasa di bidang ini. Tafsir-tafsir yang fokus
pada ayat-ayat hukum seperti tafsir Ahkâm al-Qur’ân
oleh al-Jassas, Ahkâm al-Qur’ân oleh al-Kiyâ’ Harrasi,
Ahkâm al-Qur’ân oleh Ibnu al-‘Arabi, Jami’ li al-
Ahkâm al-Qur’ân oleh al-Qurthubi, tafsir al-Âyât al-
Ahkâm oleh Syaikh Muhammad al-Sayis, tafsir al-Âyât
al-Ahkâm oleh Syaikh Manna al-Qattan serta beragam
tafsir lainnya yang fokus pada penafsiran ayat-ayat
hukum. Sebagian tetap mempertahankan objektifitasnya
dan tidak terpengaruh secara dominan oleh suatu
mazhab namun sebagian lainnya tidak dapat melepaskan
pengaruh dominan dari mazhab tertentu bahkan dengan
tegas menyatakan pembelaannya terhadap suatu mazhab
sehingga objektifitas tafsirnya menjadi berkurang.
5) Salah satu tafsir hukum yang dengan tegas menyatakan
keberpihakan terhadap suatu mazhab serta melakukan
pembelaan yang keras terhadap pendapat mazhabnya
adalah tafsir Ahkâm al-Qur’ân oleh al-Jassas. Hal ini
menjadi permasalahan yang menarik untuk dilakukan
penelitian yang lebih komprehensif sehingga dapat
11
dilakukan pengkajian apakah dominansi mazhab tertentu
mempengaruhi metodologi serta isi dari tafsir yang
dihasilkan. Identifikasi masalah selanjutnya adalah
apakah hasil dari penulisan tafsir tersebut menjadi
sangat subjektif dan mengandung sikap fanatisme yang
berlebihan dalam mengusung pemahaman mazhabnya.
2. Pembatasan Masalah
Berdasarkan latar belakang serta identifikasi masalah
yang telah penulis uraikan di atas, penulis akan memberikan
pembatasan masalah yang akan dibahas dalam penulisan
penelitian ini, yaitu :
a. Penulis akan memfokuskan penelitian terhadap realitas
fanatisme mazhab hukum yang ada pada penafsiran al-
Qur’ân.
b. Penulis akan membatasi pembahasan realitas fanatisme
mazhab dalam penafsiran al-Qur’ân dengan melakukan
kajian secara khusus pada tafsir Ahkam al-Qur’ân karya
al-Jassas.
c. Penulis membatasi kajian tafsir Ahkam al-Qur’ân karya
al-Jassas yang menjadi bukti fanatisme mazhab pada Qs.
al-Baqârah [2]: 232 tentang legitimasi nikah tanpa wali
dan Qs. al-Baqârah [2]: 219 tentang hukum Khamr.
3. Perumusan Masalah
Rumusan masalah penelitian ini adalah bagaimana
bentuk fanatisme mazhab dalam penafsiran al-Qur’ân dalam
tafsir Ahkâm al-Qur’ân karya al-Jassas?
Rumusan masalah ini bertujuan untuk lebih memfokus-
kan penelitian penulis tentang aspek-aspek fanatisme mazhab
yang dibahas dalam penafsiran ayat-ayat hukum di dalam tafsir
Ahkam al-Qur’ân karya al-Jassas yang turut mempengaruhi
objektifitas penulisan tafsir.
12
C. Tujuan Penelitian
Ada beberapa hal yang penulis dapat uraikan sehubungan
dengan tujuan-tujuan dari penulisan penelitian ini yaitu:
1. Menguraikan secara komprehensif konsep penafsiran
para mufassir yang berfokus pada ayat-ayat hukum
sehingga dapat diambil dalil-dalil sebagai dasar
pembentukan hukum di dalam Islam atau dapat diambil
dalil-dalil sebagai dasar pelaksanaan syariat Islam baik
yang bersifat ibadah maupun muamalah.
2. Menjelaskan hubungan yang erat antara penafsiran yang
fokus pada ayat-ayat hukum dengan latar belakang
mazhab seorang mufassir sehingga dapat terjawab
sejauh mana latar belakang seorang mufassir yang
menganut mazhab tertentu terhadap obektifutas
penafsirannya.
3. Menguji dan membuktikan pengaruh fanatisme mazhab
terhadap objektifitas suatu penafsiran melalui kajian
mendalam terhadap tafsir ulama mazhab dalam hal ini
tafsir Ahkâm al-Qur’ân karya al-Jassas yang merupakan
ulama mazhab dari mazhab hanafi.
4. Untuk mendapatkan gelar magister agama pada Fakultas
Ushuluddin Universitas Islam Negeri Jakarta
D. Manfaat Penelitian
Penulis mempunyai harapan besar bahwa penelitian ini
dapat bermanfaat untuk perkembangan studi Ulûm al-Qur’ân
sehingga pembahasan tentang objektifitas dalam suatu
penafsiran dapat berkembang. Penafsiran yang dilandasi dengan
fanatisme dapat dianggap sebagai suatu komponen yang
merusak objektifitas sebuah penafsiran sehingga istinbath
hukum yang didapat dari sebuah penafsiran yang dilandasi oleh
bias fanatisme dapat ditolak. Fanatisme dalam penafsiran juga
dapat dijadikan sebagai bagian dari kerusakan atau aib dalam
penafsiran sebagaimana dipahami dalam konsep al-Dakhîl. Ke
depannya kajian fanatisme dalam penafsiran dapat menjadi
13
suatu konsep yang komprehensif yang dapat digunakan oleh
para mufassir sebagai suatu pedoman dalam penulisan tafsir.
Penulisan tafsir yang berpedoman pada konsep al-Dakhîl dapat
meminimalisir kesalahan atau resiko subjektifitas penafsir
sehingga kualitas penafsiran dapat dipertanggungjawabkan.
Penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi inspirasi bagi para
mufassir untuk lebih objektif dalam melakukan penafsiran
sehingga nuansa fanatisme yang didasari oleh mazhab,
sektarian atau bahkan primordial dapat dihindari.
E. Tinjauan Pustaka
Penelitian yang memfokuskan pada pengaruh latar
belakang sang mufassir yang turut mempengaruhi hasil
penulisan tafsirnya sudah dibahas oleh beberapa penulis
maupun peneliti. Penulisan tersebut fokus pada beberapa hal
seperti latar belakang pemahaman berdasarkan ideologi, aqidah,
ilmu kalam atau latar belakang lainnya yang dirangkum dalam
satu hasil karya ilmiah. Hasil penelitian tersebut turut menjadi
bagian tinjauan pustaka dalam penulisan Tesis ini.
Selain penelitian yang mengetengahkan pengaruh latar
belakang penulis serta keilmuan yang turut mempengaruhi hasil
pemikiran tafsir para mufassir, penulis juga akan menyajikan
beberapa tinjauan pustaka yang terkait dengan permasalahan
hukum atau fiqih karena aspek fanatisme yang disajikan dalam
penelitian ini adalah fanatisme mazhab di dalam mazhab hukum
atau fiqih.
Beberapa sumber tinjauan pustaka yang akan digunakan
sebagai sumber dalam penulisan karya ilmiah ini adalah sebagai
berikut:
1. al-Ittijahât al-Munharifat fî Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm:
awâfiuha wa dafâuha. Buku ini adalah salah satu sumber
kepustakaan yang menjadi inspirasi dalam penulisan
penelitian ini. Buku ini adalah hasil karya seorang ahli tafsir
dan Ulûm al-Qur’ân asal Mesir yaitu Muhammad Hussein
al-Dzahabi. Kitab ini menyoroti tentang kecendrungan-
14
kecendrungan penyimpangan dalam penulisan tafsir al-
Qur’ân yang disebabkan oleh fanatisme mazhab dan/atau
sektarianisme. Di dalamnya, beliau banyak menyinggung
penafsiran-penafsiran yang dilakukan oleh para pemuka
mazhab atau sekte yang isinya cenderung dilatarbelakangi
oleh fanatisme dan sektarianisme. Kitab beliau yang juga
menjadi bahan penting dalam penulisan ini berjudul al-
Tafsȋr wa al-mufassirûn serta Al- Isrâiliyyât fî al-Tafsîr wa
al-Hadîts.
2. Tafsir al-Qur’ân bi al-Qur’ân: Sectarian Tendencies in al-
Tabâtabâ’î al-Mîzân and al-shanqîtî’s Adwâ al-Bayân.
Sumber kepustakaan ini menjadi salah satu sumber inspirasi
dalam penulisam penelitian ini. Pustaka ini adalah sebuah
disertasi yang ditulis dalam bahasa Inggris oleh DR. Izza
Rohman. Penelitian dalam disertasi ini membuktikan
adanya kaitan yang sangat kuat antara isu sektarianisme
dalam tafsir yang metodologi penulisannya dilakukan
dengan metodologi bi al-Ma’tsur dengan mengutamakan
sumber ayat-ayat di dalam al-Qur’ân untuk menafsirkan
ayat-ayat lainnya.
3. Tafsir Ahkâm al-Qur’ân karya al-Jassas. Kitab ini penulis
pilih sebagai objek penelitian karena isinya mengandung
konten yang sangat bias mazhab yaitu mazhab yang dianut
oleh penulisnya. Penulisnya sendiri telah mengakui pilihan
mazhabnya dalam penulisan tafsir ini.
4. Al-Imâm Abu Bakr al-Rôzi al-Jassas: wa manhajuhu fi al-
tafsîr. Kitab ini merupakan disertasi hasil karya DR.
Shafwat Musthofa Kholilufitis. Kitab ini secara kompre-
hensif membahas tentang manhaj yang dipilih oleh al-Jassas
dalam melakukan penulisan tafsir. Di dalamnya diberikan
penjelasan secara gamblang dan jelas berbagai hal terkait
metodologi, fokus pembahasan tafsir, pendapat-pendapat
yang digunakan serta kecendrungan-kecendrungan yang
mempengaruhi penulisan tafsir oleh al-Jassas.
15
5. Tarikh al-Tasyri’ al-Islamî. Buku ini merupakan hasil karya
dari Manna al-Qattan yang memberikan penjelasan secara
komprehensif tentang sejarah dalam legislasi Islam mulai
dari periode rasulullah hingga periode kekinian. Buku ini
juga membahas tentang realitas hukum Islam dan upaya
pembaharuannya pada masa kini. Buku ini penting menjadi
salah satu sumber dalam penulisan ini karena penulisan
tafsir-tafsir yang fokus terhadap hukum dan mazhab tertentu
tidak lepas dari sejarah pembentukan legislasi hukum yang
memang di dalamnya terdapat dinamika-dinamika
khilafiyah atau perbedaan-perbedaan yang mengkristal
dengan terbentuknya mazhab-mazhab fikih atau hukum
dalam melakukan legislasi Islam yang bersumber pada al-
Qur’an.
F. Metode Penelitian
1. Sifat dan Pendekatan Penelitian
Penelitian yang penulis lakukan dikategorikan sebagai
penelitian kualitatif karena karakteristik penelitian yang akan
dilakukan memenuhi segala instrument yang harus dipenuhi
oleh suatu penelitian yang bersifat kualitatif20
. Instrumen
tersebut adalah (1) data adalah berupa dokumen yang bersifat
alamiah (natural setting), (2) pengambilan sampel ditetapkan
secara purposive (3) peneliti menjadi insrumen kunci dalam
mengumpulkan dan menginterpretasikan data, (4) analisis data
secara induktif, dan (5) makna merupakan hal yang sangat
esensial21
.
20 Penelitian kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasil-
kan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan. Lihat Lexi L.
Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung:Rosda Karya, 1997),
Cet. VIII, h. 6.
21
Robert C. Bogdan & Sari Knopp Biklenn, Qualitative Research
for Education: An Introduction to Theory and Methode, (London: Allyn and
Bacon, Inc, 1982), h. 10.
16
2. Sumber dan Teknik Pengumpulan Data Penelitian
Sumber data dalam penelitian ini fokus kepada data
kepustakaan (library research). Penelitian dengan sumber data
kepustakaan akan menghadapkan penulis pada sumber-sumber
data berupa literature-literatur yang dapat diambil dari buku-
buku, dokumen, maupun artikel.22
Oleh karena itu, teknik pe-
ngumpulan data kepustakan meliputi sumber-sumber primer
dan sekunder.
Sumber data primer dalam penelitian ini adalah kitab
tafsir Ahkam al-Qur’ân karya Abi Bakar Ahmad ibn ‘Ali al-
Razi atau al-Jassas yang diterbitkan oleh Daar al-Ihya al-Turats
al-Arabî pada tahun 1996. Data-data sekunder akan meliputi
buku-buku kajian yang mendukung tentang pembahasan tafsir
yang berfokus pada kecendrungan-kecendrungan yang mempe-
ngaruhi gaya penulisan tafsir serta buku-buku yang mengkaji
tentang pembentukan hukum Islam terutama penafsiran-
penafsiran yang berfokus pada tafsir hukum.
3. Teknik Analisa Data
Berpegang pada sifat penelitian ini, maka teknik analisis
data yang digunakan adalah teknik analisa data kualitatif.
Model analisis data yang akan digunakan dalam penelitian ini
adalah model analisis isi (content analysis)23
. Metode ini adalah
22
Hadari Nawawi, Metodologi Penelitian Bidang Sosial
(Yogyakarta: Gajah Mada Universy Press, 1991), h. 95.
23
Analisis isi adalah mengklasifikasikan kata-kata ke dalam
kategori-kategori yang lebih kecil. Setiap kategori itu dibuat berdasarkan
kesamaan makna kata, atau berdasarkan kemiripan makna kata dari setiap
teks atau pembicaraan. Dengan asumsi itu, pembaca akan dapat mengetahui
fokus atau pesan dari pengarang, pembuat teks, atau pembicara dengan
menghitung jumlah kategori yang ada dalam teks tersebut. Menurut
Krippendorf, setidaknya ada empat jenis analisi isi yaitu, analisis wacana
(discourse analysis), analisis retorika (rhetoric analysis), analisis isi
etnografis (ethnographic content analysis), dan analysis percakapan
(conversation analysis). Klaus Krippendorf, Content Analysis: An
Introduction to its Methodology , (California: Sage Publication, 2004), h. 17.
17
metode analisis data yang fokus pada isi suatu informasi yang
tertulis atau tercetak dalam teks. Secara umum analisis isi ini
diartikan sebagai metode yang meliputi semua analisis isi teks,
tetapi di sisi lain analisis ini juga digunakan untuk mendes-
kripsikan pendekatan lain yang khusus. Prosedur analisis data
model analisis isi ini mengadaptasi dari Klaus Krippendorff.
Oleh sebab itu maka langkah-langkah yang akan penulis
lakukan dalam menganalisa data-data yang tersajikan dalam
penelitian ini adalah:
a. Membaca secara mendalam sumber studi kasus kitab
Ahkâm al-Qur’ân karya al-Jassas serta buku-buku yang
terkait pembahasan tafsir yang menyoroti pengaruh latar
belakang penafsir dengan hasil penafsiran yang dilakukan.
Kajian-kajian hukum Islam berdasarkan pendapat beberapa
mazhab yang berbeda dapat dijadikan sumber sebagai
aspek komparasi riil terjadinya perbedaan pendapat diatara
mufassir yang fokus pada pembahasan hukum;
b. Melakukan unitizing yaitu proses untuk mengambil data
yang tepat dengan kepentingan penelitian yang mencakup
teks, gambar, suara, dan data-data lain yang dapat
diobservasi lebih lanjut. Dalam analisis penelitian ini
peneliti hanya akan fokus pada data berupa teks yang
bersumber pada data kepustakaan baik primer maupun
sekunder. Unit itu sendiri adalah keseluruhan yang
dianggap istimewa dan menarik oleh peneliti atau analis
yang merupakan elemen independen. Unit adalah objek
penelitian yang dapat diukur dan dinilai dengan jelas, oleh
karenanya harus memilah sesuai pertanyaan penelitian
yang telah dibuat. Dalam penelitian ini proses unitizing ini
akan mengambil data-data yang dapat diobservasi dari
sumber objek penelitian kitab Ahkam al-Qur’ân karya al-
Jassas;
c. Melakukan Sampling yaitu suatu cara analisis untuk dapat
menyederhanakan penelitian dengan membatasi observasi
semua jenis unit yang ada. Dengan demikian terkumpullah
18
unit-unit yang memiliki tema/karaktek yang sama. Pada
tahapan ini proses sampling dilakukan dengan yaitu
menetapkan data-data yang sudah diverifikasi menjadi
objek analisis data.
d. Melakukan recording (perekaman/catatan) terhadap data
yang sudah ditetapkan untuk dianalisa
e. Melakukan reduksi data dengan melakukan verifikasi lebih
mendalam sehingga data-data yang ada akan benar-benar
valid untuk mendukung penelitian yang dilakukan
f. Melakukan inferensi data yaitu dengan melakukan analisis
yang lebih mendalam terhadap data-data yang telah
ditetapkan dan direduksi sehingga data yang ada
tervirifikasi dengan baik. Tahapan ini tidak hanya berarti
induktif atau deduktif saja, namun mencoba mengungkap
konteks yang ada menggunakan konstruksi analitis
(analytical construct). Konstruksi analisis ini berfungsi
untuk memberikan model hubungan antara teks dan
kesimpulan yang akan dituju.
g. Tahapan akhir dari teknik analisis data ini adalah
menarasikan (narrating) hasil analisis data yang dilakukan
dengan tahapan-tahapan proses yang runut di atas. Narasi
ini akan memberikan jawaban terhadp pokok permasalahan
penelitian yang diajukan. Narasi ini pada umumnya adalah
kesimpulan dalam penelitian yang akan memberikan
informasi penting terkait dengan hasil penelitian baik bagi
peneliti maupun bagi pembaca atau pengguna penelitian
sehingga dapat digunakan sebagai bahan untuk mengambil
keputusan atau kesimpulan suatu permasalahan yang
dihadapi.
4. Teknik Penulisan
Adapun teknik penulisan tesis ini mengacu pada buku
Pedoman Akademik Program Magister Fakultas Ushuluddin
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2012. Sedangkan
transliterasi pada tesis ini menggunakan Pedoman Transliterasi
19
Arab-Latin keputusan bersama Menteri Agama dan Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan RI Nomor: 158 Tahun 1987 –
Nomor: 0543b/u/1987.
G. Sistimatika Penulisan
Tesis ini disusun menjadi lima Bab. Satu bab adalah
bagian pendahuluan, tiga bab bagian pembahasan dan satu bab
terakhir sebagai bagian penutup. Bagian penutup akan
mengetengahkan kesimpulan dan saran terhadap hasil
pembahasan yang dilakukan pada bab-bab sebelumnya.
Penelitian ini akan mencoba melakukan pembahasan teoritis
terhadap suatu persoalan yang ada lalu mencoba membuktikan
kebenaran pembahasan teori teori tersebut.
Bagian pembahasan pada penelitian ini terdiri dari tiga
bab yaitu bab dua sampai dengan bab empat. Pada bab kedua
penulis akan membahas tuntas landasan teoritis terhadap
persoalan yang ada. Bab ketiga penulis akan membahas latas
belakang objek yang akan menjadi studi kasus dari penelitian
ini dan pada bab keempat penulis akan melakukan elaborasi
terhadap landasan teoritis yang telah dibahas sebelumnya
dengan obyek studi kasus penelitian. Bab terakhir akan
menyimpulkan apakah persoalan yang diangkat dalam
penelitian ini terbukti adanya dan apa saran yang dapat
diberikan terhadap hasil penelitian yang dilakukan. Berikut
adalah sistimatika penulisan penelitian ini.
Bab pertama adalah Latar belakang masalah,
identifikasi, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan
penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, metodologi
penelitian serta sistematika penulisan. Bab ini akan membahas
dua hal yang prinsipil yaitu pertama membahas dan
mengelaborasi latar belakang permasalahan tentang kajian
metologi tafsir serta faktor-faktor yang mempengaruhi
perbedaan-perbedaan jenis penafsiran dan kualitas penafsiran.
Pembahasan akan diawali dengan mengetengahkan metodologi
populer yang dilakukan para ulama tafsir dalam menyusun
20
penafsiran yaitu metode bi al-ma’tsur, metode bi al-ra’yi dan
metode bi al-isyari.
Selanjutnya penulis akan mengelaborasi metode ini
dengan menyampaikan kelemahan yang mungkin dialami oleh
metode ini sehingga kualitas penafsiran menjadi bias atau
bahkan tidak objektif sehingga hasilnya tidak sesuai dengan
maksud dan pesan-pesan al-Qur’ân. Bias tafsir dan ketidak
objektifan dalam penafsiran merupakan pintu masuk penulis
untuk mengintrodusir adanya indikasi atau kecendrungan
fanatisme yang dapat muncul dalam penulisan tafsir. Pada
bagian akhir latar belakang bab ini penulis akan memberikan
penjelasan mengapa penulis memilih tafsir hukum karangan al-
Jassas sebagai objek studi lapangan dalam penelitian ini.
Bagian kedua pada bab pertama akan fokus pada
mengurai pada struktur dan metode penulisan yang terdiri dari
identifikasi, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan
penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, metodologi
penelitian serta sistematika penulisan
Bab kedua berisi tentang perkembangan tafsir yang
memiliki corak fokus pada penafsiran ayat-ayat hukum. Sejarah
perkembangan tafsir hukum akan dimulai sejak zaman
Rasulullah hingga pada zaman tabi’în. Selanjutnya menulis
akan membahas tentang metodologi dan perkembangan tafsir
hukum yang dikolaborasikan dengan berkembangnya mazhab-
mazhab hukum seiring dengan perkembangan penafsiran yang
fokus pada penafsiran ayat-ayat hukum. Perkembangan
mazhab-mazhab yang fokus terhadap penafsiran ayat-ayat
hukum didukung dengan pembahasan adanya polarisasi
mazhab-mazhab tertentu dalam melakukan penafsiran hukum
sehingga menambah dinamika positif dalam pengembangan
hukum Islam.
Selain dinamika positif karena adanya fokus dari
berbagai mazhab dalam melakukan pengkajian ayat-ayat al-
Qur’an dari segi hukum, akan dibahas juga kecendrungan
fenomena taklid dan fanatisme dalam menyikapi hasil
21
penggalian hukum yang dilakukan para mufassir atau imam
mazhab. Fenomena taklid dan fanatisme ini akan menjadi
bagian penting pembahasan penelitian ini karena fokusnya
adalah menemukan realitas fanatisme yang dilandasi oleh
pemahaman mazhab tertentu dalam suatu hasil karya kitab tafsir
atau penafsiran ayat-ayat hukum.
Bab ketiga akan fokus membahas tentang objek studi
penelitian ini yaitu Abu Bakar Ahmad bin al-Râzi atau yang
dikenal dengan nama al-Jassas serta kitab karangannya al-
Ahkam al-Qur’ân. Bab ini akan menjelaskan biografi singkat al-
Jassas serta mazhab yang dianutnya yang turut mempengaruhi
corak dan manhaj penulisan tafsirnya. Pada pembahasan
tentang kitab al-Ahkam al-Qur’an karya al-Jassas, penulis akan
berupaya memberikan gambaran yang utuh tentang aspek
metodologis dalam penyusunan tafsir Ahkâm al-Qur’an yang
terdiri dari pembahasan corak, struktur dan format penulisan
tafsir, sumber-sumber penulisan tafsir, fokus permasalahan
yang dibahas dalam tafsir dan yang paling penting adalah
deskripsi tentang bias mazhab yang dipengaruhi oleh fanatisme
penyusun tafsir terhadap mazhab yang dianutnya.
Bab keempat penulis akan berupaya melakukan
elaborasi tentang latar belakang terjadinya fenomena fanatisme
terhadap mazhab dalam penulisan tafsir hukum. Pembahasan
pada bab ini akan menganalisa secara langsung tentang
fenomena fanatisme mazhab dalam penulisan tafsir dengan
membedah isi dari kitab tafsir yang fokus pada pembahasan
kajian hukum yaitu tafsir Ahkâm al-Qur’ân karya al-Jassas.
Pembahasan akan dilakukan juga pada aspek pengaruh mazhab
yang dianut oleh sang mufassir terutama mazhab fiqih yaitu
mazhab hanafi serta bagaimana penilaian para ulama tentang
fanatisme al-Jassas dalam penulisan tafsirnya.
Pembahasan akan memberikan beberapa contoh-contoh
pengaruh fanatisme mazhab yang turut mempengaruhi mufassir
dalam menafsirkan ayat-ayat hukum yang terefleksi dalam
tulisannya. Pembahasan juga akan melakukan kajian terhadap
22
kuatnya pembelaan terhadap mazhab yang dianut oleh sang
mufassir sehingga output yang dihasilkan dalam penafsiran
tersebut tidak objektif bahkan merendahkan pendapat lain yang
berbeda. Untuk memperjelas pembahasan penulis akan
menyajikan bentuk-bentuk penafsiran yang tendensius sehingga
terlihat sangat bias fanatisme mazhab.
Bab kelima adalah bab penutup, berisi kesimpulan dari
pembahasan yang dilakukan berdasarkan perumusan masalah
yang penulis sampaikan pada bab pertama penelitian ini. Bab
ini juga akan memberikan saran-saran yang terkait dengan
penulisan penelitian ini baik yang ditujukan untuk penulis
sendiri maupun masyarakat umum agar penelitian yang penulis
lakukan tidak berhenti disini namun ada kelanjutan yang
berkesinambungan. Tujuan utamanya adalah dapat
terbentuknya suatu kajian yang lebih komprehensif tentang
objektifitas tafsir dan membahas sudut fanatisme mazhab
sebagai bagian yang turut mempengaruhi validitas penulisam
sebuah tafsir.
25
BAB II
KONSEP DAN METODOLOGI TAFSIR HUKUM SERTA
RELEVANSINYA TERHADAP FANATISME DALAM
MAZHAB HUKUM
A. Konsep dan Metodologi Tafsir Hukum
Pada bab ini penulis akan fokus pada konsep dan
definisi terminologi tafsir hukum serta bagaimana metodologi
penulisan tafsir hukum secara umum. Pembahasan ini menjadi
sangat penting untuk memberikan gambaran tentang corak tafsir
hukum yang dilakukan oleh para ulama yang bergelut dibidang
hukum. Pembahasan ini juga akan mencoba memberikan
analisis tentang metodologi-metodologi yang secara umum
digunakan oleh para mufassir dalam melakukan penafsiran yang
fokus pada ayat-ayat hukum. Corak tafsir hukum tentunya
bersifat unik di bandingkan dengan tafsir-tafsir yang ada yang
terikat pada pakem metodologi penafsiran tertentu.
Sebagaimana diketahui ada beberapa metodologi
penafsiran misalnya metode Tahlĭly, metode ijmaly, metode
muqârrin dan metode maudhû‟i. Setiap metode ini akan kami
coba sandingkan dengan tafsir hukum yang ada dan bagaimana
metode tersebut digunakan oleh mufassir untuk menjelaskan
tafsir dengan corak pendekatan hukum.
1. Terminologi Tafsir Hukum
Sebelum memberikan definisi tentang tafsir hukum,
penulis lebih dahulu mencoba memberikan gambaran kenapa
istilah tafsir hukum digunakan di bandingkan dengan tafsir fikih
atau penggunaan istilah lainnya misalkan tafsir syar‟i. Ketiga
istilah yaitu syari‟at Islam, fikih dan hukum Islam sering
dipersamakan satu sama lain. Ketiganya memang merupakan
jalan yang berasal dari Allah, tetapi dari perkembangan sejarah
Islam, ketiganya telah mengalami differensiasi makna1.
1 Rifyal Ka‟bah, “Islamic Law”, dalam majalah triwulan Muslim
Executive & Expatriate, Jakarta, Muharram 1, 1420 H, h. 19
26
Syari‟at Islam secara umum adalah keseluruhan teks al-
Qur‟ân dan al-Sunnah sebagai ketentuan Allah yang seharusnya
menjadi pegangan hidup manusia. Syari‟at yang terkandung di
dalam al-Qur‟ân dalam konteks ini menyangkut hubungan
khusus antara individu dengan Allah dan sebagian yang lain
menyangkut antara hubungan antar individu dalam kehidupan
masyarakat2.
Pesan-pesan syari‟at yang ada di dalam al-Qur‟ân dan
al-Sunnah memerlukan berbagai macam penjelasan. Penjelasan
tersebut bisa datang dari al-Qur‟ân itu sendiri misalnya melalui
penjelasan antar ayat dengan ayat atau melalui penjelasan al-
Sunnah. Sebagian penjelasan teks-teks al-Qur‟ân atau al-
Sunnah bisa jadi tidak ditemukan penjelasannya dalam teks
yang lain. Oleh karena itu teks-teks tersebut memerlukan
penjelasan dan pemahaman lebih lanjut agar dapat diaplikasikan
dalam kehidupan sehari-hari. Para penafsir atau fuqaha telah
berusaha semaksimal mungkin untuk melakukan menafsirkan
sendiri teks-teks agama tersebut dan membuat formulasi baru
sesuai dengan apa yang dimaksud oleh syari‟at (maqâsid al-
syari‟ah)3. Selain penjelasan tentang teks-teks yang ada di al-
Qur‟ân dan al-Sunnah, para ulama juga berusaha untuk
menetapkan formulasi hukum yang belum ditetapkan secara
rinci dan jelas oleh teks-teks al-Qur‟ân dan al-Sunnah untuk
2 Rifyal Ka‟bah, Penegakan Syariat Islam di Indonesia, (Jakarta:
Khairul Bayan, 2004), h. 4. 3 Maksud-maksud syariat atau maqâsid al-syari‟ah adalah tujuan
yang menjadi target teks dan hukum-hukum particular untuk direalisasikan
dalam kehidupan manusia. Baik berupa perintah, larangan, dan mubah.
Untuk individu, keluarga, jamaah, dan ummat. Maqâsid al-syari‟ah juga
bisa berarti hikmah-hikmah yang menjadi tujuan ditetapkannya hukum. Baik
yang diharuskan ataupun tidak. Karena, dalam setiap hukum yang
disyariatkan oleh Allah untuk hamba-Nya pasti terdapat hikmah. Ia bisa
diketahui oleh orang yang mengetahuinya dan tidak diketahui oleh orang-
orang yang tidak mengetahuinya. Karena, Allah suci untuk membuat syariah
yang sewenang-wenang, sia-sia, atau kontradiksi dengan sebuah hikmah.
Yusuf al-Qaradâwi, Fiqih Maqashid Syariah., Penerjemah Arif Munandar
Riswanto (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2006), h. 18.
27
memastikan pandangan Islam mengenai hal ini. Konsep inilah
yang dimaksudkan dengan fiqh. Sedangkan hukum Islam dapat
disimpulkan sebagai pemahaman syari‟at yang telah
diformulasikan dalam bentuk teks hukum berupa konstitusi,
undang-undang dan peraturan yang mengikat warga negara.
Hukum Islam dianggap sebagai hukum suatu negara atau
bagian dari hukum negara4.
Tafsir hukum dibentuk dari dua kata yaitu tafsir dan
hukum. Kata tafsir pada mulanya berarti penjelasan, atau
penampakan makna. Patron kata tafsir yang terambil dari kata
fasara mengandung makna kesungguhan membuka atau
keberulang-ulangan melakukan upaya membuka, sehingga itu
berarti kesungguhan dan berulang-ulangnya upaya untuk
membuka apa yang tertutup/menjelaskan apa yang musykil/sulit
dari makna sesuatu, antara lain kosakata. Jika dihubungkan
dengan konteks al-Qur‟an maka tafsir dapat didefinisikan
sebagai penjelasan tentang firman-firman Allah sesuai dengan
kemampuan manusia5.
Sebagai sebuah kosakata dalam Bahasa Indonesia, kata
“hukum” sebenarnya berasal dari Bahasa Arab yaitu berasal
dari kata hukm yang berarti “putusan” (judgement, verdict,
decision), “ketetapan” (provision), “perintah” (command),
“pemerintahan” (government), “kekuasaan” (authority, power),
“hukuman”, (sentence) dan makna-makana lainnya6. Kata kerja
yang terbentuk dari kata hukm ini yaitu hakama, yahkumu yang
dapat berarti “memutuskan”, “mengadili”, “menetapkan”,
“menghukum”, “memerintahkan” serta makna-makna lainnya.
Asal usul kata hakama berarti mengendalikan dengan satu
pengendalian7.
4 Rifyal, Penegakan Syariat Islam, h. 5.
5 M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, h. 9.
6 Hans Wehr, A Dictionary of Modern Written Arabic (London:
Macdonald &Evans Ltd., 1980), h. 196. 7 al-Râghib al-Asfahânî, Mu‟jam Mufradât Alfâzh al-Qur‟ân
(Beirut Dâr al-Fikr. T.t) h. 126.
28
Bila seseorang dapat mengendalikan sebuah sampan
dengan bijak (hikmah), ia dikatakan hakama al-safinah. Kata
“hikmah” (kebijakan) juga berasal dari kata hukm. Hukum itu
berhubungan dengan perintah yang bijak. Dengan demikian,
hukum juga dapat berarti kebijakan atau policy. Sedangkan
pengertian hukm yang lebih umum secara bahasa adalah bila
“anda memutuskan sesuatu dengan begitu atau begini, baik
keputusan tersebut mengikat orang lain selain anda atau tidak
mengikat”8.Jika digabung pengertian terminologis antara tafsir
dan hukum maka tafsir hukum adalah penjelasan tentang
firman-firman Allah yang berkaitan dengan aspek perintah,
larangan atau keputusan-keputusan yang dapat mengikat atau
tidak mengikat sesuai dengan kemampuan manusia.
Istilah tafsir hukum atau ahkâm al-Qur‟ân lebih sering
digunakan oleh mufassir ketimbang istilah tafsir fiqh. Jika
melihat uraian tentang perbedaan pengertian fiqh, syariat Islam
dan hukum Islam, penggunaan kata hukum untuk menjelaskan
tentang tafsir ayat-ayat hukum dianggap lebih tepat karena
hukum bisa bersifat komprehensif yang dapat mengakomodir
istilah syariat, fiqh maupun istilah hukum Islam itu sendiri. Para
mufassir berusaha menjelaskan firman-firman Allah yang
berkaitan dengan segala aspek perintah, larangan atau
keputusan-keputusan baik yang mengikat atau yang tidak
mengikat sesuai dengan kemampuannya. Meskipun begitu,
terminologi tafsir fiqh juga digunakan oleh sebagian ulama.
Istilah tafsir fiqh misalnya digunakan oleh Muhammad Husein
al-Dzahabi dalam karyanya al-Tafsîr wa al-Mufassirûn. Istilah
ini juga digunakan oleh Muhammad Ali al-Iyaziy dalam
karyanya yang berjudul al-Mufassirûn: Hayâtuhum wa manhâ-
juhum.
Para mufassir sendiri tidak menyampaikan definisi
apapun tentang makna ayat hukum ini. Alasan yang
memungkinkan tidak adanya komentar tentang definisi ayat
8 al-Asfahânî, Mu‟jam Mufradât Alfâzh al-Qur‟ân, h. 126.
29
hukum karena untuk sampai pada arti yang dimaksudkan
haruslah merujuk kepada urf al-Qur‟ân dan tabadur (yang
tercepat dipahami) dan tidak perlu kepada hal-hal lain lagi.
Ketiadaan definisi juga dianggap karena begitu jelasnya makna
“ayat hukum” tersebut9.
Namun begitu, Muhammad Fakir al-Mubadi berupaya
memberikan definisi terhadap ayat-ayat hukum di dalam
bukunya yang berjudul Ayat al-ahkâm Tathbiqi: Fiqh al-
Qur‟ân. Menurutnya ayat-ayat hukum adalah ayat-ayat yang
mengandung hukum-hukum taklifi (penjelasan hukum yang
berkaitan dan mengarah secara langsung kepada perbuatan
manusia yaitu wajib, Sunnah, haram, makruh dan mubah) atau
hukum wadh‟I (penjelasan hukum yang tidak berkakitan dan
mengarah secara langsung dengan perbuatan manusia, seperti
sah dan tidak sahnya suatu perbuatan)10
. Definisi ini kental
sekali dengan nuansa fiqh yang tidak membedakan apa itu fiqh,
syariat Islam dan hukum Islam.
2. Metodologi Penulisan Tafsir Hukum.
Tafsir hukum merupakan salah satu corak dalam
penulisan tafsir yang fokus pada pembahasan aspek-aspek
hukum di dalam al-Qur‟an. Di dalam penyajiannya, para
mufassir di bidang ini pada umumnya melakukan pembahasan
tafsir dengan cara-cara sebagai berikut: Pertama, Sang mufassir
tidak melakukan penafsiran ayat per ayat, atau surat per surat
secara berurutan namun mufassir terlebih dahulu menentukan
tema-tema khusus sesuai dengan bab-bab pembahasan yang
biasa dilakukan pada penulisan kitab fiqh.
Tema-tema tersebut misalnya tentang thaharah, shalat,
puasa, zakat, munakahât (perkawinan) serta tema-tema lainnya
9 Lilik Ummi Kultsum dan Abd. Moqsith Ghazali, Tafsir Ayat-ayat
Ahkam, (Ciputat: UIN Press, 2015), h.11. 10
Muhammad Fakir Mibadi, Ayat-ayat Hukum dalam Pandangan
Imamiyah dan Ahlusunnah, Penerjemah Sirojudin (Jakarta: Nur Huda,
2014), h.12.
30
yang biasa dibahas dalam kitab-kitab fiqh. Setelah tema-tema
tersebut ditentukan, mufassir akan mencari ayat-ayat yang
membahas tentang tema-tema tersebut secara komprehensif.
Sumber-sumber penafsiran dari ayat-ayat yang telah dipisahkan
tersebut bisa dalam bentuk tafsir bi al-Ma‟tsur atau tafsir bi al-
ra‟yi11
. Setelah penjelasan tema-tema tersebut secara normatif
baik dengan menggunakan konsep bi al-ma‟tsur atau bi al-
ra‟yi, mufassir dapat melakukan kontekstualisasi ayat-ayat
hukum ini yang dihubungkan dengan problematika
kontemporer pada saat itu12
. Problematika kontemporer tersebut
misalnya wacana penggabungan zakat dengan pajak, posisi
hukum ahlu al-dzimmah dalam konteks negara modern dan
tema-tema kontemporer lain yang memungkinkan untuk
dibahas sesuai dengan perkembangan zaman.
Kedua, sang mufassir melakukan penafsiran secara
tahlîly dimana penafsir melakukan upaya penafsiran dengan
menjelaskan kandungan ayat-ayat al-Qur‟ân dari segi hukum
yang disajikan secara runtut sesuai dengan perurutan ayat dan
surat di dalam al-Qur‟ân. Dengan cara ini, mufassir memulai
penafsirannya dari awal surat di dalam al-Qur‟ân hingga akhir.
Mufassir lalu membahas ayat demi ayat, surat demi surat
dengan penekanan kajian pada bidang hukum.
Meskipun belum komprehensif, kedua metode penulisan
tersebut dapat dikategorikan sebagai metode penafsiran tematik.
Metode ini mengarahkan pandangan kepada satu tema tertentu,
lalu mencari pandangan al-Qur‟ân tentang tema tersebut dengan
jalan menghimpun semua ayat yang membicarakannya,
menganalisis, dan memahaminya ayat demi ayat, lalu
menghimpunnya dalam benak ayat yang bersifat umum
dikaitkan dengan yang khusus, yang mutlaq digandengkan
11
Muhammad Ali Iyaziy, al-Mufassirûn: Hayâtuhum wa
manhâjuhum (Teheran: Kementrian Pendidikan dan Kebudayaaan Islam,
1386 H) Jilid 1 h. 119. 12
Lilik Ummi Kaltsum dan Abd. Moqsith Ghazali, Tafsir Ayat-ayat
Ahkam, h.11.
31
dengan yang muqayyad, dan lain-lain sambal memperkaya
uraian dengan hadits-hadits yang berkaitan untuk kemudian
disimpulkan dalam suatu tulisan pandangan yang menyeluruh
dan tuntas menyangkut tema yang dibahas itu13
.
B. Al-Qur’ân sebagai Sumber Hukum
Al-Qur‟ân sebagai sebuah kitab suci bagi umat Islam
dianggap merupakan suatu pedoman yang sangat sempurna
yang mencakup berbagai aspek kehidupan. Hal ini sebagaimana
ditegaskan oleh al-Qur‟ân sendiri dalam ayat terakhir yang
diturunkan oleh Allah SWT yaitu al-Qur‟ân surat al-Mâidah
ayat (3)14
.
13
M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, h.385. 14
Para ulama berbeda pendapat tentang ayat terakhir yang
diturunkan. Syaikh Manna al-Qaththan bahkan merangkum 10 (sepuluh)
pendapat yang mengemukakan tentang ayat terakhir yang diturunkan. Di
antara ayat-ayat yang disinyalir sebagai ayat-ayat yang terakhir diturunkan
adalah:
1. al-Qur‟ân Surat al-Baqarah ayat 278
2. al-Qur‟ân Surat al-Baqarah ayat 281
3. al-Qur‟ân Surat al-Baqarah ayat 286
4. al-Qur‟ân Surat al-Nisa ayat 176
5. al-Qur‟ân Surat al-Taubah ayat 128
6. al-Qur‟ân Surat al-Maidah
7. al-Qur‟ân Ali Imran ayat 195
8. al-Qur‟ân Surat al-Nisa ayat 93
9. al-Qur‟ân Surat al-Nasr
10. al-Qur‟ân Surat al-Maidah ayat 3
Menurut Syaikh Manna al-Qaththan, semula pendapat terkait ayat
terakhir yang diturunkan tidak disandarkan kepada Nabi. Masing-masing
hanyalah ijtihad dan dugaan. Ada kemungkinan pula bahwa masing-masing
mereka itu memberitahukan apa yang terakhir didengarnya dari Rasulullah.
Atau mungkin juga masing-masing mengatakan hal itu berdasar apa yang
terakhir diturunkan dalam hal perundang-undangan tertentu. Terkait dengan
pendapat yang mengatakan bahwa ayat yang terakhir diturunkan adalah
Surat al-Maidah ayat 3 maka secara teks, menunjukkan penyempurnaan
kewajiban dan hukum. Oleh karena itu, ulama menyatakan kesempurnaan
agama di dalam ayat ini. Allah telah mencukupkan Nikmat-Nya kepada
mereka dengan menempatkan mereka di negeri suci dan membersihkan
32
ٱليوم أكملت لكن دينكن وأتممت عليكن نعمتي ورضيت لكن ٱإلسلن دينا
“…Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu,
dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-
ridhai Islam itu jadi agama bagimu...” (QS. Al-Maidah:3).
Ayat ini menegaskan bahwa Islam merupakan agama
yang telah sempurna karena Allah melalui firman-Nya
menegaskan kesempurnaan agama ini. Bentuk kesempurnaan
yang di maksud Allah SWT dalam ayat ini bukanlah berarti
bahwa sebelum ayat ini turun, agama Islam belum sempurna
dan masih kurang kemudian Allah menyempurnakannya.
Namun maksud dari ayat ini adalah hukum-hukum yang ada
sudah final dan tidak lagi menerima pe-nasakh-an, serta tetap
berlaku selama-lamanya, layak dan sesuai untuk setiap ruang
dan waktu15
.
Penyempurnaan yang dimaksud dalam al-Maidah ayat
(3) tersebut adalah penyempurnaan pada aspek agama itu
sendiri dan penyempurnaan pada aspek eksistensinya.
Penyempurnaan pada aspek agama adalah penyempurnaan
kandungan isinya yang mencakup kewajiban-kewajiban, halal
dan haram, serta menegaskan secara eksplisit pokok-pokok
aqidah, asas-asas legislasi serta aturan dan kaidah ijtihad.
Sedangkan penyempurnaan pada aspek eksistensinya adalah
dengan meluhurkan kalimatnya, keunggulan atas semua agama
yang lain, senantiasa sesuai dengan kemaslahatan-kemaslahatan
umum, senantiasa selaras dengan perkembangan, moderat, dan
orang-orang yang musyrik daripadanya serta menghajikan mereka di rumah
suci tanpa disertai oleh seorang musyrik pun, padahal sebelumnya orang-
orang musyrik juga berhaji dengan mereka. Yang demikian termasuk nikmat
yang sempurna. Syaikh Manna al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu al-
Qur‟ân, h. 83 – 87. 15
Wahbah al-Zuhaili, Tafsir al-Munir: Aqidah, Syari‟ah, dan
Manhaj Jilid 3. Penerjemah Abdul Hayyie al Kattani dkk (Jakarta: Gema
Insani Press, 2005), h. 416.
33
keseimbangan antara kemaslahatan-kemaslahatan khusus dan
kemaslahatan umum di dalamnya16
.
Penekanan penyempurnaan hukum dan legislasi yang di
kandung dalam ayat ini memberikan suatu informasi yang kuat
bahwa al-Qur‟ân sebagai sebuah kitab suci yang isinya
mencakup berbagai aspek kehidupan juga mencakup pada
penyempurnaan di bidang hukum. Dengan kata lain, al-Qur‟an
memberikan informasi tentang hukum dan legislasi serta patut
dijadikan sebagai sumber hukum dan legislasi itu sendiri.
Ketika berbicara tentang sumber hukum, al-Qur‟ân
menegaskan bahwa sumber hukum yang paling utama
bersumber dari Allah, dari Rasul-Nya serta dari para ulil Amri.
Hal ini sebagaimana tersurat di dalam al-Qur‟ân surat yaitu
Surat al-Nisa ayat (59) dan Surah al-Mâidah ayat (49).
يا أي ها ٱلذين آمنوا أطيعوا ٱللو وأطيعوا ٱلرسول وأول ٱألمر منكم فإن ت نازعتم ف شيء ف ردوه إل ٱللو وٱلرسول إن كنتم ت ؤمنون بٱللو وٱلي وم
ر وأحسن تأ ويل ٱآلخر ذلك خي “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah
Rasulnya dan ulil Amri di antara kamu. Kemudian jika kamu
berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia
kepada Allah dan rasulnya, jika kamu benar-benar beriman
kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih baik
bagimu dan lebih baik akibatnya”. (Q.S. Al-Nisa:4 [59])
ن هم بآ أنزل ٱللو وال ت تبع أىوآءىم وٱحذرىم أن ي فتنوك عن وأن ٱحكم ب ي ا يريد ٱللو أن يصيب هم بب عض ب ع ض مآ أنزل ٱللو إليك فإن ت ولوا فٱعلم أن
ذنوبم وإن كثريا من ٱلناس لفاسقون
16
al-Zuhaili, Tafsir al-Munir: Aqidah, Syari‟ah, dan Manhaj, Jilid
3. h. 417.
34
“Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka
menurut apa yang diturunkan Allah dan janganlah kamu
mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu
terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari
sebagian kamu dari sebagian apa yang telah diturunkan Allah
kepadamu. Jika mereka berpaling dari hukum yang telah
diturunkan Allah, maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah
menghendaki akan menimpakan musbah kepada mereka
disebabkan sebagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya
kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik” (Q.S. Al-
Mâidah:5[49])
Berdasarkan kedua ayat di atas, al-Qur‟ân mencoba
menegaskan tentang sumber-sumber-sumber hukum dan
kewajiban untuk mematuhi hukum yang telah ditetapkan oleh
Allah SWT melalui al-Qur‟ân. Secara eksplisit perintah
kepatuhan kepada Allah, Rasulnya adalah bentuk simbolik
suatu legislasi yang bersumber dari Allah yang termanifes-
tasikan melalui al-Qur‟ân, sumber hukum dari Rasulullah
termanifestasikan dalam hadits atau al-sunnah dan ulil amri
termanifestasikan dalam legislasi yang dibuat oleh manusia
dengan mekanisme dan sistem yang beranekan ragam.
Penekanan al-Qur‟ân untuk dijadikan sebagai sumber
hukum bagi umat Islam juga dinyatakan secara beruntun dalam
al-Qur‟ân Surat al-Mâidah ayat (44), (45) dan (47) yang
dilakukan dengan menggunakan teks sama namun diakhiri
dengan suatu ancaman atau bentuk ketegasan. Dalam al-Qur‟ân
Surat al-Mâidah ayat (44) penegasan terhadap siapa-siapa yang
tidak berhukum dengan hukum Allah maka mereka termasuk
orang-orang kafir17
. Pada ayat selanjutnya yaitu al-Qur‟ân Surat
17
Allah menyebut orang-orang yang mendustakan hukum Allah
dengan sebutan angkuh dan keras kepala dalam kekafiran sehingga
menimbulkan perbedaan pendapat di kalangan para ulama apakah orang-
orang yang tidak menjalankan hukum Allah maka otomatis jatuh kepada
35
al-Mâidah ayat (45) ancaman bagi yang tidak berhukum dengan
hukum Allah adalah dimasukkan sebagai orang-orang yang
zalim. Sedangkan ayat selanjutnya, yaitu al-Qur‟ân Surat al-
Mâidah ayat (47) menyatakan bahwa orang-orang yang tidak
berhukum dengan hukum Allah adalah termasuk orang-orang
yang fasik.
Klaim al-Qur‟ân sebagai sumber hukum Islam diperkuat
dengan banyaknya kandungan al-Qur‟ân yang justru berbicara
tentang hukum baik kandungan gramatikal atau kandungan
yang menggambarkan bentuk informasi atau perintah yang
berfungsi sebagai hukum bagi yang mengimaninya. Meskipun
begitu, al-Qur‟ân harus dipahami sebagai sebuah kitab suci
yang tidak mungkin mencakup semua materi ilmu pengetahuan.
Keberadaan sumber-sumber keilmuan termasuk di dalamnya
sumber hukum memberikan gambaran bahwa al-Qur‟ân dapat
dijadikan pedoman umat manusia dalam kehidupan sosialnya.
Adapun pemahaman komprehensif terhadap suatu bidang ilmu
pengetahuan yang dibahas di dalam al-Qur‟ân dapat digali
dengan memaksimalkan potensi akal pikiran yang diberikan
oleh Allah kepada manusia.
kekafiran. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa label orang-orang kafir,
orang-orang zalim dan orang-orang fasik dalam ayat-ayat tersebut adalah
label yang ditujukan kepada ahli kitab. Hal ini didukung oleh pendapat al-
thabari yang menyatakan bahwa tiga ayat dalam tersebut sama sekali tidak
berbicara tentang umat Islam, tetapi ayat-ayat tersebut menyangkut orang-
orang kafir. Pendapat di atas di tolak oleh al-Râzi. Ia mengatakan bahwa
pandangan di atas adalah lemah. Hal ini didasarkan pada keumuman redaksi,
bukan kekhususan sebab. Menurut al-Râzi ayat-ayat tersebut sesungguhnya
mencakup orang-orang yang mengingkari dengan hatinya dan menolak
dengan lisannya. Adapun orang-orang yang mengakui dengan hatinya bahwa
itu adalah hukum Allah lalu menyatakan dan mengikrarkan dengan lisannya
bahwa itu adalah hukum Allah hanya saja ia mengambil langkah yang tidak
sesuai dengan itu, ia tetap dianggap sebagai orang yang menetapkan apa
yang diturunkan oleh Allah. Namun pada waktu yang sama, ia adalah orang
yang meninggalkannya, sehingga ia tidak mesti masuk ke dalam cakupan
ayat ini. al-Zuhaili, Tafsir al-Munir: Aqidah, Syari‟ah, dan Manhaj, Jilid 3.
h. 168.
36
H.A.R Gibb seorang orientalis yang mumpuni dalam bidang
pemikiran dan hukum Islam mengatakan bahwa aktivitas
pemikiran yang menonjol pada masa awal permulaan Islam
adalah bidang hukum dan bukan bidang pemikiran. Menurutnya
ada beberapa hal yang mempengaruhi mengapa posisi hukum
dalam Islam menjadi begitu penting. Pertama, kebutuhan-
kebutuhan praktis masyarakat Islam yang sedang tumbuh
menghendaki proses hukum yang stabil dan standar sebelum
umat Islam mempunyai kesempatan untuk memikirkan
masalah-masalah filsafat. Kedua, Hukum Romawi yang
ditemukan umat Islam di Mesir, Suriah, dan Irak mendorong
mereka untuk mengkonstruksi sistem hukum mereka sendiri
sebelum kontroversi pemikiran asing mempengaruhi mereka18
.
Boleh jadi perkembangan hukum Islam beserta
pengorganisasian yang telah berlangsung lama dipengaruhi oleh
faktor-faktor di atas, namun inspirasi utama sebagai sumber
hukum dan perkembangannya adalah al-Qur‟an dan Sunnah.
Bagi para pemikir muslim, hukum bukanlah sebuah
bentuk pengkajian yang independen dan empiris, melainkan
melalui proses dakwah atau wahyu yang turun melalui
Rasulullah Sallallahu alaihi wasallam. Pada generasi awal
sebenarnya hampir-hampir tidak dapat dibedakan mana hal-hal
yang merupakan sesuatu yang bersifat legal dan mana yang
bersifat keagamaan. Dalam al-Qur‟an dan Sunnah, kedua hal ini
saling terkait dan berhubungan, karena baik hal-hal yang
bersifat legal atau keagamaan, segalanya bersumber pada al-
Qur‟ân dan Sunnah.
Di sinilah sebenarnya klaim al-Qur‟ân sebagai sumber
hukum bagi Umat Islam tidak dapat terbantahkan. Dengan
memperhatikan substansi hukum dalam konteks al-Qur‟ân,
maka hukum sebenarnya adalah ketetapan, keputusan, perintah,
kebijakan, dan pemerintahan. Allah dan Rasul menetapkan
sesuatu sebagai keputusan dan perintah yang harus dijadikan
18
Rifyal Ka‟bah, Hukum Islam di Indonesia Perspektif
Muhammadiyah dan NU, (Jakarta:Universitas Yarsi,1999). h.34.
37
pegangan dalam mengambil kebijakan dalam hidup dan
menjalankan pemerintahan. Sebagiannya merupakan ketetapan
langsung dari Allah dan sebagian lagi merupakan ketetapan
yang keluar dari kebijakan manusia berdasarkan rasa keadilan
yang ditanamkan Allah dalam dirinya19
.
Al-Qur‟ân adalah sebuah kitab suci bagi umat Islam.
Keberadaannya yang dianggap sempurna harus dipahami
sebagai sebuah pedoman umum dalam konteks keberagamaan
termasuk di dalamnya hukum-hukum yang terkandung di
dalamnya. Sebagai suatu sumber hukum yang merupakan
norma tertinggi dari suatu legislasi, al-Qur‟ân tidak bisa
dipaksakan untuk memberikan aturan-aturan konkrit dan
mendetail tentang kehidupan manusia dari segala latar beakang
dan perbedaan zaman. Oleh karenanya sebagai sumber hukum,
al-Qur‟ân hanya memberikan pedoman-pedoman umum
legislasi yang harus dikembangkan lagi oleh manusia.
Kandungan isi al-Qur‟ân yang sangat beragam termasuk
sebagai sumber hukum memang tidak memungkinkan untuk
mencakup segala aspek kehidupan. Al-Qur‟ân telah secara tegas
menyatakan sendiri bahwa ia adalah sumber hukum dan
legislasi. Namun bagaimana perspektif al-Qur‟ân tentang
hukum itu sendiri adalah hal yang juga menarik untuk dikaji.
1. Hukum dalam Perspektif al-Qur’ân.
Kata-kata hukum dalam perspektif al-Qur‟an sangat
terhubung erat dengan kata-kata adil atau keadilan. Hal ini
mengingat al-Qur‟ân juga banyak membahas tentang keadilan
yang terkait dengan hukum. Hukum dalam perspektif al-Qur‟ân
yang memiliki makna keputusan harus memiliki tujuan keadilan
dalam pelaksanaanya. Oleh karenanya al-Qur‟ân ketika
menyikapi setiap perbedaan yang mengharuskan diambil suatu
keputusan maka hendaknya keputusan tersebut diambil
berdasarkan keadilan. Perintah untuk senantiasa adil dalam
19
Rifyal Ka‟bah, Penegakan Syariat Islam di Indonesia,
(Jakarta:Khairul Bayan, 2004), h. 20.
38
bermuamalah atau pergaulan sosial juga dianggap sebagai suatu
perbuatan yang lebih mendekatkan manuasia kepada
ketakwaan20
.
Keadilan yang mempunyai hubungan yang kuat dengan
aspek hukum di dalam al-Qur‟ân memiliki beberapa makna.
Jika ditinjau secara bahasa maka adil bermakna meletakkan
sesuatu pada tempatnya (Wad‟u al-Syai‟ fî Mahallih).
Sedangkan pengertian pokok keadilan adalah sebagai berikut:
1. Perimbangan atau keadaan seimbang (mauzuni). Dalam
makna ini, keadilan anonim dengan kekacauan atau
ketidakadilan (al-tanasub).
2. Persamaan (musawah) atau ketidakadaan diskriminasi
dalam bentuk apapun. Hal ini berdasarkan pada prinsip
demokrasi dan Universal Declaration of Human Right yang
di bangun atas dasar persamaan.
3. Penunaian hak sesuai dengan kewajiban yang diemban.
Keadilan dalam arti hampir sama dengan keadilan distributif
(imbalan sesuai jasa) dan keadilan komutatif (imbalan
secara merata tanpa memperhatikan perbedaan tingkat
tanggung jawab) seperti yang dijelaskan oleh filosof
Aristoteles.
4. Keadilan Allah, yaitu kemurahan-Nya dalam melimpahkan
rahmat kepada seseorang sesuai dengan tingkat kesedian
yang dimilikinya.
Dalam beberapa ayat al-Qur‟ân dapat dijumpai perintah
untuk berlaku adil, di antaranya sebagai berikut: “berlaku
20
أال يا أي هآ ٱلذين آمنوا كونوا ق وامني للو شهدآء بٱلقسط وال يرمنكم شنآن ق وم على ت عدلوا ٱعدلوا ىو أق رب للت قوى وٱت قوا ٱللو إن ٱللو خبري با ت عملون “Hai orang-orang yang beriman, jadilah kamu sebagai penegak keadilan
karena Allah, (ketika) menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah
kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak
adil. Berlaku adillah. Karena (adil) itu lebih dekat kepada takwa. Dan
Bertakwalah kepada Allah, sungguh, Allah Maha Teliti terhadap apa yang
kamu kerjakan”.
39
adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa…” (Q.S. al-
Mâ‟idah [5]:8); “Sesungguhnya Allah memerintahkan kamu
menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan
(menyuruh kamu), apabila menetapkan hukum di antara
manusia, supaya menetapkan dengan adil…” (Q.S. al-Nisa [4];
58); “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu berlaku adil dan
berbuat kebajikan….” (Q.S. al-Nahl [16]: 90) dan “…Maka
damaikanlah antara keduanya dengan adil dan berlaku adillah.
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.”
(Q.S al-Hujurat [49]:9).
Jika dihubungkan dengan aspek keadilan, maka dapat
diberikan suatu kesimpulan bahwa dalam perspektif al-Qur‟ân,
hukum adalah suatu ketetapan, keputusan dan perintah yang
berasal dari Allah dan legislasi manusia yang bertujuan untuk
menegakkan keadilan dalam kehidupan pribadi, masyarakat dan
negara. Sebagai ketetapan yang beras al dari perintah Allah
yang Maha Adil, Maha Benar dan Maha Tahu kemaslahatan
hamba-Nya, hukum ilahi berisikan keadilan seluruhnya.
Sebagai ketetapan yang berasal dari legislasi manusia, hukum
manusia harus berdasarkan kepada hukum ilahi dan rasa
keadilan yang paling tinggi
Kata hukm dengan berbagai variasinya juga ditemukan
sebanyak 30 kali di dalam al-Qur‟an. Jika dilihat dengan segala
variasi dan turunannya, maka kata hukm terulang sebanyak 210
kali. Hal ini membuktikan bahwa concern al-Qur‟an sebagai
firman Allah terhadap perkara hukum dengan berbagai
maknanya juga sangat besar21
.
Ayat-ayat dalam al-Qur‟ân yang menyangkut hukum
secara garis besar dibagi menjadi dua bagian. Bagian yang
pertama menyangkut hukum yang terkait dengan perbuatan
Allah yaitu keputusan yang akan Ia berikan di hari akhirat
terhadap permasalahan yang diperdebatkan di kalangan
21
Mu‟jam Ma‟aniy al-Qur‟ân al-Karîm
40
manusia. Bagian yang kedua adalah hukum yang menyangkut
perbuatan manusia yaitu hukum sebagai perintah dari Allah
supaya memutuskan perkara atau urusan (baik di dalam maupun
di luar pengadilan, dan dalam masyarakat pada tingkat
kehidupan orang perorang atau pemerintahan pada tingkat
kehidupan bernegara) berdasarkan keadilan [al-Mâ‟idah 5:5, an-
Nisâ 4:58] dan sesuai dengan yang diperintahkan oleh Allah
[an-Nisâ 4:105].
Adapun ayat-ayat hukum yang menyangkut perbuatan
Allah adalah keputusan menyangkut perselisihan antara ummat
Kristen dan ummat Yahudi [al-Baqarah 2:113], keputusan
sengketa antara sesame pengikut nabi „Isa tentang status
kematian beliau [al-„Imrân 3:55], keputusan antara umat nabi
Syu‟aib yang beriman dan yang tidak beriman [al-A‟raf 7:87],
keputusan antara orang munafik dan orang yang tidak beriman
[al-Nisa 4 : 141], keputusan antara sesame umat Yahudi
menngenai masalah sabath [Al-Nahl 16:124], keputusan antara
sesama umat manusia [al-Hajj 22:56] keputusan antara umat
manusia mengenai perkara ibadah [al-Hajj 22:69], keputusan
antara sesame orang musyrik [al-Zumar 39:3] dan keputusan-
keputusan lainnya yang menyangkut perbuatan Allah di akhirat.
Keputusan atau ketetapan Allah memang berlaku di dunia dan
di Akhirat dan tidak ada yang dapat menghalangi keputusan-
Nya atau meminta pertanggungjawaban-Nya. Namun keputusan
Allah di akhirat kelak tidak lagi memperhatikan wilayah
keputusan atau ketetapan manusia yang pada saat itu wilayah
keputusan dan ketetapan ada sepenuhnya di tangan Allah.
Berbeda dengan di dunia, di akhirat manusia tidak lagi dapat
menyanggah keputusan Allah. Bila semasa kehidupan di dunia
ada keputusan hukum yang dijatuhkan tidak berdasarkan fakta
yang sebenarnya, keputusan hukum dalam kehidupan di akhirat
betul-betul berdasaran fakta sesungguhnya. Kebaikan akan
dibalas dengan kebaikan dan keburukan akan dibalas dengan
keburukan. Disinilah ada kaitan yang erat antara hukum dan
41
konsep Jaza‟ (pembalasan, sanksi) dari satu sisi, dan antara
hukum dan keadilan dari sisi lain.
2. Kandungan ayat-ayat hukum di dalam al-Qur’ân
Sesuai dengan apa yang telah penulis sampaikan bahwa
al-Qur‟ân adalah sumber hukum utama bagi umat Islam. Meski
harus diakui bahwa al-Qur‟ân adalah kitab suci dan bukan kitab
undang-undang, maka harus dipahami pula bahwa konten
kandungan ayat-ayat hukum di dalam al-Qur‟an bersifat global
dan tidak membahas secara detail aturan-aturan khusus legislasi
mengenai berbagai permasalahan hukum. Fungsinya sebagai
petunjuk atau dalil bagi manusia atau sebagai istinbath dalam
melakukan legislasi yang lebih terperinci dalam kehidupan
sosial.
Kandungan ahkam di dalam al-Qur‟an menurut „Abd al-
Wahhab Khallaf mencakup tiga hal utama yaitu:
a. Hukum keyakinan (ahkam al-I‟tiqodiyyah), yaitu
kewajiban-kewajiban bagi mukallaf untuk percaya pada
Allah, malaikat, kitab-kitab-Nya para rasul, dan hari kiamat.
b. Hukum akhlak, (ahkam al-khuluqiyyah), yaitu kewajiban
bagi mukallaf untuk berbuat kebaikan sebanyak-banyaknya
dan menjauhkan diri dari kejelekan.
c. Hukum amaliah (ahkam al-„amaliyyah), yaitu kewajiban-
kewajiban bagi mukallaf, baik dalam perkataan, perbuatan
maupun dalam tasharrufat. Secara umum inilah apa yang
disebut oleh „Abd Wahhab Khallaf sebagai fiqh al-
Qur‟ân.22
Secara umum kandungan hukum yang terkandung di
dalam al-Qur‟ân dapat dibagi menjadi dua bagian utama yaitu
aspek hukum ibadah dan aspek hukum muamalah. Yang
termasuk dalam aspek hukum ibadah ayat-ayat yang
menyangkut shalat, puasa, haji, dan nazar. Ayat-ayat yang
22
Jaih Mubarok, Sejarah dan perkembangan Hukum Islam,
(Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2000), h. 24.
42
menyangkut hukum ibadah berjumlah sekitar 140 ayat. Adapun
ayat-ayat yang terkait dengan aspek hukum mumalah adalah
ayat-ayat yang bertujuan untuk membangun keselarasn
hubungan antar manusia (hablu min al-nas). Cakupan
muamalah, dalam pandangan „Abd al-Wahhab Khallaf dan
Kamil Musa, adalah sebagai berikut23
:
a. Hukum keluarga (al-ahwâl al-syakhsiyyah), yaitu hukum
yang mengatur hubungan individu dengan individu dalam
keluarga dan kekerabatan. Jumlah ayatnya sekitar 70 ayat.
b. Hukum kebendaan (ahkam madaniyyah), yaitu hukum yang
mengatur tukar menukar harta seperti ijarah, rahn, kafalah,
dan syirkah dan syirkah. Dalam al-Qur‟an terdapat aturan
tentang hukum kebendaan sebanyak sekitar 70 ayat.
c. Hukum Jinayah (ahkam Jina‟iyyah), yaitu hukum yang
mengatur pelanggaran dan sanksi yang dilakukan oleh
mukallaf. Tujuannya adalah menjaga hidup manusia dan
hartanya. Di dalam al-Qur‟ân, hukum terkait dengan jinayah
berjumlah sekitar 30 ayat.
d. Lembaga peradilan (ahkam murafa‟at), yaitu hukum yang
mengatur syarat-syarat hakim, saksi, dan sumpah. Dalam al-
Qur‟ân ayat-ayat yang mengatur tentang ahkam murafa‟at
ini berjumlah sekitar 10 ayat.
e. Hukum dusturi (al-ahkam al-dusturiyyah), yaitu hukum
yang berhubungan dengan interaksi antara pemimpin
dengan rakyat. Dalam al-Qur‟ân, ayat-ayat yang
mengandung tentang hubungan ini berjumlah sekitar 10
ayat.
f. Hukum negara (al-ahkam al-dauliyyah), yaitu hukum yang
mengatur hubungan kenegaraan, hubungan antar negara
(regional dan internasional). Dalam al-Qur‟ân terdapat
tentang aturan al-ahkam al-dauliyyah berjumlah sekitar 25
ayat.
23
Mubarok, Sejarah dan perkembangan Hukum Islam, h. 24
43
g. Hukum ekonomi, (al-ahkam al-iqtishadiyyah wa al-
maliyyah), yaitu hukum yang berhubungan antara kaya dan
miskin dan antara individu dan kelompok. Dalam al-Qur‟ân
terdapat aturan tentang al-ahkam al-iqtishadiyyah sekitar 10
ayat.
h. Hukum yang mengatur hubungan antara Islam dengan
bukan Islam. Jumlah ayat yang mengatur hukum ini
sebanyak 25 ayat.
Secara sederhana, pembagian kategorisasi ayat-ayat
hukum yang dijelaskan di atas dapat dilihat pada table dibawah
ini.
No Bidang Jumlah
ayat
1. Ibadah 140
2. Al-ahwal al-syakhsiyyah (Kawin, talak,
waris dan wasiat) 70
3. Muamalah (Jual beli, sewa, pinjam, gadai,
perseroan dan kontrak) 70
4. Kriminal (Jinayah) 30
5. Peradilan 13
6. Hubungan kaya dan miskin 10
7. Kenegaraan 10
8. Hubungan Islam dengan bukan Islam 25
Jumlah 368
Pada saat al-Qur‟ân datang, maka al-Qur‟ân menjadi
sumber-sumber hukum bagi umat Islam dan mengatur
hubungan Islam dengan umat dan golongan lain ketika itu
seperti Yahudi, Nasrani bahkan orang-orang Majusi.
Sebagaimana al-Qur‟ân menetapkan hukum-hukum baru
terhadap umat Islam dan umat lainnya, al-Qur‟ân beserta al-
Sunnah yang bersumber pada hadits Rasulullah sallallahu
„alaihi wasallam juga menghapus hukum-hukum jahiliyah
yang sudah ada yang dianggap bertentangan dengan al-Qur‟ân
dan al-Sunnah atau hukum-hukum tersebut dianggap
44
berbahaya dan merusak. Di antara perkara-perkara yang
dihapuskan adalah sebagai berikut, yaitu24
:
a. Keyakinan paganisme dan indikasi kesyirikan, seperti
menyatakan bahwa penyebab kebinasaan adalah waktu,
mengingkari ayat-ayat Allah dan pertemuan dengan-Nya,
mengingkari kebangkitan setelah kematian, keyakinan
bahwa para malaikat adalah anak perempuan dari Allah,
mengkhususkan hewan ternak dan tanaman untuk
sesembahan, dan keyakinan khusus mereka terhadap
bahirah25
, sa‟ibah26
, Washilah27
, dan ham28
.
b. Perilaku-perilaku buruk seperti membunuh anak kandung
karena khawatir kemiskinan, dan mengubur bayi perempuan
dalam kondisi hidup karena khaawatir celaan.
c. Pernikahan-pernikahan jahiliyah, seperti berkumpulnya
beberapa orang untuk menggauli seorang wanita. Jika
wanita tersebut hamil dan ia melahirkan lalu ia membawa
bayi tersebut kepada salah satu dari pelaku maka ia tidak
boleh menolaknya.
d. Adopsi anak. Praktek ini sudah berlaku beberapa waktu
sejak awal masa Islam diturunkan hingga turunnya firman
Allah yang menunjukkan larangan atasnya:
24
Manna‟ al-Qatthan, Sejarah Legislasi Hukum Islam, Penerjemah
Habibussalam (Jakarta:Ummul Qura, 2018), h. 209. 25
Bahirah adalah onta betina yang telah beranak lima kali dan
anakk yang kelima itu jantan, lalu onta betina itu dibelah telinganya,
dilepaskan, tidak boleh ditunggangi lagi dan tidak boleh diambil susunya. 26
Sa‟ibah adalah onta betina yang dibiarkan pergi kemana saja
lantaran sesuatu nazar. seperti, jika seorang Arab Jahiliah akan melakukan
perjalanan yang berat, maka ia akan bernazar dan menjadikan ontanya itu
Sa‟ibah bila maksud dari perjalanannya itu berhasil atau terkabul. 27
Washillah adalah seekor domba betina yang melahirkan anak
kembar yang terdiri dari satu jantan dan satu betina, maka yang jantan
disebut Washilah, tidak boeh disembelih dan dipersebahkan untuk berhala. 28
Hâm adalah onta jantan yang tidak boleh diganggu gugat lagi,
karena telah dapat membuntingkan onta betina sepuluh kali.
45
لكم ق ولكم بأف واىكم وٱللو ي قول ٱلق وما جعل أدعيآءكم أب نآءكم ذٱدعوىم آلبآئهم ىو أقسط عند ٱللو فإن ل ت علمو ا وىو ي هدي ٱلسبيل
ين ومواليكم آباءىم فإخوانكم ف ٱلد
“Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak
kandungmu (sendiri). Yang demikian itu hanyalah
perkataan dimulutmu saja. Dan Allah mengatakan yang
sebenarnya dan dia menunjukkan jalan (yang benar).
Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan
(memakai) nama bapak-bapak mereka; itulah yang lebiha
adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-
bapak mereka, maka (panggillah mereka sebagai)
saudara-saudara seagama dan maula-maulamu…” (al-
Ahzab:4-5
e. Minuman keras, perjudian, berhala, dan mengundi nasib
dengan anak panah. Meskipun pada hakikatnya minuman
keras diharamkan secara berangsur-angsur.
f. Sebagian kabilah meremehkan kabilah lainnya dalam
urusan qisas dan diyat (tebusan). Mereka menjadikan qishas
dan tebusan mereka beberapa kali lipat dari qishas dan
tebusan milik lawannya. Dan terkadang mereka menambah
dan mempersulitnya. Mereka meminta qishas atas satu
orang dengan beberapa jumlah orang atau meng-qishas
orang yang tidak menjadi pelaku pembunuhan. Atau mereka
meng-qishas orang yang merdeka atas budak. Hingga
turunlah ayat yang berbicara tentang qisas.
g. Pada awalnya, zihar sama dengan perceraian. Hingga
terjadilah zihar dari Aus bin Shamit kepada istrinya yang
bernama Khaulah binti Tsa‟labah. Kemudian istrinya
mengadukan kepada Rasulullah shallallahu alaihi
wasallam.
h. Ila, pada masa jahiliyah jangka waktunya adalah satu tahun
sampai dua tahun dan bahkan lebih dari itu. Kemudian
46
Allah membatasi waktu tersebut menjadi empat bulan dan
apabila suami kembali kepada istrinya maka hendaknya ia
membayar kaffarah atas sumpahnya. Tetapi jika suami
belum juga kembali kepada istrinya setelah berlalu waktu
tersebut maka sang hakim berhak memberikan pilihan
kepadanya; kembali kepada istrinya atau menceraikannya.
i. Kaum kafir Quraisy dan orang yang seakidah dengan
mereka melakukan wukuf di Muzdalifah, dan mereka
menamakannya (Muzdalifah) dengan Hums. Sementara
orang-orang Arab secara umum melakukan wukuf di
padang Arafah. Kemudian ketika Islam datang, Allah
memerintahkan Nabi-Nya untuk mendatangi Arafah dan
berwukuf di sana kemudian bertolak darinya. Inilah
kandungan firman Allah:
ث أفيضوا من حيث أفاض ٱلناس “Kemudian bertolaklah kamu dari tempat bertolaknya
orang-orang…” (al-Baqârah:199)
j. Dahulu mereka memperbolehkan transaksi riba berlipat-
lipat ganda. Apabila salah seorang dari mereka berutang
kepada orang lain dan tiba waktu pengembalian utang
tersebut, pemilik harta berkata kepada pengutang “Engkau
bayar atau (harta tersebut) akan dikembangkan?” Apabila
pengutang tidak membayar utang, maka pemilik harta
menambah jumlah utang tersebut dan pengutang menambah
jangka waktu pengembaliannya. Hingga akhirnya turunlah
pengharaman transaksi riba.
3. Al-Qur’ân sebagai Dokumen Hukum
Fazlur Rahman, salah seorang pemikir Islam setuju
bahwa legislasi adalah salah satu aspek penting yang
dinyatakan di dalam al-Qur‟ân. Dua hal lain yang merupakan
hal mendasar dari al-Qur‟ân adalah fungsi dan hakikat al-
Qur‟ân. Menurutnya yang dimaksud legislasi al-Qur‟ân adalah
pernyataan-pernyataan al-Qur‟ân yang bermuatan hukum.
Muatan pernyataan hukum yang ada di dalam al-Qur‟ân hampir
47
seluruhnya turun pada periode Madinah. Hal ini disebabkan
pada masa itulah Rasulullah telah mempunyai kewenangan
administratif dan politik, dan oleh karena itulah Rasulullah
memiliki kesempatan untuk menetapkan aturan-aturan yang
bersifat hukum29
.
Namun, Fazlur Rahman menekankan bahwa meskipun
al-Qur‟ân mengandung beberapa pernyataan aturan hukum
yang sangat penting, tapi apa yang terkandung di dalam al-
Qur‟ân itu pada dasarnya adalah prinsip-prinsip dan seruan-
seruan moral; al-Qur‟ân dalam konteks ini bukanlah sebuah
kitab dokumen hukum. Hal ini menyebabkan legislasi yang ada
dalam al-Qur‟an dapat diamati secara jelas menuju kepada
prinsip-prinsip atau seruan-seruan moral. Tujuan dari seruan
moral ini adalah terciptanya keadilan sosial yang tidak
dimaksudkan untuk kepentingan legislasi semata30
.
Fazlur Rahman mencoba memberikan contoh tentang
apa yang ia maksud kandungan hukum al-Qur‟ân sebagai
seruan-seruan moral menuju terciptanya keadilan sosial bagi
umat manusia. Aturan-aturan legislasi hukum yang ada dalam
al-Qur‟ân seperti perkara-perkara waris, pernikahan, riba, zakat,
perbudakan, poligami, perceraian dan aturan-aturan lainnya di
dalam al-Qur‟ân yang bertujuan mengangkat derajat kedudukan
masyarakat kelas dua seperti wanita, anak-anak yatim, fakir
miskin dan budak menuju terwujudnya keadilan sosial dan
persamaan esensial derajat manusia. Kebijakan moral yang
hendak di capai melalui legislasi al-Qur‟ân tersebut semakin
jelas terlihat jika di pandang dari konteks dan latar belakang
sosiologis masyarakat arab ketika masa turun wahyu yang mana
kehidupan mereka diwarnai kesenjangan pola hubungan dan
29
Ghufron A. Mas‟adi, Pemikiran Fazlur Rahman tentang
Metodologi Pembaharuan Hukum Islam (Jakarta: Rajawali Press, 1997), hal.
121. 30
Mas‟adi, Pemikiran Fazlur Rahman tentang Metodologi
Pembaharuan Hukum Islam, h. 122
48
eksploitasi masyarakat kelas satu terhadap kelompok
masyarakat kelas dua31
.
Pernyataan Fazlur Rahman bahwa al-Qur‟ân bukanlah
suatu dokumen hukum berbeda dengan apa yang dikatakan oleh
Wael B. Hallaq yang secara tegas menyatakan bahwa al-Qur‟ân
jelas merupakan dokumen hukum. Di dalamnya terkandung
ratusan ayat-ayat hukum yang dijadikan sandaran dalam
menetapkan hukum dalam kehidupan sosial umat Islam. Hallaq
tidak menyangkal bahwa memang al-Qur‟ân adalah kitab
agama dan ajaran moral, namun tidak diragukan ia memuat
unsur-unsur legislasi. Di antara sekian banyak nasihat dan
ajaran al-Qur‟ân terdapat ketentuan-ketentuan legal dan quasi-
legal. Misalnya, hukum diperkenalkan dalam hal-hal tertentu
misalnya ritual, zakat, pajak, properti, perilaku terhadap anak
yatim, warisan, riba, pemakaian alcohol, perkawinan,
perceraian, persetubuhan, pencurian, pembunuhan dan
ketentuan-ketentuan lainnya yang bersifat legislasi.
Kandungan ayat-ayat hukum yang sedikit di bandingkan
keseluruhan ayat al-Qur‟ân memberikan kesan yang salah
bahwa al-Qur‟ân memperhatikan aspek-aspek hukum secara
kebetulan belaka. Padahal fakta-fakta di dalam al-Qur‟ân
sendiri menyebutkan ada penekanan yang cukup kuat untuk
mengimplementasikan hukum. Ayat-ayat hukum juga jika
dikaji lebih mendalam rata-rata lebih panjang daripada ayat-
ayat non hukum. Ini adalah salah satu bentuk penekanan al-
Qur‟ân agar legislasi menjadi lebih jelas dan manusia
memaksimalkan akal pikirannya untuk mengambil istinbath
sehingga penjelasan hukum pada tatanan praktis menjadi lebih
komprehensif32
.
31
Mas‟adi, Pemikiran Fazlur Rahman tentang Metodologi
Pembaharuan Hukum Islam, h.122. 32
Wael B. Hallaq, Sejarah Teori Hukum Islam: Pengantar untuk
Ushul Fiqh dan Mazhab Sunni, Penerjemah E. Kusnadiningrat, Abdul Haris
bin Wahid (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2000), h. 5.
49
4. Al-Qur’ân dan Perubahan Sosial
Hukum sebagai sebuah instrument dalam perubahan
sosial mengenal konsep perubahan sesuai dengan konteks
waktu, tempat dan kondisi tertentu. Namun para ulama
menegaskan bahwa perubahan hukum yang disebabkan oleh
pergeseran waktu dan tempat atau kondisi tertentu hanyalah
hukum-hukum yang memang terbangun melalui pondasi adat
istiadat. Artinya bukan semua hukum syariat dapat dianulir
akibat pergeseran waktu maupun peredaran masa. Perubahan ini
didasarkan pada sebuah kaidah yang lazim di kalangan ulama
yaitu Lâ yunkaru taghayyur al-ahkâm bi taghayyur al-azmân
yang maksudnya adalah perubahan akibat bergesernya waktu
dan zaman adalah perubahan yang tak perlu diingkari.
Dalam konteks al-Qur‟ân sebagai pedoman legislasi dan
dokumen hukum, apakah perubahan itu dimungkinkan.
Pertanyaan ini sangat berkaitan dengan konsep diturunkannya
al-Qur‟ân apakah disesuaikan dengan situasi dan kondisi sosial
pada masa waktu itu atau al-Qur‟ân diturunkan sebagai jawaban
untuk merespon pertanyaan yang diajukan para sahabat kepada
nabi dan jawaban dari kondisi socio-kultural yang ada saat ini
ataukah sebaliknya, diturunkannya al-Qur‟ân tidak untuk
merespon kondisi sosio-kultural yang ada, melainkan telah ada
jauh sebelum manusia itu ada (sejak zaman azali di lauh
mahfud).33
Sesungguhnya ada dua kubu utama yang mencoba
memberikan jawaban terhadap perubahan sosial dan hukum
dalam konteks al-Qur‟ân sebagai sumber hukum dan dokumen
hukum. Kubu pertama meyakini bahwa kehadiran al-Qur‟ân
memang sebagai bentuk respon terhadap situasi dan kondisi
sosial pada waktu atau al-Qur‟an diturunkan untuk menjawab
permasalahan-permasalahan yang ada ketika itu dan menjawab
permasalahan-permasalahan yang ditanyakan oleh para sahabat.
Kubu yang lain menganggap bahwa al-Qur‟ân bersifat azali,
33
Yayan Sopyan, Tarikh Tasyri‟: Sejarah Pembentukan Hukum
Islam, (Depok: Gramata Publishing, 2010), h. 76.
50
artinya al-Qur‟ân hadir bukan untuk merespon kondisi sosial
yang ada, melainkan al-Qur‟ân memang telah ada jauh sebelum
manusia ada. Dengan pemamhaman ini secara sosio-kultural
(perilaku dan budaya manusia) yang harus menyesuaikan dan
menyelaraskan kepada al-Qur‟ân. Artinya, kata-kata yang ada
dalam nash al-Qur‟ân merupakan teks yang harus dipertahankan
(maknanya secara literal) apa adanya, tidak boleh berubah,
sehingga dalam memperlakukan al-Qur‟ân itu harus sami‟nâ wa
ata‟na
Dari perbedaan pendapat di atas dapat dikemukakan
bahwa turunnya al-Qur‟ân ketika itu memang cukup responsif
terhadap kondisi sosio-kultural pada saat itu. Ada beberapa
fakta yang dapat mendukung pernyataan tersebut antara lain:34
a. Adanya ayat-ayat yang diturunkan dengan didahului kata
“yas‟alûnaka…” yang berarti al-Qur‟ân mencoba
memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang
muncul yang diajukan oleh para sahabat kepada Rasûlullah
sallallâhu „alaihi wasallam, dan beliau menunggu jawaban
dari Allah Subhânahu Wata‟ala melalui wahyu. Sebagai
jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini, maka turunlah
ayat-ayat sejenis di atas dan setidaknya menjadi petunjuk
bahwa al-Qur‟ân responsif terhadap permasalahan yang
sedang berlangsung. Contoh ayat-ayat yang terkait dengan
konteks ini adalah Surat al-Isrâ [17]:85, Surat al-Baqârah
[2]:217, Surat al-Baqârah [2]: 220, Surat al-Mâ‟idah [5]:4.
b. Ada ayat-ayat yang turun berdasarkan permintaan, do‟a
dan/atau sikap dan keinginan Nabi. Seperti turunnya Surat
al-Baqârah [2]:144. Pada masa awal periode Madinah, Nabi
sangat menginginkan dan lebih suka ketika shalat
menghadap ke Ka‟bah tidak ke Baitul Maqdis maka
turunlah ayat ini.
c. Adanya konsep Nasakh dan Mansukh di dalam al-Qur‟ân.
Konsep nasakh dan Mansukh ini sebagai bukti bahwa al-
34
Sopyan, Tarikh Tasyri‟: Sejarah Pembentukan Hukum Islam, h.
77-79.
51
Qur‟ân memang responsif terhadap perubahahn oleh
karenanya ada ayat-ayat yang dihapus keberlakuan
hukumnya namun tulisannya masih ada atau dihapus
tulisannya namun hukumnya masih berlaku.
Meski demikian penulis melihat bahwa penggambaran
perbedaan dalam menyikapi perubahan sosial dan hukum dalam
konteks al-Qur‟ân tidak setajam itu. Penulis menyetujui bahwa
al-Qur‟ân bersifat azali, namun perubahan sosial dan hukum
tetap dapat terakomodir di dalam al-Qur‟ân. Al-Qu‟ân beserta
hukum yang dibawanya tetap bersifat azali dan tidak berubah
namun perubahan hukum yang terjadi lebih disebabkan karena
perbedaan waktu dan tempat, bukan karena perbedaan hujjah
atau dalil yang ada dalam al-Qur‟ân. Sifat hukum memang
berubah sesuai illatnya. Baik illat waktu, tempat maupun
kondisinya. Artinya perbedaan implementasi dari dalil-dalil
yang ada di al-Qur‟ân bukan karena dalil atau hukum itu sendiri
yang berubah, melainkan sekedar perubahan desain hukum dan
dialektika pergeseran momentum sejarah35
.
Contoh nyata perubahan hukum karena adanya
perubahan zaman dan kondisi sosial adalah penggunaan alat
tukar dalam kehidupan manusia. Pada awal perkembangannya,
manusia banyak menggunakan emas dan perak sebagai alat
tukar dan hal ini tidak ada larangannya di dalam kehidupan
sosial pada masa Rasûlullah baik dalam al-Qur‟ân maupun
hadits. Namun dalam perkembangannya alat tukar ini
berkembang menjadi bentuk lain menjadi uang logam atau
kertas, bahkan pada saat ini menjadi alat tukar elektronik. Ada
batasan-batasan yang berasal dari hukum al-Qur‟ân namun
senyatanya dalil-dalinya tidak berubah, yang berubah adalah
kondisi sosial dan waktunya sehingga perubahan hukum tidak
dapat dihindari.
35
Abdul Haq, dkk., Formulasi Nalar Fiqh: Telaah Kaidah Fiqh
Konseptual, h. 307.
52
C. Periodisasi Perkembangan Tafsir Hukum
Sebagai sebuah cabang dari ilmu pengetahuan, tafsir
tentunya melalui proses perkembangan sehingga ia menjadi
mapan disebut sebagai ilmu pengetahuan. Terlebih lagi tafsir
hukum yang merupakan bagian yang lebih kecil dari
pembahasan ilmu tafsir. Tafsir hukum juga mempunyai latar
belakang sejarah jauh sejak al-Qur‟ân mulai diturunkan kepada
Rasûlullah sallallahu „alaihi wasallam. Keberadaan tafsir
hukum senyatanya merupakan realitas kebutuhan bagi umat
Islam untuk melakukan penggalian yang mendalam dalam
rangka mengembangkan sebuah sistem sosial dan norma yang
dapat mengatur kehidupan manusia pada umumnya berdasarkan
kaidah dan sumber hukum yang komprehensif dan valid.
Perkembangan tafsir hukum sejak zaman kenabian
hingga saat ini mempunyai beragam konteks yang berbeda-beda
yang dipengaruhi oleh periodisasi dakwah Islam dan
perkembangan kehidupan sosial umat Islam. Berikut adalah
periodisasi tafsir hukum sejak zaman kenabian hingga
berkembangnya mazhab-mazhab hukum saat ini yang memberi
andil terhadap maraknya pembahasan tafsir hukum dari segala
aspek pemahaman hukum.
1. Sejarah Perkembangan Tafsir Hukum pada Masa
Rasûlullah.
Allah memang memberikan jaminan kepada Rasûlullah
bahwa Dialah yang bertanggung jawab melindungi al-Qur‟ân
dan menjelaskannya. Hal ini sesuai dengan firman Allah
Subhanahu wa ta‟ala pada Surat al-Qiyâmah ayat (17) – (19)
yang menyatakan bahwa “Sesungguhnya atas tanggungan
Kamilah menghimpunnya (di dadamu) dan (membuatmu
pandai) membacanya. Apabila kami telah selesai
membacakannya maka ikutilah bacaannya itu. Kemudian
sesungguhnya atas tanggungan Kamilah penjelasannya”.
53
Pada ayat lain Allah juga memberikan penjelasan bahwa
Rasûlullah diberikan tugas untuk memberikan penjelasan
kepada umatnya tentang isi al-Qur‟ân. Allah berfirman:
للناس ما ن زل إليهم ولعلهم ي ت فكرون وأن زلنا إليك ٱلذكر لتب ني“…Dan kami turunkan kepadamu al-dzikr, agar kamu
menerangkan kepada umat manusia apa yang telah
diturunkan kepada mereka supaya mereka
memikirkannya” (al-Nahl:44)
Berdasarkan kedua ayat di atas dapat dipahami bahwa
Rasûlullah sebagai seorang nabi juga mempunyai tanggung
jawab untuk memberikan penjelasan tentang al-Qur‟ân.
Rasûlullah diberikan kemampuan istimewa untuk memberikan
penjelasan tentang tafsir al- Qur‟ân. Apa yang diucapkan oleh
beliau merupakan wahyu dari Allah Subhanahu wa ta‟ala36
.
Tidak dapat dipungkiri bahwa al-Qur‟ân memang
diturunkan kepada manusia melalui Rasûlullah mengandung
ayat-ayat hukum yang berhubungan dengan maslahat-maslahat
manusia baik untuk kepentingan dunia maupun akhirat37
. Umat
Islam pada masa Rasûlullah memahami al-Qur‟ân melalui
insting kearaban mereka. Jika terjadi kesulitan dalam
memahami sesuatu ayat maka mereka akan bertanya langsung
kepada Rasûlullah sallallahu „alaihi wasallam38
.
Rasûlullah sallallahu „alaihi wasallam dalam beberapa
kesempatan melakukan penafsiran terhadap ayat al-Qur‟ân.
Seperti pada saat Rasûlullah sallallahu „alaihi wasallam
menafsirkan kata-kata zulmun pada al-Qur‟ân Surat al-An‟am
36
Allah menjelaskan ini dalam firmannya Qs. al-Najm: 3
وما ينطق عن ٱلوى * إن ىو إال وحي يوحى yang berarti bahwa segala sesuatu yang keluar dari lisan Rasûlullah adalah
wahyu yang memang diberikan oleh Allah kepada beliau. 37
Muhammad Husein al-Dzahabi, Al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, Jilid
II, h. 379. 38
al-Dzahabi, Al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, h. 379.
54
ayat (82). Pada kesempatan ini Rasûlullah melakukan
penafsiran bi al-ma‟tsur dengan membandingkan antara ayat
yang satu dengan ayat yang lainnya. Rasûlullah sallallahu
„alaihi wasallam menafsirkan bahwa kata zulmun yang
bermakna penganiayaan di sini berarti adalah kemusyrikan
sebagaimana firman Allah dalam Surat Luqman ayat 13.
Rasûlullah sallallahu „alaihi wasallam juga menafsirkan
tentang arti quwwah pada Surat al-Anfal ayat (60) dengan arti
“memanah”.39
.
Penafsiran-penafsiran Rasûlullah sallallahu „alaihi
wasallam terkait dengan hukum atau tata acara ibadah pada
umumnya dilakukan dengan pengamalan atau memberikan
contoh. Misalnya ayat-ayat yang berkaitan dengan shalat, haji,
puasa atau ibadah lainnya. Beliau menjelaskan hal ini melalui
hadits misalnya: “Shalatlah sebagaimana kalian melihat aku
shalat,” dan “Ambillah dariku (teladanilah aku) menyangkut
tata cara ibadah haji kamu,”. Sedangkan penafsiran-penafsiran
beliau dengan ucapan amat beragam dan dapat dikategorikan
antara lain dalam bentuk:
a. Ta‟rif/penegasan makna, seperti penjelasa Rasûlullah
sallallahu „alaihi wasallam tentang arti al-Khaith al-
Abyadh min al-Khaith al-Aswad/tali putih dari tali
hitam (QS. al-Baqârah [2]:187) yakni cahaya siang/fajar
dan kegelapan malam.
b. Tafshil/rincian, seperti penafsiran tentang al-Qur‟an
Surat al-Baqârah ayat (196), yang berbicara tentang
fidyah dalam bentuk puasa, sedekah, dan Nusuk. Kata-
kata tersebut memerlukan penjelasan dan itu beliau
lakukan dengen merincinya, yakni berpuasa tiga hari,
memberi makan enam orang miskin, atau menyembelih
seekor kambing.
c. Tathâbuq/kesamaan/kesesuaian, seperti sabda
Rasûlullah sallallahu „alaihi wasallam dalam
39
M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, h. 350.
55
peperangan Ahzab, bahwa perang itu menyibukkan kita
sehingga kita tidak dapat melaksanakan shalat al-
Wustha (shalat ashar) pada waktunya. Sabda ini
menjelaskan secara jelas dan sesuai dengan QS. al-
Baqarah [2]:238 atau sabda Rasûlullah sallallahu „alaihi
wasallam menjelaskan QS. al-Taubah [9]:36, yang
menyatakan bahwa bilangan bulan dalam setahun ada
dua belas, empat di antaranya haram (amat
terhormat/terlarang peperangan). Rasûlullah sallallahu
„alaihi wasallam menyebut keempat bilan itu, yakni
Dzulqa‟dah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab.
d. Talâzum/hubungan keharusan, seperti sabda Rasûlullah
sallallahu „alaihi wasallam yang menjelaskan “Doa
adalah intisari ibadah.” Lalu beliau membaca QS. Ghâfir
[40]:60, “Berdoalah kepada-Ku niscaya Ku-
perkenankan untuk kamu, sesungguhnya orang-orang
yang angkuh sehingga enggan beribadah kepada-Ku
akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan terhina”.
e. Tadhammun/Cakupan, yakni penjelasan Rasûlullah
sallallahu „alaihi wasallam adalah bagian dari
kandungan makna yang ditafsirkan, seperti penafsiran
beliau menyangkut QS. Ibrahîm [14]:27 “Allah
mengukuhkan orang-orang beriman dengan ucapan
yang kukuh dalam kehidupan dunia dan akhirat…”.
Maksud dari kehidupan akhirat disini dijelaskna oleh
Rasûlullah sallallahu „alaihi wasallam bahwa itu terjadi
sesaat setelah seseorang itu dikuburkan dan dia ditanyai
malaikat, lalu dia menjawab dengan benar dan baik.
f. Takhshîsh, seperti mengecualikan firman Allah yang
mengharamkan memakan bangkai (QS. al-Baqârah
[2]:173), dan al-Mâidah [5]:3, dengan sabdanya:
“dihalalkan untuk kita dua bangkai, yaitu bangkai ikan
dan belalang.”
g. Tamtsil/contoh, antara lain yang diangkat dari
masyarakat yang beliau temui, seperti menjelaskan
56
tentang siapa yang dimurkai dan siapa yag sesat pada
QS. al-Fâtihah[1]:7, bahwa yang dimurkai adalah
orang-orang yahudi dan yang sesat adalah orang-orang
nasrani, atau menafsirkan maksud Quwwah dalam QS.
al-Anfâl [6]:60 dengan artian “memanah”.
Jika dilihat dari berbagai metode yang digunakan oleh
Rasûlullah sallallahu „alaihi wasallam dalam menjelaskan atau
menafsirkan al-Qur‟ân maka dapat dilihat bahwa peran
Rasûlullah sallallahu „alaihi wasallam sebagai pembawa
risalah Islam juga mempunyai peran sebagai mufti yang
memberikan fatwa atau penjelasan tentang hukum-hukum yang
dibawa oleh al-Qur‟ân. Dengan adanya Rasûlullah sallallahu
„alaihi wasallam maka perbedaan pendapat mengenai hukum
yang dikandung oleh al-Qur‟ân nyaris tidak pernah terjadi.
Adapun jika terjadi perbedaan pendapat tentang kandungan al-
Qur‟ân, para Sahabat dapat langsung bertanya dan
mengkonfirmasikan langsung kepada Rasûlullah sallallahu
„alaihi wasallam.
2. Sejarah Perkembangan Tafsir Hukum Pada Masa
Sahabat dan Tabi’ȋn
Pada masa Sahabat dan Tabi‟in perkembangan tafsir
hukum sepeninggal Rasûlullah sallallahu „alaihi wasallam
berkembang sangat pesat. Pada masa Sahabat mulai terjadi
perbedaan-perbedaan pendapat mengenai hukum tertentu yang
bersumber dari al-Qur‟ân. Perbedaan pendapat seperti ini
pernah terjadi antara Sahabat Umar bin Khattab dengan Ali bin
Abi Thalib tentang lamanya masa iddah seorang perempuan
yang ditinggal mati oleh suaminya. Sahabat Umar bin Khattab
mengatakan bahwa masa iddahnya berakhir ketika perempuan
tersebut melahirkan sedangkan Sahabat Ali bin Abi Thalib
mengatakan bahwa iddahnya perempuan yang ditinggal mati itu
adalah setelah melahirkan ditambah empat bulan sepuluh hari.
57
Sahabat Umar bin khattab berpegang pada kemutlakan
ayat al-Qur‟ân bahwa orang yang hamil iddahnya adalah setelah
ia melahirkan sedangkan Sahabat Ali bin Abi Thalib
menggabungkan dua dalil perempuan yang hamil iddanya
adalah sampai ia melahirkan sedangkan perempuan yang
ditinggal mati oleh suaminya maka iddahnya adalah empat
bilan sepuluh hari. Perbedaan-perbedaan pendapat seperti ini
tentu tidak dapat dihindarkan. Selain karena kemutlakan di
dalam teks al-Qur‟ân, Rasûlullah sallallahu „alaihi wasallam
yang merupakan sosok yang paling otoritatif untuk memberikan
penjelasan tentang kandungan al-Qur‟ân sudah tiada. Selain
karena ketiadaan sosok otoritatif seperti Rasûlullah sallallahu
„alaihi wasallam untuk menanyakan tentang tafsir al-Qur‟ân,
perbedaan-perbedaan yang muncul di antara para sahabat
Rasûlullah sallallahu „alaihi wasallam disebabkan oleh hal-hal
sebagai berikut40
:
a) Adanya lafadz zanni di dalam al-Qur‟ân sehingga para
sahabat berbeda pendapat ketika menafsirkan atau
menentukan makna yang cocok dengan permasalahan
yang ada. Contoh pada hal ini terjadi ketika sahabat
menetapkan kalimat musytarak, tsalasatu quru‟. Umar
dan Ibnu Mas‟ud memaknainya dengan haid dan zaid
bim tsabit memaknainya dengan suci.
b) Ada dua hukum yang berbeda dalam dua persoalan,
yang diduga salah satunya mencakup sebagian yang
terkandung oleh sebagian itu, sehingga seolah-olah ada
perlawanan. Seperti tentang iddah perempuan hamil
yang ditinggal mati oleh suaminya, yakni antara ayat
yang menerangkan tentang iddah wafat (4 bulan 10 hari)
dan iddah hamil samspai melahirkan anaknya.
c) Adanya perbedaan pengetahuan tentang Sunnah, seperti
warisan seorang nenek yang mendapat 1/6 (pada zaman
Abu Bakar) dan apabila telah mengucap salam tiga kali,
40
Yayan Sopyan, Tarikh Tasyri‟, h. 97.
58
tapi tidak ada jawaban, maka tamu harus pulang (pada
zaman Umar).
d) Karena memang ada perbedaan pendapat di antara para
sahabat, misalnya tentang saluran air yang dibuat
Dhahhak bin Khalifah yang melewati tanah Muammad
bin Maslamah, tapi Maslamah enggan memberikan
tanahnya untuk dilewati air, maka Umar memerintahkan
untuk membuat saluran itu meskipun harus melewati
perut Maslamah.
e) Adanya perbedaan dalam melihat kekuatan (shahihnya)
sebuah hadits.
f) Perbedaan dalam menggunakan akal pikiran (ra‟yu).
g) Berbeda dalam mengqiyaskan sesuatu hukum yang
ashli
Contoh dan penyebab banyaknya perbedaan-perbedaan
pendapat yang terjadi di antara para Sahabat menyebabkan
terjadinya perbedaan produk hukum yang bersumber pada teks
yang sama yaitu al-Qur‟ân41
.
Perbedaan pendapat pada masa Thabi‟in justru lebih
luas lagi. Selain karena berkembangnya ilmu pengetahuan, para
Thabi‟in juga mulai tersebar diberbagai daerah yang telah
ditaklukkan oleh Islam. Karena luasnya wilayah Islam, dan
kebutuhan akan penegetahuan hukum untuk memecahkan
berbagai masalah umat yang ada, pada masa Thabi‟in mulai
berkembang mazhab-mazhab dan perguruan-perguruan yang
khusus mengkaji tentang tafsir.
Di Makkah, berdiri perguruan Ibnu Abbas, di antara
muridnya yang terkenal adalah Sa‟id bin Jubair, Mujahid,
„Ikrimah maula Ibnu Abbas, Thawus bin Kissan al-Yamani dan
Atha‟ bin Abi Rabah. Mereka ini semuanya adalah dari
golongan maula (budak yang telah dibebaskan). Di Madinah,
Ubay bin Ka‟ab dikenal sebagai orang yang mengembangkan
41
Muhammad Husein al-Dzahabi, Al-Tafsîr wa al-Mufassirûn,
(Darul Hadits: Mesir, 2005), Juz 2, h. 378.
59
ilmu tafsir. Pendapat-pendapatnya banyak dinukil oleh generasi
setelahnya dari kalangan Thabi‟in. Di antara murid-murudnya
dari kalangan Thabi‟in adalah Zaid bin Aslam, Abu „Aliyah dan
Muhammad bin Ka‟ab al-Qurazhi42
.
Perkembangan perguruan tafsir juga berkembang hingga
ke Irak. Disinilah berkembang perguruan ilmu tafsir yang
didirikan oleh Ibnu Mas‟ud. Beliau adalah salah seorang
sahabat Rasûlullah sallallahu „alaihi wasallam yang dipandang
sebagai pelopor berkembangnya mazhab ahli ra‟yi yang
kemudian berkembang menjadi mazhab hanafiah. Dari
perguruan ilmu tafsir yang didirikan oleh Ibnu Mas‟ud
melahirkan banyak para ahli tafsir dari kalangan Thabi‟in yang
terkenal di antaranya „Alqamah bin Qais, Masruq, al-Aswad bin
Yazid, Murrah al-Hazani, „Amir al-Sya‟bi, Hasan al-Basri, dan
Qatadah bin Di‟amah Al-Sadusi43
.
Di dalam melakukan penafsiran baik para Sahabat
maupun Thabi‟in berpegang pada:
(1) Al-Qur’an al-Karîm.
Metode penafsiran seperti inilah yang dimaksud
penafsiran al-Qur‟ân dengan al-Qur‟ân. Penafsiran dengan
metode ini diklaim sebagai metode penafsiran yang paling
valid. Metode penafsiran ini dianggap sebagai metode utama
yang harus dipilih dalam penafsiran al-Qur‟ân di bandingkan
dengan metode-metode lainnya44
. Penafsiran dengan metode ini
banyak dijumpai di dalam al-Qur‟ân, misalnya kisah-kisah
dalam al-Qur‟ân yang ditampilkan secara ringkas di beberapa
tempat, kemudian ditempat lain datang uraiannya yang panjang
lebar. Misalnya pada Surat al-Mâidah [5]:1 dijelaskan tentang
keharaman binatang ternak lalu pada Surat al-Mâidah [5]:1
42
Manna al-Qattan, Pengantar Studi Ilmu al-Qur‟ân, h. 426. 43
Manna al-Qattan, Pengantar Studi Ilmu al-Qur‟ân, h. 427. 44
Izza Rohman, Tafsîr al-Qur‟ân bi al-Qur‟ân: Sectraian
Tendencies in al-Tabatba‟î‟s al-Mîzân and al-Shanqîtî‟s Adwâ‟ al-Bayân,
(Ciputat: Al-Wasat Publishing House, 2016) h. 1.
60
dijelaskan tentang keharaman memakan bangkai. Contoh lain
adalah Surat al-An‟am [6]:103 yang berbunyi “Dia tidak dapat
dicapai oleh penglihatan…” lalu dijelaskan oleh Surat al-
Qiyâmah [75]:23 yang berbunyi “Kepada Tuhannyalah mereka
melihat”.
(2) Hadits Rasûlullah sallallahu ‘alaihi wasallam.
Penafsiran yang bersumber dari Rasûlullah sallallahu
„alaihi wasallam menempati posisi kedua sebagai bentuk tafsir
yang paling otoritatif setelah al-Qur‟ân itu sendiri. Hal ini
disebabkan karena Rasûlullah sallallahu „alaihi wasallam
memang diberikan kewenanangan oleh Allah Subhanahu wa
ta‟âla untuk memberikan penjelasan tentang al-Qur‟ân. Hal ini
sebagaimana ditegaskan oleh Allah dalam QS. al-Qiyâmah
[75]: 17 – 18. Otoritas yang diberikan kepada Rasûlullah
sallallahu „alaihi wasallam juga ditegaskan oleh Allah dalam
QS. al-Najm []:3 yang menegaskan bahwa apa yang
disampaikan oleh Rasûlullah sallallahu „alaihi wasallam adalah
juga merupakan wahyu dari Allah bukan dari hawa nafsu
beliau45
.
Contoh menarik bahwa Rasûlullah sallallahu „alaihi
wasallam sebagai orang yang mempunyai otoritas terhadap
tafsir adl-Qur‟ân adalah ketika turun al-Qur‟ân surat al-An‟am
ayat 82 yang di situ menyatakan bahwa „orang-orang yang
beriman dan tidak mencampuradukkan imannya dengan
kezhaliman, mereka itulah orang-orang yang mendapat
keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat
petunjuk. Ayat ini menimbulkan keresahan di kalangan sahabat
terutama terkait apa yang dimaksud dengan kata-kata zalim di
situ. Diriwayatkan dari Ibnu Mas‟ud bahwa para sahabat
bertanya “wahai Rasûlullah sallallahu „alaihi wasallam,
siapakan di antara kita yang tidak berbuat zalim terhadap
dirinya?” kezaliman di sini bukan seperti yang kalian pahami.
45
Manna al-Qattan, Pengantar Studi Ilmu al-Qur‟ân, h. 423.
61
Lalu Rasûlullah sallallahu „alaihi wasallam mengatakan
“Tidakkah kamu mendengar apa yang dikatakan seorang hamba
yang saleh (Luqman). Kemudian beliau membacakan QS.
Luqman [31]: 13
ال تشرك بٱللو إن ٱلشرك لظلم عظيم
“…Janganlah kamu berbuat syirik, sesungguhnya Syirik
itu adalah kezaliman yang besar.” (QS. Luqman [31]:
13)
Berdasarkan penjelasan ini maka para sahabat menjadi
tenang kembali karena yang dimaksud oleh Allah dengan
kezaliman pada al-Qur‟ân surat al-An‟am ayat 82 adalah
perbuatan syirik46
.
Di antara kandungan ayat-ayat al-Qur‟ân terdapat ayat-
ayat atau surat yang tidak dapat diketahui penjelasan atau
takwilnya kecuali merujuk kepada penjelasan dari Rasûlullah
sallallahu „alaihi wasallam. Misalnya ayat-ayat yang terkait
tentang perintah dan larangan atau ketentuan mengenai hukum-
hukum yang difardukan. Inilah apa yang dimaksudkan oleh
Allah dalam QS. al-Nahl [16]:64 yaitu:
لم ٱلذي ٱخت لفوا فيو وىدى ومآ أن زلنا عليك ٱلكتاب إال لتب ني ورحة لقوم ي ؤمنون
“Dan kami tidaklah menurunkan kepadamu Kitab,
melainkan agar kamu menjelaskkan kepada mereka apa
yang mereka perselisihkan dan menjadi petunjuk dan
rahmat bagi kaum yang beriman” (QS. al-Nahl [16]:64).
46
Manna al-Qattan, Pengantar Studi Ilmu al-Qur‟ân, h.. 424
62
(3) Pemahaman dan Ijtihad.
Baik para sahabat maupun thabi‟in apabila tidak
mendapatkan penjelasan tafsir dari al-Qur‟ân atau dari
Rasûlullah sallallahu „alaihi wasallam maka mereka akan
menempuh jalan ijtihad yang didasarkan atas pemaham mereka
yang sangat baik terhadap Bahasa arab serta aspek-aspek lain
pendukung Bahasa arab seperti ilmu balaghah, syair-syair dan
ilmu-ilmu lainnya.
Penafsiran sahabat masih dianggap sebagai tafsir bi al-
ma‟tsur dan mempunyai nilai tersendiri bagi para ulama.
Jumhur ulama berpendapat bahwa tafsir sahabat mempunyai
status hukum marfu‟ (disandarkan kepada Rasûlullah sallallahu
„alaihi wasallam) bila berkenaan dengan asbâb al-nuzul dan
semua hal yang tidak mungkin dimasuki ra‟yu. Sedangkan hal
yang memmungkinkan dimasuki ra‟yu maka statusnya adalah
mauquf (terhenti) pada sahabat selama tidak disandarkan
kepada Rasûlullah sallallahu „alaihi wasallam47
.
3. Sejarah Berkembangnya Tafsir Hukum pada Masa
Berkembangnya Mazhab-Mazhab Fikih
Dengan berkembangnya Islam keseluruh jazirah arab
pasca kepemimpinan Khulafu al-Râsyidîn, berkembang pula
pengaruh hukum Islam dan pengetahuan keIslaman keseluruh
pelosok-pelosok jazirah arab. Hukum Islam memang tidak
berada di ruang yang kosong. Ia senantiasa bergerak dan
menyesuaikan dengan peradaban. Ia terus melaju secara
berkesinambungan dan berubah sesuai dengan kondisi zaman.
Perkembangan hukum Islam yang cukup menggembirakan
didorong oleh faktor-faktor di bawah ini:
a) Makin luasnya wilayah Islam, upaya ekspansi ini
dimulai sejak zaman Umar bin Khattab, Mu‟awiyah, dan
penerusnya sampai ke Tunisia, Aljazair, Maroko sampai
Samudera Atlantik. Penaklukan Andalusia dilakukan
47
Manna al-Qattan, Pengantar Studi Ilmu al-Qur‟ân, h.. 424.
63
tahun 705 – 715 pada masa pemerintahan Walid bin
Abdul Malik. Di sebelah utara daerah Transoxiania
(Uzbekistan), Sind, sekitar Sungai Syir Darya, dan
Sungai Indus menjadi batas kerajaan Islam. Perlu dicatat
pula, Muawiyah memindahkan ibukota dari Madinah ke
Damaskus dengan alasan karena di Damaskuslah para
pendukungnya tinggal. Orang yang masuk Islam
meliputi bermacam bangsa dengan berbagai tradisi dan
strata sosial, serta kepentingan yang berbeda-beda48
.
b) Ketika menduduki suatu daerah tentu saja penduduk dari
daerah yang ditaklukkan itu ada yang belum beragama
dan ada juga yang telah memeluk agama, kemudian
secara berangsur-angsur mereka – baik yang belum
mempunyai agama atau yang sudah beragama – banyak
yang akhirnya memeluk Islam. Dengan banyaknya
penduduk yang beragama Islam, banyak persoalan yang
timbul dan memerlukan pemecahan masalah (jawaban).
Sebagian dari para muallaf itu ada yang sangat serius
terhadap pemikiran Islam dan tidak sedikit dari mereka
– khususnya dari kalangan ahli kitab baik Nasrani
maupun Yahudi – yang menjadi tokoh penting dalam
khasanah pemikiran Islam.
c) Lahirnya dua mazhab pemikiran fikih, yakni ahli hadis
yang berpusat di Madinah dan ahli ra‟yu yang berpusat
di Kufah. Ahli hadis adalah ulama yang lebih banyak
menggunakan hadis dan sangat hati-hati serta selektif
dalam menggunakan ra‟yu, sedangkan ahli ra‟yu adalah
ulama yang banyak menggunakan nalar pikiran di
bandingkan dengan hadis. Munculnya dua kelompok ini
memicu perbedaan pendapat di kalangan para ulama dan
secara signifikan mendorong laju nya perkembangan
fikih.
48
Philip K. Hitti, History of Arab. H. 258
64
Dengan berkembangnya hukum Islam yang ditandai
dengan adanya dua arus utama dalam pemikiran Islam, maka
bermunculanlah kelompok-kelompok pemikiran hukum yang
terdiri dari beberapa imam mazhab fikih. Sejarah mencatat
bahwa mazhab fikih Islam yang muncul setelah sahabat dan
kibar al-tabi‟in berjumlah 13 aliran49
. Ketiga belas aliran ini
berafiliasi dengan aliran ahlu Sunnah. Namun, tidak semua
aliran itu dapat diketahui dasar-dasar dan metode istinbathnya.
Adapun pendiri aliran-aliran tersebut adalah:
a) Abu Sa‟id al-Hasan Ibn yasar al-Bashri (w. 110 H)
b) Abu Hanifah al-Nu‟man Ibn Tsabit ibn Zuthi (w. 150 H)
c) Al-Auza‟I Abu „Amr „Abd al-Rahman Ibn „Amr Ibn
Muhammad (w. 157 H)
d) Sufyan ibn Sa‟id Ibn Masruq al-Tsauri (w.160 H).
e) Al-Laits ibn Sa‟d 9w. 175 H)
f) Malik ibn Anas al-Bahi (w. 179 H)
g) Sufyan Ibn Uyainah (w. 198 H)
h) Muhammad Ibn Idris al-Syafi‟î ( w. 204 H)
i) Ahmad Ibn Muhammad Ibn Hanbal (w. 241 H)
j) Daud Ibn „Ali Ashbahani al-Baghdadi (w. 270 H)
k) Ishaq Ibn Rahawaih (w. 238 H)
l) Abu Tsaur Ibrahim Ibn Khalid al-Kalabi (w. 240 H)50
Dari sekian banyak mazhab hukum yang lahir pada
masa ini yang bertahan hingga sekarang hanyalah 4 mazhab
utama yaitu, di antaranya mazhab Hanafiah yang didirikan oleh
Abu Hanifah al-Nu‟man Ibn Tsabit ibn Zuthi (w. 150 H),
mazhab Malikiah yang didirikan oleh Malik ibn Anas al-Bahi
(w. 179 H), mazhab syafi‟iyah yang didirikan oleh Muhammad
Ibn Idris al-Syafi‟î ( w.204 H), dan mazhab Hanabillah yang
didirikan oleh Ahmad Ibn Muhammad Ibn Hanbal (w. 241 H).
49
Thaha Jabir Fayadl al-„Ulwani, 1987. Adab al-Ikhtilaf fi al-
Islam. Washington: The International Institute of Islamic Thought. 50
Yayah Sopyan, Tarikh Tasyri‟, h. 119.
65
Masa ini bisa dikatakan sebagai masa keemasan Islam
(The golden age of Islam) karena pesatnya perkembangan
pemikiran Islam, penulisan karya-karya ilmiah berupa kitab-
kitab dari berbagai aspek keilmuan serta hadirnya dialektika di
antara para imam mazhab dan pengikutnya untuk mencari
solusi terbaik terhadap berbagai masalah hukum yang terjadi.
Di bidang ilmu-ilmu al-Qur‟an juga mulai ada kesadaran untuk
melakukan pelestarian tidak hanya melalui hapalan tapi juga
terkait aspek pembacaannya. Dari sinilah berkembang metode
pembacaan al-Qur‟ân dan mulai dibedakan mana bacaan yang
sahih dan mana bacaan yang syadz. Adanya perbedaan bacaan,
berimplikasi pada perbedaan makna dan berbeda pula dalam
istinbath ahkam51
.
Pada awal zaman keemasan Islam ini para ulama
berlomba-lomba untuk menghasilkan karya-karya yang dapat
memberikan sumbangsih pada kebutuhan akan keilmuan Islam.
Hal ini adalah konsekuensi dari berkembangnya Islam hingga
ke berbagai pelosok jazirah Arab bahkan mulai melakukan
ekspansi ke wilayah-wilayah yang awalnya dikuasai oleh dua
imperium besar yaitu Romawi dan Persia. Hal positif yang
dapat dilihat dari dialektika perkembangan ilmu pengetahuan
pada saat itu adalah para ulama bersemangat untuk mencari
kebenaran yang sahih pada setiap permasalahan yang ada dan
tidak mengedepankan fanatisme terhadap bidang-bidang ilmu
tertentu atau mazhab-mazhab tertentu. Apabila mereka temukan
kebenaran yang jelas dari sisi orang-orang yang menyelisihi
mereka, maka mereka akan berpegang kepada kebenaran itu.
Imam Syafi‟I pernah mengatakan bahwa jika ada hadis
yang sahih maka itu adalah mazhabku. Pada kesempatan lain
juga ia berkata terhadap Imam Abu hanifah bahwa manusia itu
berkeluarga pada masalah fikih. Ia juga berkata kepada Imam
Ahmad Ibn Hanbal yang merupakan muridnya pada bidang
fikih bahwa jika ada hâdits yang sahih di sisi engkau maka
51
Yayan Sopyan, Tarikh Tasyri‟, h. 118.
66
beritahukanlah kepadaku tentang hal itu. Imam syafi‟I juga
berkata terhadap Imam Malik yang merupakan gurunya di
bidang ilmu fikih bahwa Imam Malik bagaikan bintang yang
bersinar terang. Hal ini menandakan betapa tingginya adab para
ulama di antara ulama lainnya dan besarnya rasa sayang di
antara mereka. Tidak terlihat fanatisme atau pemaksaan
keilmuan di antara mereka52
.
Di sisi perkembangan ilmu tafsir, terjadi perkembangan
yang sangat pesat dengan pendekatan atau metodologi tafsir
yang beraneka ragam. Pendekatan-pendekatan dalam penafsiran
seperti pendekatan kebahasaan dan riwayat sebagaimana
dikembangkan oleh Ibn Jarir al-Thabari dengan hasil karyanya
Jami‟ al Bayân Fi Tafsîr al-Qur‟ân. Ada juga tafsir yang
menggunakan pendekatan filsafat seperti yang dilakukan oleh
Zamakhsyari dengan tafsirnya yang berjudul al-Kasysyaf „an
haqâiq al-tanzîl wa „uyûn al-ta‟wîl fî wujûhi al-ta‟wîl. Untuk
tafsir-tafsir yang bercorak tafsir hukum adalah sebagaimana
ditulis oleh Imam Syafi‟i yaitu Ahkâm al-Qur‟ân. Kitab tafsir
ini belum secara khusus tersusun selayaknya sebuah kitab tafsir
namun lebih merupakan pembahasan-pembahasan hukum-
hukum fikih yang sumbernya diambil dari al-Qur‟ân. Pada
tahun 458 H, karya Imam Syafi‟I ini dikumpulkan dan disusun
secara teratur dengan penulisan berdasarkan bab-bab yang
sangat kental corak fikihnya oleh Abu Bakar al-Baihaqi al-
Syafi‟I.
Pada penghujung zaman keemasan Islam, Abu Bakr al
Râzi atau yang lebih dikenal dengan al-Jassas sebuah kitab
tafsir yang bercorak tafsir hukum yang berjudul ahkâm al-
Qur‟ân. Tafsir ini merupakan tafsir yang bercorak hukum dan
isinya sangat kental dengan pemikiran mazhab Hanafiah.
52
Muhammad Husein al-Zahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirûn, jilid 2,
h.381.
67
4. Sejarah Perkembangan Tafsir Hukum pada saat
Berkembangnya Taqlid dan Fanatisme Mazhab.
Menurut sebagian sejarahwan Islam masa-masa
kemunduran Islam di mulai ketika kegiatan ijtihad mulai
mengalami penurunan, terutama setelah Ibnu Jarir al-Thabari
meninggal dunia pada tahun 310 H53
. Kemunduran dunia Islam
dari sisi perkembangan ilmu pengetahuan juga dimulai sejak
berakhirnya kekuasaan Bani Abbas sampai ke abad 19. Periode
ini ditandai dengan menyebarnya pusat-pusat kekuasaan Islam
di beberapa wilayah, sehingga umat Islam sendiri dapat
dikatakan dalam kondisi yang lemah dan berada dalam
kegetiran. Dalam kondisi tersebut, jika keadaan negara (daulah)
lemah, maka akan muncul banyak fitnah dan mihnah, sehingga
hilanglah persaudaraan dan persatuan di kalangan umat Islam
dan yang akan timbul justru adalah perpecahan dan
permusuhan54
.
Pada masa ini hukum Islam mulai mengalami stagnasi
(jumud). Hukum tidak lagi digali dari sumber utamanya yaitu
al-Qur‟ân dan al-Hadits. Para ulama di masa ini memandang
cukup untuk merujuk pendapat imam mazhabnya tanpa perlu
melakukan ijtihad kembali. Pada masa ini mulai terlihat adanya
kecendrungan baru, yakni mempertahankan kebenaran
mazhabnya dengan mengabaikan mazhab lain, seolah-olah
kebenaran merupakan hak prerogatif mazhab yang dianutnya.
Pada fase ini dinilai telah terjadi pergeseran orientasi dari al-
Qur‟ân dan al-Hadits menjadi orientasi kepada pendapat ulama.
Suasana kejumudan yang terjadi pada umat Islam di fase ini
juga menimbulkan suasana fanatisme terhadap masing-masing
mazhab yang ada55
. Pergeseran orientasi sumber-sumber
penggalian hukum adalah contoh konkretnya.
Para ahli banyak melakukan analisis mengapa
kemunduran dan kejumudan ilmu pengetahuan dapat terjadi
53
Jaih Mubarok, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, h. 137 54
Yayan Sopyan, Tarikh Tasyri‟, h. 136. 55
Yayan Sopyan, Tarikh Tasyri‟, h. 137
68
pada masa ini. Menurut Mun‟im A. Sirry, secara umum
terjadinya kemunduran penggalian hukum dan ijtihad banyak
disebabkan oleh adanya keterpakuan tekstual yang
membelenggu akal pikiran sebagai akibat hilangnya kebebasan
berpikir. Menurut Farouk Abu Zaid, kebebasan berpikir ini
hilang karena adanya pemaksaan penggunaan aliran mazzhab
tertentu oleh penguasa pada saat itu seperti yang terjadi pada
masa Khalifah al-Makmun dan al-Mu‟tashim dan al-Watsiq
yang memaksakan doktrin Mazhab Muktazilah kepada para
ulama56
.
Keterbelengguan akal pikiran ini menjalar secara akut
hingga menyebabkan fanatisme terhadap kelompok atau
mazhabnya sendiri. Saling klaim yang menjunjung tinggi
mazhabnya serta merendahkan mazhab lain menjadi hal yang
biasa bahkan menjadi semacam ciri khas yang ada pada karya-
karya para ulama pada saat itu. Ulama pada saat itu mulai
melabeli atau membatasi kajian ilmiahnya pada kajian mazhab
tertentu atau bahkan kajian-kajian yang dilakukan justru untuk
mempertahankan orisinalitas mazhab mereka sendiri. Saking
kuatnya berpegangan dengan pendapat imam mazhabnya para
ulama terjebak dalam kebelengguan akal pikiran dan klaim-
klaim berlebihan yang jauh dari sifat objektif.
Para ulama pada saat itu sudah sampai pada tahap
memandang bahwa pendapat para imam mazhab sepadan
dengan nash al-Qur‟ân dan Sunnah yang tidak dapat diubah,
digugat atau diganti. Umpamanya adalah Ubaid Allah al-
Karkhi, salah seorang ulama dari mazhab Hanafi yang
mengatakan bahwa al-Qur‟ân dan al-Hadits yang bertentangan
dengan mazhab Hanafi dapat ditakwilkan atau dapat di nasakh.
Imam Iyadi juga pernah mengatakan bahwa bagi yang taklid,
kedudukan pendapat imam mazhabnya dinilai sejajar dengan al-
Qur‟ân dan hadits57
.
56
Mun‟im A. Sirry, Sejarah Fiqih Islam : Sebuah Pengantar,
(Surabaya: Risalah Gusti, 1995) h. 128 57
Sirry, Sejarah Fiqih Islam : Sebuah Pengantar h. 129.
69
Itulah sebab-sebab umum yang memunculkan taklid
sehingga masa keemasan Islam berakhir dan munculnya
kejumudan dan fanatisme umat Islam pada masa itu. Secara
lebih rinci penyebab munculnya taqlid adalah sebagai berikut58
:
a) Adanya penghargaan yang berlebihan kepada guru. Hal
itu tercermin dalam anggapan bahwa, pertama, setiap
orang dewasa diawajibkan menganut salah satu mazhab
dan diharamkan keluar dari mazhab yang dianutnya itu;
kedua, mengambil pendapat kepada selain pendapat
imam yang dianutnya adalah haram; dan ketiga, guru
yang terdahulu lebih mengetahui makna nash daripada
kita.
b) Berkembang serta meluas khurafat, takhayul, dan mistik
di kalangan masyarakat Islam yang merusak kemurnian
tauhid.
c) Munculnya kejumudan berpikir karena hilangnya
semangat untuk melakukan ijtihad. Ulama mengalami
frigiditas akibat kelesuan berpikir sehingga tidak lagi
mampu menghadapi perkembangan zaman dengan
menggunakan akal pikiran yang sehat dan merdeka serta
bertanggung jawab.
d) Para ulama terdahulu (pendiri mazhab dan pengikutnya)
sangat produktif dan kreatif, hampir seluruh lapangan
ijtihad dijajaki sehingga seolah-olah tidak memberikan
sisa untuk melakukan ijtihad untuk ulama sesudahnya,
bahkan ijtihad mereka sudah sampai kepada hal-hal
yang belum ada dan belum terjadi.
e) Munculnya ulama-ulama yang tidak mempunya
kecakapan yang mumpuni, yakni orang-orang yang
sebenernya tidak mempunyai kelayakan untuk
berijtihad, namun ia memaksakan diri untuk melakukan
ijtihad dan mengeluarkan produk hukum dalam bentuk
fatwa yang membingungkan masyarakat.
58
Yayan Sopyan, Tarikh Tasyri‟, h.138.
70
f) Adanya intervensi kekuasaan (sultan/khalifah) yang
menganjurkan agar mengikuti mazhab yang dianutnya.
Hal ini sangat besar pengaruhnya terhadap taklid.
Disamping itu, sultan hanya akan mengangkat qadhi dan
mufti yang semazhab dengannya.
g) Secara umum, pemerintah sudah tidak memperhatikan
lagi perkembangan ilmu pengetahuan, seperti perhatian
yang pernah diberikan oleh masa Abbasiyah awal
(Harun al-Rasyid, al-Amiin dan khalifah lainnya).
Khalifah lebih banyak menghambur-hamburkan
hartanya untuk berpesta pora dan maksiat.
h) Kesatuan dan keutuhan pemerintah Islan telah pecah, hal
ini menyebabkan menurunnya kewibawaan
pengendalian perkembangan hukum. Bukan hanya di
kalangan penguasa pemerintahan, ternyata antar ulama
pun terjadi persaingan yang tidak sehat yang
menyebabkan diantata mereka saling menghasut.
i) Adanya fatwa bahwa pintu ijtihad telah tertutup, dan
cukuplah berpegah teguh pada ijtihad-ijtihad yang telah
dilakukan oleh ulama terdahulu.
j) Munculnya kesenangan pada harta secara berlebihan.
k) Munculnya saling curiga antar pengikut mazhab, bahkan
saling menghina yang tujuanya untuk meninggikan
mazhab yang dianutnya dan merendahkan mazhab lain.
Selain faktor-faktor yang telah disebutkan di atas, ada
juga faktor eksternal yang juga turut menyebabkan redupnya
era keemasn Islam dan tumbuh suburnya kejumudan di antara
kaum muslimin yaitu59
:
a) Bangkitnya kalangan Kristen Eropa (Renaissance) yang
menyebabkan pesatnya perkembangan ilmu pengeta-
huan di kalangan mereka
59
Yayan Sopyan, Tarikh Tasyri‟, h. 139
71
b) Adanya serbuan bangsa Mongol yang melululantahkan
peradaban Islam, yang telah berabad-abad lamanya
dibangun.
c) Munculnya beberapa negara baru, baik di Eropa maupun
di belahan dunia lain, seperti Afrika, Timur Tengah, dan
Asia. Keadaan demikian membawa kepadaa ketidak-
stabilan politik yang berpengaruh pada perkembangan
pemikiran.
Pada masa berkembangnya taklid dan fanatisme
mazhab, kajian-kajian keilmuan yang melibatkan ijtihad
memang berkurang, namun produktivitas para ulama dalam
menghasilkan karya-karya ilmiah tidak berkurang. Hanya saja
karya-karya mereka cenderung hanya sebagai penjelas (syarah)
atau sebagai ringkasan (mukhtasar) terhadap karya-karya ulama
mazhab. Di bidang penulisan tafsir terutama yang bercorak
tafsir hukum hampir keseluruhan karya-karya yang telah
tersusun dalam sebuah kitab yang paripurna justru dibuat
setelah pasca zaman keemasan Islam. Artinya penyusunan atau
penngumpulan karya-karya tafsir hukum justru banyak terjadi
pada masa kemunduran atau masa taklid. Karya Imam syafi‟I
misalnya yang berjudul Ahkam al-Qur‟ân. Kitab ini baru terbit
setelah teks-teks yang berasal dari Imam Syafi‟I dikumpulkan
oleh al-Baihaqi yang lahir sekitar tahun 380 H.
Karya-karya para ulama pada masa taqlid di bidang tasir
hukum adalah seperti Ahkâm al-Qur‟ân yang ditulis oleh Imam
Abu bakar al-Râzi al-Hanafî atau lebih dikenal dengan al-Jassas
(w. 370) yang merupakan objek kajian dalam penulisan tesis
ini. Ahkâm al-Qur‟ân yang ditulis oleh Imam Abu Bakar Ibn al-
Arabi al-Mâliki (w.543 H)60
, Ahkâm al-Qur‟ân karya „Imad al-
din ibn Muhammad al-Thabari atau yang lebih dikenal dengan
Kiya al-Harrassi (w.504H), al-Jami‟ li Ahkâm al-Qur‟ân karya
Abdullah Muhammad bin Ahmad bin Abu Bakar bin Farh al-
60
Yusuf al-Qaradâwi, Fiqih Maqashid Syariah., Penerjemah Arif
Munandar Riswanto (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2006), h. 16.
72
Anshari al-Khazraji al-Andalusi atau yang lebih dikenal dengan
al-Qurthubi61
.
D. Perkembangan Mazhab-mazhab Hukum dan
Pengaruhnya pada Polarisasi kajian Tafsir Hukum
Sepeninggal Rasûlullah sallallahu „alaihi wasallam,
tongkat estafet kepemimpinan Islam dipegang oleh khulafu al-
râsyidîn. Pada masa ini kekuasaan Islam mulai menyebar
keseantaro jazirah arab dan berhasil melakukan ekspansi ke
daerah-daerah yang dikuasai oleh dua kekuasaan besar pada
saat itu yaitu Persia dan Romawi. Tidak berhenti pada fase
khulafu al-râsyidîn, ekspansi terus dilakukan pada masa
kekuasaan Bani Umayyah dan Bani Abbasiyah. Pada saat itu
kekuasaan Islam sudah berhasil menembus eropa dan afrika.
Luasnya ekspansi kekuasaaan ini menimbulkan perubahan-
perubahan baru di bidang keagamaan dan ilmu pengetahuan
baik terkait aspek ibadah maupun muamalah. Kondisi ini
diperparah dengan tidak adanya lagi sosok yang paling otoritatif
yang dapat memberikan informasi valid terhadap aspek ibadah
dan muamalah dalam kehidupaan keberagamaan umat Islam
yaitu Rasûlullah sallallahu „alaihi wasallam.
Kondisi ini membuat para sahabat, tabi‟in atau para
ulama melakukan pencarian hukum dengan melakukan ijtihad
sebagai respon terhadap kebutuhan umat Islam yang sangat
mendesak. Perkembangan dinamika ijtihad di antara para ulama
pada saat itu juga menimbulkan dialektika dan perbedaan-
perbedaan yang cukup tajam di antara para ulama. Puncaknya
pada masa keemasan Islam (the golden age of Islam) dimana
berkembang dua arus pemikiran utama di dalam Islam yaitu
mazhab ahli ra‟yi dan mazhab ahli hadits. Perkembangan inilah
yang menjadi cikal bakal berkembangnya mazhab-mazhab
hukum serta berbagai macam bidang pemikiran Islam62
.
61
Manna al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu alQur‟ân, h.468. 62
Jaih Mubarok, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, h. 55.
73
1. Penyebab Perbedaan Pendapat di Kalangan Ahli
Hukum Islam
Ahli ra‟yi atau disebut juga madrasah al-ra‟yu atau
madrasah al-kûfah adalah para ulama ahli hukum yang
mewakili golongan ulama yang berfokus pada penggunaan akal
dalam melakukan pengembangan hukum Islam sedangkan ahli
hadits atau madrasah al-hadits adalah golongan ulama yang
fokus pada penggunaan hadits dalam pengembangan hukum
Islam. Dua kelompok ini menjadi pionir dalam berkembangnya
hukum Islam dan pemikiran Islam hingga Islam mencapai
zaman keemasannya. Dialektika dan perbedaan di antara
mereka menghasilkan dua corak hukum yang unik sehingga
hukum Islam menjadi berkembang dan produktif dalam
menghasilkan karya-karya ilmiah.
Dua corak utama madrasah al-hadits dan madrasah al-
ra‟yu adalah faktor utama yang membuat terjadinya perbedaan-
perbedaan pemikiran dan produk hukum di antara ahli hukum
(fuqaha) pada saat itu. Selanjutnya perbedaan-perbedaan-
perbedaan di antara mereka juga disebabkan oleh hal-hal
sebagai berikut63
:
a. Perbedaan bacaan. Dalam riwayat, ada beberapa qira‟at
yang dianggap benar (mu‟tabar) dan ada pula yang
diperselisihkan. Hal itu, menhyebabkan perbedaan
pendapat dalam menetapkan hukum.
b. Tidak meratanya pengetahuan tentang hadits, sehingga
pemahaman sahabat tentang hadits tidak sama. Sebagian
sahabat mendengar banyak hadits sedangkan sebagian
yang lain hanya mengetahui sedikit saja. Hal ini
disebabkan karena intensitas pertemuan sahabat-sahabat
dengan nabi berbeda-beda. Sehingga materi hadits yang
tersampaikan kepad para sahabat juga berbeda-beda.
c. Perbedaan pendapat dalam memahami hadits. Contoh
kasus ini adalah berkaitan dengan nafkah dan tempat
63
Yayan Sopyan, Tarikh Tasyri‟, h. 125-126
74
tinggal bagi perempuan yang ditalak bain oleh
suaminya. Umar berpegang pada surat al-Talaq ayat 11
yang mewajibkan suami untuk memberikan nafkah dan
tempat tinggal selama masa iddah, baik talaq raj‟i
maupun talaq ba‟in sementara Fatimah binti Qais
meriwayatkan bahwa dirinya ditalak oleh suaminya dan
Rasulullah memutuskan bahwa dia tidak berhak atas
nafkah maupun tempat tinggal. Umar belum meyakini
kebenaran tentang hadits ini, dan ia memberikan
komentar: “kami tidak akan meninggalkan kitab Allah
dan Sunnah Nabi-nya karena pernyataan seorang
perempuan yang kami tidak tahu apakah dia hafal atau
lupa.
d. Perbedaan dalam memahami dan menafsirkan Nash.
Contohnya dalam pembagian tanah rampasan perang
(QS. al-Anfâl[8]:41), Umar berpendapat bahwa harta
rampasan yang dibagikan kepada tentara yang ikut
berperang itu adalah benda bergerak saja, namun Zaid bi
Tsabit dan Bilal bin Rabah berpendapat bahwa harta
yang harus dibagikan adalah harta yang bergerak
maupun yang tidak bergerak.
e. Adanya lafadz yang Musytaraq (mempunyai banyak
arti). Lafadz seperti ini banyak membuka peluang bagi
para ulama untuk berbeda pendapat. Contohnya adalah
perbedaan dalam memaknakan quru‟. Zaid bin Tsabit
berpendapat bahwa quru‟ artinya suci sedangkan Abu
Bakar, Usman dan Ali berpendapat bahwa quru‟ itu
artinya haid.
f. Dalil-dalil yang “tampaknya kontradiksi” antara satu
dengan yang lainnya. Yang menjadi masalah adalah
maknanya yang bertentangan. Contohnya adalah
keabsahan nikah orang yang sedang berihram haji atau
umrah. Menurut Imam Malik, Imam Syafi‟i d an Imam
Ahmad adalah tidak sah karena ada hadits yang
menyatakan “laa yankihuu al-muhrimu wa la yunkihu”
75
(HR. Muslim). Sedangkan menurut Imam Abu Hanifah
adalah sah orang nikah dalam keadaan berihram.
Perbedaan-perbedaab lain misalnya terkat batas minimal
mahar, kebatalan wudhu karena menyentuh kemaluan
atau perbedaan-perbedaan lain karena adanya
kontradiksi dari dalil-dalil yang ada.
Secara teknis proses istinbath hukum, alasan-alasan di
atas memang sangat tepat dan mungkin terjadi di antara para
ahli hukum Islam. Namun secara umum perbedaan perbedaan
yang terjadi di antara mereka menurut Muhammad Zuhri dalam
buku Hukum Islam dalam lintasan Sejarah adalah berfokus
pada tiga hal pokok, yaitu64
a. Perbedaan terkait sumber hukum. Adanya perbedaan
kualitas sumber hukum menimbulkan banyaknya
perbedaan hasil istinbath hukum para ulama. Jika
dilihat dari kualitasnya maka sumber hukum itu ada
yang bersifat qath‟i al-Wurûd dan ada yang bersifat
zanni al-wurûd. Ada juga yang bersifat qat‟i al-dalalah
dan zanni al-dalalah. Qath‟i al-Wurûd adalah nash yang
disepakati oleh para ahli hukum sebagai sumber hukum
Islam karena diriwayatkan secara mutawatir. Dalam
nash yang qath‟i al-Wurûd ini para ulama tidak
berselisih pendapat atau sepakat untuk menggunakan
dalil ini. Sementara yang zanni al-wurûd, ulama tidak
sepakat dijadikan sebagai sumber hukum Islam,
sehingga mereka berbeda pendapat dalam berbagai
persoalan.
b. Perbedaan terkait metode ijtihad. Ada banyak perbedaan
metode ijtihad yang membuat terjadinya perbedaan
pendapat di kalangan para ulama. Perbedaan metode
ijtihad itu juga muncul karena adanya perbedaan dalam
melihat suatu fakta dan alasan suatu hukum diterapkan.
64
Muhammad Zuhri, Hukum Islam dalam Lintasan Sejarah,
(Jakarta: Rajawali Press, 1997), h. 73-74.
76
Terkait metode Ijtihad ada beberapa teori yang dianggap
berperan sehingga perbedaan itu menjadi lazim di
kalangan para ulama:
i. Teori tahsin dan taqbih (teori baik-buruk). Teori ini
ada dalam konteks pembahasan teologi yang
mempertanyakan sifat baik dan buruknya yang
karena syariat menyuruh atau melarang orang
berbuat sesuatu, apakah salat mengandung
kebaikan, sehingga kita diperintahkan untuk
mendirikannya, dan apakah daging babi
mengandung keburukan atau bahaya, sehingga
Tuhan melarang memakannya. Dalam hal ini, ada
tiga pendapat yakni:
1) Munculnya perintah dan larangan Tuhan
disebabkan adanya hubungan klausa antara sifat
baik/buruk dengan perilaku orang. Artinya
perbuatan baik dan buruk itu dapat dijangkau
oleh akal dan pikiran. Oleh karena itu, kasus-
kasus yang tidak manshush dapat dijawab
dengan kesanggupan akal melalui
penemuannya tentang baik dan buruk yang
melekat pada perbuatan.
2) Pihak lain mengatakan bahwa baik dan buruk
itu bukan persoalan akal pikiran, sesuatu yang
dipandang baik karena Allah mengatakannya
baik, sedangkan sesuatu yang dianggap buruk
karena Allah mengatakan hal itu buruk.
3) Pihak ketiga menjembatani perbedaan pendapat
ini dengan mengatakan bahwa persoalan ibadah
akal tidak dapat menjangkau baik dan buruk,
sedangkan untuk persoalan non ibadah
(muamalah) akal mempunyai peran dalam
menentukan baik dan buruk.
ii. Perbedaan terkait tema-tema kebahasaan.
Misalnya dalam Ulûm al-Qur‟ân dikenal dengan
77
istilah hakikat-majaz, muhkam-mutasyabih,
musytraka, mutlaq-muqayyad, „am-khas. Tema-
tema kebahasaan yang memicu perbedaan juga
dapat dilihat dari aspek ilmu nahwu, ushul fiqh
dan lainnya.
c. Perbedaan-perbedaan latar belakang adat istiadat di
berbagai tempat yang berbeda.
Demikianlah bahwa banyak faktor yang menyebabkan
perbedaan di antara para ahli hukum atau ulama sehingga
lazimnya terjadi perbedaan produk hukum yang dihasilkan.
Secara garis besar perbedaan yang terjadi di antara para ulama
menurut yusuf al-Qaradawi itu karena adanya perbedaan yang
disebabkan oleh faktor akhlak dan perbedaan faktor pemikiran.
Perbedaan yang merupakan faktor ahlak banyak disebabkan
karena adanya berbagai macam motivasi dari berbagai macam
sikap dan peristiwa. Hal tersebut biasa dipengaruhi oleh sikap-
sikap yang arogan, buruk sangka ataupun fanatisme yang
berlebihan terhadap kelompoknya. Sedangkan perbedaan
pemikiran timbul karena perbedaana sudut pandang mengenai
suatu masalah, baik masalah ilmiah maupun masalah „amaliah.
Masalah ilmiah adalah perbedaan menyangkut cabang-cabang
syariat dan beberapa masalah aqidah yang tidak menyentuh
prinsip-prinsip yang pasti. Sedangkan masalah amaliah adalah
perbedaan mengenai sikap-sikap politik dan pengambilan
keputusan atau berbagai masalah, akibat perbedaan sudut
pandang, kelengkapan data dan informasi, pengaruh-pengaruh
lingkungan dan zaman65
.
2. Proses Pembentukan Mazhab-mazhab Hukum
Terbentuknya mazhab-mazhab hukum tidak terlepas
dari berkembangnya kajian hukum Islam serta ekspansi wilayah
Islam ke seantaro penjuru dunia. Pada awalnya otoritas hukum
65
Yusuf Qaradhawi, Fiqh Perbedaan Pendapat, h. 17-18.
78
ada pada pembawa wahyu yang disampaikan melalui al-Qur‟an
dan al-sunnah. Setelah Rasulullah wafat, otoritas hukum dan
kajian hukum diteruskan oleh sahabat, thabi‟in dan para ulama.
Generasi awal setelah Rasulullah sangat baik dalam
memberikan teladan untuk melanjutkan estafet pengembangan
hukum Islam. Dengan berkembang pesatnya ilmu pengetahuan
termasuk hukum Islam, umat Islam mencapai kejayaannya di
bidang ilmu pengetahuan hingga tercapailah apa yang disebut
masa kejayaan Islam (the golden age of Islam).
Pada awal masa kejayaan Islam mulailah terbentuk apa
yang dinamakan dengan Madrasah al-Ra‟yi dan Madrasah al-
Hadits. Dua mazhab inilah yang menjadi cikal bakal lahirnya
cabang-cabang mazhab pemikiran di bidang hukum Islam.
Madrasah al-Ra‟yi adalah sekelompok ulama yang tinggal di
Kufah yang lebih banyak menggunakan ra‟yu di banding
dengan ulama madrasatul hadits. Karena letak geografis para
ulama ini banyak tinggal di Kufah maka kelompok ini sering
juga disebut juga dengan kelompok Madrasah al-Kûfah66
.
Kelompok Madrasah al-Hadits adalah para ulama yang
banyak berpegang teguh pada Sunnah dan kaya dalam
pemeliharaan Sunnah. Secara geografis para ulama yang
tergabung dalam kelompok ini banyak tinggal di kota Madinah,
oleh karenanya kelompok ini di sebut juga Madrasah al-
Madinah. Oleh karena letak mereka di Madinah, salah seorang
Imam dalam kelompok ini, yaitu Imam Malik berpendapat
bahwa Ijma‟ penduduk Madinah adalah hujjah yang wajib
diikuti.67
Para ulama yang tergabung dalam Madrasah al-
Madinah banyak menetap di Madinah dan mengembangkan
ajaran mereka di sana. Sedangkan para ulama yang berada di
Kufah juga mengembangkan ajaran mereka di kota Kufah.
Madrasah al-Madinah terkenal dengan fokus mereka pada
66
Jaih Mubarok, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, h. 56-
57. 67
Jaih Mubarok, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, h. 57.
79
sumber hukum hadits atau Sunnah dalam mengembangkan
pemikiran mereka dan cenderung sangat berhati-hati dalam
menggunakan ra‟yi, sedangkan ulama Kufah relatif lebih
fleksibel dan longgar dalam menggunakan ra‟yi. Baik
Madrasah al-Madinah maupun Madrasah al-Ra‟yi mempunyai
pemikiran dan corak berpikir sendiri-sendiri hal mana ini diikuti
oleh murid-murid mereka masing-masing yang akhirnya dua
corak pemikiran ini berkembang keberbagai wilayah kekuasan
Islam di Jazirah Arab, Asia, Afrika bahkan sebagian kecil
eropa68
.
Selain dua kelompok yang telah penulis sebutkan,
adalagi kelompok yang pada awalnya adalah kelompok dalam
bidang politik dan ilmu kalam namun mempunyai pengaruh
dalam terbentuknya mazhab-mazhab hukum dalam hukum
Islam. Kelompok ini adalah Khawarij, Syiah dan Jumhur. Tiga
kelompok ini pada awal terbentuknya merupakan aliran politik,
karena sumber perbedaan pemikiran di antara mereka adalah
pemikiran yang bersifat politik yaitu masalah kepemimpinan
umat Islam. Dalam perjalanannya, Khawarij berubah menjadi
aliran kalam, sedangkan syi‟ah memperkuat eksistensinya
dalam aliran politik dengan membangun doktrin dan ajaranya
sedangkan jumhur tetap setia mendukung pemerintahan
Quraisy69
. Jumhur inilah yang dikenal dengan golongan Sunni.
Dua model pengembangan kelompok-kelompok yang
membentuk corak hukum Islam di atas merupakan bukti bahwa
dalam Islam terdapat kebebasan berpikir dan masing-masing
saling menghargai sehingga perbedaan di antara mereka tidak
menjadi penghalang untuk masing-masing mengembangkan
corak hukum Islam sesuai dengan pondasi pemikiran mereka
masing-masing. Bagi corak pemikiran hukum Islam yang
diawali oleh perbedaan aliran politik karena ada perbedaan
pondasi pemikiran tentang pemilihan pemimpin umat memang
ada gejolak di antara mereka namun justru dari gejolak itulah
68
Jaih Mubarok, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, h. 157 69
Jaih Mubarok, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, h. 157
80
ada dinamika positif sehingga penggalian sumber hukum dan
penciptaan produk hukum Islam menjadi lebih kaya karena
pondasi pemikiran hukum mereka sangat dipengaruhi oleh
pemahaman mereka di bidang politik dan kepemimpinan.
3. Perkembangan Polarisasi Mazhab Hukum Islam
Perkembangan mazhab hukum yang diawali dengan
terbentuknya kelompok Madrasah al-hadist dan kelompok
Madrasah al-ra‟yu terus berlanjut seiring dengan semakin
berkembangnya syi‟ar Islam dan kekuasaan Islam. Tolok ukur
pengembangan hukum yang didasarkan pada pemikiran dua
kelompok ini menyebar dengan pesat seiring kebutuhan umat
Islam terhadap produk hukum. Perkembangan ini terus melaju
seiring dengan berkembangnya fase zaman keemasan Islam.
Fase ini disebut juga fase kemandirian bagi ilmu hukum
menjadi ilmu yang mandiri atau fase kesempurnaan70
.
Perkembangan ilmu pengetahuan tidak hanya bersumber
pada umat Islam sendiri tapi mulai digalakkan penterjemahan-
penterjemahan buku-buku yang berasal dari Yunani. Pada masa
kekhilafahan Harun al-Rasyid banyak ulama-ulama yang
dikirim ke eropa untuk mengumpulkan manuskrip-manuskrip
untuk diterjemahkan ke dalam Bahasa Arab. Pada awalnya
upaya penterjemahan diutamakan pada buku-buku yang
membahas tentang kedokteran, tetapi kemudian dipelajari pula
buku-buku ilmu pengetahuan dan filsafat. Melalui gerakan
penterjemahan ini, karya-karya para filsuf Yunani semisal
Aristoteles, Plato dan Galen dalam bidang filsafat, kedokteran,
dan ilmu pengetahuan lainnya dapat di baca oleh umat Islam71
.
Laju perkembangan ilmu pengetahuan juga membawa
pengaruh terhadap polarisasi kelompok ilmu pengetahuan. Di
70
T.M Hashbi Ash-Shiddiqi, Pokok-pokok Pegangan Imam-imam
Madzhab dalam Membina Hukum Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), h.
31. 71
Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme Islam, (Jakarta: UI-
Press, 1973), h. 11.
81
bidang hukum polarisasi ini dinamakan dengan mazhab atau
Madrasah. Dalam Bahasa inggris istilah mazhab ini biasa
diterjemahkan dengan istilah school karena mengambil dari
istilah Madrasah. Sebagaimana pendahuluan bab ini bahwa
polarisasi mazhab ilmu hukum mulai terbentuk dengan
terbentuknya Madrasah al-Hadits dan Madrasah al-Ra‟yu. Dari
sinilah mulai berkembang mazhab-mazhab yang terpolarisasi
pada dua inti fokus Madrasah ini. Satu kelompok berfokus pada
sumber hukum al-hadits dan satu lagi fokus pada
pengembangan rasionalitas.
Catatan sejarah menuliskan banyak sekali mazhab-
mazhab yang terbentuk sebagai hasil perkembangan ilmu
pengetahuan dan polarisasi yang terjadi seiring berkembangnya
ilmu pengetahuan. Mazhab-mazhab yang terbentuk ini
merupakan hasil dari adanya polarisasi antara Madrasah al-
Hadits dan Madrasah al-Ra‟yu. Perbedaan pemahaman dan
cara berpikir dari dua kelompok besar ini semakin lama
semakin mengkristal sehingga berakibat pada menguatnya
sentiment kelompok dan memecah berbagai macam perbedaan-
perbedaan yang ada menjadi bagian-bagian yang lebih kecil lagi
yaitu mazhab-mazhab72
.
72
Mazhab-mazhab tersebut adalah sebagai berikut:
a. Ja‟far al-Shiddiq (80 H)
b. Abu Said Hasan Ibn Yasar al-Basri (110 H)
c. Abu Hanifah al-Nu‟man (150 H)
d. Al-Auzai Abu Amar Abd Rahman (157 H)
e. Sufyan Ibn Said al-Tsauri (160 H)
f. Al-Laits Ibn Sa‟id (175 H)
g. Malik bin Anas (179 H)
h. Sufyan bin Uyainah (198 H)
i. Muhammad Idris l-Syafi‟i (204 H)
j. Ahmad bin Muhammad bin Hanbal (241 H)
k. Daud ibn Ali Ashabahani al-Dzahiri (270 H)
l. Ishaq ibn Rahawaih (238 H)
m. Abu Tsaur Ibrahim bin Khalid al-Kalabi (240 H)
Lihat. Yayah Sopyan, Tarikh Tasyri‟, h. 119.
82
Dari sekian banyak mazhab-mazhab yang terbentuk
pada saat itu hanya sedikit yang bertahan hingga sekarang,
sementara yang sebagian lain sudah hilang atau berkurang
pengaruhnya. Mazhab hukum yang berkembang hingga saat ini
di antaranya adalah Mazhab ja‟fari (dari kalangan Syiah),
mazhab Hanafiah yang didirikan oleh Abu Hanifah al-Nu‟man
Ibn Tsabit ibn Zutha (w. 150 H), mazhab Malikiah yang
didirikan oleh Malik ibn Anas al-Bahi (w.179 H), mazhab
syafi‟iyah yang didirikan oleh Muhammad Ibn Idris al-Syafi‟î (
w. 204 H), dan mazhab Hanabillah yang didirikan oleh Ahmad
Ibn Muhammad Ibn Hanbal (w. 241 H)73
.
Jika ditinjau dari segi polarisasi antara madrasah al-
ra‟yu dan madrasah al-hadits maka masing-masing imam
mazhab tersebut memiliki dominansi yang berbeda-beda.
Mazhab ja‟fariyah mengambil sumber hukum berdasarkan al-
Qur‟an, Sunnah, Ijma‟ dan akal. Namun, berdasarkan mazhab
ini orang yang dapat meriwayatkan Sunnah hanya terbatas pada
periwayatan yang dilakukan oleh ahlu al-bait saja. Sedangkan
yang menjadi objek Sunnah adalah diri nabi dan para Imam
mereka. Sedangkan yang dimaksud dengan ijma adalah ijma di
kalangan mereka sendiri74
.
Mazhab Hanafiyah didirikan oleh Abu Hanifah al-
Nu‟man bin Tsabit bin Zutha berasal dari Kufah (Irak) yang
merupakan pusat perkembangan madrasah al-ra‟yu. Dalam
mengistinbatkan hukum, mazhab ini berpegang pada al-Qur‟an
dan sangat hati-hati dalam menggunakan Sunnah. Imam Abu
Hanifah banyak belajar fikih kepada ulama Kufah yang
beraliran Madrasah al-Ra‟yu. Sumber-sumber keilmuan Imam
Abu Hanifah yang banyak mengambil dari guru-gurunya yang
merupakan Ahlu al-Ra‟yu membuat beliau menjadi representasi
dari golongan mazhab yang mengembangkan aliran ra‟yu75
.
73
Jaih Mubarok, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, h. 119. 74
Jaih Mubarok, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, h. 120. 75
Jaih Mubarok, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, h. 121.
83
Mazhab Malikiyah didirikan oleh Imam Malik bin Anas.
Sejak kecil Imam Malik hampir tidak pernah meninggalkan
Madinah. Beliau banyak mengambil ilmu langsung dari para
Sahabat dan para thabi‟in. Guru yang dianggapnya paling
berpengaruh adalah Abdullah ibn yazid ibn Hurmuz, seorang
tabi‟in. Imam Malik adalah salah satu pelopor Madrasah al-
hadits. Dia adalah seorang Imam di bidang hadits dan hasil
karyanya yang terkenal di bidang hadits adalah kitab al-
Muwatta. Kitab ini pernah diminta oleh Harun al-Rasyid,
seorang khalifah dari bani Umayyah pada saat itu untuk
dijadikan kitab panduan dan rujukan resmi mazhab hukum pada
saat itu namun permintaan tersebut ditolak oleh Imam Malik.
Dalam mengembangkan mazhabnya Imam Malik mengambil
sumber-sumber hukum dari al-Qur‟an, hadits, ijma ahli
Madinah, fatwa sahabat, qiyas, maslahah mursalah, khabar
ahad, istihsan, sadd zara‟i, mura‟at al-khilaf mujtahidin,
istishab, dan syar‟ man qablana76
.
Mazhab Syafiiyah didirikan oleh Muhammad bin Idris
al-Syafi‟i. Beliau lahir di Gaza, bertepatan dengan
meninggalnya Imam Abu Hanifah. Imam syafi‟i dianggap
merupakan sintesa dari polarisasi antara kubu Madrasah al-
ra‟yu dengan madrasah al-hadits. Imam Syafi‟I merupakan
ulama yang sangat produktif dan banyak mengembangkan ilmu-
ilmu ushul di bidang fiqih dan hadits. Oleh Karena itulah
pemikirian Imam Syafi‟I dianggap merupakan perpaduan yang
sempurna antara rasionalitas dan Sunnah. Di bidang ushul fiqh
beliau berjasa dalam menancapkan dasar-dasar ilmu ushul.
Kitabnya yang terkenal adalah al-Risalah. Di bidang ilmu hadits
beliau dijuluki sebagai Nâshiru al-sunnah, karena pembelaan
beliau yang luar biasa terhadap hadits dan ilmu hadits. Di dalam
berijtihad sumbe hukum yang menjadi pegangan mazhab
Syafi‟i ini adalah al-Qur‟an, Sunnah, ijma, qiyas77
.
76
Jaih Mubarok, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, h. 121-
122. 77
Jaih Mubarok, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, h. 122.
84
Mazhab Hanabillah didirikan oleh Abu Abdullah
Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilal al-Syaibani atau
biasa disebut Imam Ahmad bin Hanbal. Beliau adalah salah
satu murid dari Imam Syafi‟i. Beliau lahir di Baghdad dan
sudah menjadi yatim sejak kecil. Meskipun lahir di Baghdad,
yang merupakan bagian dari Madrasah al-ra‟yu namun
pengembaraan beliau untuk berguru ke banyak tempat
mengantarkan beliau kepada kecendrungan pemikiran madrasah
al-hadits. Kepedulian beliau terhadap hadits dibuktikan dengan
karya ilmiah beliau yang sangat terkenal dalam mengumpulkan
hadits-hadits dalam Musnad Ahmad bin Hanbal. Dasar
pengambilan hukum dalam mazhab ini adalah al-Qur‟an, hadits
shahih, fatwa sahabat, hadits hasan atau dhaif dan qiyas78
.
4. Polarisasi Mazhab Hukum dan Relevansinya terhadap
Fanatisme Produk Tafsir Hukum
Dengan berkembangnya mazhab-mazhab hukum di
dalam Islam para ulama mulai terpolarisasi kelompoknya
menjadi bagian dari mazhab-mazhab hukum tertentu. Polarisasi
mazhab ini juga berpengaruh pada metode kajian dan pemikiran
para ulama. Pada kesempatan ini para ulama mulai terserang
penyakit fanatisme dan menjadi muqollid sejati serta berdiri
dibelakang pemikiran imam Mazhab. Kajian-kajian pemikiran
yang terbuka dan ide-ide segar pemikiran hukum Islam mulai
melemah. Produk-produk ilmiah yang dihasilkan para ulama
pada era mazhab mulai mengkrucut menjadi kajian-kajian yang
hanya membahas lebih dalam kitab-kitab mazhabnya masing-
masing dengan men-syarah-kan atau meringkas (Mukhtasor)
kitab-kitab ulama mazhab.
Polarisasi mazhab hukum pada saat itu yang didukung
oleh fanatisme dan taklid yang berlebihan yang membuat para
ulama cenderung menjadi muqallid dan fanatik terhadap
mazhabnya masing-masing. Jika ada suatu ayat-ayat hukum
78
Jaih Mubarok, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, h. 123.
85
atau permasalahan hukum maka para ulama mencoba
melakukan pembahasan dengan pendekatan menurut
mazhabnya masing-masing. Bahkan apabila ditemui ayat-ayat
hukum yang bertentangan dengan pendapat imam mazhabnya
sedapat mungkin pemahaman ayat tersebut dita‟wîl sesuai
dengan pendapat imam-imam mereka. Apabila tidak
dimungkinkan melakukan ta‟wîl maka ayat-ayat hukum
tersebut dapat di takhsîs atau di nasakh agar sesuai dengan
pendapat imam-imam mereka. Abdullah al-Karakhî, seorang
ulama pengikut mazhab Hananfi bahkan pernah mengatakan
setiap ayat atau hadits yang menyalahi pendapat sahabat-
sahabat kami maka ayat tersebut harus di ta‟wil atau di
nasakh.79
Bukti nyata berkembangnya pemikiran taklid dan
fanatisme terhadap mazhab pada saat itu adalah lahirnya banyak
produk-produk tafsir hukum yang fokus melakukan kajian tafsir
dari segi hukum namun didasarkan pada kajian-kajian tafsir
hukum berdasarkan mazhab hukumnya masing-masing. Tidak
jarang juga ditemukan kajian tafsir hukum tersebut digunakan
sebagai wahana untuk mempertahankan atau melemahkan
pendapat para imam-imam mazhab. Meskipun begitu tetap ada
ulama-ulama yang menulis tafsir hukum yang sangat
dipengaruhi oleh pemikiran mazhabnya namun tetap dapat
berlaku adil terhadap pendapat ulama-ulama mazhab lain
dengan menyitir pendapat-pendapat ulama-ulama yang berbeda
mazhab lalu memilih pendapat-pendapat terbaik dari ulama-
ulama tersebut. Berikut adalah polarisasi produk-produk tafsir
hukum berdasarkan mazhab hukum masing-masing.
a. Mazhab Hanafiyah
Abu Bakr al-Razy yang lebih dikenal dengan al-Jassas
menulis sebuah kitab tafsir hukum yang berjudul Ahkâm al-
Qur‟ân. Beliau adalah ulama dari kalangan mazhab Hanafiyah
79
Muhammad Husein al-Dzahabi, Al-Tafsîr wa al-Mufassirûn,
(Darul Hadits: Mesir, 2005), Juz 2, h. 381.
86
dalam bidang hukum atau fikih dan beraliran muktazilah dalam
bidang ilmu kalam80
. Kitab tafsir ini sangat bernuansa kajian
hukum yang sangat penting dan menjadi panduan di kalangan
mazhab hanafiyah. Penulis memang berupaya menjelaskan
kajian-kajian hukum dari berbagai sumber namun jelas sekali
keberpihakannya pada pendapat-pendapat mazhab hanafiyah.
Selain itu ada juga kitab tafsir ayat-ayat hukum dari kalangan
Hanafiyah yang ditulis oleh Abi Sa‟îd yang dikenal dengan
Mulla Juyuuni yang berjudul al-Tafsîrât al-ahmâdîyyah al-Ăyât
al-Syar‟iyyah. Kitab ini belum diterbitkan dan masih dalam
bentuk manuskrip dan tersimpan dalam perpustakaan
universitas al-Azhar al-Syarîf81
.
b. Mazhab Malikiyah
Abu Bakr Muhammad bin Abdullah bin Muhammad bin
Abdullah bin Ahmad al-Ma‟araffi al-Andalusi al-Isybilli atau
yang lebih dikenal Ibn al-„Arabî yang wafat pada tahun 453 H
menulis kitan tafsir hukum yang berjudul Ahkam al-Qur‟ân.
Tafsirnya merupakan rujukan utama di kalangan mazhab
maliki. Meskipun menulis tafsir hukum dengan nuansa mazhab
maliki namun ia dianggap sebagai ulama yang moderat dalam
tafsirnya. Ibn al-„Arabî tidak fanatik mazhab, cukup halus
dalam membantah lawan-lawan pendapatnya. Dalam
menafsirkan ayat, Ibn al-„Arabî mengemukakan berbagai
pendapat ulama, tetapi yang masih memiliki kaitan dengan
ayat-ayat hukum, kemudian memaparkan berbagai
kemungkinan makna ayat bagi mazhab lain selain maliki82
.
Selain Ibn al-„Arabî, dari kalangan Malikiah ada juga
Abdullah bin Muhammad bin Ahmad bin Abu Bakar bin Farh
80
Muhammad Fakir Mibadi, Ayat-ayat Hukum dalam Pandangan
Imamiyah dan Ahlusunnah, Penerjemah Sirojudin (Jakarta: Nur Huda,
2014), h. 4. 81
Mibadi, Ayat-ayat Hukum dalam Pandangan Imamiyah dan
Ahlusunnah, h. 373. 82
Manna al-Qattan, Pengantar Studi Ilmu al-Qur‟ân, h. 470.
87
al-Anshari al-khazraji al-Andalusi atau juga dikenal dengan
nama al-Qurthubi. Beliau menulis kitab tafsir yang berjudul al-
Jami‟ li al-Ahkam al-Qur‟ân. Meskipun fokus pada ayat-ayat
hukum namun al-Qurthubi tidak membatasi kajian tasirnya
hanya pada ayat-ayat hukum saja tetapi bersifat komprehensif.
Al-Qurthubi sasngat luas dalam mengkaji ayat-ayat hukum. Ia
mengetengahkan masalah-masalah khilafiah, hujjah bagi setiap
pendapat lalu mengomentarinya. Dalam menulis tafsirnya al-
Qurtubi tidak fanatic terhadap mazhabnya namun memilih
berlaku adil terhadap mazhab-mazhab yang lain83
.
c. Mazhab Syafi’iyah
„Imad al-Din Muhammad al-Tabari atau dikenal dengan
nama Alkiya Harrâssy menulis kitab tafsir hukum dari kalangan
Syafi‟iyyah yang berjudul Ahkâm al-Qur‟ân. Dalam penulisan
tafsirnya, Alkiya Harrassy termasuk ulama syafi‟iyyah yang
sangat fanatik. Beliau sangat mengagung-agungkan pendapat
Imam Syafi‟I dan ulama-ulama dari mazhab syafi‟i. Beliau
menentang keras pendapat-pendapat ulama-ulama yang
berlawanan dengan mazhab syafi‟i dan secara khusus
membantah pendapat-pendapat al-Jassas yang dalam tafsirnya
bertentangan dengan pendapat mazhab Syafi‟I atau bahkan
bertentangan dengan pendapat Mazhab Syafi‟i84
.
Selain itu ada beberapa tafsir hukum yang juga ditulis
oleh para ulama dari kalangan Mazhab Syafi‟iyah di antaranya
Kitab tafsir hukum yang berjudul Ahkâm al-Kitâb al-Mubîn.
Beliau adalah ulama al-Qur‟ân pada abad ke-9 hijriyah. Selain
itu ada juga kitab tafsir hukum yang berjudul al-iklîl fî Istinbâti
al-Tanzîl yang ditulis oleh ulama terkenal dari kalangan
syafi‟iyyah yaitu Jalaluddin al-Suyuthi atau dikenal dengan
Imam Suyuthi85
83
Manna al-Qattan, Pengantar Studi Ilmu al-Qur‟ân, h. 470. 84
Muhammad Husein al-Dzahabi, Al-Tafsîr wa al-Mufassirûn,
(Darul Hadits: Mesir, 2005), Juz 2, h. 390-391. 85
al-Dzahabi, Al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, h. 391.
91
didapatnya dari Abi „Alî al-Fârisi, Abi Umar Ghulam Tsa‟lab
al-Nahwi dan Abî Sahl al-Zujâjî7.
Setelah beberapa kurun waktu, al-Jassas pulang dari
Naisaburi ke Baghdad pada tahun 344 H, dan tidak diduga
gurunya Abu Hasan al-Karakhi meninggal dunia. Sepeninggal
Abu Hasan al-Karakhi pada 340 H / 952 M, ia kemudian
digantikan oleh Abu 'Ali Ahmad bin Muhammad al-Shashi.
Namun, pada tahun 344 H / 956 M, al-Shashi jatuh sakit parah,
maka kemudian al-Jassas
92
ilmunya, al-Jassas pernah dua kali ditawari untuk menjadi
seorang hakim (Qadhi), namun beliau menolak dua kali
permintaan itu. Penolakannya ini sangat dimungkinkan karena
ia tidak ingin diasosiasikan sebagai Syi‟ah yang pada saat itu
sedang memegang tampuk kekuasaan10
.
Sebagai salah seorang pemuka mazhab Hanafi pada masa
itu, al-Jassas, termasuk ulama yang sangat produktif. Beliau
dianggap sebagai ulama generasi keempat dalam lingkup
mazhab Hanafiyah. Oleh karenanya beliau bukan lagi seorang
mujtahid mutlak namun lebih merupakan ulama yang
memberikan penjelasan yang lebih rinci terhadap hasil karya
ulama-ulama pendahulunya. Ijtihad dan pendapat beliau diambil
dari ulama-ulama generasi sebelumnya seperti mengambil
pendapat dari gurunya, al-Karakhi11
.
2. Karya Ilmiah al-Jassas
Di antara karya-karya al-Jassas adalah al-Fushûl fi al-
ushûl, dikenal sebagai Ushûl al-Jassas. Kitab ini merupakan
upaya beliau untuk membuat sistem yang komprehensif dan
sistematis dalam memperlakukan prinsip-prinsip hukum yang
diajarkan oleh Imam Hanafi. Salah satu karya terpenting al-
Jassas adalah Ahkâm al-Qur‟ân karena kitab ini meliputi dua
keilmuan penting yaitu tafsir dan hukum. Kitab ini ditulis dalam
3 jilid besar dan memuat hingga 105 bab12
.
Adapun karya ilmiah lain yang dihasilkan oleh al-Jassas
adalah Syarh Mukhtasar al-Karakhy, Syarh Mukhtasar al-
Thahawy, Syarh al-Jami‟ li Muhammad Ibn Hasan, Syarh al-
10
Khalilupethes, Al-Imam Abu bakar al-Râzî al-Jassas wa
Manhajuhu fî al-Tafsîr, h.33-34. 11
Khalilupethes, Al-Imam Abu bakar al-Râzî al-Jassas wa
Manhajuhu fî al-Tafsîr, h. 80. 12
Saeedullah, Life and Works of Abu Bakr al-Razi al-Jassas, hlm.
135.
93
Asma al-Husna, Adab al-Qadha‟, ushul al-Fiqh dan al-
Asyrabah13
.
3. Corak Penafsiran dan Kecendrungan Mazhab dalam
Tafsir Ahkâm al-Qur’ân
Kitab tafsir Ahkâm al-Qur‟ân karya al-Jassas
merupakan kitab tafsir yang sangat kental dengan corak fikih
bahkan dikatakan kitab ini lebih merupakan kitab fikih
ketimbang kitab tafsir mengingat pembahasan di dalamnya
sangat kental nuansa fikihnya dengan bab-bab dan sub bab yang
disusun sedemikian rupa sesuai dengan kaidah penulisan fikih.
al-Jassas juga menyajikan berbagai macam diskusi dan
perbandingan fikih di dalam tafsirnya sehingga kajian tafsirnya
sangat menyerupai kajian perbandingan fikih (fiqh muqarran)14
.
Tidak jarang perbandingan itu dilakukan untuk menguatkan
atau membela pendapat fikih dari mazhab yang dianutnya.
Tafsir semacam ini seakan-akan melihat al-Qur‟ân sebagai kitab
suci yang berisi ketentuan-ketentuan hukum dan perundang-
undangan atau menganggap al-Qur‟ân sebagai kitab hukum15
.
Penafsiran yang dilakukan oleh al-Jassas juga dinilai
terlalu berlebihan dalam membahas masalah hukum, karena ia
memasukkan masalah-masalah fikih yang seharusnya tidak
perlu dibahas dalam sebuah kitab tafsir, termasuk juga
perbedaan-perbedaan pendapat yang ada pada kalangan ulama
fikih. Ia juga menghidangkan perbedaan-perbedaan pendapat
ulama fikih lalu membandingkan masing-masing pendapat itu
selayaknya pembahasan dalam perbandingan fikih. Bahkan
adakalanya pembahasan fikih yang dibahas oleh al-Jassas sama
sekali tidak berhubungan dengan ayat yang sedang dibahasnya.
Dalam hal ini menjadi wajar apabila al-Dzahabi dalam kitabnya
al-Tafsîr wa al-Mufassirûn mengomentari tafsirnya sebagai
13
Iyaziy, Al-Mufassirûn Hayâtuhum wa Manhâjuhum, h. 110. 14
Al-Dzahabi, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, Jilid 2, h. 324. 15
Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2011), h. 419
94
sebuah tafsir yang lebih mirip dengan buku-buku fikih
perbandingan (fiqh muqarran) ketimbang kitab tafsir16
.
Sebagai sebuah kitab tafsir yang fokus pada pembahasan
fikih, al-Jassas membekali penulisan tafsirnya dengan beragam
sumber bacaan yang berasal dari berbagai macam bidang ilmu
baik itu sumber-sumber ilmu tafsir, ilmu ushul, ilmu fikih serta
ilmu hadits. Ilmu bahasa dan serta ilmu sejarah. Sumber-sumber
kitab tafsir yang digunakan oleh al-Jassas adalah di antaranya
kitab Tafsîr al-Qur‟ân karya Imam Abdul al-Razaq al-Shan‟ânî,
kitab Jami‟ al-Bayân „an Ta‟wîl Ai al-Qur‟ân karya Imam
Muhammad Ibn Jarîr al-Thabari, kitab Ahkâm al-Qur‟ân karya
Imam Syafi‟i, Ahkâm al-Qur‟ân karya Abî Hasan „Ali Ibn
Hajar al-Sa‟dî, kitab Ahkâm al-Qur‟ân karya Abî Hasan „Alî
Ibn Mûsa al-Qummî17
.
Penulisan Ahkâm al-Qur‟ân karya al-Jassas juga
dihasilkan dari sumber-sumber kitab hadits. Al-Jassas mengutip
penulisan tafsirnya dari sumber-sumber kitab hadits yang
mashur seperti kitab-kitab yang dikenal dengan Kutub al-Sittah,
terutama berasal dari kitab Sunan Abu Daud18
. Selain
menggunakan sumber-sumber hadits dari kitab-kitab hadits
yang sudah ada, al-Jassas juga menggunakan dalil-dalil hadits
yang ia riwayatkan sendiri dengan sanad yang bersambung
kepada guru-gurunya. Adapun dua orang guru yang ia
riwayatkan hadits dari mereka adalah Abdul al-Baqi ibn Qâni‟
dan Muhammad ibn Bakr al-Bashori19
.
Di bidang bahasa dan sastra, al-Jassas banyak
mengambil faidah langsung dari guru-gurunya di bidang Bahasa
dan sastra. Di antara mereka adalah Abu „Alî al-Fârisi dan Abu
16
Al-Dzahabi, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, Jilid 2, h. 324 17
Khalilupethes, al-Imam Abu bakar al-Râzî al-Jassas wa
Manhajuhu fî al-Tafsîr, h.173. 18
Khalilupethes, al-Imam Abu bakar al-Râzî al-Jassas wa
Manhajuhu fî al-Tafsîr, h.203 19
Khalilupethes, al-Imam Abu bakar al-Râzî al-Jassas wa
Manhajuhu fî al-Tafsîr, h. 203
95
Umar Ghulam Tsa‟lab, Tsa‟lab al-Nahwî dan Ibnu Ărabi. al-
Jassas banyak juga menyebut dalam tafsirnya para ulama yang
mashur dalam bidang bahasa di antaranya Qutrûb yang
merupakan murid dari Imam Sibawaih, al-Asma‟î, al-Kisa‟î dan
Ibnu Qutaibah20
.
Di bidang fiqh dan ushul fiqh, al-Jassas mengutip dari
beberapa ulama yaitu di antaranya Kitab al-Siyar al-Kabîr
karya Imam Muhammad Ibn al-Hasan al-Syaibani, Kitab al-
Ziyadâts karya Imam Muhammad ibn al-Hasan, Kitab al-„Amali
fi al-Fiqh dan al-Nawâdir karya Imam Abi Yûsuf. al-Jassas
juga mengambil manfaat untuk penulisan tafsirnya dari kitab
yang dikarang oleh ulama mazhab Syafi‟i yaitu kitab al-Risâlah
yang dikarang oleh Imam al-Syafi‟î, kitab al-Mukhtashor karya
al-Buwaitî dan al-Muzanî.
Bidang lain yang juga tak luput diambil faidahnya oleh
al-Jassas untuk melengkapi sumber-sumber penulisan karya
tafsirnya adalah bidang sejarah, terutama terkait dengan sejarah
kenabian (Sîrât al-Nabâwiyyah). al-Jassas mengutip dari
beberapa sumber yaitu dari Muhammad Ibn al-Ishaq pengarang
kitab al-Sîrât al-Nabâwiyyah, al-Wâqidi pengarang kitab al-
Maghâzî al-Nabâwiyyah. al-Jassas juga mengutip penulisan
tafsirnya dari kitab Sîrât al-Nabâwiyyah yang sangat terkenal
karya Ibn Hisyam yaitu Kitab Sirâh Ibn Hisyam21
.
Pada kurun abad ke-4 Hijriah, produktivitas ulama
dalam menulis kitab memang lebih difokuskan kepada
penulisan-penulisan karya-karya ilmiah untuk mengembangkan
doktrin-doktrin pada mazhabnya mazing-masing. Pada saat itu
pula mulai berkembang penulisan teks kitab-kitab fikih dan
ushûl fiqh yang mengenalkan sistem dan doktrin mazhab
masing-masing pengikutnya. Perdebatan antara kaum rasional
dan kaum rasional (ahlu al-Ra‟yî dan ahlu al-hadits) sudah
20
Khalilupethes, al-Imam Abu bakar al-Râzî al-Jassas wa
Manhajuhu fî al-Tafsîr, h.209-210. 21
Khalilupethes, al-Imam Abu bakar al-Râzî al-Jassas wa
Manhajuhu fî al-Tafsîr, h. 218.
96
mendekati babak akhir karena mulai terwujudnya konsensus
keilmuan di antara kaum sunni pada saat itu.
Pada masa inilah awal-awal masa zaman keemasan
Islam mulai mengalami masa kemunduran. Akhir zaman
keemasan fikih ditandai dengan tidak ada lagi kemunculan
mujtahid mutlak yang mampu membangun cara dan mekanisme
berpikir hingga tidak ada lagi mujtahid pendiri mazhab. Akhir
zaman keemasan benar-benar berakhir ketika ijtihad ditutup
sehingga ulama tidak lagi berijtihad kecuali ijtihad dengan
mengikatkan diri pada aliran fikih tertentu22
.
Al-Jassas sendiri dilahirkan pada tahun 305 Hijriah.
Waktu dimana awal-awal jaman keemasan Islam mulai pudar23
.
al-Jassas sendiri dalam mazhab hanafiah digolongkan sebagai
generasi keempat ulama mazhab, generasi dimana era keemasan
Islam mulai redup. Pada saat ini produktivitas para ulama bukan
lagi pada ide-ide orisinal dan menggariskan metode berpikir
serta konsep pijakan ilmiah sebagaimana dilakukan oleh
pendahulunya para Imam Mazhab seperti Imam Abu Hanifah
atau Imam Syafi‟i. Produktivitas mereka memang tidak
berkurang namun bentuknya lebih pada merinci, menjelaskan
atau bahkan meringkas apa yang sudah dibuat para ulama
sebelumnya.
Kecendrungan karya-karya yang dibuat juga lebih pada
melestarikan mazhab-mazhab mereka masing-masing. Kondisi
inilah yang membuat mazhab-mazhab dalam bidang hukum
22
Mubarok, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, h. 133. 23
Para sejarahwan Islam sepakat bahwa tanda-tanda kemunduran
Islam di mulai pada abad ke-4 Hijriah. Kemunduran ini ditandai dengan
mulai menurunnya ijtihad di antara para ulama. Sebagian ulama memandang
cukup untuk merujuk pendapat imam mazhabnya masing-masing tanpa
melakukan ijtihad kembali. Pada fase ini terjadi perubahan orientasi dimana
sebelumnya banyak para ulama langsung merujuk kepada al-Qur‟an dan
Sunnah namun pada fase ini cukup dengan merujuk kitab-kitab fikih yang
disusun oleh para imam mazhab yang dianggap lebih kompeten. Lihat.,
Mubarok, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, h. 137.
97
berkembang pesat. Ditambah lagi dengan tumpulnya ide-ide
yang orisinil, taklid buta dan wacana tertutupnya ijtihad maka
timbullah pelestarian mazhab yang bertendensi pada
fanatisme24
.
B. Aspek Metodologis dalam Tafsir Ahkâm al-Qur’ân Karya
al-Jassas
Ada dua aspek penting yang akan penulis bahas
sehubungan dengan aspek metodologis dalam tafsir Ahkâm al-
Qur‟ân karya al-Jassas. Pertama, penulis akan membahas
bagaimana al-Jassas berusaha memahami pesan-pesan al-
Qur‟an dengan cara-cara yang populer digunakan oleh para
ulama dalam melakukan penafsiran al-Qur‟ân. Metode popular
itu merujuk kepada riwayat atau tafsîr bi al-Ma‟tsur dan
menggunakan nalar atau tafsîr bi al-Ra‟yî. Kedua, penulis akan
memberikan analisis metodologis terkait bagaimana al-Jassas
menyajikan hidangan tafsirnya. Cara penyajian atau bagaimana
cara al-Jassas memberikan penjelasan tafsirnya itu akan
dianalisis sesuai dengan metode-metode yang ia gunakan.
Metode-metode tersebut adalah metode Tahlîly dan metode
Maudhû‟î.
Untuk memberikan analisis yang jelas dan
komprehensif, penulis akan memberikan contoh-contoh aspek
24
Beberapa peneliti berkesimpulan bahwa pendapat tentang
tertutupnya Ijtihad merupakan bagian dari meredupnya era keemasan Islam.
Era ini dimulai pada abad ke-4 Hijriah. Menurut „Ali al-Sayyis, dalam kitab
Nasy‟at al-Fiqh al-Ijtihâdi wa atwârûh, setelah Ibnu Jarir al-Tabari (w.310
H) tidak terdapat lagi mujtahid mutlak. Wael B. Hallaq menyatakan bahwa
ketertutupan Ijtihad muncul karena diskusi antara Ibnu „Aqil (w. 513 H)
penganut mazhab Hambali, dengan seorang penganut mazhab Hanafi yang
namanya tidak diketahui. Dalam diskusi tersebut, Ibnu „Aqil menolak
pendapat rekan diskusinya yang menyatakan bahawa ijtihad telah tertutup.
Menurut „Abd. Wahab Khallaf, pendapat tentang ijtihad telah ditutup
muncul sejak abad IV H. J. Coluson dan Joseph Schacht setuju dengan
pendapat ini. Lihat. Mubarok, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam,
h.133 – 134.
98
metodologis yang digunakan oleh al-Jassas di dalam tafsirnya
baik terkait dengan cara memahami ayat-ayat al-Qur‟an melalui
sumber-sumber yang popular digunakan oleh para ulama
ataupun mekanisme yang digunakan dalam menyajikan
penjelasan tafsir.
1. Metode Tahlîly dalam Penulisan Tafsir Ahkâm al-
Qur’ân
Jika kembali kepada pemahaman tentang definisi tafsir
maka akan didapati penjelasan bahwa tafsir adalah penjelasan
tentang maksud-maksud Allah dalam firman-Nya sesuai dengan
kemampuan manusia.25
Dari penjelasan ini ada makna tersirat
dari kata penjelasan bahwa ada sesuatu yang disajikan sebagai
sesuatu penjelasan dan ada mekanisme khusus bagaimana al-
Qur‟an itu dijelaskan. Berdasarkan pemikiran inilah suatu tafsir
pasti memiliki aspek metodologis dalam penyajiannya tidak
terkecuali dengan tafsir yang disajikan oleh al-Jassas. Layaknya
sebuah tafsir, ia memiliki aspek metodologis penyajian agar
runtutan penjelasan yang dilakukan dapat dengan nikmat
disantap oleh pembacanya.
Dalam tafsirnya, secara umum al-Jassas menggunakan
metode Tahlîly dengan melakukan analisis ayat-ayat al-Qur‟ân
dengan memaparkan kandungan ayat-ayat al-Qur‟ân sesuai
dengan pandangan, kecendrungan, keahlian dan keinginan
mufassirnya yang dihidangkan secara runtut sesuai dengan
penurunan ayat-ayat dalam mushaf. al-Jassas banyak memulai
penafsirannya dengan terlebih dahulu membahas pengertian
umum dari kosakata ayat, perbedaan-perbedaan pendapat
tentang pemahaman suatu ayat yang dihidangkan dengan
menyajikan berbagai macam pendapat ulama mazhab lalu ia
mengambil kesimpulan dengan mengambil hukum apa yang
dapat diambil dari pemahaman terhadap ayat tersebut.
25
M. Quraish Shihab, Kaidah al-Qur‟an, h. 377.
99
Ia juga membahas qira‟at atau I‟rab ayat-ayat yang ia
tafsirkan serta keistimewaan-keistimewaan susunan kata-
katanya. al-Jassas banyak mencantumkan kutipan-kutipan
pendapat ahli fikih mulai dari kalangan sahabat, tabi‟in dan
generasi sesudah mereka. Dalam kondisi tertentu, al-Jassas
seperti tidak terlihat untuk memberikan kesimpulan atau
penekanan kepada pembaca, melainkan ia membiarkan begitu
saja pendapatnya tanpa ada tendesi kearah kesimpulan atau
penguatan salah satu dari pendapat yang dinukil atau
dikumpulkannya.26
Metode Tahlîly dapat terlihat dengan jelas ketika ia
menafsirkan lafadz basmallah sebagai awal objek tafsir dalam
al-Qur‟an. Di situ ia membahas secara komprehensif tentang
lafadz basmallah mulai dari pemahaman gramatikal
kosakatanya, I‟rabnya serta perbedaan-perbedaan pendapat
ulama mazhab di dalamnya disertai dalil-dalil yang
mendukungnya. al-Jassas membagi penjelasan tentang kata
basmallah hingga menjadi sembilan pembahasan yaitu pertama,
tentang makna dhamir yang ada di dalamnya, kedua, apakah
lafadz Basmallah itu adalah bagian dari ayat al-Qur‟ân pada
pembukaannya, ketiga, apakah lafadz basmallah merupakan
bagian dari ayat al-Fâtihah, Keempat, apakah ia merupakan
ayat pada setiap awal surat, kelima, apakah ia merupakan satu
ayat yang sempurna atau bukan, keenam, hukum membacanya
dalam shalat, ketujuh, hukum pengulangannya dalam setiap
awal surat dalam shalat, kedelapan, Hukum membaca zahar
(keras), kesembilan, perincian pembahasan tentang
keistimewaan lafadz Basmallah ditinjau dari berbagai segi.27
Melihat bagaimana al-Jassas melakukan penafsiran
terhadap lafadz basmallah maka sangatlah jelas bahwa al-Jassas
26
Moh. Sabiq dan Dyah Ayu Fitriani, “Kajian Kritis Atas Ahkâm
al-Qur‟ân Karya al-Jassas” (W.370 H.), Program Studi Ilmu al-Qur‟an dan
Tafsir, Sekolah Tinggi Agama Islam Sunan Pendanaran. 27
Abu Bakr Ahmad Ibn „Alî al-Râzî al-Jassas, Ahkâm al-Qur‟ân,
(Beirut: Al-Ihya al-Turats al-„Arabi‟), 1992), Jilid 1, h. 5.
100
memberikan penekanan khusus pada aspek hukum dari lafadz
Basmallah baik terkait eksistensinya sebagai ayat al-Qur‟ân
ataupun bagaimana hukum membacanya di dalam shalat.
Metode ini merupakan metode yang khas digunakan dalam
penulisan al-Qur‟ân dengan metode Tahlîly. Metode Tahlîly
yang digunakan oleh para mufassir yang menekankan pada
aspek hukum banyak dikritik oleh para ahli karena penulisnya
terlalu menekankan pandangan mazhabnya, sehingga mazhab
seakan menjadi dasar dan al-Qur‟ân digunakan untuk
mendukungnya. Dengan kata lain, al-Qur‟ân dijadikan
pembenaran mazhab dan tidak dijadikan petunjuk untuk
memperoleh kebenaran28
.
Metode Tahlîly yang digunakan oleh al-Jassas oleh para
pakar bahasa dianggap bisa memberikan kelebihan pemahaman
karena bisa menyajikan makna-makna kosakata dalam al-
Qur‟ân29
yang bisa dijadikan dasar dalam pengambilan dalil
hukum. Namun kritik juga disampaikan bahwa secara bahasa,
mufassir yang menggunakan metode ini tidak jarang dianggap
berlebihan atau berkurang dalam memberikan penjelasan
terhadap suatu kosakata yang ada dalam al-Qur‟ân30
. Perhatian
yang diberikan para ulama yang mengkritik penggunaan metode
ini jelas dapat terlihat dalam tafsîr al-Jassas bahkan pada
pembukaan tafsirnya pada saat al-Jassas membahas lafadz
basmallah31
.
2. Tematisasi Ayat-ayat dalam Tafsir Ahkâm al-Qur’ân
Tahap awal berkembangnya metode ini sesungguhnya
sudah dimulai ketika Rasûlullah sallallahu „alaihi wasallam
seringkali menafsirkan ayat dengan ayat yang lain. Salah satu
28
M. Quraish Shihab, Kaidah al-Qur‟ân, h. 379. 29
M. Quraish Shihab, Kaidah al-Qur‟ân, h. 378. 30
M. Quraish Shihab, Kaidah al-Qur‟ân, h. 379. 31
al-Jassas, Ahkâm al-Qur‟ân, Jilid 1, h. 5-28.
101
contohnya adalah ketika beliau menjelaskan arti lafadz Zhulm
yang terdapat pada Qs. al-An‟am [6]: 8232
.
ئك لهم ٱألمن ٱلذين آمنىا ولم يلبسىا إيمبنه ـ هتدون م بظلم أول وىم م
“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampur-
adukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka
itulah orang-orang yang yang mendapat keamanan dan
mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk”
(Qs. al-An‟am [6]: 82)
Rasûlullah sallallahu „alaihi wasallam mengatakan
bahwa kata Zhulm pada ayat ini sesungguhnya bermakna syirik
sebagaimana yang dijelaskan pada Qs. Luqmân [31]:13.
رك لظلم عظي م إن ٱلش “Sesungguhnya syirik itu adalah “Zhulm”
(Penganiayaan) yang besar. (Qs. Luqmân [31]:13)
Benih penafsiran ayat dengan ayat yang dilakukan oleh
Rasûlullah sallallahu „alaihi wasallam ini tumbuh subur di
kalangan para mufassir sehingga berkembanglah kitab-kitab
yang secara tematik melakukan penafsiran ayat dengan ayat.
Tafsir Thabari adalah salah satu tafsir pertama yang dianggap
fokus melakukan penafsiran ayat dengan ayat. Semakin kesini
berkembanglah pemikiran penafsiran tematik bukan hanya
penafsiran ayat dengan ayat namun secara khusus lebih fokus
pada penafsiran ayat yang bertema hukum seperti apa yang
dilakukan oleh al-Jassas. Meskipun begitu, apa yang dilakukan
al-Jassas, menurut Quraisy Shihab belum bisa dikatakan
sebagai Tafsir Maudhû‟î yang berdiri sendiri, antara lain karena
belum menggunakan metode-metode yang secara khusus
diperkenalkan sebagai metode Maudhû‟î.
32
M. Quraish Shihab, Kaidah al-Qur‟ân, h. 385.
102
Dari beberapa pendapat tentang definisi metode
Maudhû‟î, Dr. Musthafa Muslim dalam kitabnya Mabâhits fî al-
Tafsîr al-Maudhû‟î mengatakan bahwa menggabung ayat-ayat
yang berbeda di dalam al-Qur‟ân, yang saling berkaitan dengan
tema yang satu, baik dalam konteks lafadz atau hukum, dan
penafsirannya sesuai dengan maksud-maksud al-Qur‟ân33
.
Pendapat lain mengatakan bahwa metode Maudhû‟î adalah
metode yang mengarahkan pandangan kepada satu tema
tertentu, lalu mencari pandangan al-Qur‟ân tentang tema
tersebut dengan jalan menghimpun semua ayat yang
membicarakannya, menganalisis, dan memahaminya ayat demi
ayat,lalu menghimpunnya dalam benak ayat yang bersifat
umum dikaitkan dengan yang khusus, yang muthlaq
digandengkan dengan yang muqayyad, dan lain-lain sambil
memperkaya uraian dengan hadits-hadits yang berkaitan untuk
kemudian disimpulkan dalam satu tulisan pandangan
menyeluruh dan tuntas menyangkut tema yang dibahas itu34
.
Sebagaimana penulis sampaikan sebelumnya bahwa
penulisan tafsir dengan penekanan pada pembahasan aspek
hukum di dalam al-Qur‟ân atau corak hukum saja merupakan
salah satu pionir dalam perkembangan penulisan tafsir
Maudhû‟î. Oleh karenanya apa yang dilakukan oleh al-Jassas
dengan memfokuskan pada corak penulisan tafsir hukum
sesungguhnya sudah masuk dalam kategori tematik namun
belum secara komprehensif dianggap sebagai tafsir Maudhû‟î.
Jika ditelisik lebih dalam berdasarkan kriteria definisi tafsir
Maudhû‟î, sesungguhnya akan banyak ditemui penafsiran
dengan metode ini pada tafsir al-Jassas. Bahkan jika dilihat dari
judul-judul bab yang disajikan oleh al-Jassas dapat dilihat
secara jelas bahwa al-Jassas selalu berupaya menyajikan tema-
tema khusus (tematik) yang fokus pada bidang hukum
meskipun runtutannya didasarkan pada metode Tahlîly. Namun
33
Shalah Abd al-Fattah al-Khâlidi, al-Tafsîr al-Maudhû‟î Baina al-
Zurriyah wa al-Tatbîq, (Dâr al-Nafâis, 1997) h. 30. 34
M. Quraish Shihab, Kaidah al-Qur‟ân, h. 385.
103
uniknya al-Jassas dapat menyajikan tema-tema khusus dengan
memberikan judul-judul bab pada beberapa ayat atau surat yang
akan dibahasnya dengan tema-tema khusus yang telah
ditentukan dalam bab-bab tertentu lalu tema-tema tersebut akan
dibahas secara komprehensif dengan metode bi al-ma‟tsur.
Adakalanya juga pada sebagian pembahasan al-Jassas
tidak memberikan judul berupa bab atau pasal tertentu tentang
pembahasan itu namun jika dilihat dari pembahasan ayat itu
lebih dalam dapat dipahami bahwa al-Jassas sedang berusaha
menjelaskan ayat tersebut secara tematik dan ia menghimpun
beberapa ayat untuk menjelaskan kandungan ayat yang sedang
dibahasnya. Untuk memperkuat dalil dari penghimpunan ayat
tersebut al-Jassas juga menyajikan dukungan dalil hadits atau
pendapat para ulama. Satu contoh yang dapat diambil adalah
pada saat ia menjelaskan tentang larangan berwali atau
mengambil pemimpin kafir.
Pada saat menjelaskan Qs. al-„Imrân [3]:28 tentang
larangan berwali atau mengambil pemimpin orang kafir, al-
Jassas berupaya mengumpulkan ayat-ayat serupa yang
mengatur hal yang sama pada beberapa surat di dalam al-
Qur‟ân.
ال ي تخذ ٱلمؤمنون ٱلكافرين أوليآء من دون ٱلمؤمنني ومن ي فعل ذلك ركم ٱللو ن فسو ف ل هم ت ق ة ويذ قوا من يس من ٱللو ف شيء إال أن ت ت
وإل ٱللو ٱلمصي
“Janganlah orang-orang beriman menjadikan orang
kafir sebagai pemimpin, melainkan orang-orang yang
beriman. Barang siapa berbuat demikian, niscaya dia
tidak akan memperoleh apapun dari Allah, kecuali karena
(siasat) menjaga diri dari sesuatu yang kamu takuti dari
mereka. Dan Allah memperingatkan kamu akan diri
104
(siksa-Nya), dan hanya kepada Allah tempat kembali”.
(Qs. al-„Imrân [3]:28).
Al-Jassas di antaranya mengutip Qs. al-Imrân [3]:118,
Qs. al-Mujâdalah [58]:22, Qs. al-An‟âm [6]:68, Qs. al-Nisâ
[4]:140, Qs. Huud [11]:113, Qs. al-Najm [53]:29, Qs. al-A‟raf
[7]: 199 dan Qs. al-Taubah [9]:73. Lebih dari itu al-Jassas juga
menyajikan beberapa dalil-dalil hadits yang pada intinya
menjelaskan tentang keharaman mengambil pemimpin kafir.
Selain itu al-Jassas juga mengutip pendapat Ibnu Abbas tentang
larangan mengambil pemimpin kafir sesuai dengan pesan awal
ayat al-Qur‟ân Qs. al-„Imrân [3]: 2835
. Berdasarkan ayat-ayat,
hadits-hadits serta pendapat ulama yang telah dikumpulkannya,
lalu al-Jassas menarik sebuah kesimpulan yang menyeluruh
sesuai dengan tema awal yang diangkatnya.
3. Penggunaan Metode Tafsîr bi al-Ma’tsûr dalam
Penulisan Tafsir Ahkâm al-Qur’ân
Salah satu cara popular dalam penafsiran al-Qur‟ân
adalah penafsiran bi al-Ma‟tsûr. Cara ini merujuk penafsiran al-
Qur‟ân kepada riwayat. Definisi dari penafsiran bi al-Ma‟tsûr
adalah penafsiran yang dilakukan melalui jalur riwayat,
meliputi periwayatan yang ada dalam al-Qur‟ân sendiri yang
didapat melalui penjelasan dan perincian sebagian ayat-ayat
atau lafadz-lafadznya, atau apa yang diriwayatkan dari Nabi
Muhammad Sallallahu „alaihi Wasallam, atau perkataan para
Sahabat yang dijelaskan oleh para ulama atau perkataan para
tabi‟in36
.
Berdasarkan penjelasan dari definisi di atas ada 4 cara
penafsiran Tafsîr bi al-Ma‟tsûr yaitu pertama penafsiran ayat
al-Qur‟an dengan ayat al-Qur‟ân yang lain. Kedua, penafsiran
35
Al-Jassas, Ahkâm al-Qur‟ân, h. 288-289.
36
Dzahabi, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, Jilid 1, h. 137.
105
ayat dengan keterangan Rasulullah Sallallahu „alaihi Wasallam.
Ketiga, penafsiran ayat dengan keterangan sahabat-sahabat
Rasulullah Sallallahu „alaihi Wasallam. Keempat¸penafsiran
ayat berdasarkan penjelasan dari tabi‟in, yaitu generasi setelah
sahabat-sahabat Rasulullah Sallallahu „alaihi Wasallam37
.
Dalam menulis tafsirnya, al-Jassas terlihat sangat peduli
terhadap kekuatan dan validitas dalil untuk mendukung
penjelasan ayat-ayat yang ia tafsirkan. Penggunaan dalil yang
digunakan tidak hanya terbatas pada penjelasan ayat dengan
ayat, tetapi juga merujuk pada penjelasan Rasulullah Sallallahu
„alaihi Wasallam, keterangan yang didapat dari para sahabat
Rasulullah Sallallahu „alaihi Wasallam atau bahkan sampai
pada pendapat para tabi‟in. Penggunaan metode bi al-Ma‟tsûr
tidak terbatas pada ayat-ayat hukum saja namun juga pada
penafsiran ayat yag bersifat umum.
Contoh penggunaan tafsîr bi al-ma‟tsûr pada tafsir
Ahkâm al-Qur‟ân adalah ketika al-Jassas menafsirkan Qs. al-
Baqârah [2]:234 yang berkaitan dengan iddah perempuan yang
ditinggal mati oleh suaminya.
وٱلذين ي ت وف ون منكم ويذرون أزواجا ي ت ربصن بأن فسهن أرب عة أشهر وعشرا
“Dan orang-orang yang mati di antara kamu serta
meninggalkan istri-istri hendaklah mereka (istri-istri)
menunggu empat bulan sepuluh hari...” (Qs. al-Baqârah
[2]:234)
Al-Jassas memulai penafsiran ini dengan
mengumpulkan beberapa ayat yang serupa yang juga
memberikan penjelasan tentang masa menunggu (iddah). Ayat-
ayat al-Qur‟ân yang dikumpulkan oleh al-Jassas pada umumnya
menjelaskan juga tentang masalah yang dimaksud pada Qs. al-
37
M. Quraish Shihab, Kaedah al-Qur‟ân, h. 349-351.
106
Baqârah [2]:234. Ayat-ayat yang dikumpulkan di antaranya Qs.
al-Mu‟minûn [23]:25,38
Qs. al-Taubah [9]:98,39
Qs. al-Baqârah
[2]:240,40
dan Qs. al-Tûr [52]:3041
. Al-Jassas mengambil
kesimpulan hukum dari kandungan Qs. al-Baqârah [2]:234
setelah melakukan penelusuran ayat-ayat yang turut
menjelaskan masalah yang sama yang dikandung oleh Qs. al-
Baqârah [2]:23442
.
Apa yang dilakukan oleh al-Jassas dalam menjelaskan
Qs. al-Baqârah [2]:234 adalah bentuk metode penafsiran bi al-
Ma‟tsûr karena ia menjelaskan suatu ayat berdasarkan
kandungan ayat-ayat lain di dalam al-Qur‟ân. al-Jassas juga
menguatkan penjelasan bi al-Ma‟tsûr ayat dengan ayat dengan
juga mengutip penjelasan hadits tentang perkara iddah wanita
yang ditinggal oleh suaminya yang masih terkait dengan
kandungan Qs. al-Baqârah [2]:23443
. Pada perkara yang lain, al-
Jassas juga turut menelusuri pendapat-pendapat sahabat atau
tabi‟în sebagai bentuk lain dari tafsîr bi al-Ma‟tsûr. Contohnya
pada saat menjelaskan Qs. al-Nisâ [4]:11944
atau juga pada saat
menjelaskan Qs. al-Imron [3]:15945
.
38
حني ف ت ربصوا بو حت , Ayat ini mengandung lafadz yang serupa akar
katanya dengan kata-kata yatarabbasna ( يتربصن) yang
terkandung pada Qs. al-Baqarah [2]: 234 yang memiliki arti
“menunggu”. 39
وء وٱ وائر عليهم دآئرة ٱلس للو ومن ٱألعراب من ي تخذ ما ينفق مغرما وي ت ربص بكم ٱلديع عليم س
40ر إخراج تاعا إل ٱلول غي وٱلذين ي ت وف ون منكم ويذرون أزواجا وصية ألزواجهم م
41ن ت ربص بو ريب ٱلمنون شاعر أم ي قولون
42al-Jassas, Ahkâm al-Qur‟ân, Jilid 2, h. 118 - 119
43al-Jassas, Ahkâm al-Qur‟ân, Jilid 2, h.119-120.
وألمرن هم ف لي غي رن خلق ٱللو44
45وشاورىم ف ٱألمر
107
4. Penggunaan Metode Tafsîr bi al-Ra’yî dalam
Penulisan Tafsir Ahkâm al-Qur’ân
Tafsir pada hakikatnya adalah upaya untuk memahami
pesan-pesan Allah yang ada dalam al-Qur‟ân46
. Untuk
memahaminya Allah menganugerahi manusia potensi untuk
berpikir. Allah mengecam manusia yang tidak menggunakan
potensinya ini47
. Bahkan al-Qur‟an sebagai kitabullah dalam
berbagai kesempatan seringkali mengajak manusia untuk
berpikir baik melalui kandungan ayat-ayatnya atau kosakata
yang terkandung di dalamnya48
. Di sisi lain, sekian banyak
problema baru bermunculan dari saat waktu ke waktu yang
memerlukan jawaban dan bimbingan, sedang hal tersebut tidak
ditemukan penjelasannya dari al-Qur‟ân dan Sunnah. Dari sini
lahirlah upaya untuk menafsirkan/memahami al-Qur‟ân dan
sejak saat itulah metode tafsîr bi al-ra‟yi lahir.
Penafsiran dengan menggunakan kemampuan berpikir
manusia sangat dibolehkan untuk membuka tabir dan ta‟wil
pengetahuan yang ada dalam al-Qur‟ân. Apabila penafsiran al-
Qur‟ân dengan menggunakan potensi berpikir yang dimiliki
oleh manusia itu dilarang maka akan luputlah segala macam
informasi yang terkandung di dalam al-Qur‟ân seperti hukum,
adab dan aneka ragam informasi lain yang tidak selalu secara
46
Iyaziy, al-Mufassirûn: Hayâtuhum wa manhâjuhum, h. 39. 47
Lihat Qs. al-A‟raf [7]:179,
ن ٱلن وٱإلنس لم ق لوب ال ي فقهون ب ا ولم أعني ال ي صصرون با ولقد ذرأنا لهنم كثيا م ولم آذان ال يسمعون بآ أول ئك كٱألن عام بل ىم أضل أول ئك ىم ٱلغافلون
“Dan Sungguh, akan kami isi neraka Jahannam banyak dari
kalangan jin dan manusia. Mereka memiliki hati, tetapi tidak
dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka
memiliki mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat
(tanda-tanda kekeuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga
(tetapi) tidak dipergunakan untuk mendengarkan (ayat-ayat
Allah). Mereka seperti hewan ternah bahkan lebih buruk lagi,
Merekalah orang-orang yang lengah”. 48
M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, h. 362.
108
jelas diterangkan oleh al-Qur‟ân. Pertimbangan lain adalah
sedikitnya riwayat-riwayat yang berasal dari Rasulullah tentang
penjelasan al-Qur‟ân di bandingkan dengan yang belum
diriwayatkan jika dilihat dari keseluruhan isi al-Qur‟ân. Begitu
pula sedikitnya perkataan Sahabat dan tâbi‟în yang
menjelaskan perihal penafsiran ayat-ayat al-Qur‟an terutama
terkait dengan penjelasan ayat-ayat kauniyyah hal mana
senantiasa diperbaharui keilmuan di bidang itu dari zaman ke
zaman49
. Oleh karena itu penafsiran dengan menggunakan
Ra‟yu sangat penting untuk membuka tabir kandungan isi al-
Qur‟an. Jika tidak maka banyak hal akan terpendam di dalam
al-Qur‟an tanpa diketahui maknanya dan tidak dipahami
maksudnya. Hal ini tentunya menegasikan peran al-Qur‟ân
sebagai Kitab petunjuk yang sangat mulia, serta pembimbing
manusia di segala zaman50
.
Meskipun begitu, para ulama memang berbeda pendapat
tentang kebolehan melakukan penafsiran bi al-Ra‟yi. Ada
sebagian ulama yang membolehkan secara mutlak penafsiran bi
al-Ra‟yi dan ada sebagian lain yang membolehkannya. Ulama
membagi penafsiran bi al-ra‟yi ini kepada dua hal yaitu
penafsiran bi al-ra‟yi al-Mahmûd yaitu penafsiran dengan
menggunakan nalar yang terpuji, dan penafsiran bi al-ra‟yi al-
Mazmûm yaitu penafsiran berdasar nalar yang tercela.
Pembagian ini mengindikasikan memang ada penafsir-penafsir
yang berusaha menafsirkan al-Qur‟ân untuk mendukung
pendapat/mazhab yang dianutnya, sehingga menjadikan al-
Qur‟an mengikuti pendapatnya, bukan menjadikan al-Qur‟ân
sebagai dasar dan pendapatnya mengikuti tuntunan al-Qur‟ân.
Mereka inilah penafsir yang mencari pembenaran bukan
kebenaran51
.
49
Muhammad Ibn Muhammad Abu Suhbah, al-Isrâîliyyât wa al-
Maudûât fî kutub al-Tafsîr, (Mesir: Dâr al-Sunnah, 1408 H), h. 81. 50
Abu Suhbah, al-Isrâîliyyât wa al-Maudûât fî kutub al-Tafsîr, h.
82. 51
M. Quraish Shihab, Kaidah al-Qur‟ân, h. 368.
109
Al-Jassas sejak awal dikenal sebagai ulama yang lahir
dalam atmosfer aliran madrasah ahlu al-ra‟yi di pusat kotanya
yaitu Baghdad. Ia juga dikenal sebagai ulama besar mazhab
hanafiah. Oleh karenanya metode penafsiran bi al-Ra‟yi
bukanlah sesuatu yang asing bagi al-Jassas. Di dalam penulisan
tafsirnya, al-Jassas memang mengklaim bahwa ia
menggunakan akal dan pikirannya untuk menganalisa dan
berijtihad seputar penafsiran al-Qur‟ân untuk mengetahui
makna-makna dan hukum-hukumnya.
Sebagaimana al-Jassas telah mengklaim menggunakan
akal pikirannya untuk menafsirkan ayat-ayat al-Qurân dan apa
yang terkandung di dalamnya yang belum dijelaskan atau
belum disepakati oleh para ulama, maka al-Jassas dalam banyak
kesempatan di dalam tafsirnya seringkali menggunakan
ungkapan-ungkapan yang menunjukkan bahwa ia berupaya
keras untuk menemukan hukum yang terkandung dalam ayat-
ayat al-Qur‟an dengan penyimpulan-penyimpulan yang
didasarkan pada penafsiran bi al-Ra‟yî yang berdasarkan
hubungan antara satu ayat dengan ayat lainnya, ayat dengan
hadits atau pendapat para sahabat.
Ungkapan-ungkapan itu misalnya, “pada ayat tersebut
menunjukkan bahwa…52
” atau setelah menyebutkan beberapa
ayat sebagai penafsir untuk ayat yang lain lalu dia berkata
“Ayat-ayat ini seluruhnya adalah dalil…” atau ia berkata
“ayat-ayat tersebut menunjukkan bahwa…” atau “yang
dikehendaki oleh ayat-ayat tersebut adalah”53
. Ungkapan-
ungkapan yang serupa sering digunakan oleh al-Jassas terhadap
beragam permasalahan yang ia temukan ketika ia menganalisis
ayat-ayat al-Qur‟ân untuk kemudian mengambil kesimpulan
hukum.
Selain ungkapan-ungkapan yang digunakan oleh al-
Jassas dalam memberikan kesimpulan analisisnya terhadap
ayat-ayat al-Qur‟ân yang menjadi bukti kuatnya penggunaan
52
Al-Jassas, Ahkâm al-Qur‟ân, Jilid. h.151. 53
Al-Jassas, Ahkâm al-Qur‟ân, Jilid 1. h. 195
110
tafsîr bi al-Ra‟yî dalam uraian Ahkâm al-Qur‟ân, maka runtutan
judul-judul dan penamaan bab-bab dalam kajian tafsirnya juga
menunjukkan bahwa al-Jassas menggunakan rasionalitasnya
yang unik dan keahliannya di bidang ilmu fikih untuk
mengambil al-Qur‟an sebagai dalil-dalil dalam wacana
pemikiran hukum. Hal ini merupakan keunggulan al-Jassas
dalam memaksimalkan potensi yang ia miliki dalam bidang
ilmu fikih dan ilmu-ilmu yang terkait untuk menafsirkan al-
Qur‟ân.
Oleh karena itulah maka apabila membaca Ahkâm al-
Qur‟ân maka pembaca akan merasakan sensasi kentalnya aspek
fikih dan hukum dalam tafsirnya. Bahkan Muhammad Hussein
al-Dzahabi dalam kitabnya al-Tafsîr wa al-Mufassirûn
berkomentar bahwa Ahkâm al-Qur‟ân lebih pantas disebut kitab
fikih ketimbang kitab tafsir54
. Namun begitu, inilah kelebihan
dari al-Jassas yang telah berhasil membuat suatu tafsir dengan
corak hukum yang sangat kental yang diakui oleh para ulama di
zamannya dan setelahnya.
C. Pokok-Pokok Pembahasan dalam Penulisan Ahkâm al-
Qur’ân
Tafsir ahkâm al-Qur‟ân karya al-Jassas dikenal sebagai
tafsir yang kental dengan corak tafsir hukum yang memuat
aneka ragam pembahasan fikih. Pernyataan bahwa materi
penafsiran dari Tafsir ahkâm al-Qur‟ân karya al-Jassas
dipenuhi dengan materi hukum tergambar jelas pada
pembukaan kitabnya. al-Jassas mengatakan dalam pembukaan
kitabnya bahwa ia akan mengisi penafsirannya dengan hukum-
hukum al-Qur‟an dan dalil-dalinya serta hukum-hukum yang
ada pada lafadz-lafadznya dan apa yang terkait dengan aspek
bahasa serta ibarat-ibarat syar‟i yang terdapat di dalamnya55
.
Oleh karenanya penulis pada bab ini akan membahas
tentang aspek-aspek pembahasan hukum dalam tafsir ahkâm al-
54
Al-Dzahabi, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, Jilid 2, h. 386. 55
Al-Jassas, Ahkâm al-Qur‟ân, Jilid 1, h. 5.
111
Qur‟ân karya al-Jassas. Pembahasan akan fokus pada beberapa
hal yang penting terkait pembahasan hukum dan fikih dalam
ahkâm al-Qur‟ân karya al-Jassas. Pembahasan tersebut antara
lain tentang apa saja materi yang dibahas yang terkait dengan
hukum dan fikih, cara atau metodologi al-Jassas dalam
melakukan istinbath hukum dalam penulisan tafsir serta
bagaimana al-Jassas menyikapi perbedaan-perbedaan yang
muncul dari penulisan tafsirnya. Sikap al-Jassas dalam
menghadapi perbedaan akan turut mempengaruhi objektifitas
penulisan tafsirnya. Hal in juga dapat menjadi bahan penting
untuk penulis apakah perbedaan istinbath atau produk hukum
yang dihasilkan oleh al-Jassas menjadi sebab dari fanatisme
yang mungkin muncul akibat perbedaan mazhab.
1. Mekanisme Pembahasan Hukum Tafsir Ahkâm al-
Qur’ân
Jika diperhatikan secara umum mekanisme penulisan
tafsir Ahkâm al-Qur‟ân yang dapat dilihat dari judul-judul
pembahasan tafsirnya yang memuat berbagai macam bab-bab
atau permasalahan hukum berdasarkan teks-teks al-Qur‟an yang
ada56
, maka didapati bahwa al-Jassas terlebih dahulu melakukan
pengumpulan berbagai pendapat atau dalil-dalil yang bersumber
dari al-Qur‟an itu sendiri, hadits nabi, perkataan sahabat atau
56
Maksud dari pernyataan ini adalah al-Jassas memberikan judul
bab-bab atau permasalahan hukum yang ia bahas berdasarkan teks-teks yang
ia temui dalam surat-surat yang ditafsirkan. Contohnya adalah ketika
menemui teks basmallah pada permulaan al-Qur‟ân lalu al-Jassas
membeikan judul pada pembahasan tafsirnya berkaitan dengan fikih
basmallah atau pembahasan hukum tentang basmallah. Misalnya ia memberi
judul pembahasan tentang basmallah menjadi, “Bab tentang perkataan
Bismillahirrahmanirrahim”, pada kesempatan yang lain ia juga memberi
judul babnya, “Bab tentang pembahasan basmallah sebagai bagian dari al-
Qur‟an”. Lihat al-Jassas, Ahkâm al-Qur‟ân, Jilid 1, h. 5-7.
112
tâbi,în dan jika ada pendapat-pendapat para ulama yang
berkaitan dengan masalah hukum yang sedang dibahasnya57
.
Setelah mendapati seluruh pandangan-pandangan dan
dalil-dalil yang terkait dengan masalah fikih yang sesuai dengan
ayat yang akan dibahasnya maka al-Jassas akan memperhatikan
dan mengevaluasi kembali sumber-sumber tersebut. Al-Jassas
kemudian akan memilah-milah pendapat dan pandangan yang
telah ia dapatkan untuk kemudian akan ditarjih olehnya untuk
digunakan sebagai dalil dalam penafsiran dalam tafsirnya. al-
Jassas juga akan melihat apakah pandangan dan pendapat yang
ada tersebut sesuai dengan pendapat mazhab Hanafi atau
pendapat-pendapat tersebut ia kuatkan yang pada umumnya
mendukung pendapat dari mazhab hanafiah.
Pada kesempatan tertentu al-Jassas juga akan turut
berpendapat tentang permasalahan penafsiran yang sedang
dihadapinya. Pendapat tersebut adakalanya sebagai kesimpulan
dari pendapat-pendapat serta dalil-dalil yang ia kumpulkan atau
pendapat tersebut merupakan bagian dari perbedaan-perbedaan
pandangan yang ada sebelum ia menyimpulkan secara
komprehensif suatu permasalahan tafsir yang sedang dibahas58
.
Jika dirinci contoh proses pembahasan hukum pada
tafsir Ahkâm al-Qur‟ân, maka akan didapati beberapa langkah
sebagai berikut: Pertama, al-Jassas akan mengemukakan
penafsiran ayat dimulai dengan menyampaikan perkataan-
perkataan yang ma‟tsur dari para ahli fikih dari kalangan
sahabat dan tabi‟în. Sebagai contoh pada saat menafsirkan Qs.
al-Baqarah [2]:237.
57
Mekanisme seperti ini sesungguhnya adalah metodologi
penafsiran bi al-Ma‟tsur dimana penulis telah menjelaskan sebelumnya pada
pembahasan aspek metodologis tafsir ahkâm al-Qur‟ân. 58
al-Jassas terkadang langsung mengomentari dalil-dali yang ia
hadirkan dalam suatu pembahasan tafsir, misalnya dengan mengatakan
“dalla „alâ dzâlika” yang artinya al-Jassas ingin mengatakan secara
langsung bahwa ayat tersebut menunjuukkan suatu dalil terhadap keadaan
tertentu, Lihat. Al-Jassas, Ahkâm al-Qur‟ân, Jilid 1, h. 151.
113
وىن وقد ف رضتم لن فريضة فنصف وإن طلقتموىن من ق صل أن تسه عقدة ٱلنكاح وأن ت عفوا ما ف رضتم إال أن ي عفون أو ي عفوا ٱلذي بيد
نكم إن ٱللو با ت عملون بصي قوى وال تنسوا ٱلفضل ب ي أق رب للت “Dan jika kamu menceraikan mereka sebelum kamu
sentuh, padahal kamu sudah menentukan maharnya,
maka (bayarlah) seperdua dari yang telah kamu
tentukan, kecuali jika mereka (membebaskan) atau
dibebaskan oleh orang yang akad nikah ada
ditangannya. Pembebasan itu lebih dekat kepada takwa.
Dan jangankah kamu lupa kebaikan di antara kamu.
Sungguh, Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan”
(Qs. al-Baqarah [2]:237).
Al-Jassas menyajikan perbedaan pendapat yang terjadi
sehubungan dengan makna Qs. al-Baqarah [2]:237. Para ulama
berbeda pendapat tentang kalimat “an tamassuhunna”. Arti dari
kalimat ini apakah berarti persetubuhan atau makna lain seperti
khalwat. Pada langkah pertama ini al-Jassas menyampaikan
pendapat sahabat yang diriwayatkan oleh Ali dan Ibnu Umar
dan Zaid bin Tsabit, perkataan yang diriwiyatkan oleh tabi‟în
yang diriwayatkan oleh Sufyan al-tsauri dari Laits dari tawus
dari Ibn Abbas. al-Jassas juga menyampaikan perkataan-
perkataan lain baik dari sahabat maupun tabi‟în berkenaan
dengan ayat ini59
.
Kedua, Setelah meyampaikan pendapat-pendapat para
Sahabat dan tabi‟în, al-Jassas lalu membahas pendapat para
ulama mazhab Hanafiah yang terkait dengan perbedaan
penafsiran oleh para ulama tentang kata “‟an tamassuhunna”.
Pendapat ulama mazhab Hanafiah itu untuk menyikapi
pendapat dari para sahabat dan tabi‟în atau memang perbedaan
59
al-Jassas, Ahkâm al-Qur‟ân, Jilid 1, h. 147
114
pendapat mengenai permasalahan yang sedang dibahas60
.
Ulama-ulama mazhab Hanafi yang sering disebut oleh al-Jassas
dan dikutip dalam tafsirnya di antaranya adalah pendiri mazhab
Hanafi yaitu Imâm Abû Hanîfah, dan murid-murid seniornya
seperti Abû Yûsuf (Ya‟kub Ibn Ibrâhim), Muhammad Ibn al-
Hasan al-Syaibâni, dan Zufar. Ulama-ulama lain dari kalangan
mazhab Hanafi yang sering disebut oleh al-Jassas adalah Imam
Abû Za‟far al-Tahawi, Syaikh „Alî Ibn Mûsa al-Qummi, dan
guru dari al-Jassas yaitu Abu Hasan al-Karakhi.
Ketiga, Langkah berikutnya yang dilakukan oleh al-
Jassas setelah menyajikan pendapat para sahabat dan tabi‟în
serta para Imam mazhab dan ulama besar dari kalangan
Hanafiah, al-Jassas masuk kepada penyampaian pendapatnya
sendiri tentang permasalahan ayat yang sama namun dengan
perbedaan perspektif masalah yang diangkat oleh para sahabat,
tabi‟în dan para ulama mazhab Hanafiah. Seperti pada contoh
ini61
, al-Jassas menyajikan ayat lain yang bisa menjadi dalil
bagi ayat yang sedang ia tafsirkan. al-Jassas, seperti
kebiasaannya pada penafsiran ayat-ayat lain-, berusaha
menafsirkan ayat dengan menyajikan dalil dari ayat yang lain.
Untuk menafsirkan tentang kewajiban pemberian mahar pada
ayat ini al-Jassas menyandingkan beberapa ayat lain yang
terkait yaitu Qs. al-Nisâ [4]:4, Qs. al-Nisâ [4]:20-21 dan Qs. al-
Nisâ [4]: 24 dan 25. Setelah menampilkan ayat-ayat tersebut,
lalu al-Jassas menyampaikan kesimpulannnya62
.
Keempat, setelah berdalil dengan menggunakan teks-
teks al-Qur‟an, kemudian al-Jassas berdalil dengan
pemikirannya pada masalah yang sedang ia bahas ini
berdasarkan pada hadits nabi Muhammad Sallallahu „alaihi
wasalam. Pada kesempatan ini, al-Jassas berdalil dengan dua
hadits Nabi Muhammad Sallallahu „alaihi wasalam. Hadits
pertama merupakan hadits yang ia riwayatkan dari gurunya di
60
Al-Jassas, Ahkâm al-Qur‟ân, Jilid 1, h. 147-148. 61
Qs. al-Baqârah [2]: 237. 62
Al-Jassas, Ahkâm al-Qur‟ân, Jilid 1, h. 148
115
bidang hadits yaitu al-Hafidz al-Musnid „Abd al-Baqi‟ Ibn
Qâni‟ sedangkan hadits lainnya tanpa keterangan sanad.
Kelima, setelah ia berdalil dengan teks-teks yang
bersumber pada ayat-ayat al-Qur‟an dan hadits nabi
Muhammad Sallallahu „alaihi wasalam, lalu al-Jassas mencoba
menopang dalil-dalilnya tersebut dengan hujjah-hujjah yang
logis dan rasional. Kemudian ia menyajikan kaidah-kaidah yang
pendukung hujjah-hujjahnya tersebut yang berkaitan dengan
tafsir dan mekanisme mengambil kesimpulan hukum. Setelah
langkah-langkah tersebut dilakukan oleh al-Jassas, lalu pada
bagian akhir ia mengambil kesimpulan dari diskusi dan
perdebatan panjang dalil-dalil yang ia sajikan baik berdasarkan
pendapat ahli fikih dari kalangan Sahabat, tâbi‟în dan para
ulama mazhab dari kalangan Hanafiah serta dalil-dalil al-
Qur‟ân dan hadits serta dalil-dalil logis dan rasional63
.
Keenam, tahap terakhir dari pembahasan aspek hukum
ayat-ayat al-Qur‟an dalam tafsir Ahkâm al-Qur‟ân adalah al-
Jassas berupaya memberikan semacam penyangkalan atau kritik
terhadap kesimpulan yang telah diambil berdasarkan seluruh
dalil-dalil yang disampaikan jika ternyata kesimpulan tersebut
tidak benar. Artinya, al-Jassas mencoba memberikan satu
kemungkinan jawaban lain dari segala diskusi dan pembahasan
yang telah ia sampaikan dengan berdasar pada pembahasan
dalil-dalil yang komprehensif. Pada tahap terakhir ini ia
mendahului argumentasinya dengan menggunakan kata “Fa in
qîla”, yang berarti kemungkinan yang sedikit atau kecil
pembahasan ini dapat digunakan sebagai kesimpulan atau
sebagai dalil64
.
2. Pembahasan Perkara Aqidah dalam Tafsir Ahkâm
al-Qur’ân
Meskipun tafsir Ahkâm al-Qur‟ân sangat fokus pada
pembahasan hukum namun tidak dapat dipungkiri bahwa tafsir
63
Al-Jassas, Ahkâm al-Qur‟ân, Jilid 1, h. 148-149. 64
al-Jassas, Ahkâm al-Qur‟ân, Jilid 1, h. 150.
116
Ahkâm al-Qur‟ân juga mengandung pembahasan lain selain
kandungan ayat-ayat hukum yaitu perkara aqidah. Pembahasan
perkara aqidah ini merupakan salah satu fokus yang al-Jassas
sampaikan dalam muqaddimah tafsirnya. al-Jassas menyatakan
bahwa salah satu ilmu yang utama adalah mengenal Allah
Subhanahu wa ta‟âla dan menyucikannya dari
menyerupakannya dengan makhluk65
.
Pada sub bab ini akan dijelaskan lebih lanjut pokok-
pokok pembahasan dalam tafsir al-Jassas yang berkaitan dengan
aqidah. Hal-hal yang akan dibahas antara lain tentang, pertama,
tauhid kepada Allah Subhanahu wa ta‟âla dan larangan
menyekutukannya. Kedua, Dalil-dalil kebenaran tentang
Nubuwwah Nabi Muhammad Sallallahu „alaihi wasallam.
Ketiga, Penetapan tentang Siksa dan Nikmat Kubur, Keempat,
penolakannya terhadap agama Nasrani dan Yahudi,
a. Tauhid kepada Allah dan Larangan menyekutukan-
Nya
Sebagaimana telah disebutkan bahwa al-Jassas dalam
muqaddimah tafsirnya mengatakan bahwa ia akan sangat
memperhatikan atau mementingkan pembahasan perkara aqidah
khususnya yang berkaitan dengan tauhid dan penyucian Allah
Subhanahu wa ta‟âla dari penyerupaan kepada makhluknya
(syirik). Isi al-Qur‟ân dari awal hingga akhirnya pada intinya
merupakan ajakan kepada tauhid. Oleh karena itulah jika
diperhatikan dalam ulasan-ulasan yang ada dalam tafsir Ahkâm
al-Qur‟ân, al-Jassas sangat concern terhadap perkara tauhid ini.
Berdasarkan hal inilah akan banyak sekali pembahasan
tentang tauhid yang disajikan oleh al-Jassas dalam tafsirnya.
Salah satu pembahasan penting tentang tauhid ini, disajikan
oleh al-Jassas pada saat menafsirkan Qs. al-Baqârah [2]: 16366
.
وإل هكم إل و واحد ال إل و إال ىو ٱلرح ن ٱلرحيم
65al-Jassas, Ahkâm al-Qur‟ân, Jilid 1, h. 5
66al-Jassas, Ahkâm al-Qur‟ân, Jilid 1, h. 162.
117
“Dan Tuhan kamu adalah Tuhan Yang Maha Esa, tidak
ada Tuhan selain Dia, Yang Maha Pengasih, Maha
Penyayang”. Qs. al-Baqârah [2]: 163
Pada ayat ini al-Jassas mencoba mengemukakan bahwa
ayat ini adalah suatu bentuk pernyataan dari Allah Subhanahu
wa ta‟âla bahwa Dia menyifati diri-Nya sendiri dengan
bahwanya Dia adalah tunggal yang tersusun dengan makna-
makna yang dikehendaki oleh lafadz dalam ayat ini sebagai
berikut : Pertama, bahwa Allah Subhanahu wa ta‟âla adalah
tunggal yang tidak ada bandingan bagi-Nya, tidak ada yang
menyerupainya, tidak ada missal baginya, dan tidak ada yang
menyamai-Nya dalam segala hal, maka oleh karena itulah Allah
disifatkan sebagai sesuatu yang tunggal dan tidak ada yang
lainnya. Kedua, bahwa Allah adalah tunggal dan tidak bisa
dibagi-bagi, dan tidak boleh atas-Nya bagian-bagian, karena
siapapun yang masih terbagi-bagi maka dia bukanlah makna
tunggal yang hakiki.
Ketiga, Bahwa Allah adalah satu-satunya yang
memiliki hak untuk disembah dan Dialah satu-satunya yang
memiliki sifat ilahiah, tidak ada sekutunya selain Dia. Keempat,
bahwa Allah itu satu pada wujudnya yang qadim yang tidak ada
bersama-Nya wujud selain Dia.
Pada kesempatan lain, al-Jassas juga memberikan
perhatian terhadap ayat-ayat yang berbicara tentang sucinya
Allah dari penyerupaan kepada makhluknya. Ayat-ayat yang
dibahas berkaitan dengan hal tersebut di antaranya adalah Qs.
al-Imrân [3]:190, Qs. al-Baqarah [2]: 210, Qs. al-Imrân [3]:7,
Qs. al-An‟âm [6]:157, Qs. al-Syûra [42]:11 dan Qs. al-„An‟âm
[6]83.
b. Dalil-dalil kebenaran tentang Nubuwwah Nabi
Muhammad Sallallahu ‘alaihi wasallam.
Keimanan kepada nubuwwah Nabi Muhammad
Sallallahu „alaihi wasallam merupakan bagian dari rukun iman
118
di dalam Islam oleh karena itu persaksian setiap muslim di
dalam syahadat mencakup pada persaksian kepada Allah dan
kepada Rasul-Nya. Tidaklah seseorang diakui keIslamannya
kecuali telah bersaksi bahwa Allah adalah Tuhannya dan Nabi
Muhammad adalah Nabi yang diutus oleh Allah Subhanahu wa
ta‟âla. Oleh Karena hal inilah, al-Jassas secara khusus
melakukan pembahasan tentang kebenaran nubuwwah Nabi
Muhammad Sallallahu „alaihi wasallam.
Al-Jassas membahas tentang kebenaran Nubuwah
Rasulullah Sallallahu „alaihi wasallam pada beberapa ayat di
dalam tafsirnya yaitu ketika membahas Qs. al-Baqârah [2]:23.
ثلو وٱدعوا وإن كنتم ف ريب ما ن زلنا على ن م عصدنا فأتوا بسورة مدقني ن دون ٱللو إن كنتم ص شهدآءكم م
“Dan Jika kamu meragukan (al-Qur‟ân) yang Kami
turunkan kepada hamba Kami (Muhammad), maka
buatlah satu surah semisal dengannya, dan ajaklah
penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-
orang yang benar” (Qs. al-Baqârah [2]:23)
Ayat ini menjadi dalil kebenaran Nubuwwah Rasulullah
Sallallahu „alaihi wasallam karena pada ayat inilah terkandung
mukjizat yang terbesar yang dikaruniakan oleh Allah kepada
Rasullullah Sallallahu „alaihi wasallam67
.
Pada ayat ini Allah menantang orang-orang yang
meragukan apa yang diturunkan oleh Allah kepada Rasul-Nya.
Ayat ini juga menjadi bukti bahwa kelemahan manusia di
hadapan Allah SWT. Mukjizat yang Allah turunkan kepada
Rasul-Nya berupa al-Qur‟an adalah mukjizat terbesar bahkan
jika di bandingkan dengan mukjizat yang diberikan kepada
rasul-rasul yang lain. Mukjizat para rasul yang lain akan
67
al-Jassas, Ahkâm al-Qur‟ân, Jilid 1, h. 33.
119
berhenti dan selesai dengan berakhirnya masa kerasulan atau
kenabiannya namun mukjizat Rasullullah yang berupa al-
Qur‟an akan tetapi ada hingga akhir zaman.
Bukti kebenaran Nubuwwah Rasullullah Sallallahu
„alaihi wasallam yang juga disampaikan oleh al-Jassas adalah
ketika membahas Qs. al-Imrân [3]:23.
ن ٱلكتاب يدعون إل كتاب ٱللو أل ت ر إل ٱلذين أوتوا نصيصا معرضون هم وىم م ن فريق م ن هم ث ي ت ول ليحكم ب ي
“Tidakkah engkau memperhatikan orang-orang yang
telah diberi bagian Kitab (Taurat)? Mereka diajak
(berpegang) pada Kitab Allah untuk memutuskan
(Perkara) di antara mereka. Kemudian sebagian dari
mereka berpaling seraya menolak (kebenaran)”. (Qs.
al-Imrân [3]:23)
Ayat ini menjadi bukti Nubuwwah Rasullullah
Sallallahu „alaihi wasallam karena apabila para ahli kitab tidak
menolak kitab-kitab yang telah diturunkan kepada mereka maka
niscaya mereka akan temukan di dalam kitab mereka tentang
Nubuwwah Rasullullah Sallallahu „alaihi wasallam.
Ayat lain yang menjadi dalil kebenaran Nubuwwah
Rasullullah Sallallahu „alaihi wasallam yang disampaikan oleh
al-Jassas adalah Qs. al-Imrân [3]: 154.
ن نكم وطآئفة ث أنزل عليكم م ب عد ٱلغم أمنة ن عاسا ي غشى طآئفة مر ٱلق ظن ٱلهلية ي قولون ىل هم أن فسهم يظنون بٱللو غي قد أهت
ا لنا من ٱألمر من شيء قل إن ٱألمر كلو للو يفو ن ف أن فسهم مهنا قل ا قتلنا ى ال ي صدون لك ي قولون لو كان لنا من ٱألمر شيء ملو كنتم ف ب يوتكم لص رز ٱلذين كتب عليهم ٱلقتل إل مضاجعهم
120
ص ما ف ق لوبكم وٱللو عليم وليصتلي ٱللو ما ف صدور كم وليمح بذات ٱلصدور
“Kemudian setelah kamu ditimpa kesedihan, dia
menurunkan rasa aman kepadamu (berupa) kantuk yang
meliputi segolongan dari kamu. Sedangkan segolongan
lagi telah dicemaskan oleh diri mereka sendiri; mereka
menyangka yang tidak benar terhadap Allah seperti
sangkaan jahiliah. Mereka berkata “adakah sesuatu
yang dapat kita perbuat dalam urusan ini?” Katakanlah
(Muhammad) “Sesungguhnya segala urusan itu
ditangan Allah”. Mereka menyembunyikan di hati
mereka apa yang mereka tidak terangkan kepadamu.
Mereka berkata “sekiranya ada sesuatu yang bisa kita
perbuat dalam urusan ini, niscaya kita tidak akan
dibunuh (dikalahkan) disini”. Katakanlah (Muhammad)
“Meskipun kamu ada di rumahmu, niscaya orang yang
telah ditetapkan akan mati terbunuh itu akan keluar
(juga) ketempat mereka terbunuh”. Allah (berbuat
demikian) untuk menguji apa yang ada dalam dadamu
dan untuk membersihkan apa yang ada dalam hatimu.
Dan Allah Maha Mengetahui isi hati” Qs. al-Imrân [3]:
154
Ayat ini adalah bukti kelembutan Allah kepada para
pengikut Rasullullah Sallallahu „alaihi wasallam sekaligus
sebagai bentuk pemberitahuan akan kebenaran Nubuwwah
Rasullullah Sallallahu „alaihi wasallam.
c. Kepercayaan pada Siksa dan Nikmat Kubur
Al-Jassas pada kesempatan ini membantah orang-orang
yang ingkar kepada adanya siksa dan nikmat Kubur dengan
berdalil pada Qs. al-Baqârah [2]:154.
121
و أموات بل أحياء ولكن ال وال ت قولوا لمن ي قتل ف سصيل ٱلل تشعرون
“dan janganlah kamu mengatakan orang yang terbunuh
di jalan Allah (mereka) telah mati. Sebenarnya (mereka)
hidup tetapi kamu tidak menyadarinya” Qs. al-Baqârah
[2]:154.
Menurutnya ayat ini menjadi dalil bahwa siksa dan
nikmat kubur itu ada. Orang-orang mukmin yang mati di jalan
Allah masih hidup namun memang tidak bisa dirasakan karena
ketiadaan ilmu manusia untuk merasakan itu. Jika orang-orang
mukmin yang mati di jalan Allah masih hidup maka pasti
mereka akan merasakan nikmatnya alam kubur. Oleh karenanya
begitu juga orang-orang kafir maka mereka akan merasakan
pahitnya siksa kubur.
d. Penolakannya mengikuti Agama Nasrani dan
Yahudi
Penolakan al-Jassas terhadap Nasrani dan Yahudi
dibahas dalam beberapa kesempatan di dalam tafsirnya. Di
antara ayat-ayat yang ditampilkan oleh al-Jassas sehubungan
dengan penolakannya terhadap agama Nasrani dan Yahudi
adalah Qs. al-Mâ‟idah [6]:18, Qs. al-Mâ‟idah [6]: 82, Qs. al-
Mâ‟idah [6]: 13. Sementara itu al-Jassas juga menekankan
penolakannya pada aqidah Nasrani dan Yahudi yang dianggap
bathil. Ia sampaikan pandangannya tersebut melalui Qs. al-
Mâ‟idah [6]: 17, Qs. al-Mâ‟idah [6]: 75. Ayat-ayat ini adalah
bentuk pernyataan tegas Allah Subhanahu Wa ta‟âla tentang
kebathilan yang ditunjukkan oleh kaum nasrani yang percaya
bahwa nabi Isa adalah anak Tuhan. Orang-orang yang
mempercayai hal demikian adalah kafir.
122
3. Sikap al-Jassas dalam Menyikapi Perbedaan Pendapat
dalam Tafsir Ahkâm al-Qur’ân
Perbedaan pendapat adalah suatu kelaziman dalam
kehidupan sosial sedangkan perbedaan dalam perkara cabang-
cabang agama merupakan suatu keniscayaan68
. Dalam konteks
pemahaman fikih dan mazhab maka perbedaan itu menambah
kaya khasanah ilmu pengetahuan69
. Sulit terbantahkan bahwa
tafsir ahkâm al-Qur‟ân merupakan sebuah tafsir yang kental
dengan corak fikihnya. Sebagaimana sebuah kelaziman dalam
ilmu hukum dan fikih bahwa banyak sekali akan ditemui
perbedaan-perbedaan pendapat antara satu ulama dengan ulama
yang lain baik perbedaan itu dalam ranah internal mazhab atau
perbedaan lintas mazhab.
Oleh karenanya menarik untuk melihat bagaimana al-
Jassas merespon perbedaan-perbedaan pendapat yang ada
dalam pembahasan hukum-hukum di dalam tafsir ahkâm al-
Qur‟ân. Penulis pada kesempatan ini hanya memberikan
gambaran tentang perbedaan pendapat secara umum antara al-
Jassas dengan ulama-ulama lain mengenai pandangan mereka
terhadap keberlakuan suatu hukum atau bahkan perbedaan al-
Jassas dengan pandangan-pandangan umum yang berlaku pada
mazhabnya sendiri
Sebagaimana kebiasaan al-Jassas dalam melakukan
penafsiran, ia akan mengumpulkan berbagai pandangan tentang
suatu masalah baik itu pendapat-pendapat yang datang dari ahli
fikih dari kalangan sahabat atau tâbi‟în atau bahkan pendapat
para ulama mazhab baik dari kalangan internal mazhab Hanafi
atau lintas mazhab seperti mazhab Syafi‟î dan mazhab Hambali.
Terdapat beberapa perbedaan pandangan-pandangan terhadap
beberapa hal dan perbedaan sikap dalam menanggapi perbedaan
tersebut.
Meskipun al-Jassas sangat kental dan kuat dalam
berpegang teguh kepada mazhabnya namun sikap al-Jassas
68
Al-Qaradhawi, Fiqh Perbedaan Pendapat, h. 69. 69
Al-Qaradhawi, Fiqh Perbedaan Pendapat, h. 92.
123
tetap mempunyai independensi dalam berpikir sehingga ia pada
beberapa hal berbeda dengan pandangan mazhabnya.
Perbedaan-perbedaan tersebut menyangkut beberapa hal yaitu:
Pertama, Masalah kesaksian pada perkara hutang piutang,
Kedua, Masalah perintah yang bersifat mutlak, apakah dituntut
untuk menyegerakan atau mengakhirkan, Ketiga, Apakah orang
kafir juga menjadi objek (mukallaf) terhadap sebagian cabang-
cabang syariat.
Terkait dengan perbedaan lintas mazhab, al-Jassas pada
satu kesempatan sangat santun dan beradab dalam membantah
perbedaan-perbedaan pandangan terhadap suatu permsalahan
hukum. Ada beberapa perbedaan pandangan terhadap
permasalan fikih dan ada juga perbedaan pandangan mengenai
periwayatan hadits. Dalam beberapa perbedaan terkait
pandangan fikih, terutama yang terkait dengan pandangan dari
Mazhab Syafi‟I, al-Jassas menunjukkan pembelaan yang sangat
berlebih terhadap mazhabnya bahkan pada banyak kesempatan,
al-Jassas mengeluarkan kata-kata yang tidak santun yang tidak
pantas dinisbahkan kepada ulama dari kalangan mazhab
Syafi‟iyah atau bahkan terhadap pandangan dari Imam Syafi‟I
sendiri. Penulis akan mengurai lebih dalah terhadap sikap al-
Jassas dalam bersikap terhadap perbedaan pandangan fikih yang
menunjukkan fanatisme yang sangat berlebihan terhadap
mazhabnya pada bab selanjutnya.
125
BAB IV
REALITAS FANATISME MAZHAB DALAM TAFSÎR
AHKÂM AL-QUR’ÂN KARYA AL-JASSAS
Sebagaimana diketahui dari biografinya, al-Jassas
merupakan ulama yang menganut dan berpegang teguh pada
mazhab Hanafi. Keteguhannya dalam berpegang pada mazhab
Hanafi ini terlihat dari berbagai karya yang ia hasilkan. Salah
satu maha karya al-Jassas yang kental dengan nuansa mazhab
hanafi adalah tafsir ahkâm al-Qur‟ân yang merupakan objek
penelitian penulis. Oleh karenanya memasuki bab ke-4 dari
penulisan penelitian ini penulis akan fokus pada analisis dan
pembuktian aspek fanatisme dalam tafsir ahkâm al-Qur‟ân.
Bab ini akan memberikan analisis ayat-ayat yang
dianggap sebagai bentuk fanatisme mazhab yang ditampilkan
oleh al-Jassas dalam tafsirnya. Penulis juga akan membahas
faktor-faktor yang mempengaruhi al-Jassas sehingga
menyebabkan munculnya fanatisme mazhab dalam penulisan
tafsirnya. pada bagian akhir dari pembahasan, penulis juga akan
membahas tentang bagaimana penilaian para ulama terhadap al-
Jassas sehingga tafsir yang dibuatnya menjadi sangat kental
aspek fikihnya serta sangat berlebihan pembelaannya terhadap
mazhab Hanafi. Sikap ini mengindikasikan subjektifitas al-
Jassas yang turut menyebabkan munculnya penilaian fanatisme
mazhab pada hasil karyanya tersebut.
A. Bukti-bukti Fanatisme Mazhab dalam Penafsiran
Ahkâm Al-Qur’ân Karya al-Jassas
Pada bagian ini penulis akan memberikan beberapa
contoh dari ayat-ayat yang dibahas dalam tafsir Ahkâm Al-
Qur‟ân karya al-Jassas yang menunjukkan fanatisme al-Jassas
terhadap mazhab Hanafi sehingga pembahasan tafsirnya
menjadi tidak objektif dan berlebihan dalam pembelannya
terhadap pendapat mazhab Hanafi. Pembelaan yang dilakukan
126
oleh al-Jassas menjadikan ayat-ayat ini sebagai dalil terhadap
apa yang telah diyakini sebagai pendapat mazhabnya.
1. Legitimasi Nikah Tanpa Wali pada QS. Al-Baqârah
[2]: 232.
Al-Jassas memberikan judul pembahasan pada ayat ini
dengan judul “Bab Pernikahan Tanpa Wali”. Bunyi dari Qs. al-
Baqârah [2]: 232 adalah sebagai berikut :
وإذا طلقتم ٱلنسآء ف ب لغن أجلهن فال ت عضلوىن أن ينكحن ن هم بٱلمعروف ذلك يوعظ بو من كان منكم أزواجهن إذا ت راضوا ب ي
لكم وأطهر وٱللو ي علم وأ تم ا ي ؤمن بٱللو وٱلي وم ٱآل خر ذلكم أزك ت علمون
“Dan apabila kamu menceraikan istri-istri (kamu), lalu
sampai iddahnya, maka jangan halangi mereka menikah
(lagi) dengan calon suaminya, apabila telah terjadi
kecocokan di antara mereka dengan cara yang baik.
Itulah yang dinasihatkan kepada orang-orang di antara
kamu yang beriman kepada Allah dan hari akhir. Itu
lebih suci bagimu dan lebih bersih. Dan Allah
mengetahui sedangkan kamu tidak mengetahui” (Qs. al-
Baqârah [2]: 232)
Pada awal pembahasan tentang legitimasi nikah tanpa
wali ini, al-Jassas mengemukakan makna kata al-„Adlu (العضل)
yang berarti “mencegah” atau “menyempitkan”. Oleh karenanya
kata-kata “Falâ ta‟dulûhunna” ( فال تعضلىهه) pada ayat tersebut
berarti “janganlah larang mereka” atau “jangan persempit
mereka pada perkara perkawinan”. Berdasarkan pemahaman
al-Jassas, ayat ini bermakna kepada beberapa segi atas
kebolehan nikah yang terjadi kepada wanita tanpa adanya wali
dan tanpa izin dari walinya. Pertama adalah penyerahan otoritas
127
akad kepada wanita tanpa syarat harus izin kepada walinya.
Kedua, larangan terhadap para wali untuk mencegah putrinya
bila kedua calon mempelai sama-sama saling ridha1.
Untuk mendukung pendapatnya ini al-Jassas
membandingkan ayat ini dengan Qs. al-Baqârah [2]: 230.
ره فإن طلقها فال ت نكح زوجا غي ل لو من ب عد حت فإن طلقها فال تجناح عليهمآ أن ي ت راجعآ إن ظنآ أن يقيما حدود ٱللو وتلك حدود
ن ها لقوم ي علمون ٱللو ي ب ي
“Kemudian jika dia menceraikannya (setelah Talak yang
kedua), maka perempuam itu tidak halal baginya
sebelum dia menikah dengan suami yang lain.
Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya,
maka tidak ada dosa bagi keduanya (suami pertama dan
bekas istri) untuk menikah kembali. Jika keduanya
berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum
Allah. Itulah ketentuan-ketentuan Allah yang
diterangkan-Nya kepada orang-orang yang
berpengetahuan”. (Qs. al-Baqârah [2]: 230)
Pada ayat ini dikatakan bahwa Allah telah
menyandarkan pernikahan itu kepada wanita. Allah berfirman
yang berarti “hingga dia kawin dengan (حت ى تىكح زوجا غيري )
suami yang lain”, dan Allah tidak menyebut wali di sini. Selain
itu khitab dalam ayat ( ىهه تعضل ) ditujukan kepada suami, yakni
ia dilarang melakukan rujuk untuk menyengsarakan istri dan
menghalanginya untuk menikah dengan pria lain dengan
memanjangkan masa iddahnya. Alasan lainnya, karena firman
Allah ( إذا تراضىا بيىهم) menunjukkan bahwa laki-laki tidak
terlarang melamar perempuan kepada dirinya sendiri (tanpa
1al-Jassas, Ahkâm al-Qur‟ân, Jilid II, h. 100.
128
melalui perantara wali) dan bersepakat dengannya untuk
menikah.
Pendapat di atas dibantah sebaliknya oleh jumhur ulama
seperti Imam Syafi‟i, Imam Malik dan Imam Ahmad2. Ayat
yang disampaikan di atas justru menunjukkan bahwa nikah
tidak boleh dilaksanakan tanpa wali, dengan dalil bahwa sebab
turunnya ayat ini adalah tentang saudara perempuan Ma‟qîl bin
Yasar, yang merupakan seorang janda3. Imam Bukhari, Abu
Dawud dan Tirmidzi, dan lain-lain meriwayatakan dari Ma‟qil
bin Yasar bahwa ia dulu menikahkan saudara perempuannya
dengan seorang pria muslim. Setelah itu si suami menalak
istrinya dan tidak merujukinya sampai masa iddahnya habis,
Kemudian bekas suaminya itu ingin kembali kepada istrinya –
begitu juga sebaliknya- sehingga ia ikut melamarnya bersama
para pelamar yang lain. Namun Ma‟qil berkata kepadanya, “Hai
orang yang tercela!” Aku sudah memuliakanmu dengan
menikahkanmu dengan saudariku itu, tapi kau malah menalak
dia? Demi Allah, selamanya dia tidak akan kembali
kepadamu!”. Namun Allah mengetahui kebutuhan lelaki itu
kepada mantan istrinya dan kebutuhan mantan istri kepada
bekas suaminya, maka turunkan firmannya, “Apabila kamu
menalak istrimu…” sampai firman-Nya”…..sedang kamu tidak
mengetahui”. Setelah mendengar ayat ini, Ma‟qil berkata, “aku
patuh kepada perintah Tuhanku.” Lalu ia memanggil orang itu
dan berkata, “Aku nikahkan kau dengan saudara perempuanku
ini.”4
Urusan pernikahan itu memang seharusnya bukan
mutlak menjadi haknya perempuan tanpa perlu wali, karena
seandainya pernikahan itu mutlak menjadi urusan perempuan,
tentu ia sudah menikahkan dirinya sendiri dan tidak
membutuhkan walinya (yaitu Ma‟qil). Adapun Khitâb
2 al-Zuhaili, Tafsir al-Munir, Jilid I, h. 561.
3Jalaluddin al-Suyuthi, Sebab Turunnya Ayat al-Qur‟an. Penerjemah,
Tim Abdul Hayyie (Depok: Gema Insani Press, 2008), h. 102. 4 al-Zuhaili, Tafsir al-Munir, Jilid I, h. 561.
129
(pembicaraan) dalam ayat ( فال تعضلىهه) justru ditujukan kepada
para wali. Ayat inipun secara umum memang ditujukan kepada
Ma‟qil bin Yasar yang merupakan wali dari saudari
perempuannya. Urusan pernikahan dipegang oleh mereka atas
dasar kerelaan si wanita. Alasan lainnya adalah seandainya
wanita boleh menikah tanpa kerelaan walinya dan wali tidak
punya fungsi apa-apa, tentu tidak ada artinya bagi larangan para
wali untuk menghalangi wanita menikah. Inilah pendapat
jumhur ulama yaitu Syafi‟I, Malik dan Ahmad5.
Al-Jassas menolak dengan tegas hadis yang
menjelaskan asbab al-nuzûl Qs. al-Baqârah [2]: 232 yang
menyatakan bahwa turunnya ayat ini berkaitan dengan
seseorang bernama Ma‟qil bin Yasar yang mempunyai saudari
seorang perempuan yang telah menjadi janda. al-Jassas
menolak hadis tersebut karena ia menganggap bahwa hadis
tersebut tidak valid jika dilihat dari sisi ahlu al-naql karena di
dalam sanadnya terdapat rijâl hadis yang tidak diketahui yang
diriwayatkan dari Simâk6.
Al-Jassas juga menganggap hadis tersebut hasan mursal.
Padahal hadis ini adalah hadis sahih lagi Muttasil yang
dikeluarkan oleh Imam Bukhari di dalam sahihnya yang masuk
di dalam Kitab Nikah, Bab tentang Pernikahan Tanpa Wali7.
Menurut al-Jassas sekalipun seandainya hadis ini sahih namun
isinya tetap menunjukkan kebolehan akad tanpa wali karena
dilihat dari sisi Ma‟qil bin Yasar yang melarang saudarinya
untuk menikah lagi maka Allah mencegahnya dari perbuatan
tersebut maka batallah haknya untuk menghalangi pernikahan
tersebut (tanpa wali)8. Padahal yang dilarang itu adalah
menghalang-halangi wanita yang akan kembali kepada
5al-Zuhaili, Tafsir al-Munir, Jilid I, h. 563.
6al-Jassas, Ahkâm al-Qur‟ân, Jilid I, h. 103.
7Ahmad „Ali Ibn Hajar al-„Asqallâni, Fathu al-Bâri bi syarhi sahîh
al-Bukhâri, (Mesir: Dâr al-Hadis, 2004), h. 214. 8al-Jassas, Ahkâm al-Qur‟ân, Jilid II, h. 103.
130
suaminya setelah sebelumnya telah dicerai dan hal ini tidak ada
hubungannya dengan perwalian.
Sesungguhnya ada beberapa hadis lain yang
memerintahkan dengan jelas pernikahan wanita dengan
menggunakan wali dan melarang pernikahan tanpa wali dan
tanpa persetujuan dari Wali. Di antara hadis-hadis tersebut
adalah:
Hadis pertama,
ها فنكاحها باطل، فنكاحها كحت بغي إذن ولي ا امرأة باطل، أيفنكاحها باطل، فإن دخل با ف لها المهر با استحل من ف رجها، وإن
لطان ول من ا ول لا اشتجروا فالس“Wanita manapun yang menikah tanpa seizin walinya,
maka pernikahannya bathil, pernikahannya bathil,
pernikahannya bathil. Jika seseorang menggaulinya,
maka wanita itu berhak mendapatkan mahar, sehingga ia
dihalalkan terhadap kemaluannya. Jika mereka terlunta-
lunta (tidak mempunyai wali), maka penguasa adalah
wali bagi siapa (wanita) yang tidak mempunyai wali”.
Hadis kedua
كاح إا بول، وشاىدي عدل ا “Tidak sah nikah kecuali dengan keberadaan wali dan
dua saksi yang adil.”
Hadis ketiga
الزاية ىي الت ا ت زوج المرأة المرأة، وا ت زوج المرأة فسها، فإن .ت زوج فسها
“Wanita tidak boleh menikahkan wanita, dan tidak
boleh pula wanita menikahkan dirinya sendiri. Sebab,
hanya pezinalah yang menikahkan dirinya sendiri.
131
Al-Jassas menolak hadis yang pertama karena
menurutnya hadis tersebut tidaklah valid. al-Jassas berdalih
bahwa hadis ini ditujukan untuk budak yang menikahkan
dirinya sendiri tanpa seizin walinya9. Sedangkan untuk hadis
kedua bahwa tidak sah menikah tanpa adanya wali, al-Jassas
berpendapat bahwa pendapatnya tidak bertentangan dengan
hadis ini karena menurutnya di sini berarti nikah dengan Wali,
dan bahwasanya perempuan bisa menjadi wali bagi dirinya
sendiri, sebagaimana anak laki-laki mewalikan dirinya sendiri.
Menurutnya, Wali adalah orang yang memiliki otoritas
kewalian atas orang yang berwali atasnya, dan perempuan
memiliki otoritas dan kewenangan atas dirinya sendiri pada
hartanya maka begitu juga ia memiliki kewenangan pada
barang-barangnya10
.
Al-Jassas juga menolak hadis ketiga karena menurutnya
isi dari hadis tersebut bertendensi pada tidak disukainya
kehadiran budak di tempat para pemilik budak karena
diperintahkannya untuk mengumumkan perkawinan maka
dikumpulkanlah manusia, maka dibencilah kehadiran budak
pada majlis tersebut. al-Jassas juga menyatakan bahwa kata-
kata (ج وفسها اوية هي ال تي تسو salah secara Ijma kaum (فإن الس
muslimin. Karena kata-kata “Tuzawwizu Nafsaha” (ج وفسها (تسو
tidak berarti berzina dengan salah satu dari kaum muslimin
padahal kalimat “Wati” (الىطء) pun tidak disebutkan dalam
hadis itu11
.
Kukuhnya pendapat al-Jassas dalam menafsirkan ayat
ini sesungguhnya karena kefanatikan beliau dalam mengikuti
pendapat dari Imam Abu Hanifah yang membolehkan seorang
wanita menikahkan dirinya sendiri tanpa wali. Sebagaimana ia
kutip sendiri dalam tafsirnya bahwa Imam Abu Hanifah
membolehkan seorang wanita menikahkan dirinya sendiri jika
pasangan yang dinikahinya itu sepadan (sekufu) dan mampu
9al-Jassas, Ahkâm al-Qur‟ân, Jilid I, h. 103.
10al-Jassas, Ahkâm al-Qur‟ân, Jilid I, h. 103.
11al-Jassas, Ahkâm al-Qur‟ân, Jilid I, h. 103-104.
132
memberikan mahar mitsil. Adapun apabila pihak laki-lakinya
itu tidak sepadan (sekufu) maka pernikahannya tetap
dibolehkan. Di sinipun pendapat Imam Abu Hanifah
mengatakan bahwa pernikahan boleh dilakukan tanpa wali
dengan tidak ada pertentangan dari pihak Wali. Artinya apabila
ada masalah kekufuan, tetap pihak wali perempuan mempunyai
hak untuk menolak.12
Ukuran kesepadanan ini didasarkan
kepada kebiasaan yang berlaku di masyarakat yang sesuai
dengan norma syariat, tidak didasarkan kepada adat istiadat
yang tidak umum13
.
2. Hukum Khamr pada Qs. al-Baqârah [2]: 219
Al-Jassas memberi judul bab pada pembahasan ini
dengan “Bab tentang Pengharaman Khamr”14
. Ayat ini
berbunyi :
فع للناس وإثهمآ يسألوك عن ٱلمر وٱلميسر قل فيهمآ إث كبي ومن أكب ر من فعهما
12
Imam Abu Hanifah sendiri tidak mendasarkan dalil kebolehan
menikah tanpa wali tersebut berdasarkan ayat Qs. al-Baqârah [2]:232 ini.
Imam Abu Hanifah mendasarkan kebolehan menikah tanpa wanita
berdasarkan hadis Aisyah yang menikahkah Hafsah binti Abd al-Rahman
dimana pada saat pernikahan dilakukan. Abd al-Rahman tidak ada. Dari sini
diambil kesimpulan bahwa perempuan dapat menikah tanpa wali dan boleh
menikah tanpa harus izin dari wali. Lihat. Al-Jassas, Ahkâm al-Qur‟ân, Jilid
I h.101. Ayat inipun sebenarnya sama sekali tidak berbicara tentang masalah
perwalian namun berbicara tentang larangan yang dilakukan keluarga si
Perempuan (Ma‟qil ibn Yassar) untuk kembali kepada suaminya pada saat
iddahnya telah habis. Melalui ayat ini Allah melarang keluarga si perempuan
melarang wanita yang di bawah perwaliannya untuk kembali kepada
suaminya. Inilah yang dilarang oleh Allah kepada keluarga si Perempuan.
Namun al-Jassas karena mengikut pendapat Mazhab Abu Hanifah
mengambil ayat ini sebagai dalil kebolehan menikah tanpa wali dengan
alasan yang telah penulis sebutkan di atas. 13
al-Zuhaili, Tafsir al-Munir, Jilid I, h.564. 14
al-Jassas, Ahkâm al-Qur‟ân, Jilid II, h.3
133
“Mereka menanyakan kepadamu (Muhammad) tentang
Khamr, dan judi. Katakanlah, “pada keduanya terdapat
dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia. Tetapi
dosanya lebih besar dari manfaatnya”.(Qs. al-Baqârah
[2]: 219)
Al-Jassas mengawali pembahasan tentang khamr ini
dengan menegaskan keharaman khamr karena ayat tersebut
mengutip kata-kata “itsmun” (اثم) yang ia tafsirkan dengan
mengutip firman Allah pada Qs. al-A‟raf [7]:33.
ها وما بطن وٱإلث وٱلب غي بغي ا حرم رب ٱلفواحش ما ظهر من قل إنٱلق وأن تشركوا بٱللو ما ل ي ن زل بو سلطاا وأن ت قولوا عل ٱللو ما
علمون ا ت “Katakanlah (Muhammad), “Tuhanku hanya meng-
haramkan segala perbuatan keji yang terlihat dan yang
tersembunyi, perbuatan dosa, perbuatan dzalim tanpa
alasan yang benar, dan (mengharamkan) kamu
mempersekutukan Allah dengan sesuatu, sedang dia tidak
menurukan alasan untuk itu, dan (mengharamkan) kamu
membicarakan tentang Allah apa yang tidak kamu
ketahui”. (Qs. al-A‟raf [7]:33)
Ayat ini menegaskan bahwa perbuatan “itsmun” ( إثم)
adalah perbuatan yang haram. Meskipun Allah menyebut
kalimat “Manâfi‟u li al-Nass” ( فع للى اش namun itu berfungsi (ومى
untuk menguatkan bahaya yang timbulkan oleh khamr
ketimbang manfaatnya. Oleh karena itulah pada ayat
selanjutnya Allah menyebutkan bahwa dosa yang ditimbulkan
oleh Khamr jauh lebih besar dari manfaatnya15
.
Meskipun begitu, memang mengundang pertanyaan
mengapa Allah mengatakan ada beberapa manfaat dari khamr
15
al-Jassas, Ahkâm al-Qur‟ân, Jilid II, h.3
134
padahal jelas-jelas hanya membuang-buang harta dan merusak
akal. Ulama mencoba memberikan jawaban terhadap pernyata-
an ini dengan mengatakan bahwa yang dimaksud manfaat di
sini adalah manfaat dari sisi materiil yang dapat mereka peroleh
dengan memperdagangkannya, yakni mereka mengharapkan
dapat memperoleh keuntungan yang buruk seperti keuntungan
yang mereka peroleh ketika berjudi. Hal yang menunjukkan
bahwa manfaat pada khamr bersifat materiil adalah bahwa
Allah menyamakannya dengan judi. Hal ini dapat dilihat dari
ayat Qs. al-Baqârah [2]: 219 yang berarti“…..Mereka bertanya
kepadamu tentang khamr dan Judi…”, dan tidak diragukan lagi
bahwa manfaat judi adalah manfaat materiil bagi orang yang
menang, begitu juga dengan khamr.
Imam Qurthubi mengatakan bahwa, manfaat khamr
berupa keuntungan dalam memperjualbelikannya, karena
mereka mengimpor dari Syiria dengan harga yag murah, lalu
dijual di Hijaz dengan harga yang tinggi, sedangkan mereka
belum pandai dalam tawar menawar16
.
Sampai di sini apa yang disampaikan oleh al-Jassas
dalam memahami ayat tentang pengharaman khamr belum ada
hal yang kontroversial. Namun ketika al-Jassas menghadirkan
perbedaan pendapat tentang apa yang dimaksud dengan
meminum khamr, maka mulai terlihat ada tendensi pemahaman
yang berbeda tentang meminum khamr sebagaimana dipahami
oleh Jumhur. al-Jassas mengatakan bahwa ada perbedaan
pendapat di antara para ulama tentang pengertian meminum zat
khamr dari minuman. Menurutnya, “Jumhur al-a‟zam” dari
sebagian ulama mengatakan bahwa khamr pada hakikatnya
adalah minum dari air perasan anggur. Menurut al-Jassas, telah
mengklaim sebagian dari penduduk Madinah, dan sebagian dari
pengikut Imam Malik dan pengikut Imam Syafi‟i bahwa setiap
16
Muhammad Ali al-Shabuni, Tafsir Ayat-ayat Ahkâm, Cet. 1,
Penerjemah Ahmad Dzulfikar, dkk (Depok:Keira Publishinh, 2016), Jilid I,
h. 276.
135
yang banyaknya memabukkan dari minuman maka dia itu
adalah khamr.
al-Jassas tidak menyebutkan secara rinci siapa yang
dimaksud dengan Jumhur al-a‟zami dan siapa juga yang
dimaksud dengan sebagian penduduk Madinah, pengikut Imam
Syafi‟I serta sebagian pengikut Imam Malik17
. Hal ini bukanlah
kebiasaan al-Jassas jika sedang menyebutkan pendapat dari
ulama-ulama lain. Ia biasanya menyebutkan secara terperinci
siapa dan darimana ulama yang berpendapat demikian. Inilah
kecendrungan dari al-Jassas yang mengarahkan secara tidak
adil suatu pendapat agar sesuai dengan pendapat yang
dipegangnya. Padahal, Imam Malik, Imam Syafi‟I, Imam
Ahmad, ulama-ulama Hijaz dan jumhur ulama hadis (Jumhûr
al-Muhadditsĭn) mengatakan bahwa bahwa minuman yang
memabukkan itu berasal dari perasan anggur dan lainnya, maka
minuman yang memabukkan yang berasal dari perasan anggur,
gandum atau biji gandum adalah khamr18
. Hal ini menandakan
bahwa ulama dari kalangan syafiiyah dan Malikiyah tidak
membatasi jenis khamr hanya pada air perasan anggur.
Memang diketahui bahwa ulama-ulama kufah di
antaranya Imam Abu Hanifah, Ibrahim al-Nakho‟I, Sufyan al-
Tsauri dan Abi Laila dan Ibn Subarmah mengatakan bahwa
sesuatu yang memabukkan dari zat yang lainnya seperti
minuman dari perasan kurma maka tidak dinamakan sebagai
Khamr, tetapi dinamakan sebagai Nabiz19
. Sebagai seorang
17
Hal ini menunjukkan kecerobohan al-Jassas dalam mengajukan
dalil-dalil untuk menguatkan kebenaran pendapatnya. al-Jassas biasanya
sangat teliti dalam menyebutkan perbandingan-perbandingan dalam
perbedaan pendapat. Ada tendensi pembelaan yang berlebihan dari al-Jassas
sehingga ia tidak menyebutkan secara rinci siapa yang ia maksud dengan
Jumhûr al-A‟dzom demi melakukan pembelaan terhadap opini yang sedang
ia bangun demi mazhab yang ia anut. 18
Muhammad „Ali al-Sâyisi, Tafsĭr Ăyât al-Ahkâm, (T.tp.,T.Pn., T.t),
Jilid I, h. 121 19
Muhammad Ali al-Sayisi, Tafsĭr Ăyât al-Ahkâm, h. 121.
136
pengikut mazhab Hanafi al-Jassas berpegang teguh pada
pendapat ini.
Setidaknya ada dua alasan yang diungkapkan oleh al-
Jassas dan ulama-ulama kufah tentang definisi dari khamr yang
menafikan selain perasan anggur adalah khamr. Pertama, secara
bahasa mereka beralasan dengan ucapan Abu Aswad al-Du‟alli
yang pernah bersyair berikut ini20
:
ن ... المر تشرب ’ دع ها الغواة فايا بكانا رأيت أخاىا مغن
و...أخوىا ها فا فان ل تكنو أو يكن ذتو امو بلبنهاغ
Biarkanlah Khamr itu diminum oleh orang-orang yang
sesat
Sesungguhnya aku tahu saudaranya (peminum) itu
memuji ditempatnya
Jika khamr itu tidak dapat membentuknya atau dia tidak
dapat membentuk Khamr
Maka dia adalah saudaranya yang diberikan makanan
yang lezat oleh Ibunya dengan air susunya
Pada syair yang diucapkan oleh Abu al-Aswad al-Dualli
di atas terlihat bahwa sesuatu yang memabukkan yang terbuat
dari selain buah kurma murni atau buah Anggur murni tidak
dinarnakan khamr. Jenis minuman ini (nabidz) merupakan
saudara khamr. Hal ini diperkuat dengan ucapannya ر أ ي ت أ خ اه ا
اه او ك م ا ب ي ى غ م .21
Kedua, mereka beralasan berdasarkan hadis Nabi yang
diriwayatkan dari Sa‟id al-Khudri, ia berkata: Nisywan pernah
dibawa menghadap Rasulullah Sallallahu „alaihi wasallam, lalu
beliau bertanya kepadanya: „apakah engkau minum khamr?‟ ia
20
al-Jassas, Ahkâm al-Qur‟ân, Jilid II, h.8. 21
al-Jassas, Ahkâm al-Qur‟ân, Jilid II, h.8.
137
menjawab: “Aku sudah tak pernah meminumnya sejak
diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya.‟ Lalu Rasululllah
bertanya lagi:‟kemudian apa yang kamu minum?‟ Ia menjawab:
„Campuran dua macam‟. Abu Sa‟d berkata: „Lalu Rasulullah
Sallallahu „alaihi wasallam mengharamkan campuran dua
macam tersebut.
Pada hadis ini si peminum yang ditanya oleh Rasulullah
tidak menyebut Khamr bagi minuman yang terdiri dari dua
macam campuran di hadapan Rasulullah sedang beliau juga
tidak mengingkarinya. Di sini al-Jassas mengambil dalil bahwa
selain yang disebutkan oleh si peminum itu bukan khamr karena
ia tidak menyebutnya demikian dan Rasulullah juga tidak
mengingkarinya.
Dari uraian di atas al-Jassas setidaknya berargumen
kepada dua hal; Pertama, yang dimaksud dengan Khamr adalah
hanya air hasil dari perasan anggur, Kedua, segala sesuatu yang
banyaknya memabukkan adalah haram. Pemahaman seperti ini
tentunya berbeda dengan pemahaman pada umumnya yang
tidak membatasi khamr hanya sekedar perasan anggur dan
membatasi keharaman yang memabukkan pada kadar
banyaknya.
Berdasarkan ketentuan hadis yang sahih bahwa
Rasûlullah sallallahu „alaihi wasallam menyatakan bahwa
setiap yang memabukkan adalah khamr dan setiap khamr
adalah haram22
. Dalil hadis ini merupakan dalil yang sangat
jelas yang menjadi petunjuk bahwa setiap yang memabukkan,
-baik sedikit maupun banyaknya- maka dia adalah khamr yang
telah diharamkan oleh Allah melalui ayat-ayatnya di dalam al-
Qur‟ân. Ulama lain seperti al-Sabuni dan Muhammad Ali al-
Siyasi yang juga menulis kajian tafsir hukum melakukan tarjih
terhadap perkara ini dan mengatakan bahwa pendapat yang
paling kuat adalah pendapat mayoritas ulama Hijaz yang
menegaskan keharaman Khamr dan setiap yang memabukkan
22
.كل مسكر خر وكل خر حرام
138
disebut dengan khamr sebagaimana kata Umar Radiyallahu
anhu ketika para sahabat mendengar diharamkannya khamr,
mereka dengan spontan memahami bahwa Nabidz adalah
sejenis khamr, sedang mereka adalah orang-orang yang paling
mengerti tentang bahasa arab serta apa yang dimaksud oleh
Allah dan Rasul-Nya, dan Rasulullah telah mengharamkan
secara tegas, setiap yang memabukkan dan melemahkan23
.
Pada pembahasan tentang keharaman khamr ini, sangat
terlihat betapa al-Jassas berusaha keras untuk melakukan
penta‟wilan terhadap hadis ini sehingga menjadikannya tidak
layak untuk dijadikan dalil bagi orang-orang yang pada
umumnya berbeda dengannya, dengan menggunakan hukum
berdasarkan pengertian hakikat majaz atau makna dari Khamr.
Penta‟wilan terhadap teks hadis yang sangat jelas baik secara
makna maupun dalil yang dilakukan oleh al-Jassas dirasa
sangat berlebihan, hal mana pada kesimpulan akhirnya
mencoba mengatakan bahwa Khamr itu adalah apa yang
memabukkan akal dan sedikitnya zat lain yang tidak sampai
memabukkan itu tidak haram.
Maka apabila pendapat al-Jassas diterima begitu saja
sesuai dengan pemahaman yang ia maksud, maka pemahaman
ini tentu akan sangat berbahaya. Apalagi pada zaman sekarang
ini di mana banyak sekali jenis minuman yang memabukkan
yang bisa jadi apabila diminum sedikit tidak membuat mabuk.
Contohnya adalah bir dan berbagai minuman lainnya yang
bukan berasal dari perasan anggur yang apabila meminumnya
dengan takaran yang sedikit bisa tidak memabukkan. Padahal
sangat jelas bahwa minuman-minuman ini adalah memabukkan
dan setiap yang memabukkan adalah haram.
23
al-Shabuni, Tafsir Ayat-ayat Ahkâm, jilid I, h. 281, lihat juga
Muhammad „Ali al-Sâyisi, Tafsîr Ăyât al-Ahkâm, h. 123.
139
B. Fanatisme dan Keterpengaruhan Mazhab Hanafi
dalam Penafsiran Ahkâm al-Qur’ân Karya al-Jassas
Sebagaimana telah penulis uraikan sebelumnya bahwa
al-Jassas merupakan satu dari beberapa ulama mazhab dalam
khasanah fikih Hanafiah yang mempunyai peran yang sangat
besar dalam melestarikan dan membela eksistensi dari mazhab
Hanafi. Berbagai hasil karyanya di bidang fikih dan ushul fiqh
cenderung bernuansa fikih hanafiah. Oleh karenanya baik isi
maupun coraknya pun sangat terlihat identitas kemazhabannya
sebagai seorang pengikut mazhab Hanafi. Karya-karya ilmiah
itu bisa berupa syarh yang merinci tentang matan yang telah
ada yang merupakan karya ulama Mazhab Hanafi atau bisa juga
dalam bentuk Mukhtashor yang meringkas karya guru-gurunya
dari kalangan Hanafiah24
.
Tafsir Ahkâm al-Qur‟ân merupakan magnum opus dari
al-Jassas. Sebuah mahakarya tafsir yang disusun dengan corak
fikih yang sangat lengkap yang di susun dengan rincian bab-bab
dan penjelasan yang sangat mirip dengan kitab fikih. Karya ini
sangat memudahkan untuk dibaca namun mempunyai materi
yang sangat dalam karena di dalamnya banyak terdapat
perbandingan-perbandingan hukum berupa pandangan-
pandangan ulama dari berbagai mazhab dan generasi. Membaca
penafsiran yang dilakukan oleh al-Jassas seperti membaca fikih
muqarran (perbandingan) yang sangat komprehensif25
.
Namun begitu, sebagai sebuah hasil karya tidak terlepas
dari pengaruh sang penulisnya. al-Jassas dikenal sebagai salah
satu ulama yang mengkhidmatkan dirinya pada pelestarian
mazhab Hanafi. Oleh karena itulah karya-karyanya pun
24
Hal ini dapat dilihat dari kitab-kitabnya yang memang sangat kental
sekali tentang pembahasan fikih Hanafiah. Di antara kitab-kitabnya itu
adalah Syarh Mukhtasar al-Karakhy, Syarh Mukhtasar al-Thahawy, Syarh
al-Jami‟ li Muhammad Ibn Hasan, Syarh al-Asma al-Husna, Adab al-
Qadha‟, ushul al-Fiqh dan al-Asyrabah. 25
Uraian lebih lengkap tentang hal ini terdapat dalam Bab III tentang
corak tafsir al-Jassas tesis ini.
140
cenderung memberikan pembelaan terhadap konsep-konsep
yang telah digariskan oleh Imam Abu Hanifah selaku pendiri
mazhab Hanafi. Hal inilah yang mempengaruhi penulisan tafsir
al-Jassas, karena jika ditelisik lebih dalam maka akan terlihat
adanya pengaruh yang sangat kental bahkan cenderung
memunculkan fanatisme terhadap mazhab Hanafi sehingga
dalam berbagai aspek sangat teguh pegangannya serta
pembelaannya kepada Mazhab Hanafi. Berikut adalah bentuk-
bentuk keterpengaruhan al-Jassas terhadap mazhab Hanafi yang
memunculkan fanatisme mazhab.
1. Pembelaan Berlebihan terhadap Mazhab
Hanafi.
Memegang teguh sebuah mazhab fikih yang mu‟tabar
bagi seseorang merupakan hal yang dapat dimaklumi dan bukan
termasuk perbuatan yang tercela selama hal tersebut masih
dalam batas-batas toleransi. Perbedaan adalah hal yang lazim
terjadi dalam implementasi hukum selama masih bisa saling
menghormati pilihan mazhab lain dan memahaminya sebagai
sebuah dinamika di dalam kehidupan sosial dan agama. Dalam
hal terjadi perbedaan pendapat maka harus tetap saling
menghormati tanpa harus mencela atau menghina pendapat
pihak lain atau melakukan tindakan-tindakan yang
merendahkan dan melecehkan pihak lain. Tindakan pelecehan
dan pelemahan terhadap pihak lain merupakan tindakan yang
tidak dapat diterima dan cenderung menunjukkan sikap
fanatisme yang muncul dari sikap taklid terhadap mazhabnya.
Sebagai seorang yang dikenal fanatik terhadap
mazhabnya, al-Jassas dalam banyak kesempatan sering
menunjukkan pembelaan yang berlebihan terhadap mazhab
yang dianutnya. Pembelaan ini jelas merupakan tindakan yang
muncul dari fanatisme yang berlebihan. Salah satu bentuk
tindakan yang berlebihan yang dilakukan oleh al-Jassas sebagai
bentuk dari sikap fanatismenya adalah melakukan pembelaan
berlebihan terhadap hukum-hukum yang sudah ditetapkan
141
pendahulu mazhabnya dan kecendrungan negatif al-Jassas
dalam membela pemahaman mazhabnya dengan melecehkan
atau menghina pendapat dari ulama-ulama yang berbeda
dengannya.
Dalam berbagai kesempatan, al-Jassas menunjukkan
sikap yang berlebihan dalam melakukan pembelaan terhadap
mazhabnya serta melakukan tindakan yang tidak elegan
menyikapi perbedaan pendapat antar mazhab. Al-Jassas pada
beberapa kesempatan memunculkan kata-kata kasar dan
melecehkan pendapat ulama dari mazhab lain karena pendapat
ulama tersebut berbeda atau bertentangan dengan pendapat
mazhab Hanafi. Al-Jassas menyifati mereka dengan sifat yang
buruk dan ibarat-ibarat yang melampaui batas.
Di antara ulama-ulama tersebut adalah al-Qadhi Ismail
Ibn Ishaq al-Maliki. Beliau adalah salah satu pemuka mazhab
Maliki yang tinggal di Kota Basrah. Ia juga merupakan penulis
dari tafsir yang bercorak fikih yang kebetulan mempunyai judul
yang sama yaitu Ahkâm al-Qur‟ân. al-Jassas banyak mengutip
permasalahan-permasalah fikih dari kitab ini dan banyak ia
bahas terrutama pada hal-hal yang berbeda dengan pendapat
mazhab Hanafi. al-Jassas memberikan porsi pembahasan yang
komprehensif kepada setiap perbedaan pendapat yang
ditunjukan oleh Qadhi Ismail Ibn Ishaq al-Mâliki.
Pembelaan yang berlebihan ini ditunjukkan oleh al-
Jassas dengan menyifati Qadhi Ismâil Ibn Ishaq al-Mâliki
dengan sebutan yang buruk serta perkataan yang melampaui
batas. Di antara perkataan-perkataan al-Jassas setelah
mengomentari pendapat dari Qadhi Ismail Ibn Ishaq al-Mâliki
adalah: “Perkataannya adalah cacat dan jelas kerusakannya”
atau “Perkataannya kosong dan tidak memiliki arti sama
sekali” atau “Perkataan laki-laki yang tidak kuat dan tidak
mempunyai akibat hukum (ta‟wil)”.
al-Jassas mengomentari pendapat dari Qadhi Ismail Ibn
Ishaq al-Mâliki dalam tafsirnya sehubungan dengan Qs. al-
Baqarah [2]: 235.
142
أو أكننتم ف وا جناح عليكم فيما عرضتم بو من خطبة ٱلنسآء هن ول كن ا ت واعدوىن سرا إا أن كم ستذكرو أ فسكم علم ٱللو ألغ ٱلكتاب أجلو ي ب عروفا وا ت عزموا عقدة ٱلنكاح حت ت قولوا ق وا م
للو ي علم ما ف أ فسكم فٱحذروه وٱعلموا أن ٱللو غفور وٱعلموا أن ٱ حليم
“Dan tidak ada dosa bagimu meminang perempuan-
perempuan itu dengan sindirian atau kamu sembunyikan
(keinginanmu) dalam hati. Allah mengetahui bahwa
kamu akan menyebut-nyebut mereka. Tetapi janganlah
kamu membuat perjanjian untuk menikah dengan mereka
secara rahasia , kecuali sekedar mengucapkan kata-kata
yang baik. Dan janganlah kamu menetapkan akad nikah,
sebelum habis masa iddahnya. Ketahuilah bahwa Allah
mengetahui apa yang ada di dalam hatimu, maka
takutlah kepada-Nya. Dan ketahuilah bahwa Allah maha
Pengampun dan Maha Penyantun” (Qs. al-Baqarah [2]:
235)
Pada ayat ini, Qadi Isma‟îl Ibn Ishaq al-Mâliki
berpendapat bahwa ia berhujjah pada menafikan hukuman Had
bagi perbuatan Qazf dengan alasan bahwa Allah tidak
menjadikan ancaman tersebut pada ayat ini ancaman yang
jelas26
. al-Jassas lalu membahas secara rinci perbedaan
pendapat ini bahkan mengatakan bahwa pendapat yang
diungkapkan oleh Qadi Isma‟îl Ibn Ishaq al-Mâliki adalah jelas
kebatalannya dan mengandung kecacatan yang sangat jelas27
.
Setelah mengutip apa yang dikatakan oleh Qadi Isma‟îl Ibn
Ishaq al-Mâliki maka ia memberi komentar pedas kepada Qadi
Isma‟îl Ibn Ishaq al-Mâliki dengan berkata:
26
al-Jassas, Ahkâm al-Qur‟ân, Jilid II. h. 136. 27
al-Jassas, Ahkâm al-Qur‟ân, Jilid II. h. 136.
143
الة ل الذي حكاه عن خصمو ف الد قال اب و بكر : الكالم الوختالل واضح الفساد عريض صحيح و قضو ظاىر اا عل في بالت
Pada kesempatan lain, al-Jassas juga membahas dan
mengomentari pendapat Qadhi Ismail Ibn Ishaq al-Mâliki pada
Qs. al-Ra‟du [13]:8.
وما تغيض ٱلرحام وما ت زداد وكل شيء ٱللو ي علم ما تمل كل أثار عنده بقد
“Allah mengetahui apa yang dikandung oleh
perempuan, apa yang kurang sempurna, dan apa yang
bertambah dalam rahim, dan segala sesuatu ada ukuran
disisi-Nya” Qs. al-Ra‟du [13]:8
Pada ayat ini al-Jassas mengomentari pernyataan dari
Qadhi Ismail Ibn Ishaq al-Mâliki yang mengatakan bahwa
orang yang hamil itu juga bisa mendapat haid. Menurutnya
perkataan dari Qadhi Ismail Ibn Ishaq al-Mâliki ini tidak berarti
apa-apa. al-Jassas kemudian menjelaskan posisinya terkait
dengan pendapat dari Qadhi Ismail Ibn Ishaq al-Mâliki. Setelah
melengkapi semua argumennya terhadap apa yang diungkapkan
oleh Qadhi Ismail Ibn Ishaq al-Mâliki, al-Jassas kemudian
mengomentari Qadhi Ismail Ibn Ishaq al-Mâliki dengan
komentar yang pedas. Ia berkata dalam komentarnya28
:
م وىذا الذي ذكره )اي القضي اساعيل ليس بشئ، لن الدر ها الارج من الرحم قد يكون حيضا وفاسا وقد يكون غي
28
al-Jassas, Ahkâm al-Qur‟ân, Jilid IV, h. 397 – 398.
144
Meskipun memberikan pembelaan yang sangat
berlebihan terhadap perbedaan pendapat yang dinyatakan oleh
ulama Mazhab Maliki, namun terhadap pendapat Imam Maliki
sendiri, al-Jassas cenderung menunjukkan pendapat yang bisa
diterima dan tidak mengeluarkan komentar yang tidak layak
terhadap Imam Malik. al-Jassas sedikit berpendapat agak keras
kepada Imam Malik pada saat berkomentar tentang Qs. al-
Baqârah [2]:223. Pada ayat ini al-Jassas mengatakan bahwa
Imam Malik pernah membolehkan seseorang laki-laki men-
dukhul istrinya melalui duburnya namun pendapat ini bahkan
ditolak oleh sahabat-sahabat Imam Malik sendiri. Menurutnya
sebaiknya jangan mengatakan ini adalah pendapat Imam Malik
karena ini adalah perkara yang sangat buruk dan jelek29
.
Pembelaan berlebihan yang menunjukkan fanatisme al-
Jassas terhadap pendapatnya dan pendapat mazhabnya juga
ditujukan kepada Imam Syafi‟i. Imam Syafi‟I, selaku pendiri
mazhab Syafi‟iyah juga menjadi sasaran dari kefanatikan al-
Jassas. Berikut beberapa komentar pedas yang diungkapkan
oleh al-Jassas sebagai bentuk pembelaannya yang berlebih
terhadap mazhab yang dianutnya.
Pertama, al-Jassas memberikan pembelaan terhadap
pendapatnya dan memberikan komentar pedas terhadap
perbedaan yang ditunjukkan oleh Imam Syafi‟i pada saat
membahas Qs. al-Maidah [5]:5.
ٱلي وم أحل لكم ٱلطيب ت وطعام ٱلذين أوتوا ٱلكت ب حل لكم م وطعامكم حل ل
“Pada hari ini dihalalkan bagimu segala yang baik-baik.
Makanan (sembelihan) ahli kitab itu halal bagimu dan
29
Al-Jassas, Ahkâm al-Qur‟ân, Jilid II, h. 40.
145
makananmu halal bagi mereka…”.( Qs. al-Maidah
[5]:5).
Ayat ini membahas tentang memakan makanan yang
disembelih oleh ahli kitab. al-Jassas mengatakan bahwa ia tidak
pernah menemui suatu perbedaan pendapat manapun terkait
ayat ini dari para ulama baik ulama salaf maupun ulama kholaf
kecuali apa yang disampaikan oleh Imam Syafi‟i. Menurutnya,
Imam Syafi‟I telah menyendiri dalam perkataannya.
Menurutnya lagi, pendapat Imam syafi‟I telah keluar dari
perkataan-perkatan golongan ahli ilmu (ulama)30
. Perkataan ini
sangat pedas seakan-akan Imam syafi‟I bukanlah ulama yang
patut bagi orang-orang untuk mengambil ilmu darinya.
Kedua, Komentar berlebihan terhadap Imam Syafi‟I
juga ditunjukkan pada saat membahas Qs. al-Maidah [5]:6.
يا أي ها ٱلذين آمنوا إذا قمتم إل ٱلصلوة فٱغسلوا وجوىكم وأيديكم برؤوسكم وأرجلكم إل ٱلكعبني إل ٱلمرافق وٱمسحوا
“Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu
hendak melaksanakan salat, maka basuhlah wajahmu
dan tanganmu sampai ke siku, dan sapulah kepalamu
dan (basuh) kedua kakimu sampai kedua mata kaki…”.
(Qs. al-Maidah [5]:6)
Ayat ini terkait pembahasan tentang tertib pelaksanaan
wudhu atau rukun-rukun wudhu, di mana terjadi banyak
perbedaaan di antara para ulama. Pada saat menyebutkan
pendapat Imam Syafi‟I, al-Jassas menyelipkan sebuah komentar
yang pedas dengan menyatakan bahwa pendapat Imam Syafi‟i
telah keluar dari ijma para ahli fikih31
. Pandangan ini seakan-
akan menyatakan bahwa pandangan Imam Syafi‟i tidak berarti
30
al-Jassas, Ahkâm al-Qur‟ân, Jilid III, h. 321. 31
al-Jassas, Ahkâm al-Qur‟ân, Jilid III, h. 329 – 331.
146
apa-apa di mata al-Jassas sehingga sah-sah saja sebuah ijma
para ulama tanpa harus memperhatikan pendapat Imam Syafi‟i.
Contoh ketiga yang merendahkan Imam Syafi‟i dalam
dinamika pembahasan tafsir al-Jassas ketika ia membahas Qs.
al-Nisa [4]:23.
تكم تكم وب ن ه تكم وخالتكم وب نات حرمت عليكم أم تكم وعم وأخوعة ن ٱلرض تكم م تكم الت أرضعنكم وأخو ه ٱلخ وب نات ٱلخت وأمسآئكم ٱلت ن سآئكم وربائبكم ٱلت ف حجوركم م ت ه وأم
ئل تم بن دخل وا دخلتم بن فال جناح عليكم وحل فإن ل تكوبكم وأن تمعوا ب ني ٱلخت ني إا ما قد أب نائكم ٱلذين من أصل
سلف إن ٱللو كان غفورا رحيما
“Diharamkan atas kamu (menikahi) Ibu-ibumu, anak-
anakmu yang perempuan, saudara-saudaramu yang
perempuan, saudara-saudara ayahmu yang perempuan,
saudara-saudara ibumu yang perempuan, anak-anak
perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki,
anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang
perempuan, ibu-ibumu yang menyusuimu, saudara-
saudara perempuanmu sesusuan, Ibu-ibu istrimu
(mertua), anak-anak perempuan dari istrimu (anak tiri)
yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu
campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu
itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu
(menikahinya), (dan diharamkan bagimu) istri-istri anak
kandungmu (menantu) dan (diharamkan) mengumpulkan
(dalam pernikahan) dua perempuan yang bersaudara,
kecuali yang telah terjadi pada masa lampau. Sungguh
Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang”. (Qs. al-
Nisa [4]:23.)
147
Ayat ini membahas tentang wanita-wanita yang
diharamkan untuk dinikahi. Ayat ini memang banyak menuai
perbedaan antara mazhab Hanafi dan mazhab Syafi‟i. Namun
begitu penyikapan al-Jassas terhadap perbedaan tersebut
sungguh menunjukkan pembelaan yang berlebihan terhadap
mazhab yang dianutnya. Selain melakukan pembahasan yang
panjang lebar serta terperinci dengan menyandingkan
perbandingan-perbandingan pemahaman yang ada, al-Jassas
sangat berlebihan membela pendapat mazhabnya dan
merendahkan Imam Syafi‟i dengan kata-kata yang tidak layak,
menghina dan keji.
Setelah menguraikan perbedaan-perbedaan yang
terdapat dalam ayat tersebut dengan pendapat dari Imam
Syafi‟i, lalu keluarlah ucapan-ucapan yang tidak layak tersebut
seperti kata-kata “Maka sungguh jelas apa yang dikatakan oleh
al-Syafi‟i dan orang-orang yang menerima pernyataannya
tersebut suatu perkataan yang kosong yang tidak memiliki arti
apa-apa secara hukum”. Atau ia juga berkomentar “Sungguh
jelas butanya hati orang yang bertanya (kepada Imam Syafi‟i)
dan menerima segala pendapatnya dengan tanpa menuntut
dalil-dalil atas masalah yang ia sebutkan”32
. Ada juga
ungkapan-ungkapan lain yang sekiranya disampaikan sungguh
merupakan kata-kata yang tidak patut disampaikan hanya
karena adanya perbedaan pendapat yang memunculkan
fanatisme sehingga merendahkan ulama lain apalagi sekaliber
Imam Syafi‟i.
Komentar-komentar al-Jassas serta penyifatannya
dengan sifat yang buruk kepada Imam Syafi‟i sehubungan
dengan perbedaan pendapat yang lazim terjadi dalam sebuah
penafsiran sangat tidak pantas dan tidak dapat dimaklumi
sebagai perbuatan yang toleran terhadap perbedaan mazhab.
32
Al-Jassas, Ahkâm al-Qur‟ân, Jilid III, h. 65-69.
148
2. Pengaruh mazhab Hanafi terhadap Metode Istinbath
Hukum
Salah satu cara yang lazim digunakan oleh al-Jassas
dalam melakukan penafsiran adalah metode bi al-Ma‟tsur.
Sekilas metode ini adalah cara yang digunakan oleh mufassir
untuk melakukan penafsiran dengan merujuk pada riwayat
penafsiran yang dilakukan oleh ayat al-Qur‟an terhadap ayat
lainnya, penafsiran ayat dengan keterangan Rasul, Penafsiran
ayat dengan keterangan sahabat-sahabat Rasulullah serta
penafsiran para tabi‟in yakni generasi sesudah sahabat-sahabat
Nabi33
.
Dengan menyajikan pendapat yang ma‟tsur, tidak jarang
al-Jassas juga menampilkan pendapat-pendapat para ulama dari
berbagai mazhab baik yang hidup pada masanya maupun yang
telah mendahuluinya. Dengan menampilkan berbagai macam
pendapat, suasana penyajian tafsir yang dibuat oleh al-Jassas
terlihat seperti penulisan tafsir muqarran di mana penafsiran
tersebut mencoba membandingkan berbagai macam pendapat
lalu mengambil salah satu pendapat tersebut atau menguatkan
salah satu pendapat yang terbaik menurut pemahaman penulis.
Jika dilihat dari mekanisme istinbath hukum yang
dilakukan oleh al-Jassas tidak dapat dipungkiri bahwa
mengumpulkan berbagai macam pendapat dalam tafsirnya
adalah hal yang lazim dilakukan hampir pada semua ayat yang
ia bahas terlebih pada ayat-ayat yang berpotensi terjadinya
perbedaan pendapat di antara para ulama. Namun begitu jika
ditelisik lebih dalam, ada kebiasaan dari al-Jassas yang tidak
bisa ia lepaskan yaitu pengaruh yang sangat kuat dari mazhab
Hanafi. al-Jassas selalu menghadirkan pendapat-pendapat dari
kalangan Mazhab Hanafi atau bahkan pendapat Imam Hanafi
sendiri. Hal ini dapat dilihat dari sumber-sumber yang ia
gunakan dalam penulisan tafsirnya yang berasal dari ulama
33
M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, h. 349 – 351.
149
Hanafiah dan beberapa kitab tulisannya yang merupakan
ringkasan atau syarh kitab-kitab di kalangan mazhab Hanafi34
.
Setelah mengumpulkan segala perbedaan pendapat yang
diambil dari berbagai sumber, al-Jassas akan memberikan
komentar terhadap pendapat yang berbeda dan akan membahas
perbedaan tersebut dengan pembahasan yang panjang dan
terperinci. Pada akhirnya al-Jassas akan mengarahkan
kesimpulan akhir dari perdebatan tersebut kepada menguatkan
pendapat mazhabnya. Pengambilan kesimpulan hukum itu dapat
dilihat diberbagai tempat dalam tafsirnya.
Ada dua cara hal yang menunjukkan fanatisme al-Jassas
sehubungan dengan materi penafsiran yang sangat bernuansa
fikih Hanafiah. Pertama, al-Jassas cenderung berlebihan dalam
melakukan pembelaan terhadap mazhabnya apabila ditemui
adanya perbedaan pendapat di antara para ulama. al-Jassas
terkadang berusaha melakukan ta‟wil secara berlebihan
sehingga mendukung pendapatnya atau cenderung memaksakan
kehendak sesuai pendapat mazhabnya pada saat melakukan
penafsiran suatu dalil35
Kedua, al-Jassas menyerang pribadi
para ulama yang berbeda pendapat dengannya sehingga sangat
terkesan fanatismenya terhadap mazhab. Hal ini ia lakukan di
antaranya kepada Imam Syafi‟i dan Qadhi Ismail Ibn Ishaq al-
Mâliki36
.
34
Penulis telah menyebutkan pada sub bab sebelumnya tentang kitab-
kitab hasil karya dari al-Jassas serta kecendrungannya terhadap mazhab
Hanafi dalam karya-karyanya termasuk magnum opus -nya tafsir ahkâm al-
Qur‟ân. 35
al-Jassas melakukan ta‟wil terhadap Qs. Al-Baqarah [2]:232 di
mana ia menyimpulkan bahwa ayat ini bisa digunakan sebagai dalil
kebolehan bagi perempuan untuk menikahkan dirinya sendiri tanpa wali dan
tanpa memerlukan izin dari Wali. 36
Penulis telah uraikan perlakuan al-Jassas terhadap para ulama yang
berbeda pendapat dengannya pada sub bab sebelumnya terkait pembelaan
yang berlebihan terhadap mazhab Hanafi.
150
C. Penilaian para ulama terhadap fanatisme al-Jassas
dalam tafsir ‘Ahkâm al-Qur’ân.
Tafsir karya al-Jassas diakui sebagai tafsir yang cukup
kredibel di kalangan mazhab hanafi maupun di kalangan
pengkaji tafsir dan fikih pada umumnya. Pengakuan tersebut
memang pantas diberikan kepada al-Jassas karena hasil
karyanya ini memberikan sumbangsih yang sangat besar bagi
perkembangan pembahasan perbandingan mazhab dan tafsir
dengan corak fikih dan hukum.
Meskipun dapat menghadirkan sebuah karya yang
berkualitas, al-Jassas tidak bisa menghindarkan diri dari
subjektifitas tafsir yang tinggi. Subjektifitas ini terlihat dari
kentalnya pengaruh mazhab Hanafi dalam uraian-uraian
penafsirannya. Meskipun tetap berusaha objektif dengan
melakukan perbandingan-perbandingan (muqaranah) pada
setiap pembahasan hukum yang di dalamnya banyak terjadi
perbedaan pendapat, namun pada kesimpulan akhirnya al-Jassas
kerapkali mengunggulkan pendapat dari kalangan mazhab
Hanafi.
Mengasumsikan bahwa penulisan sebuah tafsir akan
steril dari subjektifitas atau kepentingan penulisnya adalah hal
yang hampir mustahil. Hal itu dikarenakan aktivitas penafsiran
berlangsung dalam kesadaran individual yang telah
terkondisikan oleh banyak faktor misalnya latar belakang, sosio
historis, pendidikan bahkan aliran atau mazhab tertentu baik
dalam konteks teologis atau pemahaman hukum (Mazhab).
Penafsir pada umunya telah memiliki motif-motif tertentu
dalam melakukan penafsiran yang mempengaruhi objektifitas
penafsirannya37
.
Contohnya para ahli hukum, di dalam alam bawah
sadarnya telah terbentuk pemahaman hukum tertentu sehingga
pada saar menafsirkan al-Qur‟an maka corak hukum pun akan
37
Wardani, “Obyektivitas dan Subyektivitas Tafsir Teologis:Dari
Metode Konvensional “Ulum al-Qur‟ân hingga Hermeneutika Nasr Hamid
Abu Zayd” Ilmu Ushuluddin, Vol. 6 No. 2, Juli 2007.
151
muncul. Dalam konteks yang paling subjektif, penafsir
menggunakan ayat-ayat al-Qur‟an untuk mendukung
pendapat/mazhab yang dianutnya, sehingga mereka menjadikan
al-Qur‟an mengikuti pendapatnya, bukannya menjadikan al-
Qur‟an sebagai dasar dan pendapatnya mengikuti tuntunan al-
Qur‟an38
.
1. Tingginya Subjektifitas Tafsir al-Jassas
Jika melihat subjektifitas tafsir yang dilakukan oleh al-
Jassas yang menyebabkan munculnya fanatisme dan taklid
maka ada dua aspek penting yang perlu dilihat yaitu Pertama
latar belakang kehidupan al-Jassas dan Kedua sumber-sumber
penulisan al-Jassas.
Aspek latar belakang al-Jassas telah penulis uraikan
secara komprehensif pada bab sebelumnya. al-Jassas dilahirkan
pada tahun 305 Hijriah. Pada masa perkembangan ilmu
pengetahuan keIslaman terutama ilmu hukum sudah
menunjukkan era yang cukup mapan. Sendi-sendi pembahasan
ilmu hukum telah diletakkan dengan kokoh oleh para ulama
pendiri mazhab. Para ulama pada saat ini tidak lagi berkutat
pada ide-ide baru dalam meletakkan sendi-sendi ilmu ushul
namun lebih pada melakukan pengembangan dan penyusunan
kaidah-kaidah yang telah ada. Para ulama banyak melakukan
penjelasan atau bahkan meringkas kitab-kitab hasil karya ulama
terdahulu. Pada masa ini justru tumbuh subur mazhab-mazhab
hukum yang diikuti oleh para ulama. Berkurangnya ide-ide baru
pengembangan ilmu pengetahuan cenderung membuat umat
Islam bertaklid pada apa yang sudah ada sehingga
memunculkan fanatisme antar mazhab terutama mazhab-
mazhab fikih.
Menurut para ahli sejarah hukum, masa kelahiran al-
Jassas adalah masa yang bertepatan pada penghujung akhir dari
era keemasan Islam39
. Era ini bukan ditandai dengan
38
M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, h. 368. 39
Jaih Mubarok, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, h. 132.
152
berkurangnya karya-karya para ulama dilihat dari segi penulisan
namun berkurangnya ide-ide segar penulisan karya ilmiah
sehingga yang disusun adalah penjelasan atau ringkasan karya
ulama terdahulu. al-Jassas melakukan hal yang sama
sebagaimana dilakukan oleh para ulama-ulama mazhab di
masanya. Mereka memberikan penjelasan-penjelasan terhadap
matan-matan yang dibuat oleh ulama-ulama terdahulu atau
meringkas kitab-kitab ulama terdahulu agar memudahkan untuk
dipahami oleh umat Islam pada masa itu.
Latar belakang al-Jassas yang sesuai dengan yang
digambarkan para ahli sejarah Islam membenarkan sikap
fanatisme yang mempengaruhi corak penafsirannya. Pada masa
al-Jassas telah terbentuk polarisasi mazhab-mazhab hukum
yang telah mapan sehingga masing-masing pendukung mazhab
telah memiliki pegangan dan ikatan yang kuat yang cenderung
memberikan pembelaan terhadap mazhabnya masing-masing.
Wujud pembelaannya ini dapat terlihat dari hasil karya-karya
yang telah terpolarisasi dalam karya-kaya fikih mazhab
termasuk juga pada penafsiran-penafsiran ayat-ayat hukum.
Pengaruh latar belakang al-Jassas adalah faktor penting
mengapa fanatisme itu ada dalam beberaapa aspek pembahasan
tafsirnya. Hal ini ia lakukan dengan memberikan pembelaan
berlebihan terhadap pendapat mazhab yang dianutnya,
melakukan ta‟wil terhadap dalil-dalil tertentu baik dalam nash
al-Qur‟an maupun hadis agar bisa digunakan sebagai penguat
pendapat mazhabnya atau untuk melemahkan pendapat mazhab
lain. al-Jassas juga dalam beberapa kesempatan melakukan
penyerangan kepada pribadi ulama lain ketika terjadi perbedaan
pendapat di antara mereka. Hal ini ia lakukan terhadap ulama
mazhab Maliki dan kepada Imam Syafi‟i.
Hal lain yang juga mempengaruhi tingginya subjektifitas
al-Jassas adalah sumber-sumber penulisan utama yang dikutip
oleh al-Jassas. Sebagai seorang ulama yang dikenal dalam
mazhab Hanafi. al-Jassas memang sangat mencolok dalam
memegang teguh mazhab Hanafi. Ini terbukti dalam buku-buku
153
karyanya yang sebagian besar berisi tentang aspek-aspek
hukum dalam corak mazhab Hanafi. Buku-buku yang sangat
mempengaruhi penulisan tafsir Ahkâm al-Qur‟ân yang
merupakan karyanya sendiri adalah Syarh Mukhtasar al-
Karakhy, Syarh Mukhtasar al-Thahawy, Syarh al-Jami‟ li
Muhammad Ibn Hasan, Syarh al-Asma al-Husna, Adab al-
Qadha‟, ushul al-Fiqh dan al-Asyrabah. Sedangkan guru-
gurunya dari kalangan Hanafiah yang juga sangat banyak
dikutip pendapatnya dalam berbagai kesempatan adalah Imam
al-Karakhi dalam bidang fikih dan ushul fiqh, Abdul Baqi ibn
Qani‟, al-Hafidz al-Thabrani, Abi Abbas al-Asom dan al-Hakim
dalam bidang hadis, Abi Ali al-Farisi, Abi Umar Ghulam
Tsa‟lab al-Nahwi dan Abi Sahl al-Djujaji dalam bidang bahasa.
Al-Karakhi, gurunya dalam bidang fikih dan ushul fiqh sangat
mempengaruhi pemikiran al-Jassas dan banyak disebut dalam
penafsirannya pada kitab Ahkâm al-Qur‟ân. Al-Karakhi ini
adalah salah satu ulama besar mazhab Hanafi yang sangat
fanatik. Dalam satu kesempatan, al-Karakhi pernah mengatakan
bahwa setiap ayat atau hadis yang menyalahi pendapat di
kalangan hanafiah maka ayat tersebut harus di ta‟wil atau di
nasakh40
.
2. Komentar para Ulama terhadap Fanatisme al-
Jassas
Tak ada gading yang tak retak. Begitulah mungkin
penggambaran yang cocok untuk sedikit cela yang ada pada
tafsir Ahkâm al-Qur‟ân. Terlepas dari kualitas yang dimiliki
oleh tafsir tersebut jika dilihat dari isinya yang menggambarkan
corak fikih yang komprehensif, Ahkâm al-Qur‟ân tidak bisa
melepaskan diri dari identitasnya sebagai sebuah tafsir yang
condong kepada mazhab Hanafiah. Keberpihakan pada mazhab
ini dapat banyak dilihat pada isi tafsirnya sebagaimana telah
penulis uraikan dan contohkan sebelumnya.
40
al-Dzahabi, Al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, Juz 2, h. 381
154
Para ulama pun mengomentari fanatisme yang kentara
pada tafsir ini. Di antara ulama yang berkomentar adanya
fanatisme dalam penulisan tafsir Ahkâm al-Qur‟ân ini adalah
Muhammad Hussein al-Dzahabi dalam bukunya yang menjadi
pedoman banyak penuntut ilmu di bidang ulûm al-Qur‟ân yaitu
kitab Tafsĭr wa al-Mufassirûn. al-Dzahabi memberikan
beberapa contoh-contoh penafsiran yang cenderung beraroma
fanatisme.
Contoh-contoh penafsiran yang cenderung beraroma
fanatisme adalah penafsiran Qs. Al-Baqarah [2]:186. Pada ayat
ini al-Jassas berusaha dengan keras menjadikan ayat ini sebagai
dalil bahwa orang-orang yang telah memulai puasa sunnah,
wajib untuk menyempurnakan puasanya hingga berbuka. Ayat
lain yang dicontohkan oleh al-Dzahabi adalah Qs. Al-Baqarah
[2]:232. Pada ayat ini al-Jassas berusaha berdalil dengan ayat
ini dari beberapa aspek bahwa pernikahan wanita yang juga
bisa dilakukan tanpa wali dan tanpa izin dari walinya. Ayat lain
yang menjadi contoh adalah Qs. Al-Nisa [4]: 2 dan 6 yang ia
jadikan dalil bagi mazhab Hanafi sebagai kewajiban
memberikan harta anak yatim apabila telah sampai umur 25
tahun41
.
Ulama lain yang berpendapat sama adalah Manna al-
Qattan. al-Qattan mengatakan bahwa al-Jassas memiliki
fanatisme yang kental terhadap mazhabnya sehingga berefek
pada penafsiran dan pentakwilan suatu ayat. Akibatnya,
penafsiran yang dilakukannya bias mazhab. al-Jassas dianggap
ekstrim dalam membantah pendapat-pendapat yang berbeda
dengannya. Beliau berpendapat bahwa al-Jassas terlalu keras
dalam memberikan bantahan-bantahan atau pembelaan
terhadap mazhab yang dia anut dalam tafsirnya. Orang-orang
yang membacanya pun akan merasa jengah dan enggan karena
terlalu kasar dan kerasnya pembelaan terhadap mazhab yang
dianutnya42
.
41
al-Dzahabi, Al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, Juz 2, h.386-387 42
al-Qattan, Pengantar Studi al-Qur‟ân, h. 469.
155
Sebagai respon dari pembelaan berlebihan yang
dilakukan oleh al-Jassas, ulama dari golongan syafi‟iyah yang
juga mengarang kitab tafsir dengan corak hukum mengecam
keras sikap permusuhan yang ditunjukkan oleh al-Jassas
terhadap pemahaman mazhab Syafi‟i dan kepada sang pendiri
mazhab Syafi‟i. Beliau adalah al-Kiyâ al-Harrasi. Al-Harrasi
juga merupakan ulama yang fanatik terhadap mazhabnya
sehingga merasa berkepentingan untuk menjawab tuduhan-
tuduhan dan klaim-klaim keras yang diberikan oleh al-Jassas
dalam penulisan tafsirnya. Kiya al-Harrassi membalas apa yang
dilakukan oleh al-Jassas terhadap Imam Syafi‟I melalui
tafsirnya sendiri yang juga bercorak hukum43
.
43
al-Kiyâ al-Harrâsi, Ahkâm al-Qur‟ân, (Lebanon: Maktabah al-
„Ilmiyah, 1983) h. 393.
157
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang telah penulis lakukan,
fanatisme mazhab dalam tafsir ahkâm al-Qur’ân karya al-Jassas
itu memang ada. Bentuk fanatisme dalam tafsir tersebut adalah
adanya pembelaan yang berlebihan sehingga mengurangi
objektifitas al-Jassas dalam melakukan istinbath hukum.
Pembelaan ini dilakukan oleh al-Jassas pada saat menguraikan
dalil-dalil hukum yang berbeda dengan pendapat mazhab-
mazhab lain. Fanatisme al-Jassas juga ditunjukkan dengan
melakukan tindakan yang merendahkan bahkan melecehkan
pendapat orang lain yang berbeda dengan kata-kata yang kasar
yang tidak mencerminkan toleransi terhadap perbedaan
pendapat yang terjadi di antara umat Islam.
Penelitian ini juga menemukan bahwa penafsiran-
penafsiran ayat-ayat hukum yang memiliki bias fanatisme akan
menyebabkan masuknya penafsiran-penafsiran yang mengan-
dung kecacatan atau penafsiran-penafsiran al-Dakhil.
B. Rekomendasi
Berdasarkan kesimpulan penelitian yang penulis
lakukan di atas, bias fanatisme sangat mungkin muncul dalam
sebuah penafsiran. Tafsir Ahkâm al-Qur’ân al-Jassas tidak
diragukan kualitas dan kredibilitasnya dan banyak digunakan
sebagai pedoman dalam ilmu fikih karena coraknya yang sangat
kental dengan aspek fikih. Namun begitu kitab ini tidak bisa
menghindar dari banyaknya konten fanatisme sehingga
mengurangi kualitas penulisan tafsir tersebut. Oleh karenanya
fakta bahwa adanya realitas fanatisme dalam penulisan sebuah
tafsir memunculkan pandangan bahwa diperlukannya suatu
mekanisme terperinci dan komprehensif agar ke depan dapat
disusun sebuah pedoman kritik tafsir yang dapat membantu
158
penafsir atau para pengkaji tafsir untuk menghasilkan kualitas
tafsir atau pembacaan tafsir yang lebih objektif.
Metode kritik tafsir ini bisa di susun dengan
memasukkan aspek fanatisme sebagai bagian dari konsep al-
Dakhil dalam al-Qur’ân dengan definisi dan batasan yang bisa
diterima secara objektif dan ilmiah. Dengan begitu para penafsir
dan pengkaji tafsir dapat berpedoman pada suatu konsep
metode kritik tafsir yang ilmiah sehingga dapat mencegah
penulisan tafsir yang bias fanatisme dan mengurangi resiko
penulisan tafsir yang subjektif dan parsial.
159
DAFTAR PUSTAKA
Abu Suhbah, Muhammad Ibn Muhammad, al-Isrâîliyyât wa al-
Maudûât fî kutub al-Tafsîr. Mesir: Dâr al-Sunnah, 1408
H.
al-Asfahânî, al-Râghib. Mu’jam Mufradât Alfâzh al-Qur’ân,
Beirut Dâr al-Fikr. T.t
Baidan, Nashruddin. Wawasan Baru Ilmu Tafsir, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2011
Bogdan, Robert C. & Sari Knopp Biklenn. Qualitative Research
for Education: An Introduction to Theory and
Methode. London: Allyn and Bacon, Inc, 1982.
Al-Dzahabi, Muhammad Hussein. al-Isrâiliyyât fî al-Tafsîr wa
al-hadîs. Kairo:Maktabah al- Wahbah, t.t.
_______. al-Tafsȋr wa al-mufassirûn. Mesir, Daar al-
Hadits,2005. vol. 1
_______. al-ittijâhât al-munharifat fî al-Tafsîr al-Qur’ân al-
Karîm: Dawâfiuha wa Dafâuha. Kairo: M aktabah al-
Wahbah, 1986.
Hadi, Amirul & H. Haryono. Metodologi Penelitian
Pendidikan. Bandung: Pustaka Setia, 1998.
Hallaq, Wael B. Sejarah Teori Hukum Islam: Pengantar untuk
Ushul Fiqh dan Mazhab Sunni, Penerjemah E.
Kusnadiningrat, Abdul Haris bin Wahid Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2000.
Haq, Abdul, dkk. Formulasi Nalar Fiqh: Telaah Kaidah Fiqh
Konseptual, Cet. II, Surabaya: Khalista, 2006
Hitti, Philip K. History of Arab. Penerjemah R. Cecep Lukas
Yasin dan Dedi Slamet Riyadi. Jakarta: Serambi, 2008,
Cet. I
Iyaziy, Muhammad Ali. al-Mufassirûn: Hayâtuhum wa
manhâjuhum, Teheran: Kementrian Pendidikan dan
Kebudayaaan Islam, 1386 H.
160
al-Jassas, Abu Bakr Ahmad Ibn „Alî al-Râzî, Ahkâm al-Qur’ân.
Beirut: Al-Ihya al-Turats al-„Arabi‟. 1992.
Ka‟bah, Rifyal. Penegakan Syariat Islam di Indonesia, Jakarta:
Khairul Bayan, 2004.
_______. Hukum Islam di Indonesia Perspektif Muhammadiyah
dan NU, Jakarta: Universitas Yarsi, 1999.
Kultsum, Lilik Ummi dan Ghazali, Abd. Moqsith. Tafsir Ayat-
ayat Ahkam, Ciputat: UIN Press, 2015.
Khalilupethes, Shafwat Mustafa. Al-Imam Abu Bakar al-Râzî
al-Jassas wa Manhajuhu fî al-tafsîr. Kairo: Dâr al-
Salâm, 2008.
al-Khâlidi, Shalah Abd al-Fattah, al-Tafsîr al-Maudhû’î Baina
al-Zurriyah wa al-Tatbîq. Dâr al-Nafâis, 1997.
al-Kiyâ al-Harrâsi, Ahkâm al-Qur’ân, Lebanon: Maktabah al-
„Ilmiyah, 1983.
Krippendorf, Klaus. Content Analysis: An Introduction to its
Methodology. California: Sage Publication, 2004.
Mahmud, Mani‟Abd Halim. Metodologi Tafsir: Kajian
Komprehensif Metode Para Ahli Tafsir, terj. Syahdianor
dan Faisal Saleh. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2006.
Mas‟adi, Ghufron A. Pemikiran Fazlur Rahman tentang
Metodologi Pembaharuan Hukum Islam, Jakarta:
Rajawali Press, 1997.
Mibadi, Muhammad Fakir. Ayat-ayat Hukum dalam Pandangan
Imamiyah dan Ahlusunna., Penerjemah Sirojudin,
Jakarta: Nur Huda, 2014.
Mubarok, Jaih. Sejarah dan perkembangan Hukum Islam.
Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2000.
Nasution, Harun. Falsafat dan Mistisisme Islam. Jakarta: UI-
Press, 1973.
Nawawi, Hadari. Metodologi Penelitian Bidang Sosial.
Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1991.
161
Qadir, Jum‟ah Ali Abdul. al-Dakhîl Fi al-Dirasah al-
Manhajiyah wa al-Namadij al-Tatbiqiyah. Kairo:Al
Azhar Press, 2006.
al-Qaradâwi, Yusuf. Fiqih Maqashid Syariah. Penerjemah Arif
Munandar Riswanto. Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2006.
_______. Fiqh Perbedaan Pendapat. Penerjemah Aunur Rafiq
Shaleh Tamhid. Jakarta: Rabbani Press.1990.
al-Qattan, Manna. Pengantar Studi Ilmu al-Quran. Penerjemah
Aunur Rafiq el-Mazni. Jakarta: Pustaka al-Kautsar,
2006.
________. Sejarah Legislasi Hukum Islam. Penerjemah
Habibussalam. Jakarta:Ummul Qura, 2018.
Rohman, Izza. Tafsîr al-Qur’ân bi al-Qur’ân: Sectraian
Tendencies in al-Tabatba’î’s al-Mîzân and al-Shanqîtî’s
Adwâ’ al-Bayân. Ciputat: Al-Wasat Publishing House,
2016.
Sopyan, Yayan Tarikh Tasyri’: Sejarah Pembentukan Hukum
Islam, (Depok: Gramata Publishing, 2010.
Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam
Indonesia. Jakarta: Djambatan, 1992.
Wehr, Hans. A Dictionary of Modern Written Arabic, London:
Macdonald &Evans Ltd., 1980.
al-Suyuti, Jalalluddin. al-Itqan fi al-Ulûm al-Qur’an.
Beirut:Daar al-Kutub al-Alamiyah, 2015.
Shihab, M.Quraish. Kaidah Tafsir : Syarat, Ketentuan, dan
Aturan yang Patut Anda Ketahui dalam Memahami
Ayat-Ayat al-Qur’an. Tangerang:Lentera Hati, 2013.
Shihab, Umar. Kontekstualitas Al-Qur’ān, Kajian Tematik atas
Ayat-Ayat Hukum dalam Al-Qur’ān. Jakarta:
Penamadani, 2003.
al-Shiddiqi, T.M Hashbi. Pokok-pokok Pegangan Imam-imam
Madzhab dalam Membina Hukum Islam. Jakarta: Bulan
Bintang, 1973.
Syuhbah, Muhammad abu. al- Isrâiliyyât wa al-Maudu’at fî
Kutub al-Tafsîr. Kairo:Maktabah al-Sunnah, 1408 H.
162
Sirry, Mun‟im A. Sejarah Fiqih Islam : Sebuah Pengantar,
(Surabaya: Risalah Gusti, 1995.
al-„Ulwani, Thaha Jabir Fayadl 1987. Adab al-Ikhtilaf fi al-
Islam. Washington: The International Institute of
Islamic Thought.
al-Zuhaili, Wahbah. Tafsir al-Munir: Aqidah, Syari’ah, dan
Manhaj Jilid 3. Penerjemah Abdul Hayyie al Kattani
dkk (Jakarta: Gema Insani Press, 2005.
Zuhri, Muhammad. Hukum Islam dalam Lintasan Sejarah.
Jakarta: Rajawali Press. 1997.
Majalah Ka’bah,
Rifyal “Islamic Law”, dalam majalah triwulan Muslim
Executive & Expatriate, Jakarta, Muharram 1, 1420 H.
Artikel
Saeedullah, “Life and Works of Abu Bakr al-Razi al-Jassas”,
Islamic Studies, Vol. 16, No. 2, 1997.
Moh. Sabiq dan Dyah Ayu Fitriani, “Kajian Kritis Atas Ahkâm
al-Qur‟ân Karya al-Jassas” (W.370 H.), Program Studi
Ilmu al-Qur‟an dan Tafsir, Sekolah Tinggi Agama Islam
Sunan Pendanaran.
Wardani, “Obyektivitas dan Subyektivitas Tafsir Teologis:Dari
Metode Konvensional Ulum al-Qur’ân hingga
Hermeneutika Nasr Hamid Abu Zayd” Ilmu
Ushuluddin, Vol. 6 No. 2, Juli 2007.
163
IDENTITAS PENULIS
MUQTHI ALI, dilahirkan pada tanggal
24 Januri 1983. Beliau berhasil
mendapatkan gelar Sarjana dibidang
ilmu Hukum dari Fakultas Hukum
Universitas Indonesia Pada Tahun 2005
dan berhasil mendapatkan gelar
Magister Agama di bidang Ilmu al-
Qur’an dan Tafsir dari Fakultas
Ushuluddin Universitas Islam Negeri
Jakarta.
Pada saat ini beliau aktif sebagai
Advokat dan Konsultan Hukum pada
salah satu firma hukum terkemuka di Indonesia Umbra
Partnership. Beliau menunjukkan minat pada bidang ilmu
Hukum, Hukum Islam serta Ilmu al-Qur’an dan Tafsir.
Spesialisasi bidang hukumnya adalah Foreign Investment.
Beliau aktif sebagai penggiat Good Corporate Governance
serta tercatat sebagai Certified Sustainable Reporting Specialist
yang dikeluarkan oleh National Center for Sustainability
Reporting. Beliau memiliki pengalaman panjang dalam bidang
konsultasi GCG dan telah berkarier sebagai Executive Secretary
pada Forum for Corporate Governance in Indonesia selama
lebih dari 4 tahun.
Sebagai seorang profesional muda, Muqthi Ali telah
aktif terlibat dalam kegiatan pengembangan GCG baik yang
berskala nasional maupun internasional seperti Asean
Rountable on Corporate Governance dan OECD Network on
State Owned Enterprises. Muqthi Ali juga pernah menjabat
sebagai Legal Manager pada Lembaga Kamar Dagang Eropa
yaitu Belgium, Netherlands Luxemborg Charmber of Commerce
dan Legal Adviser pada PT Pertamina Patra Niaga.