kadah taqlid

Upload: rangga-munggaran

Post on 14-Apr-2018

273 views

Category:

Documents


7 download

TRANSCRIPT

  • 7/29/2019 kadah taqlid

    1/127

    i

    Syamsuddin Ramadlan al-Nawiy

    KAEDAH-KAEDAH TAQLIDTuntunan Islam Dalam Memilih dan Mengikuti Pendapat

  • 7/29/2019 kadah taqlid

    2/127

    ii

    MEMAHAMI KONSEP IJTIHAD DAN TAQLID

    DENGAN BENAROleh : KH. M. Shiddiq al-Jawi

    asalah ijtihad dan taqlid, merupakan salah satu isu besar

    yang direspons dengan antusiasme sangat tinggi di

    kalangan umat Islam. Betapa tidak, seluruh intelektual

    muslim terkemuka sejak abad ke-18 hingga ke-20 M, baik ulama

    reformis dan revivalis yang berideologi Islam, seperti Syah Waliyullah

    al-Dahlawi (1702-1762), maupun intelektual modernis berideologi

    sekuler, seperti Sayyid Ahmad Khan (1817-1898), senantiasa

    mendorong ijtihad di tengah umat dan bahkan mempraktikkannya.

    Semuanya sepakat ingin membuka dan bahkan mendobrak pintu

    ijtihad untuk mengatasi kemerosotan berpikir umat Islam yang telah

    berlangsung lama sejak ditutupnya pintu ijtihad pada abad ke-4 H.

    Namun sejauh ini usaha itu nampaknya belum berhasil secaragemilang. Buktinya, secara kuantitas, praktik ijtihad masih langka.

    Mujtahid masih sangat sedikit di tengah-tengah umat. Secara kualitas

    pun, konsep ijtihad itu sendiri kadang dipahami secara kurang tepat

    dan bahkan dipahami secara salah.

    Tentang langkanya mujtahid, hal ini sangat jelas. Coba, apakah Anda

    tahu, siapa mujtahid yang ada di negeri Anda sekarang ini? Bahkan

    bukan hanya sekarang, sejak jaman keemasan Islam pun, jumlahmujtahid memang relatif sangat sedikit dibandingkan dengan jumlah

    ulama di bidang lainnya (hadits, tafsir, dan sebagainya). Hal ini wajar,

    sebab untuk menjadi seorang faqih (mujtahid) ilmu-ilmu yang harus

    dikuasainya sangat banyak sehingga tak banyak orang yang mau

    mencurahkan seluruh waktu hidupnya untuk menguasai ilmu-ilmu

    itu. Di masa kejayaan Islam itu, jumlah mujtahid kira-kira 10 % saja

    dari jumlah ulama di bidang-bidang ilmu keislaman lainnya. Abu

    M

  • 7/29/2019 kadah taqlid

    3/127

    iii

    Muhammad ar-Ramahurmuzy dalam kitab al-Fashil meriwayatkan

    dari Asyat bin Anas bin Sirin,"Aku telah mendatangi kota Kufah maka

    aku lihat di dalamnya ada 4000 orang yang sedang mempelajarihadis, dan ada 400 orang yang menjadi faqih [mujtahid]." (Fathi

    Muhammad Salim, al-Istidlal bi azh-Zhanni fi al-Aqidah, Beirut :

    Darul Bayariq, 1994, hal. 32).

    Tentang konsep ijtihad itu sendiri, kadang-kadang ia dipahami secara

    kurang tepat, sehingga malah menjadi kontraproduktif dengan upaya

    menggalakkan ijtihad di tengah umat. Pada masa Imam Suyuthi (849-

    911 H), berkembang pesat paham yang mengatakan bolehnya zuatu

    zaman kosong dari adanya mujtahid. Maka dari itu, ketika Imam

    Suyuthi memproklamirkan kepada publik bahwa dirinya adalah

    seorang mujtahid, masyarakat awam pun tidak percaya dan bahkan

    mengecam beliau dengan keras. Imam Suyuthi pernah

    mengumumkan,"Sungguh telah sempurna padaku alat-alat untuk

    berijtihad, alhamdu lillah. Kalau Anda menginginkan aku untuk

    menulis sebuah kitab untuk setiap masalah, lengkap dengan dalil-

    dalil naqli dan qiyasnya, disertai dasar-dasarnya, bantahan-

    bantahannya, jawaban-jawabannya, serta perbandingan pendapat di

    antara berbagai mazhab pada masalah itu, niscaya aku mampu untuk

    melakukannya, alhamdu lillah." (Imam Suyuthi, Husnul Muhadharah,

    Juz I hal. 339).

    Imam Suyuthi pun kemudian meluruskan paham yang kurang tepat

    mengenai ijtihad tersebut dengan menjelaskan tidak bolehnya suatuzaman kosong dari mujtahid. Mujtahid wajib ada pada setiap masa.

    Beliau menulis kitab al-Radd Ala Man Akhlada ila al-Ardh wa Jahila

    anna al-Ijtihad Fardhun fi Kulli Ashrin (Bantahan Kepada Orang Yang

    Ingin Hidup Kekal di Bumi dan Tidak Tahu Bahwa Ijtihad Itu Fardhu

    Untuk Setiap Masa). Imam Suyuthi juga menulis kitab Taysir al-Ijtihad

    (Memudahkan Ijtihad), yang dimaksudkan agar umat tidak

    menganggap ijtihad sebagai hal yang super sulit, namun suatu hal

  • 7/29/2019 kadah taqlid

    4/127

    iv

    yang mudah dan mungkin, selama syarat-syaratnya terpenuhi dengan

    sempurna.

    Dalam kitab Taysir al-Ijtihadini, Imam Suyuthi menukilkan beberapa

    riwayat yang menggugah. Antara lain beliau menukilkan perkataan

    Syaikh Muhibuddin --ayah Syaikh Taqiyuddin Ibnu Daqiqil Ied--

    dalam kitabnya Talqih Al-Afham yang berkata,"Menjadi mujtahid

    telah dianggap berat pada masa sekarang ini. Hal itu bukanlah karena

    sulitnya mencari alat-alat ijtihad, melainkan karena berpalingnya

    manusia dari kesibukan yang akan menghantarkan mereka pada

    ijtihad." Imam Suyuthi juga menukilkan pendapat sebagian ulama

    yang menegaskan,"Ijtihad pada zaman ini (zaman Imam Suyuthi, red),

    lebih mudah daripada zaman permulaan Islam, sebab alat-alat ijtihad

    berupa hadits-hadits dan lain-lain telah dibukukan dan mudah untuk

    dirujuk. Ini beda dengan zaman permulaan Islam, sebab saat itu tak

    ada satu pun alat-alat ijtihad yang terbukukan." (Imam Suyuthi,

    Taysir al-Ijtihad, Makkah : Maktabah Tijariyah, hal. 28).

    Pada masa sekarang, kesalahpahaman tentang ijtihad lebih gila lagi.

    Kini ada kesalahpahaman ekstrem tentang ijtihad yang

    didemostrasikan sangat gamblang oleh kelompok Islam liberal

    (sekuler). Ini menjadi bukti lain belum berhasilnya upaya melahirkan

    ijtihad yang sahih di tengah-tengah umat. Kesalahan ekstrem ini jelas

    hanya akan menyesatkan umat dari hakikat ijtihad yang sebenarnya.

    Menurut kaum liberal, ijtihad bukan dipahami sebagai usahasungguh-sungguh untuk mengistinbath hukum syariah dari dalil-dalil

    syariah, melainkan sebagai upaya untuk menyesuaikan hukum Islam

    dengan realitas masyarakat yang telah diformat dalam citra ideologi

    kontemporer (kapitalisme-sekuler). Taufik Adnan Kamal dan Samsu

    Rizal Panggabean mengatakan,"Dalam debat-debat modern,

    pentingnya aplikasi ijtihad dikaitkan dengan kemungkinan yang

    diberikannya untuk menyegarkan pemahaman Islam dan hukum

  • 7/29/2019 kadah taqlid

    5/127

    v

    Islam selaras dengan kondisi masyarakat kontemporer." (Politik

    Syariat Islam dari Indonesia Hingga Nigeria, Jakarta : Pustaka

    Alvabet,2004, hal. 196).

    Benar bahwa ijtihad memang dimaksudkan untuk menghadapi

    tantangan zaman kekinian. Tapi bagi kaum liberal, ijtihad bukan

    dipahami sebagai upaya menghukumi realitas kontemporer dengan

    hukum Islam, melainkan upaya mengubah dan menyesuaikan hukum

    Islam agar cocok dengan realitas kontemporer. Dalam konsep ijtihad

    yang sahih, realitas tidak diasumsikan sebagai standar yang selalu

    dianggap benar. Sebab realitas itu bukanlah wahyu yang pasti benar,

    melainkan fakta yang tengah terjadi, yang bisa benar (sesuai wahyu)

    dan bisa juga tidak benar (menyimpang dari wahyu). Sebaliknya

    dalam benak kaum liberal, realitas telah dijadikan standar dan

    dianggap sebagai kebenaran mutlak, sedangkan wahyu diasumsikan

    sebagai sesuatu yang relatif dan harus mengikuti serta tunduk pada

    realitas itu.

    Bukti yang jelas untuk cara berpikir merusak itu adalah adanya draft

    CLD KHI (Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam) yang

    dimaksudkan sebagai usulan RUU alternatif untuk mengganti

    Kompilasi Hukum Islam yang berlaku di lingkungan Peradilan Agama.

    Tapi alhamdulillah draft itu sudah dibatalkan oleh Menteri Agama

    Maftuh Basyuni.

    Namun yang menyedihkan, Ketua Tim Pengarusutamaan GenderDepag, Dr Siti Musdah Mulia, yang memimpin penyusunan draft itu

    tanpa malu-malu berani mengklaim bahwa draft CLD KHI itu adalah

    hasil ijtihad. (Tempo, 7 Nopember 2004, hal. 47).

    Padahal draft tersebut telah melahirkan sejumlah pasal yang

    menyeleweng jauh sekali dari Islam. Misalnya, mengharamkan

    poligami (pasal 3 ayat 2), menyamakan bagian waris pria dan wanita

  • 7/29/2019 kadah taqlid

    6/127

    vi

    (pasal 8 ayat 3), menghalalkan perkawinan dalam jangka waktu

    tertentu (pasal 28), menghalalkan perkawinan antar agama secara

    bebas (pasal 54), dan sebagainya. Ini semua terjadi karena parapenyusun CLD KHI telah menundukkan hukum Islam di bawah realitas

    kontemporer yang dibentuk oleh nilai-nilai peradaban Barat, yaitu

    nilai-nilai gender, pluralisme, hak asasi manusia, dan demokrasi.

    Dengan kata lain, draft itu lahir sebagai hasil kesalahpahaman

    ekstrem dalam memahami hakikat makna ijtihad.

    Senapas dengan konsep ijtihad di atas, konsep taqlid juga tak jarang

    kurang dipahami dengan baik oleh umat Islam. Tak jarang ulama

    memilih pendapat secara seenaknya tanpa kaedah dan tanpa

    standar. Fatwa ulama akhirnya ditundukkan kepada kepentingan dan

    hawa nafsu manusia. Kita masih ingat, pada pertengahan tahun 80-

    an, Prof KH Ibrahim Hosen LML (Komisi Fatwa MUI saat itu)

    mengeluarkan fatwa bolehnya judi undian PORKAS. Fatwa itu

    dimaksudkan untuk menyukseskan pembangunan, khususnya bidang

    olah raga. Padahal PORKAS jelas-jelas merupakan judi (maysir) yang

    haram hukumnya.

    Selain itu, paham relativisme yang banyak bercokol di benak kaum

    liberal, menambah parah kesalahpahaman seputar taqlid ini."Semua

    adalah relatif (All is relative)," begitulah slogan mereka. Padahal

    slogan ini bukan dari ulama apalagi dari Al-Qur`an dan As-Sunnah,

    melainkan dari Michael Fackerrell, seorang missionaris Kristen asal

    Amerika Serikat (Hamid Fahmi Zarkasyi, "Kebenaran", MajalahIslamia, Vol III, No. 1, Th 2006).

    Yang repot, paham relativisme Kristiani itu akhirnya dimasukkan ke

    dalam wacana keislaman, lalu dihasilkan dikotomi begini : yang

    berasal dari Tuhan, absolut kebenarannya. Sedang kalau dari

    manusia, sifatnya relatif, siapa pun juga manusia itu. Maka

    pemahaman Imam Syafii, Imam Maliki, atau imam siapa pun, semua

  • 7/29/2019 kadah taqlid

    7/127

    vii

    relatif. Dan karena semuanya relatif, kita boleh memilih atau bahkan

    membuang pendapat mereka dengan bebas.

    Berangkat dari dikotomi yang absurd itu, kaum liberal akhirnya

    memasukkan "fatwa-fatwa" mereka agar dianggap bagian dari

    pendapat ulama yang boleh untuk ditaqlidi umat Islam. Hmm, enak

    benar,ya? Buku Fiqih Lintas Agama (2004) yang ditulis Nurcholish

    Madjid dkk (kaum sekuler) dan disponsori Yayasan Asia Foundation

    (dari Amerika) merupakan contoh upaya menjajakan "fatwa-fatwa"

    liberal dalam naungan konsep relativisme agama tersebut.

    Tentu saja kaedah taqlid gaya liberal dengan dikotomi absolut-relatif

    itu tidaklah benar. Sebab bahwasanya Tuhan itu Maha Mengetahui

    dan pengetahuan-Nya absolut benar, itu sudah jelas. Maka tak perlu

    dimasukkan dalam dikotomi. Sebab dikotomi yang seharusnya kita

    miliki adalah dikotomi untuk pendapat di antara manusia, bukan

    antara "pendapat" Tuhan dan pendapat manusia. Selain itu, dikotomi

    sebelumnya itu sungguh tidak adil, karena meletakkan semua

    pendapat manusia dalam posisi yang sama (sama-sama relatif).

    Samakah pendapat orang berilmu dengan pendapat orang tak

    berilmu? Samakah ulama dengan juhala (orang bodoh)? Maka,

    dikotomi yang benar adalah, ada pendapat ulama yang benar dan

    kuat (yang layak ditaqlidi), dan ada pendapat ulama yang salah atau

    lemah (yang tidak layak ditaqlidi). Itulah dikotomi yang benar.

    Nah, berkaitan dengan dikotomi itu, kehadiran buku Kaedah TaqlidTuntunan Islam Dalam Mengikuti dan Memilih Suatu Pendapat, karya

    sahabat kami A. Said 'Aqil Humam 'Abdurrahman, patutlah disambut

    dengan gembira. Buku ini dengan tepat memberikan pencerahan

    mengenai kaedah-kaedah mengenai taqlid untuk membedakan mana

    pendapat ulama yang layak diikuti dan mana yang tidak. Selain itu,

    buku ini juga ingin berkontribusi dalam menjelaskan konsep ijtihad

    secara benar.

  • 7/29/2019 kadah taqlid

    8/127

    viii

    Semuanya bermuara pada satu keinginan besar untuk mengentaskan

    umat Islam dari kemerosotan berpikirnya yang sangat dahsyat,

    khususnya perihal aktivitas ijtihad dan taqlid. Buku ini kiranya sudahbisa dianggap berhasil, jika bisa menghasilkan para muqallid yang

    baik, bukan lagi muqallid bermasalah. Syukur-syukur bisa melahirkan

    para mujtahid yang cemerlang di kemudian hari. Insya Allah.

    Semoga tujuan mulia ini, tercapai pula adanya. Amin Ya Mujibas

    Sailin.

    Yogyakarta, 21 Mei 2006

    Al-Faqir ila Rabbihi,

    KH. Muhammad Shiddiq al-Jawi

  • 7/29/2019 kadah taqlid

    9/127

    ix

    KATA PENGANTAR

    Ketidaktahuan sebagian besar kaum Muslim terhadap kaedah taqlid

    (mengikuti suatu pendapat) telah mengantarkan mereka mengikuti

    pendapat secara serampangan dan asal-asalan. Sebagian mereka ada

    yang mengikuti pendapat-pendapat pribadi ulama, bukan mengikuti

    hukum syariat yang digali oleh 'ulama berdasarkan kaedah-kaedah

    ijtihad. Sebagian lagi ada yang mengambil pendapat ulama hanyauntuk memenuhi kepentingan-kepentingan dunianya. Jika ia

    menginginkan "hukum mubah"; ia akan bertaqlid kepada 'ulama yang

    mengeluarkan fatwa mubah. Jika ia menginginkan "hukum wajib", ia

    akan mengikuti 'ulama yang mewajibkan, dan seterusnya. Padahal,

    perbuatan semacam ini sama artinya telah menundukkan hukum

    syariat di bawah hawa nafsu dan kepentingannya. Mestinya, hawa

    nafsu dan keinginan-keinginannya harus tunduk di bawah al-Quran

    dan Sunnah, bukan sebaliknya.

    Kadang-kadang, seorang Muslim dihadapkan pada ragam pendapat

    dalam satu kasus. Sebagian ulama berpendapat boleh, sebagian lagi

    tidak boleh, sebagian lagi sunnah, sebagian lagi makruh, dan

    sebagian lagi haram. Lantas, ia harus mengikuti dan memilih yang

    mana? Bagaimana tata cara memilih satu pendapat diantara

    pendapat-pendapat itu?

    Sebagian lagi menghukumi satu perbuatan dengan banyak hukum,

    dan berpindah-pindah dari satu pendapat menuju pendapat yang

    lain. Kadang-kadang ia sholat dengan tata cara madzhab Imam

    Syafi'iy, kadang-kadang dengan madzhab Hanafiy, dan sebagainya.

    Lebih ironis lagi, sebagian lagi tidak mengetahui kepada dan dengan

    siapa ia bertaqlid? Apakah ia taqlid kepada hukum Syariat ataukah

  • 7/29/2019 kadah taqlid

    10/127

    x

    taqlid kepada pendapat manusia? Padahal, Islam telah mengatur

    kaedah-kaedah taqlid yang ditujukan agar kaum Muslim yang tidak

    mampu melakukan ijtihad tetap bertaqlid kepada hukum-hukumAllah swt, bukan taqlid kepada hawa nafsu maupun keinginan-

    keinginannya.

    Untuk itu, harus ada penjelasan yang gamblang mengenai masalah ini

    (taqlid), agar seorang muqallid benar-benar memahami ketentuan

    Islam dalam memilih pendapat diantara banyaknya pendapat.

    Dengan kata lain, harus ada buku panduan yang mampu menuntun

    mereka agar tidak terjatuh pada taqlid buta, dan taqlid-taqlid yang

    ditujukan untuk memenuhi kepentingan hawa nafsu yang bersifat

    sesaat.

    Buku yang ada di tangan Anda ini merupakan panduan agar taqlid

    kita tidak menyimpang dari tuntunan Islam. Lebih dari itu, buku ini

    juga ditujukan agar kita tetap mengikuti hukum Syariat, bukan

    mengikuti pendapat pribadi ulama, hawa nafsu, dan kepentingan-

    kepentingan dunia; selalu mengikuti Allah swt dan RasulNya, dan

    bukan mengikuti setan yang akan menjerumuskan kita ke neraka.

    Wallahu A'lam bi al-Shawab

    Penulis

  • 7/29/2019 kadah taqlid

    11/127

  • 7/29/2019 kadah taqlid

    12/127

    xii

    Sikap Seorang Muqallid Jika Mujtahid Mengubah Pendapatnya

    .................................................................................................. 48Hukum Muqallid Yang Sembrono.............................................. 49

    BAB VI IMPLIKASI-IMPLIKASI TAQLID BAGI KAUM MUSLIM ............. 50Taqlid dan Implikasinya Bagi Kemunduran Berfikir Umat Islam 52

    BAB VII TARJIH DAN KETENTUANNYA ............................................... 56Definisi Tarjih ............................................................................ 56Beramal Dengan Dalil Yang Rajih .............................................. 57Hakekat Pertentangan dan Mendahulukan Kompromi ............. 59

    BAB VIII MEMAHAMI IJTIHAD............................................................ 68Definisi Ijtihad ........................................................................... 68Lingkup Ijtihad........................................................................... 71Syarat-syarat Mujtahid.............................................................. 72Kesalahan Persepsi Seputar Ijtihad ........................................... 73

    BAB IX RASULULLAH SAW BUKAN SEORANG MUJTAHID.................. 77Memilih Pendapat Yang Terkuat ............................................... 78Penjelasan Mengenai Ayat-Ayat Yang Digunakan Sandaran

    Bolehnya Rasulullah saw Melakukan Ijtihad ............................. 87Surat al-Anfaal Ayat 67 ....................................................... 90Surat al-Taubah Ayat 43...................................................... 95Surat al-Taubah Ayat 84...................................................... 97Surat 'Abasa Ayat 1 3 ..................................................... 100

    DAFTAR PUSTAKA............................................................................ 103

  • 7/29/2019 kadah taqlid

    13/127

    1

    BAB I

    MENGAPA HARUS

    MEMAHAMI KAEDAH TAQLID?

    Urgensi Kaedah Taqlid Bagi Seorang

    Muqallid

    ada dasarnya, terikat dengan syariat Islam merupakan

    kewajiban asasi seorang Muslim. Sebab, ketundukan dan

    kepatuhan terhadap syariat Islam merupakan bukti keimanan

    seorang Muslim kepada Allah swt dan RasulNya. Seseorang tidak

    disebut Mukmin sejati jika ia tidak menerima hukum-hukum Allah

    swt dengan penuh kerelaan dan keridloan. Seorang Mukmin mesti

    menundukkan diri dan menerima hukum-hukum Allah swt tanpa ada

    pilihan lagi.i

    Selain itu, berbuat sesuai dengan hukum syariat merupakan salah

    satu syarat agar amal perbuatan seseorang diterima oleh Allah swtii.

    Perbuatan apapun tidak akan pernah diterima Allah swt, jika tidak

    sejalan dengan syariat Allah swt. Al-Quran telah menyatakan masalah

    ini dengan sangat jelas. Allah swt berfirman:

    P

  • 7/29/2019 kadah taqlid

    14/127

    2

    "Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia.

    Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah.[al-

    Hasyr:7]

    Ayat ini dengan sangat jelas menunjukkan, bahwa perbuatan seorang

    muslim tidak akan diterima oleh Allah swt, bila tidak sesuai dengan

    tuntunan hukum syariat. Dalam hadits shahih disebutkan:

    "Nabi saw bersabda, "Orang yang melakukan penipuan akan

    dimasukkan ke dalam api neraka, dan barangsiapa

    mengerjakan suatu perbuatan yang tidak diperintahkan

    kami, maka perbuatan itu tertolak."[HR. Bukhari]

    "Dari 'Aisyah ra, ia berkata, bahwasanya Rasulullah saw

    bersabda," Siapa saja yang membuat-buat perkara baru

    dalam urusan kami, padahal urusan itu tidak diperintahkan,

    maka perkara itu tertolak." [HR. Bukhari; hadits ini

    diriwayatkan oleh 'Abdullah bin Ja'far al-Makhramiy, 'Abdul

    Wahid bin Abi Aun, dari Sa'id bin Ibrahim]; dan masih banyak

    hadits-hadits lain yang menerangkan masalah ini.

  • 7/29/2019 kadah taqlid

    15/127

  • 7/29/2019 kadah taqlid

    16/127

    4

    Akan tetapi, taqlid pun memiliki syarat-syarat dan kaedah-kaedah

    yang mesti diikuti dan dipatuhi, sebagaimana ijtihad. Sebab, taqlid

    adalah bagian dari perbuatan yang mesti didasarkan pada tuntunansyariat. Taqlid tidak boleh dilakukan dengan cara semena-mena dan

    asal-asalan. Jika seseorang bertaqlid tanpa mengikuti kaedah-kaedah

    yang benar, bisa dipastikan taqlidnya didasarkan pada hawa nafsu.

    Tidak hanya itu saja, seringkali seorang muqallid terjatuh dengan

    taqlid yang membabi buta, atau memilih pendapat yang kira-kira bisa

    sejalan dengan keinginan dan hawa nafsunya. Akhirnya, mereka

    memilih suatu pendapat bukan untuk terikat dengan syariat Allah,

    akan tetapi untuk memenuhi kepentingan-kepentingan dan

    keinginan-keinginan mereka. Dalam kondisi semacam ini, orang

    tersebut telah menundukkan hukum syariat di bawah hawa nafsunya,

    bukan menundukkan hawa nafsunya di bawah ketentuan al-Quran

    dan Sunnah. Jika suatu hukum sejalan dengan keinginan dan

    kepentingannya; ia ambil hukum tersebut dan mengesampingkan

    yang lain..

    Sesungguhnya, ketidaktahuan seseorang terhadap kaedah taqlid

    akan menjatuhkan seseorang pada plin-plan dalam berpendapat.

    Kadang-kadang, untuk menghukumi satu perbuatan, ia memilih

    pendapat madzhab ini, kadang-kadang ia memilih pendapat madzhab

    yang lain lagi. Lebih buruk lagi, mereka malah pasrah dengan apa

    yang dikatakan oleh pemimpin-pemimpinnya. Apa yang dikatakan

    pemimpinnya harus ditaqlidi (diikuti), dan dianggap kebenaran

    mutlak. Padahal pendapat para pemimpinnya sama sekali tidakdidasarkan pada al-Quran dan Sunnah. Bahkan, pendapat-pendapat

    mereka telah menyimpang jauh dari tuntunan Islam. Lebih ironis lagi,

    pemimpin-pemimpinnya juga terkenal fasik dan ahli bid'ah yang

    seharusnya tidak boleh diikuti.

    Jika keadaan ini dibiarkan terus berlanjut, tentunya kaum Muslim

    akan semakin terjatuh pada taqlid yang didasarkan hawa nafsu,

  • 7/29/2019 kadah taqlid

    17/127

    5

    bukan didasarkan ketentuan syariat Islam. Oleh karena itu,

    memahami kaedah taqlid merupakan satu-satunya jalan agar kita

    benar-benar mengikuti Allah dan RasulNya bukan malah mengikutihawa nafsu dan setan yang akan menceburkan kita ke dalam

    kehinaan dan kenistaan. Allah swt telah menyindir masalah ini di

    dalam sebuah firmanNya;

    (.) (.)

    "Pada hari ketika muka mereka dibolak-balikkan dalam

    neraka, mereka berkata: "Alangkah baiknya, andaikata kami

    ta`at kepada Allah dan ta`at (pula) kepada Rasul". Dan

    mereka berkata: "Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah

    menta`ati pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar

    kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan (yang benar).

    Ya Tuhan kami, timpakanlah kepada mereka azab dua kali

    lipat dan kutuklah mereka dengan kutukan yang besar". [al-

    Ahzab: 66- 68[

    Dari sini kita bisa memahami, bahwa memahami kaedah taqlid

    menjadi sangat penting. Sebab, seorang Muslim yang tidak mampu

    melakukan ijtihad; ia diwajibkan taqlid (mengikuti) seorang mujtahidagar dirinya memahami hukum syariat. Hanya saja, seorang muqallid

    harus memahami kaedah taqlid terlebih dahulu, sebelum memilih

    dan mengambil suatu pendapat. Bila seorang muqallid tidak

    memahami kaedah taqlid, bisa dipastikan ia akan memilih suatu

    pendapat berdasarkan hawa nafsu belaka. Lebih dari itu,

    ketidaktahuan seorang Muslim akan kaedah taqlid, akan

    menjatuhkan dirinya ke dalam taqlid-taqlid yang menyimpang atau

  • 7/29/2019 kadah taqlid

    18/127

    6

    tidak sejalan dengan tuntunan syariat. Misalnya, taqlid kepada

    pendapat orang-orang tertentu; atau taqlid kepada orang-orang yang

    terkenal fasiq dan suka melanggar hukum syariat .

    Untuk itu, "kaedah taqlid" ini harus dihadirkan kembali di tengah-

    tengah kaum Muslim, agar kaum Muslim yang terus terpuruk ke

    dalam kemunduran ini tidak semakin hancur dan binasa akibat

    ketidaktahuan mereka terhadap ketentuan memilih dan mengambil

    pendapat .

  • 7/29/2019 kadah taqlid

    19/127

    7

    BAB II

    KETENTUAN UMUM

    MENGENAI TAQLID

    Definisi Taqlid

    ecara literal, taqlid diambil dari kata al-qaladzah allatiyyuqallidu ghairahu bihaa." (kalung yang dikenakan kepada

    orang lain).5FviSedangkan menurut istilah, taqlid adalah 'amal

    biqauli al-ghairi min ghair hujjah mulzimah." (beramal dengan

    mengikuti pendapat orang lain tanpa ada hujjah (dalil) yang bersifat

    mengikat).6Fvii

    " Misalnya, orang awam yang mengikuti pendapat orang

    awam lainnya, atau seorang mujtahid yang mengikuti pendapat

    mujtahid lainnya.

    Menurut al-Amidiy, merujuknya seseorang kepada sabda Nabi saw,

    atau ijma' Mujtahid di suatu masa, vonisnya seorang qadliy

    berdasarkan kesaksian seorang yang adil, dan merujuknya seorang

    muqallid kepada seorang mufti (pemberi fatwa) tidak terkategori

    sebagai taqliid; dikarenakan tidak adanya hujjah lazim yang bisa

    dijadikan pegangan.7 F

    viii

    S

  • 7/29/2019 kadah taqlid

    20/127

    8

    Sedangkan menerima semua sabda Rasulullah saw yang

    menunjukkan wajibnya menyakini kemukjizatan Rasul, wajibnya

    menerima ijma' mengenai kewajiban menerima perkataan Rasulullahsaw, wajibnya menerima pendapat seorang mufti atau para saksi;

    semua ini disebut dengan taqlidmenurut 'urf(kebiasaan) pengguna

    bahasa8Fix.

    Ibnu Hammam dalam al-Tahriirmengatakan, "Taqlid adalah berbuat

    berdasarkan pendapat orang yang tidak memiliki hujjah, tanpa ada

    alasan".9 F

    x

    Al-Qaffaal menyatakan, "Taqlid adalah mengikuti pendapat orang

    yang anda sendiri tidak tahu dari mana pendapat itu berasal.10 F xi"

    Syaikh Abu Hamid dan Abu Manshur berpendapat, "Taqlid adalah

    menerima pendapat orang lain tanpa ada hujjah atas pendapat

    tersebut".11 F

    xii

    Larangan Bertaqlid Dalam Masalah

    Aqidah

    Seorang muslim dilarang (diharamkan) taqlid dalam masalah-masalah

    'aqidah. Mayoritas 'ulama telah sepakat bahwa hukum bertaqlid

    dalam masalah 'aqidah adalah haram. Hanya sebagian kecil ulama

    yang membolehkan taqlid dalam masalah 'aqidah, yaitu, 'Ubaidullah

    bin al-Hasan al-'Anbariy, kelompok Hasyawiyah, dan Ta'limiyyah. 12Fxiii

    Sebagian yang lain malah berpendapat, wajibnya bertaqlid dalam

    masalah 'aqidah. Menurut mereka al-nadhr(pengamatan) dan ijtihad

    dalam masalah 'aqidah adalah haram .

  • 7/29/2019 kadah taqlid

    21/127

    9

    Imam al-Raziy dalam kitab al-Mahshuul dari mayoritas fuqaha

    menyatakan, bahwa taqlid dalam masalah 'aqidah adalah boleh.

    Namun, Ibnu Hajib tidak menuturkan pendapat ini kecuali dari al-'Anbariy saja.

    Sedangkan jumhur 'ulama berpendapat, bahwa taqlid dalam masalah

    aqidah adalah haram. Abu Ishaq dalam Syarah al-Tartiib menuturkan

    tentang kesepakatan para ahli ilmu dari berbagai golongan mengenai

    haramnya taqlid dalam masalah 'aqidah. Abu al-Husain bin al-

    Qaththaan menyatakan, "Kami tidak melihat adanya iktilaf dalam hal

    haramnya taqlid dalam masalah tauhid." Ibnu al-Sam'aniy

    menuturkan, bahwa seluruh ahli ilmu kalam dan sekelompok fuqaha

    telah sepakat mengenai haramnya taqlid dalam masalah 'aqidah.

    Menurut Imam al-Haramain, dalam al-Syaamil, tak seorangpun yang

    berpendapat bolehnya taqlid dalam masalah 'aqidah kecuali

    kelompok Hanabilah. Sedangkan menurut Imam al-Isyfirainiy, yang

    berpendapat bolehnya taqlid dalam masalah 'aqidah hanyalah ahli

    dzahir.13 F

    xiv

    Menurut Imam al-Amidiy pendapat yang terkuat adalah pendapat

    yang melarang taqlid dalam masalah 'aqidah. Pendapat ini juga dipilih

    oleh Imam Syafi'iy, Imam Malik, Imam Abu Hanifah, dan Imam

    Hanbal.

    Adapun alasan-alasan yang melarang taqlid dalam masalah 'aqidah

    adalah sebagai berikut;

    Pertama, sesungguhnya pengamatan adalah wajib, sedangkan taqlid

    telah meniadakan kewajiban untuk melakukan pengamatan dan

    penelitian. Padahal hal semacam ini meninggalkan pengamatan dan

    penelitian -- adalah perbuatan haram. Sebab, ia telah meninggalkan

  • 7/29/2019 kadah taqlid

    22/127

    10

    kewajiban. Dalil wajibnya melakukan pengamatan adalah firman

    Allah swt,

    "Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih

    bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut

    membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang

    Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia

    hidupkan bumi sesudah matinya dan Dia sebarkan di bumi itu

    segala jenis hewan dan pengisaran angin dan awan yang

    dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh terdapattanda-tanda keesaan dan kebesaran Allah bagi kaum yang

    memikirkan."[al-Baqarah:12]

    Rasulullah saw bersabda, "Celakalah bagi siapa saja yang membaca

    ayat ini, namun tidak pernah memikirkan isinya.". Hadits ini

    merupakan ancaman bagi siapa yang meninggalkan pengamatan dan

    pengkajian. Walhasil, hukum pengamatan dan pengkajian adalah

    wajib.14 Fxv

    Kedua; menurut Imam al-Amidiy, para ulama salaf berkonsensus

    mengenai wajibnya makrifat kepada Allah swt, baik dalam hal yang

    boleh bagi Allah dan apa yang tidak boleh bagi Allah swt. Barangkali

    ada yang mengatakan, bahwa makrifat kepada Allah juga bisa

    ditempuh dengan taqlid. Pendapat ini tertolak karena alasan-alasan

    berikut ini; (1) orang yang memberikan fatwa dalam masalah 'aqidah

    tidaklah maksum, dan tidak boleh dianggap maksum. Karena ia tidak

    maksum, maka berita yang disampaikannya tidak wajib untuk

    diimani. Jika berita yang disampaikannya tidak wajib diimani, berarti

    berita yang disampaikannya tidak berfaedah kepada ilmu

    (keyakinan). (2) sekiranya taqlid itu menghasilkan ilmu (keyakinan),

    tentunya bagi orang yang mengikuti pendapat bahwa alam semesta

    itu huduts (baru atau diciptakan) akan memperoleh keyakinan sama

  • 7/29/2019 kadah taqlid

    23/127

    11

    seperti orang yang mengikuti pendapat bahwa alam semesta itu

    qadam (awal atau pertama kali). Padahal hal semacam ini adalah

    sesuatu yang mustahil; sebab dua keyakinan semacam ini tidakmungkin dikompromikan. (3) sekiranya taqlid itu menghasilkan ilmu

    (keyakinan), padahal keyakinan dalam masalah seperti itu kadang-

    kadang bersifat dlaruriy atau nadzariy: tentunya keyakinan (ilmu)

    tersebut tidak boleh bersifat dlaruriy. Jika tidak bersifat dlaruriy,

    tentunya akan terjadi perbedaan di kalangan manusia. Padahal dalam

    masalah 'aqidah tidak boleh ada perbedaan.

    Ketiga, al-Quran telah mencela taqlid dalam masalah 'aqidah, namun

    tidak dalam masalah syariat. Adapun nash yang melarang taqlid

    dalam masalah 'aqidah adalah sebagai berikut;

    (.)

    (.)

    "Bahkan mereka berkata, "Sesungguhnya kami mendapati

    pada bapak kami menganut suatu agama dan sesungguhnya

    kami adalah orang-orang yang mendapatkan petunjuk

    dengan mengikuti jejak mereka. Dan demikianlah bahwaKami tidak mengutus sebelum kamu seorang pemberi

    peringatanpun di suatu negeri, melainkan orang-orang yang

    hidup mewah di negeri itu berkata, "Sesungguhnya kami

    mendapati pada bapak kami menganut suatu agama, dan

    sesungguhnya kami adalah pengikut jejak-jejak mereka.

    (Rasul itu) berkata, : Apakah (kamu akan mengikutinya juga),

    sekalipun aku membawa untukmu (agama) yang lebih

  • 7/29/2019 kadah taqlid

    24/127

    12

    (nyata) memberi petunjuk daripada apa yang kami dapati

    yang dianut oleh bapak-bapak kalian"?15 Fxvi

    Ayat ini jelas-jelas mencela orang-orang yang bertaqlid dalam

    masalah keyakinan; dan masih banyak ayat-ayat lain yang mencela

    kaum Muslim taqlid dalam masalah 'aqidah.

    Selain itu, berpikir menyangkut masalah aqidah adalah mudah,

    sebab, dalil-dalil yang berkenaan dengan aqidah sangat jelas (tidak

    perlu ijtihad). 16Fxvii

    Imam Ahmad menyatakan, "Tanda yang

    menunjukkan dangkalnya ilmu seseorang, bahwa ia bertaqlid kepada

    orang lain dalam masalah aqidah". 17Fxviii

    Menurut Abu Manshur, para 'ulama berbeda pendapat mengenai

    orang yang beraqidah dengan jalan taqlid, atau tidak memahami

    dalil-dalilnya. Mayoritas 'ulama berpendapat, mereka tetap Mukmin

    yang akan mendapatkan syafa'at, namun berpredikat fasiq,

    dikarenakan meninggalkan istidlal (proses berdalil). Pendapatsemacam ini dipegang oleh mayoritas ulama hadits. Imam al-Asy'ariy

    dan mayoritas Mu'tazilah menyatakan: seseorang tidak akan

    mendapat predikat Mukmin hingga ia meninggalkan taqlid.18Fxix

    Namun, Imam Syaukani membantah pendapat itu dengan

    menyatakan, bahwa mereka tetap Mukmin dan tidak boleh digelari

    dengan gelar fasiq. Sebab, syariat tidak membebani seseorang

    dengan sesuatu yang tidak sanggup dipikulnya19Fxx.

    Bolehnya Taqlid Dalam Masalah Hukum

    Syariat

    Di dalam kitab Irsyaad al-Fuhuul, Imam Syaukani menyatakan, bahwa

    para 'ulama berbeda pendapat mengenai bolehnya taqlid dalam

  • 7/29/2019 kadah taqlid

    25/127

    13

    masalah syariat. Jumhur ahli ilmu berpendapat, bahwa taqlid dalam

    masalah syariat dilarang secara mutlak. Imam al-Qarafiy menuturkan:

    madzhab Malikiyyah dan mayoritas ulama menyatakan wajibnyaijtihad dan membatilkan taqlid. Imam Ibnu Hazm menyatakan

    konsensus para ulama untuk menolak taqlid dalam masalah syariat.20 F xxi

    Imam al-Amidiy memilih pendapat yang membolehkan seseorang

    bertaqlid kepada seorang mujtahid. Beliau menyatakan, "Masyarakat

    awam dan orang-orang yang tidak memiliki keahlian untuk

    berijtihad, meskipun ia memiliki sebagian ilmu yang bisa digunakan

    untuk berijtihad, wajib mengikuti pendapat para mujtahid, dan

    mengambil fatwanya. Ini adalah pendapat yang dipegang oleh ahli

    pentahqiq dalam masalah ushul.21F

    xxiiMenurutnya, pendapat ini

    didukung oleh nash, ijma' dan akal pikiran .

    Adapun alasan-alasan yang membolehkan taqlid dalam masalah

    syariat adalah sebagai berikut:

    Pertama, Allah swt telah berfirman:

    "Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-

    orang lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka, maka

    bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan,

    jika kamu tidak mengetahui."[al-Nahl:4]

    Ayat ini berlaku umum untuk setiap mukhaatib; sekaligus berisi

    perintah untuk bertanya atas sesuatu yang tidak diketahui22F

    xxiii.

    Meskipun konteks ayat ini berbicara mengenai penolakan terhadap

    orang-orang Musyrik saat mereka mengingkari keberadaan Rasul

    sebagai manusia biasa, akan tetapi lafadz yang terkan0dung di

    dalamnya bersifat umum. Dalam kondisi semacam ini, tafsir ayat ini

    harus dikembalikan pada kaedah "al-'ibrah bi 'umuum al-lafdz laisa bi

  • 7/29/2019 kadah taqlid

    26/127

    14

    khushuush al-sabab"; perngertian itu didasarkan pada keumuman

    lafadz bukan didasarkan pada khususnya sebab. Dengan kata lain,

    yang dijadikan dasar adalah keumuman lafadznya, bukan kekhususansebabnya. Oleh karena itu, tidak bisa dinyatakan, bahwa ayat ini

    hanya berhubungan dengan perintah kepada orang Musyrik untuk

    bertanya kepada ahlul kitab agar mereka mengetahui bahwa Allah

    swt tidak pernah mengutus seorang Rasul kepada umat manusia

    kecuali dari kalangan manusia. Dengan demikian, ayat ini merupakan

    perintah kepada orang-orang Musyrik untuk bertanya mengenai

    masalah yang tidak diketahuinya kepada ahlu dzikr.23 Fxxiv

    Frase "fas- aluu" di sini datang dalam bentuk umum; maknanya

    adalah, "bertanyalah kalian agar kalian mengetahui, bahwa Allah

    tidak pernah mengutus Rasul kepada umat-umat sebelumnya, kecuali

    dari kaum laki-laki (manusia biasa)." Dari sini bisa dilihat, bahwa

    pertanyaan tersebut berhubungan dengan masalah pengetahuan

    (makrifat), tidak berkaitan dengan masalah "keimanan" ('aqidah).

    Sedangkan kata "ahlu al-dzikr", meskipun "musyar ilaihi (orang yangdisebutkan)" adalah ahlul kitab, akan tetapi sighatnya dalam bentuk

    umum. Oleh karena itu, frasa "ahlu al-dzikr" di sini berlaku umum

    untuk seluruh ahlu al-dzikr, dan tidak hanya berlaku untuk ahlul kitab

    saja.24Fxxv

    Kaum Muslim sendiri termasuk ahlu al-dzikr. Hal semacam ini telah

    disebutkian di dalam al-Quran;

    "Dan Kami turunkan kepadamu al-Quran, agar kamu

    menerangkan kepada umat manusia apa yang telah

    diturunkan kepada mereka."[al-Nahl:44]

    Walhasil, orang-orang yang memahami hukum-hukum syara'

    tergolong ahlu al-dzikr; baik yang memiliki ilmu ijtihadmaupun ilmu

    talaqqin. Faktanya, seorang muqallid biasa bertanya mengenai

  • 7/29/2019 kadah taqlid

    27/127

    15

    hukum-hukum Allah dalam satu atau beberapa masalah. Oleh karena

    itu, ayat ini menunjukkan dengan jelas kebolehan taqlid dalam

    masalah syariat.xxvi

    Selain itu, kebolehan taqlid juga ditunjukkan di dalam sunnah.

    Diriwayatkan dari Jabir ra; ada seorang laki-laki tertimpa batu hingga

    kepalanya retak, lalu bermimpi junub. Kemudian, ia bertanya kepada

    para sahabatnya, Apakah kalian mendapatkan untukku rukhshah

    (keringanan) untuk bertayamum? Mereka menjawab, Kami tidak

    mendapatkan untukmu rukhshah sementara engkau mampu

    menggunakan air. Laki-laki itu mandi, tetapi setelah itu meninggal

    dunia. Nabi saw berkata: "Adalah cukup baginya bertayamum dan

    membalut kepalanya dengan kain, lalu menyapukan (debu) diatasnya

    dan membasuh seluruh badannya." Beliau bersabda,"Mengapa

    mereka tidak bertanya terlebih dahulu, jika tidak tahu.

    Sesungguhnya, obat ketidaktahuan hanyalah bertanya."

    Hadits ini menunjukkan, bahwa Rasulullah menganjurkan para

    shahabat untuk bertanya mengenai hukum syara. Benarlah kata al--

    Syabi: Ada enam orang sahabat Rasulullah saw yang biasa

    memberikan fatwa kepada orang-orang; yaitu Ibnu Masud, Umar

    bin al-Khattab, Ali bin Abi Thalib, Zaid bin Tsabit, Ubay bin Kaab dan

    Abu Musa al-Asyari ra. Biasanya, tiga orang meninggalkan pendapat

    mereka dan mengikuti tiga orang yang lain; yaitu Abdullah

    meninggalkan pendapatnya dan mengikuti pendapat Umar, Abu

    Musa meninggalkan pendapatnya dan ikut pendapat Ali, dan Zaidmeninggalkan pendapatnya dan ikut pendapat Ubay bin Kaab. Ini

    menunjukkan bahwa para sahabat menjadi rujukan kaum Muslim,

    dan sebagian mereka bertaqlid kepada sebagian yang lain.

    Adapun celaan taqlid yang terdapat di dalam al-Quran al-Karim,

    hanyalah berhubungan dengan perkara keimanan bukan dalam

    masalah hukum-hukum syara. Sebab, ayat-ayat tersebut hanya

  • 7/29/2019 kadah taqlid

    28/127

    16

    berbicara pada konteks keimanan dan nashnya khusus membahas

    masalah keimanan. Lagi pula ayat-ayat tersebut tidak bisa dicari-cari

    illatnya. Firman Allah Swt:

    "Dan demikianlah, Kami tidak mengutus sebelum kamu

    seorang pemberi peringatan pun dalam suatu negeri,

    melainkan orang-orang yang hidup mewah dinegeri itu

    berkarta: Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami

    menganut suatu agama dan sesungguhnya kami adalah

    pengikut jejak mereka. (Rasul itu) berkata: Apakah (kamu

    akan mengikutinya juga) sekalipun aku membawa untukmu

    (agama) yang lebih (nyata) memberi petunjuk dari pada apa

    yang kamu dapati bapak-bapakmu menganutnya? [al-

    Zukhruf: 23-24]

    "(Yaitu) ketika orang-orang yang diikuti itu berlepas diri dari

    orang-orang yang mengikutinya, dan mereka melihat siksa,

    dan ketika segala hubungan antara mereka terputus sama

    sekali. Dan berkatalah orang-orang yang mengikuti:

    Seandainya kami dapat kembali (kedunia) pasti kami akan

    berlepas diri dari mereka, sebagaimana mereka berlepas diri

    dari kami. Demikianlah Allah memperlihatkan kepada

    mereka amal perbuatannya menjadi sesalan bagi mereka,

    dan sekali-kali mereka tidak keluar dari api neraka." [al-

    Baqarah : 166-167]

    "Patung-patung apakah ini yang kamu tekun beribadat

    kepadanya? Mereka menjawab: Kami mendapati bapak-

    bapak kami menyembahnya."[Al-Anbiya: 52-53]

    Konteks pembicaraan (maudlu') ayat-ayat ini hanya berkaitan dengan

    keimanan dan kekufuran saja. Keumumannya hanya meliputi

    masalah keimanan dan kekufuran saja, dan tidak umum untuk segala

  • 7/29/2019 kadah taqlid

    29/127

    17

    sesuatu. Nash-nash ini juga tidak mengandung illatdan tidak boleh

    dicara-cari 'illatnya. Tidak bisa dikatakan bahwa yang dijadikan acuan

    adalah umumnya lafadz bukan khususnya sebab. Kaedah ini bisaditerapkan jika ayat-ayat tersebut dikaitkan dengan sebab nuzul,

    yaitu kejadian yang menjadi penyebab turunnya ayat. Namun,

    pernyataan itu tidak benar jika dikaitkan dengan maudlu (konteks

    pembicaraan) ayat. Pada dasarnya, yang jadi acuan adalah konteks

    pembicaraan ayat tersebut, sedangkan keumumannya terbatas pada

    konteks pembicaraan ayat itu saja, dan tidak umum meliputi segala

    hal yang tidak tercakup dalam konteks pembicaraannya. Juga tidak

    bisa dinyatakan, bahwa ayat tersebut konteks pembicarannya

    berkaitan dengan keimanan dan kekufuran, akan tetapi

    penafsirannya juga berlaku untuk para muqallid; dengan asumsi

    bahwa hukum itu beredar sesuai dengan ada atau tidak adanya 'illat.

    Sebab, ayat-ayat tersebut tidak mengandung illat dan tidak boleh

    dicari-cari 'illatnya; baik nash-nash yang berasal dari al-Quran

    maupun Sunnah. Oleh karena itu, tidak ada satu nash pun yang

    melarang taqlid dalam masalah syariat. Nash-nash maupun realita

    kaum Muslim pada masa Rasulullah dan para shahabat malah

    menunjukkan bolehnya taqlid .26 F

    xxvii

    Taqlid bisa saja terjadi pada muttabi'maupun 'aamiy.Ini disebabkan

    karena, Allah swt menamakan taqlid dengan ittibaa'. Allah swt

    berfirman;

    "(Yaitu) ketika orang-orang yang diikuti itu berlepas diri dari

    orang-orang yang mengikutinya, dan mereka melihat siksa;

    dan (ketika) segala hubungan antara mereka terputus sama

    sekali."[al-Baqarah:166]

    Selain itu, hukum syariat yang diadopsi seseorang kadang-kadang

    diistinbathkan sendiri (mujtahid), atau kadang-kadang diistinbathkan

  • 7/29/2019 kadah taqlid

    30/127

    18

    oleh orang lain, kemudian ia mengikuti pendapat orang lain itu

    (muqallid). Sedangkan mengikuti pendapat orang lain adalah taqlid,

    baik dengan hujjah yang bersifat mengikat, maupun tanpa hujjah.Dengan demikian, muttabi' termasuk muqallid. Selain itu, ittibaa'

    adalah mengkaji pendapat seorang mujtahid yang meliputi kajian

    terhadap dalil-dalil yang digunakan istinbath oleh mujtahid tersebut

    tanpa harus memberikan justifikasi terhadap dalil-dalil tersebut, atau

    tanpa harus terikat dengan dalil-dalil tersebut27Fxxviii.

    Akan tetapi, jika anda telah memberikan justifikasi terhadap dalil

    tersebut, atau terikat dengan dalil tersebut; memahami arah

    istinbath dari hukum tersebut, dan anda sepakat terhadap istinbath

    hukum tersebut, maka anda harus terikat dengan hujjah yang

    membangun hukum tersebut. Walhasil, pendapat anda tak ubahnya

    pendapat seorang mujtahid. Dalam kondisi semacam ini, anda adalah

    seorang mujtahid, bukan seorang muttabi'. Atas dasar itu, ittibaa'

    terkategori taqlid, sedangkan muttabi' (orang yang melakukan kajian)

    termasuk seorang muqallid, meskipun ia memahami dalil28F

    xxix

    .

    Orang Awam ('Amiy) Wajib Meminta Fatwa

    dan Mengikuti 'Ulama

    Hujjatul Islam Imam al-Ghazali, dalam kitab al-Mustashfa fi 'Ilm Ushul

    menyatakan, bahwa para shahabat telah terbiasa memberikan fatwa

    kepada orang-orang awam, dan tidak pernah menyuruh orang-orangawam untuk meraih derajat mujtahid. Keadaan ini telah dimaklumi

    dan dituturkan berdasarkan riwayat-riwayat mutawatir dari kalangan

    'ulama maupun awam. Ini menunjukkan, bahwa taqlid telah dikenal

    dan terjadi baik pada masa shahabat maupun masa-masa

    berikutnya.29 F xxx

  • 7/29/2019 kadah taqlid

    31/127

    19

    Semua orang telah sepakat mengenai wajibnya orang awam memikul

    taklif-taklif syariat. Sedangkan mewajibkan mereka meraih

    kemampuan seperti seorang mujtahid adalah kemustahilan. Sebab,hal ini pasti akan menyebabkan terputusnya kegiatan pertanian,

    perindustrian, dan lain-lain dikarenakan kesibukan untuk menuntut

    ilmu hingga meraih derajat mujtahid. Lebih dari itu, keadaan ini

    justru akan menghancurkan kehidupan para ulama itu sendiri. Oleh

    karena itu, tidak ada jalan lain bagi mereka (orang awam) selain

    taqlid dalam masalah hukum syariat.30F

    xxxiLebih lanjut Imam Ghazali

    menyatakan,"Taqlid adalah menerima pendapat tanpa hujjah.

    Sedangkan mereka (orang awam) wajib menerima pendapat yang

    difatwakan. Ketentuan ini didasarkan pada ijma', sebagaimana

    wajibnya seorang hakim menerima kesaksian, atau wajibnya kita

    menerima khabar ahad".31 Fxxxii

    Seorang Muqallid 'Amiy Tidak Boleh

    Meminta Fatwa Kecuali Kepada Orang

    Yang Keilmuan dan Keadilannya Telah Ia

    Ketahui

    Pada dasarnya, seorang muqallid 'amiy wajib meminta fatwa kepada

    orang-orang yang ia ketahui berilmu dan memiliki keadilan 32Fxxxiii

    . Ia

    tidak boleh meminta fatwa kepada orang yang keilmuan dan

    keadilannya tidak ia ketahui. Sebab, setiap orang yang diwajibkan

    untuk mengikuti pendapat orang lain (muqallid), maka ia juga

    diwajibkan untuk mengetahui keadaan orang yang diikutinya;

    sebagaimana wajibnya umat Islam mengetahui dengan dirinya

    sendiri, kemukjizatan Rasulullah. Seseorang tidak boleh menyakini

    begitu saja, orang yang mengaku dirinya Rasulullah sementara itu,

    orang tersebut tidak pernah dikenalnya. Seorang hakim juga wajib

    mengetahui kondisi saksi, apakah ia adil atau tidak, sebelum

  • 7/29/2019 kadah taqlid

    32/127

    20

    memutuskan untuk menerima atau menolak kesaksiannya. Dan

    seorang Mujtahid wajib mengetahui kondisi perawi hadits sebelum ia

    menerima khabarnya. Atas dasar itu, orang awam wajib mengetahuikondisi orang yang hendak ditanyai pendapatnya 33F

    xxxiv.

    Lalu, jika keadilan seorang mujtahid tidak diketahui, apakah

    seseorang dituntut untuk menelitinya? Menurut Imam al-Ghazali,

    seorang awam tidak dituntut untuk meneliti keadilan seorang

    Mujtahid yang tidak dikenalnya. Sebab, fakta menunjukkan, jika

    seorang masuk ke sebuah negeri, ia hanya wajib bertanya siapa orang

    alim di negeri itu, dan tidak dituntut untuk membuktikan

    keadilannya. Demikian juga jika orang awam tidak tahu keilmuan

    Mujtahid, ia tidak dituntut untuk menelitinya. Sebab, orang alim yang

    sudah terkenal di suatu negeri, dan dikenal oleh masyarakat

    setempat, maka keadilan dan keilmuannya bisa

    dipertanggungjawabkan, dan orang awam tidak perlu melakukan

    kajian secara lebih mendalam mengenai keilmuan dan

    keadilannya34F

    xxxv

    .

    Jika seorang diketahui kefasikannya, ia tidak boleh ditanyai

    pendapatnya. Sebaliknya, jika seorang mufti diketahui keadilannya,

    maka seorang awam baru boleh bertanya meminta fatwanya 35Fxxxvi.

    Jika seorang awam tidak mengetahui hal ihwal mufti (yang hendak

    dimintai fatwanya), ia tidak perlu menolaknya, akan tetapi ia harus

    bertanya terlebih dahulu mengenai keadilannya. Ini ditujukan agar ia

    terhindar dari kedustaan dan kejahatan dari mufti tersebut.

    Sesungguhnya, jiwa seorang mufti sudah terkenal memberikan fatwa

    di suatu negeri, maka biasanya ia juga terkenal memiliki keadilan.

    Sedangkan untuk menetapkan keadilan dan keilmuan seorang mufti,

    seorang awam cukup menyandarkan kepada persangkaan kuatnya

    (ghalabat al-dzan) yang didasarkan pada perkataan satu atau dua

  • 7/29/2019 kadah taqlid

    33/127

    21

    orang adil, dan tidak harus bersandar pada bukti yang menyakinkan

    (qath'iy). Jika ada satu atau dua orang adil mengatakan bahwa mufti

    ini adil, maka seorang awam boleh mengambil fatwa dari orangtersebut .36 F xxxvii

    Jika Di Sebuah Negeri Hanya Ada Seorang

    Mufti Saja

    Jika di sebuah negeri hanya ada seorang mufti saja, seorang awam

    wajib merujuk kepada mufti tersebut. Namun, jika di sebuah negeri

    terdapat banyak mufti, maka ia bisa bertanya kepada siapa saja, dan

    tidak wajib hanya merujuk kepada salah satu mufti saja; seperti

    halnya pada masa shahabat ra. Ada sebagian orang yang

    berpendapat, bahwa seorang awam wajib mengikuti mufti yang

    paling utama (afdlal). Jika orang-orang awam hendak meminta fatwa,

    maka mereka memilih salah satu diantara mufti-mufti itu. Menurut

    al-Ghazali, pendapat semacam ini bertentangan dengan ijma'

    shahabat. Sebab, shahabat-shahabat yang paling utama dan kesohor

    tidak pernah menghalang-halangi orang awam untuk meminta fatwa

    kepada shahabat-shahabat lain yang keutamaan lebih rendah.

    Sesungguhnya, orang-orang awam hanya diwajibkan merujuk kepada

    mufti yang diketahui adil dan memiliki ilmu. Seluruh shahabat telah

    memahami masalah ini.37 F

    xxxviii

    Namun demikian, jika dua orang mufti memfatwakan hukum yangberbeda, maka; jika kedua orang mufti itu diketahui sama-sama adil

    dan alim, maka orang awam boleh memilih salah satu diantara dua

    mufti tersebut. Namun, jika diketahui bahwa salah seorang diantara

    mufti-mufti tersebut adalah yang lebih adil dan alim, maka ia wajib

    mengikuti mufti yang diyakininya lebih adil dan alim tersebut.

    Misalnya, jika seseorang menyakini bahwa Imam Syafi'iy lebih alim

    dibandingkan imam-imam yang lain, maka ia wajib mengikuti

  • 7/29/2019 kadah taqlid

    34/127

    22

    pendapat Imam Syafi'iy dan dilarang mengambil pendapat imam lain

    yang bertentangan dengan pendapat Imam Syafi'iy38Fxxxix

    , hanya karena

    ingin mengikuti hawa nafsunya. Keadaan ini mirip dengan seorangmufti yang harus melakukan tarjih diantara dua dalil yang

    bertentangan. Sedangkan tarjih yang bisa dilakukan oleh kalangan

    awam adalah mengikuti pendapat mufti yang dianggapnya lebih alim

    dan adil.39F

    xlAkan tetapi, bukan berarti seorang awam mesti harus

    selalu merujuk kepada seorang Mujtahid saja. Seorang muqallidsah-

    sah saja mengikuti seorang mujtahid untuk satu kasus, dan mengikuti

    mujtahid yang lain untuk kasus yang berbeda. Akan tetapi, seorang

    awam tidak diperbolehkan mengikuti pendapat dua orang mujtahid

    untuk satu kasus yang sama. Sebab, hukum syara' atas satu

    perbuatan harus berjumlah satu dan tidak boleh berbilang.40 Fxli

    Jika seseorang telah berbulat tekad dan mengambil keputusan untuk

    mengikuti satu madzhab tertentu, maka ia tidak boleh mengambil

    pendapat selain pendapat madzhab yang dipilihnya itu. Namun

    demikian, ada pula yang berpendapat diperbolehkan dirinyamengambil pendapat mujtahid lainnya, sekiranya pendapat mujtahid

    lain tersebut lebih kuat dibandingkan pendapat imam madzhabnya.41 F xlii

  • 7/29/2019 kadah taqlid

    35/127

    23

    BAB III

    REALITAS TAQLID

    ada dasarnya, taqlid adalah mengikuti pendapat orang lain

    tanpa hujjah yang bersifat mengikat. Oleh karena itu, sisi yang

    dipentingkan dalam taqlid adalah mengikuti pendapat orang

    lain; tanpa memandang lagi siapa yang melakukan taqlid; apakah

    seorang mujtahid atau muqallid. Sebab, seorang mujtahiddiperbolehkan mengikuti pendapat mujtahid lain dalam satu

    masalah, meskipun ia sendiri ahli dalam berijtihad. Benar, pada

    konteks awalnya, seorang mujtahid jika telah berijtihad hingga

    melahirkan sebuah hukum; dia dilarang mengikuti pendapat

    Mujtahid lain. Namun, jika ia tidak melakukan ijtihad dalam suatu

    masalah maka ia diperbolehkan taqlid kepada mujtahid yang lain.42F

    xliii

    Dalam kondisi semacam ini, mujtahid tersebut disebut muqallid

    dalam satu masalah itu saja. Ini menunjukkan, bahwa suatu pendapatyang digali oleh seorang mujtahid kadang-kadang diikuti oleh seorang

    mujtahid lain, atau diikuti oleh seorang muqallid.

    Adapun realitas taqlidnya seorang mujtahid dan muqallid dapat

    diperinci sebagai berikut.

    P

  • 7/29/2019 kadah taqlid

    36/127

    24

    Fakta "Taqlidnya Seorang Mujtahid"

    Seorang mujtahid yang memiliki kemampuan dan keahlian ijtihad

    dalam suatu masalah, atau semua hal, jika ia berijtihad hingga

    melahirkan suatu hukum syariat; ia tidak boleh bertaqlid kepada

    mujtahid lainnya.43Fxliv

    Ia juga tidak diperbolehkan meninggalkan hasil

    ijtihadnya, kecuali karena empat sebab;

    a. Ijtihadnya Terbukti LemahTerbukti dengan sangat jelas, bahwa dalil-dalil yang dijadikan

    sandaran pendapatnya lemah, sedangkan dalil yang

    diketengahkan oleh mujtahid lain lebih kuat. Dalam kondisi

    semacam ini, seorang mujtahid wajib meninggalkan pendapatnya

    dan mengikuti dalil yang lebih kuat. Haram baginya tetap

    bersikukuh dengan pendapatnya yang telah terbukti lemah.44F

    xlvIa

    tidak boleh menolak untuk mengambil hukum baru yang digali

    oleh mujtahid baru, atau hukum yang belum pernah dinyatakanoleh para mujtahid sebelumnya. Sebab, yang jadi patokan adalah

    kekuatan dalilnya, bukan banyaknya orang yang menyatakan

    pendapat itu, atau pendapat itu telah dikemukan ulama-ulama

    dahulu. Selain itu, berpendapat dan beramal dengan pendapat

    yang lebih rajih adalah wajib. Para shahabat ra bersepakat

    memilih pendapat yang lebih rajih dalam berbagai masalah

    hukum yang bertentangan. Oleh karena itu, kewajiban untuk

    berpendapat dan beramal dengan pendapat yang rajih

    didasarkan pada ijma' shahabat. Contohnya, para shahabat lebih

    memilih khabar dari 'Aisyah ra daripada khabarnya Abu Hurairah,

    mengenai masalah puasanya orang junub. Sebab, mereka

    memahami, bahwa 'Aisyah lebih memahami Rasulullah saw

    daripada Abu Hurairah ra45Fxlvi

    . Selain itu, betapa banyak ijtihad

    para shahabat yang terbukti kelemahannya di masa berikutnya.

  • 7/29/2019 kadah taqlid

    37/127

    25

    Jika seorang mujtahid menyadari kelemahan dalilnya, sedangkan

    dalil mujtahid lain lebih kuat berdasarkan tarjih yang ia lakukan

    terhadap sebagian dalil, maka dalam kondisi semacam inimujtahid tersebut adalah seorang muqallid. Sebab, keadaan

    mujtahid tersebut seperti halnya seorang muqallid yang

    mentarjih atas suatu pendapat. Namun, jika ia menyadari

    kelemahan dalilnya dan dalil mujtahid lain jelas-jelas lebih kuat

    berdasarkan penelitian dan istinbathnya terhadap dalil, hingga

    melahirkan suatu kesimpulan seperti kesimpulan mujtahid

    lainnya itu, maka dalam kondisi semacam ini ia bukanlah seorang

    muqallid, akan tetapi, ia tetap dianggap seorang mujtahid yang

    telah menyadari kesalahan ijtihadnya yang pertama (qaul qadim),

    kemudian ia mengadopsi ijtihadnya yang baru (qaul jadid). Hal

    semacam ini seringkali dilakukan oleh Imam Syafi'iy ra.xlvii

    b. Meyakini Mujtahid Lain Lebih MumpuniJika seorang mujtahid memandang mujtahid lain lebih mumpuni

    dan lebih ahli dalam suatu masalah; lebih banyak menguasai

    dalil-dalil sam'iyyah, lebih kuat dalam memahami dalil-dalil

    syara', dan lain sebagainya. Lalu, ia melakukan tarjih dengan

    sebuah keyakinan bahwa mujtahid tersebut lebih dekat dengan

    kebenaran dalam masalah tertentu, maka, dalam kondisi

    semacam ini, ia boleh meninggalkan pendapatnya, dan mengikuti

    pendapat mujtahid lain yang dianggapnya lebih paham dan lebih

    menguasai bidang tersebut. Imam al-Sya'biy menuturkan, bahwaAbu Musa pernah meninggalkan pendapatnya karena mendengar

    pendapat Ali ra; Zaid juga meninggalkan pendapatnya dan

    mengikuti pendapatnya Ubay bin Ka'ab, 'Abdullah bin Umar

    meninggalkan pendapatnya dan mengikuti pendapat Umar bin

    Khaththab. Juga dituturkan dalam sebuah hadits, bahwa Abu

    Bakar dan Umar meninggalkan pendapatnya, dan mengikuti

    pendapat Ali ra. Ini menunjukkan, bahwa seorang mujtahid bisa

  • 7/29/2019 kadah taqlid

    38/127

    26

    saja mengikuti pendapat mujtahid lain didasarkan pada

    ketsiqahannya (kepercayaannya) kepada mujtahid yang lain itu.

    Akan tetapi, hal ini hukumnya hanyalah mubah bagi seorangmujtahid, dan tidak wajib.

    xlviii

    c. Jika Kepala Negara Telah Melegalisasi Hukum TertentuJika kepala negara memutuskan untuk melegalisasi sebuah

    hukum yang digali oleh mujtahid lain. Dalam kondisi semacam

    ini, ketetapan kepala negara wajib untuk diikuti dan dilaksanakan

    oleh seorang mujtahid, meskipun pendapat tersebut

    bertentangan dengan pendapatnya. Ia mesti beramal dengan

    pendapat yang dilegalisasi kepala negara, bukan pendapat

    dirinya sendiri. Imam al-Amidiy menuturkan, bahwa para 'ulama

    telah sepakat mengenai tidak bisa dihapuskannya ketetapan

    penguasa dalam masalah-masalah ijtihadiyyah demi

    kemaslahatan hukum. Namun, ketetapan penguasa bisa saja

    dihapus jika bertentangan dengan nash-nash qath'iy. Jika

    ketetapan penguasa (khalifah) bertentangan dengan dalil-dalil

    dzanniy, maka ketetapannya tidak bisa dihapus.xlix

    Masih menurut Imam al-Amidiy, para 'ulama telah sepakat

    mengenai ketidakbolehan seorang khalifah melegalisasi hukum

    yang bertentangan dengan hasil ijtihadnya dan taqlid kepada

    mujtahid lain. Dalam kondisi semacam ini ketetapan hukum

    khalifah bisa batal. Ini jika khalifah tersebut seorang mujtahid.Jika seorang khalifah taqlid kepada seorang imam, kemudian ia

    mengadopsi hukum yang bertentangan dengan pendapat

    imamnya; hal ini harus dilihat dahulu. Jika ia berpendapat boleh

    taqlid kepada imam yang lain, maka ketetapannya tidak batal.

    Jika ia berpendapat tidak boleh taqlid kepada imam yang lain,

    maka keputusannya bisa dihapuskan.l

  • 7/29/2019 kadah taqlid

    39/127

    27

    d. Menjaga Kesatuan dan Persatuan Kaum MuslimJika dalam kondisi tertentu, kaum Muslim harus berbulatpendapat demi menjaga kepentingan bersama dan demi utuhnya

    persatuan dan kesatuan kaum Muslim, maka seorang mujtahid

    bisa saja meninggalkan pendapatnya demi tujuan-tujuan

    tersebut. Dalilnya adalah ijma' shahabat ra saat membai'at

    'Abdurrahman bin 'Auf. Diriwayatkan, bahwa 'Abdurrahman bin

    'Auf setelah bertanya kepada masyarakat baik secara terang-

    terangan maupun rahasia, beliau lantas mengumpulkan

    masyarakat di dalam masjid. Ia naik mimbar dan memanjatkan

    doa panjang sekali. Setelah itu ia memanggil 'Ali bin Abi Thalib

    seraya menggenggam tangannya. 'Abdurrahman bertanya

    kepada 'Ali ra, "Apakah anda bersedia membai'atku untuk

    memerintah sesuai dengan Kitabullah, Sunnah RasulNya, serta

    ijtihadnya Abu Bakar dan Umar? Ali menjawab, "Aku akan

    membaitmu atas dasar Kitabullah, Sunnah RasulNya, dan

    ijtihadku." 'Abdurrahman bin 'Auf melepaskan tangannya.

    Kemudian ia memanggil 'Utsman bin 'Affan, dan bertanya,

    "Apakah anda bersedia membai'atku berdasarkan Kitabullah,

    Sunnah RasulNya, dan ijtihadnya Abu Bakar dan 'Umar? 'Utsman

    menjawab, "Allaahumma, bersedia." 'Abdurrahman

    mendongakkan kepalanya ke atas masjid, sedangkan tangannya

    masih memegang tangan 'Utsman bin 'Affan; dan berkata tiga

    kali, "Ya Allah, dengarkanlah dan saksikanlah." Lalu, ia membaiat

    'Utsman bin 'Affan, dan seluruh yang ada di masjid membaiat'Utsman bin 'Affan.

    li

    Dari kisah di atas terlihat dengan jelas, bahwa 'Abdurrahman

    telah meminta seorang mujtahid, yakni 'Ali bin Abi Thalib untuk

    meninggalkan ijtihadnya dan mengikuti ijtihadnya Abu Bakar dan

    Umar ra dalam seluruh masalah. Para shahabat pun menyetujui

    tindakan 'Abdurrahman bin 'Auf dan kemudian membaiat

  • 7/29/2019 kadah taqlid

    40/127

    28

    'Utsman bin 'Affan. Bahkan, Ali yang menolak untuk

    meninggalkan ijtihadnya juga turut membaiat 'Utsman bin 'Affan.

    Akan tetapi, ketentuan semacam ini tidaklah wajib bagi seorangmujtahid. Buktinya, 'Ali ra tidak bersedia meninggalkan

    ijtihadnya. Tindakan 'Ali ini juga tidak diingkari oleh satupun

    shahabat; ini berarti menunjukkan kemubahan (jaiz), bukan

    kewajiban.lii

    Inilah beberapa fakta taqlidnya seorang mujtahid kepada mujtahid

    lain karena sebab-sebab tertentu.

    Namun demikian, jika seorang mujtahid belum berijtihad untuk suatu

    masalah, maka ia diperbolehkan taqlid kepada mujtahid lain, dan

    tidak melakukan ijtihad dalam masalah itu. Sebab, hukum ijtihad

    adalah fardlu kifayah, bukan fardlu 'ain. Jika seorang mujtahid

    dihadapkan pada suatu masalah baru, maka ia tidak wajib melakukan

    ijtihad dalam masalah tersebut. Akan tetapi, ia boleh saja berijtihad

    maupun taqlid kepada mujtahid lain dalam masalah tersebut. Dalam

    sebuah riwayat dituturkan, bahwa 'Umar pernah berkata kepada Abu

    Bakar, "Lebih baik kami mengikuti pendapat anda." Dituturkan juga,

    bahwa Ibnu Mas'ud pernah mengambil pendapat 'Umar bin

    Khaththab. Perkara ini telah masyhur dan disaksikan oleh para

    shahabat, dan mereka tidak pernah mengingkari perbuatan Umar

    maupun Ibnu Ma'sud. Walhasil, bolehnya seorang mujtahid taqlid

    kepada mujtahid lain merupakan konsensus para shahabat (ijma'

    sukutiy). Sedangkan ijma' shahabat absah digunakan sebagai dalilsyara'

    liii.

    Taqlidnya Seorang Muqallid

    Adapun taqlidnya seseorang yang bukan mujtahid, baik muqallid

    mutabbi' dan 'amiy dapat dirinci sebagai berikut. Pada dasarnya, jika

    seorang muqallid di hadapkan pada satu masalah, ia wajib bertanya

  • 7/29/2019 kadah taqlid

    41/127

    29

    kepada orang yang ia ketahui alim dan adil mengenai hukum atas

    masalah tersebutliv

    . Sebab, Allah swt tidak akan menerima ibadah

    yang didasarkan pada ketidaktahuan atau kebodohan. Ibadah harusdidasarkan pada ilmu. Allah swt berfirman;

    "Dan bertaqwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan

    Allah Maha Mengetahui segala sesuatu."[al-Baqarah:282].

    Maknanya, Allah swt telah mengajarkan segala sesuatu kepada kamu

    sekalian. Dengan demikian, ilmu itu sebelum taqwa. Sebab, perintah

    untuk bertaqwa kepada Allah hanya akan tercapai jika ia telah diajari

    dengan ilmu pengetahuan.

    Di sisi yang lain, salah satu syarat agar amal perbuatan seseorang

    diterima Allah swt adalah benar (shawab) sesuai dengan tuntunan

    syariat Islam. Imam Fudlail bin Iyadl tatkala ditanya tentang ihsaan

    al-amal, beliau menyatakan, "Sebuah amal baru bisa dikatakan

    sebagai amal yang ihsan, tatkala amal tersebut memenuhi dua

    prasyarat. Pertama, ikhlash. Kedua,benar.

    Pertama, ikhlash. Ikhlash adalah, berbuat semata-mata mencari ridla

    Allah swt. Banyak ayat yang memerintahkan seorang Muslim untuk

    berbuat hanya untuk mendapatkan ridlo Allah swt, alias ikhlash.

    Diantaranya adalah firman Allah swt, sebagai berikut:

    "Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah

    Allah dengan memurnikan keta`atan kepada-Nya dalam

    (menjalankan) agama dengan lurus, dan supaya mereka

  • 7/29/2019 kadah taqlid

    42/127

    30

    mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian

    itulah agama yang lurus". [al-Bayyinah:5]

    Rasulullah saw bersabda, artinya, Sesunggguhnya amal itu

    tergantung dengan niatnya.[muttafaq alaih].

    Kedua,benar. Prasyarat berikutnya adalah benar. Imam Fudlail bin

    Iyyadl menyatakan bahwa benar di sini adalah berbuat sesuai

    dengan al-Quran dan Sunnah. Allah swt berfirman:

    "Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia.

    Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah.[al-

    Hasyr:7]

    Perbuatan seorang muslim tidak akan diterima oleh Allah swt, bila

    tidak memenuhi dua prasyarat di atas. Kedua-duanya harus adatatkala seseorang mengerjakan sebuah amal. Meskipun seorang

    muslim ikhlash dalam beramal, akan tetapi amalnya tersebut tidak

    sesuai dengan hukum-hukum Islam, maka amal tersebut tertolak.

    Sebaliknya, meskipun amal perbuatannya sesuai dengan al-Quran

    dan Sunnah, namun tidak dilandasi dengan keikhlasan kepada Allah,

    maka perbuatannya juga tertolak.

    Dalam sebuah hadits shahih disebutkan:

  • 7/29/2019 kadah taqlid

    43/127

    31

    "Nabi saw bersabda, "Orang yang melakukan penipuan akan

    dimasukkan ke dalam api neraka, dan barangsiapa

    mengerjakan suatu perbuatan yang tidak diperintahkankami, maka perbuatan itu tertolak."[HR. Bukhari]

    Di dalam riwayat lain, juga dituturkan:

    "Dari 'Aisyah ra, ia berkata, bahwasanya Rasulullah saw

    bersabda," Siapa saja yang membuat-buat perkara baru

    dalam urusan kami, padahal urusan itu tidak diperintahkan,

    maka perkara itu tertolak." [HR. Bukhari; hadits ini

    diriwayatkan oleh 'Abdullah bin Ja'far al-Makhramiy, 'Abdul

    Wahid bin Abi Aun, dari Sa'id bin Ibrahim]; dan masih banyak

    hadits-hadits lain yang menerangkan masalah ini.

    Agar perbuatan memenuhi syarat yang kedua, yakni benar, maka

    sudah seharusnya bagi seorang Muslim belajar dan memahami

    ketentuan-ketentuan Allah swt (syariat Allah). Tanpa memahami

    ketentuan Allah swt, seorang Muslim mustahil bisa berbuat sesuai

    dengan tuntunan Allah dan RasulNya. Dari sini bisa disimpulkan,

    bahwa memahami syariat Islam yang berhubungan erat dengan amal

    perbuatan, adalah aktivitas yang sangat urgen. Tanpa belajar hukum

    syariat, kita tidak bisa menilai apakah perbuatan yang kita lakukan

    telah sesuai dengan syariat atau belum. Padahal, benar dalam

    beramal sesuai dengan tuntunan al-Quran dan Sunnah

    merupakan salah satu syarat agar amal kita diterima oleh Allah swt.

  • 7/29/2019 kadah taqlid

    44/127

    32

    Zaid bin Zubeir berkata, "Tidaklah diterima suatu perkataan

    melainkan diiringi dengan perbuatan, dan tidak akan diterima

    perkataan dan amal kecuali dengan niat; dan tidak akan diterimaperkataan, amal, dan niat kecuali sesuai dengan sunnah Nabi saw."

    lv

    Imam Malik pernah berkata, "Sunnah adalah perahu Nabi Nuh.

    Barangsiapa yang menumpanginya, maka ia akan selamat, dan

    barangsiapa yang tidak menumpanginya akan tenggelam."lvi

    Dengan demikian, seorang Muslim wajib memahami hukum syariat

    sebelum melaksanakan suatu perbuatan. Sebab, ia diperintahkan

    untuk beribadah kepada Allah dengan ilmu dan pengetahuan.

    Bagi orang yang tidak bisa menggali hukum syariat langsung dari

    dalil-dalil syariat; atau tidak bisa melakukan ijtihad; satu-satunya

    jalan untuk memahami hukum syariat adalah bertanya kepada orang

    paham syariat. Dengan kata lain, seorang muqallid wajib bertanya

    mengenai hukum syariat kepada orang yang paham syariat sebelum

    ia melaksanakan suatu perbuatan. Orang-orang awam di masa

    shahabat ra tak henti-hentinya meminta fatwa kepada para mujtahid,

    dan taqlid kepada mereka dalam masalah hukum syariat. Bahkan,

    hampir-hampir mereka hanya bertanya mengenai status hukumnya

    saja, tanpa pernah bertanya dalil-dalil yang digunakan istinbath oleh

    para mujtahid yang mereka ikuti. Namun, para shahabat tidak pernah

    melarang mereka, dan tidak seorangpun shahabat yang mengingkari

    praktek demikian. Ini menunjukkan, bahwa taqlidnya orang awamkepada orang alim telah menjadi ijma para shahabat.

    lvii

  • 7/29/2019 kadah taqlid

    45/127

    33

    Seorang Muqallid Boleh Mengajarkan

    Ilmu Yang Ia KetahuiSeorang muqallid, selain boleh bertanya, atau taqlid terhadap

    seorang mujtahid dalam masalah-masalah tertentu, ia juga

    diperbolehkan belajar, dan mengajarkan ilmu tersebut kepada orang

    lain. Tidak ada larangan baginya untuk mengajarkan hukum syariat

    yang telah diketahuinya kepada orang lain.lviii

    Jika seorang muqallid telah mengadopsi hukum syariat yangdiistinbathkan oleh seorang mujtahid, menyakini kebenarannya, dan

    menjadikannya sebagai hukum syariat atas dirinya, maka ia wajib

    beramal sesuai dengan hukum syariat tersebut. Ia dilarang beramal

    dengan hukum syariat lain yang diistinbathkan oleh mujtahid lain.

    Sebab, hukum syariat bagi dirinya adalah hukum syariat yang telah ia

    tetapkan dan ia yakini kebenarannya. Sedangkan hukum syariat yang

    berbeda dengan hukum syariat yang diadopsinya, bukanlah hukum

    syariat (hukum Allah) bagi dirinya. Oleh karena itu, seorang muqallid

    tidak boleh mengajarkan kepada orang lain, hukum syariat yang

    berbeda dengan apa yang telah diadopsinya agar orang lain tersebut

    beramal dengan pendapat itu. Bahkan, ia tidak boleh menyatakan,

    bahwa pendapat tersebut adalah pendapat dirinya. Sebab, hukum

    syariat yang tidak ia yakini kebenarannya bukanlah hukum syariat

    bagi dirinya.lix

    Hanya saja, seorang muqallid yang telah mengetahui

    suatu hukum, maka ia wajib mengajarkannya kepada orang lain. Ia

    boleh mengajarkan apa saja yang ia ketahui kepada orang lain,

    namun, ia tidak boleh memerintahkan orang lain untuk beramal

    dengan hukum yang tidak diadopsi menjadi pendapatnya. Ia hanya

    boleh mengatakan, bahwa hukum ini menurut 'ulama ini adalah

    begini, sedangkan yang lain adalah begini; sedangkan menurut saya

    yang benar adalah pendapat ulama ini.lx

    Sebab, jika ia

    memerintahkan seseorang beramal dengan hukum yang tidak

  • 7/29/2019 kadah taqlid

    46/127

    34

    diadopsinya, sama artinya ia memerintahkan seseorang untuk

    beramal tidak dengan syariat Allah atas hak dirinya.lxi

    Misalnya, seorang muqallid telah mengadopsi pendapat; nikah tanpa

    wali adalah sah. Berarti, hukum syariat bagi dirinya adalah nikah

    tanpa wali sah. Tatkala dirinya telah mengadopsi hukum ini, berarti,

    ia wajib beramal dengan hukum tersebut, dan tidak boleh beramal

    dengan hukum lain; misalnya nikah sah tanpa wali. Ia juga tidak boleh

    mengajarkan "hukum nikah tanpa wali tidak sah"kepada orang lain,

    agar orang lain itu beramal dengan hukum tersebut. Sebab, "hukum

    nikah tanpa wali tidak sah"bukanlah hukum syariat bagi dirinya. Jika

    ia menyuruh orang untuk beramal dengan hukum ini, sama artinya ia

    menyuruh orang lain untuk berbuat tidak dengan hukum Allah atas

    hak dirinya.

    Benar, seorang muqallid wajib menyampaikan semua hukum yang ia

    ketahui kepada orang lain. Ia dilarang menyembunyikan atau

    merahasiakan ilmu kepada orang lain. Dalam satu hadits dituturkan,

    bahwa Rasulullah saw bersabda, "

    "Siapa saja yang ditanya tentang suatu ilmu yang

    diketahuinya, kemudian ia menyembunyikan ilmu tersebut,

    maka ia akan diberi tali kendali pada hari kiamat dengan tali

    kendali dari api". [HR. Turmidziy]

    Kata "ilmu" di sini bersifat umum, mencakup semua ilmu yang ia

    ketahui, baik sedikit maupun banyak. Seorang Muslim dilarang

    menyembunyikan ilmu yang ia ketahui kepada orang lain.

  • 7/29/2019 kadah taqlid

    47/127

    35

    Hanya saja, orang yang belajar kepada pengajar tidak dianggap taqlid

    kepada pengajar itu; namun, ia tetap muqallid kepada mujtahid yang

    menggali hukum syariat yang diajarkan oleh pengajar tersebut.Pengajar tersebut hanya berkedudukan sebagai pengajar saja, tidak

    lebih. Sebab, taqlid tidak pernah terjadi kecuali kepada seorang

    mujtahid. Walaupun pengajar tersebut memiliki kemampuan ilmu

    yang luar biasa, bahkan disebut 'ulama, akan tetapi orang yang diajari

    tetap tidak boleh taqlid kepada sang pengajar itu. Orang yang diajari

    hanya boleh belajar kepada sang pengajar, tapi tidak boleh taqlid

    kepadanya.lxii

    Ketentuan Seorang Muqallid Di Hadapan

    Dua Pendapat

    Seorang muqallid tidak boleh memilih begitu saja dua pendapat yang

    bertentangan; seperti halnya jika para mujtahid berbeda pendapat

    dalam satu masalah. Bila seorang muqallid dihadapkan pada dua

    hukum syariat yang berbeda ia diwajibkan untuk mentarjih salah satu

    pendapat diantara dua pendapat tersebut. Seorang muqallid tidak

    boleh menganggap, bahwa dua hukum syariat yang berbeda itu, jika

    dinisbahkan kepada dirinya, adalah satu hukum syariat bagi dirinya;

    sehingga ia boleh memilih begitu saja dua pendapat tersebut.

    Akibatnya, ia memilih hukum syariat berdasarkan keinginan hawa

    nafsunya. Kadang-kadang ia memilih pendapat mujtahid ini, kadang-

    kadang memilih pendapat mujtahid lainnya untuk memenuhi

    keinginan-keinginannya yang terus berubah. Jika ia menginginkan

    hukum mubah, ia ikuti mujtahid yang mengeluarkan pendapat

    mubah. Jika ia ingin hukum haram, ia ikuti mujtahid yang

    mengharamkan dan seterusnyalxiii

    .

  • 7/29/2019 kadah taqlid

    48/127

    36

    Padahal, hal semacam ini jelas-jelas dilarang di dalam Islam. Sebab,

    Allah swt melarang kaum Muslim berhukum berdasarkan

    kepentingan hawa nafsu. Alloah swt berfirman,"

    "Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin

    menyimpang dari kebenaran."[al-Nisaa':135]

    Selain itu, hukum syariat bagi seorang Mukmin hanyalah satu, tidak

    boleh berbilang. Jika ia telah mengadopsi suatu hukum, maka hukum

    tersebut adalah hukum Allah bagi dirinya, sedangkan yang lain,

    bukanlah hukum syariat bagi dirinya. Dalam keadaan semacam ini, ia

    tidak boleh memilih dan berbuat dengan dua hukum syariat; atau

    berhukum dengan syariat yang tidak diadopsinya.lxiv

    Jika seorang muqallid dihadapkan pada berbagai pendapat (hukum

    syariat) yang dikeluarkan oleh seorang mujtahid, ia wajib melakukan

    tarjih hingga menetapi satu hukum syariat. Bagi seorang muqallid,

    kedudukan dua orang mujtahid yang mengeluarkan pendapat

    (hukum syariat) yang bertentangan, tak ubahnya dengan seorang

    mujtahid yang menghadapi dua dalil yang bertentangan. Seperti

    halnya seorang mujtahid yang harus mentarjih dua dalil yang

    bertentangan tersebut, seorang muqallid juga wajib mentarjih dua

    pendapat yang dikeluarkan oleh dua orang mujtahid. Seorang

    muqallid dilarang memilih salah satu pendapat diantara pendapat-

    pendapat yang ada menurut kehendak dan hawa nafsunya. Sebab,

    jika hal semacam ini diperbolehkan bagi seorang muqallid, tentunyaseorang penguasa atau hakim juga boleh memutuskan suatu perkara

    berdasarkan kehendak dan hawa nafsunya. Padahal, hal ini jelas-jelas

    bertentangan dengan ijma' shahabat dan nash yang sharih.lxv

    Allah

    swt berfirman, "

    "maka, putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah

    turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka

  • 7/29/2019 kadah taqlid

    49/127

    37

    dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang

    kepadamu."[al-Maidah:49]

    Atas dasar itu, jika seorang muqallid dihadapkan pada perbedaan dan

    perselisihan pendapat antara dua orang mujtahid; ia wajib

    mengembalikan perselisihan dan perbedaan pendapat itu kepada

    Allah dan RasulNya; yakni merujuk kepada pendapat yang lebih rajih

    (kuat). Sesungguhnya, mengembalikan perselisihan dan perbedaan

    pendapat kepada Allah swt dan RasulNya akan menjauhkan seorang

    muqallid dari mengikuti hawa nafsu dan syahwat. Walhasil, seorang

    muqallid wajib melakukan tarjih jika dihadapkan pada dua pendapat

    yang bertentangan. Dengan kata lain, ia wajib memilih satu pendapat

    berdasarkan kaedah tarjih yang diridloi Allah swt dan RasulNya

    lxvii

    lxvi.

    Sebab, ia tidak mungkin beramal dengan dua hukum yang saling

    bertentangan, tanpa melakukan tarjih terlebih dahulu .

    Adapun mengenai cara-cara muqallid melakukan tarjih diterangkan

    pada bab berikutnya.

  • 7/29/2019 kadah taqlid

    50/127

    38

    BAB IV

    TARJIHNYA SEORANG MUQALLID

    Tarjihnya Seorang Muqallid

    eringkali seorang muqallid harus mentarjih seorang mujtahid

    atas mujtahid yang lain, atau satu hukum atas hukum yang lain.

    Ini didasarkan kenyataan, bahwa seorang Muslim; baikmujtahid maupun muqallid, wajib beramal dengan satu hukum saja.

    Ia dilarang beramal dengan dua hukum yang bertentangan. Dalam

    kondisi semacam ini, seorang seorang Muslim diwajibkan untuk

    melakukan tarjih atas pendapat-pendapat yang ada.lxviii

    Adapun tarjih yang lazim dilakukan seorang muqallid sebelum

    menetapi suatu pendapat --baik tarjih terhadap seorang mujtahid

    atas mujtahid lainnya, maupun sebuah hukum syariat atas hukum

    syariat yang lain--, adalah a'lamiyyah dan al-fahmulxix

    . Qadli al-

    Nabhani menuturkan sebuah riwayat dari Ibnu Mas'ud, bahwasanya

    beliau ra pernah ditanya oleh Rasulullah saw, "Wahai 'Abdullah bin

    Mas'ud!" Saya menjawab, "Ada apa yang Rasulullah?" Rasulullah

    saw melanjutkan, "Tahukan engkau siapakah manusia yang paling

    paham? Saya menjawab, "Allah dan RasulNya lebih memahami."

    S

  • 7/29/2019 kadah taqlid

    51/127

    39

    Rasulullah saw bersabda, "Manusia yang paling paham adalah orang

    yang paling mengerti kebenaran ketika manusia berselisih paham;

    meskipun ia sedikit amalnya dan berjalan merayap denganpantatnya."

    lxx.

    Atas dasar itu, muqallid harus mentarjih (menguatkan) orang-orang

    yang ia ketahui keilmuan dan keadilannya. Ini didasarkan kenyataan,

    bahwa keadilan adalah syarat diterimanya kesaksian dari seorang

    saksi.

    lxxii

    lxxiii

    lxxiJika orang yang bersaksi tidak adil, maka kesaksian dan

    beritanya harus ditolak. Oleh karena itu, seorang peneliti hadits

    hanya akan menerima riwayat-riwayat yang dituturkan oleh perawi-

    perawi yang adil. Begitu pula seorang muqallid, ia mesti mengetahui

    bahwa orang yang menyampaikan suatu hukum syariat kepadanya

    adalah orang-orang yang keadilannya tidak perlu dipertanyakan.

    Seorang muqallid dilarang bertanya atau meminta fatwa dari orang-

    orang fasiq . Atas dasar itu, keadilan merupakan patokan dasar bagi

    seorang muqalliduntuk menerima pendapat dari seorang mufti. Jika

    orang yang menyampaikan hukum syariat kepadanya adalah orang

    yang adil, baik mujtahidmaupun seorang mu'allim (pengajar); maka

    ia wajib menerima hukum syariat tersebut; sebagaimana wajibnya

    seorang Muslim menerima khabar ahad yang shahih .

    Sedangkan ilmu (al-fahmu) adalah murajih (orang yang dikuatkan).

    Misalnya, jika seorang muqallid dihadapkan pada dua pendapat;

    misalnya pendapat Imam Syafi'iy dan Imam Maliki, maka, bila dirinya

    menyakini bahwa Imam Syafi'iy lebih paham dan lebih benarpendapatnya dibandingkan Imam Malikiy, ia harus memilih pendapat

    Imam Syafi'iy. Ia dilarang beramal dengan pendapat yang

    bertentangan dengan pendapat Imam Syafi'iylxxiv

    , hanya karena

    mengikuti kehendak dan hawa nafsunya. Akan tetapi, seorang

    muqallid wajib meninggalkan pendapat imamnya, dan mengikuti

    pendapat imam yang lain, jika pendapat imam yang lain itu lebih

    kuat, sedangkan pendapat imamnya terbukti lemah.

  • 7/29/2019 kadah taqlid

    52/127

    40

    Seorang muqallid tidak harus terikat dengan pendapat madzhab

    tertentu dalam semua masalah. Dalam masalah yang berbeda ia

    boleh merujuk kepada imam madzhab yang lain. Misalnya, seorangmuqallid merujuk merujuk kepada pendapat imam Malik dalam

    masalah puasa, sedangkan untuk masalah zakat merujuk kepada

    imam Syafi'iy. Yang tidak diperbolehkan adalah, dalam satu masalah

    mengikuti dua pendapat imam madzhab. Contohnya, seorang

    muqallid merujuk kepada imam Malik dan Syafi'iy dalam masalah

    yang sama, sholat misalnya. lxxv

    Walhasil, obyek yang ditarjih dalam taqlid ada dua macam. Pertama,

    obyek tarjih yang bersifat umum (murajjih al-'aam); yakni tarjih yang

    berkaitan dengan orang yang hendak diikuti oleh seorang muqallid;

    misalnya apakah ia hendak memilih Imam Malik atau Imam Syafi'iy.

    Kedua, obyek tarjih yang bersifat khusus (murajjih khaash); yakni

    tarjih yang berhubungan hukum syariat yang hendak diikutinya.

    Kedua obyek yang hendak ditarjih ini, baik umum maupun khusus,

    bisa didekati dengan a'lamiyyah. Untuk masalah-masalah dan

    kejadian-kejadian yang terjadi di Madinah di era Imam Malik, maka

    Imam Malik dianggap lebih memahami daripada Abu Yusuf.

    Sedangkan masalah-masalah dan kejadian-kejadian yang terjadi di

    Kufah di era Imam Ja'far, maka beliau dianggap lebih memahami

    kejadian dan masalah tersebut dibandingkan Imam Ibnu Hanbal. Ini

    jika ditinjau dari sisi masalah-masalah maupun kejadian-kejadian

    yang terjadi. Adapun bila ditinjau dari sisi orang yang hendak diikuti,

    maka semuanya dikembalikan kepada maklumat-maklumat yangsampai ke telinga seorang muqalliddari seorang mujtahid.

    Akan tetapi, a'lamiyyah bukan satu-satunya metode untuk

    melakukan tarjih dalam masalah taqlid. Bahkan, a'lamiyyah tidak bisa

    disebut sebagai tarjih hakiki (tarjih sebenarnya) jika ditinjau dari sisi

    tarjih itu sendiri. A'lamiyyah adalah cara tarjih kepada orang yang

    hendak diikuti (ditaqlidi) secara global. Adapun tarjih hakiki (tarjih

  • 7/29/2019 kadah taqlid

    53/127

    41

    yang asli atau sebenarnya) adalah tarjih yang dinisbahkan kepada

    hukum syariatnya, yakni kekuatan dalil yang menyangga hukum

    syariat itu. Namun, karena muqallid tidak mengetahui danmemahami dalil, tentunya, ia akan mentarjih pendapat dengan

    metode a'lamiyyah.lxxvi

    Muqallid 'Amiy dan Muqallid Muttabi'

    Seorang muqallid, baik 'amiy maupun muttabi', boleh saja mengambil

    pendapat dari seorang mujtahid jika telah terbukti bahwa pendapattersebut adalah hasil ijtihad; meskipun pembuktiannya berdasarkan

    khabar ahad. Jika seorang muqallid menghadapi suatu masalah, dan

    ia hanya mengetahui satu pendapat dari seorang mujtahid saja,

    sedangkan pendapat-pendapat mujtahid lain dalam masalah itu tidak

    ia ketahui; maka ia boleh mengambil hukum dari mujtahid yang ia

    ketahui tersebut.lxxvii

    lxxviii

    Sebab, ia hanya dituntut untuk mengetahui

    hukum syariat, bukan mengkaji pendapat para mujtahid. Dalam

    kondisi semacam ini, ia tidak dituntut untuk melakukan tarjih. Jikaseorang muqallid mengetahui ragam pendapat dari para mujtahid,

    dan hendak mengambil salah satu pendapat diantara pendapat-

    pendapat tersebut, maka ia wajib melakukan tarjih. Hanya saja, ia

    tidak boleh mengambil salah satu pendapat, atau melakukan tarjih

    berdasarkan kehendak hawa nafsunya dan kepentingan-

    kepentingannya. Sebab, tujuan diturunkannya syariat adalah agar

    manusia tidak berhukum kepada hawa nafsu dan kepentingan-

    kepentingannya; sehingga, ia benar-benar beribadah kepada Allahdengan tulus dan ikhlash. Dengan kata lain, ia harus melakukan tarjih

    yang syar'iy, bukan tarjih yang ditujukan untuk memperturutkan

    kepentingan dan hawa nafsu.

    Dari sini bisa dipahami, bahwa tarjih yang dilakukan oleh seorang

    muqallid sangatlah beragam, tergantung dari kondisi muqallid itu

    sendiri. Benar, a'lamiyyah adalah cara yang lazim digunakan oleh

  • 7/29/2019 kadah taqlid

    54/127

    42

    hampir seluruh muqallid untuk mentarjih atau mengikuti suatu

    pendapat. Akan tetapi, ada juga cara tarjih yang tidak ditempuh

    dengan cara a'lamiyyah.

    Biasanya, seorang muqallid 'amiy mengikuti pendapat seorang

    mujtahid berdasarkan dua cara.

    Pertama, seorang muqallid mengikuti pendapat seorang mujtahid

    atau 'ulama berdasarkan kepercayaan dirinya terhadap keilmuan dan

    ketaqwaan orang yang diikutinya, seperti kepercayaannya kepada

    bapaknya, atau seorang alim ulama. Setelah ia mengetahui keilmuan

    dan ketaqwaan orang yang diikutinya, selanjutnya ia taqlid kepada

    orang tersebut. Sesungguhnya, tarjih semacam ini tetap bertumpu

    pada agama (syariat Islam), bukan bertumpu atau berdasarkan hawa

    nafsu.

    Kedua, kadang-kadang ada muqallid 'amiy yang mengetahui hukum

    syariat dan dalil-dalil mengenai wajibnya belajar fikih, hadits dan

    sebagainya. Kemudian, ia mampu membedakan hukum syariat

    beserta dalil-dalilnya, mengambil hukum syariat jika didasarkan pada

    dalil-dalil syariat, dan ia tidak mengambil hukum syariat yang tidak

    disertai dalilnya. Dalam kondisi semacam ini, seorang muqallid 'amiy

    tidak boleh mengambil pendapat berdasarkan kepercayaannya

    kepada mujtahid, akan tetapi ia harus mengambil hukum syariat

    berdasarkan dalil. Dua cara ini lazim dilakukan oleh muqallid 'amiy;

    yakni seorang muqallid yang tidak memiliki sebagian pengetahuanyang lazim digunakan untuk ijtihad. Jika muqallid 'amiy berada dalam

    dua kondisi ini telah mengetahui dalil, maka ia wajib meninggalkan

    pendapat yang didasarkan pada ketsiqahannya (kepercayaannya)

    kepada seorang mujtahid. Ia wajib mengambil pendapat berdasarkan

    dalil syariat, bukan berdasarkan kepercayaannya terhadap seorang

    mujtahid atau ulama. Oleh karena itu, jika seorang muqallid

    menyakini bahwa dalil yang dijadikan sandaran mujtahid yang tidak

  • 7/29/2019 kadah taqlid

    55/127

    43

    diikutinya lebih kuat, maka ia wajib meninggalkan pendapatnya dan

    mengikuti pendapat mujtahid lain itu.lxxix

    Namun, jika ia tidak yakin

    dengan kekuatan dalil mujtahid yang tidak diikutinya, maka ia tidakharus meninggalkan pendapatnya, dan mengikuti mujtahid lain itu.

    Sebab, ia tidak menemukan dalil yang lebih kuat.

    Atas dasar itu, seorang muqallid 'amiytidak boleh memilih-milih dan

    mengikuti banyak madzhab berdasarkan hawa nafsu dengan

    keinginannya. Ia tidak bisa dengan mudah mengambil pendapat dari

    madzhab-madzhab yang berbeda untuk setiap masalah yang

    dihadapinya. Akan tetapi, ia harus melakukan tarjih bila dihadapkan

    banyak pendapat dan madzhab.lxxx

  • 7/29/2019 kadah taqlid

    56/127

    44

    BAB V

    PINDAH MADZHAB

    Ijtihad Mujtahid Adalah Hukum Syariat

    Bagi Muqallid

    ada dasarnya, Allah swt tidak memerintahkan kaum Muslim

    untuk mengikuti pendapat seorang mujtahid. Akan tetapi, Dia

    hanya memerintahkan kaum Muslim untuk memahami dan

    mengambil hukum syariat, bukan yang lain. Allah swt juga

    memerintahkan kita untuk mengambil semua ketentuan yang telah

    diturunkan kepada Nabi Mohammad sawlxxxi

    . Allah swt telah

    berfirman;

    "Dan apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalahdia, dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah;

    dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat

    keras hukumanNya."[al-Hasyr:7]

    Berdasarkan ayat ini; seorang Muslim tidak diperbolehkan secara

    syar'iy mengikuti seseorang selain Rasulullah saw. Namun demikian,

    fakta taqlidtelah menjadikan kaum Muslim mengikuti hukum syariat

    P

  • 7/29/2019 kadah taqlid

    57/127

    45

    yang digali oleh seorang mujtahid, menjadikannya sebagai imam

    mereka; merujuk pendapat-pendapatnya; bahkan menjadikan

    mereka sebagai imam madzhab. Semua ini semata-mata dilakukankarena keterbatasan dan ketidakmampuan mereka dalam menggali

    hukum syariat langsung dari dalil-dalil syariat. Akibatnya, kita

    mengenal pengikut Imam Syafi'iy (Syafi'iyyah), Imam Abu Hanifah

    (Hanafiyah), Imam Malik (Malikiyyah), Imam Ibnu Hanbal

    (Hanabilah), Zaidiyyah, dan lain sebagainya. Orang-orang ini,

    sesungguhnya bukan mengikuti Imam-imam Madzhab tersebut

    maupun pendapat pribadi mereka, akan tetapi, mereka mengikuti

    hukum syariat yang digali oleh Imam-imam Madzhab tersebut. Oleh

    karena itu, apa yang mereka lakukan i