hadist ahad dalam masalah aqidah
Post on 07-Aug-2015
103 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
Hadits Ahad
Akidah
Azizi FathoniAsh-Shiddiqi
PENGERTIAN HADITS AHAD
PENGERTIAN AKIDAH
hlm 14
Asy-Syaikh Abdullah bin Abdul Hamid Al-Atsariy:
hlm 15
Asy-Syaikh Abu Bakar Al-Jazairiy:
Perkara Akidah menuntut pembenaran yang bersifat pasti ( 100% ), berdasarkan:
Al-Qur’an surat Yunus [10]: 36*
“dan kebanyakan mereka tidak
mengikuti kecuali persangkaan
saja. Sesungguhnya
persangkaan itu tidak
sedikitpun berguna untukmencapai kebenaran.
Sesungguhnya Allah Maha
mengetahui apa yang mereka
kerjakan.”
* Juga An-Nisa [4]: 157, Al-An’am [6]: 116, 148, Yunus [10] 66, 68, An-Najm [53]: 23, 27-28
Al-Imam Al-Mufassir Abu Bakr Al-Qurthubiy Al-Maliki (w. 671 H):
“Ayat ini (Yunus 36) merupakan dalil bahwasannya zhann
(dugaan) tidak cukup untuk menjadi dasar dalam perkara-perkara
akidah.”
juz 10 hlm 502
AKIDAH = KEYAKINAN 100% TIDAK MUNGKIN < 100%
Pembenaran yang bersifat pasti ( dengan menafikan secara
pasti adanya kemungkinan lain ) pembenaran 100%
Pembenaran yang bersifat tidak pasti ( tanpa menafikan
adanya kemungkinan lain ) pembenaran > 50% dan < 100%
Posisi antara membenarkan dan menafikan 50% - 50%
Pembenaran yang bersifat tidak pasti terhadap perkara yang
sebenarnya salah secara tidak pasti > 0% dan < 50%
Posisi tidak tahu sama sekali atau membenarkan secara pasti
sesuatu yang sebenarnya salah 0%
Al-Yaqîn, Al-’Ilm
( keyakinan )
Azh-Zhann
( dugaan )
Asy-Syakk
( keragu-raguan )
Al-Wahm
( fancy )
Al-Jahâlah
( ketidaktahuan )
DI ANTARA ‘ULAMA YANG BERPENDAPAT BAHWA HADITS AHAD
BERFAIDAH ‘ILM ( YAKIN ) SECARA MUTLAK
Al-Imam Ibn Hazm (w. 456 H), dan menurut beliau: Abu
Sulaiman Dawud Azh-Zhahiriy, Husain bin Ali Al-Karabisiy,
Haris bin Asad Al-Muhasibiy
juz 1 hlm 119
hlm 66
Menurut Al-Imam Tajuddiyn Ibn As-Subkiy (w. 771 H): Al-Imam
Ahmad bin Hambal (w. 241 H) (dalam sebuah riwayat)
juz 7 hlm 359
Menurut Al-Hafizh Ibn Hajar Al-Asqalaniy (w. 852 H):
Muhammad bin Ali bin Ishaq bin Khuwayzamandad Al-Malikiy
DI ANTARA ‘ULAMA YANG BERPENDAPAT "HADITS AHAD TIDAK BERFAIDAH
‘ILM ( KEYAKINAN ) KECUALI JIKA DISERTAI QARÎNAH ( INDIKASI )"
Menurut Al-Imam Abu Ishaq Asy-Syiyraziy (w. 476 H): Abu
Ishaq An-Nazhzham Al-Mu’taziliy (w. 231 H)
hlm 154
Al-Imam Abu Bakar Ar-Raziy Al-Jashshash Al-Hanafiy (w. 370
H)
juz 3 hlm 53
Al-Imam Al-’Allamah Ali bin Muhammad Al-Amidiy Asy-
Syafi’iy (w. 631 H)
juz 2 hlm 43
hlm 66
Al-Imam Qadhi-l-Qudhah Tajuddiyn Ibn As-Subkiy As-Syafi’iy
(w. 771 H)
juz 2 hlm 51
Menurut Al-Imam Jalaluddin As-Suyuthiy (w. 911 H): Imam Al-
Haramayn Al-Juwainiy (w. 478 H), Al-Ghazaliy (w. 505 H), Ibn As-Subkiy
(w. 771 H), Al-Amidiy (w. 631 H), Ibnu Al-Hajib (w. 646 H), dan Al-
Baidhawiy (w. 691 H).
DI ANTARA ‘ULAMA YANG BERPENDAPAT BAHWA HADITS AHAD TIDAK
BERFAIDAH ‘ILM (KEYAKINAN) KECUALI JIKA DISERTAI QARÎNAH (INDIKASI)
BERUPA “TALAQQIY AL-UMMAH BIL-QABÛL”
Al-Imam Abu Ishaq Ibrahim bin Ali Asy-Syiyraziy (w. 476 H)
(dalam pendapat barunya)
hlm 154
Menurut Al-Hafizh An-Nawawi (w. 676 H): Al-Hafizh Abu Amr
Ibn Shalah Asy-Syahrazuriy (w. 643 H)
juz 1 hlm 40
Syaikhu-l-Islam Ibn Taimiyyah Al-Harraniy (w. 728 H) dan
menurut beliau: Al-Hanabilah
juz 2 hlm 73
Al-Imam Al-Hafizh Ibn Katsir Asy-Syafi’iy (w. 774 H)
juz 1 hlm 126
DI ANTARA ‘ULAMA YANG BERPENDAPAT BAHWA HADITS AHAD TIDAK
BERFAIDAH ‘ILM (KEYAKINAN) KECUALI JIKA DISERTAI QARÎNAH (INDIKASI)
BERUPA SIFAT “AL-MASYHÛR” ATAU “AL-MUSTAFÎDH”
hlm 66
Menurut Al-Imam Tajuddiyn Ibn As-Subkiy (w. 771 H): Al-Ustadz
Abu Ishaq Al-Isfirayiyniy (w. H) dan Ibnu Faurak Asy-
Syafi’iy (w. 406 H)
juz 2 hlm 52
Menurut Al-Imam Jalaluddin As-Suyuthiy (w. 911 H): Al-Imam
Abu Ishaq Al-Isfirayiyniy (w. H)
juz 2 hlm 53
Menurut Al-Imam Jalaluddin As-Suyuthiy (w. 911 H): Al-Imam
Abu Manshur Abdul Qahir Al-Baghdadiy Al-Hambaliy (w. 429 H)
PARA ‘ULAMA YANG BERPENDAPAT BAHWA HADITS AHAD
BERFAIDAH ZHANN ( DUGAAN ) SECARA MUTLAK
Menurut Al-Imam As-Sarakhsiy Al-Hanafiy (w. 483 H): Al-Imam
Abu Hanifah An-Nu’man bin Tsabit (w. 150 H)
juz 3 hlm 79-80
juz 2 hlm 661
Menurut ‘Alauddiyn As-Samarqandiy Al-Hanafiy (w. 450
H): Mayoritas ‘Ulama
Fakhru-l-Islam Ali bin Muhammad Al-Bazdawiy Al-Hanafiy (w.
482 H)
hlm 158
juz 1 hlm 112
Al-Imam Abu Bakar As-Sarakhsiy Al-Hanafiy (w. 490 H)
Al-Imam Abul-Barakat An-Nasafiy Al-Hanafiy (w. 710 H)
juz 2 hlm 19
hlm 272
Al-Imam Al-’Allamah Ibn Najiym Al-Hanafiy (w. 970 H), dan
menurut beliau: Mayoritas ‘Ulama dan Seluruh Fuqaha’
Al-Imam ‘Alauddiyn Abd Al-‘Aziz Al-Bukhari Al-Hanafiy (w. 730
H)
juz 1 hlm 84
Menurut Al-Hafizh Al-’Iraqi (w. 806 H): Al-Qadhiy Abu Bakar
Al-Baqillaaniy Al-Malikiy (w. 403 H)
hlm 15
juz 1 hlm 7
Al-Hafizh Al-Muhaddits Ibn ‘Abdil-Barr Al-Malikiy (w. 463 H) dan
menurut beliau: Mayoritas Malikiyyah
hlm 234
Al-Hafizh Abu Al-Walid Al-Bajiy Al-Malikiy (w. 474 H) dan
menurut beliau: Seluruh Fuqaha’
hlm 115
Al-Qadhiy Abu Bakar Ibn Al-’Arabiy Al-Malikiy (w. 543 H)
Asy-Syaikh Muhammad Abdul ‘Azhim Az-Zurqani Al-Malikiy (w.
1367 H)
juz 2 hlm 188
juz 1 hlm 7
Menurut Al-Imam Ibn ‘Abdil Barr (w. 463 H): Al-Imam
Muhammad bin Idriys Asy-Syafi’iy (w. 204 H), mayoritas fuqaha’
dan ‘ulama
Al-Hafizh Al-Muhaddits Al-Khathiyb Al-Baghdadiy Asy-Syafi’iy
(w. 463 H)
hlm 16
Al-Imam Abu Ishaq Ibrahim bin Ali Asy-Syiyraziy Asy-Syafi’iy
(w. 476 H) (dalam pendapat lamanya)
hlm 298
juz 2 hlm 262
Al-Imam Abu Al-Muzhaffar As-Sam’aniy Asy-Syafi’iy (w. 489 H)
Al-Imam Muhammad Ar-Raziy Fakhruddiyn Asy-Syafi’iy (w. 604
H)
juz 1 hlm 200
juz 1 hlm 187
Al-Hafizh Abu Zakariyya An-Nawawiy Asy-Syafi’iy (w. 676 H)
dan menurut beliau: Mayoritas Sahabat, Tabi’iyn,
Muhadditsiyn, Fuqaha’, dan Ushuliyyiyn
juz 1 hlm 188
Al-Hafizh Al-Mujtahid Ibn Daqiq Al-’Iyd Asy-Syafi’iy (w. 702
H) dan menurut beliau: Mayoritas ‘Ulama
juz 1 hlm 183
Al-Hafizh Al-Faqiyh Sirajuddin Ibn Al-Mulqin Asy-Syafi’iy (w.
804 H). Dan menurut beliau: Al-Hafizh An-Nawawi, Al-Imam Ibn
Burhan, dan Al-Imam ‘Izzuddin ‘Abdussalam
juz 1 hlm 76-77
Al-Imam Al-Hafizh Al-Muhaddits Abdurrahman bin Abi Bakr
Al-’Iraqi Asy-Syafi’iy (w. 806 H)
hlm 15
Al-Muhaddits Ahmad Ibn Hajar Al-Haitamiy Asy-Syafi’iy (w.
974 H)
juz 1 hlm 60
hlm 52
Menurut Al-Imam Ibn Qudamah Al-Maqdisiy Al-Hambaliy (w.
620 H): Al-Imam Ahmad bin Hambal (w. 241 H) (dalam salah
satu riwayat), Mayoritas ‘Ulama, dan Hanabilah
Mutaakhkhiriyn
Al-Imam Abu Al-Khaththab Mahfuzh bin Ahmad Al-Hambaliy
(w. 510 H)
juz 3 hlm 78
hlm 53
Menurut Sulaiman bin Abdil Qawiy Ath-Thufiy Al-Hambaliy (w.
716 H): yang paling menonjol dari dua riwayat pendapat Al-
Imam Ahmad bin Hambal dan Mayoritas ‘Ulama
Al-Imam Shafiyuddiyn Al-Baghdadiy Al-Hambaliy (w. 739 H),
dan menurut beliau: Al-Imam Ahmad dalam salah satu riwayat,
Mayoritas ‘Ulama dan Hanabilah Muta’akhkhiruwn
hlm 48
Menurut Al-Imam ‘Alauddiyn ‘Ali bin Sulaiman Al-Mardawiy
Al-Hambaliy (w. 885 H): yang sahih dari dua riwayat pendapat
Al-Imam Ahmad bin Hambal, Mayoritas Hanabilah dan
Mayoritas ‘Ulama.
hlm 1808
PENDAPAT TERKUAT
Pendapat Terkuat Pendapat Jumhur ‘Ulama dan Fuqaha:
HADITS AHAD BERFAIDAH ZHANN ( DUGAAN ) SECARA MUTLAK
Hadits Ahad berfaidah zhann ( dugaan ) tidak berfaidah ‘ilm ( keyakian ) karena
dia mengandung ihtimâl ( kemungkinan salah ). Sebab para perowi hadits bukan
orang yang ma’shûm ( dijamin terjaga dari kesalahan ), tidak sebagaimana para
nabi dan rasul. Mereka memungkinkan dusta, lupa, lalai, dsb. dalam
meriwayatkan. Hadits yang mengandung kemungkinan salah semacam ini –
sekecil apapun kemungkinan tersebut– tidak mungkin dapat menimbulkan
keyakinan. Maksimal, faidah yang dihasilkannya adalah ghalabatu-zh-zhann atau
azh-zhann al-ghâlib ( dugaan kuat ).
hlm 66
Al-Imam Tajuddiyn Ibn As-Subkiy (w. 771 H): “Haidts Ahad
tidak berfaidah keyakinan kecuali jika disertai qariynah
(indikasi), Mayoritas ‘Ulama berpendapat dia tidak berfaidah
keyakinan secara mutlak, menurut Al-Imam Ahmad (dalam
salah satu riwayat) dia berfaidah keyakinan secara mutlak. …”
Al-Imam Jalaluddiyn As-Suyuthiy (w. 911 H): “Telah terjadi
perbedaan pendapat terkait faidah keyakinan pada Hadits Ahad
dalam beberapa pendapat: Pertama: Tidak berfaidah keyakinan
secara mutlak. Ini adalah pendapat mayoritas ‘ulama, baik
dengan disertai qariynah maupun tidak. …”
juz 2 hlm 50-51
Asy-Syaikh Al-’Allamah ‘Abdullah bin Ibrahim Asy-Syinqithiy Al-Malikiy (w.
H): “[ … ] [ Hadits Ahad berfaidah dugaan dan lepas dari ikatan-ikatan
(syarat-syarat) yang ada pada Hadits Mutawatir ] [ dan Hadits Mustafidh
adalah di antaranya, minimal dia diriwayatkan oleh empat orang, menurut
sebagian mereka di atas ] [ satu (dua), dan menurut sebagian lain selanjutnya
(tiga), dan menjadikannya pertengahan (antara Hadits Mutawatir dan Ahad)
adalah pendapat yang jelas ] [ dan menurut mayoritas ‘ulama yang kompeten
dia tidak berfaidah ‘ilm (keyakinan) secara mutlak ] [ … ].”
bayt
540-543
Asy-Syaikh Al-’Allamah Muhammad Al-Amiyn Asy-Syinqithiy (w. 1393 H): “…
Dalam masalah apakah Hadits Ahad berfaidah keyakinan atau dia tidak
berfaidah kecuali hanya dugaan, para ‘ulama ushul memiliki tiga madzhab:
Pertama; madzhab mayoritas ‘ulama ushul: bahwa Hadits Ahad hanya
berfaidah dugaan saja, dia tidak berfaidah keyakinan. …”
hlm 155
BUKTI BAHWA KEBENARAN HADITS AHAD TIDAK BERSIFAT PASTI
Contoh 1: Hadits lama penciptaan
Hadits Nomor 2789
Keterangan:
Hadits riwayat Muslim tersebut bertentangan dengan Al-Qur’an surat As-Sajdah [32]: 4*
* Lihat juga Al-A’raf [7]: 54, Yunus [10]: 3, Huwd [11]: 7, Al-Furqan [25]: 59, Qaaf [50]: 38, dan Al-Hadiyd [57]: 4
“Allah lah yang menciptakan
langit dan bumi dan apa yang
ada di antara keduanya dalam
enam masa, kemudian Dia
bersemayam di atas 'Arsy. tidakada bagi kamu selain dari
padanya seorang penolongpun
dan tidak (pula) seorang
pemberi syafa'at. Maka Apakah
kamu tidak memperhatikan?.”
• Pada prinsipnya, nash-nash syara’ tidak mungkin saling bertentangan antara satu
dengan yang lainnya, karena semuanya berasal dari satu sumber yang sama, yaitu
Allah swt.
• Kesan pertentangan sebisa mungkin dikompromikan dahulu dengan melihat
aspek-aspek seperti: pengkhususan terhadap yang bersifat umum, pembatasan
terhadap yang bersifat mutlak, perincian terhadap yang bersifat global, dan
penghapusan hukum lama dengan hukum baru.
• Terjadinya pertentangan antara Al-Qur’an dan Hadits Ahad di atas, sementara
keduanya sama sekali tidak mungkin dikompromikan, secara pasti tidak akan
mengantarkan kepada pembenaran terhadap keduanya sekaligus, melainkan akan
menimbulkan keyakinan bahwa salah satu di antara keduanya pasti salah.
• Karena Al-Qur’an tidak mungkin salah, sebab dia diriwayatkan secara mutawatir,
berarti yang salah adalah Hadits Ahad. Ini membuktikan secara pasti bahwa Hadits
Ahad memungkinkan untuk salah.
hlm 674
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin: “Hadits ini
diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim rahimahullah, dan telah
diingkari oleh para ‘ulama, dia bukan hadits shahih dan
tidak benar berasal dari Nabi saw, karena dia telah
menyelisihi Al-Qur’an Al-Kariym.”
Al-Imam ‘Alauddiyn As-Samarqandiy Al-Hanafiy (w. 450 H):
“Adapun apabila dia (Hadits Ahad) menyelisihi salah satu
dari pokok-pokok ini (Al-Qur’an, Hadits Mutawatir, dan Ijma’),
maka wajib ditolak atau ditakwil untuk mengkompromikan
keduanya.”
hlm 631
Contoh 2: Hadits Jibril as. tentang Iman, Islam, dan Ihsan
Hadits Nomor 50
Contoh 2: Hadits Jibril as. tentang Iman, Islam, dan Ihsan
Hadits Nomor 50
Hadits Nomor 8
Hadits Nomor 9
Hadits Nomor 10
Hadits Nomor 184
Hadits Nomor 173
Keterangan:
Semua Hadits Ahad tersebut Shahih, menceritakan satu kejadian yang sama, yaitu
kedatangan malaikat Jibril as kepada Rasulullah saw yang sedang berada di tengah-tengah
para sahabat, mengajarkan apa itu Iman, Islam, dan Ihsan, kapan Kiamat dan apa tanda-
tandanya (dalam bentuk pertanyaan).
Adanya pemberitaan yang berbeda oleh para perawi menunjukkan bahwa kebenaran Hadits
Ahad tidak bersifat pasti. Kita tidak bisa memastikan mana hadits yang benar dan tidak
pula berani diambil sumpah atasnya, karena membenarkan secara pasti salah satu dari
hadits-hadits tersebut berarti menganggap yang lainnya tidak benar. Dan jika
membenarkan secara pasti kesemuanya berarti kita meyakini bahwa kejadian tersebutterjadi berkali-kali, yang mana di setiap kalinya Rasulullah saw memberi jawaban yang
berbeda untuk pertanyaan-pertanyaan yang sama, dan hal itu tidak mungkin.
Apabila memang Hadits Ahad berfaidah ‘ilm alias kebenarannya bersifat pasti, seharusnya
perbedaan di atas tidak boleh dan tidak mungkin terjadi.
Contoh 3: Hadits mi’raj Rasulullah saw
Hadits Nomor 3207
Hadits Nomor 7517
Keterangan:
Dua hadits riwayat Al-Bukhari tersebut menceritakan satu kejadian yang sama, yaitu
perjalanan mi’râj Rasulullah saw melintasi tujuh tingkatan langit menuju sidratul-muntaha.
Adanya pemberitaan yang berbeda oleh para perawi menunjukkan bahwa kebenaran
Hadits Ahad tidak bersifat pasti. Kita tidak bisa memastikan mana yang benar dari duahadits shahih yang berbeda tersebut dan kita juga tidak berani diambil sumpah atasnya.
Karena membenarkan secara pasti salah satu dari dua hadits tersebut berarti menganggap
satunya lagi tidak benar. Dan jika membenarkan secara pasti kedua-duanya berarti kita
meyakini bahwa kejadian tersebut terjadi lebih dari satu kali, di mana di setiap kalinya
Rasulullah saw bertemu dengan nabi-nabi berbeda di tingkatan-tingkatan langit yangsama, dan hal itu (mi’raj dua kali) tidak pernah dikenal di kalangan ulama baik salaf
maupun khalaf.
Apabila memang Hadits Ahad berfaidah ‘ilm alias kebenarannya bersifat pasti, seharusnya
perbedaan di atas tidak boleh dan tidak mungkin terjadi.
hlm 131
Contoh 4: Tertolaknya riwayat Ahad dalam penetapan ayat-
ayat Al-Qur’an
hlm 167-168
juz 1 hlm 200
Keterangan:
Jika memang periwayatan secara Ahad bisa mengantarkan kepada ‘ilm (keyakinan) alias
kebenarannya bersifat pasti, niscaya para sahabat tidak akan berani menolak ayat-ayat
yang diriwayatkan secara Ahad saat berlangsungnya proses pengumpulan dan
pembukuan Al-Qur’an di masa khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq ra.
Atau, niscaya sebagaian dari mereka akan menentang penolakan terhadap ayat-ayat
yang diriwayatkan secara Ahad tersebut, namun pada kenyataannya tidak demikian.
Hal tersebut membuktikan adanya ijma’ di kalangan para Sahabat Nabi dalam
bahwasannya riwayat Ahad bersifat zhanniy, karenanya tidak bisa digunakan sebagaijalan dalam menetapkan perkara yang bersifat pasti (kepastian Al-Qur’an sebagai firman
Allah swt.)
HADITS AHAD TETAP BERFAIDAH ZHANN (DUGAAN)
SEKALIPUN DISERTAI AL-QARÎNAH (INDIKASI)
hlm 66
Yang dimaksud Qarinah dalam bab ini menurut Dr. Mahmud
Ath-Thahhan:
Bisakah al-qarinah berupa talaqqiy al-ummah bil-qabuul (kesepakatan umat untuk menerima)
menjadikan Hadits Ahad berfaidah ‘ilm (keyakinan)? Contoh:
Hadits Ahad yang diriwayatkan Al-Bukhari dan Muslim
Jawab:
1. Kesepakatan untuk menerima hadits-hadits Al-Bukhari dan Muslim tidak lain adalah kesepakatan
untuk menerima kesahihan menurut zhahir sanadnya, bukan kesepakatan atas ke-qath’iy-an
shahihnya riwayat beliau berdua.
2. Kesepakatan atas diterimanya periwayatan seorang perawi tidak menunjukkan bahwa perawi
tersebut adalah orang yang ma’shum (dijamin terjaga dari kesalahan).
3. Sudah terbukti pada contoh-contoh sebelum ini, bahwa di antara Hadits riwayat Al-Bukhari dan
Muslim ada yang bertentangan dengan Al-Qur’an, juga ada yang saling bertentangan dengan
sesamanya tanpa bisa dikompromikan. Itu menunjukkan bahwa riwayat jenis ini tetap memiliki
kemungkinan salah, dan yang memungkinkan salah mustahil menimbulkan keyakinan.
Wallaahu a’lam
Al-Imam Al-Hafizh An-Nawawi (w. 676 H): “Asy-Syaikh (Al-
Hafizh Ibn Shalah) menyebutkan bahwa apa yang diriwayatkan
oleh mereka berdua (Al-Bukhari dan Muslim) atau salah satu
dari keduanya maka keshahihannya bersifat pasti, dan
menghasilkan keyakinan. Beliau diselisihi oleh para ’UlamaMuhaqqiqun dan Mayoritas, mereka mengatakan: (apa yang
diriwayatkan Al-Bukhari-Muslim) berfaidah dugaan selama
tidak mutawatir. Wallaahu A’lam.”
hlm 28
Al-Hafizh Al-Faqiyh Sirajuddin Ibn Al-Mulqin Asy-Syafi’iy (w. 804 H): “Kesepakatan umat untuk
mengamalkan apa yang ada pada keduanya (Shahih Al-Bukhari dan Muslim) tidak otomatis
menunjukkan kesepakatan mereka bahwa dia adalah sabda Rasulullah saw. secara pasti.”
juz 1 hlm 76-77
Sanggahan Al-Hafizh An-Nawawi terhadap pendapat Al-Hafizh
Ibnu Shalah dalam kitab syarah beliau atas Shahih Muslim:
juz 1 hlm 41
Bisakah al-qarinah berupa sifat “Al-Masyhur” dan “Al-Mustafidh” menjadikan Hadits Ahad berfaidah
‘ilm (keyakinan)?
Jawab:
1. Al-Masyhur dan Al-Mustafidh adalah hadits yang diriwayatkan melalui banyak jalur tapi tidak sampai
derajat mutawatir. Ada yang mengatakan keduanya sama, ada yang mengatakan yang pertama lebih
umum dari yang kedua, dan ada yang mengatakan sebaliknya.
2. Penentu apakah suatu hadits berfaidah ‘ilm (keyakinan) atau tidak adalah apakah dalam
periwayatannya memungkinkan terjadinya kesepakatan dusta atau tidak.
3. Kesepakatan dusta hanya mustahil terjadi pada Hadits Mutawatir sehingga hanya Hadits Mutawatir
saja yang berfaidah ‘ilm (keyakinan), sementara Hadits Al-Masyhur dan Hadits Al-Mustafidh tidak.
4. Keduanya merupakan bagian dari Hadits Ahad dan berfaidah zhann (dugaan). Hanya saja, kekuatan
keduanya melebihi kekuatan Hadits Ahad pada umumnya namun tidak sampai menyamai kekuatan
Hadits Mutawatir, keduanya menimbulkan ‘ilm thuma’niynah (ketenangan jiwa) namun tidak sampai
menimbulkan ‘ilm yaqiyn (keyakinan). Wallaahu a’lam
Pengertian Hadits Al-Masyhur:
hlm 116
Al-Imam Ibn Najiym Al-Hanafiy (w. 970 H): “Pendapat yang benar adalah kesepakatan ‘ulama
atas ketidakkafiran orang yang menolak hadits Masyhur disebabkan ke-ahad-an pangkalnya,
maka penolakan terhadapnya belum secara pasti berarti pendustaan terhadap Nabi saw.”
hlm 271
hlm 16
PERKATAAN PARA ‘ULAMA BAHWA HADITS AHAD TIDAK BISA DIGUNAKAN
SEBAGAI HUJJAH DALAM PERKARA AKIDAH (KEYAKINAN)
Al-Imam ‘Alauddiyn As-Samarqandiy Al-Hanafiy (w. 450 H):
“Adapun apabila dia (Hadits Ahad) berkenaan dengan
perkara-perkara akidah –yaitu masalah-masalah Kalam–
maka dia tidak bisa menjadi hujjah.”
hlm 632
Al-Hafizh Abu Bakar Al-Baihaqiy Asy-Syafi’iy (w. 458 H):
“Dikarenakan aspek ini, yaitu adanya ihtimal (kemungkinan
salah), maka para ulama ahli nazhar dari madzhab kami,
meninggalkan berhujjah dengan Hadits Ahad dalam perkara
sifat Allah swt.”
hlm 335
Al-Hafizh Al-Muhaddits Al-Khathiyb Al-Baghdadiy (w. 463 H):
“Hadits Ahad tidak diterima dalam perkara-perkara agama yang
menuntut para mukallaf untuk meyakininya dan memastikannya.”
hlm 432
Al-Imam Abu Ishaq Asy-Syiyraziy Asy-Syafi’iy (w. 476 H):
“Jawabannya adalah bahwa dalam perkara ushul (seperti
Tauhid dan Penetapan Sifat-sifat Allah swt) dalil-dalil nya harus
logis, yang mengharuskan keyakinan serta menghilangkan
sangsi, maka kami tidak menggunakan Hadits Ahad.”
juz 2 hlm 601
juz 3 hlm 27-28
Al-Imam Abu Al-Khaththab Mahfuzh bin Ahmad Al-Hambaliy
(w. 510 H): “Kami menerimanya (Hadits Ahad) dalam perkara
‘amaliyah (praktis), dan jika diberitakan kepada kami suatu
qira’ah syadzdzah (ayat dengan riwayat ahad) yang di
dalamnya ada ketetapan halal dan haram maka kami mengambilnya, namunkami tidak mengakuinya sebagai Al-
Qur’an, karana jalan penetapan Al-Qur’an dan Ushuluddiyn
(Akidah) adalahkeyakinan, sementara keyakinan tidak bisa
timbul dengan Hadits Ahad.”
Al-Imam Muhammad bin Abdil Hamiyd Al-Asmandiy Al-Hanafiy
(w. 552 H): “Tidak boleh menerima Hadits Ahad (sebagai hujjah)
dalam perkara-perkara akidah.”
hlm 406
Al-Imam Abu Ats-Tsana’ Al-Hanafiy (w. 6.. H): “Hadits Ahad tidak bisa
dijadikan hujjah dalam masalah-masalah akidah, karena masalah-
masalah akidah dibangun berdasarkan keyakinan yang pasti, sementara
Hadits Ahad (hanya) menimbulkan kebenaran pada umumnya dan
dugaan kuat , tidak sampai kebenaran yang bersifat pasti.”
hlm 148
Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah Al-Hambali (w. 728 H):
“Bagaimana bisa pokok agama yang keimanan tidak sah
tanpanya itu ditetapkan berdasaran Hadits Ahad?”
(Bantahan beliau atas Rafidhah yang mengklaim Hadits tentang
kedatangan Al-Imam Al-Mahdiy untuk melegitimasi kedatanganMuhammad bin Al-Hasan, imam mereka yang ke-12)
juz 4 hlm 94-95
Al-Imam Syaikhu-l-Islam Taqiyuddiyn As-Subkiy Asy-Syafi’iy (w.
756 H): “ke-qath’iy-an atau ke-mutawatir-an bukan merupakan
syarat baginya (penetapan ru’yatu-Llaah), bahkan tatkala suatu
hadits yang shahih meski hanya zhahirnya, sementara dia
adalah Hadits Ahad, maka boleh dijadikan dasar dalam perkaraitu, karena perkara itu tidak termasuk dalam masalah akidah
yang menuntut syarat kepastian.”
hlm 495-496
juz 1 hlm 20
Al-’Allaamah Sa’du-d-Diyn At-Taftazaniy Al-Hanafiy (w. 791 H):
“Dalil zhanniy tidak diperhitungkan dalam bab akidah,
khususnya jika mencakup kontradiksi antar riwayat. …”
hlm 89
Al-Hafizh Ibn Hajar Al-Asqalani Asy-Syafi’iy (w. 852 H): “… Bahwa
Beliau (Al-Bukhari) menggiring hadits-hadits tentang sifat suci Allah
dengan menjadikan setiap hadits menjadi satu bab lalu
memperkuatnya dengan ayat Al-Qur’an, untuk menunjukkan bahwa
hadits-hadits tersebut tidak termasuk Hadits Ahad, demi tidakberhujjah dengannya (Hadits Ahad) dalam perkara-perkara akidah.”
Al-Imam Zainuddiyn bin Ibrahim Ibn Najiym Al-Hanafiy (w. 970
H): “Penjelasan tentang tempat digunakannya Hadits Ahad
maka di luar perkara-perkara akidah, karena sesungguhnya
perkara-perkara akidah tidak bisa ditetapkan berdasarkan
Hadits Ahad lantaran keharusannya dibangun berdasarkankeyakinan.”
hlm 293
Al-’Allamah ‘Ali Al-Qariy Al-Hanafiy (w. 1014 H): “… karena dia
(penetapan kedudukan orang tua Nabi saw di akhirat)
termasuk dalam bab i‘tiqad (keyakinan) maka tidak berlaku
padanya dalil-dalil zhanniy, dan tidak cukup hanya
berdasarkan Hadits-hadits Ahad yang lemah dan riwayat-riwayat Ahad yang tidak jelas, ...”
hlm 62-63
Al-Imam Al-Muhaqqiq Muhammad bin Ahmad As-Safariniy Al-
Hambaliy (w. 1188 H): “Dalil zhanniy tidak diperhitungkan dalam
perkara-perkara akidah, akan tetapi diperhitungkan dalam
perkara-perkara ‘amaliyah (syari’ah).”
juz 1 hlm 5
MENJAWAB SYUBHAT
Syubhat: “Nabi dan Rasul diutus dalam jumlah yang tidak mencapai batas mutawatir, tapi umat manusia wajib mengikuti ajaran yang mereka bawa seluruhnya (akidah dan syari’ah). Itu menunjukkan bahwa periwayatan secara Ahad telah ditetapkan oleh Allah swt untuk diterima tanpa membedakan antara akidah dan syari’ah?”
Jawaban: Yang menjadi perhatian dalam hal ini adalah bagaimana memastikan tsubut suatu khabar. Nabi dan rasul memang diutus tidak dalam jumlah mutawatir, tapi untuk membuktikan kepastian bahwa mereka adalah benar-benar utusan Allah swt, mereka dibekali mu’jizat, dan untuk menjamin kemurnian ajaran yang mereka sampaikan, mereka diberi sifat ‘ishmah (terjaga dari kesalahan). Jika dua perkara di atas (mu’jizat dan sifat ‘ishmah) ada pada diri para perawi hadits, niscaya semua khabar yang mereka riwayatkan berfaidah ‘ilm (keyakinan), sekalipun secara Ahad. Tapi pada kenyataannnya tidak demikian dan tidak mungkin demikian. Para perawi hadits tidak ma’shum dan karenanya kebenaran riwayat mereka yang Ahad tidak bersifat pasti. Perkara yang bersifat tidak pasti semacam ini tidak mungkin bisa dijadikan landasan bagi perkara yang menuntut keyakinan pasti (akidah).
Tahqiyq khabar yang dilakukan oleh Rasulullah saw
Hadits Nomor 714
Tahqiyq khabar yang dilakukan oleh Abu Bakar ra
Hadits Nomor 2101
Syubhat: “Bukankah Rasulullah saw mengutus para sahabat untuk menyampaikan, mendakwahkan, atau mengajarkan Islam (akidah dan syari’ahnya) dalam jumlah yang tidak mencapai batas mutawatir? Itu bertanda bahwa Rasulullah saw sendiri menyepakati berlakunya hadits ahad dalam perkara akidah.” Jawaban: 1. Perlu dibedakan antara aktivitas Tabliygh, Da’wah, dan Ta’liym, dengan aktivitas
Tahqiyq (pemastian). Aktivitas Tabliygh, Da’wah, dan Ta’liym tidak memiliki ketentuan syar’iy terkait dengan jumlah pelakunya, artinya dia boleh dilakukan secara individu maupun bersama-sama. Sedangkan dalam aktivitas Tahqiyq (yang dilakukan oleh pihak penerima khabar) secara ilmiyah terdapat ketentuan terkait dengan sanad, di mana dengan ketentuan itulah dapat diketahui kapan kebenaran hadits bersifat pasti, dan kapan tidak.
2. Aktivitas tahqiyq pernah dilakukan Rasulullah saw dalam hadits Dzul-Yadaiyn; dan para sahabat, diantranya Abu Bakar dalam hadits tentang bagian waris nenek, Umar bin Khaththab dalam hadits isti’dzan. Padahal ketiganya dalam perkara syari’at, untuk perkara akidah tentunya lebih utama.
3. Menurut para ulama bahwa hadiyts ‘aalin (dengan jalur periwayatan pendek) itu lebih kuat daripada hadiyts naazil (dengan jalur periwayatan panjang), maka sudah barangtentu pemberitaan secara ahad di masa Nabi saw dan para Sahabat Beliau jauh lebih kuat daripada yang kita kenal sebagai Hadits Ahad saat ini. Maka tidak bisa mengqiyaskan antara ini dan itu.
Tahqiyq khabar yang dilakukan oleh ‘Umar bin Khaththab ra
Hadits Nomor
714
Syubhat:
“Bukankah syara’ membolehkan menerima persaksian yang jumlahnya antara 1, 2, dan 4? dan itu
bukan merupakan jumlah yang mencapai mutawatir. Berarti syara’ membolehkan menerima
pemberitaan secara Ahad.”
Jawaban:
1. Ar-riwâyah (periwayatan) berbeda dengan asy-syahâdah (persaksian). Ketentuan persaksian yang
tidak ada pada periwayatan: tidak diterima persaksian tanpa al-mu’aayanah aw as-samaa’ al-
mubaasyir (melihat atau mendengar perkara secara langsung/tidak melalui pemberitaan orang
lain); tidak boleh diambil dari anak, bapak, saudara, dan musuh; memenuhi jumlah yang telah
ditetapkan; dan hanya disampaikan di majelis Qadhiy. Syarat periwayatan yang tidak ada pada
persaksian: adh-dhabt (memiliki keterjagaan hafalan dan atau tulisan). Mengqiyaskan persaksian
dengan periwayatan adalah pengqiyasan dengan adanyapembeda (al-qiyaas ma’a-l-faariq), dan
hal tersebut tidak dibenarkan.
2. Dari aspek tsubuwt-nya khabar, jumlah persaksian ditetapkan oleh syara’ bukan dalam rangka
untuk mendapatkan ke-qath’iy-an (kepastian) khabar, tapi untuk mengantarkan seorang qadhi
menetapkan perkara dengan sah secara syar’iy (meski belum tentu benar secara pasti). Nabi saw
bersabda: … aqdhiy lahu ‘alaa nahwi maa asma’ (… aku menetapkan baginya berdasarkan apa
yang aku dengar), bukan aku menetapkan baginya berdasarkan apa yang sebenarnya terjadi.
Menghukumi berdasarkan perkara zhahir (yang dilihat/didengar)
Hadits Nomor 6967
Syubhat:
“Kaum muslimin di Quba’ menerima pemberitaan secara Ahad pada saat mereka shalat
shubuh terkait pemidahan qiblat dari Masjidi-l-Aqsha menuju Masjidi-l-Haram sehingga
mereka mengubah arah shalat seketika itu juga. Rasulullah saw yang tahu hal tersebut
mendiamkan bertanda beliau setuju atas penerimaan terhadap Hadits Ahad.”
Jawaban:
Ketentuan-ketentuan di dalam amalan Shalat (baik gerakan maupun bacaan) termasuk
bab syari’at, sehingga penetapan atasnya tidak dibatasi hanya berdasarkan nashmutawatir saja, melainkan juga menerima nash ahad. Termasuk dalam ketentuan shalat
adalah menghadap qiblat, maka penerimaan penduduk Quba’ di situ baru menunjukkan
wajibnya menerima Hadits Ahad dalam perkara syari’at, belum menunjukkan penerimaan
terhadap Hadits Ahad dalam perkara Akidah.
Syubhat:
“Bukankah dalam mengamalkan syari’at juga harus berdasarkan keyakinan?.”
Jawaban: Tidak semua amalan menuntut untuk disertai keyakinan, karena fakta amalan ada yang
berdasarkan nash qath’iy, dan ada yang berdasarkan nash zhanniy.
Untuk amalan yang berdasarkan nash qath’iy secara tsubut, selama dilalah-nya juga
qath’iy maka amalan tersebut diyakini sebagai al-ma’luwm minad-diyn bidh-dharuwrah,
seperti syaria’t shalat, zakat, puasa dan haji. Mengingkari syari’at-syari’at tersebut
dihukumi kafir, karena mengingkari perkara qath’iy.
Untuk amalan yang berdasarkan nash zhanniy (zhanniy tsubut dengan qath’iy dilalah, qath’iy tsubut dengan zhanniy dilalah, atau zhanniy tsubut dan dilalah secara
bersamaan), maka pengamalannya tidak bisa disertai keyakinan, melainkan cukup
berdasarkan dugaan kuat sebagai pendapat yang rajih (lebih kuat dari yang lain), tanpa
menafikan adanya kemungkinan pendapat lain yang benar. Perselisihan pendapat di
dalamnya bukan wilayah pengkafiran.
KONSEKWENSI MENGANGGAP HADITS AHAD
BERFAIDAH ‘ILM (KEYAKINAN)
KONSEKWENSI MENGANGGAP HADITS AHAD BERFAEDAH ‘ILM
• Menganggap para perawi tsiqoh sebagai pribadi-pribadi yang ma’shûm (dijamin terjaga
dari kesalahan) di samping para nabi dan rasul, karena periwayatan mereka secara ahad
dianggap pasti benar.
• Menganggap mushhaf Al-Qur’an yang ada saat ini tidak lengkap, karena tidak
menghimpun ayat-ayat yang diriwayatkan secara ahad yang secara pasti dianggapsebagai firman Allah swt.
• Menganggap Hadits Ahad bisa me-nasakh Al-Qur’an dan Hadits Mutawatir, karena nash
qath’i tidak bisa dinasakh kecuali oleh sesama nash qath’i.
• Membuka peluang ikhtilaf yang sangat tajam di wilayah ushûl (pokok) agama yang
merupakan penentu sah dan tidaknya suatu keimanan, karena fakta Hadits Ahad tidaksedikit yang bersifat kontradiktif.
• Menganggap kafir orang yang mengingkari Hadits Ahad (karena dianggap mengingkari
nash qath’i), padahal para ‘ulama sepakat: ingkar terhadap Hadits Ahad tidak sampai
kafir.
Al-Imam Al-’Allamah Asy-Syariyf Al-Jurjaniy (w. 816 H): “Orang
yang ingkar terhadap Hadits Mutawatir adalah Kafir menurut
kesepakatan ‘ulama, … Orang yang ingkar terhadap Hadits
Ahad tidak sampai dikafirkan menurut kesepakatan ‘ulama.”
hlm 85
SIKAP TERHADAP HADITS AHAD
YANG BERHUBUNGAN DENGAN PERKARA AKIDAH
1. MENOLAKNYA: Apabila dia bertentangan dengan nash qath’iy (baik Al-Qur’an
maupun Hadits Mutawatir) dan tidak mungkin dikompromikan. Sebagian ‘ulama
men-ta’wîl-nya.
2. BER-TAWAQQUF (MENAHAN SIKAP): Apabila dia bertentangan dengansesamanya dan tidak mungkin dikompromikan, juga tidak dapat diketahui mana
yang lebih kuat. Hal ini karena tidak mungkin semuanya benar, dan bahkan tidak
menutup kemungkinan semuanya salah.
3. MEMBENARKANNYA TANPA MEYAKINI: Apabila dia tidak bertentangan dengannash qath’iy dan tidak bertentangan dengan sesama Hadits Ahad.
Membenarkan Hadits Ahad lebih menenteramkan hati dari pada mengingkarinya,
karena kemungkinannya untuk benar lebih besar dari pada kemungkinannya
untuk salah (disebabkan ke-tsiqah-an para perawi).
Namun Hadits Ahad tidak bisa dibenarkan secara pasti (diyakini), karena
kemungkinannya untuk salah tetap melekat padanya selama para perawinya
bukan orang-orang yang ma’shûm (dijamin terjaga dari kesalahan).
Bahkan haram meyakininya, karena jika Hadits Ahad yang diyakini ternyata salah,
maka klaim sah-tidaknya keimanan (baik bagi diri sendiri maupun terhadap orang
lain) berdasarkan Hadits Ahad tersebut menjadi salah, dan kesalahan klaim dalam
perkara ini bisa menjerumuskan pelakunya kepada dosa.
[ HADITS AHAD HARAM UNTUK DIBENARKAN SECARA PASTI (DIYAKINI),
JUGA HARAM UNTUK DIINGKARI. DIA WAJIB DIBENARKAN DENGAN
PEMBENARAN YANG BERSIFAT TIDAK PASTI ]
PEMBENARAN YANG BERSIFAT TIDAK PASTI BISA
DITANDAI DENGAN KETIDAK-BERANIAN BERSUMPAH
Al-Imam Ahmad bin Hambal dalam riwayat Al-Atsrammenyatakan: “Apabila datang suatu hadits dari Nabi saw
dengan sanad yang shahih, di dalamnya ada (ketetapan)
hukum atau kewajiban maka aku akan mengamalkannya dan
menghambakan diri kepada Allah dengannya, namun aku
tidak berani bersumpah bahwa Nabi saw benar-benar telahmengatakannya.”
juz 3 hlm 78
juz 1 hlm 329
juz 1 hlm 193
FATWA ‘ULAMA AL-AZHARLampiran
(Sumber: http://www.kl28.com/fat1r.php?search=3624 atau http://islamport.com/w/ftw/Web/953/3626.htm)
MANHAJ TARJIH MUHAMMADIYAH:
DALIL MASALAH AKIDAH HARUS MUTAWATIR
“Pokok-pokok Manhaj Tarjih Muhammadiyah*:
5. Di dalam masalah aqidah (tauhid), hanya dipergunakan dalil-dalil yang mutawatir. …” (Sumber: Manhaj Tarjih Muhammadiyah, oleh Prof. Drs. H. Asjmuni Abdurrahman, hlm 13, lihat juga:
http://muhammadiyahmalang.blogspot.com/2010/02/manhaj-tarjih-muhammadiyah.html)
“…, tentang tanda-tanda hari kiamat, kalau tanda-tanda itu diterangkan oleh dalil-dalil al-
Qur’an dan hadis-hadis yang mutawatir, maka Muhammadiyah meyakininya, karena
sesuai dengan manhaj yang dipegang Muhammadiyah, menyangkut soal i’tiqad
(keyakinan), dalilnya harus mutawatir. …” (Sumber: http://www.fatwatarjih.com/2012/06/itiqad-muhammadiyah-tentang-hari-kiamat.html) ___________________ ___________________ ___________________ ___________________ ___________________ ___________________ ___________________ ___________________ ___________________
* Merupakan Rumusan Majlis Tarjih Muhammadiyah 1929, dan tidak tidak ada perubahan pada Munas Majlis Tarjih dan
Pengembangan Pemikiran Islam tahun 2000 di Jakarta.
Lampiran
top related