fertilisasi ikan wina
Post on 13-Aug-2015
578 Views
Preview:
TRANSCRIPT
FERTILISASI DAN PERKEMBANGAN EMBRIO IKAN
Oleh :
Nama : Wina Pratiwi NugrahaniNIM : B1J011019Rombongan : IKelompok : 4Asisten : Muhimatul Umami
LAPORAN PRAKTIKUM STRUKTUR DAN PERKEMBANGAN HEWAN II
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAANUNIVERSITAS JENDERALSOEDIRMAN
FAKULTAS BIOLOGIPURWOKERTO
2012
I. PANDAHULUAN
A. Latar Belakang
Percobaan fertilisasi dilakukan dengan berbagai perlakuan, antara lain dengan
menggunakan perbedaan jeda waktu saat pertemuan antara telur dan sperma, serta
perbedaan konsentrasi dari sperma. Perbedaan jeda waktu saat pertemuan antara telur
dan sperma ini guna untuk mengetahui tingkat kecepatan fertilisasi yang terjadi, berapa
lama waktu yang diperlukan oleh spermatozoid menembus untuk dinding ovum dan
untuk mengetahui tahapan perkembangan yang terjadi dalam setiap waktunya.
Sedangkan perbedaan konsentrasi dari sperma guna untuk mengetahui konsentrasi
sperma yang sesuai agar dapat membuahi sel telur hingga terjadinya fertilisasi.
Pengamatan dilakukan dengan mengambil telur secara acak karena setiap telur
mempunyai waktu perkembangan yang berbeda-beda (Yulferius, 2001).
Ikan Nilem (Osteochillus hasselti) ikan yang mempunyai siklus reproduksi
pendek, dapat dengan mudah diinduksi untuk memperoleh ikan betina masak telur dan
mudah dioviposisikan. Telur dan sperma yang dihasilkan setiap siklus reproduksi cukup
banyak. Telur dari ikan nilem bersifat transparan sehingga mudah dilakukan
pengamatan, karena alasan itulah dalam praktikum fertilisasi kali ini menggunakan
sampel ikan nilem (Yulferius, 2001).
B. Tujuan
Tujuan dari praktikum kali ini adalah dapat melakukan fertilisasi, mengenali sel
telur ikan yang telah difertilisasi dan mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi
fertilisasi serta dapat mengidentifikasi tahapan perkembangan embrio ikan.
II. TINJAUAN PUSTAKA
Secara visual, induk betina yang telah matang gonad ditandai dengan perut yang
membesar dan lembek. Selanjutnya ikan dipuasakan selama satu minggu untuk
memastikan bahwa perut ikan yang membesar bukan karena pakan, melainkan telur
sehingga dapat diketahui ikan yang benar-benar mengandung telur. Sedangkan seleksi
induk jantan dilakukan dengan mengurut perut kearah lubang genital untuk mengetahui
adanya sperma pada induk tersebut. Secara visual, induk gurame jantan yang telah
matang gonad dicirikan oleh bentuk tumpul pada kedua rusuk bagian perut, sedangkan
ciri induk betina yang telah matang gonad bagian perut di belakang sirip dada
menggembung dan susunan sisik terutama bagian perut dekat sirip dada akan sedikit
merenggang (Arfah,2008). Ikan jantan yang siap memijah adalah ikan jantan yang
secara aktif mengejar ikan betina dan membawa ikan betina ke substrat yang telah
disediakan kemuadian mengeluarkan sperma untuk dibuahi (Chaerul,2012). Ikan nilem
betina dan jantan yang siap memijah dicirikan dengan genital papilanya menonjol
secara jelas dan berwarna merah (Arsianingtyas,2009).
Ikan Nilem (Osteochillus hasselti) mempunyai tipe telur telolechital berat yaitu yolk
tersebar tidak merata dan dapat dikatakan hampir mengisi seluruh bulatan telur.
Bioplasma hanya sebagai lapisan tipis pada kutub animal yang di dalamnya terdapat inti
telur. Telur ikan Nilem berbentuk bulat dengan yolk berwarna kuning kehijauan.
Diameter telur sudah masak dan belum tercelup air 0,98-1,08 m dan setelah terbuahi
diameternya 1,36-1,40m. Telur terbungkus karion dengan dilengkapi satu mikropil
untuk jalan masuk spermatozoa pada saat pembuahan. Telur yang perkembangannya
sehat adalah berwarna transparan dan bersih, sehingga mudah dibedakan dengan telur
yang mati (Arsianingtyas,2009).
Sperma merupakan sel gamet yang terspesialisasi dan memiliki 3 fungsi yaitu
menggapai sel telur, mempenetrasi dan memacu perkembangan sel telur, serta
mengantarkan material genetik dan sentriola. Ukuran gamet jantan pada umumnya
relative kecil, sedangkan ukuran gamet betina lebih besar. Selama masa perkembangan,
telur mengalami beberapa proses yang merupakan awal hidup ikan dimana berhubungan
dengan stabilitas populasi ikan dalam suatu perairan (Harvey, 1979).
Fertilisasi adalah peleburan dua gamet yang dapat berupa nukleus atau sel-sel
bernukleus untuk membentuk sel tunggal (zigot) atau peleburan nukleus. Biasanya
melibatkan penggabungan sitoplasma (plasmogami) dan penyatuan bahan nukleus
(kariogami). Zigot itu membentuk ciri fundamental dari kebanyakan siklus seksual
eukariota, dan pada dasarnya gamet-gamet yang melebur adalah haploid. Bilamana
keduanya motil maka fertilisasi itu disebut isogami bilamana berbeda dalam ukuran
tetapi serupa dalam bentuk maka disebut anisogami, bila satu tidak motil dinamakan
oogami (Harvey, 1979).
Urutan proses utama selama fertilisasi (pembuahan):
1. Kontak dan pengenalan sperma-telur untuk memastikan sperma-telur dari spesies
yang sama,
2. Pengaturan masuknya sperma ke dalam telur untuk pencegahan polispermi,
3. Fusi materi genetik dari sperma dan telur,
4. Aktivasi metabolisme telur untuk mengawali perkembangan.
Tahapan dalam pengenalan sperma dan telur:
1. Telur mengeluarkan kemoatraktant pada spesies tertentu,
2. Eksositosis vesikula akrosom,
3. Ikatan antara sperma dengan bungkus ekstraseluler telur,
4. Sperma menembus bungkus telur,
5. Fusi membran sel telur dan membran sel sperma.
Tahap perkembangna embrio ikan dimulai dari tahap pembelahan pertamanya
meridian, diikuti oleh pembelahan kedua tegak lurus pada bidang pembelahan pertama.
Pembelahan ketiga tidak sama untuk beberapa spesies ikan. Pembelahan ini sebenarnya
ada dua yang prosesnya berjalan bersama-sama dan memotong bidang pembelahan
kedua di sebelah kiri dan kanan bidang pembelahan pertama. Bidang pembelahannya
ada yang kedua-duanya sejajar dengan bidang pembelahan pertama dan ada pula yang
tidak. Hasil pembelahan yang ketiga ini ialah stadium delapan sel. Pembelahan
berikutnya yaitu pembelahan yang keempat terdiri dari dua pembelahan yang berjalan
bersama-sama, sejajar atau tidak dan terletak di sebelah kanan dan kiri bidang
pembelahan kedua. Apabila pembelahan yang keempat sudah selesai terbentuklah
stadium 16 sel yang terdiri dari satu lapis, empat buah sel yang terletak di tengah-tengah
dinamakan sel pusat. Pada pembelahan yang kelima, sel-sel pusat tidak membelah
vertikal seperti pada pembelahan-pembelahan sebelumnya atau pembelahan sel batas,
melainkan sejajar dengan permukaan. Dengan selesainya pembelahan yang kelima
maka terbentuklah stadium 32 sel dengan sel pusat yang terdiri dari dua lapis sel. Pada
pembelahan berikutnya sudah tercampu aduk dan susah diikuti dimana syncronisasi
pembelahan mitosis sudah hilang (Darwisito,2008).
III. MATERI DAN METODE
A. Materi
Alat yang digunakan dalam praktikum kali ini adalah saringan teh dari plastik,
spuit injeksi tanpa jarum 1 ml dan 10 ml, baskom inkubasi 2 buah, piring plastik kecil,
aerator dan selang pembagi udara, stopwatch, mikroskop cahaya, pipet tetes, tabel isian
hasil pengamatan, object glass + cover glass, sendok kecil, baki, haemocytometer,
cawan plastik, beaker glass 100 ml , label, dan tissue.
Bahan yang digunakan adalah larutan Ringer, air sumur, ikan nilem jantan
(Osteochilus hasselti♂) dan ikan nilem betina (Osteochilus hasselti♀) yang matang
gonad, ovaprim, sediaan hormon untuk induksi dan spermiasi
B. Metode
Cara kerja untuk melakukan praktikum fertilisasi dan perkembangan embrio pada
ikan adalah sebagai berikut:
Dibuat stok milt (milt diencerkan 100x, 1000x, 10000x, dan 100000x)
1. Ikan jantan disiapkan setelah diketahui masak kelamin.
2. Bagian urogenital ikan Nilem jantan dibersihkan dan dikeringkan dengan
menggunakan tisu.
3. Ikan nilem kemudian distriping hingga spermanya keluar.
4. Sperma (milt) yang keluar disedot dengan spuit injeksi 1 ml tanpa jarum.
5. Milt diencerkan dengan 2 ml milt dengan 198 ml larutan Ringer, dengan demikian
diperoleh 200 ml milt yang diencerkan 100 kali dalam larutan Ringer.
Untuk Praktikan Kelompok I
1. Ikan betina disiapkan setelah diketahui masak kelamin.
2. Striping ovum kedalam saringan jamu dari plastik ± 300 butir telur.
3. Mencampurkan telur yang telah distriping kedalam saringan jamu plastik di atas
mangkuk plastik dengan 1 ml milt yang telah diencerkan 100 kali, setelah itu langsung
tambahkan air sumur dan goyang perlahan agar homogen, diamkan selama 1 menit.
4. Inkubasikan dalam baskom yang berisi air sumur.
Untuk praktikan kelompok II
1. Ikan betina disiapkan setelah diketahui masak kelamin.
2. Striping ovum kedalam saringan jamu dari plastik ± 300 butir telur.
3. Mencampurkan telur yang telah distriping kedalam saringan jamu plastik diatas
mangkuk plastik dengan 1 ml milt yang telah diencerkan 100 kali, setelah itu langsung
tambahkan air sumur dan goyang perlahan agar homogen, diamkan selama 2 menit.
4. Inkubasikan dalam baskom yang berisi air sumur.
Untuk praktikan kelompok III
1. Ikan betina disiapkan setelah diketahui masak kelamin.
2.Striping kedalam saringan jamu dari plastik ± 300 butir telur.
3.Mencampurkan telur yang telah distriping kedalam saringan jamu plastik diatas
mangkuk plastik dengan 1 ml milt yang telah diencerkan 100 kali, setelah itu langsung
tambahkan air sumur dan goyang perlahan agar homogen, diamkan selama 3 menit.
4. Inkubasikan dalam baskom yang berisi air sumur.
Untuk praktikan kelompok IV
1. Menstriping ± 200 butir telur dari induk betina ovulasi.
2. Mencampurkan 1 ml milt yang telah diencerkan 100 kali ke dalam telur yang telah
distriping dan langsung ditambahkan air sumur.
3. Campuran telur dan milt tersebut lalu digoyangkan agar homogen dan didiamkan
selama 4 menit.
4. Setelah itu diinkubasikan dalam baskom yang berisi air sumur
Untuk praktikan kelompok V & IV
1.Mencampurkan 100 butir telur hasil striping dengan 10 milt yang diencerkan dengan
jumlah larutan Ringer berbeda (1000x, 10.000x, dan 100.000x).
2. Menghitung persentase telur yang terbuahi
Konsentrasi I: 1 ml milt P.100x dicampur 9 ml larutan Ringer= P. 1000x
Konsentrasi II: 1 ml milt P.1000x dicampur 9 ml larutan Ringer= P. 10.000x
Konsentrasi III: 1 ml milt P. 10.000x dicampur larutan Ringer = P. 100.000x
3.100 butir telur dicampur dengan 10 ml milt setiap pengenceran yang dibuat tadi
dibiarkan selama 5 menit.
4. Menginkubasikan masing-masing di dalam baskom yang berisi air sumur.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil
Table 1. Presentase telur terbuahi pada jeda waktu yang berbeda
Jeda WaktuPersentasi telur terbuahi (%)
Total (%) Rerata (%)Ulangan 1 Ulangan 2
Kontrol 100 80 180 901 menit 25 100 125 62,52 menit 100 40 140 703 menit 90 0 90 45
Table 2. Presentase telur terbuahi pada tingkat pengenceran milt
Tingkat pengenceran
Persentasi telur terbuahi (%)Total (%) Rerata (%)
Ulangan 1 Ulangan 21.000 x 40 20 60 3010.000 x 10 15 25 12,5
Table 3. Persentase telur pada setiap tahap perkembangan selama waktu pengamatan pada perlakuan jeda waktu
Perlakuan
Waktu pengamatan
Tahap perkembangan
% telur pada setiap tahap perkembangan Jumlah
(%)Rerata
(%)Ulangan 1
Ulangan 2
Kontrol
5’ pertama
1 sel 20 0 20 10terbuahi 80 80 160 80
tidak terbuahi 0 20 20 10
5’ kedua
2 sel 50 0 50 25terbuahi 50 90 140 70hylock 0 10 10 5
10’
2 sel 30 0 30 154 sel 10 0 10 5
Terbuahi 60 90 150 75Rusak 0 10 10 5
10’ Tidak terbuahi 10 0 10 52 sel 20 0 20 108 sel 70 0 70 35
Terbuahi 0 50 50 25
hylock 0 50 50 25
10’
32 sel 100 0 100 50Tidak terbuahi 0 10 10 5
Terbuahi 0 90 90 45
Perlakuan
Waktu pengamatan
Tahap perkembangan
% telur pada setiap tahap perkembangan Jumlah
(%)Rerata
(%)Ulangan 1
Ulangan 2
Jeda waktu 1 menit
5’ pertama
Sel terbuahi 0 100 100 50
5’ kedua
hylock 30 50 80 40terbuahi 70 50 120 60
10’
2 sel 30 20 50 25Hylock 20 0 20 10
4 sel 0 20 20 10terbuahi 50 60 110 55
10’
2 sel 10 40 50 25Hylock 30 0 30 15
4 sel 0 10 10 5terbuahi 70 50 120 60
10’
4 sel 10 20 30 15Hylock 10 0 10 5
8 sel 20 0 20 102 sel 0 30 30 15
Terbuahi 60 50 110 55
Perlakuan
Waktu pengamatan
Tahap perkembangan
% telur pada setiap tahap perkembangan Jumlah
(%)Rerata
(%)Ulangan 1
Ulangan 2
Jeda waktu 2 menit 5’ pertama
Terbuahi 100 100 200 100Tidak terbuahi 0 0 0 0
5’ kedua Terbuahi 90 90 180 90
Hylock 10 0 10 5rusak 0 10 10 5
10’
2 sel 20 0 20 10Hylock 40 20 60 30Rusak 20 0 20 10
Tidak terbuahi 0 70 70 351 sel 0 10 10 5
terbuahi 20 0 20 10
10’
2 sel 10 10 20 10Hylock 40 20 60 30
4 sel 10 0 10 5Rusak 0 10 10 5
Tidak terbuahi 0 60 60 30terbuahi 40 0 40 20
10’
8 sel 20 10 30 15Tidak terbuahi 20 40 60 30
2 sel 20 0 20 10Hylock 0 30 30 15
4 sel 0 20 20 10terbuahi 40 0 40 20
Perlakuan
Waktu pengamatan
Tahap perkembangan
% telur pada setiap tahap perkembangan Jumlah
(%)Rerata
(%)Ulangan 1
Ulangan 2
Jeda waktu 3 menit 5’ pertama
Hylock 10 0 10 5terbuahi 90 0 90 45
5’ kedua
terbuahi 100 0 100 50
10’
Hylock 10 0 10 51 sel 10 0 10 52 sel 10 0 10 5
terbuahi 70 0 70 35
10’
Hylock 30 0 30 154 sel 40 0 40 203 sel 30 0 30 15
10’ 2 sel 30 0 30 15
4 sel 20 0 20 108 sel 40 0 40 201 sel 10 0 10 5
Table 4. Persentase telur pada setiap tahap perkembangann selama waktu pengamatan pada perlakuan tingkat pengenceran
Perlakuan Waktu
pengamatanTahap
perkembangan
% telur pada setiap tahap perkembangan
Jumlah
(%)
Rerata (%)Ulangan
1Ulangan
2
Tingkat pengenceran
1.000 x
5’ pertama
Rusak 10 0 10 5Hylock 20 10 30 15
Tidak terbuahi 70 70 140 701 sel 0 10 10 52 sel 0 10 10 5
5’ kedua
Rusak 10 0 10 5Tidak terbuahi 90 90 180 90
1 sel 0 10 10 5
10’
Hylock 40 10 50 25Rusak 10 0 10 5
Tidak terbuahi 50 90 140 70
10’
1 sel 30 0 30 15Rusak 10 10 20 10
Tidak terbuahi 60 90 150 75
10’
Tidak terbuahi 50 100 150 758 sel 20 0 20 101 sel 10 0 10 5rusak 20 0 20 10
Perlakuan Waktu
pengamatan
Tahap perkembangan
% telur pada setiap tahap perkembangan Jumlah
(%)Rerata
(%)Ulangan 1
Ulangan 2
Tingkat pengenceran
10.000 x 5’ pertama
Tidak terbuahi 90 100 190 95rusak 10 0 10 5
5’ kedua Tidak terbuahi 90 100 190 95rusak 10 0 10 5
10’
hylock 40 10 50 25Tidak terbuahi 60 90 150 75
10’
Hylock 60 20 80 40Tidak terbuahi 40 80 120 60
10’
Tidak terbuahi 50 80 130 652 sel 20 0 20 101 sel 20 0 20 10
Rusak 10 0 10 54 sel 0 20 20 10
Table 5. Persentase penetasan larva ikan
Jeda WaktuPersentasi telur menetas (%)
Total (%) Rerata (%)Ulangan 1 Ulangan 2
Kontrol 100 0 100 501 menit 100 0 100 502 menit 20 0 20 103 menit 100 0 100 50
Tingkat pengenceran
Persentasi telur menetas (%)Total (%) Rerata (%)
Ulangan 1 Ulangan 21.000 x 0 0 0 010.000 x 5 0 5 2,5
Gambar tahapan perkembangan zigot:
Gambar 1. Gambar 2. Gambar 3. Telur terbuahi Hylock satu sel
Gambar 3. Gambar 4. Gambar 5. Dua sel Empat sel Delapan sel
B. Pembahasan
Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan dalam praktikum fertilisasi dan
perkembangan embrio ikan yang menggunakan Ikan Nilem sebagai preparat dengan
perlakuan tingkat pengenceran 100x diperoleh hasil bahwa terdapat 10% telur yang
telah mengalami tahap perkembangan hylock dan 90% terbuahi pada waktu 5 menit
pertama pada ulangan I, sedangkan pada ulangan II sebanyak 0% dan 0%. Pengamatan
dengan perlakuan 5 menit kedua diperoleh tahap perkembangan terbuahi sebanyak
100% (ulangan I). Ulangan II menunjukkan bahwa tidak terdapat tahap perkembangan
sampai 10 menit ketiga. Pengamatan dengan perlakuan 10 menit pertama untuk ulangan
I terdapat 10% hylock, 10% satu sel, 10% dua sel dan sisanya terbuahi. Perlakuan 10
menit kedua 30% hylock, 30% dua sel dan 40% empat sel. Pada perlakuan terakhir
terdapat 10% satu sel, 30% dua sel, 20% empat sel dan sisanya delapan sel.
Berikut ini adalah grafik antara jeda waktu dengan ∑ telur yang terbuahi :
kontrol 1 2 30%
20%
40%
60%
80%
100%
120%
Grafik hubungan antara jeda waktu dengan jumlah telur terbuahi
ulangan 1ulangan 2
Jeda waktu (menit)
Per
sen
tase
tel
ur
terb
uah
i (%
)
Grafik 1. Grafik hubungan antara jeda waktu dengan jumlah telur terbuahi
Berdasarkan grafik di atas maka pola yang didapat adalah pola acak karena
persentase telur yang dibuahi pada kelompok dengan jeda waktu kontrol, 1 menit, 2
menit, dan 3 menit tidak semuanya 100% terbuahi. Kelompok pada pengamatan kontrol
dan jeda waktu 2 menit terbuahi 100% untuk ulangan I sedangkan pada ulangan II,
untuk jeda waktu 1 menit telah terbuahi 100%.
Lima menit pertama, kelompok dengan tingkat pengenceran 1.000x dan 10.000x
juga mengalami hal telur yang rusak dan tidak terbuahi. Sedangkan lima menit kedua,
kelompok dengan tingkat pengenceran 1.000x sudah hylock. Sepuluh menit pertama,
kelompok dengan tingkat pengenceran 10.000x sudah muncul hylock. Sepuluh menit
kedua, kelompok dengan tingkat pengenceran 1.000x sudah 1 sel dan dan tingkat
pengenceran 10.000x masih sama dengan sepuluh menit pertama yaitu terdapat hylock
dan tidak terbuahi. Sedangkan sepuluh menit ketiga, kelompok dengan tingkat
pengenceran 10.000x sudah muncul 4sel dan tingkat pengenceran 1000x sudah
mencapai 8 sel.
Berikut ini adalah grafik antara tingkat pengenceran dengan ∑ telur yang
terbuahi :
1000x 10000x0%5%
10%15%20%25%30%35%40%45%
Grafik antara tingkat pengenceran dengan jumlah telur yang terbuahi
ulangan 1ulangan 2
Tingkat pengenceran
Jum
lah
telu
r ya
ng t
erbu
ahi (
%)
Grafik 2. Grafik antara tingkat pengenceran dengan jumlah telur yang terbuahi
Berdasarkan grafik diatas dapat dilihat bahwa pada pengenceran 1000 x ke
pengenceran 10000 x tidak ada peningkatan. Pola grafik diatas adalah acak karena
persentase jumlah telur yang terbuahi dengan tingkat pengenceran yang berbeda setiap
kelompok tidak sama. Semakin tinggi tingkat pengenceran, maka lama motilitas
spermatozoa semakin pendek, begitu juga sebaliknya, ini menunjukkan bahwa semakin
pendek motilitas sperma berarti semakin sedikit pula jumlah spermatozoa yang hidup
dan dapat teramati (Arsianingtyas,2009).
Perlakuan untuk jeda waktu 3 menit dengan waktu pengamatan lima menit
pertama mempunyai tahap perkembangan yang sama dengan lima menit kedua dan
sepuluh menit pertama, yaitu telur terbuahi dengan proporsi 90%, 100% dan 70%.
Hylock juga muncul pada lima menit pertama, sepuluh menit pertama dan sepuluh
menit kedua dengan proporsi 10%, 10% dan 30%. Tahap perkembangan satu sel
muncul pada waktu pengamatan sepuluh menit pertama dan sepuluh menit ketiga
dengan proporsi 10% di keduanya. Sepuluh menit pertama dan sepuluh menit kedua
sama-sama memiliki tahap perkembangan dua sel dengan proporsi 10% dan 30%.
Tahap perkembangan empat sel muncul pada sepuluh menit kedua dan ketiga dengan
proporsi 40% dan 20%. Delapan sel muncul pada waktu pengamatan sepuluh menit
ketiga dengan proporsi 40%.
Perlakuan yang dilakukan dengan tingkat pengenceran dan jeda waktu yang
berbeda-beda, diperoleh bahwa pada ulangan I menetas 100% pada jeda waktu control,
satu menit dan tiga menit, sedangkan untuk jeda waktu dua menit, pengenceran 1000x
dan 10000x memiliki persentase 20%,0% dan 5%. Penetasan untuk ulangan II diperlohe
0% untuk semua jeda waktu dan pengenceran. Hal yang menyebabkan banyak yang
tidak menetas karena beberapa faktor diantaranya ikan dalam keadaan stress akibat
faktor lingkungan yang kurang mendukung misalnya media dan tempat pemijahan yang
kurang bersih, suasana yang kurang terang, kandungan O2 yang rendah dan faktor
cahaya. Ikan yang digunakan belum matang kelamin, sehingga meskipun belum
hipfisasi dengan hormon ovaprim tetap tidak akan memijah karena kandungan hormon
gonadotropin dalam kelenjar hipofisisnya sedikit. Penyuntikan ikan resipien yang tidak
hati-hati sehingga memungkinkan tejadi kerusakan pada sisik ikan, maka ikan akan
memijah walaupun sudah diinduksi hormon ovaprim. Lemahnya sperma, sifat
pergerakan sperma menentukan kemampuan untuk melakukan pembuahan. Gerakan
yang terlalu lembut dan arahnya tidak menentu akan mempersult proses pembuahan.
Sperma mudah sekali tergantung oleh suasana lingkungan, suhu medium yang terlalu
tinggi atau sebaliknya dan perubahan pH akan merusak pertumbuahan kemampuan
untuk membuahi (Arfah,2008). Ikan yang sudah dipelihara beberapa hari dengan ikan
yang tidak dipelihara hasilnya akan sama saja dan tidak ada perbedaan yang signifikan
(Yasemi,2010).
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pengamatan dapat disimpulkan bahwa:
1. Munculnya hylock pada pengenceran 1000 x dan 10.000 x terjadi pada 5 menit
pertama dan sepuluh menit pertama.
2. Fertilisasi pada ikan sangat dipengaruhi oleh faktor fisik kimia perairan tempat ikan
memijah. Faktor-faktor tersebut antara lain temperatur dan salinitas.
B. Saran
1. Dalam mencampurkan sperma yang telah diencerkan dengan ovum sebaiknya
dilakukan dengan hati-hati. Apabila terlalu kencang dalam mengaduk atau
menggoyangkannya akan menyebabkan telur menjadi rusak.
DAFTAR REFERENSI
Arfah.H, Maftucha.L dan O. Carman.2008. Pemijahan secara buatan pada ikan Gurame (Osphronemus gouramy Lac). dengan penyuntikan ovapirm. Jurnal Akuakultur Indonesia. 5 (2): 103-112
Arsianingtyas,Herliana.2009. Pengaruh kejutan suhu panas dan lama waktu setelah pembuahan terhadap daya tetas dan abnormalitas larva ikan Nila (Oreochromis niloticus). Artikel Ilmiah Skripsi. 1-15
Chaerul N.F, Ibnu D.W, Sriati.2012. Penambahan ekstrak tauge dalam pakan untuk meningkatkan keberhasilan pemijahan ikan Mas Koki (Carassius auratus). Jurnal Perikanan dan Kelautan. 3 (3): 51-60
Darwisito S, M. Zairin Jr., D. S. Sjafei, W. Manalu, dan A. O. Sudrajat.2008. Pemberian pakan mengandung ditamin E Dan minyak ikan pada induk memperbaiki kualitas telur dan larva ikan Nila (Oreochromis niloticus). Jurnal Akuakultur Indonesia. 7(1): 1–10
Harvey, B. J. 1979. The Theory and passion. Ichtiologi. John Willy and Sons. New York.
Yasemi M. ; Nikoo M. 2010. The impact of captivity on fertilization, cortisol and glucose levelsin plasma in butum Broodstock. Iranian Journal of Fisheries Sciences. 9(3): 478-484
Yulferius, 2001. Pengaruh kadar vitamin E dalam pakan terhadap kualitas telur ikan patin Pangisius hypophthalamus. Tesis, Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. 40 hal.
top related