bab ii tinjauan pustaka 2.1 pengertian beton · 2017-04-01 · sk sni t-15-1990-03 memberi...
Post on 20-Aug-2018
219 Views
Preview:
TRANSCRIPT
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Beton
Beton merupakan material gabungan yang terdiri dari beberapa bahan
penyusun yang dicampur menjadi satu. Bahan penyusun tersebut terdiri atas
semen, agregat kasar, agregat halus, air, dan terkadang digunakan bahan tambahan
(additive atau admixture). Pada umumnya beton terdiri dari rongga udara sekitar
1% - 2%, pasta semen sekitar 25% - 40%, dan agregat sekitar 60% - 75%. Untuk
mendapat kekuatan yang baik, sifat dan karakteristik dari masing-masing bahan
penyusun tersebut perlu dipelajari. Selain itu proporsi campuran, cara pelaksanaan
dan perawatan beton perlu mendapat perhatian dengan baik.
2.2 Bahan Penyusun Beton
Pada umumnya beton terdiri atas tiga bahan penyusun yaitu semen,
agregat, dan air. Agregat terdiri dari agregat kasar dan agregat halus. Masing-
masing material tersebut tentu memiliki ketentuan untuk dapat dikatakan layak
digunakan untuk campuran beton. Berikut adalah penjelasan dari ketiga bahan
penyusun tersebut.
2.2.1 Semen
Semen merupakan bahan campuran yang secara kimiawi aktif setelah
berhubungan dengan air. Agregat tidak berperan peranan penting dalam reaksi
kimia tersebut, tetapi berfungsi sebagai bahan pengisi mineral yang dapat
mencegah perubahan-perubahan volume beton setelah pengadukan selesai dan
memperbaiki keawetan beton yang dihasilkan (Mulyono, 2004). Semen terdiri
dari 2 macam yaitu semen non-hidraulis dan semen hidraulis. Semen non-
hidraulis adalah semen yang dapat mengeras tetapi tidak stabil dalam air. Semen
hidraulis adalah semen yang akan mengeras bila bereaksi dengan air, tahan
6
terhadap air, dan stabil didalam air setelah mengeras. Semen hidraulis yang biasa
digunakan dalam konstruksi adalah semen Portland. Semen Portland dibedakan
menjadi 4 tipe yaitu :
1. Tipe I adalah semen Portland untuk tujuan umum. Jenis ini paling banyak
diproduksi karena digunakan hampir semua jenis konstruksi.
2. Tipe II adalah semen Portland modifikasi yang sifatnya setengah dari tipe
IV dan setengah dari tipe V (moderat). Belakangan lebih banyak
diproduksi sebagai pengganti tipe IV.
3. Tipe III adalah semen Portland dengan kekuatan awal yang tinggi.
Kekuatan 28 hari umumnya dapat dicapai dalam 1 minggu. Semen jenis
ini digunakan ketika acuan harus dibongkar secepat mungkin atau struktur
harus dapat cepat dipakai.
4. Tipe IV adalah semen Portland dengan panas hidrasi rendah, yang dipakai
pada kondisi dimana kecepatan dan jumlah panas yang timbul harus
minimum. Contohnya pada bangunan massif seperti bendungan gravitasi
yang besar.
5. Tipe V adalah semen Portland tahan sulfat yang dipakai untuk menghadapi
aksi sulfat yang ganas. Umumnya dipakai di daerah dimana tanah atau
airnya memiliki kandungan sulfat yang tinggi. (Nugraha dan Antoni,
2007)
Dari tipe-tipe semen diatas, semen yang paling umum digunakan adalah semen
Portland tipe I karena semen tipe ini tidak memerlukan persyaratan-persyaratan
khusus dalam pengerjaannya.
Sifat dan karakteristik masing-masing semen Portland dibedakan menjadi
4, yaitu :
1. Trikalsium Silikat (3CaO.SiO2) yang disingkat menjadi C3S.
2. Dikalsium Silikat (2CaO.SiO2) yang disingkat menjadi C2S.
3. Trikalsium Aluminat (3CaO.Al2O3) yang disingkat menjadi C3A.
4. Tetrakalsium Aluminoferrit (4CaO. Al2O3.Fe2O3) yang disingkat menjadi
C4AF.
7
Senyawa-senyawa tersebut memiliki sifat yang berbeda-beda. C3S dan C2S
merupakan senyawa yang memiliki sifat sebagai perekat. C3A merupakan
senyawa yang memiliki sifat reaktif dimana memiliki kecepatan hidrasi yang
paling tinggi dibandingkan dengan senyawa lainnya. C4AF memiliki sifat sebegai
katalisator. Senyawa tersebut akan menjadi bentuk kristal yang saling mengikat.
Komposisi dari C3S dan C2S adalah sebesar 70% - 80% dari berat semen dan yang
paling dominan memberikan sifat semen (Mulyono, 2004).
Apabila senyawa C3S bereaksi dengan air akan menghasilkan panas. Panas
tersebut akan memperngaruhi kecepatan pengerasan beton sebelum umur 14 hari.
Senyawa C2S lebih lambat bereaksi dengan air dan hanya berpengaruh terhadap
semen setelah umur 7 hari. C2S memberikan ketahanan terhadap serangan kimia
dan mempengaruhi susut terhadap pengaruh panas akibat lingkungan. Jika
kandungan C3S lebih banyak maka akan terbentuk semen dengan kekuatan tekan
awal lebih tinggi dan panas hidrasi yang tinggi, sebaliknya jika kandungan C2S
lebih banyak maka akan terbentuk semen dengan kekuatan tekan awal lebih
rendah dan ketahanan terhadap serangan kimia yang tinggi. Apabila kalsium
silikat (C3S maupun C2S) bereaksi dengan air maka akan menghasilkan gel
kalsium silikat hidrat atau sering disingkat menjadi gel C-S-H dan kalsium
hidroksida. Kalsium hidroksida yang dihasilkan memiliki sifat basa (pH = 12,5)
yang menyebabkan semen sensitif terhadap asam dan akan bersifat mencegah
terjadi korosi pada besi baja (Nugraha dan Antoni, 2007).
2C3S + 6H C3S2H3 + 3CH
(trikalsium silikat) (air ) (kalsium silikat hidrat) (kalsium hidroksida)
2C2S + 4 H C3S2H2 + CH
(dikalsium silikat) (air ) (kalsium silikat hidrat) (kalsium hidroksida)
Dengan C = CaO ; S = SO3 ; H = H2O ; CH = Ca(OH)2
8
Pada senyawa C3A proses hidrasi berlangsung sangat cepat dan disertai
dengan pengeluaran panas yang banyak. C3A memberikan kekuatan awal yang
sangat cepat pada umur beton 24 jam pertama. Hal tersebut terjadi karena C3A
yang bereaksi dengan air akan menghasilkan Kristal kalsium aluminat hidrat yang
menyebabkan pengerasan pada pasta semen. Proses ini disebut dengan quick set
sehingga perlu ditambahkan gypsum yang akan berfungsi untuk memperkecil
reaktivitas dari C3A. Pada proses ini C3A akan bereaksi dengan gypsum terlebih
dahulu dan menghasilkan kalsium sulfoaluminat. Kristal yang terbentuk berupa
jarum dan disebut ettringite. Etrtingite berfungsi untuk memblokir air dari
permukaan C3A sehingga menunda hidrasi. Setelah gypsum bereaksi seluruhnya,
kemudian akan terbentuk kalsium aluminat hidrat. C3A bereaksi dengan air yang
jumlahnya sekitar 40% dari beratnya. Karena persentasenya dalam semen sangat
kecil (10%), maka pengaruhnya pada jumlah air untuk reaksi menjadi kecil.
Senyawa ini sangat berpengaruh pada nilai panas hidrasi tinggi, baik pada saat
awal maupun pada saat pengerasan berikutnya yang sangat panjang. Semen yang
mengandung C3A lebih dari 10% tidak tahan terhadap serangan sulfat. Apabila
kandungan C3A pada semen tinggi, kemudian bersentuhan dengan sulfat yang
terdapat pada air maupun tanah maka akan mengeluarkan C3A yang bereaksi
dengan sulfat dan mengembang sehingga mengakibatkan retak pada beton
(Cokrodimulyo, 1992).
C3A + CH + 12 H C4AH13
(trikalsium aluminat) (kalsium hidroksida) (air ) (kalsium aluminat hidrat)
Dengan C = CaO ; S = SO3 ; H = H2O ; CH = Ca(OH)2
Senyawa keempat, yakni C4AF pada tahap awal senyawa ini akan bereaksi
dengan gypsum dan kalsium hidroksida. Hasil dari reaksi tersebut adalah
terbentuknya kalsium sulfo-aluminat hidrat dan kalsium sulfo-ferrit hidrat yang
berbentuk jarum kristal. Kecepatan reaksi hidrasi pada C4AF akan menurun
terhadap waktu. Hal ini disebabkan oleh terbentuknya gel C-S-H pada kristal
semen.
9
C4AF + 4CH + 22 H C8AFH26
(tetrakalsium alumino-ferrit) (kalsium hidroksida) (air ) (alumino-ferrit hidrat)
Dengan C = CaO ; S = SO3 ; H = H2O ; CH = Ca(OH)2
Semen PCC (Portland Composite Cement) atau semen portland komposit
merupakan perekat hidrolis yang dihasilkan dari penggilingan bersama klinker
semen Portland dan gips dengan satu atau lebih bahan organik (SNI 15-7064-
2004). Semen PCC merupakan semen tipe I sehingga penggunaannya tidak
membutuhkan perlakuan khusus. Secara umum kompsisi oksida utama pembentuk
semen tipe I dapat dilihat pada tabel 2.1 berikut :
Tabel 2.1 Komposisi oksida semen Portland
Oksida Komposisi %
Cao 60 – 65
SiO2 17 – 25
Al2O3 3 – 8
Fe2O3 0,5 – 6
MgO 0,5 – 4
SO3 1 – 2
K2O,Na2O 0,5 – 1
(Sumber : Kardiyono Tjokromulyo, 2007)
Sedangkan komposisi semen PCC Tiga Roda menurut PT. Tiga Roda yaitu
sebagai berikut :
Tabel 2.2 Komposisi semen PCC Tiga Roda
No Parameter Kadar (%)
1 SiO2 23,04
2 Fe 3,36
3 SO3 2,00
4 Ca 57,38
5 Mg 1,91
6 Al 7,40
(Sumber : PT. Tiga Roda)
10
2.2.2 Agregat
Agregat merupakan bahan mineral alami berupa butiran yang berfungsi
sebagai bahan pengisi dalam campuran beton. Kekuatan suatu beton dipengaruhi
oleh kualitas dari masing-masing agregat, karena agegat pada umumnya
digunakan dalam campuran beton sebanyak 60% - 75% dari volume total
campuran beton. Agregat ini harus bergradasi sedemikian rupa sehingga seluruh
massa beton dapat berfungsi sebagai satu kesatuan yang utuh, homogen, rapat,
dan variasi dalam perilaku (Nawy, 1998). Agregat dbedakan menjadi dua, yaitu
agregat kasar dan agregat halus.
2.2.2.1 Agregat Kasar
Agregat kasar merupakan agregat yang semua butirannya tertinggal diatas
ayakan 4,8 mm (SII.0052,1980). Agregat kasar dapat berasal dari batu-batuan
alami yang terintegrasi menjadi kerikil atau berasal dari batu pecah baik yang
dipecah menggunakan mesin maupun secara manual oleh tenaga manusia.
Agregat kasar harus memenuhi persyaratan sebagai berikut :
1. Tidak boleh bersifat reaktif terhadap alkali jika dipakai untuk beton yang
berhubungan dengan basah dan lembab atau yang berhubungan
denganbahan yang bersifat reaktif terhadap alkali semen, dimana
penggunaan semen yang mengandung natrium oksida tidak lebih dari
0,6%.
2. Sifat fisika yag mencakup kekerasan agregat diuji dengan mesin Los
Angeles dan bersifat kekal (soundness). Batas ijin partikel yang
brpengaruh buruk perhadap beton dan sifat fisika yang diijinkan untuk
agregat kasar (Mulyono, 2004).
3. Agregat kasar tidak boleh mengandung lumpur lebih dari 1% dari berat
kering. Apabila lebih maka agregat harus dicuci.
4. Kekerasan dari butir - butir agregat bila diperiksa dengan mesin Los
Angeles tidak boleh kehilangan berat lebih dari 50 %.
11
SK SNI T-15-1990-03 memberi syarat-syarat untuk agregat kasar yang
dikelompokkan dalam tiga zone atau daerah yang dituangkan dalam tabel 2.3
Tabel 2.3 Batas gradasi agregat kasar
Lubang
Ayakan
(mm)
Persen Berat Butir yang Lewat
Ayakan
4,8 – 38 4,8 – 19 4,8 – 9,6
38 95 – 100 100 100
19 35 – 70 95 – 100 100
9,6 10 – 40 30 – 60 50 – 85
4,8 0 – 5 0 – 10 0 – 10
(sumber : SK SNI T 15-1990-03)
2.2.2.2 Agregat Halus
Agregat halus merupakan agregat yang semua butirannya lolos saringan
4,8 mm (SII.0052,1980). Agregat halus adalah hasil dari desintegrasi alami dari
batu-batuan atau berupa pasir dari hasil pecahan batuan. Agregat halus yang
memiliki butir lebih kecil dari 1,2 mm disebut pasir halus, sedangkan butir-butir
yang lebih kecil dari 0,075 mm disebut silt, dan yang lebih kecil dari 0,002 mm
disebut clay (SK SNI T-15-1991-03). Menurut PBI 1971, beberapa syarat yang
harus dimiliki oleh agregat halus, yaitu :
1. Pasir terdiri dari butir- butir tajam dan keras. Bersifat kekal artinya tidak
mudah lapuk oleh pengaruh cuaca, seperti terik matahari dan hujan.
2. Tidak mengandung lumpur lebih dari 5%. Lumpur adalah bagian- bagian
yang bisa melewati ayakan 0,063 mm. Apabila kadar lumpur lebih dari
5%, maka harus dicuci. Khususnya pasir untuk bahan pembuat beton.
3. Tidak mengandung bahan-bahan organik terlalu banyak yang dibuktikan
dengan percobaan warna dari Abrams-Harder. Agregat yang tidak
memenuhi syarat percobaan ini bisa dipakai apabila kekuatan tekan
adukan agregat tersebut pada umur 7 dan 28 hari tidak kurang dari 95%
dari kekuatan adukan beton dengan agregat yangs sama tapi dicuci dalam
larutan 3% NaOH yang kemudian dicuci dengan air hingga bersih pada
umur yang sama.
12
SK SNI T-15-1990-03 memberi syarat-syarat untuk agregat halus yang
dikelompokkan dalam empat zone atau daerah yang dituangkan dalam tabel 2.4
Tabel 2.4 Batas gradasi agregat halus
Lubang
Ayakan
(mm)
Persen Berat Butir yang Lewat Ayakan
I II III IV
10 100 100 100 100
4.8 90 – 100 90 - 100 90 - 100 95 - 100
2.4 60 – 95 75 - 100 85 - 100 95 - 100
1.2 30 – 70 55 - 90 75 - 100 90 - 100
0.6 15 – 34 35 - 59 60 - 79 80 - 100
0.3 5 – 20 8 – 30 12 - 40 15 – 50
0.15 0 – 10 0 – 10 0 – 10 0 – 15
(sumber : SK SNI T 15-1990-03)
Dimana : 1. Daerah Gradasi I : Pasir Kasar
2. Daerah Gradasi II : Pasir Agak Halus
3. Daerah Gradasi III : Pasir Halus
4. Daerah Gradasi IV : Pasir Agak Halus
2.2.3 Air
Air merupakan materi yang sangat penting dalam campuran beton karena
air akan bereaksi dengan semen kemudian menghasilkan pasta yang berfungsi
untuk mengikat material lainnya (agregat kasar dan agregat halus). Pasta adalah
hasil reaksi kimia dari campuran air dan semen.
Kualitas air sangat mempengaruhi kekuatan beton. Kualitas air erat
kaitannya dengan bahan-bahan yang terkandung dalam air tersebut. Air
diusahakan agar tidak membuat rongga pada beton, tidak membuat retak pada
beton dan tidak membuat korosi pada tulangan yang mengakibatkan beton
menjadi rapuh. Berikut ini uraiannya :
1. Air tidak mengandung lumpur lebih dari 2 gram/liter karena dapat
mengurangi daya lekat atau bisa juga mengembang (pada saat pengecoran
13
karena bercampur dengan air) dan menyusut (pada saat beton mengeras
karena air yang terserap lumpur menjadi berkurang).
2. Air tidak mengandung garam lebih dari 15 gram karena resiko terhadap
korosi semakin besar
3. Air tidak mengandung klorida lebih dari 0,5 gram/liter karena bisa
menyebabkan korosi pada tulangan.
4. Air tidak mengandung senyawa sulfat lebih dari 1 gram/liter karena dapat
menurunkan mutu beton sehingga akan rapuh dan lemah.
5. Air tidak mengandung minyak lebih dari 2 % dari berat semen karena akan
mengurangi kuat tekan beton sebesar 20 %.
6. Air tidak mengandung gula lebih dari 2 % dari berat semen karena akan
mengurangi kuat tekan beton pada umur 28 hari.
7. Air tidak mengandung bahan organik seperti rumput/lumut yang terkadang
terbawa air Karena akan mengakibatkan berkurangnya daya lekat dan
menimbulkan rongga pada beton.
2.3 Setting dan Hardening
Setting dan hardening adalah pengikatan dan pengerasan semen yang
terjadi setelah reaksi hidrasi. Apabila semen dicampurkan dengan air maka akan
bereaksi sehingga membentuk suatu pasta dimana pasta tersebut bersifat plastis
dan dapat dibentuk (workable). Keadaan tersebut disebut dengan fase dorman
(periode tidur). Fase ini hanya berlangsung beberapa saat saja. Pada tahapan
selanjutnya semen mulai mengeras, walau pun masih ada yang lemah, namun
sudah tidak dapat dibentuk (unworkable), periode ini disebut initial set.
Selanjutnya pasta semen melanjutkan kekuatannya sehingga didapat padatan yang
utuh dan kondisi ini disebut final set. Selanjutnya semen meneruskan kekuatannya
proses ini disebut dengan hardening.
Semakin bertambahnya umur beton maka kuat tekannya akan semakin
meningkat. Kecepatan bertambahnya kekuatan beton tersebut sangat dipengaruhi
oleh banyak faktor. Laju kenaikan kuat tekan beton ini mula-mula cepat, akan
tetapi semakin lama laju kenaikan akan melambat, pada saat pengikatan awal
14
terjadi, semen Portland akan terus bereaksi dengan air. Setelah umur beton 24 jam
pada temperatur kamar, 30% - 40% semen biasanya mengalami proses hidrasi.
Pada umumnya waktu pengikatan awal minimum adalah 45 menit dan waktu
pengikatan akhir adalah 6 – 10 jam (Nugraha dan Antoni, 2007). Proses
pembentukan beton dari saat mulai mengeras hingga umur beton 90 hari dapat
dilihat pada gambar berikut.
Gambar 2.1 Proses Pengikatan Beton
( sumber : Mulyono, 2004)
Dari gambar diatas dapat dilihat pada gambar (a) merupakan proses terjadinya
pencampuran pertama. Kemudian gambar (b) merupakan kondisi beton pada saat
berumur 7 hari. Gambar (c) menunjukan kondisi beton pada umur 28 hari, dan
gambar (d) merupakan kondisi beton setelah berumur 12 bulan.
2.4 Faktor Air Semen
Faktor air semen merupakan perbandingan antara jumlah air terhadap
jumlah semen dalam suatu campuran beton. Air yang terlalu banyak akan
15
menempati ruang dimana pada waktu beton sudah mengeras akan terjadi
penguapan, ruang tersebut akan menjadi pori, sedangkan apabila air terlalu sedikit
tentu akan berpengaruh terhadap kemudahan dalam pengerjaan. Umumnya nilai
minimum faktor air semen adalah 0,4 dan nilai maksimumnya 0,65 (Mulyono,
2004). Semakin tinggi nilai faktor air semen maka mutu beton yang dihasilkan
akan semakin rendah dan semakin kecil nilai faktor air semen kekuatan beton
yang dihasilkan akan semakin tinggi. Dalam suatu rancangan campuran, nilai
faktor air semen dapat ditentukan untuk mengetahui mutu beton yang akan
dihasilkan. Nilai tersebut tertuang dalam bentuk grafik dimana masing-masing
nilai faktor air semen berhubungan dengan tipe semen yang digunakan serta
waktu pengujian. Berikut adalah grafik faktor air semen.
Gambar 2.2 Grafik faktor air semen (fas)
( sumber : SK SNI T-15-1990-03)
16
2.5 Bahan Tambah Pada Beton
Bahan tambah merupakan bahan yang ditambahkan pada campuran beton
diluar bahan penyusun beton (air, semen, dan agregat). Bahan tambah secara
umum terdiri dari dua jenis, yaitu bahan yang bersifat kimiawi (chemical
admixture) dan bahan tambah yang bersifat mineral (additive). Bahan tambah
admixture digunakan untuk memperbaiki atau merubah sifat beton. Bahan ini
ditambahkan ke dalam campuran adukan beton selama pengadukan. Sedangkan
bahan tambah additive merupakan bahan yang ditambahkan pada campuran beton.
Bahan ini berfungsi untuk memperbaiki kekuatan beton dan bersifat sebagai
bahan pengganti sebagian bahan utama penyusun beton. Bahan tambah additive
dapat berupa pozzolan, fly ash, slag, dan silica fume.
Menurut ASTM, terdapat beberapa jenis bahan tambah kimia, yaitu:
1. Tipe A “Water-Reducing Admixtures”
Water-Reducing Admixtures adalah bahan tambah yang digunakan untuk
mengurangi air pencampur yang diperlukan untuk menghasilkan beton
dengan konsistensi tertentu.
2. Tipe B “Retarding Admixtures”
Retarding Admixtures adalah bahan tambah yang berfungsi untuk
menghambat waktu pengikatan beton. Penggunaanya untuk menunda
waktu pengikatan (setting time).
3. Tipe C “Accelerating Admixtures”
Accelerating Admixtures adalah bahan tambah yang berfungsi untuk
mempercepat pengikatan dan pengembangan kekuatan awal beton.
Accelerating Admixtures yang paling baik adalah kalsium klorida namun
penggunaan secara berlebihan dapat mengakibatkan korosi pada tulangan.
Dosis maksimum yang disarankan adalah 2% (Mulyono, 2004).
4. Tipe D “Water Reducing and Retarding Admixtures”
Water Reducing and Retarding Admixtures adalah bahan tambah yang
berfungsi ganda, yaitu untuk mengurangi jumlah air dan untuk
menghambat pengikatan awal.
5. Tipe E “Water Reducing and Accelerating Admixtures”
17
Water Reducing and Accelerating Admixtures adalah bahan tambah yang
berfungsi ganda, yaitu untuk mengurangi jumlah air dan juga untuk
mempercepat pengikatan awal.
6. Tipe F “Water Reducting, High Range Admixture”
Water Reducting, High Range Admixture adalah bahan tambah yang
berfungsi untuk mengurangi jumlah air pencampur yang diperlukan untuk
menghasilkan beton dengan konsistensi tertentu, sebanyak 12% atau lebih.
7. Tipe G “Water Reducting, High Range Retarding Admixture”
Water Reducting, High Range Retarding Admixture adalah bahan tambah
yang berfungsi untuk mengurangi jumlah air pencampur diperlukan untuk
menghasilkan beton dengan konsistensi tertentu, sebanyak 12% atau lebih
dan juga untuk menghambat pengikatan beton.
Bahan tambah tipe C “Accelerating Admixtures” adalah bahan tambah
yang berfungsi untuk mempercepat pengikatan dan pengembangan kekuatan awal
beton. Bahan ini digunakan untuk mengurangi lamanya waktu pengeringan atau
hidrasi dan mempercepat pencapaian kekuatan pada beton. Pada bahan tambah ini
yang paling sering digunakan adalah kalsium klorida. Namun penggunaannya
dapat mengakibatkan korosi pada tulangan sehingga disarankan dosis
maksimumnya adalah 2% dari berat semen.
Selain kalsium klorida bahan yang dapat digunakan adalah garam-garam
anorganik yang dapat larut seperti klorida, bromida, fluorida, karbonat, nitrat,
thiosulfat, silikat, aluminat, alkali hidroksida. Garam-garam organik lainnya
seperti triethanolamine, kalsium format, kalsium asetat, kalsium propionate, dan
kalsium butyat (Nugraha dan Antoni, 2007).
Secara umum kekuatan awal beton terjadi merupakan hidrasi dari
trikalsium silikat (C3S) dan trikalsium aluminat (C3A). Ketika trikalsium silikat
(C3S) dan trikalsium aluminat (C3A) bereaksi dengan air akan menghasilkan
panas dimana accelerator dalam hal ini berfungsi untuk meningkatkan tingkat
hidrasi dan dengan cara demikian maka akan memberikan panas awal dan
pengembangan kekuatan (Kumaladewi, 2006).
18
2.6 Disintegrasi oleh Garam Agresif
Disintegrasi pada beton adalah suatu keadaan dimana terjadi pemisahan
atau terlepasnya ikatan antara material penyusun beton yang menyebabkan
penurunan sifat-sifat beton baik secara fisik maupun mekanik. Disintegrasi pada
beton dapat disebabkan oleh pengaruh lingkungan luar maupun dari dalam beton
itu sendiri. Salah satu pengaruh dari dalam adalah bahan penyusun beton yang
bersifat reaktif. Bahan-bahan penyusun dikatakan bersifat reaktif apabila bahan
tersebut mengandung garam-garam kimia yang bersifat agresif terhadap beton.
Salah satu garam agresif adalah sulfat. Meskipun jarang ditemukan namun sulfat
dapat berasal dari agregat kasar maupun agregat halus yang berasal dari daerah
yang memiliki kandungan sulfat (daerah industri), maupun bahan tambahan.
Semen sendiri merupakan bahan kimia campuran yang apabila bersentuhan
dengan sulfat akan terjadi pengembangan pada beton dan mempengaruhi kekuatan
beton itu sendiri.
Sedangkan pengaruh dari luar adalah lingkungan yang memiliki
kandungan sulfat, seperti dalam tanah yang disebut dengan lingkungan agresif.
Garam-garam sulfat yang umum terdapat secara alami dalam tanah merupakan
garam-garam sulfat yang merugikan karena merupakan kontaminasi sulfat akibat
adanya reaksi kimia yang ditimbulkan dengan semen atau beton. Garam-garam
tersebut adalah Natrium sulfat dan Magnesium sulfat. Magnesium sulfat
merupakan garam yang paling agresif dan bersifat reaktif pada beton, karena
mudah bereaksi dengan kalsium hidroksida yang merupakan sisa hasil hidrasi
antara semen dengan air yang menghasilkan gypsum dan etringite yang bersifat
menambah volume sehingga terjadi pengembangan dan akhirnya dapat merusak
beton.
Pada proses hidrasi semen, dihasilkan kalsium hidroksida dan kalsium
aluminat hidrat. Kalsium hidroksida bersifat reaktif dimana sifat ini menyebabkan
beton sensitif terhadap serangan garam sulfat. Magnesium sulfat akan bereaksi
dengan kalsium hidroksida akan menghasilkan kalsium sulfat (CaSO4) dan
magnesium hidroksida (Mg(OH)2).
19
MgSO4 + Ca(OH)2 CaSO4 + Mg(OH)2
Kemudian kalsium sulfat bereaksi dengan aluminat hidrat menghasilkan kalsium
sulfoaluminat (ettringite) yang bersifat mengembang. Hal inilah yang kemudian
membuat beton menjadi retak.
3CaSO4 + 3CaO.Al2O3.nH2O 3CaO.Al2O3.3CaSO4.nH2O
(Diastuti, 2004).
2.6.1 Faktor yang Mempengaruhi Serangan Sulfat
Menurut Cement Concrete and Aggregates Australia (2002) dalam Fanisa
(2013), dalam tingkat keparahan serangan sulfat pada beton tergantung pada
beberapa faktor antara lain sebagai berikut :
1. Jenis sulfat, dimana magnesium sulfat dan ammonium sulfat adalah garam
agresif yang paling merusak beton.
2. Konsentrasi sulfat yaitu tingkat kandungan sulfat dalam suatu lingkungan
yang dapat dikatakan sebagai lingkungan agresif. Semakin besar kadar
sulfat maka akan lebih merusak beton.
3. Cara kontak antara sulfat dengan beton. Pada kasus air yang mengalir,
keparahan serangan sulfat makin meningkat. Serangan yang lebih intensif
terjadi pada beton yang terkena siklus pembasahan dan pengeringan
daripada beton yang terus menerus tenggelam dalam larutan sulfat.
4. Tekanan dari luar beton cenderung memaksa larutan sulfat masuk ke beton
yang mengakibatkan keparahan serangan sulfat.
5. Suhu dalam suatu lingkungan agresif, dimana seperti kebanyakan reaksi
kimia lainnya, laju reaksi meningkat dengan dipengaruhi oleh suhu.
2.6.2 Faktor yang Mempengaruhi Ketahanan Beton Terhadap Sulfat
Serangan sulfat pada beton akan terjadi ketika larutan sulfat menembus
dan bereaksi dengan beton, terutama semen. Dengan demikian faktor yang
mempengaruhi ketahanan beton terhadap sulfat tidak hanya pada apa yang
20
mempengaruhi reaksi kimia dengan senyawa pada semen, tetapi juga pada apa
yang mempengaruhi permeabilitas dan kualitas keseluruhan dari beton. Menurut
Cement Concrete and Agregates (2002) dalam Fanisa (2013) faktor-faktor
tersebut antara lain :
1. Jenis semen
Jenis semen yang digunaka pada suatu campuran beton merupakan faktor
yang mempengaruhi ketahanan beton terhadap sulfat. Semen Portland
yang mengandung trikalsium aluminat kurang dari 5% diklasifikasikan
sebagai semen yang tahan terhadap sulfat.
2. Kadar semen
Tingkat kerusakan terhadap sulfat menurun seiring dengan bertambahnya
kadar semen, bahkan pada beton yang terbuat dari semen Portland biasa.
Dengan kata lain, untuk menghasilkan beton tahan sulfat, penggunaan
semen tahan sulfat harus dikombinasikan dengan penggunaan kadar
semen minimum.
3. Faktor air semen
Apabila semua faktor air semen dalam beton sama, material penyusun
memiliki kualitas yang baik, proporsi campuran tepat dan pengerjaan
yang baik, ketahanan terhadap sulfat akan meningkat seiring dengan
penurunan nilai faktor air semen.
4. Bahan tambahan
Pemakaian bahan tambahan yang memiliki efek pengurangan nilai faktor
air semen atau meningkatkan kinerja beton dapat meningkatkan ketahanan
beton pada sulfat asalkan tidak digunakan untuk mengurangi kadar semen.
5. Proses pelaksanaan
Pengecoran, pemadatan, dan perawatan beton merupakan faktor penting
untuk memproduksi beton dengan permeabilitas rendah. Penambahan air
selama pengecoran untuk mengurangi nilai slump atau untuk membantu
selama proses finishing akan menggangu ketahanan beton terhadap sulfat.
21
2.7 Penelitian Terkait
Beberapa penelitian telah dilakukan terhadap pengaruh Magnesium Sulfat
terhadap sifat fisik maupun mekanik beton. Selain itu penelitian terkait mengenai
penggunaan accelerator pada beton, yaitu :
1. Herwanto (2012) dalam penelitiannya yang berjudul “Pengaruh mutu
beton K-250 akibat terendam air laut dengan penambahan zat additive
sikacim concrete kadar 0,6%”, dimana dalam penelitian ini dibuat benda
uji berbentuk kubus. Mutu yang ingin dicapai adalah K-250 pada umur
dengan memberikan perlakuan direndam air tawar dan direndam air laut.
Penelitian ini menggunakan bahan tambah accelerator Sikacim Concrete
Additive dengan kadar 0,6%. Pada umur 28 hari dilakukan pengujian
terhadap kuat tekan beton dimana pada beton normal tanpa accelerator
kuat tekan beton yang direndam air tawar dan beton yang direndam air laut
sebesar mengalami penurunan kuat tekan sebsar 7,53%. Sedangkan pada
beton yang menggunakan accelerator dengan perlakuan sama mengalami
penurunan kuat tekan beton sebesar 2,69%.
2. Fanisa (2013) dalam penelitiannya yang berjudul “Pengaruh Sulfat
Terhadap Kuat Tekan Beton dengan Variasi Bubuk Kaca Substitusi
Sebagian Pasir dengan c/c 0,60 dan 0,65” menyebutkan bahwa terjadi
penurunan kuat tekan beton akibat disintegrasi oleh Magnesium Sulfat
yang cukup signifikan. Pada penelitian ini digunakan benda uji silinder
dengan ukuran diameter 150 mm dan tinggi 300 mm. Diberikan dua
perlakuan yaitu benda uji direndam dengan larutan Magnesium Sulfat dan
direndam dengan air biasa. Faktor air semen yang digunakan adalah 0,6
dan 0, 65. Pada benda uji ditambahkan serbuk kaca sebagai pengganti
agregat halus sebanyak 0%, 5%, 10%, 15%, 20%. Dilakukan pengujian
pada saat benda uji berumur 7 hari, 21 hari, dan 28 hari. Dari hasil
pengujian didapat penurunan kuat tekan benda uji pada fas 0,6 dengan
waktu pengujian 7 hari, 21 hari, dan 28 hari berturut-turut adalah 3,90%,
7,388%, dan 8,325%. Kemudian hasil pengujian kuat tekan pada benda uji
dengan fas 0,65 dan waktu pengujian 7 hari, 21 hari, dan 28 hari berturut-
22
turut adalah 3,831%, 10,761%, dan 12,72%. Dari penelitian ini ditarik
kesimpulan bahwa semakin besar nilai fas maka semakin besar penurunan
kuat tekan beton, penambahan persen serbuk kaca semakin meningkatkan
kuat tekan beton akibat disintegrasi oleh Magnesium Sulfat.
3. Dharma Putra (2006) dalam penelitiannya yang berjudul “Penambahan
Abu Sekam dalam Mengantisipasi Kerusakan Akibat Magnesium Sulfat
Pada Air Laut” dalam penelitian ini menggunakan benda uji kubus dengan
ukuran 100 mm x 100 mm x 100 mm. Faktor air semen yang digunakan
adalah 0,6 dengan menggunakan abu sekam padi sebagai bahan pengganti
semen dengan prosentase 0%, 10%, 12%, 15%, 17,5% dan 20%.
Konsentrasi Magnesium Sulfat yaitu 5% dari berat air rendaman.
Dilakukan pengujian pada umur 90 hari dengan hasil penurunan kuat tekan
antara benda uji yang direndam dengan Magnesium Sulfat dengan air
biasa pada prosentase penambahan abu sekam 0%, 10%, 12%, 15%,
17,5% dan 20% berturut-turut adalah 18,043%, 14,230%, 11,922%,
9,068%, 7,149%, dan 9,450%. Dari hasil tersebut ditarik kesimpulan
penurunan kuat tekan beton akibat disintegrasi oleh Magnesium Sulfat
terjadi cukup signifikan, penambahan abu sekam padi dapat sebagai salah
satu cara untuk memperbaiki mutu beton yang berada pada lingkungan
agresif.
4. Kumaladewi (2006) dalam penelitiannya yang berjudul “Efek Penggunaan
Accelerator Terhadap Kuat Tekan Beton yang Dibuat dengan
Menggunakan Semen Portland-Pozzolan” menyebutkan persentase
peningkatan kuat tekan beton yang dihasilkan berkisar antara 15,54% -
40,21% dengan penambahan accelerator dengan kadar 2,5% - 10%.
Penelitian ini menggunakan semen PPC untuk beton yang menggunakan
accelerator dan semen PC untuk beton yang tidak menggunakan
accelerator. Benda uji yang digunakan dalam bentuk kubus dengan ukuran
150mm x 150mm x 150mm. Dari hasil pengujian kuat tekan beton dapat
dilihat bahwa kecepatan perkembangan kuat tekan beton terjadi pada umur
23
awal yaitu 1, 3, dan 7 hari. Kemudian pada umur selanjutnya kecepatan
perkembangan beton cenderung menurun.
5. Nopiana (2009) dalam penelitiannya yang berjudul “Pengaruh Accelerator
Terhadap Kuat Tekan Beton yang Menggunakan Fly Ash Sebagai Bahan
Pengganti Sebagian Semen” menggunakan perekan 90% semen Portland
dan 10% fly ash. Accelerator digunakan dengan konsentrasi 2,5% - 10%
dan diuji pada umur 1, 3, 7, 28, dan 90 hari. Dari hasil pengujian diperoleh
peningkatan kuat tekan beton berkisar antara 24,12% - 31,76% pada umur
1 hari dan 4,77% - 12,50% pada umur 90 hari. Hal ini menunjukan
penambahan accelerator mempercepat pengerasan beton pada awal masa
pengerasan.
6. Dianawati (2013) dalam penelitiannya yang berjudul “Pengaruh
Penambahan Fly Ash dan Zat Additif pada Campuran Beton Terhadap
Kinerja Hubungan Balok Kolom Dengan Pembebanan Statistik”,
menggunakan beton dengan bahan tambah SikaCim Concrete Additive
dengan dosis 250ml/sak semen dan fly ash sebagai bahan pengganti semen
sebesar 25%. Penelitian ini dibuat 3 perlakuan diantaranya silinder normal
(tanpa bahan tambahan), kemudian silinder dengan fly ash dan silnder
dengan fly ash + SikaCim Concrete Additive. Dari hasil pengujian
diperoleh kuat tarik belah beton secara berturut-turut 1,87 MPa, 1,06MPa,
dan 2,60 MPa. Hasil ini menunjukan persentase kenaikan kuat tarik beton
fly ash + SikaCim Concrete Additive meningkat bila dibandingankan
dengan silinder normal dan silinder dengan fly ash saja.
2.8 Kuat Tekan Beton
Nilai kuat tekan beton dengan kuat tariknya tidak berbanding lurus.
Menurut perkiraan kasarnya, nilai kuat tarik berkisar antara 9% - 15% dari kuat
tekannya (Mulyono, 2004). Dari hasil tersebut dapat dilihat jika beton lebih kuat
dalam menerima tekan daripada menerima tarik. Untuk mengatasi kelemahan
tersebut, pada struktur digunakan tulangan yang bertujuan untuk memperkuat
beton dalam menerima tarik. Sehingga beton berfungsi untuk menerima tekan dan
24
tulangan berfungsi menerima tarik. Sedangkan beton hanya diperhitungkan untuk
menahan gaya tekan.
Proses pembentukan beton kuat tekan beton yang direncanakan dalam
suatu konstruksi diperoleh dari pengujian kuat tekan beton menggunakan benda
uji kubus 150 mm x 150 mm x 150 mm. Pengujian dapat dilakukan setelah benda
uji berumur 28 hari. Kuat tekan beton dapat dihitung dengan persamaan berikut :
=
(2.1)
∑
(2.2)
dengan : cf ' = kuat tekan beton yang diperoleh dari benda uji (kg/cm2).
crf ' = kuat tekan rata-rata kubus (kg/cm2).
P = Beban maksimum yang diberikan (kN).
A = Luas tekan bidang benda uji (cm2).
n = Jumlah benda uji.
2.9 Koefisien Variasi
Koefisien variasi merupakan variasi yang dihasilkan dari hasil uji yang
dapat ditelusuri dari variasi dalam metode pengujian dan perilaku campuran beton
serta bahan pembentuknya (SNI 03-6815-2002). Variasi dalam pengujian
menggunakan persamaan seperti berikut :
(2.3)
(2.4)
25
dengan : σ = standar deviasi dalam pengujian (kg/cm2).
= suatu konstanta yang tergantung pada jumlah benda uji
untuk menghasilkan suatu hasil uji (tabel 2.5).
R = rentang rata-rata.
= koefisien variasi dalam pengujian.
X = kekuatan rata-rata (kg/cm2).
Tabel 2.5 Konstanta jumlah benda uji
Jumlah Benda Uji d2 i/d2
2 1.128 0.8865
3 1.693 0.5907
4 2.059 0.4857
5 2.230 0.4299
6 2.534 0.3946
7 2.704 0.3698
8 2.847 0.3512
9 2.970 0.3367
10 3.078 0.3249
(Sumber : SNI 03-6815-2002)
top related