bab i pendahuluan 1.1 latar belakang...
Post on 09-Mar-2019
231 Views
Preview:
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Puisi adalah rekaman dan interpretasi pengalaman manusia yang penting yang
digubah dalam susunan yang berirama (Pradopo, 2012:7). Rekaman dan interpretasi
pengalaman tersebut ditulis sedemikian rupa sehingga bernilai sastra. Rekaman dan
interpretasi tersebut juga mencerminkan kenyataan dalam suatu masyarakat
(Luxemburg, Bal, dan Weststeijn, 1981:29).
Puisi bagi bangsa Arab adalah puncak keindahan dalam sastra (al-Muhdar dan
Arifin, 1983:28). Puisi adalah suatu bentuk gubahan yang dihasilkan dari kehalusan
perasaan dan keindahan daya khayal. Bangsa Arab adalah bangsa yang lebih
menyenangi puisi dibanding karya sastra lainnya. Hal ini dibuktikan dengan adanya
sayembara puisi yang selalu diadakan di Mekah, tempat seluruh bangsa Arab
berkumpul setiap tahunnya. Puisi yang terbaik ditulis dengan tinta emas dan
digantungkan di dinding Kabah. Para penyair pun berlomba-lomba menciptakan puisi
yang paling indah agar setiap orang yang ṭawāf dapat melihat hasil karyanya (al-
Muhdar dan Arifin, 1983:18). Bangsa Arab juga mengelompokkan puisi-puisi mereka
berdasarkan tujuan dalam berbagai tema, di antaranya tema fakhr (kebanggan atau
keunggulan), madḥ (puji-pujian), hijā` (ejekan), riṡā` (ratapan), waṣf (deskripsi),
gazal (cinta), dan zuhd (religi). Sampai saat ini, puisi-puisi Arab masih terus lahir
2
dengan tema-tema baru yang semakin banyak dieksplorasi oleh para penyair Arab
(Badawi, 1975:2-3).
Di antara ribuan puisi Arab yang telah ada, “Risālatun min al-Manfā” adalah
salah satu puisi Arab yang bertema baru. Puisi ini dikarang oleh seorang penyair
kenamaan, Maḥmūd Darwīsy, yang secara luas dipersepsikan sebagai penyair
perlawanan Palestina dan juru bicara oposisi Arab. Puisi ini menceritakan keadaan
orang-orang di tempat pembuangan melalui representasi si Aku. Tempat pembuangan
yang dimaksud adalah tempat berkumpulnya penduduk Palestina yang terasing
karena mereka telah diusir dari tanah kelahirannya. Dalam bukunya, Rahman
(2002:4) memaparkan bahwa menjelang berdirinya Negara Israel, gerakan Zionis
berhasil mengosongkan 60 desa Palestina dari penduduknya yang sebagian besar
terletak di bagian utara wilayah Palestina. Aksi pengusiran massal terjadi lagi seusai
perang besar Timur Tengah. Pemerintah Negara baru Israel, setelah perang 1948,
berhasil mengusir penduduk Palestina dalam jumlah besar ke Mesir, Suriah,
Yordania, dan Lebanon. Seusai perang 1967, negara baru Israel juga membuat
300.000 penduduk Palestina terusir dari Tepi Barat dan Jalur Gaza menuju negara-
negara Arab lain. Ratusan ribu warga Palestina tiba-tiba telah menjadi orang tak
bernegara di tanahnya sendiri. Bahkan Yahya (2005:73) menambahkan mereka juga
dibantai tanpa perikemanusiaan. Sejarah Palestina penuh dengan tindak kekerasan
dan pembantaian atas orang-orang sipil.
Menurut teori semiotik, puisi merupakan sistem tanda yang mempunyai
makna dan mempergunakan bahasa sebagai mediumnya (Pradopo, 2012:121).
3
“Risālatun min al-Manfā”, sebagai sebuah puisi, juga merupakan sistem tanda yang
mempunyai makna. Di antara tanda yang terlihat pada puisi tersebut adalah kata
risālatun „surat‟, al-manfā „tempat pembuangan‟, ragīf asmaru „roti yang berwarna
coklat‟, żi`bun „serigala‟, dan banyak tanda lainnya. Di antara contoh makna dari
tanda tersebut adalah kata żi`bun „serigala‟ tidak menunjukkan hewan buas sejenis
anjing pada umumnya, tetapi kata tersebut bermakna orang-orang Israel yang kejam
dan suka melakukan pembunuhan seperti buasnya serigala. Oleh karena itu, puisi
“Risālatun min al-Manfā” layak diteliti dengan analisis semiotik.
1.2 Permasalahan
Berdasarkan latar belakang di atas, permasalahan yang dibahas dalam
penelitian ini adalah makna puisi “Risālatun min al-Manfā” dalam Antologi Aurāqu
az-Zaitūn karya Maḥmūd Darwīsy.
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan mengungkap makna yang terkandung dalam puisi
“Risālatun min al-Manfā” dalam Antologi Aurāqu az-Zaitūn karya Maḥmūd Darwīsy.
1.4 Tinjauan Pustaka
Penelitian terhadap karya-karya Maḥmūd Darwīsy dengan analisis semiotik
telah banyak dilakukan di beberapa universitas, seperti UGM, UI, dan UIN Sunan
Kalijaga. Di Jurusan Sastra Asia Barat Fakultas Ilmu Budaya UGM, ada empat puisi
karya Maḥmūd Darwīsy yang telah diteliti dengan analisis semiotik. Penelitian puisi
“Biṭāqah Hawiyyah” karya Maḥmūd Darwīsy pernah dilakukan oleh Ulfa (2010)
dalam skripsinya yang berjudul “Makna Puisi “Biṭāqah Hawiyyah” dalam Antologi
4
Aurāqu az-Zaitūn Karya Maḥmūd Darwīsy: Analisis Semiotik”. Melalui pembacaan
semiotik, Ulfa menyimpulkan bahwa puisi ini merupakan suatu protes keras rakyat
Palestina atas penjajahan yang dilakukan oleh zionis Israel yang merebut secara paksa
tanah air mereka. Penjajahan tersebut mengakibatkan mereka kehilangan tanah air.
Meskipun demikian, satu hal yang selalu mereka yakini bahwa merekalah bangsa
Arab, pemilik sah tanah tersebut.
Puisi karya Maḥmūd Darwīsy “Yaumiyyātu Jurḥi Filasṭīniyyīn” juga pernah
diteliti oleh Sastiani (2011) dalam skripsinya yang berjudul “Makna Puisi
Yaumiyyātu Jurḥi Filasṭīniyyīn” dalam Antologi Puisi ad-Dīwān: al-A‘mālu al-Ūlā
karya Maḥmūd Darwīsy: Analisis Semiotik”. Melalui pembacaan semiotik, Sastiani
menyimpulkan bahwa puisi tersebut merupakan gambaran penderitaan dan
kesengsaraan yang dialami oleh rakyat Palestina akibat pendudukan Israel di tanah
mereka. Israel memaksa mereka meninggalkan tanah air dan membiarkan mereka
hidup sengsara. Akan tetapi, hal itu tidak menghalangi mereka untuk terus berjuang
meski harus mati hingga mereka dapat hidup senang di sana.
Karya Maḥmūd Darwīsy yang lain pernah diteliti oleh Sutriana (2012) dalam
skripsinya yang berjudul “Makna Puisi “ar-Rajulu żū aẓ-Ẓilli al-Akhḍari” dalam
Antologi Puisi Ḥabībatī Tanhaḍu min Naumihā Karya Maḥmūd Darwīsy: Analisis
Semiotik”. Setelah melakukan analisis semiotik dengan memanfaatkan
ketidaklangsungan ekspresi, pembacaan semiotik, dan matriks, Sutriana
menyimpulkan bahwa makna puisi tersebut adalah perjuangan Gamal Abdul Nasser
sebagai seorang pemimpin yang dicintai rakyatnya. Pada masa pemerintahannya, ia
5
menjanjikan perubahan-perubahan di berbagai bidang untuk memajukan negara dan
mensejahterakan rakyatnya.
Vebriyantie (2012) dalam skripsinya yang berjudul “Tentara Israel dalam
Puisi “Jundiyyun Yaḥlumu bi az-Zanābiqi al-Baiḍā`a” dalam Antologi Ākhiru al-Lail
karya Maḥmūd Darwīsy: Analisis Semiotik” menyimpulkan bahwa puisi tersebut
merupakan gambaran tentara Israel yang meninggalkan medan peperangan atas nama
hati nurani karena telah banyak membunuh musuh Yahudi yang merupakan warga
sipil dan tidak berdosa.
Sejauh pengamatan penulis, penelitian semiotik terhadap puisi “Risālatun min
al-Manfā” dalam Antologi Aurāqu az-Zaitūn karya Maḥmūd Darwīsy belum pernah
dilakukan oleh mahasiswa Jurusan Asia Barat Fakultas Ilmu Budaya UGM, UI,
maupun mahasiswa Fakultas Adab UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Hanya saja
terdapat beberapa artikel ditemukan oleh penulis terkait dengan puisi tersebut dalam
media elektronik berbahasa Arab dan Inggris. Akan tetapi, artikel tersebut hanya
ditulis dengan ringkas, tidak sistematis, dan bukan merupakan sebuah penelitian.
Dengan demikian, puisi ini layak untuk diteliti lebih lanjut menggunakan analisis
semiotik.
1.5 Landasan Teori
Sebagai salah satu jenis karya sastra, puisi disampaikan dengan media bahasa.
Bahasa sebagai medium sastra sudah merupakan sistem semiotik, yaitu sistem
ketandaan yang memiliki arti (Pradopo, 2012:121). Sebagai tanda, karya sastra
merupakan dunia dalam kata yang dapat dipandang sebagai sarana komunikasi antara
6
pembaca dan pengarangnya. Karya sastra bukan merupakan sarana komunikasi biasa.
Oleh karena itu, karya sastra dapat dipandang sebagai gejala semiotik (Teeuw,
1984:43).
Teori yang digunakan dalam penelitian puisi ini adalah teori semiotik.
Semiotik merupakan suatu disiplin yang meneliti semua bentuk komunikasi selama
komunikasi itu dilaksanakan dengan menggunakan tanda. Ada dua prinsip dalam
pengertian tanda, penanda atau yang menandai (signifier), yang merupakan bentuk
tanda, dan petanda atau yang ditandai (signified), yang merupakan arti tanda. Bahasa
sebagai medium karya sastra merupakan sistem tanda tingkat pertama. Dalam ilmu
semiotik, arti bahasa sebagai sistem tanda tingkat pertama itu disebut meaning (arti).
Karena karya sastra merupakan sistem tanda yang lebih tinggi kedudukannya dari
bahasa, maka karya sastra disebut sistem semiotik tingkat kedua. Bahasa tertentu
mempunyai konvensi tertentu pula. Dalam sastra, konvensi bahasa disesuaikan
dengan konvensi sastra. Dengan demikian, arti sastra adalah meaning of meaning
(makna). Makna karya sastra itu bukan semata-mata arti bahasanya, melainkan arti
bahasa beserta suasana, perasaan, intensitas arti, arti tambahan (konotasi), daya liris,
pengertian yang ditimbulkan oleh tanda-tanda kebahasaan atau tanda-tanda lain yang
ditimbulkan oleh konvensi sastra, misalnya tipografi, enjambement, sajak, baris sajak,
ulangan, dan yang lainnya lagi (Pradopo, 2012:121-122).
Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan di atas, mengkaji dan memahami
puisi tidak lepas dari analisis semiotik. Analisis semiotik adalah usaha untuk
menganalisis karya sastra, khususnya puisi, sebagai sistem tanda dan menentukan
7
konvensi-konvensi yang berlaku yang memungkinkan sebuah puisi memiliki makna
(Pradopo, 2012:123).
1.6 Metode Penelitian
Berdasarkan landasan teori di atas, metode penelitian yang digunakan adalah
metode analisis semiotik yang diungkapkan oleh Riffaterre dalam Semiotics of
Poetry. Riffaterre (1978:1-24) menawarkan empat hal yang digunakan untuk
mengungkap makna puisi, yaitu pemaknaan melalui ketidaklangsungan ekspresi,
pembacaan heuristik dan heurmeneutik, matriks atau kata kunci, dan hipogram.
Pertama, pemaknaan melalui ketidaklangsungan ekspresi perlu
memperhatikan tiga hal, yaitu penggantian arti, penyimpangan arti, penciptaan arti
sebagaimana yang diungkapkan oleh Riffaterre (1978:2). Penggantian arti disebabkan
oleh penggunaan metafora dan metonimi. Metafora dan metonimi secara umum,
adalah bahasa kiasan (Pradopo, 2012:282). Dalam kesusastraan Arab dikenal dengan
ilmu bayān yang di dalamnya terdapat tasybīh (penyerupaan), isti‘ārah (metafora),
majāz (majas), dan kināyah (metonimia) (al-Jarīm dan Amīn, 1961:18-123).
Penyimpangan arti yang terjadi di dalam bahasa puisi disebabkan oleh tiga hal, yaitu
ambiguitas, kontradiksi, dan nonsense (Riffaterre, 1978:2). Ambiguitas adalah sifat
banyak tafsir (polyinterpretable). Hal ini disebabkan oleh sifat puisi yang berupa
pemadatan hingga satu kata, frase, klausa, ataupun kalimat bermakna ganda.
Kontradiksi adalah situasi yang berlawanan, sedangkan nonsense adalah kata-kata
yang secara linguistik tidak memiliki arti (Pradopo, 2012:287, 290-291). Dalam
kesusastraan Arab, kontradiksi termasuk dalam ṭibāq (antitesis) dan muqābalah
8
(antitesis yang berurutan). Penciptaan arti dilakukan melalui sarana-sarana di luar
linguistik, di antaranya adalah rima, homologue, enjambement, dan tipografi
(Riffaterre, 1978:2). Dalam kesusastraan Arab terdapat dalam ilmu ‘arūḍ (ilmu
persajakan Arab) dan qawafī (persamaan rima puisi Arab).
Kedua, pemaknaan melalui pembacaan semiotik dimulai dari pembacaan
heuristik, yaitu puisi dibaca berdasarkan konvensi bahasa atau sistem bahasa sesuai
dengan kedudukan bahasa sebagai sistem semiotik tingkat pertama. Puisi dibaca
sesuai dengan struktur normatif bahasa. Dalam pembacaan ini semua yang tidak
biasa dibuat biasa atau harus dinaturalisasikan sesuai dengan sistem bahasa normatif.
Logika yang tidak biasa dikembangkan pada logika bahasa yang biasa (Pradopo,
2012:295-296).
Langkah berikutnya adalah pembacaan hermeneutik, yaitu pembacaan ulang
dari awal hingga akhir yang dilakukan dengan pemberian makna berdasarkan
konvensi sastra (puisi). Puisi menyatakan sesuatu gagasan secara tidak langsung,
dengan kiasan (metafora), ambiguitas, kontradiksi, dan pengorganisasian teks
sebagaimana telah disebutkan di depan (Pradopo, 2012:297).
Ketiga, adalah pencarian matriks. Riffaterre (1978:19) menjelaskan bahwa
matriks dapat berupa kata-kata atau kalimat yang berupa tanda puitis. Pradopo
(2010:299) menambahkan bahwa kata-kata tersebut adalah kata yang menjadi kunci
penafsiran puisi yang dikonkretisasikan.
Terakhir hipogram adalah teks yang menjadi latar penciptaan teks lain atau
puisi yang menjadi latar penciptaan puisi yang lain. Seringkali sebuah puisi baru
9
mendapat makna hakikinya bila dikontraskan (dijajarkan) dengan puisi yang menjadi
hipogramnya. Jadi, puisi itu tidak dapat dilepaskan dari hubungan kesejaharahannya
dengan puisi sebelumnya (Pradopo, 2012:300).
Puisi “Risālatun min al-Manfā” dalam Antologi Aurāqu az-Zaitūn karya
Maḥmūd Darwīsy diteliti dengan memanfaatkan dua dari metode semiotik yang
dikemukakan oleh Riffaterre. Dua metode tersebut adalah pemaknaan melalui
ketidaklangsungan ekspresi dan pembacaan semiotik. Pemaknaan melalui
ketidaklangsungan ekspresi dilakukan bersamaan dengan pembacaan hermeneutik,
sedangkan pencarian matriks dan hipogram tidak dilakukan dalam penelitian ini.
1.7 Sistematika Penulisan
Laporan ini disusun dengan sistematika penulisan sebagai berikut. Bab I berisi
pendahuluan yang terdiri atas latar belakang masalah, permasalahan, tujuan
penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, sistematika penulisan,
dan pedoman transliterasi. Bab II berisi biografi Maḥmūd Darwīsy dan puisi
“Risālatun min al-Manfā” beserta transliterasinya. Bab III berisi analisis puisi
“Risālatun min al-Manfā”. Bab IV berisi kesimpulan.
1.8 Transliterasi Arab-Latin
Pedoman transliterasi yang digunakan adalah pedoman transliterasi Arab-
Latin berdasarkan “Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan Republik Indonesia no. 158 th. 1987 dan nomor 0534/ b/ U/ 1978” yang
secara garis besarnya adalah sebagai berikut.
10
1. Konsonan
Fonem konsonan bahasa Arab yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan
dengan huruf, dalam transliterasi ini sebagian dilambangkan dengan tanda dan
sebagian yang lain dengan huruf dan tanda sekaligus.
Huruf Arab Nama Huruf Latin Keterangan
Alīf tidak dilambangkan tidak dilambangkan ا
Bā B Be ب
Tā T Te ت
Ṡā Ṡ Es (dengan titik diatas) ث
Jīm J Je ج
Ḥā` Ḥ Ha (dengan titik di bawah) ح
Khā` Kh Ka dan ha خ
Dāl D De د
Żāl Ż Zet (dengan titik di atas) ذ
Rā R Er ر
Zai Z Zet ز
Sīn S Es س
Syīn Sy Es dan ye ش
Ṣād Ṣ Es (dengan titik di bawah) ص
Ḍād Ḍ De (dengan titik di bawah) ض
Ṭā` Ṭ Te (dengan titik di bawah) ط
Ẓā` Ẓ Zet (dengan titik di bawah) ظ
Ain „_ koma terbalik (di atas)‘ ع
11
Huruf Arab Nama Huruf Latin Keterangan
Gain G Ge غ
Fā` F Ef ف
Qāf Q Ki ق
Kāf K Ka ك
Lām L El ل
Mīm M Em م
Nūn N En ن
Wāwu W We و
Hā` H Ha ه
Hamzah `_ Apostrof ء
Yā` Y Ye ي
2. Vokal
Vokal tunggal Diftong Vokal panjang
Tanda Huruf
latin
Tanda
dan huruf
Gabungan
huruf
Harakat
dan huruf
Huruf
dan tanda
- - A -ي - Ai -ا - Ā
- - I -و - Au -ي - Ī
- - U -و - Ū
Contoh:
kataba
baitun ب ي ت
qāla ل
12
3. Tā` Marbūṭah
Tā` marbūṭah hidup atau mendapat harakat fatḥāh, kasrah, dan ḍammah
transliterasinya adalah /t/, sedangkan tā` marbūṭah mati atau mendapat harakat sukun
transliterasnya adalah /h/. Contoh:
al-Madīnah al-Munawwarah/al-Madīnatul-Munawwaratu اامل بيمل ااملب ور ة
4. Syaddah (Tasydīd)
Syaddah atau tasydīd dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan sebuah
tanda syaddah atau tasydīd. Dalam transliterasi ini, tanda syaddah tersebut
dilambangkan dengan huruf yang sama dengan huruf yang diberi tanda syaddah
tersebut. Contoh:
rabbanā ر بومل
nazzala ب ول
5. Kata Sandang
Kata sandang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan huruf, yaitu
alif dan lam. Kata sandang tersebut dibedakan atas kata sandang yang diikuti oleh
huruf syamsiyyah dan kata sandang yang diikuti oleh huruf qamariyyah. Kata
sandang yang diikuti oleh huruf syamsyiyyah ditransliterasikan sesuai dengan
bunyinya, yaitu huruf /l/ diganti dengan huruf yang sama dengan huruf yang langsung
mengikuti kata sandang tersebut. Kata sandang yang diikuti huruf qamariyyah
ditransliterasikan sesuai dengan aturan yang digariskan di depan dan sesuai pula
dengan bunyinya. Baik diikuti huruf syamsiyyah maupun huruf qamariyyah, kata
13
sandang ditulis terpisah dari kata yang mengikuti dan dihubungkan dengan tanda
hubung (-). Contoh:
ar-rajulu االو
al-kātibu اال ا
6. Hamzah
Hamzah ditransliterasikan dengan apostrof jika terletak di tengah atau di akhir
kata. Apabila terletak di awal kata, ia tidak dilambangkan karena dalam tulisan Arab
berupa alīf. Contoh:
ya`khużu أ
qara`a ب ل
7. Penulisan Kata
Pada dasarnya, setiap kata, baik fi‘l, ism, maupun ḥarf, ditulis terpisah. Hanya
saja, kata-kata tertentu yang penulisannya dengan huruf Arab sudah lazim
dirangkaikan dengan kata lain karena ada huruf atau harakat yang dihilangkan, maka
transliterasinya dirangkaikan juga dengan kata lain yang mengikutinya.
Contoh :
ل االواز ي أ بي Wa innallāha lahuwa khairu ar-rāziqīna و نو اا
8. Huruf Kapital
Meskipun dalam tulisan Arab tidak dikenal huruf kapital, tetapi dalam
transliterasinya huruf kapital digunakan dengan ketentuan Ejaan Yang
Disempurnakan (EYD). Diantaranya adalah huruf kapital digunakan untuk
14
menuliskan huruf awal, nama diri, dan permulaan kalimat. Bila nama diri itu
didahului oleh kata sandang, maka yang dituliskan dengan huruf kapital tetap huruf
awal nama diri tersebut, bukan huruf awal kata sandangnya.
Contoh:
Wamā Muḥammadun illā rasūl و وملت و ر يلت
Penggunaan huruf awal kapital untuk Allah hanya berlaku bila dalam tulisan
Arabnya memang lengkap demikian dan kalau penulisan itu disatukan dengan kata
lain sehingga ada huruf atau ḥarakat yang dihilangkan, huruf kapital tidak
dipergunakan. Contoh :
Naṣrun minallāhi wa fatḥun qarīb يلت اا و ب ي ت ل ي ت
top related