ahli sunnah wal jamaah
TRANSCRIPT
AHLI SUNNAH WAL JAMAAH
Jalan Golongan Yang Selamat
Istilah golongan yang selamat yang dalam bahasa Arab disebut dengan al-firqatu an-najiyah (
:muncul berdasarkan hadis Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam yakni ( انفسقت اناجت
افخسقج اند عه إحد سبع فسقت ، فاحدة ف انجت سبع ف اناز ، افخسقج انصاز عه ار سبع فسقت
ه رالد سبع فسقت ، فاحدة ف انجت فاحدة ف انجت إحد سبع ف اناز ، انر فس بد نخفخسق أيخ ع
رخ سبع ف اناز ، قم ا زسل هللا ي ى ؟ قال : ى انجاعت
yang bermakna:
“Yahudi telah berpecah-belah menjadi 71 golongan, maka satu di Surga dan tujuh puluh di
Neraka, dan Nashara telah berpecah belah menjadi 72 golongan, maka satu di Surga dan tujuh
puluh satu di Neraka, dan demi yang jiwaku di tangan-Nya sungguh ummatku akan berpecah
belah menjadi 73 golongan, maka satu di Surga dan tujuh puluh dua di Neraka, dikatakan
“Wahai Rasul ALLAH siapa mereka itu?”, beliau berkata: “Mereka adalah al-Jama'ah.”.” (HR
Ahmad, shahih)
Kata “ فسقت ” bermakna golongan, kelompok dari hasil berpecah, sedangkan “ اجت ” bermakna
selamat. Dalam konteks hadis di atas adalah selamat dari Neraka dan dimasukkan Surga.
Dari hadis tersebut muncul pertanyaan siapa mereka itu? Lafadz hadis tersebut menunjukkan
yang selamat disebut “ انجاعت” yang juga secara bahasa bermakna golongan dari hasil
berkumpul. Dalam hadis ini tentu saja tidak bermaksud makna bahasa tapi makna syar'i, sebab
jika itu bermakna bahasa maka hadis itu tidak berarti apa-apa. Pertanyaan berikutnya adalah
siapa al-Jama'ah yang dimaksud?
Untuk menjawab ini harus diteliti makna dan maksud al-Jama'ah dan al-Firqah dan perintah
untuk berjama'ah atau berkumpul disertai larang berfirqah atau berpecah belah di dalam al-Quran
dan as-Sunnah:
قا{ )آل عسا: ي ات: } ال حفسه عا ج ا بحبم هللاه اعخص 301 } :قال سبحا ( اخخهفا ي قا حفسه ال حكا كانهر اث{ )آل عسا: ي ات: بعد يا جاءى ا 301نب ).
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai
berai, ...” (QS Ali Imran: 103), “Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-
berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. ...” (QS Ali
Imran:105).
Dua ayat tersebut jelas-jelas memerintahkan bersatu (jama'ah) dan melarang perpecahan (firqah).
Sedangkan dalam as-Sunnah:
((ي خسس ي انطاعت فازق انجاعت فاث ياث يخت جاهت))
“Barangsiapa keluar dari ketaatan (pada amir) dan memisahkan diri (berpecah) dari al-jama'ah
kemudian mati maka mati dalam keadaan mati jahiliyah” (HR Muslim dari Abu Hurarirah).
((ي أزاد بحبحت انجت فههصو انجاعت فإ انشطا يع اناحد ي االر أبعد))
“Barangsiapa menghendaki surga yang terbaik dan ternyaman hendaknya melazimi al-jama'ah
karena syaitan bersama satu orang dan dia lebih jauh dari dua orang.” (HR at-Tirmidzi dari
'Umar bin al-Khattab, hasan shahih gharib dan disebutkan al-Albani dalam Shahih at-Tirmidzi).
((انجاعت زحت انفسقت عراب))
“Jama'ah itu rahmat sedangkan furqah (perpecahan) itu 'adzab” (HR Ibnu Abi 'Ashim dalam as-
Sunnah dan dihasankan oleh al-Albani dalam takhrijnya, Shahih al-Jami' dan yang lain)
Hadis-hadis ini senada dengan ayat-ayat al-Quran yang telah disebutkan tentang kewajiban
melazimi al-Jama'ah dan menjauhi furqah (perpecahan). Kemudian apa makna al-Jama'ah?
Apabila dibawa pada masa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan para shahabat maka makna al-
Jama'ah tentu saja berpegang kepada Islam yang murni yakni al-Quran dan as-Sunnah, karena
jelas Nabi dan para shahabat termasuk dari al-Jama'ah yang dimaksud dalam ayat-ayat al-Quran
dan riwayat-riwayat dalam as-Sunnah tersebut, sehingga orang-orang yang menyelesihi mereka
adalah firqah sebagai konsekuensi logis meninggalkan al-Jama'ah yakni Nabi dan para shahabat.
Para 'ulama mempunyai pendapat yang bervariasi tapi tidak saling bertentangan, di mana
menurut asy-Syathibi bisa dirangkum dalam lima pendapat, yaitu:
1. as-Sawadu al-A'dzam ( انساد اعظى ) yakni maksudnya adalah kelompok terbesar dari orang-
orang muslim. Mereka itulah yang dimaskud al-Jama'ah yakni al-Firqatu an-Najiyah (golongan
yang selamat). Maka pemahaman Islam yang mereka pegang adalah benar yang menyelisihi
mereka mati dalam keadaan mati jahiliyah baik menyelesihi pemahaman agama mereka ataupun
menyelisihi imam mereka. Sehingga yang dimaksud as-Sawadu al-A'dzam adalah orang-rang
yang berpegang teguh dengan syari'ah yang benar. Pendapat ini adalah pendapat Abu Mas'ud al-
Anshari dan Ibnu Mas'ud radhiallahu 'anhuma. Ketika terbunuhnya khalifah 'Utsman radhiallahu
'anhu maka Abu Mas'ud ditanya tentang fitnah maka beliau menjawab: “Tetaplah engkau dengan
al-Jama'ah, sesungguhnya ALLAH tidaklah mengumpulkan ummat Muhammad shallallahu
'alaihi wa sallam di atas kesesatan ...”. Ibnu Mas'ud berkata: “ Tetaplah kalian mendengar dan
ta'at, karena itu adalah tali ALLAH yang Dia perintahkan (untuk memegang teguh) …” beliau
juga berkata: “ Sesungguhnya yang kalian benci di dalam jama'ah lebih baik dari pada yang
kalian sukai di dalam perpecahan ...”.
2. Jama'ah imam-imam 'ulama mujtahidin, maka barang siapa keluar dari apa yang telah
disepakati 'ulama ummat ini mati dalam keadaan mati jahiliyah. Karena 'ulama ummat ini lah
yang dimaksud dalam hadis shahih : ((إ هللا ن جع أيخ عه ضالنت)) yakni “Sesungguhnya ALLAH
tidak akan mengumpulkan ummatku di atas kesesatan.” hadis ini dishahihkan al-Albani dalam
Shahih al-Jami'. Pendapat ini mengkhususkan 'ulama mujtahidin dari as-Sawadu al-A'dzam
ummat ini. Pendapat ini dikatakan oleh: 'Abdullah bin al-Mubarak, Ishaq bin Rahawaihi dan
sekelompok ulama salaf. Ibnu al-Mubarak pernah ditanya: “Siapakah al-Jama'ah yang sepatunya
diikuti?” Beliau berkata:” Abu Bakar dan 'Umar.” beliau terus menyebutkan sampai ke
Muhammad bin Tsabit dan al-Husain bin Waqid. Maka dikatakan pada beliau: “ Mereka sudah
mati, siapakah yang masih hidup dari Jama'atu al-Muslimin hari ini?” maka dijawab: “ Abu
Hamzah as-Sukari adalah jama'ah.” Abu Hamzah ini adalah Muhammad bin Maimun al-
Marwazi, mendengar dari Abu Hanifah. Oleh karena itu barang siapa beramal menyelesihi para
ulama mujtahid ini akan mati dalam keadaan jahiliyah.
3. Para Sahabat secara khusus, karena mereka yang telah berhasil menegakkan agama ini secara
keseluruhan dan meraka adalah orang-orang yang tidak akan bersepakat di atas kesesatan. 'Umar
bin 'Abdil Aziz berkata: “Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan Wulatu al-amri (Khalifah-
khalifah) sesudahnya telah memberikan tuntunan (sunnah). Mengambil tuntunan itu adalah
pembenaran terhadap Kitab ALLAH (al-Quran), penyempurnaan ketaatan kepada ALLAH,
kekuatan di atas agama ALLAH. Tidak seorangpun boleh mengganti dan mengubahnya dan
tidak pula melihat apapun yang menyelesihinya. Barang siapa mengambil petunjuk dengan
tuntunan itu akan mendapat petunjuk barang mengambil pertolongan berdasar tuntunan itu maka
akan ditolong (oleh ALLAH), barang siapa menyelisihnya berarti mengikuti jalan selain jalan
orang-orang beriman dan ALLAH akan membiarkan dia dalam kesesatannya dan memasukkan
dia ke neraka Jahannam dan itulah sejelek-jelak tempat kembali.” Riwayat ini disampaikan oleh
al-Imam Malik dan beliau takjub dan menyetujuinya. Pendapat ini sesuai dengan riwayat lain
dari hadis perpecahan ummat tersebut yakni lafadz pengganti al-Jama'ah yaitu: (( يا أا عه
yang bermakna “Apa yang aku dan shahabatku di atasnya ...” hadis dengan lafadz ini ((أصحاب
diriwayatkan at-Tirmidzi dalam sunannya dan dihasankan al-Albani dalam Shahih at-Tirmidzi.
Lafadz ini menerangkan makna al-Jama'ah yang tidak lain dasarnya adalah tuntunan yang
dipegang dan difahami para shahabat radhiallahu 'anhum.
4. Jama'atu ahli al-Islam jika mereka berkumpul di atas suatu perkara maka wajib atas yang lain
untuk mengikuti mereka. Berkaitan dengan in al-Imam asy-Syafi'i berkata:
-yang bermakna “al انجاعت ال حك فا غفهت ع يع كخاب ال ست ال قاض، إا حك انغفهت ف انفسقت
Jama'ah tidak mungkin di dalamnya lalai dari makna Kitab (al-Quran) dan Sunnah tidak pula
qiyas, kelalaian hanya terjadi pada firqah (sempalan).” Beliau bermaksud bahwa jama'ah kaum
muslimin adalah orang-orang yang berkumpul dalam satu perkara, karena berkumpulnya mereka
terhadap satu perkara menunjukkan kalau perkara itu shahih karena Nabi shallallahu 'alaihi wa
sallam mengkhabarkan bahwa ummat ini tidak akan bersepakat dalan kesesatan, sedangkan
perpecahan dan perselisihan adalah hasil dari kelalalaian (terhadap al-Quran dan as-Sunnah) dan
tidak masuk ke makna al-Jama'ah.
5. Jama'ah kaum muslimin jika bersepakat pada satu amir (pemimpin), maka Nabi shallallahu
'alaihi wa sallam memerintahkan untuk melazimi dan menetapi jama'ah tersebut dan melarang
berpecah serta meninggalkan jama'ah ini. Ini adalah pendapat al-Imam ath-Thabari. Sesuai hadis
: (( نفسق جاعخى فاضسبا عق كائا ي كاي جاء إن أيخ )) yang bermakna: “Barangsiapa datang ke
ummatku untuk memecah-belah jama'ah mereka maka penggallah lehernya apapun yang terjadi.”
Kelima makna al-Jama'ah bisa dirangkum bahwa al-Jama'ah kembali kepada berkumpul dan
bersatunya kaum muslimin atas seorang imam yang sesuai al-Quran dan as-Sunnah, sehingga
bersatunya manusia di atas selain as-Sunnah di luar makna al-Jama'ah dalam hadis tersebut,
sebagaimana orang-orang Khawarij yang keluar dari ketaatan al-Imam 'Ali bin Abi Thalib
radhiallahu 'anhu dan juga pemahaman para shahabat terhadap al-Quran dan as-Sunnah.
Golongan yang selamat yang dimaksud adalah al-Jama'ah disertai dengan ittiba' sunnah sehingga
dinamai Ahlu as-Sunnah wa al-Jama'ah. Mereka adalah golongan yang dijanjikan oleh Nabi
shallallahu 'alaihi wa salla dengan keselamatan di antara golongan-golongan yang ada. Prinsip
mereka adalah ittiba' (mengikuti) sunnah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dalam aqidah,
ibadah, akhlak dan selalu melazimi jama'ah kaum muslimin jika ada, jika tidak ada mereka tetap
berpegang pada sunnah dan meninggalkan seluruh golongan yang ada.
Ibnu Abi Syamah berkata: “Ketika datang perintah melazimi jama'ah maka yang dimaksud
adalah melazimi kebenaran dan megikutinya walaupun orang yang berpegang pada kebenaran
jumlahnya sedikit sedangkan yang menyelesihinya berjumlah banyak, karena kebenaran itulah
yang dipegang oleh jama'ah pertama pada zaman Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan begitu
juga pada zaman para shahabat radhiallahu 'anhum, tidak dipedulikan banyaknya orang-orang
yang berpegang pada kebathilan setelah mereka.
'Amru bin Maimun yang pernah melazimi Mu'adz bin Jabal dan kemudian 'Abdullah bin Mas'ud
pernah mendengar Ibnu Mas'ud berkata: “Tetaplah kalian bersama al-Jama'ah ...”, sehingga
datang suatu zaman diakhirnya shalat dari waktunya maka Ibnu Mas'ud memerintahkan shalat
tepat pada waktunya di rumah dan berjama'ah bersama “al-jama'ah” sebagai tambahan
(nafilah/sunnah). Maka 'Amru mempertanyakan saran Ibnu Mas'ud ini. Maka Ibnu Mas'ud
bertanya:”Apakah engkau mengetahui makna al-Jama'ah?”. 'Amru menjawab: “Tidak.”
Ibnu Mas'ud berkata:” Sesungguhnya mayoritas al-Jama'ah itulah yang telah meninggalkan al-
Jama'ah yang sesungguhnya, sesungguhnya al-Jama'ah itu adalah apa yang sesuai kebenaran
walaupun Engkau sendirian!”
Nu'aim bin Hammad berkata:” Yaitu jika al-Jama'ah sudah rusak maka tetaplah Engkau dengan
apa yang di atasnya al-Jama'ah sebelum rusak, walaupun dirimu sendirian maka Engkau adalah
al-Jama'ah pada saat itu.” Ini adalah ucapan yang luar biasa jelas, sebab kebenaran tidak dilihat
dari banyaknya pengikut akan tetapi dilihat dari sejauh mana iltizam dan melazimi agama
ALLAH Ta'ala, tidak dilihat dari banyak atau sedikitnya.
Kemudian kadang-kadang mereka yakni para Shahabat dan juga orang-orang generasi awal yang
mengikuti mereka berpegang pada al-Quran dan as-Sunnah yakni Islam yang murni sering
disebut dengan istilah salaf. Apa makna dan maksud salaf di sini?
Istilah “سهف " secara bahasa adalah bentuk plural atau jamak dari “ سانف " yang bermakna orang
yang mendahului, sehingga salaf bermakna kumpulan orang-orang yang telah mendahului,
sebagaimana kata salaf dalam al-Quran:
{ { )انصخسف: يزال نخس 15فجعهاى سهفا ).
“dan Kami jadikan mereka sebagai 'salaf' dan contoh bagi orang-orang yang datang kemudian.”
Kata 'salaf' di ayat tersebut adalah para pendahulu sebagai pelajaran untuk diambil 'ibrahnya.
Makna salaf secara istilah terdapat beberapa pendapat:
Pertama, salaf adalah para shahabat saja, ini pendapat para pensyarah kita ar-Risalah oleh Ibnu
Abi Zaid al-Qairawani.
Kedua, salaf adalah para shahabat dan tabi'in, ini pendapat Abu Hamid al-Ghazzali.
Ketiga, salaf adalah para shahabat, tabi'in, dan tabi'ut tabi'in, yakni tiga generasi yang ditetapkan
oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dengan kebaikan dalam hadis 'Imran bin Hushain yakni:
. "خس أيخ قس، رى انر هى، رى انر هى"
“ Sebaik-baik ummatku adalah generasiku, kemudian setelah mereka, kemudian setelah mereka.”
(HR al-Bukhari)
Pendapat ini dipegang banyak 'ulama seperti asy-Syaukani, as-Safarini, Ibnu Taimiyah, dan yang
lain. Sebagian 'ulama seperti al-Imam al-Ajuri memasukkan generasi sesudahnya seperti al-
Imam Ahmad, al-Imam asy-Syafi'i, Ishaq, Abu 'Ubaid dan lainnya yakni aqran mereka ('ulama
sezaman dan seumuran mereka) ke dalam istilah salaf.
Tentu saja salaf yang dimaksud bukan hanya pembatasan masa atau generasi akan tetapi kembali
ke makna al-Jama'ah yakni ahlu as-sunnah wa al-jama'ah di mana salaf yang dimaksud adalah
generasi shahabat, tab'in, tabi'ut tabi'in yang berpegang dengan al-Quran dan as-Sunnah, sebab
munculnya bid'ah Khawarij dan Rafidhah masih di masa tiga generasi tersebut. Kenapa dibatasi
hanya tiga generasi awal, sebab setelah itu jumlah firqah dan kelompok-kelompok menyimpang
mulai banyak dan leluasa di antaranya pada zaman al-Imam Ahmad di mana mu'tazilah berhasil
mempengaruhi kekuasaan yaknik khalifah untuk menyebarkan faham al-Quran makhluk kepada
ummat Islam dengan paksa. Sehingga madzhab atau pemahaman salaf itu tidak lain pemahaman
al-Jama'ah yakni pemahaman golongan yang selamat.
Al-Imam as-Safarini berkata:” Maksud dari madzhab as-salaf yaitu apa yang para shahabat yang
mulia di atasnya dan juga para tabi'in (pengikut shahabat dengan cara yang baik), pengikut
tabi'in, para imam agama ini yang diakui ke-imamannya dan perhatiannya kepada agama ini, dan
manusia menerima ucapan-ucapan mereka sebagai pengganti para salaf, bukan orang yang dicap
dengan bid'ah atau terkenal dengan gelar yang tidak diridhai seperti Khawarij, Rafidhah,
Qadariyah, Murjiah, Jabriyah, Jahmiyah, Mu'tazilah, Karramiyah dan semacamnya.” Dan masih
banyak lagi ucapan-ucapan para 'ulama yang senada dengan beliau yang tidak cukup disebutkan
dalam tulisan yang singkat ini.
Ada beberapa sebutan lain dari al-Jama'ah sebagai golongan yang selamat selain nama ahlu as-
sunnah wa al-jama'ah dan salaf, yakni ahlu al-hadis dan ath-tha'ifah al-manshurah.
Makna yang dimaksud “ أم انحدذ " bukanlah para pakar hadis baik sisi riwayat atau dirayah saja
tapi yang dimaksud adalah orang-orang yang menempuh jalan orang-orang shalih dan mengikuti
jejak para salaf di mana mereka mempunyai perhatian khusus dengan hadis-hadis Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam baik dalam mengumpulkan, menjaga, meriwayatkan, memahami
dan mengamalkan dzahir dan bathin, maka dengan itu mereka menjadi orang-orang yang paling
melazimi sunnah-sunnah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, tidak mendahului sunnah-sunnah
dengan akal, hawa nafsu atau membuat bid'ah apapun keadaannya.
Makna istilah ahli hadis telah mengalami perubahan dari zaman ke zaman, akan tetapi makna
ahli hadis yang dimaksud bukanlah makna ahli hadis zaman sekarang yang berarti sekelompuk
ilmuwan atau ulama yang bergelut di bidang hadis riwayat dan dirayat akan tetapi makna ahli
hadis harus dikembalikan ke makna munculnya istilah ini sebagai nama lain dari al-Jama'ah atau
dengan kata lain istilah ahli hadis harus dikembalikan dalam pembahasan 'aqidah dengan
merujuk kepada kitab-kitab 'aqidah salaf seperti “Aqidatu as-Salaf Ashabi al-Hadits” oleh Abu
'Utsman ash-Shabuni, juga “I'tiqad Aimmati al-Hadits” oleh Abu Bakar al-Isma'ili dan
semacamnya bukan merujuk kepada kitab-kitab musthalah al-hadits. Sebab tidak mungkin hanya
sekedar pakar dalam ilmu hadis menyebabkan seseorang menjadi golongan yang selamat.
Apabila dikembalikan dalam pembahasan 'aqidah maka istilah ahlu as-sunnah akan sama dengan
ahlu al-hadits. Akan tetapi jika dikembalikan pembahasan ilmu musthalah hadis maka ahlu as-
sunnah berbeda dengan ahlu al-hadits.
Ibnu ash-Shalah ditanya tentang perbedaan antara as-sunnah dengan al-hadits tentang perkataan
sebagian 'ulama tentang al-Imam Malik bahwa beliau mengumpulkan antara as-sunnah dengan
al-hadits (yakni ahlu as-sunnah sekaligus ahlu al-hadits), maka beliau menjawab: “ As-sunnah
adalah lawan dari al-bid'ah, kadang-kadang seseorang termasuk ahlu al-hadits tapi dia ahlu al-
bid'ah sedangkan Malik mengumpulkan dua sunnah, yakni beliau sangat mengetahui sunnah
(yakni hadits) dan ber'aqidah sunnah (yakni madzhab (aqidah) nya adalah madzhab yagn ahlu al-
haq bukan bid'ah ).”
Mereka disebut ahlu al-hadits karena mereka pembawa sunnah dan orang yang paling dekat
kepada sunnah, dan mereka adalah pewaris Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan penukil
sunnah-nya, ahlu al-bid'ah di antara mereka sangat sedikit, sebagian besar dari mereka adalah
mengikuti atau ittiba' bukan ibtida' yakni berbuat bid'ah.
Sehingga jika disebut ahlu al-hadits dalam kitab-kitab 'aqidah maka yang dimaksud adalah ahlu
al-hadits dalam riwayat dan dirayah dan ittiba', tidak hanya sekedar mendengar, menulis dan
meriwayatkan hadits tanpa ittiba'. Sehingga maksud ahlu al-hadits adalah ahlu as-sunnah secara
muthlaq khususnya dalam kitab-kitab 'aqidah dari para salaf.
Sedangkan penamaan yang lain yakni “ انطائفت انصزة " yang bermakna “Golongan yang
ditolong”. Penamaan ini berasal dari hadits:
حخ أحى أيس هللا ى ظاس )) س خ ظا أيه ((ال حصال طائفت ي
“Akan selalu ada segolongan dari ummatku yang selalu tegak (di atas kebenaran) sehingga
datang kepada mereka perintah ALLAH dan mereka tetap tegak (di atas kebenaran). (HR al-
Bukhari)
خرنى حخ حقو انساعت )) ى ي خ يصز، ال ضس أيه ((ال حصال طائفت ي
“Akan selalu ada segolongan dari ummatku yang ditolong, tidak memudharatkan mereka orang-
orang yang menjatuhkan mereka sehingga tegaklah hari kiamat.” (HR at-Tirmidzi, beliau berkata
hasan shahih, dan dishahihkan al-Albani)
Para salaf telah menjelaskan maksud gelar ini (thaifah manshurah), 'Abdullah bin al-Mubarak
berkata: ”Mereka menurutku adalah ashabu al-hadits.” Maksud ashabu al-hadits adalah ahlu al-
hadits yakni ahlu as-sunnah.
Yazid bin Harun berkata: “Jika mereka bukan ashabu al-hadits maka saya tidak tahu siapa lagi
mereka itu.”
'Ali bin al-Madini berkata: “Mereka adalah ashabu al-hadits.”
al-Imam Ahmad berkata: “Jika golongan yang ditolong ini bukan ashabu al-hadits maka saya
tidak tahu lagi siapa mereka itu.”
al-Bukhari berkata: “Mereka adalah ahlu al-'ilmi ('ulama).”
dalam riwayat lain dari al-Khatib al-Baghdadi, al-Bukhari berkata: “Mereka ashabu al-hadits”,
tentu saja ini tidak bertentangan sebab ahlu al-hadits termasuk ahlu al-'ilmi ('ulama).
Ahmad bin Sinan berkata: “Mereka ahlu al-'ilmi dan ashabu al-atsar.” Ahlu al-atsar yang
dimaksud sama dengan ahlu al-hadits.
Kenapa ahlu al-hadits adalah golongan yang paling berhak mendapat pertolongan dan
kemenangan dari ALLAH? Sebab mereka menolong sunnah Rasul shallallahu 'alaihi wa sallam,
mengamalkannya, dan membelanya sehingga mereka orang yang paling layak mendapat gelar
“thaifah manshurah” sebagaimana kata Abu 'Abdillah al-Hakim: “ Sungguh Ahmad bin Hambal
sangat tepat dalam tafsir khabar ini bahwa ath-Thaifah al-Manshurah yang diangkat dari mereka
pengkhianatan sampai hari kiamat adalah ashabu al-hadits …”
Maksud ahlu al-hadits di sini adalah ahlu as-sunnah sebagaimana telah dijelaskan.
al-Qadhi 'Iyadh berkata: “Sesungguhnya Ahmad bermaksud (dari ashabu al-hadits) adalah ahlu
as-sunnah wa al-jama'ah dan siapapyn yang beraqidah dengan madzhab ahlu al-hadits.”
Sehingga jelas sekali bahwa ahlu al-hadits menurut tafsir para salaf terhadap ath-Thaifah al-
Manshurah adalah Ahlu as-Sunnah wa al-Jama'ah, merekalah golongan yang ditolong, oleh
karena itu banyak didapatkan dalam kitab-kitab 'aqidah pemutlakan nama ath-Thaifah al-
Manshurah atas nama Ahlu as-Sunnah wa al-Jama'ah.
Meskipun dalam beberapa riwayat disebut letak golongan yang ditolong ini di daerah Syam,
tidak berarti membatasi hanya di Syam saja akan tetapi dalam suatu masa mereka ini yakni
golongan yang ditolong ini ada di Syam di mana pada masa yang lain bisa di Hijaz maupu di
Mesir atau tempat-tempat lain, ALLAH a'lam.
Metode penerimaan ilmu agama.
Sumber ilmu mereka baik dalam 'aqidah, 'ibadah, mu'amalah, akhlak dan seluruh cabang-cabang
syari'ah adalah hanya dari al-Quran dan as-Sunnah.
Menurut ahlu as-sunnah tidak ada yang maksum kecuali Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam,
semua perkataan siapapun boleh diambil atau ditinggalkan kecuali perkataan Nabi shallallahu
'alaihi wa sallam. Perkataan imam-imam mereka mengikuti perkataan Nabi shallallahu 'alaihi wa
sallam bukan sebaliknya.
Oleh karena itu tampak pada diri mereka iltizam dan selalu mengikuti sunnah sebagaimana
jama'ah pada zaman Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam yakni para shahabat radhiallahu 'anhum
dan orang-orang yang mengikuti jejak langkah mereka. Mereka tidak menerima ijtihad atau
pendapat apapun kecuali setelah ditimbang dengan al-Quran dan as-Sunnah serta ijma' salaf.
Ahlu as-sunnah wa al-jama'ah tidaklah bersikap kecuali dengan ilmu dan akhlak para as-salafu
ash-shalih dan orang-orang yang mengambi dari mereka dan melazimi jama'ah mereka. Hal itu
disebabkan karena para shahabat radhiallahu 'anhum belajar tafsir al-Quran dan al-Hadits dari
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan mereka mengajarkan kepada para tabi'in dan mereka
tidak pernah sama sekali mendahului ALLAH dan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, tidak
dengan pendapat, tidak pula perasaan, tidak pula akal, tidak pula yang lainnya.
ALLAH telah memuji mereka dalam al-Quran:
ى } ع هللاه زض احهبعى بإحسا انهر اصاز اجس ان ي ن ه ا ابق انسه أعده نى جهاث حجس زضا ع فا از خاند ش انعظى{ )انخبت: ححخا ا 300أبدا ذنك انف )
“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin
dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan
merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir
sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. Mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang
besar.”
Maka ALLAH menjadikan pengikut mereka dengan baik mendapat ridha dan surga-Nya. Maka
barang siapa mengikuti as-sabiqun al-awwalun maka termasuk golongan mereka dan mereka
adalah sebaik-baik manusia setelah para nabi karena ummat Muhammad shallallahu 'alaihi wa
sallam adalah sebaik-baik ummat yang dikeluarkan untuk manusia dan para shahabat pada
hakikatnya adalah sebaik-baik ummat Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam.
Ahlu as-Sunnah adalah ahlu at-tawassuth wa al-i'tidal (ummat pertengahan dan moderat)
Ummat Islam adalah sebaik-baik ummat sebagaimana firman ALLAH ta‟ala:
} س أيه خى خ 330ت أخسجج نههاض( }آل عسا: ي ات: ك )
“Kalian adalah sebaik-baik ummat yang dikeluarkan untuk manusia” (QS: Ali Imran:110)
mereka juga ummat pertengahan sebagaimana firman-Nya:
} سطا( }انبقسة: ي ات: ت كرنك جعهاكى أيه 341 .(
Ummat Islam adalah sebaik-baik ummat dari seluruh ummat agama lain sehingga Ahlu as-
Sunnah wa al-Jama‟ah adalah sebaik-baik ummat dari ummat Islam karena kebaikan ummat
Islam adalah karena mereke berpegang dan mengamalkan al-Quran dan as-Sunnah sedangkan
Ahlus as-Sunnah adalah golongan yang paling berpegang kepada al-Quran dan as-Sunnah
sebagaimana para shahabat radhiallahu „anhum sehingga merekalah sebaik-baik golongan dari
ummat Islam.
Sifat pertengahan Ahlu as-Sunnah tampak pada ciri-ciri dan sifat mereka yakni:
Pertengahan dalam bab sifat-sifat ALLAH Ta‟ala di antara orang-orang yang menta‟thilnya
(menolak) seperti Jahmiyah dan orang-orang yang menyerupakannya dengan sifat makhluk
(tamtsil).
Pertengahan dalam bab perbuatan hamba-hamba-Nya di antara Jabriyah (menganggap hamba-
hamba-Nya dipaksa tanpa kehendak sama sekali) dan Qadariyah (menolak adanya takdir).
Pertengahan dalam bab janji dan ancaman ALLAH Ta‟ala di antara Murji‟ah dengan Khawarij
serta Mu‟tazilah.
Pertengahan dalam bab sikap terhadap para shahabat di antara orang-orang yang berlebihan
dengan beberapa shahabat dengan orang-orang mengkafirkan mereka.
Pertengahan dalam bab „aql da naql.
Selain sifat-sifat tersebut, maka Ahlu-as-Sunnah mempunyai ciri-ciri berupak akhlak mulia
seperti bersabar terhadap musibah, bersyukur ketika diberi kelapangan, ridha ketika dengan
takdir yang buruk. Mengajak menyempurnakan ibadah dan akhlak yang mulia. Amar ma‟ruf dan
nahi munkar juga merupakan ciri-ciri khas Ahlu as-Sunnah wa al-Jama‟ah.
Pembahasan rinci sifat-sifat tersebut ada dalam kitab-kitab „aqidah, „ibadah dan akhlak yang
ditulis oleh para ulama Ahlu as-Sunnah dari zaman ke zaman.
ALLAH a‟lam
Posted by Noor Akhmad S at 7:00 AM
Labels: Islam