adaptasi pernafasan pada ketinggian

31
Adaptasi Pernapasan pada Ketinggian Ketinggian suatu tempat dari permukaan laut dapat diklasifikasikan menjadi ketinggian 1500 – 2500 m (5000-8000 ft) disebut Medium Altitude, di atas 2500-3500 m (8000 – 11500 ft) disebut High Altitude, 3500 – 5500 m (11500 – 18000 ft) merupakan Very High Altitude, ketinggian di atas 5500 m merupakan Extreme Altitude, dan diatas 8000 m merupakan Zero Death. Pada umumnya, ketinggian di bawah dari 2500 m (8000 ft) jarang menimbulkan gangguan kesehatan. Adapun gangguan kesehatan yang bisa ditimbulkan oleh karena high altitude ini dapat Anda lihat di sini . Udara atmosfer sehari-hari yang kita hirup mengandung kurang lebih 21% (160 mmHg) oksigen. Semakin tinggi suatu tempat maka tekanan udara semakin turun, dan oksigen yang tersedia pun semakin “tipis”. Akibatnya, seseorang akan bekerja lebih keras untuk mendapatkan oksigen. Akan tetapi, tubuh kita mempunyai kemampuan untuk menyesuaikan diri terhadap “ketersediaan” oksigen yang rendah yang disebut aklimatisasi . Proses ini berlangsung lambat biasanya memerlukan waktu dalam beberapa hari atau minggu. 1

Upload: rahmadaswin

Post on 18-Jan-2016

130 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

pernafasan

TRANSCRIPT

Page 1: Adaptasi Pernafasan Pada Ketinggian

Adaptasi Pernapasan pada Ketinggian

Ketinggian suatu tempat dari permukaan laut dapat diklasifikasikan menjadi

ketinggian 1500 – 2500 m (5000-8000 ft) disebut Medium Altitude, di atas 2500-3500 m

(8000 – 11500 ft) disebut High Altitude, 3500 – 5500 m (11500 – 18000 ft) merupakan Very

High Altitude, ketinggian di atas 5500 m merupakan Extreme Altitude, dan diatas 8000 m

merupakan Zero Death. Pada umumnya, ketinggian di bawah dari 2500 m (8000 ft) jarang

menimbulkan gangguan kesehatan. Adapun gangguan kesehatan yang bisa ditimbulkan oleh

karena high altitude ini dapat Anda lihat di sini.

Udara atmosfer sehari-hari yang kita hirup mengandung kurang lebih 21% (160

mmHg) oksigen. Semakin tinggi suatu tempat maka tekanan udara semakin turun, dan

oksigen yang tersedia pun semakin “tipis”. Akibatnya, seseorang akan bekerja lebih keras

untuk mendapatkan oksigen. Akan tetapi, tubuh kita mempunyai kemampuan untuk

menyesuaikan diri terhadap “ketersediaan” oksigen yang rendah yang disebut aklimatisasi.

Proses ini berlangsung lambat biasanya memerlukan waktu dalam beberapa hari atau minggu.

Perubahan fisiologis tubuh yang terjadi selama berada di dataran tinggi merupakan

bentuk kompensasi tubuh untuk beradaptasi dengan keadaan yang tidak biasa. Mekanisme itu

dapat berupa hiperventilasi (bernapas cepat, lebih dalam, atau keduanya) sebagai upaya untuk

mendapatkan oksigen lebih banyak dan pengeluaran karbondioksida. Kalau pada kondisi

normal hiperventilasi terjadi pada saat kita beraktivitas (misalnya saat berolahraga), maka

pada high altitude hiperventilasi terjadi walaupun dalam keadaan istirahat. Hiperventilasi

“memaksa” ginjal untuk menyesuaikan diri dengan cara meningkatkan pengeluaran

bikarbonat melalui urin dan hal ini mengikut sertakan cairan. Akibatnya, volume buang air

kecil semakin banyak (diuresis).

1

Page 2: Adaptasi Pernafasan Pada Ketinggian

Selain itu, level oksigen yang rendah merangsang ginjal untuk memproduksi

Erithropoietin, dan selanjutnya merangsang sumsum tulang menghasilkan lebih banyak sel

darah merah (polisitemia). Akan tetapi, keadaan ini justru kurang menguntungkan bagi tubuh

karena peningkatan jumlah sel-sel darah merah menyebabkan darah menjadi kental

(viskositas meningkat). Hal ini menimbulkan aliran darah di dalam pembuluh darah menjadi

lambat, sehingga mempermudah terjadinya penyumbatan pembuluh darah (trombosis).

Apabila Anda berada di dataran tinggi tips berikut mungkin bermanfaat. Usahakan cukup

cairan dengan minum sekitar 3-4 liter per hari. Makanlah makanan yang mengandung tinggi

karbohidrat. Jangan beraktifitas berlebihan apabila Anda pertama kali berada di dataran

tinggi. Terjaga lebih baik dari pada tidur sebab pernapasan menurun selama tidur, hal ini

semakin menurunkan kesempatan memperoleh oksigen. Apabila tetap ingin tidur, lebih baik

turun dulu ke tempat yang lebih rendah. Hindari tembakau, alkohol, dan obat penenang.

A. Adaptasi

Adaptasi merupakan konsep sentral dalam ekologi kesehatan, yaitu penyesuaian dan

perubahan yang memungkinkan suatu populasi untuk menjaga atau memelihara dirinya

sendiri dalam lingkungannya. Karena hubungan dengan lingkungan dan ekologi berubah

seiring waktu karena adaptasi merupakan proses yang terus menerus. Adaptasi meliputi baik

kontinuitas dan perubahan retensi dari sifat yang dapat bertahan hidup dan seleksi untuk

varian yang menguntungkan.

Adaptasi meliputi kejadian evolusi mayor, pertumbuhan individu, dan tingkah laku

serta perubahan fisiologis tetap, hanya beberapa jam atau beberapa menit. Adaptasi secara

tidak langsung menunjukkan antitesisnya yaitu jika pada suatu jalan, suatu fungsi bersifat

adaptif, lainnya akan kurang adaptif atau maladaptif  di bawah kondisi yang sebanding.

2

Page 3: Adaptasi Pernafasan Pada Ketinggian

Sebagai contoh kemapuan untuk memacu kecepatan jantung dan respirasi saat seseorang lari

akan adaptif jika mampu meningkatkan ketersediaan energi dan oleh karena itu dapat

melakukan beberapa aktivitas seperti melarikan diri dari b ahayua atau menangkap mangsa.

Ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas semacam akan relatif adaptif karena akan

membatasi bentuk hidup seseorang.  

Komponen yang penting dari adaptasi adalah menyusun hubungan dalam suatu sistem

ekologi, terutama hubungan yang mempengaruhi kesehatan organisme saling mempengaruhi

satu sama lainnya dan saat umpan balik berperan dalam merubah tingkat kesehatan mortalitas

dan reproduksi, kode informasi berperan yang menanggapi umpan balik ini. Pada manusia,

baik kode genetik untuk proses biokimia dan kode kultural untuk teknologi, sosial dan proses

kognitif. Kedua macam kodse tersebut merupakan mekanisme untuk survival.

B.     Mekanisme Adaptasi

Adaptasi dilakukan untuk mengahdapi stress lingkungan, yaitu suatu kondisi yang

mengganggu fungsi normal organisme. Fungsi dari adaptasi adalah kesesuaian manusia

dengan lingkungannya, terjadi melalui hubungan yang kompleks diantara mereka sendiri

dengan lingkungan fisik, biologi, dan sosial, serta meliputi indikasi fisiologis, psikologis,

sosial, dan genetik. Jadi dalam menghadapi tekanan lingkungan bentuk fungsional organisme

dapat bersifat temporal atau permanen melalui proses yang pendek atau seumur hidup

meliputi fisiologis, struktural, tingkah laku dan perubahan budaya.

Berdasarkan sifatnya, secara garis besar, adaptasi dibedakan dalam adaptasi biologi

dan adaptasi budaya. Adaptasi biologis adalah adaptasi yang terjadi pada keseluruhan tubuh

atau bagian tubuh manusia dalam mempertahankan fungsi normalnya sehingga ada yang

lebih menyukai dengan menyebutnya sebagai adaptasi fungsional. Sedang adaptasi budaya

meliputi adaptasi dalam tingkah laku, sosial serta peralatan yang merupakan respon non

3

Page 4: Adaptasi Pernafasan Pada Ketinggian

biologis. Baik adaptasi biologi maupun budaya keduanya bertujuan untuk tercapainya

keadaan homeostasis, yaitu kemampuan organisme untuk menjaga kestabilan lingkungan.

Pada tingkat fungsional, semua respon adaptasi organisme atau individu dilakukan untuk

mengembalikan homeostatis internal, sehingga terjaganya keseimbangan dinamis.

Homeostatis merupakan fungsi dari interaksi dinamis, mekanisme umpan balik, dimana

stimulus yang diberikan memberikan respon yang bertujuan mengembalikan keseimbangan

awal. Keperluan untuk terpeliharanya homeostatis didasrakan pada kenyataan bahwa fungsi

seluler terbatas untuk variasi yang lebih kecil. Kegagalan untuk mengaktivasi proses adaptasi

fungsional akan menyebabkan kegagalan untuk mengembalikan homeostatis yang akan

menghasilkan maladaptasi organisme dan kadang mengurangi kapasitas individu.

1.      Adaptasi Fungsional

Adaptasi fungsional meliputi perubahan dalam fungsi sistem organ, fisiologi, histologi,

morfologi, dan komposisi biokimia, hubungan anatomi, dan komposisi badan, baik bebas

ataupun menyatu dengan organisme secara keseluruhan Perubahan ini dapat terjadi melalui

Setelah efek permulaan dan respon terhadap stress ketinggian, biasanya dicirikan

dengan menghilangnya gejala mountain sickness akut terjadi respon adaptasi yang

berkembang secara gradual kadang membutuhkan waktu beberapa bulan hingga beberapa

tahun untuk perkembangan yang lengkap. Frisancho  (1979) menyebutkan beberapa

mekanisme adaptasi fungsional terjadi melalui aklimatisasi berhubungan langsung dengan

ketersediaan oksigen dan tekanan oksigen pada jaringan, terjadi melalui modifikasi :

a.     Ventilasi paru-paru.

b.    Volume paru-paru dan kapasitas difusi pulmoner.

c.     Transport oksigen dalam darah.

d.    Difusi oksigen dari darah ke jaringan.

e.     Penggunaan oksigen pada tingkat jaringan.

4

Page 5: Adaptasi Pernafasan Pada Ketinggian

Penduduk asli kota pada tempat tinggi beraklimatisasi terhadap tempat tinggi sejak lahir

atau selama pertumbuhan mempunyai kapasitas aerobic yang lebih tinggi daripada subjek

yang beraklimatisasi pada saat dewasa. Diantara subjek yang beraklimatisasi pada tempat

tinggi selama masa pertumbuhan hampir 25% variabilitas dalam kapasitas aerobic dapat

dijelaskan dengan faktor perkembangan dan dengan faktor genetis 20-25 % (Frisancho et al

1995 dalam Tutiek Rahayu). Hubungan antara tingkat aktivitas pekerjaan dan aktivitas

aerobic yang lebih besar diantara subjek yang beraklimatisasi pada tempat tinggi sebelum

umur 10 tahun daripada setelah umur tersebut. Sehingga dapat dikatakan bahwa kapasitas

aerobik normal pada tempat tinggi berhubungan dengan aklimatisasi perkembangan dan fakor

genetik tetapi ekspresinya dipengaruhi oleh faktor lingkungan seperti aktivitas pekerjaan dan

komposisi badan.

Kapasitas untuk beradaptasi pada tempat yang tinggi bervariasi pada tiap individu.

Beberapa orang tidak pernah beraklimatisasi dengan sukses sementara lainnya dapat

menyesuaikan diri tetapi tidak dapat bekerja dengan penuh.

Salah satu penyebab stress lingkungan di ketinggian untuk manusia yakni tekanan

udara yang rendah yang menjadi faktor keterbatasan signifikan dalam daerah ketinggian.

Gambar 1. Tekanan udara menurun ketika ketinggian meningkat.

Presentase oksigen di udara pada ketinggian 2 mil (3,2 km) sama seperti sea level

(21%). Namun tekanan udara lebih rendah 30 % pada ketinggian yang lebih jauh disebabkan

molekul pada atmosfer lebih jarang sehingga letak molekul-molekul tersebut saling

berjauhan. Ketika kita menghirup udara pada sea level, tekanan atmosfer sekitar 1,04 kg per

5

Page 6: Adaptasi Pernafasan Pada Ketinggian

cm2 yang menyebabkan oksigen dengan mudah melewati membrane permeable selektif paru

menuju darah. Pada ketinggian tekanan udara yang lebih rendah membuat oksigen sulit untuk

memasuki sistem vascular tubuh. Hasilnya berdampak pada hipoksia atau kekurangan

oksigen.

Ketika kita bepergian ke daerah yang lebih tinggi tubuh kita mulai membentuk respon

fisiologis yang efisien. Terdapat kenaikan frekuensi pernapasan dan denyut jantung hingga

dua kali lipat walapun saat istirahat. Denyut nadi dan tekanan darah meningkat karena

jantung memompa lebih kuat untuk mendapatkan lebih banyak oksigen. Kemudian tubuh

mulai membentuk respon efisien secara normal yaitu aklimatisasi. Sel darah merah lebih

banyak diproduksi untuk membawa oksigen lebih banyak. Paru-paru akan lebih mengembang

untuk memfasilitasi osmosis oksigen dan karbondioksida. Terjadi pula peningkatan

vaskularisasi otot yang memperkuat transfer gas.

Gambar 2. Proses aklimatisasi terhadap tekanan oksigen

 yang rendah.

Ketika kembali pada level permukaan laut setelah terjadi aklimatisasi yang sukses

terhadap ketinggian, tubuh akan mempunyai lebih banyak sel darah merah dan kapasitas paru

yang lebih besar. Berdasarkan hal ini, Amerika dan beberapa Negara lain sering melatih para

atletnya di pegunungan. Akan tetapi, perubahan fisiologik ini hanya berlangsung singkat.

Pada beberapa minggu tubuh akan kembali pada kondisi normal.

6

Page 7: Adaptasi Pernafasan Pada Ketinggian

Gambar 3. Kondisi tubuh yang menguat untuk waktu singkat setelah kembali dari

ketinggian.

a.       Aklimatisasi

Yaitu perubahan yang terjadi dalam hidup suatu organisme yang mengurangi ketegangan

yang disebabkan oleh perubahan tekanan pada iklim alam atau stress lingkungan yang

kompleks. Jika ciri adaptif menyertai selama periode pertumbuhan organisme, proses ini

disebut adaptasi perkembangan atau aklimatisasi perkembangan.

b.      Akllimasi

Yaitu perubahan biologis adaptif yang terjadi sebagai respon terhadap stress induksi

eksperimental tunggal daripada stress kompleks sebagaimana terjadi pada aklimatisasi.

c.       Habituasi

Yaitu reduksi gradual dari respon terhadap atau persepsi dari stimulasi yang berulang-ulang.

Dalam waktu lama, habituasi merupakan penurunan respon syaraf yang normal, misalnya

pengurangan sensasi nyeri. Perubahan dapat terjadi untuk keseluruhan organisme (habituasi

umum), ataupun dapat spesifik untuk bagian tertentu dalam organisme (habituasi spesifik).

Habituasi tergantung pada pembelajaran dan pengkondisian yang memungkinkan organisme

untuk memudahkan respon yang telah ada terhadap stimulus baru.

Perubahan fisiologis terjadi lebih cepat daripada perubahan genetik dan lebih sering

reversible, perubahan ini membentuk sistem respon yang bertingkat dimana penyesuaian

jangka pendek dan jangka panjang pada jenis yang berbeda dilakukan oleh individu yang

7

Page 8: Adaptasi Pernafasan Pada Ketinggian

bervariasi dalam kemampuan genbetiknya untuk membuat penyesuaian yang sukses.

Terdapat tiga tingkatan adaptasi fisiologis, yaitu aklimasi, merupajan penyesuan jangka

pendek terhadap stress lingkungan yang terjadi secara cepat ; aklimatisasi, penyesuaian lebih

jauh tetapi masih merupakan respon reversible terhadap perubahan untuk jangka waktu yang

lebih lama ; dan aklimatisasi lanjut yang sifatnya radikal dan hasilnya reversible selama

pertumbuhan.

2.      Adaptasi Budaya

Adaptasi budaya yaitu respon nonbiologis individu atau populasai untuk memodifikasi

atau mengurangi stress lingkungan. Adaptasi budaya merupakan mekanisme penting yang

mempermudah adaptasi biologi manusia. Melalui adaptasi budaya manusia dapat bertahan

hidup dan mendiami jauh ke daerah dengan lingkungan yang ekstrem. Manusia adalah hewan

yang mempunyai kebudayaan, yang membuat alat-alat untuk mengeksploitasi lingkungan,

mempunyai bahasa untuk komunikasi, serta mempunyai organisasi sosial sebagai alat untuk

menghadapi lingkungan. Tidak seperti hewan lain yang mengeksploitasi dan beradaptasi

terhadap lingkungan dengan biologi dan raganya, maka manusia melakukannya terutama

dengan budaya, jadi secara ekstrabiologis dan supraorganis.

Wujud adaptasi budaya manusia misalnya dalam konstruksi rumah, penggunaan

bermacam-macam pakaian pada iklim yang berbeda, pola tingkah laku tertentu, dan

kebiasaaan kerja yang menunjukkan adaptasi terhadap stress iklim. Perkembangan

pengobatan dari cara primitif sampai modern dan kenaikan produksi energi yang menyertai

revolusi industri dan pertanian, juga menunjukkan adaptasi budaya manusia terhadap

lingkungan fisik.

Faktor genetik berperan dalam adaptasi terhadap ketinggian dengan ditemukannya gen

yang selektif pada lingkungan hipoksia. Individu dengan alel dominan untuk saturasi oksigen

lebih tinggi mempunyai keuntungan selektif pada lingkungan tinggi yang hipoksia.

8

Page 9: Adaptasi Pernafasan Pada Ketinggian

Adaptasi ini adalah kebiasaan-kebiasaan penduduk untuk menyikapa keadaan alamnya

sehingga terbentuk lah kebudayaan-kebudayaan. Dengan kata lain, adaptasi budaya yaitu

respon nonbiologis individu atau popilasi untuk memodifikasi atau mengurangi stess

lingkungan. Adaptasi budaya merupakan mekanisme penting yang mempermudah adaptasi

biologi manusia. Melalui adaptasi budaya manusia dapat bertahan hidup dan mendiami jauh

ke kondisi lingkungan yang ekstrim. Manusia adalah hewan yang mempunyai kebudayaan,

yang mebuat alat-alat untuk mengeksploitasi lingkungan, mempunyai bahasa untuk

berkomunikasi,  serta mempunyai organisasi sosial sebagai alat untuk menghadapi

lingkungan. Tidak seperti hewan lain yang mengeksploitasi dan beradaptasi trhadap

lingkungan dengan biologi dan raganya, maka manusia melakukannya teruyama dengan

budaya, jadi secara ekstrabiologis atau supraorganis. Wujud adaptasi budaya manusia

misalnya :

a.       Konstruksi rumah

Konstruksi rumah di dataran tinggi biasanya dibangun dengan tembok yang lebih tebal atau

dari kayu untuk menjaga kehangatan suhu ruangan. Ventilasi dan jendela besar, kadang

banyak agar sirkulasi udara baik mengingat tekanan oksigen di daerang tinggi relatif kecil.

b.      Penggunaan pakaian pada bermacam-macam iklim

Penduduk yang tinggal di daerah tinggi dengan hawa dingin menggunakan pakaian yang

tebal untuk menghindari hilangnya pengeluaran panas yang berlebihan dari tubuhnya.

c.       Pola tingkah laku tertentu

Penduduk di daerah tinggi cenderung lebih sering berjalan kaki jauh daripada yang tinggal di

daerah perkotaan sehingga lebih kuat berjalan kaki.

d.      Pengobatan dari cara primitif sampai cara modern

Penggunaan informasi budaya yang dilakukan oleh kelompok sosial dan ditransformasikan

melalui pembelajaran pada tiap generasi merupakan salah satu bentuk respon adaptif yang

9

Page 10: Adaptasi Pernafasan Pada Ketinggian

berkembang pesat pada manusia, contoh salah satu aspeknya adalah perkembangan sistem

medis.

e.       Kebiasaan kerja yang menunjukkan adaptasi terhadap stress iklim

Kenaikan produksi energi yang menyertai revolusi industri dan pertanian.

Budaya dan teknologi mempermudah adaptasi biologi, tetapi juga menciptakan dan

terus menciptakan kondisi stress baru yang membutuhkan respon adaptasi baru pula. Suatu

modifikasi kondisi lingkungan dapat dihasilkan oleh perubahan yang lainnya, misalnya

kemajuan dalam ilmu pengetahuan kedokteran dengan sukses mengurangi kematian bayi dan

orang dewasa pada tingkat di mana populasi dunia tumbuh pada kecepatan eksplosif dan

meskipun sumber makanan bertambah, tetap akan terjadi kelaparan.

Teknologi barat meskipun menaikkan standar hidup juga menciptakan polusi

lingkungan yang menjadikan hidup dan kesehatan tidak bagus lagi. Jika proses ini

berlangsung terus tanpa kontrol, polusi lingkungan akan menjadi suatu kekuatan selektif lain

yang menuntut manusia harus beradaptasi melalui proses biologis atau budaya atau akan

mengalami kemusnahan. Adaptasi yang dilakukan manusia pada dunia sekarang mungkin

tidak sesuai lagi dengan bentuk pertahanan hidup di dunia pada masa yang akan datang,

kecuali manusia belajar untuk menyesuaikan budaya dengan kapasitas biologisnya.

3.      Adaptasi Genetik

Adaptasi genetik menunjukkan ciri pewarisan yang mempermudah toleransi dan

survival suatu individu atau populasi padasebagian lingkungan total. Adaptasi genetik

dibentuk melalui aksi seleksi alam yaitu mekanisme dimana genotip individu tersebut

menunjukkan adaptasi terbesar (fitness). Kisaran panjang keberhasilan bergantung pada

stabilitas dan variabilitas genetiknya. Lebih besar adaptasi maka lebih lama individu atau

populasi akan survive. Perubahan genetik merupakan mekanisme adaptasi yang paling lambat

dan paling sedikit dapat kembali lagi. Karena individu memiliki potensial genetik untuk

10

Page 11: Adaptasi Pernafasan Pada Ketinggian

adaptasi fisiologis, sangat sulit untuk memisahkn bentuk fisiologis dan genetik dari adaptasi,

misalnya toleransi laktosa pada populasi yang mengkonsumsi susu.  

Faktor genetik berperan dalam adaptasi terhadap ketinggian dengan ditemukannya gen

yang selektif pada lingkungan hipoksia. Individu dengan alel dominan untuk saturasi oksigen

lebih tinggi mempunyai keuntungan selektif pada lingkungan tinggi yang hipoksia.

Belum banyak penelitian yang menghubungkan antara faktor genetik dengan

ketinggian geografis. Gelvis meneliti manusia yang tinggal di dataran tinggi Tibet untuk

mengetahui bagaimana protein melindungi enzim yang berperan dalam mekanisme

perlindungan otot dari bahaya oksidatif. Hasil penelitian mereka menyebutkan adanya

adaptasi pada tingkat protein yang menyebabkan orang Tibet mampu hidup di ketinggian.

Simonson juga menemukan adanya bukti genetik adaptasi orang Tibet di dataran tinggi. Hasil

penelitian mereka menunjukkan dengan akurat ternyata DNA orang Tibet tidak sama dengan

orang yang hidup di dataran tinggi Tiongkok. Mereka menemukan dua gen yaitu EGLN 1

dan PPARA yang terletak pada kromosom manusia 1 dan 22. Peranan gen tersebut dalam

adaptasi di dataran tinggi tidak jelas, baik EGLN1 dan PPARA dapat menyebabkan

penurunan konsentrasi hemoglobin. Seluruh manusia mempunyai gen EPAS1, tetapi orang-

orang Tibet mempunyai versi gen yang spesial. Melalui proses evolusi yang panjang,

individu-individu yang mewarisi jenis gen ini mampu bertahan dan menurunkannya pada

anak-anak mereka, sehingga jenis gen spesial ini menjadi sesuatu yang sudah lumrah di

seluruh penduduk. Penelitian yang berhubungan dengan ketinggian untuk daerah ATPase6

mtDNA manusia sudah pernah dilakukan oleh Ariningtyas dan Humayanti. Mereka meneliti

variasi mutasi pada populasi dataran rendah Cirebon dan dataran tinggi Kuningan. Hasil

penelitian mereka belum ditemukannya mutasi spesifik untuk populasi dataran rendah dan

dataran tinggi, karena mutasi A8701G dan A8860G yang ditemukan terdapat pada dua

populasi yang diteliti

11

Page 12: Adaptasi Pernafasan Pada Ketinggian

C.     Adaptasi Terhadap Ketinggian

Adaptasi manusia terhadap ketinggian meliputi relatif sebagian kecil dari populasi

dunia, hanya sekitar 25 juta orang (kurang dari 1 % masyarakat di dunia) tinggal di tempat

yang tinggi. Beberapa daerah di dunia yang mempunyai ketinggian di atas 3000 m dpl yang

dihuni oleh manusia antara lain adalah sebagai berikut :

1.      Pegunungan Rocky di Amerika Serikat dan Canada

2.      Sierra Madre di Meksiko

3.      Pegunungan Andes di Amerika Selatan

4.      Pegunungan Pyrenes di antara Prancis dan Spanyol

5.      Jajaran Pegunungan Turki Timur, Persia, Afganistan, dan Pakistan

6.      Pegunungan Himalaya

7.      Dataran Tinggi Tibet dan China Selatan

8.      Pegunungan Atlas di Moroko

9.      Dataran Tinggi di Ethiopia

10.  Pegunungan Tinggi Kalimanjaro di Afrika Timur

11.  Dataran Tinggi Basuto di Afrika Selatan

12.  Pegunungan Tien Shan di Rusia

Dataran tinggi tibet dan Andes dihuni oleh ras mongoloid. Penelitian antropometrik

dan fisiologis menunjukkan bahwa Indian Andes mempunyai dada, paru-paru dan jantung

yang besar serta darah dengan rasio korpuskulum darah merah yang tinggi.

Penduduk yang mendiami daerah tinggi menunjukkan tiga modal utama dalam adaptasi, yaitu

:

1.      Perubahan fisiologis jangka pendek

2.      Modifikasi selama pertumbuhan dan perkembangan

12

Page 13: Adaptasi Pernafasan Pada Ketinggian

3.      Modifikasi unggun gena

Penduduk yang tinggal di pegunungan tinggi menggunakan obat-obatan seperti

alkohol dan coca (tanaman yang menghasilkan narkotika kokain). Untuk mengurangi beban

psikologisnya. Penduduk pada tempat tinggi membuat penyesuaian anatomis dan fisiologis

yang khas, yang memberinya kapasitas untuk dapat bekerja pada udara pegunungan yang

tipis. Mereka cenderung mempunyai kaki pendek, tumbuh lebih lambat dan volume thoraks

yang besar, dada yang membulat dan tulang sternum yang panjang mengakomodasi paru-paru

yang lebih besar di dalam costae dan sternum. 

D.    Stress Lingkungan pada Tempat Tinggi

Lingkungan dataran tinggi mempunyai kondisi yang berbeda dengan dataran rendah,

baik dalam komposisi udara, tekanan oksigen, topografi, cuaca, jenis dan komposisi tanah,

habitat, dan sebagainya yang kesemuanya menuntut jenis dan besar aktivitas fisik yang

berbeda. Phyle dalam Janatin Hastuti (2005) menyatakan bahwa perbedaan dalam ketinggian

mempunyai perbedaan dalam ekologi. Hidup pada tempat tinggi akan menerima stress

ekologis yang kompleks, diantaranya sebagai berikut :

1.    Hipoksia

2.    Barometer rendah

3.    Radiasi matahari tinggi

4.    Suhu udara dingin

5.    Kelembaban udara rendah

6.    Angin kencang

7.    Nutrisi terbatas

8.    Medan yang terjal

13

Page 14: Adaptasi Pernafasan Pada Ketinggian

Dengan bertambahnya ketinggian maka tekanan barometer menurun dan kepadatan

udara juga menurun. Lingkungan udara pada tempat tinggi dengan tekanan dan kadar oksigen

rendah merupakan faktor yang berpengaruh besar dalam adaptasi fisik maupun fisiologis

manusia yang tinggal di tempat tinggi. Udara yang tipis (tekanan oksigen atmosfer yang

rendah) pada tempat tinggi menimbulkan permasalahan lingkungan yang tidak dapat

dimodifikasi oleh campur tangan manusia hingga abad ini.

E.     Hipoksia Ketinggian

Dari segi fisiologis, stress lingkungan yang paling penting adalah hipoksia. Telah

diketahui pula secara alami terjadi proses adaptasi fisiologis terhadap kondisi lingkungan

pada tempat yang tinggi. Dimana adaptasi ini adalah konsekuensi terjadinya hipoksia karena

pengurangan jumlah molekul oksigen yang dihirup pada waktu bernapas. Hipoksia

merupakan keadaan dimana terjadi defisiensi oksiegn yang mengakibatkan kerusakan sel

akibat penurunan respirasi oksidatif aerob sel. Hipoksia merupakan penyebab penting dan

umum dari cedera dan kematian sel. Tergantung pada beratnya hipoksia sel dapat mengalami

adaptasi, cedera atau kematian. Hipoksia merupakan keadaan dimana terjadi kekurangan

oksigen yang mencapai jaringan, gejala yang tampak antara lain mual, nafas pendek, dan

pusing. Hipoksia pada tempat tinggi merupakn stress yang tidak mudah dimodifikasi oleh

manusia dengan respon budaya maupun tingkah laku dan lebih jauh, semua sistem organ

dipengaruhi oleh hipoksia.

Adaptasi biologis terhadap hipoksia tertutama tergantung pada tekanan parsial

oksigen di atmosfer, yang secara proporsional menurun dengan bertambahnya ketinggian.

Udara mengandung 78,08 % nitrogen, 0,03 % CO2, 20,95 % O2, dan 0,01 % unsur lain. Gas

ini bersama-sama mempunyai tekanan 760 mmHg pada 0 dpl dan disebut dengan tekanan

barometer. Tekanan tiap-tiap gas berhubungan secara proporsional dengan jumlahnya,

sehingga tekanan oksigen sebesar 159 mmHg. Pada ketinggian 3500 m tekanan barometer

14

Page 15: Adaptasi Pernafasan Pada Ketinggian

berkurang menjadi 493 mmHg dan tekanna oksigen berkurang hingga 35% dibandingkan

dengan permukaan laut, dan pada ketinggian 4500 m tekanan parsial oksigen menjadi 91

mmHg atau turun sebesar 40 %. Turunnya tekanan oksigen pada tempat tinggi menyebabkan

berkurangnya saturasi oksigen darah arteri karena proporsi pembentukan oksihemoglobin

dalam darah tergnatung pada tekanan parsial oksigen dalam alveoli.

Manusia sendiri baru mengenal kehidupan di ketinggian yang direkayasa setelah

mampunya dibuat pesawat terbang pertama kalinya dengan ketinggian jelajah di atas 10.000

kaki, terutama pesawat militer untuk peperangan. Pada manusia yang mencapai ketinggian

lebih dari 3.000 m (10.000 kaki) dalam waktu singkat, tekanan oksigen intra alveolar (PO2)

dengan cepat turun hingga 60 mmHg dan gangguan memori, serta gangguan fungsi serebri

mulai bermanifestasi. Pada ketinggian yang lebih saturasi O2 arteri (Sat O2) menurun dengan

cepat dan pada ketinggian 5.000 m (15.000 kaki), individu yang tidak teraklimatisasi

mengalami gangguan. Resiko klinis hipoksia akut pada ketinggian di atas 10.000 kaki juga

kemudian diketahui terutama pada penerbangan unpressured cabin (kabin tanpa rekayasa

udara). Kondisi-kondisi tersebut diantaranya (pada yang ringan) : penurunan kemampuan

terhadap adaptasi gelap, peningkatan frekuensi pernapasan, peningkatan denyut jantung,

tekanan sistolik, dan curah jantung (cardiac output). Sedangkan jika berlanjut terus akan

terjadi gangguan yang lebih berat seperti berkurangnya pandangan sentral dan perifer,

termasuk ketajaman penglihatan, dan pendengaran yang terganggu. Demikian juga

kemampuan koordinasi psikomotor akan berkurang. Pada tahapan yang kritis setelah

terjadinya sianosis dan sindroma hiperventilasi berat, maka tingkat kesadaran akan

berlangsung hilang dan pada tahaop akhir dapat terjadi kejang dilanjutkan dengan henti napas

15

Page 16: Adaptasi Pernafasan Pada Ketinggian

Gejala penyakit yang sering terjadi di gunung

Ketinggian tidak bisa dianggap main-main oleh pendaki. Banyak yang cedera, tewas, atau

lenyap begitu saja. Tak jarang pula pendaki yang mengalami penampakan dan kesurupan.

Jangankan gunung yang terpencil, kota pun ada yang punya hobi menyambut pengunjungnya

dengan masalah, seperti Cuzco, Peru (3.000 mdpl), La Paz, Bolivia (3,444 mdpl), dan Lhasa,

Tibet (3,749 mdpl).

Olah-raga panjat gunung tidak cukup bermodal ketangguhan fisik melakukan aktivitas

(exertion). Lebih dari itu, daya adaptasi terhadap ketinggian (altitude adaptability) juga

dituntut. Tuntutan kedua itulah sebenarnya yang berakibat berat bila tak dipenuhi. Pendaki

bisa mengidap mountain sickness (mabuk gunung) yang sebenarnya menjadi pangkal

musabab dari hal-hal 'gaib' itu.

Mabuk Gunung

Misalnya Anda berada di Kandang Badak (camp site Gede-Pangrango jalur Cibodas)

atau Pasar Bubrah (camp site lereng Utara Gn. Merapi) yang elevasinya sekitar 2.500 mdpl,

Anda sudah bisa melihat gejala pembuntingan beberapa barang yang Anda bawa. Bungkus

snack menjadi gendut menggelembung kayak balon. Botol minuman yang dari bawah dalam

keadaan tertutup rapat, bila dibuka pada ketinggian itu tutupnya meletup. Kok bisa? Hal itu

terjadi karena perbedaan tekanan udara. Di pantai (0 mdpl), tekanan udara adalah 760 mmHG

dengan konsentrasi oksigen 21%, sedangkan pada ketinggian 2.500 mdpl, tekanan udara

hanya 570 mmHG. (altitude.org). Dengan demikian, meskipun konsentrasi oksigen sama,

kerapatan molekulnya berkurang 25%. Faktor inilah yang telah membuntingkan barang-

barang di atas.

16

Page 17: Adaptasi Pernafasan Pada Ketinggian

Pada kondisi tersebut, apa yang terjadi pada tubuh kita? Hati-hati, ternyata, diam-diam

pembuluh darah kita pun ikut bunting. Dan penggembungan pembuluh darah itu

menyebabkan terjadinya kebocoran cairan. Inilah biang kerok mabuk gunung.

Kemungkinan Terjangkit (Susceptibility)

Kemungkinan terjangkit mabuk gunung antara satu orang dengan yang lain tidak sama.

Beberapa pendaki sangat rentan, sementara yang lain berdaya tahan mirip badak. Sayangnya,

sampai saat ini, belum ada metode klinis yang bisa mengidentifikasi dan memilah manusia

yang rentan dan yang tahan terhadap ketinggian. Mabuk gunung tidak berhubungan dengan

jenis kelamin, umur, dan kondisi fisik. (Rick Curtis, Outdoor Action Guide to High Altitude:

Acclimatization and Illnesses). Jadi, jangan pongah dulu kalau badan Anda gempal atau kaki

Anda kayak tales Bogor. Anda belum tentu mempunyai altitude adaptability yang sip. Oleh

karenanya, semua pendaki wajib mengenali diri masing-masing dalam hal ini. Tidak ada

rumus lain!

Jenis Mabuk Gunung

Ada tiga jenis mabuk gunung, yaitu AMS, HAPE, dan HACE.

AMS (Acute Mountain Sickness) adalah bentuk awal dari mabuk gunung. Pendaki yang

rentan sudah mulai mengalami gejala ringan AMS pada ketinggian 1,200 mdpl. Itulah

sebabnya, ketika berada di pos pendakian (belum mendaki), beberapa orang sudah kelihatan

tidak sehat. AMS bisa diidentifikasi dari gejala-gejala:

* Pusing atau pening

* Mual sampai muntah-muntah

17

Page 18: Adaptasi Pernafasan Pada Ketinggian

* Napas tersengal-sengal pada saat melakukan aktivitas fisik

* Kelelahan (fatigue)

* Hilang napsu makan

* Sulit tidur

* Menyendiri, malas bergaul dan berkomunikasi (social withdrawal)

Apabila mendapatkan perhatian dan perlakuan sebagaimana mestinya, AMS umumnya tidak

berakibat fatal. Sebaliknya, bila kondisi ini tidak dipahami dan diabaikan, masalah lebih

serius mengancam. Sayangnya, pemanjat gunung sering cuek-bebek terhadap gejala-gejala

itu. Kebanyakan menganggap gejala-gejala AMS semata-mata hanya karena terlalu capai,

stamina loyo, kurang tidur, atau bahkan masuk angin. Dari pendapat ini, umumnya penderita

AMS hanya merasa perlu beristirahat sebentar, kemudian naik lagi. Meskipun beristirahat ada

benarnya, perlakuan semacam itu keliru. Mabuk gunung bukanlah persoalan capai, bukan

pula persoalan kondisi fisik (lihat Susceptibility).

HACE (High Altitude Cerebral Edema) merupakan perkembangan lanjut dari AMS. Pada

tahap ini, banjir cairan sudah tak terkendali seperti lumpur Lapindo. Luapannya sampai ke

otak sehingga bengkak. HACE memang sangat jarang terjadi pada ketinggian di bawah 2,700

mdpl. Kasus HACE sering mengancam pada skala elevasi Very High (3.600-5.500 mdpl) dan

lebih sering pada Extremely High (>5.500 mdpl). Tetapi pendaki yang sudah mengalami

AMS, bila terus menambah ketinggian pada waktu yang cepat, di ketinggian berapa pun,

tetap mudah terkena HACE.

Rasa letih yang jauh lebih parah, biasanya dialami penderita HACE. Selain gejala-gejala

AMS, gejala lain yang mungkin kelihatan pada penderita HACE adalah:

18

Page 19: Adaptasi Pernafasan Pada Ketinggian

* Kehilangan koordinasi gerakan, sempoyongan bila berjalan

* Kebingungan, irasional

* Mengalami halusinasi

* Meracau

* Lunglai, dan pada keadaan yang paling parah mengalami koma

Lebih dari lima puluh persen penderita HACE yang sampai mengalami koma, akhirnya

tewas. Sementara yang berhasil bertahan, kebanyakan mengalami cedera otak permanen yang

menyebabkan ketidaknormalan kondisi mental atau kekacauan koordinasi motorik. Kalau

mendapatkan penanganan yang pas, jangan takut, asal belum sampai mengalami koma,

penderita bisa pulih total.

HAPE (High Altitude Pulmonary Edema) adalah bentuk lain dari perkembangan AMS. Pada

kasus ini, banjir kiriman mencapai paru-paru sehingga penderitanya mengalami kesulitan

pernapasan. Akibatnya, efektifitas penyerapan oksigen menurun drastis. HAPE bisa terjadi

sendiri, maupun serentak dengan HACE. Dalam hal pemburukan kondisi ke arah fatalitas,

jangan main-main, HAPE lebih cepat!

Gejala penderita HAPE adalah:

* Napas tetap tersengal-sengal meskipun beristirahat

* Batuk berat disertai keluarnya busa putih

* Dada terasa sangat berat dan sesak

* Lunglai, lemas

Gejala-gejala seperti irasionalitas, kebingungan, dan gejala-gejala lain yang tampak pada

HACE bisa juga muncul sebagai akibat dari kurangnya pasokan oksigen ke otak.

19

Page 20: Adaptasi Pernafasan Pada Ketinggian

20