adaptasi pernafasan pada ketinggian
DESCRIPTION
pernafasanTRANSCRIPT
Adaptasi Pernapasan pada Ketinggian
Ketinggian suatu tempat dari permukaan laut dapat diklasifikasikan menjadi
ketinggian 1500 – 2500 m (5000-8000 ft) disebut Medium Altitude, di atas 2500-3500 m
(8000 – 11500 ft) disebut High Altitude, 3500 – 5500 m (11500 – 18000 ft) merupakan Very
High Altitude, ketinggian di atas 5500 m merupakan Extreme Altitude, dan diatas 8000 m
merupakan Zero Death. Pada umumnya, ketinggian di bawah dari 2500 m (8000 ft) jarang
menimbulkan gangguan kesehatan. Adapun gangguan kesehatan yang bisa ditimbulkan oleh
karena high altitude ini dapat Anda lihat di sini.
Udara atmosfer sehari-hari yang kita hirup mengandung kurang lebih 21% (160
mmHg) oksigen. Semakin tinggi suatu tempat maka tekanan udara semakin turun, dan
oksigen yang tersedia pun semakin “tipis”. Akibatnya, seseorang akan bekerja lebih keras
untuk mendapatkan oksigen. Akan tetapi, tubuh kita mempunyai kemampuan untuk
menyesuaikan diri terhadap “ketersediaan” oksigen yang rendah yang disebut aklimatisasi.
Proses ini berlangsung lambat biasanya memerlukan waktu dalam beberapa hari atau minggu.
Perubahan fisiologis tubuh yang terjadi selama berada di dataran tinggi merupakan
bentuk kompensasi tubuh untuk beradaptasi dengan keadaan yang tidak biasa. Mekanisme itu
dapat berupa hiperventilasi (bernapas cepat, lebih dalam, atau keduanya) sebagai upaya untuk
mendapatkan oksigen lebih banyak dan pengeluaran karbondioksida. Kalau pada kondisi
normal hiperventilasi terjadi pada saat kita beraktivitas (misalnya saat berolahraga), maka
pada high altitude hiperventilasi terjadi walaupun dalam keadaan istirahat. Hiperventilasi
“memaksa” ginjal untuk menyesuaikan diri dengan cara meningkatkan pengeluaran
bikarbonat melalui urin dan hal ini mengikut sertakan cairan. Akibatnya, volume buang air
kecil semakin banyak (diuresis).
1
Selain itu, level oksigen yang rendah merangsang ginjal untuk memproduksi
Erithropoietin, dan selanjutnya merangsang sumsum tulang menghasilkan lebih banyak sel
darah merah (polisitemia). Akan tetapi, keadaan ini justru kurang menguntungkan bagi tubuh
karena peningkatan jumlah sel-sel darah merah menyebabkan darah menjadi kental
(viskositas meningkat). Hal ini menimbulkan aliran darah di dalam pembuluh darah menjadi
lambat, sehingga mempermudah terjadinya penyumbatan pembuluh darah (trombosis).
Apabila Anda berada di dataran tinggi tips berikut mungkin bermanfaat. Usahakan cukup
cairan dengan minum sekitar 3-4 liter per hari. Makanlah makanan yang mengandung tinggi
karbohidrat. Jangan beraktifitas berlebihan apabila Anda pertama kali berada di dataran
tinggi. Terjaga lebih baik dari pada tidur sebab pernapasan menurun selama tidur, hal ini
semakin menurunkan kesempatan memperoleh oksigen. Apabila tetap ingin tidur, lebih baik
turun dulu ke tempat yang lebih rendah. Hindari tembakau, alkohol, dan obat penenang.
A. Adaptasi
Adaptasi merupakan konsep sentral dalam ekologi kesehatan, yaitu penyesuaian dan
perubahan yang memungkinkan suatu populasi untuk menjaga atau memelihara dirinya
sendiri dalam lingkungannya. Karena hubungan dengan lingkungan dan ekologi berubah
seiring waktu karena adaptasi merupakan proses yang terus menerus. Adaptasi meliputi baik
kontinuitas dan perubahan retensi dari sifat yang dapat bertahan hidup dan seleksi untuk
varian yang menguntungkan.
Adaptasi meliputi kejadian evolusi mayor, pertumbuhan individu, dan tingkah laku
serta perubahan fisiologis tetap, hanya beberapa jam atau beberapa menit. Adaptasi secara
tidak langsung menunjukkan antitesisnya yaitu jika pada suatu jalan, suatu fungsi bersifat
adaptif, lainnya akan kurang adaptif atau maladaptif di bawah kondisi yang sebanding.
2
Sebagai contoh kemapuan untuk memacu kecepatan jantung dan respirasi saat seseorang lari
akan adaptif jika mampu meningkatkan ketersediaan energi dan oleh karena itu dapat
melakukan beberapa aktivitas seperti melarikan diri dari b ahayua atau menangkap mangsa.
Ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas semacam akan relatif adaptif karena akan
membatasi bentuk hidup seseorang.
Komponen yang penting dari adaptasi adalah menyusun hubungan dalam suatu sistem
ekologi, terutama hubungan yang mempengaruhi kesehatan organisme saling mempengaruhi
satu sama lainnya dan saat umpan balik berperan dalam merubah tingkat kesehatan mortalitas
dan reproduksi, kode informasi berperan yang menanggapi umpan balik ini. Pada manusia,
baik kode genetik untuk proses biokimia dan kode kultural untuk teknologi, sosial dan proses
kognitif. Kedua macam kodse tersebut merupakan mekanisme untuk survival.
B. Mekanisme Adaptasi
Adaptasi dilakukan untuk mengahdapi stress lingkungan, yaitu suatu kondisi yang
mengganggu fungsi normal organisme. Fungsi dari adaptasi adalah kesesuaian manusia
dengan lingkungannya, terjadi melalui hubungan yang kompleks diantara mereka sendiri
dengan lingkungan fisik, biologi, dan sosial, serta meliputi indikasi fisiologis, psikologis,
sosial, dan genetik. Jadi dalam menghadapi tekanan lingkungan bentuk fungsional organisme
dapat bersifat temporal atau permanen melalui proses yang pendek atau seumur hidup
meliputi fisiologis, struktural, tingkah laku dan perubahan budaya.
Berdasarkan sifatnya, secara garis besar, adaptasi dibedakan dalam adaptasi biologi
dan adaptasi budaya. Adaptasi biologis adalah adaptasi yang terjadi pada keseluruhan tubuh
atau bagian tubuh manusia dalam mempertahankan fungsi normalnya sehingga ada yang
lebih menyukai dengan menyebutnya sebagai adaptasi fungsional. Sedang adaptasi budaya
meliputi adaptasi dalam tingkah laku, sosial serta peralatan yang merupakan respon non
3
biologis. Baik adaptasi biologi maupun budaya keduanya bertujuan untuk tercapainya
keadaan homeostasis, yaitu kemampuan organisme untuk menjaga kestabilan lingkungan.
Pada tingkat fungsional, semua respon adaptasi organisme atau individu dilakukan untuk
mengembalikan homeostatis internal, sehingga terjaganya keseimbangan dinamis.
Homeostatis merupakan fungsi dari interaksi dinamis, mekanisme umpan balik, dimana
stimulus yang diberikan memberikan respon yang bertujuan mengembalikan keseimbangan
awal. Keperluan untuk terpeliharanya homeostatis didasrakan pada kenyataan bahwa fungsi
seluler terbatas untuk variasi yang lebih kecil. Kegagalan untuk mengaktivasi proses adaptasi
fungsional akan menyebabkan kegagalan untuk mengembalikan homeostatis yang akan
menghasilkan maladaptasi organisme dan kadang mengurangi kapasitas individu.
1. Adaptasi Fungsional
Adaptasi fungsional meliputi perubahan dalam fungsi sistem organ, fisiologi, histologi,
morfologi, dan komposisi biokimia, hubungan anatomi, dan komposisi badan, baik bebas
ataupun menyatu dengan organisme secara keseluruhan Perubahan ini dapat terjadi melalui
Setelah efek permulaan dan respon terhadap stress ketinggian, biasanya dicirikan
dengan menghilangnya gejala mountain sickness akut terjadi respon adaptasi yang
berkembang secara gradual kadang membutuhkan waktu beberapa bulan hingga beberapa
tahun untuk perkembangan yang lengkap. Frisancho (1979) menyebutkan beberapa
mekanisme adaptasi fungsional terjadi melalui aklimatisasi berhubungan langsung dengan
ketersediaan oksigen dan tekanan oksigen pada jaringan, terjadi melalui modifikasi :
a. Ventilasi paru-paru.
b. Volume paru-paru dan kapasitas difusi pulmoner.
c. Transport oksigen dalam darah.
d. Difusi oksigen dari darah ke jaringan.
e. Penggunaan oksigen pada tingkat jaringan.
4
Penduduk asli kota pada tempat tinggi beraklimatisasi terhadap tempat tinggi sejak lahir
atau selama pertumbuhan mempunyai kapasitas aerobic yang lebih tinggi daripada subjek
yang beraklimatisasi pada saat dewasa. Diantara subjek yang beraklimatisasi pada tempat
tinggi selama masa pertumbuhan hampir 25% variabilitas dalam kapasitas aerobic dapat
dijelaskan dengan faktor perkembangan dan dengan faktor genetis 20-25 % (Frisancho et al
1995 dalam Tutiek Rahayu). Hubungan antara tingkat aktivitas pekerjaan dan aktivitas
aerobic yang lebih besar diantara subjek yang beraklimatisasi pada tempat tinggi sebelum
umur 10 tahun daripada setelah umur tersebut. Sehingga dapat dikatakan bahwa kapasitas
aerobik normal pada tempat tinggi berhubungan dengan aklimatisasi perkembangan dan fakor
genetik tetapi ekspresinya dipengaruhi oleh faktor lingkungan seperti aktivitas pekerjaan dan
komposisi badan.
Kapasitas untuk beradaptasi pada tempat yang tinggi bervariasi pada tiap individu.
Beberapa orang tidak pernah beraklimatisasi dengan sukses sementara lainnya dapat
menyesuaikan diri tetapi tidak dapat bekerja dengan penuh.
Salah satu penyebab stress lingkungan di ketinggian untuk manusia yakni tekanan
udara yang rendah yang menjadi faktor keterbatasan signifikan dalam daerah ketinggian.
Gambar 1. Tekanan udara menurun ketika ketinggian meningkat.
Presentase oksigen di udara pada ketinggian 2 mil (3,2 km) sama seperti sea level
(21%). Namun tekanan udara lebih rendah 30 % pada ketinggian yang lebih jauh disebabkan
molekul pada atmosfer lebih jarang sehingga letak molekul-molekul tersebut saling
berjauhan. Ketika kita menghirup udara pada sea level, tekanan atmosfer sekitar 1,04 kg per
5
cm2 yang menyebabkan oksigen dengan mudah melewati membrane permeable selektif paru
menuju darah. Pada ketinggian tekanan udara yang lebih rendah membuat oksigen sulit untuk
memasuki sistem vascular tubuh. Hasilnya berdampak pada hipoksia atau kekurangan
oksigen.
Ketika kita bepergian ke daerah yang lebih tinggi tubuh kita mulai membentuk respon
fisiologis yang efisien. Terdapat kenaikan frekuensi pernapasan dan denyut jantung hingga
dua kali lipat walapun saat istirahat. Denyut nadi dan tekanan darah meningkat karena
jantung memompa lebih kuat untuk mendapatkan lebih banyak oksigen. Kemudian tubuh
mulai membentuk respon efisien secara normal yaitu aklimatisasi. Sel darah merah lebih
banyak diproduksi untuk membawa oksigen lebih banyak. Paru-paru akan lebih mengembang
untuk memfasilitasi osmosis oksigen dan karbondioksida. Terjadi pula peningkatan
vaskularisasi otot yang memperkuat transfer gas.
Gambar 2. Proses aklimatisasi terhadap tekanan oksigen
yang rendah.
Ketika kembali pada level permukaan laut setelah terjadi aklimatisasi yang sukses
terhadap ketinggian, tubuh akan mempunyai lebih banyak sel darah merah dan kapasitas paru
yang lebih besar. Berdasarkan hal ini, Amerika dan beberapa Negara lain sering melatih para
atletnya di pegunungan. Akan tetapi, perubahan fisiologik ini hanya berlangsung singkat.
Pada beberapa minggu tubuh akan kembali pada kondisi normal.
6
Gambar 3. Kondisi tubuh yang menguat untuk waktu singkat setelah kembali dari
ketinggian.
a. Aklimatisasi
Yaitu perubahan yang terjadi dalam hidup suatu organisme yang mengurangi ketegangan
yang disebabkan oleh perubahan tekanan pada iklim alam atau stress lingkungan yang
kompleks. Jika ciri adaptif menyertai selama periode pertumbuhan organisme, proses ini
disebut adaptasi perkembangan atau aklimatisasi perkembangan.
b. Akllimasi
Yaitu perubahan biologis adaptif yang terjadi sebagai respon terhadap stress induksi
eksperimental tunggal daripada stress kompleks sebagaimana terjadi pada aklimatisasi.
c. Habituasi
Yaitu reduksi gradual dari respon terhadap atau persepsi dari stimulasi yang berulang-ulang.
Dalam waktu lama, habituasi merupakan penurunan respon syaraf yang normal, misalnya
pengurangan sensasi nyeri. Perubahan dapat terjadi untuk keseluruhan organisme (habituasi
umum), ataupun dapat spesifik untuk bagian tertentu dalam organisme (habituasi spesifik).
Habituasi tergantung pada pembelajaran dan pengkondisian yang memungkinkan organisme
untuk memudahkan respon yang telah ada terhadap stimulus baru.
Perubahan fisiologis terjadi lebih cepat daripada perubahan genetik dan lebih sering
reversible, perubahan ini membentuk sistem respon yang bertingkat dimana penyesuaian
jangka pendek dan jangka panjang pada jenis yang berbeda dilakukan oleh individu yang
7
bervariasi dalam kemampuan genbetiknya untuk membuat penyesuaian yang sukses.
Terdapat tiga tingkatan adaptasi fisiologis, yaitu aklimasi, merupajan penyesuan jangka
pendek terhadap stress lingkungan yang terjadi secara cepat ; aklimatisasi, penyesuaian lebih
jauh tetapi masih merupakan respon reversible terhadap perubahan untuk jangka waktu yang
lebih lama ; dan aklimatisasi lanjut yang sifatnya radikal dan hasilnya reversible selama
pertumbuhan.
2. Adaptasi Budaya
Adaptasi budaya yaitu respon nonbiologis individu atau populasai untuk memodifikasi
atau mengurangi stress lingkungan. Adaptasi budaya merupakan mekanisme penting yang
mempermudah adaptasi biologi manusia. Melalui adaptasi budaya manusia dapat bertahan
hidup dan mendiami jauh ke daerah dengan lingkungan yang ekstrem. Manusia adalah hewan
yang mempunyai kebudayaan, yang membuat alat-alat untuk mengeksploitasi lingkungan,
mempunyai bahasa untuk komunikasi, serta mempunyai organisasi sosial sebagai alat untuk
menghadapi lingkungan. Tidak seperti hewan lain yang mengeksploitasi dan beradaptasi
terhadap lingkungan dengan biologi dan raganya, maka manusia melakukannya terutama
dengan budaya, jadi secara ekstrabiologis dan supraorganis.
Wujud adaptasi budaya manusia misalnya dalam konstruksi rumah, penggunaan
bermacam-macam pakaian pada iklim yang berbeda, pola tingkah laku tertentu, dan
kebiasaaan kerja yang menunjukkan adaptasi terhadap stress iklim. Perkembangan
pengobatan dari cara primitif sampai modern dan kenaikan produksi energi yang menyertai
revolusi industri dan pertanian, juga menunjukkan adaptasi budaya manusia terhadap
lingkungan fisik.
Faktor genetik berperan dalam adaptasi terhadap ketinggian dengan ditemukannya gen
yang selektif pada lingkungan hipoksia. Individu dengan alel dominan untuk saturasi oksigen
lebih tinggi mempunyai keuntungan selektif pada lingkungan tinggi yang hipoksia.
8
Adaptasi ini adalah kebiasaan-kebiasaan penduduk untuk menyikapa keadaan alamnya
sehingga terbentuk lah kebudayaan-kebudayaan. Dengan kata lain, adaptasi budaya yaitu
respon nonbiologis individu atau popilasi untuk memodifikasi atau mengurangi stess
lingkungan. Adaptasi budaya merupakan mekanisme penting yang mempermudah adaptasi
biologi manusia. Melalui adaptasi budaya manusia dapat bertahan hidup dan mendiami jauh
ke kondisi lingkungan yang ekstrim. Manusia adalah hewan yang mempunyai kebudayaan,
yang mebuat alat-alat untuk mengeksploitasi lingkungan, mempunyai bahasa untuk
berkomunikasi, serta mempunyai organisasi sosial sebagai alat untuk menghadapi
lingkungan. Tidak seperti hewan lain yang mengeksploitasi dan beradaptasi trhadap
lingkungan dengan biologi dan raganya, maka manusia melakukannya teruyama dengan
budaya, jadi secara ekstrabiologis atau supraorganis. Wujud adaptasi budaya manusia
misalnya :
a. Konstruksi rumah
Konstruksi rumah di dataran tinggi biasanya dibangun dengan tembok yang lebih tebal atau
dari kayu untuk menjaga kehangatan suhu ruangan. Ventilasi dan jendela besar, kadang
banyak agar sirkulasi udara baik mengingat tekanan oksigen di daerang tinggi relatif kecil.
b. Penggunaan pakaian pada bermacam-macam iklim
Penduduk yang tinggal di daerah tinggi dengan hawa dingin menggunakan pakaian yang
tebal untuk menghindari hilangnya pengeluaran panas yang berlebihan dari tubuhnya.
c. Pola tingkah laku tertentu
Penduduk di daerah tinggi cenderung lebih sering berjalan kaki jauh daripada yang tinggal di
daerah perkotaan sehingga lebih kuat berjalan kaki.
d. Pengobatan dari cara primitif sampai cara modern
Penggunaan informasi budaya yang dilakukan oleh kelompok sosial dan ditransformasikan
melalui pembelajaran pada tiap generasi merupakan salah satu bentuk respon adaptif yang
9
berkembang pesat pada manusia, contoh salah satu aspeknya adalah perkembangan sistem
medis.
e. Kebiasaan kerja yang menunjukkan adaptasi terhadap stress iklim
Kenaikan produksi energi yang menyertai revolusi industri dan pertanian.
Budaya dan teknologi mempermudah adaptasi biologi, tetapi juga menciptakan dan
terus menciptakan kondisi stress baru yang membutuhkan respon adaptasi baru pula. Suatu
modifikasi kondisi lingkungan dapat dihasilkan oleh perubahan yang lainnya, misalnya
kemajuan dalam ilmu pengetahuan kedokteran dengan sukses mengurangi kematian bayi dan
orang dewasa pada tingkat di mana populasi dunia tumbuh pada kecepatan eksplosif dan
meskipun sumber makanan bertambah, tetap akan terjadi kelaparan.
Teknologi barat meskipun menaikkan standar hidup juga menciptakan polusi
lingkungan yang menjadikan hidup dan kesehatan tidak bagus lagi. Jika proses ini
berlangsung terus tanpa kontrol, polusi lingkungan akan menjadi suatu kekuatan selektif lain
yang menuntut manusia harus beradaptasi melalui proses biologis atau budaya atau akan
mengalami kemusnahan. Adaptasi yang dilakukan manusia pada dunia sekarang mungkin
tidak sesuai lagi dengan bentuk pertahanan hidup di dunia pada masa yang akan datang,
kecuali manusia belajar untuk menyesuaikan budaya dengan kapasitas biologisnya.
3. Adaptasi Genetik
Adaptasi genetik menunjukkan ciri pewarisan yang mempermudah toleransi dan
survival suatu individu atau populasi padasebagian lingkungan total. Adaptasi genetik
dibentuk melalui aksi seleksi alam yaitu mekanisme dimana genotip individu tersebut
menunjukkan adaptasi terbesar (fitness). Kisaran panjang keberhasilan bergantung pada
stabilitas dan variabilitas genetiknya. Lebih besar adaptasi maka lebih lama individu atau
populasi akan survive. Perubahan genetik merupakan mekanisme adaptasi yang paling lambat
dan paling sedikit dapat kembali lagi. Karena individu memiliki potensial genetik untuk
10
adaptasi fisiologis, sangat sulit untuk memisahkn bentuk fisiologis dan genetik dari adaptasi,
misalnya toleransi laktosa pada populasi yang mengkonsumsi susu.
Faktor genetik berperan dalam adaptasi terhadap ketinggian dengan ditemukannya gen
yang selektif pada lingkungan hipoksia. Individu dengan alel dominan untuk saturasi oksigen
lebih tinggi mempunyai keuntungan selektif pada lingkungan tinggi yang hipoksia.
Belum banyak penelitian yang menghubungkan antara faktor genetik dengan
ketinggian geografis. Gelvis meneliti manusia yang tinggal di dataran tinggi Tibet untuk
mengetahui bagaimana protein melindungi enzim yang berperan dalam mekanisme
perlindungan otot dari bahaya oksidatif. Hasil penelitian mereka menyebutkan adanya
adaptasi pada tingkat protein yang menyebabkan orang Tibet mampu hidup di ketinggian.
Simonson juga menemukan adanya bukti genetik adaptasi orang Tibet di dataran tinggi. Hasil
penelitian mereka menunjukkan dengan akurat ternyata DNA orang Tibet tidak sama dengan
orang yang hidup di dataran tinggi Tiongkok. Mereka menemukan dua gen yaitu EGLN 1
dan PPARA yang terletak pada kromosom manusia 1 dan 22. Peranan gen tersebut dalam
adaptasi di dataran tinggi tidak jelas, baik EGLN1 dan PPARA dapat menyebabkan
penurunan konsentrasi hemoglobin. Seluruh manusia mempunyai gen EPAS1, tetapi orang-
orang Tibet mempunyai versi gen yang spesial. Melalui proses evolusi yang panjang,
individu-individu yang mewarisi jenis gen ini mampu bertahan dan menurunkannya pada
anak-anak mereka, sehingga jenis gen spesial ini menjadi sesuatu yang sudah lumrah di
seluruh penduduk. Penelitian yang berhubungan dengan ketinggian untuk daerah ATPase6
mtDNA manusia sudah pernah dilakukan oleh Ariningtyas dan Humayanti. Mereka meneliti
variasi mutasi pada populasi dataran rendah Cirebon dan dataran tinggi Kuningan. Hasil
penelitian mereka belum ditemukannya mutasi spesifik untuk populasi dataran rendah dan
dataran tinggi, karena mutasi A8701G dan A8860G yang ditemukan terdapat pada dua
populasi yang diteliti
11
C. Adaptasi Terhadap Ketinggian
Adaptasi manusia terhadap ketinggian meliputi relatif sebagian kecil dari populasi
dunia, hanya sekitar 25 juta orang (kurang dari 1 % masyarakat di dunia) tinggal di tempat
yang tinggi. Beberapa daerah di dunia yang mempunyai ketinggian di atas 3000 m dpl yang
dihuni oleh manusia antara lain adalah sebagai berikut :
1. Pegunungan Rocky di Amerika Serikat dan Canada
2. Sierra Madre di Meksiko
3. Pegunungan Andes di Amerika Selatan
4. Pegunungan Pyrenes di antara Prancis dan Spanyol
5. Jajaran Pegunungan Turki Timur, Persia, Afganistan, dan Pakistan
6. Pegunungan Himalaya
7. Dataran Tinggi Tibet dan China Selatan
8. Pegunungan Atlas di Moroko
9. Dataran Tinggi di Ethiopia
10. Pegunungan Tinggi Kalimanjaro di Afrika Timur
11. Dataran Tinggi Basuto di Afrika Selatan
12. Pegunungan Tien Shan di Rusia
Dataran tinggi tibet dan Andes dihuni oleh ras mongoloid. Penelitian antropometrik
dan fisiologis menunjukkan bahwa Indian Andes mempunyai dada, paru-paru dan jantung
yang besar serta darah dengan rasio korpuskulum darah merah yang tinggi.
Penduduk yang mendiami daerah tinggi menunjukkan tiga modal utama dalam adaptasi, yaitu
:
1. Perubahan fisiologis jangka pendek
2. Modifikasi selama pertumbuhan dan perkembangan
12
3. Modifikasi unggun gena
Penduduk yang tinggal di pegunungan tinggi menggunakan obat-obatan seperti
alkohol dan coca (tanaman yang menghasilkan narkotika kokain). Untuk mengurangi beban
psikologisnya. Penduduk pada tempat tinggi membuat penyesuaian anatomis dan fisiologis
yang khas, yang memberinya kapasitas untuk dapat bekerja pada udara pegunungan yang
tipis. Mereka cenderung mempunyai kaki pendek, tumbuh lebih lambat dan volume thoraks
yang besar, dada yang membulat dan tulang sternum yang panjang mengakomodasi paru-paru
yang lebih besar di dalam costae dan sternum.
D. Stress Lingkungan pada Tempat Tinggi
Lingkungan dataran tinggi mempunyai kondisi yang berbeda dengan dataran rendah,
baik dalam komposisi udara, tekanan oksigen, topografi, cuaca, jenis dan komposisi tanah,
habitat, dan sebagainya yang kesemuanya menuntut jenis dan besar aktivitas fisik yang
berbeda. Phyle dalam Janatin Hastuti (2005) menyatakan bahwa perbedaan dalam ketinggian
mempunyai perbedaan dalam ekologi. Hidup pada tempat tinggi akan menerima stress
ekologis yang kompleks, diantaranya sebagai berikut :
1. Hipoksia
2. Barometer rendah
3. Radiasi matahari tinggi
4. Suhu udara dingin
5. Kelembaban udara rendah
6. Angin kencang
7. Nutrisi terbatas
8. Medan yang terjal
13
Dengan bertambahnya ketinggian maka tekanan barometer menurun dan kepadatan
udara juga menurun. Lingkungan udara pada tempat tinggi dengan tekanan dan kadar oksigen
rendah merupakan faktor yang berpengaruh besar dalam adaptasi fisik maupun fisiologis
manusia yang tinggal di tempat tinggi. Udara yang tipis (tekanan oksigen atmosfer yang
rendah) pada tempat tinggi menimbulkan permasalahan lingkungan yang tidak dapat
dimodifikasi oleh campur tangan manusia hingga abad ini.
E. Hipoksia Ketinggian
Dari segi fisiologis, stress lingkungan yang paling penting adalah hipoksia. Telah
diketahui pula secara alami terjadi proses adaptasi fisiologis terhadap kondisi lingkungan
pada tempat yang tinggi. Dimana adaptasi ini adalah konsekuensi terjadinya hipoksia karena
pengurangan jumlah molekul oksigen yang dihirup pada waktu bernapas. Hipoksia
merupakan keadaan dimana terjadi defisiensi oksiegn yang mengakibatkan kerusakan sel
akibat penurunan respirasi oksidatif aerob sel. Hipoksia merupakan penyebab penting dan
umum dari cedera dan kematian sel. Tergantung pada beratnya hipoksia sel dapat mengalami
adaptasi, cedera atau kematian. Hipoksia merupakan keadaan dimana terjadi kekurangan
oksigen yang mencapai jaringan, gejala yang tampak antara lain mual, nafas pendek, dan
pusing. Hipoksia pada tempat tinggi merupakn stress yang tidak mudah dimodifikasi oleh
manusia dengan respon budaya maupun tingkah laku dan lebih jauh, semua sistem organ
dipengaruhi oleh hipoksia.
Adaptasi biologis terhadap hipoksia tertutama tergantung pada tekanan parsial
oksigen di atmosfer, yang secara proporsional menurun dengan bertambahnya ketinggian.
Udara mengandung 78,08 % nitrogen, 0,03 % CO2, 20,95 % O2, dan 0,01 % unsur lain. Gas
ini bersama-sama mempunyai tekanan 760 mmHg pada 0 dpl dan disebut dengan tekanan
barometer. Tekanan tiap-tiap gas berhubungan secara proporsional dengan jumlahnya,
sehingga tekanan oksigen sebesar 159 mmHg. Pada ketinggian 3500 m tekanan barometer
14
berkurang menjadi 493 mmHg dan tekanna oksigen berkurang hingga 35% dibandingkan
dengan permukaan laut, dan pada ketinggian 4500 m tekanan parsial oksigen menjadi 91
mmHg atau turun sebesar 40 %. Turunnya tekanan oksigen pada tempat tinggi menyebabkan
berkurangnya saturasi oksigen darah arteri karena proporsi pembentukan oksihemoglobin
dalam darah tergnatung pada tekanan parsial oksigen dalam alveoli.
Manusia sendiri baru mengenal kehidupan di ketinggian yang direkayasa setelah
mampunya dibuat pesawat terbang pertama kalinya dengan ketinggian jelajah di atas 10.000
kaki, terutama pesawat militer untuk peperangan. Pada manusia yang mencapai ketinggian
lebih dari 3.000 m (10.000 kaki) dalam waktu singkat, tekanan oksigen intra alveolar (PO2)
dengan cepat turun hingga 60 mmHg dan gangguan memori, serta gangguan fungsi serebri
mulai bermanifestasi. Pada ketinggian yang lebih saturasi O2 arteri (Sat O2) menurun dengan
cepat dan pada ketinggian 5.000 m (15.000 kaki), individu yang tidak teraklimatisasi
mengalami gangguan. Resiko klinis hipoksia akut pada ketinggian di atas 10.000 kaki juga
kemudian diketahui terutama pada penerbangan unpressured cabin (kabin tanpa rekayasa
udara). Kondisi-kondisi tersebut diantaranya (pada yang ringan) : penurunan kemampuan
terhadap adaptasi gelap, peningkatan frekuensi pernapasan, peningkatan denyut jantung,
tekanan sistolik, dan curah jantung (cardiac output). Sedangkan jika berlanjut terus akan
terjadi gangguan yang lebih berat seperti berkurangnya pandangan sentral dan perifer,
termasuk ketajaman penglihatan, dan pendengaran yang terganggu. Demikian juga
kemampuan koordinasi psikomotor akan berkurang. Pada tahapan yang kritis setelah
terjadinya sianosis dan sindroma hiperventilasi berat, maka tingkat kesadaran akan
berlangsung hilang dan pada tahaop akhir dapat terjadi kejang dilanjutkan dengan henti napas
15
Gejala penyakit yang sering terjadi di gunung
Ketinggian tidak bisa dianggap main-main oleh pendaki. Banyak yang cedera, tewas, atau
lenyap begitu saja. Tak jarang pula pendaki yang mengalami penampakan dan kesurupan.
Jangankan gunung yang terpencil, kota pun ada yang punya hobi menyambut pengunjungnya
dengan masalah, seperti Cuzco, Peru (3.000 mdpl), La Paz, Bolivia (3,444 mdpl), dan Lhasa,
Tibet (3,749 mdpl).
Olah-raga panjat gunung tidak cukup bermodal ketangguhan fisik melakukan aktivitas
(exertion). Lebih dari itu, daya adaptasi terhadap ketinggian (altitude adaptability) juga
dituntut. Tuntutan kedua itulah sebenarnya yang berakibat berat bila tak dipenuhi. Pendaki
bisa mengidap mountain sickness (mabuk gunung) yang sebenarnya menjadi pangkal
musabab dari hal-hal 'gaib' itu.
Mabuk Gunung
Misalnya Anda berada di Kandang Badak (camp site Gede-Pangrango jalur Cibodas)
atau Pasar Bubrah (camp site lereng Utara Gn. Merapi) yang elevasinya sekitar 2.500 mdpl,
Anda sudah bisa melihat gejala pembuntingan beberapa barang yang Anda bawa. Bungkus
snack menjadi gendut menggelembung kayak balon. Botol minuman yang dari bawah dalam
keadaan tertutup rapat, bila dibuka pada ketinggian itu tutupnya meletup. Kok bisa? Hal itu
terjadi karena perbedaan tekanan udara. Di pantai (0 mdpl), tekanan udara adalah 760 mmHG
dengan konsentrasi oksigen 21%, sedangkan pada ketinggian 2.500 mdpl, tekanan udara
hanya 570 mmHG. (altitude.org). Dengan demikian, meskipun konsentrasi oksigen sama,
kerapatan molekulnya berkurang 25%. Faktor inilah yang telah membuntingkan barang-
barang di atas.
16
Pada kondisi tersebut, apa yang terjadi pada tubuh kita? Hati-hati, ternyata, diam-diam
pembuluh darah kita pun ikut bunting. Dan penggembungan pembuluh darah itu
menyebabkan terjadinya kebocoran cairan. Inilah biang kerok mabuk gunung.
Kemungkinan Terjangkit (Susceptibility)
Kemungkinan terjangkit mabuk gunung antara satu orang dengan yang lain tidak sama.
Beberapa pendaki sangat rentan, sementara yang lain berdaya tahan mirip badak. Sayangnya,
sampai saat ini, belum ada metode klinis yang bisa mengidentifikasi dan memilah manusia
yang rentan dan yang tahan terhadap ketinggian. Mabuk gunung tidak berhubungan dengan
jenis kelamin, umur, dan kondisi fisik. (Rick Curtis, Outdoor Action Guide to High Altitude:
Acclimatization and Illnesses). Jadi, jangan pongah dulu kalau badan Anda gempal atau kaki
Anda kayak tales Bogor. Anda belum tentu mempunyai altitude adaptability yang sip. Oleh
karenanya, semua pendaki wajib mengenali diri masing-masing dalam hal ini. Tidak ada
rumus lain!
Jenis Mabuk Gunung
Ada tiga jenis mabuk gunung, yaitu AMS, HAPE, dan HACE.
AMS (Acute Mountain Sickness) adalah bentuk awal dari mabuk gunung. Pendaki yang
rentan sudah mulai mengalami gejala ringan AMS pada ketinggian 1,200 mdpl. Itulah
sebabnya, ketika berada di pos pendakian (belum mendaki), beberapa orang sudah kelihatan
tidak sehat. AMS bisa diidentifikasi dari gejala-gejala:
* Pusing atau pening
* Mual sampai muntah-muntah
17
* Napas tersengal-sengal pada saat melakukan aktivitas fisik
* Kelelahan (fatigue)
* Hilang napsu makan
* Sulit tidur
* Menyendiri, malas bergaul dan berkomunikasi (social withdrawal)
Apabila mendapatkan perhatian dan perlakuan sebagaimana mestinya, AMS umumnya tidak
berakibat fatal. Sebaliknya, bila kondisi ini tidak dipahami dan diabaikan, masalah lebih
serius mengancam. Sayangnya, pemanjat gunung sering cuek-bebek terhadap gejala-gejala
itu. Kebanyakan menganggap gejala-gejala AMS semata-mata hanya karena terlalu capai,
stamina loyo, kurang tidur, atau bahkan masuk angin. Dari pendapat ini, umumnya penderita
AMS hanya merasa perlu beristirahat sebentar, kemudian naik lagi. Meskipun beristirahat ada
benarnya, perlakuan semacam itu keliru. Mabuk gunung bukanlah persoalan capai, bukan
pula persoalan kondisi fisik (lihat Susceptibility).
HACE (High Altitude Cerebral Edema) merupakan perkembangan lanjut dari AMS. Pada
tahap ini, banjir cairan sudah tak terkendali seperti lumpur Lapindo. Luapannya sampai ke
otak sehingga bengkak. HACE memang sangat jarang terjadi pada ketinggian di bawah 2,700
mdpl. Kasus HACE sering mengancam pada skala elevasi Very High (3.600-5.500 mdpl) dan
lebih sering pada Extremely High (>5.500 mdpl). Tetapi pendaki yang sudah mengalami
AMS, bila terus menambah ketinggian pada waktu yang cepat, di ketinggian berapa pun,
tetap mudah terkena HACE.
Rasa letih yang jauh lebih parah, biasanya dialami penderita HACE. Selain gejala-gejala
AMS, gejala lain yang mungkin kelihatan pada penderita HACE adalah:
18
* Kehilangan koordinasi gerakan, sempoyongan bila berjalan
* Kebingungan, irasional
* Mengalami halusinasi
* Meracau
* Lunglai, dan pada keadaan yang paling parah mengalami koma
Lebih dari lima puluh persen penderita HACE yang sampai mengalami koma, akhirnya
tewas. Sementara yang berhasil bertahan, kebanyakan mengalami cedera otak permanen yang
menyebabkan ketidaknormalan kondisi mental atau kekacauan koordinasi motorik. Kalau
mendapatkan penanganan yang pas, jangan takut, asal belum sampai mengalami koma,
penderita bisa pulih total.
HAPE (High Altitude Pulmonary Edema) adalah bentuk lain dari perkembangan AMS. Pada
kasus ini, banjir kiriman mencapai paru-paru sehingga penderitanya mengalami kesulitan
pernapasan. Akibatnya, efektifitas penyerapan oksigen menurun drastis. HAPE bisa terjadi
sendiri, maupun serentak dengan HACE. Dalam hal pemburukan kondisi ke arah fatalitas,
jangan main-main, HAPE lebih cepat!
Gejala penderita HAPE adalah:
* Napas tetap tersengal-sengal meskipun beristirahat
* Batuk berat disertai keluarnya busa putih
* Dada terasa sangat berat dan sesak
* Lunglai, lemas
Gejala-gejala seperti irasionalitas, kebingungan, dan gejala-gejala lain yang tampak pada
HACE bisa juga muncul sebagai akibat dari kurangnya pasokan oksigen ke otak.
19
20