adab berbicara dan mendengar
DESCRIPTION
Mendengar dan berbicara adalah media komunikasi. Ada saatya kita harus berbicara dan ada saatnya kita harus mendengar. Allah swt. menciptakan umat manusia dengan dua telinga dan satu mulut agar mereka lebih banyak mendengar daripada berbicara. Berbicaralah sedikit saja tetapi mengena, berkualitas dan bermakna, daripada berbicara panjang lebar tidak jelas manfaatnya.TRANSCRIPT
At Tahadduts wa Al-Istima’
Mendengar dan berbicara adalah media komunikasi. Ada saatya kita harus
berbicara dan ada saatnya kita harus mendengar. Allah swt. menciptakan umat
manusia dengan dua telinga dan satu mulut agar mereka lebih banyak
mendengar daripada berbicara. Berbicaralah sedikit saja tetapi mengena,
berkualitas dan bermakna, daripada berbicara panjang lebar tidak jelas
manfaatnya.
Adab mendengar dan berbicara sangat penting untuk efisiensi dan efektifitas
bermusyawarah dan berdiskusi. Dalam berdakwah, sebelum kita berbicara maka
kita harus medengar terlebih dahulu realitas dan masalah-masalah lapangan.
Dalam realitanya, mendengar tidak harus dengan telinga, tetapi berarti melihat
data dan memperhatikan keluh kesah serta saran orang lain. Pada akhirnya,
ketrampilan mendengar dan berbicara sangat penting dalam berdakwah dan
bergaul dengan orang lain.
Pendahuluan
Islam adalah diin al-adab atau agama yang mengajarkan norma-norma luhur dan
suci bagi umat manusia. Seorang ukmin yang menjadikan drinya sebagai kendali
diri dalam berbuat dan berbicara, akan menikmati saat diamnya, sementara
orang pun merasa sejuk berdekatan dengannya.
Ketika ia berbicara, misalnya kata-kata yang keluar dari mulutnya membuat
orang yang mendengarnya sadar dan terbimbing kepada kebaikan dan
kebenaran. Demikian juga tatkala ia berbuat sesuatu, maka perbuatannya selalu
baik, memeri manfaat dan dan dapat menjadi keteladanan bagi yang lain.
Mukmin seperti ini adalah mukmin yang memiliki sifat-sifat yang dekat kepada
Rasulullah saw. yang mulia, dimana diamnya adalah fikir, ucapannya adalah
dzikir dan amalnya adalah keteladanan.
ADAB AT-TAHADDUTS
1. Berbicara yang jelas, mudah difahami oleh setiap pendengar.
Dari `Aisyah ra. Berkata:
1
Adalah ucapan Rasulullah saw. selalu jelas maksudnya dan dipahami oleh
setiap orang yang mendengarkannya. (HR. Abu Dawud)
Dari `Aisyah ra. juga berkata: “Bahwa Rasulullah saw. pernah berbicara,
sekiranya ada yang menghitung ucapannya pasti terhitung.” Dan dalam
riwayat lain: “Beliau tidak mengeluarkan ucapan sebagaimana kalian
berbicara.” (HR. Bukhari-Muslim).
2. Berbicara dengan ungkapan yang simpel dan tidak mencari-cari bahasa
yang tinggi, sehingga kalimat yang diucapkan tidak memiliki makna yang
sulit atau tidak bisa dimengerti.
Khalid bin Ahmad -rahimahullah- pernah ditanya suatu masalah, beliau
tidak segera menjawab. Maka penanya bertanya, “Apakah pertanyaan ini
tidak ada jawabannya dalam pandangan tadi?” Beliau berkata, “Anda
sebenarnya telah mengetahui masalah yang Anda tanyakan berikut
jawabannya, tetapi saya ingin memberi jawaban yang lebih mudah lagi
Anda pahami.”
3. Tidak diulang-ulang kecuali untuk member tekanan makan, karena
“Sebaik-baik ucapan adalah yang singkat dan membawa arti, dan
seburuk-buruk ucapan adalah yang panjang dan membosankan.”
Abdullah bin Mas’ud ra. memberi nasehat kepada masyarakatnya setiap
hari Kamis. Ada seseorang yang berkata, “Wahai Abu Abdir Rahman, saya
berharap engkau member asehat kepada kami setiap hari.” Beliau
berkata, “Ketahuilah, bahwa sesungguhnya yang menghalangiku untuk itu
karena aku tidak suka membuat kalian bosan.” Selanjutnya ia berkata,
“Aku selalu memilih waktu untuk kalian dalam memeri nasehat,
sebagaimana Nabi saw. memilih waktu untuk kami dalam member
nasehat karena khawatir membuat jenuh atas kami.” (Muttafaq `alaih)
Dari `Ammar bin Yasir ra. berkata, Aku mnedengar Rasulullah saw.
bersabda, “Sesungguhnya panjangnya shalat seseorang dan pendeknya
khutbah, merupakan bukti kemantapan pemahamannya. Maka
panjangkan shalat dan pendekkan khutbah!” (HR. Muslim)
4. Ucapan harus bagus, tidak kotor dan munkar (jahat).
Rasulullah saw. bersabda:
“Setiap ucapan anak Adam mencelakakannya, bukan menguntungkan,
kecuali perintah untuk kebaikan, mencegah kemungkaran dan dzikrullah.”
2
Agar ucapan kita selalu bagus dan menambah pahalaserta tidak
menambah dosa, maka kita harus menjaga hal-hal berikut:
a. Setiap pembicaraan kita agar selalu membawa unsur perintah
shadaqah, atau berbuat baik, atau perdamaian bagi manusia. Allah
ta’ala berfirman:
“Tiada kebaikan dalam banyak pertemuan mereka, kecuali orang yang
memerintahkan shadaqah, atau kebaikan, atau perdamaian bagi
manusia. Dan barangsiapa melakukan hal itu untuk ,mencari ridha
Allah, maka niscaya Kami memberinya pahala yang besar. (QS. An-
Nisa’:114)”
b. Meninggalkan pembicaraan yang bukan kepentingan kita untuk
membicarakannya.
Rasulullah saw. bersabda, “Di antara bagusnya seseorang adalah, ia
tinggalkan sesuatu yang tidak ia ada kepentingan dengannya.” (HR.
Turmudzi)
c. Menjauhi ucapan yang sia-sia dan tidak bermanfaat.
Allah berfirman, Sungguh beruntunglah orang-orang yang beriman.
Yaitu orang-orang yang dalam shalatnya selalu khusyu’. Dan orang-
orang yang dari hal yang tidak berguna mereka selalu berpaling. (QS.
Al-Mu’minun:1-3)
Rasulullah saw. bersabda, sungguh seorang hamba ketika
mengucapkan suatu ucapan, tidak lain hanya untuk membuat orang
lain tertawa, ia bisa jatuh di neraka lebih jauh antara langit dan bumi.
(HR. Baihaqi)
d. Menyebar-luaskan salam.
Rasulullah saw. bersabda,
“Wahai manusia sebar-luaskan salam, sambunglah silaturrahim,
berikan makanan, dan shalatlah malam ketika manusia tertidur niscaya
kalian akan masuk surge dengan selamat.” (HR. Turmudzi)
e. Menahan diri dari ucapan jahat yang tidak membawa kemaslahatan.
Allah swt. berfirman, Janganlah berdebat dengan Ahli Kitab kecuali
dengan cara yang baik, kecuali dengan orang yang zhalim di antara
mereka. (QS. Al-Ankabut:46)
Dalam hadits Aisyah ra. dia berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda,
Sesungguhnya sejahat-jahat manusia kedudukannya di sisi Allah pada
3
hari Kiamat adalah orang yang ditinggalkan masyarakatnya karena
menghindari ucapan jahatnya. (HR. Bukhari)
f. Bersabar dalam berdialog dengan orang-orang bodoh (jahil). Hal ini
tidak berarti menerima kehinaan, akan tetapi bisa menahan diri di
hadapan faktor-faktor yang memancing emosi dan mencegah diri dari
marah, sukarela atau pun terpaksa.
Allah swt. berfirman, Dan hamba-hamba Allah yang Maha Rahman
mereka itu berjalan di muka bumi dengan rendah hati. Dan apabila
diajak bicara oleh orang-orang yang bodoh (jahil) mereka berkata,
‘selamat.’ (QS. Al-Furqan:63)
Dan Allah memerintahkan kepada Nabi Musa dan Harun as, Pergilah
kalian kepada Fir’aun sesungguhnya dia itu melampaui batas. Maka
katakanlah kepadanya perkataan yang lembut.
Dari Abu Huraiarh ra., ia berkata bahwa ketika Rasulullah saw. sedang
duduk bersama para sahabatnya, ada seseorang mencaci Abu Bakar
ra. dan menyakitinya, tetapi Abu Bakar tetap diam. Lalu ia
mneyakitinya yang kedua kali dan Abu Bakar pun tetap diam.
Kemudian ia menyakitinya yang ketiga kali, maka Abu Bakar membela
diri. Ketika itulah Rasulullah saw. bangkit meninggalkan manjlis. Abu
Bakar bertanya, “Apakah negkau mendapati suatu dosa atas diriku,
wahai Rasulullah?”
Rasulullah saw. menjawab, Ada malaikat turun dari langit mendustakan
orang itu terhadap apa yang ia ucapkan kepadamu. Namun ketika
kamu membela diri, setan pun dating, maka aku tidak mau duduk di
sini ketika setan dating. (HR Abu Dawud)
g. Menjauhi perdebatan, baik dalam kebenaran maupun dalam kebatilan,
karena hal itu akan menimbulkan keinginan mencari menang dalam
diri dan lebih suka berapologi daripada menampakkan kebenaran.
Rasulullah saw. bersabda,
“Tidakkah suatu kaum tersesat settelah berpegang kepada kebenaran
kecuali mereka diberi kegemaran berdebat.” (HR Turmudzi, Ibnu Majah
dan Ahmad)
Rasul saw. bersabda, “Aku pemimpin sebuah rumah di dalam surga
bagi orang yang meninggalkan perdebatan meskipun dia yang benar.
Dan aku pemimpin sebuah rumah di tengah surga bagi orang yang
meninggalkan dusta meskipun bercanda. Dan aku pemimpin sebuah
4
rumah di puncak surga bagi orang yang akhlaknya baik.” (HR Abu
Dawud)
h. Menjauhi tempat-tempat kejahatan. Yaitu tempat dilakukannya
kemungkaran atau dibicarakan di dalamnya ucapan yang menghina
atau melecehkan Allah, Rasul-Nya dan orang-orang beriman. Allah swt.
berfirman,
“Dan apabila kamu melihat orang-orang yang memperolok-olokkan
ayat-ayat Kami maka tinggalkanlah mereka sehingga mereka
membicarakan yang lain. Dan jika syetan menjadikan kamu lupa (akan
larangan ini) maka janganlah kamu duduk bersama orang-orang yang
zhalim sesudah teringat larangan itu.” (QS. Al-An’am:68)
Dan Allah swt. berfirman, Celakalah bagi setiap pengumpat dan
pencela (QS. Al-Humazah:1)
Rasulullah saw. bersabda,
“Tidaklah pantas seorang mukmin pencaci maki, pelaknat, suka
berkata keji, dan suka berkata jorok.”
Rasulullah saw. bersabda, “Tidak ada kata keji dalam sesuatu kecuali
ia akan merusaknya. Dan tidaklah ada sifat malu dalam sesuatu
melainkan ia akan menghiasinya.” (HR Turmudzi)
ADAMUL ISTIMA’
1. Diam dan mendengarkan sehingga ucapan tidak bercampur baur dan sulit
dipahami.
Allah swt. berfirman,
“Dan apabila dibacakan Al Qur’an maka dengarkanlah baik-baik dan
perhatikan lah dengan tenang agar kalian mendapatkan rahmat.” (QS. Al-
A’raf:204)
Dari Jair bin Abdullah ra., ia berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda
kepadanya di Haji Wada’, “Perintahkan manusia untuk tenang.” Kemudian
beliau bersabda,
“Janganlah kalian kembali sesudahku menjadi orang0orang kafir, sebagian
kalian memenggal leher yang lain.” (Muttafaq `alaih)
Dari Anas bin Malik ra., bahwa Rasulullah saw. member wasiat kepada Abu
Dzar ra. Beliau saw. bersabda,
“Hendaklah kamu berakhlaq mulia dan banyak diam, karena demi Dzat
Yang jiwaku ada di tangan-Nya, tidak ada perhiasan bagi seluruh makhluk
5
yang serupa dengan keduanya.” (HR Ibnu Abid Dunya, Bazzar, Thabrani
dan Abu Ya’la)
Abdullah bin Mas’ud ra. berkata, “Demi Dzat Yang jiwaku ada di tangan-
Nya, tidak ada sesuatu di atas bumi yang lebih perlu untukdtahan lama
selain lidah.” (HR Turmudzi)
2. Tidak memenggal ucapan orang lain karena tergesa-gesa atau ingin
menguasai kendali forum. Sehingga keinginan Rasulullah saw.
untuksegera menghafal Qur’an, dilarang oleh Allah dalam firman-Nya:
“Dan janganlah kamu menggerakkan lidahmu untuk membaca Al Qur’an
karena kamu hendak cepat-cepat menguasainya.” (QS. Al-Qiyamah:16)
3. Menghadapkan wajah kepada pembicara dan tidak berpaling darinya atau
membuat orang lain berpaling darinya, selama dalma rangka taat kepada
Allah, meskipun ucapan kurang membawa daya tarik atau bahasanya
kurang indah dan kurang lancer.
Rasulullah saw. bersabda,
“Janganlah kamu meremehkan suatu kebajikan, meskipun sekedar wajah
berseri ketika engkau bertemu saudaramu.” (HR Muslim)
4. Tidak menampakkan sikap berbeda karena ucapan saudara kita, meskipun
kita sudah lebih tahu, selama pembicara tidak bersalah dalam berbicara.
Rasulullah saw. pernah meminta Ibnu Mas’ud ra. untuk membacakan Al-
Quran kepadanya, maka ia menjawab, “Aku membaca untuk Anda padhal
ia turun kepada Anda?” Beliau menjawab, Aku sungguh senang
mendengar Al-Quran itu dari orang lain.
Imam Ahmad bin Hambal pernah mendengarkan nasihat Al_Muhasibi,
sampai beliau memperhatikannnya dengan tenang dan akhirnya beliau
menangis sampai basah jenggotnya.
5. Tidak menampakkan kepada para hadirin bahwa kamu adalah orang yang
lebih `alim dibandingkan si pembicara, karena hal itu akan menyebabkan
kamu bersikap sombong (takabbbur). Rasulullah saw. besabda,
“Kesombongan adalah sikap angkuh kepada kebenaran dan meremehkan
orang lain.”
6