abstrak-daftar pustaka.docx

21
ABSTRAK Al-Qur’an adalah kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. melalui malaikat Jibril dengan menggunakan bahasa arab. Namun Islam tidak hanya berkembang di jazirah Arab. Sehingga bukan hanya orang Arab yang membaca Al-Qur’an tersebut. Al-Qur’an tidak hanya wajib dibaca tetapi juga dikaji, difahami, dan diamalkan. Oleh sebab itu tidak hanya cukup hanya membaca Al-Qur’an, tetapi mentadaburinya agar kita mampu menyerap pesan-pesan Allah yang disampaikan didalam Al-Qur’an. Bagi bangsa non-Arab menerjemahkan Al-Qur’an adalah pintu untuk mentadaburi Al-Qur’an. Namun hal ini menjadi problem yang banyak dibicarakan. Yaitu adanya pelarangan penerjemahan Al-Qur’an ke bahasa lain. Di Asia Tenggara, Al-Quran juga sudah pula diterjemahkan dalam bahasa rumpun melayu seperti Indonesia, Malaysia, dan Brunei Darussalam. Tak hanya itu, penerjemahan Al-Quran juga dilakukan dalam rumpun lokal, seperti penerjemahan kedalam bahasa sunda, madura, melayu, jawa dan yang lainnya.

Upload: julian-quinta-ibnaturrazaq

Post on 06-Apr-2016

216 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: abstrak-daftar pustaka.docx

ABSTRAK

Al-Qur’an adalah kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad

SAW. melalui malaikat Jibril dengan menggunakan bahasa arab. Namun Islam tidak

hanya berkembang di jazirah Arab. Sehingga bukan hanya orang Arab yang membaca

Al-Qur’an tersebut. Al-Qur’an tidak hanya wajib dibaca tetapi juga dikaji, difahami,

dan diamalkan. Oleh sebab itu tidak hanya cukup hanya membaca Al-Qur’an, tetapi

mentadaburinya agar kita mampu menyerap pesan-pesan Allah yang disampaikan

didalam Al-Qur’an. Bagi bangsa non-Arab menerjemahkan Al-Qur’an adalah pintu

untuk mentadaburi Al-Qur’an. Namun hal ini menjadi problem yang banyak

dibicarakan. Yaitu adanya pelarangan penerjemahan Al-Qur’an ke bahasa lain.

Di Asia Tenggara, Al-Quran juga sudah pula diterjemahkan dalam bahasa

rumpun melayu seperti Indonesia, Malaysia, dan Brunei Darussalam. Tak hanya itu,

penerjemahan Al-Quran juga dilakukan dalam rumpun lokal, seperti penerjemahan

kedalam bahasa sunda, madura, melayu, jawa dan yang lainnya.

Perkembangan tafsir di Indonesia amatlah lambat. Hal ini merupakan salah

satu penyebab dari Pelarangan penerjemahan Al-Qur’an di Indonesia. Terlebih

bangsa Indonesia mengenal huruf latin jauh setelah Islam masuk ke Nusantara.

Akibatnya tafsir-tafsir yang lahir di Indonesia adalah tafsir dengan bahasa melayu

yang menggunakan Arab pegon.

Page 2: abstrak-daftar pustaka.docx

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian dan Jenis-Jenis Terjemah

Terjemah menurut etimologi mengandung empat makna yang terkait1 :

1. Menyampaikan berita kepada yang terhalang menerima berita

2. Menjelaskan maksud kalimat dengan cara menggunakan bahasa aslinya

3. Menjelaskan maksud dari suatu kalimat dengan perantaraan bahasa lainnya

4. Alih bahasa, yaitu pengalihan makna atau amanat dari bahasa tertentu ke

bahasa lainnya.

Secara ternimologi, terjemah adalah ungkapan makna dari bahasa

tertentu ke bahsa lain sesuai dengan maksud yang terkandung dalam bahsa

tertentu tersebut2.

Ada dua macam jenis Terjemah. Terjemah hatfiyah dan Terjemah

Maknawiyah.

1. Terjemah Harfiyah

Terjemah harfiyah ialah pengalihan bahasa yang dilakukan sesuai

urut-urutan kata basa sumber. Menurut Az- Zarqani, terjemah seperti ini tidak

ubahnya dengan kegiatan mencari padanan kata.terjemah seperti ini disebut

dengan terjamahan Lafdziah

2. Terjemah Maknawiyah

Ialah alih bahasa tanpa terikat dengan urut- urutan kata atau susunan

kalimat bahasa sumber. Yaitu mengutamakan ketepatan makna dan maksud

1 Ismail Lubis, Falsifikasi Terjemahan Al-Quran, (Jogjakarta: Tiara Wahana 2001), h. 572 Ismail Lubis, Falsifikasi Terjemahan Al-Quran, h. 60

Page 3: abstrak-daftar pustaka.docx

secara sempurna dengan konsekuensi terjadi perubahan susunan kata atau

kalimat3

B. Sejarah Penerjemahan Al-Qur’an di Indonesia

Penerjemahan Alquran  ke dalam bahasa  Melayu telah dilakukan

sejak pertengahan abad ke-17 M. Adalah  Abdul Ra'uf Fansuri, seorang ulama

dari Singkel (sekarang masuk wilayah Aceh) yang pertama kali

menerjemahkan Alquran secara lengkap di bumi Nusantara.

Meski terjemahannya boleh disebut kurang sempurna dari ditinjauan

ilmu bahasa Indonesia modern, Abdul Ra'uf Fansuri bisa dikatakan sebagai

tokoh perintis penerjemahan Alquran berbahasa Indonesia. Setelah munculnya

terjemahan Alquran karya Abdul Ra'uf Fansuri, hampir tak ditemukan lagi

terjemahan Alquran dalam bahasa Indonesia hingga abad ke-19 M.

Abdur Ra’uf  menimba di Arab Saudi sejak 1640. Ia kembali ke Tanah

Air pada 1661. Ulama terkemuka itu lalu menerjemahkan Alquran ke dalam

bahasa Melayu dalam tafsir Tarjuman al-Mustafid.  Tafsir Alquran pertama di

Nusantara itu disambut umat Islam yang bersemangat mempelajari dan

memahami isi ajaran Alquran.

Selain di Indonesia, tafsir tersebut juga digunakan oleh umat Islam di 

Singapura dan Malaysia. Tafsir itu pernah diterbitkan di Singapura, Penang,

Bombay, Istanbul (Matba’ah al-usmaniah, 1302 H/ 1884 M dan 1324 H/ 1906

M), Kairo (Sulaiman al-Maragi), serta  Makkah (al-Amiriah).

Sedikitnya ada dua pendapat besar mengenai tafsir yang ditulis Abdul

Ra’uf itu. Pertama, orientalis asal Belanda, Snouck Hurgronje menganggap

bahwa terjemah tersebut lebih mirip sebagai terjemahan tafsir al-Baidaiwi.

Rinkes, murid Hurgronje, menambahkan bahwa selain sebagai terjemahan

tafsir al-Baidawi,  karya ulama asal Aceh itu juga mencakup terjemahan tafsir

Jalalain. 3 Ismail Lubis, Falsifikasi Terjemahan Al-Quran, h. 61

Page 4: abstrak-daftar pustaka.docx

Kedua,  Riddel dan Harun memastikan bahwa Tarjuman Al-Mustafid

adalah terjemahan tafsir Jalalain, hanya pada bagian tertentu saja tafsir

tersebut memanfaatkan tafsir al-Baidaiwi dan tafsir al-Khanzin.  Abdul Ra’uf,

menurut kedua ahli itu, cenderung memilih tafsir Jalalain. Secara emosional,

Singkel memiliki runtutan sanad itu dapat ditelusuri melalui gurunya, baik al-

Qusyasyi maupun atau al-Kurani.

Menurut Azyumardi Azra, Abdul Ra’uf menulis terjemahan Alquran

ke dalam bahasa Melayu dalam perlindungan dan fasilitas penguasaan Aceh,

ketika itu. Ia sangat yakin, karya besar itu ditulis di Aceh. Tarjuman Mustafid 

karya Abdul Ra’uf merupakan salah satu petunjuk besar dalam sejarah

keilmuan Islam, khususnya tafsir di tanah Melayu.

Penerjemahan generasi kedua  di Indonesia muncul pada pertengahan

tahun 60-an. Baru di awal abad ke-20 M, sejumlah karya-karya terjemahan

Alquran lengkap dengan tafsirnya dibuat. Di antara karya-karya tersebut

adalah Al-Furqan oleh A Hassan dari Bandung (1928), Tafsir Hidayatur

Rahman oleh KH Munawar Chalil, Tafsir Qur'an Indonesia oleh Mahmud

Yunus (1935), Tafsir Al-Qur’an oleh H Zainuddin Hamid cs (1959), Tafsir

Al-Qur’anil Hakim oleh HM Kasim Bakry cs (1960).

Munculnya terjemah atau tafsir lengkap, menandai lahirnya generasi

ketiga pada tahun 70-an. tafsir generasi ini biasanya memberi pengantar

metodologis serta indeks yang akan lebih memperluas wacana masing-

masing. tafsir An-Nur/Al-Bayan (Hasbi Ash-Shiddieqi, 1966), Tafsir Al-

Azhar (Hamka, 1973), Tafsir Al-Quranul Karim (Halim Hasan cs, 1955)

dianggap mewakili generasi ketiga.

Kendati karya-karya terjemahan Alquran berbahasa Indonesia masih

terbilang sedikit, namun pemerintah Republik Indonesia menaruh perhatian

besar terhadap terjemahan Alquran ini. Hal ini terbukti bahwa penerjemahan

Alquran  masuk dalam Pola I Pembangunan Semesta Berencana, sesuai

dengan keputusan MPR.

Page 5: abstrak-daftar pustaka.docx

Untuk melaksanakan program ini Kementerian Agama pada masa itu

telah membentuk sebuah lembaga Yayasan Penyelenggara Penterjemah /

Penafsir Alquran yang diketuai oleh Prof RHA Soenarjo SH, mantan Rektor

IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, waktu itu. Tim ini beranggotakan para

ulama dan para sarjana Islam yang mempunyai keahlian dalam bidangnya

masing-masing.4

C. Problematika Penerjemahan Al-Qur’an

“ Menerjemahkan Alquran selalu menjadi sebuah problematika dan

isu  yang sulit dalam teologi Islam. Karena Muslim menghormati Alquran

sebagai mukjizat dan tak bisa ditiru. Terlebih,  kata-kata dalam Alquran

memiliki berbagai arti tergantung pada konteks, sehingga untuk membuat

sebuah terjemahan yang akurat amatlah sulit.” Menurut Afnan Fatani (2006)

dalam "Translation and the Qur'an" yang dikutip oleh Nidia Zuraya pada

sebuah artikel di media elektronik Republika.

Ziyadul Ul Haq dalam bukunya Psikologi Qurani, mengatakan bahwa:

menerjemahkan Alquran bukanlah usaha untuk menduplikasi atau mengganti

teks Alquran yang asli. Kedudukan terjemahan dan tafsir yang dihasilkan

manusia tidak sama dengan Alquran itu sendiri. Keaslian dan kemurnian

Alquran dijaga oleh tangan Ilahi. ‘’Sesungguhnya Kami-lah yang

menurunkan Alquran, dan sesungguhnya kami benar-benar memeliharanya.’’

(QS Al-Hijr [15]:9). Usaha manusia dalam menterjemahkan bahasa ilahiyah

sangat tergantung pada kapasitas manusia itu sendiri.5

Para ulama Islam tidak pernah menganjurkan upaya penerjemahan Al-

Qur’an. Bahakan sebagian mereka melarang dan mengharamkannya. Inilah

4 Nidia Zuraya, http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/khazanah/12/04/17/m2mmqq-jejak-penerjemahan-alquran-di-indonesia , diakses 17 April 2012, jam 20:56 WIB.5 Nidia Zuraya, http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/khazanah/12/04/17/m2m933-melacak-sejarah-penerjemahan-alquran, diakses 17 April 2012, jam 16:01WIB.

Page 6: abstrak-daftar pustaka.docx

yang menjelaskan mengapa terjemahkan Al-Qur’an dilakukan pertama kali

orang-orang non-Muslim, khususnya di Eropa, dan bukan oleh orang-orang

Islam. Namun, memasuki zaman modern, upaya penerjemahan Al-Qur’an

tidak bisa lagi di bending. Seperti dijelaskan dengan sangat bagus oleh

M.Ayoub, upaya penerjemahan Al-Qur’an ke bahasa non-Arab pada mulanya

sebuah kebutuhan untuk membendung missionaris Kristen. Kaum muslimin

do Negara-negara no n-Arab merasa kesulitan berinteraksi langsung dengan

kitab suci mereka, sementara para missionaris secara gencar menyebarluaskan

kitab suci dengan bahasa lokal dimana kaum Muslim tinggal. Untuk

menandingi misionaris, para ulama akhirnya memperbolehkan penerjemahan

Al-Qur’an.6

Alasan para ulama tidak pernah menganjuran upaya penerjemahan Al-

Qur’an adalah…………………………..

Kendati demikian, upaya penerjemahan Al-Qur’an selalu dikontrol

secara ketat. Negara selalu mengambil peran dalam melakukan

“penerjemahan resmi”, sementara upaya-upaya penerjemahan individual tidak

pernah digalakan, dan kalau perlu dilarang. Kasus terjemahan al-quer’an ke

dalam bahasa inggris oleh Rashad Khalifa (The Qur’an: The Final Scripture)

dan kedalam bahsa Indonesia oleh H.B. Jassin (Al-Qur’an berwajah puisi)

adalah contoh betapa penerjemahan Al-Qur’an secara individual bisa

membahayakan pelakunya. Diatas ini semua, perlu digaris bawahi bahwa para

ulama Islam hampir sepakat bahwa terjemahan Al-Qur’an sesungguhnya

bukanlah Al-Qur’an. Al-Qur’an itu, menurut mereka, untrestable, tidak bisa

diterjemahkan. Pesannya jelas bahwa Al-Qur’an dalam bahasa arab adalah

sesuatu yang agung, yang suci, yang tak terwakili oleh bahasa non-Arab. 7

Di Indonesia terjemahan Al-Quran telah menjadi bagian dari isu tabu

dan sensitif bagi kaum muslim. R.A kartini (1879-1904) dalam suratnya

6 Ulil Abshar Abdalla dkk, Metodologi Studi Al-Quran (Jakarta: Gramedia, 2009), h.26-277 Ulil Abshar Abdalla dkk, Metodologi Studi Al-Quran, h.28

Page 7: abstrak-daftar pustaka.docx

tanggal 6 November 1899 sempat mengeluhkan tentang “terlalu sucinya” Al-

Quran pada masanya untuk diterjemahkan kedalam bahasa apapun. Sekitar

1909, Sayyid Uthman, seorang mufti polemis Batavia yang dekat dengan

kolonial Belanda secara terbuka menyebarkan pamflet untuk merespon usulan

terjemah berbahasa Jawa. Sekitar tahun 1925, msalh terjemah juga muncul

dalam fatwa Rasyid Ridha di majalah Al- Manar Mesir terkait perkataan

Basyuni Imran dari Sambas Kalimantan Barat mengenai upaya H.O.S

Tjokroaminato yang menerjemahkan The Holy Al-Quran karya Muhammad

Ali , ulama Ahmadiyah kealam bahasa melayu Indonesia. Di Priangan,

Ahmad Sanusu juga pernah memicu perdebatan tentang masalah terkait

penolakan ulama Pakauman terhadap karangannya berupa Tafsir berbahasa

Melayu “Tamsjijjatoel Moeslimin” tahun 1934. Berbagai kasus tersebut

menunjukkan bahwa pada masa dahulu terjemah umumnya masih dianggap

tabu oleh ulama Indonesia, setidaknya hingga paruh Abad ke-20. Penolakan

ulama atas terjemah didasarkan bahwa terjemah dianggap sesuatu yang

mustahl karena tidak bisa menggantikan Bahasa Arab Al-Quran . bisa

dipahami bawa kemudian terjemah non-Arab dihukumi Haram.8

Contoh mufasir di Indonesia yang menerjemahkan Al-Qur’an ke

bahasa melayu dan tulisan Arab pegon adalah H. Ahmad Sanusi yang

menyajikan tafsir dengan dua bahasa yakni bahasa arab yang didampingi arab

latin dengan tafsirnya Tamsiyatul Muslim. Hal ini menuai banyak kritik dari

kalangan yang berbeda. Karena pada saat itu penerjemahan Al-Qur’an dengan

penulisan arab latin dianggap menyimpang ajaran Rosululloh SAW.

H. Mansoer dan H. Oesman yang menyatakan bahwa tafsir hasil karya

beliau tak lebih dari sebuah kebohongan belaka. Hal ini didasarkan pada

kenyataan bahwa beliau menulis Al-Qur’an dengan huruf latin. Kenyataan ini,

akhirnya akan memecah belah umat muslim, sebagai tindakan prefentif, kedua

8 Jajang A Rohmana. Sejarah Tafsir Al-Quran ditatar Sunda, (Bandung: Mujahid Press, 2014), h.71

Page 8: abstrak-daftar pustaka.docx

ulam tersebut, mengharamkan penulisan Al-Qur’an dengan menggunakan

bahasa Hindie (Latin).

Sebab itu H. Ahmad Sanusi menjelaskan dengan beberapa uraian

berikut ini:

1. Penulisan Qur’an dengan huruf latin bukanlah tindak kesewenangan beliau

secara individu, tetapi sudah merupaka ijma dari para ulama. Selain itu,

penulisan Al-Qur’an dengan tulisan latin, tidak merubah dzat, lafadz, kalimah

ataupun hakikat ayat yang ditulis.

2. Penulisan sahabat, Tabi’in dan ulama pada kurun abad pertama sampai

disusunnya tafsir ini dengan memakai bahasa arab, tidak bisa dijadikan alasan

untuk menolak penulisan Al-Qur’an dengan huruf latin. Karena Islam telah

menetapkan, apapun pekerjaan yang telah dilakukan oleh sahabat, tabiit dan

tabi’in itu tidaklah wajib. Bahakan Ibnu Hazim berkata: “perbuatan-perbuatan

Nabi itu bukanlah wajib dan bukanlah fardu, kecuali ia mengandung perintah-

perintah dari Allah.”

3. Sesuatu yang wajib itu seyogyanya didukung oleh ayat Al-Qur’an ataupun

hadits, sedang perkara yang diharamklan harus pula memiliki bukti

pengharamnya dari Al-Qur’an ataupun hadits, selain itu perkara-perkara yang

tidak ada perintah ataupun larangannya dari Qur’an atau haidits, maka itu

namanya masqut ‘an-hu/ ‘afiyah.9

Penulisan Qur’an dengan huruf latin bukanlah tindak kesewenangan,

tetapi sudah merupaka ijma dari para ulama. Selain itu, penulisan Al-Qur’an

dengan tulisan latin, tidak merubah dzat, lafadz, kalimah ataupun hakikat ayat

yang ditulis.

D. Pengaruh Pelarangan Penerjemahan Al-Qur’an pada Perkembangan

Tafsir di Indonesia9 Rosihon Anwar, Kumpulan Makalah Sejarah Tafsir Indonesia

Page 9: abstrak-daftar pustaka.docx

Akibat dari adanya pelarangan penerjemahan Al-Qur’an ini sangat

dirasakan pada perkembangan tafsir di Indonesia. Karena adanya pelarangan

penerjemahan maka tidak banyak ulama Islam di Indonesia yang berani

menafsirkan Al-Qur’an dengan bahasa melayu Karena alasan melanggar titah

Nabu dan pada akhirnya dianggap menyesatkan. Sebab itu perkembangan

tafsir di Indonesia sangatlah lambat. Bisa dirsakan jarak dari masuknya Islam

ke Indonesia dengan produk tafsir Indonesia. Islam masuk ke Indonesia pada

abad ke-13, sedangkan produk tafsir baru ada pada abad ke- 19/20-an. Contoh

produk tafsir berbahasa melayu di abad ke-19 adalah Tarjuman al-

Mustafid karya Syeikh Abdurrauf as-Sinkili yang di terbitkan di Istanbul.

Adanya serapan dari bahasa Arab ke dalam bahsa Indonesia

merupakan pengaruh dari hal tersebut. Banyak kata bhas Arab didalam Al-

Qur’an yang tidak dapat diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia karena

kedalaman maknanya. Hari ini beberapa mufasir memakai pendekatan

semantic untuk memahami makan dari kata tersebut.

E. Hukum Menerjemahkan Maknawi dan Fatwa Larangan Terjemah

Harfiyah Al-Qur’an

Dalam menetapkan hukum menerjemahkan Al- Qur’an, ada empat

konotasi yang muncul dari kata “ Menerjemahkan Al- Qur’an”, yakni :

1. Hukum menerjemahkan Al- Qur’an dengan pengertian menyebarluaskan

ayat-ayatnya ( tabligu alfazihi )

2. Hukum menerjemahkan Al- Qur’an dengan pengertian menafsirkannya

dalam bahasa sumber ( tafsiratuhu bilugatihi al- arabiah ).

3. Hukum menerjemahkan Al- Qur’an dengan pengertian menafsirkannya

dalam bahasa penerima ( tafsiratuhu bilugah ajnabiah).

4. Hukum menerjemahkan Al- Qur’an dengan pengertian alih bahasa ( naqluhu

ila lugah ukhra ).

Page 10: abstrak-daftar pustaka.docx

5. Pembahasan dalam penelitian ini terbatas pada nomor tiga dan empat, dengan

alasan nomor satu merupakan bagian dari pengumpulan dan pembukuan ayat-

ayat Al- Qur’an, sedangkan nomor dua bagian dari penafsiran.

6. Menerjemahkan Al- Qur’an dengan pengertian menafsirkan nya dalam bahasa

penerima

7. Menerjemahkan Al- Qur’an dengan pengertian menafsirkan nya dalam bahasa

penerima, atau dengan kata lain menjelaskan kandungan ayat-ayat Al-Qur’an

dengan menggunakan bahasa selain bahasa sumber, hukumnya sama dengan

hukum menafsirkan Al- Qur’an dalam bahasa sumber bagi orang yang mampu

memahami bahasa sumber, yakni wajib, setidak- tidaknya sunat.10 dalil yang

dipergunakan untuk mendukung pernyataan ini ialah dalil tentang

menafsirkan Al- Qur’an dalam bahasa sumber bagi orang yang mampu

memahami bahasa sumber tersebut, yakni :

اليهم ل نز سما للنا لتبين كر لذ ا اليك لنا نز ا 11 و

“ Kami turunkan kepadamu Al- Qur’an agar kamu menerangkan kepada umat

manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka ( perintah-perintah,

larangan-larangan, aturan- aturan, dan lain-lain yang terdapat di dalam

AlQur’an)”.

Dalil ini berlaku dengan alasan bahwa menafsirkan Al- Qur’an dengan

memakai bahasa yang dipahami oleh penerima sama dengan menafsirkannya dalam

bahasa sumber buat orang yang memahaminya. Jadi, bukan semata-mata alih bahasa

Al- Qur’an.

8. Menerjemahkan Al- Qur’an dengan pengertian alih bahasa

10 Ismail Lubis, Falsifikasi Terjemahan Al-Quran, (Jogjakarta: Tiara Wahana 2001), h. 5711 Q.S. 16: 144

Page 11: abstrak-daftar pustaka.docx

Secara ringkas menerjemahkan Al- Qur’an disini dapat didefinisikan: Alih

bahasa Al- Qur’an dari bahasa Arab ke bahasa lain. Secara lebih panjang dapat

didefinisikan: Mengungkapkan makna dan maksud ayat- ayat Al-Qur’an dengan

bahasa lain

Apabila bentuk terjemahannya sesuai dengan urutan kata dan kalimat bahasa

sumber, terjemahannya disebut terjemahan harfiah, atau musawiah. Kalau tidak,

disebut terjemahan tafsiriah atau maknawiah.

Realisasi penerjemahan Al- Qur’an dengan pengertian seperti pada nomor

dua, mustahil menurut hukum adat dan hukum syar’i. Artinya, secara adat

pelaksanaan model terjemahan seperti ini tidak mungkin, dan secara syari’ah ( hukum

Islam) mencobanya juga sudah haram.

Farid Wajdi, menunjukkan bahwa menerjemahkan makna atau maani Al-

Quran itu diizinkan. Terjemahan Al-Quran secar sederhana tidak merepresentasikan

kata-kata manusia (kalam Annas), karena sekalipun idak mengandung kalam Allah

secra harfiyah, kandungan terjemahan terdiri dari makna kata-kata Tuhan.12

Adapun fatwa ulama’ Saudi yang diketuai Syaikh Bin Baz tentang keharaman

penerjemahan Al-Qur’an secara harfiyah adalah sebagai berikut:

Menerjemahkan Al-Qur’an atau beberapa ayat, untuk menjelaskan yang

dimaksud Al-Qur’an secara utuh, tidak mungkin. Oleh karena itu, menerjemahkan

Al-Qur’an atau beberapa ayat secara harfiyah tidak boleh, sebab hal ini dapat

menyebabkan pengertian yang salah, dan penyimpangan dari maksud sebenarnya.

Seseorang menerjemahkan suatu ayat atau lebih yang dipahaminya, dan

menjelaskan hukum serta tuntunan Al-Qur’an yang dipahaminya dalam bahasa

Inggris, Prancis atau Persia, untuk menyebarkan pengertian Al-Qur’an yang

dipahaminya, dan mengajak manusia kepada Al-Qur’an. Hal demikian dibolehkan, 12 Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah Al-Quran,(Jakarta: Pustaka Alfabet,2005), h. 399

Page 12: abstrak-daftar pustaka.docx

sebagaimana orang menafsirkan Al-Qur’an atau beberapa ayat yang dipahaminya

dalam bahasa Arab. Akan tetapi yang bersangkutan harus memenuhi syarat sebagai:

ahli tafsir Al-Qur’an, mampu menjelaskan aspek hukum dan tuntunan Al-Qur’an

secara cermat dengan pemahaman yang diperolehnya dari Al-Qur’an.

Maka siapa saja yang tidak memenuhi persyaratan ini, atau tidak memiliki

kemampuan untuk menjelaskan maksud Al-Qur’an, baik dalam bahasa Arab atau Non

Arab secara cermat, maka dia tidak boleh melakukan usaha ini. Karena dikhawatirkan

merubah makna Al-Qur’an dari maksud yang sebenarnya, sehingga yang semula

maksudnya baik menjadi tidak baik. Dan keinginannya yang semula baik menjadi

buruk. 

Fatwa tersebut ditambahkan pada Kamis 5 Jumadilakhir  1425 H.  bertepatan

dengan  22 Juli 2004 M. dengan pihak pemberi fatwa: Fatwa Komite Tetap Riset

Ilmiah dan Fatwa. Diterbitkan disitus resmi penerbitan Al-Qur’an di Madinah al-

Munawwaroh (http://www.qurancomplex.org/.

DAFTAR PUSTAKA

Page 13: abstrak-daftar pustaka.docx

Abdalla, Ulil Abshar dkk, Metodologi Studi Al-Quran (Jakarta: Gramedia,

2009).

Anwar , Rosihon, Kumpulan Makalah Sejarah Tafsir Indonesia.

Lubis, Ismail, Salsifikasi Terjemahan Al-Quran, (Jogjakarta: Tiara Wahana

2001)

Rohmana, Jajang A. Sejarah Tafsir Al-Quran ditatar Sunda, (Bandung:

Mujahid Press, 2014).

Zuraya, Nidia,

http://www.republika.co.id/berita/dunia-Islam/khazanah/12/04/17/m2mmqq-jejak-

penerjemahan-alquran-di-indonesia.

Zuraya, Nidia,

http://www.republika.co.id/berita/dunia-Islam/khazanah/12/04/17/m2m933-melacak-

sejarah-penerjemahan-alquran.

Amal, Taufik Adnan, Rekonstruksi Sejarah Al-Quran,(Jakarta: Pustaka

Alfabet,2005).