2. tinjauan pustaka 2.1. state of the art · berkaitan dengan rencana perancangan musem aliran...
TRANSCRIPT
8 Universitas Kristen Petra
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. State Of The Art
Beberapa perancangan museum yang subject dan object matter-nya
berkaitan dengan rencana Perancangan Musem Aliran Kepercayaan di Yogyakarta
antara lain:
1. Penerapan Gaya Desain Modern Natural Pada Perancangan Interior Museum
Teh di Surabaya, Andrie W.L., 2013
Perancangan Museum Teh di Surabaya merupakan salah satu proyek
desain yang bertujuan sebagai wadah dipamerkannya jenis-jenis teh serta sejarah
teh di Indonesia. Ruang lingkup perancangan mencakup museum, workshop dan
perpustakaan mini sebagai sarana edukasi dan fasilitas tambahan berupa kafe dan
giftshop sebagai sarana rekreasi.
Kelebihan perancangan Museum Teh di Surabaya adalah pemanfaatan site
yang dapat mendukung alur sirkulasi dengan maksimal melalui pengaplikasian
sirkulasi dengan jenis linear. Alur sirkulasi linear juga memberikan dampak positif
dalam penyampaian informasi dalam museum mengenai sejarah sehingga konten
yang akan disajikan tersampaikan dengan baik. Museum ini juga memaksimalkan
pencahayaan alami sehingga suasana yang ingin dihadirkan dapat sesuai dengan
konsep yang ditentukan oleh perancangan.
Kelemahan perancangan Museum Teh di Surabaya adalah kurangnya
inovasi desain yang diterapkan di dalamnya. Sistem display yang digunakan terlihat
monoton dan kurang memaksimalkan space yang ada dalam museum sehingga
museum kurang menggambarkan object matter yang dibahas.
2. Perancangan Interior Museum Musik Klasik Berbasis Media Berteknologi
Tinggi Untuk Anak-anak di Surabaya, Sugianto Wijaya, 2013
Kelebihan Perancangan Interior Museum Musik Klasik Berbasis Media
Berteknologi Tinggi Untuk Anak-anak di Surabaya adalah rendahnya biaya
operasional karena penggunaan material non-finishing yang terjadi akibat
penerapan gaya desain industrial. Selain itu, fasilitas yang tersedia di dalam
9 Universitas Kristen Petra
museum ini sudah mewadahi kebutuhan pengguna museum klasik terutama untuk
anak-anak.
Kelemahan Perancangan Interior Museum Klasik Berbasis Media
Berteknologi Tinggi untuk Anak-anak di Surabaya adalah tidak sesuainya hasil
desain akhir terhadap subject dan object matter-nya. Tidak ada gambaran secara
visual yang menunjukkan bahwa ini adalah museum klasik ditambah lagi pemilihan
warna dan gaya desain yang diaplikasikan tidak sesuai dengan target pengunjung,
yaitu anak-anak, karena menggunakan material dengan warna yang monoton dan
bentuk yang statis.
3. Perancangan Interior Museum Songket di Lombok, Melina Agustina T., 2013
Perancangan Interior Museum Songket di Lombok menekankan aspek
informatif, edukatif dan rekreatif dimana disediakan beberapa fasilitas seperti area
lobby, café, souvenir shop, gallery, workshop, perpustakaan, ruang perawatan dan
taman pewarna alam yang menggambarkan segala informasi mengenai tenun
Songket.
Kelebihan Perancangan Interior Museum Songket di Lombok adalah
fasilitas yang disediakan sudah mewadahi aktivitas pengunjung dan pengelola
museum.
Kelemahan Perancangan Interior Museum Songket di Lombok adalah
pemilihan warna dan bentuk yang diaplikasikan pada elemen pembentuk dan
pengisi ruang tidak unity karena p
4. Perancangan Interior Museum Purbakala Di Situs Purbalaka Patiaayam,
Kudus, Jessica Nathania P., 2017
Kelebihan Perancangan Interior Museum Purbakala Di Situs Purbakala
Payiayam Kudus adalah konsep purbakala zaman dahulu yang cenderung kuno
dapat diterapkan dan dikemas secara modern sehingga lebih menarik minat
pengunjung tanpa mengurangi kualitas konten yang disajikan. Fasilitas ruang yang
disajikan memadahi aktivitas pengguna museum dengan memperhatikan alur
sirkulasi yang luas sehingga dengan bentuk site yang melingkar tidak terkesan
sempit.
Kelemahan Perancangan Interior Museum Purbakala Di Situs Purbakala
Payiayam Kudus adalah banyak ruang-ruang yang belum diolah secara maksimal
10 Universitas Kristen Petra
dalam hal pemilihan material dan warnanya karena secara keseluruhan museum
terlihat monoton dan kurang menarik secara visual.
5. Implementasi Konsep East Kalimantan Journey pada Interior Museum Provinsi
Kalimantan Timur “Mulawarman” di Tenggarong, Sherren Presentia G., 2017
Kelebihan Perancangan Interior Museum Provinsi Kalimantan Timur
“Mulawarman” di Tenggarong adalah perancangan mampu menggambarkan
suasana di tiap zona pamer dengan baik dan maksimal. Pengaplikasian alur sirkulasi
merupakan keputusan yang tepat karena mengajak pengunjung untuk menikmati
dan menyerap informasi yang disajikan dalam museum secara keseluruhan dengan
alur yang jelas.
Kelemahan Perancangan Interior Museum Provinsi Kalimantan Timur
“Mulawarman” di Tenggarong adalah sebagian ruang terlihat terlalu gelap. Tidak
adanya signage dalam area pamer sehingga dapat membingungkan pengunjung.
Pembagian zona yang sudah tertata dengan baik pada layout tidak didukung dengan
adanya signage yang baik.
Dari beberapa contoh perancangan di atas, perancang dapat menyimpulkan
bahwa sebagian besar perancangan memiliki kelebihan yang terlihat secara fisik
saja dan tidak ada makna yang mendalam. Sebagian juga ada yang terlalu fokus
terhadap konsep dan tema desain sehingga perancangan yang dihasilkan kurang
menjawab permasalahan desain dengan tepat. Namun, perancangan-perancangan di
atas telah menyediakan fasilitas-fasilitas yang lengkap yang mewadahi seluruh
kebutuhan pengguna dalam beraktivitas dalam museum.
Perancangan Museum Aliran Kepercayaan akan menjadi perancangan
yang tidak hanya fokus terhadap bentuk visual desain saja melainkan memiliki nilai
filosofis dalam desain sehingga mampu memberikan dampak sosial bagi
masyarakat. Perancangan museum ini akan secara tidak langsung memberikan
penakanan terhadap sikap toleransi akan perbedaan kepercayaan dan agama yang
kini kian menipis. Ditambah dengan pemanfaatan media berteknologi tinggi yang
menjadi daya tarik museum sehingga pengunjung dapat tertarik untuk datang ke
dalam museum.
11 Universitas Kristen Petra
2.2. Tinjauan Aliran Kepercayaan
2.2.1. Pengertian Aliran Kepercayaan
Aliran kepercayaan atau bisa juga disebut dengan aliran kebatinan tidak
muncul secara spontan melainkan membutuhkan sebuah perjalanan dan proses yang
panjang sejak ratusan tahun yang lalu. Aliran yang merupakan hasil dari proses
perkembangan budaya di berbagai daerah serta filsafat nenek moyang, yang
kemudian menjadi adat istiadat masyarakat yang dijalankan secara turun temurun
hingga sekarang.
Jumlah dan macam aliran kebatinan selalu bertambah dan berkurang setiap
tahunnya dilihat dari sejarah perkembangan dan kehidupannya. Masing-masing
aliran kepercayaan yang dianut oleh sebagian masyarakat Indonesia memiliki arti
dan definisi yang berbeda-beda sesuai dengan adat yang dianut. Oleh karena itu,
belum ada definisi pasti mengenai aliran kepercayaan. Aliran kepercayaan dapat
juga disebut sebagai kerohaniaan, kejawen, kejiwaan, dan lain sebagainya.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, aliran kepercayaan merupakan
paham yang mengakui adanya Tuhan Yang Maha Esa, tetapi tidak termasuk atau
tidak berdasarkan ajaran salah satu dari keenam agama yang resmi (Islam, Katolik,
Kristen Protestan, Hindu, Buddha, dan Kong Hu Cu).
Menurut Prof. Kamil Kartapradja dari IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
dan Syarif Hidayatullah Jakarta, bahwa aliran kepercayaan adalah keyakinan dan
kepercayaan rakyat Indonesia di luar agama, dan tidak termasuk ke dalam salah
satu agama. Aliran kepercayaan itu ada dua macam:
a. Kepercayaan yang sifatnya tradisional dan animistis, tanpa filosofi dan tidak
ada pelajaran mistiknya, seperti kepercayaan orang-
orang Perlamin dan Pelebegu di Tapanuli.
b. Golongan kepercayaan yang ajarannya ada filosofinya, juga disertai mistik,
golongan inilah yang disebut atau menamakan dirinya golongan kebatinan.
Golongan kebatinan ini dalam perkembangannya akhirnya menamakan dirinya
sebagai Golongan Kepercayaan Kepada Ketuhanan Yang Maha Esa (“Aliran”
par. 1).
12 Universitas Kristen Petra
2.2.2. Sejarah Munculnya Aliran Kepercayaan di Indonesia
Aliran kepercayaan di Indonesia dapat muncul karena disebabkan oleh
pengalaman hidup manusia yang sengsara dan pengalaman manusia untuk
menyelesaikan masalah yang dihadapi bahkan terhadap masalah yang munkin tidak
terpecahkan. Pada dasarnya aliran kepercayaan muncul karena mendapat jawaban
atas permasalahan yang datang dari lingkungan sekitar tempat manusia hidup.
Menurut Rahmat Subagyaimbulnya aliran kepercayaan di Indonesia dapat
diantaranya dapat disimpulkan sebagai berikut:
a. Agama yang mengutamakan aspek lahir seperti mencari kekuasaan, show,
jumlah besar, efek mercusuar, mengeraskan suara dalam bahasa asing (p. 15)
b. Pergeseran kearah formalism dan legalisme (p. 16)
c. Keterasingan budaya karena agama-agama baru menggunakan Bahasa dan
budaya yang lain sama sekali (p.18)
d. Individualisme (p. 20)
e. Tidak merespon kepada akhlak sosial, seperti praktik beragama yang rajin
tetapi tidak peduli pada perilaku yang merugikan banyak orang seperti korupsi
(p. 26)
f. Kecenderungan internasional lahirnya gnotisme yang diakibatkan karena
hancurnya nilai-nilai tradisional (p. 33)
2.2.3. Aliran Kepercayaan di Indonesia
Aliran kepercayaan sudah tersebar di beberapa daerah di Indonesia sejak
ratusan tahun yang lalu. Menurut Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan ada
beberapa aliran kepercayaan yang terdaftar resmi pada instansi pemerintah yang
telah dibagi berdasarkan asal daerahnya (“Aliran Kepercayaan …”, p.1-3):
a. Riau
1. Batin Suku Akit
b. Lampung
1. Paguyuban Pendidikan Ilmu Kerohanian (PPIK)
2. Ilmu Goib
3. Ilmu Goib Kodrat Alam
4. Pendidikan Kerohanian Luhur (PKL)
13 Universitas Kristen Petra
5. Bumi Hantono
c. Sumatra Utara
1. Balai Pustaka Adat Marga Silma (PAMENA)
2. Golongan Siraja Batak
3. Persatuan Ugamo Parmalim Adat Budaya Beringin Indonesia (PAMBI –
PABBI)
4. Purwo Madio Wasono
5. Ugomo Malim (Parmalim)
6. Galih Puji Rahayu
7. Habonaron Do Bona
8. Ilmu Roso Sejati
9. Rumah Sipitu Ruang
10. Persatuan Warga Rahayu Slamet (PWRS)
11. Ugamo Bangso Batak (UBB)
12. Organisasi Siraja Batak
d. Nusa Tenggara Barat
1. Hidup Sejati
2. Sabuk Belo
e. Nusa Tenggara Timur
1. Uis Neno
2. Era Wulan Tana Ekan
3. Jingitiu
4. Marapu
f. Sulawesi Utara
1. Pahmekatan
2. Tonaas Walian
3. Tolottang
g. Bali
1. Budi Suci
2. Sanggar Pengayoman Warga Kebatinan “Majapahit” (Sanggar
Pengayoman Majapahit)
3. Wisnu Budha / Eka Adnyana
14 Universitas Kristen Petra
4. Kekeluargaan
5. Dharma Mukti
6. Paguyuban Penghayat Kuntji
7. Perguruan Tenaga Dalam Bambu Kuning
8. Perguruan Kebathinan dan Kanuragan Surya Candra Bhuana
9. Gereja Adat Musi
10. RAMAI (Rumuat, Ali, Marie, Ayax, Ifrid)
11. Masade
12. KALKIKAN
h. Banten & Jakarta Barat
1. Gayuh Urip Utami (GAUTAMI)
i. DKI Jakarta
1. Budhi Rahayu
2. Aliran Kebatinan Perjalanan
3. Budi Daya
4. Aliran Kepercayaan “Aji Dipa”
5. Buka Salira Pribadi (BUSADI)
6. Kajiwaan Ibu Pertiwi
7. Yayasan Radhasoami Satsang Beas
j. D.I. Yogyakarta
1. Angesti Sampurnaning Kautaman (ASK)
2. Anggayuh Panglereming Nafsu
3. Hak Sejati
4. Hangudi Bawono Tata Lahir Batin
5. Imbal Wacono
6. Kasampurnan Jati
7. Mardi Santosaning Budi (MSB)
8. Ngesti Roso
9. Ngesti Roso Sejati
10. Paguyuban Kawruh Hardo Pusoro
11. Paguyuban Traju Mas
12. PEKKRI – Bondan Kejawen
15 Universitas Kristen Petra
13. Persatuan Eklasing Budi Murko (PEBM)
14. Sumarah Purbo
15. Persatuan Warga Sapta Dharma (PERSADA)
16. Yayasan Sosrokartono
17. Paguyuban Sangkoro Mudo
18. Minggu Kliwon
19. Lepasing Budi
20. Budi Rahayu
21. Tri Soka
22. Pakempalan Guyub Rukun Lahir Batin “Sukoreno”
23. Paguyuban Hangudi Lakuning Urip (HLU)
24. Kasunyatan Bimo Suci
25. Keluarga Besar Palang Putih Nusantara Kejawen Urip Sejati
k. Jawa Timur
1. Jendro Hayuningrat Widada Tunggal (PANDHAWA)
2. Paguyuban Kawruh Kebatinan Jowo Lugu
3. Kasampurnan Ketuhanan Awal dan Akhir
4. Kawruh Budhi Jati
5. Kawruh Kasampurnan Kasunyatan Ketuhanan Budi Utomo
6. Kebatinan og Pambuko Jiwo
7. Ketuhanan Kasampurnan
8. Paguyuban Lebdho Guno Gumelar
9. Ngudi Utomo
10. Paguyuban Darma Bakti
11. Paguyuban Ilmu Sungkan Paraning Durnadi “Sanggar Kencono”
12. Paguyuban Kawruh Batin Tulis Tanpa Papan Kasunyatan (KBTTPK)
13. Murti Tomo Waskito tunggal (MTWT)
14. Paguyuban Ngesti Budi Sejati
15. Paguyuban Pangudi Katentreman (PATREM)
16. Paham Jiwa diri Pribadi
17. Kawruh Pamungkas Jati Titi Jaya Sempurna
18. Perguruan Ilmu Sejati
16 Universitas Kristen Petra
19. Perhimpunan Peri Kemanusiaan
20. Purwo Ayu Mardi Utomo (PAMU)
21. Purwane Dumadi Kautaman/Kasampurnan (PDKK)
22. Badan Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa “RILA”
23. Roso Jati
24. Paguyuban Kawruh Sangkan Paran Kasampurnan
25. Paguyuban Sapta Sila
26. Suci Rahayu Sujud Nembah Bekti
27. Paguyuban Urip Sejati
28. Aliran Kebatinan Tak Bernama
29. HIMUWIS RAPRA
30. Kepercayaan Sapta Darma
31. Paguyuban Satriyo Mangun Mardiko Dununge Urip
32. Kawruh Sedulur Sejati
33. Perhimpunan Kepribadian Indonesia
34. Panembah Jati
35. Paguyuban Hamesu Budi Lukitaning Janmo
36. Budi Sejati
37. Kawruh Jowo Dipo
38. Aku Sejatimu
39. Jawa Domas
40. Wahyu Sejati Perguruan Ilmu Jiwa
41. Amung Rogo Panggugah Ilmu Jiwa
42. Among Rogo Panggugah Sukmo
43. Paguyuban Sungkan Paraning Dumadi “Sri Jayabaya”
44. Kawruh Budi Lestari Adjlning Djiwo (BULAD)
45. Ilmu Kasedan Jati Indonesia (IKJ)
46. Paguyuban Kapitayan “Suaka Adat Wewarah Gesang”
47. Naluri Budaya Leluhur (NBL)
48. Paguyuban Marganing Kamulyan
l. Jawa Tengah
1. Hidup Betul
17 Universitas Kristen Petra
2. Kejaten
3. Paguyuban Kawruh Kodrating Pangeran (PKKP)
4. Paguyuban Kulowargo Kapribaden
5. Paguyuban Pancasila Handayaningrat (PAPANDAYA)
6. Paguyuban Pangudi Lawruh Kasuksman Panunggalan
7. Paguyuban Pangudi Kerokhanian “Mahayana”
8. Pangudi Rahayuning Bawono (PARABA)
9. Paseban Jati
10. Pelajar Kawruh Jiwa (PKJ)
11. Perguruan Tri Jaya
12. Perhimpunan Kamanungsan
13. Perjalanan Tri Luhur
14. Setia budi Perjanjian 45 (SPB 45)
15. Tunggul Sabda Jati
16. Badan Keluarga Kebatinan Wisnu
17. Paguyuban Kejiwaan
18. Esa Tunggal Sejati (SATU JATI)
19. Kawruh Kepribadian
20. Swatmaya
21. Kawruh Naluri Batin Tulis Tanpa Papan Kasunyatan Jati
22. Sastro Jendro Hayuningrat Mustiko Sejati
23. Kekadangan Wringin Seto
24. Ngesthi Kasampurnan
25. Persatuan Warga Theosofi Indonesia (PERWATHIN)
26. Paguyuban Anggayuh Katentremaning Urip (AKU)
27. Organinasi Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa
Paguyuban Noormanto (PKPN)
28. Pangudi Rahayuning Budi (PRABU)
29. Jaya Sampurna
30. Himpunan Kebatinan Rukun Wargo
31. Paguyuban Resik Kubur Jero Tengah (PRKJT)
32. Sukmo Sejati
18 Universitas Kristen Petra
33. Kawruh Hak
34. Pramono Sejati
35. PAKARTI
36. Kawruh Jawa Jawata
37. Paguyuban Medal Urip
38. Pengudian Tri Tunggal Bayu
39. Paguyuban Jawa Sejati (PAJATI)
40. Kepribadian Sabdo Tunggal
41. Paguyuban Purnomosidi
42. Perguruan Sumber Nyawa
43. Cahya Buwana
44. Waspada
45. Suci Hati Kasampurnan (SHK)
46. Paguyuban Masyarakat Pancasila Resi Songgo Buwono
47. Paguyuban Budaya Bangsa (PBB)
48. Badan Kebatinan Indonesia
49. Yayasan Prana Jati
50. Paguyuban Kerukunan Sedulur Sikep
51. MANEGES
52. Jawa Dumas
53. Paguyuban Kaweruh Hak 101
2.2.3.1. Kepercayaan Parmalim di Kabupaten Samosir dan Toba
Samosir Sumatera Utara
Parmalim atau Ugamo Malim adalah aliran kepercayaan kuno yang
berasal dari Tanah Tapanuli, Sumatera Utara. Praktik dan penyebaran agama ini
sudah ada bahkan sebelum penyebaran agama Hindu, Buddha, Islam dan Kristen
menyebar di Indonesia. Konon ajaran ini memiliki beberapa kemiripan dengan
kepercayaan Yahudi Kuno di masa lalu. Saat ini Ugamo Malim kurang lebih
dipeluk 35 generasi suku Batak dengan jumlah 11 ribu penduduk dan sudah eksis
sejak 800 tahun lalu. Parmalim mengenal Sang Pencipta dengan sebutan Debata
Mula Jadi Na Bolon (Tuhan pencipta manusia, bumi dan segala isinya).
19 Universitas Kristen Petra
Istilah Parmalim merujuk kepada penganut agama Malim. Agama asli
Batak tidak memiliki nama sendiri, tetapi pada penghujung abad kesembilan belas
muncul sebuah gerakan anti kolonial. Pemimpin utama mereka adalah Guru
Somalaing Pardede. Agama Malim pada hakikatnya merupakan agama asli Batak,
namun terdapat pengaruh agama Kristen, terutama Katolik, dan juga pengaruh
agama Islam. (Mufid, p. 11-56)
2.2.3.2. Sistem Kepercayaan Sedulur Sikep (Samin) di Kabupaten Blora,
Jawa Tengah
Gerakan Samin adalah gerakan perlawanan terhadap pemerintah kolonial
Belanda. Gerakan tersebut terjadi di beberapa daerah di Indonesia, terutama pada
abad ke 18 dan 19. Data sejarah Nampak bahwa perlawanan-perlawanan tersebut
dipimpin oleh orang-orang dari golongan tertentu dalam masyarakat. Diantara
meraka yang melakukan perlawanan itu adalah Samin Surosentiko. (Wahib, p.1)
Dalam sejarahnya yang panjang, keberadaan pengikut kepercayaan lokal
seperti Samin seringkali tidak bisa mendefinisikan dirinya sendiri. Karena itu,
eksistensi mereka sering didefinisikan orang lain dengan menggunakan perspektif
keagamaannya sendiri. Dalam kaitan ini agama sering didefinisikan dengan
memberi unsur-unsur: adanya kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa,
memiliki sistem hukum yang jelas bagi para penganutnya, memiliki kitab suci, dan
seorang nabi. Dari sinilah komunitas pengikut kepercayaan lokal menjadi gagap
dengan dirinya sendiri. (Mufid, p. 179, par. 3)
2.2.3.3. Paham Towani Tolotang di Kabupaten Sidrap Sulawesi Selatan
Towani Tolotang merupakan salah satu kelompok sosial yang mendiami
kelirahan Amparita lama (sekarang: Kelurahan Amparita, Toddang Pulu, Baula,
Arateng). Tolotang juga merupakan sebutan bagi aliran kepercayaan yang mereka
anut, namun kelompok ini menurut asal usulnya bukanlah penduduk asal Amparita.
Menurut asal usulnya, nenek moyang Tolotang, berasal dari desa Wani sebuah desa
di Kabupaten Wajo. (Mufid, p. 221, par. 1)
Istilah Tolotang semula dipakai oleh raja Sidenreng sebagai panggilan
kepada pengungsi yang baru datang di negerinya. To (Tau) dalam Bahasa Bugis
20 Universitas Kristen Petra
berarti arah selatan, maksudnya adalah sebelah selatan Amparita, terdapat
pemukiman pendatang, jadi Tolotang artinya orang-orang yang tinggal di sebelah
selatan kelurahan Amparita, sekaligus menjadi nama bagi aliran kepercayaan
mereka. (Mufid, p.221, par. 3)
Setiap masyarakat mempunyai sistem pelapisan sosial yang berbeda antara
satu golongan dengan golongan yang lainnya, pada komunitas Tolotang pelapisan
masyarakat didasarkan pada sistem pertalian darah dan keturunan, namun dalam
gelar bangsawan Tolotang tidaklah sama dengan yang dipakai dikalangan
masyarakat Bugis, ukuran ini tidak lepas dari sejarah Tolotang itu sendiri. Golongan
Uwa menempati posisi tertinggi, pada tingkatan ini terbagi pada dua gologan yakni
Uwatta sebagai tokoh sentral dan Uwa yang berada satu tingkat di bawahnya,
kemudian golongan To Sama, yang terdiri dari masyarakat biasa. (Mufid, p.224-
225)
Setiap agama yang ada di muka bumi ini tentunya mempunyai konsep
masing-masing, baik untuk kehidupan duniawi maupun dalam kerangka kehidupan
akhirat. Masyarakat Towani Tolotang yang menganut ajaran agama Tolotang
mempercayai bahwa agama yang mereka anut berasal dari Sawerigading yang
menerima Sadda dari Dewata SewwaE. (Mufid, p. 227)
2.3. Tinjauan Museum
2.3.1. Pengertian Museum
Menurut ICOM (International Council of Museum) yang telah
merumuskan definisi museum dalam musyawarah umum ke-11 (Eleventh General
Asssembly of ICOM, Copenhagen, 14 Juni 1974) adalah sebagai berikut:
a. Lembaga-lembaga konservasi dan ruangan-ruangan pameran yang secara tetap
diselenggarakan oleh perpustakaan dan pusat-pusat kearsipan.
b. Peninggalan dan tempat-tempat alamiah, arkeologis dan etnografis,
peninggalan dan tempat-tempat bersejarah yang mempunyai corak museum,
karena kegiatan-kegiatannya dalam pengadaan, perawatan dan komunikasinya
dengan masyarakat.
21 Universitas Kristen Petra
c. Lembaga-lembaga yang memamerkan makhluk-makhluk hidup, seperti kebun-
kebun tanaman dan binatang, akuarium, makhluk dan tetumbuhan lainnya dan
sebagainya.
d. Suaka alam.
e. Pusat-pusat pengetahuan dan planetarium. (Matitaputy, p. 41-42)
Museum, baik yang bergerak di bidang ilmu pengetahuan sosial, maupun
yang bergerak di bidang ilmu pengetahuan alam dan teknologi merupakan Unit
Pelaksana Teknis dalam kerangka administrasi perlindungan dan pengawetan
peninggalan sejarah dan alam. Dengan bekerja di museum, orang akan memahami
dan menghayati bahwa:
a. History is continuity: sejarah berarti kesinambungan,
b. Museum itu bukan saja pencatat sejarah dengan merawat bahan-bahan
pembuktiannya, tetapi profesi permuseuman juga akan memahami makna yang
paling manusiawi: setiap orang pada hakekatnya juga membuat sejarah baik
secara makro maupun secara mikro,
c. Secara professional dibidang permuseuman yang cerdas dan peka terhadap
pemikiran-pemikiran falsafi justru bisa sampai bersikap prediktif dan
futuristik. (Matitaputy, p. 42)
2.3.2. Fungsi Museum
Bila mengacu kepada hasil musyawarah umum ke-11 (11th General
Assembley) International Council of Museum (ICOM) pada tanggal 14 Juni 1974
di Denmark, dapat dikemukakan 9 fungsi museum sebagai berikut:
a. Pengumpulan dan pengamanan warisan alam dan budaya,
b. Dokumentasi dan penelitian ilmiah,
c. Konservasi dan preservasi,
d. Penyebaran dan pemerataan ilmu untuk umum,
e. Pengenalan dan penghayatan kesenian,
f. Pengenalan dan kebudayaan antardaerah dan antarbangsa,
g. Visualisasi warisan alam dan budaya,
h. Cermin pertumbuhan peradaban umat manusia,
22 Universitas Kristen Petra
i. Pembangkit rasa bertakwa dan bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa.
(“Pengelola Koleksi Museum”, p. 2 par. 3)
2.3.3. Klasifikasi Museum Berdasarkan Jenis Koleksi Museum
Menurut International Council of Museum (ICOM), klasifikasi museum
berdasarkan jenis koleksi museumnya adalah:
a. Museums of art and archaeology
Beberapa koleksi dalam kategori decorative art seperti metal, glass, ceramics,
textiles dapat disimpan di dalam sebuah showcase agar aman. Sedangkan untuk
koleksi dengan kategori silver, jewelry, dan benda-benda berharga lainnya
sebaiknya diletakkan di area showcase yang melekat dengan dinding disertai
dengan pengaman seperti kunci. Untuk koleksi dengan kategori drawings,
engravings, watercolors, dan textile, disarankan untuk diletakkan di ruangan yang
panjang dan sempit daripada ruangan yang berbentuk kotak – hal ini akan
memudahkan pengunjung untuk melihat koleksi dari jarak jauh tanpa harus
mengatur jarak sendiri.
b. Historical or archival museums
Museum ini membutuhkan ruang showcase yang tidak terlalu luas, tetapi
membutuhkan ruang yang luas bagi penyimpanan dokumen-dokumen penting.
Relief dan berkas-berkas disimpan di ruangan khusus yang mempunyai sistem
keamanan khusus dan didukung dengan penggunaan sistem pencahayaan buatan,
ada juga yang memanfaatkan sistem pencahayaan alami.
c. Ethnographic and folk museums
Koleksi-koleksi pada museum ini biasanya di display di dalam showcase.
Secara umum, ukuran koleksi cenderung besar dan membutuhkan space yang cukup
luas. Sistem pencahayaan pada museum ini menggunakan sistem pencahayaan
buatan yang sangat kuat karena dianggap jauh lebih efektif daripada menggunakan
sistem pencahayaan alami.
d. Museums of physical and natural sciences, technological or educational
museums
Museum ini membutuhkan berbagai macam jenis ruangan dan fasilitas yang
memiliki kebutuhan ruang yang berbeda. Keberagaraman jenis ruangan tersebut
23 Universitas Kristen Petra
mempengaruhi besaran pada ruang yang disesuaikan dengan kebutuhan tiap
ruangnya. Biasanya museum ini membutuhkan ruang laboratorium yang berfungsi
sebagai ruang penanganan khusus bagi koleksi-koleksi museum (stuffing, drying,
disinfecting, dan lain-lain). (Matitaputy, p. 52)
2.3.4. Standar Kebutuhan Bangunan Museum
a. Standar Kebutuhan Site
Pada umumnya sebuah museum membutuhkan dua area parkir yang
berbeda, yaitu area bagi pengunjung dan area bagi karyawan. Area parkir dapat
ditempatkan pada lokasi yang sama dengan bangunan museum atau disekitar
lokasi yang berdekatan. Untuk area diluar bangunan dapat dirancang untuk
bermacam kegunaan dan aktivitas, seperti acara penggalangan sosial, even dan
perayaan, serta untuk pertunjukan dan pameran temporal. (Tedjo, p. 125)
b. Standar Organisasi Ruang
Secara umum organisasi ruang pada bangunan museum Terbagi menjadi lima
zona/area berdasarkan kehadiran publik dan keberadaan koleksi/pajangan. Zona-
zona tersebut antara lain:
Zona Publik - Tanpa Koleksi
Zona Publik - Dengan Koleksi
Zona Non Publik – Tanpa Koleksi
Zona Non Publik – Dengan Koleksi
Zona Penyimpanan Koleksi (Neufert, p. 516)
Diagram organisasi ruang bangunan museum berdasarkan kelima zona tersebut
dapat digambarkan sebagai berikut:
24 Universitas Kristen Petra
Gambar 2.1. Diagram organisasi ruang museum
Sumber: Neufert, (p.516)
c. Standar Ruang Pamer
Didalam perancangan sebuah museum perlu beberapa pertimbangan yang
berkaitan dengan penataan ruang dan bentuk museumnya sendiri, antara lain:
Ditemukan tema pameran untuk membatasi benda-benda yang termasuk dalam
kategori yang dipamerkan
Merencanakan sistematika penyajian sesuai dengan tema yang terpilih, jenis
penyajian tersebut terdiri dari:
o Sistem Menurut Kronologis
o Sistem Menurut Fungsi
o Sistem Menurut Jenis Koleksi
o Sistem Menurut Bahan Koleksi
o Sistem Menurut Asal Daerah
Memilih metoda penyajian agar dapat tercapai maksud penyajian berdasarkan
tema yang dipilih, yaitu:
- Metoda Pendekatan Esteis
25 Universitas Kristen Petra
- Metoda Pendekatan Romantik/Tematik
- Metoda Pendekatan Intelektual (Tedjo, p. 125)
d. Standar Luas Ruang Objek Pamer
Dalam hal luas objek pamer akan memerlukan ruang dinding yang lebih
banyak (dalam kaitannya dengan luas lantai) dibandingkan dengan penyediaan
ruang yang besar, hal ini sangat diperlukan untuk lukisan-lukisan besar dimana
ukuran ruang tergantung pada ukuran lukisan. Sudut pandang manusia
biasanya(54° atau 27° dari ketinggian) dapat disesuaikan terhadap lukisan yang
diberi cahaya pada jarak 10m, artinya tinggi gantungan lukisan 4900 diatas
ketinggian mata dan kira – kira 700 di bawahnya.
Tabel 2.1. Standar luas objek pamer
Ruang yang Dibutuhkan Objek Pamer
Lukisan 3 – 5 m² luas dinding
Patung 6 – 10 m² luas lantai
Benda-benda kecil / 400 keping 1 m² ruang lemari kabinet
Sumber: Neufert, (1997, p.135)
e. Standar Visual Objek Pamer
Galeri dan ruang pameran harus merupakan sebuah lingkungan visual yang
murni, tanpa kekacauan visual (termostat, alat pengukur suhu/ kelembaban, alat
pemadam kebakaran, akses panel, signage, dll). Bahan permukaan display tidak
boleh dapat teridentifikasi (secara pola atau tekstur). Permukaannya harus dapat
dengan mudah di cat, sehingga warna dapat diatur menyesuaikan setiap pameran.
Dinding display dengan tinggi minimal 12 kaki diperlukan bagi sebagian besar
galeri museum seni baru, namun museum yang didedikasikan untuk seni
kontemporer harus memiliki langit-langit lebih tinggi, 20 kaki adalah ketinggian
yang cukup fleksibel.
f. Pengorganisasian Ruang
Organisasi ruang di dalam sebuah bangunan atau area akan secara langsung
mempengaruhi pola sirkulasi di dalam area tersebut. Pola sirkulasi yang baik adalah
pola sirkulasi yang memberikan kelancaran dan kemudahan bagi pengguna yang
beraktivitas didalamnya. Menurut Francis D.K. Ching di bukunya yang berjudul
26 Universitas Kristen Petra
“Bentuk, Ruang, dan Tatanan” pada tahun 2000, pengorganisasian ruang terbagi
menjadi 5, yaitu:
Gambar 2.2. Jenis organisasi ruang Sumber: Ching (2000, p. 147)
Organisasi yang terpusat
Sejumlah ruang sekunder, dikelompokkan mengelilingi sebuah ruang pusat dan
dominan. Ruang-ruang yang ada dapat memilik bentuk, fungsi, dan ukuran
yang sama ataupun berbeda dengan ruang lain. Pola sirkulasi yang tercipta dari
organisasi terpusat dapat berbentuk radial, lup, atau spiral.
Organisasi yang linier
Terdiri dari sederetan ruang yang menunjukkan suatu arah, menggambarkan
pergerakan, perluasan dan pertumbuhan. Memiliki sifat yang memanjang dan
masing-masing ruang berhubungan secara langsung. Pola sirkulasi yang
dihasilkan dari organisasi linier ini dapat berupa pola linear dan juga pola linear
bercabang. Bentuknya bersifat fleksibel, dapat lurus, bersegmen, atau
melengkung. Dapat berhubungan dengan bentuk lain dalam lingkupnya
dengan:
o Menghubungkan dan mengorganisir bentuk-bentuk di sepanjang
bentangnya
o Sebagai dinding untuk memisahkan ruang menjadi daerah yang berbeda
o Melingkupi bentuk-bentuk ke dalam sebuah ruang
Organisasi ruang secara radial
Merupakan sebuah bentuk ekstrovert yang mengembang keluar lingupnya.
Bentuk ini dapat menggabungkan diri pada unsur-unsur atau benda-benda
tertentu pada tapaknya. Kombinasi dari organisasi ruang yang terpusat dan
linier. Organisasi terpusat mengarah ke dalam sedangkan organisasi radial
27 Universitas Kristen Petra
mengarah keluar. Lengan radial dapat berbeda satu sama lain, tergantung pada
kebutuhan dan fungsi ruang.
Organisasi ruang mengelompok
Ruang-ruang dikelompokkan berdasarkan adanya hubungan ciri atau visual
dengan mempertimbangkan pendekatan fisik. Bersifat fleksibel dan dapat
menerima pertumbuhan dan perubahan langsung tanpa mempengaruhi
karakternya. Biasanya komposisi dari ruang-ruang berbeda bentuk, ukuran dan
fungsi.
Organisasi ruang secara grid
Ruang-ruang diorganisir dalam kawasan grid structural dan tiga dimensi lain.
Terdiri dari bentuk-bentuk atau ruang-ruang diatur oleh pola atau bidang grid
tiga dimensi.
g. Persyaratan Ruang
Ruang untuk memperagakan hasil karya seni, benda-benda budaya dan ilmu
pengetahuan harus memenuhi persyaratan berikut:
Benar – benar terlindung dari pengrusakan, pencurian, kebakaran, kelembaban,
kekeringan, cahaya matahari langsung dan debu.
Setiap peragaan harus mendapat pencahayaan yang baik (untuk kedua bidang
tersebut) ; biasanya dengan membagi ruang sesuai dengan koleksi yang ada
menurut :
o Benda koleksi untuk studi (mis: mengukir, menggambar) diletakkan dalam
kantong – kantongnya dan disimpan di dalam lemari (dilengkapi laci-laci)
kira-kira berukuran dalam 800 dan tinggi 1600.
o Benda koleksi untuik pajangan mis: lukisan, lukisan dinding, patung,
keramik, furniture. (Ernst Neufert, hlm. 135)
2.3.5. Penyajian dan Penyimpanan Koleksi Museum
Terdapat beberapa poin penting yang haris diperhatikan dalam pengaturan
penyajian dan penyimpanan koleksi museum, antara lain:
a. Tata pameran, meliputi segala penataan yang dimulai dengan menempatkan
koleksi di dalam gedung. Untuk pameran terdapat beberapa sistematika, di
28 Universitas Kristen Petra
antaranya sistem periode, sistem disiplin ilmu, sistem regional, dan sistem
benda sejenis;
b. Cahaya (lighting), baik cahaya alam ataupun buatan harus memenuhi
persyaratan ideal dari segi koleksi, keindahan, dan penerangan;
c. Label, harus padat, ringkas dan dapat dimengerti. Dilihat dari bentuk atau
tempatnya harus indah dan jelas bagi seluruh kalangan masyarakat;
d. Kondisi udara, sirkulasi udara di dalam ruangan pameran harus memenuhi
persyaratan yang baik, baik bagi koleksi maupun bagi pengunjung;
e. Peralatan audiovisual, untuk memperjelas dapat digunakan sound system dan
film;
f. Lukisan dan diorama, digunakan untuk menerangkan peristiwa sejarah;
g. Keamanan, keamanan museum harus mendapatkan perhatian yang serius,
diupayakan koleksi yang peka dihindarkan dari sentuhan pengunjung, dan
bantuan dari bagian keamanan sangat diperlukan. Bila dalam keadaan perang,
keamanan museum harus diatur dalam tingkat nasional;
h. Lalu lintas pengunjung, sangat diperlukan kedisiplinan dan pengaturan
sirkulasi pengunjung. Perhatian pengunjung akan berkurang bila suasananya
berdesak-desakan, selain itu bahaya pencurian dalam kondisi seperti itu sangat
besar. Penataan dalam pameran di ruang terbuka diprioritaskan untuk benda-
benda yang tahan terhadap iklim dan juga karena bentuknya yang besar,
sehingga menyulitkan untuk diletakkan di dalam ruangan. Selain itu, dengan
pertimbangan yang berdasarkan sejarah maka benda-benda tersebut
dipamerkan di tempat peristiwa itu terjadi. (“Pengelolaan Koleksi Museum”,
p. 15-16)
2.3.6. Persyaratan Elemen Pendukung Museum
a. Sistem Pencahayaan
Pencahayaan Buatan
Pencahayaan buatan lebih baik dari pada pencahayaan alami supaya tidak
merusak, cahaya buatan harus tetap dimodifikasi pada iluminasi (tingkat
keterangan cahaya) tertentu, untuk mengurangi radiasi sinar ultraviolet. Pada
sebagian besar museum, perlengkapan pencahayaan di semua daerah pameran
dan daerah koleksi lain harus berpelindung UV hingga kurang dari 75
29 Universitas Kristen Petra
microwatts per lumen dan tertutup untuk mencegah kerusakan terhadap objek
jika terjadi kerusakan lampu.
Secara umum, berdasarkan ketentuan nilai iluminasi yang dikeluarkan
Illumination Engineers Society Of North Amerika (Lighthing Handbook For
General Use). Pada area pameran, tingkat pencahayaan paling dominan di
permukaan barang koleksi itu sendiri. Diatas permukaan benda paling senditif,
termasuk benda dari bahan kertas (seperti hasil print dan foto), tingkat
pancahayaan tidak boleh lebih dari 5 Footcandles (Fc).
Kebutuhan pencahayaan eksibisi akan berbeda sesuai jenis pameran, ukuran
karya, dan tata letak setiap pameran. Tujuannya mungkin untuk menerangi
objek individu, bukan seluruh ruang.
Pencahayaan Alami
Pencahayaan alami dapat mengakibatkan kerusakan pada berbagai bahan
koleksi, batu, logam, keramik pada umumnya tidak peka terhadap cahaya,
tetapi bahan organik lainnya, seperti tekstil, kertas, koleksi ilmu hayati adalah
bahan yang peka terhadap cahaya.
Perancang museum harus memahami dan menerima bahwa museum yang
paling professional lebih menghargai penyajian dan pelestarian koleksi mereka
diatas segala manfaat arsitektural pencahayaan alami yang melimpah pada area
koleksi. Terlalu banyak cahaya dan panjang gelombang tertentu mampu
menyebabkan kerusakan yang nyata pada koleksi-koleksi yang tidak dapat
tergantikan.
b. Sistem Penghawaan
Museum yang baik sebaiknya tetap menerapkan penghawaan alami.
Perwujudannya bias melalui perletakkan jendela yang tinggi pada satu sisi dan
rendah pada sisi lainnya (Cross Ventilation). Sedangkan untuk tujuan pemeliharaan
objek benda pameran, sebaiknya menggunakan AC karena dapat mengatur
temperatur dan kelembaban yang diinginkan. Hal ini tentunya tergantung oleh
bahan objek pameran tersebut, apakah peka terhadap kelembaban atau tidak. (Smita
J. Baxi Vinod p. Dwivedi, modern museum, Organizationand partice in india, New
Delhi, Abinar publications, hal 34.)
30 Universitas Kristen Petra
c. Temperatur atau Kelembapan
Kondisi tempat yang terlalu kering atau terlalu lembab dapat berpengaruh
buruk dan merusak benda koleksi. Oleh karena itu, beberapa benda koleksi harus
diperhitungkan dan dijaga kelembabannya, bahkan perlu juga diperhitungkan
intensitas panas yang ditimbulkan dari pencahayaan buatan (lighting). Suhu dan
kelembaban yang optimum tidak hanya diterapkan pada ruang pamer saja,
melainkan juga pada ruang Storage (penyimpanan koleksi) dan ruang konservasi
(New Metric Hand Book, Museum and Galleries).
d. Sistem Akustik
Akustik bervariasi pada setiap museum. Akustik pada tiap ruang haruslah
nyaman bagi perorangan maupun kelompok. Sangat penting bagi pembimbing tur
agar dapat didengar oleh kelompoknya tanpa menggangu pengunjung lainnya.
Beberapa ruangan untuk fungsi tertentu seperti ruang pertemuan, orientasi,
auditorium (atau teater) harus dirancang oleh ahlinya.
Ruang lainnya, seperti area sirkulasi utama dan ruang pameran memerlukan
penataan akustik tertentu untuk mencegahnya menjadi telalu “hidup“sehingga
merusak pengalaman yang ingin diciptakan museum.
e. Sistem Keamanan
Operasi museum harus dibuat aman seluruhnya, bukan hanya oleh sistem para
penjaga aktif dan sistem elektronik, tetapi juga oleh rancangan dan tata letak yang
sesuai. Semua aspek dari museum harus di rancang untuk menjaga keamanan
koleksi. Koleksi harus dilindungi dari kerusakan, pencurian, dan penyalahgunaan.
Ini berlaku bagi pengunjung, staf penanganan, dan staf keamanan.
Museum hanya boleh memiliki satu pintu masuk umum dan biasanya pintu
masuk staf yang terpisah (meskipun hal ini tergantung pada ukuran museum).
Prioritasnya adalah koleksi keamanan, yang berbeda dari standar keamanan
gedung-gedung pada umumnya.
Lima zona keamanan yang harus dipikirkan:
Zona 1: Keamanan Tertinggi Penyimpanan Koleksi
Zona 2: Keamanan Tinggi Koleksi tanpa akses publik
Zona 3: Keamanan Tinggi Koleksi dengan akses publik
Zona 4: Aman Tanpa koleksi /akses publik
31 Universitas Kristen Petra
Zona 5: Aman Akses publik tanpa koleksi
Rancangan arsitektur harus menyediakan sebuah organisasi yang
mengabungkan zona-zona keamanan ini dan operasi yang efisien. Berbagai aspek
dari desain bangunan dan konstruksi juga terlibat dalam memuaskan kebutuhan
keamanan. Ini termasuk desain HVAC, pintu, dan perangkat keras, konstruksi
dinding, dan konstruksi atap dan skylight.
f. Fire Protection
Pelestarian dan pengelolaan koleksi museum dari bahaya api memerlukan
sistem deteksi kebakaran dan sistem penekanan yang memanfaatkan alat deteksi
peringatan dini untuk perlindungan yang maksimal. Perlindungan dan pelestarian
tersebut sangat penting untuk misi museum.
Sistem ini harus diintegrasikan dengan sistem keamanan untuk melaporan
alarm serta kondisi yang dapat menyebabkan alarm pada waktunya untuk tindakan
korektif oleh staf terlatih. Perlindungan paling efektif adalah proteksi kebakaran
otomatis (sprinkler) di seluruh sistem. Namun, banyak profesional museum yang
tidak menggunakan sistem seperti itu, karena takut kerusakan akibat air yang
disebabkan oleh mesin digerakkan, kebocoran, dan alarm palsu.
g. Plumbing atau Perpipaan
Sistem plumbing/perpipaan, termasuk letak arsitektural toilet, harus
menghindari kerusakan koleksi yang disebabkan oleh kebocoran dan penguapan.
Semua sistem perpipaan harus diarahkan naik dan mengalir melalui dan di atas
koridor layanan atau daerah non-koleksi saja. Tidak boleh ada pipa saluran air
apapun, dan drainase atap harus dialihkan melalui atau di atas area yang
mengandung koleksi atau area pameran. Tidak boleh ada pipa saluran air atau
drainase perpipaan di setiap tempat penyimpanan koleksi.
2.4. Tinjauan Fasilitas Pendukung Museum
2.4.1. Lobby
Lobby merupakan satu ruang yang pertama kali dijumpai oleh pengunjung
setelah melewati main entrance. Biasanya lobby juga digunakan sebagai ruang
penghubung antar ruang atau ruang transisi.
Persyaratan ruang lobby:
32 Universitas Kristen Petra
a. Main Entrance
Sebaiknya menggunakan pintu otomatis dengan sistem sensor guna
mempermudah pengunjung yang ingin masuk serta praktis.
Material pintu masuk harus terbuat dari bahan yang kuat, tahan lama, dan
mudah untuk dibersihkan sehingga aman dan nyaman bagi pengunjung.
Jalan menuju pintu masuk sebaiknya lebih tinggi seperempat inci untuk
memperjelas area.
b. Perabot
Meja resepsionis sebaiknya diletakkan dekat dengan main entrance agar
penglihatan pengunjung dapat lebih terpusat dan lebih baik.
Area tempat duduk sebaiknya diletakkan di area yang tidak terlalu dekat
dengan meja resepsionis dan main entrance agar privasi tetap terjaga.
c. Sistem Keamanan
Adanya sistem siap siaga berupa lampu darurat atau emergency light yang
diletakkan di daerah yang penting seperti di meja resepsionis.
Pemasangan kamera CCTV di tiap sudut ruangan sehingga dapat memonitor
pengunjung yang keluar dan masuk ke dalam museum.
2.4.2. Ruang Audio Visual atau Ruang Multimedia
Ruang audio visual atau ruang multimedia digunakan sebagai ruang
edukasi pengunjung dengan memanfaatkan teknologi masa kini. Ruangan ini dapat
dijadikan sebagai ruang presentasi atau ruang pertunjukan yang membutuhkan layar
dan peralatan audio visual sebagai komponen utama. Ada beberapa hal yang harus
diperhatikan antara lain:
a. Jarak layar dengan area pandang pengamat
Ukuran layar ditentukan oleh media presentasi dan jarak terjauh dengan
pengamat. Perbandingan yang paling tepat adalah 1:6, contohnya jika jarak
terjauh pengamat adalah 12 m maka tinggi layar harus 2 m, sedangkan lebar
layar tergantung dari ketinggian layar dan format gambar yang ditampilkan.
Pada kebanyakan ruang min layar adalah 60x80 inch. Dengan resolusi tampilan
gambar yang besar maka pengamat terdekat tidak boleh berjarak kurang dari
2x tinggi layar (Watch, p. 50).
33 Universitas Kristen Petra
b. Tata Akustik
Ruang audio visual merupakan ruangan yang membutuhkan ketenangan agar
suara yang terpancar dari peralatan audio dapat terdengar dengan baik. Oleh
karena itu, dibutuhkan konstruksi material yang menyerap suara seperti karpet
dan fiberglass pada dinding. Peletakan tempat duduk sebaiknya dibuat
bertingkat agar sudut pandang dan pendengaran penonton tidak terganggu.
Panggung pertunjukan idealnya mempunyai ketinggian antara 0,6 hingga 1,2
meter (Watch, p. 92).
c. Tata Pencahayaan
Tata pencahayaan yang digunakan di dalam ruang audio visual harus
menyediakan pengaturan (dimmer) sehingga pengelola dapat mengatur
intensitas cahaya sesuai dengan suasana yang diinginkan. Fitur-fitur lampu
lampu sebaiknya diberi jalur listrik masing-masing agar pengaturannya lebih
mudah untuk dikontrol secara terpisah (Watch, p. 52)
2.4.3. Souvenir Shop
Ada beberapa prinsip yang harus diperhatikan dalam merencanakan tata
letak pada ruang penjualan menurut Mun (1981, p. 239), yaitu:
a. Calon pembeli diusahakan agar mengunjungi atau melewati seluruh bagian
toko yang menyediakan barang-barang dagangannya.
b. Pada bagian display yang paling belakang atau pojok dibutuhkan pencahayaan
khusus dengan tingkat penerangan yang lebih tinggi untuk dapat menarik
perhatian pengunjung.
c. Peletakkan satu pintu masuk dan pintu keluar yang sama dalam perencanaan
harus dihindarkan.
d. Barang-barang display atau yang dijual harus diklasifikasikan menurut
jenisnya, sehingga lebih jelas dalam penempatannya.
e. Barang-barang yang dianggap penting atau mahal seharusnya diletakkan dekat
dengan kasir, karena barang-barang tersebut harus diawasi secara terus
menerus.
f. Pelayanan dan tata letak ruang yang fleksibel dapat mempermudah pergantian
dan perubahan secara bervariasi.
34 Universitas Kristen Petra
g. Penjual tidak perlu menjelaskan semua model atau jenis barang-barang yang
sudah terdapat pada papan gambar.
h. Mengetahui dengan jelas apa saja yang dijual oleh toko.
i. Toko harus dapat menarik perhatian pengunjung untuk masuk.
j. Tata layout dapat membuat pengunjung merasa nyaman dan betah dengan cara
mengelompojjan barang yang dijual sesuai dengan karakteristiknya sehingga
pengunjung dapat dengan mudah dijangkau oleh pembeli.