1 sayyidina husain dalam teks klasik...

23
Jurnal Al-Qurba 1(1): 1-23, 2010 1 Sayyidina Husain dalam Teks Klasik Melayu Mohd Faizal Bin Musa 1 1 Fakulti Penulisan Akademi Seni Budaya dan Warisan Kebangsaan (ASWARA) 464 Jalan Tun Ismail, 50480 Kuala Lumpur, Malaysia. Email: [email protected] Abstract This essay explores and expresses some initial views on the status and virtues of Sayyidina Husain in Malay classical text. To match this purpose, this paper refers to three short classical sagas, they are: Hikayat Hasan Husen Tatkala Kanak-kanak (The Tale of Hasan’s and Husain’s Childhood), Hikayat Hasan Husen Tatkala akan Mati (The Tale of Hasan and Husain before Dying), Hikayat Tabut (The Tale of Tabut) . Positions of the saga in the corpus of classical Malay literature as well as the possibility that the sagas are 'cultural markers' that Muslims in this region are adherent of Ja'fari school (Shi'ism) are discussed. It is concluded that the three sagas have very thick Shi’ite notions and they have deep roots in the Malay tradition. The sagas strengthen arguments that mourning and dedication to Sayyidina Husain are not novel things for the Malay people. The role of classical Malay literature as an educator in the society and its didactic character emphasize this argument. The three sagas have shown that Sayyidina Husain has special status in the Malay tradition that is portrayed in its classical literature. Keywords: Sayyidina Husain, saga, Malay, Shi’ism Pendahuluan Dalam tradisi sastra klasik Turki, Parsi dan Indo-Pakistan keberadaan Sayyidina Hasan dan Sayyidina Husain amat signifikan. Gambaran tentang Sayyidina Husain misalnya memiliki kedudukan yang kokoh dalam tradisi masyarakat Turki seperti yang ditunjukkan oleh puisi-puisi mistikal karya Yunus

Upload: lycong

Post on 04-Apr-2019

227 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Jurnal Al-Qurba 1(1): 1-23, 2010

1

Sayyidina Husain dalam Teks Klasik Melayu

Mohd Faizal Bin Musa1

1Fakulti Penulisan Akademi Seni Budaya dan Warisan

Kebangsaan (ASWARA) 464 Jalan Tun Ismail, 50480 Kuala

Lumpur, Malaysia. Email: [email protected]

Abstract

This essay explores and expresses some initial views on the status

and virtues of Sayyidina Husain in Malay classical text. To match

this purpose, this paper refers to three short classical sagas, they

are: Hikayat Hasan Husen Tatkala Kanak-kanak (The Tale of

Hasan’s and Husain’s Childhood), Hikayat Hasan Husen Tatkala

akan Mati (The Tale of Hasan and Husain before Dying), Hikayat

Tabut (The Tale of Tabut) . Positions of the saga in the corpus of

classical Malay literature as well as the possibility that the sagas

are 'cultural markers' that Muslims in this region are adherent of

Ja'fari school (Shi'ism) are discussed. It is concluded that the

three sagas have very thick Shi’ite notions and they have deep

roots in the Malay tradition. The sagas strengthen arguments

that mourning and dedication to Sayyidina Husain are not novel

things for the Malay people. The role of classical Malay literature

as an educator in the society and its didactic character emphasize

this argument. The three sagas have shown that Sayyidina

Husain has special status in the Malay tradition that is portrayed

in its classical literature.

Keywords: Sayyidina Husain, saga, Malay, Shi’ism

Pendahuluan

Dalam tradisi sastra klasik Turki, Parsi dan Indo-Pakistankeberadaan Sayyidina Hasan dan Sayyidina Husain amatsignifikan. Gambaran tentang Sayyidina Husain misalnyamemiliki kedudukan yang kokoh dalam tradisi masyarakat Turkiseperti yang ditunjukkan oleh puisi-puisi mistikal karya Yunus

Bin Musa, MF. Sayyidina Husain dalam Teks Klasik Melayu

2

Emre. Syair tradisional Turki khususnya yang berkaitan dengankumpulan tarekat Bekhtashi sering dirujuk dan disebut bersamadengan mazhab syiah. Gejala yang sama juga terdapat dalamsastra klasik Indo-Pakistan seperti yang tertuang dalam eleginaratif atau ‘martsiya’ karya Muhammad Muhsin yang berasaldari Sind. Bahkan sosok Sayyidina Husain dalam tradisi sastraIndo-Pakistan terus mengakar dan memberikan pengaruh besarkepada penyair dan filosof Sunni, Muhammad Iqbal, yangmenonjolkan kecintaan luar biasa beliau dalam karya-karyanya(Annemarie Schimmel 2004: 53-60).

Penting ditekankan di sini, seperti yang tercermin dalamkarya-karya Muhammad Iqbal, citra Sayyidina Husin dalam karyasastra tidak hanya muncul dalam karya-karya pengarangbermazhab Syiah saja. Bahkan sosok Sayyidina Husain munculdalam karya-karya penulis bermazhab Ahlus sunnah wal jamaahkhususnya jika penelitian subjek ini dilakukan pada genre elegiatau martsiya berbahasa Arab dan Parsi. Hal ini misalnya terlihatjelas dalam kasidah karangan Imam Syafi’i (salah seorang tokohfikih mazhab Ahlus sunnah wal jamaah). Lynda G. Clarke (2001:89-90) sebagai contoh menyatakan bahwa sosok SayyidinaHusain tidak saja merujuk kepada karya-karya pendukung Syiah.Kutipan berikut akan memperkuat argumentasi tersebut:

Martsiyah di bawah ini, karya Imam Syafi’i setelahmenyampaikann kesedihan pribadi, serta sosok sangsyahid, kemudian menyatakan kecintaan si penyairkepada Ahlul Bait Nabi secara keseluruhan. Kata ImamSyafi’i:Hatiku mengeluh, karena hati manusia sedang merana;Kantuk tak lagi datang, susah tidur membuatku pusing.Wahai, siapa yang akan menyampaikan pesanku kepadaHusain,(Meskipun hati dan fikiran sebagian orang mungkin tidaksetuju)Yang dibantai, meski tak berdosa,Bajunya seakan-akan dicelup basah dengan warnamerah.Kini hatta pedang pun meratap, dan tombak menjerit,Dan kuda yang kemarin meringkik, kini meratap.Bumi bergempa karena keluarga Muhammad;

Jurnal Al-Qurba 1(1): 1-23, 2010

3

Demi mereka, gunung-gunung yang kukuh niscaya akanmeleleh.Benda-benda langit rontok, bintang-bintang gemetar,Wahai cadur-cadur dirobek, demikian juga hati!Orang yang bershalawat untuk dia yang diutus darikalangan Bani Hasyim,Dia juga memerangi anak-anaknya. Duhai alangkahanehnya!Jika aku dianggap berdosa karena cinta kepada keluargaMuhammad:Maka aku tidak akan bertaubat dari dosaku itu.

Kasidah Imam Syafi’i juga patut dicatat sebagai produkSunni. Kenyataan bahwa beliau juga mengarang elegi-elegi lainsemacam itu telah dibuktikan, dan tampaknya banyak tokohmazhab Syafi’i (dan juga Hanafi) di masa awal yang jugamelakukan hal yang sama. Akan tetapi, bahkan kesaksian orangseperti Imam Syafi’i akan cintanya kepada Keluarga Nabi di masayang berbahaya itu membuatnya dituduh sebagai ‘orang yangtidak ortodoks (non-Sunni).

Dalam kajiannya, G. Clarke juga mengutip bait-bait puisikarangan Sana’i dari Hadiqat al Haqiqah yang juga merupakanseorang penyair aliran Sunni. Pendapat G. Clarke tersebutmenunjukkan gambaran sosok Sayyidina Husain yang sangatsignifikan dalam tradisi sastra klasik Arab dan Parsi. KarenaSchimmel juga menekankan betapa sosok Sayyidina Husainmendapat tempat yang penting dalam tradisi sastera klasikTurki, dan Indo-Pakistan maka tidak berlebihan jika dinyatakan disini Sayyidina Husain dan peristiwa pembunuhan yang kejam itumuncul di semua wilayah umat Islam, baik tradisi Turki, Indo-Pakistan, Parsi maupun Arab. Citra Sayyidina Husain ini jugamendapat tempat di hati penyair-penyair Sunni dan sufi. Inimenunjukkan sosok Sayyidina Husain yang meliputi danmengatasi mazhab dan batas geografis menjadikan beliau sosoksupra-mazhab milik semua umat Islam dan tidak terbatas kepadapendukung mahzab Syiah semata-mata.

Namun demikian timbul pertanyaan, sejauh mana sosokSayyidina Husain ini mendapat tempat di Nusantara. Esay iniakan mengupas dan menyatakan beberapa pandangan awalmengenai kedudukan dan keutamaan Sayyidina Husain dalam

Bin Musa, MF. Sayyidina Husain dalam Teks Klasik Melayu

4

teks klasik Melayu. Untuk tujuan itu, tulisan ini hanya akanmerujuk pada tiga hikayat era klasik pendek berjudul HikayatHasan Husen Tatkala Kanak-Kanak, Hikayat Hasan Husen TatkalaAkan Mati, dan Hikayat Tabut tanpa menafikan keberadaanhikayat-hikayat lain, khususnya Hikayat Muhammad Hanafiyyahyang merupakan sebuah karya yang paling kerap disinggungsarjana sastra apabila subjek Syiah dan Sayyidina Husaindiperbincangkan. Esay ini akan mendiskusikan kedudukan ketigahikayat tersebut dalam korpus sastra klasik Melayu. Selain ituesay ini juga akan membahas kemungkinan bahwa hikayat-hikayat ini merupakan satu ‘petanda budaya’ yang tidak bolehdisisihkan, bahwa umat Islam di wilayah ini merupakan penganutJa’fari (mazhab Syiah) atau hanya merupakan satu dedikasi danelegi kedukaan sebagaiman ditunjukkan oleh Imam Syafi’i dalamkarya sastranya, mengingat sebagian besar umat Islam diNusantara hari ini adalah penganut mazhab Syafi’i. Karenatulisan ini hanyalah merupakan satu hipotesis awal yangmemerlukan kajian lebih lanjut, penulis akan membatasipembicaraan mengenai sosok Sayyidina Husain saja.

Kedudukan Ahlul Bait di Sisi Ahlus Sunnah Wal Jamaah

Ahlul Bait Rasulullah saw mempunyai kedudukan yangtidak dapat dinafikan begitu saja dalam mazhab Ahlus sunnahwal jamaah. Terdapat banyak dalil dalam al-Quran dan hadisuntuk dijadikan hujah bagi kenyataan tersebut. Tulisan ini hanyaakan mendatangkan lima hadis dari tiga sumber Ahlus sunnahwal jamaah untuk mendukung pendapat tersebut.

Hadis nomor 1477 dari Sahih Bukhari mengungkapkan:Dari Abdurrahman bin Abu Laila r.a katanya: Ka’ab bin Ujrahmenjumpai saya, lalu ia berkata: ‘Bolehkah saya hadiahkankepada engkau satu hadiah yang saya dengar dari Nabi s.a.w?’Jawab saya: ‘Ya, baiklah! Hadiahkanlah kepada saya!’ Lalu iaberkata: ‘Kami bertanya pada Rasulullah saw: ‘Bagaimanakahcaranya shalawat kepada tuan sekeluarga? Sesungguhnya Tuhantelah mengajar cara kami memberi salam.’ Beliau bersabda:‘Bacalah: Wahai Tuhan! Berilah rahmat atas Muhammad dankeluarga Muhammad, sebagaimana Engkau telah memberirahmat atas Ibrahim dan keluarga Ibrahim! SesungguhnyaEngkau Maha Terpuji lagi Maha Mulia. Wahai Tuhan! Berilah

Jurnal Al-Qurba 1(1): 1-23, 2010

5

keberkatan atas Muhammad dan keluarga Muhammad,sebagaimana Engkau telah memberi keberkatan atas Ibrahimdan keluarga Ibrahim. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagiMaha Mulia.’ (Bukhari 2002: 201).

Hadis nomor 645 dari Musnad Imam Ahmadmengungkapkan: Fadhl bin Dukain menceritakan kepada kami,Yasin al ‘Ijli menceritakan kepada kami dari Ibrahim binMuhammad bin al Hanafiah, dari bapaknya dari Ali r.a, diaberkata: Rasulullah saw bersabda: ‘Al Mahdi berasal dari kamiAhlul Bait. Allah menerima taubat dan memberi taufikkepadanya pada malam hari. Sanad hadis ini adalah sahih dankalimat yuslihuhullahu fi lailatin pada matan hadis menurutSyarah as Sanadi oleh Ibnu Katsir menjelaskan ia bermaksud:‘Aku menerima taubatnya, taufik dan ilham kepada akalnya yangsebelumnya tidak diberikan kepadanya.’ (Ahmad bin Muhammadbin Hanbal 2006: 767)

Hadis nomor 3871 dari Sunan at-Tirmidzi mengabarkan:Mahmud bin Ghailan menceritakan kepada kami, Abu Usamahmemberitahukan kepada kami dari Fudhail bin Marzuq dari Adibin Tsabit dari al-Bara’ bahawa Rasulullah saw memandangHasan dan Husain lalu berdoa: ‘Wahai Allah! Sesungguhnya akumencintai mereka maka cintailah mereka.’ Hadis ini merupakanhadis hasan sahih. (at Tirmidzi 1993:720)

Penghargaan dan dedikasi untuk Ahlul Bait yangditunjukkan dalam hadis-hadis di atas bukanlah suatupenghargaan semata-mata karena mereka adalah keluargaRasulullah saw melainkan karena membawa petunjukkeagamaan yang utuh. Ini terlihat misalnya dalam hadis berikut:‘Nashr bin Abdurrahman al-Kufi menceritakan kepada kami, Zaidbin al Hasan – yaitu al Anmathi – menceritakan kepada kami, dariJa’far bin Muhammad, dari ayah Ja’far iaitu Muhammad,daripada Jabir bin Abdullah, ia berkata: Aku pernah melihatRasulullah saw melaksanakan ibadah haji pada hari Arafah, saatitu beliau sedang berkhutbah di atas untanya; al Qashwa. Akumendengar beliau bersabda: Wahai manusia, sesungguhnya akutelah meninggalkan (sesuatu) untuk kalian, sepanjang kalianberpegang teguh kepada sesuatu itu nescaya kalian tidak akanpernah tersesat, yaitu kitab Allah dan itrati, keluargaku.’ Hadis initermuat dalam Sahih Sunan at-Tirmidzi, dengan hadis nombor3786, pada bab sifat-sifat utama keluarga Nabi saw (2007: 864).

Bin Musa, MF. Sayyidina Husain dalam Teks Klasik Melayu

6

Karena Ahlul Bait mendapat tempat yang istimewa dansama besarnya dengan al-Quran dalam hadis tersebut, sudahtentu al-Quran sendiri sebagai wahyu Allah swt telah pulamengabarkan keistimewaan Ahlul Bait ini. Hadis berikutmenunjukkan ‘nilai sesungguhnya’ Ahlul Bait di sisi Islam. Hadisini terdapat dalam Sahih Sunan at-Tirmidzi bernomor 3787 (2007:865).

Qutaibah menceritakan kepada kami, Muhammad binSulaiman al Ashbahani menceritakan kepada kami dari Yahya binUbaid, dari ‘Atha’ bin Abu Rabah, dari Umar bin Abu Salamah –anak tiri nabi - ia berkata: Ayat ini diturunkan kepada nabi,‘Sesungguhnya Allah bermaksud untuk menghilangkan dosadarimu, hai Ahlul Bait, dan membersihkanmu sebersih-bersihnya,’ (al-Ahzab: 33) tentang keluarga beliau. Beliaukemudian memanggil Fatimah, Hasan dan Husain, dan menutupimereka dengan pakaian. Sementara itu, Ali berada di belakangbeliau, dan beliau pun menutupinya dengan pakaian. Beliaukemudian berdoa, ‘Ya Allah, sesungguhnya mereka adalahkeluargaku. Maka hilangkanlah dosa daripada mereka, dansucikanlah mereka sesuci-sucinya.’ Ummu Salamah berkata,‘(Apakah) Aku bersama mereka ya Nabi Allah.’ Rasulullahmenjawab, ‘Engkau tetap pada tempatmu, dan engkau tetapdalam kebaikan.’

Kedua hadis tersebut mengandung nilai hasan gharibyang memberi penegasan supaya tidak mengabaikan al-Qurandan ahlulBait selain menguraikan siapakah yang dimaksudkandengan Ahlul Bait Rasulullah saw.

Hadis-hadis di atas, dan banyak lagi hadis lain, dengannyata memberi penghargaan yang tinggi kepada Ahlul BaitRasulullah saw dan meletakkan status Ahlul Bait di tempat yangtidak dapat diganggu gugat. Karena esay ini bertujuan untukmembicarakan sosok Sayyidina Husain dalam karya klasikMelayu maka tiga dalil keutamaan Ahlul Bait menurut sumber-sumber mazhab Ahlus sunnah wal jamaah di atas dianggapcukup memadai untuk menunjukkan kedudukan SayyidinaHusain sebagai salah seorang Ahlul Bait Rasulullah saw.Sehubungan dengan itu, melihat masyarakat Melayu diNusantara yang sebagian besar adalah penganut dan pendukungmazhab Ahlus sunnah wal jamaah, maka tidak berlebihan jikamengandaikan bahwa orang Melayu di wilayah ini turut

Jurnal Al-Qurba 1(1): 1-23, 2010

7

meletakkan Ahlul Bait di tempat yang sewajarnya sebagaimanadiperintahkan oleh Allah dan Rasulullah saw. Persoalannyaapakah sosok Ahlul Bait, dalam konteks ini secara lebih khususSayyidina Husain, benar-benar eksis dalam karya klasik Melayu?

Kedudukan Tiga Hikayat

Sebelum mengupas persoalan yang dikemukakan di atas,terlebih dahulu perlu diperkenalkan tiga hikayat yang dimaksudyaitu Hikayat Hasan Husen Tatkala Kanak-Kanak, Hikayat HasanHusen Tatkala Akan Mati, dan Hikayat Tabut.

Hikayat Hasan Husen Tatkala Kanak-Kanak dapatditemukan di bawah katalog van Ronkel (1909) di halaman 490dan katalog Naskah Melayu Museum Pusat Indonesia di Jakarta(1972) di halaman 197. Hikayat ini sepanjang 27 halaman,sebanyak 16 baris, bertulisan jawi dan menceritakan perihalSayyidina Hasan dan Sayyidina Husain yang disuruh memilihpakaian ketika masih kanak-kanak. Naskah hikayat ini sangatdipengaruhi bahasa Minangkabau. Hikayat Hasan Husen TatkalaAkan Mati juga ditemukan di bawah katalog van Ronkel (1909) dihalaman 488 dan katalog Naskah Melayu Museum PusatIndonesia di Jakarta (1972) pada halaman 197. Hikayat inisepanjang 11 halaman, sebanyak 16 baris, bertulisan jawi danmenceritakan perihal Sayyidina Hasan yang diracun danSayyidina Husain yang dibunuh oleh Yazid. Naskah hikayat inisebenarnya adalah lanjutan dari Hikayat Hasan Husen TatkalaKanak-Kanak. Naskah ini juga dipengaruhi bahasa Minangkabau.

Sementara itu Hikayat Tabut juga ditemui di bawahkatalog van Ronkel (1909) di halaman 225 dan katalog NaskahMelayu Museum Pusat Indonesia di Jakarta (1972) di halaman194. Hikayat ini sepanjang 8 halaman, sebanyak 16 baris,bertulisan jawi dan menceritakan perihal Nastal yang mencobamengambil mustika yang terdapat pada pinggang SayyidinaHusain setelah beliau wafat. Nastal telah ditampar oleh jenazahSayyidina Husain hingga pingsan, di mana ia melihat arak-arakanpara malaikat, para nabi, bidadari menangisi jenazah SayyidinaHusain. Setelah sadar dari pingsan, Nastal kemudian bertaubatdan memulai upacara perarakan tabut dan perkabunganmemeringati kesyahidan Sayyidina Husain di Karbala.

Bin Musa, MF. Sayyidina Husain dalam Teks Klasik Melayu

8

Sebelum membahas lebih lanjut sosok Sayyidina Husaindalam tiga hikayat tersebut, perlu dijelaskan terlebih dahuluposisi tiga hikayat ini dalam khazanah sastra Melayu. MenurutVladimir Braginsky (2004: 35), terdapat tiga era besar dalammenentukan kedudukan sastra Melayu lama. Era pertamaadalah era sastra Melayu lama yang meliputi kurun ketujuhhingga paruh pertama kurun keempat belas. Era seterusnya ialahera awal sastra Islam dari paruh kedua kurun ke empat belassehingga paruh pertama kurun ke enam belas. Era yang ditandaisebagai karya klasik Melayu adalah merujuk kepada era puncakpersuratan Melayu. Era ini bermula dari paruh kedua kurunkeenambelas hingga paruh pertama kurun kesembilan belas.

Untuk memastikan kedudukan tiga hikayat di atas,petunjuk yang dapat digunakan ialah dengan mengetahuikedudukan Hikayat Muhammad Hanafiyyah. HikayatMuhammad Hanafiyyah dikaitkan dengan ajaran mazhab syiah(Harun Jaafar 2002: 114-133). Menurut Harun Jaafar, selainhikayat tersebut, hikayat lain yang dikaitkan dengan Syiah ialahKitab Siffin, Kitab al Nahrawan, Kitab Maqtal Ali, Hikayat RajaHandak dan Hikayat Raja Lahad. Braginsky sebagai pengkajisastra Melayu klasik yang terkenal di Barat turut meletakkanHikayat Muhammad Hanafiyyah sebagai karya dengan pengaruhSyiah. Beliau menyatakan hikayat ini adalah pengaruh langsungdan terjemahan karya seorang penulis Arab bernama AbuMikhnaf. Braginsky berpendapat:

The transformation of Muhammad Hanafiyyah into a realhero, connected with an attempt to declare him the‘righteous leader’ (Mahdi) after the death of hisstepbrothers Hasan and Hussain, was initiated by someShi’ite sects which claimed that he had not died but wasonly hiding in the mountains, and which expected his‘second coming’ before long. An important part in thecreation of the myth of Muhammad Hanafiyyah wasplayed by a piece written by the medieval Arab writerAbu Mikhnaf, which became the model for the Persiantale formed in the fourteenth century and which wastranslated into Malay at about the same time (2004: 181).

Jurnal Al-Qurba 1(1): 1-23, 2010

9

Dalam argumentasi Hikayat Muhammad Hanafiyyah sebagai‘saduran’ karya Abu Mikhnaf, Braginsky sebenarnya merujuk L.FBrakel yang lebih awal menyusun dan mengkaji HikayatMuhammad Hanafiyyah. Brakel dengan jelas menyatakan ‘karyaAbu Mikhnaf adalah induk dari Hikayat Muhammad Hanafiyyah’(L.F Brakel 1988: 29).

Kedudukan Hikayat Muhammad Hanafiyyah amat kuatdalam masyarakat Melayu. Hikayat ini merupakan karya yangdibaca bangsawan dan pahlawan dalam kalangan istana MelayuMalaka. Hikayat Muhammad Hanafiyyah juga muncul dalamkalangan masyarakat Melayu sebelum 1511. Ismail Hamid (1983:145) menyatakan Hikayat Muhammad Hanafiyyah sebagaisebuah roman dengan tokoh Islam.

The earliest known of the Malay hikayat about muslimheroes are dated 1511 when Sejarah Melayu mentionsthat the Malay war chiefs and young nobles requestedthat the romances of Muslim heroes be read during thenight when Malacca was under siege by the Portuguese.Two romances available at the Malacca’s Court wereHikayat Muhammad Hanafiyyah and Hikayat AmirHamzah. Based upon the report of Sejarah Melayu, R.OWinstedt suggests that the romance about MuhammadHanafiyyah was already translated into the Malaylanguage by 1511. The account of Sejarah Melayu iscorroborated by the existence of the romance aboutMuhammad Hanafiyyah among the manuscripts boughtfor Cambridge University Library by the widow ofErpenius. The manuscripts originally belonged to PieterFloris, who bought them during his visit to Acheh on 1603and 1604.

Tanggapan bahwa Hikayat Muhammad Hanafiyyahsebagai sebuah karya dengan pengaruh Syiah cukup signifikandan menunjukkan istana Malaka telah terlebih dahulu mendapatpengaruh Syiah. Bahkan, istana Malaka meletakkan kedudukanHikayat Muhammad Hanafiyyah di tempat yang sangat pentingpada saat genting (A. Samad Ahmad 2003: 268).

Bin Musa, MF. Sayyidina Husain dalam Teks Klasik Melayu

10

Maka sahut Tun Muhammad Unta, “Benarlah sepertikata tuan-tuan itu; baiklah Tun Indera Segara pergipohonkan Hikayat Muhammad Hanafiah, sembahkanmudah-mudahan dapat patik-patik itu mengambilfaedah daripadanya, kerana Peringgi akan melanggaresok hari.”

Harun Jaafar (124) dalam argumentasinya tentangpengaruh Syiah pada Hikayat Muhamad Hanafiyyah menyatakan“mengagung-agungkan Ali dan keluarganya adalah satu di antaraciri-ciri pegangan syiah”. Tanggapan dangkal ini, yaitu memujaAhlul Bait sebagai ciri ajaran Syiah, sebenarnya telah ditolakdengan beberapa hadis dari sumber Ahlus sunnah wal jamaahdalam diskusi di awal tulisan ini. Dalam konteks esay ini,Braginsky mengelompokkan Hikayat Muhammad Hanafiyyahsebagai salah satu karya dari era kedua (era awal sastra Islam).Berdasarkan pengelompokan Hikayat Muhammad Hanafiyyahdalam era paruh kedua kurun ke empat belas sehingga paruhpertama kurun ke enam belas, kedudukan Syiah dalammasyarakat Melayu mendapat tempat sejak dulu. Hal inimenunjukkan pemerintah Melayu pernah memberikan satupenghargaan yang besar terhadap mazhab Syiah yangmendukung keutamaan Ahlul Bait. Brakel menulis:

Sementara itu di Melayu, yaitu tempat pengaruh Syiahmendapat kedudukan yang penting pada awalnya,perubahan-perubahan yang sama tidak mungkin berlaku.Namun demikian, apabila pengaruh Sunni di dunia Islammeningkat, yaitu semakin ortodoks, maka rasa benciterhadap teks-teks yang heterodoks seperti HikayatMuhammad Hanafiyyah pasti akan timbul (1988: 25).

Sekali lagi, dalam konteks tulisan ini, seperti yang disebutdi awal bahawa Braginsky telah mengelompokkan HikayatMuhammad Hanafiyyah sebagai salah satu karya dari era kedua(era awal sastra Islam). Hikayat Muhammad Hanafiyyahmembicarakan peristiwa berdarah Karbala yang membawakepada pembunuhan dan kesyahidan Imam Husain. SementaraHikayat Hasan Husen Tatkala Kanak-Kanak, Hikayat HasanHusen Tatkala Akan Mati, dan Hikayat Tabut adalah tiga hikayat

Jurnal Al-Qurba 1(1): 1-23, 2010

11

yang saling berkaitan, yang juga mengisahkan peristiwa Karbala.Oleh karena ketiga hikayat yang dibicarakan ini memilikikecenderungan yang jelas terhadap peristiwa Karbala yangdiungkapkan dalam Hikayat Muhammad Hanafiyyah, maka tidakberlebihan untuk meletakkan ketiga hikayat di atas juga dalamera kedua yaitu era awal sastra Islam. Selain itu dapat jugadiandaikan bahwa ketiga hikayat di atas turut menerimapengaruh Syiah kerana muatannya yang menceritakan tragediKarbala selain ‘mengagungkan Ali dan keluarganya’.

Akan tetapi timbul pertanyaan lain apakah HikayatHasan Husen Tatkala Kanak-Kanak, Hikayat Hasan HusenTatkala Akan Mati, dan Hikayat Tabut adalah karya-karya Sunnidengan pengaruh Syiah atau karya Syiah dengan pengaruhSunni. Harun Jaafar (129-130) secara tidak langsung menyatakanHikayat Muhammad Hanafiyyah adalah kesan langsungpengaruh ajaran Syiah. Adalah menarik untuk diungkapkan sekalilagi, dapat diartikan bahwa kerajaan Melayu Malaka telah secaraterbuka menerima ajaran-ajaran Syiah di istana. Harunmenekankan ‘hubungan kesusasteraan yang akrab denganmasyarakat’ di mana beliau berpendapat ‘aktivitas kesusasteraanadalah produk tamadun manusia’. Dalam esaynya Harun turutmenyebut sepintas lalu sambutan asyura dan perarakan tabutsebagai bagian dari budaya Melayu yang dipengaruhi Syiah.Beliau selanjutnya secara implisit mengakui penduduk wilayah inipernah menganut mazhab syiah atau sekurang-kurangnyasangat terpengaruh dengan ajaran syiah. Harun berpendapat:

Dari satu segi, usaha itu berhasil. Umat Islam diNusantara turut memuliakan tarikh itu dan tabut pernahdiadakan di Aceh, Padang dan lain-lain. Ini mungkindisebabkan oleh pengaruh Syiah yang datang lebihdahulu ke daerah itu dan kemudian dilemahkan olehaliran Sunnah yang masih melekat dalam jiwa pendudukdaerah itu. Hingga kini masih ada umat Islam diSemenanjung Malaysia yang menyambut tarikh itudengan menyediakan bubur asyura. Bagaimanapun,mereka gagal mensyiahkan seluruh umat Islam diwilayah ini karena dinasti Mamaluk mengirim SyeikhIsmail yang berhasil menghalangi perpindahankepercayaan masyarakat ke mazhab Syiah.

Bin Musa, MF. Sayyidina Husain dalam Teks Klasik Melayu

12

Hal lain yang amat penting untuk disebutkan di sini ialahkedudukan dan peranan sastra tradisional dan klasik Melayusebagai sebuah wadah untuk mendidik dan mengajar. Siti HawaHaji Salleh (2009: 27) menyatakan ‘kebanyakan hasilkesusasteraan Melayu tradisional adalah kesusastraan fungsionalatau functional literature. Karya tersebut dilahirkan dengantujuan tertentu dan diharapkan memenuhi sesuatu fungsitertentu, bukan sekadar sebagai hiburan semata-mata. Fungsi ituberbeda dari satu kelompok dengan kelompok lainnya, tetapipada dasarnya, tujuan utamanya adalah untuk kebaikanmasyarakat pada jaman itu’. Seperti yang telah ditunjukkansebelumnya, istana Malaka dengan sengaja meletakkankedudukan Hikayat Muhammad Hanafiyyah sebagai tonggakpedoman di saat ada serangan musuh dari luar. Ini menimbulkanpersoalan, apakah yang diajarkan dan ‘diambil faedahnya’ olehpemerintah Malaka pada waktu itu agar pahlawan-pahlawannyamempelajari ‘sebuah karya Syiah’. Atau dengan kata lain,mengapa istana Malaka meletakkan kedudukan HikayatMuhammad Hanafiyyah sebagai rujukan pembakar semangatkeperwiraan jika hikayat ini dinilai sebagai ‘sebuah karya yangsarat dengan unsur Syiah’. Petunjuk ini memungkinkan satutanggapan awal yang penting untuk diajukan; yaitu umat Islampada waktu itu sudah amat terbuka dan bersedia merujuk kepada‘kebaikan’, (meminjam istilah Siti Hawa Haji Salleh) berbagaimazhab termasuk kitab atau hikayat yang dikaitkan denganmazhab Syiah. Pandangan ini tidak boleh dipinggirkan begitusaja. Siti Hawa Haji Salleh menegaskan, “hasil kesusastraanmemberikan alur pemikiran tertentu baik secara langsung mapunsecara implisit, dalam bentuk atau genre apapun” (ibid.).

Seperti telah dinyatakan, Hikayat Hasan Husen TatkalaKanak-Kanak, Hikayat Hasan Husen Tatkala Akan Mati, danHikayat Tabut identik dengan Hikayat Muhammad Hanafiyyahdari segi temanya. Ini juga menjadi menunjukkan bahwa bukanhanya hikayat Syiah yang pernah ada dan mendapat tempat dihati masyarakat Melayu. Persoalan selanjutnya bagaimana,meminjam ungkapan Brakel, “pengaruh Sunni di dunia Islammenjadi kian meningkat, yaitu semakin ortodoks” sehinggamenyebabkan “semacam rasa benci terhadap teks-teks yangheterodoks seperti Hikayat Muhammad Hanafiyyah” timbul?

Jurnal Al-Qurba 1(1): 1-23, 2010

13

Kata ortodoks yang dimaksudkan oleh Brakel tidakdiuraikan lebih lanjut dalam kajian beliau yang terkenal itu.Namun begitu, dengan menekuni kajian-kajian lain mengenaiperkembangan Islam di Nusantara, akan membawa kita padasatu isyarat yang amat jelas, bahwa permulaan ortodoksi diMelayu ialah pada saat berlakunya Perang Padri di Minangkabau.Perang Paderi ialah pertikaian agama antara kaum adat yangmenjadi pemimpin di Minangkabau dengan golongan Mahaliyang dikenali sebagai kaum paderi di Sumatera. Pertikaian iniberujung pada perang saudara yang kemudian memungkinkancampur tangan Belanda di Sumatera sekitar tahun 1830an.

Istilah lain untuk kaum Paderi adalah Wahabi. Untukmemahami persoalan ini, kajian utama yang dianjurkan antaralain ialah kajian Taufik Abdullah (1971) yang menguraikanperkembangan pergerakan kaum muda di Sumatera Barat.Kajian ini akan menunjukkan bagaimana Wahabi yang awalnyaortodoks di Minangkau telah berubah menjadi kaum muda danmenjadi lebih progresif sehingga hari ini dipandang sebagaikelompok moderat:

The traditional conception of alam as a harmony amongcontradictions faced a major challenge at the turn of thenineteenth century from an ortohodox religious reformmovement, the Padri. Launched by three Minangkabauhadji, who had been influenced by the wahabist inArabia, the movement rejected the idea of a balancebetween adat and Islam. Rather than ‘purity of heart’ thePadri stressed the outward manifestation of religiouslycorrect behavior. Instead of harmony, the Padri aimed atthe predominance of religious law (sjarak) over otherrules and standards. This militant, religous movementcondemned traditional practices as against the sjarak. Itthereby threatened the whole concept of alam andcaused a major civil war. The fierce struggle was not justa conflict between fanatical religious believers and thecustodians of the old order; it was also one between atotalistic and a relative view of the world (1971:5).

Insiden Perang Paderi ini juga dapat dibaca dalam sebuah teksklasik yaitu Surat Keterangan Syeikh Jalaluddin. Teks ini

Bin Musa, MF. Sayyidina Husain dalam Teks Klasik Melayu

14

mengisahkan secara terperinci bahwa perang paderi membawacampur tangan asing di Sumatera. E. Ulrich Kratz dan AdriyettiAmir dalam pengantar Surat Keterangan Syeikh JalaluddinKarangan Fakih Saghir merujuk Perang Paderi sebagai perangantara pendukung adat dan pendukung wahabi:

Selain itu SKSJ juga melukiskan secara terperinci konflikantara kaum paderi sendiri yang tidak sepahaman dalammenentukan tindakan yang patut diambil untukmenangani penyebaran paham wahabi. SKSJ danpengarangnya jelas berpihak kepada kelompok moderatyang mencari jalan tengah dan kurang menyetujuitindakan yang berunsur kekerasan. Teks ini berakhirdengan kedatangan oang Belanda, yang diterima denganbaik oleh kelompok yang moderat sebagai salah satucara untuk mengakhiri perselisihan itu. Jelas sekali SKSJmenyalahkan kelompok yang radikal itu atas keterlibatanorang luar dalam penyelesaian konflik tersebut (2002: ix).

Merujuk kembali kepada istilah ortodoks yang digunakan Brakel(dalam tulisannya kata ortodoks disandingkan), dapat diandaikanini mengisyaratkan golongan Wahabi. Tidak mustahil gerakanortodoks atau Wahabi inilah yang menjadi puncak kemerosotantanggapan terhadap hikayat-hikayat Syiah atau berunsur Syiahdi Melayu. Golongan Wahabi diketahui menolak golongan Syiahdan menganggapnya kafir.

Proses de-syiahisasi ini telah disentuh oleh EdwinWieringa dalam artikel beliau yang amat penting berjudul DoesTraditional Islamic Malay Literature Contain Shi’itic Elements? Aliand Fatimah in Malay Hikayat Literature. Dalam tulisan tersebutWieringa menyatakan terdapat sekurang-kurangnya tiga hikayatklasik awal Islam, antara lain, Hikayat Nabi Mengajar Ali danHikayat Abu Samah yang memaparkan kebodohan Umar alKhattab. Beliau selanjutnya menyatakan telah terjadi proses‘netralisasi’ unsur-unsur syiah sehingga bukan saja Imam Ali yangdisanjung, tetapi Umar al Khattab yang dikutuk sebelumnyadalam hikayat Melayu digambarkan tidak lagi negatif. Bahkandalam beberapa kasus, laknat terhadap Umar telah dibuangsama sekali dari teks (104-105):

Jurnal Al-Qurba 1(1): 1-23, 2010

15

As the majority of the Malay manuscripts date from thenineteenth century it is only natural to find only remnantsof Shi’itic influences in the hikayat which have survived.The textual witnesses cannot be characterized asdistinctly Shi’itic. Yet it is remarkable to find so muchattention for Ali and Fatimah in hikayat literatue. What ismore, their roles in hikayat are wholly congruous withpopular Shi’itic imagery. Especially in the stories aboutAli as the wise judge, Ali can be praised at Umar expense.Umar, however is not portrayed too negatively and thenormal Shi’itic cursing of Umar’s name is entirely left out.Summing up then, the prominent place of Ali andFatimah in Malay hikayat literature is to be explained bythe early introduction of these stories as popular readingmatter for neophytes when Indonesian Islam still had aShiah tinge. In the course of time the popular stories, inwhich Ali and his family played a prevalent part, were-gradually neutralized to such and extent that no Sunnibeliever could object to them. (107).

Diskusi di atas memberi informasi penting bahwaberdasarkan hikayat-hikayat Melayu yang ada, orang Melayutelah menerima, terpengaruh atau amat terbuka dengan ajaranSyiah sampai dilakukannya de-syiahisasi yang mengakibatkanhikayat-hikayat ini kurang dikenali sama sekali oleh masyarakatMelayu dewasa ini. Dengan mengambil contoh Hikayat NabiMengajar Ali dan Hikayat Abu Samah yang memaparkan‘kebodohan’ Umar al Khattab, jelas terlihat bahwa hikayat inimerupakan hikayat dengan ajaran syiah. Hal ini karena menurutWierenga ‘as is well known the name of Umar is never pronouncedby a true Shi’ite without a curse‘ (104). Oleh kerana itu, dapatdisimpulkan, Hikayat Muhamamad Hanafiyyah, Hikayat HasanHusen Tatkala Kanak-Kanak, Hikayat Hasan Husen Tatkala AkanMati, dan Hikayat Tabut adalah hikayat atau karya klasik Melayuyang mengandung ajaran syiah dan bukan hikayat sunni denganpengaruh syiah.

Bin Musa, MF. Sayyidina Husain dalam Teks Klasik Melayu

16

SOSOK SAYYIDINA HUSAIN

Sebagai sebuah hikayat dengan ajaran syiah, HikayatHasan Husen Tatkala Kanak-Kanak, menonjolkan SayyidinaHusain sebagai cinta Rasulullah saw yang ditampilkan sebagai‘buah hati sibiran tulang’. Kutipan berikut menunjukkankedekatan Sayyidina Hasan dan Sayyidina Husain dengan kakekmereka, Nabi Muhammad saw:

Setelah itu maka Jibril pun kembali ke hadirat Allah ta’alamenyembahkan sabda Rasulullah. Maka firman Allah punmenyuruh Jibril mengambil pakaian dua helai dari dalamsurga. Sehelai bernama kain sundustin istibraq. Sehelaibernama kain gendam. Barang siapa memperoleh warnayang hijau maka akan mati minum racun. Barangsiapamemperoleh pakaian yang merah akan mati dibunuhhulubalang Raja Yazid. Itulah kain yang dianugerahkankepada kekasihku, supaya tahu ia akan kematiancucunya Hasan dan Husain. Jibril pun turun kembalikepada Rasulullah. Rasulullah pun masygul seketikamendengar Jibril menyampaikan kematian Hasan Ali danHusain. Maka Rasulullah berkata, “ Jibrail, apakah akuakan melihat cucuku Hasan Ali dan Husain?” Jibrilmenjawab,” Ya Rasulullah, kematian cucu tuan akanterjadi sepeninggal tuan. Abu Bakar pun tiada lagi, Umardan asmanya pun tiada lagi. Ibunya Fatimah pun tiadalagi, ia mati sepeninggal tuan, hanya ada saudaranyaanak tuan baginda Ali dalam negeri Banur Banir anakPutri Hanafiyah itulah saudara Hasan Ali dan Husain.”Setelah itu Rasulullah memberikan pakaian kepadaHasan Ali dan Husain. Maka kata Rasulullah, ”Hai cucukunanda berdua, inilah pakaian yang sangat engkaukehendaki, ambil olehmu menurut kehendakmu.”Maka baginda Amir Hasan pun mengambil baju yangberwarna hijau. Maka baginda Amir Husain punmengambil baju berwarna merah. Rasulullah pun tahubahwa kematian cucunya Hasan karena diracun orangdan Husain mati dibunuh oleh Raja Yazid celaka.

Jurnal Al-Qurba 1(1): 1-23, 2010

17

Selain itu, hikayat ini juga memaparkan ratapan, pembacaanmusibah, ma’tam panjang Sayyidah Fatimah Zahra:

Setelah itu terdengar oleh tuan Fatimah kata junjunganRasulullah kepada anaknya, Fatimah pun menangis,demikian bunyi tangisnya, ”Ahmad Muhammad al-aminullah, cahaya mataku Fatimah, cahaya masjunjunganku, cahaya mata tuan Fatimah, cahaya matatuan Hadijah, cahaya mata pengikut Makah dan Madinahbapaknya tuan Fatimah nenekanda Hasan Ali danHusain, saudara Muhammad Hanafiyah maulah melihatseketika payung panji Madinah, junjungan MakahMadinah, junjungan payung panji alam Madinah, tiangsuluh ka’abah Allah yang mulia bagi MakahMadinah.Tidak dinyana tidak disangka tuan diatas akanbinasa, buah hati pengarang jantung, junjungan HasanAli dan Husain. Marilah melihat tuan kandung, buah hatisibiran tulang, buah iga cahaya biji mataku, buah hatiku,cahaya suratan sibiran tulang, pergantungan hatijunjunganku pengikut alam Makah Madinah. Hilang siapakan mencari tuan kandung Hasan Ali dan Husain. Hatirusuh tidak melihat apakah dia untung baik atau matisepeninggalanku. Sudah untung sudah suratan anakkumati tidak…junjungan Hasan Ali dan Husain sensarabunda Ali di Madinah dari anak cucu Rasulullah, ia anaktuan Baginda Ali, cucu tuan Hadijah, anak Tuan Fatimah,junjungan Hasan Ali dan Husain Ahmad MuhammadRasulullah, buah hati cucu tuan junjunganku AhmadMuhammad Rasulullah, buah hati tuan bapak bagindaRasulullah, buah hati tuan Fatimah, Makah Madinahbapak kandung tuan. Fatimah, junjungan Hasan Ali danHusain, Ahmad Muhammad Rasulullah buah hatijunjunganku.Ahmad Muhammad Rasulullah, buah hati cucu tuanjunjunganku Ahmad Muhammad Rasulullah, buah hatituan bapak baginda Rasulullah, buah hati tuan Fatimah,Makah Madinah bapak kandung tuan Fatimah, junjunganHasan Ali dan Husain nenek Ahmad MuhammadRasulullah, buah hati junjunganku. Ahmad MuhammadRasulullah, buah hati tuan baginda Rasulullah, buah hati

Bin Musa, MF. Sayyidina Husain dalam Teks Klasik Melayu

18

tuanku Hadijah. Ahmad Muhammad Rasulullahpergantungan nyawa badanku, Ahmad MuhammadRasulullah pergantung isi Makah Madinah, tidak disabdatidak disangka akam mati buah hati pengarang jantungtiada bapak wa bunda, tiada bunda sedangkan berceraibuah hati. Sebab apa sibiran tulangku, buah hati, sibirantulangkui, nyawa badanku, cahaya matakulah rusuhnasib, hilanglah rasa buah bicaraku junjunganku AhmadMuhammad Rasulullah tiang mahligai Makah MadinahAhmad Muhammad Rasulullah habib Allah suluh bidangKa’abah Allah, luluh rasa hatiku hancur rasa tulangbenaku mendengar kata junjunganku, ya Hasan ke manaberkata dayang palingan kain baju tuan Hadijah, pakaiantuan Fatimah permata intan kami taruhan tuanhadijah,kandungan tuan….sibiran mata intan UmmiSalamah, cahaya mata tuan baginda Ali, buah hatiRasulullah, sibiran tuan Hadijah, nyawa badan tuanFatimah, tingkat pangku hilang tidak kepada hancurlahkulit pemalut tulangku mendengar binasa tidak sangkaanmenaruh syak tidak disangkakan, memanggil sudahlahuntuk suratan. Anak mati sepeninggalan aku, sudahuntung sudah suratan tidak disangkal ajal datangmemanggil, siapa dapat memahami,bukan hamba hibaakan nama bukan hamba rusuh akan hilang, junjunganHasan Ali dan Husain, hidup tiada akan kekal, isirumahnya ia akan tinggal, kami berjalan antakan gusar,itulah pula hamba hibaukan.Setelah itu Fatimah menyuruh memanggil anaknyaMuhammah Ali Hanafiayah. Maka baginda Ali membawaanaknya Muhammah Ali Hanafiayah kepada rumahFatimah al-Zahra. Maka Fatimah memangku anaknyaMuhammah Ali Hanafiyah, kekasih daripada Hasan Alidan Husain yang tiada diceraikannya daripada siang juamalam, tiada diberatnya kembali lagi.

Hikayat ini turut menampilkan 'perpisahan penuh duka'Sayyidina Husain dengan kakaknya Sayyidina Hasan. Kutipanberikut menceritakan rencana Yazid untuk membunuh SayyidinaHusain di Karbala:

Jurnal Al-Qurba 1(1): 1-23, 2010

19

Setelah itu maka bebanlah pada tanah perkuburan. Makadihentikan orang jenazah, hendak dimasukkan ke dalankubur. Maka menangislah Baginda Amir Husain, ”OhAllah wa Muhammad wali Nur Muhammad MaulanaGulam Muammad Taju I alamin Nur Muhammad, SaidulAlam.” Maka didengar oleh segala perempuan, Makamenangislah segala perempuan daripada sepanjang jalanserta Putri Syahriban demikian Nur al- Husain bernamatuan baginda Amir Hasan anak cucu Rasulullah, ya tuanFatimah Zainab katakan jua nan racun junjungan kita,supaya putus hati kita baginda amir Husain. Kepadanyaya tuan Syahriban beratlah Putri Zainab serta PutriSyahriban.Adapun junjungan mati di racun Laila Majanah orangyang celaka di upah Yazid.Setelah itu maka lama antaranya, maka berbicaralah pularaja hendak membunuh baginda Amir Husain, makadikumpul segala rakyatnya, maka berkatalah ia, Akuhendak bicarakan kematian baginda Amir Husain.” Makaberkata pula satu orang pandai bicara demikiankatanya,” Adapun bicara hamba membunuhlah bagindaAmir Husain. Kita bawa dia berjalan-jalan ke dalam hutanKabila. Bermula lagi kutika maka kita tikam dengansenjata niscaya matilah ia.

Sementara itu, Hikayat Hasan Dan Husen akan Matimenunjukkan keleluasaan orang Melayu melaknat Yazid selakupembunuh Sayyidina Husain. Petikan di bawah menyebutkanYazid sebagai 'celaka':

Maka terdengar oleh Fatimah pun, bertandang sembahkepada Rasulullah demikian bunyi katanya: Yajunjunganku, berapalah maka tuan namakan junjunganserta nama suami hamba. Itulah gerang cucu yangkekasih, junjungan,” maka Fatimah pun masgul dari hatitiada suka. Setelah dilihat oleh Rasulullah punbertandangkan sembang kepada Fatimah serta isirumahnya mengkabarkan kematian cucunya Hasan Alidan Husain demikian bunyi katanya Fatimah dua hari.”Tetapi engkau aku lihat tiada suka dari hatimu Ali aku

Bin Musa, MF. Sayyidina Husain dalam Teks Klasik Melayu

20

namai Muhammad Ali Hanafiayah, tiadalah engkau tahuitulah anak kekasihku,tiadalah tahu akan mati anakmuHasan Ali dan Husain mati dari racun. Hasan matidibunuh hulubalang Yazid celaka.”

Hikayat Tabut juga menekankan pentingnya mengenangtragedi Karbala. Tiga kutipan di bawah ini ditampilkan untukmenunjukkan bagaimana peristiwa Karbala diperingati, berikutperarakan tabut dan panjatan:

Maka kata Jibrail,” Amir Husain ini, sepeninggalanRasulullah, dianya mati terbunuh oleh kaum Yazid dipadang Karbala. ”Dan menjawab istri Rasulullah bernamaUmi Salamah,” Apa kenyataannya oleh kami esok hari?”Maka Jibrail pergi mengambil satu genggam tanah dipadang Karbala. Maka dikasinya kepada Umi Salamah.Dan kata Jibrail,” Simpan ini tanah baik-baik di dalamsurahi kaca dan hendaklah diperiksa tanah saban tahun,pada tiap-tiap satu hari bulan- Muharram. Dan jika tanahmenjadi darah, maka hampirlah mautnya Amir Husainini”.Dan itulah artinya orang membuat tanah itu.Pada hari empat menjelang lima al-muharram, orangmembuat tabut itu mangambil batang pisang danmendudukan panja namanya. Artinya hari empatmenjelang lima itu hari, tatkala Amir Husain denganisterinya bernama Sahari Banun anak Raja Kasri.Pada malam kedelapannya orang-orang membuat tabut,mengarak jari-jari namanya. Artinya orang dari negeriKufah akan menyongsong Amir Husain di Sungai Kertas.

Hikayat Tabut ini juga mengajarkan kedudukan Sayyidina Husainyang istimewa di sisi Allah di mana syafaat beliau sangat pentinguntuk mendapat pengampunan Allah swt:

Maka terdengar oleh Ja’far ibnu Muhammad tadi bunyisuara demikian itu. Maka lalu diperiksanya,” Hai hambaAllah nama Nastal, mengapakah engkau dan apakahdosa engkau sudah perbuat?”Maka jawab Nastal.”Tatkala Umar Syahid dan Abdullah Zaid dan Simarlajibsudah membunuh Amir Husain. Maka segala orang-

Jurnal Al-Qurba 1(1): 1-23, 2010

21

orang Raja Yazid bersuka-sukaan makan dan minum.Pada tengah malam dianya sudah tidur semuanya, makahamba hendak mengambil mustika di dalam pinggangAmir Husain. Pikiran hamba , jikalau hamba ambilmanikam itu, barangkali sampai di anak cucu-cucu akumemakannya tidak habis. Maka hamba pegang pinggangAmir Husain, lantas mayat Husain menampar mukaku.Itulah sebabnya menjadi hitam serta dipegang tanganku,lantas aku potong tangannya yang kanan. Dan kaupegang juga pinggang Amir Husain dan dipegangnyajuga tangan aku, lantas aku jatuh pengsan. Itulahsebabnya aku minta ampun dengan bersungguh-sungguh ini.Maka Jawab Ja’far ibnu Muhammad,” hai Nastal, tiadakau mendapat ampun daripada Allah, melainkan apayang engkau lihat di dalam pinsang itu perbuatl;aholehmu. Mudah-mudahan engkau mendapat ampun dariamir Husain.” Dan itulah sebab orang membuat tabut.

Menurut Jumsari Yusuf, Aisyah Ibrahim, Nikmah A.Soenardjo dan Hani'ah (1984: 19) upacara tabut amat berakar diNusantara dan “berfungsi memperingati kematian Hasan danHusen sebagai tanda bakti kepada mereka dari penganut syiah”.Mereka turut menyinggung kecenderungan orang Melayu untukmenghindari majelis perkawinan di bulan Muharram.

Jelas sekali bahwa sosok Sayyidina Husain dalam ketigahikayat di atas berhubungan dengan ajaran Syiah. Bahkan ketigahikayat ini menampilkan peristiwa Karbala dan sosok SayyidinaHusain sebagai cucunda Rasulullah saw yang sangat bermaknabagi umat Islam.

Kesimpulan

Makalah ini berusaha membuktikan kedudukan HikayatHasan Husen Tatkala Kanak-Kanak, Hikayat Hasan HusenTatkala Akan Mati, dan Hikayat Tabut sebagai tiga hikayatdengan ajaran Syiah yang sangat kental dan berakar di kalanganorang Melayu. Ketiga hikayat ini, yang sejajar dengan HikayatMuhammad Hanafiyyah, memperkuat tanggapan bahwaperkabungan dan dedikasi untuk Sayyidina Husain dalam

Bin Musa, MF. Sayyidina Husain dalam Teks Klasik Melayu

22

masyarakat Melayu bukanlah sesuatu yang asing. Tanggapan inimenjadi lebih kuat dengan kenyataan bahwa salah satu perananbesar produk sastra klasik ialah untuk mendidik dan bersifatdidaktik. Tidak mustahil juga hikayat-hikayat dengan ajaranSyiah ini merupakan suatu manifestasi pegangan dan petunjukpenting tentang mazhab dan pemikiran awal umat Islam diNusantara. Sukar untuk menafikan bahwa masyarakat Melayu,seperti umat Islam di wilayah lain juga, sangat dekat dengansosok Sayyidina Husain selaku panutan, teladan, pedoman danmodel yang menyebabkan citra Sayyidina Husain sangat utuhserta tercermin dalam hikayat sebagai sebuah produk budaya.

Kepustakaan

Schimmel, Annemarie. 1986. Karbala and the Imam Husayn inPersian and Indo-Muslim literature. Al-Serat, Vol XII.

G. Clarke, Lynda. Elegi (Martsiyah) untuk Husain: Dalam bahasaarab dan parsi. Al Huda Vol 1 No 3.Islamic Centre Jakartaal Huda. Jakarta. 2001.

Harun Jaafar. Wacana Kesusasteraan Melayu Klasik. PenerbitUniversiti Pendidikan Sultan Idris. Tanjung Malim. 2002.

Braginsky, Vladimir. The heritage of traditional Malay literature.Institute of Southeast Asian Studies. Singapore. 2004.

Brakel, L.F. Hikayat Muhammad Hanafiyyah. Dewan Bahasa danPustaka. Kuala Lumpur. 1988.

Ismail Hamid. The Malay Islamic Hikayat. Penerbit UniversitiKebangsaan Malaysia. Bangi. 1983.

Taufik Abdullah. Hools and Politics: The Kaum Muda MovementIn West Sumatra (1927-1933). Cornell University. NewYork. 1971.

Kratz, E.Ulrich. dan Adriyetti Amir. Surat Keterangan SyeikhJalaluddin Karangan Fakih Saghir. Dewan Bahasa danPustaka. Kuala Lumpur. 2002.

Wieringa, Edwin. Does Traditional Islamic Malay LiteratureContain Shi’itic Elements? Ali and Fatimah in MalayHikayat Literature dalam Studia Islamika Vol 3 No 4.Center for the Study of Islam and Society UIN. Jakarta.1996.

Siti Hawa Haji Salleh. Kelopak Pemikiran Sastera Melayu.Penerbit Universiti Kebangsaan Malaysia. Bangi. 2009.

Jurnal Al-Qurba 1(1): 1-23, 2010

23

At-Tirmidzi, Muhammad Nashiruddin al-Albani (pnsyrh.).ShahihSunan Tirmidzi. Pustaka Azzam. Jakarta. 2007.

At-Tirmidzi, Mohd Zuhri (terj.). Tarjamah Sunan at-Tirmidzi.Penerbitan Victory Agencie. Kuala Lumpur. 1993.

Ahmad bin Muhammad bin Hanbal, (Ahmad Muhammad Syakir(pnsyrh.). Musnad Imam Ahmad. Pustaka Azzam.Jakarta. 2006.

Muslim, Ma’mur Daud (terj.) Shahih Muslim. Darel Fajr PublishingHouse. Singapura. 2002.

Bukhari, Zainuddin Hamidy Fahcruddin HS Nasharuddin ThahaJohar Arifin A. Rahman Zainuddin (terj.) Shahih Bukhari.Darel Fajr Publishing House. Singapura. 2002.

A. Samad Ahmad (pnylgr). Sulalatus Salatin Sejarah Melayu.Dewan Bahasa dan Pustaka. Kuala Lumpur. 2003.

Jumsari Yusuf, Aisyah Ibrahim, Nikmah A. Soenardjo dan Hani'ah(pnylgr). Sastra Indonesia Lama Pengaruh Islam. PusatPembinaan dan Pengembangan Bahasa DepartemenPendidikan dan Kebudayaan. Jakarta. 1984.