wasiat kepada ahli waris -...

Download WASIAT KEPADA AHLI WARIS - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4510/1/ILHAM... · WASIAT KEPADA AHLI WARIS Studi Komparatif Pasal 195 Kompilasi

If you can't read please download the document

Upload: nguyentruc

Post on 06-Feb-2018

221 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

  • WASIAT KEPADA AHLI WARIS Studi Komparatif Pasal 195 Kompilasi Hukum Islam Dengan Hukum Islam

    Skripsi

    Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)

    Oleh :

    Ilham Ismail NIM : 106043101303

    KONSENTRASI PERBANDINGAN MAZHAB FIKIH PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM

    FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

    SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

    1432 H/2011 M

  • ii

    WASIAT KEPADA AHLI WARIS Studi Komparatif Pasal 195 Kompilasi Hukum Islam Dengan Hukum Islam

    Skripsi

    Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)

    Oleh :

    Ilham Ismail

    NIM : 106043101303

    Pembimbing :

    Dr. H. Abdul Wahab Abd. Muhaimin, Lc., MA NIP : 195008171989021001

    KONSENTRASI PERBANDINGAN MAZHAB FIKIH PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM

    FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

    SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

    1432 H/2011 M

  • iii

    LEMBAR PERNYATAAN

    Dengan ini saya menyatakan bahwa:

    1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah

    satu persyaratan memperoleh Gelar Strata Satu (S I) di Universitas Islam Negeri

    (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

    2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini saya cantumkan sesuai

    dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif

    Hidayatullah Jakarta.

    3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil asli saya atau

    merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima

    sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah

    Jakarta.

    Jakarta; 15 Rabiul Akhir 1432 H

    21 Maret 2011 M Penulis

  • iv

    KATA PENGANTAR

    Alhamdulillah, segala puja dan puji bagi Allah SWT yang Maha

    Pengasih dan Penyayang, penulis panjatkan sebagai ungkapan rasa syukur

    atas segala limpahan hidayah, rahmat dan nikmat-Nya kepada penulis,

    sehingga dengan kudrat dan iradatnya penulis dapat menyelesaikan skripsi

    ini dengan baik.

    Salawat serta salam semoga Allah SWT limpahkan kepada Nabi

    Muhammad SAW yang telah membimbing umat manusia untuk mengikuti

    petunjuk dengan risalahnya yakni Agama Islam, yang akan menyelamatkan

    dan menghantarkan pemeluknya menuju kebahagiaan di dunia dan akhirat.

    Dibalik selesainya skripsi yang berjudul Wasiat Kepada Ahli

    Waris Studi Komparatif Pasal 195 Kompilasi Hukum Islam Dengan

    Hukum Islam, yang merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar

    Sarjana Hukum Islam (SHI) Prodi Perbandingan Mazhab dan Hukum

    (PMF), Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,

    tentunya banyak kendala dan cobaan yang penulis hadapi dalam proses

    penulisannya terutama cobaan mental yang terasa begitu berat, di tengah

    kemampuan ekonomi yang kurang memadai. Akan tetapi, dengan penuh

    keyakinan dan ketabahan penulis mampu melewati segala persoalan

    tersebut.

    Banyak pihak yang membimbing dan membantu dalam proses

    penyelesaian skripsi ini. Oleh karena itu ucapan terima kasih yang tiada

    hingga penulis sampaikan kepada yang terhormat :

  • v

    1. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Prof.

    Dr. Drs. H. M. Amin Suma., SH., MA., MM., beserta seluruh staf jajarannya

    yang tidak bisa disebutkan satu-persatu yang telah memberikan bimbingan

    serta arahan, baik secara langsung maupun tidak langsung selama penulis

    menimba ilmu di Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah

    Jakarta.

    2. Ketua Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum, Fakultas Syariah

    dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Dr. H. Muhammad Taufiki,

    M.Ag., dan Fahmi Muhammad Ahmadi, S.Ag, M.Si selaku Sekretaris Prodi

    yang telah memberikan arahan kepada penulis baik secara langsung maupun

    tidak langsung.

    3. Dr. H. Abdul Wahab Abd. Muhaimin, Lc., MA pembimbing skripsi yang

    telah banyak memberikan bantuan, baik dari segi arahan, waktu, tenaga, dan

    pikirannya sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.

    4. Pimpinan dan Karyawan Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah

    Jakarta dan Pimpinan, staf, karyawan perpustakaan Fakultas Syariah Dan

    Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah memberikan fasilitas

    untuk mengadakan studi kepustakaan berupa buku-buku ataupun lainnya,

    sehingga penulis memperoleh informasi yang dibutuhkan.

    5. Seluruh dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

    yang telah memberikan banyak ilmu pengetahuan kepada penulis selama

    menjalani masa pendidikan berlangsung. Semoga ilmu yang diberikan

    menjadi ilmu yang bermanfaat dunia dan akhirat.

  • vi

    Semoga segala partisipasi, dukungan dan motivasi serta doa yagn

    diberikan kepada penulis,mendapat ganjaran pahala oleh Allah SWT dengan

    balasan yang berlipat ganda.

    Harapan penulis semoga skripsi ini berguna bagi penulis

    khususnya dan bagi pembaca pada umumnya. Akhirnya hanya kepada Allah

    SWT segala urusan akan kembali dan kepada-Nyalah kita memohon hidayah

    dan taufiq serta ampunan.

    Jakarta; 7 Rabiul Awal 1432 H 11 Februari 2011 M Penulis

  • vi

    DAFTAR ISI

    KATA PENGANTAR .................................................................................... i

    DAFTAR ISI ................................................................................................... iv

    BAB I : PENDAHULUAN . 1

    A. Latar Belakang Masalah .................................................... 1

    B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ................................ 12

    C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .......................................... 12

    D. Kajian Pustaka ................................................................... 13

    E. Metode Penelitian .............................................................. 14

    F. Sistematika Penulisan .................................................... .... 15

    BAB II : KETENTUAN UMUM TENTANG WASIAT .. 17

    A. Pengertian Wasiat ............................................................. 17

    B. Dasar Hukum Wasiat ........................................................ 19

    C. Hukum Wasiat .................................................................. 24

    D. Rukun dan Syarat Wasiat .............................................. .... 26

    E. Kadar Dan Hikmah Wasiat ............................................... 31

    F. Hal-hal Yang Membatalkan Wasiat .................................. 33

  • vii

    BAB III : TINJAUAN UMUM TENTANG KOMPILASI HUKUM

    ISLAM (KHI) ... 35

    A. Sekilas Tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI) .................. 35

    B. Landasan Kompilasi Hukum Islam (KHI) ............................ 45

    C. Kedudukan Kompilasi Hukum Islam (KHI) Dalam Sistem Hukum

    Nasional ................................................................................. 48

    D. Tujuan Perumusan Kompilasi Hukum Islam (KHI) .............. 51

    BAB IV : ANALISIS WASIAT KEPADA AHLI WARIS MENURUT

    KOMPILASI HUKUM ISLAM (KHI) PASAL 195 DAN

    HUKUM ISLAM 54

    A. Kedudukan Wasiat Kepada Ahli Waris ............................... 54

    1. Menurut Imam Mazhab .................................................. 54

    2. Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) .......................... 59

    B. Relevansi Pasal 195 Kompilasi Hukm Islam (KHI) Tentang

    Wasiat Kepada Ahli Waris di Indonesia ............................. 63

    BAB V : PENUTUP . 66

    A. Kesimpulan ........................................................................... 66

    B. Saran-saran ............................................................................ 67

    DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 68

  • 1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang Masalah

    Kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan, tekhnologi dan pengaruh

    informasi global telah merambah ke seluruh aspek kehidupan, tidak saja membawa

    kemudahan dalam fasilitas kehidupan tetapi juga menimbulkan perilaku dan

    persoalan-persoalan baru yang membutuhkan pemecahan hukumnya. Dalam hal ini

    ijtihad menjadi sebuah jawaban hukum atas persoalan-persoalan yang ada di tengah-

    tengah umat Islam. Upaya ini dilakukan mengingat universalitasnya ajaran Islam.

    Dengan demikian hukum Islam harus selalu dapat menjawab tantangan zaman. Ini

    karena fikih sebagai aplikasi operasional dari pemahaman terhadap syariah dapat

    berubah sesuai dengan situasi yang berubah pula. Dengan demikian sifat fikih sangat

    fleksibel. Dalam kaidah ushuliyyah terkenal dengan ungkapan:

    1.

    Artinya: Keberadaan hukum itu sesuai dengan illatnya, baik ada dan tidak adanya.

    Pada dasarnya, hukum Islam dihadirkan dalam rangka untuk merealisasikan

    kemashlahatan individu maupun kemashlahatan sosial yang selalu sesuai dengan

    tuntutan perubahan zaman. Oleh kerenanya, hukum Islam selalu bersifat elastis dan

    1 Abdul Hamid Hakim, Mabadi Awwaliyah, (Jakarta: Saadiyah Putra, Tt), h. 47

  • 2

    fleksibel. Dalam rangka inilah, selalu diperlukan ijtihad agar terealisasikannya hukum

    Islam.

    Dalam konteks keindonesiaan yang masyarakatnya majemuk dan mayoritas

    warga negara memeluk agama Islam, banyak upaya yang dilakukan oleh ulama agar

    hukum Islam menjadi hukum positif dan mempunyai kekuatan hukum. Oleh

    karenanya, diantara upaya untuk merealisasikan hukum Islam adalah Fatwa Majelis

    Ulama Indonesia (MUI), Bahtsul Masail dan juga Kompilasi Hukum Islam (KHI).

    Selain itu juga, untuk menjawab seputar masalah hukum Islam yang terjadi seiring

    dengan berkembangnya zaman.

    Undang-undang Dasar Negara Republik Indoneisa (UU NRI) Tahun 1945

    menentukan dalam pasal (2) bahwa Peradilan Agama merupakan salah satu

    lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung bersama badan

    peradilan lainnya di lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Tata Usaha Negara, dan

    Peradilan Militer. Peradilan Agama merupakan salah satu Badan Peradilan pelaku

    Kekuasaan Kehakiman (KK) untuk menyelenggarakan penegakan hukum dan

    keadilan bagi rakyat pencari keadilan perkara tertentu antara orang-orang yang

    beragama islam di bidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infak,

    sedekah, dan ekonomi syariah.2

    Dalam Undang-undang ini kewenangan pengadilan di lingkungan Peradilan

    Agama diperluas, hal ini sesuai dengan perkembangan hukum masyarakat, khususnya

    2 Abdul Manan, Etika Hakim Dalam Penyelenggaraan Peradilan Suatu Kajian Dalam

    Sistem Peradilan Islam, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007), h. 240-241

  • 3

    masyarakat muslim. Perluasan tersebut antara lain meliputi ekonomi syariah. Dalam

    kaitannya dengan perubahan Undang-undang ini pula, kalimat yang terdapat dalam

    penjelasan umum UU no. 7 Tahun 1989 tentang PA (UU PA No.7/89) yang

    menyatakan: Para pihak sebelum berperkara dapat mempertimbangkan untuk

    memilih hukum apa yang digunakan dalam pembagian waris, dinyatakan dihapus.

    Kompilasi Hukum Islam (KHI) disusun dan dirumuskan untuk mengisi

    kekosongan hukum substansional (mencakup hukum Perkawinan, Kewarisan dan

    Perwakafan) yang diberlakukan pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan

    Agama.3 Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang tertuang dalam Instruksi Presiden

    Nomor 1 Tahun 1991 dilaksanakan dengan keputusan Menteri Agama Nomor 154

    Tahun 1991.4 Dalam sejarah, penerapan hukum Islam dalam proses pengambilan

    keputusan di Peradilan Agama selalu menjadi masalah, oleh karena rujukan yang

    digunakan oleh Peradilan Agama senantiasa beraneka ragam. Ia terdiri atas beragam

    kitab fikih dari berbagai aliran (mazhab), yang berakibat munculnya keragaman

    putusan terhadap perkara yang serupa. Hal ini sangat merisaukan para petinggi

    hukum terutama di kalangan Mahkamah Agung dan Dapertemen Agama. Dengan

    diberlakukannya Kompilasi Hukum Islam (KHI) kekosongan hukum itu telah terisi.

    Dalam perumusan Kompilasi Hukum Islam (KHI), secara substansional

    dilakukan dengan mengacu kepada sumber hukum Islam yakni Al-Quran dan Al-

    Sunnah dan secara hierarkial mengacu kepada Peraturan Perundang-undangan yang

    3 Cik Hasan Basri, Kompilasi Hukum Islam Dan Peradilan Agama Dalam Sistem Hukum Nasional, (Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 1999), h. 2

    4 Cik Hasan Basri, h. 11

  • 4

    berlaku.5 Di samping itu, para perumus Kompilasi Hukum Islam (KHI)

    memperhatikan perkembangan yang berlaku secara global dan memperhatikan

    tatanan hukum barat yang tertulis (terutama hukum eropa kontinental) dan tatanan

    hukum adat yang memiliki titik temu dengan tatanan hukum Islam. Berkenaan

    dengan hal itu, dalam beberapa hal maka terjadi adaptasi dan modifikasi tatanan

    hukum lainnya itu ke dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI).

    Di Bidang Kewarisan, Wasiat dan Perwakafan (Buku II dan Buku III) dalam

    Kompilasi Hukum Islam (KHI), pada dasarnya merupakan suatu bentuk peralihan

    dari hukum kewarisan dan hukum perwakafan menurut pandangan fuqaha ke dalam

    bentuk qanun. Namun demikian, terdapat ketentuan yang terkait dengan masyarakat

    majemuk, khususnya dengan tradisi yang berlaku dalam berbagai satuan masyarakat

    lokal, diantaranya ketentuan pasal 195 Kompilasi Hukum Islam (KHI) tentang

    kebolehan memberikan wasiat kepada ahli waris dengan syarat adanya persetujuan

    dari ahli waris lainnya.

    Dalam hal wasiat, Islam mensyariatkan ketentuan adanya wasiat dengan

    tujuan untuk mempererat tali persaudaraan antar sesama dan juga bentuk amal jariyah

    si mayit sebagai tambahan amal kebajikannya. Adapun dalam pelaksanaannya, wasiat

    dapat dilaksanakan bila si mayit mempunyai harta peninggalan dan sudah dibereskan

    masalah yang sudah berkaitan dengan si mayit seperti biaya penguburan dan hutang

    piutang. Dengan demikian masalah perwasiatan erat hubungannya dengan harta

    peninggalan si mayit yang bahasa arab disebut tirkah.

    5 Cik Hasan Basri, h. 9

  • 5

    Secara khusus tirkah diartikan dengan segala apa yang ditinggalkan oleh si

    mayit dibenarkan oleh syariat untuk dipusakai bagi ahli waris, seperti kebendaan

    sifat-sifat yang mempunyai nilai kebendaan, serta bukan kebendaan yang

    bersangkutan dengan orang lain.6 Demikian juga diungkapkan oleh ulama Malikiyah,

    Syafiiyah dan Hanabilah sedangkan Hanafi dan Ibnu Hazm hanya berupa harta

    benda saja.

    Adapun hak-hak yang berkaitan dengan peninggalan terdiri atas beberapa

    urutan, seperti hak yang berkaitan dengan zat harta tirkah, pengurusan biaya jenazah,

    pelunasan hutang piutang. Hutang piutang kepada Allah SWT, seperti pelaksanaan

    ibadah haji bila mampu atau hutang kepada manusia, seperti melaksanakan wasiat

    dan pembagian waris.7

    Dalam syariat Islam pelaksanaan wasiat telah diatur oleh Al-Quran juga

    Al-Sunnah. Adapun sumber hukum yang dijadikan rujukan tentang wasiat adalah

    yang terdapat dalam Surat al-Baqarah Ayat 180 dan juga Surat al-Maidah Ayat 106.

    Adapun dalam pelaksanaannnya dilakukan setelah orang yang berwasiat telah

    meninggal dunia.

    Wasiat hanya berlaku sepertiga dari harta peninggalan bila masih ada ahli

    waris dari si mayit, baik wasiat itu dikeluarkan masih sakit atau sehat. Apabila

    melebihi sepertiga harta peninggalan, maka kesepakatan ulama mazhab adalah

    membutuhkan izin dari ahli waris yang ada. Bila ada sebagian mengizinkan

    6 Fathurrahman, Ilmu Waris, (Bandung: al-Maarif,1984), h. 36-37 7 Suparman usman, Fikih Mawaris, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1997), h. 46

  • 6

    sedangkan yang lain tidak, maka kelebihan dari sepertiga itu dikeluarkan dari harta

    yang mengizinkan, sedangkan izin ahli waris adalah sah dan berlaku jika ia berakal

    sehat, baligh dan dapat dipercaya.8

    Berdasarkan sumber hukum tentang wasiat yang tersebut di atas, para ahli

    hukum Islam berbeda pendapat tentang status hukum wasiat ini. Mayoritas mereka

    berpendapat bahwa status hukum wasiat adalah tidak fardhu ain, baik kerabat dan

    orang tua atau kepada mereka yang tidak menerima warisan.9

    Implikasi wasiat yang dipahami oleh para ahli hukum Islam itu adalah

    kewajiban wasiat hanya dipenuhi jika seseorang telah berwasiat secara nyata, jika

    mereka tidak berwasiat maka tidak perlu mengada-ngada agar wasiat dilaksanakan

    karena ketentuan yang tersebut dalam Al-Quran dalam Surat al-Baqarah Ayat 180

    telah dinasakh oleh Surat an-Nisa Ayat 11-12. Oleh karena itu kedua orang tua dan

    kerabat dekatnya, baik orang-orang yang menerima warisan ataupun tidak menerima

    warisan setelah turunnya Surat an-Nisa Ayat 11-12 itu sudah tertutup haknya atau

    dengan kata lain tidak menrima wasiat.

    Pada dasarnya, setiap orang berhak untuk mewasiatkan hartanya kepada

    siapa yang dikehendakinya, namun harus terikat dengan beberapa ketentuan. Adanya

    ketentuan-ketentuan itu dimaksudkan agar pelaksanaan hak seseorang untuk

    berwasiat jangan sampai merugikan pihak yang lain. Adapun tentang hukum

    8 Jawad Mighniyah, Terjemah Fikih Lima Mazhab, (Jakarta: Lentera Basritama, 1996),

    h.513 9 Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana,

    2008), h. 153

  • 7

    berwasiat, para ulama hukum Islam tidak ada perbedaan di kalangan mereka dalam

    kebolehannya berwasiat sebagian harta kepada siapa yang dikehendakinya selain ahli

    waris yang akan mendapatkan harta warisan, dengan syarat tidak boleh lebih dari

    sepertiga dari harta peninggalan.

    Berbeda dengan hal itu, ulama berselisih pendapat tentang hukum berwasiat

    kepada salah seorang ahli waris yang akan mendapat pembagian warisan:10

    1. Pendapat yang dipegang oleh para Imam Mazhab yang empat: Abu Hanifah,

    Malik, Syafii dan Ahmad bin Hanbal, mengatakan bahwa pihak yang menerima

    wasiat harus bukan yang terdiri dari ahli waris yang mendapat pembagian harta

    warisan bilamana dalam kasus tersebut terdapat ahli waris yang lain. Sehingga

    wasiat kepada ahli waris tidak sah. Alasan mereka beberapa ketegasan Rasulullah,

    antara lain hadis riwayat Nasaiy:

    11) (

    Artinya: Sesungguhnya Allah SWT telah memberikan hak terhadap orang-orang yang mempunyai hak, untuk itu tidak ada wasiat bagi ahli waris. (HR. Al-Nasaiy)

    Hadis tersebut menunjukan bahwa wasiat kepada ahli waris tidak sah kecuali atas

    izin ahli waris yang lain. Menurut aliran ini Surat al-Baqarah Ayat 180 :

    10 Setria Effendi M. Zein, Problematika Hukum Islam Kontemporer, (Jakarta: Kencana,

    2004), h. 380 11 Jalaluddin al-Syuyuti, Syarh Sunan Nasai, (Beyrut: Dar al-Fikr, Tt), h. 262

  • 8

    Artinya: Diwajibkan atas kamu, apabila seseoramg diantara kamu kedatangan

    (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat kepada ibu bapaknya dan karib kerabatnya secara baik, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertaqwa.(QS. al-Baqarah/2: 180)

    Ayat ini telah dinasakh oleh ayat pembagian harta warisan, yakni Surat

    an-Nisa Ayat 11-14:

  • 9

    Artinya: Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-

    anakmu. yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, Maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, Maka ia memperoleh separo harta. dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), Maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, Maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS. An-Nisa/04: 11) Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. jika Isteri-isterimu itu mempunyai anak, Maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudahh dibayar hutangnya. para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. jika kamu mempunyai anak, Maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak

  • 10

    meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), Maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. tetapi jika Saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, Maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari'at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Penyantun. (QS. An-Nisa/04: 12) (Hukum-hukum tersebut) itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah. barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya kedalam syurga yang mengalir didalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan Itulah kemenangan yang besar. (QS. An-Nisa/04: 13) Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan. (QS. An-Nisa/04: 14)

    Dengan turunnya ayat mawaris tersebut, maka berakhirlah masa

    diwajibkannya berwasiat kepada ahli waris sesama muslim. Ayat yang

    mewajibkan berwasiat kepada ahli waris tersebut di atas, seperti dikemukakan

    oleh Abdul Wahab Khalaf tidak lagi berlaku umum bagi ahli waris sesama

    muslim, tetapi secara bagi kerabat yang terhalang untuk mendapatkan harta

    warisan disebabkan berlainan agama.

    2. Pendapat yang dianut oleh kalangan Malikiyah dan Zahiriyah menyatakan bahwa

    larangan berwasiat kepada ahli waris tidak menjadi gugur dengan adanya izin dari

    ahli waris yang lain. Menurut mereka larangan seperti itu termasuk hak Allah

    yang tidak bisa gugur dengan kerelaan manusia yang dalam hal ini adalah ahli

    waris. Ahli waris tidak berhak untuk membenarkan sesuatu yang dilarang Allah.

    Seandainya ahli waris menyetujuinya juga, begitu aliran ini menjelaskan, maka

  • 11

    statusnya bukan lagi wasiat, tetapi menjadi hibah (pemberian) dari pihak ahli

    waris itu sendiri, yang harus memenuhi syarat-syarat tertentu sebagaimana

    lazimnya praktek hibah.12

    3. Syiah Imamiyah dan sebagian dari Syiah Zaidiyah berpendapat boleh hukumnya

    berwasiat kepada ahli waris tanpa ada persetujuan dari ahli waris yang lain dalam

    batas jumlah sepertiga dari harta yang ditinggalkan. Mereka menolak pendapat

    mayoritas ulama yang mengatakan bahwa Ayat 180 Surat al-Baqarah telah

    dinasakh oleh ayat-ayat mawaris dalam Surat an-Nisa.13

    Kompilasi Hukum Islam (KHI) sendiri dalam membahas tentang wasiat

    menjabarkan dalam pasal 195 tentang kebolehannya berwasiat kepada ahli waris

    setalah adanya persetujuan dari pihak ahli waris yang lain.

    Berdasarkan hal-hal yang telah dipaparkan di atas dan untuk meneliti tentang

    fenomena perbedaan pendapat tentang wasiat kepada ahli waris, secara khusus

    tentang kebolehan wasiat kepada ahli waris yang ada dalam Kompilasi Hukum Islam

    (KHI) karena disadari secara umum Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah

    merupakan sumber hukum Islam yang sangat bercorak keindonesiaan, maka dari itu

    penulis tertarik untuk menulis skripsi yang berjudul Peran Wasiat Kepada Ahli

    Waris Studi Komparatif Pasal 195 Kompilasi Hukum Islam Dengan Hukum

    Islam.

    12 Jawad Mighniyah, Terjemah Fiqh Lima Mazhab, (Jakarta: Lentera Basritama, 1996), h. 240

    13 Mahammad Abu Zahra, Al-Miras Inda al-Jafariyah, (Beyrut: Dar al-Fikr, 1995), h. 56

  • 12

    B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

    Dalam penulisan skripsi ini, penulis membatasi masalahnya berkisar tentang

    pemberian wasiat kepada ahli waris menurut hukum Islam dan Kompilasi Hukum

    Islam (KHI), kajian persamaan dan perbedaannya antara Kompilasi Hukum Islam

    (KHI) dan Hukum Islam serta kajian tentang relevansinya dengan konteks

    keindonesiaan.

    Berdasarkan pembatasan masalah tersebut, maka terdapat pokok masalah

    yang harus diteliti serta dikaji dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

    1. Bagaimanakah pandangan hukum Islam dan pasal 195 Kompilasi Hukum Islam

    (KHI) tentang wasiat kepada ahli waris serta persamaan dan perbedaannya antara

    Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan Hukum Islam tentang wasiat kepada ahli

    waris?

    2. Bagaimanakah relevansi pasal 195 Kompilasi Hukum Islam (KHI) tentang wasiat

    kepada ahli waris dengan konteks keindonesiaan saat ini?

    C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

    Dari pembatasan dan perumusan masalah di atas, maka tujuan dari penulisan

    skripsi adalah sebagai berikut:

    1. Agar dapat mengetahui persamaan dan perbedaan tentang wasiat kepada ahli

    waris antara pasal 195 Kompilasi Hukum Islam (KHI) dengan hukum Islam.

    2. Agar dapat mengetahui relefansi pasal 195 Kompilasi Hukum Islam (KHI)

    tentang wasiat kepada ahli waris dengan konteks keindonesiaan saat ini.

  • 13

    Penulis pun berharap, dengan penulisan skripsi ini mampu memberi

    manfaat:

    1. Memperkaya pemahaman bagi penulis yang dalam hal ini lebih memahami kajian

    hukum Islam dan tatanannya yakni Kompilasi Hukum Islam di Indonesia ini.

    2. Secara praktis, dapat dijadikan sebagai dasar atau bandingan bagi para peminat

    studi ini untuk mengkajinya lebih mendalam lagi dan menambah khazanah

    kepustakaan.

    D. Kajian Pustaka

    Dalam penelitian yang telah lalu, ada penulisan skripsi yang terkesan mirip

    dengan penulisan skripsi yang dipilih oleh penulis yakni skripsi yang ditulis oleh

    Ahmad Syaukani, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Fakultas Syariah dan Hukum,

    Jurusan Perbandingan Mazhab Dan Hukum Tahun 2006 yang berjudul Pengaruh

    Pembunuhan Tidak Sengaja Terhadap Wasiat Dalam Perspektif Hukum Islam.

    Pada penulisan skripsi ini, penulis membahas tentang pengaruh pembunuhan

    yang dilakukan secara tidak sengaja terhadap wasiat, apakah pelaku pembunuhan

    tidak sengaja masih memperoleh wasiat?

    Berbeda dengan skripsi tersebut, dalam penulisan skripsi penulis Faktor

    Dan Pengaruh Pembentukan Pasal 195 Kompilasi Hukum Islam (KHI) Tentang

    Wasiat Kepada Ahli Waris, penulis lebih mendiskripsikan tentang kajian komparatif

    tantang wasiat kepada ahli waris antara hukum Islam dengan yang ada dalam

    Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang menjadi bagian dari sumber rujukan hukum

    positif Islam yang berlaku di Indonesia.

  • 14

    E. Metode Penelitian

    1. Pendekatan Penelitian

    Pendekatan yang dipakai dalam skripsi ini adalah pendekatan hukum

    normatif, analisis deskriptif dan kajian perbandingan.

    2. Jenis Penelitian

    Jenis penelitian dalam penulisan skripsi ini adalah pustaka yang bersifat

    kualitatif yang dalam pengumlan datanya menggunakan bahan-bahan tulisan atau

    dokumen. Penelitian kualitatif dilakukan terhadap banyaknya studi dokumenter yang

    ada, sehingga penulis mengedepankan penelitian ini terhadap kualitas isi dari segi

    jenis data.

    Pada prinsipnya penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan, yang

    kajiannya dilaksanakan dengan menelaah dan menelusuri berbagai literatur. Kualitatif

    bersifat deskriptif, yaitu data yang terkumpul berbentuk kata-kata, bukan angka.14

    3. Data Penelitian

    a. Data Primer

    Data primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah Kompilasi Hukum

    Islam (KHI) yang merupakan objek dari skripsi ini.

    b. Data Sekunder

    Bahan pustaka, buku-buku, literatur-literatur yang mempunyai hubungan

    dengan skripsi ini.

    14 Sudarman Danim, Menjadi Peneliti Kualitatif (Bandung: Pusaka Setia, 2002), h. 51

  • 15

    4. Tekhnik Pengolahan Data

    Setelah data-data kualitatif terkumpul, penulis menggunakan study

    komparatif (perbandingan) dengan membandingkan pasal 195 Kompilasi Hukum

    Islam (KHI) tentang wasiat kepada ahli waris dengan hukum islam.

    5. Teknik Penulisan

    Adapun teknik penulisan skripsi ini, penulis menggunakan Buku Pedoman

    Penulisan Skripsi Uin Syarif Hidayatullah Jakarta, Fakultas Syariah dan Hukum 2007

    yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum.

    F. Sistematika Penulisan

    Untuk mempermudah dan memberikan arah serta gambaran materi yang

    terdapat dalam skripsi ini, maka penulis menyusun dengan sistematika penulisan

    sebagai berikut:

    Bab I : Merupakan Pendahuluan Yang Terdiri Enam Sub Bab Yang

    Membahas Tentang Latar Belakang Masalah, Pembatasan Dan

    Perumusan Masalah, Tujuan Dan Manfaat Penelitian, Tinjauan Kajian

    Terdahulu, Metode Penelitian Dan Sistematika Penulisan

    Bab II : Ketentuan Umum Perwasiatan Menurut Hukum Islam. Adapun Fokus

    Kajiannya Adalah Pengertian, Dasar Hukum, Syarat Menerima

    Wasiat, Kadar Dan Hal-Hal Yang Membatalkan Wasiat.

  • 16

    Bab III : Berisi Mengenai Kompilasi Hukum Islam (KHI). Adapun Fokus

    Kajiannya Adalah Dasar Pembentukan Dan Perumusan Kompilasi

    Hukum Islam (KHI), Tujuan Dari Perumusan KHI.

    Bab IV : Analisis Faktor dan Pengaruh Pembentukan Pasal 195 Kompilasi

    Hukum Islam (KHI) Tentang Wasiat Kepada Ahli Waris. Bab Ini

    Terdiri Dari Dasar Pembentukannya Kompilasi Hukum Islam (KHI)

    Dan Relefansinya Kompilasi Hukum Islam (KHI) Dengan Negara

    Indonesia Saat Ini.

    Bab V : Penutup Yang Meliputi Kesimpulan dan Saran-saran.

    Daftar Pustaka

  • 17

    BAB II

    KETENTUAN UMUM TENTANG WASIAT

    A. Pengertian Wasiat

    Wasiat menurut bahasa adalah meminta sesuatu kepada orang lain agar ia

    dapat mengerjakan sewaktu yang memberi tersebut tidak ada baik ia masih hidup atau

    sudah mati.1 Sedangkan menurut istilah wasiat adalah suatu pemberian dari seseorang

    kepada orang lain baik berupa barang, hutang piutang ataupun manfaat untuk dimiliki

    oleh orang yang diberi wasiat sesudah orang yang berwasiat meninggal dunia.2

    Pengertian secara bahasa tersebut masih bersifat umum, sehingga membatasi

    terhadap kematian si pewasiat. Yang dititikberatkan di sini adalah keadaan si

    pewasiat, apakah ia masih hidup atau sudah meninggal.

    Untuk manjelaskan pengertian wasiat itu sendiri, di sini dikemukakan

    beberapa definisi yang diberikan para ulama mazhab dan pakar dalam mentarifkan

    secara syara antara lain:

    1. Ulama Hanafiyah memberikan pengertian tentang wasiat sebagai berikut:

    :

    3.

    1 Sutan Rajasa, Kamus Ilmiyah Populer, (Surabaya: Karya Utama, 2002), h. 631 2 Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, (Bandung: al-Maarif, 1990), Jilid 4, h. 217 3 Wahbah Zuhaily, al-Fikih al-Islamy wa Adillatuhu, Juz 8, (Beyrut: Dar al-Fikr, 1998), h. 9

  • 18

    Artinya: Wasiat adalah memberikan hak milik kepada orang lain setelah (aqid) meninggal dunia dengan jalan sukarela, sama sebagaimana kepemilikan benda atau manfaat.

    2. Ulama Malikiyah mendefinisikan wasiat adalah sebagai berikut:

    4. :

    Artinya: Wasiat adalah suatu aqad perjanjian yang menimbulkan suatu dalam memperoleh sepertiga harta dari orang yang memberikan janji yang bisa dilangsungkan ketika yang memberikan itu meninggal dunia.

    3. Ulama Syafiiyah mengartikan wasiat sebagai berikut:

    5.

    Artinya: Wasiat adalah sama dengan amal shadaqah dengan satu hak yang duiksandarkan pada keadaan setelah mati, baik dengan ucapan atau tidak.

    4. Ulama Hanabilah menjelaskan wasiat adalah sebagai berikut:

    6. :

    Artinya: Wasiat adalah menyuruh orang lain untuk melakukan daya upaya setelah orang yang berwasiat itu meninggal dunia

    Pengertian wasiat sebagaimana yang telah diungkapkan oleh Hanafiyah,

    Malikiyah, Syafiiyah serta Hanabilah pada dasarnya adalah sama, yaitu suatu akad

    yang memindahkan hak milik yang kepemilikannnya diserahkan setelah si pewasiat

    telah meninggal dunia.

    4 Abd al-Wahab al-Baghdadi, al-Maunah Ala Mazhab Alim al-Madinah al-Imam Malik

    bin Annas, (Beyrut: Dar al-Fikr, 1995), Jilid 3, h. 1619 5 Abdurrahmsn al-Juzairy, al-Fikih Ala al-Mazahib al-Arbaah, (Beyrut, Dar al-Irsyad al-

    Thabaah 1647), Juz 3, h. 316 6 Abdurrahmsn al-Juzairy, , Juz 3, h. 316

  • 19

    Sedangkan para pakar mengartikan wasiat sama dengan menghibahkan

    sesuatu kepada orang lain yang kepemilikannya dapat diambil setelah pewasiat

    meninggal dunia, seperti disebutkan di bawah ini.

    Wasiat merupakan suatu akad yang boleh dan tidak mengikat sehingga

    wasiat dapat dibatalkan sewaktu-waktu oleh salah satu pihak (pemberi wasiat).

    Dengan demikian wasiat adalah menghibahkan harta dari seseorang kepada orang

    lain sesudah meninggalnya si pewasiat atau pembebasan hartanya, baik dijelaskan

    dengan kata-kata (lafadz) atau tidak.7 Begitu pun yang dikemukakan oleh Sayuti

    Thalib.8 Dan wasiat bisa diartikan dengan suatu pesan tentang pembagian harta

    warisan kepada seseorang yang selain ahli waris.9

    Dari berbagai pengertian di atas, penulis mengambil kesimpulan bahwa

    wasiat adalah pemberian seseorang kepada orang lain baik berupa benda, atau

    sekedar manfaat yang akan menjadi milik bagi orang yang akan diberikan wasiat

    tanpa mengharapkan imbalan (tabarru) yang pelaksanaannya berlaku setelah orang

    yang berwasiat telah meninggal dunia.

    B. Dasar Hukum Wasiat

    Dasar-dasar pengambilan hukum mengenai wasiat adalah berdasarkan Al-

    Quran, Al-Hadis, Ijma dan Ijtihad para Ulama.

    1. Al-Quran

    7 Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid, Terjemahan Abdurrahman,

    (Semarang: asy-Syifa, 1990), Juz 3, h. 40 8 Sayuthi Thalib, Kewarisan Islam di Indonesia, (Jakarta: Bina Askara, 1970), h. 87 9 Husein Bhreisy, Kamus Islam, (Bandung: Galuni Jaya, 1990), h. 16

  • 20

    Dalam Al-Quran penjelasan tentang wasiat terdapat dalam surat al-Baqarah

    Ayat 180 yakni:

    Artinya: Diwajibkan atas kamu, apabila seseoramg diantara kamu kedatangan

    (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat kepada ibu bapaknya dan karib kerabatnya secara baik, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertaqwa (QS. Al-Baqarah/02: 180).

    Ayat ini menunjukan kewajiban untuk berwasiat kepada kedua orang tua

    dan kerabat yang dekat, yaitu hanya kepada ahli waris (kedua orang tua dan karib

    kerabat) yang tidak mendapatkan harta waris baik karena dzawil arham dan

    mahjub yang orang tuanya telah meninggal lebih dahulu dari pewaris maupun

    karena mahram (kecuali pembunuh).10 Namun ketetapan itu menjadi sunah sesudah

    turunnya ayat tentang pembagian waris, maka ayat tentang kewajiban berwasiat

    menjadi mansukh. Di samping ada ayat yang menasakh tentang wasiat juga ada

    hadis Nabi yang artinya tidak ada wasiat bagi ahli waris.

    Selanjutnya dalam surat al-Maidah Ayat 106 menganjurkan dalam

    berwasiat hendaknya disaksikan oleh dua orang saksi, yakni:

    10 Suparman Usman dan Yusuf Somawinata, Fikih Mawaris (Hukum Kewarisan Islam),

    (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1997), h. 175-176

  • 21

    Artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila salah seorang kamu menghadapi

    kematian, sedang dia akan berwasiat, Maka hendaklah (wasiat itu) disaksikan oleh dua orang yang adil di antara kamu, atau dua orang yang berlainan agama dengan kamu, jika kamu dalam perjalanan di muka bumi lalu kamu ditimpa bahaya kematian. kamu tahan kedua saksi itu sesudah sembahyang (untuk bersumpah), lalu mereka keduanya bersumpah dengan nama Allah, jika kamu ragu-ragu: "(Demi Allah) kami tidak akan membeli dengan sumpah Ini harga yang sedikit (untuk kepentingan seseorang), walaupun dia karib kerabat, dan tidak (pula) kami menyembunyikan persaksian Allah; Sesungguhnya kami kalau demikian tentulah termasuk orang-orang yang berdosa" (QS. Al-Maidah/05: 106).

    Dari ayat di atas dapat diambil kesimpulan bahwasanya wasiat merupakan

    suatu perbuatan yang dianjurkan oleh agama dan untuk menghindari hal-hal yang

    tidak diinginkan yang sekiranya dapat merusak tujuan dari wasiat tersebut, maka

    hendaklah wasiat disaksikan oleh dua orang saksi.

    2. Al-Hadis

    Di samping ayat Al-Quran, juga ada hadis Nabi Saw yang menjelaskan

    tentang hal wasiat di antaranya sebagai berikut:

    :

    11). (

    11 Abi Abdillah Muhammad bin Ismail al-Bukhary, Shahih al-Bukhary, (Beyrut: Dar al-

    Fikr, Tt), Juz I, h. 124

  • 22

    Artinya: Dari Abdullah bin Yusuf dari Malik dari Nafi dari Abdullah bin Umar R.A, Ia berkata: bahwa Rasulallah SAW. Bersabda: bukankah hak seorang muslim yang mempunyai sesuatu yang ingin diwasiatkan bermalam (diperlambat) selama dua malam, kecuali wasiatnya telah tercatat di sisinya. (H.R. al-Bukhari)

    : : : :

    : .

    . ( 12.) ). (

    Artinya: Dari Aidah Abdullah, dari Abd al-Shamad, dari Nashr bin Ali al-Haddany, dari al-Asyats bin Jabir, dari Syahr bin Hausyah, dari Abu Hurairah menceritakan sesungguhnya Rasulullah SAW. bersabda: Bahwa seseorang sungguh akan beramal, juga perempuan (sungguh akan beramal) taat kepada Allah SWT itu selama enam puluh tahun, kemudian keduanya kedatangan ajalnya, sedang keduanya menyulitkan dalam wasiatnya, maka keduanya pun akan dipastikan masuk neraka. Kemudian Abu Hurairah membacakan ayat : ...sesudah wasiat yang ia wasiatkannya atau (untuk membayar) hutang, padahal wasiat itu tidak juga menyusahkan, sebagai ketetapan dari Allah. Yang demekian itu adalah batas-batas ketentuan Allah, barang siapa yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya, maka ia akan dimasukkan ke dalam surga-surga yang di bawahnya ada sungai-sungai yang mengalir, mereka akan kekal di surga-surga itu: dan demikian itu adalah kebahagiaan yang sangat besar. (H.R. Abu Dawud)

    Kedua hadis tersebut memberikan bahwa wasiat yang tertulis dan selalu

    berada di sisi orang yang berwasiat merupakan suatu kehati-hatian, sebab kematian

    seseorang tidak ada yang dapat mengetahui, kemudian pada hadis berikutnya dapat

    dipahami bahwa apabila seseorang beramal baik selama enam puluh tahun, sedang ia

    12 Abi Dawud Sulaiman bin al-Asyats, Sunan Abi Dawud, (Beyrut: Dar al-Fikr, 1987), Juz

    4, h. 4

  • 23

    dalam wasiatnya berbuat kecurangan maka terhadap orang tersebut jaminannya

    adalah neraka.

    Dalam hal ini al-Syafii memberikan komentarnya bahwa orang islam yang

    berwasiat sebaiknya wasiat tersebut ditulis dan berada di sisinya, sebab hal tersebut

    dapat menjaga dari hal-hal yang tidak diinginkan. Bila tidak berhati-hati dalam

    berwasiat, bisa jadi cita-cita si pewasiat tidak tercapai karena kematian seseorang

    hanya Allah yang mengetahui.

    3. Ijma

    Ijma adalah kesepakatan para Mujtahid di antara umat islam pada satu masa

    setelah wafatnya Rasulallah terhadap hukum syara tentang suatu masalah atau

    kejadian.13

    Umat Islam, sejak zaman Rasulullah sampai sekarang masih banyak yang

    menjalankan wasiat. Perbuatan yang demikian itu tidak ada yang mengingkarinya dan

    dengan tiada adanya pengingkaran tersebut telah menunjukan adanya ijma.14

    Para ulama pun telah sepakat dalam menanggapi hadis Nabi tentang kadar

    wasiat yang tidak boleh lebih dari sepertiga harta peninggalannya si pewasiat.

    4. Ijtihad

    Ijtihad berasal dari kata jahada yang berarti mencurahkan segala

    kemampuan atau menghabiskan segala daya dalam berusaha. Sedang ijtihad menurut

    istilah adalah usaha atau ikhtiar yang sungguh-sungguh dengan menggunakan

    13 Amir Syarifuddin, Ushul Fikih, (Jakarta: Wacana Ilmu, 1997), Jilid I, h. 81 14 Suparman Usman dan Yusuf Somawinata, Fikih Mawaris, h. 57

  • 24

    segenap kemampuan yang ada dilakukan oleh orang (ahli hukum) yang memenuhi

    syarat untuk mendapatkan ketentuan hukum yang belum jelas atau tidak ada

    ketentuannya di dalam Al-Quran dan al-Sunnah.15

    Ada beberapa jenis wasiat yang tidak ada penegasan hukumnya baik dalam

    Al-Quran dan al-Sunnah, seperti membagi macam-macam harta benda warisan

    kepada ahli waris tertentu, bolehkah wasiat direalisasikan atau tidak. Dalam hal ini

    ulama melakukan ijtihad yang dianggap perlu oleh karena ahli waris tertentu dari

    harta benda warisan adalah keseluruhan harta, dengan alasan bahwa Al-Quran

    menentukan bagian warisan dua pertiga, sepertiga, seperempat, seperenam, dan

    seperdelapan itu adalah dari keseluruhan harta warisan yang ada.16

    C. Hukum Wasiat

    Dari beberapa fenomena di atas, para ulama juga berijtihad dalam

    menetapkan status hukum wasiat, yaitu:

    1. Wajib

    Wasiat dianggap wajib dalam keadaan bila manusia mempunyai kewajiban syara

    yang dikhawatirkan akan disia-siakan bila dia tidak berwasiat, seperti adanya

    titipan, hutang kepada Allah dan hutang kepada manusia. Misalnya dia

    mempunyai kewajiban zakat yang belum ditunaikan, atau haji yang belum

    15 Muhammad Daud Ali, Hukum Islam (Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum di

    Indonesia), (Jakata: PT. Raja Grafindo, 2000), h. 104 16 Ahmad Azhar Basyir, Kawin Campur, Adopsi, Wasiat Menurut Hukum Islam, (Bandung:

    al-Maarif, 1972), h. 32

  • 25

    dilaksanakan, atau dia mempunyai amanat yang belum disampaikan, atau dia

    mempunyai hutang yang tidak diketahui selain oleh dirinya, atau dia mempunyai

    titipan yang belum dipersaksikan.17

    2. Sunah

    Berwasiat hukumnya sunnah bila diberikan kepada karib kerabat atau ditujukan

    kepada orang-orang miskin dan orang-orang shaleh atau kepada orang yang tidak

    menerima pusaka yang motifnya untuk kepentingan sosial.18

    3. Haram

    Berwasiat hukumnya haram bila bertujuan untuk maksiat, seperti berwasiat untuk

    mendirikan tempat-tempat perjudian, pelacuran atau hal-hal yang dilarang oleh

    ajaran agama islam.19

    4. Makruh

    Berwasiat hukumnya makruh, bila orang yang berwasiat itu sedikit hartanya,

    sedangkan ia mempunyai ahli waris yang banyak yang membutuhkan hartanya.

    Demikian juga berwasiat kepada orang-orang fasiq jika diketahui atau diduga

    dengan keras bahwa mereka akan menggunakan harta tersebut dalam kefasikan

    dan kerusakan. Namun bila orang yang memberi wasiat itu mengetahui dan

    17 Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, h. 222 18 Ahmad Rofiq, MA, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo, 1999), h. 449 19 Fathurrahman, Ilmu Waris, (Bandung: al-Maarif, 1984), h. 25

  • 26

    menduga bahwa orang akan diberi wasiat itu menjadi baik, maka hal ini menjadi

    sunnah.20

    5. Mubah

    Wasiat itu diperbolehkan bila ditujukan kepada kerabat, tetangga atau yang lain

    yang penghidupannya tidak kekurangan.21

    Berdasarkan hal-hal yang telah disebutkan tentang hukum wasiat di atas,

    maka penulis menyimpulkan bahwa keadaan si pewasiat dan orang yang akan

    diberikan wasiat sangat mempengaruhi terhadap status hukum dari wasiat itu sendiri.

    Seperti contoh, apabila orang yang akan berwasiat sebelum meninggal, ia masih

    memiliki hutang kepada manusia atau kepada Allah SWT yang hanya diketahui

    olehnya, maka hukum wasiat adalah wajib. Wasiat pun akan menjadi haram apabila

    hendak berwasiat yang bertujuan untuk kemaksiatan. Seperti berwasiat untuk

    membangun rumah prostitusi. Wasiat juga dianggap makruh apabila meninggalkan

    harta yang sedikit sedangkan banyak ahli yang mempunyai hak terhadap harta

    peninggalan tersebut.

    D. Rukun dan Syarat Wasiat

    Wasiat yang telah diatur oleh syariat Islam merupakan suatu amalan yang

    sangat dianjurkan, hal ini karena dalam wasiat mengandung nilai ibadah yang akan

    mendapatkan pahala dari allah swt dan juga mengandung nilai-nilai sosial yang

    mengandung kemashlahatan bagi yang ada di dunia.

    20 Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, h. 223 21 Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Al-Quran dan Hadits, (Jakarta: Tintamas,

    1981), h. 57-58

  • 27

    Agar wasiat dapat dilaksanakan dengan baik dan benar sesuai dengan

    kehendak syariat maka diperlukan sebuah perangkat aturan yang di dalamnya

    mencakup rukun dan syarat syariat. Rukun syarat itu merupakan kumpulan komponen

    yang penting sehingga turut menentukan sah dan tidaknya suatu wasiat.

    Adapun rukun wasiat terdapat perbedaan pendapat fuqaha dalam

    menentukan rukunnya wasiat diantaranya ulama mazhab Hanafi menyatakan

    bahwasanya rukun wasiat hanya satu yaitu ijab (pernyataan pemberian wasiat dari

    pemilik harta yang akan wafat). Karena menurut mereka wasiat adalah suatu akad

    yang hanya mengikat pihak yang berwasiat, tidak mengikat pihak yang menerima

    wasiat. Oleh sebab itu qabul tidak diperlukan.22

    Akan tetapi jumhur ulama fikih menyatakan, bahwa rukun wasiat itu ada

    empat, yaitu:23

    1. Al-Mushi (orang yang berwasiat)

    2. Al-Musha lahu (yang menerima wasiat)

    3. Al-Musha bihi (harta yang diwasiatkan)

    4. Sighat (lafaz atau ucapan)

    Dari keenpat rukun di atas, masing-masing memiliki syarat yang harus

    dipenuhi agar wasiat menjadi sah. Adapun mengenai syarat masing-masing rukun

    wasiat tersebut adalah sebagai berikut:

    22 Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedia Hukum Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2001), h. 1927 23 M. Idris Ramulyo, Perbandingan Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam Dengan

    Kewarisan Menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata (BW), (Jakarta: Sinar Grafika, 2000), h. 136-237

  • 28

    a. Al-Mushi (orang yang berwasiat)

    Bagi orang yang berwasiat disyaratkan orang yang memiliki kesanggupan

    melepaskan hak miliknya kepada orang lain (ahli tabarru) yaitu orang yang

    mempunyai kompetensi (kecakapan) yang sah. Keabsahan kompetensi ini

    didasarkan pada akal, kedewasaan, kemerdekaan, ikhtiar dan tidak dibatasi karena

    adanya kedunguan dan kelalaian. Apabila pemberi wasiat itu adalah seseorang

    yang kurang kompetensinya, yaitu karena ia masih anak-anak, gila, hanba sahaya,

    dipaksa atau dibatasi, maka wasiatnya tidak sah. Untuk itu imam syafii

    menghukumi tidak sah apabila dilakukan oleh orang gila atau anak yang belum

    baligh.

    b. Al-Musha lahu (yang menerima wasiat)

    Bagi orang atau badan hukum yang menerima wasiat disyaratkan atas hal-hal

    sebagai berikut:

    1) Harus dapat diketahui dengan jelas siapa orang atau badan hukum yang

    menerima wasiat tersebut, nama orang tersebut, atau badan organisasi tersebut.

    2) Telah wujud (ada) pada waktu wasiat dinyatakan ada sebenarnya atau ada

    secara yuridis misalnya anak yang masih dalam kandungan.

    3) Bukan tujuan kemaksiatan.

    c. Al-Musha bihi (harat yang diwasiatkan)

    Sesuatu yang diwasiatkan (al-musha bihi) dengan syarat sebagai berikut:

    1) Dapat berlaku sebagai harta warisan baik benda bergerak maupun benda tidak

    bergera, atau dapat menjadi objek perjanjian.

  • 29

    2) Benda itu sudah ada (wujud) pada waktu diwasiatkan.

    3) Hak milik itu betul kepunyaan si pewasiat

    d. Shighat (lafaz atau ucapan)

    Shighat adalah kata-kata yang diucapkan oleh pewasiat dan orang yang menerima

    wasiat yang terdiri dari ijab dan qabul. Ijab adalah pernyataan yang diucapkan oleh

    si pewasiat bahwa ia mewasiatkan sesuatu, sedangkan qabul adalah pernyataan

    yang diucapkan oleh penerima wasiat sebagai tanda terima atas ijab wasiat. Ajab

    dan qabul ini didasarkan atas unsur kerelaan tanpa ada paksaan.

    Penjelasan tentang rukun dan syarat wasiat juga disebutkan di dalam

    Kompilasi Hukum Islam (KHI) yakni:

    Pasal 194 1) Orang yang telah berumur sekurang-kurangnya 21 tahun, berakal sehat dan tanpa

    adanya paksaan dapat mewasiatkan sebagian harta bendanya kepada orang lain atau lembaga.

    2) Harta benda yang diwasiatkan harus merupakan hak dari pewasiat. 3) Pemilikan terhadap harta benda seperti dimaksud dalam ayat (1) pasal ini baru

    dapat dilaksanakan sesudah pewasiat meninggal dunia. Pasal 195

    1) Wasiat dilakukan secara lisan dihadapan dua orang saksi, atau tertulis dihadapan dua orang saksi, atau dihadapan Notaris.

    2) Wasiat hanya diperbolehkan sebanyak-banyaknya sepertiga dari harta warisan kecuali apabila semua ahli waris menyetujuinya.

    3) Wasiat kepada ahli waris berlaku bila disetujui oleh semua ahli waris. 4) Pernyataan persetujuan pada ayat (2) dan (3) pasal ini dibuat secara lisan di

    hadapan dua orang saksi atau tertulis di hadapan dua saksi dihadapan Notaris.

    Dalam pasal 194 dan 195 Kompilasi Hukum Islam (KHI) dapat disimpulkan

    bahwa syarat bagi orang yang akan melakukan wasiat sekurang-kurangnya berumur

    21 tahun, tidak ada paksaan dari pihak manapun atupun dalam pengampuan serta

    harta yang akan diwasiatkan merupakan hak seutuhnya si pewasiat.

  • 30

    Adapun dalam pelaksanaannya, wasiat dilakukan di hadapan dua orang saksi

    atau Notaris secara lisan atau tertulis. Wasiat pun tetap tidak melebihi dari sepertiga

    harta peninggalan. Berkenaan dengan wasiat kepada ahli waris, maka dianggap sah

    bila telah disetujui oleh ahli semua ahli waris. Persetujuan dari ahli waris

    dimaksudkan untuk menghindari terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan. Adapun

    dalil tentang notaris adalah dalam surat an-Nisa ayat 135:

    Artinya: Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar

    penegak keadilan, menjadi saksi Karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. jika ia kaya ataupun miskin, Maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu Karena ingin menyimpang dari kebenaran. dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui segala apa yang kamu kerjakan. (QS. An-Nisa /04: 135) Oleh karena ketentuan ini di bawah kebijakan pemerintah, maka rakyat harus

    mematuhi aturan yang telah ditetapkan.

    Artinya: Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya),

    dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat

  • 31

    tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS. An-Nisa /04: 59)

    E. Kadar Dan Hikmah Wasiat

    Telah diketahui kadar atau batas maksimal memberikan wasiat itu adalah

    sepertiga dari harta peninggalan. Ketentuan tersebut berdasarkan Hadis Nabi SAW di

    bawah ini :

    :

    : :

    . : : : :

    24). . (

    Artinya: Dari Ibnu Abi Umar, Sufyan bin Uyainah dari Zuhry dari Amir bin

    Saad bin Abi Waqash dari Bapaknya, bahwa ia berkata: Rasulullah SAW pernah datang ke tempatku untuk melawat aku ketika aku sakit keras, lalu aku bertanya: Wahai Rasulullah, sesungguhnya sakitku sudah sangat payah sebagaimana yang engkau lihat sendiri, sedangkan aku ini adalah orang yang kaya dan tidak ada ahli waris lain selain anakku perempuan, apakah boleh aku menyedekahkan dua pertiga dari hartaku itu? Rasul menjawab: Jangan. Aku bertanya lagi: Bagaimana kalau separuhnya? Rasul menjawab lagi: Jangan. Aku bertanya lagi: Kalau sepertiga? Sepertiga, dan (sekali lagi) sepertiga itu sudah cukup banyak, karena sesungguhnya engkau jika meninggalkan ahli waris dalam keadaan cukup atau kaya akan lebih baik dari pada engkau meninggalkan mereka dalam keadaan kekurangan yang selalu menadahkan tangan kepada orang lain. (H.R. At-Turmudzi)

    24 Abi Isa Muhammad bin Isa bin Sawrah at-Turmudzi, Sunan at-Turmudzi, (Beyrut: Dar

    al-Fikr, 1994), Juz 3, h. 40

  • 32

    Fuqaha sepakat bahwa orang yang meninggalkan ahli waris tidak boleh

    memberikan lebih dari sepertiga hartanya. Namun mereka berselisih dengan orang

    yang tidak meninggalkan ahli waris, dan tentang besarnya barang wasiat yang

    utama.25

    Bila si pewasiat itu mempunyai ahli waris, maka dia tidak boleh mewasiat

    lebih dari sepertiga. Apabila hendak mewasiatkan lebih dari sepertiga, maka wasiat

    tersebut tidak dapat dilaksanakan melainkan atas izin ahli waris.

    Adapun untuk merealisasikan hal tersebut diperlukan dua syarat, sebagai

    berikut:

    1. Agar permintaan izin dari ahli waris dilakukan setelah pewasiat meninggal, sebab

    sebelum ia meninggal orang yang memberi izin itu belum mempunyai hak.

    2. Agar pemberi izin mempunyai kompetensi yang sah dan tidak dibatasi karena

    kedunguan atau kelalaian di waktu memberi izin.26 Para fuqaha yang berpendapat

    bahwa wasiat yang utama itu kurang dari sepertiga adalah mengambil alasan

    dengan adanya hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari Muslim yang

    menerangkan bahwa wasiat itu harus tidak lebih dari sepertiga dan sepertiga itu

    sudah dalam kategori banyak, karena hal itu dikhawatirkan berdampak kurang

    bagus pada keturunan yang ditinggalkan.

    Adapun hikmah disyariatkannya wasiat adalah untuk memenuhi kewajiban

    bagi al-mushy yang mempunyai hutang kepada sesama manusia dan kepada Allah

    25 Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, Terjemahan A. Hanafi, MA,

    (Jakarta: Bulan Bintang, 1990), Jilid 10, h. 6-7 26 Sayyid Sabiq, h. 223

  • 33

    SWT, karena ketentuannya juga untuk menambah amal perbuatan dan

    menyempurnakan amal kebajikan dengan cara bershadaqah kepada orang lain yang

    membutuhkannya. Karena itu dalam wasiat terdapat unsur pemindahan haq milik

    harta benda yang diberikan secra ikhlas dan didorong semata-mata untuk taqarrub

    kepada Allah SWT.

    F. Hal-hal Yang Membatalkan Wasiat

    Menurut Sayyid Sabiq wasiat menjadi batal bila tidak memenuhi syarat-

    syarat sebagai berikut:

    1. Orang yang berwasiat itu mengidap penyakit yang sehingga menyampaikannya

    kepada kematian.

    2. Orang yang menerima wasiat meninggal terlebih dahulu.

    3. Barang yang diwasiatkan itu rusak sebelum sampai pada penerima wasiat.27

    Apabila dilihat dari pemaparan di atas, dapat dapat diambil kesimpulan

    bahwa wasiat itu menjadi batal bila pewasiat itu hilang akal, tidak cakap untuk

    melakukan hukum, kemudian orang yang menrima meninggal terleebih dahulu

    karena hak penerimaan wasiat itu baru tetap bila barang yang diwasiatkan itu

    dimiliki bila si pewasiat telah meningal dunia. Dan menjadi batal juga bila barang

    yang akan diwasiatkan itu telah rusak atau musnah sebelum waktunya serta penerima

    wasiat tersebut tidak membunuh si pewasiat dan juga bukan dari ahli waris.

    Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) disebutkan tentang

    batalnya wasiat, yaitu terdapat pada pasal 197 ayat (1) dan (2), sebagai berikut:

    27 Sayyid Sabiq, h. 223-224

  • 34

    1) Wasiat menjadi batal apabila calon penerima wasiat berdasarkan keputusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dihukum karena: a. Dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya

    berat kepada pewasiat. b. Dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewasiat

    telah melakukan kejahatan yang diancam dengan hukuman lima tahun penjara atau dengan hukuman yang lebih berat.

    c. Dipersalahkan dengan kekerasan atau ancaman mencegah si pewasiat untuk membuat atau mencabut atau mengubah wasiat itu untuk kepentingan calon si penerima wasiat.

    d. Dipersalahkan telah menggelapkan atau merusak atau memalsukan surat wasiat dari pewasiat.

    2) Wasiat menjadi batal apabila orang yang ditunjuk untuk menerima wasiat itu: a. Tidak mengetahui adanya wasiat tersebut sampai ia meninggal dunia sebelum

    meninggalnya si pewasiat. b. Mengetahui adanya wasiat tersebut tapi ia menolak untuk menerima wasiat

    tersebut. c. Mengetahui adanya wasiat tersebut tetapi tidak pernah menyatakan menerima

    atau menolak sampai meninggal sebelum meninggalnya si pewasiat. 3) Wasiat menjadi batal apabila yang diwasiatkan musnah.

    Berdasarkan pada pasal 197 Kompilasi Hukum Islam (KHI) di atas, maka

    batalnya wasiat sebagian besar dipengaruhi oleh calon penerima wasiat. Dikatakan

    bahwa wasiat menjadi batal apabila calon peneima wasiat dipersalahkan hakim yang

    telah berkekuatan tetap membunuh atau mencoba membunuh pewasiat.

    Wasiat juga mejadi batal apabila calon penerima wasiat telah meninggal

    dunia sebelum meninggalnya pewasiat sedangkan ia tidak mengetahui akan adanya

    wasiat tersebut.

  • 35

    BAB III

    TINJAUAN UMUM TENTANG KOMPILASI HUKUM ISLAM (KHI)

    A. Sekilas Tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI)

    1. Pengertian Kompilasi Hukum Islam (KHI)

    Istilah kompilasi berasal dari bahasa Yunani, diambil dari perkataan

    compilare yang mempunyai arti mengumpulkan bersama-sama, seperti

    mengumpulkan peraturan-peraturan yang tersebar berserakan di mana-mana. Istilah

    ini kemudian dikembangkan menjadi compilation dalam bahasa Inggris atau

    compilatie dalam bahasa Belanda. Istilah ini kemudian dipergunakan dalam bahasa

    Indonesia menjadi kompilasi yang berarti terjemahan langsung dari dua perkataan

    yang tersebut terakhir.1

    Dalam literatur bahasa bahasa Indonesia, kompilasi secara bahasa

    mengandung arti kumpulan yang tersusun secara teratur (daftar informasi,

    keterangan-keterangan dan sebagainya).2 Berdasarkan keterangan tersebut dapatlah

    diketahui bahwa ditinjau dari sudut bahasa kompilasi adalah kegiatan pengumpulan

    dari berbagai bahan tertulis yang diambil dari berbagai buku atau tulisan mengenai

    suatu persoalan tertentu. Pengumpulan bahan dari berbagai sumber yang dibuat oleh

    11 Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia,(Jakarta: Akademika Pressindo,

    2004), hal. 10 2 Dapertemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,

    1989), h. 453

  • 36

    beberapa penulis yang berbeda untuk ditulis dalam suatu buku tertentu, sehingga

    dengan kegiatan ini semua bahan yang diperlukan dapat ditemukan dengan mudah.3

    Adapun yang dimaksud dengan Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah

    sebuah kitab yang berisi kumpulan atau himpunan kaidah-kaidah atau garis-garis

    hukum Islam sejenis, yakni mengenai hukum perkawinan, hukum kewarisan dan

    hukum perwakafan yang disusun secara sistematis.4 Namun ada juga yang

    mendefinisikan bahwa Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah fikih dalam bahasa

    Undang-undang, sehingga susunannya seperti Undang-undang yang mencakup pada

    bab, pasal dan ayat yang berisi persoalan-persoalan yang berkaitan dengan ketiga hal

    tersebut yakni perkawinan, kewarisan dan perwakafan.

    2. Latar Belakang Penyusunan Kompilasi Hukum Islam (KHI)

    Dalam salah satu tulisannya mengenai perlunya Kompilasi Hukum Islam

    (KHI), K.H. Hasan Basry (Ketua Umum MUI) menyebutkan Kompilasi Hukum

    Islam (KHI) ini merupakan keberhasilan besar umat Islam Indonesia pada

    Pemerintahan Orde Baru ini. Sebab dengan demikian, nantinya umat Islam di

    Indonesia akan mempunyai pedoman fikih yang seragam dan telah menjadi hukum

    positif yang wajib dipatuhi oleh semua bangsa Indonesia yang beragama Islam.

    Dengan ini dapat diharapkan tidak akan terjadi kesimpangsiuran keputusan dalam

    Lembaga-lembaga Peradilan Agama dan sebab-sebab khilaf yang disebabkan oleh

    3 Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, hal. 11 4 Direktoral Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Pedoman Penyuluhan Hukum,

    (Jakarta: Dapertemen Agama RI, 1995), h. 79

  • 37

    masalah fikih akan dapat diakhiri.5 Dari penegasan ini tampak bahwa latar belakang

    pertama diadakannya penyusunan Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah karena

    adanya kesimpangsiuran putusan dan tajamnya perbedaan pendapat tentang masalah-

    masalah hukum Islam.

    Hal ini secara tegas dinyatakannya oleh karena di Indonesia belum ada

    kompilasi maka dalam praktek sering kita lihat adanya keputusan Peradilan Agama

    yang saling berbeda pada kasus yang sama. Bahkan dapat dijadikan alat politik untuk

    menghakimi orang lain yang dianggap tidak sepaham. Juga telah kita saksikan

    masalah fikih yang semestinya membawa rahmat malah menjadi sebab perpecahan.

    Dengan demikian yang kita rasakan bukan rahmat, akan tetapi laknat. Hal ini,

    menurut pendapatnya adalah karena umat Islam salah paham dalam mendudukan

    fikih di samping belum adanya Kompilasi Hukum Islam (KHI).6

    Menurut Masrani Basran yang melatarbelakangi diadakannya Kompilasi

    Hukum Islam (KHI) adalah dikemukakannya tentang adanya ketidakjelasan persepsi

    tentang syariah dan fikih. Dikemukakannya bahwa sejak ratusan tahun di kalangan

    umat Islam di seluruh dunia termasuk Indonesia, terjadi kekurang jelasan atau kalau

    tidak dapat dikatakan kekacauan persepsi tentang arti dan ruang lingkup pengertian

    syariah Islam dengan fikih, bahkan adakalanya dalam penetapan dan persepsi

    dianggap sama pula dengan al din. Maka terjadilah kekacauan pengertian di kalangan

    umat Islam dan kekacauan ini berkembang pula di pihak-pihak orang-orang yang di

    5 Hasan Basry, Perlunya Kompilasi Hukum Islam, Mimbar Ulama, No. 104 (April 1986): h.

    60 6 Hasan Basry, Perlunya Kompilasi Hukum Islam, h. 60

  • 38

    luar Islam. Karena syariah Islam itu meliputi seluruh bidang kehidupan menusia

    maka persepsi yang keliru akan mengakibatkan pula kekacauan dan saling

    menyalahkan dalam bidang-bidang kehidupan umat. Hal inilah yang menurutnya

    pada poin kedua harus diluruskan, persepsi tentang syariah harus diseragamkan,

    harus dikembalikan pada awal asalnya sebelum terjadinya kemunduran berfiir,

    sebelum kaum penjajah menguasai hidup dan kehidupan orang Islam.7 Untuk

    mengatasi kesulitan ini, menurutnya harus dilaksanakan proyek Kompilasi Hukum

    Islam (KHI).

    Selanjutnya Yahya Harahap menambahkan sisi lain dengan apa yang

    diungkapkan di atas. Ia menekankan pada adanya penonjolan kecenderungan

    mengutamakan fatwa atau penafsiran maupun syarah ulama dalam menemukan dan

    menemukan hukum.

    Dikatakan para Hakim di Pengadilan Agama pada umumnya sudah

    menjadikan kitab-kitab fikih sebagai landasan hukum. Kitab-kitab fikih sesudah

    berubah fungsinya. Kalau semula kitab-kitab fikih merupakan literatur pengkajian

    ilmu hukum Islam. Para hakim pengadilan agama telah menjadikannya kitab hukum

    (Perundang-undangan). Praktik seperti inilah yang menurutnya akan menjurus kepada

    penegakkan hukum menurut selera dan persepsi Hakim.8

    7 Masrani Basran, Kompilasi Hukum Islam, Mimbar Ulama, No. 105 (Mei 1986) : h. 8-9. 8 Yahya Harahap, Tujuan Kompilasi Hukum Islam, Dalam IAIN Syarif Hidayatullah, ed.,

    Kajian Islam Tentang Berbagai Masalah Kontemporer, (Jakarta: Hikmat Syahid Indah, 1988), h. 88-89

  • 39

    Penjelasan tentang latar belakang lahirnya Kompilasi Hukum Islam (KHI)

    juga dkatakan bahwa keberadaan Pengadilan Agama di Indonesia banyak dicoraki

    oleh politik Islam pemerintah Hindia Belanda sebagai pemerintah kolonial, maupun

    Pemerintah Republik Indonesia di masa kemerdekaan. Terutama disebabkan oleh

    politik Islam pemerintah Hindia Belanda yang kemudian tetap dibiarkan berlanjut

    oleh Pemerintah Republik Indonesia, banyak keruwetan yang dihadapi oleh Peradilan

    Agama. Keruwetan yang meliputi Peradilan Agama, misalnya terletak pada (a)

    kewenangan atau kompetensinya, (b) hukum acara atau hukum formilnya, (c) hukum

    materiil atau hukum terapannya.9 Sebagian keruwetan tersebut telah pupus dengan

    lahirnya undang-undang no. 7 tahun 1989 tentang peradilan agama.10

    Persoalan yang kemudian dihadapi oleh Peradilan Agama adalah tentang

    hukum materiil atau hukum terapannya, yakni hukum positif yang harus diterapkan

    oleh Pengadilan Agama untuk menyelasaikan kasus-kasus yang diajukan kepadanya.

    Hukum materiil itu adalah hukum Islam. Inilah yang dimaksudkan oleh Hakim

    Agung pada Mahkamah Agung Republik Indonesia, M. Yahya Harahap mengatakan

    bahwa salah satu asas Peradilan Agama yakni personalitas keIslaman. Asas

    personalitas keIslaman adalah yang tunduk dan dapat ditundukan kepada kekuasaan

    lingkungan Peradilan Agama hanya mereka yang mengakui beragama Islam.

    Persoalannya adalah ada sementara termasuk Hakim Peradilan Agama menyamakan

    9 Moh. Muhibbin, H. Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam, Sebagai Pembaharuan

    Hukum Positif di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), h. 169-170 10 Bustanul Arifin, Sejarah Penyusunan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta:

    Ditjen Bimbaga Departemen Agama RI, 1991), h. 135

  • 40

    syariah dengan fikih. Karena ada hakim yang berpandangan demikian, maka dalam

    menyelesaikan perkara yang diajukan kepadanya, mereka merujuk kepada kitab fikih.

    Perbedaan pendapat ini antara fuqaha yang terdapat dalam kitab fikih

    pegangan Hakim Peradilan Agama tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum yang

    dapat menyebabkan sikap antipati masyarakat pencari keadilam pada peradilan

    agama. Selain itu, di masa yang lalu, wawasan para hakim Peradilan Agama

    mengenai fikih Islam di Indonesia masih terpaku pada hukum yang terdapat dalam

    mazhab Syafii. Jika hal ini berlangsung terus-menerus, kepercayaan masyarakat

    untuk mencari keadilan berdasarkan hukum Islam ke Peradilan Agama lama-

    kelamaan akan menyurut, bahkan bukan tidak mungkin akan sirna. Logika yang

    demikian harus dihindari dan jawaban untuk mengatasi hal tersebut sudah jelas, yaitu

    harus ada hukum yang bisa dijadikan pedoman bagi hakim Peradilan Agama dalam

    membuat keputusan.11

    Demikian beberapa pandangan yang dikemukakan berkenaan dengan latar

    belakang diadakannya Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang permasalahannya

    bertumpu pada pelaksanaan hukum Islam di lingkungan Pengadilan Agama.

    Berdasarkan pemaparan-pemaparan dari para ahli hukum di atas maka

    penulis menyimpulkan bahwa alasan diadakannya Kompilasi Hukum Islam (KHI)

    adalah lahirnya putusan hukum yang berbeda terhadap kasus yang sama dalam

    11 Moh. Muhibbin, Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam, Sebagai Pembaharuan Hukum

    Positif di Indonesia, h. 170-171

  • 41

    lingkungan Peradilan Agama dikarenakan berbeda-bedanya para hakim dalam

    mengambil rujukan oleh sebab berbeda aliran mazhab.

    3. Proses Penyusunan Kompilasi Hukum Islam (KHI)

    a. Penelitian

    Menurut Masrani Basran dalam salah satu tulisannya, dalam penelitian terdapat

    beberapa jalur. Pertama, jalur kitab yaitu dengan mengumpulkan kitab-kitab

    hukum atau fikih. Kedua, jalur ulama yaitu dengan mewawancarai para ulama

    di seluruh Indonesia meliputi, Banda Aceh, Medan, Palembang, Padang, Jawa

    Tengah, Jawa Timur, Ujung Pandang, Mataram dan Banjarmasin. Ketiga, jalur

    yurisprudensi yaitu dengan menghimpun putusan-putusan Pengadilan Agama

    dari dulu hingga sekarang kemudian dibukukan. Keempat, jalur studi

    perbandingan terhadap beberapa Negara muslim.12

    b. Pengolahan Data

    Hasil penelitian bidanng kitab, yurisprudensi, wawancara (jalur ulama) dan

    studi perbaandingan diolah oleh tim besar proyek pembinaan Hukum Islam

    melalui yurisprudensi yang terdiri dari seluruh pelaksana proyek. Hasil dari

    rumusan tim besar dibahas dan diolah lagi dalam sebuah tim kecil yang

    merupakan tim inti berjumlah 10 orang. Setelah mengadakan 20 kali rapat,

    akhirnya tim kecil dapat merumuskan dan menghasilkan 3 buku naskah

    12 Masran Basran, Kompilasi Hukum Islam, h. 37-38.

  • 42

    rancangan Kompilasi Hukum (KHI) Islam yaitu Hukum Perkawinan, Hukum

    Kewarisan dan Hukum Wakaf.13

    c. Lokakarya

    Pelaksanaan pembahasan naskah rancangan Kompilasi Hukum Islam (KHI)

    pada lokakarya tersebut dibagi dalam dua instansi, yaitu sidang pleno dan

    sidang komisi. Sidang pleno dihadiri oleh seluruh peserta melakukan perbaikan

    umum, dan mengesahlan hasil rumusan akhir lokakarya. Sidang komisi terdiri

    dari komisi hukum perkawinan, komisi hukum kewarisan dan komisi hukum

    wakaf.14

    Proses selanjutnya setelah naskah akhir Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang

    terdiri dari Buku I tentang Perkawinan, Buku II tentang Kewarisan dan Buku III

    tentang Wakaf mengalami penghalusan redaksi yang intensif di Ciawi-Bogor

    yang dilakukan oleh tim besar proyek untuk selanjutnya disampaikan kepada

    Presiden, oleh Menteri Hukum Islam dengan maksud untuk memperoleh bentuk

    yuridis untuk digunakan dalam praktik di Lingkungan Peradilan Agama.

    d. Subtantansi Kompilasi Hukum Islam (KHI)

    Kompilasi Hukum Islam (KHI) disusun atas prakarsa penguasa negara, dalam

    hal ini Ketua Mahkamah Agung dan Menteri Agama (melalui surat Keputusan

    Bersama/SKB) dan mendapat pengakuan ulama dari berbagai unsur. Secara

    resmi Kompilasi Hukum Islam (KHI) merupakan hasil ijtihad jamaiy ulama

    13 Basiq Djalil. Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,

    2006), h.116. 14 Basiq Djalil. Peradilan Agama di Indonesia, h.117

  • 43

    dari berbagai golongan melalui media lokarkarya yang dilaksanakan secara

    nasional kemudian mendapat legalisasi dari kekuasaan negara.

    Hukum materil yang terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) merupakan

    hukum Islam yang bercorak ke-Indonesiaan. Ia merupakan hasil dari kompromi

    terhadap keadaan setempat (sosial, budaya dan kultur kemasyarakatan). Dengan

    kata lain, pertimbangan yang dilakukan oleh ulama dalam merumuskan

    Kompilasi Hukum Islam (KHI) bukan hanya pertimbangan nash tetapi juga

    pertimbangn realitas.

    Sistematika penyusunan materi hukum Kompilasi Hukum Islam (KHI) dapat

    dilihat sebagai berikut:

    a. Hukum perkawinan

    Sistematika Kompilasi mengenai hukum perkawinan ini adalah sebagai berikut:

    1. Bab I : Ketentuan Umum (Pasal 1)

    2. Bab II : Dasar-dasar Perkawinan (Pasal 2-10)

    3. Bab III : Peminangan (Pasal 11-13)

    4. Bab IV : Rukun dan Syarat Perkawinan (14-29)

    5. Bab V : Mahar (Pasal 30-38)

    6. Bab VI : Larangan Kawin (Pasal 39-44)

    7. Bab VII : Perjanjian Perkawinan (Pasal 45-52)

    8. Bab VIII : Kawin Hamil (Pasal 53-54)

    9. Bab IX : Beristeri Lebih dari satu (Pasal 55-59)

    10. Bab X : Pencegahan Perkawinan (Pasal 60-69)

  • 44

    11. Bab XI : Batalnya Perkawinan (Pasal 70-76)

    12. Bab XII : Hak dan Kewajiban Suami Istri (Pasal 77-84)

    13. Bab XIII : Harta Dalam Perkawinan (Pasal 85-97)

    14. Bab XIV : Pemeliharaan Anak (Pasal 98-106)

    15. Bab XV : Perwalian (Pasal 107-112)

    16. Bab XVII : Akibat Putusnya Perkawinan (Pasal 149-162)

    17. Bab XVIII : Rujuk (Pasal 163-169)

    18. Bab XIX : Masa Berkabung (Pasal 170)

    b. Hukum kewarisan

    Sistematika Kompilasi mengenai hukum kewarisan adalah lebih sempit bilamana

    dibandingkan dengan hukum perkawinan sebagaimana yang telah diuraikan di

    muka. Kerangka sistematikanya adalah sebagai berikut:

    1. Bab I : Ketetuan Umum (Pasal 171)

    2. Bab II : Ahli Waris (Pasal 172-175)

    3. Bab III : Besarnya Bahagian (Pasal 176-191)

    4. Bab IV : Aul dan Rad (Pasal 192-193)

    5. Bab V : Wasiat (Pasal 194-209)

    6. Bab VI : Hibah (Pasal 210-214)

    c. Hukum perwakafan

    Bagian terakhir atau buku ke III Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah tentang

    hukum perwakafan. Adapun sistematikanya adalah sebagai berikut:

  • 45

    1. Bab I : Ketentuan Umum (Pasal 215)

    2. Bab II : Fungsi dan syarat Wakaf (Pasal 216-222)

    3. Bab III : Tata Cara Perkawafan dan Pendaftaran Benda Wakaf

    (Pasal 223-224)

    4. Bab IV : Perubahan, Penyelesaian dan Fungsi Benda Wakaf

    (Pasal 225-227)

    5. Bab V : Ketentuan Peralihan (Pasal 228)

    B. Landasan Kompilasi Hukum Islam (KHI)

    Landasan atau dasar hukum pertama keberadaan Kompilasi Hukum Islam

    (KHI) di Indonesia adalah Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991

    adalah Pasal 4 Ayat (1) Undang-undang Dasar 1945, yaitu kekuasaan Pemerintahan

    Negara.

    Intruksi Presiden ini ditujukan kepada Menteri Agama yang memerintahkan

    unutk mnyebarluaskan Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang sudah disepakati

    teresebut.15 Diktum keputusan menyatakan:

    1. Menyebarkan Kompilasi Hukum Islam, terdiri dari:

    a. Buku I tentang Hukum Perkawinan,

    b. Buku II tentang Hukum Kewarisan,

    c. Buku III tentang Hukum Perwakafan.

    15 M. Daud Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia,

    (jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1994), cet. Ke-4, h. 53.

  • 46

    Sebagaimana telah diterima baik oleh para alim ulama Indonesia dalam

    lokarkarya di Jakarta tanggal 2-5 Februari 1991 untuk digunakan oleh Instansi

    Pemerintah dan oleh masyarakat yang memerlukannnya.

    2. Melaksanakan Instruksi Presiden ini dengan sebaik-baiknya dan dengan penuh

    tanggung jawab.

    Landasan hukum yang kedua adalah keputusan Menteri Agama Republik

    Indonesia tanggal 22 Juli 1991 No. 154 Tahun 1991 tentang pelaksanaan Instruksi

    Presiden Republik Indonesia No. 1 tahun 1991.

    Dalam diktum keputusan Menteri tersebut disebutkan sebagai berikut:

    a. Seluruh Instansi Departmen Agama dan Instansi Pemerintah lainnya yang terkait

    agar menyebarluaskan Kompilasi Hukum Islam (KHI) di bidang perkawinan,

    kewarisan dan perwakafan sebagaimana dimaksud dalam Diktum Pertama

    Instruksi Presiden No. 1 tahun 1991 untuk digunakan oleh Instansi Pemerintah dan

    masyarakat yang memerlukannya dalam menyelesaikan masalah-masalah di

    bidang tersebut.

    b. Seluruh lingkungan instansi tersebut dalam diktum pertama, dalam menyelesaikan

    masalah di bidang perkawinan, kewarisan dan perwakafan sedapat mungkin

    menerapkan Kompilasai Hukum Islam tersebut di samping peraturan perundang-

    undangan lainnya.

    c. Direktur jendral pembinaan kelembagaan agama Islam dan direktur bimbingan

    masyarakat Islam dan urusan haji mengkoordinasikan tentang pelaksanaan

    keputusan menteri agama ini dalam bidang tugasnya masing-masing.

  • 47

    d. Keputusan ini berlaku sejak ditetapkan.16

    3. Landasan Hukum yang ketiga yaitu Surat Edaran Direktur Pembinaan Badan

    Peradilan Agama Islam atas nama Direktur Jenderal Pembinaan Kelembagaan

    Islam tanggal 25 Juli 1991 No. 3694/EV/Hk. 003/AZ/91, yang ditujukan kepada

    ketua Pengadilam Agama di seluruh Indonesia tentang penyebarluasan Instruksi

    Presiden No. 1 Tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991.17

    Berdasarkan hal di atas, Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang tertuang dalam

    Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 dilaksanakan dengan keputusan Menteri

    Agama Nomor 154 Tahun 1991. Dalam sejarah, penerapan hukum Islam dalam

    proses pengambilan keputusan di Peradilan Agama selalu menjadi masalah, oleh

    karena rujukan yang digunakan oleh Peradilan Agama senantiasa beraneka ragam. Ia

    terdiri atas beragam kitab fikih dari berbagai aliran (mazhab), yang berakibat

    munculnya keragaman putusan terhadap perkara yang serupa. Hal ini sangat

    merisaukan para petinggi hukum terutama di kalangan Mahkamah Agung dan

    Dapertemen Agama. Dengan diberlakukannya Kompilasi Hukum Islam (KHI)

    kekosongan hukum itu telah terisi.

    Kompilasi Hukum Islam (KHI) disusun dan dirumuskan untuk mengisi

    kekosongan hukum substansional (mencakup hukum Perkawinan, Kewarisan dan

    Perwakafan) yang diberlakukan pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama.

    Sedangkan di dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989, antara lain diatur tentang

    16 M. Daud Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, h. 60

    17 M. Daud Ali, h. 66

  • 48

    kekuasaan pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama di bidang Perkawinan,

    Kewarisan, Hibah, Wasiat, Wakaf dan Shadaqah khususnya bagi orang-orang yang

    beragama Islam. Dengan demikian, secara yuridis hukum Islam di bidang

    Perkawinan, Kewarisam (termasuk Wasiat dan Hibah) dan Perwakafan menjadi

    hukum positif tertulis dalam sistem hukum nasional. Ia menjadi dasar pengambilan

    keputusan hukum terhadap perkara-perkara yang diajukan ke Pengadilan dalam

    lingkungan Peradilan Agama.

    C. Kedudukan Kompilasi Hukum Islam (KHI) Dalam Sistem Hukum Nasional

    Berkenaan dengan kedudukan Kompilasi Hukum Islam (KHI) dalam sistem

    hukum Nasional, diukur oleh unsur-unsur sistem hukum nasional sebagaimana telah

    dikemukakan.18

    1. Landasan ideal dan konstitusional Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah

    Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Hal itu dimuat dalam konsideran

    Instruksi Presiden dan dalam penjelasan Kompilasi Hukum Islam (KHI). Ia

    disusun sebagai bagian dari sintem hukum naional yang menjamin kelangsungan

    hidup beragama berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa ysng sekaligus

    merupakan perwujudan kesadaran hukum masyarakat dan bangsa Indonesia.

    2. Ia dilegalisasi oleh instrumen hukum dalam bentuk Instruksi Presiden yang

    dilaksanakan oleh Keputusan Menteri Agama, yang merupakan bagian dari

    rangkaian Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.

    18 Cik Hasan Basri, Kompilasi Hukum Islam Dan Peradilan Agama Dalam Sistem Hukum

    Nasional, (Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 1999) h. 9-10

  • 49

    3. Ia dirumuskan dari tatanan hukum Islam yang bersumber dari al-Quran dan

    Sunnah Rasul. Hal itu yang menjadi inti hukum Islam yang mencakup berbagai

    dimensi.

    Berdasarkan hal tersebut maka kedudukan Kompilasi Hukum Islam (KHI)

    mempunyai kedudukan yang kuat dalam tatanan hukum di Indonesia, walaupun di

    sisi lain menurut hemat penulis masih terdapat beberapa kelemahan di antaranya

    dalam konsideran terdapat susunan kalimat dapat digunakan sebagai pedoman,

    dakan dapat menimbulkan kesan bahwa dalam masalah ini, Kompilasi Hukum Islam

    (KHI) tidak mengikat, artinya para pihak dan instansi dapat memakainya dam dapat

    pula tidak, sehingga hal tersebut dapat menimbulkan masalah. Lebih lanjut Inpres

    tidak mengikat seperti halnya undang-undang, karena Inpres adalah penetapan yang

    tanpa meminta persetujuan DPR sehingga kepastian hukum materil Peradilan Agama

    belum ada pada taraf maksimal.

    Berkaitan dengan Kompilasi Hukum Islam (KHI) sendiri yang merupakan

    sebuah anjuran bagi hakim dalam mangambil keputusan terhadap perkara yang

    diajukan di lingkungan Peradilan agama, maka posisi hakim sebagaimana dalam

    Undang-undang Dasar Negara Republik Indoneisa (UU NRI) Tahun 1945

    menentukan dalam pasal (2) bahwa Peradilan Agama merupakan salah satu

    lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung bersama badan

    peradilan lainnya di lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Tata Usaha Negara, dan

    Peradilan Militer. Peradilan Agama merupakan salah satu Badan Peradilan pelaku

    Kekuasaan Kehakiman (KK) untuk menyelenggarakan penegakan hukum dan

  • 50

    keadilan bagi rakyat pencari keadilan perkara tertentu antara orang-orang yang

    beragama islam di bidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infak,

    sedekah, dan ekonomi syariah.19

    Dalam Undang-undang ini kewenangan pengadilan di lingkungan Peradilan

    Agama diperluas, hal ini sesuai dengan perkembangan hukum masyarakat, khususnya

    masyarakat muslim. Perluasan tersebut antara lain meliputi ekonomi syariah. Dalam

    kaitannya dengan perubahan Undang-undang ini pula, kalimat yang terdapat dalam

    penjelasan umum UU no. 7 Tahun 1989 tentang PA (UU PA No.7/89) yang

    menyatakan: Para pihak sebelum berperkara dapat mempertimbangkan untuk

    memilih hukum apa yang digunakan dalam pembagian waris, dinyatakan dihapus.

    Dalam usaha memperkuat prinsip Kekuasaan Kehakiman (KK) yang

    merdeka, sesuai dengan tuntunan reformasi di bidang hukum, telah dilakukan

    perubahan terhadap Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-

    ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman (UUK2PKK No. 14/1970) sebagaimana

    telah diubah dengan UU Nomor 35 Tahun 1999 tentang perubahan atas UUK2PKK

    No. 14/1970, sebagaimana terakhir telah diganti menjadi UU Nomor 4 Tahun 2004

    tentang Kekuasaan Kehakiman (UUKK No. 4/2004). Demikian juga halnya telah

    dilakukan perubahan UU Nomor 14 Tahun 1985 tentang MA (UUMA No. 14/1985)

    dengan UU No. 5 Tahun 2005 tentang perubahan atas UU Nomor 14 Tahun 1985

    tentang MA.

    19 Abdul Manan, Etika Hakim Dalam Penyelenggaraan Peradilan Suatu Kajian Dalam

    Sistem Peradilan Islam, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007), h. 240-241

  • 51

    Penggantian dan perubahan kedua Undang-undang tersebut secara tegas

    telah mengatur pengalihan organisasi, administrasi, finansial dan senua lingkungan

    peradilan ke MA. Dengan demikian, organisai, administrasi dan finansial badan

    peradilan di lingkungan Peradilan Agama yang sebelumnya masih berada di bawah

    Departemen Agama berdasarkan UUPA No. 7 Tahun 1989 sedah tidak lagi berada di

    bawah Departemen Agama.20

    D. Tujuan Perumusan Kompilasi Hukum Islam (KHI)

    Hukum positif Islam, sebagaimana dirumuskan secara sistematis dalam

    Kompilasi Hukum Islam (KHI), mencakup berbagai substansi dan dimensi. Ia

    merupakan hukum Substansional (materil) yang menjadi rujukan dalam proses

    pengambilan keputusan di Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan Agama. Ia

    meliputi hukum perkawinan, hukum kewarisan, hibah dan wasiat dan hukum

    perwakafan. Ia juga mnecakup dimensi pemeliharaan tradisi intelektual di kalangan

    ulama, dimensi transformasi ke dalam produk Kekuasaan Pemerintahan Negara, dan

    dimensi pengembangan ke dalam produk kekuasaan kehakiman terhadap perkara

    yang diajukan ke Pengadilan.

    Berkenaan dengan hal yang di atas, maka dalam perumusan Kompilasi

    Hukum Islam (KHI) besar harapan untuk mempositifkan hukum Islam di Indonesia.

    Dengan mempositifkan hukum secara terumus dan sistematik dalam Kompilasi

    20 Abdul Manan, Etika Hakim Dalam Penyelenggaraan Peradilan Suatu Kajian Dalam

    Sistem Peradilan Islam, h. 241-242

  • 52

    Hukum Islam (KHI), maka terdapat beberapa tujuan yang hendak dicapai dalam

    perumusan Kompilasi Hukum Islam (KHI).21

    1. Melengkapi Pilar Peradilan Agama

    Secara konstitusional dan teoritis keberadaan Peradilan Agama sebagai salah satu

    badan Lingkungan Peradilan yang melaksanakn amanat kekuasaan kehakiman

    yang ditentukan Pasal 24 Undang-undang 1945 telah terpenuhi.22 Maka setelah

    lahir Kompilasi Hukum Islam (KHI) keberadaan Peradilan Agama menjadi

    berfungsi semakin baik dan jelas dalam menangani perkara yang di ajukan

    kepadanya.

    2. Menyamakan Persepsi Penerapan Hukum

    Dengan lahirnya Kompilasi Hukum Islam (KHI) telah jelas dan pasti nilai-nilai

    tata hukum Islam di bidang perkawinan, hibah, wasiat, wakaf dan warisan. Bahasa

    dan nilai-nilai hukum yang dipertarungkan di forum Peradilan Agama oleh

    masyarakat pencari keadilan, sama kaidah dan rumusannya dengan apa yang mesti

    diterapkan oleh para Hakim di seluruh Nusan