uji toksisitas subkronik ekstrak daun kumis kucing (orthosiphon aristatus) terhadap ginjal mencit...

Upload: fegama2302

Post on 13-Oct-2015

468 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

Universitas Tulang Bawang Lampung

TRANSCRIPT

4

UJI TOKSISITAS SUBKRONIK EKSTRAK DAUN KUMIS KUCING (Orthosiphon aristatus) TERHADAP GINJAL MENCIT JANTAN SECARA ORAL

OlehANDI IRAWANSYAH09311002

JURUSAN FARMASIFAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAMUNIVERSITAS TULANG BAWANGLAMPUNG2014

BAB IPENDAHULUAN

1.1 Latar BelakangDi Indonesia, pemanfaatan tanaman sebagai obat-obatan telah berlangsung ribuantahun yang lalu. Tetapi penggunaan belum terdokumentasi dengan baik (Tilaar, Martha, 2002). Obat tradisional sejak zaman dahulu memainkan peranan penting dalam menjaga kesehatan, mempertahankan stamina, dan mengobati penyakit. Oleh karena itu, obat tradisional masih berakar kuat dalam kehidupan masyarakat hingga saat ini. Semula, untuk kelangsungan hidupnya manusia menggantungkan semua keperluan pada alam sekitarnya, termasuk untuk menjaga kesehatan. Sejalan dengan sejarah perkembangan manusia, pengetahuan tentang penyakit dan pengalaman tentang cara mengatasinya semakin berkembang. Pengetahuan tentang pengobatan penyakit, semakin lama semakin banyak ragamnya, sesuai dengan budaya, kemampuan bangsa, rona lingkungan, serta ragam flora dan fauna yang ada (Soedibyo, B.R.A. Mooryati, 1998).

Pengetahuan tentang khasiat dan keamanan tanaman obat di Indonesia biasanya hanya berdasarkan pengalaman empiris yang biasanya diwariskan secara turun temurun dan belum teruji secara ilmiah. Untuk itu diperlukan penelitian tentang obat tradisional, sehingga nantinya obat tersebut dapat digunakan dengan aman dan efektif (Jenova, Rika, 2009).

Tanaman kumis kucing mempunyai banyak manfaat untuk pengobatan, antara lain sebagai antiradang, peluruh air seni (diuretic), dan penghancur batu saluran kencing (Hariana, Arief, 2013). Dalam penelitian (Astuti, V, C, Y, 2012), pengaruh pemberian ekstrak daun kumis kucing (Orthosiphon aristatus) pada dosis 0,75 dan 1.25 g/kg BB memiliki kemampuan untuk menurunkan kadar glukosa darah lebih baik pada tikus wistar yang diinduksi aloksan.

Toksisitas didefinisikan sebagai segala hal yang memiliki efek berbahaya dari zat kimia atau obat pada organisme target. Uji toksisitas terdiri atas dua jenis, yaitu toksisitas umum (akut, subakut/subkronis, kronis) dan toksisitas khusus (teratogenik, mutagenik dan karsinogenik) (Amiria, Fita Dwi, 2008). Uji toksisitas diperlukan untuk menilai keamanan suatu obat, maupun bahan yang dipakai sebagai siplemen ataupun makanan.

Berdasarkan lama paparan dan dosis, diketahui ada 3 tingkatan uji ketoksikan yaitu akut, sub kronik, dan kronik. Uji Toksisitas akut dilakukan dengan memberi senyawa yang sedang diuji sebanyak satu kali atau beberapa kali dalam jangka waktu 24 jam, kemudian diamati selama 14 hari. Uji toksisitas subkronis dilakukan untuk mengevaluasi efek senyawa, apabila diberikan kepada hewan uji secara berulang-ulang. Biasanya diberikan senyawa uji setiap hari selama kurang lebih 10% dari masa hidup hewan. Uji toksisitas kronis dilakukan dengan memberikan senyawa uji berulangulang selama masa hidup hewan uji atau sebagian besar masa hidupnya (Hendriani, Rini, 2007). Uji toksisitas subkronik merupakan pemberian zat kimia uji secara berganda (dosis harian) bertujuan untuk mendapatkan data NOEL (no observed effect level) dari suatu bahan uji (Wirasuta, I.M.A. Gelgel, 2006).

Toksikan tidak mempengaruhi semua organ secara merata, karena dipengaruhi oleh kepekaan suatu organ, juga tingginya kadar senyawa atau metabolitnya di organ sasaran. Kadar ini selain bergantung pada dosis yang diberikan juga pada derajat absorbsi, distribusi, pengikatan, dan ekskresi (Hendriani, Rini, 2007).Pengikatan suatu senyawa dalam jaringan dapat menyebabkan kadarnya menjadi tinggi. Hati dan ginjal memiliki kapasitas yang lebih tinggi untuk mengikat senyawa asing. Hal ini berhubungan dengan fungsi metabolik dan ekskretorik (Hendriani, Rini, 2007).

Organ yang biasa diamati dalam pemeriksaan histopatologi pada hewan uji setelah pemberian sediaan uji salah satunya adalah ginjal. Secara farmakologik setiap bahan obat yang masuk kedalam tubuh akan mengalami proses farmakodinamik dan farmakokinetik. Begitu pula dengan daun kumis kucing yang dikonsumsi akan diekskresikan melalui ginjal dalam bentuk urine.

Penelitian mengenai efek toksik daun kumis kucing (Orthosiphon aristatus) terhadap ginjal merupakan suatu penelitian yang bermanfaat dan perlu dilakukan karena penggunaan daun kumis kucing sebagai bahan obat (penurun kadar gula darah) diberikan dalam jangka panjang. Belum ada penelitian yang membahas tentang efek toksiknya terhadap organ ginjal. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang uji toksisitas subkronik terhadap ginjal mencit jantan.

1.2 Perumusan Masalah

Apakah ekstrak daun kumis kucing (Orthosiphon aristatus) memiliki efek toksik subkronik terhadap ginjal mencit jantan.

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan bahwa daun kumis kucing (Orthosiphon aristatus) mempunyai efek toksik subkronik terhadap ginjal mencit jantan.

1.4 Manfaat Penelitian

1. Memberikan informasi kepada masyarakat tentang khasiat daun kumis kucing sebagai salah satu obat tradisional untuk menurunkan kadar glukosa darah.

2. Memberikan informasi kepada masyarakat tentang keamanan konsumsi ekstrak daun kumis kucing dan efek toksiknya terhadap ginjal.

1.5Hipotesis

Ekstrak daun kumis kucing (Orthosiphon aristatus) mempunyai efek toksik subkronik terhadap ginjal mencit jantan.

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

2.1Tinjauan Botani Daun Kumis Kucing (Orthosiphon aristatus)Tanaman kumis kucing biasanya tumbuh di sepanjang anak sungai atau selokan. Biasanya ditanam juga di pekarangan rumah untuk digunakan sebagai tanaman obat keluarga, karena kumis kucing memiliki banyak khasiat dan mudah ditanam yaitu dengan cara menebar biji atau setek batang. Tanaman kumis kucing mempunyai nama botani: Orthosiphon stamineus Benth (Dalimartha, Setiawan, 2000).

Gambar 2.1.1 Daun kumis kucing (Dalimartha, Setiawan, 2000)

2.1.1Klasifikasi

KlasifikasiTanaman kumis kucing adalah sebagai berikut (Anonim, 2000) :Kingdom: PlantaeSubkingdom: TracheobiontaSuper Divisi: SpermatophytaDivisi: MagnoliophytaKelas: MagnoliopsidaSub Kelas: AsteridaeOrdo: LamialesFamili:LamiaceaeGenus:OrthosiphonSpesies:Orthosiphon aristatus

2.1.2Sinonim

Orthosiphon aristatus Miq., Orthosiphon spicatus B.Bs, Orthosiphon grandiflorus Bold, mempunyai nama daerah: Kumis kucing (Sunda), remujung (Jawa), sesalaseyan (Madura) soengot koceng (Madura), dan nama simplisia: Orthosiphi Herba (herba kumis kucing) (Dalimartha, Setiawan, 2000).

2.1.3Morfologi Tumbuhan

Tanaman kumis kucing mempunyai bunga berwana putih seperti kumis kucing. Kumis kucing merupakan tanaman yang mudah merambat dan berkembang biak dengan cara generatif dan vegetatif. Cara generatif yaitu dengan biji sedangkan vegetatif dengan stek. Stek batang yang paling baik adalah batang yang tidak terlalu tua. Tanaman ini menghendaki suasana lembap, pada saat kemarau perlu penyiraman intensif (Soeryoko, Hery, 2011). Kumis kucing dapat ditemukan di dataran rendah pada ketinggian 700 m di atas permukaan laut. Tanaman kumis kucing tumbuh tegak dengan tinggi antara 50-150 cm. Batang berkayu, segi empat agak beralur, beruas, bercabang, berambut pendek atau gundul, berakar kuat. Daun tunggal, bulat telur, elips atau memanjang, berambut halus, tepi bergerigi, ujung dan pangkal runcing, tipis, panjang 2-10 cm, lebar 1-5 cm, warna hijau. Bunga majemuk dalam tandan yang keluar di ujung percabangan, berwarna ungu pucat atau putih, benang sari lebih panjang dari tabung bunga. Buah berupa nuah kotak, bulat telur, masih muda berwarna hijau, setelah tua berwarna coklat. Biji kecil, masih muda berwarna hijau, setelah tua berwarna hitam (Dalimartha, Setiawan, 2000).

2.1.4Tempat Tumbuh dan Penyebarannya

Kumis kucing sangat mudah untuk dibudidayakan, karena tanaman ini dapat tumbuh di dataran rendah maupun tinggi. Kumis kucing paling ideal tumbuh di daerah dengan ketinggian di atas 700 m di atas permukaan laut atau daerah berhawa sejuk. Daerah yang kurang dari 700 m di atas permukaan laut akan mengalami kekeringan pada musim kemarau sehingga perlu penyiraman intensif (Soeryoko, Hery, 2011). Tempat penyebarannya hampir dibeberapa daerah di indonesia, suka sekali akan keadaan yang sedikit basah (Wulandari, 2011)

2.1.5Kandungan Kimia dan Penggunaan

Kumis kucing memiliki rasa sedikit pahit, sedikit asin, sepet, dan bersifat sejuk. Beberapa bahan kimia yang terkandung dalam kumis kucing, diantaranya zat samak, minyak atsiri, orthosiphonglikosida, minyak lemak, saponin, sapofonin, garam kalium (0,6-3,5%), dan myoinositol (Hariana, Arief, 2013).

2.2Toksikologi

Toksikologi dapat didefinisikan sebagai kajian tentang hakikat dan mekanisme efek berbahaya (efek toksik) berbagai bahan kimia terhadap makhluk hidup dan sistem biologik lainnya (Wirasuta, I.M.A. Gelgel, 2008). Efek toksik suatu zat dipengaruhi oleh banyak faktor, mulai dari zatnya, target organ, mekanisme aksi, besar dosis, dan kondisi fisiologi membran biologi yang terpapar (Priyanto, 2010).

2.2.1Toksisitas

Toksisitas merupakan istilah relatif yang biasa dipergunakan dalam memperbandingkan satu zat kimia dengan lainnya, atau bisa dikatakan bahwa satu zat kimia lebih toksik daripada zat kimia lain. Perbandingan sangat kurang informatif, kecuali jika pernyataan tersebut melibatkan informasi tentang mekanisme biologi yang sedang dipermasalahkan dan juga dalam kondisi bagaimana zat kimia tersebut berbahaya (Wirasuta, I.M.A Gelgel, 2008).

Penilaian keamanan suatu obat atau zat kimia merupakan bagian penting dari toksikologi, karena setiap zat kimia yang baru disintesis dan akan dipergunakan harus diuji toksisitas dan keamanannya. Bila zat kimia itu merupakan zat tambahan makanan atau kontaminan yang tanpa sengaja dapat masuk dalam makanan, maka penilaian keamanannya dilakukan melalui tahap-tahap yang telah baku (Ganiswarna, Sulistia G, Dkk, 1995). Efek toksik yang ditimbulkan oleh suatu zat akibatnya sangat bervariasi, tergantung dari zat, target organ, mekanisme aksi, dan besarnya dosis (Priyanto, 2010).

Efek toksisitas yang ditimbulkan oleh keracunan makanan/minuman dapat bersifat akut atau kronis. Keracunan akut ditimbulkan oleh bahan-bahan beracun yang memiliki toksisitas yang tinggi, dimana dengan kuantitas yang kecil sudah dapat menimbulkan efek fisiologis yang berat. Jenis keracunan ini umumnya mudah diidentifikasi dan menjadi perhatian masyarakat. Sebaliknya keracunan yang bersifat kronis efek toksisitasnya baru dapat terlihat atau teridentifikasi dalam waktu yang lama, umumnya tidak disadari dan tidak mendapat perhatian. Peningkatan yang berarti terhadap jumlah penderita penyakit yang dapat dipicu oleh pengaruh bahan beracun seperti tumor (kanker), gangguan enzimatik, gangguan metabolisme, gangguan sistem syaraf, mungkin saja merupakan akibat dari penggunaan berbagai jenis bahan kimia yang bersifat toksis dalam makanan yang dikonsumsi masyarakat (Wirasuta, I.M.A. Gelgel, 2008).

2.2.2Klasifikasi Toksikologi

Efek toksik dapat diklasifikasikan menurut beberapa cara antara lain berdasarkan target organ, mekanisme kerja, spektrum dan lain-lain (Priyanto, 2010) :1. Berdasarkan target organ, efek toksik dapat diklasifikasikan menjadi hepatotoksik, neprotoksik, hemotoksik, genotoksik, ototoksik, neurotoksik, immunotoksik, dan lain-lain.2. Berdasarkan waktu dan tempat efek toksik timbul.3. Efek toksik berdasarkan skala waktu timbulnya efek toksik atau lamanya paparan.

2.2.3Gejala Toksisitas

Kondisi efek toksik mempengaruhi atau menentukan keberadaan zat kimia atau metabolitnya dalam sel sasaran atau tempat kerjanya. Jumlah zat kimia atau metabolitnya di sel sasaran akan mempengaruhi atau menentukan efek toksiknya. Yang termasuk dalam kondisi efek toksik adalah (Priyanto, 2010) :1. Kondisi paparan zat kimia meliputi :a) Jalur paparan (intravaskuler atau ekstravaskuler)b) Lama dan kekerapan paparanc) Saat paparand) Paparan akut atau kronis2. Kondisi mahluk hidup, meliputi :a) Keadaan fisiologi (berat badan, umur, suhu tubuh, kecepatan pengosongan lambung, kecepatan aliran darah, status gizi, kehamilan, genetika, dan jenis kelamin).b) Keadaan patologi (penyakit saluran pencernaan, kardiovaskuler, hati, dan ginjal).

2.2.4Penanganan Toksisitas

Penanganan kasus keracunan harus dilakukan dengan cepat dan dengan terencana. Penanganan pertama, yang disebut pertolongan pertama terdiri atas (Mutschler, Ernst, 1991) :a. Menjaga agar fungsi vital, seperti pernapasan dan sirkulasi tetap ada.b. Menghindari absorpsi racun lebih lanjut. Jika penyebab keracunan diketahui dan mungkin dilakukan penanganan dengan antidot tertentu, jika zat tersebut tersedia harus segera diberikan.

Setelah pertolongan pertama, jika penanganan yang dilakukan belum atau kurang cukup harus dicoba lagi untuk menghentikan absorpsi racun, selanjutnya diusahakan untuk (Mutschler, Ernst, 1991) :a. Mempercepat eliminasi racun yang sudah masuk dalam organisme.b. Menormalkan kembali fungsi tubuh yang terganggu dengan penanganan simptomatik.

2.2.5Uji Toksikologi

Obat sebelum dipasarkan atau digunakan harus menjalani serangkaian uji untuk memastikan keamanan, efektivitas dan mutunya. Uji diawali dari skrining untuk mencari senyawa aktif, lalu dilanjutkan uji efektivitas atau selektivitas dan mekanisme kerjanya pada hewan coba atau mikroba (Priyanto, 2010).

Berikut serangkain tes keamanan pada hewan coba (Priyanto, 2010), yang meliputi :1. Uji toksisitas akut : Uji untuk mengetahui nilai LD50 dan dosis maksimal yang masih dapat ditoleransi oleh hewan percobaan, yang hasilnya akan ditransformasi pada manusia.2. Uji toksisitas sub akut : Suatu uji untuk menentukan organ sasaran (organ yang rentan) atau tempat kerjanya. Umumnya dilakukan selama 4 minggu- 3 bulan.3. Uji toksisitas kronik : Suatu uji yang tujuannya hampir sama dengan uji toksisitas sub akut. Umumnya dilakukan selama 6 bulan atau lebih. Uji ini diperlukan jika obat nantinya akan digunakan dalam waktu yang cukup panjang.4. Uji efek pada organ reproduksi : Suatu uji untuk melihat perilaku yang berkaitan dengan reproduksi, perkembangan janin, kelainan janin, proses kelahiran, dan perkembangan janin setelah melahirkan.5. Uji karsinogenik : Uji untuk mengetahui apakah suatu zat jika dipakai dalam jangka panjang akan dapat menimbulkan kanker. Uji dilakukan selama 2 tahun pada 2 spesies hewan. Uji ini dilakukan jika obat ini nantinya akan digunakan dalam jangka panjang.6. Uji mutagenik : Suatu uji untuk melihat adanya perubahan genetik jika zat digunakan jangka panjang.

Setelah uji keamanan tersebut memenuhi syarat sebagai obat, obat akan dibuat dalam formulasi yang diinginkan dan dilakukan uji formulasi. Setelah semuanya dinyatakan memenuhi syarat, obat masih harus menjalani uji klinik pada manusia sebelum obat mendapatkan izin edar. Uji klinik yang dimaksud meliputi :1. Uji klinik fase I : Uji pada sukarelawan sehat untuk mengetahui keamanan zat aktif pada manusia dan untuk mengetahui rentang dosis yang aman serta profil farmakokinetiknya.2. Uji klinik fase II : Uji pada orang sakit yang sesungguhnya dalam jumlah sedikit untuk mengetahui efektivitas dari zat aktif.3. Uji klinik fase III : Uji pada pasien sesungguhnya dalam jumlah yang relatif besar, dilakukan secara random control dan double blind untuk melihat efektifitasnya dan kemungkinan timbulnya efek yang tidak diinginkan.4. Uji klinik fase IV : Uji yang dilakukan pada pasien yang tidak ditentukan kriterianya setelah obat mendapat izin edar sementara untuk mengetahui efektivitasnya dan untuk melihat efek yang tidak diinginkan setelah digunakan secara masal.

2.2.6Uji Toksisitas Subkronik

Uji Toksisitas Subkronik merupakan pemberian zat kimia uji secara berganda (dosis harian) bertujuan untuk mendapatkan data NOEL dari suatu bahan uji. Durasi 3 bulan dengan menggunakan dua spesies uji (biasa tikus dan anjing). Menurut jalur pemberian dimaksud pada pemakaian. Evaluasi yang dilakukan adalah seluruh hewan ditimbang seminggu sekali, pemeriksaan badan lengkap seminggu sekali, dan uji kimia darah, analisis air kencing, uji hematologi, dan uji fungsi dikerjakan atas seluruh hewan yang sakit. Seluruh hewan dapat mengalami bedah mayat lengkap yang menyangkut histologi seluruh organ (Wirasuta, I.M.A. Gelgel, 2008).

Pada pemeriksaan setelah kematian hewan uji perlu dilakukan pemeriksaan histologi organ untuk mengetahui hubungan antara gejala yang terjadi dengan struktur organ yang mengalami paparan senyawa uji. Pada penelitian ini organ yang ditimbang dan diperiksa secara histologis yaitu hati, ginjal, anak ginjal, jantung, limfa, pankreas, paru-paru, otak, testes dan vesika seminalis (jantan), uterus dan ovarium (betina). Lambung diperiksa secara makroskopis (Hendriani, Rini, 2007) :1. Hati adalah organ terbesar dan memberikan proses metabolisme paling kompleks di dalam tubuh. Organ ini terlibat dalam metabolisme zat makanan serta sebagian besar obat dan toksikan. Pada pemeriksaan patologi makroskopik hati, warna dan penampilan sering dapat menunjukkan sifat toksisitas, seperti perlemakan hati atau sirosis. Berat organ merupakan petunjuk yang sangat peka dari pengaruh zat uji pada hati. Pada pemeriksaan mikroskopik hati, dapat dideteksi berbagai kelainan histologi seperti perlemakan, nekrosis, sirosis, nodul hiperplastik dan neoplasia, selain juga dapat mendeteksi perubahan dalam berbagai struktur subsel. Data tersebut digabungkan dengan data uji biokimia sehingga dapat menggambarkan cara kerja toksikan.1. Ginjal merupakan organ sasaran utama dari efek toksik selain hati. Ginjal mempunyai kemampuan kompensasi yang luar biasa. Uji fungsi ginjal selain dilakukan analisis urin dan darah, juga pemeriksaan secara morfologis dan histologis. Pada pemeriksaan makroskopis ditentukan berat ginjal. Perubahan berat organ, bila dibandingkan dengan hewan pembanding, dapat menunjukkan lesi ginjal. Pemeriksaan histopatologi dapat mengungkapkan tempat, luas, dan sifat morfologik lesi ginjal. Sebagai suatu bagian vital dalam tubuh, susunan saraf dilindungi dari toksikan dalam darah oleh suatu mekanisme protektif sawar darah otak. Meskipun demikian, susunan saraf rentan dari berbagai jenis toksikan. Susunan saraf terdiri atas dua bagian utama yaitu susunan saraf perifer dan susunan saraf pusat (SSP) yang mencakup otak dan sum-sum tulang belakang. Pada uji toksisitas perlu juga dilakukan pemeriksaan histologi otak.1. Jantung adalah suatu organ yang vital dalam tubuh, meskipun bukan sasaran utama, organ ini dapat dirusak oleh berbagai senyawa, juga sistem reproduksi, testis dan vesika seminalis atau ovarium dan uterus, serta pankreas yang merupakan bagian sistem endokrin. Oleh karena itu perlu dilakukan pula pemeriksaan histologi pada organ-organ tersebut.

Lima pedoman uji toksisitas (Weil, 1972 dalam Wirasuta, 2008) meliputi :a. Bila dianggap praktis dan sedapat mungkin menggunakan satu atau lebih spesies yang secara biologis memperlakukan suatu bahan yang secara kualitatif semirip mungkin dengan manusia.b. Bila mudah dikerjakan, gunakan beberapa tingkatan dosis, dengan alasan aksi/efek pada manusia dan hewan berkaitan dengan dosis.c. Efek yang ditimbulkan pada tingkat dosis yang lebih tinggi bermanfaat untuk melukiskan kerja mekanisme aksi, tetapi untuk suatu bahan dan efek berbahaya, ada tingkat dosis untuk manusia atau hewan dimana efek berbahaya ini tidak akan munculd. Uji statistika untuk signifikansi itu sahih hanya pada satuan eksperimental yang secara matematika telah dirambang diantara dosis dan kelompok kontrol bersangkutan.e. Efek yang diperoleh melalui suatu jalur pemberian kepada hewan uji dapat diterapkan pada efek, melalui jalur pemberian lain pada manusia. Jalur yang dipilih pada mana eksposisi akan terjadi.

2.3Ginjal

2.3.1Anatomi Ginjal

Ginjal adalah sepasang organ saluran kemih yang terletak di rongga retroperitonial bagian atas. Bentuknya menyerupai kacang dengan sisi cekungnya menghadap kemedial. Pada sisi ini terdapat hilus ginjal yaitu tempat struktur-struktur pembuluh darah, sistem limfatik, sistem saraf dan ureter menuju dan meninggalkan ginjal (Setiadi, 2007).

Gambar 2.3.1. Anatomi ginjal manusia (Guyton, C. dan Hall, E, 2008)

Ginjal merupakan salah satu organ tubuh yang sangat penting bagi manusia karena organ ini bekerja sebagai alat ekskresi utama untuk zat-zat yang tidak dibutuhkan oleh tubuh lagi. Dalam melaksanakan fungsi ekskresi, ginjal mendapat tugas yang berat mengingat hampir 25% dari seluruh aliran darah mengalir ke ginjal. Besarnya aliran darah yang menuju ginjal menyebabkan keterpaparan ginjal terhadap bahan/zat-zat yang beredar dalam sirkulasi cukup tinggi. Akibatnya, bahan-bahan yang bersifat toksik akan mudah menyebabkan kerusakan jaringan ginjal dalam bentuk perubahan struktur dan fungsi ginjal. Keadaan inilah yang disebut sebagai nefropati toksik dan dapat mengenai glomerulus, tubulus, jaringan veskuler, maupun jaringan interstial ginjal (Anonim, 2002).

Ginjal merupakan organ terpenting dalam mempertahankan homeostasis cairan tubuh secara baik. Berbagai fungsi ginjal untuk mempertahankan homeostatik dengan mengatur volume cairan, keseimbangan osmotik, asam basa, ekskresi sisa metabolisme, sistem pengaturan hormonal dan metabolisme (Syaifuddin, Haji, 2011). Ginjal terletak dalam rongga abdomen, retroperitonial primer kiri dan kanan kolumna vertebralis yang dikelilingi oleh lemak dan jaringan ikat di belakang peritonium. Batas atas ginjal kiri setinggi iga ke-11 dan ginjal kanan setinggi iga ke-12 dan batas bawah ginjal kiri setinggi vertebrae lumbalis ke-3. Setiap ginjal memiliki panjang 11-25 cm, lebar 5-7 cm, dan tebal 2,5 cm. Ginjal kiri lebih panjang dari ginjal kanan. Berat ginjal pada pria dewasa 150-170 gram dan wanita dewasa 115-155 gram dengan bentuk seperti kacang, sisi dalamnya menghadap ke vertebrae thorakalis, sisi luarnya cembung dan diatas setiap ginjal terdapat sebuah kelenjar suprarenal (Setiadi, 2007).

2.3.2Histologi Ginjal

Satuan fungsional ginjal disebut nefron. Ginjal mempuyai lebih kurang 1,3 juta nefron yang selama 24 jam dapat menyaring 170 liter darah dari arteri renalis. Lubang-lubang yang terdapat pada piramid renal masing-masing membentuk simpul satu badan malfigi yang disebut glomerulus.

Nefron adalah massa tubulus mikroskopis ginjal yang merupakan satuan fungsional ginjal. Nefron menyaring darah dan mengontrol komposisinya. Setiap nefron berawal dari berkas kapiler yang terdiri dari (Syaifuddin, Haji, 2011) :1. Glomerulus, merupakan gulungan atau anyaman kapiler yang terletak didalam kapsula Bowman (ujung buntu tubulus ginjal yang bentuknya seperti kapsula cekung menutupi glomerulus yang saling melilitkan diri). Glomerulus menerima darah dari arteriola eferen dan meneruskan darah ke sistem vena melalui arteriola eferen. Natrium secara bebas di filtrasi dalam glomerulus sesuai dengan konsentrasi dalam plasma. Kalium juga di filtrasi secara bebas. Diperkirakan 10-20% kalium plasma terikat oleh protein dan tidak bebas di filtrasi sehingga kalium dalam keadaan normal (Syaifuddin, Haji, 2011).

2. Tubulus Proksimal Konvulta, tubulus ginjal yang langsung berhubungan dengan kapsula Bowman dengan panjang 15 mm dan diameter 55 mm. Bentuknya berkelok-kelok menjalar dari korteks ke bagian medula dan kembali ke korteks. Sekitar 2/3 dari natrium yang berfiltrasi diabsorpsi secara isotonik bersama klorida dan melibatkan transportasi aktif natrium. Peningkatan reabsorpsi natrium akan mengurangi pengeluaran air dan natrium. Hal ini dapat mengganggu pengenceran dan pemekatan urine yang normal. Kalium di resorpsi lebih dari 70%, kemungkinan dengan mekanisme transportasi aktif akan terpisah dari resorpsi natrium (Syaifuddin, Haji, 2011).

3. Ansa Henle, bentuknya lurus dan tebal, diteruskan ke segmen tipis selanjutnya ke segmen tebal, panjangnya 12 mm, total panjang Ansa Henle 2-14 mm. Klorida secara aktif diserap kembali pada cabang asendens Ansa Henle dan natrium bergerak secara pasif untuk mempertahankan kenetralan listrik. Sekitar 25% natrium yang difiltrasi diserap kembali karena nefron bersifat tidak fermeabel terhadap air. Resorpsi klorida dan natrium di pars asendens penting untuk pmekatan urine karena membantu mempertahankan integritas gradien konsentrasi medula. Kalium terfiltrasi sekitar 20-25% diabsorpsi pada pars asendens lengkung henle proses pasti terjadi karena gradien elektrokimia yang timbul sebagai akibat dari reabsorpsi aktif klorida pada segmen nefron ini (Syaifuddin, Haji, 2011).

4. Tubulus Distal Konvulta, bagian tubulus ginjal yang berkelok-kelok dan jauh letaknya dari kapsula Bowman, panjangnya 55 mm. Tubulus distal dari masing-masing nefron bermuara keduktus koligens yang panjangnya 20 mm. Masing-masing duktus koligens berjalan melalui korteks dan medula ginjal, bersatu membentuk suatu duktus yang berjalan lurus dan bermuara kedalam duktus belini seterusnya menuju kaliks minor menuju kaliks mayor. Akhirnya mengosongkan isinya ke dalam pelvis renalis pada apek masing-masing piramid medula ginjal. Sekresi kalium terjadi secara murni. Suatu proses pasif yang terjadi karena gradien elektrokimia yang ditimbulkan oleh perbedaan besar potensial pada segmen nefron ini. Gradien ini dipertahankan oleh pertukaran aktif natrium dan kalium pada membran basolateral sel tubulus. Mekanisme ini dikendalikan oleh aldosteron yang mengendalikan tubulus distal terhadap sekresi kalium (Syaifuddin, Haji, 2011).

5. Duktus Koligen Medula, bukan merupakan saluran metabolik tidak aktif, tetapi pengaturan secara halus ekskresi natrium urine terjadi disini dengan aldosteron yang paling berperan terhadap reabsorpsi natrium. Peningkatan aldosteron dihubungkan dengan peningkatan reabsorpsi natrium. Duktus ini memiliki kemampuan mereabsorpsi dan menyekresi kalium. Ekskresi aktif kalium diperlihatkan pada duktus koligen kortikal dan dikendalikan oleh aldosteron. Reabsorpsi aktif kalium murni terjadi dalam duktus koligen medula (Syaifuddin, Haji, 2011).

2.3.3Fisiologi Ginjal

Dua ginjal terletak pada dinding posterior abdomen, di luar rongga peritoneum. Setiap ginjal pada orang dewasa beratnya kira-kira 150 gram dan kira-kira seukuran kepalan tangan. Sisi medial setiap ginjal merupakan daerah lekukan yang disebut hilum tempat lewatnya arteri dan vena renalis, cairan limfatik, suplai saraf, dan ureter yang membawa urine akhir dari ginjal ke kandung kemih, dimana urine disimpan hingga dikosongkan (Guyton, C. dan Hall, E, 2008). Fungsi ginjal dalam sistem homeostasis urinaria (Syaifuddin, Haji, 2011) :a) Mengatur volume dan tekanan darah dengan mengatur banyaknya air yang hilang dalam urine, melepaskan eritropoietin dan melepaskan renin.b) Mengatur konsentrasi plasma dengan mengontrol jumlah natrium, kalium, klorida, dan ion lain yang hilang dalam urine dan mengontrol kadar ion kalsium.c) Membantu menstabilkan pH darah, dengan mengontrol kehilangan ion hidrogen dan ion bikarbonat dalam urine.d) Menyimpan nutrien dengan mencegah pengeluaran dalam urine, mengeluarkan produk sampah nitrogen seperti urea dan asam urat.e) Membantu dalam mendeteksi racun-racun.Fungsi utama ginjal adalah untuk mempetahankan milieu interieur dengan mengubah kecepatan ekskresi berbagai konsituen-konsituen dalam plasma (termasuk air) (Baron, D.N, 1990).Jumlah urine sekitar 900-1500 ml/24 jam, dengan komposisi air sekitar 96% dan bahan-bahan yang terlarut didalamnya (elektrolit terutama natrium dan sisa metabolisme terutama ureum, asam urat dan creatinin). Dalam urine sering didapatkan leucocyte dan erytrocite 1-2 buah/lapangan pandang (ini normal). Pada penderita icterus adanya bilirubin dan urobilin yang menyebabkan urine menjadi kuning (Setiadi, 2007).

2.3.4Teori Histopatologi

Histopatologi adalah cabang biologi yang mempelajari kondisi dan fungsi jaringan dalam hubungannya dengan penyakit. Histopatologi sangat penting dalam kaitan dengan diagnosis penyakit karena salah satu pertimbangan dalam penegakan diagnosis adalah melalui hasil pengamatan terhadap jaringan yang diduga terganggu. Analisis kondisi histologi organ atau jaringan dengan pengamatan terhadap perubahan morfologi, struktur dan indikasi kerusakan atau infeksi atau mutasi lainnya akibat pengaruh penyakit, bahan toksik atau proses-proses mutagenesis lainnya (Anonim, 2009).

Histoteknik adalah metoda atau proses untuk membuat sajian histologi dari spesimen tertentu melalui suatu rangkaian proses hingga menjadi sajian yang siap untuk diamati atau dianalisa. Sajian histologi yang baik dapat digunakan untuk (Jusuf, Ahmad Aulia, 2009) :a) Bahan pengajaran, guna mempelajari bentuk dan struktur jaringan tubuh tertentu yang normal.b) Riset, guna mempelajari perubahan jaringan dan organ tubuh hewan percobaan yang mendapat perlakuan tertentu atau mempelajari pertumbuhan dan perkembangan jaringan atau organ tubuh tertentu.c) Membantu menegakkan diagnosa penyakit yang diderita oleh seorang pasien untuk mencapai ketiga tujuan tersebut sajian histologi yang dibuat harus dapat memberikan gambaran tentang bentuk dan besar serta susunan sel, inti sel dan sitoplasma, badan inklusi (glikogen, tetesan lemak, pigmen, dan sebagainya), susunan serat jaringan ikat, otot dan lain sebagainya sesuai dengan gambaran jaringan tubuh tersebut dalam kondisi hidup.Sumber Jaringan atau Organ :1. ManusiaJaringan yang berasal dari manusia tentulah yang paling ideal karena struktur histologi yang harus dipelajari adalah struktur histologi manusia. Jaringan tubuh ini dapat diambil dari cadaver (jenazah) dengan syarat jaringan atau organ tersebut diambil kurang dari 3 jam setelah kematian, sebab bila lebih lama sudah terjadi pembusukan atau autolisis (Jusuf, Ahmad Aulia, 2009).2. HewanJaringan atau organ yang diambil dari hewan merupakan alternatif. Beberapa hewan yang sering dipakai adalah (Jusuf, Ahmad Aulia, 2009) :a. Kera, paling menyerupai jaringan tubuh manusia karena sama-sama tergolong makhluk primata.b. Kambing, terutama untuk melihat serat di jantung.c. Babi, untuk melihat lobulus klasik hepar dan arteri hulsen pada limfa.d. Kucing dan anjing.e. Tikus putih.f. Kelinci.Jaringan dapat diambil dari hewan yang di fiksasi dalam keadaan hidup (fiksasi supra atau intravital) atau hewan yang telah mati (fiksasi emersi atau rendam).

Pembuatan sajian histologi yang bersifat massal dan banyak biasanya dilakukan oleh teknisi laboratorium tetapi harus dikontrol oleh staf pengajar sehingga kualitas sajian histologi yang dihasilkan akan dapat senantiasa dikontrol (Jusuf, Ahmad Aulia, 2009).Setelah Jaringan atau organ tubuh yang akan dibuat sajian histologi diisolasi dari sumbernya, jaringan tubuh tersebut kemudian diproses hingga menjadi sajian histologi. Rangkaian proses pembuatan sajian histologi terdiri atas (Jusuf, Ahmad Aulia, 2009) :1. Fiksasi (Fixation)2. Dehidrasi (Dehydration)3. Pembeningan (Clearing)4. Pembenaman (Impregnasi atau Embedding)5. Pengecoran (Blocking)6. Pemotongan jaringan (Sectioning)7. Pewarnaan (Staining)8. Perekatan (Mounting)9. Pelabelan (Labelling)

BAB IIIMETODE PENELITIAN

3.1Tempat dan Waktu PenelitianPenelitian akan dilaksanakan di Laboratorium Jurusan Farmasi Fakultas MIPA Universitas Tulang Bawang Bandar Lampung dan Laboratorium Patologi Balai Penyelidikan dan Pengujian Veteriner (BPPV) Regional III Bandar Lampung pada bulan Juli - Agustus 2014.3.2Hewan UjiPada penelitian ini digunakan satu jenis hewan uji yaitu mencit putih jantan, normal dan sehat, sebanyak 20 ekor, usia dewasa (2-3 bulan), dengan berat badan 20-30 g.3.3 Alat dan BahanAlat penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah neraca analitik (untuk menimbang berat badan), spuit oral 1 cc, sonde oral, gunting minor set (untuk membedah perut mencit), kapas, gelas ukur, spatula, batang pengaduk, erlenmeyer, beaker glass, labu ukur, rotary evaporator dan pembuat preparat histologi (mikrotom).Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah ektrak daun kumis kucing (Orthoshipon aristatus), gentamisin, larutan Bouin untuk fiksasi, garam fisiologis NaCl (0,9 %), kloroform, formalin 10 %, alkohol, toluol, xylol, paraffin dengan titik cair 50-55C, canada balsama, pewarna Hematoxylin dan Eosin, aquades, Meyers albumin (Triwibowo, Angga Wahyu, 2011)

3.4Prosedur Penelitian3.4.1Pengambilan Bahan UjiBahan uji berupa daun kumis kucing diambil di wilayah sukabumi. Ciri-ciri dari daun kumis kucing yang akan digunakan adalah daun yang berwarna hijau tua.3.4.2Determinasi TanamanDeterminasi daun kumis kucing (Orthosiphon aristatus) untuk mengetahui klasifikasinya, dilakukan di Laboratorium Botani Jurusan Biologi Fakultas MIPA Universitas Tulang Bawang Lampung. Adapun kriteria tanaman daun kumis kucing adalah : Tanaman kumis kucing tumbuh tegak dengan tinggi antara 50-150 cm. Batang berkayu, segi empat agak beralur, beruas, bercabang, berambut pendek atau gundul, berakar kuat. Daun tunggal, bulat telur, elips atau memanjang, berambut halus, tepi bergerigi, ujung dan pangkal runcing, tipis, panjang 2-10 cm, lebar 1-5 cm, warna hijau. Bunga majemuk dalam tandan yang keluar di ujung percabangan, berwarna ungu pucat atau putih, benang sari lebih panjang dari tabung bunga. Buah berupa nuah kotak, bulat telur, masih muda berwarna hijau, setelah tua berwarna coklat. Biji kecil, masih muda berwarna hijau, setelah tua berwarna hitam.3.4.3Pembuatan Ekstrak Daun Kumis KucingPembuatan ekstrak daun kumis kucing dilakukan dengan metode maserasi, yaitu daun kumis kucing yang telah di ayak, ditimbang sebanyak 50 g lalu diekstraksi dengan menggunakan etanol 70 % direndam simplisia sampai maserat tersari sempurna dengan tiga kali penyaringan setiap hari pelarut diganti, ekstrak kemudian disaring dengan menggunakan kain flanel atau kasa (filtrat 1) dan sisanya diekstrak kembali. Selanjutnya filtrate dikumpulkan, diuapkan rotary evaporator pada suhu 70 C sampai pelarutnya tidak menetes lagi untuk memproleh ekstrak kental (Astuti, V, C, Y, 2012).

3.4.4Persiapan Hewan PercobaanHewan percobaan yang digunakan adalah mencit jantan berumur 2-3 bulan dengan ketentuan berat badan setiap ekornya 20-30 g sebanyak 20 ekor. Dikelompokkan menjadi 4 kelompok, masing-masing kelompok terdiri dari 5 ekor. Sebelum penelitian dilaksakan hewan diadaptasikan selama 1 minggu dan diamati kesehatannya. Hewan uji dinyatakan sehat, apabila berat badannya tetap atau meningkat dan tidak ada perubahan tingkah laku, tidak luka, dan tidak cacat (Anonim, 1993).3.4.5 Rancangan PercobaanPada penelitian ini rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK). Rancangan acak kelompok adalah suatu rancangan acak yang dilakukan dengan mengelompokan satuan percobaan ke dalam grup-grup atau kelompok yang homogen. Dengan demikian tujuan pengelompokan kedalam kelompok-kelompok yang seragam adalah untuk mengurangi variasi kesalahan percobaan dan meningkatkan perbedaan-perbedaan atau variasi diantara kelompok dan menurunkan perbedaan-perbedaan dalam kelompok. Karena variasi atau perbedaan dalam kelompok ini nantinya yang akan memberi kontribusi dalam kesalahan acak (Daha, 2011).3.4.6Perencanaan DosisDosis daun kumis kucing yang biasa digunakan untuk manusia secara tradisional adalah 40 g per hari (Dalimartha, 2000). Pada percobaan dibuat 3 variasi dosis dengan kelipatan 2. Untuk menghitung volume pemberian sediaan uji pada mencit jantan digunakan rumus :VAO = 3.4.7Perhitungan Sampel PenelitianPopulasi penelitian ini adalah tikus mencit jantan berumur 2-3 bulan. Sampel penelitian sebanyak 20 ekor dipilih secara acak. Pada saat pelakuan percobaan, mencit dikelompokan menjadi 4 kelompok yang setiap kelompok terdiri dari 5 mencit putih jantan (sebanyak ulangan) . Hal ini sesuai dengan rumus Federer, rumus penentuan sampel untuk uji eksperimental.Diketahui : t = 4Makat (n-1) 154 (n-1) 154 (4n-4) 154n 19n 4,75 5n 5Nilai t merupakan jumlah kelompok perlakuan, dan nilai n merupakan jumlah pengulangan atau jumlah sampel setiap kelompok. Nilai n minimal adalah 5 kali, dan peneliti menggunakan jumlah sampel atau jumlah pengulangan sebanyak 4 kali (Triwibowo, Angga Wahyu, 2011).3.4.8Rancangan penelitian1. Mencit sebanyak 20 ekor, dikelompokan dalam 4 kelompok yaitu:a. Kelompok I sebagai kontrol normal, hanya diberi aquades secara oral.b. Kelompok II dengan dosis ekstrak daun kumis kucing 3640 mg/kg BB secara oral.c. Kelompok III dengan dosis ekstrak daun kumis kucing 7280 mg/kg BB secara oral.d. Kelompok IV dengan dosis ekstrak daun kumis kucing 14560 mg/kg BB secara oral.2. Berikan ekstrak daun kumis kucing pada tiap mencit kelompok II, III dan IV secara oral menurut dosis yang ditentukan selama 28 hari.3. Setelah 28 hari, perlakuan dihentikan.4. 5 mencit dari tiap kelompok dinarkosis dengan kloroform.5. Dilakukan laparotomi, diambil ginjal untuk dibuat sediaan mikroskopis. Pembuatan sediaan mikroskopis dengan metode paraffin dan pewarnaan Hematoxylin Eosin. Hematoxylin mempunyai sifat pewarna basa, yaitu memulas unsur jaringan yang basofilik, eosin memulas unsur jaringan yang bersifat asidofilik (Junqueira, 2007).6. Sampel ginjal ini di fiksasi dengan formalin 10%, untuk pembuatan sediaan mikroskopis jaringan ginjal dilaboratorium BPPV.7. Metode teknik histopatologi adalah menurut (Triwibowo, Angga Wahyu, 2011) :1) Fixationa) Menfiksasi spesimen berupa potongan organ ginjal yang telah dipilih segera dengan larutan pengawet formalin 10%.b) Mencuci dengan air mengalir.2) Trimminga) Mengecilkan organ 3 mm.b) Memasukkan potongan organ ginjal tersebut ke dalam embedding cassette.3) Dehidrasia) Menuntaskan air dengan meletakkan embedding cassette pada kertas tisu.b) Berturut-turut melakukan perendaman organ ginjal dalam alkohol bertingkat 80% dan 95% masing-masing selama 2 jam. Selanjutnya dilakukan perendaman alkohol 95%, absolut I, II, III selama 1 jam.4) ClearingUntuk membersihkan sisa alkohol, dilakukan clearing dengan xilol I, II, III masing-masing selama 1 jam. 5) ImpregnasiImpregnasi dengan menggunakan paraffin I, II, III masing-masing selama 2 jam.6) Embeddinga) Membersihkan sisa paraffin yang ada pada pan dengan memanaskan beberapa saat diatas api dan usap dengan kapas.b) Menyiapkan paraffin cair dengan memasukkan paraffin ke dalam cangkir logam dan memasukkan dalam oven dengan suhu diatas 580C.c) Menuangkan paraffin cair dalam pan.d) Memindahkan satu persatu dari embedding cassette ke dasar pan dengan mengatur jarak satu dengan yang lainnya.e) Memasukkan pan dalam air.f) Melepaskan paraffin yang berisi potongan ginjal dari pan dengan memasukkan ke dalam suhu 4-60 C beberapa saat.g) Memotong paraffin sesuai dengan letak jaringan yang ada dengan menggunakan scalpel/pisau hangat.h) Meletakkan pada balok kayu, ratakan pinggirnya dan buat ujungnya sedikit meruncing.i) Memblok paraffin siap dipotong dengan mikrotom.7) Cuttinga) Melakukan pemotongan pada ruangan dingin.b) Sebelum memotong, mendinginkan blok terlebih dahulu.c) Melakukan pemotongan kasar, dilanjutkan dengan pemotongan halus dengan ketebalan 4-5 mikron.d) Memilih lembaran potongan yang paling baik, mengapungkan pada air dan menghilangkan kerutannya dengan cara menekan salah satu sisi lembaran jaringan tersebut dengan ujung jarum dan sisi yan lain ditarik menggunakan kuas runcing.e) Memindahkan lembaran jaringan ke dalam water bath selama beberapa detik sampai mengembang sempurna.f) Dengan gerakan menyendok mengambil lembaran jaringan tersebut dengan slide bersih dan menempatkan di tengah atau pada sepertiga atas atau bawah, mencegah jangan sampai ada gelembung udara di bawah jaringan.g) Menempatkan slide yang berisi jaringan pada inkubator (suhu 370C) selama 24 jam sampai jaringan melekat sempurna.8) Staining (pewarnaan) dengan Harris Hematoxylin EosinSetelah jaringan melekat sempurna pada slide, memilih slide yang terbaik selanjutnya secara berurutan memasukkan ke dalam zat kimia di bawah ini dengan waktu sebagai berikut.Untuk pewarnaan, zat kimia yang pertama digunakan xilol I, II, III masing-masing selama 5 menit. Kedua zat kimia yang digunakan alkohol absolut I, II, III masing-masing selama 5 menit. Zat kimia yang ketiga aquadest selama 1 menit. Keempat, potongan organ di masukkan dalam zat warna Harris Hematoxylin selama 20 menit. Kemudian memasukkan potongan organ ginjal dalam aquades selama 1 menit dengan sedikit menggoyang-goyangkan organ. Keenam, mencelupkan organ dalam asam alkohol 2-3 celupan. Ketujuh, dibersihkan dalam aquades bertingkat masing-masing 1 menit dan 15 menit. Kedelapan, memasukkan potongan organ dalam eosin selama 2 menit. Kesembilan, secara berurutan memasukkan potongan organ dalam alkohol 96% selama 2 menit, Alkohol 96%, alkohol absolut III dan IV masing-masing selama 3 menit. Terakhir, memasukkan dalam xilol IV dan V masing-masing 5 menit.9) MountingSetelah pewarnaan selesai menempatkan slide diatas kertas tisu pada tempat datar, menetesi dengan bahan mounting yaitu kanada balsam dan tutup dengan cover glass cegah jangan sampai terbentuk gelembung udara.10) Membaca slide dengan mikroskopSlide diperiksa dibawah mikroskop sinar dengan pembesaran 100X, 200X atau 400X.