tinjauan yuridis terhadap pelaksanaan sistem kontrak...
TRANSCRIPT
Reni Mahkita Silalahi : Tinjauan Yuridis Terhadap Pelaksanaan Sistem Kontrak Bagi Hasil Dalam Industri Perminyakan, 2008. USU Repository © 2009
TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PELAKSANAAN SISTEM KONTRAK BAGI HASIL DALAM INDUSTRI PERMINYAKAN
SKRIPSI
Oleh
RENI MAHKITA SILALAHI
020200128
Departemen Hukum Keperdataan
Program Kekhususan Perdata Dagang
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2008
2
”TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PELAKSANAAN SISTEM KONTRAK BAGI HASIL DALAM INDUSTRI PERMINYAKAN”
SKRIPSI
Diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi syarat dalam memperoleh
gelar sarjana Hukum
Oleh
RENI MAHKITA SILALAHI
020200128
Departemen Hukum Keperdataan Program Kekhususan Perdata Dagang
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2008
3
”TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PELAKSANAAN SISTEM KONTRAK BAGI HASIL DALAM INDUSTRI PERMINYAKAN”
SKRIPSI
Diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi syarat dalam memperoleh gelar sarjana Hukum
Disetujui Ketua Departemen Hukum Perdata Dagang
Prof. Dr. Tan Kamello,SH,MS NIP.131764556
Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II
Prof. Dr. Tan Kamello, SH, MS Zulkifli Sembiring, SH NIP.131764556 NIP.131796148
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
Medan 2008
4
ABSTRAK TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PELAKSANAAN SISTEM KONTRAK
BAGI HASIL DALAM INDUSTRI PERMINYAKAN
Kenaikan harga minyak mentah semenjak tahun 2002 hingga pada awal tahun 2006 telah ikut membebani Indonesia. Kondisi eksternal yang berkembang nampaknya mendorong kenaikan harga-minyak Cadangan sumber daya alam hidrokarbon Indonesia yang cukup besar, tidaklah tidak terbatas. Catatan mengenai sisa cadangan dan produksi tahunan menunjukan penurunan untuk minyak dan kenaikan untuk gas. Kebutuhan bahan bakar cair (BBM) dapat dikatakan tidak menurun dan kebutuhan gas naik setelah pemerintah memperlakukan harga BBM pada harga pasar dunia. Apa Hubungannya antara Kontrak bagi hasil (PSC) dengan harga minyak?, tentu ada, tergantung dilihat dari perspektif apa. Jika diperhatikan, pada saat harga minyak naik, biasanya yang punya lahan (negara atau host country) merasa perlu mengenakan tambahan pajak buat kontrak tor, karena (menganggap) untungnya kontraktor “kebanyakan”. Sebaliknya dari sisi kontraktror, tentu akan berusaha menunjukkan bahwa mereka”nggak untung-untung amat”karena biaya juga naik. Tentu tidak ada yang dapat disalahkan, semuanya punya pendapat. Dari sejarahnya ada 3 (tiga) bentuk kontrak perminyakan yaitu Konsesi, Perjanjian Karya dan Kontrak Bagi Hasil. Yang menjadi masalah adalah bagaimana pelaksanaan dan ketentuan kontrak bagi hasil itu di Indonesia setelah undang-undang No.22 tahun 2001 diterapkan dan permasalahan yang muncul setelah undang-undang tersebut diberlakukan. Penelitian ini dilakukan di Propinsi Sumatera Utara Yaitu Dinas Pertambangan dan Energi Propinsi Sumatera Utara. Penelitian bersifat deskriptif analitis dan spesifikasi penelitian yang dipergunakan yaitu penelitian studi kasus. Cara penelitian yang dilakukan dengan mengadakan wawancara lansung kepada bagian Divisi Minyak dan Gas Bumi dan juga dengan mempelajari undang-undang serta buku-buku yang berkaitan dengan dunia perminyakan. Penelitian menunjukkan bahwa terjadi perubahan terhadap ketentuan kontrak bagi hasil dalam industri perminyakan setelah undang-undang No.22 tahun 2001 diterapkan di Indonesia. Fungsi Pertamina diganti oleh BPMIGAS. Jika ditinjau dari segi Hukum Perdata maka pelaksanaan kontrak bagi hasil itu tetap belum sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku (Pasal 1338 KUH Perdata), yaitu perjanjian telah ditentukan oleh badan pelaksana sedangkan badan usaha atau badan usaha hanya diharuskan mempelajari isi kontrak. Prinsip pembagian hasil produksi tetap 85% untuk negara dan 15 % untuk kontraktor dan jika ada keuntungan (profit sharing) setiap tahunnya BPMIGAS mendapat 37,5 % dan untuk kontraktor sebesar 62,5%. Keterampilan dan teknologi serta resiko dan keuangan disediakan oleh Kontraktor, badan pelaksana yang mengaturnya. Permasalahan yang muncul setelah undang-undang No.22 tahun 2001diterapkan yaitu pada pengaturannya apabila tidak ada diatur dalam kontrak bagi hasil maka perlu disesuaikan (disinkronkan) agar tidak tumpang tindih. Seperti masalah perpajakan, biaya produksi, pembagian keuntungan dan rencana kerja serta dana bagi hasil dan kebijakan-kebijakan pemerintah.
5
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur Penulis panjatkan kepda Tuhan Yang Maha Esa dan
Putra-NYA yang tunggal Yesus Kristus, atas berkat dan rahmat-NYAlah Penulis
beroleh kekuatan untuk menjalani suka dan duka dimasa perkuliahan hingga
penyelesaian skripsi ini.
Skripsi ini berjudul "Tinjauan Yuridis Terhadap Pelaksanaan Sistem
Kontrak Bagi Hasil Dalam Industri Perminyakan” (Study Kasus Dinas
Pertambangan dan Energi Di Prop.Sumatera Utara) Adapun skripsi ini dibuat
sebagai syarat yang harus dipenuhi untuk mencapai gelar Sarjana Hukum pada
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.
Penulis telah mengerahkan segala potensi dan kekuatan untuk
menyelesaikan skripsi ini, namun Penulis menyadari skripsi ini masih jauh dari
sempurna oleh karena itu kiranya Penulis mengharapkan kritik dan saran dari
pembaca yang bersifat membangun demi penyempurnaan skripsi ini.
Pada kesempatan ini Penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, M. Hum selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara
2. Bapak Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH, selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara.
3. Bapak Prof. Dr. Tan Kamello, SH, MS selaku Ketua Departemen Hukum
Keperdataan sekaligus juga sebagai Dosen Pembimbing I Penulis.
4. Bapak Zulkifli Sembiring, SH selaku Dosen Pembimbing II Penulis yang
6
selalu mendorong penulis menyelesaikan skripsi ini.
5. Ibu Rosnidar Sembiring, SH, M.Hum selaku Dosen wali Penulis yang selama
ini telah memberikan motivasi kepada Penulis dalam kegiatan akademik.
6. Bapak-bapak dan Ibu-ibu dosen dan Staff Pegawai Fakultas Hukum USU
7. Bapak Ir. Sumintarto selaku Kepala Divisi Dinas Pertambangan dan Energi
Prop. Sumatera Utara .
8. Bapak Ir. Drs. Yahya P. Pulungan selaku Kepala Tata Usaha Di Dinas
Pertambangan dan Energi.
9. Seluruh Staff Pegawai Dinas Pertambangan dan Energi Prop. Sumatera Utara
yang telah berpartispasi dalam penyelesaian skripsi ini.
10. Kepada Orang tua tercinta Charles. MP Silalahi dan Romauli br Hutahaean,
terimaksih atas doa, dana, pengertian dan kasih sayang yang tak terhingga
kepada Penulis, semoga Tuhan memberkati.
11. Kepada saudara-saudariku tercinta Rina Dameria Shiomi Silalahi. Amd,
Daniel Yamato Silalahi, Roni Maryanti Silalahi. Spd, Rini Sonyta Silalahi,
Rani Chien Silalahi, David Yamato Silalahi, Ramos Roshima Silalahi.
12. My Big Family.
13. Kumpulan Marga muda-mudi Silahisabungan boru dohot bere sekota Duri
14. Kepada kepala dan guru-guru di SMU Cendana Mandau Duri dan Teman-
teman semasa SMU kapan jumpa lagi.
15. Kepada Teman-teman se-GMKI teruslah berkarya
16. Kepada Teman-teman stambuk 02 yang pernah mengisi hari-hari Penulis
selama masa perkuliahan di Universitas Sumatera Utara.
7
Akhir kata Penulis berharap skripsi ini berguna bagi semua pihak dan para
mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara khususnya. Akhir kata
apapun yang kamu kerjakan dan lakukan, perbuatlah itu Tuhanmu agar apa yang
kamu kerjakan adalah selalu yang terbaik dalam hidupmu.
Medan, 2 Juni 2008 Penulis
RENI MAHKITA SILALAHI
8
DAFTAR ISI
INTISARI .............................................................................................. i
KATA PENGANTAR .......................................................................... ii
DAFTAR ISI ......................................................................................... v
DAFTAR TABEL/BAGAN .................................................................. viii
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................ ix
BAB I : PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang Permasalahan ............................... 1
B. Perumusan Masalah................................................. 6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................... 7
D. Keaslian Penelitian ................................................... 8
E. Tinjauan Kepustakaan ............................................. 10
F. Metode Penulisan ....................................................... 15
G. Metode Penulisan .................................................... 15
H. Sistematika Penulisan ............................................. 17
BAB II : TINJAUAN TERHADAP KONTRAK PADA
UMUMNYA ................................................................... 19
A. Pengertian Kontrak Secara Umum ......................... 19
1. Asas-asas dalam Hukum Kontrak..................... 20
2. Bentuk Kontrak ................................................... 26
9
3. Jenis-jenis Kontrak ............................................. 28
4. Syarat sahnya Kontrak ....................................... 30
5. Berakhir dan Hapusnya Kontrak ...................... 34
B. Tinjauan Terhadap Kontrak Bagi Hasil.................. 35
1. Pengertian dan Latar Belakang Timbulnya
Kontrak Bagi Hasil ............................................ 35
2. Landasan Hukum dan Prosedur Sistem
Kontrak Bagi Hasil ........................................... 45
3. Bentuk dan Substansi Kontrak Bagi Hasil ...... 49
4. Jangka Waktu dan Pola Penyelesaian
Sengketa Kontrak Bagi Hasil ........................ 50
BAB III : GAMBARAN UMUM TENTANG INDUSTRI
PERMINYAKAN DI INDONESIA. ......................... 52
A. Sejarah Timbulnya Industri Peminyakan di
Indonesia ................................................................. 52
B. Sumber Hukum Perjanjian Pengelolaan
Pertambangan Minyak dan Gas Bumi di
Indonesia ................................................................ 66
C. Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu dan
Hilir Minyak dan Gas Bumi. ................................. 67
D. Variable yang berpengaruh Terhadap
10
Pembagian Hasil dalam Kontrak Bagi Hasil
Migas ....................................................................... 70
E. Gambaran Umum Tentang Dana Bagi hasil
Migas ....................................................................... 78
BAB IV : TINJAUAN YURIDIS TERHADAP SISTEM
KONTRAK BAGI HASIL DALAM INDUSTRI
PERMINYAKAN ........................................................... 89
A. Pelaksanaan Sistem kontrak Bagi Hasil Dalam
Industri Perminyakan Ditinjau dari Segi
Peraturan Yang Berlaku ....................................... 89
B. Ketentuan Kontrak Bagi Hasil Di Indonesia
Menurut Undang-undang No.22 Tahun 2001 .... 99
C. Permasalahan Yang Muncul Setelah UU No. 22
Tahun 2001 Diterapkan dalam Kontrak Bagi
Hasil di Bidang Migas.......................................... 136
BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN141
A. Kesimpulan ............................................................... 141
B. Saran .......................................................................... 143
DAFTAR KEPUSTAKAAN ................................................................ 145
LAMPIRAN
11
DAFTAR TABEL
Nomor Judul Halaman 1. Komponen Cost Recovery Kegiatan Usaha Hulu Migas ……………
79
2. Dana Bagi Hasil (DBH) di bidang Perikanan dan Minyak Bumi …….
84
4. Bidang-bidang program dan Community Development ……………..
135
DAFTAR BAGAN
12
Nomor Judul Halaman
1. Rumus yang dipakai dalam menentukan Harga Minyak di
Pasaran ……………………………………………………………………72
2. Keterangan tentang Proses Lifting ……………………………………77
3. Tentang Prinsip yang Dianut dalam Prinsip Dana
Bagi Hasil Migas................…………………………………………………80
4. Bagan yang menerangkan tentang Jenis Dana Bagi
Hasil yang Berasal dari SDA (Sumber Daya Alam)
…………………….83
5. Proses Perhitungan Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam Migas ……
85
6. Mekanisme Perhitungan Dana Bagi Hasil Migas ……………………
86
7. Alur Dana Penerimaan Migas bagian (1)
…………………………….88
8. Sambungan Alur Penerimaan Migas bagian (2) …………………….
89
9. Pola Kontrak Kerjasama di bidang Minyak dan Gas ……………
95
10. Tentang Binis dan Aktifitas Migas ……………………………………
96
11. Contoh Objek PBB Migas
…………………………………………….136
DAFTAR LAMPIRAN
13
1. Tabel Production Sharing Contract Pertamina.
2. Production Sharing Contract Dengan Pihak BPMIGAS
3. Surat Pengantar Riset dari Kampus Fakultas Hukum USU Medan
4. Surat Tanda Penerimaan Riset dari Dinas Pertambangan dan Energi Propinsi
Sumatera Utara
5. Surat Tanda Selesai Riset Dari Dinas Pertambangan dan Energi Propinsi
Sumatera Utara.
BAB I
14
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Permasalahan
Penulis memilih judul “Tinjauan Yuridis terhadap Sistem Kontrak Bagi
Hasil dalam Industri Perminyakan” sebagai bahan penulisan skripsi ada beberapa
alasan. Yang pertama karena Penulis merasa tertarik mendalami pengetahuan
tentang kontrak, yang kedua karena masalah kontrak bagi hasil masih sangat
jarang dibahas terutama dalam bidang perminyakan dan bahannya pun terbatas,
yang ketiga karena masalah perminyakan merupakan masalah kelangsungan hidup
bangsa dan menyangkut sumber kekayaan alam Indonesia yang digali dan diolah.
Hal ini sesuai dengan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 setelah
Amandemen yang isinya: 1
1 Sumber: ”UUD 1945” Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) setelah Amandamen. Fokus media.
Ayat (2) : Cabang–cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang
menguasai hajat hidup dikuasai oleh Negara.
Ayat (3) : Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk kemakmuran rakyat
Indonesia.
Bahan galian seperti emas, perak, tembaga minyak dan gas bumi batubara
dan lain-lain dikuasai oleh Negara. Negaralah yang mempunyai wewenang untuk
mengatur, mengurus dan mengawasi pengelolaan dan penguasaannya dan
digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
15
Menurut Bagir Manan pengertian dikuasai oleh Negara atau HPN sebagai
berikut :2
1. Penguasaan semacam pemilikan oleh Negara, artinya Negara melalui
Pemerintah adalah satu-satunya pemegang wewenang untuk
menentukan hak, wewenang atasnya termasuk di sini bumi, air dan
kekayaan yang terkandung di dalamnya.
2. Mengatur dan mengawasi penggunaan dan pemanfaatan
3. Penyertaan modal dan dalam bentuk perusahaan Negara untuk usaha-
usaha tertentu.
Dalam pengusahaan bahan galian (tambang), Pemerintah dapat
melaksanakan sendiri dan atau menunjuk kontraktor apabila diperlukan untuk
melaksanakan pekerjaan-pekerjaan yang tidak atau belum dapat dilaksanakan
sendiri oleh instansi Pemerintah.
Apabila usaha pertambangan dilaksanakan kontraktor, kedudukan
Pemerintah adalah memberi izin berupa kuasa pertambangan, kontrak karya,
perjanjian karya, penguasaan pertambangan batubara dan kontrak bagi hasil.
Perusahaan tambang (institusi) yang diberikan izin oleh Pemerintah untuk
mengusahakan bahan tambang adalah instansi Pemerintah yang ditunjuk oleh
Menteri, perusahaan Negara, perusahaan daerah, perusahaan dengan modal
bersama antar Negara dan daerah, koperasi, badan atau perseorangan swasta,
2 . Abrar Saleng, Hukum Pertambangan, Cetakan I, Yogyakarta, UII Press, 2008, Hal 18
16
perusahaan dengan modal bersama antar Negara dan/atau daerah dengan koperasi
dan/atau badan/perseorangan swasta, pertambangan rakyat.
Dari semua institusi di atas perusahaan yang paling menonjol untuk
mengusahakan bahan galian, yaitu perusahaan yang seluruh modalnya berasal dari
asing maupun patungan antara perusahaan asing dengan perusahaan domestik.
Dominannya perusahaan asing dikarenakan perusahaan itu mempunyai modal
yang besar dan telah berpengalaman di dalam mengelola bahan galian, baik bahan
mineral minyak dan gas bumi maupun batubara.
Prinsip kontrak bagi hasil merupakan prinsip yang mengatur pembagian
hasil yang diperoleh dari eksplorasi dan eksploitasi minyak dan gas bumi antara
badan pelaksana dan badan usaha/badan usaha tetap.
Kontrak bagi hasil (Production Sharing Contract / PSC) juga diberikan
untuk mencari dan mengembangkan cadangan hidrokarbon di area tertentu
sebelum berproduksi secara komersial. Kontrak bagi hasil berlaku untuk beberapa
tahun tergantung pada syarat kontrak, tergantung penemuan minyak dan gas
dalam jumlah komersial dalam suatu periode tertentu, meskipun pada umumnya
periode ini dapat diperpanjang melalui perjanjian antara Kontraktor dan
BPMIGAS. Kontraktor pada umumnya diwajibkan untuk menyerahkan kembali
persentase tertentu dari area kontrak pada tanggal tertentu, kecuali jika area
tersebut terkait dengan permukaan lapangan dimana telah ditemukan minyak dan
gas.3
Hak penguasaan Negara yang dinyatakan dalam Pasal 33 UUD 1945
3 . http://id.wikipedia.org/wiki/Kontrak Bagi Hasil
17
memposisikan Negara sebagai pengatur dan penjamin kesejahteraan rakyat.
Fungsi Negara itu tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya. Artinya,
melepaskan suatu bidang usaha atas sumber daya alam kepada koperasi, swasta
harus disertai dengan bentuk-bentuk pengaturan dan pengawasan yang bersifat
khusus dan tujuan mewujudkan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat tetap dapat
dikendalikan Negara.
Pelaksanaan dari Pasal 33 UUD 1945 kemudian diatur dalam berbagai
undang-undang yang berkaitan dengan kegiatan pertambangan minyak dan gas
bumi, yang dimulai dengan undang-undang Nomor 44 Prp Tahun 1940 tentang
Pertambangan Minyak dan Gas Bumi, undang-undang Nomor 8 Tahun 1971
tentang Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara. Kedua undang-
undang ini kemudian dinyatakan tidak berlaku lagi setelah undang-undang Nomor
22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.
Digunakannya istilah Production Sharing Contract (PSC) untuk kontrak
bagi hasil sebagai judul kontrak adalah untuk mempertegas bahwa bentuk kontrak
kerjasama yang dimaksud untuk disepakati dan dilaksanakan oleh BPMIGAS dan
Kontraktor adalah Production Sharing Contract (PSC), mengingat UU Nomor 22
Tahun 2001 dalam Pasal 1 butir 19 menyebutkan bahwa Production Sharing
Contract merupakan salah satu bentuk kontrak kerjasama yang diakui oleh
undang-undang ini dalam kegiatan eksplorasi dan eksploitasi yang lebih
menguntungkan bagi Negara dan hasilnya dipergunakan sebesar-besarnya untuk
kemakmuran rakyat.
Kontrak PSC ini muncul karena ketidakpuasan terhadap kontrak-kontrak
18
sebelumnya seperti kontrak konsesi dan kontrak karya yang banyak membawa
kerugian bagi Negara. Alasan sehingga diterbitkannya undang-undang tentang
kontrak bagi hasil terdapat di dalam Pasal 6 (enam) UU Nomor 22 Tahun 2001
yaitu, hak milik terhadap sumber daya alam (SDA) tetap ditangan Pemerintah
sampai pada titik penyerahan, pengendalian manajemen operasi ada ditangan
badan pelaksana (BPMIGAS) dan modal serta resiko seluruhnya ditanggung oleh
badan usaha atau badan usaha tetap.
Badan usaha adalah perusahaan berbentuk badan hukum yang menjalankan
jenis usaha bersifat tetap atau terus-menerus didirikan sesuai peraturan perundang-
undangan yang berlaku serta bekerja dan berkedudukan dalam wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Sedangkan badan usaha tetap adalah badan usaha
yang didirikan dan berbadan hukum di luar wilayah Negara Kesatuan RI yang
melakukan kegiatan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan wajib
mematuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku di Republik Indonesia.
Perubahan-perubahan yang terjadi dengan adanya peralihan hak antara
Pertamina dan BPMIGAS adalah untuk kepentingan Negara dan agar lebih
memudahkan pengawasan terhadap pertambangan minyak di Indonesia
Tulisan ini dimaksudkan untuk melihat bagaimana pengaruh kontrak
perminyakan terhadap fluktuasi harga minyak. Sebelumnya, perlu diingat kembali
model-model kontrak perminyakan yang ada, yaitu konsesi (royalty tax),
Production Sharing Contract (PSC) dan Service Contract.4
4. Benny Lubiantara, Vienna Austria, Fleksibilitas Kontrak Perminyakan, 22 Januari 2007 (www.google.com)
PSC sendiri
19
belakangan berkembang dengan macam macam features, khususnya cara-cara
pembagian profit oil split dan seberapa fleksibel kontrak tersebut terhadap naik
turunnnya harga minyak dan bagaimana pula para analis perminyakan
memprediksi harga minyak yang berubah-ubah setiap saat. Permasalahan ini
sangat menarik bagi Penulis terutama tentang pelaksanaannya yang akan Penulis
tinjau dari segi peraturan yang berlaku di Indonesia dan paling tidak pembaca
dapat menerima gambaran tentang kontrak perminyakan dan mengapa
berpengaruh terhadap kenaikan harga minyak yang melanda Indonesia saat ini. .
Tinjauan Penulis, yaitu dari aspek keperdataan, yang selanjutnya Penulis
rumuskan dalam judul Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Sistem Kontrak
Bagi Hasil dalam Industri Perminyakan (Studi Kasus Dinas Pertambangan dan
Energi Provinsi Sumatera Utara)
B. PERUMUSAN MASALAH
Beberapa permasalahan pokok yang berkaitan dengan judul dapat
dirumuskan sebagai berikut :
1. Bagaimana pelaksanaan kontrak bagi hasil dalam industri perminyakan
ditinjau dari segi peraturan yang berlaku?
2. Bagaimana Ketentuan Kontrak Bagi Hasil di Indonesia menurut Undang-
undang No. 22 Tahun 2001.
3. Permasalahan yang muncul setelah Undang-undang No. 21 Tahun 2001
diterapkan dalam kontrak bagi hasil di bidang migas?
20
C. TUJUAN PENELITIAN & MANFAAT PENELITIAN
Tujuan pembahasan dalam penulisan skripsi ini adalah:
1. Untuk mengetahui pelaksanaan sistem kontrak bagi hasil dalam industri
perminyakan secara umum.
2. Untuk mengetahui bagaimana Kontrak Bagi Hasil (PSC) di Indonesia menurut
Undang-undang No.22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi
3. Untuk mengetahui permasalahan yang muncul setelah UU Nomor 22 Tahun
2001 diterapkan di Indonesia.
Adapun yang menjadi manfaat penelitian adalah :
1. Secara Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat terhadap
pengembangan Ilmu Hukum Perdata umumnya dan Hukum Perjanjian
khususnya dalam kontrak bagi hasil pertambangan minyak dan gas bumi.
2. Secara Institusional
Melalui penelitian Penulis berharap dapat menambah wawasan pembaca
dalam mencermati permasalahan yang muncul dalam masyarakat serta
membuka cakrawala pemikiran terhadap kontrak perminyakan yang selama ini
tidak biasa dibicarakan oleh masyarakat
3. Secara Praktis.
1) Diharapkan penelitian ini dapat membantu Pemerintah dalam menentukan
kebijakan di masa mendatang dalam pelaksanaan kontrak bagi hasil
minyak dan gas bumi.
2) Kepada perusahaan asing agar dapat memperoleh masukan dan
21
menyesuaikan dengan ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia.
3) Kepada masyarakat agar tidak buta mengenai pelaksanaan dalam bidang
kontrak bagi hasil bidang perminyakan.
D. KEASLIAN PENELITIAN
Berdasarkan penelusuran yang dilakukan, baik dari Perpustakaan
Universitas Sumatera Utara dan Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara mengenai judul kontrak bagi hasil, yaitu:
1. Siska Rahman, dengan judul Skripsi “Peranan Contract Production Sharing
dalam Industri Minyak dan Gas Bumi.” (Studi Kasus BPMIGAS). Adapun
yang menjadi permasalahannya adalah mengenai peranan kontrak bagi hasil
dalam industri minyak dan gas bumi, bahwa terdapat tiga (3) peranan
penting yang dimiliki oleh industri minyak dan gas bumi dalam
pembangunan nasional, yaitu sebagai sumber energi nasional, sebagai
penyumbang devisa terbesar, sebagai bahan baku industri khususnya industri
petrokimia dan apabila terjadi sengketa antara Pertamina dengan kontraktor
dalam Contract Production Sharing diselesaikan melalui arbirase.
2. Rudi Karmawan, dengan judul Skripsi ”Contract Production Sharing antara
Telkom Witel I dengan Pengusaha Wartel.” (Studi Kasus Wartel di
Kotamadya Medan), dengan kesimpulan bahwa penerapan ketentuan tentang
bank garansi ditentukan secara bersama oleh PT. Telkom dengan pengelola
wartel, yang pada prinsipnya sesuai dengan ketentuan Hukum Perdata.
Namun kenyataannya, ditentukan secara sepihak oleh PT. Telkom. Dalam
22
hal ini, PT. Telkom telah menghilangkan unsur pertama yang tertuang dalam
Pasal 1320 KUH Perdata sebagai hukum sah tidaknya suatu perjanjian, yaitu
kesepakatan kedua belah pihak.
3. Mardalena Hanifah, dengan judul Tesis “Pelaksanan Perjanjian Bagi Hasil
antara Pertamina dengan PT. Caltex Pasific Indonesia di Pekanbaru,
Provinsi Riau.” Adapun yang menjadi permasalahannya adalah pelaksanaan
perjanjian Bagi Hasil antara Pertamina dengan PT. Caltex Pasific Indonesia
dan kendala dalam pelaksanaan perjanjian bagi hasil antara Pertamina
dengan PT. Caltex Pasific Indonesia. Isi atau bentuk kontrak telah
ditentukan Pertamina. Para pihak mengenyampingkan Pasal 1338 KUH
Perdata tentang kebebasan berkontrak untuk menentukan isi perjanjian dan
dalam pelaksanaannya dikemukakan kendala berupa masalah pembebasan
tanah, pemberlakuan Undang-undang No. 44 Prp Tahun 1960 tentang
Pertambangan Minyak dan Gas Bumi serta pemutusan sepihak terhadap
daerah CPP (Coastal Plains Pekanbaru).
4. Asmaul Husna TR, dengan judul Tesis “Pelaksanaan Contract Production
Sharing antara Exxon Mobil Oil Indonesia, Inc. dengan PT. Pertamina
(Persero) di point “A” Aron Lhoukson Provinsi Nangroe Aceh Darussalam
yang bertujuan untuk menegetahui pelaksanaan Contract Production
Sharing Oil Indonesia Inc. Pertamina (Persero) dan manfaat pelaksanaan
kontrak tersebut terhadap pendapatan daerah dalam mewujudkan otonomi
khusus Nangroe Aceh Darussalam dan hambatan-hambatan dalam
pelaksanaan kontrak.
23
E. TINJAUAN KEPUSTAKAAN
Pengertian kontrak bagi hasil (Production Sharing Contract) tentang
pertambangan secara khusus dan terperinci tidak ditemui, baik dalam KUH
Perdata maupun dalam undang-undang. Namun Production Sharing Contract
merupakan model yang dikembangkan dari konsep perjanjian bagi hasil yang
dikenal dalam Hukum Adat, yaitu seorang yang berhak atas tanah yang karena
suatu sebab tidak dapat mengerjakan sendiri, tetapi ingin tetap mendapatkan
hasilnya, maka memperkenankan orang lain untuk menyelenggarakan usaha
pertanian atas tanah yang dimilikinya dan hasilnya dibagi antara mereka
berdasarkan persetujuan. Konsep perjanjian bagi hasil yang dikenal dalam Hukum
Adat tersebut telah dikodifikasi dalam UU Nomor 2 Tahun 1960 tentang
Perjanjian Bagi Hasil, Pasal 1 huruf c, yang berbunyi :
Perjanjian bagi hasil ialah perjanjian dengan nama apapun juga yang diadakan antara pemilik pada satu pihak dan seseorang atau badan hukum pada lain pihak yang dalam undang-undang ini disebut ”Penggarap” berdasarkan perjanjian mana penggarap diperkenankan oleh pemilik tersebut untuk menyelenggarakan usaha pertanian di atas tanah pemilik, dengan pembagian hasilnya antara kedua belah pihak.
Konsep inilah yang dikemudian dikembangkan menjadi Production
Sharing Contract (perjanjian bagi hasil) untuk pertambangan minyak dan gas
bumi. Dalam rangka pelaksanaan Pasal 12 ayat (2) UU Nomor 8 Tahun 1971,
maka pada tahun 1994 diundangkan PP Nomor 35 Tahun 1994 tentang Syarat-
syarat Pedoman Kerjasama Perjanjian Bagi Hasil Minyak dan Gas Bumi, yang
menyebutkan tentang pengertian perjanjian bagi hasil, yaitu pada Pasal 1 yang
24
berbunyi: ”Perjanjian bagi hasil adalah bentuk kerjasama antara Pertamina dan
Kontraktor untuk melaksanakan usaha eksplorasi dan eksploitasi minyak dan gas
bumi berdasarkan prinsip pembagian hasil produksi.
Pengertian Production Sharing Contract (perjanjian bagi hasil) menurut
para ahli :
Sutadi menyatakan bahwa perjanjian bagi hasil merupakan bentuk
kerjasama dengan pihak asing di bidang minyak dan gas bumi yang harus
menjabarkan prinsip-prinsip pengusahaan minyak dan gas bumi sesuai dengan
penggarisan konstitusi dan peraturan perundangan-undangan yang ada.5
Subekti mendefenisikan perjanjian adalah suatu peristiwa dimana ada
seorang berjanji kepada orang lain atau dua orang itu saling berjanji untuk untuk
melaksanakan sesuatu hal dari peristiwa ini timbullah suatu hubungan antara dua
orang tersebut yang dinamakan : ”Perikatan”
6
Sumantoro mendefenisikan Production Sharing Contract sebagai
kerjasama dengan sistem bagi hasil antara perusahaan Negara dengan perusahaan
asing yang sifatnya kontrak. Apabila kontrak telah habis, maka mesin-mesin yang
dibawa pihak asing tetap tinggal di Indonesia. Kerjasama dalam bentuk ini
merupakan suatu kredit luar negeri dimana pembayarannya dilakukan dengan cara
bagi hasil terhadap produksi yang telah dihasilkan oleh perusahaan tersebut.
7
Sedangkan Abdul Kadir Muhammad memuat beberapa unsur yang termuat
5. Sutadi Pudjo Utomo, 1990 , Bentuk-bentuk Insentif dalam Contract Production Sharing,
Warta Caltex No. 21, Hal.11. 6. Joni Ermizon, Hukum Bisnis di Indonesia, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi,
Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta, 2002, Hal. 176. 7 . Sumantoro, 1990, Pengertian Pokok Hukum Perusahaan, Rajawali Press, Jakarta, Hal. 215.
25
dalam suatu perjanjian, yaitu :
a. Ada pihak-pihak
Pihak yang terlihat dalam perjanjian minimal dua orang, yang terdiri dari
subyek hukum. Subyek hukum tersebut dapat manusia kodrati dan dapat pula
badan hukum (rechtperson). Dalam hal perkara manusia, maka orang tersebut
harus telah dewasa dan cakap.
b. Ada persetujuan antara para pihak
Para pihak sebelum melaksanakan perjanjian harus diberikan kebebasan
untuk mengadakan tawar-menawar (bargaining) atau konsensus dalam suatu
perjanjian.
c. Ada tujuan yang ingin dicapai
Suatu perjanjian haruslah mempunyai satu atau beberapa tujuan tertentu
yang ingin dicapai, akan tetapi untuk mencapai tujuan tersebut tidak boleh
bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, kebiasaan yang diakui
masyarakat dan kesusilaan.
d. Ada prestasi yang harus dilaksanakan
Dalam suatu pihak, perjanjian para pihak mempunyai hak dan kewajiban
satu sama lain. Satu pihak berhak menuntut pelaksanaan prestasi dan di pihak lain
berkewajiban untuk melaksanakan prestasi, dan begitu sebaliknya.
e. Ada syarat- syarat tertentu
Setiap perjanjian yang dibuat dan disepakati para pihak merupakan
undang-undang bagi mereka yang membuat. Agar suatu perjanjian dapat
dikatakan sebagai suatu perjanjian yang sah, maka perjanjian tersebuat memenuhi
26
syarat- syarat tersebut. 8 Sudarsono mengartikan kontrak dengan perjanjian
tertulis antara dua pihak dalam perdagangan, sewa menyewa. Persetujuan yang
bersanksi hukum antar dua atau lebih untuk melakukan atau tidak melakukan
perikatan. 9
a. Suatu persetujuan (suatu penawaran dan penerimaan dari penawaran itu)
Dari keseluruhan defenisi diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa kontrak
sedikitnya mempunyai satu janji atau dibuat, baik secara tertulis (written) maupun
secara lisan (oral).
Jhon D. Donnel dan James Barnes menyimpulkan bahwa setelah
bertahun-tahun pengadilan Hukum Adat mengembangkan sejumlah syarat-syarat
bahwa suatu perjanjian harus memenuhi sebelum perjanjian itu dianggap sebagai
kontrak, yaitu :
b. Dengan sukarela berbuat
c. Masing-masing pihak mempunyai kapasitas untuk membuat kontrak
d. Didukung oleh pertimbangan (dengan beberapa pengecualian)
e. Melakukan seperangkat tindakan-tindakan hukum.
Kontrak yang dibuat secara lisan akan sulit dijadikan alat bukti, kecuali ada
saksi-saksi yang memberikan adanya peristiwa perjanjian tersebut. Perjanjian
bukan hanya mengikat untuk hal-hal yang secara tegas dinyatakan di dalamnya,
namun juga untuk segala sesuatu menurut sifat perjanjian, dikehendaki oleh
8 . Ibid. Hal 178-179 9 . Sudarsono, Kamus Hukum, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta, 1999, Hal 182.
27
kepatuhan, kebiasaan atau undang-undang.10
Pemerintah sebagai pengemban kepentingan umum berkewajiban untuk
mengawasi dan menjaga keseimbangan antara kepentingan individu dengan
kepentingan masyarakat. Prinsip kebebasan berkontrak dianut oleh hukum positif
kita sebagaimana diatur dalam KUH Perdata Pasal 1338 ayat (1) dan diberlakukan
secara luas dalam praktek hukum di Indonesia dan bahkan prinsip ini menjadi
begitu penting karena digunakan sebagai prinsip kunci dalam mengembangkan
berbagai jenis perjanjian yang sebelumnya tidak dikenal dalam sistem hukum dan
praktek hukum di Indonesia, seperti : Perjanjian Patungan, Perjanjian Bantuan
Teknis, Perjanjian Lisensi, Perjanjian Penggabungan (Merger), Perjanjian Bagi
Hasil (Production Sharing Contract) dan sebagainya. Jenis-jenis perjanjian
tersebut baru dikenal luas setelah diperkenalkannya Undang-undang No.1 Tahun
1967 tentang Penanaman Modal Asing yang mengundang investor asing ke
Indonesia.
11
Penulisan ini bersifat penelitian yang deskriptif analitis dengan
menggunakan pendekatan yuridis normatif di bidang kontrak bagi hasil. Sifat
penelitian deskriptif adalah bertujuan menggambarkan secara tepat sifat-sifat
suatu individu, keadaan, gejala atau kelompok tertentu atau untuk menentukan
penyebaran suatu atau untuk menentukan ada tidaknya hubungan antara suatu
F. METODE PENULISAN
10 Sholeh Soeadi, Vademecum Hukum Perdata dan Hukum Pidana, Penerbit PT.Novindo Pustaka Mandiri, Jakarta, 2000, Hal 113 11. Erman Rajagukguk, Permasalahan Kontrak Bisnis Internasional, Makalah disampaikan
pada Seminar Permasalahan Kontrak Bisnis Internasional, Surabaya 7 Juni 1997, hal 4
28
gejala dengan gejala lain dalam masyarakat.12
1. Bahan Hukum Primer terdiri dari : Peraturan Perundang-undangan yang
berkaitan dengan masalah yang diteliti, yaitu Undang-undang Nomor 22
Selain pendekatan yuridis normatif, juga diperhatikan pendekatan yuridis
empiris. Pendekatan ini dimaksudkan untuk mengetahui penerapan peraturan
perundang-undangan pertambangan minyak dan gas bumi terutama setelah
keluarnya undang-undang tentang yang baru di bidang minyak dan gas bumi,
yaitu undang-undang yang baru di bidang minyak dan gas bumi, yaitu Undang-
undang No. 22 Tahun 2001 dan Buku III KUH Perdata yang ada kaitannya
dengan pelaksanaan kontrak bagi hasil di bidang perminyakan dengan spesifikasi
penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah berupa penelitian studi
kasus.
Sesuai dengan judul skripsi yaitu : Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan
Sistem Kontrak Bagi Hasil dalam Industri Perminyakan, maka lokasi penelitian
ditujukan kepada Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Sumatera Utara.
Alasan dipilihnya lokasi penelitian ini karena domisili lembaga tersebut di
Provinsi Sumatera Utara dekat dengan tempat Penulis menimba ilmu di Fakultas
Hukum USU.
Sebagai sumber data dalam penelitian ini adalah bahan dasar penelitian
hukum normatif dari sudut kekuatan mengikatnya dibedakan atas bahan hukum
primer, sekunder, dan tertier, yaitu :
12 . Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum di Indonesia pada akhir abad ke-20 Penerbit Alumni bandung, 1994, Hal 1
29
Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, PP Nomor 35 Tahun 1994 tentang
Syarat-syarat dan Pedoman Kerjasama Kontrak Bagi Hasil Minyak dan Gas
Bumi, PP Nomor 42 Tahun 2002 tentang Badan Pelaksana Kegiatan Usaha
Hulu Minyak dan Gas Bumi, UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Dana
Perimbangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, UU Nomor 55 Tahun 2005
tentang Dana Perimbangan dan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah.
2. Bahan Hukum Sekunder, yaitu buku-buku yang berkaitan dengan masalah
yang diteliti, yaitu buku-buku di bidang Perdata, khususnya hukum kontrak
dan Contract Production Sharing.
3. Bahan Hukum Tertier, yaitu dokumen-dokumen tentang kontrak bagi hasil
Pemerintah, dalam hal ini BPMIGAS, yaitu kontrak sebelum UU Nomor 22
Tahun 2001 yang dibuat oleh Pertamina dan setelah Undang-undang No.22
Tahun 2001 yang dikelola oleh BPMIGAS
G. SISTEMATIKA PENULISAN
Skripsi ini ditulis dalam lima bab, pada setiap babnya terbagi lagi kedalam
sub bab yang dapat diuraikan sebagai berikut :
BAB I : PENDAHULUAN
Bab ini merupakan cerminan dari seluruh isi skripsi, latar belakang,
perumusan masalah, apa yang menjadi permasalahan, keaslian
penelitian diikuti dengan tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan
kepustakaan metode penulisan dan sistematika penulisan skripsi.
30
BAB II : BENTUK DAN PENGERTIAN KONTRAK
Dalam bab ini dibagi menjadi 2 (dua) bagian, yang pertama kontrak
ditinjau secara umum asas-asas dalam hukum kontrak, jenis-jenis
kontrak, syarat sahnya kontrak dan pada bagian keduanya membahas
tentang pengertian dan latar belakang timbulnya sistem kontrak bagi
hasil, landasan hukum dan prosedur sistem kontrak bagi hasil, bentuk
dan substansi kontrak bagi hasil, jangka waktu dan pola penyelesaian
sengketa kontrak bagi hasil
BAB III : GAMBARAN UMUM TENTANG INDUSTRI PERMINYAKAN
DI INDONESIA
Dalam bab ini dibahas sejarah industri perminyakan yang ada di
Indonesia, sumber hukum perjanjian pengelolaan dan pertambangan
migas di Indonesia, badan pelaksana kegiatan hulu dan hilir migas di
Indonesia dan variable yang mempengaruhi dalam pembagian hasil
migas dan gambaran umum tentang dana bagi hasil migas.
BAB IV : TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PELAKSANAAN SISTEM
KONTRAK BAGI HASIL DALAM INDUSTRI
PERMINYAKAN.
Dalam bab ini dibahas pelaksanaan sistem kontrak bagi hasil dalam
industri perminyakan, tinjauan yuridis terhadap ketentuan kontrak bagi
hasil di Indonesia, dan permasalahan yang muncul setelah UU
No.22/2001 diberlakukan dalam pelaksanan kontrak bagi hasil.
BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN
31
Bab ini adalah bab terakhir dari penulisan skripsi yang isinya
kesimpulan dari pembahasan bab-bab sebelumnya, sekaligus
pemberian saran sebagai buah pikiran penulis terhadap bab-bab
sebelumnya.
32
BAB II
TINJAUAN TERHADAP KONTRAK PADA UMUMNYA
A. Pengertian Kontrak Secara Umum
Hidup di dalam zaman dimana manusia semakin tidak tergantung dari
jarak, tempat dan juga dari perbedaan waktu. Sejak manusia memulai kegiatan
ekonomi dengan perdagangan barter, banyak sekali yang telah berkembang dan
terjadi dalam transaksi antarmanusia maupun antarbadan hukum, mau tidak mau
manusia membuat dan melibatkan diri dalam suatu perjanjian yang semakin
banyak mengambil bentuk sebagai kontrak atau perjanjian tertulis.13
Kata kontrak berasal dari bahasa Inggris, yaitu ”Contract” yang artinya
Kontrak Perjanjian.
14 Dalam KUH Perdata, pengertian kontrak dalam hal ini
adalah perjanjian sebagai suatu perbuatan, dimana satu orang atau lebih
mengikatkan dirinya terhadap satu atau lebih ( Pasal 1313 KUH Perdata).15
Asas kebebasan berkontrak ini diatur di dalam Pasal 1338 KUH Perdata
yang bunyinya sebagai berikut: ”Semua persetujuan yang dibuat secara sah
Di dalam kontrak terdapat asas kebebasan berkontrak atau yang dikenal
juga dengan Freedom of Contract yang memberi kebebasan para pihak untuk
menuangkan hal-hal yang ingin diperjanjikan dan juga untuk menuangkan hal-hal
yang tidak dikehendaki dalam perjanjian.
13. Budiono Kusumohamidjojo, Panduan untuk Merancang Kontrak, Penerbit PT. Gramedia
Widiasarana Indonesia, Jakarta, 2001, Hal 1. 14. Jhon, M Echols dan Hassan Shadilly, Kamus Inggris Indonesia, Penerbit PT. Gramedia,
Jakarta,1997, Hal 144. 15. Munir Fuady, Hukum Kontrak, Penerbit PT.Citra Aditya Bakti, Bandung 2001, Hal 4
33
berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.” Asas
kebebasan berkontrak ini bukan berarti kebebasan tak terbatas atau absolute, tetapi
kebebasan yang relatif. Hal yang diperjanjikan tidak boleh bertentangan dengan
UU, ketertiban umum dan kebiasaan.
Pemerintah sebagai pengemban kepentingan umum berkewajiban untuk
mengawasi dan menjaga keseimbangan antara kepentingan individu dengan
kepentingan masyarakat. Prinsip kebebasan berkontrak dianut oleh hukum positif
kita sebagaimana diatur dalam KUH Perdata Pasal 1338 ayat (1) dan diberlakukan
secara luas dalam praktek hukum di Indonesia dan bahkan prinsip ini menjadi
begitu penting karena digunakan sebagai prinsip kunci dalam mengembangkan
berbagai jenis perjanjian yang sebelumnya tidak dikenal dalam sistem hukum dan
praktek hukum di Indonesia
1. Asas-Asas dalam Kontrak
Joni Ermizon mengemukakan 16 prinsip atau asas perjanjian yang menjadi
dasar penyusunan kontrak, yaitu:16
16. Joni Ermizon, Opcit, Hal 184-193
a. Asas Kebebasan Berkontrak
Asas kebebasan berkontrak dikenal dengan istilah Open System atau
Freedom of Contract. Para pihak berhak menentukan apa saja, yaitu keinginan
diperjanjikan dan sekaligus untuk menentukan apa saja yang tidak dikehendaki
untuk dicantumkan dalam perjanjian, namun tidak berarti tidak tanpa batas. Azas
kebebasan berkontrak diatur dalam Pasal 1338 KUH Perdata.
34
b. Asas Konsensualisme
Asas ini dikenal dengan prinsip penawaran dan penerimaan (Offer and
Acceptance) di antara para pihak. Suatu tawaran harus memenuhi beberapa
persyaratan yaitu:
a. Tawaran tersebut harus pasti dan jelas
b. Tawaran tersebut haruslah dilakukan secara serius
c. Tawaran tersebut haruslah dikomunikasikan
Suatu perjanjian timbul apabila telah ada konsensual atau persesuaian
kehendak antara para pihak. Dengan kata lain, sebelum tercapainya kata sepakat,
maka perjanjian tidak akan ada.
c. Asas Kebiasaan
Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang diatur secara
tegas dalam peraturan perundang-undangan, yang prudensi, dan sebagainya.
Tetapi juga hal-hal yang menjadi kebiasaan yang diikuti masyarakat umum.
Dalam KUH Perdata, azas ini diatur secara tegas dalam dua pasal, yaitu Pasal
1339 KUH Perdata dan Pasal 1347 KUH Perdata.
d. Asas Kepercayaan
Para pihak harus menumbuhkan kepercayaan di antara kedua pihak, bahwa
satu sama lain akan memenuhi janji. Janji yang disepakati atau prestasinya
dikemudian hari (Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata).
e. Asas Kekuatan Mengikat
Setiap perjanjian yang telah disepakati dan telah memenuhi ketentuan
perundang-undangan, kebiasaan, kepatuhan, akan mengikat para pihak (Pasal
1338 ayat (1) KUH Perdata).
35
f. Asas Persamaan Hukum
Pada dasarnya, para pihak diberikan kedudukan dan mempunyai
kedudukan yang sama, diberikan hak dan mempunyai hak-hak yang sama dan
diberikan kewajiban serta akan mempunyai kewajiban sebagaimana sesuai dengan
yang diperjanjikan.
g. Asas Peralihan Resiko
Dalam penyusunan kontrak peralihan resiko dapat dicantumkan dalam
perjanjian karena dalam pelaksanaan perjanjian kemungkinan terjadi hal-hal yang
timbul di luar perkiraan para pihak akan terjadi atau timbul.
Dalam sistem hukum Indonesia, beralihnya suatu resiko atas kerugian yang
timbul yang berlaku untuk jenis-jenis perjanjian tersebut seperti jual-beli, tukar-
menukar, sewa-menyewa, dan sebagainya tanpa perlu memperjanjikan dalam
perjanjian yang bersangkutan.
h. Asas Ganti Kerugian
Asas atau prinsip ganti rugi selalu dianut dalam setiap janji hukum. Setiap
pihak yang d0irugikan berhak menuntut ganti rugi atas tidak dipenuhinya atau
dilanggarnya atau diabaikannya suatu ketentuan dalam perjanjian oleh pihak lain.
Ganti rugi atau Pinitive Damages dalam sistem Hukum Anglo-Saxon, pencatatan
istilah tersebut dalam suatu perjanjian akan dapat menimbulkan masalah bila tidak
dijelaskan secara rinci.
Dalam KUH Perdata, asas ganti rugi diatur dalam Pasal 1365 yang
menentukan bahwa : “Tiap perbuatan melawan hukum yang membawa kerugian
kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan
kerugian tersebut.”
36
Dari ketentuan Pasal 1365 KUH Perdata tersebut, terdapat 4 (empat) unsur
yaitu:
1. Karena adanya perbuatan melawan hukum (Onrecht Maltgedaad)
2. Harus ada kesalahan
3. Harus ada kerugian yang ditimbulkan
4. Adanya hubungan kausal antara perbuatan melawan hukum dengan kerugian
i. Asas Kepatuhan
Asas kepatuhan ini sangat erat kaitannya dengan isi perjanjian yang
disepakati para pihak. Secara tegas, asas ini dituangkan dalam Pasal 1339 KUH
Perdata, yang berbunyi : “Persetujuan-persetujuan tidak hanya mengikat untuk
hal-hal yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala
sesuatu yang menurut sifat persetujuan, diharuskan oleh kepatuhan, kebiasaan
atau undang-undang.”
j. Asas Sistem Terbuka (Casis Where Is)
Dalam suatu kontrak perlu diperhatikan azas keterbukaan, yaitu hal-hal
yang diutarakan harus menjadi bahan pertimbangan bagi pembeli di dalam
rencana menutup transaksi tersebut, termasuk di dalam menentukan beberapa
harga yang wajar yang ditawarkan.
k. Asas Kewajaran (Fairness)
Dalam penyusunan suatu kontrak, asas kewajaran harus dipenuhi yang
menentukan bahwa perjanjian harus dibuat dengan mengindahkan dan
memperhatikan kepentingan-kepentingan dari pihak-pihak dalam perjanjian
secara wajar.
37
l. Asas Ketetapan Waktu
Setiap perjanjian apapun bentuknya harus ada batas waktu berakhirnya
yang merupakan kepastian penyelesaian prestasi. Asas ini sangat penting dalam
kontrak. Kontrak tersebut misalnya, kontrak-kontrak yang berkaitan dengan
proyek keuangan, bahwa setiap kegiatan yang telah diperjanjikan harus
diselesaikan pada tepat waktu yang telah diperjanjikan.
m. Asas Kerahasiaan (Confidentially)
Pada dasarnya, perjanjian yang dibuat hanya untuk kepentingan kedua
belah pihak. Oleh karena itu, para pihak diwajibkan untuk kepentingan kedua
belah pihak, menjaga kerahasiaan daripada ketentuan. Ketentuan dan contoh-
contoh data yang berkaitan di dalam perjanjian dan tidak dibenarkan untuk
menyebarluaskan atau memberitahukan kepada pihak ketiga. Namun, biasanya
juga diatur tentang pengecualian-pengecualian, yaitu suatu pihak dapat
memberikan data tersebut kepada pihak lain.
n. Asas Keadaan Darurat
Baik kontrak internasional maupun nasional, selalu mencantumkan isi
penting, apabila terjadi hal-hal diluar kemampuan merugikan atau diakibatkan
oleh kejadian alam. Namun, dalam praktek ada juga apabila adanya perubahan
kebijaksanaan Pemerintah dimasukkan sebagai suatu keadaan darurat.
o. Asas Pilihan Hukum
Asas ini berlaku bagi kontrak internasional yang mempunyai aspek
tradisional, yaitu para pihak berbeda kewarganegaraan dan memilih sistem hukum
yang berbeda. Dalam penyusunan konrak internasional, pilihan hukum (Choice of
38
Law) menjadi penting karena tidak semua pihak asing merasa senang bahwa
perjanjiannya diatur dan ditafsirkan menurut hukum Indonesia. Untuk
menentukan hukum mana yang berlaku, ada beberapa teori lama yang dapat
digunakan, yaitu lex loci solution atau the proper law of the contract atau ajaran
tentang aanknopigspunten. Selain itu ada berbagai bentuk pilihan hukum, yaitu:
1. Pilihan hukum secara tegas
Yaitu, para pihak mengemukakan kehendak mereka secara tegas dan jelas
tentang hukum mana yang menguasai kontrak-kontrak mereka apakah hukum
Negara A atau Negara B atau Konvensi Internasional.
2. Pilihan hukum secara diam-diam
Bentuk pilihan hukum ini biasanya dapat dilihat dari maksud para pihak
melalui sikap mereka dalam bentuk isi kontrak yang mereka adakan dan/atau
setuju
3. Pilihan hukum yang dianggap
Dalam hal ini, adanya anggapan (presumption luris) hakim telah terjadi suatu
pilihan hukum berdasarkan dugaan-dugaan hukum belaka.
4. Pilihan hukum secara hypotetisch
Pada dasarnya, para pihak tidak ada kemauan untuk memilih hukum mana,
maka hakimlah yang melakukan pilihan hukum tersebut. Hakim bekerja
dengan suatu fictie.
p. Asas Penyelesaian Perselisihan
Setiap perjanjian atau kontrak tertulis harus ditegaskan bagaimana
penyelesaian perselisihan di antara para pihak. Biasanya dalam praktek dagang,
39
penyelesaian sengketa dagang lebih banyak diselesaikan melalui lembaga non-
litigasi, yaitu Arbitrase karena keputusan arbitrase sifatnya final dan binding,
yaitu tidak bisa dimintakan banding ke pengadilan. Selain itu, biaya lebih murah
dan waktunya lebih singkat dibandingkan penyelesaian sengketa melalui
pengadilan.
2. Bentuk-bentuk Kontrak
Dalam kontrak dikenal ada 3 (tiga) bentuk kontrak, yaitu: 17
1. Standart Contract atau Perjanjian Baku
Adalah perjanjian yang hampir seluruh klausalnya dibukukan dan dibuat
dalam bentuk formulir. Dengan kata lain, Perjanjian Baku tujuan utama Standart
Contract. Ditujukan untuk kelancaran proses perjanjian dengan mengutamakan
efisiensi, ekonomis dan praktis. Tujuan khususnya, yaitu untuk kepentingan satu
pihak, untuk melindungi kemungkinan kerugian akibat perbuatan debitur serta
menjamin kepastian hukum.
2. Kontrak Bebas
Dasar hukum kebebasan berkontrak ini, yaitu Pasal 1338 KUH Perdata.
Namun, mengingat KUH Perdata Pasal 1338 ayat (3) mengenai asas keadilan dan
KUH Perdata Pasal 1339 tentang asas kepatutan, kebiasaan serta undang-undang,
maka pada prinsipnya, kebebasan berkontrak itu masih harus memperhatikan asas
kepatutan, kebiasaan dan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
17. Syahmin, Ak, Hukum Kontrak Bisnis Internasional, Jakarta, PT, Raja Grafindo Persada, 2006, Hal 42-43.
40
3. Kontrak tertulis dan tidak tertulis
Perjanjian tertulis adalah perjanjian yang dibuat oleh para pihak dalam
bentuk tulisan. Sementara itu, perjanjian lisan ialah suatu perjanjian yang dibuat
oleh para pihak dalam wujud lisan (cukup kesepakatan lisan para pihak).
Ada 3 (tiga) bentuk Perjanjian tertulis, yaitu :18
a. Perjanjian di bawah tangan
Yang ditandatangani oleh para pihak yang bersangkutan saja, perjanjian itu
hanya mengikat para pihak yang membuat perjanjian, tetapi tidak mempunyai
kekuatan mengikat pihak ketiga. Dengan kata lain, jika perjanjian tersebut
disangkal pihak ketiga, para pihak atau salah satu pihak dari perjanjian itu
berkewajiban mengutamakan bukti-bukti yang diperlukan untuk membuktikan
bahwa keberatan pihak ketiga dimaksud tidak berdasar dan tidak dapat
dibenarkan.
b. Perjanjian dengan saksi Notaris untuk melegalisasi tanda tangan para pihak.
Fungsi kesaksian Notaris atas suatu dokumen semata-mata hanya untuk
melegalisasi kebenaran tanda tangan para pihak. Akan tetapi, kesulitan tersebut
tidaklah mempengaruhi kekuatan hukum dari isi perjanjian. Namun, pihak yang
menyangkal harus membuktikan penyangkalannya.
18. Ibid, Hal 22-23.
41
c. Perjanjian yang dibuat di hadapan dan oleh Notaris dalam bentuk akta
Notariel.
Akta Notariel adalah akta yang dibuat di hadapan dan di muka pejabat yang
berwenang, seperti Notaris, Camat, PPAT, dan lain-lain. Jenis dokumen ini
merupakan alat bukti yang sempurna bagi para pihak yang bersangkutan maupun
pihak ketiga.
3. Jenis-jenis Kontrak
Selanjutnya, mengenai jenis kontrak, secara umum suatu kontrak, baik
dalam bentuk tertulis maupun tidak tertulis terbagi atas beberapa jenis, antara
lain:19
1. Perjanjian Timbal-balik
Adalah perjanjian yang menimbulkan hak dan kewajiban bagi kedua belah
pihak, misalnya perjanjian jual-beli, dan sewa-menyewa.
2. Perjanjian Cuma-cuma
Adalah perjanjian yang memberikan keuntungan bagi salah satu pihak saja,
misalnya Perjanjian Ibah.
3. Perjanjian atas Beban
Adalah perjanjian terhadap prestasi dari pihak yang satu selalu terdapat
kontra prestasi dari pihak lain dan antara kedua prestasi itu ada hubungannya
menurut hukum.
19. Ibid, Hal 47- 48
42
4. Perjanjian Bernama
Adalah perjanjian yang mempunyai nama sendiri, yang diatur dan diberi
nama dan pembentukan undang-undang. Perjanjian bernama diatur dalam Bab V
sampai Bab XVIII KUH Perdata.
5. Perjanjian Tidak Bernama
Adalah perjanjian yang tidak diatur dalam KUHP Perdata, namun terdapat
di masyarakat. Timbulnya perjanjian jenis ini berdasarkan pada asas kebebasan
berkontrak, misalnya perjanjian sewa beli, perjanjian keagenan, perjanjian
distributor, perjanjian pembiayaan, sewa guna usaha/leasing, anjak piutang, modal
ventura, kontrak kredit, dan lain sebagainya.
6. Perjanjian Campuran
Yaitu perjanjian yang mengandung berbagai unsur perjanjian, misalnya
perjanjian kerja sama pendirian pabrik pupuk dan diikuti dengan perjanjian jual
beli mesin pupuk serta perjanjian pembentukan teknik (Technical Assistance
Contract).
7. Perjanjian Kebendaan
Yaitu perjanjian hak atas benda dialihkan (Transfer of Title A) atau
diserahkan kepada pihak lain.
8. Perjanjian Konsensualisme
Yaitu perjanjian di antara kedua belah pihak yang telah terjadi persesuaian
kehendak untuk mengadakan perikatan menurut ketentuan Pasal 1320 KUH
Perdata. Perjanjian ini mempunyai kekuatan mengikat. Namun di dalam KUH
Perdata, ada juga perjanjian yang hanya berlaku sesudah terjadinya penyerahan
batang perjanjian. Yang demikian dinamakan perjanjian riel.
43
9. Perjanjian yang sifatnya istimewa, yaitu sebagai berikut :
a. Perjanjian Liberatoir
Yakni perjanjian para pihak yang membebaskan diri dari kewajiban yang
ada, misalnya pembebasan utang. (Pasal 1438 KUH Perdata).
b. Perjanjian Pembuktian
Yaitu perjanjian antara para pihak untuk menentukan pembuktian apakah
yang berlaku di antara mereka
c. Perjanjian Publik
Yaitu perjanjian sebagian atas seluruhnya yang dikuasai oleh hukum
publik karena salah satu pihak bertindak sebagai penguasa pemerintah.
4. Syarat Sahnya Kontrak
Mengenai syarat sahnya kontrak diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata,
yang menyebutkan untuk sahnya persetujuan diperlukan 4 (empat) syarat, yaitu :
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya (Consensus)
2. Kecakapan untuk membuat perikatan (Capacity)
3. Suatu hal tertetu (Certainty of Term/ Subject Matter)
4. Suatu sebab yang halal (Consideration/Legal Causa)
ad.1 . Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
Maksud dari kata sepakat adalah bahwa kedua belah pihak yang
mengadakan perjanjian telah setuju atau sepakat mengenai hal-hal pokok dari
kontrak. Ada unsur Penawaran dan Penerimaan (Offer and Acceptance) dari para
pihak yang kemudian dituangkan dalam kontrak yang dibuat secara tertulis.
44
ad.2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
Orang-orang yang dianggap cakap (kompeten) dalam membuat suatu
perjanjian atau kontrak adalah semua orang yang telah dewasa.
Orang yang dianggap sudah dewasa dan cakap dalam membuat perjanjian
oleh Pasal 1330 KUH Perdata adalah:
1. Sudah genap berusia 21 tahun
2. Sudah kawin dan kemudian bercerai meskipun belum genap berumur 21
tahun
Ketentuan ini sudah tidak berlaku lagi sejak dikeluarkannya UU Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang menetapkan bahwa umur dewasa adalah 18
tahun atau sudah pernah kawin. Umur dewasa 21 tahun dikuatkan oleh Mahkamah
Agung RI dalam putusannya No. 477 k/sip 1976 tanggal 13 Oktober 1976.
ad.3. Suatu hal tertentu
Arti dari suatu hal tertentu ialah suatu hal yang telah diperjanjikan dalam
suatu kontrak mengenai suatu hal atau barang yang jelas. Beberapa persyaratan
yang ditentukan oleh undang-undang (dalam hal ini KUH Perdata) terhadap objek
tertentu dari kontrak, khususnya jika objek kontrak tersebut berupa barang adalah
sebagai berikut :
1. Barang yang merupakan objek kontrak tersebut haruslah barang yang dapat
diperdagangkan (Pasal 1332 KUH Perdata)
2. Pada saat kontrak dibuat, minimal barang tersebut sudah dapat ditentukan
jenisnya (Pasal 1333 ayat (1) KUH Perdata)
45
3. Jumlah barang tersebut boleh tidak tertentu, asal saja jumlah tersebut
kemudian dapat ditentukan atau dihitung (Pasal 1333 ayat (2) KUH Perdata)
4. Barang tersebut dapat juga barang yang baru akan ada di kemudian hari
(Pasal 1334 ayat (1) KUH Perdata.20
ad.4 .Suatu sebab yang halal
Maksud dari suatu sebab yang halal adalah isi daripada kontrak itu sendiri
yang tidak boleh bertentangan dengan undang-undang kesusilaan dan ketertiban
umum. Contoh kontrak dengan kuasa yang tidak legal :
1. Kontrak untuk bercerai
2. Kontrak yang mengandung unsur judi
Di dalam Pasal 1320 KUH Perdata terdapat dua syarat, yaitu :
1. Syarat subjektif yang terdiri dari :
a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
2. Syarat objektif terdiri dari :
a. Suatu hal tertentu
b. Suatu sebab yang halal
Apabila salah satu atau dua syarat subjektif tidak dipenuhi, maka kontrak
tersebut dapat diminta kebatalannya oleh pihak yang tidak cakap. Selama Hakim
belum membatalkan kontrak tersebut atas permintaan salah satu pihak tersebut,
maka kontrak tersebut tetap mengikat. Jika salah satu atau kedua syarat objektif
tidak dipenuhi, maka kontrak tersebut batal demi hukum atau dengan kata lain,
kontrak tersebut dianggap tidak pernah ada.
20. Munir Fuady, Opcit Hal 72
46
Adapun perbedaan dari kontrak yang batal demi hukum adalah:21
1. Kontrak yang dapat dibatalkan adalah kontrak yang sah, mengikat para
pihak dan dapat dilaksanakan sampai kontrak tersebut dibatalkan.
2. Kontrak yang batal demi hukum masih dimungkinkan untuk dikonversi atau
diubah menjadi kontrak yang sah. Dilihat dari syarat-syarat sahnya kontrak
atau perjanjian ini, maka Asser membedakan bagian perjanjian, yaitu bagian
inti (wezenlijk oordeel) dan bagian yang bukan bagian inti (non wezenlijk
oorseel. Bagian inti ini disebutkan bagian essensilia, bagian non inti terdiri
dari naturalia dan aksidentalia.
1. Essensilia
Bagian ini merupakan sifat yang harus menentukan atau menyebabkan
perjanjian ini tercipta (Constructive Oordeel) seperti persetujuan antara
para pihak dan objek perjanjian.
2. Naturalia
Bagian ini merupakan sifat bawaan (natuur) perjanjian, sehingga secara
diam-diam melekat pada perjanjian seperti menjamin tidak ada cacat
dalam benda yang dijual (Vrijwaring).
3. Aksidentalia
Bagian ini merupakan sifat yang melekat pada perjanjian dalam hal
secara tegas diperjanjikan oleh para pihak, seperti ketentuan-ketentuan
mengenai domisili para pihak.22
21. Mariam Darus Badrulzaman, KUH Perdata Buku II Hukum Perikatan dengan Penjelasan,
Penerbit Alumni, Bandung, 1993,Hal 99 22 . Ibid, hal 10
47
5. Berakhirnya dan Hapusnya Kontrak
Setiap kontrak/perjanjian yang dibuat apapun nama, bentuk dan jenisnya
tentu harus mempunyai batas waktu berakhirnya, mengenai cara dan faktor-faktor
yang merupakan penyebab berakhirnya atau hapusnya persetujuan itu menurut
hukum.23
1. Pembayaran (dapat dilakukan di tempat yang ditetapkan dalan kontrak, atau
di tempat barang berada)
Ada sepuluh cara hapusnya perjanjian, yaitu :
2. Penawaran pembayaran turut diikuti dengan penyimpanan atau penitipan
atau sistem konsinyasi 24
3. Pembaruan utang (dengan cara novasi objektif dan novasi subjektif)
4. Perjumpaan utang atau kompensasi (dapat terjadi antara dua utang yang
keduanya berpokok pada sejumlah utang atau barang yang habis pakai dari
jenis yang sama)25
5. Percampuran utang (jika kreditur dan debiturnya satu orang demi hukum
suatu percampuran utang itu utang-piutang itu menjadi hapus)
26
6. Pembebasan utang (Pasal 1348 dan Pasal 1439 KUH Perdata)
7. Batal/pembatalan (Pasal 1449 KUH Perdata menetapkan bahwa perikatan
yang dibuat secara paksa terdapat unsur kekhilafan atau penipuan
menerbitkan suatu tuntutan untuk membatalkannya)
23 . Terdapat dalam Pasal 1381, KUH Perdata Indonesia 24. Sistem Konsinyasi ini diatur dalam Pasal 1383 s/d 1409 KUH Perdata Indonesia 25 Terdapat dalam Pasal 1425 s/d 1435 KUH Perdata Indonesia 26. Terdapat dalam Pasal 1436 KUH Perdata Indonesia
48
8. Berlakunya status syarat pembatalan
9. Lewat waktu/ kadaluwarsa (menurut ketentuan Pasal 1946 KUH Perdata)
apabila batas waktu yang disepakati terlampaui, kontrak tersebut berakhir.
B. TINJAUAN TERHADAP KONTRAK BAGI HASIL
1. Pengertian dan Latar Belakang Timbulnya Sistem Kontrak Bagi Hasil.
Kontrak bagi hasil merupakan terjemahan dari istilah Production Sharing
Contract (PSC). Pasal 1 angka 19 Undang–undang No. 22 Tahun 2001 tentang
Minyak dan Gas Bumi menyebutkan :
”Kontrak Kerjasama adalah Kontrak Bagi Hasil atau bentuk kontrak kerja sama lain dalam kegiatan eksplorasi dan ekploitasi yang lebih menguntungkan negara dan hasilnya dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.” 27
“Production sharing contract Means an aggreement Entered Into Drafter....by the goverment of Indis with any person for the association or
Menurut Pasal (1) angka (1) PP Nomor 35 Tahun 1994, Kontrak
Production Sharing adalah kerjasama antara Pertamina dan Kontraktor untuk
melaksanakan usaha eksplorasi dan eksploitasi minyak dan gas bumi berdasarkan
prinsip pembagian hasil produksi.
Di dalam Made 1 huruf 1 The Petroleum Tax Code 1997, kontrak bagi
hasil digambarkan sebagai berikut :
27 Pasal ini tidak khusus menjelaskan pengertian kontrak bagi hasil (PSC) tetapi difokuskan kepada konsep teoretis kerjasama di bidang minyak dan gas bumi dapat dibedakan menjadi 2 macam, yaitu Contract Production Sharing dan kontrak-kontrak lainnya, unsur kontrak kerjasama ini, yaitu : 1. Dapat dilakukan dalam bentuk Kontrak Bagi Hasil atau bentuk lainnya 2. Bidang kegiatannya yaitu eksplorasi dan eksploitasi 3. Syaratnya harus menguntungkan Negara 4. Penggunaannya untuk kemakmuran rakyat (Lihat : Salim HS, Opcit Hal 257)
49
participation of the goverment of India or any person authorized by any business consisting propecting for or production of petroleum and natural gas.”
Kontrak Bagi Hasil merupakan perjanjian bagi hasil di bidang minyak dan
gas bumi dan para pihaknya adalah Pertamina dan Kontraktor. Sementara itu,
dalam Undang-undang No. 22 Tahun 2001 para pihaknya adalah badan pelaksana
dengan badan usaha atau usaha tetap. Dengan demikian, defenisi Contract
Production Sharing adalah : “ Perjanjian atau kontrak yang dibuat antara badan
pelaksana dengan badan usaha atau bentuk usaha tetap untuk melakukan kegiatan
eksplorasi dan eksploitasi di bidang minyak dan gas bumi” , dengan prinsip bagi
hasil :
1. Adanya perjanjian atau kontrak
2. Adanya subjek hukum atau badan pelaksana dengan badan usaha atau bentuk
usaha tetap
3. Adanya objek, yaitu eksplorasi dan eksploitasi minyak dan gas bumi, dimana
eksplorasi bertujuan untuk memperoleh informasi mengenai kondisi geologi
untuk menemukan dan memperoleh perkiraan cadangan minyak dan gas bumi
di wilayah kerja yang ditentukan, sedangkan eksploitasi bertujuan untuk
menghasilkan minyak dan gas bumi.
4. Kegiatan di bidang minyak dan gas
5. Adanya prinsip bagi hasil
Prinsip bagi hasil merupakan prinsip-prinsip yang mengatur pembagian
hasil yang diperoleh dari eksploitasi dan eksplorasi minyak dan gas bumi antara
badan pelaksana dengan badan usaha tetap. Pembagian hasil ini dirundingkan
50
antara kedua belah pihak dan biasanya dituangkan dalam Contract Production
Sharing (Kontrak Bagi Hasil).
Sedangkan Sutadi mengartikan Contract Production Sharing dengan
perjanjian bagi hasil adalah bentuk kerjasama dengan pihak asing di bidang
minyak dan gas bumi sesuai dengan penggarisan konstitusi dan peraturan
perundang-undangan yang ada.28
1. Kendali manajemen dipegang oleh perusahaan Negara
Kontrak di bidang minyak dan gas bumi telah dimulai sejak zaman Hindia
Belanda sampai dengan saat ini. Peraturan perundang-undangan yang mengatur
tentang minyak dan gas bumi pada zaman Hindia Belanda adalah Indische Mijn
Wet (IMW). Undang-undang ini diundangkan pada tahun 1989 sejak
diundangkannya Indische Mijn Wet (IMW). Pemerintah Hindia Belanda
menyatakan penguasaan mereka atas mineral dan logam Indonesia. Perbaikan
kebijakan di bidang pertambangan dilakukan, antara lain pada tahun 1910 dan
1918. Pada tahun 1906 telah ditetapkan Monordorantie (Ordonansi
Pertambangan).
Konsep Contract Production Sharing dimunculkan pertama kali pada
tahun 1960 di Venezuela oleh Ibnu Sutowo. Pada tahun 1966, Ibnu Sutowo telah
menawarkan substansi isi kontrak bagi hasil kepada para kontraktor asing. Isinya
adalah sebagai berikut :
2. Kontrak akan didasarkan pada pembagian keuntungan
28. Sutadi Pudjoutomo, Bentuk-bentuk Insentif dalam Kontrak Production Sharing “Warta
Caltex No.21 Hal 11.
51
3. Kontraktor akan menanggung resiko pra produksi dan bila minyak ditemukan
penggantian biaya dibatasi sampai maksimum 40% pertahun dari minyak yang
dihasilkan
4. Sisa 60% dari produksi (lebih dari biaya pelunasan adalah dibawah 40%
maksimum akan dibagi dengan komposisi 65% untuk perusahaan Negara dan
35% untuk kontraktor
5. Hak atas semua peralatannya yang dibeli kontraktor akan dipindahkan kepada
perusahaan Negara begitu peralatan itu masuk ke Indonesia dari biaya akan
ditutup dengan formula 40%.
Kemudian, konsep ini dituangkan dalam Pasal 12 UU Nomor 8 Tahun
1971 tentang Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi. Dalam ketentuan
itu ditentukan bahwa Perusahaan dapat mengadakan kejasama dengan pihak lain
dalam bentuk Production Sharing.
Konsep Contract Production Sharing ternyata mendapat sambutan yang
baik dari para kontraktor asing, sehingga pada tahun 1966-1975 sebanyak 55
perusahaan asing yang beroperasi di Indonesia berdasarkan prinsip bagi hasil.
Prinsip bagi hasil kini telah dikuatkan oleh UU Nomor 22 Tahun 2001
Tentang Minyak dan Gas Bumi. Dalam UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang
Minyak dan Gas Bumi, ditentukan bahwa para pihak yang terkait dalam Contract
Production Sharing (Kontrak Bagi Hasil) adalah badan pelaksana dengan badan
usaha atau bentuk usaha tetap, bukan lagi Pertamina. Sementara itu, status
Pertamina saat ini adalah sebagai Perusahaan Perseroan (Persero).
Sistem yang pernah berlaku dalam pertambangan minyak dan gas bumi
52
dari zaman pemerintahan Belanda sampai dengan saat ini (2007) adalah sebagai
berikut:
1. Sistem Konsensi atau lazim disebut Kontrak 5A (berlaku pada zaman
Pemerintahan Hindia Belanda)
Sistem Konsensi merupakan sistem dimana dalam pengelolaan minyak dan
gas bumi kepada perusahaan pertambangan diberikan kuasa pertambangan dan
hak untuk menguasai hak atas tanah. Jadi, hak-hak yang dinikmati oleh
perusahaan pertambangan minyak dan gas bumi adalah:
a. Kuasa pertambangan
b. Hak atas tanah
2. Perjanjian Karya (berlaku pada tahun 1960-1963)
Dalam sistem ini, perusahaan pertambangan minyak dan gas bumi hanya
diberi hak kuasa pertambangan saja, tidak meliputi hak atas tanah. Demikian pula
sebaliknya, pemegang hak atas tanah wajib mengizinkan pemegang kuasa
pertambangan untuk melaksanakan tugas yang bersangkutan dengan tanah
miliknya dengan menerima ganti kerugian.
3. Contract Production Sharing (tahun 1964 sampai dengan 2007)
Prinsip yang diatur dalam kontrak ini adalah pembagian hasil minyak dan
gas bumi antara badan pelaksana dengan badan usaha tetap sesuai dengan
kesepakatan kedua belah pihak. Konsep bagi hasil ini mulai dilaksanakan di
Indonesia sejak 1964 yang dilaksanakan berdasarkan UU Nomor 14 Tahun 1960,
tentang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi yaitu UU Nomor 8 Tahun 1971
tentang Pertamina.
53
Kontrak Bagi Hasil (PSC) telah mengalami beberapa generasi-generasi
kontrak. Kontrak Bagi Hasil dapat dibagi menjadi empat generasi yaitu :29
Masing - masing generasi mempunyai prinsip-prinsip yang berbeda antara
satu dengan yang lainnya. Prinsip- prinsip itu sebagai berikut :
a. Kontrak Production Sharing (KPS) Generasi I (1964-1977)
b. Kontrak Production Sharing (KPS) Generasi II (1978-1987)
c. Kontrak Production Sharing (KPS) Generasi III (1988-2002)
(Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi, 2002
d. Kontrak Production Sharing (KPS) Generasi IV (2002-2007)
30
1. Manajemen operasi berada di tangan Pertamina
a. Prinsip Kontrak Production Sharing (KPS) Generasi I (1904-1977)
Kontrak ini merupakan bentuk awal Kontrak Production pada tahun
1973/1974 terjadi lonjakan harga minyak di dunia, sehingga pemerintah
menetapkan kebijaksanaan bahwa sejak tahun 1974. Kontraktor wajib
melaksanakan pembayaran tambahan kepada Pemerintah. Prinsip-prinsip
Production Sharing (KPS) Generasi I adalah sebagai berikut:
2. Kontraktor menyediakan seluruh biaya operasi perminyakan
3. Kontraktor akan memperoleh kembali seluruh biaya operasinya dengan
ketentuan 40% setiap tahun
4. Dari 60% dibagi menjadi:
- Pertamina 60%
29 Salim HS, Opcit, hal 273 30. Ibid, Hal 272-277
54
- Kontraktor 35%
5. Pertamina membayar pajak pendapatan kontraktor kepada Pemerintah
6. Kontraktor wajib memenuhi kebutuhan Bahan Bakar Minyak (BBM) untuk
dalam negeri secara proporsional
(Maksimum 25% bagiannya) dan harga US$ 0,20 Barel
7. Semua peralatan dan fasilitas yang dibeli oleh kontraktor menjadi milik
Pertamina
8. Interest kontraktor ditawarkan kepada perusahaan negara Indonesia setelah
dinyatakan komersial
9. Sejak tahun 1974 dengan tahun 1977, kontraktor diwajibkan memberikan
tambahan pembayaran kepada Pemerintah.
b. Prinsip Kontrak Production Sharing (KPS) Generasi II (1978-1987)
Pada tahun 1976, Pemerintah Amerika Serikat mengeluarkan IRS Rulling,
yang antara lain menetapkan bahwa penyetoran 60% Net Operating Income KPS
(yang sesuai dengan UU Nomor 8 Tahun 1971 tentang Pertamina) merupakan
pembayaran pajak Pertamina dan Kontraktor) dianggap sebagai pembayaran
royalti, sehingga disarankan kontraktor membayar pajak secara langsung kepada
Pemerintah. Disamping itu, perlu diterapkan Generally Accept Accounting
Procedure (GAP) dimana pembatasan pengembalian biaya operasi (Cost
Recovery Celling) 40% tahun dihapuskan untuk KPS yang berproduksi dilakukan
amandemen.
55
Prinsip-prinsip pokok sistem kontrak bagi hasil (KPS) Generasi II (1978-
1987) disajikan sebagai berikut :
a. Tidak ada pembatasan pengembalian biaya operasi yang diperhitungkan oleh
kontraktor.
b. Setelah dikurangi biaya-biaya, pembagian hasil menjadi minyak 55,91% untuk
Pertamina, 34,09% untuk Kontraktor, sedangkan gas 31,80% untuk Pertamina,
68,20% untuk Kontraktor.
c. Kontraktor membayar pajak 50% secara langsung kepada Pemerintah
d. Kontraktor mendapat insentif, yaitu harga ekspor penuh minyak mentah
Domestic Market Obligation (DMO) setelah lima tahun pertama produksi.
c. Prinsip Kontrak Production Sharing (KPS) Generasi III (1988-2002)
Pada tahun 1984, Pemerintah menetapkan peraturan perundang-undangan
pajak baru untuk Kontrak Production Sharing (KPS) dengan tarif 48%. Namun,
peraturan tersebut baru dapat diterapkan terhadap kontrak bagi hasil yang
ditandatangani pada tahun 1988 karena dalam perundang-undangan yang
dilakukan, pihak Kontraktor masih mempunyai kecenderungan untuk
menggunakan peraturan perpajakan yang lama. Dengan demikian, pembagian
hasil berubah menjadi minyak 71,15% untuk Pertamina, 28,85 % untuk
Kontraktor, gas 42,31% untuk Pertamina, 57,69% untuk Kontraktor. Setelah
dikurangi pajak, maka komposisi pembagian hasilnya untuk masing-masing pihak
sebagai berikut :
a. Minyak 65% untuk Pertamina, 15% untuk kontraktor
b. Gas 70% untuk Pertamina, dan 30% untuk kontraktor
56
d. Prinsip Kontrak Production Sharing (KPS) Generasi IV (2002-2007)
Momentum dimulainya Kontrak Production Sharing (KPS) Generasi IV,
yaitu pada saat diberlakukannya UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan
Gas Bumi. Struktur dan prinsip bagi hasil dalam undang-undang ini berbeda
dengan undang-undang yang lama. Pada undang-undang yang lama, yang menjadi
para pihak adalah Pertamina dan Kontraktor. Sedangkan dalam undang-undang
Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas bumi, maka yang menjadi para
pihaknya adalah badan pelaksana dengan badan usaha.
Badan pelaksana ini terpisah dengan Pertamina. Badan pelaksana ini telah
terbentuk pada bulan Agustus 2002 dengan nama Badan Pelaksana Hulu Minyak
dan Gas Bumi (BP Migas), yang dikepalai oleh Kardaya Warnika.31
Di dalam undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 tidak diatur secara khusus
tentang komposisi pembagian hasil antara badan pelaksana dengan badan usaha
tetap. Pembagian ini akan diatur lebih lanjut dalam peraturan yang lebih rendah
serta dituangkan di dalam Kontrak Production Sharing (KPS). Apabila kita
mengacu kepada Pasal 66 ayat (20) UU Nomor 22 Tahun 2001, maka jelas di
dalam pasal ini disebutkan bahwa segala peraturan pelaksanaan dari undang-
undang tidak diatur secara khusus tentang komposisi pembagian hasil antara
badan pelaksana dengan badan usaha tetap. Pembagian ini akan diatur lebih lanjut
didalam peraturan yang lebih rendah serta dituangkan dalam Kontrak Production
Sharing (KPS). Apabila kita mengacu pada Pasal 66 ayat (2) UU Nomor 8 Tahun
1971 tentang Pertamina masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau
31 Sumber: dari Wikipwdia Indonesia (www.google.com).
57
belum diganti dengan peraturan yang baru berdasarkan undang-undang ini. Di
dalam Pasal 16 Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 1994 tentang Syarat-syarat
dan Pedoman Kerjasama Kontrak Bagi Hasil Minyak dan Gas Bumi ditentukan
bahwa yang menetapkan pembagian hasil itu adalah Menteri Pertambangan dan
Energi. Apabila digunakan ukuran pada Generasi III, pembagian hasilnya adalah
sebagai berikut :
a. Minyak : 85% untuk Badan Pelaksana dan 15% untuk Badan Usaha atau
Badan Usaha Tetap.
b. Gas : 70% untuk Badan Pelaksana dan 30% untuk Badan Tetap.
Dalam undang-undang ini juga diatur tentang penyerahan pembagian hak
Badan Usaha atau Badan Usaha Tetap. Untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri
paling banyak 25% (Pasal 22 UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas
Bumi). Setiap generasi Kontrak Production Sharing ternyata memiliki pembagian
hasil yang berbeda antara Pertamina dengan Kontraktor. Perbedaan ini dapat
dilihat berikut ini :
1. Pada Kontrak Production Sharing (KPS) Generasi I (1904-1977), pembagian
hasil untuk minyak 60% dibagi menjadi 65% dan kontraktor 35%.
2. Pada Kontrak Production Sharing (KPS) Generasi II (1978-1987) setelah
dikurangi biaya-biaya, pembagian hasil menjadi minyak 65,915 untuk
Pertamina, 34,09% untuk Kontraktor, sementara gas 31,80% untuk Pertamina,
68,20% untuk Kontraktor.
3. Pada Kontrak Production Sharing (KPS) Generasi III (1998-2002) komposisi
pembagian hasilnya untuk masing-masing pihak, antara lain:
58
a. Minyak 65% untuk Pertamina, 15% untuk Kontraktor
b. Gas 70% untuk Pertamina dan 30% untuk Kontraktor
4. Prinsip Kontrak Production Sharing (KPS) Generasi IV (2002-2007)
Komposisi pembagian hasilnya untuk masing-masing pihak adalah :
a. Minyak 85% untuk Badan Pelaksana, 155% untuk Badan Usaha dan atau
Badan Usaha Tetap
b. Gas 70% untuk Badan Pelaksana, dan 30% untuk Badan Usaha dan atau
Badan Usaha Tetap 32
1. Undang-undang No.14 PP Tahun 1960 tentang Pertambangan Minyak dan
Gas Bumi
2. Landasan Hukum dan Prosedur Sistem Kontrak Bagi Hasil
Landasan hukum yang mengatur tentang kontrak bagi hasil di bidang
pertambangan minyak bisa kita lihat melalui peraturan perundang-undangan
berikut ini:
2. Undang-undang No.15 Tahun 1962 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-undang No. 2 Thn 1962 tentang Kewajiban Perusahaan
Minyak Memenuhi Kebutuhan Dalam Negeri
3. Undang-undang No.8 Thn 1971 tentang Pertamina yaitu Undang-undang
No.10 Tahun 1974, tentang Perubahan Undang-undang No. 8 Tahun 1971
tentang Pertamina
4. Undang-undang No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi
32. Salim HS, Opcit, Hal 275-277.
59
5. Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 1982 tentang Kewajiban dan Tatacara
Penyetoran Pendapatan Pemerintah dan Hasil Operasi Pertamina sendiri dan
Kontrak Production Sharing
6. Peraturan Pemerintah No. 35 Tahun 1994 tentang Syarat-syarat dan Pedoman
Kerjasama Kontrak Bagi Hasil Minyak dan Gas Bumi
Setelah UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi
diberlakukan, Undang-undang No. 44 Tahun 1960 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 2 Tahun 1952 tentang Kewajiban
Perusahaan Minyak Memenuhi Kebutuhan Dalam Negeri, Undang-undang No. 8
Tahun 1971 tentang Pertamina, UU Nomor 10 Tahun 1974 tentang Perubahan UU
Nomor 8 Tahun 1971 Pertamina tidak berlaku lagi, namun peraturan-peraturan
pelaksanaan dari keempat undang-undang tersebut tetap berlaku sepanjang tidak
bertentangan atau belum diganti dengan peraturan baru.
Berdasarkan UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas bumi,
pada dasarnya kontrak kerjasama dibidang minyak dan gas bumi dapat dibedakan
menjadi 2 (dua) macam yaitu :
a. Kontrak Bagi Hasil
b. Bentuk kerjasama lainnya
Di dalam praktiknya, bentuk kerjasama lain antara Pertamina dan
perusahaan dapat dibagi menjadi 4 (empat) macam yaitu :
1. Perjanjian Karya, yaitu kerjasama antara perusahaan Negara minyak dan
eksplorasi dan eksploitasi minyak dan gas bumi
2. Technical Assistance Contract atau disebut juga perjanjian bantuan teknik
60
merupakan kerjasama antara Pertamina dengan perusahaan swasta dalam
rangka merehabilitasi sumur-sumur atau lapangan minyak yang ditinggalkan
dalam kuasa pertambangan pertamina
3. Kontrak Enchaced Oil Recovery (EOR), yaitu kerjasama antara Pertamina
dengan perusahaan swasta dalam rangka meningkatkan produksi minyak
pada sumur dan lapangan minyak yang masih dioperasikan pertamina dan
sudah mengalami penurunan produksi dengan menggunakan teknologi
tinggi meliputi secondary dan tertiary recovery
4. Kontrak Operasi Bersama (KOB), yaitu kerjasama antara Pertamina dan
perusahaan swasta dalam rangka eksplorasi dan eksploitasi panas bumi
untuk pembangkit tenaga listrik 33
Di samping itu masih ada kerjasama lainnya, yaitu kerjasama bidang migas
hilir. Kerjasama ini dilakukan antara Pertamina dengan perusahaan swasta. Objek
kerja sama di bidang hilir, yaitu usaha pemurnian dan pengolahan minyak dan gas
bumi. Kontrak bagi hasil merupakan kontrak yang utama, sedangkan kontrak
lainnya merupakan pengembangan dari kontrak bagi hasil.
Kegiatan di bidang minyak dan gas bumi dapat dibagi 2 (dua) macam,
yaitu kegiatan usaha hulu dan kegiatan usaha hilir. Kegiatan usaha hilir
merupakan kegiatan yang berintikan atau kegiatan yang bertumpu pada kegiatan
usaha pengolahan, pengangkutan, penyimpanan dan/atau niaga (Pasal 1 angka
(10) UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas bumi). Kegiatan usaha
33. Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi, Data dan Informasi Minyak dan Gas Bumi, Jakarta, 2000, hal 104-112.
61
hilir dilaksanakan dengan izin usaha. Izin usaha ini diberikan kepada badan usaha
untuk melaksanakan pengolahan, pengangkutan, penyimpanan dan atau niaga.
Tujuan pemberian izin usaha ini adalah untuk memperoleh keuntungan
atau laba. Kegiatan usaha hulu merupakan kegiatan usaha yang berintikan atau
bertumpu pada kegiatan usaha eksplorasi dan eksploitasi. Kegiatan usaha hulu
dituangkan dalam kontrak bagi hasil. Prosedur yang ditempuh untuk dapat
melakukan usaha hulu, adalah sebagai berikut :34
Di dalam kontrak bagi hasil, memuat tiga persyaratan pokok, yaitu :
a. Hanya dapat dilakukan oleh badan usaha atau bentuk usaha tetap
b. Kegiatan usaha ini didasarkan pada kontrak bagi hasil
c. Tujuan penuangan berbagai kewajiban dalam persyaratan kontrak adalah
untuk mempermudah pengendalian kegiatan usaha hulu dan didasarkan juga
pada peraturan perundang-undangan lainnya
d. Setiap kontrak kerjasama yang telah ditandatangani kedua belah pihak,
salinan kontraknya dikirim kepada DPR RI, khususnya pada komisi yang
membidangi minyak dan gas bumi
35
a. Kepemilikan sumber daya tetap di tangan Pemerintah sampai pada titik
penyerahan
b. Pengendalian manajemen operasi berada pada badan pelaksana.
c. Modal dan resiko seluruhnya ditanggung badan usaha atau badan usaha
tetap.
34. Salim, HS, Opcit, Hal 281-282 35. Ibid, Hal 282
62
3. Bentuk dan Substansi Kontrak Production Sharing.
Bentuk kontrak bagi hasil berbentuk tertulis. Kontrak itu dalam bentuk akta
di bawah tangan, yaitu dibuat antara badan pelaksana dengan badan usaha
dan/atau badan usaha tetap. Sementara itu, substansi yang harus dimuat dalam
kontrak bagi hasil telah ditentukan dalam Pasal 11 ayat (3) UU Nomor 22 Tahun
2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.
Kontrak bagi hasil wajib memuat paling sedikit ketentuan-ketentuan pokok
antara lain :36
13. Pelaporan yang diperlukan
1. Penerimaan Negara
2. Wilayah kerja dan pengembaliannya
3. Kewajiban pengeluaran dana
4. Perpindahan pemilikan hasil produksi minyak dan gas bumi
5. Jangka waktu dan kondisi perpanjangan kontrak
6. Penyelesaian perselisihan
7. Kewajiban pemasokan minyak bumi dan/atau gas bumi untuk kebutuhan
dalam negeri
8. Berakhirnya kontrak
9. Kewajiban pasca operasi pertambangan
10. Keselamatan dan kesehatan kerja
11. Pengelolaan lingkungan hidup
12. Pengalihan dan kewajiban
36 . Ibid, Hal 283-284
63
14. Rencana pengembangan lapangan
15. Pengutamaan pemanfaatan barang dan jasa dalam negeri
16. Pengembangan masyarakat sekitarnya dan jaminan hak-hak masyarakat adat
17. Pengutamaan tenaga kerja Indonesia.
4. Jangka Waktu Kontrak Bagi Hasil
Jangka waktu kontrak bagi hasil telah ditentukan dalam Pasal 14 sampai
dengan Pasal 15 Undang-undang No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas
Bumi. Jangka waktu kontrak tersebut paling lama 30 (tiga puluh tahun) sejak
ditandatanganinya. Jangka waktu itu dapat diperpanjang untuk jangka waktu 20
(dua puluh tahun). Jangka waktu itu terdiri dari jangka waktu eksploitasi dan
eksplorasi.
Eksplorasi adalah suatu kegiatan yang bertujuan untuk memperoleh
informasi mengenai kondisi geologi untuk menemukan dan memperoleh
perkirakan cadangan minyak dan gas bumi di wilayah kerja yang ditentukan.
Jangka waktu kegiatan eksplorasi dilaksanakan enam tahun dan dapat
diperpanjang hanya satu kali periode yang dilaksanakan paling lama empat tahun.
Jadi, total jangka waktu eksplorasi adalah selama sepuluh tahun. Eksploitasi
adalah suatu rangkaian kegiatan yang bertujuan untuk menghasilkan minyak dan
gas bumi dari wilayah kerja yang ditentukan yang terdiri dari pengeboran dan
penyelesaian sumur, pembangunan sarana pengangkutan, penyimpanan, dan
pengolahan untuk pemisahan dan pemurnian minyak dan gas bumi di lapangan
serta kegiatan lain yang mendukung. Jangka waktu kegiatan eksplorasi pertama
64
selama 25 (dua puluh lima tahun) ditambah dengan perpanjangan selama dua
puluh tahun. Jadi, total jangka waktu kegiatan eksplorasi selama 45 (empat puluh
lima tahun).37
37 Salim HS, Ibid, Hal 296
65
BAB III
GAMBARAN UMUM TENTANG INDUSTRI PERMINYAKAN DI INDONESIA
A. Sejarah Singkat Industri Perminyakan di Indonesia
III. A.1. Pada Masa Pra Kemerdekaan.
Ditahun 1880-an, penduduk Telaga Tunggal secara tidak sengaja
menemukan rembesan minyak yang menggenangi telaga dan menghitami rawa-
rawa. Masa itu, Kesultanan Langkat sudah dikenal dunia sebagai penghasil
tembakau terbaik, sehingga temuan yang tak disengaja itu cepat tercium para
pengusaha tembakau asal Belanda.
Adalah Jans Zijlker pada tahun 1883 mulai mencoba melakukan
pengeboran di beberapa tempat yang berdekatan dengan lokasi rembesan minyak
(oil sheep). Diluar dugaan, minyak mentah (crude oil) yang keluar dari bumi
Tanjung Katung ini memiliki kualitas sangat baik, sehingga dilakukan
pembentukan badan usaha baru agar dapat diproduksi secara komersial. Kerajaan
Belanda turun tangan untuk memenuhi kebutuhan dana yang tidak sedikit,
sekaligus meminta konsensi kepada Sultan Langkat. Konsesi itu bernama Konsesi
Telaga Said. Pada tahun-tahun, berikutnya Zijlker terus melakukan pemboran di
beberapa lokasi di Langkat, sehingga ditemukannya lapangan minyak yang cukup
besar di Telaga Tunggal pada tahun 1885. Penemuannya ini merupakan tonggak
sejarah industri perminyakan dunia kala itu.
Sebenarnya berdasarkan data, pencarian minyak dan gas bumi di Indonesia
telah dimulai pada abad ke-19 tepatnya pada tahun 1871, yaitu dengan
66
dilakukannya pemboran di beberapa titik sumur di daerah Majalengka-Jawa Barat
oleh seorang pengusaha berkebangsaan Belanda bernama Jan Reerink, namun
belum berhasil menemukan cadangan minyak bumi seperti yang diharapkan.
Walau demikian, pada tahun-tahun berikutnya pencarian minyak bumi tetap
menarik perhatian para pengusaha Belanda lainnya.
Lapangan Ledok dan Cepu di Jawa Tengah ditemukan pada tahun 1901
penemuan lapangan ini sekaligus diikuti dengan pembangunan kilang minyak di
Cepu untuk mengolah minyak mentah dari lapangan-lapangan minyak tersebut,
yang sekaligus merupakan kilang minyak pertama di Indonesia.
Pada tanggal 16 Juni 1890, berdirilah Koninklijke Nederlansche Petroleum
Company (KNPC) yang berpusat di Pangkalan Brandan. Selain mengeksploitasi
minyak mentah dari lapangan-lapangan minyak di Langkat, KNPC juga mengolah
dan sekaligus memasarkan produknya. Dengan manajemen yang baik, usaha
KNPC yang juga dikenal dengan sebutan Royal Ducth Petroleum Company pada
tahun 1892 berhasil membangun kilang minyak di Pangkalan Brandan beserta
fasilitas penunjang lainnya.
Pada tahun 1894, di Balikpapan Kalimantan Timur juga dibangun kilang
minyak oleh Shell Transport and Trading Co milik Marcus Samuel pengusaha
berkebangsaan Inggris. Penemuan demi penemuan mendorong Pemerintah Hindia
Belanda mulai mengatur pemberian konsesi kepada pengusaha berdasarkan
undang-undang untuk mengalihkan kewenangan yang sebelumnya dimiliki oleh
para raja dan sultan. Pada tahun 1899, Undang-undang Pertambangan Hindia
Belanda (Indische Mijn Wet) selesai dibuat dan kemudian diundangkan. Undang-
67
undang Pertambangan ini merupakan awal dari kolonialisme Belanda atas
sumber-sumber daya alam strategis. Para raja dan sultan yang tidak setuju atas
kebijakan pemerintah Hindia Belanda ini tidak memperoleh bagian keuntungan.
Jadi Undang-Undang Pertambangan ini bersifat memaksa para penguasa pribumi
untuk tunduk pada kebijakan yang dibuat oleh Pemerintah Hindia Belanda.
Pada Tanggal 24 Februari 1907, KNPC yang lebih mendominasi sektor
hulu dan shell Transport and Trading Co, yang menguasai pemasaran dan
kegiatan hilir sepakat merger, dengan komposisi saham 60% : 40%, dan
selanjutnya diubah menjadi namanya menjadi The Royal Ducth Shell Group, yang
kini lebih dikenal dengan sebutan SHELL, perusahaan raksasa dengan logo
bergambar fosil kerang laut.38
Walaupun pada saat itu Shell telah menguasai produksi dan pengolahan
minyak di Indonesia, akan tetapi di bidang pemasaran, khususnya di Timur Jauh,
mereka masih harus menghadapi persaingan yang ketat dengan Standard Oil.
Standard Oil telah masuk ke pasar Timur jauh sebelum Shell masuk ke kawasan
tersebut. Persaingan antara Shell dan Standard Oil ini mewarnai perkembangan
industri minyak di Indonesia dalam beberapa dekade berikutnya.
39
Pada tahun 1912, Standard Oil mulai beroperasi di Indonesia dan
mendirikan anak perusahaannya yang didirikan berdasarkan hukum Hindia
Belanda dengan nama Nederlansche Koloniale Petroleum Maatschappij (NKPM)
dengan membeli izin eksplorasi yang masih berlaku untuk lapangan Talang Akar,
Pendopo, Sumatera Selatan.
38. Energi Antanusa, Telaga Said Tonggak Sejarah Perminyakan,Edisi 04 Tahun II, Januari
2008 Hal 19 39 . Rudi M. Simamora, Hukum Minyak dan Gas Bumi, Penerbit Djambatan Jakarta 2000.Hal 14
68
Di tahun 1904, Indische Mijn Wet dirubah lagi setelah juga dirubah pada
Thn 1900. Perubahan tersebut merefleksikan kondisi persaingan yang ketat antara
Shell dan Standard Oil dalam perebutan kekuasaan di industri perminyakan di
Indonesia dengan dihentikannya pemberian konsesi minyak baru.
Pada tahun 1936, Standard of California menjalin aliansi strategis
internasional dengan Texas Company (Texaco) dengan menggabung hampir
seluruh aset mereka di Asia. Melalui jalinan kerjasama tersebut, kepemilikan atas
NPPM dibagi dua, antara dua raksasa minyak Amerika tersebut dan NPPM
menjadi bagian dari group besar yang bernama California Texas Oil Company
(Caltex)
Caltex memulai pengeboran eksplorasinya pada pertengahan tahun 1939 di
daerah Sebanga, sekitar 65 km di Utara Pekanbaru. Pengeboran tersebut
menunjukkan hasil positif, daerah terebut mengandung minyak. Di Duri, Caltex
juga menemukan minyak akan tetapi prioritas tetap Sebanga
Ketika Caltex bersiap melakukan pengeboran lanjutan baik untuk
eksplorasi maupun pengembangan, unit pengeboran telah dimobilisasi. Pada saat
yang bersamaan, invasi Jepang mulai masuk ke Sumatera. Invasi Jepang tersebut
menghentikan semua rencana pengembangan Caltex atas penemuan minyaknya
dan Jepanglah yang kemudian melanjutkannya. Unit pengeboran yang telah
dimobilisasi tersebut kemudian dipergunakan Jepang untuk melakukan
pengeboran.40
Menjelang Perang Dunia ke-II, Industri Minyak di Indonesia praktis
40. Ibid, Hal 14-18
69
dikuasai oleh Shell dan SPVM. Pada waktu itu, Caltex belum mulai berproduksi
daerah Operasi Shell mulai dari Sumatera Utara meluas sampai ke Irian Jaya
kecuali daerah Sumatera Tengah. Sedangkan SPVM beroperasi hanya di daerah
Sumatera Tengah dan Sumatera Selatan. Penyerbuan Jepang berlangsung sangat
cepat sehingga mereka berhasil menduduki instalasi dan fasilitas perminyakan
yang ada dan menempatkan operasi perminyakan yang dikuasai dibawah
komando militer.
Dengan pengetahuan dan pengalaman perminyakan yang kurang memadai,
Jepang mencoba untuk meneruskan operasi perminyakan yang masih ada,
sementara yang telah hancur direhabilitasi sedapat mungkin. Untuk itu, potensi
tenaga kerja Indonesia yang dahulunya pernah bekerja di perminyakan dikerahkan
semaksimal mungkin. Dalam kondisi sedemikian rupa, Jepang terpaksa harus
mendidik dan meningkatkan keahlian tenaga kerja Indonesia dengan mendirikan
dua lembaga pendidikan dan pelatihan. Terlepas dari kualitas yang dihasilkan,
pelatihan tersebut merupakan langkah besar dalam peningkatan dan
pengembangan sumber daya manusia di industri perminyakan di Indonesia.41
Kondisi industri minyak pada saat itu mengalami masa-masa yang sangat
sulit. Kapasitas produksi menurun tajam sebagai akibat pembumihangusan
fasilitas perminyakan dan lambatnya proses rehabilitasi.
42
Kepergian Belanda yang membawa serta teknologi, pengetahuan dan skill
tidak dapat digantikan oleh Jepang yang kurang memahami seluk beluk operasi
41 Ibid, Hal 19- 20 42. Salim. HS, Ibid, Hal 21
70
perminyakan, sehingga tenaga perminyakan Indonesia dipaksa oleh keadaan untuk
mengambil peran yang berarti. Hal ini berakibat positif bagi peningkatan skill
tenaga perminyakan di Indonesia saat itu. Pelajaran dan pengalaman yang didapat
telah menumbuhkan percaya diri dan meningkatkan semangat untuk merdeka,
termasuk untuk merdeka dalam mengelola sumber kekayaan alam negeri
sendiri.43
Proklamasi diartikan secara politis dan kemerdekaan untuk mengelola dan
menggunakan sumber daya alam minyak dan gas bumi sebesar-besarnya untuk
kemamuran rakyat. Tujuan ini diformulasikan ke dalam Pasal 33 ayat (3) UUD
1945 (sesudah Amandemen UUD 1945).
III.A.2. Periode 1945-1971
44
Perebutan di sektor minyak dan gas bumi di Indonesia digerakkan oleh
Laskar Minyak yang terhimpun dalam Himpunan Tenaga Laskar Minyak yang
memiliki pengalaman di bidang perminyakan pada masa pendudukan Belanda dan
Jepang. Meskipun Indonesia telah merdeka, namun Jepang tidak mau
menyerahkan kekuasaan dan operasi lapangan minyak kepada Indonesia, sehingga
Laskar Minyak harus berjuang untuk mengambilalihnya. Di saat yang bersamaan,
pasukan sekutu mulai masuk ke Indonesia dan ingin merebut kekuasaan Jepang
atas Indonesia. Hal ini membuat situasi menjadi semakin kacau.
45
Perusahaan Tambang Minyak Negara Republik Indonesia (PTMNRI)
43. Loccit.. 44. Siska Rahman, Peranan Kontrak Production Sharing dalam Industri Minyak dan Gas
Bumi (Studi Kasus BPMIGAS), Skripsi Medan FH-USU. 45. Rudi M Simamora, Opcit Hal 22 46 . Ibid, Hal 22-23
71
adalah perusahaan minyak nasional yang pertama. Tugasnya adalah melanjutkan
pengoperasian minyak nasional yang pertama. PTMNRI berubah namanya
menjadi PT. Tambang Sumatera Utara (PT. TMSU) pada tahun 1954.
Di Sumatera Selatan, terjadi penyerahan lapangan minyak dengan sukarela
dan tanpa perlawanan fisik karena perwakilan Pemerintah pusat Indonesia untuk
daerah Sumatera Selatan berhasil menyakinkan Jepang. Kemudian, untuk
pengoperasiannya dibentuklah Perusahaan Minyak Republik Indonesia
(PERMIRI).46
Rencana penyatuan ini tidak sempat dilaksanakan karena bentuk Negara
dirubah kembali menjadi bentuk Negara kesatuan. Pemerintah yang baru
menunjuk Soemitro Djojohadikusumo sebagai Menteri Perdagangan dan Industri
yang menangani pula sektor minyak dan gas bumi. Ekonom yang berpendidikan
barat ini mengarahkan kebijaksanaannya untuk menarik investor ke Indonesia.
Pemerintah juga mendirikan perusahaan di Jawa Tengah, yaitu Perusahaan
Tambang Minyak Nasional (PTMN). PTMN memilik tugas untuk menjalankan
operasi perminyakan didaerah Kawengan, Ngelobo, Semanggi, Ledok, Cepu dan
lapangan minyak di Bongas, Jawa Barat. Daerah-daerah ini merupakan bekas
lapangan minyak Shell.
Perubahan strategi perjuangan dari evolusi ke rehabilitasi dan konsolidasi
ditandai dengan adanya pengakuan kedaulatan. Bentuk negara kesatuan berubah
menjadi serikat sehingga dirancang “Rencana Penyatuan” oleh Ir. Anondo yang
menempatkan sektor minyak dan gas bumi di bawah kendali Pemerintah pusat.
47. Ibid, hal 25
72
Dalam pelaksanaannya, program ini mengalami banyak benturan dengan
pendekatan yang diambil oleh Somemitro Djojodihadikusumo.
Pada bulan Agustus 1951, DPR memberikan perhatian yang serius
terhadap sektor minyak dan gas bumi. Mr. Mohammad Hasan, sebagai Ketua
Komisi Perdagangan dan Industri melakukan penelitian dan sampai pada
kesimpulan, yaitu :
1. Diyakini penuh dengan berbagai alasan yang kuat, bahwa ladang-ladang
minyak di Sumatera Utara dapat dinasionalisasi dengan pembayaran ganti rugi
yang sedemikian rupa
2. Indonesia tidak mendapatkan pembagian yang setimpal atas operasi
perusahaan minyak asing menurut perjanjian konsesi dan peraturan perjanjian
yang berlaku47
Setelah konsesi Mr. Mohammad Hassan disebarluaskan ke publik, antara
Mr. Mohammad Hassan dan manajemen perusahaan minyak asing diadakan
pembicaraan. Pihak perusahaan asing menawarkan pembagian keuntungan 50%-
50% yang kemudian dijawab Mr. Mohammad Hassan tentang siapa yang akan
menanggung biaya operasi. Kemudian, Mr. Mohammad Hassan mengusulkan
agar pembagian 50%-50% diambil dari hasil produksi, tanpa ikut serta dalam
pembiayaan operasi. Hasil pembicaraan inilah yang menjadi platform
pembicaraan dalam regenoisasi Konsesi Stanvac, Caltex dan Shell.
Akhir dari negoisasi panjang yang berlansung lebih dari 2 tahun, akhirnya
pada Maret 1954, Pemerintah dan Stanvac mencapai kata sepakat untuk
73
memperbaharui Konsesi Stanvac dengan ketentuan sebagai berikut :48
1. Stanvac akan menginvestasikan dana sebesar US$ 70-80 juta yang diambil
dari dana luar negeri
2. Untuk memfasilitasi penanaman modal tersebut, kepada Stanvac diberikan
pembebasan bea masuk untuk semua impor barang modal.
3. Penerapan perpajakan yang akhirnya menghasilkan pembagian keuntungan
50%-50%
4. Upaya Indonesiasi karyawan akan dilakukan sebesar mungkin
5. Jangka waktu konsesi untuk 4 tahun
Sebagaimana direncanakan pada tahun 1960, lahirlah UU Nomor 44 Prp
Tahun 1960 yang mengamanatkan pengusahaan pertambangan minyak dan gas
bumi hanya dilaksanakan oleh perusahaan Negara. Selanjutnya, Pasal enam (6)
undang-undang tersebut menetapkan apabila diperlukan Menteri dapat menunjuk
pihak lain sebagai konraktor untuk perusahaan Negara guna melaksanakan
pekerjaan yang belum atau tidak dapat dilaksanakan sendiri oleh perusahaan
negara. Maksudnya supaya semua pemegang konsesi pertambangan minyak yang
lama, yaitu Shell, Stanvac dan Caltex beralih menjadi kontraktor perusahaan
Negara.49
Dalam implementasinya, tentunya hal tersebut tidak mudah dan mendapat
tantangan dari ketiga perusahaan tersebut. Setelah melalui perundingan yang
panjang, akhirnya disepakati juga persetujuan kontrak karya. Ketiga perusahaan
48 . Ibid, hal 26 49 . Siska Rahman, Opcit, Hal 56
74
tersebut sejak itu menjadi berubah statusnya menjadi kontraktor dan perusahaan
dari perusahaan Negara. Shell kontraktornya PN. PERMINA dan Caltex
kontraktornya PN. PERTAMIN.50
Pada tanggal 1 Januari 1959, NV NIAM yang kepemilikannya 50%
Pemerintah dan 50% Shell dirubah namanya menjadi PT. Pertambangan Minyak
di Indonesia (PT. Permindo). Ketika PT Permindo berakhir, maka dibentuklah
Perusahaan Negara Pertambangan Minyak Indonesia (PN. PERTAMIN) untuk
menggantikan PT. PERMINDO berdasarkan PP Nomor 3 Tahun 1961.
Salah satu kesepakatan penting lainnya dalam kontrak karya diatas adalah
disetujuinya penjualan semua fasilitas pengolahan minyak bumi dan semua harta
benda ketiga perusahaan tersebut sepanjang mengenai pemasaran dan distribusi
dalam negeri dalam waktu dengan harga dan cara tertentu.
Penandatanganan kontrak karya merupakan tonggak sejarah penting dalam
meletakkan posisi Negara (Perusahaan Negara) pada posisi yang lebih dominan
terhadap perusahaan asing yang dengan kontrak karya mereka hanya menjadi
kontraktor dari perusahaan Negara yang sebelumnya posisi mereka sebagai
pemilik mineral interest, Negara hanya menjadi penonton. Mineral Interest
kembali menjadi milik bangsa Indonesia setelah lepas dari genggaman sejak
diundangkannya Indische Mijn Wet 1899.
51
Di Sumatera, pada tanggal 10 Desember 1957 PT. TMSU juga dirubah
menjadi PT. Perusahaan Minyak Nasional (PT. PERMINA). Kemudian sejak
tanggal 1 Juli 1961, berdasarkan PP Nomor 198 Tahun 1961, PT. PERMINA
50 Rudi M Simamora, Opcit, h 51. Ibid, Hal 27- 28
75
dirubah menjadi PN. PERMINA untuk menyesuaikan dengan ketentuan UU
Nomor 19 Prp Tahun 1960 dan UU Nomor 44 Prp Tahun 1960.
Di bidang pemasaran, pada tanggal 10 Desember 1957 ditandatangani
kontrak penjualan minyak mentah dengan Refining Associates of Canada Ltd.
(REFICAN) dan merupakan kontrak penjualan minyak mentah Indonesia pertama
yang pengapalan ekspor perdananya dilakukan pada tanggal 24 Mei 1958.
Dalam bidang perlengkapan, mesin-mesin material dan bantuan teknis PT.
PERMINA telah mengadakan kerjasama dengan Kobayashi Group sebuah
konsorsium perusahaan Jepang secara kredit dan PT. PERMINA membayar
kembali dalam bentuk minyak mentah.52
Pada tanggal 4 Januari 1968, berdasarkan SK Menteri Urusan Minyak dan
Gas Bumi No.16/M/Migas/66, PN PERMIGAN dibubarkan. Seluruh asset
perusahaan diserahkan kepada Negara, dalam hal ini kepada Departemen Urusan
Minyak dan Gas Bumi Negara. Selanjutnya, lapangan dan pabrik pemurnian yang
ada di Cepu dimanfaatkan sebagai pusat pendidikan yang kemudian dikenal
dengan Akademi Minyak dan Gas Bumi (AKAMIGAS). Sedangkan fasilitas
Dalam rangka meningkatkan
kemampuan armada perkapalan, bulan Agustus 1959 PT. PERMINA membeli
dari CALTEX dua tanker jenis Shallow Draft masing-masing berukuran tiga (3)
ribu DWT dengan cara Bare Boat Hire Purchase.
Dengan demikian, maka pada pertengahan tahun 1960-an, seluruh asset
perminyakan gas bumi yang sedang beroperasi atau belum, namun sudah terikat
suatu perjanjian pertambangan telah kembali dikuasai oleh Pemerintah yang
mengelolanya dilakukan melalui tiga perusahaan, yaitu PN. PERTAMIN, PN.
PERMINA, PN. PERMIGAN.
52. Ibid, Hal 29
76
pemasaran diserahkan kepada PN. PERTAMIN dan fasilitas perusahaan
diserahkan kepada PN. PERMINA.
Puncak dari konsolidasi antara perusahaan-perusahaan Negara yang terlibat
dalam pengelolaan pengusahaan minyak dan gas bumi di Indonesia adalah dengan
dileburnya PN. PERTAMIN dan PN. PERMINA menjadi satu perusahaan yang
terintegrasi melalui wadah Perusahaan Negara Pertambangan Minyak dan Gas
Bumi Nasional (PN. PERTAMINA) berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 27
Tahun 1968.
Mengingat perkembangan dan kemajuan yang dicapai PN. PERTAMINA,
maka dipandang perlu untuk memberikan landasan kerja baru yang lebih baik
guna meningkatkan kemampuan dan hasil usaha selanjutnya. Untuk itu, pada
tanggal 15 September 1971 didirikanlah Perusahaan Pertambangan Minyak dan
Gas Bumi Negara (PERTAMINA) dengan berdasarkan UU Nomor 8 Tahun 1971,
jadilah Pertamina adalah satu-satunya perusahaan di Indonesia yang didirikan
berdasarkan undang-undang hingga saat ini.53
Maksud didirikannya Pertamina adalah untuk meningkatkan produktivitas,
efektivitas dan efesiensi operasi perminyakan nasional.
III.A.3. Periode 1971–sekarang
54 Pertamina menjalankan
perannya sebagai real player yang baik dalam Industri minyak dan gas bumi
secara nasional dan internasional. Pemberlakuan kontrak bagi hasil mengalami
pertumbuhan pesat karena beberapa faktor yaitu :55
53 Ibid, Hal 30. 54 . loccit 55 . Rudi. M. Simamora, Opcit, hal 32
a. Intensitasnya hubungan dengan para kontraktor
77
b. Sifat hubungan dengan para kontraktor
c. Kerjasama dengan orang asing yang menghasilkan teknologi muktahir
d. Kepercayaan kontraktor asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia
dengan cara penandatanganan kontrak bagi hasil
Kesuksesan besar Pertamina adalah pada tahun 1971 adalah menemukan
Lapangan Gas Arun dan Lapangan Badak pada tahun 1972. Kedua lapangan ini
memiliki kandungan gas yang optimal untuk pembangunan proyek pengembangan
Gas alam yang diolah menjadi Liquified Natural Gas (LNG) dan Liquified
Petoleum Gas (LPG). 56
Badan pelaksana adalah suatu badan yang dibentuk untuk melakukan
pengendalian kegiatan usaha hulu di bidang minyak dan gas bumi. Fungsi badan
pelaksana ini adalah melakukan pengawasan terhadap kegiatan usaha hulu agar
pengambilan sumber daya alam minyak dan gas bumi milik Negara dapat
memberikan manfaat dan penerimaan yang maksimal bagi Negara untuk sebesar-
Kontrak bagi hasil hanya diberikan kepada kegiatan usaha hulu. Kegiatan
usaha hulu ini meliputi eksplorasi dan eksploitasi. Sebelum berlakunya UU
Nomor 22 Tahun 2001, para pihak yang terkait dalam kontrak bagi hasil adalah
Pertamina dan Kontraktor. Kontraktor itu dapat berasal dari kontraktor dalam
negeri dan luar negeri. Dengan berlakunya UU Nomor 22 Tahun 2001, para pihak
yang terkait dalam kontrak bagi hasil, yaitu Negara yang diwakili oleh badan
pelaksana sedangkan pihak kedua atau kontraktornya adalah badan usaha dan atau
badan usaha tetap.
78
besarnya kemakmuran rakyat (Pasal 44 ayat (2) UU Nomor 22 Tahun 2001
tentang Minyak dan Gas Bumi, Pasal 10 Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2002
tentang Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi.57
Tugas badan pelaksana diatur dalam Pasal 44 ayat (3) UU Nomor 22 Tahun
2001 tentang Minyak dan Gas Jo. Pasal 11 Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun
2002 tentang Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi.
Tugas badan pelaksana, yaitu :
58
1. Memberikan pertimbangan kepada Menteri atas kebijaksanaannya dalam hal
penyiapan dan penawaran wilayah kerja serta kontrak kerja sama
2. Melaksanakan penandatangan kontrak kerjasama
3. Mengkaji dan menyampaikan rencana pengembangan lapangan yang
pertama kali akan diproduksikan dalam suatu wilayah kerja kepada Menteri
untuk mendapatkan persetujuan
4. Memberikan persetujuan rencana pengembangan lapangan selain yang
tercantum pada angka 3 di atas
5. Memberikan persetujuan rencana kerja dan anggaran
6. Melaksanakan pengawasan dan melaporkan kepada menteri mengenai
pelaksanaan kontrak kerja sama
7. Menunjuk penjual minyak bumi dan/atau gas bumi bagian Negara yang
dapat memberikan keuntungan sebesar-besarnya bagi Negara
57. Salim. HS, Hukum Pertambangan, Opcit, Hal 245. 58. Ibid, Hal 245-246
79
B. Sumber Hukum Perjanjian Minyak dan Gas Bumi di Indonesia.
Peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang minyak dan gas
bumi, dapat dilihat pada berbagai peraturan perundang-undangan ,yaitu :59
1. Undang-undang No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi
2. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 36 Tahun 2004 tentang
Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi
3. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 35 Tahun 2004 tentang
Kegiatan Usaha Hilir Minyak dan Gas Bumi
4. Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 1982 tentang Kewajiban dan Tatacara
Penyetoran Pendapatan Pemerintah dari Hasil operasi Pertamina sendiri dan
Kontrak Production Sharing.
5. Peraturan pemerintah No. 42 Tahun 2002 tentang Badan Pelaksana Kegiatan
Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi
6. Keputusan Presiden No. 42 Tahun 1989 tentang Kerjasama Pertamina dengan
Badan Usaha Pemurnian dan Pengolahan Minyak dan Gas Bumi.
C. Badan Pelaksana Usaha Hulu dan Hilir Minyak dan Gas Bumi.
Jenis kegiatan usaha minyak dan gas bumi dibagi menjadi 2 (dua) macam,
yaitu Kegiatan Usaha Hulu dan Kegiatan Usaha Hilir. Kegiatan Usaha Hulu
mencakup Eksplorasi dan Eksploitasi60 dan Kegiatan Usaha Hilir mencakup
Pengolahan, Pengangkutan, Penyimpanan dan Niaga.61
Kegiatan usaha hulu memakai rezim kontrak sedangkan kegiatan usaha
59. Sumber : Dinas Pertambangan dan Energi Pempropsu. 60. Salim.HS, Hukum Pertambangan, Opcit hal 238 61 . Ibid, Hal 241.
80
hilir menggunakan rezim perizinan. Kegiatan usaha hulu dilaksanakan dan
dikendalikan melalui Kontrak Kerja Sama yang merupakan kontrak bagi hasil
atau bentuk kontrak kerjasama lain dalam kegiatan eksplorasi dan eksploitasi yang
hasilnya dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat 62
Kedudukan badan pelaksana merupakan badan hukum milik Negara.
Badan hukum milik Negara mempunyai status sebagai subjek hukum milik
Negara dan juga merupakan subjek Hukum Perdata dan merupakan institusi yang
tidak mencari keuntungan serta dikelola secara professional.
Ketentuan hukum yang mengatur tentang badan pelaksana adalah Pasal 1
angka 23, Pasal 44 sampai dengan Pasal 45 UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang
Minyak dan Gas Bumi. Badan Pelaksana adalah suatu badan yang dibentuk untuk
melakukan pengendalian Kegiatan Usaha Hulu dibidang minyak dan gas bumi
(Pasal 1 angka 23 UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi).
63
62. Undang-undang No.22 Tahun 2001, Pasal 1 angka 19 63 . Ibid, Hal 245
Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi
(BPMIGAS) adalah lembaga yang dibentuk Pemerintah Republik Indonesia pada
tanggal 16 Juli 2002 sebagai pembina dan pengawas Kontraktor Kontrak
Kerjasama (KKKS) di dalam menjalankan kegiatan eksplorasi, eksploitasi dan
pemasaran migas Indonesia.
Dengan didirikannya lembaga ini melalui UU Nomor 22 Tahun 2001
tentang Minyak dan Gas Bumi serta PP Nomor 42 Tahun 2002 tentang
BPMIGAS, masalah pengawasan dan pembinaan kegiatan kontrak kerja sama
yang sebelumnya dikerjakan oleh Pertamina, selanjutnya ditangani langsung oleh
BPMIGAS sebagai wakil pemerintah.
81
Wewenang
Dalam menjalankan tugas, BPMIGAS memiliki wewenang : 64
1. Membina kerja sama dalam rangka terwujudnya integrasi dan sinkronisasi kegiatan operasional KKKS
2. Merumuskan kebijakan atas anggaran dan program kerja KKKS 3. Mengawasi kegiatan utama operasional kontraktor KKKS 4. Membina seluruh aset KKKS yang menjadi milik Negara 5. Melakukan koordinasi dengan pihak dan/atau instansi terkait yang
diperlukan dalam pelaksanaan Kegiatan Usaha Hulu Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) terdiri dari perusahaan luar dan
dalam negeri, serta joint-venture antara perusahaan luar dan dalam negeri. Daftar
ini selalu berkembang, mengikuti dari tender konsesi yang dilakukan oleh BP
Migas setiap tahunnya.65
Badan Pengatur diatur di dalam Pasal 1 angka 24, Pasal 8 ayat (4), Pasal
46 sampai dengan Pasal 49 UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas
Bumi. Badan pengatur adalah suatu badan yang dibentuk melakukan pengaturan
dan pengawasan terhadap penyediaan dan pendistribusian bahan bakar minyak
dan gas bumi pada kegiatan usaha hilir (Pasal 1 angka 24 UU Nomor 22 Tahun
2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.
66
1. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan penyediaan dan pendistribusian
bahan bakar minyak dan pengangkutan gas bumi melalui pipa. Ketentuan ini
dimaksudkan untuk melindungi kepentingan masyarakat konsumen terhadap
kelansungan penyediaan dan pendistribusian bahan bakar minyak di seluruh
Fungsi Badan Pengatur adalah sebagai berikut :
64 . Sumber dari: Wikipedia berbahasa Indonesia (www.google.com) 65 Http:/www.bpmigas.com/ Organisasi.asp 66 Salim, HS, Hukum Pertambangan, Opcit, Hal 247
82
Indonesia.
2. Melakukan pengaturan agar ketersediaan dan distribusi bahan bakar minyak
dan gas bumi yang ditetapkan Pemerintah dapat terjamin di seluruh wilayah
Negara Kesatuan RI
3. Meningkatkan pemanfaatan gas bumi di seluruh Indonesia
Tugas badan pengatur meliputi pengaturan dan penetapan mengenai :67
2. Pemanfaatan fasilitas pengangkutan dan penyimpanan bahan bakar minyak terutama ditujukan untuk daerah-daerah tertentu atau daerah terpencil yang mekanisme pasarnya belum dapat berjalan, sehingga fasilitas pengangkutan dan penyimpanan yang ada perlu diatur untuk dapat dimanfaatkan agar tercapai kondisi optimal dan tercapai harga yang serendah mungkin
1. Ketersediaan distribusi dan bahan bakar minyak dan Cadangan bahan bakar minyak nasional
3. Tarif pengangkutan gas bumi melalui pipa 4. Harga gas bumi untuk rumah tangga dan pelanggan kecil, rumah tangga
adalah setiap konsumen yang memanfaatkan gas bumi untuk keperluan rumah tangga
5. Pengusahaan transmisi dan distribusi gas bumi diatur oleh Badan Pengatur 6. Pengawasan dalam bidang-bidang pada angka 1 sampai dengan 6 A. Variable yang Berpengaruh terhadap Pembagian Hasil dalam Kontrak
Bagi Hasil Migas Ada 3 (tiga) yang mempengaruhi pembagian hasil dalam bidang migas
yaitu :68
1. Harga Migas
Bertambah tinggi harga migas bertambah besar bagian negara dan bagian
bersih kontraktor.
67 Ibid,Hal 248 68 Bambang Yuwono, Kepala Dinas Akuntansi Revenue BPMIGAS, Variable yang
Berpengaruh Terhadap Pembagian Hasil dalam Production Sharing Contract. Makalah ([email protected]).
83
2. Lifting
Bertambah besar Volume Lifting bertambah besar bagian negara dan bagian
bersih kontraktor.
3. Cost Recovery
Bertambah besar Cost Recovery bertambah berkurang bagian negara dan
bagian bersih kontraktor.
Keterangan :
III.D.1. Harga Migas
Bagan 1
Rumus Yang Dipakai Untuk Menentukan Harga Minyak Di Pasaran
Sumber : Rinto Pudyantoro (Sub Dinas Penerimaan Negara Dinas Akuntansi
Revenue- Divisi Operasi Finansial-BPMIGAS)
ICP (Indonesian Crude Pice) = Harga Minyak Mentah Indonesia
Old (cara Lama), rumusnya = 20 % APPI + 40% RIM + 40 % Platt
84
New (cara baru), rumusnya = 5 % RIM + 40 % Platt
APPI adalah Asian Petroleum Price Index
RIM adalah Para Pihak yang turut menentukan harga minyak, yaitu :
1. Producer, perusahaan yang produksi dan ekspor minyak mentah
2. Equity Holder - Perusahaan yang punya interest atau share lapangan minyak
(tapi bukan sebagai operator)
3. Oil Trader - Perusahaan yang kerjaannya beli dan jual minyak mentah di pasar
internasional
4. Oil Refiner – Perusahaan yang beli minyak mentah untuk diolah lebih lanjut
jadi petroleum products
PLATT : adalah patokan formula rata-rata harga minyak yang dijual di pasar
Singapura (mean of platts Singapore/ MOPS). plus alfa. Faktor alfa
adalah margin keuntungan plus biaya distribusi yang dikantongi
Pertamina. Alfa dihitung berdasarkan persentase dari MOPS. Semakin
tinggi harga MOPS, semakin besar pula alfa. 69
Berat jenis rendah : 0,65-0,75
Harga minyak ditentukan oleh berat jenisnya (specific grafity/derajat api)
di dalam kandungan minyak itu sendiri yang dapat diketahui setelah mengadakan
penelitian terlebih dahulu, dengan ketentuan semakin berat, berat jenisnya maka
harganya semakin murah dan begitu juga sebaliknya semakin ringan berat jenis
murah maka harganya semakin mahal.
Beberapa berat jenis minyak mentah di Indonesia, yaitu:
69. Sumber Benny Lubiantara,”PSC vs Non Cost recovery”, 30 Januari 2006 (www.google.com)
85
Berat jenis ringan : < 0,8
Berat jenis berat : > 0,8
Mengapa dikatakan berat karena ada kandungan jenis yang berat di
dalamnya, seperti:
1. Sulphur
2. Aspaltic
3. Parafin
Rumus Berat Jenis Minyak :
0,8 / 0,81 /
gr c SpGrgr c
=
Berat (Inpurities) banyak didalam kondisi jenis yang berat tadi, tetapi semua
jenis minyak mengandung tiga hal diatas (sulphur, aspaltic, parafin) hanya tingkat
kadarnya yang berbeda, semakin sedikit semakin baik/bagus dan hanya bisa
ditentukan melalui pengukuran berat jenis. 70
Adapun jenis minyak ada beberapa macam :
71
1. Arjuna
2. N.W Corner
3. Cinta
4. Widuri
5. Tanggulangin
6. Pangerungan
7. Madura
8. Mudi 70 Sumber: Wawancara dengan Divisi Minyak dan Gas Bumi Dinas Pertambangan dan
Energi Provinsi Sumatera Utara (Ir. Sumintarto) 71 B. Ceceliana, Perhitungan Realisasi Alokasi Lifting Minyak Mentah, 2007, BPMIGAS,
(Makalah)
86
9. Sukowati
10. Cepu
11. Jati Barang
12. Arun Cond.
13. NSC
14. Arbei
15. SLC
16. Duri
17. Lajang
18. Lirik (Ex.Stanvac)
19. Situ Panjang
20. Lalang
21. Belida
22. Sembilang
23. Belanak 24. Kerapu 25. Jambi 26. Ramba 27. Tempino 28. Mengoepeh 29. Geragai/Makmur 30. Geragai Cond 31. Bangko 32. Pendopo 33. KPS 34. Tap (Ex Stanvac) 35. Air Hitam 36. Makra 37. Rawa 38. Bentayan 39. Rimau/Tabuan
87
40. Air sedang 41. Pagerungan Ko 42. Tanjung 43. Bunyu 44. Mamburungan 45. Pam Sng2Mix 46. Badak 47. BRC 48. Sangatta 49. Handil Mix 50. Senipah Kona 51. Bekapai 52. Attaka 53. Tiaka 54. Lemun (bula)
55. Oseil (HSFO)
56. Naphta
57. Walto Mix
58. Klamono
59. Meslu
60. Anoa
61. Camar
62. Oyong
63. Pangkah
64. Westseno
65. Senipah.
88
III.D.2. Lifting (Hasil/ Nilai produksi)
Dalam Kamus Bahasa Inggris, Lifting artinya “Daya angkat.”72
Pengangkutan adalah kegiatan :
. Lifting ini
termasuk kedalam Kegiatan Usaha Hilir yang bertumpu pada kegiatan usaha
pengolahan, pengangkutan, penyimpanan dan niaga. 73
a. Pemindahan minyak bumi dan gas bumi, dan atau hasil olahannya
b. Dari wilayah kerja atau dari tempat penampungan dan pengolahan
c. Termasuk pengangkutan gas bumi melalui pipa transmisi dan distribusi
Jadi, dapat disimpulkan Lifting adalah Nilai produksi minyak mentah hasil
olahan yang dapa diangkat/diangkut melalui laut (lifting dengan kapal) dan
melalui pipa (lifting pipa) untuk disimpan di tempat yang telah ditentukan yang
diperuntukkan untuk kepentingan niaga, pembelian, penjualan, ekspor dan import.
Bagan 2 Keterangan tentang Proses Lifting
Sumber: Rinto Pudyantoro (Sub Din Penerimaan Negara Dinas
Akuntansi Revenue-Divisi Operasi Finansial)
72 Lihat: Kamus Ingriss-Indonesia (An English Dictionary) oleh Jhon M.Echolsbon & Hassan
Shadilly, Penerbit PT.Gramedia Jakarta, Cetakan XXIV, agustus 2000. 73 Terdapat di dalam Pasal 1 angka 10, Pasal 5, pasal 7, dan Pasal 25 UU Nomor 22 Tahun 2001
tentang Minyak dan Gas Bumi.
89
III. D.3. Cost Recovery
Adalah jumlah penggantian biaya operasi oleh Pemerintah/BPMIGAS
kepada kontraktor sesuai perjanjian74 dihitung berdasarkan referensi atas harga
minyak yang berlaku di Indonesia dan harga gas aktual. Setelah kontraktor
memulihkan semua biaya yang dikeluarkan, Pemerintah berhak memperoleh
pembagian tertentu dari hasil produksi minyak bumi dan gas alam yang tersisa,
selanjutnya kontraktor memperoleh sisanya sebagai bagian ekuitas (laba).75
Pengembalian biaya dalam cost recovery hanya diperbolehkan dari wilayah
kerja yang bersangkutan dan tidak diperkenankan melakukan konsolidasi biaya
dan pajak antara satu wilayah kerja dengan wilayah kerja lainnya Contoh:
Komponen Cost Recovery tahun 2005-2006.
Dalam sistem kontrak bagi hasil semua biaya yang dikeluarkan oleh
kontraktor, apabila berhasil menemukan dan memproduksi minyak, akan
dikembalikan kepada kontraktor. Mekanisme ini dilakukan sebelum hasil
produksi dapat dibagi antara Pemerintah dan Kontraktor. Pengembalian biaya ini
disebut sebagai cost recovery . Besar kecil cost recovery akan mempengaruhi
besar/kecilnya bagian Pemerintah maupun Kontraktor.
Biaya yang dibebankan kepada cost recovery terdiri dari biaya-biaya non
kapital tahun berjalan dari kegiatan eksplorasi, pengembangan, operasi produksi,
dan biaya administrasi/umum; biaya deperesiasi tahun berjalan, depresiasi tahun
dari sebelumnya, dan unrecovered cost (pengembalian biaya yang tertunda).
76
74 . Sumber : BPK RI, Premier Oil Natuna Sea Block A, (www.google.com)
75 Dari Wikipedia Indonesia, Ensiklopedia Bebas Berbahasa Indonesia (www.google.com) 76 Sumber: www.google.com ( File://E:/ Untitled Document htm.page 1 of 3 )
90
Tabel 1 Komponen Cost Recovery Kegiatan Usaha Hulu Migas
No Items 2005 2006 1 Biaya Operasi tahun Berjalan 5,622 5,439 -Eksplorasi 495 451 -Pengembangan 1.428 1.315 -Produksi 2.994 3.048 -General & Admin 705 625
2 Depresiasi Tahun Berjalan 1.420 1.720 3 Depresiasi Tahun
Sebelumnya 206 403
4 Unrecovered Cost 285 253 Total Cost Recovery 7.533 7.815 Cost Recovery Pertamina EP 1.864 1.893 Cost Recovery KKKS
lainnya 5.669 5.922
Sumber :
DBH adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang
dialokasikan kepada daerah berdasarkan angka persentase tertentu. Menurut Drs
Pramudjo, M.Soc. (Direktur Dana Perimbangan, Departemen Keuangan RI),
secara normatif terdapat 2 (dua) pengertian Dana Bagi hasil (DBH) yang satu
sama lain saling melengkapi, yaitu :
www.google.com
Keterangan :
Tabel di atas menerangkan tentang komponen-komponen yang terdapat di
dalam Cost Recovery Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi. Semakin
besar Cost Recovery yang berarti biaya produksi besar yang mempengaruhi
bagian Pemerintah dan Kontraktor.
E. Gambaran Umum Tentang Dana Bagi hasil Migas (DBH)
77
77 Energi Antarnusa : Opcit hal 22-23.
91
1. Setelah rangkaian kalimat tersebut masih ditambah dengan frase untuk
mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi
2. Ditambahkan dengan frase dengan memperhatikan potensi daerah penghasil.
Secara harafiah, DBH sudah jelas adalah dana bagi hasil baik untuk migas
maupun sumber daya alam lain (SDA) lainnya adalah sama – dana bagi hasil.78
PRINSIPDBH
BY ORIGIN
REALISASI
¦ BERDASARKAN PRINSIP DAERAH PENGHASIL : DAERAH PENGHASIL MENDAPATKAN PORSI LEBIH BESAR
¦ DAERAH LAIN MENDAPATKAN BAGIAN PEMERATAAN DENGAN PORSI TERTENTU
PRINSIP
¦ PENYALURAN DBH BERDASARKAN REALISASI PENERIMAAN NEGARA
Bagan 3
Tentang Prinsip yang dianut oleh Dana Bagi Hasil Migas
Sumber : B.Ceceliana,Workshop Revitalisasi perhitungan bidang migas, Pekanbaru 23November 2007, Direktorat Perimbangan Dirjen Perimbangan Keuangan Departemen Keuangan RI
Pengertian dana bagi hasil dicerminkan dari frase “Yang dialokasikan
kepada daerah berdasarkan angka persentase tertentu”. Prinsipnya adalah
memperhatikan daerah penghasil atau by origin, bahwa daerah yang menghasilkan
SDA atau daerah penghasil mendapatkan porsi yang lebih besar daripada daerah
yang bukan penghasil dan pembagiannya berdasarkan realisasi penerimaan dari
78 Energi Antar Nusa, Depkeu Menjawab, Edisi 04 Tahun II, Januari 2008 Hal 22-23.
92
sektor SDA (Sumber Daya Alam) yang disetorkan oleh kontraktor. 79
79 Ibid, Hal 22-23
Dalam Pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal, DBH adalah
salah satu instrumen dana perimbangan dalam rangka perimbangan keuangan
antara pemerintah pusat dengan pemerintahan daerah agar bersama-sama dengan
dana perimbangan yang lain dapat diguanakan oleh daerah untuk mendanai
sebagian kewenangan yang dilimpahkan oleh Pemerintah Pusat kepada
Pemerintahan Daerah (Money Follows Fuction).
Dana Bagi Hasil (DBH) dimaksudkan untuk mengurangi “Vertical
Imbalance” kesenjangan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah
maupun “Horizontal Imbalance” (kesenjangan antar daerah).
“Vertical Imbalance” diwujudkan dengan pembagian porsi yang wajar
antara pemerintah pusat dengan daerah penghasil, sedangkan “Horizontal
Imbalance” diwujudkan dengan pembagian secara merata bagi daerah bukan
penghasil yang berada di dalam wilayah provinsi yang sama dengan daerah
penghasil.
Pembagian dengan porsi Pemerintah yang lebih besar dari daerah karena
Pemerintah harus mendanai kewajiban dan kewenangan yang lebih besar yang
tidak dapat dilimpahkan kepada daerah, antara lain disektor pertahanan, sektor
keamanan, sektor keuangan dan moneter (antara lain membayar utang dalam dan
luar negeri), termasuk sektor hukum dan peradilan, dan sektor agama.
93
Prinsip-Prinsip Dana Bagi Hasil SDA Migas
b. Pelaksanaan Dana Bagi Hasil SDA Migas dilakukan berdasarkan realisasi
c. Dana yang dibagihasilkan adalah Penerimaan Negara dari wilayah daerah
yang bersangkutan setelah dikurangi komponen pajak dan pungutan lainnya
sesuai peraturan perundangan (penerimaan negara bukan pajak).80
Dasar Hukum DBH (Dana Bagi Hasil)
1. UU Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah
2. UU Nomor 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan antara
Pemerintahan Pusat dan Daerah
3. PP Nomor 55 Tahun 2005 Tentang Dana Perimbangan
4. UU Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi
5. Aturan-aturan Pelaksanann UU Nomor 8 Tahun 1971 Perusahaan
Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara.81
80. B. Ceceliana, disampaikan dalam DBH SDA Migas ”Workshop Revitalisasi Perhitungan
PNBP Bidang Migas Pekanbaru , 23 November 2007,Direktorat Dana Perimbangan Dirjen Perimbangan Keuangan Departemen Keuangan RI
81. B. Ceceliana, Ibid, Slide 10 (Presentasi)
94
Bagan 4 Bagan yang menerangkan Tentang Jenis Dana Bagi Hasil Yang berasal Dari
Sumber Daya Alam
DBH SDA
KEHUTANAN
PERTUM
PERIKANAN
MINYAK BUMI
GAS BUMI
PANAS BUMI
JENIS DBH SDA
IHPH
PSDH
DRLANDRENT
ROYALTYPPP
PHP
SBP
IT & IP
Sumber : B.Ceceliana,Workshop Revitalisasi Perhitungan Bidang Migas,
Pekanbaru 23 November 2007, Direktorat Perimbangan Dirjen Perimbangan Keuangan Departemen Keuangan RI
Keterangan :
Dana Bagi Hasil (DBH) berasal dari Sumber Daya Alam Indonesia. Ada 6 jenis
sumber dana bagi hasil yaitu berasal dari Kehutanan, Pertambangan, Perikanan,
Minyak Bumi, Gas Bumi.82
Istilah-istilah untuk Dana Bagi Hasil dalam tabel yaitu :
83
a. IIUPH : Iuran Izin Usaha Pemanfaatan Hutan
b. PSDH : Provisi Sumber Daya Hutan
c. DR : Dana Reboisasi
d. LANDRENT : Iuran Tetap (Landrent)
e. ROYALTI : Iuran Eksplorasi & Eksploitasi (Royalti)
f. PPP : Pungutan Perusahaan Perikanan
g. PHP : Pungutan Hasil Perikanan
h. SBP : Setoran Bagian Pemerintah
i. IT & IP : Iuran Tetap & Iuran Produksi
82 DBH SDA Migas, Ibid, Slide 5 83 DBH SDA Migas, Ibid, Slide 6
95
Tabel 5 Contoh Tabel DBH dibidang Perikanan dan Minyak Bumi
CONTINUED
NO COMPONENTS % UNTUK DAERAH
PROPORTION
PROV KAB/KOTA PENGHASIL
KAB/KOTA LAIN DALAM PROV YG
SAMA *)
3. PERIKANAN **) 80%4. MINYAK BUMI
A. DARI KAB/KOTA PENGHASIL 15,5%
15% 3% 6% 6%0,5% ***) 0,1% 0,2% 0,2%
B. DARI PROVINSI PENGHASIL 15,5%
15% 5% - 10%0,5% ***) 0,17% - 0,33%
*) DIBAGI RATA**) DIBAGI RATA KEPADA DAERAH SELURUH INDONESIA***) HASIL DIMANFAATKAN UNTUK PENDIDIKAN DASAR
Sumber : B.Ceceliana,Workshop Revitalisasi Perhitungan Bidang Migas, Pekanbaru 23 November 2007, Direktorat Perimbangan Dirjen Perimbangan Keuangan Departemen Keuangan RI
Keterangan :
Dana Bagi Hasil yang berasal dari Minyak Bumi berasal dari
Kabupaten/Kota penghasil sebanyak 15,5 % dan dari Provinsi Penghasil sebanyak
15,5%. Dari setiap komponen dibagi-bagi lagi untuk daerah 0.5 %, provinsi
0,17%, dan kabupaten kota lain dalam propinsi yang sama 0,2%.
Penyaluran DBH Migas Tahun 2008 berdasarkan kesepakatan panja DPR :
1. Penyaluran DBH SDA MIGAS dilaksanakan secara Triwulanan
2. Penyaluran DBH SDA MIGAS Triwulan I dan II masing-masing sebesar
20% dari Paqu perkiraan alokasi
3. Penyaluran DBH SDA MIGAS sebagaimana di atas selanjutnya
diperhitungkan dengan realisasi penerimaan DBH SDA MIGAS Triwulan II
dan Triwulan IV.84
84 DBH SDA Migas, Ibid Slide 2.
96
Bagan 5 Bagan Proses Kerja Perhitungan Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam Migas
Sumber : Direktorat Dana Perimbangan Dirjen Perimbangan Keuangan
Departemen Keuangan RI (BPMIGAS) Keterangan :
Sesuai dengan PMK (Peraturan Menteri Keuangan) yang baru, tupoksi dari
pelaksanaan perhitungan DBH SDA Migas dibagi menjadi 2 (dua) proses, yaitu
sebagimana terlihat pada gambaran.
Untuk proses perhitungan PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak)
dilaksanakan oleh Ditjen Anggaran c.q. (sejajar) Direktorat PNBP yang
menanganinya. Dit. PNBP mengumpulkan data dari instansi terkait, yaitu :85
1. Lifting dari BPMIGAS
2. Data bagian negara dari BPMIGAS
3. Komponen pengurang yaitu:
a. PPN dari BPMIGAS berupa tagihan reimbursemen dari KKKS yang sudah
diverifikasi dan disetujui untuk reimburse.
85. Sumber : Dinas Pertambangan dan Energi Prop Sumatera Utara (Divisi Operasi Finansial
(BPMIGAS),”Bagi Hasil Migas” Pekanbaru 23 November 2007).
97
b. PBB Migas diperoleh dari permintaan pembayaran PBB Migas kepada
Ditjen Anggaran ke daerah oleh Ditjen Pajak
c. PDRD sebagaimana tagihan DPRD dari masing-masing daerah kepada
Ditjen Anggaran yang telah diverifikasi dan disetujui
Berdasarkan data-data dimaksud, Ditjen Anggaran c.q (sejajar) Ditjen
PNBP menghitung PNBP permasing-masing KKSS, yang selanjutnya
disampaikan ke Ditjen Perimbangan Keuangan untuk dihitung jumlah DBH SDA
Migasnya.
Bagan 6
Mekanisme Perhitungan Dana Bagi Hasil Migas
Sumber : Agus Cahyono Adi, Ka.Sub Dit.Penerimaan Negara, Metoda dan
Tata Cara Pencatatan Lifting dan DBH SDA Migas, Pekanbaru, 2007 (Dep.Energi dan Sumber Daya Mineral-Dirjen Migas)
Keterangan :
Bagan ini menjelaskan tentang bagaimana cara menghitung bagian negara
dari SDA Migas yang berasal dari KKKS ( Kontraktor Kontrak Kerja sama ).
98
Dimulai dari Lifting Migas yang dijual hingga diperoleh gross revenue.
Selanjutnya, setelah dikurangi biaya-biaya yang dikeluarkan oleh KKKS dalam
rangka mencari sampai dengan memperoleh hasil migas tersebut, diperoleh Net
Operating Income atau NOI. Hasil NOI tersebut kemudian dihitung berdasarkan
presentase sebagaimana disepakati dalam kontrak, yaitu seperti dalam contoh,
untuk minyak 28,8462% bagian kontraktor dan sisanya sebesar 71,1598%
merupakan hak dari Pemerintah.
Dalam prakteknya, jumlah presentase tersebut dihitung dengan
memperimbangkan tarif pajak yang berlaku. Seperti contoh ini, tarif pajak yang
digunakan adalah 48%, sehingga apabila kita menginginkan net split sebesar 85%
untuk Pemerintah dan 15% untuk Kontraktor, maka metode penghitungannya
adalah dengan cara meng-gross up dari nilai tersebut.
Contoh :
Apabila kontraktor setelah membayar pajak sebesar 48 % hanya menerima
15 %, maka bagian kontraktor sebelum dikurangi pajak adalah sebesar 15 %
dibagi (100%-48%) atau 15% / 52 % menjadi sebesar 28,8462%. Dengan
demikian, sisanya sebesar 100%-28,8462% atau sebesar 71,1598 % merupakan
milik Pemerintah.
Selanjutnya, dalam rangka menghitung PNBP-nya, mengingat jumlah yang
terkandung dalam presentase tersebut masih terkandung didalamnya pajak-pajak
yang harus dikeluarkan seperti PBB, PPN dan PDRD. Setelah dikurangi
komponen pajak, baru diperoleh PNBP SDA Migas yang selanjutnya akan
dibagihasilkan ke masing-masing daerah.86
86 Ibid, Slide 10 dan 11
99
Bagan 7 Alur Dana Penerimaan Migas bagian (1)
Sumber : Direktorat Dana Perimbangan Dirjen Perimbangan Keuangan Departemen Keuangan RI (BPMIGAS)
Keterangan :
Bagan di atas menerangkan bagaimana jalannya/alur dana penerimaan
migas sampai pada Pemerintah dan daerah. Hasil penjualan dibagi dua antara
Pemerintah dan Kontraktor setelah dikurangi Biaya Produksi (Cost Recovery)
setelah dikurangi kemudian dibagi dua dan Kontraktor diwajibkan menyetor Pph
Migas kedalam APBN.
100
Bagan 8 Sambungan Alur Penerimaan Migas bagian (2)
Sumber : Direktorat Dana Perimbangan Dirjen Perimbangan Keuangan Departemen Keuangan RI (BPMIGAS)
Keterangan :
Yang termasuk bagian Pemerintah dalam bagan di atas adalah :
1. PPB Migas (masuk ke dalam kas daerah penghasil dan non penghasil)
2. PDRD Migas (masuk ke dalam kas daerah penghasil)
3. Fee Hulu ( bagian Kontraktor dan BPMIGAS)
4. Pajak lain (PPN, dll)
101
BAB IV
TINJAUAN YURIDIS TERHADAP SISTEM KONTRAK BAGI HASIL DALAM INDUSTRI PERMINYAKAN
A. Pelaksanaan Sistem Kontrak Bagi Hasil dalam Industri Perminyakan Ditinjau dari Segi Peraturan yang Berlaku
Pada prinsipnya, badan hukum atau perorangan yang ingin memperoleh
kuasa pertambangan, maka harus memenuhi syarat-syarat dan prosedur yang
berlaku yang berlaku. Diatur didalam Pasal 13, Pasal 15 dan Pasal 17 Peraturan
Pemerintah Nomor 75 Tahun 2001 dengan ketentuan sebagai berikut:87
1. Untuk satu wilayah kuasa pertambangan harus diajukan satu permintaan
tersendiri.
2. Lapangan-lapangan yang terpisah tidak dapat diminta sebagai satu wilayah
kuasa pertambangan.
Didalam lampiran Keputusan Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor
1453 K/29/MEM/2000 tentang Pedoman Teknis Penyelenggaraan Tugas
Pemerintahan di Bidang Pertambangan Umum, telah ditentukan permohonan izin
kuasa pertambangan. Masing-masing pertambangan mempunyai syarat yang
berbeda :
1. Persyaratan kuasa pertambangan penyelidikan umum .
Permohonan kuasa pertambangan penyelidikan umum dapat dibedakan
menjadi dua macam, yaitu permohonan baru dan perpanjangan kuasa
pertambangan. Persyaratan kuasa pertambangan penyelidikan untuk permohonan
baru, yaitu:
87 . Salim HS, Opcit, Hal 70-76
102
a. Surat permohonan
b. Peta Wilayah
c. Akta pendirian perusahaan yang salah satu maksud dan tujuannya
menyebutkan berusaha dibidang pertambangan dan telah disahkan oleh
Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia
d. Tanda bukti penyetoran uang jaminan kesungguhan
e. Laporan keuangan bagi perusahaan baru dan laporan keuangan tahun terakhir
yang telah diaudit oleh akuntan publik bagi perusahaan lama.
2. Persyaratan Kuasa Pertambangan Eksplorasi
Kuasa pertambangan eksplorasi dapat dibedakan menjadi tiga macam,
yaitu permohonan baru, peningkatan kuasa pertambangan eksplorasi bukan
peningkatan dan perpanjangan. Persyaratan permohonan kuasa pertambangan
eksplorasi yang baru yaitu
a. Surat permohonan
b. Peta wilayah
c. Akta pendirian perusahaan yang salah satu maksud dan tujuannya
menyebutkan berusaha di bidang pertambangan dan telah disahkan oleh
Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia.
d. Tanda bukti penyetoran uang jaminan kesungguhan
e. Laporan keuangan bagi perusahan baru dan laporan keuangan tahun terakhir
yang telah diaudit oleh akuntan publik bagi perusahaan lama.
103
3. Kuasa Pertambangan eksploitasi
Kuasa pertambangan eksploiasi dapat dibagi menjadi tiga macam, yaitu:
a. Peningkatan kuasa pertambangan eksplorasi
b. Pertambangan eksplorasi baru
c. Perpanjangan kuasa pertambangan eksploitasi
Adapun syaratnya sebagai berikut :
a. Surat permohonan
b. Peta wilayah
c. Laporan lengkap eksplorasi
d. Laporan studi kelayakan
e. Dokumen AMDAL atau UKL-UPL
f. Tanda bukti pembayaran iuran tetap
g. Laporan pelaksanaan pengelolaan lingkungan
h. Rencana kerja dan biaya.
i. Akta pendirian perusahaan yang salah satru dari maksud dan tujuannya
menyebutkan berusaha dibidang pertambangan dan telah disahkan
insatansi yang berwenang.
4. Kuasa pertambangan pengolahan dan pemurnian serta perpanjangannya
(mandiri/bagi yang tidak mempunyai kuasa pertambangan eksploitasi). Syarat-
syarat untuk memperoleh kuasa pertambangan pengolahan dan pemurnian
serta perpanjangannya, yaitu:
a. Surat Permohonan
b. Rencana teknis pengolahan dan pemurnian
104
c. Dokumen AMDAL, atau UKL_UPL
d. Perjanjian jual beli dengan pemegang kuasa pertambangan eksploitasi
e. Laporan kegiatan pengolahan dan pemurnian yang telah dilakukan (untuk
perpanjangan)
Kontrak dibuat dalam bentuk akta di bawah tangan, yang dulunya dibuat
antara PT. Pertamina (Persero) dengan Kontraktor. Namun, setelah Undang-
undang No. 22 Tahun 2001 keluar, terjadi peralihan hak dari Pertamina kepada
Badan Pelaksana (BPMIGAS) sebagai wakil Pemerintah dan Pertamina dianggap
sama dengan Kontraktor dan BPMIGAS bertanggung jawab atas manajemen yang
diatur dalam perjanjian.
Asas hukum yang harus diketahui dalam membuat suatu kontrak adalah :
1. Asas Kebebasan Berkontrak (Pasal 1338 KUH Perdata)
2. Asas Konsensualiatas (Pasal 1320 KUH Perdata).
Apabila dihubungkan dengan kontrak yang dibuat antara badan pelaksana
dengan kontraktor, isi kontrak ditentukan oleh badan pelaksana dan pihak
kontraktor diberi kesempatan mempelajari kontrak. Pasal 1320 KUH Perdata,
yaitu sepakat mereka yang mengikatkan dirinya sudah jelas ada kesepakatan
dalam kontrak bagi hasil antara Pertamina dengan pihak kontraktor terbukti
dengan ditandatangani kontrak tersebut.
Dalam Pasal 1338 KUH Perdata ditegaskan adanya kebebasan untuk
menentukan isi kontrak ini dianggap tidak sesuai karena badan pelaksana sudah
terlebih dahulu menentukan isi kontrak. Secara formil hal ini tidaklah menjadi
masalah sebab apa yang disyaratkan dalam Pasal 1320 yaitu kesepakatan telah
105
terpenuhi. Ketentuan ini tidak akan memperbesar penyimpangan jika dihubungkan
dengan Pasal 1338 KUH Perdata sepanjang pihak kontraktor tidak menderita
kerugian pada perusahaannya. Jadi jelas, para pihak telah mengenyampingkan
Pasal 1338 KUH Perdata tentang kebebasan berkontrak khususnya kebebasan
untuk menentukan isi kontrak.
Kontraktor menyepakati Kontrak Bagi Hasil (PSC) dengan badan
pelaksana dengan tujuan untuk kepentingan ekonomi dengan mempertaruhkan
resiko sesuai dengan kesepakatan Kontrak Bagi Hasil (PSC). Dalam usaha
eksplorasi dan pengembangan deposit perminyakan pada prinsipnya, kontraktor
mempunyai hak tagihan dalam bentuk bagian produksi minyak mentah yang
dihasilkan selama jangka waktu kontrak yang tentunya dengan mengadakan
negosiasi terlebih dahulu. Dengan tujuan mengumpulkan informasi sebanyak
mungkin dan menampung hal-hal yang dapat dituangkan kedalam kontrak.
Ketentuan PSC dimaksudkan Pemerintah untuk memanfaatkan modal asing
dengan jalan penanaman modal. Dengan alasan pertimbangan dalam potensi-
potensi modal, teknologi dan keahlian yang tersedia dari luar negeri yang dapat
digunakan secara maksimal untuk mempercepat pembangunan ekonomi Indonesia
yang akan digunakan dalam bidang-bidang atau sektor-sektor yang dalam waktu
dekat belum dapat dilaksanakan dengan modal Indonesia.
Seperti yang dimaksud dalam Pasal enam (6) Peraturan Pemerintah No.35
Tahun 1994 tentang Syarat-syarat dan Pedoman Kerjasama Kontrak Bagi Hasil
Minyak dan Gas Bumi, yang berbunyi: “Terhadap Kontrak Bagi Hasil
sebagaimana dimaksud dalam peraturan pemerintah ini berlaku Hukum
106
Indonesia.”
Dengan demikian, sesuai uraian di atas dalam pelaksanaan kewajiban dan
hak para pihak dalam PSC tunduk pada ketentuan peraturan perundang-undangan
Indonesia, antara lain ketentuan perpajakan, tenaga kerja, lingkungan hidup,
ketentuan pertambangan, dan sebagainya.
Bagan 9
Pola Kontrak Kerjasama di Bidang Minyak dan Gas
Sumber : Rinto Pudyantoro Sub.Din Penerimaan Negara, Dinas Akuntansi
Revenue-Divisi Operasi Finansial (BP MIGAS)
Penentuan hukum yang berlaku dalam Kontrak Bagi Produksi (PSC)
menganut asas Pilihan Hukum, yakni:
1. Asas Lex Loci Contractus
Menurut teori klasik Lex Loci Contractus, hukum yang berlaku bagi suatu
kontrak Internasional adalah hukum di tempat perjanjian atau kontrak
dibuat.88
88. Sudargo Gautama, Hukum Perdata Internasional Indonesia Jilid II, Bagian 2 (Buku 8)
107
2. Asas Lex Loci Solution
Sebagai variasi terhadap teori Lex Loci Contractus dikemukakan adanya teori
Lex Loci Solution. Menurut teori ini, hukum yang berlaku bagi suatu kontrak
adalah tempat dimana kontrak tersebut dilaksanakan. Dalam praktek hukum
Internasional umumnya diakui bahwa sebagai peristiwa tertentu dipastikan
oleh hukum yang berlaku pada tempat pelaksanaan kontrak 89
Bagan 11 Tentang Bisnis Migas dan Aktifitas Migas
Sumber : Rinto Pudyantoro Sub.Din Penerimaan Negara, Dinas
Akuntansi Revenue-Divisi Operasi Finansial (BP MIGAS)
Keterangan :
Bagan di atas menerangkan bagaimana bisnis dan aktivitas minyak dan gas
(Migas) berlangsung dan dilalui mulai dari beberapa tahap. Mulai dari eksplorasi
dan eksploitasi (kegiatan usaha hulu) sampai pada kegiatan usaha hilir (Shipping
dan Pipeline, Export) setelah di ekspor sampai ke refinery, kemudian dibagi dua
Alumni, Bandung, 1983, hal 13. 89. Ibid Hal 17
108
(Industri dan Depo). Dari Depo disalurkan ke SPBU dan diangkut melalui
trasportasi untuk disalurkan ke pengangkutan umum (darat, laut dan udara)
Berikut ini adalah pengaturan hak dan kewajiban para pihak yang
dirumuskan secara jelas dalam Kontrak Bagi Hasil (PSC) yang sekarang
dinamakan juga dengan istilah Kontrak Bagi Produksi, terdapat dalam Pasal lima
(5) Kontrak Bagi Hasil antara Badan Pelaksana (BPMIGAS) dan Kontraktor.
Kewajiban Kontraktor :90
1. Menyediakan semua dana dan membeli atau menyewa semua peralatan dengan menggunakan valuta asing sesuai dengan rencana kerja.
2. Menyediakan semua bantuan teknis, termasuk tenaga kerja asing yang pembayarannya menggunakan valuta asing.
3. Menyediakan dana-dana lain seperti dana untuk pembayaran kepada pihak ke-3 negara asing, yang melaksanakan jasa-jasa sebagai kontraktor.
4. Bertanggung jawab untuk penyiapan dan pelaksanaan rencana kerja. 5. Melakukan pemeriksaan dasar terhadap lingkungan awal aktivitas kontraktor 6. Melakukan tindakan pencegahan untuk melindungi sistem ekologi, navigasi
dan perikanan, juga mencegah terjadinya polusi di area perairan sesuai dengan rencana kerja
7. Setelah kontrak berakhir atau putus atau setelah penyisihan sebagian wilayah kerja atau ditinggalkannya suatu lapangan, kontraktor wajib memindahkan seluruh peralatan sesuai dengan aturan BPMIGAS dan melakukan pemulihan lingkungan dari area tersebut
8. Mempersiapkan dan melaksanakan rencana-rencana dan program-program pendidikan untuk pendidikan dan latihan untuk pekerja Indonesia pada segala klasifikasi pekerjaan sepanjang berhubungan dengan operasi perminyakan.
9. Setelah produksi dimulai kontraktor berkewajiban untuk menyuplai kebutuhan dalam negeri Indonesia.
Hak Kontraktor : 1. Berhak untuk menjual, mengalihkan, menyerahkan atau melepaskan dengan
cara lain atas seluruh atau sebagian dari hak dan interest atas kontrak ini kepada pihak ketiga yang bukan afiliasi dengan persetujuan tertulis dari BPMIGAS dan harus dikabulkannya secepatnya, kemudian pihak yang menerima pengalihan hak dan keuntungan (assignee) tidak boleh memegang lebih dari satu (1) TAC atau PSC, kecuali selama 3 tahun pertama kontrak.
90 . Production Sharing Contract dengan Pihak BPMIGAS
109
Kontraktor harus memiliki participating intrest yang dominan dibanding pihak lain dan berperan sebagai operator atas pelaksanaan kontrak ini.
2. Tetap memiliki kontrol semua peralatan yang disewa dengan mata uang asing dan dibawa ke Indonesia dan punya hak untuk mengekspor kembali.
3. Mempunyai hak setiap waktu untuk keluar masuk dari dan ke wilayah kerja ke tempat fasilitas ditempatkan.
4. Mempunyai hak untuk mempergunakan dan mengakses melalui BPMIGAS dan Pemerintah Indonesia terhadap semua informasi yang bersifat geologi, geophisika, pengeboran sumur produksi, informasi dan lainnya.
5. Mempunyai hak selama jangka waktu kontrak untuk mengambil dengan bebas, menjual dan mengekspor minyak mentah yang menjadi bagian kontraktor dan menahan hasil penjualannya diluar negeri.
Kewajiban Badan Pelaksana (BPMIGAS) :
1. Bertanggung jawab atas manajemen dan operasi, dan membantu pelaksanaan program kerja kontraktor
2. Membebaskan kontraktor dari bea ekspor, yang dibawa masuk oleh Kontraktor sepanjang diperlukan selama operasi perminyakan.
Hak Badan Pelaksana (BPMIGAS) :
1. Berhak atas perolehan minyak 2. Berhak atas data asli yang dihasilkan dari operasi minyak dengan ketentuan
data, tidak boleh mengumumkan kepada pihak ketiga tanpa sepengetahuan kontraktor
3. Selama tidak menggangu operasional, maka kontraktor berhak untuk menyetujui permohonan penggunaan assetnya oleh pihak ke-3 (tiga).
Pelaksanaan perjanjian adalah realisasi atau pemenuhan hak dan kewajiban
yang telah diperjanjikan badan pelaksana dan kontraktor supaya kontrak itu
mencapai tujuannya. Tujuan tidak akan terwujud tanpa ada pelaksanaan kontrak.
Masing-masing pihak harus melaksanakan kontrak dengan sempurna dan tepat
megenai apa-apa yang telah disetujui untuk dilakukan.
Dari uraian diatas, terlihat kewajiban yang banyak ada pada pihak
kontraktor, seperti Kontraktor yang menyediakan peralatan, BPMIGAS dapat
110
menggunakannya dan bila berakhir kontrak, semua peralatan menjadi milik
BPMIGAS. Hal ini dapat dianalisis, yaitu tingginya kedudukan dari badan
pelaksana (BPMIGAS) sebagai pemegang manajemen kuasa pertambangan,
walaupun kontrak telah dibuat dengan kesepakatan para pihak.
Syarat-syarat kontraktor menurut Pasal 3 PP No. 35 Tahun 1994 tentang
Syarat-syarat dan Pedoman Kerjasama Kontrak Bagi Hasil Minyak dan Gas Bumi
adalah sebagai berikut :
a. Calon kontraktor memiliki dan menyampaikan laporan keuangan, prestasi
perusahaan, kemampuan teknis operasional dan penilaian kerja perusahaan
b. Calon kontraktor sanggup membayar bonus produksi dan bonus lainnya
kepada Pertamina
c. Calon kontraktor memiliki kantor perwakilan di Indonesia
Kontraktor dalam melaksanakan kegiatan kontrak bagi hasil harus
menjamin kepentingan nasional, tidak hanya bertujuan untuk mencari keuntungan
perusahaan semata dan memperhatikan kebijakan pemerintah Indonesia dalam
pengembangan serta pelestarian lingkungan.
B. Ketentuan Kontrak Bagi Hasil Di Indonesia Menurut Undang-undang
No.22 Tahun 2001 Kontrak Bagi Hasil (Production Sharing Contract) yang dipergunakan oleh
BP MIGAS dianalisa dan dievaluasi dengan pembagian muatan sebagai berikut:91
1. General (Umum)
2. Title of Contract ( Judul Kontrak)
91 . Undang-undang No. 22 Tahun 2001
111
3. Scope (Ruang Lingkup)
4. Defenition & Duration Contract (Defenisi & Jangka Waktu Kontrak)
5. Parties of Contract (Para Pihak dalam Kontrak)
6. Work Program and Budget (Program Kerja dan Pengeluaran)
7. Areas of Work & Relinguishment (Wilayah kerja & pengembalian wilayah
kerja)
8. Rights and Obligation of the parties (Hak dan Kewajiban Para Pihak)
9. Cost Recovery/Profit sharing (Biaya Produksi/ Pembagian Keuntungan)
10. Title to oil (Hak atas Migas)
11. Title to equipment & abandonment (Hak atas Peralatan dan Abandonment)
12. Settlement of dispute & Governing Law (Penyelesaian Perselisihan)
13. Employment (Tenaga Kerja)
14. Environment & Community Development (Lingkungan & pengembangan
Masyarakat)
15. Taxation (Pajak)
Dari pembagian muatan Kontrak bagi hasil (PSC) diatas akan
dianalisa/dikaji beberapa poin yang penting yang sangat menentukan dalam
pelaksanaan kontrak, yaitu :
B.1. General (Bagian Umum)
Pasal 33 Undang-undang Dasar 1945 telah menetapkan bahwa kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya merupakan milik negara dan digunakan
sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Salah satu kekayaan alam yang
112
termaksud adalah minyak bumi. Mengingat bahwa minyak dan gas bumi
merupakan sumber daya alam strategis yang tidak diperbaharui (unrenewable) dan
merupakan komoditas vital yang menguasai hajat hidup orang banyak dan salah
satu sumber devisa bagi negara, maka minyak dan gas bumi dikuasai oleh negara
dan pengelolaannya harus dapat secara maksimal memberikan kemakmuran dan
kesejahteraan rakyat.
Pelaksanaan dari Pasal 33 UUD 1945 ini kemudian dituangkan dalam
berbagai undang-undang yang berkaitan dengan kegiatan pertambangan minyak
dan gas bumi. Dimulai dengan UU No.44 Prp Tahun 1960 tentang Pertambangan
Minyak dan Gas Bumi. UU No.8 Tahun 1971 tentang Perusahaan Pertambangan
Minyak dan Gas Bumi Negara. Kedua undang-undang ini kemudian dinyatakan
tidak berlaku lagi setelah UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang minyak dan gas
bumi dikeluarkan.
Ketidakberlakuan kedua undang-undang sebelumnya dikarenakan sudah
tidak sesuai dengan keadaan masa sekarang, serta tidak mengakomodasi
kepentingan negara secara baik UU No.22 Tahun 2001 dibuat dengan tujuan
mengubah hal-hal yang berkaitan dengan pelaksanaan kegiatan usaha
pertambangan minyak dan gas bumi. Diharapkan pelaksanaan kegiatan ini bersifat
mandiri, andal, transparan, berdaya saing, efesien dan berwawasan pelestarian
lingkungan.
Konsekuensi yuridis dari diterbitkannya UU No. 22 Tahun 2001 tentang
Minyak dan gas bumi ini adalah perubahan pengaturan di bidang pelaksanaan
pertambangan minyak dan gas bumi, antara lain defenisi, para pelaku, peranan
113
dan kepentingan negara sangat diharapkan dalam perubahan peraturan Perundang-
undangan di bidang pertambangan minyak dan gas bumi lebih mendahulukan
kepentingan negara daripada kepentingan kontraktor semata. Untuk menganalisa
apakah peraturan mengenai pertambangan minyak dan gas bumi telah
mengakomodasi kepentingan negara, akan ditelusuri melalui kajian UU No.22
Tahun 2001, UU No.44 Prp Tahun 1960 dan UU No.8 Tahun 1971.
Sebagai konkretisasi dari pengaturan tersebut, juga akan dianalisa melalui
penelusuran kontrak PSC sebelum dan sesudah berlakunya UU No. 22 Tahun
2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. Analisa kepentingan negara dalam
pertambangan minyak dan gas bumi untuk kontrak PSC berdasarkan pengaturan
perundang-undangan ditekankan pada beberapa hal, yakni; Judul kontrak,
defenisi, ruang lingkup, dan para pihak dalam kontrak.
B.2. Title of Contract (Judul Kontrak). Judul Kontrak yang digunakan dalam kontrak pertambangan minyak dan
gas bumi setelah berlakunya UU No.22 Tahun 2001 adalah :
“PRODUCTION SHARING CONTRACT
Between
BADAN PELAKSANA KEGIATAN USAHA HULU MINYAK DAN GAS
BUMI (BPMIGAS)
and
PT.. (Contractor’s Name)
BPMIGAS sebagai pihak pertama kemudian dijelaskan di bawah judul
kontrak ini sebagai suatu badan usaha milik negara yang didirikan berdasarkan
114
Peraturan Pemerintah No.42 Tahun 2002 tentang Badan Pelaksana Kegiatan Hulu
Minyak dan Gas Bumi Jucto UU Nomor 22 Tahun 2001.
Hanya BPMIGAS yang berhak menandatangani kontrak PSC ini,
berdasarkan wewenang yang diberikan oleh Pemerintah. Pemerintah Indonesia
dalam hal Pertambangan minyak dan gas bumi memiliki Authorty to Mine, dan
untuk melaksanakan otoritas tersebut, atas nama Pemerintah Indonesia,
BPMIGAS menunjuk perusahaan mana yang telah memenuhi persyaratan untuk
menjadi Kontraktor production sharing Contract. Nama perusahaan dari
Kontraktor disebut sebagai Pihak Kedua
Digunakannya istilah Production Sharing Contract sebagai judul kontrak
adalah untuk mempertegas bahwa bentuk kontrak kerjasama yang dimaksud untuk
disepakati dan dilaksanakan oleh BPMIGAS dan Kontraktor adalah Pro
ml;duction Sharing Contract (PSC). Hal ini untuk membedakannya dengan bentuk
kontrak kerjasama lainnya, mengingat UU No.22 Tahun 2001 dalam Pasal 1 Butir
19 menyebutkan bahwa Production Sharing Contract merupakan salah satu
bentuk kontrak kerjasama yang diakui oleh undang-undang ini dalam kegiatan
eksplorasi dan eksploitasi yang lebih menguntungkan negara dan hasilnya
dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Pasal 6 UU No.22 Tahun 2001 menyebutkan Persyaratan yang harus
dipenuhi demi diterbitkannya kontrak bagi hasil adalah :
1. Kepemilikan sumber daya alam tetap ditangan Pemerintah sampai pada titik
penyerahan
2. Pengendalian manajemen operasi ada di tangan badan pelaksana
3. Modal dan resiko seluruhnya ditanggung oleh badan usaha atau bentuk usaha
115
tetap.
Kontrak kerjasama dan Production Sharing Contract (PSC) pada dasarnya
istilah yang secara substantif dan politis yang berbeda. Kontrak kerjasama dapat
juga digunakan untuk merujuk pada kontrak konsesi dan kontrak karya yang
dipergunakan oleh Pemerintah Indonesia dalam kegiatan Pertambangan minyak
dan gas bumi sebelum konsep PSC dilahirkan. Kelahiran PSC itu sendiri
dilatarbelakangi akan ketidakpuasan terhadap kedua konsep kontrak konsesi
maupun kontrak karya yang pada kenyataanya membawa negara Indonesia pada
kerugian besar. Keuntungan yang jauh lebih besar hanya didapatkan oleh
penerima konsesi maupun Kontraktor untuk kontrak karya. Dengan penggunaaan
kerjasama PSC, sangat diharapkan kepentingan negara lebih didahulukan. Dalam
hal ini, PSC menganut asas Prorata, yakni kepentingan rakyat di dalam negeri
akan minyak dan gas bumi lebih diutamakan.
Namun UU Nomor 22 Tahun 2001 tidak menyebutkan secara jelas bentuk
kerjasama lainnya selain kontrak bagi hasil. Pasal 1 Butir 19 UU Nomor 22 Tahun
2001 ini hanya menyebutkan bahwa kontrak kerja sama merupakan kontrak bagi
hasil (Production Sharing Contract) dan bentuk kontrak kerja sama lain dalam
eksplorasi dan eksploitasi.
Satu hal yang yang dapat dikemukakan berkaitan dengan istilah production
sharing contract adalah bahwa dalam bahasa Indonesia belum ada padanan yang
baku untuk istilah production sharing contract. Oleh karena itu disarankan untuk
menggunakan istilah ”Perjanjian / Kontrak Bagi Produksi”. Penggunaan istilah
production sharing contract yang terdapat dalam undang-undang No. 22 Tahun
116
2001 dianggap kurang sesuai. Kontrak bagi hasil dan kontrak bagi produksi pada
dasarnya merupakan dua hal yang berbeda.
Judul Kontrak PSC yang digunakan sebelum berlakunya UU No.22 Tahun 2001
adalah :
“PRODUCTION SHARING CONTRACT”
Between
PERUSAHAAN PERTAMBANGAN
MINYAK DAN GAS BUMI NEGARA
(PERTAMINA)
and
(Nama dari KONTRAKTOR perusahaan asing)
Penggunaan istilah Kontrak PSC sebelum berlakunya UU No.22 Tahun
2001 berlaku didasarkan pada UU No.44 Prp tahun 1960, yang
memperkenankannya dibuat suatu kontrak kerjasama lain selain dari kontrak
karya. Pengaturan lebih jelas tentang production sharing contract dimuat dalam
UU No.8 Tahun 1971 tentang Pertamina.
B.3. Scope(Ruang Lingkup)
Menurut UU No.22 Tahun 2001, suatu Kontrak PSC yang ditandatangani
oleh para pihak harus memuat ketentuan-ketentuan pokok yang telah digariskan
dalam UU ini, yaitu:
a. Penerimaan negara
b. Wilayah kerja dan pengembaliannya
c. Kewajiban pengeluaran dana
d. Perpindahan kepemilikan hasil produksi atas minyak dan gas bumi
117
e. Jangka waktu dan kondisi perpanjangan kontrak
f. Penyelesaian perselisihan
g. Kewajiban pemasokan minyak bumi dan/atau gas bumi untuk kebutuhan
dalam negeri
h. Berakhirnya kontrak
i. Kewajiban pasca operasi pertambangan
j. Keselamatan dan kesehatan kerja
k. Pengelolaan lingkungan hidup
l. Pengalihan hak dan kewajiban
m. Pelaporan yang diperlukan
n. Rencana pengembangan lapangan
o. Pengutamaan pemanfaatan barang dan jasa dalam negeri
p. Pengembangan masyarakat sekitarnya dan jaminan hak-hak masyarakat adat
q. Pengutamaan penggunaan tenaga kerja Indonesia.
B.4. Defenisi dan Jangka Waktu Kontrak (Defenition and Duration Contract)
Defenisi
Defenisi yang digunakan dalam kontrak PSC baru mengadopsi defenisi
yang digunakan oleh Pasal 1 UU No.22 Tahun 2001 sebagai landasan
hukum,dalam pengadopsian defenisi tersebut terdapat beberapa penyesuaian
istilah yang lebih bersifat teknis. Hal ini bertujuan untuk menghindari adanya
kesalahpahaman dalam penafsiran isi kontrak bagi hasil (PSC) tersebut.
118
Terdapat didalam Section I Scope and Defenition 1.2 kata-kata tersebut yaitu :
a. Affilliated Company or Affilliate
Perusahaan afiliasi artinya perusahaan atau badan hukum yang mengontrol
atau dikontrol oleh salah satu pihak yang terlibat perjanjian ini dalam
perusahaan atau perseroan lain yang mengontrol/dikontrol oleh sebuah
perusahaan atau badan hukum yang mengontrol/dikontrol oleh sebuah
perusahaan atau badan hukum yang mengontrol salah satu pihak yang terlibat
kontrak ini. Kontrak berarti kepemilikan oleh sebuah perusahaan badan
hukum sekurang-kurangnya 50% saham dengan hak suara atau hak untuk
mengontrol kepentingan bila perusahaan bukan badan hukum.
b. Barrel
Artinya jumlah atau unit dari minyak 42 gallon U$ pada tempeatur 60 derajat
farenheit.
c. Barrel of Oil Equivalent
Barrel padanan minyak ( Boe) yang artinya enam ribu ( 6,000) kaki standar
kubik dari gas-alam berdasarkan pada gas itu mempunyai daya kalori
sebanyak ( 1,000) unit yang berkenaan dengan ukuran panas Britania kaki
percubic ( BTU/ft)
d. Budget of Operating Cost
Biaya-biaya produksi artinya pengeluaran pembuatan dan kewajiban yang
timbul dalam melaksanakan operasi pertambangan minyak yang ditentukan
berdasarkan prosedur akuntansi yang ditentukan disini.
119
e. Calendar Year or Year
Tahun kalender artinya suatu periode dari 12 bulan yang diambil sesuai
dengan kalender.
f. Contract Area
Areal kontrak maksudnya sebuah daerah yang diwilayah menurut undang-
undang pertambangan Indonesia yang meliputi kewenangan untuk
menambang yang merupakan subjek dari kontrak.
g. Crude Oil
Minyak mentah adalah mineral minyak mentah, aspal dan semua jenis
hidrokarbon yang berbentuk padat maupun cair, dalam bentuk alami atau yang
diperoleh dengan cara pengentalan dan pemurnian dari gas alam
h. Effective Date
Waktu efektif artinya tanggal berakhirnya perjanjian bagi hasil antara badan
pelaksana dan kontraktor.
i. Force Majeure
Keadaan memaksa artinya menunda atau kekurangan dalam pekerjaan
pelaksanaan kontrak ini yang disebabkan oleh keadaan diluar kekuasaan dan
tanpa kesalahan atau kelaalian kontraktor atau Pertamina yang dapat
membawa pengaruh ekonomis atau pelanjutan pelaksana kontrak termasuk
waktu efektif.
j. Foreign Exchange
Nilai tukar uang luar negeri artinya suatu sistem keuangan yang berbeda
120
dengan nilai uang Republik Indonesia tetapi dapat diterima oleh Pertamina
dan Pemerintah Republik Indonesia serta Kontraktor.
k. GOI
Artinya pusat pemerintahan Indonesia yang diwakili oleh departemen yang
berwenang dalam sektor minyak dan gas bumi.
l. Grids
Artinya Panggangan berarti graticula bagian yang digambarkan oleh
meredians garis bujur ( refernces garis bujur Greenwich dan paralles garis
lintang ( referen garis katulistiwa)
m. Indonesia Income Tax Law
Artinya hukum pajak pendapatan Indonesia berarti kode pajak yang
mencakup semua peraturan pokok mulai dari tanggal/date waktu efektif yang
ditentukan
n. Natural Gas
Gas alam artinya hidrokarbon-hidrokarbon yang berwujud gas termasuk
mineral gas yang basah dan kering.
o. Operating Costs.
Biaya-biaya operasi artinya pengeluaran pembuatan dan kewajiban yang
timbul dalam melaksanakan operasi penambangan minyak yang ditentukan
berdasarkan prosedur akuntansi yang ditentukan disini.
p. Petroleum
Minyak bumi adalah mineral minyak dan gas yang kemudian disebut sebagai
minyak mentah dan gas alam seperti yang diuraikan dalam UU
121
No.44/Prp/1960.
q. Petroleum Operations
Operasi perminyakan adalah semua bentuk eksplorasi, pengembangan,
pemurnian, produksi, transportasi dan operasi pemasaran yang diberi
kewenangan dan dinyatakan oleh kontrak ini.
r. Point of Export
Artinya titik eksport berarti suatu pernyataan yang memerinci operasi
perminyakan untuk dilaksanakan di area kontrak seperti terpampang pada
bagian IV
s. Work program
Program Kerja artinya sebuah daftar pembagian operasi-operasi
penambangan minyak bumi yang terdapat dalam areal kontrak.
Jangka Waktu Kontrak
Beberapa ketentuan dalam peraturan perundang-undangan mengenai
kegiatan usaha hulu yang terkait dengan batasan waktu yang perlu diperhatikan
dalam kontrak kerja sama antara lain diatur sebagai berikut : jangka waktu
kontrak kerja sama adalah paling lama 30 tahun dengan kemungkinan untuk dapat
diperpanjang paling lama 20 tahun untuk setiap kali perpanjangan
a. Jangka waktu Kontrak terdiri atas 2 tahap:
- Tahap Eksplorasi : 6 tahun ditambah perpanjangan satu kali untuk waktu 4
tahun (jadi berkisar antara 6 sampai dengan 10 tahun).
- Tahap Produksi (eksploitasi) dimulai sejak wilayah kerja dinyatakan
komersial, berlansung sampai dengan akhir jangka waktu kontrak
122
b. Jangka waktu paling lama 5 tahun sejak berakhirnya jangka waktu eksplorasi
merupakan batasan waktu dimana Kontraktor diwajibkan untuk
mengembalikan seluruh wilayah kerja kepada menteri jika Kontraktor tidak
melaksanakan kegiatannya setelah mendapatkan persetujuan pengembangan
lapangan yang pertama dalam suatu wilayah kerja (Pasal 17 UU No.22 Tahun
2001).
c. Jangka waktu paling lama 180 hari setelah tanggal efektif berlakunya kontrak,
merupakan batasan waktu bagi Kontraktor untuk memulai kegiatannya 92
d. Jangka waktu paling cepat 10 tahun dan paling lambat 20 tahun sebelum
berakhirnya kontrak kerja sama, merupakan batasan waktu untuk mengajukan
permohonan jangka waktu kontrak. Kecuali kontraktor yang bersangkutan
telah terikat dengan kesepakatan jual beli gas bumi, sehingga pengajuan
perpanjangan dapat lebih cepat dilakukan.
93
e. Dasar hukum : Pasal 30 (a) dan 28 (5) PP No.35/2004.
Berakhirnya Kontrak
Beberapa sebab berakhirnya kontrak PSC adalah:
a. Kontrak kerja sama (KKKS) berakhir karena jangka waktunya berakhir atau
kontrak kerja sama tersebut tidak diperpanjang.
b. Usulan BP MIGAS kepada Menteri:
1. Apabila Kontraktor tidak memulai kegiatannya dalam jangka waktu paling 92 (Pasal 30 (1) PP No.35 Tahun 2004). 93 Laporan Akhir Kajian PSC (Kerjasama Biro Hukum Departemen Energi dan Sumber Daya
Mineral Republik Indonesia dengan Pengkajian Hukum Internasional (LPHI) Fakultas Hukum Universitas Indonesia
123
lama 180 hari setelah tanggal efektif berlakunya kontrak kerja sama 94
2. Apabila Kontraktor tidak dapat melaksanakan kewajiban-kewajibannya
sesuai dengan kontrak kerja samanya dan peraturan perundangan yang
berlaku.
95
UU No.22 Tahun 2001 mengandung perubahan yang penting dalam hal
pengaturan otoritas yang berwenang mewakili negara Indonesia. Melalui undang-
undang ini, otoritas yang berwenang adalah badan pelaksana. Badan pelaksana
(BP) adalah suatu badan yang dibentuk untuk melaksanakan pengendalian
kegiatan usaha hulu di bidang minyak dan gas Bumi.
c. Alasan pengakhiran lainnya sebagaimana disepakati oleh para pihak dan diatur
dalam PSC, misalnya tidak ditemukannya cadangan minyak dan gas bumi
yang dapat diproduksi secara komersil.
d. Hal-hal yang harus dipenuhi oleh Kontraktor serta situasi tertentu yang
menimbulkan hak/opsi bagi kontraktor untuk mengajukan perpanjangan
jangka waktu dalam PSC harus jelas
B.5. Pihak-Pihak Dalam Kontrak (Parties of contract)
1. Para Pihak Dalam Kontrak PSC Baru Setelah Keberlakuan UU No. 22 Tahun
2001.
a. Badan Pelaksana Minyak dan Gas Bumi (BPMIGAS)
96
94 Pasal 30 (2) PP No.35 Tahun 2004 95 Pasal 32 PP No.35 Tahun 2004 96 Pasal 1 Butir 23 UU No.21 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi
Selanjutnya mengenai
badan pelaksana ini diatur dalam PP No.42 Tahun 2002. Adapun fungsi dari
124
badan pelaksana untuk melakukan pengawasan terhadap kegiatan usaha hulu agar
pengambilan sumber daya alam minyak dan gas bumi negara dapat memberi
manfaat dan penerimaan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. 97
a. Memberikan pertimbangan kepada Menteri atas kebijaksanaannya dalam hal
penyiapan dan penawaran wilayah kerja serta kontrak kerja sama.
Sebagai badan
hukum milik negara yang berwenang, BPMIGAS memiliki tugas sebagai berikut :
b. Melaksanakan penandatangan kontrak kerja sama
c. Mengkaji dan menyampaikan rencana pengembangan lapangan yang pertama
kali akan diproduksi dalam suatu wilayah kerja kepada Menteri untuk
mendapatkan persetujuan
d. Memberikan persetujuan rencana pengembangan lapangan
e. Memberikan persetujuan rencana kerja dan anggaran
f. Melaksanakan monitoring dan melaporkan kepada Menteri mengenai
pelaksanaan kontrak kerja sama.
g. Menunjuk penjual minyak bumi dan/atau gas bumi bagian negara yang dapat
memberikan keuntungan sebesar-besarnya bagi negara.
Selain bertindak sebagai pihak dalam kontrak PSC, BPMIGAS juga
melaksanakan fungsinya sebagai pengawas atas pelaksananaan kegiatan usaha
hulu berdasarkan kontrak kerja sama yang dilaksanakan oleh badan pelaksana
(BP).
Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (3) UU No.22
Tahun 2001 ini meliputi:
97 Pasal 44 ayat 2 UU. No.22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi
125
a. Konservasi sumber daya dan cadangan minyak dan gas bumi
b. Pengelolaan minyak dan gas bumi
c. Penerapan kaidah keteknikan yang baik
d. Jenis dan mutu hasil olahan minyak dan gas bumi
e. Alokasi dan distribusi bahan bakar minyak dan bahan baku
f. Keselamatan dan kesehatan kerja
g. Pengelolaan lingkungan hidup
h. Pemanfaatan barang dan jasa, teknologi, dan kemampuan rekayasa dan
rancang bangun dalam negeri
i. Pengunaan tenaga kerja asing
j. Pengembangan tenaga kerja Indonesia
k. Pengembangan lingkungan masyarakat setempat
l. Penguasaan, pengembangan dan penerapan teknologi minyak dan gas bumi
m. Kegiatan-kegiatan lain di bidang kegiatan usaha minyak dan gas bumi
sepanjang menyangkut kepentingan umum.
Pengalihan wewenang Pertamina kepada BPMIGAS dalam rangka
pelaksanaan kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi, termasuk di dalamnya
pembuatan dan pelaksanaan production sharing contract dipertegas dalam Pasal
63 UU No.22 Tahun 2001.
b. Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap
Pasal 11 UU No.22 Tahun 2001 menyebutkan badan usaha atau bentuk
usaha tetap yang dapat melaksanakan kegiatan usaha hulu melalui kontrak PSC.
Badan usaha atau bentuk usaha tetap ini tidak harus perusahaan asing. Sepanjang
126
badan usaha atau bentuk usaha tetap ini memenuhi persyaratan yang digariskan
oleh UU No.22 tahun 2001 ini, maka mereka berhak menjadi pihak Kontraktor
dalam kontrak PSC
2. Para Pihak dalam Kontrak PSC Lama
1. PERTAMINA
Kuasa Pertambangan berada ditangan Pemerintah Indonesia, namun
didelegasikan kepada Perusahaan Negara, dalam hal ini Pertamina. Wewenang
Pertamina untuk pembuatan dan pelaksanaan Production Sharing Contract
berdasarkan UU No. 8 Tahun 1971.
2. KONTRAKTOR (Perusahaan asing).
Sebelum UU No.22 Tahun 2001 yang bertindak sebagai Kontraktor adalah
perusahaan asing. Dipercayainya perusahaan asing sebagai Kontraktor karena
industri pertambangan merupakan industri sangat berat baik dari segi teknologi,
peralatan dan sumberdaya sebagai perencananya serta modal.
Dengan berlakunya UU No.22 Tahun 2001 dan PP No. 42 tahun 2002,
wewenang Pertamina sebagai pihak pembina dan pengawas bagi Kontraktor untuk
perjanjian kerjasama PSC dengan resmi beralih kepada badan pelaksana.
Dari ketentuan yang diatur dalam UU No.22 Tahun 2001 ada beberapa hal
yang menarik perhatian untuk dicermati:
Sebelum berlakunya UU No.22 Tahun 2001, Hak Pertambangan dikuasai
oleh Pemerintah atas nama negara dan didelegasikan kepada Perusahaan Negara
(Pertamina). Setelah berlakunya UU No.22 tahun 2001, Hak pertambangan
didelegasikan kepada BPMIGAS. Dengan demikian, economic right yang
127
sebelumnya kepada Pertamina, saat ini diberikan kepada badan pelaksana migas.
Sebelumnya penguasa pertambangan adalah Pertamina yang berbentuk
badan usaha (BU) atau korporasi. Saat ini pengelola diserahkan kepada badan
pelaksana migas yang berbentuk badan hukum. Dengan demikian, apabila terjadi
suatu tuntutan hukum dimasa sekarang yang bertanggung jawab adalah negara,
bukan Pertamina.
Dalam hal production sharing contract, sebelum UU No.22 tahun 2001
berlaku, kedudukan Kontraktor berada di bawah Pertamina sebagai perusahaan
yang dikontrak. Saat ini, setelah UU No.22 Tahun 2001 berlaku, kedudukan
Kontraktor sejajar dengan BPMIGAS. Kedudukan yang sejajar antara Kontraktor
dan BPMIGAS berakibat pada perubahan kedudukan hukum di antara para pihak.
Berkaitan dengan badan usaha, yang dapat menjadi pihak Kontraktor juga
mengalami perubahan. Sebelum UU No.22 Tahun 2001 berlaku, yang berhak
menjadi pihak Kontraktor adalah perusahaan asing. Setelah undang-undang ini
berlaku, badan usaha baik asing maupun nasional dapat menjadi pihak Kontraktor
sepanjang badan usaha tersebut memenuhi persyaratan yang digariskan untuk
pembuatan kontrak PSC. Dengan diberikannya kesempatan kepada badan usaha
tetap milik nasional untuk menjadi pihak Kontraktor maka pemerintah telah
memberikan mereka kesempatan untuk membuktikan diri bahwa mereka mampu
menyumbangkan kontribusi bagi peningkatan perekonomian negara.
Berkaitan dengan penerimaan negara dari hasil pengelolaan kontrak PSC,
sebelum UU No.22 Tahun 2001 berlaku, Pertamina mendapatkan hasil dari
kontrak PSC tersebut. Sekarang penerimaan tersebut digunakan oleh badan
128
pengelola migas.
Sebelumnya semua ketentuan perpajakan dan bea masuk diatur dalam UU
No.8 Tahun 1970, sekarang ketentuan tentang perpajakan dan bea masuk diatur
menurut masing-masing undang-undang. Sebelumnya kepastian hukum dan
kepastian operasi lebih jelas dan tegas tetapi undang-undang baru menimbulkan
keraguan bagi para Kontraktor. Keraguan yang melanda investor tentunya
memiliki dampak terhadap penurunan investasi. Penurunan investasi di bidang
kegiatan pertambangan minyak dan gas akan mengakibatkan penurunan produksi
minyak. Penurunan produksi minyak tentunya berakibat pada penurunan
peneriman negara dari sektor minyak dan gas bumi sejak UU No.22 Tahun 2001
ini berlaku.
Dengan adanya undang-undang migas, iklim investasi migas dinilai
menjadi tidak kondusif. Undang-undang migas telah memberi beban bagi investor
saat mencari cadangan baru (kegiatan eksplorasi) karena sudah diwajibkan
membayar berbagai pajak dan pungutan selama periode eksplorasi.
UU No.22 Thn 2001 ini pada dasarnya mengandung perubahan yang cukup
signifikan, yaitu undang-undang ini mengatur kewajiban usaha hulu untuk
memasok kebutuhan minyak dan gas bumi domestik. Namun pengaturan di
anggap masih jauh dari cukup. Hal ini dikarenakan Pasal 22 undang-undang ini
menyebutkan bahwa badan usaha atau bentuk usaha tetap wajib menyerahkan
paling banyak 25% (dua puluh lima persen) bagiannya dari hasil produksi minyak
bumi dan/atau gas bumi untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.
129
B.6. Work Program and Budget
(Program Kerja dan Rencana Anggaran Belanja)
Work Program yang diatur dalam PSC harus mengacu pada peraturan
perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Dalam uindang-undang Migas
dan PP No.35 tidak mendapat pengaturan secara tegas. Namun dalam PP No.35
Tahun 1994 disebutkan dalam Pasal 9 ayat (1) bahwa “Sebelum dimulai tahun
takwim, Kontraktor wajib menyampaikan rencana kerja dan rencana anggaran
belanja yang diperlukan dalam usaha eksplorasi dan esploitasi kepada Pertamina
untuk mendapatkan persetujuannya”. Dalam ayat (2) disebutkan bahwa Pertamina
melakukan pengawasan atas pelaksanaan rencana kerja dan rencana anggaran
belanja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) .
Kontraktor wajib melaksanakan usaha eksplorasi selambat-lambatnya 180
hari setelah PSC efektif. Sedangkan ayat (2)-nya menyebutkan bahwa apabila
Kontraktor tidak menjalankan kewajibannya dalam ayat (1) tersebut, Pertamina
wajib melaporkannya kepada Menteri selambat-lambatnya 30 hari sejak
berakhirnya jangka waktu 180 hari tersebut.
B.7. Areas Of Work & Relinguishment
Wilayah Kerja (Areas of Work)
Berbeda dengan peraturan sebelum tahun 2001 yang tidak memberikan
pembatasan dalam kaitan dengan wilayah kerja (baik ukuran maupun jumlah total
blok yang dimohonkan), berdasarkan undang-undang No.22 Tahun 2001 dan
peraturan pelaksanaannya, setiap Kontraktor hanya akan diberikan satu wilayah
130
kerja. Dalam hal Kontraktor mengusahakan beberapa wilayah kerja, harus
dibentuk badan hukum yang terpisah untuk setiap wilayah kerja (Pasal 13 ayat (1)
UU No.22 Tahun 2001 Jo Pasal 7 (1) PP No.35 Tahun 2004).
Latar belakang pemikiran dari pembatasan ini dijelaskan dalam penjelasan
terhadap Pasal 13 (ayat 1) yaitu:
- Menghindari dilakukannya konsolidasi pembebanan dan atau pengembalian
biaya eksplorasi dan eksploitasi dari suatu wilayah kerja dengan wilayah kerja
yang lain, dan
- Mencegah ketidakjelasan pembagian penerimaan antara Pemerintah dengan
masing-masing pemerintah daerah yang terkait dengan wilayah kerja yang
dimaksud.
Bagi calon investor (baik asing maupun domestik), pembatasan ini
mengakibatkan perlunya dibentuk beberapa badan hukum jika kegiatan akan
dilakukan dalam beberapa wilayah kerja, dan beberapa kontrak kerja sama harus
ditandatangani meskipun wilayah kerjanya saling berbatasan.
Penawaran wilayah kerja kepada badan usaha dan bentuk usaha tetap
dilakukan oleh Menteri berkoordinasi dengan BPMIGAS. Penawaran dilakukan
secara lelang atau penawaran lansung.
Meskipun lelang yang sama juga diberikan kepada PT. Pertamina untuk
mengajukan permohonan mendapatkan wilayah kerja terbuka tertentu, namun ada
pembatasan ditetapkan berkaitan dengan status hukum dari PT. Pertamina (yaitu
sepanjang 100% dimiliki negara) serta tidak dapat mengajukan permohonan untuk
wilayah kerja yang telah ditawarkan .
131
Relinquishment/exclusion (Pelepasan/Penyisihan) Wilayah Kerja
Ketentuan tentang relinguishment diatur dalam Pasal 16 UU No.22 Tahun
2001 (mandatory relinguishment), yang kemudian diatur lebih lanjut dalam PP
No.35 Tahun 2004. Dan Pasal 7 PP No.35 Tahun 2004 menegaskan kembali
pengaturan mengenai mandatory relinquishment dan sekaligus mengatur
mengenai Voluntary relinquishment.
Terdapat 2 relinquishment dalam Kontrak Bagi Hasil :
a. Mandatory relinquishment
b. Voluntary relinquishment
Mandatory relinquishment/exclusion
Landasan Yuridis
Pasal 16 UU No.22 Tahun 2001 , mengatur sebagai berikut :
“ Badan Usaha atau Bentuk usaha Tetap wajib mengembalikan sebagian
Wilayah Kerjanya secara bertahap atau seluruhnya kepada Menteri.”
Pasal 7 (1) PP No.35 Tahun 2004 menegaskan kembali kewajiban ini dengan
rumusan sebagai berikut :
“ KONTRAKTOR wajib mengembalikan sebagian Wilayah Kerjanya secara
bertahap atau seluruhnya kepada Menteri melalui Badan Pelaksana, sesuai
dengan Kontrak Kerja Sama.”
Dari kedua ketentuan tersebut dapat disimpulkan bahwa bagi Kontraktor
ditetapkan kewajiban untuk melepasakan bagian dari wilayah kerja dengan luas
yang disepakati/ditentukan dalam PSC setelah suatu jangka waktu tertentu selama
tahap eksplorasi awal. Tujuan dari pada kewajiban ini adalah agar bagian dari
dan/atau seluruh wilayah kerja yang tidak dimanfaatkan dapat ditawarkan kepada
132
pihak lain sebagai wilayah kerja yang baru. Dengan demikian, Pemerintah dapat
memperoleh bagi hasil yang optimal dari pemanfaatan potensi sumber daya alam
dari suatu wilayah .
Didalam UU No.22 Tahun 2001 dan peraturan pelaksanaannya tidak
dimuat pengaturan yang rinci mengenai pelaksanaan dari relinguishment ini.
Pelaksanaan hal ini diserahkan kepada kesepakatan para pihak untuk ditentukan
dalam PSC.
Dari Pasal 7 (1) PP No.35 Tahun 2004 tersebut di atas jelas bahwa
relinguishment dari bagian wilayah kerja yang wajib dilakukan oleh Kontraktor
ditetapkan dalam kontrak kerja sama. Dengan demikian para pihak secara
kontraktual mempunyai wewenang untuk menentukan luas bagian atau prosentase
dari luas wilayah kerja yang harus dilepaskan dan kapan pelepasan itu harus
dilaksanakan.
Dalam PSC ketentuan mengenai relinquishment ini dapat dilihat dalam
section III. Ada Beberapa ketentuan Pengaturan dalam PSC (Kontrak Bagi Hasil)
baru yang berbeda dengan ketentuan dalam PSC Lama. Ada pengaturan yang
menjadi lebih ketat dan ada yang meringankan Kontraktor.
Dalam salah satu PSC Lama, Section II, mandatory relinguishment
dilakukan dengan tahap-tahap sebagai berikut:
- Pada atau sebelum berakhirnya periode 3 (tiga) tahun yang pertama sejak
Effective Date, wajib melepaskan 25% dari wilayah kerja awal
- Pada atau sebelum berakhirnya tahun ke-6 dari periode kontrak (contract
year), wajib melepaskan tambahan wilayah seluas 25 % dari total luas wilayah
133
kerja awal.
- Pada atau sebelum berakhirnya tahun ke-10 dari contract year, wajib
melepaskan tambahan wilayah, sehingga wilayah yang dipertahankan oleh
Kontraktor tidak akan lebih dari 20% dari total luas wilayah kerja awal.
Mandatory relinquishment dilakukan dalam jangka waktu 6 (enam) sampai
dengan 10 (sepuluh) tahun, yaitu selama jangka waktu eksplorasi .
PSC baru memperlihatkan adanya perubahan, terutama berkaitan dengan
periode atau waktu/jadwal tahap-tahap tersebut direalisasi, namun tetap dalam
periode pelaksanaan eksplorasi awal. Tahap-tahap relinquishment dalam PSC baru
yang bersangkutan hanya dikaitkan dengan tahun ke-3 dan tahun ke-6 periode
kontrak. Tidak secara jelas mencakup kemungkinan adanya perpanjangan periode
tahap eksplorasi. Batasan bagi wilayah kerja yang dipertahankan, tetap tidak lebih
dari 20% dari total luas wilayah kerja awal.
Ketentuan dalam section III, clause 3.2 yang mengaitkan kewajiban
pelepasan wilayah kerja dengan tanggung jawab Kontraktor untuk menyiapkan
program kerja dengan tanggung jawab Kontraktor untuk menyiapkan program
kerja (work program) untuk periode 3 (tiga) tahun pertama, juga menetapkan
ketentuan bahwa kelalaian untuk menyiapkan program kerja dalam jangka waktu
yang ditentukan hanya akan mengakibatkan adanya pemberitahuan dari pihak
BPMIGAS untuk segera memenuhi tanggung jawab tersebut. Ketentuan ini
berbeda dengan apa yang diatur dalam PSC generasi sebelumnya yang
menetapkan bahwa Kontraktor diwajibkan melepaskan lagi sebagian wilayah
kerja
134
Voluntary relinguisment/exclusion
Landasan Yuridis
Pasal 7 (2) PP No.35 tahun 2004 menetapkan sebagai berikut :
“ Selain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Kontaktor dapat mengembalikan sebagian atau seluruh Wilayah Kerjanya kepada Menteri melalui Badan Pelaksana sebelum jangka waktu Kontrak Kerja Sama berakhir”
Meski Voluntary relinquishment menjadi hak dari Kontraktor namun
realisasinya setelah Kontraktor terlebih dahulu memenuhi seluruh komitmen
eksplorasi dan kewajiban lain berdasarkan kontrak kerja sama
Ketentuan dalam PSC
Pelaksanan voluntary relinguishment diatur dalam clause 3.6 dan clause
3.7. Baik PSC lama maupun PSC baru menetapkan waktu untuk realisasi dari hak
Kontraktor ini yaitu sebelum akhir tahun kontrak ke-2 dan pada tahun kontrak
berikutnya, dan hal ini harus diberitahukan secara tertulis kepada BPMIGAS 30
hari sebelumnya. Bentuk dan ukuran dari masing-masing bagian wilayah kerja
yang akan dilepaskan ditetapkan berdasarkan hasil konsultasi antara Kontraktor
dan BPMIGAS.
B.8. Pengalihan Hak dan Kewajiban (Participating Interest)
Karena didalam bab tiga (3) telah dibahas mengenai hak dan kewajiban
para pihak (Rights and Obligation of The Parties) maka dalam bab 4 (empat ini)
yang dibahas mengenai Pengalihan hak dan kewajiban para pihak (Participating
Interest) dalam kontrak bagi hasil yang juga merupakan bagian dari substansi
135
kontrak..
Dalam pelaksanaan kegiatan usaha hulu, yang mencakup eksplorasi dan
eksploitasi, hak-hak dan kewajiban para pihak dalam PSC perlu/harus diatur
secara jelas dan disesuaikan dengan ketentuan hukum yang berlaku.
Pengalihan, penyerahan dan pemindahtanganan (selanjutnya disebut
pengalihan) hak dan kewajiban Kontraktor, baik sebagian maupun seluruhnya
(participating interest) dapat dilakukan Kontraktor kepada :
(a) Pihak lain, setelah mendapat persetujuan Menteri berdasarkan pertimbangan
badan pelaksana:
(b) Perusahaan Non-afiliasi atau kepada perusahaan selain mitra kerja dalam
wilayah kerja yang sama. Dalam hal ini Menteri dapat minta kepada
Kontraktor untuk menawarkan terlebih dahulu kepada perusahaan nasional.
Jika tidak ada perusahaan nasional yang berminat, Kontraktor dapat
menawarkannya kepada pihak lain. Yang dimaksud dengan “Perusahaan
Nasional” adalah BUMN, BUMD, Koperasi, Usaha Kecil dan perusahaan
swasta nasional yang keseluruhan sahamnya dimiliki WNI. Namun Kontraktor
tidak dapat mengalihkan sebagian hak dan kewajibannya secara mayoritas
kepada pihak lain yang bukan afiliasinya dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun
pertama masa eksplorasi.
Disamping pihak-pihak yang disebut di atas, Pasal 34 PP No.35 Tahun
2004 secara khusus juga menetapkan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD)
sebagai pihak yang dapat menerima pengalihan, dimana Kontraktor diwajibkan
menawarkan 10% participating interest kepada BUMD, sejak disetujuinya rencana
136
pengembangan lapangan yang pertama kali akan diproduksikan dari suatu wilayah
kerja. Pernyataan kesanggupan dari BUMD untuk menerima penawaran ini harus
disampaikan BUMD dalam jangka waktu 60 hari sejak tanggal penawaran.
Dengan lewatnya waktu untuk memberikan pernyataan kesanggupan ini oleh
BUMD, maka Kontraktor diwajibkan menawarkan kepada perusahaan nasional.
Jika tidak ada perusahaan nasional yang menyatakan minat dalam jangka waktu
60 hari sejak tanggal penawaran maka penawaran dinyatakan tertutup.
B.9. Cost Recovery/Profit Sharing
Masalah cost recovery dan profit sharing dalam PSC mengacu pada
undang-undang migas dan peraturan pemerintah tentang kegiatan usaha hulu
minyak dan gas bumi.
Pasal 56 PP No. 35 Tahun 2004 menyebutkan bahwa :
1. Pengeluaran biaya investasi dan operasi dari kontrak bagi hasil wajib
mendapatkan persetujuan badan pelaksana.
2. Kontraktor mendapatkan kembali biaya-biaya yang telah dikeluarkan untuk
melakukan eksplorasi dan eksploitasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
sesuai dengan rencana kerja dan anggaran serta otorisasi pembelanjaan
finansial (Authorization Financial Expenditure) yang telah disetujui oleh
badan pelaksana setelah menghasilkan produksi komersial.
Bila diperhatikan ketentuan Pasal (6) PSC antara BPMIGAS dan
Kontraktor
137
Maka ada beberapa hal yang perlu mendapat perhatian :98
1. Tidak diatur ketentuan dimana BPMIGAS memberi persetujuan tentang
pengeluaran biaya investasi dan operasi .
2. Pengembalian biaya investasi dan operasi diatur secara rinci dalam PSC
yang tidak diatur secara dalam Peraturan Pemerintah
3. Tidak ada pengaturan dalam Pasal (6) yang mengharuskan biaya-biaya
yang dikeluarkan adalah sesuai dengan rencana kerja dan anggaran serta
otorisasi pembelanjaan finansial.
B.10. Title to Oil ( Hak atas Migas)
Aspek filosofis terdapat dalam Pasal 4 ayat (1) UU No.22 Thn 2001 yaitu:
a. Semua sumber daya alam berupa migas sebagai sumber daya alam strategis
tak terbarukan yang terkandung didalam wilayah hukum pertambangan
Indonesia adalah kekayaan negara/nasional yang dikuasai oleh negara, harus
dimuat dalam setiap PSC, yang akan menjadi landasan berpijak bagi
kerjasama diantara para pihak dalam kontrak.
b. Ketentuan PSC tidak memberikan hak atas migas kepada Kontraktor, kecuali
hak untuk mengambil bagian dari produksi, sebagai kompensasi atas resiko-
resiko dan jasa-jasa yang telah diberikan oleh Kontraktor dalam pelaksanan
kegiatan usaha hulu berdasarkan PSC dengan badan pelaksana (BPMIGAS)
c. Kepemilikan Sumber daya alam dalam tetap ditangan Pemerintah sampai pada
titik penyerahan
98 . Lihat Pasal 6 Production Sharing Contract dengan Pihak BPMIGAS (Setelah UU 22/2001)
138
d. Pembayaran dalam bentuk hal produksi dilakukan pada titik penyerahan (point
of eksport).
B.11. Title to Equipment & Abandonment (hak atas Peralatan dan
Abandonment)
Diatur dalam Pasal 78 - 81 PP No.35 Thn 2004 dan Pasal 78 ayat (1) Jo.78
ayat (4) PP No.35 Thn 2004 :
- Seluruh barang dan peralatan yang secara lansung digunakan dalam kegiatan
usaha hulu yang dibeli kontraktor menjadi milik/kekayaan negara yang
pembinaannya dilakukan oleh Penerintah dan dikelola oleh badan pelaksana.
- Kontraktor dapat mempergunakan barang dan peralatan tersebut selama
berlakunya PSC
Secara garis besar peralatan dibagi dalam 2 (dua) kategori
1. Peralatan yang dibeli (Purchased equipment)
2. Peralatan yang disewa (Leased equipment)
B.12. Settlement of Dispute & Governing Law
1. Arbitrase yang dilakukan bersifat ad hoc bukan permanen
2. Hukum acara yang digunakan adalah ICC (International Chamber of
Commerce) sehingga perlu dilakukan kajian mendalam apakah hukum acara
ICC bisa digunakan di tempat arbitrase yang ditunjuk, bila Singapura sebagai
tempat berabitrase.
3. Dalam PP No.35 tahun 2004 penyelesaian sengketa kontrak tidak diatur.
4. Didalam Kontrak PSC BPMIGAS disebutkan bahwa penyelesaian sengketa
139
diselesaikan melalui arbitrase. (Akan tetapi tidak disebutkan secara tegas
dimana arbitrase dilakukan, kecuali kata-kata di tempat yang disepakati
bersama. Hal ini perlu dihindari mengingat para pihak bisa saja tidak sepakat
tempat arbitrasenya. Sebaiknya arbitrase dilakukan di Indonesia dan bila tidak
disetujui dan diinginkan di luar negeri maka di negara yang tidak terlalu jauh
dari Indonesia, seperti Singapura.
B.13. Employment (Ketenagakerjaan)
Pengaturan mengenai tenaga kerja di dalam UU No.22 Tahun 2001 dan
peraturan pelaksanaannya didasarkan pada prinsip pengutamaan penggunaan
tenaga kerja Indonesia. Masalah ketenagakerjaan ini diatur dalam Pasal 82 sampai
dengan Pasal 85 PP No.35 Tahun 2004, yang memuat syarat-syarat untuk
penggunaan tenaga kerja Indonesia maupun tenaga asing.
Sebelum tahun 2001, ketentuan tentang ketenagakerjaan juga diatur dalam
PP No.35 Tahun 1994.
Dalam PSC, baik dalam PSC lama maupun PSC baru masalah
ketenagakerjaan ini diatur dalam Section XII dengan judul “Employment And
Training of Indonesian Personnel.”
Prinsip pengutamaan penggunaan tenaga kerja Indonesia sebagaimana
yang diwajibkan kepada kontraktor dalam Pasal 82 PP No.35 Tahun 2004,
diformulasikan dalam Section XII dari PSC, khususnya Clause 12.1 sebagai
kesepakatan atau persetujuan Kontraktor (“contractor aggrees…”) untuk
memperkerjakan karayawan/personil Indonesia yang berkualitas.
140
Program pendidikan dan pelatihan untuk kedudukan buruh dan staff
termasuk administrasi dan manajemen eksekutif, juga menjadi tanggung jawab
Kontraktor tidak hanya untuk tenaga kerja Indonesia dalam rangka PSC tapi juga
untuk personil dari Pemerintah maupun BPMIGAS
Biaya untuk pendidikan dan pelatihan karyawan sendiri menjadi bagian
dari biaya operasi (Operating Cost), sedangkan untuk personil Pemerintah dan
BPMIGAS berdasarkan kesepakatan bersama.
Kontraktor juga diwajibkan untuk menjamin dan menaati ketentuan
keselamatan dan kesehatan kerja sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Didalam PSC tidak terdapat ketentuan yang rinci mengenai penggunaan
tenaga kerja asing, meskipun hal ini dimungkinkan bagi Kontraktor berdasarkan
peraturan yang berlaku. Penggunaan tenaga kerja asing, dapat dilihat dalam
ketentuan yang berkaitan dengan hak dan kewajiban para pihak. Didalam Clause
5.2.2 PSC Baru ditentukan bahwa Kontraktor akan menyediakan “technical aid,
including foreign personnel, required foer the performance of the work program”
Pasal 82 (2) PP No.35 Tahun 2004 menetapkan bahwa syarat bagi tenaga
kerja asing yang akan dipekerjakan, yaitu untuk jabatan dan keahlian tertentu
yang belum dapat dipenuhi tenaga kerja WNI sesuai dengan kompetisi jabatan
yang dipersyaratkan.
Dengan demikian berdasarkan peraturan yang berlaku, Kontraktor
diberikan hak untuk menentukan tenaga kerja yang dibutuhkannya sepanjang
memberikan prioritas kepada tenaga kerja asing hanya untuk jabatan dan keahlian
tertentu.
141
Dalam pelaksanaan hak Kontraktor ini, peraturan perundangan di bidang
ketenagakerjaan perlu diperhatikan.
Prosedur perijinan tenaga kerja asing dilakukan dengan menggunakan
Rencana Penggunaan Tenaga Kerja (RPTK), untuk keperluan memperoleh ijin
kerja serta persyaratan lain menurut ketentuan hukum yang berlaku.
Sebelum berlakunya UU No.22 Tahun 2001, masalah ketenagakerjaan
mengacu kepada PP No.35 Tahun 1994 yang memuat syarat-syarat dan pedoman
yang harus dituangkan dalam suatu kontrak, yang pada masa itu judul kontrak
dikenal sebagai kontrak bagi hasil migas.
Berdasarkan PP No.35 Tahun 1994 ini, hak Kontrataktor untuk
mempekerjakan tenaga kerja dibatasi dengan ketentuan untuk mendapatkan
persetujuan dari Pertamina. Tenaga kerja Indonesia yang dipekerjakan oleh
Kontraktor dalam rangka PSC mempunyai status pegawai Pertamina. Untuk
tenaga kerja asing diperlukan persetujuan dari Menteri yang lapangan tugasnya
dalam bidang migas.
Kini tidak lagi dipersyaratkan untuk meminta persetujuan dari instansi lain,
selain daripada instansi di bidang ketenagakerjaan.
B.14. Environment & Community Development
Environment
1 Salah satu azas penyelenggaraan Migas di Indonesia adalah berwawasan
lingkungan
2 Dilakukan oleh departemen terkait dalam hal ini adalah Kementrian
142
lingkungan hidup
3 Peraturan Pemerintah No.27 Tahun 1999 Jo Keputusan Menteri Lingkungan
hidup No.17 Tahun 2001 Usaha Migas adalah salah satu usaha yang
memerlukan Analisa Dampak Lingkungan (AMDAL)
4 Ketentuan yang terkait dengan kewajiban menjaga lingkungan laut dari
pencemaran dan perusakan dan untuk mencegah adanya gangguan pada
pelayaran antara lain :
- UU No.21 Tahun 1992 Tentang Pelayaran
- PP No.51 Tahun 2002 Tentang Perkapalan
- PP No.19 Tahun 1999 tentang Pengendalian pencemaran dan/atau
perusakan laut.
Ketentuan yang terdapat dalam PSC hendaknya tidak boleh bertentangan
dengan ketentuan dalam Konvensi-konvensi yang telah diratifikasi dan yang akan
diratikasi di Indonesia. Konvensi-konvensi tersebut antara lain:
1. International Convention on Civil Liability for Oil Pollution Damage 1969
2. Protocol of 1992 to Amend International Convention on Civil Liability for Oil
Pollution Damage 1969.
3. The International Convention for The Prevention of Pollution from Ships
1973 dan Protocol to The Internasional Convention for The Prevention of
Pollution from Ships 1973
4. United Nations Conventions On The Law of The Sea 1982 (UNCLOS)
5. Convention On The Prevention of Marine Pollution by Dumping of Waste and
Other Matters
143
6. Protocol 1996 to The Convention on The Prevention of Marine pollution by
Dumping of Waste anf Other Matters
7. Convention on oil Pollution Preparedness Response and Cooperation (OPRC)
Community Development (Perlindungan Terhadap Kepentingan Masyarakat)
Kontraktor harus bisa menjamin tidak dirugikannya hak masyarakat, baik
atas tanahnya maupun atas pengelolaan/pengembangan lingkungan dimana
kegiatan dilaksanakan (Peraturan Pemerintah No.35 Tahun 2004)
Pengembangan masyarakat oleh kontraktor kontrak kerjasama (KKKS)
dilaksanakan dengan:
1. Sistematis dan terencana
2. Tidak mengambil alih peran Pemerintah
3. Membawa perbaikan sosial ekonomi dan kualitas kehidupan masyarakat
4. Membangun keharmonisan/kemitraan hubungan seluruh aspek stakeholder
Alasan penting mengapa perusahaan melakukan kegiatan pengembangan
masyarakat adalah karena adanya izin lokal dan untuk mengatur dan menciptakan
strategi kedepan dalam kerangka pembangunan berkelanjutan.
Misi dan Visi Community Development (CD)
Misi : Mendukung kelancaran kegiatan kontraktor KKS dan mendukung program
pemerintah dalam meningkatkan kemandirian masyarakat melalui program
kemitraan.
Visi : Meningkatkan produktifitas masyarakat dan kemampuan sosial ekonomi
masyarakat dan kemampuan sosial ekonomi masyarakat secara mandiri di
144
wilayah operasi kontraktor KKS dengan memberdayakan potensi daerah.
Landasan Hukum:
1. Undang-undang No.22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi
- Pasal 11 ayat (3)
Kotrak kerja sama sebagaima dimaksud dalam ayat satu (1) wajib memuat
paling sedkit ketentuan-ketentuan pokok, pengembangan masyarakat
sekitarnya dan jaminan hak-hak masyarakat adat.
- Pasal 40 butir 5
Badan usaha (bu) atau bentuk usaha tetap (but) yang melaksanakan kegiatan
usaha minyak dan gas bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ikut
bertanggung jawab dalam mengembangkan lingkungan dan masyarakat
setempat
2. Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2002, tentang badan pelaksana kegiatan
usaha hulu minyak dan gas bumi.
3. Peraturan Pemerintah No.35 Tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hulu
Minyak dan Gas Bumi.
- Pasal 74
Kontraktor dalam melaksanakan kegiatannya ikut bertanggungjawab dalam
mengembangkan lingkungan dan masyarakat setempat.
Tanggungjawab Kontraktor dalam mengembangkan lingkungan dan
masyarakat adalah keikutsertaan dalam mengembangkan dan memanfatkan
potensi kemampuan masyarakat setempat antara lain dengan cara mempekerjakan
tenaga dalam jumlah dan kwalitas tertentu sesuai dengan kompetensi yang
145
dibutuhkan, serta meningkatkan lingkungan hunian masyarakat agar tercipta
keharmonisan antara kontraktor dengan masyarakat di sekitarnya.
- Pasal 76
Kegiatan pengembangan dan masyarakat setempat oleh Kontraktor di
lakukan dengan berkoordinasi dengan Pemerintah daerah.
Kegiatan pengembangan lingkungan dan masyarakat setempat
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) di utamakan untuk masyarakat di sekitar
daerah dimana eksploitasi dilaksanakan
- Pasal 77
Pelaksanaan keikutsertaan Kontraktor dalam pengembangan lingkungan
dan masyarakat stempat sebagaimana di maksud dalam Pasal 74 ayat (10) di
berikan dalam bentuk natura berupa sarana dan prasarana fisik, atau
pemberdayaan usaha dan tenaga kerja setempat.
Prioritas Pelaksanaan Pelaksanaan Community Development
1. Masyarakat yang terkena dampak lansung kegiatan operasi Kontraktor KKS
(sesuai dengan kajian studi AMDAL).
2. Masyarakat yang terkena dampak tidak lansung kegiatan operasi (sesuai
dengan kajian studi AMDAL)99
99 .Sumber : Dinas Hupmas BPMIGAS (Community Development dalam Kegiatan Usaha
Hulu Minyak dan Gas Bumi)
146
Tabel 4 Bidang-Bidang Program dalam Community Development
BIDANG BIDANG PROGRAM
Ekonomi Membantu pemerintah untuk memberdayakanmasyarakat dalam usaha meningkatkan ekonomi.
Pendidikan dan Memberikan beasiswa, membantu kelengkapan saranakebudayaan dan prasarana pendidikan, olahraga dan kegiatan budaya.
Kesehatan Mendukung upaya peningkatan kesehatan masyarakat.
Fasilitas Sosial Mendukung pembangunan sarana dan prasarana sosialdan Fasilitas Umum di daerah operasi.
Lingkungan Mendukung program peningkatan kesadaranlingkungan.
Bidang Aktivitas
Sumber : Dinas Hupmas BPMIGAS (Community Development dalam Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi)
B.15. Pajak (Taxation)
Yang menjadi objek pajak adalah bumi dan /atau bangunan. Bumi adalah
permukaan bumi dan bagian tubuh bumi yang ada dibawahnya. Permukaan bumi
meliputi tanah dan perairan pedalaman serta laut wilayah Indonesia. Bangunan
adalah kontruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada tanah
dan/atau perairan.
Defenisi PBB adalah pajak yang dikenakan atas bumi dan atau bangunan
berdasarkan ketentuan undang-undang No12 Tahun 1985 Std UU No 12 /1994.
Konsideran Bumi dan Bangunan memberikan keuntungan/ kedudukan sosial
ekonomi yang lebih baik bagi orang/badan yang mempunyai suatu hak atasnya
atau memperoleh manfaat daripadanya, wajar bila diwajibkan memberikan
147
sebagian dari manfaat/kenikmatan yang diperolehnya kepada negara melalui
pajak.
Bagan 12 Contoh Objek PBB Migas
Sumber: P Adriel, Direktorat Ekstensifikasi dan Penilaian Direktorat Jenderal Pajak, Jakarta, 2007
Hal ini secara jelas diatur dalam PSC dan berdasarkan undang-undang
migas diberi dua alternatif pemberlakuan peraturan perundang-undangan bidang
pajak.
a. Pertama adalah peraturan perundang-undangan yang berlaku adalah peraturan
perudangan saat PSC berlaku efektif.
b. Kedua adalah peraturan perundangan-undangan yang berlaku adalah peraturan
perundangan pada saat PSC dijalankan. Artinya bila ada amandemen maka
perturan perundang-undangan itulah yang berlaku. Dalam PSC dianut yang
kedua. Ada baiknya untuk memperjelas maka dibuat kata-kata “ ……as
amended”.
148
C. Permasalahan Yang Muncul Setelah UU No.22 Tahun 2001 Diterapkan dalam Kontrak Bagi Hasil di bidang Migas.
Minyak dan gas bumi (Migas), diyakini banyak kalangan sebagai komoditi
tulang punggung ekonomi Indonesia hingga kini. Dilihat dari angka-angka, migas
memang berkontribusi paling tinggi dibanding sektor lain pada pendapatan.
Adapun masalah masalah strategis yang sering muncul dalam Pelaksanaan
kontrak bagi hasil (PSC) ini adalah sebagai berikut :
1. Masalah Cost Recovery (Biaya Produksi)
2. Masalah Profit Sharing (Pembagian Keuntungan)
3. Masalah Settlement of Dispute & Governing Law
4. Masalah Perpajakan (Taxation)
5. Masalah Work Program (Rencana Kerja)
6. Masalah DBH (Dana Bagi Hasil ) Migas.
Masalah Cost Recovery (Biaya Produksi)
Dalam PP No.35 tahun 1994 disebutkan dalam Pasal 13 ayat (1) bahwa
Kontraktor wajib menyediakan dana untuk investasi dan menanggung semua
biaya operasi. Dalam ayat (2) disebutkan bahwa, “Kontraktor menerima kembali
biaya operasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), yang diperhitungkan dari
hasil produksi komersial.
Dalam PP No.35 Tahun 2004 disebutkan dalam Pasal 56 bahwa :
“Kontraktor mendapatkan kembali biaya-biaya yang telah dikeluarkan untuk melakukan Eksplorasi dan Eksploitasi sesuai dengan rencana kerja dan anggaran serta otorisasi pembelanjaan finansial (Authorization Financial Expenditure) yang telah disetujui oleh Badan Pelaksana setelah menghasilkan produksi komersial.”
149
Dimana dalam Kontrak Bagi hasil (PSC) terdapat dalam Pasal (6) enam
yaitu:
1. Tidak diatur ketentuan dimana BPMIGAS memberi persetujuan tentang
pengeluaran biaya investasi dan operasi
2. Pengembalian biaya investasi dan operasi diatur secara rinci dalam kontrak
bagi hasil (PSC) yang tidak diatur secara rinci dalam Peraturan Pemerintah.
3. Tidak ada pengaturan dalam Pasal 6 yang mengharuskan biaya-biaya yang
dikeluarkan adalah sesuai dengan rencana kerja dan anggaran serta otorisasi
pembelanjaan finansial.
Masalah Profit Sharing (Pembagian Keuntungan)
Dalam PP No.35 Tahun 2004 Pasal 54 menyebutkan bahwa ketentuan
mengenai penetapan besarnya bagian negara, pungutan negara, dan bonus-bonus
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (3) serta tata cara penyetorannya
diatur dalam peraturan pemerintah tersendiri.
Dalam kontrak bagi hasil (PSC) BPMIGAS tidak terdapat ketentuan
Participating Interest sharenya sedangkan dalam kontrak PSC Pertamina ada
Participating Interest sharenya.
Dan satu lagi dalam Kontrak PSC BPMIGAS ditentukan rasio Profit
Sharing setiap tahunnya sebesar 37,5% untuk BPMIGAS dan untuk Kontraktor
sebesar 62,5%
150
Masalah Settlement of Dispute & Governing Law
1 Dalam PP No.35 tahun 2004 penyelesaian sengketa kontrak tidak diatur.
2 Didalam Kontrak PSC BPMIGAS disebutkan bahwa penyelesaian sengketa
diselesaikan melalui arbitrase, tetapi tidak disebutkan secara tegas dimana
arbitrase dilakukan, kecuali kata-kata di tempat yang disepakati bersama. Hal
ini perlu dihindari mengingat para pihak bisa saja tidak sepakat tempat
arbitrasenya. Sebaiknya arbitrase dilakukan di Indonesia dan bila tidak
disetujui dan diinginkan di luar negeri maka di negara yang tidak terlalu jauh
dari Indonesia, seperti Singapura.
Masalah Perpajakan (Taxation)
Dalam PP No.35 Tahun 2004 disebutkan dalam Pasal 53; Yaitu Kontraktor
dapat memilih ketentuan kewajiban membayar pajak sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 52 ayat (2) huruf a dengan pilihan sebagai berikut :
a. Mengikuti ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan
yang berlaku pada saat kontrak kerja sama ditandatangani; atau
b. Mengikuti ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan
yang berlaku.
Dalam undang-undang migas terdapat dua alternatif pemberlakuan
peraturan perundang-undangan bidang pajak, yaitu :
a. Pertama adalah peraturan perundang-undangan yang berlaku adalah peraturan
perundang-undangan saat PSC berlaku efektif;
b. Kedua adalah peraturan perundang-undangan yang berlaku adalah peraturan
151
perundang-undangan pada saat PSC dijalankankan. Artinya bila ada
amandemen maka peraturan perundang-undangan itulah yang berlaku. 100
a. Penetapan porsi yang wajar untuk masing-masing pihak yang telah disepakati
dalam peraturan perundangan-undangan
Masalah DBH (Dana Bagi Hasil) Migas
Adanya Pendapat bahwa terjadi perhitungan yang tidak transparan dalam
DBH Migas (minyak dan gas). Transparansi lebih relevan dihubungkan dengan
keterbukaan dalam perhitungan yang ditandai dengan keterbukaan dalam
perhitungan, yang ditandai dengan :
b. Kewajiban untuk melaksanakan rekonsiliasi untuk menghitung penerimaan
dari setoran SDA antara pemerintah pusat dengan daerah sebelum maupun
sesudah melakukan pembagian dana
c. Data setoran disediakan oleh institusi yang berwenang, yaitu pihak yang
menerima dan menatausahakan setoran (yang mewakili fungsi kas negara),
pihak yang akan menerima pembagian (pemerintah pusat dan daerah) dan data
dari pihak yang melaksanakan setoran. Hasil perhitungan DBH SDA adalah
obyek audit oleh BPK dan Inspektorat Jenderal Departemen keuangan.
100 . Presentasi Kontrak Baru PSC, Hotel Tiara Medan 7 September 2006 ( Sumber Dinas Pertambangan dan Energi Prop. Sumatera Utara)
152
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
Pada bagian terakhir ini Penulis akan memberikan beberapa kesimpulan
dan saran. Kesimpulan-kesimpulan tersebut merupakan jawaban masalah-masalah
yang telah didentifikasikan sebelumnya, maka didapat beberapa kesimpulan yaitu:
1. Telah terjadi peralihan hak dalam hal otoritas yang berwenang mewakili
Negara Indonesia dari Pertamina kepada Badan Pelaksana (BP) yang dibentuk
melalui Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi dengan sistem kerjasama
yang dipakai adalah Kontrak Bagi Hasil (Production Sharing Contract).
Kontrak bagi hasil (Production Sharing Contract) disingkat dengan PSC
adalah salah satu bentuk kerjasama yang dipakai oleh badan pelaksana
(BPMIGAS) dan Kontraktornya yaitu badan usaha dan badan usaha tetap
untuk melaksanakan eksplorasi dan eksploitasi minyak dan gas bumi
berdasarkan prinsip pembagian hasil produksi 85% untuk negara dan 15 %
untuk kontraktor. Dengan manajemen operasional ada di tangan BPMIGAS.
Kontraktor menyediakan semua kebutuhan operasional baik teknologi, baik
modal, keahlian, peralatan dan teknologi yang digunakan untuk pencarian
minyak sampai kepada berakhirnya kontrak semua peralatan yang digunakan
Kontraktor dalam kegiatan eksplorasi dan eksploitasi menjadi tanggung jawab
Pemerintah.
153
2. Kontrak bagi hasil mengalami perubahan terhadap isi dan materinya setelah
diberlakukannya Undang-undang No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas
Bumi yaitu : pertama terjadinya peralihan hak otoritas sebagai wakil negara
dalam penguasaan pertambangan dari Pertamina kepada BPMIGAS (Badan
Pelaksana Minyak dan Gas Bumi), kedua perubahan terhadap judul Kontrak
Bagi Hasil Minyak dan Gas, ketiga para pihak dalam kontrak pada PSC lama
yaitu Pertamina dan Kontraktor setelah undang-undang No.22 tahun 2001
yaitu Badan Pelaksana dan Badan usaha dan atau Bentuk Usaha tetap,
keempat dalam hal wilayah kerja Sebelum tahun 2001 tidak diberikan
pembatasan dengan wilayah kerja baik ukuran maupun total blok yang
dimohonkan, setelah tahun 2001 Kontraktor hanya diberikan satu wilayah
kerja apabila Kontraktor hendak mengusahakan beberapa wilayah kerja, harus
dibentuk badan hukum yang terpisah untuk setiap wilayah kerja, kelima telah
diatur secara rinci tentang pelepasan wilayah kerja sedangkan sebelum tahun
2001 tidak. Keenam dalam masalah perpajakan diatur secara jelas dalam PSC
dan UU migas memberi dua alternatif pemberlakuan undang-undang pajak
pada saat PSC berlaku efektif atau pada saat PSC dijalankan dan PSC
menganut bentuk yang kedua, ketujuh masalah tenaga kerja, sebelum
berlakunya UU No.22 tahun 2001 masalah ketenagakerjaan mengacu kepada
PP No.35 Tahun 1994 dengan ketentuan harus dapat izin dari Pertamina
setelah tahun 2001 tidak lagi diharuskan demikian Kontraktor tidak dibatasi.
154
3. Adapun permasalahan yang sering muncul dalam Kontrak Bagi Hasil adalah
masalah Cost Recovery (biaya produksi) yang belum diatur persetujuannya
oleh pemerintah yang mengharuskan BPMIGAS mengeluarkan biaya investasi
dan biaya operasi untuk Kontraktor. Pembagian keuntungan (Profit Sharing),
rasio Profit Sharing setiap tahunnya sebesar 37,5% untuk BPMIGAS dan
untuk Kontraktor sebesar 62,5% yang pengaturannya ada dalam Peraturan
Pemerintah rasionya dalam PSC (tidak jelas aturannya). Tempat
dilaksanakannya arbitrase apabila terjadi perselisihan tidak ditentukan secara
tegas dalam PSC. Terdapat dua aturan dalam perpajakan. Mengikuti ketentuan
peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan yang berlaku pada saat
kontrak kerja sama ditandatangani; atau mengikuti ketentuan peraturan
perundang-undangan di bidang perpajakan yang berlaku. Adanya
permasalahan dalam dana bagi hasil migas yang tidak transparan terutama
dalam perhitungan agar pembagian antara pusat dan daerah dapat disesuaikan.
B. Saran
Untuk mewujudkan cita-cita pengusahaan minyak dan gas bumi bagi
kemakmuran rakyat maka :
1. Sebaiknya Pemerintah turut menentukan formula profit sharing sehingga
keuntungan yang akan diperolehnya jelas dan tidak mendasarkan kepada
penawaran dari kontraktor. Dengan demikian, penawaran rasio profit sharing
oleh Kontraktor akan disesuaikan dengan formula profit sharing yang
ditentukan Pemerintah.
155
2. Perlunya disediakan tenaga-tenaga Indonesia yang terlatih dan mampu
mengerjakan kegiatan perminyakan dengan menggunakan teknologi tinggi.
3. Perlu ditingkatkan pemerataan hasil pembangunan dari pembagian minyak
dan gas bumi ini sehingga dapat dirasakan hasilnya oleh rakyat.
4. BPMIGAS selaku wakil pemerintah dalam majemen kuasa pertambangan
perlu memperhatikan peran daerah dalam pertambangan terutama dalam
bidang pengawasan.
156
DAFTAR KEPUSTAKAAN
A. Buku:
1. Echols, Jhon M, dan Hassan Shadilly, 2000, Kamus Inggris Indonesia (An
english Dictionary) Cetakan XXIV, Penerbit : PT. Gramedia Jakarta 2. Emirjon, Joni, 2002, Hukum Bisnis Indonesia, Jakarta : Direktorat Jenderal
Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional 3. Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi
Ketiga, 2005, Jakarta, Penerbit: Balai Pustaka. 4. Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi, Data dan Informasi Minyak dan Gas
Bumi, 2000, Jakarta. 5. Fuady, Munir, 2000, Hukum Kontrak Bandung, Penerbit : PT.Citra Aditya
Bandung 6. Gautama , Sudargo,1983, Hukum perdata International Indonesia Jilid II,
Bagian 2, buku 8, Penerbit : Alumni Bandung 7. H.S.Salim, 2005, Hukum Pertambangan di Indonesia, Jakarta : PT.Raja
Grafindo Persada. 8. Kamus Istilah Menurut Peraturan perundang-undangan RI 1945-1998, 1999,
Jakarta, Penerbit : PT. Tata Nusa 9. Saleng, Abrar.H.2004, Hukum Pertambangan Cetakan I, Yogyakarta: Penerbit
: UII Press 10. Simamora, M. Rudi, 2000, Hukum Minyak dan Gas Bumi. Jakarta: Penerbit
Djambatan. 11. Soeady, Sholeh, 2000, Vademecum Hukum Perdata dan Hukum Pidana,
Jakarta: CV, Novindo Pustaka Mandiri. 12. Syahmin.AK, 2006. Hukum Kontrak Bisnis Internasional, Jakarta, Penerbit :
PT. RajaGrafindo Persada. 13. Sudarsono,1999, Kamus Hukum, Jakarta: Penerbit Rineka Cipta
157
B. Majalah, Makalah, Skripsi, Tesis
1. Energi AntarNusa, Edisi 04 Tahun II, Januari 2008. 2. Utomo, Sutadi Pudjo,1990, ”Bentuk-bentuk Insentif dalam Kontrak 3. Production Sharing, ” Warta Caltex No.21 4. Ceceliana, B, 23 November 2007, Workshop Revitalisasi Perhitungan
Bidang Migas, Makalah, Direktorat Perimbangan Dirjen Perimbangan Keuangan Republik Indonesia Pekanbaru.
5. Pudyantoro, Rinto, 4-6 September 2007, Bagi Hasil Migas, Surabaya,
Makalah. 6. Analisa Production Sharing Contract (PSC) Kerjasama Biro Hukum
Departemen, Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia dengan Lembaga Pengkajian Hukum Internasional (LPHI) Fakultas Hukum UI
7. Cahyono Adi, Agus, 2007, Metoda dan Tata Cara Pencatatan lifting dan
Dana Bagi Hasil SDA Migas, Makalah, BPMIGAS 8. Raja gukguk, Erman,1997, Permasalahan Kontrak Bisnis Internasional,
Surabaya :”Makalah disampaikan Pada Seminar Permasalahan Kontrak Bisnis Internasional.”Surabaya.
C. Peraturan Perundangan & Internet 1. UUD 1945 Setelah Amandemen, 2004, Jakarta, Penerbit: Fokusmedia 2. KUH Perdata 3. Undang-undang No.22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi, 2002,
Bandung: Penerbit Citra Umbara 4. Undang-undang No.35 Tahun 1994 Tentang Syarat-Syarat dan Pedoman
Kontrak Bagi Hasil Minyak dan Gas Bumi 5. Undang-undang No.42 Tahun 2002 Tentang Badan Pelaksana Kegiatan Usaha
Hulu Minyak dan Gas Bumi. 6. Peraturan Pemerintah republik Indonesia No.35 Tahun 2004 Tentang Kegiatan
Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi
158
8. Peraturan pemerintah RI No.36 Tahun 2004 Tahun 2004 Tentang kegiatan Usaha Hilir Minyak dan Gas Bumi.
9.
www.google.com